BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
URINE
Urine merupakan cairan sisa metabolisme yang diekskresikan oleh ginjal,
kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Proses
pengeluaran urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah
yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga keadaan homeostasis cairan tubuh.
Secara umum urin berwarna kuning, urin berbau khas (ammonia). pH urin
berkisar antara 4,8 – 7,5, urin, akan menjadi lebih asam jika mengkonsumsi
banyak protein,dan urin akan menjadi lebih basa jika mengkonsumsi banyak
sayuran. Secara kimiawi kandungan zat dalan urin diantaranya adalah sampah
nitrogen (ureum, kreatinin dan asam urat), asam hipurat zat sisa pencernaan
sayuran dan buah, badan keton zat sisa metabolism lemak, ion-ion elektrolit (Na,
Cl, K, Amonium, sulfat, Ca dan Mg), hormone, zat toksin (obat, vitamin dan zat
kimia asing), zat abnormal (protein, glukosa, sel darah Kristal kapur)
Volume urin normal per hari adalah 900 – 1200 ml, volume tersebut
dipengaruhi banyak faktor diantaranya suhu, zat-zat diuretika (teh, alcohol, dan
kopi), jumlah air minum, hormon ADH, dan emosi. Zat-zat diuretika tak hanya
mempengaruhi volume urin normal, tetapi juga mempengaruhi pH urine dan
warna Urine.
AKTIVITAS DIURETIK
Aktivitas diuretik adalah suatu aktivitas yang mempengaruhi kerja
metabolic ginjal dalam proses pengeluaran kemih (dieresis). Aktivitas diuretic
sendiri dipengaruhi oleh zat-zat diuretic yang dapat memperbanyak pengeluaran
urine, dengan mekanisme kerja langsung maupun tidak langsung. Mekanisme
kerja langsung adalah dengan mempengaruhi kerja metabolic ginjal dalam
memproduksi hasil ekskresi. Sedangkan mekanisme kerja tidak langsung adalah
dengan memperkuat kerja kontraksi jantung, memperbesar volume darah, atau
dengan merintangi sekresi hormone antidiuretik. Fungsi utama dari aktivitas
diuretic adalah untuk memobilisasi cairan udema, yang artinya mengubah
keseimbangan cairan, sehingga cairan ekstrasel menjadi normal atau dalam
keadaan homeostatis. Aktivitas diuretic dimulai dari mengalirnya darah ke dalam
glomerolus, dimana tempat terjadi proses filtrasi. Ultrafitrat yang didapat dari
proses filtrasi pertama ini, di lanjutkan ke tubulus proksimal dan distal, dimana
kedua bagian tersebut di hubungkan oleh lengkung henle. Pada lengkung henle
inilah, terjadi aktivitas diuretic (dalam hal ini yaitu memperbanyak volume
urine),yaitu penyerapan kembali unsure-unsur yang dibutuhkan oleh tubuh, yaitu
air, garam, maupun zat-zat lainnya. Dalam mekanisme kerja langsung aktivitas
diuretic, dipengaruhi oleh zat-zat diuretic kimiawi, salahsatunya adalah
furosemide.
FUROSEMIDE
Furosemide adalah suatu zat yang bekerja dalam proses Inhibisi reabsorpsi
natrium dan klorida pada lengkung Henle ascendens dan tubulus distal, yang
mempengaruhi kerja sistem ko-transpor ikatan klorida, untuk kemudian
meningkatkan ekskresi air, natrium, klorida magnesium dan kalsium. Furosemide
sendiri biasa digunakan untuk mengurangi kasus pembengakakan dan
penyimpanan cairan pada masalah kesehatan seperti penyakit jantung dan sirosis
hati. Penggunaan furosemide berlebih dapat menyebabkan efeksamping yang
berkelanjutan seperti dehidrasi, anemia dan emboli. Untuk itulah dalam
pemakaian obat / zat furosemide harus sesuai takaran atau dosis yang tepat,
sehingga tidak menyebabkan terjadinya efek samping yang berlebihan.
Berdasarkan penjabaran mengenai pengaruh peningkatan aktivitas diuretic
dengan zat furosemide dapat menyebabkan efek samping berkelanjutan. Maka
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis furosemide
terhadap aktivitas diuretic pada tikus.
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh
peningkatan dosis furosemid terhadap aktivitas diuretic yaitu; volume urin, pH
urin dan warna urin pada tikus putih (Rattus Novergicus).
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh
peningkatan dosis furosemid terhadap aktivitas diuretic yaitu; volume urine, pH
urine, dan warna urine pada tikus putih (Rattus Novergicus).
1.4 Rumusan masalah
- Bagaimanakah aktivitas diuretic pada tikus normal ?
- Bagaimanakah aktivitas diuretic pada tikus setelah pemberian furosemid
yang sesuai dengan dosis ?
- Adakah pengaruh peningkatan dosis pemberian furosemid terhadap aktivitas
diuretic tikus yaitu; volume urine, pH urine, dan warna urine pada tikus
putih?
- Bagaimanakah pengaruh peningkatan dosis pemberian furosemid terhadap
aktivitas diuretic tikus ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DIURETIK
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dalam air.
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem yang berarti
mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan
ekstrasel menjadi normal. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah ke
dalam glomeruli (gumpalan kapiler) yang terletak di bagian luar ginjal (cortex).
Dinding glomeruli inilah yang bekerja sebagai saringan halus yang secara pasif
dapat dilintasi air,m garam dan glukosa. Ultrafiltrat yang diperoleh dari filtrasi
dan mengandung banyak air serta elektrolit ditampung di wadah, yang
mengelilingi setiap glomerulus seperti corong (kapsul Bowman) dan kemudian
disalurkan ke pipa kecil. Di sini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan
komponen yang sangat penting bagi tubuh, seperti glukosa dan garam-garam
antara lain ion Na+. Zat-zat ini dikembalikan pada darah melalui kapiler yang
mengelilingi tubuli.sisanya yang tak berguna seperti ”sampah” perombakan
metabolisme-protein (ureum) untuk sebagian besar tidak diserap kembali.
Akhirnya filtrat dari semua tubuli ditampung di suatu saluran pengumpul
(ductus coligens), di mana terutama berlangsung penyerapan air kembali. Filtrat
akhir disalurkan ke kandung kemih dan ditimbun sebagai urin.
Manfaat lain dari diuretic adalah diuretik juga dapat menurunkan tekanan
darah terutama dengan cara mendeplesikan simpanan natrium tubuh. Awalnya,
diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah
jantung, tahanan vaskuler perifer. Penurunan tekanan darah dapat terlihat dengan
terjadinya diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke
volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan
darah.
Mekanisme kerja diuretik
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik :
1. Tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yangbekerja pada daerah yang
reabsorbsi natrium sedikit, akanmemberi efek yang lebih kecil bila
dibandingkan dengan diure-tik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium banyak.
2. Status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal
ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap
diuretik.
3. Interaksi antara obat dengan reseptor.
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :
1. Inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid).
2. Loop diuretik (furosemid, as etakrinat, torsemid, bumetanid)
3. Tiazid (klorotiazid, hidroklorotiazid, klortalidon)
4. Hemat kalium (amilorid, spironolakton, triamteren)
5. Osmotik (manitol, urea)
Menurut Siswandono dan Bambang (1995), berdasarkan efek yang
dihasilkan diuretikum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Diuretikum yang hanya meningkatkan ekskresi air dan tidak mempengaruhi
kadar elektrolit tubuh (diuretik osmotik) contohnya gliserol, urea, dan manitol.
2. Diuretikum yang dapat meningkatkan ekskresi Na+ (natriuretik) contohnya
HCT (Hydro Cloro Thiazid), triklormetiazid, butizida, politiazida, dan
bendroflumetiazida.
3. Diuretikum yang dapat meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- (saluretika)
contohnya furosemid dan bumetanid.
Golongan obat diuretik yang lain adalah obat penghambat mekanisme
transport elektrolit di dalam tubuli ginjal dengan cara menghambat karbonik
anhidrase contohnya asetazolamid dan diklorpenamid. Karbonik anhidrase adalah
enzim yang mengkatalis reaksi
CO2 + H2O H2CO3. Di dalam tubuh, H2CO3 berada dalam keseimbangan
dengan H+ dan HCO3- yang sangat penting dalam sistem buffer darah. Ion ini juga
penting pada proses reabsorbsi ion tetap dalam tubuli ginjal, sekresi lambung dan
beberapa proses lain dalam tubuh.
Diuretikum terutama digunakan untuk mengurangi sembab (oedema)
diantaranya oedema akut, oedema kronik, hipertensi, dan insufisiensi jantung
selain itu indikasi sampingan sebagai diuresis dipaksakan pada keracunan,diabetes
insipidus, dan glaukoma. Walaupun demikian, diuretik hanya mempunyai
kemampuan sebagai terapi penunjang dari terapi yang khusus. Efek samping dari
penggunaan diuretik dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan elektrolit dan
air. Pada penggunaan diuretik ansa Henle dan tiazid dapat menyebabkan
kehilangan kalium, disamping itu ekskresi ion magnesium juga bertambah
(Mutscher 1991).
B. FUROSEMID
Furosemide atau ‘pil air’, adalah obat yang digunakan untuk mengurangi
bengkak/edema dan penyimpanan cairan yang disebabkan oleh berbagai macam
masalah kesehatan, termasuk penyakit jantung atau hati. Furosemide juga
digunakan untuk pengobatan tekanan darah tinggi/hipertensi. Furosemide bekerja
dengan membloking absorpsi garam dan cairan dalam tubulus ginjal, sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah urin yang diekskresikan. Efek diuretik
furosemide dapat menyebabkan deplesi cairan tubuh dan elektrolit dalam tubuh.
Furosemid tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan preparat
suntikan. Umunya pasien (manusia) membutuhkan kurang dari 600 mg/hari.
Dosis anak 2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB.
Furosemid merupakan kelompok diuretika kuat yang telah teruji secara medis
ilmiah. Sebagai diuretika kuat, furosemid merupakan obat yang paling sering
digunakan di Indonesia, yaitu sekitar 60% dibandingkan dengan diuretika kuat
yang lain. Hal ini terjadi karena mula kerja, waktu paruh dan waktu relative
singkat, sehingga efek diretiknya cepat timbul dan sangat cocok digunakan untuk
keadaan akut, namun sangat disayangkan, pemakaian furosemid dapat
menimbulkan efek samping gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
terutama ion Na dan K. kedua ion ini banyak yang dieksresikan, sehingga bisa
menimbulkan hiponatreinema dan hipokalemia (Agoes, 1992; Ganiswara S.G,
1995; Mutschler E, 1991).
C. HEWAN PERCOBAAN
Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan yang
khusus diternakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan labboratorium
tersebut digunakan sebagai model untuk peneltian pengaruh bahan kimia atau obat
pada manusia. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana
ke ukuran yang besar dan lebih komplek digunakan untuk keperluan penelitian
ini, yaitu: Mencit, tikus, kelinci, dan kera.
1. Tikus
Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari
(nocturnal). Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Data biologik
- Konsumsi pakan per hari
- Konsumsi air minum per hari
- Diet protein
- Ekskresi urine per hari
- lama hidup
- Bobot badan dewasa
- Jantan
- Betina
5 g/100 g bb
8-11 ml/100 g bb
12%
5,5 ml/100 g bb
2,5- 3 tahun
300-400 g
250-300 g
- Bobot lahir
- Dewasa kelamin (jantan=betina)
- Siklus estrus (menstruasi)
- Umur sapih
- Mulai makan pakan kering
- Rasio kawin
- Jumlah kromosom
- Suhu rektal
- Laju respirasi
- Denyut jantung
- Pengambilan darah maksimum
- Jumlah sel darah merah (Erytrocyt)
- Kadar haemoglobin(Hb)
- Pack Cell Volume (PCV)
- Jumlah sel darah putih (Leucocyte)
5-6 g
50+10 hari
5 hari (polyestrus)
21 hari, 40-50 g
12 hari
1 jantan – 3 atau 4 betina
42
37,5oC
85 x/mn
300 – 500 x/mn
5,5 ml/Kg
7,2-9,6 X 106 / μl
15,6 g/dl
46%
14 X 103 /μl
2. Uji Metabolisme Obat
Dalam melakukan uji metabolisme suatu obat dalam tubuh hewan
percobaan, perlu dilakukan pada kandang individu. Kandang tersebut dirancang
khusus untuk mendapatkan contoh dari hasil metabolisme , seperti didalam urine,
faeses dan sebagainya. Kandang dibuat sedemikian rupa sehingga koleksi urine
dan feses dapt dilakukan dengan mudah tidak tercampur dengan dengan pakan
atau air minum.
Gambar 7. kandang metabolik untuk satu ekor hewan coba
D. Sistem Ekskresi
Ekskresi adalah proses pengeluaran zat-zat sisa hasil metabolisme yang
sudah tidak digunakan oleh tubuh dan dapat dikeluarkan bersama urin, keringat
atau pernapasan. Pengeluaran zat-zat sisa hasil metabolisme dari dalam tubuh
dapat melalui ginjal, kulit, paru-paru, dan saluran pencernaan. Secara umum
sistem ekskresi menghasilkan urin melalui 2 proses utama: filtrasi cairan tubuh
dan penyulingan larutan cair yang dihasilkan dari filtrasi itu.
Mikroanatomi
a. Korpuskulum Renallis
Korpuskulum renalis terdiri atas berkas kapiler glomeruli dan glomerulus
yang dikelilingi oleh kapsula berupa epithel yang berdinding ganda disebut
Kapsula Bowman. Dinding sebelah dalam disebut lapisan viseral sedangkan yang
disebelah luar disebut lapisan pariental (Popesko,1975).
b. Tubulus Konvulatus Prokimalis
Tubulus proksimalis merupakan tubulus nefron pertama yang dilewati oleh
filtrat glomerolus setelah proses filtrasi glomerolus. Tubulus proksimal akan
mereabsorbsi elektrolit, air dan mereabsorbsi sekitar 65% natrium, klorida,
bikarbonat, dan kalium yang difiltrasi serta semua glukosa dan semua asam amino
yang telah difiltrasi secara aktif (Guyton & Hall 1997). Tubulus proksimal juga
mensekresikan asam-asam organik, basa, dan ion hidrogen ke dalam lumen
tubulus.
Struktur ini merupakan segmen berkelok-kelok, yang bagian awal dari
tubulus ini panjangnya dapat mencapai 14 mm dengan diameter 57-60 m. Tubulus
konvulatus proksimalis biasanya ditemukan pada potongan melintang kortek yang
dibatasi oleh epithel selapis kubis atau silindris rendah, dengan banyak dijumpai
mikrovilli yang panjangnya bisa mencapai 1,2 m dengan jarak satu dengan yang
lainnya 0.03 m. Karakteristik dari tubulus ini ditemukan apa yang disebut Brush
Border, dengan lumen yang lebar dan sitoplasma epithel yang jernih.
(Popesko,1975).
c. Ansa Henle
Ansa henle merupakan lanjutan dari nefron tubulus proksimalis. Ansa
henle nefron juxtaglomerolus memanjang sampai ke piramid medula ginjal
sebelum mengalirkan cairannya ke tubulus kontortus distalis di korteks (Ganong
2002). Ansa henle memiliki tiga segmen fungsional yaitu segmen tipis desenden,
segmen tipis asenden, dan segmen tebal asenden.
Bagian desenden segmen tipis sangat permiabel terhadap air dan sedikit
permeable terhadap kebanyakan zat terlarut, termasuk ureum dan natrium. Fungsi
segmen nefron ini terutama untuk memungkinkan difusi zat-zat secara sederhana
melalui dindingnya. Sekitar 20% dari air yang difiltrasi akan direabsorbsi di ansa
henle, dan hampir semuanya tejadi di lengkung tipis desenden karena lengkung
asenden dan segmen tebal asenden tidak permeabel terhadap air (Sirupang 2007).
Segmen tebal asenden ansa henle mereabsorbsi sekitar 25% dari muatan
natrium, klorida, dan kalium yang difiltrasi, serta sejumlah besar kalsium
bikarbonat, dan magnesium (Guyton & Hall 1997). Akan tetapi pada segmen tebal
asenden ansa henle tidak mereabsorbsi air, sehingga cairan pada lumen berubah
menjadi hipotonis (Septi et al. 2007).
Ansa Henle banyak dijumpai di daerah medula. Ansa henle berbentuk
seperti huruf “U” yang mempunyai segmen tebal dan diikuti oleh segmen tipis.
Epithel dari ansa henle merupakan peralihan dari epithel silindris rendah atau
kubus sampai squomus, biasanya pergantian ini terdapat di daerah sub kortikal
pada medula, tapi bisa juga terjadi di daerah atas dari ansa henle (Popesko,1975).
d. Tubulus Konvulatus Distalis
Tubulus distalis merupakan lanjutan ansa henle asenden bagian tebal.
Segmen tubulus distalis relatif tidak permeabel tehadap air, sehingga berperan
dalam pengenceran urin. Reabsorbsi NaCl pada tubulus distalis lebih sedikit
jumlahnya dibanding tubulus proksimal dan ansa henle (Katzung 2001).
Perbedaan struktur histologi dengan Tubulus Konvulatus proksimalis
antara lain : Sel epithelnya besar, mempunyai brush border, lebih asidofil,
potongan melintang pada tempat yang sama mempunyai epithel lebih sedikit,
Tubulus Konvulatus distalis : Sel epithel lebih kecil dan rendah, tidak mempunyai
brush border, kurang asidofil, lebih banyak epithel pada potongan melintang
(Popesko,1975).
e. Tubulus kolektivus
Tubulus kolektivus merupakan lanjutan dari nefron bagian tubulus
konvulatus distalis dan mengisi sebagian besar daerah medula. Lumennya dilapisi
epithel kubis selapis, sedangkan tubulus kolektivus bagian belakangnya sudah
berubah menjadi bentuk silindris dengan diameter 200 m, panjangnya mencapai
30-38 mm ( Sisson,1975).
f. Pelvis Renalis
Pada hilus renalis terdapat pelvis renalis yang menampung urin dari papila
renalis. Pada ginjal yang multi-piramid urin pertama ditampung oleh kaliks renalis
kemudian dari sini baru ke pelvis renalis.Bangun histologinya adalah sebagai
berikut : Mukosa memiliki epithel peralihan dengan sel payung, mulai dari kaliks
renalis, tebal epithel hanya 2 sampai 3 sel. Propria mukosa terdiri atas jaringan
ikat longgar dan pada kuda terdapat kelenjar yang agak mukus . Bentuk kelenjar
adalah tubulo-alveolar. Tunika muskularis terdiri atas otot polos, jelas pada kuda,
babi dan sapi. Lapis dalam tersusun longitudinal dan lapis luar sirkuler. Tunika
adventitia terdiri dari jaringan ikat longgar dengan banyak sel lemak, pembuluh
darah, pembuluh limfe serta saraf (Sisson,1975).
g. Ureter
Tunika mukosa : Epithelium transisional : pada kaliks dua sampai empat
lapis, pada ureter empat sampai lima lapis, pada vesica urinaria 6-8 lapis. Tunika
submukosa tidak jelas. Lamina propria beberapa lapisan. Luar jaringan ikat padat
tanpa papila, mengandung serabut elastis dan sedikit noduli limfatiki kecil, dalam
jaringan ikat longgar. Kedua-dua lapisan ini menyebabkan tunika mukosa ureter
dan vesika urinaria dalam keadaan kosong membentuk lipatan membujur. Tunika
muskularis : otot polos sangat longgar dan saling dipisahkan oleh jaringan ikat
longgar dan anyaman serabut elastis. Otot membentuk tiga lapisan : stratum
longitudinale internum, stratum sirkulare dan stratum longitudinale eksternum
Tunika adventisia: jaringan ikat longgar (Sisson,1975).
h. Vesica Urinaria
Mukosa, memiliki epithel peralihan (transisional). Propria mukosa terdiri
atas jaringan ikat, pembuluh darah, saraf dan jarang terlihat limfonodulus atau
kelenjar. Submukosa terdapat dibawahnya, terdiri atas jaringan ikat yang lebih
longgar. Tunika muskularis tersusun oleh lapisan otot longitudinal dan sirkuler
(luar). Lapisan paling luar atau tunika serosa, berupa jaringat ikat longgar
(jaringan areoler), sedikit pembuluh darah dan saraf (Sisson,1975).
Gambar 24:Struktur ginjal
1. Proses Pembentukan Urine
a. Penyaringan (filtrasi)
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan
struktur spesifik dibuat untuk menahan komonen selular dan medium-molekular-
protein besar kedalam vascular system, menekan cairan yang identik dengan
plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut filtrate glomerular.
Tumpukan glomerulus tersusun dari jaringan kapiler. Di mamalia, arteri renal
terkirim dari arteriol afferent dan melanjut sebagai arteriol eferen yang
meninggalkan glomrerulus. Tumpukan glomerulus dibungkus didalam lapisan sel
epithelium yang disebut kapsula bowman. Area antara glomerulus dan kapsula
bowman disebut bowman space dan merupakan bagian yang mengumpulkan
filtrate glomerular, yang menyalurkan ke segmen pertama dari tubulus proksimal.
Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler,
membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel
yang perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate
(Guyton.1996).
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan
solute menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam kapiler
dan tekanan oncotik dari cairan di dalam bowman space merupakan kekuatn untuk
proses filtrasi. Normalnya tekanan oncotik di bowman space tidak ada karena
molekul protein yang medium-besar tidak tersaring. Rintangan untuk filtrasi
( filtration barrier ) bersifat selektiv permeable. Normalnya komponen seluler dan
protein plasmatetap didalam darah, sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring
(Guyton, 1996).
Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring,
sebaliknya molekul 2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan. Bagaimanapun
karakteristik juga mempengaruhi kemampuan dari komponen darah untuk
menyebrangi filtrasi. Selain itu beban listirk (electric charged ) dari sretiap
molekul juga mempengaruhi filtrasi. Kation ( positive ) lebih mudah tersaring dari
pada anionBahan-bahan kecil yang dapat terlarut dalam plasma, seperti glukosa,
asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati
saringan dan menjadi bagian dari endapan.Hasil penyaringan di glomerulus
berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah
tetapi tidak mengandung protein (Guyton, 1996).
b. Penyerapan kembali (reabsorbsi)
Bahan-bahan yang masih diperlukan di dalam urin pimer akan diserap
kembali di tubulus kontortus proksimal, sedangkan di tubulus kontortus distal
terjadi penambahan zat-zat sisa dan urea.Meresapnya zat pada tubulus ini melalui
dua cara. Gula dan asam amino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air
melalui peristiwa osmosis. Penyerapan air terjadi pada tubulus proksimal dan
tubulus distal.
Substansi yang masih diperlukan seperti glukosa dan asam amino
dikembalikan ke darah. Zat amonia, obat-obatan seperti penisilin, kelebihan
garam dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan bersama urin.Setelah terjadi
reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder, zat-zat yang masih
diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa
metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya urea.
Volume urin hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat
glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan
terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal. Substansi
yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa
sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrate dikeluarkan dalam urin.
Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan
150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali
(Sherwood, 2001).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder
yang komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-
zat yang masih diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-
zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03′,
dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder. Meresapnya zat pada
tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam mino meresap melalui peristiwa
difusi, sedangkan air melalui peristiwa osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada
tubulus proksimal dan tubulus distal (Sherwood, 2001).
c. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai
terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter
adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen
empedu yang berfungsi memberi warm dan bau pada urin. Zat sisa metabolisme
adalah hasil pembongkaran zat makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa ini
sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa metabolisme antara lain, CO2, H20,
NHS, zat warna empedu, dan asam urat (Cuningham, 2002).
Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa pembakaran zat
makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua senyawa
tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan. Walaupun CO2 berupa
zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai sebagai dapar (penjaga kestabilan
PH) dalam darah. Demikian juga H2O dapat digunakan untuk berbagai
kebutuhan, misalnya sebagai pelarut (Sherwood, 2001).
d. Regulasi kadar ion natrium (sodium)
Ion Natrium (sodium) merupakan elektrolit utama dalam tubuh secara
terus-menerus dikeluarkan lewat urin dan perkeringatan. Pengaturan kadar ion
Natrium melibatkan sel-sel korteks adrenal (hormon aldosteron) dan sel-sel
tubulus ginjal. Ion Natrium (Sodium) merupakan ion utama yang menyusun
elektrolit tubuh. Natrium secara terus menerus dikeluarkan lewat urin dan
keringat.
Sel khusus yang terdapat pada dinding pembuluh darah ginjal berperan
sebagai osmoreseptor berperan memantau kadar ion natrium dalam darah. Jika
kadar natrium turun (osmolaritas menurun), maka sel tersebut mengeluarkan
enzim renin yang mengubah angiotensinogen menjadi angeiotensin I kemudian
angiotensin II.
Angiotensin II sebagai hormon berperan merangsang sel korteks adrenal
untuk mensintesis dan mensekresikan aldosteron. Aldosteron merangsang sel-sel
tubulus ginjal untuk meningkatkan reabsorpi natrium dalam urin sehingga kadar
natrium darah kembali seimbang (normal).
Peran ginjal sangat penting dalam menjaga suasana lingkungan internal
agar tetap sesuai untuk kelangsungan proses fisiologis di dalam sel atau yang
disebut homeostasis (W.B. Cannon). Pada tubuh manusia, sel-sel yang menyusun
jaringan berada dalam suatu lingkungan yang disebut lingkungan internal. Claude
Bernard (bangsa Perancis) menamakan lingkungan internal tersebut dengan istilah
melieu interieur. Lingkungan internal tersebut tidak lain adalah ruang antarsel.
Ruang antarsel bukan merupakan suatu ruangan kosong, melainkan ruangan yang
dipenuhi dengan cairan, demikian juga ruang dalam sel (sitoplasma).
Menurut Ganong (2002), komposisi tubuh kita sebagian besar merupakan
cairan yaitu kurang lebih 60%. Cairan tubuh, berdasarkan keberadaannya (letak)
dapat dibedakan menjadi cairan ekstraseluler (CES) 20 %, dan intraseluler (CIS)
40%. Cairan ekstraseluler dapat dibedakan menjadi cairan interseluler (jaringan)
75%, dan cairan plasma dan limfe 25%. Sebagai contoh, seseorang dengan berat
badan 50 Kg, maka cairan tubuh total sekitar 30 L. 20 L CIS, 10 L CES, 7,5
cairan jaringan dan 2,5 L cairan palsma dan limfe.
Elektrolit adalah suatu zat yang larut atau terurai kedalam bentuk ion-ion
dan selanjutnya larutan menjadi konduktor elektrik, ion-ion merupakan atom-
atom bermuatan elektrik. Elektrolit bisa berupa air, asam, basa atau berupa
senyawa kimia lainnya. Elektrolit umumnya berbentuk asam, basa atau garam.
Beberapa gas tertentu dapat berfungsi sebagai elektrolit pada kondisi tertentu
misalnya pada suhu tinggi atau tekanan rendah. Elektrolit kuat identik dengan
asam, basa, dan garam kuat.
2. Hasil akhir urin secara umum
a. Kandungan Urin Normal
Urin mengandung sekitar 95% air. Komposisi lain dalam urin normal
adalah bagian padaat yang terkandung didalam air. Ini dapat dibedakan
beradasarkan ukuran ataupun kelektrolitanya, diantaranya yaitu memiliki sifat non
elektrolit dimana memiliki ukaran yang relatif besar, di dalam urin terkandung :
Urea CON2H4 atau (NH2)2CO, Kreatin, Asam Urat C5H4N4O3, Dan subtansi
lainya seperti hormon (Guyton, 1996).
Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl-), Magnesium (Mg2+,
Calcium (Ca2+). Dalam Jumlah Kecil : Ammonium (NH4+), Sulphates (SO42-),
Phosphates (H2PO4-, HPO42-, PO43) (Guyton, 1996).
b. Warna
Normal urin berwarna kekuning-kuningan. Obat-obatan dapat mengubah
warna urine seperti orange gelap. Warna urine merah, kuning, coklat merupakan
indikasi adanya penyakit (Anonim, 2008 ).
c. Bau
Normal urine berbau aromatik yang memusingkan. Bau yang merupakan
indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu
( Anonim, 2009).
d. Kejernihan
Normal urine terang dan transparan agak kekuningan. Urine dapat menjadi
keruh karena ada mukus atau pus ( Anonim, 2009).
e. pH
pH urine normal sedikit asam (4,5 – 7,5). Urine yang telah melewati
temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas
bakteri. Vegetarian urinenya sedikit mengandung alkali (Anonim, 2009 ).
f. Urea
Urea merupakan zat diuretik higroskopik dengan menyerap air dari plasma
darah menjadi urin. Kadar urea dalam darah manusia disebut BUN Blood Urea
Nitrogen). Peningkatan nilai BUN terjadi pada simtoma uremia dalam kondisi
gagal ginjal akut dan kronis atau kondisi gagal jantung dengan konsekuensi
tekanan darah menjadi rendah dan penurunan laju filtrasi pada ginjal. Pada kasus
yang lebih buruk, hemodialisis ditempuh untuk menghilangkan larutan urea dan
produk akhir metabolisme dari dalam darah.(Anonim,2009)
Amonia merupakan produk dari reaksi deaminasi oksidatif yang bersifat
toksik. Pada manusia, kegagalan salah satu jenjang pada siklus urea dapat
berakibat fatal, karena tidak terdapat lintasan alternatif untuk menghilangkan sifat
toksik tersebut selain mengubahnya menjadi urea. Defisiensi enzimatik pada
siklus ini dapat mengakibatkan simtoma hiperamonemia yang dapat berujung
pada kelainan mental, kerusakan hati dan kematian. Sirosis pada hati yang
diakibatkan oleh konsumsi alkohol berlebih terjadi akibat defisiensi enzim yang
menghasilkan Sarbamil fosfat pada jenjang reaksi pertama pada siklus ini.
3. Faktor yang mempengaruhi pembentukan urin
1. Hormon
ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga
dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh
hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan
meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairan ekstrasel ( Frandson,2003).
Aldosteron
Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar
adrenal di tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya
perubahan konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin rennin (Frandson,
2003)
Prostaglandin
Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang
berlungsi merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan
pengaturan pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan
dalam mengatur sirkulasi ginjal (Frandson, 2003)
Gukokortikoid
Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air
yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium
(Frandson, 2003)
Renin
Selain itu ginjal menghasilkan Renin yang dihasilkan oleh sel-sel
apparatus juksta glomerularis pada:
1. Konstriksi arteria renalis ( iskhemia ginjal )
2. Terdapat perdarahan ( iskhemia ginjal )
3. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra)
4. Innervasi ginjal dihilangkan
2. Zat – zat diuretic
Banyak terdapat pada kopi, teh, alkohol. Akibatnya jika banyak
mengkonsumsi zat diuretik ini maka akan menghambat proses reabsorpsi,
sehingga volume urin bertambah.
3. Suhu internal atau eksternal
Jika suhu naik di atas normal, maka kecepatan respirasi meningkat dan
mengurangi volume urin.
4. Konsentrasi darah
Jika kita tidak minum air seharian, maka konsentrasi air dalam darah
rendah.Reabsorpsi air di ginjal mengingkat, volume urin menurun.
5. Stress
Kondisi emosi yang tidak stabil pada saat stress dapat merangsang
kandung kemih untuk mensekresikan urine keluar dari dalam tubuh selain itu
kondisi stress atau dalam keadaan tertekan dan terancam mempengaruhi
peningkatan dan penurunan volume urin.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai
Hari/ tanggal : Senin, 28 Mei 2012
Waktu : 09.00 - selesai
Tempat : Laboratorium Fisiologi Hewan, Jurusan Biologi FMIPA
Unnes
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan
rancangan sederhana (Pre and Post Test Control Group Design). Rancangan
penelitian ini dengan 4 perlakuan 2 kali ulangan, maka unit percobaan ada 4 unit
dengan menggunakan pre and post te
st.
P0 O2
R P1 O4
S
P2 O6
P3 O8
Keterangan:
S : hewan percobaan
R : pembagian secara acak menjadi 4 kelompok
P0 : perlakuan control normal
P1 : perlakuan I
P2 : perlakuan II
P3 : perlakuan III
O2 : hasil pemeriksaan kadar urea setelah perlakuan pada kelompok control
normal
O4 : hasil pemeriksaan kadar urea setelah perlakuan pada kelompok perlakuan I
O6 : hasil pemeriksaan kadar urea setelah perlakuan pada kelompok perlakuan
II
O8 : hasil pemeriksaan kadar urea setelah perlakuan pada kelompok perlakuan
III
C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : pemberian variasi dosis furosemide pada tikus
2. Variable terikat : jumlah urin tikus
3. Variable control : berat badan tikus
D. Sampel
1. Kelompok kontrol normal (P0): tikus dicekok aquades.
2. Kelomok perlakuan I (P1): tikus dicekok furosemide dengan dosis 0,36
mg/200 g bb.
3. Kelompok perlakuan II (P2): tikus dicekok furosemide dengan dosis 0,72
mg/200 g bb.
4. Kelompok perlakuan III (P3): tikus dicekok furosemide dengan dosis 1,44
mg/200 g bb.
E. Hipotesis
Ho = tidak ada pengaruh pemberian variasi dosis furosemide terhadap
aktivitas diuretic tikus putih
Ha = ada pengaruh pemberian variasi dosis furosemide terhadap aktivitas
diuretic tikus putih
F. Alat dan bahan penelitian
Alat:
a) sonde tikus
b) gelas ukur
c) timbangan digital
d) gelas piala 100 ml
e) batang pengaduk
f) spuit 1cc
g) kandang
G. Prosedur Penelitian
Adapun tahapan dalam penelitian ini adalah:
a. Tahap Persiapan
1) Membuat kandang percobaan
2) Menimbang furosemide dengan timbangan digital
b. Pelaksanan penelitian
1) Membagi tikus secara random menjadi 4 kelompok masing-masing
kelompok terdiri dari 1 tikus
2) Menempatkan tikus dalam kandang, setiap kandang berisi 1 tikus
dan dikelompokan sesuai perlakuan
3) Sebelum perlakuan, tikus dipuasakan minimal selama 18 jam. Tetap
diberi minum. Pengujian ini menggunakan metode Lipschitz (Lipschitz
1943).
4) Memberi loading dose pada tikus berupa aquadest hangat sebanyak
10ml/200 g bb
5) Memberi perlakuan sesuai dengan alur kerja penelitian
1. Kelompok 1 (control normal)
2. Kelompok II
Satu ekor tikus dicekok furosemid dengan dosis 0,36 mg/200 g bb.
Diberikan secara oral pada tikus menggunakan sonde.
3. Kelompok III
Satu ekor tikus dicekok furosemid dengan dosis 0,72 mg/200 g bb.
Diberikan secara oral pada tikus menggunakan sonde.
4. Kelompok IV
Bahan:
a) tikus putih dengan bobot badan
berkisar 200 gram
b) Aquadest
c) furosemid
d) pH-Indikator.
Satu ekor tikus dicekok furosemid dengan dosis 1,44 mg/200 g bb.
Diberikan secara oral pada tikus menggunakan sonde.
6) Melakukan pengamatan terhadap volume urin yang dikeluarkan setiap
satu jam selama 6 jam dan diukur pH urin pada jam pertama, selain itu
diamati pula warna urin. Hewan di tempatkan dalam kandang dan urin
diambil dengan perlakuan,yaitu tikus dibuat stress sehingga dapat
mengeluarkan urin.
H. Metode Analisis dan Interpretasi Data
Data hasil penelitian dianalisis dan diinterpretasikan dengan analisis varians
(Anava), yang pengujiannya dilakukan secara pre and post control group design.
Analisis varians digunakan untuk mengetahui signifikasi pengaruh setiap
perlakuan, dan untuk mengetahui perlakuan mana yang pengaruhnya paling
signifikan terhadap kandungan urea urin tikus yang diteliti.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Pada percobaan ini diambil satu ekor tikus untuk masing-masing variasi dosis
furosemide dan satu ekor tikus untuk kontrol normal yang diambil urinnya,
sehingga ada 4 ekor tikus yang dijadikan sampel percobaan. Pengambilan urin
dilakukan setiap jam selama 6 kali. Dari hasil uji urin diperoleh data seperti di
bawah ini :
DAFTAR PUSTAKA
Agoes A. 1992. Catatan Kuliah Farmakologi Bagian I. Jakarta : ECG. Hlm 124.
Anonim A ,2009. http://gurungeblog.wordpress.com/gangguan-sistem-ekskresi-
pada-manusia/(30 April 2012).
Anonim.2009. http://www.dechacare.com/informasi-kesehatan/label.php?l=asam-
urat-136 (30 April 2012).
Ganiswara, S G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta : bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm 389-392.
Guyton, A.C. 1996. Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Adji Dharma. CV.
ECG Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.
Ganong WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta : Penerbit
buku kedokteran EGC.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Katzung BG. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke-1. Sjabana D,
Raharjo W, Sastrowardoyo, Hamzah E, Isbandiati I, Uno dan
Purwaningsih, penerjemah. Jakarta : Salemba Medika. Terjemahan dari :
Basic and Clinical Pharmakology.
Mutschler E. 1991. Dinamika Obat Edisi V. Bandung : Penerbit ITB. Hlm 565-
568, 571-573.
Popesko, peter, 1975. Atlas of to Topographical Anatomy of the Domestic
Animals. London : W. B. Saunders Company.
Septi IA et al. 2007. Mekanisme Aksi Hidrokloritiazid sebagai Diuretik.
Yogyakarta. FM Universitas-Sanata-Dharma.http://www.ilmukedokteran.
blogspot.com/2007/11/mekanisme-aksi-hidrokloritiazid-sebagai-diuretik.
htm -97k [30 April 2012].
Sirupang Y. 2007. Pola Perubahan Elektrolit pada Pemberian Obat-obat Diuretik.
http://www.javedsirupang.wordpress.com/2007/08/05/pola-perubahan-
elektrolit-pada-pemberian-obat-obat-diuretik/ - 112k. [30 April 2012].
Sisson & Grossman. 1975. The Anatomy of The Domestic Animal. Philadephia :
WB. Saunders Company.
Siswandono, Bambang S. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya : Airlangga
University Press.