Sahlins dan Service (dalam Kaplan, 1999:73) menyatakan bahwa ia telah memusatkan
perhatiannya pada dua bentuk evolusi, yaitu evolusi umum dan khusus. Evolusi khusus ia
menempatkan pada uruutan-uritan khusus dari perubahan dan adaptasi pada masyarakat tertentu.
Evolusi umum melihat pada perkembangan masyarakat manusia secara umum meliputi
‘perkembangan menyeluruh’ secara berurutan dalam bentuk-bentuk yang lebih tinggi dan
melampau bentuk-bentuk yang lebih tinggi, bangkit dari dan melampaui bentuk-bentuk yang
terbelakang. Jadi evolusi khusus mirip dengan evolusi multilinier steward, dan evolusi umum
mirip dengan evolusi universal White. Namun L. White berhasil menggabungkan kedua
pandangan ini, kendatipun kedua pandangan ini sudah digunakan akan tetapi tetap saja tidak
mempu memberikan penjelasan mengapa kebudayaan-kebudayaan tertentu dapat mengalami
perubahan atau mengapa kebudayaan tertentu itu bisa mencapai kemajuan evolusioner yang
umum. Berlainan dengan evolusi yang awal aliran evolusi yang baru mengabaikan soal
predementasi, tetapi mereka tidak menggantikannya dengan mekanisme yang lain dan
diperkirakan sebagai hal-hal menentukan apa yang taetrjadi dalam evolusi kebudayaan.
Konsep evolusi baru berbeda dengan konsep evolusi lama, yang menolak pendapat
bahwa perkembangan kebudayaan berdasarkan garis lurus. Sahlin & Service (1976:36) mencoba
menyatukan pemikiran para ahli difusi dan fungsional yang menekankan pada sifat mobilitas
berbagai unsur kebudayaan dan mencoba mengetahui bagaimana cara berbagai unsur
kebudayaan yang terbentuk hingga satu kebudayaan tertentu dapat menyatu bersama. Pemikiran
ahli fungsional menlihat bahwa pada unsur-unsur kebudayaan terdapat saling ketergantungan,
bagian-bagian tersebut menjadi satu dalam keseluruhan yang penuh makna. Oleh sebab itiu para
ahli antropologi kontemporer menyamakan antara evolusi dengan perubahan, walau pun
sebenarnya hingga sekarang ini mereka belum mampu memnjelaskan perubahan secara
memadai. Sementara pakar lain melihat bahwa evolusi sebagai pertumuhan, perkembangan atau
kemajuan. Meskipun di dalam masyarakat minat terhadap evolusi hidup kembali.
Selain evolusi, difusi juga dianggap sebagai salah satu bentuk penyebab perubahan
kebudayaan.
Kroeber (1948:352, 399) menyatakan bahwa peranan difusi dalam perubahan kebudayaan
sangat besar dan menentukan, difusi dapat mempengaruhi kebiasaan kelompok tertentu, seperti
penyebara kebiasaan merokok pada masyarakat Indian Amerika bertemu dengan orang Eksimo
yang tidak pernah merokok. Karena seringnya terjadi interaksi dan pertemuan lama kelamaan
orang Eksimo pun akhirnya bisa merokok. Oleh sebab itu proses difusi seperti itu menunjukkan
perkembangan kebudayaan manusia terkadang mengambil rute penyebaran melingkar (tidak
langsung), setelah melalui proses tertentu barulah kemudian menyebar ke masyarakat karena
adanya pengaruh lingkungan dan keadaan tertentu. Hal ini juga dapat dilihat bahwa penyebaran
perubahan kebudayaan (bentuk difusi) senantiasa berpangkal dari satu wujud dan satu tempat
tertentu pada makhluk manusia pada kurun waktu tertentu, kemudian kebudayaan induk itu
berkembang, menyebar, dan terpecah ke dalam banyak kebudayaan baru, yang diakibatkan
pengaruh lingkungan dan keadaan, serta waktui. Hal ini terus berlanjut, pertemuan dan interaksi
antara masyarakat pemilik kebudayaan dengan masyarakat kebudayaan lain sehingga lama-
kelamaan terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lainnya, hal ini terus berlangsung dalam
kehidupan manusia, proses inilah yang disebut dengan difusi.
Proses difusi yang terbentuk dari hasil tiruan akan mengalami modifikasi yang
disesuaikan dengan unsur-unsur budaya asli atau si peniru selalu mempertahankan unsur-unsur
kebudayaan yang ada pada mereka. Tingginya sifat difusi dapat menimbulkan akulturasi
kebudayaan. Akulturasi terjadi akibat pengaruh kebudayaan yang kuat dan yang bergengsi atas
kebudayaan yang lemah atau terbelakang (Kroeber 1948:428). Akulturasi dapat juga terjadi
karena adanya unsur paksaan dari kebudayaan yang kuat terhadap kebudayaan yang lemah.
Sejumlah antropolog telah mencurahkan perhatian yang lebih rinci pada perkembangan
pemikinln evolusi. Di sini akan dibahas pemikiran tiga orang antropolog: Leslie White, Julian
Steward, dan tim peneliti Marshall Sahlins dan Elman Service dkk. Masingmasing mewakili
pemikiran evolusi modem pendekatan yang berbeda.
Leslie White menyatakan bahwa ia lebih memusatkan perhatian pada kebudayaan sebagai
satu keseluruhan ketimbang pada kebudayaan-kebudayaan khusus. Seperti Durkheim, White
menolak peranan faktor psikologis dan teori perkembangan 'manusia agung'. Perilaku manusia
harus dipahami menurut kebudayaan. Bila manusia bersaing misalnya, itu bukan karena ia
mempunyai sifat demikian, tetapi karena ia hidup dalam kebudayaan yang bersifat bersaing.
Menurut White, kebudayaan harus dipahami menurut 3 lapisan: lapisan teknologi adalah
yang terendah, lapisan sosiologis yang menengah, dan lapisan filosofis yang tertinggi. Artinya,
teknologi adalah bidang paling mendasar dan pendorong utama proses kebudayaan. Teknologi
dan perkembangannya membentuk sistem sosial, dan falsafah mencerminkan baik sistem sosial
maupun teknologi yang melandasinya. Karena itu teknologi menentukan jenis sistem sosial yang
ada, dan teknologi bersama masyarakat menentukan sifat falsafah. Terdapat pengaruh timbal-
balik antara ketiga lapis kebudayaan itu namun arah hubungan kausal antara ketiganya dimulai
dari teknologi ke masyarakat dan ke falsafah.
Kebudayaan adalah proses yang bersifat simbolis, berkelanjutan, kumulatif, dan maju
(progresif). Kebudayaan adalah proses simbolis dalam arti bahwa manusia adalah simbol
binatang (terutama binatang yang menggunakan bahasa). Berkelanjutan karena sifat simbolis
kebudayaan memungkinkannya dapat dengan mudah diteruskan dari seorang individu ke
individu lain dan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Akumulatif dalam arti unsurunsur
baru terus menerus ditambahkan kepada kebudayaan yang ada. Kebudayaan bersifat progresif
dalam arti mencapai kontrol yang semakin meningkat terhadap alam dan semakin menjamin
kehidupan yang semakin baik bagi manusia.
Dengan kata lain, kebudayaan adalah fenomena yang menghasilkan sendiri, mencakup
kehidupan individu dan karena itu dapat menjelaskan seluruh perilaku manusia. Argumen White
jelas terlihat dalam bahasannya mengenai inovasi. Tak ada penemuan atau inovasi (dan
akibatnya tak ada perubahan) dapat muncul kecuali bila perkembangan kebudayaan telah
mencapai satu titik yang dapat menambahkan satu unsur baru. Lebih penting lagi, bila
perkembangan kebudayaan telah mencapai titik tersebut maka unsur kebudayaan barn itu akan
muncul terlepas dari keinginan manusia. Dukungan utama atas pernyataan terakhir ini adalah
penemuan atau penciptaan yangterjadi di sepanjang sejarah secara serentak. Daftar penemuan
atau penciptaan seperti itu sungguh mengesankan. Di antaranya termasuk penemuan teknologi
seperti telegrap, pemecahan masalah matematika seperti kalkulus, dan perumusan hukum-hukurn
ilmiah seperti mengenai hukum perilaku gas. Dengan kata lain, perkernbangan kebudayaan
merupakan satu proses yang berlangsung sendiri dalam arti terlepas dari individu tertentu,
termasuk individu yang kita anggap kreatif. Karena itu kemunculan suatu penemuan tidak
tergantung pada seorang individu khusus.
Faham determinisme, memandang bahwa manusia sangat tergantung pada alam, artinya
kapasitas manusia dan aktifitasnya sangat ditentukan oleh alam dimana dia berada, sedangkan
upaya manusia untuk mengkreasi lingkungan sangat terbatas kemampuannya. Elsworth
Huntington yang menekankan pada kekuatan pengaruh iklim pada perkembangan dan
kehidupan manusia.
Faham Posibilisme atau Probabilisme, memandang lingkungan alam berpengaruh
terhadap manusia tetapi tidak menentukan melainkan hanya memberi peluang dan kemungkinan
pada manusia untuk berkembang. Paul Vidal de la Blace yang menyatakan bahwa
perkembangan hidup dan kebudayaan manusia bukan dipengaruhi langsung oleh alam, tetapi
oleh proses produksi yang dipilih seseorang yang berasal dari kemungkinan yang disediakan oleh
tanah, iklim, dan ruang yang ada disekitarnya.
Environmental Possibilism
Sebagai ganti dari determinisme, suatu teori baru yang disebut possibilisme lingkungan,
dikemukakan. Penduduknya menyatakan bahwa sementara lingkungan tidak secara langsung
mempengaruhi perkembangan khusus dari budaya, kehadiran atau ketiadaan dari factor
lingkungan yang khusus menentukan batas-batas pada perkembangan dengan memungkinkan
atau mencegah terjadinya perkembangan tersebut. Dengan demikian, orang-orang di daerah
kepulauan mungkin bukan; penduduk daerah bertemperatur sedang barangkali mempraktekkan
pertanian, tetapi mereka yang tinggal di kutub tidak dapat.
seorang antropolog Amerika A. L. Kroeber, yang menunjukkan bahwa orang Indian di
barat laut Amerika Utara tidak dapat menerapkan bertani jagung Indian seperti tetangganya di
selatan karena sifat musimnya yang berbeda. Dengan demikian lingkungan membatasi
kemampuan dari budayanya kea rah suatu perkembangan budaya tertentu.
Evolusi Khusus
White mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan
kajian. White menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T.
Penjelasannya adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy) sedangkan T
adalah teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas
masyarakat manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan
teknologi yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya.
Dengan rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas
merupakan hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi
energi dengan bantuan teknologi yang ada saat itu.
dalam ranah kebudayaan diperlukan dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan intrinsik, yaitu peneliti ikut tinggal di lingkungan objek kebudayaan yang
ingin diteliti dan mengikuti semua pola kehidupan di sana, sehingga secara kasat mata
terlihat bahwa si peneliti adalah bagian dari kebudayaan tersebut.
2. Pendekatan ekstrinsik, yaitu pandangan dan peniliaian peneliti dari kacamata netral.
Situasi ini menempatkan peneliti berada di luar dari kebudayaan yang akan diteliti dan
peneliti dituntut untuk dapat melihat dan menilai objek yang akan diteliti sebagai sesuatu
yang bukan merupakan kebudayaan si peneliti itu sendiri.
Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup
dalam perspektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif
lingkungan hidup. Ekologi budaya muncul sebagai hasil kerja Carl Sauer pada geografi dan
pemikiran dalam antropologi. Ekologi budaya mempelajari bagaimana manusia beradaptasi
dengan lingkungan alamnya.
Dalam beradaptasi dengan lingkungan, menurut Steward, manusia memiliki corak yang
khas dan unik, salah satunya adalah, proses perkembangan kebudayaan. Proses
perkembangannya di berbagai belahan bumi tidak terlepas antara satu dan lainnya; dan bahkan
ada beberapa diantaranya yang tampak sejajar terutama pada sistem mata pencaharian.
Misalnya pada masyarakat berburu; ada kecenderungan mereka hidup di lingkungan alam
yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia mendapat binatang buruan,
mereka harus benar-benar mengenal lingkungan alam tempat mereka berburu. Untuk itu mereka
harus hidup berkelompok. Karenanya kalau mereka harus mengambil wanita untuk dikawini,
mereka harus membawa gadis itu ke dalam kelompoknya.
Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang buruan terbatas, ia harus hidup
dalam kelompok-kelompok kecil. Sebaliknya jika daerahnya luas dan jumlah binatang hidup
dalam kawanan yang besar dan berpidah-pindah berulang menurut musim, maka jumlah anggota
kelompok berburu juga besar. Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan
dengan kerabat wanita isterinya baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat
perkawinannya, ataukah sesama anggota ataukah dengan gadis lain di luar kelompoknya.
Demikian halnya pada kalangan masyarakat yang telah mengenal system pertanian.
Tatkala jumlah penduduk sedikit dan tanah masih sangat luas, mereka harus hidup terpencar
dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan
tanah sehingga orang tidak lagi dapat begitu saja meninggalkan ladang mereka yang sudah tidak
subur. Orang akan terpaksa mengerjakan bidang tanah untuk kurun waktu yang lama. Dan ini
hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan.
Pertanian irigasi telah menimbulkan pengelompokan manusia dalam desa-desa kecil yang
saling berpencar dan semakin lama desa itu menjadi semakin besar. Pertanian menetap membuat
orang mengolah tanahnya secara intensif karena itu munculah teknologi-teknologi seperti bajak
dan pemanfaatan binatang sebagai pengganti tenaga manusia. Akibatnya terbentuklah struktur
masyarakat pada bentuk baru, dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk mengolah tanah yang
tidak subur. Timbullah sistem irigasi dengan organisasi dan orang-orang mengatur irigasi dan
muncul pula pelapisan masyarakat.