BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan pangan dalam negeri terutama makanan pokok seperti gandum
mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah impor gandum
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Aptindo (2014), Indonesia
merupakan negara yang banyak melakukan impor gandum dari negara Australia,
United States, Kanada, dan Ukraina. Pada tahun 2014 impor gandum sebesar 1,5 juta
ton. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia masih bergantung pada negara lain dalam
hal pemenuhan kebutuhan pangan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan
produktivitas budidaya pangan dengan memanfaatkan teknologi dan upaya
diversifikasi pangan dengan memanfaatkan serta mengoptimalkan sumber daya
pangan lokal untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan di Indonesia.
Salah satu sumber daya pangan lokal yang sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal adalah sukun (Artocorpus Commonis). Sukun cukup
potensial untuk dikembangkan karena karena kuantitasnya yang melimpah dan
kandungan gizi yang tinggi seperti karbohidrat (22,8% - 77,3%), kalsium (15,2% -
31,1%) serta fosfor (34,4%-79%). Menurut Badrie et al. (2010), buah sukun memiliki
kandungan vitamin B, vitamin C, niacin, dan thiamine yang cukup tinggi sehingga
bagus untuk metabolisme tubuh. Produksi sukun di Indonesia terus meningkat, dari
89.231 ton pada Tahun 2010, meningkat menjadi 102.089 ton pada Tahun 2011, dan
meningkat lagi menjadi 111.768 ton pada tahun 2012 (BPS, 2013).
Di Indonesia, sukun lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan selingan
dalam bentuk sukun goreng, sukun rebus, getuk, tape, kolak, keripik, dan lain
sebagainya. Di negara-negara lain seperti di kawasan Pasifik, Kepulauan Karibia,
Afrika Barat, Ameika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, India, dan Sri Lanka,
sukun juga dimanfaatkan sebagai sebagai makanan pokok (sumber karbohidrat). Hal
ini disebabkan karena sukun memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai ekonominya
dapat dilakukan dengan menganekaragamkan jenis produk olahan sukun. Dengan
kandungan karbohidrat yang cukup tinggi (22,8% - 77,3%) buah sukun berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai tepung sukun. Tepung sukun ini dapat digunakan sebagai
bahan baku untuk pembuatan produk baru ataupun untuk mengganti tepung-tepung
konvensional. Tepung sukun mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan
sebagai salah satu makanan pokok pendamping tepung terigu. Kandungan kalori
tepung sukun yang lebih rendah dapat digunakan sebagai makanan diet rendah kalori
dalam menu sehari-hari. Salah satu kendala dalam pemanfaatan sukun sebagai tepung
adalah kurang dapat mengembang apabila di olah menjadi produk (Mutmainah et al.,
2013). Oleh sebab itu, sebagai upaya perbaikan kualitas tepung dapat dilakukan
dengan memodifikasi sifat-sifat fungsional. Modifikasi sebagai perubahan struktur
molekul dari pati dapat dilakukan secara kimia, fisika maupun enzimatis (Pudjihastuti,
2010).
Menurut penelitian yang pernah dilakukan (Mutmainah et al., 2013) mengenai
perendaman sukun dalam larutan asam asetat dengan konsentrasi 0,15% dapat
meningkatkan daya kembang meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan yaitu
dari 4,97644 gr/gr menjadi 5,21133 gr/gr. Penelitian yang dilakukan oleh Kayode
dkk. (2003), daya kembang pati sukun dapat meningkat dengan cara dioksidasi oleh
NaOCl pada suhu 80oC dan penelitian yang dilakukan oleh Desti et al. (2008) oksidasi
tapioka dengan hidrogen peroksida cukup efektif dalam meningkatkan daya kembang
yaitu dari 8.9 gr/gr menjadi 11 gr/gr. Penelitian yang dilakukan oleh Tolavanen et al.
(2008) menunjukkan bahwa oksidasi dengan menggunakan hidrogen peroksida
sebagai oksidator lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan NaOCl.
Tepung/pati sukun sebelum termodifikasi masih memiliki karakteristik yang
kurang dikehendaki yakni kurang dapat mengembang dan sedikit mengikat air
(Mutmainah et al., 2013). Untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional tepung/pati
sukun, maka dilakukan modifikasi dengan cara oksidasi menggunakan H2O2.
Pemilihan H2O2 sebagai oksidator dikarenakan penggunaanya tidak bergantung pada
kondisi iklim dan menghasilkan produk yang lebih homogen (Desti et al., 2008) serta
lebih ramah lingkungan (Tolavanen et al., 2008). Tepung/pati sukun termodifikasi
diharapkan dapat digunakan untuk bahan baku produksi roti sehingga import gandum
dapat dikurangi sehingga kita harus mencari inovasi teknologi dengan memanfaatkan
sumber daya lokal yang ada.
1.2 Perumusan Masalah
Pati sukun yang diperoleh dari penggilingan irisan sukun dengan ditambah air
kemudian diendapkan sudah dapat digunakan sebagai bahan pangan. Namun pati
sukun ini masih memiliki kelemahan, diantaranya kelarutan dalam air dan daya
kembang yang masih tergolong rendah. Oleh karena itu, pati sukun ini perlu diolah
lebih lanjut untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut.
Modifikasi pati sukun untuk memperbaiki sifat fisiko-kimianya dapat
dilakukan dengan cara kimia seperti oksidasi. Menurut penelitian yang sudah
dilakukan oleh Alvaro, dkk (2011), oksidasi merupakan cara modifikasi yang cocok
untuk diaplikasikan pada pati karena viskositasnya rendah, stabilitasnya tinggi, serta
kemurnian dan sifat pengikatan yang bagus. Oksidasi pati sudah banyak diaplikasikan
di industri, seperti industri kertas, tekstil, dan material pengikat untuk bahan pelapis
permukaan suatu benda (Alvaro dkk., 2011).
Dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi tepung sukun dengan cara
oksidasi menggunakan H2O2 tanpa penambahan katalis. Pemilihan H2O2 sebagai
oksidator dikarenakan penggunaanya tidak bergantung pada kondisi iklim dan
menghasilkan produk yang lebih homogen (Desti et al., 2008) serta lebih ramah
lingkungan dibandingkan dengan NaOCl (Tolavanen et al., 2008). Modifikasi dengan
cara kimia yaitu teknik oksidasi dengan oksidator H2O2 dan katalis CuSO4.5H2O telah
terbukti dapat meningkatkan sifat fisiko-kimia tepung umbi talas (Ariyanti dan
Budiyati., 2013). Namun kelemahan dari penggunaan katalis adalah terjadinya
penurunan kualitas tepung umbi talas khususnya pada warna dan rasa (Ariyanti dan
Budiyati., 2014). Oleh sebab itu, pada penelitian ini katalis tidak digunakan dalam
proses oksidasi.
Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi hidrogen
peroksida yang efektif untuk meningkatkan daya kembang pati sukun. Variabel yang
digunakan adalah perbandingan konsentrasi hidrogen peroksida yang digunakan serta
suhu dan perbandingan air dan pati sukun.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkaji pengaruh konsentrasi H2O2 , suhu operasi serta perbandingan air dan
pati sukun terhadap sifat psikokimia, daya kembang dan kelarutan pati sukun
termodifikasi.
2. Mengkaji kondisi operasi optimum dalam modifikasi pati sukun dengan
oksidasi H2O2 terhadap sifat psikokimia, daya kembang dan kelarutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini, dapat dihasilakn produk olahan sukun berupa
pati modifikasi sukun yang mempunyai daya kembang tinggi dan sifat psikokimia
yang baik. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memberikan informasi
ilmiah berkaitan dengan pengaruh kondisi operasi oksidasi yang optimum dalam
proses pembuatan pati sukun termodifikasi terhadap daya kembang dan sifat
psikokimia yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Buah Sukun
Sukun (Artocarpus communis) merupakan tanaman pekarangan yang telah ratusan
tahun dikenal sebagai aman penghijau di Indonesia. Tanaman sukun berasal dari New
Guinea Pasific dan berkembang sampai ke Indonesia. Tanaman ini merupakan
tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis, baik pada dataran rendah
maupun dataran tinggi (sampai 1000 m di atas permukaan laut). Tanaman sukun
memiliki toleransi dan daya adaptasi yang tinggi serta tahan terhadap penyakit (Shadily
1984 yang dikutip dalam Anonim 2002). Hal ini menyebabkan pohon sukun tersebar
meluas Indonesia. Taksonomi tumbuhan sukun secara lengkap adalah sebagai berikut:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Dilleniidae
Ordo: Urticales
Famili: Moraceae (suku nangka-nangkaan)
Genus: Artocarpus
Spesies: Artocarpus communis Forst
Sukun merupakan tanaman tahunan yang berbuah musiman dengan panen raya di
bulan Januari-Februari dan panen susulan di bulan Juli-Agustus. Pada usia 4 tahun
setelah tanam, sukun sudah menghasilkan buah yang produksinya bertambah sejalan
dengan pertambahan umur tanaman. Produksi sukun berkisar antara 200-750
buah/pohon/tahun (Syah & Nazaruddin 1994).
(a) (b)
Gambar 2.1 Buah Sukun (a) dan pohon sukun (b)
Buah sukun mempunyai potensi sebagai cadangan ketahanan pangan
nasional karena sukun mampu berproduksi sepanjang tahun selain itu buah sukun
mengandung gizi yang tidak kalah dengan jagung maupun umbi-umbian (Irwanto,
2006). Nilai gizi buah sukun tidak kalah dengan bahan-bahan pangan lainnya yang
sering digunakan sebagai bahan pangan pokok ataupun bahan pangan pokok
alternatif di Indonesia. Bahkan dalam beberapa hal sukun tampak lebih unggul dari
bahan pangan lainnya. Dengan demikian sukun, khususnya tepung sukun mempunyai
prospek yang sangat baik sebagai bahan pangan pengganti gandum.
Tabel 2.1 Perbandingan komposisi buah sukun dengan sumber karbohidrat lain
Sumber: USDA 2004
2.2. Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat
pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama
sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang (Jane,
1995; Koswara, 2006).
Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering
disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena
itu digunakan untuk identifikasi. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama
yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti, protein dan lemak Umumnya pati
mengandung 15–30% amilosa, 70–85% amilopektin dan 5–10% material antara. Struktur dan
jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati
tersebut (Greenwood dkk., 1979).
Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Disamping itu dijumpai beberapa
sumber pati lainnya yaitu; jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain-lain
(Tharanathan dkk., 2005). Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak berasa, dimana secara mikroskopik granula pati dibentuk oleh
molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang tersusun terpusat (Koswara, 2006; Niba
dkk., 2002). Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, dimana ada yang berbentuk
bulat, oval, atau bentuk tak beraturan. Demikian juga ukurannya, mulai kurang dari 1 mikron
sampai 150 mikron ini tergantung sumber patinya seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Granula Beberapa Jenis Pati (Koswara, 2006; Niba dkk.2002).
Pati Tipe Diameter Bentuk
Jagung
Kentang
Biji-bijian
Umbi-umbian
15 μm
33 μm
Melingkar, poligonal
Oval, bulat Gandum
Tapioka
Biji-bijian
Umbi-umbian
15 μm
33 μm
Melingkar, lentikuler
Oval, kerucut potong
Sifat-sifat pati sangat tergantung dari sumber pati itu sendiri. Faktor yang
menentukan sifat pati antara lain yaitu gelatinisasi. Beberapa karakterisasi gelatinisasi dari
pati singkong (tapioka), jagung, kentang, dan gandum seperti yang disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Karakterisasi Gelatinisasi Beberapa Jenis Pati (Koswara,2006)
PatiSuhu gelatinisasi
Koffer (oC)
Suhu pemanasan
Brabender (oC)
”Peak” viskositas
Brabender (BU)
Jagung 62-72 75-80 700
Kentang 58-68 60-65 3000
Gandum 58-64 80-85 200
Tapioka 59-69 65-70 1200
2.2.1. Granula Pati
Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran) yang
berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti bentuk, ukuran,
keseragaman, bersifat khas untuk setiap jenis pati. Bentuk butiran pati secara fisik
berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Greenwood
dkk.,1979). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim.
Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati
secara keseluruhan (Jane, 1995).
Pati yang berasal dari biji-bijian tertentu hanya mengandung
amilopektin saja yang dikenal dengan istilah “waxy” atau lilin. Spesies yang
penting adalah sorgum lilin, jagung lilin dan beras lilin (Jane, 1995).
2.2.2. Amilosa
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari
amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-
(1,4) dari unit glukosa, yang membentuk rantai lurus, yang umumnya dikatakan
sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-
amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna,
β- amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan
memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa
menghasilkan maltosa (Hee-Joung An, 2005).
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan
membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak
melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa membentuk
warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi pati (Hee-
Joung An, 2005). Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang
linear seperti terlihat pada Gambar1.
Gambar . Rumus struktur amilosa
2.2.3. Amilopektin
Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai
lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai
amilopektin cenderung membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat
pada Gambar 2. Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari
seluruh lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-Charlotte Eliasson, 2004).
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa
untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap
rantai bervariasi tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-
umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon
ke 6 dari cincin glukosa (Koswara, 2006).
Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat fisik yang berbeda. Amilosa
lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin. Bila amilosa
direaksikan dengan larutan iod akan membentuk warna biru tua, sedangkan
amilopektin akan membentuk warna merah (Greenwood dkk., 1979).
Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya
proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang
kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah.
Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung
menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi
secara terbatas (Hee-Joung An, 2005).
Gambar . Rumus struktur amilopektin
2.3. Sifat-sifat psikokimia dan rheologi produk pati sukun termodifikasi
Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi
kimia (esterifikasi, sterifikasi atau oksidasi) atau dengan menggangu struktur asalnya. Pati
diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk
memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk merubah beberapa sifat sebelumnya atau untuk
merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam,
alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia
baru dan atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati (Tharanathan dkk.,
2005).
Beberapa metode yang dapat memodifikasi pati antara lain modifikasi dengan
pemulian tanaman, konversi dengan hidrolisis, cross linking, derivatisasi secara kimia,
merubah menjadi sirup dan gula serta perubahan sifat-sifat fisik. Modifikasi dengan
konversi dimaksudkan untuk mengurangi viskositas dari pati mentah hingga dapat dimasak
dan digunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi, pati akan lebih mudah larut dalam
air dingin dan memperbaiki sifat kecenderungan pati untuk membentuk gel atau pasta
(Tharanathan dkk., 2005).
Sifat psikokimia pati yaitu sifat yang menunjukkan morfologi, struktur, dan
kristalinitas dari pati. Sifat ini akan berpengaruh pada granula pati baik dalam bentuk gel,
larutan, maupun kristal. Kandungan amilosa dan amilopektin memilik i pengaruh yang
sangat besar pada sifat fisik pati (Ann-Charlotte Eliasson, 2004). Keduanya saling
berhubungan dalam mengubah maupun membentuk sifat yang berbeda–beda tergantung
pada perlakuannya. Dalam hal ini yang termasuk sifat– sifat psikokimia pati antara lain
kandungan amilosa dan amilopektin, viskositas, gelatinisasi, dan swelling power (Murillo
dkk., 2008).
Rheologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk dan aliran
bahan yang biasanya digunakan pada bahan makanan. Rheologi data yang biasa
dibutuhkan dalam industri makanan antara lain (James N. Be Miller dkk.,1997):
1. Quality control dari produk akhir
2. Mengevaluasi tekstur makanan
3. Secara fungsional menentukan komposisi dalam meningkatkan produk.
Sifat-sifat psikokimia dan rheologi produk pati termodifikasi seperti: swelling power,
kelarutan, gugus karbonil, dan gugus karboksil memiliki standard tertentu berdasarkan pada
penelitian yang sudah dilakukan terdahulu, seperti yang terlihat pada Tabel.3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi antara lain: perbandingan amilosa-amilopektin, panjang rantai dan
distribusi berat molekul.
Tabel.3. Sifat-sifat Psikokimia dan Rheologi Pati Sukun (K.O. Adebowale et
al,2005)
Sifat Psikokimia Value
Swelling Power (g/g) 1.33 ± 0.06
Kelarutan (%) 48,87 ± 0.02
Alkaline water retention capacity 1.00 ± 0.00
Gugus Karbonil (%) 0,48
Gugus Karboksil (%) 0,10
Viskositas (cp) 641.75
2.4 Modifikasi Pati
Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi
kimia atau dengan mengganggu struktur asalnya. Pati diberi perlakuan tertentu dengan
tujuan menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau untuk
merubah beberapa sifat sebelumnya atau sifat lainnya. Perlakuan ini dapat mencakup
penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan
menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul pati.
Pati dapat dimodifikasi melalui cara hidrolisis, oksidasi, cross-linking atau cross bonding dan
subtitusi (Koswara, 2006).
2.4.1. Hidrolisis Asam
Perlakuan pati di bawah titik pembentukan gel pada larutan asam akan
menghasilkan produk dengan viskositas pasta panas yang rendah dan
mempunyai rasio viskositas pasta dingin dan panas yang tinggi dan angka alkali
(alkali number) yang tinggi dari pati-pati alami. Demikian halnya dalam
pemecahan granula pati oleh air panas tidak sama dengan pati alami walaupun
mempunyai bentuk granula yang hampir sama dengan pati alami.
Dibandingkan dengan pati aslinya, pati termodifikasi asam menunjukkan
sifat-sifat yang berbeda, seperti (1) penurunan viskositas, sehingga
memungkinkan penggunaan pati dalam jumlah yang lebih besar (2)
penurunan kemampuan pengikatan iodine (3) pengurangan pembengkakan
granula selama gelatinisasi (4) penurunan viskositas intrinsik (5) peningkatan
kelarutan dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi (6) suhu gelatinisasi lebih
rendah (7) penurunan tekanan osmotik (penurunan berat molekul) (8)
peningkatan rasio viskositas panas terhadap viskositas dingin dan (9)
peningkatan penyerapan NaOH (bilangan alkali lebih tinggi). Akan tetapi sama
seperti pati alami, pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin
(Koswara, 2006). Karakteristik utama dari pati termodifikasi asam ini adalah
kecendurangan untuk rhetrogradasi lebih rendah dibanding pati lainnya (Sriroth,
2002).
Gambar . Reaksi hidrolisis starch dengan asam
2.4.2. Hidrolisis Enzim
Hidrolisis disini adalah dengan memecah rantai pada pati baik amilosa
maupun amilopektin. Enzim yang memecah yaitu α - amilase. terdapat pada
tanaman, jaringan mamalia, jaringan mikroba. Dapat juga diisolasi
dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis (Niba L.L dkk., 2002).
Cara kerja enzim α - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama,
degradasi amilosa menjadi maltosa dan amiltrotriosa yang terjadi secara acak.
Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas
yang cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan
maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya merupakan kerja
enzim α - amilase pada molekul amilosa (Koswara, 2006). Hal-hal yang
mempengaruhi hidrolisa enzim antara lain konsentrasi asam, temperatur, dan
waktu pemasakan (O.S Azeez, 2002). Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat
polimerisasi menurun, dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai lurus.
Hidrolisis amilosa lebih cepat dibanding hidrolisis terhadap amilopektin (Gnad
T, 2003).
2.4.3. Modifikasi Ikatan Silang (Cross-Linking)
Seperti pada umumnya pati yang dipakai dalam industri ditentukan oleh sifat
rheologi dari pasta pati yang dihasilkan dari pati tersebut seperti viskositas,
kekuatan gel, kejernihan, dan kestabilan rheologi. Cross-linking menguatkan
ikatan hidrogen dalam granula dengan ikatan kimia yang berperan sebagai
jembatan diantara molekul-molekul. Sebagai hasilnya, ketika pati cross-linked
dipanaskan dalam air, granula-granulanya akan mengembang sehingga ikatan
hidrogennya akan melemah. Tahapan proses reaksinya seperti yang ada pada
Gambar 4. (Megumi Miyazaki, 2006).
Cross-linking dipakai apabila dibutuhkan pati dengan viskositas tinggi
atau pati dengan ketahanan geser yang baik seperti dalam pembuatan pasta
dengan pemasakan kontinu dan pemasakan cepat pada injeksi uap. Pati ikatan
silang dibuat dengan menambahkan cross-linking agent dalam suspensi pati pada
suhu tertentu dan pH yang sesuai. Dengan sejumlah cross-linking agent,
viskositas tertinggi dicapai pada temperatur pembentukan yang normal dan
viskositas ini relatif stabil selama konversi pati. Peningkatan viskositas mungkin
tidak mencapai maksimum tapi secara perlahan-lahan meningkat sampai
pemasakan normal, dan ini tidak untuk semua pati karena ada bahan lain terdapat
dalam pati yang dapat mempercepat dan memperluas pengembangan misalnya
gula (Koswara, 2006).
Untuk menguji sifat-sifat viskositas dari pati yang disebabkan oleh cross-
linking agent dapat dilakukan dengan mengamati pola viskometrik dan suhu. Jadi
untuk produk yang disiapkan untuk membuat makanan asam, salad drysing
diperlukan sejumlah asam organik, agar campuran akhir dapat dipergunakan
untuk membentuk bubur pati sebelum dimasak. Cara ini dapat menghasilkan pati
dengan ikatan silang yang stabil sehingga pada pemanasan pengembangan
granula akan lebih lambat sehingga viskositas akan lebih stabil
(Atichokudomchaia dkk.,2000).
Pada setiap tingkatan konsentrasi ikatan silang dapat diamati pengembangan
granula pati hal ini dapat diamati selama pengolahan. Reaksi yang berlanjut
dapat merusak struktur granula ini sehingga pengolahan produk jadi sukar
untuk ditangani. Jadi apa bila dilakukan suatu reaksi kimia maka harus
dipergunakan cross-linking agar produk derivat pati yang dihasilkan dapat diatur
sesuai dengan karakteristik viskositasnya.Berjenis cross-linking agent telah
banyak digunakan seperti hepikhlorohidrin, tri-meta phosphat dimana keduanya
sering dipakai untuk pembuatan makanan dan juga industri pati. Cross-linking
agent lain yang banyak dipakai dalam industri adalah: aldehid, di-aldehid, vynil
sulfon, di-aldehid, vynil sulfon, di-epoksida, bis-hidroksi metil etilen urea, dan
lain lain (Koswara, 2006).
Gambar . Reaksi ikatan silang (cross-linking) pada pati
2.4.4. Modifikasi Oksidasi
Pati dapat dioksidasi dengan aktivitas dari beberapa zat pengoksidasi
dalam suasana asam, netral atau larutan alkali. Menurut FDA (Food and Drugs
Administration) zat pengoksidasi diklasifikasikan sebagai pemutih dan oksidant
untuk pemutih yang diizinkan adalah oksigen aktif dari peroksida atau khlorin
dari natrium hipokhlorida, kalium permanganat, ammonium persulfat.
Tahapan oksidasi pati seperti terlihat pada Gambar 5 (Koswara, 2006).
Bila pati telah teroksidasi menjadi produk maka pati ini akan larut dalam air
panas membentuk bagian yang lebih kecil tanpa melalui yang mengandung pati
teroksidasi dalam jumlah besar dan produk ini memperlihatkan kekuatan
pereduksi. Lapisan tipis (film) yang diproduksi oleh larutan ini mempunyai
tingkat kekuatan regangan yang rendah dibandingkan dengan pati tak
termodifikasi, hal ini memberikan beberapa keuntungan seperti bentuk yang
transparan dan kekuatan penetrasi dan sifat ini sangat baik untuk industri
kertas,lem dan tekstil (Tharanathan dkk., 2005).
Gambar . Reaksi oksidasi pada pati
Penurunan viskositas pati karena proses oksidasi akan menyebabkan produk
lebih mudah dioksidasi lagi menjadi turunannya (derivatnya) dan pengaruh
yang sama dapat dihasilkan dari oksidasi derivat pati atau
menderivatkan pati teroksidasi, misalnya: pati terposforilasi yang dibuat dengan
mempergunakan NaOH dengan produk reaksi dari epikhlorohidrin dan amina
tertier. Produk derivat ini dioksidasi dengan NaOCI, menghasilkan produk yang
sangat baik untuk pelapis kertas (Tharanathan dkk., 2005).
Modifikasi pati dengan oksidasi diperoleh sifat pati sebagai berikut, gel yang
mempunyai tingkat kejernihan yang tinggi, mempunyai tingkat regangan yang
rendah, berat molekul rendah, viskositas rendah.
2.5 Modifikasi Oksidasi dengan Hidrogen Peroksida
Pemakaian H2O2 sebagai pengoksidasi telah banyak diteliti seperti Whistler dan
Schweiger (1959) meneliti pengaruh ph terhadap H2O2 dengan amilopektin, ditemukan
bahwa pengaruh awal adalah terjadinya depolimerasi dan diikuti dengan oksidasi secara
cepat sampai unit akhir dari rantai sampai menghasilkan CO2 dan asam format.
Pengaruh H2O2 terhadap pati sangat tergantung pada proporsi pengoksidasi yang dipakai
dan suhu reaksi dimana aktivitas utamanya melalui degradasi hidroksil.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan oksidasi dengan hidrogen
peroksida
1. Adanya cahaya ultra violet, dapat mengakibatkan peningkatan pembentukan
gugus karbonil dan karboksil dan juga dapat menurunkan viskositas pati (Harmon
et al., 1971).
Tabel 5. Kandugnan karboksil dan karbonil dari oksidasi H2O2 dengan tanpa UV.
Oksidasi Pati Gugus Karboksil
meq asam/g
Persen (%) Gugus karbonil
mmol/g
H2O2 (tanpa UV)
H2O2 (dengan UV)
0.0
0.11
0.0
0.50
0.02
0.22
*) Harmon et al.(1972)
2. Pengaruh adanya katalis, oksidasi yang dilakukan dengan H2O2 dan UV dengan
menambahkan katalis yang berbeda akan memberikan pembentukan karboksil
dan karbonil yang berada seperti yang terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar karboksil dan karbonil dari oksidasi dengan hipoklorit dan FeSO4 dengan udanya UV*
Pati Oksidasi Gugus Karboksil
meq asam/g
Gugus Karbonil
mmol/gFeSO4Hipoklorit
0.11
0.06
0.13
0.24 *) Harmon et al.(1972)
Dari Tabel 6, terlihat bahwa denan katalis FeSO4 menghasilkan gugus karboksil
lebih tinggi dari hipoklorit dan katalis hipoklorit menghasilkan karbonil lebih
tinggi daripada dengan FeSO4.
3. Pengaruh pH terhadap oksidasi dengan H2O2 dan adanya UV seperti terlihat
pada Tabel 7, disini terlihat bahwa ph rendah memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan bila oksidasi dilakukan pada pH tinggi
Tabel 7. Pengaruh pH pada oksidasi pati dengan H2O2 dengan adanya UV*
PH Karboksil
(M/100 AGU)
Karbonil
(MFG/100 AGU)
Viskositas
(Centipoises)
3
5
7
9
1.35
1.13
0.85
0.66
2.81
1.58
1.30
1.13
13.81
10.00
9.90
5.57*) Harmon et al. (1972)
Keterangan :
MFG : Mole of Functional group
AGU : Anhydro Glucose Unit of Starch
4. Pengaruh waktu oksidasi dapat dilihat pada Gambar 5. Dapat terlihat bahwa
peninggalkan pembentukan gugus karbonil dan karboksil terjadi setelah 6 jam
dan setelah itu kenaikanya berlansung lambat.
5. Pengaruh konsentrasi dan pemakaian oksidan, disini terlihat bahwa peningkatan
konsentrasi H2O2 berhubungan dengan peningkatan karbonil dan karboksil yang
terbentuk dan menghasilkan degradasi pati yang banyak yang terbukti dengan
menurunnya viskositas pati (Tabel 8).
Tabel 8. Pengaruh konsentrasi dan pemakaian oksigen*
H2O2(mol/0.42AGU)
Karboksil
(MFG/100 AGU)
Karbonil
(MFG/100 AGU)
Viskositas
(Centipoises)
1.0
2.0
3.0
4.0
0.85
2.68
3.57
4.52
5.17
5.92
6.99
10.100
6.30
5.43
5.43
3.60*) Harmon et al. (1972)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan yang Digunakan3.1.1 Bahan Baku
a. Sukun
3.1.2 Bahan Pembantu
a. Aquadest
b. Hidrogen Peroksida (H2O2) 35%
3.2 Alat yang Digunakan
a. Beaker glass
b. Gelas ukur
c. Erlenmeyer
d. Labu Takar
e. Magnetic stirrer
f. Pipet tetes
g. Filter
h. Cawan petri
i. Oven
j. Alat penggiling tepung
k. Neraca timbang
l. Temperatur Control
m. Waterbath
n. Mixer
3.3 Gambar Rangkaian Alat
Penelitian ini menggunakan eksperimen yang dilakukan di laboratorium dimana
secara garis besar tahapan penelitian yang dilakukan ditunjukan sebagaimana yang tertera
pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Skema Tahapan Penelitian
3.4 Prosedur Percobaan
3.4.1 Analisa Bahan BakuAnalisa proksimat meliputi :
1. Kadar Air (AOAC 1995, metode oven)
2. Kadar Abu (AOAC 1995, metode tanur)
3. Karbohidrat (by Difference)
4. Protein (AOAC 1995, metode kjedahl)
5. Lemak (AOAC 1995, metode sokhlet)
3.4.2 Parameter Penelitian1. Variabel kendali
a) Kecepatan pengadukan
2. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah
a) Prosentase luluhan : 20%, 30%, 40%
b) Jumlah oksidator (H2O2, % berat suspensi pati : 1%, 2%, 3%
c) Suhu percobaan : 30oC, 40oC, 50 oC
3. Variabel Tak bebas
Variabel tak bebas atau respon dari penelitian ini antara lain :
a) Kelarutan dalam air (water solubility)
b) Daya kembang (swelling power)
c) Gugus karboksil
3.4.3 Prosedur Penelitian
3.4.3.1 Modifikasi Pati Sukun Menggunakan Teknik Oksidasi
Pati sukun didispersikan di dalam aquadest untuk memperoleh
suspensi dengan kadar pati sesuai variabel yang ditentukan.
Selanjutnya, oksidasi dilakukan pada suhu sesuai variabel dengan
pengadukan secara terus-menerus (Parovuori dkk., 1995). Larutan
hidrogen peroksida 35% ditambahkan tetes demi tetes hingga
konsentrasinya dalam suspensi sesuai dengan variabel yang
ditentukan. Reaksi dibiarkan berlangsung selama waktu yang
ditentukan pada variabel. Pati teroksidasi yang diperoleh
selanjutnya dicuci dengan aquadest sebanyak 4 kali, disaring,
dikeringkan pada suhu 50oC selama 48 jam.
3.4.3.2 Analisis sifat fungsional pati sukun termodifikasi
Analisis sifat fungsional yang dilakukan pada pati sukun terdiri
dari :
1. Analisa Kelarutan Dalam Air (water solubility)
2. Analisa Daya Kembang (swelling power)
3. Analisa Gugus Karboksil
Buah Sukun
Buah Sukun
Air Sawutan sukun
Slurry sukun
Endapan sukun
Pembersihan dan Pengupasan
Pencucian dan penyawutan
Penggilingan
Pengendapan
Pengeringan
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Pati Sukun
Gambar 3.3 Diagram Alir Penelitian
3.5 Analisa Hasil
3.4.1 Analisa Kadar Air (AOAC 1995, metode oven)
3.4.2 Analisa Kadar Abu (AOAC 1995, metode tanur)
Oksidasi
Analisa Gugus Karboksil
Analisa hasil dan analisis data
Produk Olahan.Contoh : roti, kue, dsb
Aquadest + H2O2
Analisa Kelarutan Dalam Air
Pati Sukun
Pati Sukun
Analisa Daya Kembang
3.4.3 Analisa Karbohidrat (by Difference)
3.4.4 Analisa Protein (AOAC 1995, metode kjedahl)
3.4.5 Analisa Lemak (AOAC 1995, metode sokhlet)
DAFTAR PUSTAKA
Ann-Charlott Eliasson., 2004, Starch in Food. Woodhead Publishing Limited Cambridge
England.
Atichokudomchaia Napaporn, Sujin Shobsngobb, Saiyavit Varavinita., 2000, Morphological
Properties of Acid-Modified Tapioca Starch. Weinheim. 283-289.
Azeez.O.S., 2002, Production of Dextrins from Cassava Starch. Electronic Journal of
Biotechnology Pontificia Universidad Catolica de Valparaiso- Chile. Vol.7 No.1.
Greenwood, C.T. dan D.N. Munro.,1979, Carbohydrates. Di dalam R.J. Priestley,ed. Effects
of Heat on Foodstufs. Applied Seience Publ. Ltd., London.
Harmon, R.E., S.K. Gupta dan J. Johnson. 1971. Oxidation of starch by hydrogen
peroxide in the presence of UV light, Part I. Die Starke 24 : 8.
Hee-Young An., 2005, Effects of Ozonation and Addition of Amino acids on Properties of
Rice Starches. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of the Louisiana state
University and Agricultural and Mechanical College.
James N. Be Miller dan West Lafayette, 1997, Starch Modification : Challenges and
Prospects, USA, Review 127-131.
Jane, J., 1995, Starch Properties, Modifications, and Application, Journal of
Macromolecular Science, Part A.32:4,751-757.
Kanarong Sriroth, Kuakoon Piyachomwan, Kunruedee Sangseethong dan Christopher
Oates, 2002, Modification of Cassava Starch , Paper of X International Starch
Convention, Cracow, Poland.
Koswara, 2006, Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.
Megumi Miyazakia, Pham Van Hunga, Tomoko Maedad dan Naofumi Morita,2006, Recent
Advances in Applivcation of Modified Starches for Breadmaking, Elsevier Journal.
Niba L.L., Bokanga, Jackson, Schlimme, 2002, Phycsicochemical Properties and Srtarch
Granular Characteristics of Flour from Various Manihot Esculenta (Cassava) Genotypes.
Journal of Food Science. Vol. 67, No.5.
Tharanathan., Rudrapatman., 2005, Starch-Value Addition by Modification, Critical
Reviews in Food Science and Nutrition, Vol 45, 371-384.