i
PROPOSAL TESIS
DYNAMIC PATTERN: WORKSHOP BAGI KAUM
KETERBELAKANGAN MENTAL
MAJORA NUANSA AL-GHIN
3214207010
DOSEN PEMBIMBING
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch
Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono
PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN PERANCANGAN ARSITEKTUR
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2015
i
DYNAMIC PATTERN: WORKSHOP BAGI KAUM KETERBELAKANGAN
MENTAL
Nama mahasiswa : Majora Nuansa Al-Ghin
NRP : 3214207010
Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch
Co-Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono
ABSTRAK
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu distrik terbesar ke-dua di
Karesidenan Madiun. Perkembangan ekonomi sangat pesat selama beberapa tahun
belakangan. Namun dibalik perkembangan ekonomi yang pesat terdapat
fenomena keterbelakangan mental di desa Karang Patihan, Balong, Ponorogo.
Permasalahannya adalah ketika orang dengan intelegensi rendah sulit untuk
bergerak dikarenakan koordinasi antara saraf motorik dengan dengan sensorik
sulit berkembang maka segala aktifitas terasa lama. Dengan adanya issu dan
permasalahan tersebut perlu dilakukan perancangan tempat pelatihan/workshop
yang bisa memacu kinerja saraf motorik dengan saraf sensorik supaya lebih peka.
Proses desain diawali dengan penelitian, dan studi literatur terhadap objek
rancangan yaitu berupa kaum keterbelakangan mental, pendekatan yang dipilih
adalah berkaitan dengan perilaku, selanjutnya memilih metode yang sesuai
dengan hasil penelitian. Setelah itu melakukan proses kreatif sehingga
menghasilkan rancangan yang sesuai dengan kebutuhan.
Hasil yang diharapkan dengan adanya perancangan ini yaitu konsep yang
bisa merangsang gerak motorik dan sensorik para pengidap keterbelakangan
mental. Konsep yang dipilih adalah dynamic pattern.
Kata kunci : workshop, dynamic pattern, behavior, tunagrahita sensorik, motorik
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
penulis diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan laporan
proposal tesis dengan judul:
Laporan ini disusun untuk memenuhi laporan proposal tesis jurusan
Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya,
Tiada daya dan upaya penulis dalam menyelesaikan tugas ini tanpa
dukungan, bimbingan dan dorongan serta bantuan dari banyak pihak. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Ir. I Gusti Ngurah Antaryama, Ph.D sebagai dosen koordinator matakuliah
proposal tesis atas bimbingan pada saat kuliah
2. Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch. sebagai dosen asisten 1 proposal tesis,
senantiasa memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam proses
penyelesaian hingga laporan proposal tesis
3. Dr. Ing. Ir. Bambang Soemardiono, sebagai dosen asisten 2 proposal tesis, atas
bantuan dan kerja samanya, sehingga penyusunan proposal tesis terselesaikan
dengan lebih baik.
Penulis sadar dalam penyusunan laporan proposal tesis banyak terdapat
kekurangan sehingga kritik dan saran diperlukan guna memperbaiki kualitas dan
kuantitas laporan kedepannya, semoga laporan ini bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Surabaya, Juni 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI BAB I .................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1. Latar belakang ..................................................................................................... 1
1.2. Permasalahan rancangan ..................................................................................... 5
1.3. Tujuan perancangan ............................................................................................ 6
1.4. Manfaat perancangan .......................................................................................... 6
1.5. Batasan perancangan ........................................................................................... 6
BAB II ................................................................................................................................... 7
KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................................... 7
2.1. Definisi ................................................................................................................ 7
2.2. Teori behavior (perilaku) ................................................................................... 13
2.3. Kriteria ............................................................................................................... 21
2.4. Studi Preseden ................................................................................................... 22
BAB III............................................................................................................................... 27
METODE PERANCANGAN DAN EKSPLORASI DESAIN .......... Error! Bookmark not
defined.
3.1. Jenis penelitian ......................................................Error! Bookmark not defined.
3.2. Subjek penelitian ...................................................Error! Bookmark not defined.
3.3. Desain Problem ................................................................................................. 27
3.4. Proses Desain .................................................................................................... 28
3.5. Metode desain ................................................................................................... 32
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Center for the mentally handicapped in Alcolea (Taller de
Arquitectura Rico+Roa, www.archdaily.com) ............................ 4
Gambar 1.2 kerangka pikir rumusan masalah .................................................. 5
Gambar 2.1. kondisi warga di kampung idiot (sumber:google.com) ............... 20
Gambar 2.2. Dormitory for Mentally Disabled (sumber:
http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-
fujimoto-architects/) .................................................................... 22
Gambar 2.3. Denah Asrama orang keterbatasan mental (sumber:
http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-
fujimoto-architects/) .................................................................... 22
Gambar 2.4. Pusat cacat mental di Alcolea (sumber:
http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-
handicapped-in-alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/) 24
Gambar 2.5. Potongan pusat cacat mental (sumber:
http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-
handicapped-in-alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/) ............ 25
Gambar 3.1. skema desain proses Archers model (Sumber: Cross, 1995) ..... 29
Gambar 3.2. pengelompokan fase menurut Archer. ......................................... 30
Gambar 3.3. Pengembangan metode ................................................................ 31
Gambar 3.4. Diagram pengembangan metode ................................................. 36
Gambar 3.5. Metode regionalisme ................................................................... 37
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Prinsip desain (Lockton, 2011) ...................................................... 19
Tabel 3.1. Pengelompokan informasi desain (sumber: analisa) ....................... 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Keterbelakangan mental (tunagrahita) atau retardasi mental merupakan
fenomena umum yang dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah aib besar
yang harus disembunyikan. Menurut WHO dan American Association on
Intellectual and Development Disabilities, retardasi mental adalah suatu
kondisi dimana perkembangan otak yang tidak sempurna ditandai dengan
hambatan kemampuan dan kecerdasan secara keseluruhan di beberapa bidang
seperti kognitif, bahasa, motorik dan kemampuan sosial (Karasavvidis dkk.,
2011). Tidak ada satupun negara di bumi bebas dari orang keterbelakangan
mental, artinya meskipun negara tersebut termasuk dalam kategori negara
sangat maju dengan kemajuan teknologinya, namun masih ada sebagian
penduduknya yang menyandang keterbelakangan mental. Menurut data
statistik WHO diperkirakan sekitar 10% dari jumlah penduduk di negara maju
dan 12% di negara berkembang mengalamai kecacatan, (Baykan, 2003
dikutip dari penulisan proposal tesis tentang keterbelakangan mental
repository.unand.ac.id). Secara umum di negara berkembang populasi orang
cacat mental memiliki angka yang lebih besar dibanding dengan cacat
lainnya. Sedangkan di negara Indonesia dari jumlah total penduduk 220 juta
jiwa terdapat sekitar 3% atau 6,6 juta orang mental rendah.
Fenomena orang keterbelakangan mental berkumpul dalam satu
kampung benar - benar terjadi di Kabupaten Ponorogo. Pada sebuah desa
yang bernama Desa Karang Patihan, Kecamatan Balong. Banyak ditemukan
warga dengan predikat cacat mental di dalamnya, oleh karena itu kampung
ini mendapat julukan sebagai kampung idiot. Diketahui bahwa salah satu
penyebab dari masalah tersebut adalah masyarakat yang kekurangan yodium,
desa ini berada di pegunungan yang kadar kandungan yodiumnya hampir
tidak ada. Predikat keterbelakangan mental di desa ini menjadikan warganya
semakin tertekan dan mengisolir diri dari hubungan sosial antar kampung,
2
akibatnya mereka harus mencukupi sendiri kebutuhannya untuk bertahan
hidup.
Meskipun secara umum orang cacat mental memiliki kekurangan pada
intelektual mereka namun harus diperhatikan juga bagaimana mereka
mengurus diri, cara bersosialisasi dan bekerja sesuai dengan umurnya.
Kemampuan tuna grahita dewasa dalam menyelesaikan pekerjaan memang
terbatas, karena IQ mereka yang rendah, hal ini akan menimbulkan asumsi
bahwa orang tuna grahita akan selalu membutuhkan bantuan. Persepsi
tersebut tidak sepenuhnya benar, karena ketika orang tuna grahita sudah
dewasa dan telah merasakan pendidikan di sekolah luar biasa, ternyata
mereka dapat tumbuh dan berkembang layaknya orang normal, hidup mandiri
dan produktif, serta tidak menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian diri
terhadap lingkungan dan keluarganya.
Permasalahannya sekarang adalah mereka merupakan sekumpulan orang
cacat mental mulai dari muda hingga dewasa yang memiliki keterbatasan
dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, tidak bisa memikirkan hal
abstrak, sulit memecahkan masalah dan mengikuti pelajaran secara akademik.
Sehingga kesempatan untuk mengembangkan hidup menjadi lebih baik sulit
untuk terwujud. Selama ini program pemerintah dan kebanyakan masyarakat
umum hanya memberikan bantuan berupa bahan makanan, uang tunai dan
barang bisa pakai, hal ini diyakini tidak memberikan hasil yang maksimal
malah menimbulkan ketergantungan lebih besar dari kaum keterbelakangan
mental, ketika bantuan berhenti mereka bingung untuk melakukan sesuatu
karena sudah merasa nyaman pada zona aman tersebut.
Berkaitan dengan hal diatas, kemampuan gerak (motorik kasar dan halus)
merupakan suatu hal yang penting dalam keluwesan aktifitas sehari-hari
seseorang pada umumnya. Agar dapat mengurus diri sendiri dan aktifitas
lainnya perlu adanya kestabilan koordinasi antara gerak motorik dengan
sensorik. Lain halnya dengan orang keterbelakangan mental yang mengacu
pada fungsi intelektual umum dibawah normal, akibat ketunagrahitaan ini
sering timbul gangguan penyertaan lain seperti gangguan pada motorik, baik
motorik kasar maupun halus. Padahal dalam aktivitas sehari-hari kedua
3
motorik ini sangat dibutuhkan, misalnya pada motorik kasar yaitu
kemampuan menggerakkan anggota tubuh yang menggunakan otot besar
seperti berjalan, berlari, atau menendang. Sedangkan kemampuan motorik
halus merupakan kemampuan gerak tubuh yang menggunakan gerak otot-otot
kecil terutama di bagian atas, seperti mata, mulut, alis, dan sebagainya.
Disamping itu, kemampuan gerakan bersamaan dengan indra penglihatan
(koordinasi gerak mata dan tangan) sangat diperlukan secara baik dan
sempurna. Menurut Jurgen Hofsab dalam Sri Muzia (2008:14) menyatakan
bahwa koordinasi gerak mata dan tangan merupakan suatu gerakan yang
sangat berkaitan satu dengan yang lainnya agar suatu pekerjaan dapat
terselesaikan dengan baik dan lancar, berurutan serta sesuai dengan
keinginan. Dengan demikian koordinasi mata dan tangan sangat berpengaruh
dan keterkaitan kepada aktivitas yang kita laksanakan. Misalnya dalam
kemampuan motorik halus seperti meremas, menempel, memindahkan
bendabenda kecil, menggunting, meronce, menulis, mewarnai gambar,
memasang tali sepatu, memasang kancing baju, namun akibat
ketunagrahitaannya semua kegiatan ini mengalami hambatan. Ketika
koordinasi antara saraf sensori dengan saraf motorik kurang berjalan dengan
baik akibatnya orang akan memerlukan waktu yang lama untuk
menyelesaikan satu kegiatan.
Gerak termasuk dalam perilaku, dengan melihat gerakan seseorang maka
sudah bisa diketahui di awal perilaku seseorang itu seperti apa. Dengan
menggunakan pendekatan human behaviour, mengutip salah satu isi yang di
tulis oleh (Yasaman Haji Esmaili) pada laporan program Master yang
berjudul Consideration Of Human Behaviour in Design A Green Office
Space For Environmentalist A Simulation Study, Dengan menyimulasikan
pengguna perilaku tertentu dalam desain baru akan mungkin untuk
memprediksi bagaimana desain akan tampil sesuai dengan kebutuhan
mereka. Berdasarkan hasil studi di atas, perlu adanya tempat pelatihan atau
workshop yang bisa menampung orang keterbelakangan mental di desa
dengan memperhatikan perilaku terutama untuk menyesuaikan gerak mereka
yang terbatas. Konsep yang ditawarkan adalah dynamic pattern yaitu suatu
4
pola pada workshop yang bisa memandu saraf motorik dengan sensorik orang
cacat mental untuk bisa bergerak lebih aktif.
Gambar 1.1. Center for the mentally handicapped in Alcolea (Taller de
Arquitectura Rico+Roa, www.archdaily.com)
Dalam perkembangannya, sudah banyak bangunan yang berpihak
terhadap eksistensi dari orang berkebutuhan khusus layaknya orang cacat
mental, mulai dari pusat rehabilitasi penyandang cacat mental, asrama bagi
orang berintelektual sangat rendah, maupun sekolah luar biasa bagi orang
keterbelakangan mental. Bisa diambil contoh yaitu Center for the mentally
hadicapped (archdaily.com) yang berada di Cordoba, Spanyol. Bangunan ini
merupakan perluasan dari bangunan yang telah ada di tahun 2004, yaitu hasil
dari kompetisi desain. Konsep yang muncul pada bangunan ini adalah
keterbukaan, akses ke dalam bangunan didesain secara menerus dari jalan
sehingga memudahkan mobilitas para penyandang cacat mental. Lokasi
berada di lereng, namun bangunan didesain dengan tanpa perbedaan
ketinggian mengikuti kemiringan lereng, hal ini dimaksudkan supaya dalam
bangunan tidak banyak ruang terbuang karena perbedaan ketinggian hal itu
juga dimaksudkan tidak memberi beban kepada penyandang cacat mental.
Konsep terbaru tempat yang berhubungan dengan orang keterbelakangan
mental yang ada sekarang ini adalah dengan mengutamakan privatisasi
individu, menjadikan perkamar yang berisi 2 sampai 3 orang cacat mental
sebagai sebuah unit terpisah dengan unit lainnya sebagai antisipasi ketika
5
beberapa orang cacat mental bertemu dan terjadi suatu hal yang tidak
diinginkan. Pada workshop yang berkonsep dinamic pattern ini bangunan
didesain dengan penyusunan material berpola mengalir, kombinasi antara
material yang bisa memasukkan cahaya matahari secara langsung, dinding
dengan pola zig-zag yang bisa melaith fungsi motorik halus orang
keterbelakangan mental.
1.2. Permasalahan rancangan
Keterbelakangan mental bukanlah penyakit, namun ketika dialami oleh
seseorang efek psikologis yang dialami terasa berat baik bagi yang
bersangkutan dan keluarga dekat. Keterbelakangan mental yang dikarenakan
tingkat intelektualnya rendah mengakibatkan gerak motorik (kasar dan halus)
terganggu, daya koordinasi antara saraf sensorik dengan motorik tidak
berjalan lancar akibatnya dalam melakukan aktifitas menjadi lambat, hal ini
bisa dilatih secara terus menerus dengan pengawasan yang rutin, dalam
lingkup arsitektur permasalahannya adalah bagaimana mengatur komposisi
komponen bangunan supaya bisa memberikan stimulasi terhadap penyandang
keterbelakangan mental tanpa melibatkan pendamping.
Gambar 1.2 kerangka pikir rumusan masalah
(Issu) Keterbelakang mental
(Konteks) Karangpatihan, Ponorogo
(Masalah) IQ dibawah normal
(Batasan masalah) Koordinasi Gerak motorik dengan sensorik
(Pendekatan) perilaku
(Solusi) konsep- DYNAMIC PATTERN
6
1.3. Tujuan perancangan
Karakteristik orang cacat mental berbeda dengan orang normal, dari
berbagai aspek. Jika dilihat dari sudut pandang perilaku, orang terbelakang
mental bisa dikenali hanya dengan gerakannya. Gerakan adalah suatu yang
sangat penting untuk melakukan kegiatan sehari-hari, ketika koordinasi antara
sensorik dengan motorik tidak berjalan sempurna, untuk melakukan aktifitas
sehari-hari akan memerlukan waktu lebih lama dibading dengan orang
normal. Dengan menggunakan pendekatan perilaku konsep perancangan
workshop diharapkan bisa memicu orang terbelakang mental itu lebih aktif
dan mandiri dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
1.4. Manfaat perancangan
Teoritis
Konsep berasal dari pengamatan perilaku orang terbelakang mental, dan
literatur yang membahas tentang keterbelakangan mental dan macam-
macamnya, dengan begitu diharapkan konsep ini bisa khazanah solusi bagi
kaum keterbelakangan mental.
Praktis
Konsep nantinya diharapkan bisa diaplikasikan secara praktis kepada
siapapun yang membutuhkan.
1.5. Batasan perancangan
Lokasi berada di desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kabupaten
Ponorogo.
Lingkup pengkajian gerak motorik penyandang tunagrahita
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Perancangan ini bertujuan untuk menghasilkan konsep rancangan bagi kaum
berkebutuhan khusus, terutama kaum keterbelakangan mental di desa Karang
Patihan, Kecamatan Balong, Ponorogo. Oleh sebab itu perlu adanya teori yang
bisa dijadikan rujukan dalam merancang desain yang sesuai bagi orang
keterbelakangan mental.
2.1. Definisi
Dalam merancang diperlukan pendekatan yang sesuai dengan apa yang
ingin disampaikan pada perancangan workshop.
Tunagahita
Pengertian tunagrahita
Istilah tuna grahita menurut (B3PTKSM, p. 19), tuna grahita merupakan
kata lain dari retardasi mental. Tuna berarti merugi, sedangkan grahita berarti
pikiran. Retardasi mental berarti terbelakang mental. Menurut (B3PTKSM,
p.19) terdapat beberapa istilah dalam menyebut kaum tuna grahita, yaitu
lemah fikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded), bodoh
atau dungu (idiot), pandir (imbecile), tolol (moron), oligofernia
(oligophernia), mampu didik (educable), mampu latih (trainable),
ketergantungan penuh (totallydependent)/butuh rawat, mental subnormal,
defisit mental, defisit kognitif, cacat mental, defisit mental, gangguan
intelektual. Pengertian menurut ahli tentang keterbelakangan mental pada
prinsipnya sama yaitu orang yang memiliki kecerdasan intelektual di bawah
normal. Berikut beberapa pengertian tentang keterbelakangan mental atau
tunagrahita menurut beberapa ahli,
American Asociation on Mental Deficiency/ AAMD dalam B3PTKSM,
(p.20) pengertian tuna grahita meliputi fungsi intelektual umum dibawah
rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes yang
8
muncul sebelum usia 16 tahun, yang menunjukan hambatan dalam
perilaku adaptif.
Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM
(p. 20-22) sebagai berikut: fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70
ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku. Kekurangan dalam
perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara
masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Menurut (Soemantri 2006: 103) tuna grahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak dengan hendaya perkembangan.
Diambil dari kata Children with Developmental Impairment. Kata
impaiment diartikan sebagai hendaya atau penurunan kemampuan
atau berkurangnya kemampuan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas,
dan kuantitas (American Heritage Dictionary, 1982:644; Maslim. R.,
2000: 119 dalam Delphine: 2006: 113)
Karakterisik tunagrahita
Karakteristik tunagrahita menurut Brown adalah sebagai berikut,
Lamban dalam mempelajari hal baru, mempunyai kesulitan dalam
mempelajari dengan kemampuan abstrak atau yang berkaitan, dan
selalu cepat lupa apa yang dipelajari tanpa latihan terus menerus.
Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru
Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tuna grahita berat.
Cacat fisik dan perkembangan gerak. Anak tuna grahita berat
mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat
berjalan, tidak dapat berdiri atai bangun tanpa bantuan. Mereka lambat
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit
menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak
tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti:
berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu
memerlukan latihan khusus untk mempelajari kemampuan dasar.
9
Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahita ringan
dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang
mempunyai tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam
memberikan pehatian terhadap lawan main.
Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak
tunagrahita erat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan
mereka seperti ritual, misalnya memutar-mutar jari di depan wajahnya
dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya
menggigit diri sendiri, membenturkan kepala.
Klasifikasi tunagrahita
Pengklasifikasian/penggolongan anak/orang tunagrahita untuk
keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental
Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai
berikut:
Educable. Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan
dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 sekolah
dasar.
Trainable. Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri,
pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. sangat terbatas kemampuan
untuk pendidikan secara akademik.
Custodial. Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus,
dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan
kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan
pengawasan dan dukungan terus menerus. Sedangkan penggolongan
tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut B3PTKSM (p. 26)
sebagai berikut :
Taraf perbatasan (border line) dalam pendidikan disebut sebagai
lamban belajar (slowlerner) dengan IQ 70 85
Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded dengan IQ
50 75
10
Tunagrahita mampu latih ( dependent of proudlley retarded
dengan Q 30 50 atau IQ 3 -55
Tunagrahita butuh rawat ( dependent of proudlly mentally
retarded dengan IQ 25 30.
Pengolongan tunagrahita secara medis biologis menurut Roan, 1979
dalam B3PTKSM sebagai berikut :
Retardasi mental taraf perbatasan ( IQ 68 85)
Retardasi mental ringan (IQ 52 67)
Retardasi mental sedang (IQ 36 51)
Retardasi mental berat ( 20 -35)
Retardasi sangat berat (IQ < 20 dan
Retardasi mental tak tergolongkan.
Adapun penggolongan tunagrahita secara sosial psikologis terbagi 2
kriteria, yaitu: Psikometrik dan perilaku adaptif.
Ada 4 taraf tunagrahita berdasarkan kriteria psikometrik menurut
skala intelegensi Wechler ( Kirk and Gallagher, 1979, dalam B3PTKSM,
p. 26) yaitu :
Retardasi mental ringan (mild mental retardation dengan IQ 55 69)
Retardasi mental sedang ( moderate mental retardation dengan IQ 40
54)
Retardasi mental berat (sever mental retardation dengan IQ 20 39)
Retardasi mental sangat berat (provan mental retardation IQ
11
Menurut standar IQ Stanford-Binet, disebutkan bahwa terdapat 4
klasifikasi pengidap tuna grahita (mental retarded) berdasarkan skor IQ
adalah,
1. Mild, ringan atau mampu didik (rentang IQ 55-70), untuk kemandirian,
dapat melakukan keterampilan tanpa selalu diawasi.
2. Moderate, mampu latih (rentang IQ 40-55), mereka dapat dilatih untuk
keterampilan tertentu.
3. Severe, membutuhkan perlindungan, pengawasan dan perawatan terus
menerus (rentang IQ 25-40).
4. Profound, mereka mengalami kesulitan secara fisik dan intelektual
(rentang IQ 25)
Sedangkan secara klinis, tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe
atau ciri-ciri jasmaniah sebagai berikut.
1. Sindroma down mongoloid; dengan ciri-ciri wajah khas mongol,
mata sipit dan miring , lidah dan bibir tebal dan suka menjulur jari
kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit kering, tebal, kasar dan
keriput, dan susunan geligi kurang baik
2. Hidrosefalus (kepala besar berisi cairan); dengan ciri kepala besar,
raut muka kecil, tengkorak sering menjadi besar
3. Mikro sefalus dan makro sefalus dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak
proporsional (terlalu kecil dan terlalu besar)
Implikasi pendidikan bagi kaum tunagrahita
Pendekatan yang dapat diberikan kepada kaum tunagrahita adalah
1. Occuppasional therapy (terapi gerak). Terapi ini diberikan kepada
anak tunagrahita untuk melatih gerak fungsional anggota tubuh (gerak
kasar dan halus)
2. Play therapy (terapi bermain). Terapi yang diberikan anak
tunagrahita dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran
terapi hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-
beli.
12
3. Activity Daily Living (ADL) atau kemampuan merawat diri.
Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan
pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari
(ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang
lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
4. Life skill (keterampilan hidup). Bagi anak tunagrahita yang
memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan dapat hidup
mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka diberikan
pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya
mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan
masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha.
5. Vocational therapy (terapi bekerja). Selain diberikan latihan
keterampilan. Dengan bekal keterampilan ang dimilikinya, anak
tunagrahita diharapkan mampu dapat bekerja.
Workshop
Pengertian workshop.
Pengertian workshop dalam bahasa Inggris cukup luas yaitu sebuah
tempat yang berfungsi sebagai tempat kerja untuk membuat barang
kerajinan. (www.artikata.com) workshop adalah kelompok kecil orang
yang dibentuk, khusus dalam membahas tentang pemecahan masalah;
sebuah toko dimana pembuatannya dilakukan dalam satu tempat
dengan hasil karya.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, arah pengertiannya lebih fokus
kepada satu tujuan, dimana di Indonesia cenderung kepada kegiatan
sekumpulan orang untuk membahas masalah dan memecahkannya.
(www.wikipedia.com) bahwa workshop itu berarti sebuah lokakarya
yang dihadiri oleh masyarakat untuk memecahkan masalah dan mencari
solusinya.
Orang yang berpartisipasi dalam workshop biasanya orang yang
ingin meningkatkan kemampuan di bidang tertentu yang mereka sukai
atau memperoleh pengetahuan tambahan dengan membahas topik dan
13
berpartisipasi dalam kegiatan dengan orang lain yang mempunyai
aspirasi yang sama.
Dynamic pattern
Pattern atau pola dalam bahasa Indonesia (wikipedia.com) adalah
bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) ang bisa
dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari
sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu
ang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang
mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Deteksi pola dasar disebut
pengenalan pola. Menurut (KBBI) pola adalah gambar yang dipakai untuk
contoh; corak; bentuk (struktur) yang tetap.
Sedangkan dynamic atau dinamis dalam bahasa Indonesia menurut
(KBBI) berarti penuh semangat dan tenaga sehingga cepat bergerak dan
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.
2.2. Teori behavior (perilaku)
Deskripsi umum
Kata perilaku menunjukkan manusia dalam beraktifitasnya secara
fisik, berupa interaksi manusia dengan sesama ataupun dengan lingkungan
fisiknya. Di sisi lain, desain arsitektur menghasilkan sesuatu yang bisa
dipegang dan dilihat. Maka dari itu hasil desain arsitektur bisa menjadi
faktor pembentuk maupun penghalang terjadinya perilaku. Merupakan
teori yang membahas tentang keterkaitan antara arsitektur dengan perilaku
manusia yang bersinggungan secara langsung. Dalam teori behaviorisme
analisa hanya dilakukan pada perilaku yang tampak saja, yang dapat
diukur, dilukiskan dan diramalkan. Teori behavioris bisa disebut sebagai
teori belajar, karena setiap perilaku manusia merupakan hasil dari
pembelajaran.
14
Behaviorisme dalam konteks arsitektur
Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap
perilakunya manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Berdasarkan
konsep teori hierarki yang dikemukakan oleh Maslow, disebutkan bahwa
manusia lebih cenderung memenuhi kebutuhan dasar lebih awal dibanding
kebutuhan lainnya. Dalam hubungannya dengan arsitektur, manusia
cenderung memilih pemenuhan fisiologis dahulu seperti tersedianya ruang
untuk berlindung, memenuhi kebutuhan ruang untuk tidur daripada
sekedar memenuhi estetika bangunan.
Manfaat penerapan behaviorisme
Pengkajian topik arsitektur berwawasan perilaku diharapkan dapat
menjadi langkah awal dalam pembentukan kepribadian atau perilaku
manusia terhadap lingkungannya. Dorongan yang timbul akibat keinginan
untuk memecahkan masalah (lingkungan) tersebut kemudian
menumbuhkan apa yang disebut ilmu psikologi lingkungan, yaitu ilmu
psikologi untuk menyatakan dan mengonsepkan lingkungan manusia.
Posisi objektifitas ilmu psikologi lingkungan adalah lebih ke arah
teoritikal, karenanya ilmu ini lebih menekankan kepada bagaimana
mendefinisikan lingkungan itu seperti apa. Untuk referensi pada objek
arsitektur diharapkan bisa menghasilkan rancangan yang dapat diterima
oleh pengguna, oleh karena itu diperlukan imajinasi dan pertimbangan
akal sehat dari perancang setiap kali merancang. Ketika mendesain harus
memperhatikan banyak aspek seperti membuat asumsi-asumsi, perkiraan
kebutuhan manusia, hingga perilaku manusia. Selanjutnya perancang
memutuskan bagaimana lingkungan yang dia desain bisa menampung
penggunanya sebaik mungkin.
Kajian literatur behaviorisme
Menurut John Locke(1632-1704), pada waktu lahir manusia tidak
mempunyai warna mental. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman adalah satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Secara
psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen
15
ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan
perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu. Terjadi kesulitan dalam
menjelaskan gejala psikologi yang timbul ketika seseorang membicarakan
tentang apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme
(Aristippus, 395 SM) mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-
satunya yang ingin dicari manusia. Kesenangan didapat langsung dari
pancaindera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan
sebanyak-banyaknya, sebab kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak
menyenangkan. Utilitarianisme (Shomali, 2005: 11) disebut sebagai teori
kebahagiaan terbesar yang mengajarkan manusia untuk meraih
kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena,
kenikmatan adalah hal satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan
adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu sesuatu yang
paling utama bagi manusia menurut (Betham) adalah bahwa kita harus
bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik
sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakan akibat-akibat buruk.
Karena kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk. Dan
apabila utilitarianisme digabungkan dengan hedonisme maka bisa disebut
dengan behaviorisme.
Scott (1974) mengatakan, arsitektur hendaknya memiliki tujuan yang
humanis. Sedangkan bagi Norberg Schulz (1986), tugas para perancang
adalah menyediakan suatu pegangan eksistensial bagi pemakainya agar
dapat mewujudkan cita-cita dan mimipinya. Charles Jencks (1971)
menambahkan bahwa dalam masyarakat yang pluralis, arsitek dutuntut
untuk mengenali berbagai konflik dan mampu mengartikulasikan bidang
sosial setiap manusia pada setiap situasi sosial tertentu. Membahas tentang
arsitektur perilaku sangat penting bagi perancangan ini karena perilaku
orang keterbelakangan mental berbeda dengan perilaku orang normal.
Mereka lebih membutuhkan penangan khusus.
Menurut Donna P. Duerk dalam bukunya yang berjudul Architectural
Programming dijelaskan bahwa manusia dan perilakunya adalah bagian
dari sistem yang menempati tempat dan lingkungan tidak dapat dipisahkan
16
secara empiris. Karena itu perilaku manusia selalu terjadi pada suatu
tempat dan dapat dievaluasi secara keseluruhan tanpa pertimbangan
faktor-faktor lingkungan. Y.B. Mangunwijaya dalam buku Wastu Citra
berpendapat bahwa arsitektur berwawasan perilaku adalah arsitektur yang
manusiawi, yang mampu memahami dan mewadahi perilaku-perilaku
manusia yang ditangkap dari berbagai macam perilaku, baik itu perilaku
pencipta, pemakai, pengamat juga perilaku alam sekitarnya. Pembahasan
perilaku disebutkan dalam Wastu Citra sebagai berikut:
Perilaku manusia didasari oleh pengaruh sosial budaya ang juga
mempengaruhi terjadinya proses arsitektur
Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan religi dari pengaruh
nilai-nilai kosmologi
Perilaku alam dan lingkungan mendasari perilaku manusia dalam
berarsitektur
Dalam berarsitektur terdapat keinginan untuk menciptakan perilaku
yang lebih baik.
Menurut Victor Papanek, dalam telaah lingkungan arsitektur harus
dipahami dua kerangka konsep yang satu menjelaskan jajaran informasi
lingkungan perilaku-perilaku yang tersedia, dan yang lain memperhatikan
proses perancangan informasi lingkungan perilaku ang paling
mempengaruhi pengambilan keputusan arsitektur.
Dalam kehidupan nyata antara manusia dengan lingkungan
mempunyai hubungan yang timbal balik, ketika manusia membentuk suatu
lingkungan, lingkungan yang tercipta akan membentuk perilaku manusia
penggunanya. Pada buku Arsitektur Perilaku Manusia karya Joyce
Marcella Laurens, dalam penelitian perilaku-lingkungan, hubungan
perilaku dan lingkungan adalah satu unit yang dipelajari dalam keadaan
saling terkait. Dengan demikian, apa yang dihasilkan adalah hubungan
sebab-akibat dari sesuatu yang dihasilkan oleh keduanya.
17
Prinsip desain teori behavior
Pada penelitian guna memperoleh gelar doktor di Royal College of
Art, Dan Lockton mengutip strategi yang dilakukan oleh Christopher
Alexander (Alexander, dkk. 1975, 1977; Alexander, 1979) menyatakan
bahwa strategi dan taktik dapat dinyatakan dalam arsitektur dalam hal
pola, yang menggambarkan masalah yang terjadi berulang-ulang di
lingkungan kita, dan menjelaskan inti solusi untuk masalah tersebut.
Objek Akhiran Cara
Simpul
aktifitas
Untuk membuat konsentrasi
manusia pada sebuah komunitas
Fasilitas harus
dikelompokkan pada
sebuah lingkungan
publik yang sangat
kecil/sempit yang
berfungsi sebagai
simpul, dengan semua
pergerakan pejalan
kaki supaya melewati
simpul-simpul ini.
Gerbang
utama
Untuk mempengaruhi penduduk
bagian dari kota untuk
mengidentifikasi sebagai entitas
yang berbeda.
Menandai setiap batas
di kota untuk
mengidentifikasi
sebagai sebuah arti
yang penting bagi
manusia. Batas klaster
bangunan, lingkungan,
sebuah kantor polisi.
Dengan pintu gerbang
dimana jalan masuk
utama lintas batas.
Bermain
yang saling
Untuk mendukung formasi
kelompok bermain bagi anak-
Tata ruang tanah
umum, jalan, kebun,
18
terhubung anak dan jembatan sehingga
kelompok minimal 64
rumah tangga yang
dihubungkan oleh
sebuah petak tanah
yang tidak melintasi
lalu lintas. Membuat
tanah ini sebagai ruang
bermain terhubung
untuk anak-anak di
dalam rumah tangga
Rumah
petani
Untuk membantu semua anggota
keluarga untuk menerima fakta
bahwa merawat diri mereka
sendiri dengan memasak adalah
menjadi bagian dari kehidupan
seperti halnya merawat diri
dengan makan.
Membuat dapur lebih
besar dari biasanya,
cukup besar untuk
menyertakan ruang
keluarga. Buatlah
cukup besar untuk
menampung meja dan
kursi yang baik,
beberapa ada yang
lembut dan beberapa
ada yang kasar, dengan
kompor yang
tenggelam di sekitar
tepi ruangan, dan
membuatnya menjadi
ruangan yang lebih
terang dan nyaman.
Ruang
pertemuan
kecil
Untuk mendorong sekelompok
kecil orang, dengan mendorong
orang untuk berkontribusi dan
Membuat setidaknya
70% dari semua ruang
rapat, untuk 12 orang
19
membuat argumen mereka
didengar.
atau kurang.
Menempatkan mereka
pada bagian paling
umum dari bangunan
tersebar merata di
antara tempat kerja.
Tabel 2.1. Prinsip desain (Lockton, 2011)
4.2.1. Gambaran umum kampung idiot Karang Patihan, Balong
Populasi orang keterbatasan mental atau tunagrahita di Ponorogo
mencapai 500 jiwa lebih. Jumlah ini merupakan jumlah terbesar di tanah
air untuk tingkat distrik atau kabupaten. Desa Karang Patihan merupakan
salah satu dari beberapa desa di Ponorogo yang warganya banyak
mengidap keterbelakangan mental atau idiot, letak desa ini sangat terpencil
dengan lokasi berada di dekat gunung tandus tidak produktif. Kebanyakan
warga idiot di desa itu merupakan orang dengan umur produktif, sehingga
pemenuhan kebutuhan sehari-hari mengandalkan warga yang normal tidak
terkecuali orang yang kondisinya sudah sangat tua.
Desa tersebut sering diliput media bukan karena prestasinya
melainkan fenomena aneh yaitu banyak orang idiot yang berkumpul dalam
satu kampung. Sehingga seringkali mendapat julukan Kampung Idiot.
Seringkali banyak pihak yang membantu desa tersebut dalam bentuk
bantuan logistik, maupun uang tunai. Namun hal tersebut ditengarai
kurang tepat karena jika mereka selalu mendapat bantuan materi, mereka
akan selalu bergantung kepada bantuan itu, sehingga kondisi ini tidak akan
lebih baik daripada ketika mereka tidak mendapat bantuan. .
Di Desa Karangpatihan, warga idiot hanya memiliki harapan hidup
sampai 30 - 40 tahun saja. Kecilnya harapan hidup ini, akibat minimnya
asupan gizi yang diterima. Dalam sehari-hari, sebagian besar warga idiot,
mengonsumsi nasi tiwul yang terkadang sudah dikeringkan, atau menjadi
nasi aking. Kebutuhan sehari-hari pun, terkadang warga idiot memerlukan
20
bantuan dari pihak lain, seperti pemerintah dan masyarakat. Dalam setiap
bulan, selalu saja ada masyarakat atau instansi yang memberikan
sumbangan dan bantuan bagi warga kampung idiot.
Gambar 2.1. kondisi warga di kampung idiot (sumber:google.com)
Faktor genetis yang kerap dijadikan faktor utama merupakan kesalahan
yang dilakukan oleh warga setempat yang melakukan perkawinan sedarah.
Hal ini juga tidak lepas dari minimnya pendidikan masyarakat dan kondisi
demografi daerah yang terpencil tidak terjadi interaksi dengan penduduk
daerah lainnya.
Orang dengan keterbelakangan mental bukan penderita penyakit yang
dapat disembuhkan jika selalu minum obat secara rutin, melainkan tidak
mempunyai kemampuan seperti layaknya orang normal, seperti intelegensi
rendah, dan kemandirian, mereka masih membutuhkan bantuan, American
Association on Mental retardation (1992) menyusun sistem klasifikasi baru
berdasarkan tingkat dukungan yang dibutuhkan seseorang untuk
melaksanakan fungsi mereka pada level tertinggi. Klasifikasi tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Intermittent, dukungan diberikan saat dibutuhkan individu mungkin
membutuhkan dukungan episodik atau dukungan jangka pendek selama
transisi dalam kehidupan.
21
2. Limited, dukungan cukup intens dan relatif konsisten dari waktu ke waktu.
Dukungan itu dibatasi waktu (time-limited) tetapi tidak diselingi dengan
jeda.
3. Extensive, dukungan diberikan secara reguler (misal, tiap hari) tidak
dibatasi waktu.
4. Pervasive, dukungan diberikan terus menerus (konstan).
Berdasarkan hasil klasifikasi di atas, orang tuna grahita diyakini masih
bisa latih dan punya kemampuan berkembang meskipun hasil yang diperoleh
tidak akan pernah sesuai ekspektasi, namun yang diharapkan adalah
bagaimanakaum keterbelakangan mental tersebut berdaya dan mampu untuk
hidup mandiri tanpa bantuan orang luar. Oleh karena itu mereka
membutuhkan wadah untuk bisa berkarya, yaitu sebuah workshop.
2.3. Kriteria
Sudah diketahui secara umum bahwa kabupaten Ponorogo merupakan
daerah lahirnya seni tari reog yang diakui dunia, namun masyarakat luar juga
mengetahui bahwa dibalik itu semua terdapat fenomena kampung idiot
dimana kebanyakan penghuni kampung itu mengidap keterbelakangan mental
yang sampai sekarang belum terselesaikan. Kondisi tersebut diperparah
dengan potret kehidupan mereka jauh di bawah kelayakan. Maka kriteria
yang harus dilakukan adalah
Desain workshop sebaiknya bisa menampung orang cacat mental
Konsep workshop seharus bisa memacu kinerja gerak motorik dengan
saraf sensorik pengidap keterbelakangan mental
Desain workshop seharusnya tanggap terhadap iklim setempat.
22
2.4. Studi Preseden
2.4.1. Dormitory for Mentally Disabled
Nama proyek : Dormitory for Mentally Disabled
Fungsi : Asrama bagi orang keterbelakangan mental
Arsitek : Sou Fujimoto
Lokasi : Hokkaido, Jepang
Gambar 2.2. Dormitory for Mentally Disabled (sumber:
http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-fujimoto-
architects/)
Asrama bagi kaum keterbelakangan mental dirancang oleh firma
arsitektur Jepang, Sou Fujimoto Architect yang berada di lereng bukit yang
landai menghadap Hokkaido, Jepang, dan menyediakan akomodasi untuk
dua puluh orang pengidap keterbelakangan mental. Dengan ukuran modul
ruang sekitar 5,4 m, disusun berkelok-kelok dan menghasilkan ruang
segitiga diantara modul. Mengadopsi kepentingan masa kini dalam
menerapkan bahan cladding tunggal untuk kedua dinding dan atap,
selubung bangunan hanya diartikulasikan dalam warna gelap cladding.
Gambar 2.3. Denah Asrama orang keterbatasan mental (sumber:
http://coolboom.net/architecture/residential-care-unit-by-sou-fujimoto-
architects/)
23
Kajian perilaku keterbelakang mental terhadap bangunan
Cacat mental merupakan keadaan kemampuan mental di bawah normal
yang tidak dapat disembuhkan, tetapi bisa diperingan melalui pendidikan,
bimbingan, latihan, dan perlakuan-perlakuan. Pada kasus bangunan
preseden ini adalah mengumpulkan orang dengan keterbatasan mental
menjadi satu dalam bangunan asrama.
Hampir semua unit terdiri dari 2 lantai, kecuali pada unit yang terletak
di bagian lereng tertinggi. Meskipun terletak di daerah berkontur namun
bangunan tidak mengikuti kontur setempat. Semua lantai di desain merata
tanpa perbedaan tingkat ketinggian. Bagian utama pada bangunan ini adalah
pada modul 5,4m dimana difungsikan sebagai tempat aktifitas utama, yaitu
tempat tidur, kamar mandi, tempat berkumpul, dsb. Sedangkan ruang yang
terbentuk dari pertemuan antar modul berfungsi sebagai ruang kecil.
Perlakuan terhadap orang pengidap keterbelakangan mental tidak hanya
dilakukan secara aktif namun secara tidak langsung bangunan itu juga
berperan dalam memberikan membentuk perilaku penghuni
keterbelakangan mental. Dalam asrama itu perlakuan desain yang paling
tampak yaitu bagaimana perancang mengelompokkan ruang tidur bagi
penyandang keterbelakangan mental per luasan 5,4m. Perancang mencoba
meminimalisir terjadinya kontak fisik yang tidak diharapkan antar pengidap
keterbelakangan mental. Jadi dalam modul 5,4m hanya menyediakan
tempat tidur 2 buah.
Perlakuan terhadap orang dengan keterbelakangan mental harus
berbeda dengan orang normal pada umumnya, ketika orang normal menuju
ke sebuah tempat dan berada di ruang dengan banyak sirkulasi atau jalan,
dengan mudah mereka mampu mempertimbangkan jalan mana yang lebih
mudah dicapai, berbeda dengan pengidap keterbelakangan mental, sehingga
Sou Fujimoto memberikan model sirkulasi linear yang memudahkan
pengidap keterbelakangan mental menuju ke tempat yang dimaksud.
24
2.4.2. Center for the Mentally Handicapped in Alcolea
Nama Proyek : Center for the Mentally Handicapped
Fungsi : Pusat rehabilitasi bagi penyandang cacat mental
Arsitek : Taller de Arquetectura Rico+Roa
Lokasi : Cordoba, Spanyol
Pusat cacat mental di Alcolea diusulkan sebagai perluasan gedung yang
sudah ada berdasarkan kompetisi ide yang diadakan pada tahun 2004. Pada
kompetisi ini dibebaskan untuk memilih lokasi dari bangunan. pada
akhirnya lokasi yang terpilih adalah tempat yang berhubungan dengan
lembah Alcolea. Di sebelah utara, latar belakang kanvas dari Sierra de
Cordoba. Di sebelah timur, pemandangan yang dihasilkan oleh penurunan
tajam ke lembah dan lereng bukit di seberang sungai Guadalbarbo
menawarkan pemandangan indah. Di sebelah barat, bangunan ini
melindungi dari terpaan cahaya matahari yang menyengat.
Gambar 2.4. Pusat cacat mental di Alcolea (sumber:
http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-handicapped-in-
alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/)
Kajian perilaku keterbelakangan mental terhadap bangunan
Bangunan didesain tidak mengikuti kontur tanah yang miring. Terdiri
dari 2 lantai, dimana lantai bawah berfungsi sebagai lantai transisi dari luar
25
menuju ke lantai 2 yang merupakan tempat aktifitas utama. Secara manfaat,
desain bangunan ini mencoba untuk meminimalkan pergerakan antar level
karena untuk memudahkan mobilitas dari pengidap keterbelakangan mental.
Orang dengan keterbelakangan mental mempunyai kepribadian yang sulit
untuk diprediksi, hal ini terkait dengan tingkat emosi yang bersangkutan
sangat labil. Apabila desain lantai bangunan ini menggunakan perbedaan
ketinggian, maka secara tidak langsung akan menghasilkan ruang-ruang
yang luput dari perhatian, sehingga bisa memberi peluang bagi orang
keterbatasan mental ini melakukan hal-hal diluar dugaan.
Gambar 2.5. Potongan pusat cacat mental (sumber:
http://www.archdaily.com/367366/center-for-the-mentally-handicapped-in-
alcolea-taller-de-arquitectura-rico-roa/)
2.4.3. Kesimpulan kajian pustaka
Dari kajian pustaka bisa diambil kesimpulan bahwa orang
keterbelakangan mental mempunyai beberapa kekurangan salah satunya
kesulitan dalam bergerak diakibatkan intelektual yang rendah, maka tingkat
koordinasi antara gerak motorik dengan sensorik agak terganggu akibatnya
aktifitas yang seharusnya dilakukan secara normal, namun karena orang
mengidap keterbelakangan mental, aktiftas sehari-hari butuh waktu yang
lama dan perlu bimbingan dari keluarga terdekat.
Berdasarkan pengamatan terhadap ketiga preseden, bisa diambil
pelajaran bahwa
Jika desain itu bersifat menempel/melekat dengan bangunan lain dan
masih memiliki keterakaitan dengannya maka bangunan baru itu
seharusnya bangunan baru itu mempunyai manfaat pada bangunan yang
menjadi media melekatnya.
26
Desain bangunan bagi orang keterbelakangan mental lebih mengarah ke
antisipasi orang terbelakang mental melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Orang dengan keterbelakangan mental mempunyai pemikiran yang
sederhana, sehingga bangunan yang terkait harusnya lebih
memudahkannya untuk beraktifitas.
Perilaku orang keterbelakangan mental muncul sesuai dengan kondosi
psikologis mereka, pada kedua bangunan kajian preseden diatas bisa
diambil pelajaran bahwa setiap arsitek mempunyai alasan masing-
masing untuk membentuk perilaku, namun ada kesamaan pada tidak
adanya sebuah perbedaan level ketinggian lantai untuk aktifitas
penghuni.
Pada studi kasus asrama bagi orang keterbelakangan mental pola
penyusunan ruang adalah membatasi perilaku menyimpang antar orang
terbelakang mental dengan bentuk modular, jadi bentuk ini bisa
mengurangi interaksi antar sesama orang keterbelakangan mental.
27
BAB III
METODOLOGI
Permasalahan desain tesis yang diangkat adalah bagaimana merancang
tempat pelatihan atau workshop bagi kaum keterbelakangan mental di Desa
Karang Patihan Ponorogo, dengan pendekatan perilaku. Luaran desain yang
diharapkan adalah bagaimana hasil desain tersebut bermanfaat bagi kaum
keterbelakangan mental dimana perilaku menjadi objek penelitian paling utama.
Workshop dengan konsep dynamic pattern adalah salah satu cara bagaimana
desain itu tanggap terhadap perilaku pengguna, menurut (Winston Churcill, 1943)
Kita mendesain bangunan, setelah itu bangunan itu balik mendesain kita.
Sebelum melakukan perancangan, hal pertama yang dilakukan ialah dengan
menggunakan penelitian, sedangkan penelitian juga mempunya metode.
3.1. Desain Problem
Ill defined-well structured problems.
Issu yang diangkat pada perancangan kali ini adalah tentang keterbelakangan
mental yang terjadi di desa Karang Patihan, Kecamatan Balong, Kabupaten
Ponorogo, dimana kebanyakan warganya mengalami gangguan kecerdasan
intelektual. Penyebab yang diketahui salah satunya adalah air pegunungan tidak
mengandung unsur yodium, sehingga perkembangan fisik warga mengalami
gangguan. Selama ini masyarakat dan pemerintah telah melakukan berbagai
macam bantuan ke desa berupa sembako atau dana namun hasil yang didapatkan
dinilai kurang tepat dikarenakan masalah utama adalah orang cacat mental
tersebut jika selalu mendapat asupan bantuan maka mereka akan selalu
bergantung kepada bantuan itu. Seharusnya yang dilakukan adalah
memberdayakan orang cacat mental terhadap sesuatu yang pada akhirnya mereka
juga menikmati hasil campur tangan mereka. Oleh karena itu harus ada wadah
untuk melatih orang keterbelakangan mental supaya mereka bisa mandiri dan
tidak lagi bergantung kepada bantuan. Wadah tersebut adalah workshop tempat
pelatihan untuk kaum keterbelakangan mental.
28
3.2. Proses Desain
Dalam proses eksplorasi desain kali ini, proses desain yang digunakan adalah
Archers model, yaitu jenis Prescriptive Model yang sifat proses desainnya yaitu
memberi petunjuk. Proses desain ini lebih ke arah interaksi/hubungan dengan
dunia lain diluar proses desain, seperti informasi dari klien, desainer yang terlatih
dan berpengalaman, dan informasi lainnya yang masih banyak. Hasil dari design
process ini adalah solusi yang lebih spesifik dengan banyak pertimbangan yang
diajukan ke klien. Semua macam variasi input dan output proses desain terletak
diluar design process utama itu sendiri dimana langkah-langkah proses ini terjadi
secara loop atau berulang.
Gambar 3.1. skema desain proses Archers model (Sumber: Cross, 1995)
Model design process ini menuntut untuk mencari informasi sebanyak
banyaknya tentang objek yang akan dikerjakan, mulai dari informasi tentang
lokasi, lingkungan sekitar, dll. Selain itu arsitek yang terlatih dan berpengalaman
juga bisa memberikan nilai tambah pada model seperti ini.
Pada model ini Archer mengklasifikasikan 6 tipe aktivitas di dalamnya
yaitu:
1. Programming, yaitu membuat issu utama, sudah memulai mengusulkan
rangkaian kegiatan
29
2. Data collection, yaitu mengoleksi, mengklasifikasi, dan mengoleksi
banyak data.
3. Analysis, yaitu mulai mengidentifikasi sub-problem yang ada, menyiapkan
desain-desain kasar, menilai kembali usulan yang telah dibuat.
4. Synthesis, yaitu menyiapkan garis besar desain yang diusulkan
5. Development, yaitu mengembangkan desain prototipe, dan menyiapkan
studi kelayakan
6. Communication, yaitu menyiapkan segala sesuatu yang akan ajukan ke
klien
Selanjutnya Archer menyimpulkan dan membagi ke dalam 3 fase yaitu:
Gambar 3.2. pengelompokan fase menurut Archer.
Pada gambar di atas terdapat 3 fase penting yang bisa memberikan arahan
bagi perancang untuk mengetahui secara sadar pada posisi mana perancang
bekerja, yaitu
Analitical phase yang didalamnya terdapat proses programming dan data
collection, kegiatan yang dilakukan meliputi observasi, pengukuran, induksi
30
dan pertimbangan-pertimbangan. Pada proses ini data harus bagus dan lengkap
sehingga dalam menganalisa akan menghasilkan hasil yang baik.
Creative phase diisi oleh analisa, sintesa, dan pengembangan, kegiatan yang
dilakukan diantaranya adalah evaluasi, penilaian, deduktif, pertimbangan-
pertimbangan dan keputusan. Creative phase merupakan langkah bagi
perancang untuk mendefinisikan sesuai dengan kreativitasnya.
Executive phase terdapat proses komunikasi dengan kegiatan yang dilakukan
adalah mendeskripsikan, mengartikan dan mentransmisi. Fase ini merupakan
fase matang yang telah di proses pada fase kreatif sebelumnya.
Dalam kegiatan merancang tahapan yang dilakukan oleh perancangan
disesuaikan dengan gambar 3.2. adalah sebagai berikut,
Gambar 3.3. Pengembangan metode
1. Analithical phase. Dalam fase ini diperlukan kelengkapan dan keakuratan
data, sehingga mudah untuk dianalisa. Metode yang dilakukan adalah
kelompok methods of exploring problem structure, yaitu classification of
design information, yang sifatnya mengelompokkan desain problem ke dalam
bagian-bagian yang mudah untuk dikelola.
Methods of Exploring Problem Structure
Berkaitan dengan menentukan pokok masalah yang mampu
ditransformasikan ke dalam ranah arsitektur seharusnya yang dilakukan
pertama kali yaitu aktifitas mengeksplorasi berbagai masalah yang terkait.
Dimana masalah tersebut tidak hanya dipandang dalam satu sudut,
31
melainkan beberapa sudut pandang yang sudah ditentukan dari awal.
Selanjutnya untuk menemukan problem struktur yang bisa dijadikan bahan
dalam merancang adalah dengan mengklasifikasikan berbagai informasi
desain terkait dengan orang cacat mental ke dalam susunan atau daftar
yang mudah untuk dijelaskan dan dipahami. Berikut merupakan
pengelompokan beberapa informasi ke dalam bentuk daftar.
Fakta Fenomena
Warga kekurangan yodium Banyak warga desa cacat mental
Kondisi warga miskin Tidak ada kaum cacat mental
yang pernah didik atau latih
Keadaan desa yang terisolir Rata-rata orang cacat mental
berumur produktif
Bantuan pemerintah hanya bersifat temporer
Cacat mental mempunyai IQ rendah
Orang cacat mental yang ketergantungannya besar
Mobilitas orang cacat mental terbatas
Tabel 3.1. Pengelompokan informasi desain
2. Creative phase. Pada fase ini kreativitas harus dilakukan secara sadar,
sehingga bisa dipertanggung jawabkan oleh karena itu jenis metode yang
dipilih adalah methods of searching for ideas. Metode yang dipilih berupa
morphological chart, yang sifatnya memperluas area dalam mencari solusi
yang tepat. Dalam fase kreatif ini juga menggunakan metode evaluasi. Artinya
evaluasi adalah tenik untuk memeriksa apakah desain sudah memenuhi
kriteria atau belum.
Methods of Searching for Ideas
Dalam berpikir kreatif seringkali memerlukan waktu untuk mendapat ide
yang sesuai dengan apa yang diinginkan sehingga tidak tahu kapan ide itu
keluar, selain itu ide kreatif juga seringkali sulit dievaluasi dan dijelaskan
prosesnya karena muncul dengan sendirinya, pada perancangan kali ini
metode untuk menemukan ide yang bisa dievaluasi adalah menggunakan
morphological chart. Metode ini bertujuan memperluas wilayah pencarian
solusi-solusi atas sebuah masalah desain.
32
Evaluasi
Tahapan evaluasi dimasukkan ke fase kreatif karena masih dalam proses
mengambil keputusan desain namun berada pada langkah akhir tahap fase
kreatif, tanpa ada produk jadi metode evaluasi tidak akan berjalan.
3. Executive phase. Adalah bagian terakhir dari 3 fase yang berisi tentang desain
akhir berisi tentang gambar konseptual lengkap dan jelas sehingga bisa
dikomunikasikan.
3.3. Metode desain
Secara fisik kondisi bangunan desa setempat bisa dikatakan bergaya arsitektur
tradisional, dengan atap joglo, belum banyak terpengaruh gaya modernisme.
Sebagai masyarakat tradisional, adat istiadat masih dijunjung dengan baik, ketika
ada bangunan baru muncul masyarakat tradisional akan lebih menerima baik jika
bangunan itu juga mengikuti apa ang menjadi pakem mereka sejak dahulu,
sehingga metode desain yang digunakan adalah Regionalism Method, pada buku
Basic Design Methods karya Kari Jormakka (2007). Metode ini merupakan
bagian dari response to site, dimana acuan desain bangunan nantinya sangat
bergantung pada hasil penggalian informasi tentang site.
Beberapa ciri dari arsitektur regionalisme diantaranya menggunakan material
lokal, mengikutsertakan masyarakat setempat dalam hal membangun, mengadopsi
gaya lingkungan sekitar ke dalam desain arsitektur. Oleh karena itu dalam
memudahkan menerapkan metode regionalisme ke dalam desain bangunan
dibutuhkan sebuah pendekatan yaitu pendekatan tipologi bangunan, yaitu salah
satu cara dengan mengamati ciri-ciri bangunan di sekitarnya.
Regionalism
Desain
Tipologi
33
Metode regionalisme merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk
perancangan bagi kaum keterbelakangan mental di Desa Karang Patihan, karena
sesuai dengan sifatnya yang respon to site, penggunaan metode ini merupakan
hasil dari pengoleksian data-data yang telah didapat selama penelitian, sehingga
perancangan ini bisa sesuai dengan budaya dan iklim setempat.
3.5.1. Penjelasan desain proses dengan desain pengembangan
Gambar 3.4. merupakan pengembangan desain dari desain proses yang telah
dijelaskan sebelumnya, terdapat penjelasan kegiatan apa saja yang dilakukan pada
setiap proses desain.
1. Analithical phase. Kegiatan pertama yang harus dilakukan adalah dengan
mengangkat issu utama yang menjadi bahan rancang. Setelah kegiatan
menentukan issu utama, proses selanjutnya dengan mencari literatur dan
sumber informasi dan literatur berkaitan dengan issu yang diangkat, dalam
mencari informasi dan literatur menggunakan metode classification of
design information. Dengan metode tersebut data yang diperoleh jelas dan
lengkap. Setelah mendapat beberapa informasi tentang issu yang diangkat,
dari informasi yang didapat, diambil salah satu atau beberapa yang bisa
dijadikan bahan dalam metode regionalisasi, (mis. tipologi bangunan).
pada analithical phase ini issu utama dijabarkan ke dalam problem-
problem kecil sehingga mudah dalam pengelolaanya.
2. Fase Transisi analithical-creative phase. Fase ini berupa desain kasaran
yang berisi tentang ide awal dikombinasikan dengan informasi informasi
yang telah didapat.
3. Creative phase. Di wilayah ini proses dimulai dari desain konsep 1. Proses
ini merupakan turunan dari desain kasar yang telah dikembangkan karena
mendapat sisipan informasi sub problem dari penjabaran issu utama yang
telah dilakukan pada proses analithical phase. Output yang dihasilkan
adalah pengembangan desain ang lebih akurat daripada desain kasaran.
Ketika dalam proses desain konsep 1 disisipkan metode regionalsme.
Hasilnya berupa desain konsep matang (desain konsep 2). Setelah
menghasilkan desain konsep matang langkah selanjutnya dievaluasi
34
apakah hasilnya sudah sesuai kriteria yang diinginkan atau belum. Jika
belum mencapai kriteria yang diinginkan maka langkah yang ditempuh
kembali lagi ke desain kasar pada fase transisi, karena pada fase ini
merupakan fase dimana pentransferan data yang diperoleh ke dalam ranah
arsitektur. Sehingga proses yang terjadi secara loop/ bolak-balik hingga
mendapat desain yang sesuai.
Pada gambar 3.5. merupakan penjelasan bagaimana metode regionalisme
dilakukan. Langkah paling mudah untuk merumuskan metode regionalisme yaitu
dengan pendekatan tipologi bangunan. Dengan mengambil sampel dan mengamati
tipologi bangunan setempat pada fase analitik. Selanjutnya pada fase kreatif
mengombinasikan antara bentuk-bentuk bangunan yang ada maka didapatkan
bentukan yang sesuai dengan kondisi setempat.
35
Gambar 3.4. Diagram pengembangan metode
36
Gambar 3.5. Metode regionalisme
37
Daftar pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Mangunwijaya, Y.B; Wastu Citra
Duerk, P. Donna; Architecture Programming
Yasaman Haji Esmaili; 2011;Consideration Of Human Behaviour in Design
A Green Office Space For Environmentalist A Simulation Study
Cross, Nigel (1995); Engineering Design Methods; 2nd edition, John Wiley &
Son, Inc; Milton Keynes; UK
Laurens, J. M. (tidak ada tahun); Arsitektur Perilaku; Irasindo;
Lockton; 2011; Architecture, urbanism, design and behaviour: a brief review;
http://www.learnersdictionary.com/definition/workshop, diakses tanggal 30
Maret 2014
http://id.wiktionary.org/wiki/menempel, diakses tanggal 30 Maret 2014
http://adinda-trianda.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none.html
http://kbbi.web.id/idiot, diakses pada tanggal 3 Maret 2015, pukul 08.12
http://www.infospesial.net/old/indonesia/fenomena-kampung-idiot-di-
ponorogo.html, diakses pada tanggal 2 Maret 2015, pukul 22.00