BAB I
PENDAHULUAN
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, selaput lendir, kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau
genitalia. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit
dan atau mukosa. yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae.1
Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, yaitu
dengan angka kematian sekitar 10%. Faring merupakan daerah tersering untuk
infeksi ini. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada individu yang tidak diimunisasi
atau imunisasi yang tidak adekuat. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri
tenggorokan. Di samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia.2
Pemeriksaan yang khas pada penyakit ini menunjukkan adanya membran
yang khas di atas daerah tonsila yang meluas ke struktur yang berdekatan.
Membran tampak kotor dan berwarna hijau tua bahkan dapat menyumbat
peradangan tonsila. Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang
membedakannya dengan penyebab faringitis membranosa lain.2
Diagnosa harus dapat ditegakkan sesegera mungkin sehingga penanganan
dapat diberikan lebih awal. Pada kasus-kasus yang berat ditandai dengan
pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.1
Makalah ini akan membahas mengenai penyakit tonsillitis difteri yang
diharapkan dapat bermanfaat nantinya bila menemui kasus ini di tempat praktek
sehingga dapat mendiagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tonsil
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.3
Gambar 1. Cincin Waldeyer
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk
oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.3
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral : M. konstriktor faring superior
Anterior : M. palatoglosus
Posterior : M. palatofaringeus
Superior : Palatum mole
2
Inferior : Tonsil lingual
Gambar 2. Anatomi Tonsil5
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan limfoid).4
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring,
yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai
bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan
berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke
atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke
arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada
tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior
dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah
bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi
3
menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa
kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil
terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang
telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering
terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A.
tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A.
lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian
anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A.
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.
palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil
4
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan
akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh
getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V
melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf
glosofaringeus.
Gambar 4. Persarafan Tonsil
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel
limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di
darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang
terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen
presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel
limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel
5
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan
organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu
1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.4
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah
ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding
atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi.4
Gambar 5. Adenoid
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:
T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior-uvula
6
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ pilar anterior-uvula sampai ½ jarak
pilar anterior-uvula
T3 : batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior-uvula
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih.
Gambar 6. Ukuran Tonsil
2.2 Fisiologi Tonsil
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.4
Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.4
7
2.3 Tonsilitis Difteri
2.3.1 Definisi
Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring
yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan
pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian ats
dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin
yang dapat menimbulkan eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan
lokal.6
2.3.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang
sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi.7
2.3.3 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang
mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.8
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu
8
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.8
Gambar 7. Corynebacterium diphteriae
2.3.4 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/ kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin
yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.8
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.8
9
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi
tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan
nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat
fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri
dalam periode penyembuhan. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous
dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin
yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal.8
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum
timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14
hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan
patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti,
infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita
tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak
neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubuler akut pada ginjal.8
10
2.3.5 Manifestasi Klinis
Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang
biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan.8
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:6
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu. Membran
ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat
pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull
neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
11
Gambar 8. Pseudomembran yang mudah berdarah
Gambar 9. Bull Neck Difteri
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.
12
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.8
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara
Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri
dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan
lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.8
2.3.7 Penatalaksanaan
a. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana:8
Biakan hidung dan tenggorok
Seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
b. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
13
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.8
Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas
tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Khusus
Anti Diphteria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva
dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya
reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan
garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan
serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali.
Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti
diphtheria ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak
tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000
KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
14
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40
mg/kg/hari.
Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi
saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai
Reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam
nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral 100
mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin40 mg/kgBB/hari atau suntikan
selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/
adenoidektomi.9,10,11
d. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan
jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil
faringeal.8
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini. Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan
15
hipertrofi tonsil. Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi
terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
kardiopulmonal
Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak
diberikan pengobatan medik yang adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medik.
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-
laktamase.
3. Kontraindikasi
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
tonus otot yang lemah
sinusitis
albuminuria
hipertensi
rinitis alergika
demam yang tidak diketahui penyebabnya
16
Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
sampai sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik
memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyembuhan luka pada tonsilektomi
terjadi per sekundam. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta
durasi operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan
disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untu mengangkat tonsil secara
cepat dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan
untuk melepas tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat
sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan
yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan
dilakukan dalam anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem
tonsil dan ditarik kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi
tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan pemotongan
mukosa dari pilar tersebut.
Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan
anestesi lokal maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
1. Komplikasi anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan
pasien. Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
Laringospasme
17
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah
kasus). Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi
atau dirumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35. 000
pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan
serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut
sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah
operasi
3. Komplikasi lain
Dehidrasi,demam, kesulitan bernapas,gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi
velopharingeal, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia.
2.3.8 Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
18
kelumpuhan otot-otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke
ginjal.6
2.3.9 Prognosis
Prognosis tergantung kepada
Virulensi kuman
Lokasi dan perluasan membrane
Kecepatan terapi
Status kekebalan
Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
Keadaan umum penderita, misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita
gizi kurang
Ada atau tidaknya komplikasi
Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang
berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan
bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua
kasus difteri respiratorik.12,13
BAB III
KESIMPULAN
19
Tonsilitis difteri adalah radang akut pada tonsil sampai mukosa faring
yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae. Yang sering ditemukan
pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.
Meskipun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang
masih ada yang terkena penyakit ini.
Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan
kuman gram (+), ireguler, tidak bergerak, tidak berspora. Dasar dari terapi ini
adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan antibiotik.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C.
diphtheria.
Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Kadun I Nyoman. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV. Infomedika, Jakarta. 2006.
2. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC: Jakarta. 1997.
3. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara 1994: p321
4. Drake A. Tonsillectomy. available from: http://www.emedicine.com/ent
5. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery. Philadelphia, WB Saunders 3rd edition, 1991: 2149-56
6. Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI. 2007: 222
7. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from: http://www.medicalnewstoday.com
8. Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.
9. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm
10. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at: http://www.biofarma.co.id/index. php/detil/items/serum-anti-diptheri.html.
11. RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at: http://www.rxmed.com
12. American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006.
21
13. Doerr S. Diphtheria. Available at: http://www.emedicinehealth.com /diphtheria/page9_em.htm
22