DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3
BABII
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
Definisi...................................................................................................................................4
Epidemiologi..........................................................................................................................4
Etiologi...................................................................................................................................4
Patogenesis.............................................................................................................................7
Klasifikasi.............................................................................................................................12
Gejala dan Tanda..................................................................................................................14
Faktor Resiko dan Strategi Terapi........................................................................................15
Penatalaksanaan Konservatif................................................................................................18
- Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya ......................................................................18
- Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ...........................................................23
- Memperlambat pemburukan fungsi ginjal………………………………………….. ......23
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler.................................................28
- Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi......................................................................30
1
BABIII
KESIMPULAN....................................................................................................................... 36
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................37
2
BAB I
PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah
satu masalah utama dalam pelayanan kesehatan baik di negara maju maupun berkembang.
Pada penurunan fungsi ginjal mencapai tahap tertentu, perkembangan CKD menuju End
Stage Renal Failure (CKD STAGE 5) tidak terhindarkan lagi. Prevelansi CKD di India
terhitung 7572 dalam 100.000 populasi dan terhitung 757 diantaranya menderita kesulitan
finansial dan social. Untuk mengurangi kesulitan ini dan meningkatkan kondisi pasien, maka
CKD harus dideteksi dan di tangani sebelum gagal ginjal total terjadi (Prodjosudjadi et al.,
2009).
Chronic Kidney Disease (CKD) dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II,
III, dan IV. Pada stadium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum
menjalani terapi hemodialisis disebut kondisi pre-dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi
konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa
fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V. Status gizi kurang masih
banyak dialami pasien CKD. Penelitian keadaan gizi pasien CKD dengan Tes Kliren
Kreatinin (TKK) ≤ 25 ml/mt yang diberikan terapi konservatif di Poliklinik Ginjal Hipertensi
RSCM, dijumpai 50 % dari 14 pasien dengan status gizi kurang. Faktor penyebab gizi kurang
antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual
dan muntah (Kresnawan et al.,2012).
Selain itu masih banyak masalah lain yang dihadapi pasien CKD, seperti bagaimana
cara menghambat progesifitas dari CKD. Management anemia kronik, penyakit arteri koroner
pada CKD serta masalah donor ginjal (Sudoyo et al.,2009)
3
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan dengan ditemukannya kelainan struktural atau fungsional dengan
atau tanpa pengurangan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan ditemukannya manifestasi atau
kelainan patologis atau kerusakan ginjal pada pemeriksaan darah, urin, ataupun pemeriksaan
dengan pencitraan (imaging). Atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml.mnt/1,73 m2
(Stadium III) selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Sudoyo et al., 2009)
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 - 1999 menyatakan insidens Chronic Kidney
Disease diperkirakan 100 kasus per sejuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat
sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun(Sudoyo et al., 2009).
Etiologi
Etiologi Chronic Kidney Disease sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara
lain. Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden Chronic Kidney Disease di Amerika
Serikat. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal
ginjal yang menjalani hemodialysis di Indonesia, seperti ada table 2. Dikelompokkan pada
sebab lain, diantaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui (Sudoyo et al., 2009).
Tabel 1. Penyebab utama Chronic Kidney Disease di Amerika Serikat 1995-1999 (Sudoyo et al., 2009)
4
Penyebab Insiden
1. Diabetes Melitus
-Tipe 1 (7%)
-Tipe 2 (37%)
2. Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
3. Glomerulonefritis
4. Nefritis Interstitialis
5. Kista dan penyakit bawaan lahir
6.Penyakit sistemik (misal: lupus dan vaskulitis)
7. Neoplasma
8. Tidak diketahui
9. Penyakit lain
44%
27%
10%
4%
3%
2%
2%
4%
4%
Tabel 2. Penyebab gagal ginjal kronik tersering di Indonesia dapat dibagi menjadi 8
kelas seperti yang tercantum pada table di bawah ini (Price et al., 2006)
Klasifikasi Penyakit Penyakit
1. Penyakit infeksi tubulointerstitial
2. Penyakit Peradangan
Pielonefritis kronis atau refluks nefropati
Glomerulonefritis
5
3. Penyakit vascular hipertensif
4. Gangguan Jaringan ikat
5. Gangguan kongenital dan herediter
6. Penyakit metabolik
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif
Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteria renalis
Lupus eritematosus sistemik
Penyakit ginjal polikistik
Diabetes mellitus
Gout
Amiloidosis
Penyalahgunaan analgesik
Nefropati timah
Traktus urinarius bagian atas :
Batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal,
Traktus urinarius bagian bawah:
Hipertrofi prostat, striktur uretra, anomaly
kongenital leher vesika urinaria, uretra.
Perlu ditekankan di sini, meskipun stadium dini dari penyakit ginjal dapat cukup
bervariasi, tetapi stadium akhir dapat sama semuanya. Dan pada banyak kasus sebab asalnya
tidak dapat diidentifikasi lagi (Price et al., 2006)
6
Patogenesis
Patofisiologi Chronic Kidney Disease pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
(Sudoyo et al., 2009). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama jumlah dari
aliran darah renal (RBF) rata-rata adalah 400ml/100g jaringan per menit lebih besar daripada
aliran darah pada organ yang mendapat perfusi dengan baik seperti pada jantung, hepar, dan
otak. Sebagai konsekuensinya, jaringan ginjal paling mungkin terekspos dengan zat-zat yang
potesial berbahaya (Matovinovic et al., 2011).
Yang kedua filtrasi glomerulus tergantung dari tekanan intra glomerulus, sehingga
kapiler glomerulus mudah terkena gangguan hemodinamik. Dengan kata lain menurut
Brenner, progresivitas CKD terutama disebabkan hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi.
Yang ketiga, Membran Filtrasi Glomerulus (GBM) memiliki molekul bermuatan negatif
sebagai penghalang atau penyaring molekul anionik. Sehingga gangguan pada GBM pada
kerusakan glomerulus menyebabkan protein plasma dapat menembus glomerulus dan
bergabung dengan filtrate. (Matovinovic et al., 2011).
Yang keempat, bentuk anatomi struktur nefron dimana letak glomerulus selalu di atas
tubulus. Dan aliran glomerulus selalu mengalir ke tubulus. Sehingga meskipun bentuk
anatomis seperti ini keseimbangan glorulo-tubuler namun juga sekaligus memfasilitasi
penyebaran kerusakan glomerulus melalui arah aliran vaskularisasi dari glomerulus ke
pembuluh darah peritubulus. Sebagai contoh beberapa mediator inflamasi glomerulus akan
mengalir ke sirkulasi peritubuler dan menyebabkan reaksi inflamasi intertisial. Terlebih lagi,
gangguan aliran pre-glomerulus dan glomerulus akan menyebabkan gangguan aliran
pretubuler dan menyebabkan hipoksia tubulus dan kerusakan sel-selnya (Matovinovic et al.,
2011).
7
Yang kelima, glomerulus sendiri dapat dianggap sebagai unit fungsional dengan
struktur anatomi unik yang terdiri dari sel mesangial, endotel, visceral dan sel epitel parietal
(podosit) serta matriks ekstraselularnya. Struktur ini akan mempertahankan fungsi glomerulus
yang normal. Kerusakan pada salah satu struktur ini menyebabkan kerusakan pada struktur
lain melalui mekanisme yang berbeda- beda : gap junction, khemokin, sitokin, growth factor,
dan perubahan komposisis matriks GBM. Penyebab utama dari kerusakan ginjal adalah
reaksi imunologis (dicetuskan oleh kompleks imun), hipoksia dan iskemia jaringan, obat-
obatan, substansi endogen seperti glukosa , defek genetik, dan lainnya (Matovinovic et al.,
2011).
Pada CKD pada umumnya terjadi atrofi ginjal, pengurangan masa ginjal (atrofi)
mengakibatkan kompensasi berupa hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa, yang diperantarai molekul vasoaktif seperti siktokin dan growth factors. Kemudian
sebagai respon penurunan fungsi dan massa ginjal, terdapat mekanisme adaptasi atau
kompensasi oleh nefron nefron yang masih ada atau masih tersisa dengan meningkatkan
tekanan hemodinamik didalam kapiler glomerulus dan meningkatkan LFG di tiap nefron
yang tersisa. (Sudoyo et al., 2009).
Hipertensi dan CKD
Misal pada Hipertensi kronis diketahui menjadi penyebab CKD dengan mencetuskan
nefrosklerosis. Pada penelitian diketahui setiap nefron terdapat sel-sel macula densa yang
mendeteksi penurunan pasokan darah ke ginjal. Pada kerusakan ginjal dimana perfusi darah
ke ginjal menurun, sel-sel ini akan melepaskan enzim rennin (Renin-Angiotensin-Aldosteron-
RAA System). Enzim rennin berikutnya akan mengkonversi angiotensin I yang diproduksi di
hepar menjadi angiotensin II melalui bantuan enzim “angiotensin converting enzyme” yang
ada di paru-paru. Angiotensin II adalah zat vasoaktif potent yang menimbulkan efek
8
vasokonstriksi, dan menyebabkan peningkatan tekanan darah. Angiotensin II juga
menstimulasi sekresi hormone aldosteron di korteks adrenal. Aldosteron berikutnya akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi Natrium dan air melalui tubulus ginjal sehingga
volume plasma meningkat dan aliran darah ke ginjal ikut meningkat, sehingga LFG pun
meningkat. Nefron ginjal yang tersisa mendapatkan pasokan nutrisi dan O2 kembali melalui
peningkatan LFG sehingga dapat mengkompensasi fungsi nefron yang rusak. (Remuzzi et al.,
2005)
Angiotensin II sebagai vasokonstriktor akan menyebabkan vasokonstriksi arteriol
efferent ginjal. Vasokonstriksi arteriol efferent akan meningkatkan tekanan hidrostatik di
kapiler dan mendorong lebih banyak hasil filtrasi ke capsula bowman sehingga LFG ikut
meningkat. Sekali lagi LFG yang meningkat juga dipertahankan oleh vasodilatasi dari arteriol
aferen sampai kapiler glomerulus. Namun, meskipun vasodilatasi arterion aferen akan
menyebabkan peningkatan tekanan glomerular dan peningkatan LFG, mekanisme ini lama
kelamaan akan menyebabkan penebalan pada pembuluh darah glomerular. Biasanya terjadi
penebalan membrane hialin di dalam lumen pembuluh darah (Robbins et al., 2007)
Penebalan ini berikutnya akan menambah tekanan dalam pembuluh darah glomerular
sehingga melemahkan pembuluh darah tersebut dan akan mudah terjadi perdarahan.
Perdarahan ini akan mudah menyebabkan kerusakan pada struktur ginjal. Penebalan ini
sekaligus menyebabkan penurunan suplai darah ke ginjal karena penyempitan. Hal ini
menyebabkan iskemia nefron. Pada akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sclerosis
nefron yang masih tersisa. Gambaran lebih jelas adalah sklerosis global dari glomerulus.
Dengan kata lain mekanisme kompensasi ini akan mempertahankan fungsi ginjal optimal di
awal namun lama kelamaan akan menjadi kerusakan ginjal yang progresif walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi (Sudoyo et al., 2009).
9
Diabetes Melitus dan CKD
Berdasarkan penyebab, Nefropati Diabetik merupakan penyebab pertama pada CKD.
Dimulai dari hiperglikemia yang menyebabkan poliuria osmotik kemudian menyebabkan
peningkatan tekanan tubulus terutama di ductus kolektivus dan kompensasi selular berupa
hipertrofi selular masa nefron yang tersisa atau masih baik kondisinya.
Gambar 1 : Patofisiologi Nefropati Diabetik
Pada nefropati diabetic terjadi tiga perubahan secara histologik yang terdapat dalam
glomerulus. Yang pertama adalah perluasan jaringan mesangial (sel-sel yang terspesialisasi
sebagai sel otot yang berfungsi untuk mengatur regulasi aliran darah kapiler ginjal) yang
diinduksi hiperglikemia dengan peningkatan produksi matrix atau produksi glikosilasi. Yang
kedua adalah penebalan Membran basal glomerulus (GBM). GBM merupakan lamina basalis
dari glomerulus. GBM yang merupakan fusi dari sel endotel dan podosit berperan dalam
memisahkan darah dari kapiler sehingga tidak ikut terfiltrasi menjadi filtrat. Yang ketiga
adalah glomerular hipertensi yang menyebabkan sklerosis glomerulus. Masalah utama dalam
10
perubahan histologik tersebut adalah bertambahnya matrix ekstraselular. Kelainan yang
muncul pertama kali pada nefropati diabetik biasanya adalah penebalan GBM dan ekspansi
mesangium dikarenakan akumulasi matriks ekstrasel. Hal ini menyebabkan proteinuria.
Kerusakan yang terjadi pada nefropati diabetic ditandai dengan mikroalbuminuria dengan
rata-rata 5 tahun setelah pasien menderita DM. Dalam 10-15 tahun, masalah ini dapat
menimbulkan nefropati dengan pertanda awal proteinuria >150 mg/hari. Setelah 15 tahun, 1/3
pasien dengan diabetes tipe I mulai menunjukan CKD. Pada DM tipe II, tanpa intervensi
medis, 30% pasien memiliki nefropati diabetik dan 20% lainnya menederita ESRD (CKD
stage 5) setelah 20 tahun. (Rask-Madsen et al., 2010)
Infeksi dan CKD
Penyebab terbanyak dari CKD salah satunya adalah infeksi, sebagai contoh pada
pielonefritis dimana terjadi inokulasi bakteri pada parenkim renal yang mencetuskan aktivasi
komplemen. Kemudian aktivasi komplemen akan memanggil fagosit melalui kemotaksis dan
merangsang fagosit melalui opsonisasi. Reaksi fagositosis ini akan mencetuskan agregrasi
11
granulosit intravaskuler, pelepasan superoksida, dan lisozim sehingga terjadi kematian
tubulus dan iskemia jaringan ginjal. Hal ini akan menyebabkan sikatriks di jaringan ginjal
dan kerusakan ginjal lebih lanjut nantinya. (Ruhstoon et al., 1997)
Klasifikasi Pada CKD
Untuk menghambat progresivitas kehilangan fungsi renal, maka facktor-faktor resiko
dan kausa penyebab kerusakan ginjal harus dapt dieliminasi atau dihilangkan. Pada pasien
CKD dengan faktor resiko yang tidak khas, maka penanganan dilakukan pada penyakit lain
yang menyertai pasien meskipun tidak spesifik, dan menghindari faktor resiko yang
memperburuk fungsi ginjal untuk memperlambat kemajuan atau progresivitas penyakit.
Table 3. Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakitnya (Sudoyo et al., 2009).
Derajat Penjelasan LFG(ml/menit/1,73m2)
1
2
3
4
5
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat
Gagal ginjal
>=90
60-89
30-59
15-29
<15 atau dialysis
Klasifikasi atas dasar diagnostik dapat dilihat pada table 3
Tabel 4. Klasifikasi Chronic Kidney Disease atas dasar diagnosis etiologi berdasarkan National Kidney Foundation Disease Outcomes Quality Initiative
(NKF KDOQI) (Sudoyo et al., 2009).
12
Penyakit Contoh
Penyakit ginjal diabetes
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit pada transplantasi
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit glomerular, penyakit vaskuler,
penyakit tubulointerstitial, penyakit kistik
Rejeksi kronik, keracunan obat
(siklosporin/takrolimus), penyakit recurrent
(glomerular), Transplant glomerulopathy
Setelah LFG menjadi kurang dari 50%, fungsi ginjal akan terus menurun meskipun
tidak ada faktor yang memeperberat ataupun penyakit lain yang menyertai. Deteriorasi atau
kemunduran fungsi ginjal biasanya disertai hipertensi sistemik, proteinuria, hiperlipidemia.
hipertensi glomerular, obstruksi saluran kemih, alkoholisme kronik, anemia, overweight, dan
merokok sebagai faktor resiko kerusakan fungsi ginjal (Fauci et al.,2008)
Perjalanan klinik penyakit ginjal kronik biasanya perlahan dan tidak dirasakan oleh
pasien. Oleh karena itu pengkajian klinik sangat bergantung pada hasil pemeriksaan
penunjang, meski anamnesis sangat membantu dalam menegakkan diagnosis yang tepat.
Pada semua pasien penyakit ginjal kronik sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti : (Suhardjono et al., 2009)
1. Kadar kreatinin serum untuk menghitung laju filtrasi glomerulus
2. Rasio protein atau albumin terhadap kreatinin (contoh urin pertama pagi hari atau
urin sewaktu)
13
3. Pemeriksaan sedimen urin atau dipstick untuk melihat adanya sel darah merah dan
sel darah putih
4. Pemeriksaan pencitraan ginjal, biasanya ultrasonografi
5. Kadar elektrolit serum (natrium, klorida, kalium dan bikarbonat)
Nilai laju filtrasi glomerulus merupakan parameter terbaik untuk mengukur fungsi
ginjal. Nilai ini dianjurkan dihitung dengan rumus Cockcroft-Gault atau rumus MDRD
(modification of diet in renal disease)
Rumus Untuk Menghitung Laju Filtrasi Glomerulus
LFG : (140-umur) x BB (Kg)
72 x kreatinin serum (mg/dL)
*Wanita : 0,85 x Pria
Gejala dan Tanda
Penderita gagal ginjal kronik datang dengan keluhan beraneka ragam, baik spesifik
maupun tidak spesifik. Sebagian lagi tidak mempunyai keluhan atau ditemukan secara
kebetulan pada saat pemeriksaan rutin. Keluhan yang spesifik pada umumnya berupa
gangguan pada urin, mulai dari perubahan volume urin, sifat-sifat urin (bau, warna, berbuih,
mengandung darah), maupun proses pengeluaran urin (sakit, sulit, dsb). Dapat juga berupa
keluhan perasaan sakit pada pinggang yang menyebar ke sepanjang perjalanan ureter sampai
ke genitalia. Keluhan yang tidak spesifik seperti sembab, lemah/letih, mual/muntah, sesak
nafas, gatal-gatal. Yang harus dicari adalah kepastian bahwa prosesnya sudah berlangsung
selama tiga bulan atau lebih. Pada pemeriksaan fisik sering terlihat kesan anemis. Hipertensi,
edema muka /tungkai, ditemukan pembesaran jantung, efusi pleura maupus ascites
(Suhardjono et al., 2009).
14
GEJALA DAN TANDA CKD
Lemah, cepat lelah Sesak nafas
Hilang nafsu makan Anemis
Gatal-gatal Sembab pada kaki dan muka
Mual/muntah Kulut kering
Poliuria, nokturia Hipertensi
Hematuria, kencing berbuih Oedem Paru
Tabel 5 : Gejala dan tanda CKD (Suhardjono et al., 2009).
Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Progresivitas Penyakit Ginjal Kronik dan Strategi
Terapi
Hipertensi adalah faktor resiko penting pada progresivitas CKD dan menurunkan
hipertensi dapat memperlambat bahkan menunda progresivitas CKD dengan penyakit
penyerta seperti diabetes maupun non diabetes. Tekanan darah harus diturunkan sampai
kurang dari 130/80 mmHg pada pasien dengan proteinuria <1 gram dan tekanan darah harus
di turunkan dengan target 125/75 mmHg pada proteinuria > 1gram.Golongan Obat anti
hipertensi ACE inhibitor dan ARB direkomendasikan.
Ada hubungan yang kuat antara proteinuria dan progresi CKD, Hipertensi glomerular
dan kerusakan glomerulus menyebabkan proteinuria. Kelebihan protein ini akan di reabsorbsi
oleh tubulus proksimal dengan cara endositosis, yang kemudian merangsang reaksi inflamasi
dan respon sitokin, pada akhirnya menyebabkan fibrosis dan jaringan parut dari ginjal dan
mempercepat progresivitas CKD. Menurunkan proteinuria sampai 0,5 gram/hari
direkomendasikan. Hipotesis untuk menghambat progresivitas CKD dengan restriksi protein
pada diet menjadi pemikiran intervensi klinis pertama yang lebih tepat. Telah dipostulasikan,
15
diet tinggi protein malah mempercepat progresivitas CKD dengan menyebabkan arteriol
aferen berdilatasi dan meningkatkan hipertensi gromerular (Narula et al., 2007).
Metaanalisis menunjukan keuntungan secara keseluruhan dari diet protein atau
restriksi protein pada progresivitas CKD pada pasien diabetik dan non diabetik. (19) . Diet
rendah protein sampai 0,6-0,8 g/kg/ hari direkomendasikan pada pasien dengan CKD (20) .
CKD biasanya diasosiasikan dengan peningkatan very low density lipoprotein (VLDL), high
low lipoprotein (LDL) dan low density lipoprotein (HDL). Peran dislipidemia pada penyakit
jantung arterosklerotik diketahui dengan baik dikalangan medis, tapi peran dislipidemia
sendiri pada progresivitas CKD tidak dijelaskan lebih mendalam. Untuk sekarang
direkomendasikan penggunaan lipid lowering agent tidak hanya untuk menurunkan
progresivitas CKD namun juga untuk mengendalikan penyakit jantung artherosklerotik
sebagai penyebab utama mortalitas atau kematian di pasien CKD. (16) Atau dapat dikatakan
pula, pada CKD komplikasi kardiovaskuler menjadi peyebab utama kematian pada pasien
CKD. Data yang tersedia menunjukan rokok atau kebiasaan merokok meningkatkan resiko
proteinuria dan progresitvitas CKD. Ada penelitian yang menujukan berhenti merokok
menghambat progresi CKD dan maka dari itu semua pasien yang merokok seharusnya
berkonsultasi atau ahli medis menjelaskan faktor resiko merokok pada pasien. (8) . Pada
penelitian terbaru dari 30 pasien overweight disertai nefropati, penurunan rata-rata berat
badan 4,1% pada kelompok diet menunjukan reduksi proteinuria sampai 31,2%. Untuk
mendapatkan proteksi ginjal (renoproteksi) yang komplet, penanganannya di jelaskan seperti
pada table dibawah ini (Narula et al., 2007) :
Tabel Strategi Terapi :
Intervensi Sasaran Terapi
16
ACE Inhibitor atau ARB inhibitor
(kombinasi bila monoterapi tidak berhasil)
Proteinuria < 0,5 gram/hari
LFG < 2ml/menit/tahun
Restriksi Protein pada diet 0,6-0,8 gram/kg/hari
Terapi antihipertensi tambahan Tekanan Darah <130/80 mm Hg
Restriksi Garam pada diet (pada pasien
dengan hipertensi)
3-5 gram/hari
Kontrol gula darah ketat HbA1C < 6,5%
Mengurangi hiperkalsemia dan
hiperfosfatemia
Sampai nilai normal
Lipid Lowering Therapy LDL < 100 mg/dL
Terapi antiplatelet prfilaksis thrombosis
Koreksi anemia Hb > 12g%
Merokok Berhenti merokok
Overweight Ideal body weight
Mencegah ISK dan Obstruksi saluran kemih
Tatalaksana Konservatif
17
Tatalaksana konservatif pada CKD adalah suatu tatalaksana yang bertujuan untuk
memperlambat perburukan progresifitas gangguan fungsi ginjal, dimulai ketika pasien
mengalami azotemia, dengan cara memperbaiki penyebab utama dan faktor –faktor yang
masih reversible, seperti penurunan volume ekstrasel karena pemakaian diuretic berlebihan
atau pembatasan garam yang terlalu ketat, obstruksi saluran kemih, infeksi, obat-obatan yang
memperberat penyakit ginjal (Price et al., 2006)
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama
terdiri dari tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan atau memperlambat
perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Tindakan konservatif dimulai ketika penderita
mengalami azotemia. Berusaha menentukan penyebab utama gagal ginjal dan menyelidiki
setiap factor yang masih reversible, seperti; penurunan volume cairan ekstrasel yang
disebabkan oleh penggunaan diuretic berlebihan atau pembatasan garam terlalu ketat,
Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat, atau fibrosis retroperitoneal;Infeksi,
terutama infeksi saluran kemih; Obat-obatan yang memeperberat penyakit ginjal:
aminoglikosida, obat antitumor, OAINS, bahan radiokontras, dan hipertensi berat atau
maligna (Price et al., 2006).
Penatalaksanaan konservatif gagal ginjal kronik meliputi:
A.Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi (Sudoyo et al., 2009). Pada
ukuran ginjal yang normal, dilakukan pemeriksaan USG, biopsy, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal untuk menentukan indikasi tetap terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila
LFG sudah menurun sampai 20-30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat (Sudoyo et al., 2009).
18
1. Tatalaksana Dislipidemia
Dislipidemia pada penderita CKD membutuhkan skrining dan pendekatan
tatalaksana yang berbeda dengan penderita lain karena metabolism dan eliminasi lipid
lowering drugs pada penderita CKD dapat terganggu, yang dapat mengubah profil
keamanannya. Tatalaksana dyslipidemia berupa perbaikan pola hidup, berupa
pengaturan diet, latihan fisik dan menghentikan kebiasaan yang tidak sehat, serta
terapi farmakologi
a. Perbaikan pola Hidup
Mencakup diet rendah lemak, penurunan berat badan, olah raga, menghindari
asupan alkohol berlebih dan berhenti merokok sangat penting dan sering merupakan
lini pertama tatalaksana penderita dengan abnormalitas kadar lipid. Rekomendasi diet
harus diberikan secara hati-hati mengingat prevalensi malnutrisi pada CKD stadium
lanjut yang tinggi. Diet yang diberikan sebaiknya mengandung kurang dari 7% kalori
lemak jenuh/satured fat (SAFA), polyunsatured fat (PUFA) hingga 10%,
monounsatured fat (MUFA) hingga 20% dan total lemak 25-35% dari kalori total.
Diet juga harus mengandung karbohidrat kompleks(50-60% dari kalori total) dan serat
(20-30 g/hari). Kolesterol diet harus kurang dari 200 mg/hari (Prodjosudjadi et al.,
2009).
b. Terapi farmakologis
- Statin
o Berfungsi sebagai kompetitif inhibitor terhadap enzim HMG Ko-A
reduktase, enzim yang mempengaruhi kecepatan sintesis kolesterol. Pada
metaanalisis terhadap 6 penelitian yang menggunakan statin pada
19
penderita CKD stadium lanjut menunjukkan rata-rata penurunan kolesterol
sebesar 50-55 mg.dl dan penurunan TG hingga 34 mg/dl. Penggunaan
statin pada pasien dengan hemodialysis juga terbukti dapat meningkatkan
HDL hingga 4,84 mg/dl. Efek samping yang dapat timbul adalah miopati
(Prodjosudjadi et al., 2009).
- Fibrat
o Bekerja pada peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR)-α, suatu
reseptor yang diaktivasi oleh asam lemak bebas dan eicosanoid. Aktivasi
PPAR-α berakibat peningkatan oksidasi asam lemak di hepar, jantung,
ginjal, dan otot bergaris. Aktvasi dari reseptor ini juga mengakibatkan
peningkatan ekspresi lipoprotein lipase. Sebagai hasilnya fibrat
menurunkan TG dan VLDL serta meningkatkan HDL. FIbrat juga
mempengaruhi ukuran LDL menjadi lebih besar dan kurang aterogenik
(Prodjosudjadi et al., 2009).
- Bile Acid Sequestrants :
o Yang sudah tersedia adalah kolestiramin, kolestipol dan kolesevelam.
Obat-obatan ini berkaitan dengan asam empedu di usus dan menurunkan
sirkulasi enterohepatikanya. Sebagai hasilnyam konversi kolesterol
menjadi asam empedu diaktivasi di hepar melalui jalur feedback. Hal ini
mengakibatkan overekspirasi reseptor LDL di hepar dan meningkatkan
klirens LDL dari plasma. Obat golongan ini telah dibuktikan menurunkan
LDL hingga 10-20 % pada populasi umum. Pemakaiannya dapat
dikombinasikan dengan statin dan asam nikotinat pada hiperkolestrolemia
20
berat.(1) : Obat lain yang dapat digunakan adalah asam nikotinat dan
ezetimibe (Prodjosudjadi et al., 2009).
- Asam Nikotinat
o Bagi penderita yang tidak dapat mentolerir statin atau bile acid
sequestrans, asam nikotikanat dapat dijadikan obat pilihan lini kedua.
Golongan ini dapat dikombinasikan dengan statin. Pada populasi asam
nikotinat menurunkan LDL hingga 5-25 % dan TG 25-50% serta
meningkatkan HDL, Efek penurunan LDL dimediasi melalui gangguan
produksi VLDL sehingga VLDL yang diubah menjadi LDL berkurang.
Sedangkan peningkatan HDL melalui penurunan transfer kolesterol dari
HDL ke VLDL sehingga menghambat klirens HDL
- Ezetimebe
o Cara kerja menghambat absorbs kolesterol dari diet dan empedu pada usus
halus. Ezetimebe memiliki interaksi obat yang minimal dan aman
dikombinasikan dengan statin atau obat penurun lipid yang lain. Obat ini
bila dikombinasikan dengan statin akan menurunkan LDL hingga 25 %.
Obat ini juga dapat di toleransi baik tanpa abnormalitas fungsi hepar atau
gangguan kadar agen imunosupresif (Suhardjono et al., 2009).
Target terapi dislipidemia pada penderita penyakit ginjal kronik disusun oleh NKF-
K/DOQI.
21
Dislipidemia Goal Initiate Increase Alternative
TG ≥500 mg/dl TG < 500 mg/dl Life style changes
Lifestyle changes + fibrat or niacin
Fibrat or niacin
LDL C 100- 129 mg/dl
LDL –C <100mg/dl
Lifestyle changes
Lifestyle changes + low dose statin
Bile acid sequestrant or niacin
LDL C ≥ 130 mg/dl
LDL C , 100 mg/dl
Lifestyle changes + low dose statin
Lifestyle changes + max dose statin
Bile acid sequestrant or niacin
TG ≥ 200 mg/dl and non- HDL C ≥ 130 mg/dl
non- HDL C < 130 mg/dl
Lifestyle changes + low dose statin
Lifestyle changes + low dose statin
Fibrat or niacin
Rekomendasi NKF-K/DOQI (Suhardjono et al., 2009) :
Target Kolestrol LDL – C pada pasien diabetes dan Penyakit ginjak kronik stadium 1-
4 < 100 mg/dl ; sedangkan < 70 mg /dl merupakan opsi terapeutik
Pasien diabetes dan penyakit ginjal kronik stadium 1-4 dan kolestreol LDL ≥ 100
mg/dl seharusnya diterapi dengan statin.
Terapi statin tidak diberikan pada pasien DM tipe II dengan hemodialisis
berkesinambungan yang tidak memiliki indikasi kardiovaskular spesifik untuk terapi.
2. Tatalaksana hipertensi
Obat-obatan golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE
inhibitor) akan menurunkan hipertensi glomerulus dengan mencegah vasokonstriksi
arteriol eferen. Berdasarkan hipotesis hiperfiltrasi, maka efek ACE inhibitor dalam
memperlambat progresi penyakit ginjal dengan hipertensi (CKD dengan hipertensi)
telah diteliti oleh banyak ahli medis. Penggunaan ACE inhibitor direkomendasikan
pada CKD disertai Diabetes Melitus (DM) tipe I dan DM tipe II. Dengan
22
mempertimbangkan hubungan DM tipe II dan penyakit kardiovaskuler, penggunaan
ACE inhibitor direkomendasikan pada pasien ini untuk menurunkan resiko
kardiovaskuler. Pada pasien dengan Nefropati non diabetic, ACE inhibitor telah
menunjukan kelasnya atau kemampuannya untuk memperlambat progresi CKD
(Narula et al., 2007).
Data sebelumnya menunjukan angiotensin receptor blocker (ARB)
kemungkinan sama efektifnya dengan ACE inhibitor. Kombinasi ACE Inhibitor dan
ARB telah menunjukan efek jangka panjang untuk menghambat progresi CKD. Untuk
sekarang, penggunaan obat-obatan tersebut direkomendasikan pada pasien dengan
proteinuria <0.5 gms/hari, tekanan darah <130/80 mm/Hg, dan angka penurunan
fungsi ginjal LFG <2 ml/minute/year (Narula et al., 2007)
B.Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Pantau Kecepatan penurunan LFG secara berkala untuk mengetahui kondisi
komorbid (Sudoyo et al., 2009). Contoh kondisi komorbid: gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius,
bahan radiokontras, peningkatan aktivitas penyakit dasar, obat-obatan nefrotoxic
(Sudoyo et al., 2009).
C. Menghambat perburukan fungsi ginjal
a. Pembatasan diet protein
Dimulai ketika LFG ≤60 ml/menit,j umlah asupan protein yang dianjurkan 0,6-0,8
gr/kgBB/hari,yang 0,35-0,5 gr di antaranya merupakan protein dengan nilai biologi
tinggi. Status nutrisi pasien juga harus dipantau teratur untuk mencegah protein-kalori
malnutrisi (Sudoyo et al., 2009). Asupan protein dibatasi, juga karena kelebihan protein
23
terutama diekskresikan melalui ginjal dan bisa terjadi uremia. Ketika konsumsi protein
menigkat, terjadi peningkatan aliran darah dan tekanan darah intraglomerular yang
menyebabkan progresifitas fungsi ginjal. Fosfat dan protein berasal dari sumber yang
sama sehingga harus dibatasi asupan proteinnya (Sudoyo et al., 2009).
Berdasarkan penelitian, pembatasan diet protein dapat menghambat perburukan
penyakit ginjal pada stadium awal, namun tidak pada stadium lanjut. Pada pasien yang
sudah mendekati stadium akhir, asupan protein ditingkatkan menjadi 0,9 g/kgBB/hari
yang terdiri dari protein dengan nilai biologi tinggi (Fauci et al., 2006).
Standar diet pada Chronic Kidney Disease Pre Dialisis dengan terapi konservatif
adalah sebagai berikut (Kresnawan et al., 2006).
1. Syarat Dalam Menyusun Diet
Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg
BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut: ¾ Karbohidrat sebagai sumber
tenaga, 50-60 % dari total kalori . ¾ Protein untuk pemeliharaan jaringan tubuh dan
mengganti sel-sel yang rusak sebesar 0,6 g/kg BB. Apabila asupan energi tidak tercapai,
protein dapat diberikan sampai dengan 0,75 g/kg BB. Protein diberikan lebih rendah dari
kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut Diet Rendah Protein. Pada waktu
yang lalu, anjuran protein bernilai biologi tinggi/hewani hingga ≥ 60 %, akan tetapi pada
saat ini anjuran cukup 50 %. Saat ini protein hewani dapat dapat disubstitusi dengan
protein nabati yang berasal dari olahan kedelai sebagai lauk pauk untuk variasi menu. ¾
Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan ± 30 % diutamakan lemak tidak
jenuh. ¾ Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah
IWL ± 500 ml. ¾ Garam disesuaikan dengan ada tidaknya hipertensi serta penumpukan
cairan dalam tubuh. Pembatasan garam berkisar 2,5-7,6 g/hari setara dengan 1000-3000
24
mg Na/hari. ¾ Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70
meq/hari ¾ Fosfor yang dianjurkan ≤ 10 mg/kg BB/hari ¾ Kalsium 1400-1600 mg/hari
(depkes), eemam mlan hari (Kresnawan et al., 2006).
Sumber Protein Pada Chronic Kidney Disease Protein berasal dari bahasa
Yunani, yaitu proteos berarti yang utama atau didahulukan. Jumlah dan jenis protein yang
diberikan pada pasien CKD pre dialisis dalam bentuk diet rendah protein sangat penting
untuk diperhatikan karena protein berguna untuk mengganti jaringan yang rusak,
membuat zat antibodi, enzim dan hormon, menjaga keseimbangan asam basa, air,
elektrolit, serta menyumbang sejumlah energi tubuh. Protein dibuat dari 20 asam amino
penyusun protein, 11 diantaranya dapat disintesis oleh tubuh, dan 9 sisanya disebut asam
amino esensial yang diperoleh dari bahan makanan, yaitu Leusin, Isoleusin, Valin,
Triptofan, Fenilalanin, Metionin, Treonin, Lisin dan Histidin. Dari asam amino, 8
diantaranya dibutuhkan oleh orang dewasa, sedangkan Histidin dibutuhkan oleh anak-
anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Bahan makanan yang mengandung semua
asam amino disebut lengkap protein, seperti telur, daging, ikan, susu, unggas, keju. Oleh
karena itu, protein hewani biasa disebut sebagai protein bernilai biologi tinggi. Bahan
makanan nabati, misalnya beras dan kacang-kacangan, mengandung asam amino esensial
yang terbatas atau tidak lengkap. Oleh karena itu, dikatakan mengandung protein bernilai
biologi rendah. Kedelai dan hasil olahannya, yaitu tempe, tahu dan susu kedelai,
mengandung asam amino esensial walaupun ada 1 asam amino yang kurang, terbatas
fungsinya hanya untuk pemeliharaan, tidak untuk pertumbuhan (Limiting Amino Acid)
yaitu metionin. Demikian pula asam amino esensial lisin kurang pada beras dan triptopan
kurang pada jagung, akan tetapi apabila bahan makanan yang mengandung asam amino
terbatas dikonsumsi secara bersamaan dalam hidangan sehari-hari, dapat saling
melengkapi kekurangan dalam asam amino esensial. Sebagai contoh, nasi yang terbatas
25
lisin dimakan bersamaan dengan tempe yang terbatas pada metionin didapatkan campuran
yang memungkinkan saling melengkapi dalam asam aminonya untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh. Metode penilaian kualitas protein dahulu menggunakan
Protein Efficiency Ratio (PER) yang berdasarkan respon pertumbuhan pada pemberian
sejumlah protein.
Saat ini, penilaian mutu protein digunakan Protein Digestibility Corrected Amino
Acid Score (PDCAAS) yang menggambarkan jumlah asam amino dari protein dan
tingkat daya cernanya pada manusia. Dengan metode ini, protein kedelai mempunyai nilai
yang sama dibandingkan dengan putih telur dan protein susu, kecuali asam amino
methionin yang harus ditambah (Kresnawan et al., 2006).
Sumber protein dari kacang-kacangan dan produk kedelai, seperti tempe, tahu,
susu acang juga mengandung kalium dan fosfor yang cukup tinggi, sehingga untuk
mencegah hiperkalemia dan hiperfosfatemia tetap dibutuhkan pengikat fosfor dan kalium
yang adekuat. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti protein hewani
sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Akan tetapi tidak untuk suplemen
atau tambahan sehingga melebihi kebutuhan. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan
sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah
mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan
pada CKD. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan didapatan protein dari kedelai
dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamato cytokines yang
diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebuh lanjut. Penelitian lain
mengenai diet dengan protein nabati pada pasien CKD adalah dapat menurunkan ekresi
urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantunh yang sering
dialami pada pasien CKD. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang
26
diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu
didapatkanmenunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut (Kresnawan et al., 2006).
2. Bahan Makanan yang Dianjurkan
¾ Sumber Karbohidrat: nasi, bihun, mie, makaroni, jagng, roti, kwethiau, kentang,
tepungtepungan, madu, sirup, permen, dan gula. ¾ Sumber Protein Hewani: telur, susu,
daging, ikan, ayam. Bahan Makanan Pengganti Protein Hewani Hasil olahan kacang
kedele yaitu tempe, tahu, susu kacang kedele, dapat dipakai sebagai pengganti protein
hewani untuk pasien yang menyukai sebagai variasi menu atau untuk pasien vegetarian
asalkan kebutuhan protein tetap diperhitungkan. ¾ Sumber Lemak: minyak kelapa,
minyak jagung, minyak kedele, margarine rendah garam, mentega. ¾ Sumber Vitamin
dan Mineral: Semua sayur dan buah, kecuali jika pasien mengalami hipekalemi perlu
menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan
cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman
dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat
dimasak menjadi stup buah/coktail buah (Kresnawan et al., 2006).
3. Bahan Makanan yang Dihindari
¾ Sumber Vitamin dan Mineral: Hindari sayur dan buah tinggi kalium jika pasien
mengalami hiperkalemi. Bahan makanan tinggi kalium diantaranya adalah bayam,
gambas, daun singkong, leci, daun pepaya, kelapa muda, pisang, durian, dan nangka.
Hindari/batasi makanan tinggi natrium jika pasien hipertensi, udema dan asites. Bahan
makanan tinggi natrium diantaranya adalah garam, vetsin, penyedap rasa/kaldu kering,
makanan yang diawetkan, dikalengkan dan diasinkan (Kresnawan et al., 2006).
b. Terapi farmakologis
27
Terapi ini berutujuan untuk menurunkan hipertensi intraglomerulus dan sistemik
sehingga dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan menghambat perburukan
kerusakan nefron (Kresnawan et al., 2006). Hal ini adalah sama pentingnya dengan
dengan pembatasan protein. Sasaran dari terapi ini adalah sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria (Kresnawan et al., 2006). Target tekanan darah yang dicapai pada pasien
CKD dengan proteinuria adalah 125/75 mmHg (Sudoyo et al., 2009).
Obat yang digunakan adalah ACE-i dan ARB yang dapat menghambat
angiotensin-induced vasokonstriksi pada arteriol aferen dari mikrosirkulasi glomerular
sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi intraglomerular dan proteinuria. Beberapa
studi menunjukkan bahwa obat-obatan ini efektif pada pasien gangguan ginjal dengan
DM maupun non-DM. Efektivitas obat dalam menghambat progresi perburukan CKD
adalah bergantung dari efeknya terhadap menurunkan proteinuria. Jika pada penggunaan
satu jenis obat tidak ditemukan respons anti proteinuria, maka bisa digunakan kombinasi
obat ACE-I dan ARB. Efek samping ACE-I adalah batuk, angioderma; efek samping
ARB: anafilaksis,hyperkalemia. Jika ditemukan peningkatan efek samping maka obat
bisa diganti dengan lini kedua seperti CCB, diltiazem, verapamil (Price et al., 2006)
D. Pencegahan dan terapi pada penyakit Kardiovaskular
Hal ini sangat penting dilakukan karena 840-45% kematian pada penderita CKD
diakibatkan oleh penyakit kardiovaskular. Upaya yang dilakukan berupa pengendalian
terhadap DM, hipertensi, anemia, hiperfosfatemia, terapi kelebihan cairan dan
keseimbangan elektrolit. Upaya-upaya ini terkait dengan komplikasi CKD secara
menyeluruh (Sudoyo et al., 2009).
Screening atau pemantauan faktor resiko dari coronary artery disease (CAD) dapat
dilakukan pada CKD stage II (GFR<90ml/min), dilakukan setidaknya 1 kali setahun
28
sebelum transplantasi ginjal. Darah lengkap, Gula darah puasa, G2PP, Asam urat serum,
kadar kalsium, fosfat, dan profil lipid, elektrokardiogram, ekokardiografi, dan radiografi
thoraks harus menjadi parameter screening.
Pada CKD bila ditemukan uremia maka kemungkinan dapat pula mencetuskan
kelainan pada EKG dan thallium stress test. Kebanyakan pasien dengan CKD tidak akan
dapat melakukan stress test dengan thread mill test dan maka dari itu skrining dengan
ekokardiografi dengan stress test dobutamine menjadi pilihan pemeriksaan untuk skrining
CAD. Angiografi koroner menjadi gold standard untuk diagnosis CAD. Pasien
asimptomatis dengan resiko tinggi sebaiknya dilakukan angiografi koroner bila pada
skrning tadi menunjukan kelainan. Dan pasien yang menunjukan gejala sebaiknya
dilakukan angiografi koroner tanpa dilakukan skrining terlebih dahulu. Perhitungan enzim
jantung belum menjadi pilihan pada skrining, karena, kemungkinan enzim spesifik seperti
troponin T meningkat juga pada saat hemodialisa. Hanya bila kadar troponin T dengan
kadar serum > 0,8ng/ml dan CKMB isoenzim lebih dari 5% disebut bermakna.Kadar
Troponin I lebih sensitive pada Miokard infark akut. Kelainan gerak jantung dapat
diketahui melalui ekokardiografi namun tetap tidak dapat membedakan OMI atau AMI.
Pada pasien diabetic dengan usia >45 tahun, dan pasien simptomatik, test threadmill dan
ekokardiografi 2 dimensi diajurkan untuk diperiksa.
Target untuk menurunkan resiko kardiovaskular pada pasien CKD termasuk
diantaranya berhenti merokok, tekanan darah <130/80 mmHg, hemoglobin 11-12 g/dl,
LDL <100 mg/dl, serum calcium 9-10 mg/dl, serum fosfat 2,5-5,5 mg/dl, GDP <126
mg/dl, GD2PP <180 mg/dl dan albumin serum >3,5 g/dl.
Terapi yang dapat digunakan dalam mengatasi CAD dengan CKD antara lain
aspirin, B-blocker, Nitrat, heparin, dan terapi trombolitik, tentunya sesuai indikasi dan
29
tidak ada kontraindikasi yang memberatkan pasien. Heparin low molecular sebaiknya
dihindari. Kalaupun diperlukan tindakan seperti bypass arteri koroner maka indikasinya
akan sama baik pada pasien uremia dan non uremia. Ini termasuk pada kerusakan main
artery coronaria, penurunan Fungsi ventrikel kiri, dan angina unstable. Penanganan
bersama antara dokter Jantung dan Dokter Penyakit Dalam serta Bedah diperlukan.
E. Pencegahan dan Terapi komplikasi
1. Modifikasi penyesuaian obat
Menghindari obat-obatan yang dieliminasi terutama melalui ginjal. Seperti
Metformin, meperidin, dan OHO lain yang dieliminasi di ginjal. OAINS juga harus
dihindari karena dapat memperburuk fungsi ginjal. Dan banyak antibiotic, antiaritmia ,
dan antihipertensi yang memerlukan penyesuaian dosis.
2. Pembatasan cairan (balance cairan) dan elektrolit
Bertujuan untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular. Diatur
sedemikian rupa sehingga tercapai keseimbangan cairan,dimana jumlah air yang masuk
sama dengan jumlah air yang keluar. Jumlah air yang keluar dari tubuh yaitu dari
insensible water loss adalah sekitar 500-800 ml/hari,sehingga jumlah air yang masuk
adalah 500-800 ml/hari ditambah jumlah urin (Kresnawan et al., 2006). Asupan cairan 1-
2 L per hari dapat menjaga keseimbangan cairan.(5)
Pembatasan elektrolit,yaitu dengan mengawasi asupan kalium dan
natrium.Kalium dibatasi karena hyperkalemia dapat menyebabkan aritmia
jantung,sehingga obat-obatan dan makanan yang tinggi kalium harus dibatasi (Kresnawan
et al., 2006).Jika GFR menurun <10-20 ml/menit maka asupan harus kurang dari 50-60
meq/dl.(5) Natrium harus dibatasi untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah
30
garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat edema
(Kresnawan et al., 2006). Asupan natrium >3-4 g/dl dapat menyebabkan
edema,hipertensi,dan CHF. Asupan <1 g/dl menyebabkan volume depletion dan
hipertensi. Untuk pasien yang mendekati End Stage Renal Failure, inisial rekomendasi
asupan natrium adalah 2g/dl (5)
Pembatasan magnesium juga penting karena Mg terutama dieliminasi ginjal.
Semua Mg mengandung laxativ dan antacid yang merupakan kontraindikasi relative pada
penyakit ginjal.(5)
3. Osteodistrofi renal
Sering terjadi pada CKD. Pencegahan dan terapi dilakukan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian kalsitriol (1,25 (OH)2D3) (Sudoyo et al., 2009).
Hiperfosfatemia
Diatasi dengan membatasi diet fosfat, yaitu sebanyak 600-800 mg/hari. Hal ini
sejalan dengan diet pada CKD secara umum,yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan
rendah garam. Fosfat banyak terdapat dalam produk hewan seperti susu, telur, daging.
Pembatasan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan karena bahaya malnutrisi (Sudoyo
et al., 2009).
Memberi pengikat fosfat.
Bertujuan untuk menghambat absorbs fosfat di saluran cerna.Pengikat fosfat
ini diberikan diantaranya; Garam Kalsium, Aluminium hidroksida, Garam
magnesium. Yang banyak dipakai adalah CaCO3 dan Calcium asetat (Sudoyo et al.,
2009).
31
Pemberian Ca mimetic agent.
Efektivitas penggunaannya baik dengan efek samping minimal. Cara kerjanya
dengan menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid (Sudoyo et al., 2009).
Pemberian kalsitriol.
Pemakaiannya tidak begitu luas karena dapat meningkatkan absorbs fosfat dan
calcium dalam saluran pencernaan, sehingga dikhawatirkan terjadi penumpukan
garam kalsium di jaringan yang disebut kalsifikasi metsatatik. Oleh karena itu
pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar P darah normal dan kadar
parathormon lebih dari 2,5 kali normal (Sudoyo et al., 2009).
4. Anemia
Anemia pada CKD berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, sebagai
penyebab kematian utama pada CKD. Anemia pada CKD biasanya normositik
normokromik. Morbiditas dan mortalitas utama pada anemia pasien CKD merupakan
komplikasi sekunder diakibatkan menurunnya pasokan O2 ke jaringan, adanya Left
Ventricular Hypertrophy, angina pectoris, dan Gagal jantung kongestif. Hal ini
menyebabkan menurunnya kemampuan mental, menurunnya kualitas hidup, dan
menurunnya angka harapan hidup (Sudoyo et al., 2009).
Pada CKD, 80-90% anemia akibat defisiensi eritropoietin (EPO). Penyebab
lain adalah defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria),
umur eritrosit yg pendek (misal pada hemolisis), defisiensi asam folat, penekanan
sum-sum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik,.
Evaluasi dapat dimulai saat Hb≤ 10 g/dl atau hematocrit ≤ 30%. Melakukan evaluasi
status besi (SI,TIBC,Fe serum), mencari sumber perdarahan, dan melakukan
32
pemeriksaan morfologi eritrosit (Kresnawan et al., 2006). Pada tinja dapat pula
dilakukan pemeriksaan darah samardan parasite untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia lainnya.
Kadar Hb penderta CKD perlu dipertahankan .Anemia pada CKD terjadi
mulai stadium 3 dan hampir 100% pada stadium 5. Disebut Anemia bila didapatkan
kadar Hb <14 gr % (pria) dan pada <12 gr% (wanita). Anemia defisiensi besi pada
CKD bila (Adler et al., 2009).
- Absolut : Serum transferin (ST) < 20%, feritin serum (FS) < 100ng/mg (CKD
non HD) dan < 200 ng/ml (CKD HD).
- Fungsional : ST < 200 %, FS ≥ 100 ng/ml (CKD non HD), ≥ 200 ng/ml (CKD
HD).
Terapi pemberian suplemen besi harus dimulai bila serum feritin kurang dari
100 ng/ml atau serum transferin kurang dari 20%. Pada pasien predialisis, pemberian
suplemen besi per oral dapat diberikan sampai 200mg/hari, diberikan sebelum makan.
Tatalaksana berikutnya yang dilakukan terutama ditujukan pada penyebab
utama. Dalam pemberian EPO ini status besi harus diperhatikan karena EPO perlu
besi untuk bekerja. Jika dilakukan transfusi darah, harus hati-hati mempertimbangkan
segala aspek. Sasaran Hb yang dicapai adalah 11-12 g/dl (Kresnawan et al., 2006).
EPO biasanya diberikan sebagai injeksi subkutan (25 hingga 125 U/kgBB)
tiga kali seminggu.(4).Indikasi terapi dengan eritropoetin adalah kadar Hb < 10 gr %
dengan penyebab lain sudah diatasi. Syarat pemberian EPO, tidak ada anemia
defisiensi besi absolut, bila masih ada dianjurkan dikoreksi terlebih dahulu; tidak
ditemukan infeksi yang berat. Kontraindikasi terapi dengan eritropoetin adalah
33
kondisi tekanan darah tinggi, kondisi hiperkoagulasi., adanya respon yang tidak baik
terhadap pemberian eritropoetin (EPO) dengan dosis 8000 - 10.000 U / minggu,pada
minggu ke-4 kenaikan Hb gagal mencapai 0.5 - 1.5 gr % atau terjadi kegagalan
mempertahankan kadar Hb.(7).Efek samping pemberian EPO adalah tekanan darah
meningkat, thrombosis, kejang (Price et al., 2006). Peningkatan tekanan darah akibat
terapi EPO disebabkan oleh peningkatan viskositas darah dan pulihnya vasodilatasi
perifer yang diinduksi anemia (Price et al., 2006).
Terapi anemia didasarkan indikasi terapi besi yaitu anemia besi absolut,
anemia besi fungsional, tahap pemeliharaan status besi.Kontraindikasi terapi besi
adalah hipersensitivitas terhadap besi, gangguan fungsi hati berat, andungan besi
tubuh berlebih. Target Hb pada terapi menggunakan eritropoetin adalah dimulai pada
kadar Hb < 10 gr %, pada Penderita CKD yang menjalani HD / non HD dengan target
Hb 10 - 12 gr %, kadar Hb tidak boleh > 13 gr % (Adler et al., 2009).
5. Asidosis
Asidosis metabolic kronik yang ringan pada penderita uremia biasanya akan
menjadi stabil pada kadar bikarbonat plasma 16 sampai 20 mEq/l. Penurunan asupan
protein dapat memperbaiki keadaan asidosis, tetapi bila kadar bikarbonat serum
kurang dari 15 mEq/l, beberapa ahli nefrologi memberikan terapi alkali, baik natrium
bikarbonat maupun sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari secara oral, untuk menghilangkan
efek sakit pada asidosis metabolic, termasuk penurunan masa tulang yang berlebihan.
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali bila bikarbonat plasma turun di bawah
angka 15 mEq/L, ketika gejala-gejala asidosis dapat mulai timbul. Asidosis berat
dapat tercetus bila suatu asidosis akut terjadi pada penderita yang sebelumnya sudah
mengalami asidosis kronik ringan. Asidosis berat dikoreksi dengan NaHCO3
34
parenteral,maka perlu disadari resiko yang ditimbulkannya. Koreksi pH darah secara
berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, kejang, dan kematian. Perlu diingat
bahwa penderita gagal ginjal kronik juga mengalami hipokalsemia
c. Hiperurisemia
Obat pilihan hiperurisemia pada CKD adalah allopurinol. Obat ini mengurangi
kadar asam urat dengan menghambat sintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan
oleh tubuh. Untuk meredakan gejala-gejala artritis gout dapat digunakan kolkisin
(obat antiradang pada gout) (Price et al., 2006).
BAB III
KESIMPULAN
Tatalaksana konservatif pada Chronic Kidney Disease bertujuan untuk menghambat
progresifitas perburukan fungsi ginjal ke tahap selanjutnya. Prinsip-prinsip dasar
35
penatalaksanaan konservatif sangat sederhana dan dedasarkan pada pemahaman mengenai
batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal ini sudah
diketahui maka diet zat terlarut dan cairan orang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan
dengan batas-batas tersebut. Selain itu, terapi diarahkan pada pencegahan dan pengobatan
komplikasi yang terjadi.Tatalaksana ini dilakukan ketika pasien masih pada stadium empat
atau sebelumnya. Jika pasien telah memasuki stadium lima dari Chronic Kidney Disease ,
atau stadium akhir maka terapi konservatif tidak dapat lagi diandalkan untuk menghambat
progresifitas penyakit sehingga harus segera melakukan dialysis atau terapi penggantian
ginjal.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Adler J, Aminoff M, Baird C, et al. LANGE 2009 CURRENT Medical Diagnosis &
Treatment ed.48. Mc Graw Hill. 2009
2. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17 th
Ed,Vol.II. Mc Graw Hill. 2008
3. Kresnawan T, Markun HMS. Diet Rendah Protein dan Penggunaan Protein Nabati
Pada Gagal Ginjal Kronik. Divisi Ginjal Hipertensi Bag. Penyakit Dalam FKUI-
RSCM. Jakarta: 2012. Accessed on 13th September 2012. Available at:
http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/diet_rendah_prot-nabati.pdf
4. Matovinovic MS, Patophysiology And Classification Of Chronic Kidney Disease. Vol
20 No 1. EJIFCC : Electronic Journal; 2011
5. Narula AS, Hooda AK. Concervative Management of Chronic Renal Failure. MJAFI
2007; 63 : 56-61.
6. Price S, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,Vol.2. ECG.
Jakarta; 2006.
7. Prodjosudjadi W, Susalit E, Suwitra K,et al. Penatalaksanaan Chronic Kidney Disease
dan Hipertensi. PERNEFRI. 2009.
8. Sudoyo W, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Interna Pubishing. Jakarta; 2009. Hal : 570-573.
9. Suhardjono, Dharmeizar, Lydia, Bonar. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik dan
Hipertensi. PERNEFRI : 2009
10. Rask-Madsen C, King GL. Kidney complications: factors that protect the diabetic
vasculature. Nat Med. Jan 2010;16(1):40-1.
37
11. Remuzzi G, Perico N, Macia M, Ruggenenti P. The role of renin-angiotensin-
aldosterone system in the progression of chronic kidney disease. Kidney
International : 2005. Hal : 68, S57–S65
12. Robbins, Stanley L, Kumar, Vinay. Robbins basic pathology. Saunders : Elsevier.,
2007.
13. Ruhston HG. URINARY TRACT INFECTION : EPIDEMIOLOGY,
EVALUATION, AND MANAGEMENT. Medscape : 1997 : 44(5): 1133-1169.
38