BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan depresi termasuk dalam kelompok gangguan mood. Sebelum membahas lebih
lanjut tentang gangguan depresi, terlebih dahulu perlu dipahami yang dimaksud dengan
emosi dan mood dan mengapa kedua tanda tersebut harus dipahami. Dalam pembahasan
emosi tercakup antara lain afek, mood, emosi yang lain, dan gangguan psikologi yang
berhubungan dengan mood.
Emosi merupakan kompleksitas perasaan yang meliputi psikis, somatik dan perilaku yang
berhubungan dengan afek dan mood. Dalam buku yang lain arti kata emosi biasanya sinonim
dengan afek, yaitu suasana perasaan hati seorang individu. Mungkin lebih tepat untuk
menggunakan kata emosi untuk perasaan yang dihayati secara sadar, sedangkan kata afek
dirujukkan pada dorongan-dorongan yang lebih mendalam yang mendasari kehidupan
perasaaan yang sadar maupun yang nirsadar. Sedangkan mood merupakan subjektivitas
peresapan emosi yang dialami dan dapat diutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang
lain; sebagai contoh adalah depresi, elasi dan marah.
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, mengalami hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau
bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan aktivitas, kemampuan kognitif, bicara
dan fungsi vegetatif (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.
Depresi baik sebagai disease entity maupun sebagai gejala sering ditemukan pada pasien
usia lanjut. Perlu kecermatan dalam menegakkan diagnosis depresi pada usia lanjut karena
tampilan klinisnya bermacam-macam. Dengan dapat ditegakkannya diagnosis, maka
penatalaksanaan dapat lebih maksimal.
BAB II
DEPRESI PADA PASIEN GERIATRI
I. Definisi1
Depresi adalah suasana perasaan depresi (depressed mood) yang dapat merupakan
suatu diagnosis penyakit (disease entity) ataupun sebagai suatu gejala penyakit lain.
Sebagai suatu diagnosis, depresi ditandai dengan perasaan depresi atau hilangnya minat
terhadap suatu hal atau kesenangan, disertai dengan perubahan selera makan atau berat
badan, tidur, dan aktivitas psikomotor; menurunnya energi; perasaan tidak berguna atau rasa
bersalah; kesulitan dalam berpikir, konsentrasi atau membuat keputusan; pikiran berulang
tentang kematian atau ide bunuh diri, rencana bunuh diri bahkan percobaan bunuh diri (APA,
DSM-IV).
II. Epidemiologi1
Gangguan depresi pada populasi umum, prevalensinya dalam kehidupan (life time
prevalence) adalah 15%, dan diperkirakan pada wanita sebesar 25%. Pada pasien usia lanjut
gangguan depresi didapatkan 15% baik di populasi umum maupun di nursing home.
Prevalensi dan insidensi ternyata bergantung pula pada budaya, umur dan gender. Dengan
memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas akan mengurangi underdiagnosis dan
misdiagnosis.
III. Etiologi1
Berbagai macam teori diajukan pada ahli tentang gangguan depresi, namun bebrapa
kasus jelas disebabkan oleh penggunaan obat-obatan (polifarmasi), beberapa kasus
disebabkan oleh kondisi medis seperti strok dan hipertiroidisme (Spar & La Rue, 1999).
A. Teori neurobiologi
Pada penelitian kembar monozigot ditemukan kemungkinan terjadi
gangguan depresi pada saudara kembarnya adalah 60-80%, sedangkan pada
kembar heterozigot 25-35%. Ditemukan adanya perubahan neurotransmitter pada
gangguan depresi, seperti menurunnya kadar serotonin, norepinefrin, dopamin
dan asetilkolin serta meningkatnya kadar monoamine oksidase otak akibat proses
penuaan (Lipton, 1976).
B. Teori psikodinamik
Elaborasi Freud pada teori Karl Abraham tentang proses berkabung
menghasilkan pendapat bahwa hilangnya obyek cinta (dapat berupa obyek
abstrak seperti status dan sebagainya) diintroyeksikan ke dalam invididu tersebut
sehingga menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Karenanya,
kemarahan terhadap obyek yang hilang tersebut ditujukan kepada diri sendiri.
Akibatnya terjadi perasaan bersalah atau menyalahkan diri sendiri, merasa diri
tidak berguna dan sebagainya.
C. Teori kognitif dan perilaku
Konsep Seligman (1967) tentang “learned helplessness” menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kehilangan yang tidak dapat dihindari akibat proses
penuaan seperti keadaan tubuh, fungsi seksual, dan sebagainya, dengan sensasi
“passive helplessness” banyak terjadi pada pasien usia lanjut.
Sadavoy (1994) berpendapat bahwa secara kognitif terdapat interaksi antara
“kehilangan” dengan “schemata” yang dihasilkan oleh persepsi diri yang negatif
menghasilkan perasaan depresi.
D. Teori psikoedukatif
Chaisson-Stewart (1985) menyimpulkan bahwa gangguan depresi pada usia
lanjut merupakan hasil akhir suatu interaksi antara stresor biologis dan atau
psikososial dan mekanisme perhatanan mental individu yang telah menurun
akibat proses penuaan.
IV. Faktor predisposisi2
Faktor predisposisi terjadinya gangguan depresi pada lanjut usia antara lain:
•Perempuan
•Riwayat adanya gangguan depresi sebelumnya
•Status janda/duda, riwayat berpisah dengan pasangan
•Adanya perubahan neurotransmiter pada otak
•Adanya gangguan neuroendokrin
•Perubahan pada otak seperti adanya atrofi pada neuron-neuron otak, dan perfusi yang
menurun
•Kepribadian menghindar, dependent, anankastik
•Komorbiditas dengan penyakit fisik terutama penyakit vaskular, seperti hipertensi
•Perubahan fungsional otak
•Pengobatan, penyakit sistemik, alkohol; contoh obat:
Antihipertensi (β-bloker, methyldopa, reserpin, klonidin, CCB, digoksin)
Steroid
Analgesik (kodein, opiod, indomethasin, COX-2 inhibitor)
Antiparkinson (L-dopa, amantadin, tetrabenazine)
Antipsikotik
Benzodiazepine
•Dukungan sosial yang kurang
V. Diagnosis
A. Kriteria diagnostik menurut DSM-IV-TR1
Adanya 5 atau lebih gejala berikut dengan salah satu gejala adalah perasaan
depresi atau kehilangan minat atau kehilangan kesenangan.
a. Perasaan depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang secara
subyektif dilaporkan pasien (seperti rasa sedih atau hampa) atau diobservasi
oleh orang lain (seperti mudah menangis);
b. Kehilangan minat atau kesenangan yang jelas dalam semua, atau hampir
semua, aktivitas sehari-hari, hampir setiap hari (dilaporkan sendiri ataupun
diobservasi orang lain);
c. Penurunan berat badan yang bermakna tanpa diet atau peningkatan berat
badan (>5%) atau penurunan atau peningkatan selera makan hampir setiap
hari;
d. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari;
e. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari;
f. Fatigue atau kehilangan tenaga hampir setiap hari;
g. Merasa tidak berguna atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat
(inappropriate) hampir setiap hari;
h. Kemampuan berpikir atau berkonsentrasi menurun, atau ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan; dan
i. Pikiran tentang kematian yang berulang atau ide bunuh diri yang berulang
tanpa rencana khusus atau usaha bunuh diri atau rencana khusus untuk bunuh
diri.
B. Kriteria diagnostik menurut PPDGJ III3
Gejala utama:
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan (ringan, sedang, dan
berat) tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis, atau periode lebih pendek tetapi gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
F32.0 Episode Depresif Ringan
Pedoman diagnostik:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama.
2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.
3. Tidak boleh ada gejala berat diantaranya.
4. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu.
5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukannya.
F32.00 = tanpa gejala somatik
F32.01 = dengan gejala somatik
F32.1 Episode Depresif Sedang
Pedoman diagnostik:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari gejala utama.
2. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
3. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
4. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik:
1. Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
2. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat.
3. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
4. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
5. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Pedoman diagnostik:
1. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
tersebut.
2. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggungjawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).
VI. Tampilan klinis1
A. Depresi psikotik
Depresi ditandai dengan adanya gejala depresi yang kemudian diikuti
dengan gejala psikotik seperti waham, halusinasi dan sebagainya. Secara klinis
Depresi psikotik mudah dikenali dengan adanya gejala depresi klasik yang
timbul, yang baru kemudian diikuti adanya waham atau halusinasi ataupun
perilaku bizzare.
B. Depresi terselubung
Secara klinis sifatnya somatik. Diagnosis akan menjadi sukar bila keluhan
somatik terjadi dan berhubungan dengan gangguan fisik yang jelas. Dalam
keadaan ini klinisi harus peka dan mengikuti indikator obyektif depresi dan teliti
memperhatikan gejala neurovegetatif depresi.
C. Depresi dengan penurunan fungsi kognitif
Sering kali disebut sebagai sindroma dementia dari depresi atau
pseudodementia depresi. La Rue dkk. (1986) menemukan bahwa 22% penderita
gangguan depresi mempunyai skor MMSE di bawah 23. Pada tampilan ini,
kadang menyulitkan klinisi untuk membedakannya dengan demensia Alzheimer
ataupun demensia vaskuler. Perbedaan dapat dilihat dari awal sampai kepada cara
pasien menjawab wawancara dan teks yang dilakukan.
D. Anoreksia
Tampilan klinis gangguan depresi disini berupa penolakan makan tanpa
adanya gejala neurovegetatif depresi ataupun gangguan afek. Kondisi ini biasanya
terdapat pada usia lebih daripada 75 tahun dan menderita penyakit dalam kondisi
terminal. Keluarga biasanya mengatakan bahwa pasien “sudah siap untuk pergi”,
bahkan ada yang menyatakan sebagai bunuh diri secara pasif.
E. Regresi perilaku
Beberapa kasus pasien usia lanjut memperlihatkan penurunan aktifitas fisik
dan sosial, tidak memperlihatkan hygiene diri dan menolak untuk pengobatan,
kehilangan kontak dengan teman dan keluarga, membiarkan rumah berantakan
dan kotor. Dalam pemeriksaan mereka menyangkal adanya penurunan afek
ataupun menurunnya minat dan kesenangan. Pada keadaan ini klinisi jangan
melupakan kemungkinan adanya gangguan depresi.
F. Agitasi perilaku
Pada beberapa pasien tampilan gangguan depresi dapat berupa agitasi
psikomotor. Cohen Mansfield (1989) menyatakan bahwa agitasi ini di akibatkan
ketidakmampuan pasien usia lanjut mengkomunikasikan keberadaannya, sehinga
agitasi merupakan cara penyampaian “terbaik” yang dapat dilakukan.
Ketidakmampuan mengkomunikasikan keinginan ini membuat pasien frustasi dan
depresi yang berkaitan dengan menurunnya fungsi kognitif.
VII. Pemeriksaan status mental2
A. Deskripsi umum
Kemunduran psikomotor secara umum merupakan gejala paling sering.
Secara sederhana, pasien depresi mempunyai postur tubuh yang dibungkukkan,
tidak ada gerakan spontan, sedih, dan memalingkan wajah.
B. Mood, afek, dan perasaan
Gejala kunci adalah depresi, walaupun sekitar 50% pasien menyangkal
perasaan depresi dan tidak tampak depresi. Anggota keluarga dan teman kerja
sering membawa pasien untuk terapi karena menarik diri dari lingkungan sosial
dan pengurangan aktivitas secara umum.
C. Suara
Pengurangan jumlah & volume bicara; mereka merespon pertanyaan
dengan satu-satu kata dan memperlihatkan perlambatan menjawab pertanyaan.
Pemeriksa dapat menunggu 2-3 menit untuk pasien menjawab pertanyaan.
D. Gangguan persepsi
Gangguan depresi berat dengan ciri psikotik mempunyai delusi atau
halusinasi. Bahkan tanpa delusi atau halusinasi, beberapa dokter menyebut
psychotic depression, untuk kemunduran secara keseluruhan, membisu (mute),
tidak mandi, dan kotor.
a. Mood-congruent delusion → perasaan bersalah, tidak berharga, kegagalan,
penderitaan, dan keadaan terminal penyakit somatik.
b. Mood-incongruent delusion → tema grandiosa tentang kemampuan yang
berlebihan, pengetahuan, dan sesuatu yang berharga.
E. Pikiran
Pandangan negatif terhadap dunia dan dirinya sendiri. Isi pikir sering
meliputi rasa kehilangan, rasa bersalah, pikiran bunuh diri, dan kematian. Sekitar
10% → isi pikiran miskin dan blocking.
F. Orientasi
Kebanyakan tidak terganggu orientasinya baik orang, tempat, dan waktu,
meskipun beberapa dari mereka tidak mempunyai tenaga atau minat untuk
menjawab pertanyaan tentang subjek tersebut.
G. Memori
Sekitar 50-75% hendaya kognitif, kadang ditunjukkan sebagai
pseudodementia depresi; umumnya ada keluhan tidak mampu konsentrasi dan
gampang lupa.
H. Kontrol impuls
Sekitar 10-15% melakukan bunuh diri dan sekitar dua pertiganya
mempunyai ide untuk bunuh diri. Pasien dengan gangguan depresi meningkat
resiko untuk bunuh diri ketika energi mereka mulai meningkat dan melanjutkan
rencana untuk menyelesaikan bunuh diri.
I. Judgement & insight
Tilikan pasien depresi terhadap gangguannya sering berlebihan: mereka
terlalu menekankan gejalanya, gangguannya, dan masalah hidup mereka. Ini
menyulitkan untuk meyakinkan pasien, bahwa perbaikan mungkin terjadi.
J. Reliabilitas
Kesalahan dokter, sering tidak memercayai penjelasan pasien depresi yang
menyatakan pengobatan dengan antidepresan sebelumnya tidak berespon.
Pernyataan tersebut mungkin salah, dan dibutuhkan sumber lain untuk
mendapatkan informasi tentang hal tersebut.
VIII.Diagnosis Banding4
1. Gangguan medis
Banyak gangguan medis dan neurologis serta agen farmakologis dapat
menimbulkan gejala depresi. Pasien dengan gangguan depresif sering datang
pertama kali ke dokter umum untuk keluhan somatik. Sebagian besar penyebab
medis gangguan depresif dapat dideteksi melalui anamnesis riwayat medis yang
komprehensif, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta uji urine dan darah rutin.
Pemeriksaan harus mencakup tes untuk fungsi tiroid dan adrenal karena gangguan
kedua sistem endokrin ini dapat timbul sebagai gangguan depresif. Pada
gangguan mood yang diinduksi obat, peraturan baku yang masuk akal adalah
setiap obat yang diminum oleh pasien depresi harus dianggap sebagai faktor
potensial dalam gangguan mood.
2. Keadaan neurologis
Masalah neurologis paling lazim yang menunjukkan gejala depresif adalah
penyakit Parkinson, penyakit dementis (termasuk demensia tipe Alzheimer),
epilepsi, penyakit serebrovaskular, dan tumor.
3. Gangguan mood lainnya
Klinisi harus mempertimbangkan bahwa kisaran kategori diagnosis ada
sebelum mencapai diagnosis akhir. Pertama, klinisi harus menyingkirkan dahulu
gangguan mood yang disebabkan keadaan medis umum dan gangguan mood yang
diinduksi zat. Selanjutnya, klinisi harus menentukan apakah pasien tersebut
pernah mengalami episode gejala mirip mania, yang menunjukkan gangguan
bipolar I (sindrom depresi dan manik lengkap), gangguan bipolar II (episode
depresif berat berulang dengan hipomania), atau gangguan siklotimik (sindrom
depresif dan manik yang tidak lengkap). Jika gejala pasien terbatas pada gejala
depresi, klinisi harus mengkaji keparahan dan durasi gejala untuk membedakan
antara gangguan depresif berat (sindrom depresi lengkap selama 2 minggu),
gangguan depresif ringan (sindrom depresif tidak lengkap tetapi episodik),
gangguan depresif singkat berulang (sindrom depresi lengkap tetapi kurang dari 2
minggu per episode), dan gangguan distimik (sindrom depresif tidak lengkap
tanpa episode yang jelas).
IX. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan depresi pada pasien geriatri mempunyai kekhususan, yakni dalam hal
mempertimbangkan karakteristik pasien geriatri, yaitu; pasien usia lanjut yang menderita
lebih dari satu penyakit pada suatu saat (multipatologi), tampilan gejala dan tanda klinis tidak
khas, daya cadangan faal yang menurun, dan berbagai gangguan dalam status fungsional.
Deteksi depresi pada pasien geriatri seringkali lambat karena tampilan gejalanya yang
tidak khas. Penatalaksanaan depresi pada pasien geriatri tidak terlepas dari kejelian
melakukan deteksi dini Karena semakin terlambat depresi dikenali, semakin luas dampaknya
terhadap status medis secara keseluruhan, dan semakin buruk responnya terhadap terapi.
Pendekatan biologik meliputi obat-obat psikotropika (antidepresan, antianxietas,
antipsikotik), terapi hormonal, tindakan ECT, dan koreksi terhadap kondisi medik umum
yang berhubungan dengan keadaan depresi. Sasaran terapi biologik adalah membenahi
gejala-gejala depresi yang diduga berhubungan dengan disregulasi neurohumoral/
neurotransmiter di susunan saraf pusat, seperti gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, keletihan
kronis, murung/sedih, labilitas emosi, dan gejala-gejala somatis dari sindrom depresi.
Pemberian obat antidepresan secara umum diindikasikan untuk depresi sedang dan
berat. Electro Convulsive Therapy (ECT) diindikasikan untuk keadaan depresi berat,
melancholia, dan depresi dengan ciri psikosis, atau keadaan depresi yang refrakter terhadap
obat-obat psikofarmaka. Sedangkan terapi hormonal hanya diindikasikan bagi pasien depresi
yang menderita defisiensi hormon (tiroid, estrogen).
Efektivitas obat antidepresan dicapai melalui kerjanya meningkatkan aktivitas
neurotransmiter amin-biogenik terutama norepinefrin dan serotonin. Sebagian besar obat
antidepresan bekerja pada reseptor pasca sinaps dengan menghambat reuptake serotonin dan
atau norepinefrin. Selain itu, obat antidepresan juga bekerja pada reseptor muskarinik,
adrenergik, dan histamin-1, kerja obat pada ketiga reseptor ini berhubungan dengan profil
efek samping.
Manfaat obat antidepresan dalam memperbaiki gejala-gejala depresi baru terlihat
setelah 2-4 minggu. Untuk obat antidepresan generasi baru pada umumnya efek terapi telah
muncul pada 2 minggu pengobatan, sedangkan obat-obatan golongan trisiklik sekitar 3-4
minggu. Pemberian dosis obat untuk pasien usia lanjut dianjurkan mulai setengah dosis
dewasa, selanjutnya dititrasi bertahap sampai efek terapi optimal, kemudian dosis tersebut
dipertahankan sampai 2 bulan. Apabila setelah 2 bulan target terapi sudah tercapai, dosis
diturunkan bertahap sampai dosis minimal yang masih mampu memelihara stabilitas mental
pasien, dan ini dipertahankan sampai 6 bulan atau lebih (tergantung dari berat dan
kronisitasnya). Dosis ini harus disesuaikan lagi untuk mereka yang mengalami gangguan
fungsi hati atau ginjal.
Dosis obat-obat olongan trisiklik (imipramin, amitriptilin, nortriptiline) pada pasien
usia lanjut berkisar antara 25-75 mg/hari. Sedangkan golongan SSRI (fluoxetine, sertraline,
paroxetine, fluvoxamine) antara 20-50 mg/hari. Reversible MAOIs (moclobemide) dosisnya
150-300 mg/hari. Apabila akan dilakukan penggantian obat dari satu golongan lainnya,
khususnya dari MAOIs ke SSRI dan trisiklik atau sebaliknya, dianjurkan wash out obat
sebelumnya minimal 2 minggu. Pada pemberian semua golongan antidepresan, perlu
diperhatikan interaksi dengan obat lain, khususnya obat-obat yang dimetabolisme di
mikrosom hati.5
Tabel 1. Obat-obatan antidepresan.4
Pendekatan psikososial merupakan bagian penting dari penatalaksanaan holistik pada
pasien geriatri. Terapi ini ditujukan untuk membenahi faktor psikologis/perilaku yang berasal
dari kepribadian individu (seperti mekanisme koping, mekanisme defensi, daya adaptasi, pola
pikir negatif dsb), dan faktor-faktor psikososial eksternal (misal, disfungsi keluarga, problem
interpersonal, problem sosiokultural).
Salah satu model psikoterapi individual yang efektif untuk mengatasi depresi adalah
terapi cognitive-behavior. Prinsip pendekatan ini adalah, bahwa pola pikir seseorang terhadap
peristiwa yang dialaminya menentukan perilaku dan perasaannya. Pada pasien depresi pola
pikirnya didominasi automatic thinking yang bersifat negatif dan tidak rasional, dan pada
akhirnya memengaruhi kehidupan emosional dan perilakunya. Terapi cognitive-behaviour
melatih pasien berpikir dan berperilaku lebih rasional.
Pendekatan lain yang lebih sederhana adalah konseling dan terapi suportif. Disini
tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan pasien dalam mengatasi masalah,
memperbaiki mekanisme koping, dan mengenali sisi positif dari kehidupannya. Proses terapi
sangat fleksibel, tidak ada tugas-tugas ataupun latihan khusus, lebih banyak berupa dialog,
berbagi rasa, memberi dukungan serta nasehat.5
BAB III
KESIMPULAN
Depresi merupakan keadaan tidak normal pada penuaan. Kurangnya keterpaduan dalam keperawatan kesehatan dan pelayanan kesehatan mental telah membuat sistem yang tidak kompherensif pada pasien usia lanjut dengan depresi. Masalah medis yang multi kompleks pada usia lanjut. Sering memperburuk tingkat ketidakmampuan. Usia lanjut dengan depresi sering menampilkan gejala spesifik yang merugikan, seperti insomnia, anoreksia, dan kelelahan.
Depresi pada usia lanjut sudah meluas, sering tidak terdiagnosis dan tak terawat. Sistem keperawatan yang ada seringkali tidak terpadu. Staf dan fasilitas lainnya sering tidak tepat menggunakan alat dan mendiagnosis dalam mengenali dan merawat pasien dengan depresi.
Depresi cenderung berlangsung lebih lama pada usia lanjut dan akan meningkatkan juga risiko kematian mereka. Beberapa penelitian tentang perawatan pasien depresi di rumah, yang berhubungan dengan penyakit fisik, telah menunjukkan bahwa munculnya depresi tersebut secara substansial meningkatkan mortalitas atau karena kekhawatiran tentang kematian dari penyakitnya tersebut. Depresi pada usia lanjut mungkin menyebabkan bunuh diri. Risiko bunuh diri merupakan keprihatinan yang serius pada pasien usia lanjut dengan depresi, sehingga, perawatan pada usia lanjut dengan depresi harus terevaluasi dengan baik.
Penyakit depresi pada pasien-pasien geriatri di masa yang akan datang seharusnya ditangani dengan antidepresi yang adekuat. Pendekatan multidislipin dan kompherensif termasuk pertimbangan terapi ECT pada beberapa kasus adalah penting.
DAFTAR PUSTAKA
1. Damping CE. Diagnosis klinis depresi pada pasien geriatri. Dalam: Prosiding Temu
Ilmiah Geriatri 2002. Jakarta: PIP FKUI: 42-45.
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI, 2014.
3. Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013.
4. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (eds). Kaplan and Sadock’s comprehensive textbook of
psychiatry, 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
5. Dharmono S. Penatalaksanaan paripurna depresi pada pasien geriatri. Dalam: Prosiding
Temu Ilmiah Geriatri 2002. Jakarta: PIP FKUI: 46-50.