Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 1
REGIONALISASI DAN MANAJEMEN
KERJASAMA ANTAR DAERAH
(Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah Yang Berdekatan di Jawa Tengah)
Ringkasan Disertasi
Oleh :
Hardi Warsono
No. Mhs. 05/1645/PS
PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS GADJAHMADA
YOGYAKARTA
2009
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 2
TIM PROMOTOR :
1. Prof. Dr. Warsito Utomo
2. Prof. Y. Warella, MPA., PhD.
3. Prof. Dr. Yeremias T. Keban, MURP
TIM PENILAI :
1. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP
2. Dr. R. Rijanta, M.Sc.,
3. Prof. Dr. Prasetyo Soepono, MBA
TIM PENGUJI :
1. Dr. Agus Pramusinto, M., Dev., Admin.,
2. Dr. Ambar Widaningrum, MA
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 3
KATA PENGANTAR dan UCAPAN TERIMAKASIH
Kerjasama antar daerah (intergovernmental
management) merupakan fenomena yang marak mendapat
perhatian di Jawa Tengah seiring mulai surutnya hiruk pikuk
reformasi politik. Regionalisasi tata ruang dapat menjadi pijakan
awal kerjasama antar daerah. Oleh beberapa penyelenggara
pemerintahan yang tergabung dalam sebuah region,
regionalisasi tata ruang di Jawa Tengah dapat berkembang
menjadi kerjasama antar daerah dan terbentuk manajemen
regional, seperti misalnya Barlingmascakeb, dan
Subosukawonosraten.
Urgensi lembaga kerjasama regional memang tidak
mendapat respon yang sama bagi semua kabupaten/kota.
Selain yang telah melaksanakan kerjasama intensif, beberapa
kabupaten/kota yang tergabung dalam region lainnya tidak
merasa perlu. Perda Tata Ruang Provinsi Jawa Tengah nomor 21
tahun 2003 telah menetapkan delapan (8) region sebagai
kawasan prioritas. Namun demikian regionalisasi yang telah
dikukuhkan tersebut keberadaan tidak jelas. Mengingat
pentingnya pelaksanaan kerjasama antar daerah sebagai media
optimalisasi sinergi potensi dan mengatasi masalah antar
kabupaten/ kota yang berdekatan, penulis merasa perlu
mengangkat tema ini ke dalam penulisan disertasi. Bagi penulis,
awalnya melihat fenomena ini seperti memasuki rimba yang tak
diketahui harus mulai dari mana dan berujung dimana. Inilah
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 4
yang memberikan tantangan besar untuk terus mencari dan
mencari sehingga dapat tersaji seperti paparan disertasi ini.
Alhamdulillah pada akhirnya keinginan penulis untuk
mengangkat kompleksitas pelaksanaan kerjasama antar daerah
yang berdekatan ini mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami merasa sangat
perlu menyampaikan terimakasih yang terdalam pada semua
pihak, khususnya kepada :
1. Prof. Dr. Warsito Utomo, sebagai promotor utama yang
dengan profesional, sabar, dan teliti memberikan bimbingan
dan motivasi untuk terus menulis dan membuat target-target
capaian ketika penulis mulai memasuki saat-saat
kebimbangan dan kejenuhan. Untuk ini penulis merasa tidak
akan pernah cukup meski berjuta terimakasih telah terucap,
2. Prof. Drs. Y. Warella, MPA., PhD., selaku co-promotor
memberikan berbagai masukan sebagai pengkayaan materi
dan sebagai atasan penulis yang terus menerus memberikan
dukungan baik moril dan materiil agar pendidikan S3 yang
sedang ditempuh penulis segera dapat terselesaikan dengan
baik,
3. Prof. Dr. Yeremias T. Keban, selaku co-promotor yang teliti
memberikan koreksi diantara kesibukan yang luar biasa.
Beliau banyak memberikan inspirasi dan pengkayaan teori
sejak penulis menempuh pendidikan S2 sampai S3,
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 5
4. Pengajar mata kuliah penunjang dan tim penilai ujian
komprehensif yakni Dr. Erwan Agus Purwanto, Prof. Dr.
Nasikun, Dr. Irwan Abdulah, Prof. Dr. Muhajir Darwin, Dr.
Samudra Wibawa (sekaligus pengelola S3 Administrasi Negara
Fisipol UGM), yang memberikan warna dan penajaman pada
proposal disertasi,
5. Tim Penilai Kelayakan Disertasi yang terdiri dari Dr. Wahyudi
Kumorotomo, MPP., Dr. R. Rijanta, M.Sc., dan Prof. Dr. Prasetyo
Soepono, MBA., dan Tim Penguji Disertasi yakni Dr. Agus
Pramusinto, M.Dev.Admin., dan Dr.. Ambar Widaningrum, MA
yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya,
6. Rektor Undip, Dekan Fisip Undip, Ketua Program Studi
Administrasi Publik serta Ketua dan pengelola Prodi Magister
Administrasi Publik (MAP) Undip yang telah memberikan ijin
belajar, serta semua sejawat pengajar di Jurusan Administrasi
Publik Fisip Undip yang telah berbesar hati memberikan
kesempatan dengan berbagai tugas dan dorongan saat
penulis mengikuti pendidikan S3,
7. Segenap rekan di Bappeda Provinsi Jawa Tengah (Arief
Wahyudi, Eny, dkk), Drs Kunto Nugroho, Msi., sebagai alumni
MAP Undip dan Kepala Biro Kerjasama Pemprov Jateng
(tahun 2007), ibu Ir. Yuni Astuti, MA., Kepala Biro Otonomi dan
Kerjasama Provinsi Jawa Tengah (mulai tahun 2008), Kepala
Bakorlin I, II dan III Provinsi Jawa Tengah, juga segenap rekan
di LSM Lekad (Lembaga Pengembangan dan
Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah) Semarang,
khususnya bapak Benjamin Abdurahman, bapak Wisnu
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 6
Pradoto, dkk., bapak Syahroni, Direktur GTZ GLG Jawa Tengah
yang sering menjadi partner diskusi, serta beberapa alumni
Magister Administrasi Publik (MAP) Undip yang karena
kedudukannya di birokrasi turut membantu kelancaran
pengumpulan dan sekaligus sebagai informan penelitian,
8. Segenap informan penelitian, antara lain : beberapa ketua
Bappeda Kab / Kota di Jateng, Drs. H. A., Antono, Msi. (Bupati
Pekalongan saat pembentukan regional manajemen
Sampan) sebagai sahabat sekaligus teman diskusi, Bpk. Paul
Lukas (Regional Manajer Barlingmascakeb), Bpk. Budiono
(Regional Manajer Sampan), Drs. H. Soemarmo, HS., Msi.
(Ketua alumni MAP Undip dan Sekda Kota Semarang) dan
pengelola Kedungsepur yang telah memberikan banyak
masukan, serta segenap informan yang berasal dari pelosok
kabupaten/kota di Jawa Tengah yang tidak dapat
disebutkan satu demi satu,
9. Ungkapan terimakasih juga kami haturkan pada ibunda kami
serta bapak mertua kami, Bp. H. Drs. Nurachmad yang
memberikan ijin dan turut menunggui cucu ketika harus sering
kami tinggalkan
10. Terimakasih yang sangat dalam juga kami sampaikan
kepada istri tercinta yang selalu memberikan do'a dan
dorongan bahkan sempat membantu menyusun daftar isi di
tengah semua orang sedang istirahat, serta anak-anak yang
rela sering ditinggalkan ke yogya,
11. Terimakasih juga kami sampaikan kepada seluruh staf MAP
UGM dan MAP Undip, Sekolah Pascasarjana UGM,
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 7
12. Ibu Samadi dan para tetangga yang memberikan suasana
nyaman selama berada di Yogyakarta,
13. Segenap kerabat dan kolega baik dari jurusan Adm Publik,
Pemerintahan, Adm. Bisnis dan Komunikasi serta semua
sahabat dari berbagai kalangan yang telah bersedia
menghadiri sidang terbuka, atas dukungan hadirin kami
dapat melaksanakan kegiatan ini, serta
14. semua pihak yang telah memberikan andil dalam penulisan
disertasi yang tidak dapat kami sebutkan satu demi satu.
Semoga jasa beliau-beliau yang kami sebutkan di atas
mendapatkan balasan yang lebih besar dari Alloh SWT. Amiin.
Semarang, Pebruari 2009
Penulis
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 8
A. Latar Belakang
Ada empat kondisi yang melatarbelakangi
permasalahan dalam disertasi ini. Pertama, melemahnya
koordinasi tingkat regional. Kesan berjalan sendiri-sendiri dan
kurang terkoordinasi secara regional pada penyelenggaraan
pembangunan antar kabupaten / kota sangat nampak sejak
dilaksanakannya Undang-Undang Pemerintahan di Daerah
tahun 1999 yang kemudian mendapatkan revisi tahun 2004.
Menurunnya intensitas koordinasi manajemen regional ini
mendapat penguatan dari kenyataan bahwa titik berat
pelaksanaan otonomi daerah berada di kabupaten / kota.
Kendali pemerintah provinsi sebagai koordinator
pembangunan kabupaten / kota mengendor seiring
penguatan otonomi di tingkat kabupaten kota. Akibat
selanjutnya isu-isu pembangunan regional menjadi kurang
mendapatkan perhatian yang optimal.
Kedua, kurangnya ruang untuk manajemen regional
pada hirarkhi perundangan. Tata penyelenggaraan
pemerintahan menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kurang memberikan tempat
yang tegas pada pengurusan permasalahan regional
tersebut. Hal ini nampak pada dua fenomena berikut.
Pertama, pembagian wilayah administratif di Indonesia tidak
secara eksplisit menunjukkan pengurusan wilayah antar
kabupaten / kota. Undang-undang tersebut menyebutkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 9
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintah daerah (pasal 2 ayat (1)). Kedua, kurangnya
tempat bagi penyelenggaraan pembangunan lintas
kabupaten/kota ini juga diperkuat dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang
diundangkan tahun 2004i. Aturan tersebut tidak secara jelas
memberikan tempat bagi forum perencanaan
pembangunan kewilayahan yang berada pada lebih dari
satu wilayah kabupaten / kota dalam satu wilayah provinsi.
Sementara itu banyak isu kewilayahan mendesak untuk terus
diselesaikan melalui mekanisme koordinasi dan kerjasama
antar daerah yang berdekatan.
Ketiga, kurang tertanganinya dengan baik masalah
atau konflik horizontal antar kabupaten / kota yang
berdekatan. Menguatnya otonomi menjadi perubahan yang
fenomenal di Indoensia, sejak tahun 1999. Tanpa pembagian
kewenangan dan ruang gerak yang cukup bagi pemerintah
lokal merupakan ciri utama dari sentralisasi pemerintahan.
Karakteristik tersebut juga dikemukakan Harry Friedmanii yang
menegaskan bahwa ”adanya pembagian kewenangan
serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk
memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit
pemerintahan yang lebih rendah merupakan penanda
adanya desentralisasi”. Namun dalam catatan pelaksanaan
otonomi daerah di Indonesia, unsur etnosentrisme yang
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 10
membentuk egoisme lokal menyertai kebebasan tersebutiii.
Dengan makin menguatnya otonomi daerah pada tingkat
kabupaten/kota menyebabkan masing-masing pemerintah
lokal merasa semua harus dan bisa ditentukan dan dilakukan
sendiri. Implikasi lanjut banyak potensi konflik dibiarkan
berkembang tanpa kerjasama dalam penanganan bersama.
Fenomena etnosentrisme yang mengekspresikan egoisme
lokal ini makin menjadi-jadi seiring makin melemahnya
koordinasi antar daerah yang dulunya secara intensif
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Fenomena ego lokal
terlihat pada kasus-kasus penanganan konflik yang terjadi
karena hubungan dua atau lebih daerah kabupaten kota
yang berdekatan pada isu-isu tertentu, baik isu pemanfaatan
sumberdaya alam khususnya penanganan isu lingkungan.
Keempat, masih kaburnya kondisi region hasil
regionalisasi tata ruang di Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah telah ”mengatur pembentukan region” sejak
masa orde baru. Selain regionalisasi yang dibentuk
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan Perda Tata Ruang
Nomor 21/thn 2003 – yang disebut kawasan prioritas - ,
terdapat lembaga kerjasama antar daerah yang muncul dari
regionalisasi sendiri, tanpa dukungan Perda sebelumnya.
Region ini meliputi beberapa kabupaten dan kota, seperti
misalnya Banjarkebuka (Banjarnegara, Kebumen dan
Pekalongan), dan Sampan (Sapta Mitra Pantura).
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 11
Keberadaan lembaga-lembaga tersebut secara keseluruhan
masih kabur.
Banyak ragam kerjasama antardaerah. Pembatasan
kajian disertasi ini dilakukan pada jenis dan cakupan
lokasinya. Terdapat beberapa jenis/ bentuk kerjasama antara
lain : kerjasama antar daerah yang tidak berdekatan,
kerjasama dengan pihak ketiga dan kerjasama yang bersifat
massal. Dari jenisnya pembatasan kajian dilakukan pada
organisasi kerjasama antar darah yang berdekatan
(kerjasama regional). Dengan batasan jenis kerjasama ini,
jenis kerjasama antadaerah lain seperti APKASI, APKESI, APPSI,
ADKASI, ADEKSI, ADEPSI, Sister City serta kawasan-kawasan
khsusus yang menggunakan pendekatan cluster tidak
termasuk dalam fokus kajian. Dari lokasinya dibatasi pada
kerjasama antar daerah yang berdekatan yang berada di
wilayah Jawa Tengah. Kerjasama regional lintas wilayah
provinsi seperti : Pancimas (Jateng-DIY), Java Promo (Jateng-
DIY), ataupun Ratubangnegoro (Jateng-Jatim) tidak termasuk
dalam kajian. Jawa Tengah dipilih karena provinsi ini memiliki
kerjasama regional paling banyak.
Ke empat kondisi yang melatarbelakangi masalah di
atas sekaligus menjadi alasan pemilihan judul disertasi ini,
yakni : ”Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar
Daerah” (Studi Kasus Dinamika Kerjasama Antar Daerah Yang
Berdekatan di Jawa Tengah).
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 12
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini memfokus pada
upaya mencari jawab terhadap pertanyaan pokok:
”bagaimanakah variasi regionalisasi dan model lembaga
kerjasama regional di Jawa Tengah?” Pertanyaan pokok
tersebut kemudian terjabar dalam tiga (3) permasalahan
lanjut, yakni :
1). Bagaimana proses pembentukan region (regionalisasi)
dan perkembangan lembaga kerjasama regional di
Jawa Tengah?
2). Faktor pencetus apa yang dapat mendorong proses
pembentukan region (regionalisasi) menuju kerjasama
regional dan faktor apa yang dapat mendukung dan
menghambat proses perkembangan kerjasama regional
di Jawa Tengah?,
3). Bagaimanakah format kelembagaan kerjasama regional
ke depan?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat
Penelitian disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan
variasi regionalisasi dan lembaga kerjasama regional di Jawa
Tengah, yang kemudian dielaborasikan ke dalam enam (6)
tujuan berikut : (i) mempetakan regionalisasi dan lembaga
kerjasama regional di Jawa Tengah, (ii) mendeskripsikan
proses regionalisasi, kerjasama regional serta perkembangan
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 13
lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah (iii)
mendeskripsikan dinamika lembaga kerjasama regional di
Jawa Tengah (iv) menjelaskan faktor pencetus yang
menyebabkan regionalisasi dapat berkembang menjadi
kerjasama regional (v) menjelaskan faktor-faktor yang
mendukung dan menghambat perkembangan kerjasama
regional di Jawa Tengah, dan (vi) menyusun format
kelembagaan kerjasama regional yang komprehensif ke
depan.
Manfaat teoritis secara umum nampak dari belum
banyaknya bahasan tentang intergovernmental
management dan intergovernmental relations di Indonesia.
Topik ini mulai mengemuka pada literature dan tulisan para
pakar public management mulai pertengahan abad 20
(O,Toole,2004;McGuireiv, 2006). Secara khusus ada 2
fenomena teoritis, yakni pertama, pentingnya pergeseran
pendekatan organisasi kerjasama antar daerah dari konsep
intra organization ke arah interorganization. Kedua,
pendekatan kerjasama antar daerah yang karena struktur
hubungannya yang merupakan “relasi horisontal” dari bersifat
voluntary ke arah semangat kolaborasi yang lebih punya
kekuatan dalam collective action. Kajian tentang
regionalisasi dan kerjasama antar daerah, khususnya
kerjasama antar daerah yang berdekatan di Indonesia belum
banyak mendapat perhatian, sehingga diharapkan kajian ini
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 14
mengisi kekurangan kajian Management and
Intergovernmental di Indonesia.
Dalam domain praktis belum juga banyak ditemukan
kejelasan kebijakan yang dapat digunakan sebagai
pedoman serta referensi praktis untuk menyelenggarakan
kerjasama dan membentuk lembaga kerjasama antar
daerah yang berdekatan. Kajian ini merunut konsistensi
kebijakan kerjasama antar daerah. Manfaat lain diperoleh
dari penyusunan model kerjasama regional, dengan
memberikan alternatif pilihan baik bentuk kerjasama maupun
model kelembagaannya pada pengelolaan manajemen
regional yang kurang mendapatkan ruang pada sistem
perencanaan pembangunan nasional.
D. Keaslian Penelitian
Ada beberapa sudut pandang pada kajian regional.
Dari penelusuran yang dilakukan ditemukan bahwa kajian
regional didominasi oleh penelitian tentang pertumbuhan
ekonomi regional termasuk di dalamnya ketimpangan
regional, income percapita dan sedikit lagi tentang
pemaknaan istilah regionalism. Penelitian dalam disertasi ini
memiliki fokus berbeda dengan kebanyakan tulisan
regionalisasi terdahulu yakni pada titik berat proses
pembentukan region dan manajemen kerjasama regional.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 15
E. Tinjauan Pustaka
Pendekatan wilayah dianggap sebagai pelengkap
penting dalam penyelenggaraan pembangunan disamping
pendekatan pembangunan daerah. Dalam
penyelenggaraan pembangunan wilayah - khususnya
kerjasama antar daerah yang berdekatan - inilah berbagai
kondisi, baik praktical maupun teoritical terjadi. Dalam
domain praktis tercatat menguatnya kebijakan desentralisasi,
sedangkan pada domain teoritis antara lain terjadi
pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam literature kerjasama antar daerah
(intergovernmental management) juga terjadi pergeseran
semangat dari yang sekedar co-operation ke arah semangat
collaboration. Secara umum pergeseran-pergeseran tersebut
terjadi dari pendekatan sentralistis ke desentralistis.
Beberapa kajian membahas proses regionalisasi dan
kerjasama antar daerah. Gogginv menjelaskan pada The
Communications Model of Intergovernmental Policy
Implementation sejumlah faktor yang mendukung
(inducement factors) dan menghambat (constraint factors)
dalam kerjasama regional pada berbagai level
pemerintahan, sementara Weichhartvi lebih tegas
mengemukakan sejumlah faktor yang berperan dalam proses
regionalisasi dan kerjasama antar daerah antara lain :
tekanan global, keterbatasan kemampuan dan potensi serta
ego lokal.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 16
Kerjasama antar daerah merupakan aksi bersama
(collective action) yang terjadi dalam proses unik. Keunikan
kerjasama antar daerah ini terlihat dari antara lain : pola
hubungan yang terjalin dilandasi oleh relasi horisontal, bukan
hirarkhial. Konsekuensi dari pola hubungan ini akan
berimplikasi pada pendekatan yang semestinya dipahami
bersama oleh aktor yang terlibat. Kesalahan pemahaman
dan pemberlakuan model organisasi konvensional berakibat
fatal pada manajemen kerjasama antar daerah, yakni
jebakan birokratisme dalam kerjasama antar daerah.
Pendekatan konvensional memandang organisasi dengan
pendekatan birokrasi Weberian (intra organization),
sedangkan kerjasama antar daerah bersifat intergovermental
networking lebih tepat didekati dengan konsep inter
organization.
F. KONSEPTUALISASI PENELITIAN
F.1. REGIONALISASI
Dalam bahasa Indonesia, region ini biasa
dipergunakan padanan kata dari wilayah. Istilah region
dipergunakan untuk menyebut ruang geografis yang
menunjukkan keterlibatan ruang (spatial) beberapa wilayah
administratif, baik sebagian maupun seluruhnyavii. Pengertian
Region dalam koteks Supra-nasional misalnya : Uni Eropa,
Asean dan sebagainya. Dalam konteks Trans-nasional: Sijori
(Singapur-Johor-Riau, IMTGT (Indonesia, Malaysia, Thailand
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 17
Growth Triangle) dan lain-lain, sedangkan dalam konteks Sub-
nasional: Solo Raya, Barlingmascakeb (Jawa Tengah),
Ciayumajakuning (Jawa Barat) dan lain-lain.
Regionalisasi memiliki dua makna, yakni : proses
pembentukan region dan salah satu klasifikasi teori. Sebagai
konsep pembentukan region, regionalisasi berarti tahapan
atau prosedur penggabungan beberapa daerah otonom
dalam sebuah kesatuan secara geografis. Sebagai teori,
yakni teori regionalisasi, menjelaskan hubungan berbagai
konsep pembangunan berbasis wilayah (Rustiadiviii, 2004).
Berbeda dengan konsep regionalisasi yang
cakupannya lebih luas, clustering strategy nampak lebih fokus
pada pengelompokan industri pada wilayah tertentu yang
terdiri dari beberapa perusahaan dalam sektor yang sama.
Dengan kalimat lain, cluster merupakan sekelompok
perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara
geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi
serta bersifat complementaris. Clustering bukan termasuk
bahasan dalam disertasi ini.
F.2. KERJASAMA ANTAR DAERAH
Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan
kolaborasi masih digunakan secara bergantian, dan belum
ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan kedalaman
makna dari istilah tersebut. Secara umum lebih dikenal istilah
kerjasama dari pada kolaborasi, dan tidak ada pemahaman
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 18
yang lebih mendalam tentang paradigma apa yang
seharusnya dianut.
Kerjasama antar pemerintah daerah
(intergovernmental cooperation), didefinisikan sebagai “an
arrangement between two or more governments for
accomplishing common goals, providing a service or solving a
mutual problem” (Pattersonix, 2008). Dalam definisi ini tersirat
adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau
lebih pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan
bersama atau memecahkan masalah secara bersama-sama.
Atau dengan kata lain, pengaturan ini bersifat pengaturan
bersama (joint), yang tentu saja berbeda karakteristiknya
dibandingkan dengan pengaturan sendiri (internal daerah).
Sifat kerjasama sering ditafsirkan sebagai sukarela, tetapi
bukan berarti semaunya, karena kerjasama memiliki tujuan
dan target tertentu yang harus dicapai oleh pihak-pihak yang
bekerja sama. Karenanya, aspek-aspek yang dikerjasamakan
dituangkan dalam program resmi dengan manfaat yang
dinikmati bersama, serta biaya dan risikonya ditanggung
bersama. Sementara itu, kerjasama dalam kamus besar
Bahasa Indonesiax terbitan Departemen Pendidikan Nasional
kerjasama dimaknai sebagai kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa orang atau lembaga untuk
mencapai tujuan bersama (2001;544). Jadi dalam kerjasama
ada unsur kegiatan, beberapa pihak dan pencapaian
tujuan.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 19
Kolaborasi dapat dirunut pemahamannya dari Ann
Marie Thomsonxi (2006) dalam tulisannya yang berjudul
”Collaboration Processes : Inside the Black Box”. Dijelaskan
bahwa ada sebuah konsep yang mirip dengan kerjasama
tetapi memiliki makna yang lebih dalam, yakni kolaborasi.
Kooperasi, koordinasi dan kolaborasi berbeda dalam hal
tingkat kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan
kompleksitasnya. Sebuah kerjasama (co-operation) yang
menggabungkan 2 sifat, yakni saling memberi atau bertukar
sumberdaya dan sifat saling menguntungkan akan
mengarah pada sebuah proses kolaborasi. Definisi ini
menunjukkan adanya tindakan kolektif dalam tingkatan yang
lebih tinggi dalam kolaborasi daripada kooperasi dan
koordinasi. Kolaborasi merupakan proses kolektif dalam
pembentukan sebuah kesatuan yang didasari oleh hubungan
saling menguntungkan (mutualisme) dan adanya kesamaan
tujuan dari organisasi atau individu-individu yang memiliki sifat
otonom. Mereka saling berinteraksi melalui negosiasi baik
bersifat formal maupun informal dalam suatu aturan yang
disepakati bersama dan rasa saling percaya. Walaupun hasil
atau tujuan akhir dari sebuah proses kolaborasi tersebut
mungkin bersifat pribadi, tetapi tetap memiliki hasil atau
keuntungan lain yang bersifat kelompok.
Walaupun kooperasi dan koordinasi mungkin dapat
dilihat dalam awal sebuah proses kolaborasi, kolaborasi
merupakan perwujudan dari proses integrasi antar individu
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 20
dalam jangka waktu panjang melalui kelompok-kelompok
yang melihat aspek-aspek berbeda dari suatu permasalahan.
Kolaborasi mengeksplorasi perbedaan-perbedaan diantara
mereka secara konstruktif . Mereka mencari solusi yang
mungkin dan mengimplentasikannya secara bersama-sama.
Kolaborasi berarti pihak-pihak yang otonom
berinteraksi melalui negosiasi baik secara formal maupun
informal. Mereka bersama menyusun struktur dan aturan
pengelolaan hubungan antar mereka. Mereka
merencanakan tindakan atau keputusan untuk mengatasi
isu-isu yang membawa mereka bersama-sama. Mekanisme
tersebut merupakan interaksi yang menyangkut sharing atas
norma dan manfaat yang saling menguntungkan.
Pengertian di atas merupakan definisi kolaborasi yang
dikembangkan Thomson dari Wood dan Grayxii (1991).
Di masa mendatang, perbedaan makna dan
paradigma ini seharusnya diakomodasikan tidak hanya
dalam tulisan ilmiah tetapi juga dalam naskah peraturan
hukum karena secara konseptual kerjasama dalam arti
“collaboration” jauh lebih efektif dibandingkan dengan
“cooperation”, dan harus diarahkan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan bersama yang lebih besar.
Ada dua pola hubungan antar pemerintah daerah,
yakni intergovernemental relation dan intergovernmental
management yang keduanya mengedepankan karakter
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 21
networking. Intergovernmental relations merupakan sebuah
pola oraganisasi antar daerah yang hanya memungkinkan
koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama,
sedangkan Intergovernmental Management merupakan
sebuah pola organisasi antar daerah yang memberikan
kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang terkendali
penuh dengan sektor kerjasama yang jelas (mis :
pengelolaan transportasi umum di Washington State).
Networking merupakan format kelembagaan jejaring
yang terdiri dari beberapa unit organisasi yang menjalin
hubungan dengan pola yang relatif flexible. Dalam format
networking, beberapa jenis intergovernmental networks,
sesuai urutan derajat networksnya dikemukakan oleh Robert
Agranoffxiii (2003), mulai dari (i). information networks, yakni
jenis jaringan kerjasama yang paling ringan derajatnya. Pada
jenis ini beberapa daerah kabupaten / kota dapat membuat
sebuah forum yang berfungsi sebagai pertukaran kebijakan
dan program, teknologi dan solusi atas masalah-masalah
bersama (ii) developmental networks, yakni kaitan antar
daerah terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi
juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang
secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi
daerah untuk mengatasi masalah di daerah masing-masing,
(iii) outreach networks adanya penyusunan program dan
strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan
dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 22
organisasi partner) serta (iv) action networks : yang
merupakan bentuk intergovernmental networks yang paling
solid. Dalam bentuk ini daerah-daerah yang menjadi
anggota secara bersama-sama menyusun program aksi
bersama sesuai proporsi dan kemampuan masing-masing.
G. TEORITISASI PENELITIAN
G. 1. TEORI REGIONALISASI
Proses pembentukan region atau regionalisasi paling
tidak dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni : pertama,
atas dasar homogenitas atau kriteria deliniasi region dan
yang kedua, regionalisasi dipandang dari insiatif dalam
proses pembentukannya. Kajian teori yang membahas dasar
pembentukan region dalam teori regionalisasi diawali dari
bahasan paling klasik yakni dari Richardsonxiv (1969); Hagget,
Cliff dan Frey (dalam Rustiadi, 2004 et.al) yang menerangkan
kriteria deliniasi dari sebuah region. Kawasan (region)
dideliniasi berdasarkan konsep kesamaan (homogenitas)
tertentu menjadi 3 kategori, yaitu : Homogeneus region, nodal
region dan planning region. Teori regionalisasi klasik tersebut
mendapatkan penguatan dari pendapat Blairxv; (1991).
Secara umum wilayah dapat dikategorikan menjadi tiga (3)
yakni wilayah homogen, wilayah sistem/fungsional dan
wilayah administratif.
Selain dapat dipandang sebagai proses pembentukan
region atas dasar kesamaan (homogenitas), regionalisasi
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 23
dapat dilihat dari inisiatif proses pembentukan ikatan dan
keterikatan antar daerah otonom. Weichhart (2002)
menegaskan bahwa perkembangan dan proses globalisasi
struktur real economy semakin kuat beralih ke regional.
Artinya hanya region sebagai lokasi strategis yang dapat
memiliki keunggulan komparatif dan dapat menekan biaya
tinggi karena interaksi sosio-ekonomi dapat terstruktur dan
tumbuh efisien.
Regionalisasi (konteks Sub-nasional) adalah proses
terbentuknya kesatuan wilayah administratif yang terdiri
beberapa daerah otonom ke dalam kerjasama atau
koordinasi pembangunan. Proses ini terdiri dari 2 jenis, yakni :
(1). Regionalisasi sentralistik: proses terjadinya region melalui
prosedur formal (azas demokrasi) dengan legitimasi
pelaksanaan top-down, seperti UU, SK, Keppres dsb.
(Pembentukan Daerah, Kawasan Andalan, KAPET, dsb)
(2). Regionalisasi desentralistik: proses terjadinya region
melalui proses/azas musyawarah berdasarkan komitmen
bersama antar daerah otonom (saling
ketergantungan/kepentingan sama/saling
membutuhkan)
Regionalisasi sentralistik digerakkan oleh kebijakan dari
atas, sedangkan desentralistik oleh : komunikasi, kerjasama
dan koordinasi antar daerah. Pengarah gerak pada
regionalisasi sentralistik adalah lembaga perencana,
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 24
sedangkan pada regionalisasi desentralistik lebih diarahkan
oleh platform Kerjasama yang telah menjadi komitmen yang
bersifat non formal. Sementara pada regionalisasi sentralistik
berupa program dan bersifat formal. Satu hal yang sangat
membedakan konsep regionalisasi sentralistik dan
desentralistik adalah pondasi kerjasama, yakni : potensi dan
keunggulan pada regionalisasi sentralistik, sedangkan pada
regionalisasi desentralistik berupa potensi dan kekuatan
endogen.
Pada regionalisasi sentralistik, faktor kewenangan yang
bersifat “direktif-koordinatif” merupakan komponen kuat dan
dimiliki oleh lembaga otoritas perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Melalui prosedur direktif (struktural-hirarkis)
perencanaan dan pembangunan dilakukan pada
kelembagaan regional saat ini. Pada proses pembentukan
eks karesidenan yang sekarang bernama Bakorlin (Badan
Koordinasi Lintas Kabupaten/Kota), yang terdiri dari
beberapa daerah administratif dapat terlaksana karena
mekanisme formal struktural tata pemerintahan waktu itu.
Region hasil regionalisasi struktural-administratif terbentuk atas
landasan perintah (ex mandato) berdasarkan kepentingan
pemerintah tingkat atas (Provinsi).
G.2. TEORI KERJASAMA ANTAR DAERAH
Kerjasama regional dapat dirunut dalam pokok-pokok
bahasan manajemen publik, khususnya intergovernmental
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 25
management dalam literartur dunia. Bahasan tentang
intergovernmental management dan intergovernmental
relations banyak mengemuka pada literature dan tulisan
para pakar public management mulai pertengahan abad 20
(McGuirexvi, 2006; O,Toolexvii,2004). Michael McGuire seorang
associate professor dalam public and environmental affairs di
Universitas Indiana Bloomington yang juga pengajar Public
Management and Intergovernmental Management
mengungkapkan bahwa “intergovernmental management is
more than just intergovernmental relationships”. Pendapat
yang lebih tegas menyebutkan bahwa managemen antar
daerah adalah inti dari hubungan antar daerah.
Selain pendekatan manajemen dalam pengelolaan
kerjasama antar daerah, terjadi transisi pendekatan dalam
melihat lembaga kerjasama antar daerah. Lembaga
kerjasama dalam pengeloaan program dan kegiatan untuk
mencapai tujuan kerjasama seringkali masih terpengaruhi
oleh paradigma klasik. Cara pandang yang melihat lembaga
kerjasama antar daerah dalam kerangka intra organization,
dengan pola weberian type bureaucarcy. Cara pandang ini
tercermin dari 10 prinsip birokrasi Weberian seperti yang
dikemukakan oleh Martin Albrowxviii (2004). Ciri menonjol dari
birokrasi Weberian ini adalah hirarkhial yakni pola hubungan
yang terstruktur antara beberapa level/ tingkatan. Penerapan
prinsip-prinsip Weberian seperti span of controll, rasionalitas,
impersonal ini cenderung inward looking atau dengan
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 26
parameter intra organization. Cara pandang terhadap
lembaga kerjasama antar daerah ini menjadi kurang tepat
karena sifat yang terbentuk dari kerjasama antar daerah
(intergovernmental management), adalah relasi horisontal
yang lebih mengedepankan networking / inter organization.
Seperti dikemukakan di depan, bahwa terjadi sejumlah
perubahan pandangan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Perubahan-perubahan tersebut antara lain :
perubahan dari orientasi lembaga pemerintahan yang kuat,
besar dan otoritarian menjadi berorientasi pada small dan
less government, egalitarian dan demokratis, perubahan dari
orientasi sistem pemerintahan yang sarwa negara ke orientasi
sistem pasar (market), perubahan dari sentralistis kekuasaan
menjadi desentralisasi kewenangan, perubahan menajemen
pemerintahan yang menekankan batas-batas dan aturan
yang berlaku hanya untuk satu negara saja, ke arah
boundaryless organization, akibat globalisasi, perubahan dari
tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang
post bureucratic government (Roukexix, 1992), dan post
bureucartic organization (Heckscher dan Donnellonxx, 1994),
atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang
mengikuti struktur fisik (physical structure) ke tatanan
manajemen pemerintahan yang berdasarkan logical
structure (Henry Lucas, 1996 (dalam Keban,2009), dan
perubahan dari a low trust society ke arah a high trust society
(Fukuyamaxxi, 1995).
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 27
Karakter kerjasama antar daerah dengan relasi
horisontal yang berbasis intergovernmental network pada
tingkatan daerah sangat berbeda karakter dengan
organisasi yang berbasis dan berpola organisasi rasional. Pola
organisasi rasional menekankan pola hubungan hierarkhis
yang melihat organisasi kerjasama sebagai unit yang koheren
dengan tujuan yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas,
keputusan organisasi didominasi kewenangan yang terpusat.
(Arie Ruhyanto dalam Pratikno, 2007;50). Kerjasama antar
daerah yang berpola networking didasarkan pada inter-relasi
yang dilakukan oleh daerah yang bersifat bebas dan mandiri
dalam berhubungan dengan daerah lain. Dalam pola
networking tidak ada struktur kewenangan sentral. Semua
tujuan dihasilkan dari kesepakatan dari semua anggota yang
tergabung dalam forum kerjasama antar daerah sebagai
perwujudan aksi bersama (collective action) (Klijn dalam
Kickertxxii, dan kawan-kawan,1999). Perbedaan karakter
organisasi ini sering rancu dalam pelaksanaan kerjasama
antar daerah di Indonesia yang memiliki sejarah birokrasi
sentralistis cukup lama.
Pendapat tentang bekerjanya beberapa faktor dalam
regionalisasi dan kerjasama regional dapat dirunut dari proses
regionalisasi dan model komunikasi antar daerah. Dari
runutan waktu dapat disebutkan beberapa pioner dalam
pembahasan regionalisasi dan kerjasama antar daerah,
antara lain, Goggin (1990), Weicchart (2002); O 'Toole
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 28
(2004); Thomson (2006); Rendell serta Yablonskyxxiii (2006) dan
Bryson, Crosby dan Stone dalam Keban (2009)xxiv, (2006). Bila
Goggin belum mengidentifikasikan wujud dari faktor-faktor
pendukung dan penghambat kerjasama antar daerah yang
bekerja pada beberapa level pemerintahan, Weicchart
(2002) telah secara tegas menyebut antara lain : tekanan
global, tekanan keterbatasan kemampuan dan potensi serta
tekanan ego lokal. Elaborasi lanjut diberikan oleh O 'Toole
(2004) yang menekankan pentingnya keselarasan antara
stabilitas struktur organisasi dan manajerial. Pada periode
waktu selanjutnya secara mengejutkan Thomson memberikan
pemahaman konsep yang lebih dalam dari kerjasama antar
daerah dengan mengenalkan semangat kolaborasi beserta
dimensi-dimensi yang mendukungnya. Ada 5 dimensi
kolaborasi antar daerah yakni pemerintahan, admininistrasi,
otonomi, mutualisme dan reciprocitas. Sementara itu Rendell
serta Yablonsky; Bryson, Crosby dan Stone, memberikan
pengkayaan pada mekanisme kerjasama antar daerah
dengan memberikan saran tentang tahapan membangun
kerjasama dan unusr-unsur yang harus diperhatikan dalam
kerjasama antar daerah.
Dari penelusuran praktek kerjasama antar daerah di
beberapa Negara dapat ditemukan bentuk kerjasama dan
pola kelembagaannyaxxv. Bentuk dan metode
kerjasama antar daerah meliputi (1) intergovernmental
service contract; (2) joint service agreement, dan (3)
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 29
intergovernmental service transfer (Henryxxvi, 1995). Jenis
kerjasama yang pertama dilakukan bila suatu daerah
membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis
pelayanan tertentu seperti penjara, pembuangan sampah,
kontrol hewan atau ternak, penaksiran pajak. Jenis kerjasama
yang kedua biasanya dilakukan untuk menjalankan fungsi
perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu
kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam
pengaturan perpustakaan wilayah, komunikasi antar polisi
dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran, pembuangan
sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer
permanen suatu tanggung jawab dari satu daerah ke daerah
lain seperti bidang pekerjaan umum, prasarana dan sarana,
kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan
publik.
Pengalaman kerjasama antar daerah yang
diberlakukan di: SALGA di Afrika Selatan, Sound Transit di
Washington, LAA di Korsel, LCP di Philipina dan Cor di Uni
Eropaxxvii memberikan beberapa kesimpulan antara lain :
paradigma penyelenggaraan pemerintahan nasional sangat
berpengaruh pada karakter kerjasama antar daerah. Hanya
pada negara dengan praktek demokrasi yang baik,
kepentingan lokal dapat diperjuangkan pada asosiasi
kerjasama antar daerah yang bersifat regional, dan
kemudian dapat dicatat juga bahwa kerjasama antar
daerah memerlukan payung hukum yang kuat mulai dari
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 30
tingkat nasional sampai ke level daerah serta kejelasan
aturan kelembagaan Sangat diperlukan dalam
kesinambungan kegiatan kerjasama.
Saat ini di negara-negara maju mencanangkan
kerjasama dalam konteks kolaborasi bidang perencanaan
dan manajemen emergensi, bahkan menjadi fundasi penting
dalam menangani bencana alam dan krisis lingkungan.
Kolaborasi bahkan menjadi model alternatif untuk
menggantikan model birokrasi klasik yang bersifat top down
karena merupakan model yang mengandalkan jejaring yang
fleksibel dan dinamisxxviii ( Waugh & Streib, 2006). Fungsi
kolaborasi menjadi lebih diandalkan dari pada fungsi atau
upaya melakukan adaptasi dalam menghadapi berbagai
perubahanxxix (Jenkins, 2006).
Pelajaran yang diperoleh dari praktek kerjasama antar
daerah di berbagai negara tersebut adalah adanya
beberapa format lembaga kerjasama yang dapat menjadi
referensi bagi pengembangan kerjasama regional di Jawa
Tengah, antara lain;
a. Ada dua (dua) format lembaga kerjasama, yakni : IGR
dan IGM. Konsep IGR yang memungkinkan koordinasi
dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama (tidak
disebutkan secara spesifik di Amerika, dan di Afrika
Selatan), sedangkan IGM memberikan kemungkinan
penyelenggaraan manajemen yang terkendali penuh
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 31
dengan sektor kerjasama yang jelas (mis : pengelolaan
transportasi umum di Washington State).
b. Arah pengembangan peran lembaga kerjasama berpolar
dalam dua arah, yakni : sebagai interest group dari
kepentingan regional terhadap pemerintah pusat (seperti
Philipina) atau sebagai kepanjangan pemerintah
pemerintah pusat dan sebagai pengendali kepentingan
pusat di level regional (seperti di Korea Selatan).
c. Ada kecenderungan menguatnya semangat kolaborasi
dalam literatur dan praktek kerjasama antar daerah
H. Metode Penelitian
Sejalan dengan pendapat Robert K. Yin, penelitian ini
memilih studi kasus yang dilengkapi dengan beberapa teknik
pengumpulan data untuk mencapai tujuan penelitian. Yin
menegaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan ”bagaimana”
dan ”mengapa” pada dasarnya lebih eksplanatoris dan lebih
mengarah ke penggunaan strategi-strategi studi kasus, historis
dan eksperimen. Yin juga menegaskan bahwa penggunaan
lebih dari satu metode atau strategi dalam sebuah penelitian,
misalnya survei dalam studi kasus atau sebaliknya studi kasus
dalam survei (Yinxxx, 2004; 13). Dalam kaitan seperti ini
berbagai strategi tidaklah saling mengecualikan. Kelebihan
dari pemilihan strategi studi kasus adalah : pertanyaan
”bagaimana” dan ”mengapa” akan diarahkan ke
serangkaian peristiwa kontemporer, di mana penelitinya
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 32
hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tak
mempunyai peluang sama sekali untuk melalkukan kontrol
terhadap peristiwa tersebut.
Sebagai penelitian kasus, data dikumpulkan dengan
mengungkap fenomena-fenomena yang menjadi fokus
penelitian. Karena menggunakan triangulasi teknik. Triangulasi
teknik dilakukan dengan mengkombinasikan teknik
pengumpulan data: wawancara mendalam, teknik
kuesioner, analisis data sekunder, penelusuran website,
pelibatan dalam pendampingan dalam rintisan kerjasama,
dan forum-forum seminar/lokakarya serta penelusuran berita
pada media cetak atas topik yang relevan.
I. Temuan Penelitian
I.1. Peta Regionalisasi dan Kerjasama Regional
Ada tiga (3) variasi dalam regionalisasi dan kerjasama
regional di Jawa Tengah, yakni : (i) regionalisasi tanpa
kerjasama dengan pendekatan keruangan, (ii) regionalisasi
dan kerjasama regional dengan pendekatan ekonomi
(Regional Marketing) dan (iii) regionalisasi dan kerjasama
regional dengan pendekatan koordinatif. Samapi tahun 2009
kerjasama dengan pendekatan pelayanan publik masih
dalam tahap perintisan.
Regionalisasi keruangan didasarkan kebijakan provinsi
(Perda Propinsi Jawa Tengah nomor 21 Tahun 2003) yang
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 33
menghasilkan 8 Kawasan Prioritas, yakni Barlingmascakeb,
Purwomanggung, Subosukowonosraten, Banglor, Wanarakuti,
Kedungsapur, Tangkallangka, dan Bergas. Tiga ( 3 ) region
diantaranya berkembang menjadi kawasan kerjasama
regional dengan pembentukan lembaga kerjasama, yakni
Barlingmascakeb, Subosukowonosraten, dan Kedungsapur.
Sementara itu, ada 1 lembaga kerjasama yang dibentuk
tidak berdasarkan Perda Tata Ruang Provinsi, (seperti yang
lainnya) yakni Sapta Mitra Pantura (Sampan).
Dari 4 lembaga kerjasama regional yang ada secara
umum memiliki 2 pola, yakni : Pola Intergovernmental Relation
yakni kerjasama sebatas koordinasi pembangunan
(Kedungsepur), dan Pola Intergovernmental Management,
yakni memiliki program aksi bersama yang dikelola penuh
oleh pelaksana kerjasama yang dipimpin oleh seorang
Regional Manager (Barlingmascakeb, Subosukawonosraten
dan Sampan).
I.2. Proses Pembentukan Region dan Kerjasama Regional
Secara umum ada dua cara pembentukan region di
Jawa Tengah, yakni :
1). Regionalisai sentralistis yang diawali dengan kebijakan dari
pemerintah lebih atas, (Perda Tata Ruang),
2). Regionalisasi desentralistis yakni region yang terbentuk
tidak dengan diawali kebijakan pemerintah lebih atas.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 34
Seperti di beberapa tempat lain di Indonesia, ada
variasi lain dari kedua bentuk tersebut, yakni transformatis,
yakni region yang awalnya dibentuk secara sentralistis, tetapi
dalam proses berikutnya berevolusi dengan karakter
desentralistis. Ciri utama yang nampak dari praktek
regionalisasi sentralistis adalah prakarsa pembentukan region.
Kasus di luar lokasi penelitian adalah transformasi JABOTABEK
menjadi JABODETABEK. Sedangkan contoh untuk lokasi
penelitian adalah SUBOSUKO menjadi
SUBOSUKAWONOSRATEN, ataupun transformasi manajerial
yang dialami BARLINGMASCAKEB. Pada proses regionalisasi
sentralistis, umumnya dawali perjanian kerjasama antara
pemerintah provinsi dengan provinsi lain atau dengan
kabupaten / kota, sedangkan pada regionalisasi desentralistis
umumnya perjanjian kerjasama hanya diantara kabpaten /
kota terkait.
Ada beberapa faktor kunci berkembangnya
regionalisasi tataruang menjadi kerjasama regional, yakni :
1. Adanya komunikasi lanjut untuk membentuk komitmen
diantara Kabupaten/kota yang tergabung
dalamregionalisasi
2. Ada inisiasi dari pihak ketiga (Perguruan Tinggi, LSM dan
Bakorlin/Pemprov)
3. Adanya konsep manajemen regional yang akan dijadikan
pijakan kerjasama regional
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 35
I.3. Dinamika Kerjasama Regional
Kesimpulan atas hasil survai yang bertujuan untuk
mengetahui penilaian pemerintah daerah pada dinamika
lembaga kerjasama regional menunjukkan bahwa pada
umumnya daerah yang tergabung dalam lembaga
kerjasama regional menilai positif keberadaan lembaga
tersebut. Sikap positif ini terlihat dari penilaian bahwa
lembaga kerjasama regional cukup efektif dalam melakukan
promosi daerah. Fokus pada promosi daeHal ini telah sesuai
dengan konsep dikembangkannya regional manajemen
seperti diniatkan semula melalui daedrah ini sesuai program
Regional development Strategic Plan (Red SP). Lembaga
kerjasama seperti Sampan, Barlingmascakeb dan
Subosukawonosraten (melalui PT Solo Raya Promosi)
memfokuskan kegiatan pada aktivitas ini.
Dari lembaga kerjasama yang ada di Jawa Tengah,
hanya Kedungsepur yang tidak fokus pada regional
marketing. Dinamika pada kerjasama Kedungsepur nampak
pada kegamangannya dalam melangkah keaarah regional
management dari intergovernmental relation yang bersifat
koordinatif. Pada lembaga kerjasama regional yang lain yang
memfokuskan pada regional marketing, penilaian pada
kerjasama pembangunan infrastruktur mendapatkan
penilaian kurang dari daerah yang tergabung. Bila dicermati
platform lembaga kerjasama regional di Jawa Tengah yang
ada, belum ada kerjasama yang berbasis pada pelayanan
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 36
publik, termasuk pembangunan infrastruktur. Satu-satunya
kelembagaan kerjasama yang ada pada pembangunan
infrastruktur adalah Banjarkebuka yang bersifat sementara
dan telah berakhir dengan telah terbangunnya jalan regional
antara Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen dan
Kabupaten Pekalongan. Sementara satu-satunya lembaga
yang masih ada yang belum berkonsep regional marketing
yakni Kedungsepur bersifat koordinasi pembangunan dan
belum ada kegiatan pembangunan riil bidang pelayanan
publik, termasuk pembangunan infrastruktur.
Pengetahuan pelaku kerjasama tentang konsep
manajemen regional yang dinilai cukup memadai baru
sebatas pada pelaksana daerah dan pelaksana lembaga
kerjasama sendiri, sedangkan stakeholders lain belum
memadai. Dalam struktur organisasi lembaga kerjasama
umumnya terwadahi dalam Forum Regional yang terdiri dari
para Bupati dan Walikota serta Dewan Eksekutif ataupun
Sekretariat Bersama yang dikelola oleh sekda, asisten I
Tatapraja, Bagian Pemerintahan, dan Bappeda), sedangkan
Pelaksana Lembaga Kerjasama Regional dalam struktur
kelembagaan Kerjasama Regional umumnya dikenal dengan
Regional Manajemen yang terdiri dari 2 atau 3 divisi dan
beberapa staf).
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 37
I.4. Stimulan Pembentukan dan Pendinamisasi Kerjasama
Regional
Pada regionalisasi sentralistis prakarsa pemerintah
mendominasi proses. Pada regionalisasi desentralistis ada
beberapa faktor pencetus (stimulan) proses pembentukan,
yakni : (1). Kebutuhan masing-masing daerah untuk saling
bekerjasama (2). Komitmen untuk membentuk kerjasama (3).
Komunikasi dan koordinasi intensif (4). Fasilitasi dan insiasi
konsep manajemen regional, dan (5). Pendampingan dan
kerjasama dengan berbagai pihak (networking).
Pada sebagian besar region hasil regionalisasi berakhir
stagnan. Stagnasi ini diakibatkan oleh beberapa faktor,
seperti halnya pada region yang berhasil menghidupkan
lembaga kerjasama memiliki beberapa faktor pendukung.
Beberapa faktor tersebut antara lain : (1). Keterbatasan
Kemampuan dan Potensi / Disparitas. Pada region yang telah
terbentuk lembaga kerjasama, kesenjangan yang rendah
pada kemampuan dan potensi menunjukkan intensitas
kegiatan yang tinggi (nampak pada Barlingmascakeb dan
Subosukawonosraten), sedangkan pada region yang tinggi
disparitasnya, intensitas kegiatan lembaga juga rendah
(Kedungsepur). Barlingmascakeb dan Subosukawonosraten
berhasil melakukan kegiatan regional marketing yang intensif,
sedangkan Kedungsepur sampai tahun 2007 belum memiliki
aktivitas riil, baru sebatas koordinasi. Sekretariat bersama yang
ditetapkan di Pemkot Semarang pun tidak ada aktivitasnya.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 38
Banyak pihak menilai event Semarang Pesona Asia, yang
melibatkan anggota kerjasama Kedungsepur lebih
merupakan kegiatan Pemkot Semarang, bukan Kedungsepur.
Kabupaten/Kota yang tergabung di Kedungsepur hanya
bersifat dilibatkan. Dapat disimpulkan bahwa bila telah
terbentuk lembaga kerjasama regional, keterkaitan antara
disparitas antar kabupaten/Kota dengan intensitas kegiatan
lembaga sangat nampak. Bila dicermati lanjut ketimpangan
kemampuan ini potensial mengakibatkan dominansi yang
bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam kerjasama
regional. Selama sikap kesetaraan ini dapat dijaga, implikasi
negatif disparitas dapat dieliminir. (2). Komitmen antar
anggota. Pengalaman di Kedungsepur pada event SPA Kota
Semarang menunjukkan bahwa : komitmen yang terbentuk
dengan pembentukan lembaga kerjasama saja tetap kurang
memberikan keberhasilan kerjasama tanpa dibarengi konsep
manajemen kerjasama regional. Hal ini karena ego daerah
dengan kecurigaannya lebih mengemuka dalam
penyelenggaraan kegiatan bersama karena ketidakjelasan
arah kerjasama yang akan dilaksanakan. (3). Kerjasama
dengan lembaga donor. Pengalaman beberapa lembaga
kerjasama menjadi makin kuat dengan kerjasama lembaga
dunia terutama GTZ dari Jerman (terlihat pada
Subosukawonosraten dan Baringmascakeb).
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 39
I.5. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerjasama Regional
Tabel 1. Faktor Pendukung dan Penghambat Kerjasama Antar Daerah
NO PELAKU PENDUKUNG (inducement factors) PENGHAMBAT
(constraint)
1 PEMERINTAH PUSAT
1. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah amanat kerjasama antar daerah
2. Surat Edaran Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, : bentuk kerjasama
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan
4. Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 tentang : Kerjasama Pembangunan Perkotaan.
Permendagri No 13 tahun 2006 (yang direvisi dengan Permendagri no 59 Tahun 2007) memberikan dampak psikis berupa ketakutan dan keraguan daerah dalam merintis kerjasama antar daerah.
2 PEMERINTAH PROVINSI
Inisiasi Program melalui Bakorlin Belum adanya payung hukum dan panduan operasional kerjasama antar daerah
3 LEMBAGA PENDAMPING:
1. GTZ (Jerman)
2. Perguruan Tinggi
3. LSM
1. Bantuan teknis 2. Konsep MR 3. Fasilitasi (mediasi, dana,
penyusunan program)
Terbatasnya kesinambungan Pendanaan
4 PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
1. Kebutuhan kerjasama 2. Komitmen 3. Potensi daerah
Adanya Ego daerah
5 LEMBAGA PELAKSANA KERJASAMA
1. Profesionalitas Regional Manager 2. Konsep Manajemen Regional
-terbatasnya jejaring
Sumber : hasil identifikasi dan analisa
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 40
I.6. Format Kerjasama Regional Saat ini
Ada tiga pola region dan kerjasama regional yang
saat ini terjadi di Jawa Tengah, yakni :
1). Keruangan tanpa kerjasama. Region ini memiliki karakter :
tidak terjadi komunikasi, hampir tidak terjadi kerjasama
(kecuali koordinasi sektoral), tidak ada lembaga
kerjasama dan baru tahap identifikasi kebutuhan.
Kerjasama. Jenis region ini meliputi : Purwomanggung :
Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung. 2.
Bergas : Brebes, Tegal dan Slawi 3.Tangkalangka :
Batang, Pekalongan, Pemalang dan kajen , dan 4.
Banglor : Rembang dan Blora serta 5. Wanarakuti:
Juwana, Jepara, Kudus, dan Pati.
2). Kerjasama bersifat koordinatif : memiliki karakter : baru
bersifat Koordinatif meski telah tersusun visi belum
menggunakan konsep management regional, misi,
Platform : sangat makro dan Intensitasitas kegiatan
rendah. Region ini terdiri dari : Kedungsepur : Kendal,
Demak, Ungaran (Kabupaten Semarang), Kota Semarang
dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan)
3). Kerjasama dengan konsep manajemen regional. Region
ini memiliki karakter : Digerakkan visi, misi, Dilandasi Konsep
Regional Marketing, Intensitas kegiatan tinggi, dan telah
Teridentifikasi kebutuhan kerjasama pada pelayanan
publik. Region ini terdiri dari : Barlingmascakeb :
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 41
Kebumen, Subosukawonosraten : Surakarta, Boyolali,
Kartasura, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten dan
Sampan : Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pemalang, dan Kabupaten Brebes.
J. Implikasi
J.1. Implikasi Kebijakan (Policy Implicatons)
Mengingat kebutuhan kerjasama sudah merambah
pada pelayanan publik, sedangkan cakupan kerjasama
yang telah ada umumnya baru sebatas regional marketing ,
ke depan sebaiknya cakupan kerjasama tidak sebatas pada
salah satu bidang seperti yang selama ini terjadi di Jawa
Tengah, tetapi mencakup 2 bidang utama, yakni kerjasama
ekonomi dan pelayanan publik.
Kenyataan bahwa pemahaman konsep manajemen
regional masih sangat terbatas pada pengelola, ke depan
perlu pemahaman konsep manajemen regional yang lebih
meluas (eksekutif dan legislatif) pada proses pembentukan
region (regionalisasi) dan perintisan kerjasama baru.
Sebaiknya pemahaman konsep manajemen regional tidak
sebatas kerjasama (co-operation), tetapi ditingkatkan pada
semangat kolaborasi. Realitas dari kerjasama yang ada
bentuk IGM lebih dapat mengekspresikan collective action
dibanding IGR, ke depan perlu rencana pentahapan
pematangan kerjasama regonal dari sektor potensial menuju
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 42
pada kerjasama komprehensif, yang dapat dimulai dari
kerjasama yang sifatnya intergovernmental relation (IGR)
menuju intergovernmental management (IGM). Namun
perangkat kebijakan harus ditata lebih dahulu.
Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang
tegas mulai dari tigkat nasional, provinsial sampai ke tingkat
pelaksanaan kerjasama regional, dengan skenario yang
tegas. Di Indonesia, dukungan kebijakan / aturan hukum
berawal dari UU No 32 Tahun 2004, dilanjutkan Surat Edaran
Nomor 120/1730/SJ tanggal 13 Juli 2005, Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan
Permendagri Nomor 69 Tahun 2007 : Kerjasama
Pembangunan Perkotaan. Namun demikian kebijakan di atas
menjadi tidak konsisten dengan penjabaran kebijakan /
aturan lanjut. Biang inkonsistensi aturan tersebut adalah
Permendagri No. 13 Tahun 2006 (meskipun telah ada revisi
dengan Permendagri nomor 59 tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, terutama pasal 42 sampai 44 khususnya tentang
hibah). Tiadanya kejelasan pos anggaran pada peraturan
pengelolaan keuangan daerah membawa dampak psikis
bagi penyelenggara kerjasama berupa ketakutan untuk
penganggaran di APBD.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 43
Lakukan pembentukan kerjasama regionalisasi dengan
karakter desentralistis, dari identifikasi kebutuhan riil, perkuat
dengan pemahaman konsep manajemen regional,
kerjasama dengan lembaga pendamping dan perluasan
jaringan (networking).
J.2. Implikasi Teori (Theory Implications)
Cara pandang klasik (intra organisasi) pada organisasi
lembaga kerjasama antar daerah tidak relevan lagi dengan
karakter lembaga kerjasama yang mengkolaborasikan
daerah-daerah otonom ke dalam hubungan kerjasama antar
daerah (intergovernmental organization). Birokrasi Weberian
(Albrow, 2005) yang memiliki pola hubungan strukturalis –
hierarkhis (kewenangan terpusat, span of controll ketat,
impersonal dan sebagainya) menjadi kurang sesuai dengan
karakter networking yang flexible dalam semangat kolaborasi
(Robert Agranoff, 2003 dan Klijn dalam Koppenjam, 1999).
Untuk tercipta kolaborasi, ada 5 dimensi dari Thomson yang
harus diperhatikan, yakni : (i) dimensi pemerintahan
(Governance dimension), (ii) dimensi administrasi
(administration dimension), (iii) dimensi otonomi (Autonomy
dimension), (iv) dimensi saling menguntungkan (mutually
dimension) serta (v) dimensi kepercayaan dan saling
memberi (Trust and reciprocity dimension).
Ada dukungan teori dari Weicchart yang
mengemukakan sejumlah faktor yang bermain pada
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 44
regionalisasi dan kerjasama antar daerah. Weicchart mengisi
kekosongan informasi atas variabel pendukung dan
penghambat implementasi kebijakan antar daerah dalam
model Goggin. Kedua teori nampak saling memperkuat.
Sementara sejumlah variabel yang diberikan O’Toole nampak
kurang seirama dengan kedua pendapat tersebut. O”Toole
justru mengedepankan dimensi stabilitas struktural (indeks
stabilitas/ kemapanan struktur) dalam kerjasama antar
daerah. O”Toole meyakini tanpa memperhatikan faktor ini
hubungan kerjasama yang dilakukan tidak akan mampu
meningkatkan kinerja manajerial.
Ada 4 (empat) bentuk networking dari Robert
Agranoffxxxi yang dapat dipilih ketika dua atau lebih daerah
kabupaten / kota akan mengadakan kerjasama. Ke empat
bentuk networking tersebut adalah : (a). information networks:
beberapa daerah dapat membuat sebuah forum tetapi
hanya berfungsi sebagai pertukaran kebijakan, program,
teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama. (b).
developmental networks : antar kabupaten/ kota memiliki
kaitan lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga
dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara
langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah
dalam mengatasi masalah di daerah masing-masing. (c).
outreach networks : kabupaten/kota yang tergabung dalam
networking menyusun program dan strategi untuk masing-
masing daerahnya yang diadopsi dan dilaksanakan oleh
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 45
daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner), dan
(d). action networks : daerah-daerah yang menjadi anggota
secara bersama-sama menyusun program aksi bersama,
dilaksanakan bersama atau oleh pelaksana lembaga
kerjasama.
Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih
oleh daerah yang merintis kerjasama antar daerah secara
umum, bagi daerah yang berdekatan dapat juga
mempertimbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaan kerjasama
yang lebih serius (diambil dari pengalaman praktek di
beberapa negara), yakni : intergovernmental relation (IGR)
atau intergovernmental management (IGM yang dibarengi
dengan pengembangan semangat kolaborasi (Thomson).
J.3. Implikasi Metodologis (Methods Implications)
Studi kasus dengan pengkayaan berbagai teknik
pengumpulan data ini memiliki kelebihan dapat menangkap
agregat perbedaan profil dari masing-masing lembaga
kerjasama yang ada secara mendalam. Kedalaman
informasi diperoleh dari variatifnya metode penelusuran yang
dilakukan, yakni menggunakan berbagai teknik
pengumpulan data berupa : indepth interview, penelusuran
berita di mass media (koran, web site), wawancara tidak
langsung (melalui email dan telepon), survai, kesertaan
dalam Forum Pelaku (FPD / Forum Pemerintah Daerah) serta
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 46
pendampingan. Kekayaan informasi menjadi kekuatan
penelitian ini.
Banyaknya ragam teknik pengumpulan data juga
membawa kelemahan, yakni : potensial terbawa pada
informasi yang sebenarnya kurang diperlukan (waste data),
akibat lebih lanjut, alur yang dibangun seringkali terganggu
oleh banyaknya informasi. Paling tidak ada dua Implikasi
metodologis pada penelitian selanjutnya. Pertama, perlunya
konsistensi yang lebih ketat pada fenomena yang akan
diungkap. Kedua, luasnya cakupan disertasi membawa
implikasi untuk pembatasan fokus penelitian selanjutnya
(sempit namun mendalam).
Catatan :
i Lihat penjelasan Undang-Undang RI No 25 Tahun 2004 Tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 2 ayat (4) huruf a, adalah Pemerintah (Pusat, Provinsi, kabupaten dan Kota), dunia usaha dan masyarakat. Musrenbang dalam sistem perencanaan pembangunan tersebut hanya dilakukan pada tingkat kelurahan, kecamatan, dan Forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) baik tingkat kabupaten / kota maupun Provinsi.
ii Lihat Cheema, Shabbir and Dennis Rondinelli, 1983, Decentralization and Development, Beverly Hills, CA : Sage Publications
iii Lihat Djohan, Djohermansyah, 2002, "Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah" (makalah dalam Workshop Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, UNDIP, Semarang
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 47
iv Lihat Mc Guire (20060 : Kajian disertasi ini masuk dalam domain
Public Management and Intergovernmental (sesuai klasifikasi Michael McGuire seorang associate professor dalam public and environmental affairs di Universitas Indiana Bloomington).
v Goggin, L., Malcolm, Ann O'M Bowman, James P. Lester and L. J. O'Toole, Jr., 1990, Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation, Foresman and Company, Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. In : H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001. Salzburg (Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview, Illionis London, England
vi Weichhart P., 2002, Globalization Die Globalisierung und ihre Auswirkungen auf die Regionen. In : H. DACHS und R.FLOIMAIR, Hrsg., Salzburger Jahrbuch fur Politik 2001. Salzburg (Schritenreihe des landespresseburos, sunderplublikationen, Nr. 180)Glenview, Illionis London, England
vii Abdurahman, Benjamin, (2005), Pemahaman Dasar Regional Management & Regional Marketing, Instrumen Strategis Pembangunan Wilayah dan Kota dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan implikasi Pelaksanaan otonomi Daerah, IAP Jateng, Semarang
viii Rustiadi, E., et. All., 2004, Perencanaan Pengembangan Wilayah Konsep Dasar dan Teori, Faperta-IPB,, Bogor
ix Patterson, D.A. 2008. Intergovernmental Cooperation. Albany, NY: New York State Department of State Division of Local Government Services
x Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 Edisi Ketiga, Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta
xi Thomson, Ann Marie and James L. Perry (2006), “Collabotration Processes : Inside the Black Box”, paper presented on Public
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 48
Administration Review; Dec 2006; 66, Academic Research Library pg.20
xii Wood, Donna, and Barbara Gray, 1991, “Toward a Comprehensive Theory of Collaboration”, Journal of Applied Behavioral Science 27 (2):139-62
xiii Agranoff, Robert, (2003), ”A New Look at the Value-Adding Functions
of Intergovernmental Networks”, Paper presented for Sevent National Public Management Research Conference, Georgetown University, October 9-11, 2003
xiv Richardson, H.W., 1969, Regional Economics, Weidenfeld & Nicholson, London
xv Blair, John P. (1991), Urban and Regional Economics, dalam Iwan Nugroho dan Rochim Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES, Jakarta
xvi McGuire, Michael, 2006, "Intergovernmental Management : A View From The Bottom", Public Administration Review 66 (5) Page 677-679, September-October 2006
xvii O’Toole, Laurence J., Jr., Meier, Kenneth J., 2004, "Intergovermental Management", Journal of Public Administration Research and Theory, 01 – Oct - 2004
xviii Albrow, Martin, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Jakarta
xix Rouke, Francis E., 1965, Bureucratic Power in Natioanal Politics, Little Brown, Boston, MA.
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 49
xx Heckscher, Charles and Donnellon, Anne (Edt. 1994), The Post Bureaucratic Organization, new perspective on organization change, Sage Publication, thousand Oaks, CA.
xxi Fukuyama, Francise, 1995, Trust, The Social Vertues And The Creation Of
Prosperity, The Free Press, New York, NY xxii Klijn, Erik-Hans and Joop F.M. Koppenjan, 1999, Managing complex
Networks Strategies for The Public Sector, London
xxiii Rendell, E.G., and Yablonsky D. 2006. Intergovernmental Cooperation, Handbook. Harisburg, Pensylvania: Department of Community and Economic Development.
xxiv Keban, Yeremias T, 2009, “Naskah Akademik Kerjasama Antar Daerah”, Fisipol UGM, Yogyakarta
xxv Lihat Pratikno (Ed.), 2007, Kerjasama Antar Daerah : Kompleksitas dan
Tawaran Format Kelembagaan, Jogja Global Media, Yogyakarta. Buku ini banyak menjelaskan tentang format kerjasama antar daerah yang salah satu bahasannya mendeskripsikan praktek kerjasama antar daerah di beberapa negara antara lain : Afrika Selatan, Amerika Serikat, Korea Selatan dan Philipina.
xxvi Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition.
Englewood Cliffs, N.J. : Prentice –Hall.
xxvii Pratikno (Ed.), 2007, op cit.
xxviii Waugh Jr, W.L. and G.Streib. 2006. “Collaboration and Leadership for Effective Emergency Management”. Public Administration Review, 66 (December), pp. 131-140
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 50
xxix Jenkins, W.O. 2006. “Collaboration over Adaptation”. Public
Administration Review, 66, 3 (May/June), pp. 319 – 321.
xxx Yin, Roberth K., 1995, Studi Kasus, Desain dan Methode, PT. Raja Grafindo, Jakarta
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 52
I. KETERANGAN PRIBADI :
1. Nama Lengkap : HARDI WARSONO
2. Tempat, tanggal lahir : Ngawi, 27 Agustus 1964
3. Agama : Islam
4. Pekerjaan : Dosen Ilmu Adm. Publik- Fisip Undip
5. Istri : Nurwi Mayasri Fitriastuti, S.Sos, MSi
6. Anak : 1. Davin Hardian Naufal Aisy
2. Tansya Hardiani Aqilarahma
7. Alamat Rumah : Jl. Padi III/ B.188-189, Genuk Indah Semarang (Telp. 024 - 6581434) Hp. 08122933583
8. E-mail : [email protected]
9. Alamat Kantor : (1) Jur. Adm Publik- Fisip Undip, Jl. Imam Bardjo SH. No, 1-3, Semarang (Telp. 024-8446851)
(2) Prodi Magister Adm Publik (MAP) Undip, Gd. Pascasarjana Lt 2. Jl. Imam Bardjo SH, No 5 Semarang (Tlp. 024-8452791)
II. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Peneliti di LP3ES (1988-1990)
2. Staf Pengajar Fisip Undip (1990 – sekarang)
Ringkasan Disertasi, Hardi Warsono, 2009 53
3. Staf Pengajar dan Pengelola Program Studi Magister
Administrasi Publik Undip (2001 – sekarang)
4. Tenaga ahli pada beberapa konsultan perencanaan (1990 – sekarang)
5. Pegiat pada LSM Lekad (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerjasama Antar Daerah), Semarang
III. RIWAYAT PENDIDIKAN :
1. Sekolah Dasar Negeri Winong, Tahun 1976
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Ngawi, Tahun 1979
3. Sekolah Menengah Atas 2, Madiun, Tahun 1982
4. Sarjana Ilmu Administrasi Negara Fisip Undip, Semarang, Tahun 1988
5. Magister Perencanaan Kota dan Daerah, UGM, Yogyakarta, Tahun 1997
6. Program Doktor Ilmu Administrasi Negara, Fisipol UGM, Yogyakarta, tahun 2009