A. PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan interaksi sosial.
Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun. Beberapa penelitian terdahulu
ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan untuk melakukan kontak afeksi
dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi orang lain, mengalami kesulitan mengenali
emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005), dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem
limbik salah satu bagian otak yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan
yang penting dalam proses emosi pada anak autistik. Gangguan pada sistem limbik yang
merupakan pusat emosi mengakibatkan anak autistik kesulitan mengendalikan emosi,
mudah mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak
tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan alasan
tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik rambut (Moetrasi
dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anak-anak autistik adalah suatu
cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan menyakiti diri sendiri seperti,
membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri dilakukan anak autis untuk
menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi fungsi komunikatif untuk mencari
perhatian. Kembali pada rutinitas dapat menjadi cara anak untuk menghindari dan
mengontrol rasa takut atau suatu cara untuk lari dari situasi yang membingungkan
(Azwandi, 2005).
Salah satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan adalah
pemrosesan sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik tidak dapat
mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya dari berbagai sudut
pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh mereka yang terlampau reaktif
atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau gangguan pemrosesan dapat menyebabkan
anak salah menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan
reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006). Anak-
anak autistik mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan
makna pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan
memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan untuk
berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan
pemahaman/atau gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai pemahaman. Anakanak
melihat, mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka kemudian belajar untuk
menghayati, memahami, untuk berpikir abstrak. Pemahaman berhubungan dengan proses
seperti memperhatikan dan mengingat.
Gangguan pemrosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah
menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan reaksi
emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan kebingungan dan
ketakutan. Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi pengganti sehingga
mereka memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa teori dan penelitian
mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus yang menimbulkan respon
emosi. Anak autistik yang mengalami permasalahan pemrosesan sensorik dapat sangat
peka atau kurang peka pada rangsangan (Greenspan dan Wieder, 2006).Penyandang
autisme mendapatkan terapi medikamentosa, terapi biomedik, terapi wicara, terapi
perilaku dan terapi okupasi untuk meminimalkan gejala autisme.
B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152- per
10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu yang
hanya 2-4 per 10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di lndonesia setiap
tahun akan lahir lebih kurang 69000 anak penyandang autis (Yanwar Hadiyanto, 2003).
Hasil penelitian yang dilakukan Melly Budiman (2001) memperlihatkan bahwa pada
tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan tahun 2001 menjadi 1/150 anak.
C. ETIOLOGI
Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya autisme diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Psikodinamika dan Keluarga
Anggapan bahwa orang tua yang “dingin” yang menyebabkan anaknya menjadi
autis sudah tidak dianut lagi.
2. Faktor Neurologik dan Biologik
Komplikasi perinatal lebih banyak ditemukan dibanding dengan anak normal.
Sebagian kasus mengalami seizure (serangan kejang) suatu ketika dalam
hidupnya, dan sebagian menunjukkan pelebaran ventrikel pada CT-Scan.
Berbagai kelainan EEG ditemukan pada 10-83% anak autistik walaupun tidak
ada yang patognomonik. Pada otopsi ditemukan kekurangan jumlah sel purkinje,
dan pada pemeriksaan PET ditemukan peningkatan mentabolisme kortikal.
3. Faktor Genetik
2-4% saudara kandung dari anak autistic juga menunjukkan gejala autism.
4. Faktor Imunologik
Adanya inkompatibilitas imunologik antara ibu dan janin yang dikandung
mungkin mempunyai andil dalam menyebabkan autism.
5. Faktor Perinatal
Riwayat perdarahan setelah trimester 1, mekonium dalam cairan amnion,
penggunan obat-obatan pada saat kehamilan, serta kondisi hipoksia saat
persalinan, lebih banyak didapatkan pada anak autis daripada pada anak normal.
6. Faktor Neuroanatomik
Penelitian dengan MRI menemukan peningkatan volume otak pada lobus
oksipital, temporal, dan parietal pada kelompok anak autistik. Lobus temporalis
dianggap penting dalam terjadinya abnormalitas otak pada autisme. Hal ini
didasarkan pada laporan adanya autistic like syndrome pada mereka dengan
kerusakan lobus temporalis. Penemuan lain adalah berkurangnya sel purkinje di
otak kecil yang mengakibatkan gangguan perhatian, arousal, dan proses-proses
sensorik.
7. Faktor Biokimia
Pada sepertiga pasien autisme ditemuykan peningkatan kadar serotonin pada
plasma. Pada beberapa anak autistik, peningkatan kadar homovanilic acid
(metabolit dopamine) dalam cairan serebrospinal berhubungan dengan perilaku
menarik diri serta gerakan stereotipik.
8. Faktor Lingkungan
Sallie Bernard menemukan kumpulan gejala yang sangat mirip antara kasus
autisme dengan keracunan air raksa dan mengklaim bahwa autism adalah suatu
bentuk keracunan Hg. Merkuri yang berlebihan akan mempengaruhi
ketidakseimbangan immune cells, mengakibatkan tingginya kadar IgE,
mempengaruhi respon imun terhadap makanan (IgE dan IgG), mengganggu
fungsi enzim DDPIV (Dipeptidil Peptidase IV), dan mempengaruhi mielinisasi
jaringan saraf. Pada banyak anak autistik ditemukan logam berat (Hg, Pb, As, Al
dan Cd) yang berlebihan pada pemeriksaan rambut.
9. Teori Opioid
Menurut teori ini, autisme muncul dari adanya opioid yang berlebihan pada
system saraf pusat yang berlangsung lama. Opioid tersebut dianggap bersumber
pada hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan atau casein berupa
morphine like peptides yaitu casomorfin dan gliadorfin. Teori ini juga berkaitan
dengan adanya leaky gut sehingga peptide itu bias menembus mukosa usus masuk
ke peredaran darah dan menembus sawar darah otak.
10. Mikroorganisme Patogen dalam Saluran Cerna
Pada umumnya anak autis mengalami gangguan pencernaan kronis, berupa diare
dan atau konstipasi, nyeri perut atau kembung. Pada biakan feces, ditemukan
berbagai agen penyebab, termasuk jamur, bakteri, virus, dan parasit.
11. Defisiensi Nutrisi
Pada kelompok anak autistik ditemukan defisiensi Zn, Ca, Mg, Omega-3 fatty
acid, serat (fiber), anti oksidan dan berbagai vitamin. Konsekuensi dari defisiensi
tersebut adalah gangguan pencernaan, fungsi imunologi, dan fungsi otak.
12. Autoimunitas
Penelitian oleh Singh V.K et al, menunjukkan adanya anti Myelin Basic Protein
(suatu antibodi) pada kasus autisme.
D. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN
Tidak diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan tambahan
lainnya seperti EEG, CT-Scan kepala, MRI kepala, ataupun Brain Mapping. Diagnosis
didasarkan atas anamnesis yang teliti dan observasi perilaku anak. Anamnesis meliputi
perkembangan anak sejak lahir, serta keadaan ibu sebelum dan selama hamil serta saat
persalinan, kemudian ditambah riwayat keluarga untuk berbagai gangguan perkembangan
serta gangguan jiwa. Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan tambahan kadang
diperlukan apabila ada indikasi untuk memastikan faktor-faktor etiologi, diagnosis
banding, atau apabila ada kondisi atau gangguan lain yang menyertainya.
DSM IV ( 1995) Kriteria Gangguan Autisme:
A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan
masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi dalam sedikitnya 2
dari beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi
wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya sesuai dengan
tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1 dari gejala
berikut ini:
a. Perkembangan bahasa lisan ( bicara) terlambat atau sama sekali tidak berkembang
dan anak tidak mencari jalan untuk berkomunikasi secara non verbal.
b. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak digunakan untuk berkomunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh, stereotype dan berulang-ulang.
d. Kurang mampu bermain imajinatif ( make believe play ) atau permainan imitasi
sosial lainnya sesuai dengan taraf perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang. Minimal harus ada
1dari gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan intensitas yang
abnormal atau berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti menggerak-gerakkan
tangan, bertepuk tangan,menggerakkan tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian tertentu dari
obyek.
B. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun minimal pada salah
satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain
simbolik dan imajinatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Anak.
Kriteria Diagnosis Autisme menurut PPDGJ-3
A. Abnormalitas atau terganggunya perkembangan sudah terkihat sebelum usia 3 tahun,
minimal satu area di bawah ini:
1. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dalam komunikasi social.
2. Perkembangan kelekatan sosial yang selektif atau interaksi sosial timbal balik.
3. Kemampuan menggunakan mainan sesuai fungsinya atau bermain pura-pura.
B. Minimal ada enam gejala total dari 1, 2, dan 3, dengan sedikitnya dua gejala dari 1,
dan satu gejala dari masing-masing 2 dan 3.
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial. Minimal dua dari:
a. Kurangnya kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik untuk
melakukan interaksi sosial.
b. Gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi dengan sebaya yang
meliputi minat, aktivitas, dan emosi.
c. Kurangnya kemampuan timbal balik secara sosial dan emosional.
d. Kurangnya minat untuk berbagi kegembiraan atau kesenangan dengan orang
lain (misal: memamerkan benda, menunjuk benda atau orang lain).
2. Abnormalitas secara kualitatif dalam komunikasi. Minimal satu dari:
a. Terlambat atau belum bias berbahasa serta kurang mampu menggunakan
bahasa isyarat.
b. Kegagalan memulai suatu atau mempertahankandialog timbal balik.
c. Penggunaan bahasa yang stereotipi atau berulang-ulang.
d. Kurang daya khayal serta kemampuan bermain pura-pura dan meniru.
3. Perilaku berulang (stereotipi) serta minat dan aktivitas yang terbatas. Minimal
satu dari:
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih minat yang abnormal dalam hal isi, atau
keterpakuan, atau intensitasnya.
b. Kelekatan yang kompulsif pada rutinitas yang tak bertujuan atau suatu ritual.
c. Gerakan motorik berulang pada tangan atau jari-jari, kepak-kepak atau gerakan
memelintir, atau gerakan tubuh yang kompleks.
d. Preokupasi terhadap bagian dari benda atau mainan (misal: pada baunya,
teksturnya, suaranya, atau getaran yang ditimbulkannya).
C. Gambaran klinis tidak sesuai untuk kelompok gangguan perkembangan pervasif,
gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa, gangguan kelekatan rektif
atau gangguan kelekatan terhambat, retardasi mental, skizofrenia onset masa kanak,
dan sindrom Rett.
E. DIAGNOSIS BANDING
Gangguan Perkembangan Pervasif sering disebut dengan Gangguan Spektrum
Autisme. Ada 5 diagnosis banding, yaitu:
1. Sindrom Rett
2. Gangguan Desintegratif Masa Kanak Lainnya
3. Sindrom Asperger
4. Gangguan Aktivitas Berlebih yang Berhubungan dengan Retardasi Mental dan
gerakan stereotipik
5. Gangguan Perkembangan Pervasif YTT (Tak khas)
F. METODE TERAPI PADA AUTISME
Autisme masih mempunyai harapan untuk sembuh walaupun tidak sembuh secara
total, karena ada kelainan pada otaknya. Namun dapat diusahakan agar sel-sel otak yang
yang masih baik dapat mengambil alih dan berfungsi menggantikan sel yang rusak asal
dilakukan dengan cepat dan tepat dan dimulai sejak gejalanya masih ringan. Hal
terpenting yang mempengaruhi kemajuan anak autisme adalah deteksi dini yang diikuti
oleh penanganan yang tepat dan benar, serta intensitas terapi yang dijalani oleh anak
autisme. Jika keduanya dilakukan, anak dengan autisme masih mempunyai harapan untuk
lebih baik untuk dapat hidup mandiri dan bersosialisasi dengan masyarakat yang normal.
Semakin cerdas anak, semakin cepat kemajuannya (Yanwar Hadiyanto, 2003).
Berbagai Jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan
anak autisme agar dapat hidup mendekati normal seperti medikamentosa, terapi
biomedik, terapi perilaku, terapi wicara, terapi okupasi (Bonny Danuatmaja, 2003).
Tujuan terapi pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta
meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan
bahasa. Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang
menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra, 2003). Hal yang paling ditakuti jika
anak tidak diterapi adalah ketidak mampuan anak melakukan segala sesuatunya sendiri
dengan kata lain anak: tidak akan bisa mandiri seperti makan, minum, toileting, gasok
gigi, dan kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003). Bahkan literature mengatakan 75%
anak autisme yang tidak tertangani, akhimya menjadi tunagrahita (Clara Westy, 2004).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang ditentukan,
karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti dan terapi yang
diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat pertama kali diterapi
dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak penyandang autisme harus
ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya anak normal, sebuah penelitian
menunjukkan anak yang diintervensi secara terus menerus selama lebih kurang 6 minggu
secara terstruktur memperlihatkan hasil yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh
fasilitasi dalam menjalankan terapi dimana pada saat anak diberikan terapi perilaku
mereka mendapatkan satu ruangan perorang sehingga anak bebas dari gangguan dari
lingkungan sekitamya seperti bunyi-bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak
untuk menerima materi dengan mudah karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan
terapis lebih konsentrasi menangkap kemajuan yang diperlihatkan oleh anak autistik.
1. TERAPI WICARA Ada perbedaan antara bicara dan bahasa. Bicara adalah pengucapan, yang
menunjukkan keterampilan seseorang mengucapkan suara dalam suatu kata. Bahasa
berarti menyatakan dan menerima informasi dalam suatu cara tertentu. Bahasa
merupakan salah satu cara berkomunikasi. Bahasa reseptif adalah kemampuan untuk
mengerti apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bahasa ekspresif adalah
kemampuan untuk berkomunikasi secara simbolis baik visual (menulis, member
tanda) atau auditorik. Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin
saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua
kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk
dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan
keinginannya. Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah
ini sering kali tumpang tindih.
Bagi penyandang autisme oleh karena semua penyandang autisme mempunyai
keterlambatan dalam bicara dan kesulitan dalam berbahasa, maka terapi ini adalah suatu
keharusan (Y.Handoyo, 2003). Terapi wicara yang dilakukan pada anak autisme
disekolah ini banyak yang memperlihatkan kemajuan dimana hal ini bisa disebabkan
oleh karena anak sudah pemah mempunyai konsep pemahaman, konsep ujaran decoding
(menerima atau memberi tanggapan) dan encoding (memberi ransangan atau atau
stimulus) sesuai umumya (Bonny Danuatmaja, 2003). Selain itu anak yang bisa
mengikuti terapi ini dengan baik telah sampai pada terapi symptomatic jadi pemahaman
sudah lebih baik. Terapi symptomatic merupakan tahapan dari terapi wicara dimana
terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak berbicara sesuai kemampuan
sendiri atau ekspresif (Bonny Danuatmaja, 2003).
Tahapan komunikasi anak autistik:
1. The Own Agenda Stage
Anak terlihat sibuk dengan dirinya sendiri
Belum tahu bahwa komunikasi dapat mempengaruhi orang lain
Mengambil sendiri makanan atau benda-benda
Interaksi hanya dengan orangtua atau pengasuh
Belum dapat bermain dengan benar
Menangis atau berteriak bila terganggu
2. The Requester Stage
Sadar bahwa tingkahlakunya mempengaruhi orang lain
Menarik tangan bila ingin sesuatu
Menyukai kegiatan fisik
Mengulangi kata/suara untuk diri sendiri
Dapat mengikuti perintah sederhana
Memahami rutinitas sehari-hari
3. The Early communication Stage
Komunikasi dengan gesture, suara, gambar
Menggunakan bentuk komunikasi tertentu secara konsisten
Komunikasi untuk pemenuhan kebutuhan
Memahami kalimat sederhana
Dapat belajar menjawab pertanyaan "Apa ini/itu?", mengenal konsep
"Ya/Tidak"
4. The Partner Stage
Mulai melakukan percakapan sederhana
Menceritakan pengalaman masa lalu dan keinginan yang belum
terpenuhi
Masih terpaku pada kalimat yang dihafalkan
Bagi anak non-verbal, mampu menyusun kalimat dengan gambar atau
tulisan
Masih mengalami kesulitan dalam interaksi sosial
Terapi wicara yang dapat diberikan:
1. Untuk Organ Bicara dan sekitarnya (Oral Peripheral Mechanism), yang sifatnya
fungsional, maka terapis wicara akan mengikut sertakan latihan-latihan Oral
Peripheral Mechanism Exercises; maupun Oral-Motor activities sesuai dengan
organ bicara yang mengalami kesulitan.
2. Untuk Artikulasi atau Pengucapan:
Artikulasi atau pengucapan menjadi kurang sempurna karena karena adanya
gangguan, Latihan untuk pengucapan diikutsertakan Cara dan Tempat
Pengucapan (Place and manners of Articulation). Kesulitan pada Artikulasi atau
pengucapan, biasanya dapat dibagi menjadi: substitution (penggantian), misalnya:
rumah menjadi lumah, omission (penghilangan), misalnya: sapu menjadi apu;
distortion (pengucapan untuk konsonan terdistorsi); indistinct (tidak jelas); dan
addition (penambahan). Untuk Articulatory Apraxia, latihan yang dapat diberikan
antara lain: Proprioceptive Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa:
Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas, kualitas, atau
penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atribut-atribut dasar pada suara, yang
mengganggu komunikasi, membawa perhatian negatif pada si pembicara,
mempengaruhi si pembicara ataupun si pendengar, dan tidak pantas
(inappropriate) untuk umur, jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu
sendiri.
5. Pendengaran:
Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran maka bantuan
dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat
medis akan di rujuk pada dokter yang terkait; (2) Penggunaan sensori lainnya
untuk membantu komunikasi;
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara dimana
hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak baik dan adanya
gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga perkembangan bahasa dan
wicaranya belum mempunyai konsep pemahaman dan ujaran dan belum
terhubungnya antara pusat pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat
motoriknya (area broca's) (Agus Suryana, 2004). Dari segi pendidikan, bahasa
memiliki kedudukan penting dan mendasar karena dengan memiliki kemampuan
bahasa, anak akan mengerti dan memahami materi yang disampaikan oleh orang lain
dan akhimya mampu mengoperasikannya (Dyah Puspita, 2003). Komunikasi akan
lebih baik didapatkan oleh anak apabila selain disekolah anak juga diajarkan
berkomunikasi dengan baik oleh keluarga.
2. TERAPI PERILAKU
Terapi perilaku merupakan salah satu terapi yang diberikan kepada
penyandang autisme dimana terapi ini difokuskan kepada kemampuan anak untuk
berespon terhadap lingkungan dan mengajarkan anak perilaku-perilaku yang umum
(Yanwar Hadiyanto, 2004). Pemberian terapi perilaku pada anak autisme, dapat
meningkatkan kemajuan terutama pada anak yang melakukan terapi ini dengan baik.
Hal ini bisa disebabkan oleh metode yang diterapkan dimana materi yang diajarkan
sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya prompt
(bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan mendapatkan imbalan.
Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat mendukung dimana latihan dilakukan
dengan berulang-ulang sampai anak berespon dengan sendiri tanpa prompt serta
adanya evaluasi yang sesuai dengan kriteria yang sudah dibuat (Y.Handoyo, 2003).
Kemampuan terapis juga ikut mendukung kemajuan dari anak autisme. Menurut Dyah
Puspita (2004), salah satu yang mempengaruhi keberhasilan kemajuan pada anak
autisme adalah kecerdasan anak. Dengan pemberian terapi yang baik dan kemampuan
anak dalam menangkap materi yang diajarkan akan dapat mengoptimalkan kemajuan
pada anak autisme.
Pada 10 anak yang melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang
memperlihatkan kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh
efek terapi yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau
terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada susunan
saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada otak mereka,
contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6 (Pyridoksin) sehingga
efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat anak masih berada dalam
keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang diberikan (Y.Handoyo, 2003).
Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat penyaluran informasi antar otak
semakin kacau mengingat obat yang dipakai adalah obat-obatan yang bekerja pada
susunan saraf pusat (Agus Suryana, 2004).
Terapi perilaku, berupaya untuk melakukan perubahan pada anak autistik
dalam arti perilaku yang berlebihan dikurangi dan perilaku yang berkekurangan
(belum ada) ditambahkan. Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah
Applied Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University
of California Los Angeles (UCLA). Dalam terapi perilaku, fokus penanganan terletak
pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi
yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila
anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali maka ia
tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini
diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi
kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang
diberikan.
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C;
yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C
(consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa instruksi
yang diberikan oleh seseorang kepada anak dengan autisme. Melalui gaya
pengajarannya yang terstruktur, anak dengan autism kemudian memahami Behavior
(perilaku) apa yang diharapkan dilakukan olehnya sesudah instruksi tersebut
diberikan, dan perilaku tersebut diharapkan cenderung terjadi lagi bila anak
memperoleh Consequence (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang
menyenangkan.
Tujuan penanganan ini terutama adalah untuk meningkatkan pemahaman dan
kepatuhan anak terhadap aturan. Terapi ini umumnya mendapatkan hasil yang
signifikan bila dilakukan secara intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.