Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merupakan sebuah organsasi yang menempatkan
banyak komunitas di dalamnya. Seluruh pemain Indonesia dan berbagai klub di tanah air
bernaung dibawah organisasi ini. Pada saat sekarang ini, sepakbola bukan hanya sebagai
olahraga saja melainkan suatu bisnis yang melakukan perputaran ekonomi yang sangat besar.
Nilai gaji pemain sampai nilai transfer sudah mencapai angka yang cukup tinggi.
Namun PSSI yang menjadi induk organisasi sepakbola belum menunjukkan perubahan
image mereka di masyarakat melalui logo organisasinya. Logo PSSI saat ini terlihat tidak
mengikuti perkembangan jaman dan perubahan yang terjadi dalam tubuh organisasi mereka
sendiri sehingga masih terlihat sebagai PSSI yang lama. Tidak ada perubahan visual logo yang
terjadi di PSSI walaupun tubuh PSSI tersebut telah berubah dari bentuknya maupun fungsinya
saat ini.
Masa kelam PSSI dibawah Djohar Arifin
1. Hasil Kongres PSSI Terkait Jumlah Peserta Liga Primer
Diingkarinya keputusan PSSI hasil kongres di Bali tanggal 22 januari 2011 pada era
Nurdin Halid terkait jumlah peserta Liga Super merupakan salah satu pemicu kekisruhan PSSI
jilid II. Pada saat kongres di Bali peserta kongres PSSI menetapkan bahwa peserta Liga Super
hanya 18 klub, tetapi pada era Djohar Arifin peserta Liga Primer (Super) membengkak menjadi
24 peserta, dengan sistem kompetisi penuh. Sontak klub-klub yang bermodal kecil dan mandiri
tanpa bantuan APBD meradang karena dengan peserta yang membengkak menggunakan
kompetisi penuh justru akan melambungkan biaya yang akan dikeluarkan klub untuk tiap
musimnya padahal pendapatan mereka sangat terbatas. Sebelumnya era Nurdin Halid pun sama
ketika jumlah klub belum membengkak PSSI saat itu juga kurang mencari solusi bagi klub yang
kesulitan mencari dana.
2. Melakukan Perekrutan Peserta Klub Liga Primer yang Tidak Efektif
Direkrutnya beberapa klub diluar mekanisme kompetisi yang seharusnya, merupakan
bukti perekrutan yang dilakukan PSSI tidak efektif untuk meredam kisruh jilid II . Misalnya
ketika Persema,Persibo,dan PSM Makassar telah dihukum degradasi ke divisi I karena mengikuti
LPI ketika LSI di era Nurdin Halid telah digelar, namun saat ini klub tersebut kembali pada kasta
tertinggi Liga Primer tanpa harus mengikuti kompetisi di divisi I/Utama terlebih dahulu.
3. Menciptakan Kompetisi yang Tidak Efektif dan Efisienya
Sebagai lanjutan dari poin pertama yang dipicu penggingkaran Statuta PSSI terkait
jumlah klub peserta Liga Primer , setidaknya jikalau PSSI era Djohar Arifin menjalankan
kompetisi dengan 24 klub, bisa dibayankan berapa lama kompetisi digelar?, berapa banyak
modal yang harus digelontorkan?,berapa banyak sponsor /investor yang sanggup mendanai
klub?, berapa klub yang harus dikorbankan?. Sepertinya setumpuk persoalan tersebut membuat
kompetisi no.1 di Indonesia tidak akan efektif dan efisien.
Sesungguhnya persoalan nyata yang harus dihadapi PSSI yaitu bagaimana menciptakan
kompetisi no. 1 di Indonesia ini menjadi kompetisi yang berkualitas bukan semata kuantitasnya.
Dengan menciptakan kompetisi yang efektif dan efisien tentunya akan mengahasilkan kompetisi
yang berkualitas dan hanya dari kompetisi yang berkualitas pula akan lahir pemain-pemain
nasional yang berkualitas pula. Muaranya dari terciptanya kompetisi yang efekti dan efisien
tentunya meningkatkan prestasi tim nasional yang saat ini berada dalam level yang
mengkhawatirkan.
4. Amburadulnya Kompetisi
Terjadinya dualisme kompetisi dan dualisme klub merupakan bukti amburadulnya
kompetisi yang dibuat PSSI era Djohar Arifin. Dalam susunan klub peserta Liga Primer dan Liga
Super terlihat ada beberapa klub yang sama walau mereka berada pada satu kasta tertinggi di
Liga Indonesia. Misalnya Persija Jakarta, Arema Indonesia, PSMS . Terjadinya dua kubu seakan
seperti cara kolonial di negara kita pada masa perjuangan dahulu dengan melakukan politik adu
domba untuk menguasai suatu tujuan, namun yang terjadi saat ini PSSI mengadudombakan klub,
pengurus klub, maupun supporter.
Selain nampak adanya dualisme, amburadul pun terlihat dari tidak adanya promosi dan
degradasi atau reward and punishment yang dilakukan terhadap klub yang melanggar aturan atau
sebaliknya yang membuat prestasi. Misalnya seperti sudah dijelaskan pada poin dua ketika
Persema,Persibo dan PSM Makassar telah didegradasi kedivisi I tetapi menjadi peserta Liga
Primer kembali tanpa melalui kompetisi divisi I sebagai sanksi yang harus dijalani. Contoh
lainya ketika Bontang F.C telah terdegradasi ke divisi utama di Liga Super tetapi menjadi peserta
Liga Primer.
5. Mendzalimi Persipura
Sebagai bentuk tidak adanya reward and punishment yang diterapkan PSSI era Djohar
Arifin, hal ini telah membawa korban dan yang menjadi korbannya ialah Persipura. Seperti kita
ketahui bahwa Persipura adalah juara Liga Super musim 2010-2011 dengan demikian ia berhak
lolos untuk mengikuti kualifikasi Liga Champions Asia , namun sepertinya PSSI punya rencana
lain dengan tidak mendaftarkan Persipura sebagai wakil Indonesia untuk kualifikasi Liga
Champions Asia dengan alih-alih Persipura menjadi peserta LSI yang diilegalkan PSSI. Hal ini
pun menyulut amarah Official dan fans Persipura, merasa dirugikan akhirnya Persipura
melayangkan gugatan pada PSSI melalui Badan Arbitrase Olahraga atau Court of Arbitration for
Sports (CAS) dan hasilnya Persipura menang ,konsekuensinya PSSI harus membayar nilai
gugatan kepada Persipura sebesar US$ 1.982.000 atau sekitar Rp 10 -11 miliar disamping
Persipura berhak menjadi tim kuaifikasi LCA 2011-2012. Walau akhirnya gugatan itu tidak
diteruskan oleh Persipura.
6. Diskriminasi Perekrutan Pemain Timnas Di segala Kelompok Umur
Diskriminasi terhadap perekrutan pemain timnas merupakan kekecewaan terbesar pecinta
timnas pada PSSI era Djohar Arifin. Hal ini diwujudkan dengan tidak dipanggilnya pemain-
pemain yang berkualitas tetapi mereka bermain di Liga Super. Kembali atas alih-alih Liga Super
Indonesia merupakan liga yang diilegalkan PSSI maka menurutnya pemain yang berlaga di Liga
Super haram untuk memperkuat timnas. Kekecewaan dirasakan para punggawa timnas yang
telah berpengalaman berlaga di pertandingan internasional seperti Pra Qualifikasi Piala Dunia
2014 maupun perhelatan regional lainya.
Lebih mencengangkan lagi bahwa diskriminasi ini telah diberlakukan juga di kelompok
umur usia dini timnas, padahal mereka adalah generasi penerus kebangkitan timnas dan regenersi
pemain. Padahal siapapun, di liga manapun ia bermain selama memang pantas menjadi pemain
timnas ia berhak mendapatkan hak yang sama untuk membela Negara. Apakah kesalahan mereka
sampai-sampai PSSI era Djohar Arifin sudah melarang hak warga negara untuk membela negara
dan mengembangkan talentanya?.
7. Kekalahan Timnas Paling Memalukan
Setelah kekalahan memalukan Timnas di Era Nurdin Halid saat melawan Suriah pada
2010, kini pada Rabu 29 Februari 2012 boleh jadi menjadi hari yang kelam setelah tahun 1974
bagi persepakbolan nasional, pada hari itu timnas era Djohar Arifin membuat rekor buruk yang
fantastis dan tidak patut. Bayangkan di pertandingan itu telah terjadi sepuluh gol ke gawang
timnas, empat kali penalti dan dua kartu merah. Kekecewaan pun tidak saja datang dari para
pecinta sepakbola nasional, tetapi juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turut angkat
bicara atas prestasi timnas akhir-akhir ini, bahkan Presiden SBY mengkritik PSSI yang sering
ribut-ribut yang tak pernah selesai tapi prestasi yang dikorbankan. Senada dengan Presiden SBY,
Menteri Olah Raga dan Pemuda Andy A.Mallaranggeng pun ikut mengkritik PSSI yang telah
diskriminasi terhadap perekrutan pemain timnas sehingga menyebabkan kekalahan memalukan
10 - 0.
Pantas saja timnas mengalami kekalahan yang paling memalukan dalam sejarah
persepakbolaan Republik Indonesia karena materi pemain yang diturunkan merupakan pemain
U-23 yang baru saja dibentuk beberapa minggu itu pun hanya pemain yang bermain di Liga
Primer, dengan level pengalaman pertandingan internasional kurang. Tentu saja dengan materi
pemain seperti itu akan mudah ditebak hasilnya, pasti kekalahan memalukan yang akan dituai.
Bandingkan bila skuad timnas yang biasa mengisi best eleven tidak akan kebobolan sampai 10
gol.
Di level regional sama buruknya, baik di era Nurdin Halid maupun PSSI saat ini, liat saja
turnamen yang diadakan oleh Sultan Brunei itu. Pada Turnamen tersebut memang timnas U-21
berhasil menjadi runner up turnamen tersebut, tapi sangat disesalkan timnas kalah oleh tim yang
sebelumnya menjadi lumbung gol seperti Myanmar dan Brunei di turnamen AFF CUP (Piala
Tiger).
8. Kebohongan Terkait Perekrutan Pemain Timnas
Terkait diskriminasi pemain PSSI diera Djohar Arifin, rupanya PSSI telah melakukan
kebohongan terhadap publik. Alasan adanya larangan dari FIFA terhadap pemain yang bermain
diluar Liga Primer dilarang untuk memperkuat timnas negaranya merupakan suatu kebohongan
PSSI untuk melakukan pembenaran atas diskriminasi perekrutan pemain timnas, setelah
ditelusuri nyatanya larangan itu tidak ada. Kebohongan lainya, PSSI telah melakukan
pembohongan dengan mengirim surat pada FIFA yang berisi bahwa 12 klub IPL merupakan
anggota 18 klub ISL, padahal jelas – jelas ISL merupakan kompetisi yang diharamkan menurut
PSSI di era Djohar Arifin.
Bukti bahwa pemain nasional negara lain yang bermain di Liga Super masih bisa bermain
untuk timnas mereka misalnya Safee Sali striker asal Malaysia yang sekarang bermain untuk
Pelita Jaya, kemudian Keith Kayamba Gumbs striker Sriwijaya F.C, begitu pula Zahrahan,
playmaker Persipura yang keduanya masih bermain di timnas masing-masing tanpa adanya
larangan. Larangan ini selain bentuk diskriminasi, juga bentuk arogansi kepengurusan PSSI era
Djohar Arifin yang mengorbankan prestasi.
9. Pengkhiatan Terhadap Klub/Pengprov Pendukung
Pembekuan terhadap 14 klub peserta ISL merupakan bentuk pengkhianatan terhadap klub
yang selama ini telah mendukung Djohar Arifin untuk menjadi orang nomor satu di PSSI.
Keempat belas klub tersebut dianggap telah melanggar Pasal 15 ayat a serta pasal 85 Statuta
PSSI.
Salah satu klub super liga yang menerima sanksi paling berat dari Komisi Disiplin PSSI yaitu
Persib Bandung. Klub asal Bandung peraih gelar liga Indonesia pertama kali ini dijatuhi sanksi
berupa denda Rp 1 miliar lantaran dinilai membelot dari Liga Prima. Selain itu, Persib dijatuhi
hukuman berupa diskualifikasi dari Indonesia Premier League musim 2011/ 2012, degradasi ke
divisi utama untuk musim 2012/ 2013. Juga sanksi mengembalikan kompensasi dana yang sudah
diterima dari PT Liga Prima Sportindo Indonesia dan larangan melakukan transfer di musim
2011/ 2012.
Selain pembekuan terhadap klub ternyata PSSI pusat juga melakukan pembekuan
terhadap Pengprov PSSI di berbagai Provinsi yang mendukung Kongres Luar Biasa PSSI. Tak
tanggung – tanggung PSSI telah membekukan 27 Pengprov PSSI dari 33 Pengprov PSSI
diseluruh Indonesia. Ironis karena diantara 27 Pengprov PSSI tentunya merupakan pendukung
Djohar Arifin semasa pemilihan Ketua Umum PSSI Periode 2011 – 2015 di Solo.
10. Gagal Melakukan Rekonsiliasi
Di era kepemimpinan Djohar Arifin kepengurusan PSSI dirombak total sampai tak
terlihat lagi orang-orang yang selama ini menjadi pengurus pada era PSSI Nurdin Halid. Padahal
kepemimpinan Nurdin Halid jika dibandingkan dengan kepemimpinan PSSI saat ini sedikit lebih
baik memang, walau PSSI di era Nurdin Halid juga sama tidak menghasilkan prestasi besar
apapun. Tak sampai disitu, ketika ada exco PSSI yang bersebrangan pendapat pun PSSI tak
segan-segan memecatnya walau bukan pendukung Nurdin Halid sekalipun pada PSSI eranya.
Perseteruan dua kubu kian merungcing disaat kongres tahunan PSSI yang akan
diselenggarakan di Palangkaraya Kalimantan Tengah pada 18 Maret 2012, di tanggal yang sama
tak ketinggalan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) menggelar KLB di Jakarta.
Aroma perseturan pun sampai pada klaim-mengklaim jumlah peserta kongres yang sah. KPSI
misalnya mengklaim telah mendapat 2/3 jumlah anggota PSSI untuk mengadakan KLB dan
memutuskan ketua umum PSSI baru, sementara PSSI telah memastikan kongres tahunan akan
dihadiri 97 anggota PSSI.
Puncak dari kegagalan rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik interen dan perbedan
pandangan terkait kompetisi itu nampak pada terjadinya dualisme liga, dualisme klub dualisme
organisasi dan pembekuan terhadap 27 Pengprov PSSI yang mendukung Kongres Luar Biasa.
Tak sampai disitu kedua kubu baik PSSI maupun Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia
selaku pihak yang bersebrangan dengan Ketua Umum PSSI Djohar Arifin tidak kunjung
menunjukan itikad baik untuk menyelesaikan konflik dan perbedan pandangan diantara mereka.
Malah keduanya saling membenarkan kelompok masing-masing tanpa melihat lebih jauh
dampak buruk kedepannya. Disini baik PSSI maupun KPSI sudah dirasuki kepentingan non
sportivitas, hanya kepentingan politis yang dikedepankan. Bukan isapan jempol jika suatu saat
kegagalan PSSI dalam mengatasi konflik dan perbedaan pandangan ini akan membawa
kehancuran pada persepakbolaan nasional yang telah lama mengidamkan harumnya prestasi
berkelas dunia.