RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
i
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Wilayah KPHL Sumba Barat Daya mencakup 11 wilayah kecamatan dan ditinjau dari
keberadaan kawasan hutannya terdiri atas dua fungsi hutan, yaitu hutan lindung (HL) dan
hutan produksi (HP). KPHL Sumba Barat Daya seluas 20.646,64 ha didominasi oleh areal
hutan Lindung mencapai 58% dan hutan produksi sekitar 42%. Di dalam pengelolaan tingkat
tapak, Visi KPHL Sumba Barat Daya adalah Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan
Sebagai Penyedia Jasa Ekosistem Dan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan
beberapa misi pengelolaan, yaitu :
1. Memantapkan status kawasan KPHL Sumba Barat Daya;
2. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yaitu dengan mengoptimalkan
potensi hasil hutan non kayu dan jasa ekosistem lainnya dengan memperhatikan
ekosistemnya;
3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang efisien dan efektifit dalam
pengelolaan KPHL;
4. Pengembangan potensi ekowisata dan jasa ekosistem lainnya;
5. Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan;
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan melalui kegiatan pengelolaan dan
pelestarian ekosistem hutan yang terintegrasi dengan pemanfaatan hasil hutan non
kayu, pengembangan ekowisata, aneka usaha kehutanan dalam peningkatan
ekonomi masyarakat;
7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dengan para pihak dalam pengelolaan
produk hasil hutan dan jasa lingkungan hutan.
Adapun kegiatan yang direncanakan dalam RPJP KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai
berikut :
1. Inventarisasi berkala wilayah kelola serta penataan hutannya
2. Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu
3. Pemberdayaan masyarakat
4. Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) pada areal KPHL yang telah ada izin
pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutannya
5. Penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar izin
6. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
ii
7. Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin
8. Penyediaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia (SDM)
9. Pemantapan kebijakan pengelolaan KPHL
10. Penambahan staf pengelola KPHL
11. Penyusunan prosedur kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau kerjasama
12. Penyediaan pendanaan
13. Pengembangan database
14. Rasionalisasi wilayah kelola
15. Review Rencana Pengelolaan
16. Pengembangan investasi.
Untuk mewujudkan rencana pengelolaan jangka panjang ini diperlukan dukungan komitmen
dari para pihak yang didukung dengan sistem kelembagaan dan personil yang memadai.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
iii
KATA PENGANTAR
Pengelolaan hutan dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
meliputi kegiatan tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan,
rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Untuk mengimplementasikan
pengelolaan hutan tersebut, maka perlu disusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Panjang (RPHJP) KPHL Sumba Barat Daya.
Rencana Pengeloaan Hutan Jangka Panjang KPHL Sumba Barat Daya memuat tujuan yang
akan dicapai KPHL, kondisi yang dihadapi, strategi dan kelayakan pengembangan
pengelolaan hutan, yang meliputi: tata hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan
hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Melalui rencana jangka
panjang ini potensi dan kondisi sumber daya hutan, kondisi sosial ekonomi dan
pengembangan KPHL jangka panjang di Kabupaten Sumba Barat Daya dapat diketahui.
Data dan informasi yang digunakan dalam rencana ini mengacu pada hasil kegiatan
inventarisasi kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya di wilayah kerja KPHL
Sumba Barat Daya.
Dengan tersusunnya Rencana Jangka Panjang Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya
ini diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan rencana
ini. Mudah-mudahan rencana ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya.
Sumba Barat Daya, ………………. 2015 Kepala KPHL Sumba Barat Daya,
……………………………. …………………………………
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
iv
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI…. ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. viiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. x
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Tujuan ............................................................................................... 2
1.3. Sasaran ............................................................................................. 3
1.4. Ruang Lingkup ................................................................................... 3
1.5. Batasan Terminologi ........................................................................... 4
2.1. Risalah Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ............................................. 8
2.1.1. Letak dan Luas ................................................................................... 8
2.1.2 Topografi ........................................................................................... 9
2.1.3. Geologi ............................................................................................ 10
2.1.4. Tanah .............................................................................................. 12
2.1.5. Keadaan Iklim .................................................................................. 15
2.1.6. Daerah Aliran Sungai .......................................................................115
2.1.7. Aksesibilitas Kawasan ......................................................................115
2.1.8. Batas-Batas ...................................................................................... 17
2.1.9. Sejarah Pembentukan Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ..................... 18
2.1.10. Pembagian Blok Kawasan KPHL Sumba Barat Daya ............................ 20
2.2. Potensi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya ........................................... 21
2.2.1. Penutupan Lahan ............................................................................. 21
2.2.2 Potensi Flora .................................................................................... 22
2.2.4 Potensi Fauna................................................................................... 24
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
v
2.2.5 Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam ......................................... 26
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat ........................................ 31
2.3.1 Demografi ........................................................................................ 31
2.3.2 Suku/etnis ........................................................................................ 32
2.3.3 Perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat ...................... 33
2.3.4 Deskripsi Desa Sampel ...................................................................... 35
2.4 Perizinan dan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan ............. 76
2.5 KPHL SBD dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan Daerah ............................................................................................. 76
2.6 Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan ........................................... 78
2.6.1 Isu Strategis. .................................................................................... 78
2.6.2 Kendala dan Permasalahan ............................................................... 79
3.1. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya ................... 81
3.1.1. Visi .................................................................................................. 81
3.1.2 Misi .................................................................................................. 82
3.1.3 Tujuan Pengelolaan .......................................................................... 83
3.1.4 Pendekatan Strategi Pengelolaan ....................................................... 84
4.1. Analisis Data dan Informasi KPHL Sumba Barat Daya .......................... 88
4.1.1 Faktor Internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness) ............ 88
4.1.2 Faktor Eksternal (Peluang/Opportunities dan Ancaman/Threats) .......... 97
4.1.3 Penilaian Terhadap Faktor Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/ Ancaman (SWOT) ..........................................................................................102
4.2 Proyeksi Kondisi Wilayah KPHL Sumbawa Barat Daya di masa yang akan datang ............................................................................................105
4.2.1. Proyeksi Kelestarian Fungsi Lindung .................................................105
4.2.2. Proyeksi Kelestarian Ekologis ............................................................111
4.2.3. Proyeksi Kelestarian Sosial Ekonomi ..................................................112
5.1 Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Serta Penataan Hutannya ...........114
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
vi
5.1.1 Inventarisasi Hutan ..........................................................................115
5.1.2 Hasil Penataan Hutan di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya .............115
5.1.3 Pembagian Blok Hutan Lindung di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................................117
5.1.4 Pembagian Blok Hutan Produksi di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................................119
5.2 Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu ........................................123
5.3 Pemberdayaan masyarakat ..............................................................125
5.4 Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) Pada Areal KPHL Yang Telah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan Hutannya .........125
5.5 Penyelenggaraan Rehabilitasi Pada Areal Di Luar Izin.........................126
5.6 Pembinaan Dan Pemantauan (Controlling) Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Reklamasi Pada Areal yang Sudah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan Hutan ............................................................126
5.7 Penyelenggaraan Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam ...............130
5.7.1 Perlindungan Hutan. ........................................................................131
5.7.2 Konservasi Alam ..............................................................................131
5.8 Penyelenggaraan Koordinasi Dan Sinkronisasi Antar Pemegang Izin ....133
5.9 Koordinasi Dan Sinergi Dengan Instansi Dan Stakeholder Terkait .......134
5.10 Penyediaan Dan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) ..134
5.10.1 Pemantapan Kebijakan Pengelolaan KPHL .........................................134
5.10.2 Penambahan Staf Pengelola KPHL ....................................................134
5.10.2 Penambahan Staf Pengelola KPHL……………………………………..………....134 5.10.3 Penyusunan Prosedur Kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau
kerjasama……………………………………………………………………………………137 5.10.4 Peningkatan Sarana dan Prasarana ...................................................137
5.11 Penyediaan Pendanaan ....................................................................137
5.12 Pengembangan Database .................................................................138
5.13 Rasionalisasi Wilayah Kelola .............................................................139
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
vii
5.14 Review Rencana Pengelolaan ...........................................................139
5.15 Pengembangan Investasi .................................................................142
6.1. Pembinaan ......................................................................................143
6.2. Pengawasan ....................................................................................144
6.3. Pengendalian...................................................................................144
7.1. Pemantauan ....................................................................................146
7.2. Evaluasi ..........................................................................................148
7.3. Pelaporan ........................................................................................149
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Jenis-jenis tanah di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya .......................................................................................113
Tabel 2. 2 Kondisi erosivitas di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dsk .... 1Error! Bookmark not defined.
Tabel 2. 3 Kondisi areal berdasarkan cakupan sebaran Kecamatan di KPHL SBD .116
Tabel 2. 4 Arahan penataan detail areal kerja KPHL SBD..................................... 21
Tabel 2. 5 Kondisi tutupan lahan di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya .......... 22
Tabel 2. 6 Jenis-jenis fauna yang dijumpai di wilayah NTT .................................. 25
Tabel 2. 7 Tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah penduduk Kab. SBD ......... 32
Tabel 2. 8 Luas Wilayah Desa Bukambero menurut penggunaan lahan 2015 ........ 36
Tabel 2. 9 Jumlah Penduduk Desa Bokambero 5 (lima) tahun terakhir ................. 40
Tabel 2. 10 Jumlah ternak di Desa Bukambero ..................................................... 42
Tabel 2. 11 Kalender Musim Desa Delo ................................................................ 45
Tabel 2. 12 Jumlah Penduduk di Desa Delo .......................................................... 50
Tabel 2. 13 Jumlah dan Sebaran Penduduk Berdasarkan Nama Dusun/Kampung ... 50
Tabel 2. 14 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Desa Delo ....................................................................................................... 50
Tabel 2. 15 Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Delo dalam Kurun Waktu 1 (satu) Tahun .............................................................................................. 51
Tabel 2. 16 Luas Wilayah Desa Waimangura menurut lenggunaan lahan ............... 55
Tabel 2. 17 Lembaga-lembaga di Desa Waimangura ............................................ 55
Tabel 2. 18 Jumlah Penduduk Desa Waimangura berdasarkan kelompok umur ...... 57
Tabel 2. 19 Jenis kegiatan dan frekuensi gotong royong setahun terakhir .............. 61
Tabel 2. 20 Potensi Tanaman Pangan di Desa Waimangura .................................. 62
Tabel 2. 21 Perkembangan populasi ternak di Desa Waimangura .......................... 63
Tabel 2. 22 Produktivitas Perkebunan di Desa Waimangura .................................. 64
Tabel 2. 23 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah di Desa Dikira .................... 68
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
ix
Tabel 2. 24 Nama suku yang ada di Desa Dikira beserta nama Kepala Suku........... 70
Tabel 2. 25 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Dusun .................................... 71
Tabel 2. 26 Jumlah Penduduk Desa Dikira Pada Akhir Tahun 2014 ........................ 71
Tabel 2. 27 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Tingkat Pendidikan ................. 72
Tabel 2. 28 Jumlah Petani serta Luas Produksi Tanaman Pertanian di Desa Dikira .. 73
Tabel 2. 29 Jumlah Ternak di Desa Dikira ............................................................ 73
Tabel 2. 30 Jumlah Sarana Ekonomi di Desa Dikira ............................................... 74
Tabel 4. 1 Tutupan Lahan di areal KPHL SBD (dalam ha) .................................... 89
Tabel 4. 2 Tingkat Kekritisan di Kawasan KPHL SBD ........................................... 91
Tabel 4. 3 Kebutuhan Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Hutan di KPHL SBD (ha) ... 92
Tabel 4. 4 Potensi Pemanfaatan di Areal KPHL SBD ............................................ 93
Tabel 4. 5 Potensi Pemanfaatan HHBK di Areal KPHP SBD................................... 94
Tabel 4. 6 Kelas Aksesibilitas Terhadap Areal KPHL SBD ..................................... 97
Tabel 4. 7 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan ......................................................................................................101
Tabel 4. 8 Perhitungan Nilai Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman ......................................................................................................102
Tabel 4. 9 Proyeksi HHBK Tahun 2015-2025 di Wilayah KPHL SBD .....................110
Tabel 4. 10 Proyeksi Pengurangan Tingkat Kekritisan Lahan di KPHL SBD Periode 2015 – 2025 ....................................................................................111
Tabel 5. 1 Pembagian blok dan arahan pengelolaan KPHL SBD ..........................118
Tabel 5. 2 Sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD ....117
Tabel 5. 3 Pembagian blok hutan produksi di wilayah KPHL SBD ........................119
Tabel 5. 4 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Lindung KPHL SBD .................128
Tabel 5. 5 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Produksi KPHL SBD ...............129
Tabel 7. 1 Kegiatan Pemantauan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL SBD ................................................................................................147
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sebaran Fungsi Hutan di wilayah KPHL SBD ......................................... 9
Gambar 2 Sebaran kondisi fisiografi lahan di wilayah KPHL SBD ............................ 9
Gambar 3 Kondisi sebaran kelas lereng di wilayah KPHL Sumba Barat Daya .. Error! Bookmark not defined.0
Gambar 4 Peta Kelas Batuan di wilayah KPHL SBD ............................................. 11
Gambar 5 Kondisi Geologi di wilayah KPHL SBD ................................................. 12
Gambar 6 Peta Jenis Tanah di wilayah KPHL SBD ............................................... 13
Gambar 7 Kondisi curah hujan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya ..................... 16
Gambar 8 Tingkat Aksesibilitas Kawasan KPHL Sumba Barat Daya ...................... 17
Gambar 9 Bagan organisasi KPHL Sumba Barat Daya ......................................... 17
Gambar 10 Skema Pembagian Blok KPHL Sumba Barat Daya ................................ 21
Gambar 11 Objek wisata Danau Weekuri ............................................................. 27
Gambar 12 Objek wisata alam berupa tebing-tebing di Pantai Mandorak ............... 27
Gambar 13 Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Mandorak ....................... 28
Gambar 14 Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Waibuku ........................ 26
Gambar 15 Objek wisata alam Pantai Watu Maladong .......................................... 26
Gambar 16 Objek wisata alam Pantai Tanjung Bulir ............................................. 27
Gambar 17 Objek wisata alam Air Terjun Pabeti Lakira ......................................... 30
Gambar 18 Objek wisata alam Air Terjun Dikira ................................................... 31
Gambar 19 Rumah Permanen dan Semi Permanen di Desa Bukambero ................. 36
Gambar 20 Presentase Penganut Agama di Desa Bukambero ............................... 40
Gambar 21 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bukambero .................................. 41
Gambar 22 Pakaian adat untuk berburu .............................................................. 47
Gambar 23 Kondisi tata guna lahan Desa Delo ..................................................... 46
Gambar 24 Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ................................... 52
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
xi
Gambar 25 Rumah tersebar di sepanjang jalan .................................................... 55
Gambar 26 Struktur organisasi Desa Waimangura ................................................ 54
Gambar 27 Jumlah Penduduk Desa Waimangura Tahun 2012-2013 ...................... 56
Gambar 28 Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa Waimangura Tahun 2012 dan 2013 ................................................................................................ 60
Gambar 29 Irigasi dan Sawah di Desa Waimangura ............................................. 62
Gambar 30 Pemanfaatan Pekarangan rumah ....................................................... 63
Gambar 31 Bentuk bangunan rumah di Desa Dikira ............................................. 68
Gambar 32 Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (Lima) Tahun Terakhir .. 71
Gambar 33 PLTMH di desa Pada Eweta ............................................................... 75
Gambar 34 Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHL SBD ...................................... 90
Gambar 35 Struktur Organisasi KPHL SBD ........................................................... 95
Gambar 36 Peta Kelas Aksesibilitas di wilayah KPHL SBD ...................................... 98
Gambar 37 Posisi Strategis Pada Awal Pembangunan KPHL SBD ..........................104
Gambar 38 Peta Penataan Hutan di wilayah kerja KPHL SBD ...............................116
Gambar 39 Luas blok fungsi dan arahan KPHL Sumba Barat Daya .......................117
Gambar 40 kondisi tutupan vegetasi di areal blok inti di Hutan lindung KPHL Sumba Barat Daya ......................................................................................118
Gambar 41 Luas setiap kelas lereng di blok inti hutan lingung KPHL SBD .............116
Gambar 42 Luas blok arahan pada blok pemanfaatan hutan lindung KPHL SBD ....117
Gambar 43 Kondisi sebaran tutupan vegetasi pada APL di Hutan Lindung KPHL SBD ......................................................................................................118
Gambar 44 Kondisi tutupan areal di wilayah sasaran usaha skala kecil di hutan lindung blok pemanfaatan .................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 45 Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemanfaatan HHK-HT KPHL SBD .......................................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar 46 Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok pemanfaatan jasa lingkungan ......................................................................................................119
Gambar 47 Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok Lindung .............................122
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
xii
Gambar 48 Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemberdayaan KPHL SBD ……..121
Gambar 49 Peta Wilayah Tertentu KPHL SBD. ......... Error! Bookmark not defined.
Gambar 50 Alur Pelaksanaan Evaluasi Rencana Pengelolaan Hutan ......................148
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
1
1.1. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu modal alamiah (natural capitals) yang sangat penting sebagai
sumber daya alam (natural resources) dan sumber dari beragam jasa ekosistem/lingkungan
(ecosystem services) yang dibutuhkan manusia dan makhluk hidup lainnya. Keberadaan
produk dan jasa yang disediakan hutan seperti kayu, hasil hutan bukan kayu, air,
biodiversitas, udara bersih, serapan karbon, wisata alam, dan sebagainya menjadi bagian
dari kebutuhan penting kehidupan manusia. Uniknya produk dan jasa ekosistem hutan
tersebut sangat dipengaruhi oleh kelestarian ekosistem hutannya, dimana apabila
ekosistemnya mengalami degradasi maka produk dan jasa ekosistem hutan tentunya akan
terganggu atau terdegradasi juga. Oleh karena itu mengelola hutan secara berkelanjutan
menjadi keniscayaan karena hutan adalah modal alamiah yang sangat penting sebagai
penyangga sistem kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia beserta
lingkungan hidupnya.
Bagi masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya, hutan dinilai sebagai ibu dari kehidupan
masyarakat sepanjang waktu. Hutan menyediakan berbagai kebutuhan hidupnya, seperti air
bersih, hasil hutan kayu dan bukan kayu, pangan, obat tradisional, serta perlindungan
ekosistem wilayahnya. Di sisi lain dengan makin berkembangnya Kabupaten Sumba Barat
Daya sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Nusa Tenggara
Timur, maka peranan hutan terutama dalam menyediakan jasa lingkungannya seperti
sumber air bersih dan perlindungan lingkungan hidup makin penting dan strategis.
Untuk menjamin eksistensi hutannya dapat dikelola secara berkelanjutan, maka diperlukan
penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Unit pengelolaan tersebut adalah
kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelola secara efisien dan lestari, yang kemudian disebut KPH (Kesatuan Pengelolaan
Hutan), antara lain dapat berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).
KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata kawasan
hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai izin dan/atau dikelola
BAB
1 PENDAHULUAN
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
2
sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Apabila
peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan
harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan
lestari.
Pembentukan KPHL Sumba Barat Daya dengan luas areal ± 25.213 ha telah ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia nomor :
SK.591/Menhut-II/2010 tanggal 19 Oktober 2010 tentang penetapan wilayah KPHL dan
KPHP Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan lampiran SK lembar 1. Selain itu berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten SBD Nomor 16 Tahun 2014 telah ditetapkan Organisasi dan
Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai
dasar hukum pembentukan kelembagaan KPHL Sumba Barat Daya.
Penyelenggaraan kegiatan kehutanan di wilayah tersebut agar berjalan secara terencana,
sistematis, dan efisien maka perlu didukung oleh kegiatan perencanaan yang baik.
Perencanaan memegang peranan penting, karena tanpa perencanaan yang baik tidak
mungkin kegiatan akan berjalan baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu rencana pengelolaan hutan di Kabupaten Sumba Barat Daya menjadi tahapan
penting dalam penyelenggaraan KPHL Sumba Barat Daya.
Rencana jangka panjang KPHL Sumba Barat Daya ini disusun untuk memberikan gambaran
mengenai: (1) potensi dan kondisi sumber daya hutan, letak KPHL Sumba Barat Daya dalam
DAS, kondisi sosial ekonomi dan pengembangan wilayah, (2) bobot fungsi hutan yang akan
diwujudkan dan sasaran para pihak untuk mewujudkan pemanfaatan hutan secara efisien
dan adil, (3) ketersediaan prakondisi maupun potensi hambatan ditinjau dari kepastian
wilayah, permintaan hasil hutan, investasi dan sumber pendanaan, dan sumberdaya
manusia, serta (4) kelayakan pengembangan yang ditelaah selain dari segi manfaat dan
biaya juga dari ketersediaan prakondisi, kekuatan dan kelemahan institusi dan organisasi.
1.2. Tujuan
Menyediakan rencana pengelolaan (management plan) jangka panjang kurun waktu 10
tahun untuk memberikan arahan bagi para pihak yang berkepentingan dalam kegiatan
pembangunan kehutanan pada setiap blok dan petak di wilayah KPHL Sumba Barat Daya,
sehingga memiliki kerangka kerja yang terpadu dan komprehensif di dalam pelaksanaan
pengelolaan kawasan hutan yang lebih efektif, efisien dan manfaat yang berkeadilan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
3
1.3. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang
KPHL Sumba Barat Daya adalah tersusunnya kerangka formal pengelolaan untuk jangka
waktu sepuluh tahun ke depan sebagai acuan bagi rencana pengelolaan jangka menengah
(5 tahunan), dan rencana pengelolaan jangka pendek (1 tahun) dalam mewujudkan
kelestarian fungsi dan manfaat dari kawasan KPHL Sumba Barat Daya.
1.4. Ruang Lingkup
Penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang KPHL Sumba Barat Daya untuk jangka
waktu sepuluh tahun berdasarkan kajian aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dengan
memperhatikan partisipasi, aspirasi, budaya masyarakat dan rencana pembangunan
daerah/wilayah. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang ini menjadi dasar bagi penyusunan
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah dan Jangka Pendek dalam bentuk matriks strategi
pengelolaan yang memuat program-program dan usulan kegiatan operasional.
Lingkup substansi RPJP-KPHL Sumba Barat Daya secara sistematik sebagai berikut :
a. Pendahuluan, berisi : latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup, dan batasan
pengertian.
b. Deskripsi Kawasan KPHL Sumba Barat Daya, yang terdiri atas : a). Risalah wilayah
(letak, luas, aksesibilitas kawasan, batas-batas, sejarah wilayah, dan pembagian blok),
b). Potensi wilayah (penutupan vegetasi, potensi hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan
kayu, keberadaan flora dan fauna langka, potensi jasa lingkungan dan wisata alam), c).
Data dan informasi sosial budaya masyarakat di dalam dan sekitar hutan termasuk
keberadaan masyarakat hukum adat, d). Data dan informasi izin-izin pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan di dalam wilayah kelola, e). Kondisi posisi KPHL Sumba
Barat Daya dalam perspektif tata ruang wilayah dan pembangunan daerah, dan f). Isu
strategis, kendala dan permasalahan.
c. Mendeskripsikan kondisi wilayah KPHL Sumba Barat Daya baik berdasarkan
aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya, dan pembangunan wilayah;
d. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan, berisi ; pernyataan visi dan misi, kebijakan dan
strategi pencapaian .
e. Analisis dan Proyeksi, meliputi : a). Analisis data dan informasi yang tersedia saat ini
(baik data primer maupun data sekunder), b). Proyeksi kondisi wilayah KPHL Sumba
Barat Daya di masa yang akan datang dan c). Analisa dan proyeksi core business.
f. Rencana Kegiatan, terdiri dari : a). Inventarisasi berkala wilayah kelola dan penataan
hutan, b). Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu, c). Pemberdayaan masyarakat,
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
4
d). Pembinaan dan pemantauan (controlling) pada areal KPHL yang telah dibebani izin
pemanfaatan maupun penggunaan kawasan hutan, e). Penyelenggaraan rehabilitasi
pada areal di luar izin, f). Pembinaan dan pemantauan (controlling) pelaksanaan
rehabilitasi dan reklamasi pada areal yang sudah ada izin pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan, g). Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam, h).
Penyelenggaraan koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang izin, i). koordinasi dan
sinergi dengan instansi dan stakeholder terkait, j) penyediaan dan peningkatan
kapasitas SDM, k). Penyediaan pendanaan, l). pengembangan database, m).
Rasionalisasi wilayah kelola, n). Review rencana pengelolaan (minimal 5 tahun sekali)
dan o). Pengembangan investasi
g. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian
h. Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan
i. Penutup
1.5. Batasan Terminologi
Dalam dokumen ini yang dimaksud dengan :
1. Kawasan Hutan adalah Wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;
2. Hutan Tetap adalah kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai
kawasan hutan, terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi terbatas
dan hutan produksi tetap;
3. Hutan Konservasi yang selanjutnya disebut HK adalah kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragam tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya;
4. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah;
5. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan;
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
5
6. Pengurusan Hutan adalah kegiatan penyelenggaraan hutan yang meliputi
perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan pelatihan, serta penyuluhan kehutanan dan pengawasan;
7. Pengelolaan Hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi alam;
8. Tata Hutan adalah kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, mencakup
kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi
yang terkandung di dalamnya dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat secara lestari;
9. Inventarisasi hutan pada wilayah KPHL adalah rangkaian kegiatan pengumpulan
data untuk mengetahui keadaan dan potensi sumberdaya hutan dan lingkungannya
secara lengkap;
10. Rencana Pengelolaan Hutan adalah rencana pada kesatuan pengelolaan hutan yang
memuat semua aspek pengelolaan hutan dalam kurun jangka panjang dan pendek,
disusun berdasarkan hasil tata hutan dan rencana kehutanan, dan memperhatikan
aspirasi, peran serta dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan dalam rangka
pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih
optimal dan lestari;
11. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang adalah Rencana pengelolaan hutan
pada tingkat strategis berjangka waktu 10 (sepuluh) tahun atau selama jangka benah
pembangunan KPHL;
12. Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek adalah Rencana Pengelolaan Hutan
berjangka waktu satu tahun pada tingkat kegiatan operasional berbasis petak dan/atau
blok;
13. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta
memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya;
14. Perencanaan Kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan
perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
6
dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan;
15. Penggunaan Kawasan Hutan adalah kegiatan penggunaan kawasan hutan untuk
pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok
kawasan hutan;
16. Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disebut KPH adalah wilayah pengelolaan
hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari;
17. Kesatuan pengelolaan Hutan Konservasi selanjutnya disebut KPHK adalah KPH
yang luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan konservasi;
18. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung selanjutnya disebut KPHL adalah KPH yang
luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung;
19. Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi selanjutnya disebut KPHP adalah KPH yang
luas wilayah seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi;
20. Resort Pengelolaan Hutan adalah kawasan hutan dalam wilayah KPH yang
merupakan bagian dari wilayah KPH yang dipimpin oleh Kepala Resort KPH dan
bertanggung jawab kepada Kepala KPH;
21. Blok Pengelolaan pada wilayah KPH adalah bagian dari wilayah KPH yang dibuat
relatif permanen untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan;
22. Petak adalah bagian dari Blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha
pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan dan silvikultur yang sama;
23. Wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik
bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya atau belum dibebani
izin pemanfaatannya;
24. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut sebagai pemerintah, adalah perangkat
Negara Kesatuan RI yang tediri dari Presiden beserta Menteri;
25. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang
kehutanan;
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
7
26. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah otonom yang
lain sebagai badan eksekutif daerah;
27. Dinas adalah Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota yang menangani bidang kehutanan;
28. Kolaborasi Pengelolaan Kawasan adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau
penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas
pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas
dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
29. Peran serta para pihak adalah kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para
pihak yang timbul atas minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk
bertindak dan membantu dalam mendukung pengelolaan KPH;
30. Kelembagaan Kolaborasi dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPHL adalah
pengaturan yang meliputi wadah (organisasi), sarana pendukung, pembiayaan termasuk
mekanisme kerja dalam rangka melaksanakan pengelolaan kolaborasi yang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak;
31. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan suatu alat yang berisi kerangka
dasar bagi upaya pengalokasian ruang berdasarkan fungsi, struktur dan hirarki ruang,
serta sebagai pengendalian pemanfaatan ruang;
32. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) merupakan salah satu struktur tata ruang
yang merupakan bentuk sasaran dalam penetapan kebijaksanaan penataan ruang
wilayah.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
8
2.1. Risalah Wilayah KPHL Sumba Barat Daya
2.1.1. Letak dan Luas
Wilayah KPHL Sumba Barat Daya secara administratif berada di Kabupaten Sumba Barat
Daya sebagai salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur terletak di daratan Pulau
Sumba, sebuah pulau di bagian Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur, bersebelah dengan
Kabupaten Sumba Barat. Letak astronomisnya antara 9º 18’ - 10º 20’ Lintang Selatan, dan
antara 118º 55’ - 120º 23’ Bujur Timur. Wilayah ini secara langsung berbatasan dengan
Selat Sumba di sebelah utara, Samudera Indonesia di sebelah selatan, Samudera Indonesia
di sebelah barat dan Kabupaten Sumba Barat di sebelah Barat.
Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri dari 11 (sebelas) kecamatan antara lain Kecamatan
Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Balaghar, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Utara,
Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur,
Kecamatan Wewewa Tengah, Kecamatan Wewewa Utara,Kecamatan Loura dan Kecamatan
Kota Tambolaka. Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki luas daratan mencapai 1.445,32
km2. (144.532 ha).
Wilayah KPHL Sumba Barat Daya mencakup 11 wilayah kecamatan dan ditinjau dari
keberadaan kawasan hutannya terdiri atas dua fungsi hutan, yaitu hutan lindung (HL) dan
hutan produksi (HP). KPHL Sumba Barat Daya seluas 20.646,64 ha didominasi oleh areal
hutan Lindung mencapai 58 % dan hutan produksi sekitar 42 %. Hutan lindung di dalam
wilayah ini secara umum lebih diperuntukkan sebagai penyangga tata air. Kondisi sebaran
fungsi hutan KPHL Sumba Barat Daya secara lebih rinci disajikan pada gambar berikut:
BAB
2 DESKRIPSI KAWASAN
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
9
Gambar 1. Sebaran Fungsi Hutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
2.1.2 . Topografi
Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit-bukit dengan ketinggian
dari permukaan laut berkisar 0 – 850 mdpl. Untuk kemiringan wilayah, hampir 50% luas
wilayahnya memiliki kemiringan antara 2 – 40%. Topografi yang berbukit-bukit
mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi.
Hasil analisis spasial diperoleh gambaran kondisi topografi di wilayah kerja KPHL Sumba
Barat Daya secara umum didominasi oleh kawasan dataran dan perbukitan. Kondisi sebaran
fisiografi lahan di wilayah ini disajikan pada gambar berikut:
Gambar 2. Sebaran kondisi fisiografi lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
HL 58%
HP 42%
- 1.0
00,0
0
2.0
00,0
0
3.0
00,0
0
4.0
00,0
0
5.0
00,0
0
6.0
00,0
0
7.0
00,0
0
8.0
00,0
0
9.0
00,0
0
DATARAN
JALUR MEANDER
PANTAI
PEGUNUNGAN
PERBUKITAN
RAWA PASUT
TERAS
Luas (ha)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
10
Selanjutnya bila ditinjau dari segi kondisi kemiringan lahan (lereng), kawasan KPHL Sumba
Barat Daya didominasi oleh kelas lereng di atas 15% (agak curam – sangat curam)
sebagaimana ditunjukkan pada diagram berikut:
Gambar 3. Kondisi sebaran kelas lereng di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
Dari diagram di atas diketahui bahwa lahan-lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
memiliki resiko ekologis/lingkungan yang cukup tinggi. Bentuk-bentuk penggunaan lahan
memerlukan perhatian secara hati-hati terutama untuk mengantisipasi erosi dan longsor di
musim penghujan.
2.1.3. Geologi
Secara umum pulau Sumba dan kepulauan Nusa Tenggara lainnya terletak pada wilayah
Ring Api Pasifik Seismik yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurosia,
tepatnya pada busur Sunda-Banda bagian luar atau busur geantiklin yang dimulai dari Timur
ke Barat sebelah Selatan yang tidak bergunung api atau merupakan rona gempa dangkal.
Pulau Sumba termasuk kedalam tipe pegunungan kelopak dimana intensitas tektoniknya
cukup aktif dengan sesar sungkup yang cukup banyak ditemukan di bagian selatan, hal ini
menyebabkan litologi yang menyusun daerah ini cukup rumit dan sering mengalami
perulangan (Rosidi, Suwitodirdjo dan Tjokrosapoetro, 1974/1975).
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
0 - 8% 8 - 15% 15 - 25% 25 - 40%
Luas
(h
a)
Kelas Lereng (%)
HL
HP
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
11
Gambar 4. Peta Kelas Batuan di wilayah KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
12
Berdasarkan hasil analisis spasial diperoleh informasi bahwa kondisi geologi di wilayah kerja
KPHL SBD dan sekitarnya lebih banyak didominasi batuan dengan formasi batu gamping
sebagaimana ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 5. Kondisi geologi di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
2.1.4. Tanah
Berdasarkan data Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor (1974) memperlihatkan bahwa di
Kabupaten Sumba Barat Daya ditemukan 3 (tiga) jenis tanah yaitu : renzina seluas 1.196,58
km2 atau 85,88 %, tanah kambisol distrik seluas 162,53 km2 atau 11,67% dan tanah regosol
ustik seluas 22,92 km2 atau 1,65 %.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah kerja KPHL Sumba Barat
Daya didominasi oleh jenis tanah renzina (74,50). Tanah renzina memiliki kadar lempung
yang tinggi, teksturnya halus dan daya permeabilitasnya rendah sehingga kemampuan
menahan air dan mengikat air tinggi. Tanah renzina baik digunakan untuk budidaya
tanaman keras semusim dan juga tanaman palawija. Kondisi sebaran jenis tanah di wilayah
kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Jenis-jenis tanah di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya dan sekitarnya
No Jenis Tanah Luas (Ha) Persen (%)
1 Aluvial 240,21 1,16
2 Kambisol Distrik 4.228,06 20,48
3 Latosol Distrik 208,62 1,01
4 Regosol Ustik 587,50 2,85
5 Renzina 15.382,26 74,50
Total 20.646,64 100,00
Sumber: Hasil analisis spasial (2015)
- 50
0,0
0
1.0
00
,00
1.5
00
,00
2.0
00
,00
2.5
00
,00
3.0
00
,00
3.5
00
,00
4.0
00
,00
Aluvium estuarin marin muda (bergaram)
Andesit; basalt
Batu gamping
Batu gamping; koral
Batu gamping; koral; marl
Batu pasir; batu lumpur; serpih; konglomerat; batu…
Koral; Aluvium marin estuarin muda (bergaram);…
Tufit; batu pasir; konglomerat
Luas (ha)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
13
Gambar 6. Peta Jenis Tanah di wilayah KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
14
2.1.5. Keadaan Iklim
Seperti halnya di tempat lain di Indonesia, di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi
Nusa Tenggara Timur hanya dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Pada bulan Juni sampai dengan September arus angin berasal dari Australia dan tidak
banyak mengandung uap air, sehingga mengakibatkan musim kemarau. Sebaliknya, pada
bulan Desember sampai dengan Maret arus angin banyak mengandung uap air yang berasal
dari Asia dan Samudera Pasifik, sehingga terjadi musim hujan. Keadaan seperti ini berganti
setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-
Nopember. Walaupun demikian, mengingat Sumba Barat Daya dan umumnya NTT dekat
dengan Australia, arus angin yang banyak mengandung uap air dari Asia dan Samudera
Pasifik sampai di wilayah Sumba Barat Daya kandungan uap airnya sudah berkurang yang
mengakibatkan hari hujan di Sumba Barat Daya lebih sedikit dibandingkan dengan wilayah
yang lebih dekat dengan Asia. Hal ini menjadikan Sumba Barat sebagai wilayah yang
tergolong kering di mana hanya 4 bulan (Januari sampai dengan Maret, dan Desember) yang
keadaannya relatif basah dan 8 bulan sisanya relatif kering.
Keadaan iklim di wilayah Sumba Barat Daya belum sepenuhnya diperoleh informasi secara
menyeluruh mengingat masih terbatasnya stasiun dan alat pengukur iklim yang mewakili
seluruh wilayah. Sampai saat ini stasiun pengukur curah hujan baru terdapat di Kecamatan
Wewewa Timur, Wewewa Utara dan Loura. Secara rata-rata, Sumba Barat Daya mengalami
139 hari hujan dengan curah hujan mencapai 4.134 milimeter selama tahun 2011 (data
tahun 2013 tidak tersedia). Daerah dengan hari hujan dan curah hujan tinggi adalah
Kecamatan Wewewa Timur yang memiliki tinggi rata-rata 300-850 meter di atas permukaan
laut. Sedangkan daerah dengan hari hujan dan curah hujan rendah berada di Kecamatan
Kodi Utara, yang merupakan dataran rendah dengan tinggi rata-rata 0-300 meter di atas
permukaan laut. Berdasarkan analisis spasial diperoleh informasi mengenai sebaran luas
wilayah berdasarkan tipe hujan di KPHL Sumba Barat Daya sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 7.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
15
Gambar 7. Kondisi curah hujan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
2.1.6. Daerah Aliran Sungai
Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki 6 buah sungai dengan panjang yang bervariasi, yang
terletak di empat Kecamatan yaitu Sungai Pola Pare dan Sungai WaiHa dengan panjang 18
Km dan 9 Km di kecamatan Kodi Bangedo, Sungai Wee Wagha dan Sungai Wee Lomboro
dengan panjang masing- masing 10 Km terletak di Kecamatan Wewewa Selatan, Sungai Wee
Kalowo dengan panjang 7 Km di Kecamatan Wewewa Timur dan Sungai Loko Kalada
sepanjang 16 Km yang terletak di Kecamatan Loura.
2.1.7. Aksesibilitas Kawasan
Aksesibilitas menuju kawasan secara umum bervariasi dari rendah sampai tinggi, namun
berdasarkan hasil analisis peta aksesibilitas menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan
(61%) memiliki aksesibilitas yang rendah, namun di HL justru cenderung tinggi. Hal ini
diduga karena terdapatnya lokasi-lokasi objek wisata alam di dalam kawasan dan juga
terdapatnya areal-areal terbuka. Kondisi aksesibilitas kawasan disajikan pada Gambar 8.
-
1.000,00
2.000,00
3.000,00
4.000,00
5.000,00
6.000,00
Luas
(h
a)
Curah hujan (mm/th)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
16
Gambar 8. Tingkat Aksesibilitas Kawasan KPHL Sumba Barat Daya
2.1.8. Batas-Batas
Wilayah KPHL Sumba Barat Daya secara administratif berada di Kabupaten Sumba Barat
Daya dengan luas wilayah kabupaten mencapai ± 144.532 ha. Sejak otonomi daerah
diberlakukan pada tahun 2001, sejumlah Desa/kelurahan dan Kecamatan di Sumba Barat
Daya mengalami pemekaran. Secara administrasi penambahan ini sudah defenitif. Sampai
tahun 2013, terhitung 131 Desa/Kelurahan definitif dan 11 Kecamatan definitif. Kondisi areal
di dalam kawasan KPHL Sumba Barat Daya berdasarkan sebaran wilayah admistratif
disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 2 Kondisi areal berdasarkan cakupan sebaran Kecamatan di KPHL Sumba Barat Daya
No. Kecamatan HL (ha) HP (ha) Jumlah (ha)
1 Kec. Kodi - 62,64 62,64
2 Kec. Kodi Bangedo - 1.885,17 1.885,17
3 Kec. Kodi Utara 2.544,49 3.896,69 6.441,18
4 Kec. Lamboya - 275,22 275,22
5 Kec. Lamboya Barat - 268,42 268,42
6 Kec. Loli 739,10 125,95 865,04
7 Kec. Loura 2.153,98 93,59 2.247,57
8 Kec. Tana Righu 254,63 92,64 347,27
9 Kec. Wewewa Barat 3.553,33 525,53 4.078,86
10 Kec. Wewewa Selatan 857,37 85,76 943,13
11 Kec. Wewewa Timur 1.925,53 1.306,61 3.232,14
Total 12.028,41 8.618,23 20.646,64 Sumber: Hasil analisis spasial (2015)
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
HL HP Total
Luas
(h
a)
Fungsi Hutan
Rendah
Sedang
Tinggi
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
17
2.1.9. Sejarah Pembentukan Wilayah KPHL Sumba Barat Daya
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK.633/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penetapan Lokasi Fasilitasi pada 7 (Tujuh) Unit
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 4 (Empat) Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) di Provinsi Nusa Tenggara Timur, untuk Kabupaten Sumba Barat Daya
merupakan Unit XI Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dengan total luas ±
20.646,64 Ha (Dua puluh ribu enam ratus empat puluh enam koma enam puluh empat
hektar), dengan rincian hutan lindung seluas ± 12.028,41 ha, dan hutan produksi tetap
seluas ± 8.618,23 ha.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia
Nomor: SK.3911/MENHUT-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang Kawasan Hutan dan
Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur, luas kawasan hutan di wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah ± 1.784.751 hektar. Selanjutnya berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten SBD Nomor 16 Tahun 2014 telah ditetapkan Organisasi dan Tata Kerja
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai dasar hukum
pembentukan kelembagaan KPHL Sumba Barat Daya sebagaimana disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Bagan organisasi KPHL Sumba Barat Daya
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
18
2.1.10. Pembagian Blok Kawasan KPHL Sumba Barat Daya
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembagian wilayah dalam blok-
blok didasarkan pada ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan. Ketentuan ini yang
mendasari pembentukan blok-blok pada kawasan hutan, baik pada hutan produksi, hutan
lindung maupun kawasan konservasi. Pembagian blok dilaksanakan untuk setiap fungsi
hutan. Selain itu, tata hutan dan rencana pengelolaan hutan pada KPH telah dituangkan
dalam Permenhut Nomor P6/Menhut-II/2011 tentang Norma Standar Prosedur dan Kriteria
Pengelolaan Hutan KPHP/KPHL. Sebagai pedoman dalam kegiatan tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pembagian blok di kawasan KPHL Sumba Barat
Daya mengacu pada Peraturan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan No. P.5/VII-
WP3H/2012.
Pembentukan blok-blok di kawasan KPHL Sumba Barat Daya juga didukung oleh hasil
inventarisasi biogeofisik dan inventarisasi sosial ekonomi dan budaya sebagai dasar
penyusunan dokumen tata hutan yang didalamnya terdapat peta, data, dan informasi
potensi wilayah. Blok sebagai bagian dari wilayah KPH dengan persamaan karakteristik
biogeofisik dan sosial budaya, bersifat relatif permanen yang ditetapkan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi manajemen. Dengan demikian pembentukan blok didasarkan faktor
biogeofisik dan sosial budaya. Faktor-faktor biogeofisik yang berpengaruh antara lain:
penutupan lahan, potensi sumber daya hutan, bentang alam, topografi dan ekosistem.
Faktor sosial budaya yang berpengaruh antara lain : jumlah penduduk, mata pencaharian,
pemilikan lahan, jarak pemukiman, pola-pola pemanfaatan hutan oleh masyarakat,
keberadaan hutan adat, dan sebagainya. Pembagian blok tentunya mempertimbangkan peta
arahan pemanfaatan sebagaimana diarahkan oleh Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
(RKTN) Tahun 2011-2013, dan RPJMD Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya.
Berdasarkan hasil penataan yang dilakukan diperoleh bahwa wilayah KPHL Sumba Barat
Daya terbagi menjadi blok hutan lindung (HL) dan blok hutan produksi (HP). Pada masing-
masing fungsi kawasan diberikan arahan yang sesuai dengan karakteristik setempat
berdasarkan hasil inventarisasi dan RKTN sebagaimana disajikan pada gambar berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
19
Gambar 10. Skema Pembagian Blok KPHL Sumba Barat Daya
Arahan penataan secara lebih detail berdasarkan karakteristik wilayah hasil overlay peta-peta
dan inventarisasi diperoleh arahan penataan KPHL Sumba Barat Day sebagaimana disajikan
pada tabel berikut:
Tabel 2. 3 Arahan penataan detail areal kerja KPHL SBD
Fungsi Arahan Total (ha) Persen (%)
HL
HL-BLOK INTI 6.059,30 29,35
HL-BLOK PEMANFAATAN 5.969,11 28,91
Jumlah 12.028,41 58,26
HP
HP-BLOK PEMANFAATAN HASIL
HUTAN KAYU-HUTAN TANAMAN 4.396,13 21,29
HP-BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK 1.296,22 6,28
HP-BLOK LINDUNG 1.656,65 8,02
HP-BLOK PEMBERDAYAAN 1.269,23 6,15
Jumlah 8.618,23 41,74
Total 20.646,64 100
Sumber: Hasil analisis spasial (2015)
2.2. Potensi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya
2.2.1. Penutupan Lahan
Kondisi penutupan lahan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya sebagian besar merupakan area
belukar dan hutan lahan kering primer yang tersebar baik di hutan produksi maupun hutan
lindung, sebagian lainnya berupa hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering
campur. Keberadaan hutan lahan kering primer di hutan produksi ini sangat potensial untuk
KPHL Sumba Barat Daya
(± 20.646,64 ha)
Hutan Lindung
(± 12.028,41 ha)
Blok Inti
(± 6.059,30 ha)
Blok Pemanfaatan
(± 5.969,11 ha)
Hutan Produksi
(± 8.618,23 ha)
Blok Pemanfaatan HHK-HT
(± 4.396,13 ha)
Blok Pemanfaatan JL & HHBK
(± 1.296,22 ha)
Blok Lindung
(± 1.656,65 ha)
Blok Pemberdayaan (± 1.269,23 ha)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
20
pemanfaatan usaha-usaha jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Kondisi
penutupan lahan di KPHL Sumba Barat Daya disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2. 4 Kondisi tutupan lahan di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya
No Tutupan Lahan HL (ha) HP (ha) Jumlah (ha)
1 Belukar 3.936,46 1.679,92 5.616,39 2 Hutan Lahan Kering Primer 5.665,68 5.741,36 11.407,04 3 Hutan Lahan Kering Sekunder 1.425,66 907,83 2.333,50 4 Padang Rumput/Savana 675,80 675,80 5 Pertanian Lahan Kering Campur 205,42 289,11 494,53 6 Tanah Terbuka Kosong 119,39 119,39 Total 12.028,41 8.618,23 20.646,64
Sumber: Hasil analisis spasial (2015)
Keberadaan hutan lindung yang luas di wilayah ini menjadi potensi yang baik bagi
Kabupaten Sumba Barat Daya terutama sebagai pelindung tata air dan tanah. Selain hal
tersebut, keberadaan hutan ini menjadi penting bagi perlindungan jenis-jenis flora dan
fauna asli beserta habitatnya.
2.2.2 Potensi Flora
A. Tipe vegetasi dan jenis-jenis flora khas
Keanekaragaman flora di wilayah Nusa Tenggara Timur pada dasarnya mengikuti zona-zona
flora yang termasuk dalam kelompok flora kepulauan wallacea, sehingga flora yang ada di
wilayah ini secara umum memliki kesamaan dengan wilayah Sulawesi dan Kepulauan
Maluku. Kondisi iklim yang secara umum tergolong kering dan kelembaban udara yang
relatif rendah dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia menyebabkan wilayah Nusa
Tenggara memiliki corak-corak vegetasi yang berbeda dengan wilayah lainnya.
Salah satu tipe vegetasi yang khas dijumpai di wilayah NTT adalah vegetasi sabana tropis,
hutan musim kering (dataran rendah sampai pegunungan) dan padang rumput (savana).
Jenis flora yang khas dijumpai antara lain pohon cendana (Santalum album) termasuk jenis
dilindungi, kesambi (Schleichera oleosa) dan gaharu (Aquilaria malaccensis). Pohon cendana
sekaligus menjadi flora identitas Provinsi NTT.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari BBKSDA NTT diketahui bahwa daerah-
daerah di NTT cenderung memiliki kesamaan dalam hal keanekaragaman flora, sehingga
tidak dijumpai jenis flora khusus di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Lebih lanjut Dinas Kehutanan Provinsi NTT menjelaskan bahwa di wilayah NTT terdapat
jenis-jenis flora khas antara lain Hue (Eucalyptus alba), Kabesak/Pilang (Acacia
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
21
leucophloeae), Kleo/Laban (Vitex pubescens), Usapi/Kesambi (Schleichera oleosa),
Matani/Kayu Merah (Pterocarpus indicus), Kolaka/Besi (Parinarium corimbosum), Ampupu
(Eucalyptus urophylla), Ajaob/Kasuari/Cemara (Casuarina junghuhniana), Kolo (Erithrena
littosperma), Kelumpang (Sterculia foetida), Mbuhung (Schoutenis ovata), Munting/Bungur
(Langerstonia speciosa), Kawak/Jabon (Anthocepalus cadamba), Kodal/Eboni (Diospiros
maritima), Nera/Mindi (Melia acederachta), Worak/Kasai (Pometia tomentosa),
Nunuh/Beringin (Ficus benjamina), Lontar (Borasus flabilifer); Jenis bakau seperti Rhizophora
mucronata, Rhizophora appiculata, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Baringtonia
speciosa, Avicenia amarin, Bruguera gimnorhyza.
Hasil penelitian Njurumana dan Dwi Prasetyo (2010) Di wilayah KPHL Sumba Barat Daya
juga dikenal potensi jenis-jenis tumbuhan bermanfaat obat yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar, yaitu Pulai (Alstonia scholaris) sebagai obat malaria, lumpuh dan
rematik; Kunjur (Cassia fistula L) obat sakit kepala, sakit pinggang, melahirkan dan
bersihkan darah kotor; Nggai (Timonius flavescens B.) sebagai obat telinga yang bernanah,
cacingan pada anak-anak, badan pegal-pegal; Bila (Clerodendrum speciosum) sebagai obat
gangguan pada kelamin manusia; Hekul/Genoak (Acorus calamus L.) sebagai obat untuk
menolak serangan makhluk halus; Jambu biji (Psidium guajava) untuk mengobati
diare/mencret; Padamu Dima (Jatropha curcas) untuk menolak serangan makhluk halus,
melahirkan dan mengobati sakit kepala; Mawona/marungga/Kelor (Moringa oleifera) untuk
mengecilkan ari-ari, meningkatkan produksi air susu dan meningkatkan kesehatan anak;
Kuta kalara/sirih hutan (Piper amboinensis) untuk mengobati patah tulang, katalisator untuk
obat-obatan sembur; Winnu/Winno (Arecha pinnata) mengobati perut kembung, mual dan
katalisator obat-obatan yang disembur; Tada Linnu (Dysoxylon arborescens) sebagai cuci
darah, bersihkan darah kotor,bersihkan ginjal, lambung dan tambah darah; Nittu
/hadana/cendana (Santalum album Linn. Kerr.) menolak roh jahat; Kunyit (Curcuma
domestica) untuk cuci darah, bersihkan darah kotor; Tai kabala (Chromolaena odorata)
untuk mengobati luka pada manusia dan hewan; Tada Kaninggu (Cinnamomum burmanii)
sebagai obat sembur bila tertikam dan bumbu penyedap rasa; Kumis kucing (Orthosiphon
stamineus) sebagai obat asma, sesak napas dan kencing manis; Waru (Hibiscus tiliacus)
sebagai obat sakit telinga, mengobati luka sayat dan menghindari infeksi; Kadabu/Mengkudu
(Morinda sp.) obat sakit gula, liver, jantung, darah tinggi, asma dan gangguan pencernaan.
Hasil penelitian yang sama terhadap masyarakat di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung
Yawila di Sumba Barat Daya diketahui bahwa masyarakat sekitar hutan melakukan
perburuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jenis-jenis satwa yang sering diburu
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
22
meliputi babi liar (Sus barbatus), burung alap-alap (Accipitridae sp.), musang (Cynogale
bennetti), ayam hutan (Gallus gallus) dan berbagai jenis satwa lainnya. Masyarakat juga
mengambil nilai manfaat dari sungai yang ada dengan cara menangkap ikan gurami
(Osphronemus gouramy), belut (Monopterus albus), udang (Cambarus virilis) dan jenis
hewan air lainnya. Sumber karbohidrat yang dapat diperoleh dari hutan berupa umbi-umbian
seperti Xanthasoma sp., Colocasia gigantea, Discorea pentaphylla, Discorea alata dan pisang
hutan (Musa sp.) serta jenis lainnya yang tumbuh liar.
Manfaat hutan sebagai sumber vitamin diperoleh dengan mengambil sayur-sayuran yang
berasal dari hutan seperti : sayur paku (Diplazium esculentum, Sternoclaena palustris dan
Neprolepis bisserata), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur payung/tiram (Pleurotus
ostreatus) dan lainnya. Hasil hutan itu sering dimanfaatkan masyarakat setempat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil lain yang diperoleh adalah mengambil buah-buahan
segar dalam kawasan hutan meliputi mangga (Mangifera indica), nangka (Artocarpus
integra), kelapa (Cocos nucifera), kesambi (Scheilera olease) dan berbagai jenis buah-
buahan lain yang terdapat dalam hutan. Secara berkala masyarakat juga mengambil bahan
baku bumbu untuk memasak yang ada di hutan seperti jenis Eugenia sp. (sejenis daun
salam), jahe (Zingiber sp.), buah kemiri (Aleurites moluccana) dan jenis-jenis lainnya.
B. Potensi Tegakan
Berdasarkan hasil perhitungan potensi kayu di wilayah KPHL Sumba Barat Daya diperoleh
gambaran bahwa secara keseluruhan potensi kayu terpusat di hutan lahan kering sekunder
baik pada areal hutan lindung maupun hutan produksi.
Jenis-jenis pohon yang mendominasi di wilayah ini tergolong memiliki nilai komersial yang
cukup tinggi diantaranya adalah cendana (Santalum album), kayu merah (Dehaasia
incrasata), johar (Casia siamea), gaharu (Aquilaria malacensis), jati (Tectona grandis),
kesambi (Schleichera oleosa), merbau (Intsia bijuga), ampupu (Eucalyptus urophylla), dan
mahoni (Swietenia mahagony).
2.2.4 Potensi Fauna
Wilayah Nusa Tenggara Timur dikenal memiliki beragam jenis-jenis fauna yang khas dan
endemik diantaranya jenis reptilia berupa Komodo (Varanus komodiensis), Penyu (Chelonia
spp) dan Phyton Timor (Phyton timorensis). Berdasarkan hasil inventarisasi satwa yang
dilakukan oleh BBKSDA NTT (2013) diperoleh jenis-jenis fauna khas wilayah NTT
sebagaimana tabel berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
23
Tabel 2. 5 Jenis-jenis Fauna yang dijumpai di wilayah NTT
No. Kelompok fauna Nama Daerah Nama Latin
1
Mamalia
Rusa, sambar (gns Cervus) Cervus spp
Lumba-lumba air laut Dlphinidae
Landak Hystrixbrachyura
Kuskus (semua jenis phalanger) phalanger spp.
Lumba-lumba air laut (famili ziphiidae) Ziphiidae
Paus Biru Balaenoptera musculus
Paus bersirip Balaenoptera physalus
Paus (dari semua jenis famili Cetacea) Cetacea
2
Burung (Aves)
Alap-alap, elang (jns accipiteridae) Accipitridae
Udang, raja udang (jns alcedinidae) Alcedinidae
Pecuk ular Anhinga melanogaster
kuntul, bangau putih Bubulcus ibis
Julang, enggang, rangkong, Kangkareng
(fam bucerotidae)
Bucerotidae
Kakatua jambul kuning Cacatua sulphurea
Bangau hitam, sandang lawe Ciconia episcopus
Pergam raja Ducula whartoni
Kuntul karang Egretta sacra
Kuntul, bangau putih Egretta spp.
Alap-alap putih, alap-alap tikus Elanus caerulleus
Alap-alap, elang (fam falconidae) Falconidae
Beo flores Gracula religiosa mertensi
Bayan Lorius roratus
Burung gosong Megapodius reintwardtii
Sesap, pengisap madu (fam melipagidae) Meliphagidae
Burung kipas Rhipidura javanica
3
Reptilia
Penyu hijau Chelonia mydas
Buaya muara Crocodylus porosus
Penyu belimbing Dermochelys coriacea
Penyu sisik Eretmochelys imbricata
Penyu ridel Lepidochelys olivacea
Sanca timor Python timorensis
Biawak komodo, ora Varanus komodoensis
Biawak timor Varanus timorensis
4
Insekt
Kupu raja Troides haliphron
Kupu raja Troides helena
Kupu raja Troides plato
Akar bahar, krl hitam (gns antiphates) Antiphates spp.
Sumber :Hasil Inventarisasi Satwa BBKSDA NTT 2013
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
24
2.2.5 Potensi Jasa Lingkungan dan Wisata Alam
Wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya memiliki peranan yang strategis dalam mendukung
perkembangan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. Beberapa nilai penting dari potensi
jasa lingkungan di wilayah kerja KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya, terutama terkait
dengan keberadaan lahan hutannya sebagai daerah tangkapan air bagi sumber-sumber mata
air dan aliran sungai yang dimanfaatkan sebagai air baku minum, pertanian, dan industri.
Disamping hal tersebut, areal hutan di wilayah ini memiliki nilai karbon yang cukup tinggi.
Selain potensi jasa lingkungan di atas, wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki
potensi wisata alam yang menarik dan memiliki keunggulan tersendiri. Sebagaimana telah
dirilis oleh Kompas, diketahui bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur
memiliki tempat-tempat yang sangat indah dan dapat dijadikan sebagai tempat destinasi
wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Beberapa objek menarik dan
potensial untuk mendukung ekonomi daerah antara lain: 1) Danau Weekuri merupakan
objek wisata di kawasan Kodi Utara, Danau Weekuri ini menurut beberapa wisatawan
mancanegara akan menjadi primadona obyek wisata di Sumba Barat Daya karena jarang
bisa menemukan danau dengan air asin dengan suasana alamnya yang mendukung.
Gambar 11. Objek wisata Danau Weekuri
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
25
2) objek-objek wisata pantai, antara lain tebing-tebing di Pantai Mandorak
Gambar 12. Objek wisata alam berupa tebing-tebing di Pantai Mandorak
Selain tebing-tebing pantai, terdapat pasir yang putih di Pantai Mandorak yang menjadi
destinasi wisata lainnya di Sumba Barat Daya. Pantai ini berada di Kecamatan Kodi Utara,
ketika mengunjungi pantai Mandorak anda akan disajikan pemandangan karang terjal yang
eksotis. Selain itu di ujung tebing-tebing anda akan menemukan pantai dengan pasir putih
yang indah. Di kawasan ini sudah ada salah satu investor asal prancis yang mengembangkan
ecotourism.
Gambar 13. Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Mandorak
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
26
Pantai Waibuku terletak di wilayah Kodi Balaghar yang masih sangat alami bahkan banyak
orang sumba yang belum mengunjunginya. Pantai dengan pasir putih dan garis pantai
sangat cocok bagi para pencinta surfing karena tinggi ombak sangat memungkinkan untuk
berselancar. Disamping itu juga terdapat objek wisata Pantai Watu Maladong dan Pantai
Tanjung Bulir.
Gambar 14. Objek wisata alam berupa pasir putih Pantai Waibuku
Gambar 15. Objek wisata alam Pantai Watu Maladong
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
27
Gambar 16. Objek wisata alam Pantai Tanjung Bulir
3) objek-objek wisata air terjun, antara lain Air Terjun Pabeti Lakera
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
28
Gambar 17. Objek wisata alam Air Terjun Pabeti Lakira
Air terjun Dikira berada di Kecamatan Wewewa Timur, tempat ini juga digunakan sebagai
pembangkit tenaga mikrohidro. Menariknya kebanyakan pengunjung hanya melihat terjun
yang difungsikan untuk tenaga mikrohidro, tidak banyak yang benar-benar melihat
keindahan yang ada dibawahnya karena tidak ada akses untuk berjalan kaki, untuk
mencapainya anda harus berenang.
Gambar 18. Objek wisata alam Air Terjun Dikira
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
29
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat
2.3.1 Demografi
Berdasarkan informasi Statistik Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 diketahui
bahwa jumlah penduduk Sumba Barat Daya mencapai 292.798 jiwa pada tahun 2011
kemudian pada tahun 2012 diperkirakan meningkat mencapai 299.534 jiwa. Angka ini terus
bertambah mencapai 306.195 jiwa pada tahun 2013. Selama periode 2012-2013 tingkat
pertumbuhan penduduk tercatat mengalami sedikit perlambatan dari 2,30 persen menjadi
2,22 persen. Dengan luas wilayah sekitar 1.445,32 km², setiap km² ditempati penduduk
sebanyak 212 orang pada tahun 2013. Tingkat kepadatan penduduk ini meningkat dari
tahun sebelumnya yang sebesar 207 orang per km².
Secara umum di Sumba Barat Daya jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan
jumlah penduduk perempuan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh sex ratio yang nilainya lebih
besar dari 100. Pada tahun 2013, untuk setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar
106 penduduk laki-laki.
Dari total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), hampir dua pertiga penduduk Sumba
Barat Daya termasuk dalam angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja mengalami
penurunan selama periode 2012-2013 dari 76,70 persen menjadi 72,10 persen.
Dari seluruh angkatan kerja di Kabupaten Sumba Barat Daya, hanya 70,14 persen saja yang
telah bekerja. Tingkat pengangguran terlihat mengalami peningkatans elama kurun waktu
2012-2013. Pada tahun 2012 tingkat pengangguran terbuka tercatat sebesar 1,19 persen.
Angka ini naik menjadi 2,71 persen pada tahun 2013.
Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama, pilihan bekerja di sektor pertanian
dan pertambangan/penggalian (A) masih mendominasi pasar kerja di Sumba Barat Daya
dengan persentase sebesar 77,65 persen pada tahun 2013, yang diikuti dengan sektor
manufaktur (M) dengan persentase sebesar 13,31 persen. Sementara pekerja di sektor jasa-
jasa (S) sebanyak 9,04 persen. Struktur tersebut tampaknya tidak terlalu mengalami
perubahan selama kurun waktu 2012-2013.
Kemampuan baca tulis penduduk laki-laki dan perempuan di Sumba Barat Daya relatif
berimbang. 80,44 persen penduduk perempuan telah melek huruf, sedangkan jumlah
penduduk laki-laki yang melek huruf sedikit lebih tinggi, yaitu sebesar 83, 61 persen.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
30
Tabel 2.6 Tingkat melek huruf dan partisipasi sekolah penduduk Kab. Sumba Barat
Daya
2.3.2 Suku/etnis
Penduduk di wilayah Kodi secara umum didominasi oleh Suku Wena Maya, Umbu Tedda,
Umbu Tada, dan Watupakadu yang merupakan penduduk asli daerah tersebut yang tinggal
secara turun temurun. Ada sebagian kecil suku pendatang yang terikat perkawinan dengan
suku asli setempat.
Di wilayah Wewewa Selatan dikenal terdapat 6 (enam) suku yang terdiri dari 1 (satu) suku
pemimpin dan 5 (lima) suku kecil. Nama Suku pemimpin yaitu Suku Umbu Padu sedangkan
nama suku kecil yaitu Bore, Umbu Warata, Ummaroro, Wetalora dan Welande. Suku
pemimpin dan suku kecil merupakan penduduk asli Desa Delo yang sudah tinggal turun
temurun. Bahasa sehari hari yang digunakan adalah bahasa Wewea dan bahasa Kodi.
Di wilayah Waimangura ditempati oleh beberapa kelompok etnik diantaranya Suku Beidello,
Suku We’elewo, Suku Togowatu, dan suku Bondoponda. Bahasa sehari-hari yang digunakan
oleh masyarakat Waimangura adalah Bahasa Waijewa.
2.3.3 Perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
Berdasarkan informasi Statistik Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 diketahui
bahwa kondisi perekonomian Kaabupaten Sumba Barat Daya membiayai kegiatan
pembangunan yang dilakukan pada tahun 2013 dialokasikan anggaran sebesar 548 miliar
rupiah, tetapi yang direalisasikan sebesar 467 miliar rupiah. Dari keseluruhan realisasi
pendapatan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya tahun 2013 tersebut, Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Sumba Barat Daya mencapai 16,73 miliar rupiah atau 3,37 persen dari total
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
31
realisasi APBD. Jumlah ini menurun dibandingkan dengan PAD tahun sebelumnya yang
hampir mencapai 18 miliar rupiah. Selebihnya kekurangan APBD dtutup oleh dana
perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah, yang masing-masing jumlahnya mencapai
lebih dari 452 miliar dan 28,6 miliar rupiah.
Dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi daerah diketahui bahwa nilai tambah yang
dihasilkan sektor-sektor PDRB masih rendah. Demikian pula halnya dengan rata-rata tingkat
pendapatan masyarakat yang masih rendah. Jika angka pendapatan per kapita ini dikonversi
ke dalam jumlah hari dalam setahun, maka rata-rata pendapatan penduduk SBD sebesar
Rp.11.103,- per hari. Rendahnya penghasilan masyarakat ini sekaligus menggambarkan
bahwa angka kemiskinan cukup tinggi. Pada tahun 2006, persentase penduduk dibawah
garis kemiskinan mencapai 32,65%, tahun 2007 sebesar 30,12% lalu menurun menjadi
27,74% pada tahun 2008 dan pada kondisi 2009 menjadi 24,96%. Angka ini masih lebih
tinggi daripada prosentase penduduk di bawah garis kemiskinan di Provinsi NTT yang
mencapai 23,41% pada tahun yang sama (RPJMD SBD, 2011-2015).
Tingkat kesejahteraan masyarakat juga tercermin dari kualitas pendidikan masyarakat
berdasarkan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan yakni
angka melek huruf, angka rata-rata lama sekolah, angka partisipasi kasar, angka partisipasi
murni dan angka pendidikan yang ditamatkan.
Jumlah penduduk buta huruf (usia 10 tahun ke atas) pada tahun 2006 sampai 2010
berturut-turut mencapai 36.796 jiwa, 29.476 jiwa, 23.486 jiwa, 17.866 jiwa lalu menurun
menjadi 12.556 jiwa pada kondisi 2010. Trend penurunan jumlah penduduk buta huruf ini
mengindikasikan performance di bidang pendidikan yang cukup baik. Kendati demikian,
angka ini masih tergolong tinggi sehingga membutuhkan intervensi kebijakan yang cukup
intens. Selain angka buta huruf, tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Sumba Barat
Daya yang masih rendah dapat dilihat dari angka rata-rata lama sekolah yang hanya 6,7
tahun pada tahun 2010. Artinya rata-rata penduduk hanya menamatkan sekolah dasar
sederajat.
Terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam penyediaan akses dan pemerataan
pendidikan dasar bagi masyarakat dan mulai adanya peningkatan partisipasi untuk
pendidikan menengah pertama dan atas. Angka partisipasi pendidikan dasar (baik APK dan
APM) sudah melebihi kondisi ideal yakni APK mencapai 140,76 % dan APM hampir mencapai
100 % pada tahun 2010. Angka partisipasi pendidikan menengah pertama terus meningkat
dalam kurun waktu 2006-2010 dimana APK mencapai 98,39 % dan APM mencapai 77,83 %
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
32
pada tahun 2010. Sedangkan angka partisipasi pendidikan menengah atas relatif masih
rendah dibandingkan jenjang pendidikan lainnya.
Pada tahun 2010, APK untuk SMA/SMK/MA hanya sekitar 65,21 % dan APM sekitar 39,83 %.
Rendahnya angka partisipasi pendidikan menengah atas kemungkinan diakibatkan minimnya
sekolah menengah di kota kecamatan dan terbatasnya kemampuan dan kesadaran
masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Aspek kesehatan juga merupakan salah satu parameter dari indeks pembangunan manusia
yang berkontribusi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa indikator yang
dapat menggambarkan derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI),
Angka Kematian Bayi (AKB), Usia Harapan Hidup (UHH) dan gizi buruk.
Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya menjelaskan bahwa kondisi derajat kesehatan
masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya yang pada umumnya masih rendah. Tampak
sangat jelas, AKI dan AKB yang cukup tinggi, status gizi masyarakat, terutama angka gizi
buruk dan gizi kurang yang cukup tinggi, juga usia harapan hidup yang rendah, masih
berada di bawah 70 tahun. Tentu saja memprihatinkan, dan karena itu sangat dibutuhkan
intervensi kebijakan pemerintah yang tepat untuk menurunkan AKI, AKB dan gizi buruk
sekaligus untuk menaikkan atau memperpanjang usia harapan hidup.
Akses terhadap air minum bersih tampaknya masih menjadi masalah yang serius bagi
penduduk di Sumba Barat Daya. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap
sumber air bersih hanya sebesar 34,14 persen setelah pada tahun 2012 naik pada angka
38,68 persen. Dengan demikian, 63,19 persen masyarakat Sumba Barat Daya belum
memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak.
2.3.4 Deskripsi Desa Sampel
Dalam kaitannya dengan pemotretan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di
sekitar KPHL Sumba Barat Daya, kegiatan inventarisasi sosial budaya masyarakat di
dalam/sekitar wilayah KPHL Sumba Barat Daya dilaksanakan di wilayah desa sekitar KPH.
Metode yang dipilih untuk memilih desa yang akan menjadi sasaran kegiatan inventarisasi ini
adalah metode pemilihan secara disengaja (purposive sampling), yaitu desa yang terletak di
dalam/sekitar wilayah KPH yang dapat mewakili beberapa desa disekitarnya yang memiliki
karakteristik hampir sama. Beberapa pertimbangan dalam penentuan desa sasaran kegiatan
inventarisasi ini adalah sebagai berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
33
1) Pertimbangan fungsi hutan
Merupakan pertimbangan kompleksitas interaksi antara desa dan KPH yang telah ditetapkan
sebagai KPH. Bisa dimungkinkan bahwa jumlah desa disekitar suatu KPH sedikit namun
memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan suatu KPH yang disekitarnya terdapat
jumlah desa yang lebih banyak. Kompleksitas tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan
masyarakat (agama), tradisi, politik lokal, sejarah desa hingga peluang kerja.
2) Pertimbangan sosial budaya
Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, sampel desa didasarkan pada asal usul etnis
sebagai masyarakat pendatang (minoritas) atau masyarakat lokal (mayoritas). Selain itu
dipertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas masyarakat, yaitu tingginya
intensitas interaksi masyarakat dengan kawasan hutan atau ketergantungan/tekanan
masyarakat terhadap kawasan hutan, jarak desa/permukiman dengan kawasan hutan dan
aksesibilitas dari desa menuju kawasan hutan.
3) Pertimbangan administratif
Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, sampel desa didasarkan pada letak
administratif provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, sehingga dapat digunakan untuk
memahami kebijakan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota/kecamatan.
4) Pertimbangan kondisi hutan
Penentuan desa sasaran kegiatan inventarisasi, lokasi desa sampel dipilih berdasarkan
pemantauan hutan menggunakan citra satelit, sehingga dapat diketahui kondisi penutupan
lahan/hutan yang berada di sekitar desa/permukiman, adanya akses jalan menuju kawasan
hutan.
Pemilihan lokasi kegiatan inventarisasi sosial budaya masyarakat di dalam/sekitar wilayah
KPHL Sumba Barat Daya ini telah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas. Berdasarkan
hal tersebut maka terpilih tiga kecamatan sampel dengan masing-masing diwakili oleh satu
desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan sebagai berikut:
1) Kecamatan Kodi Utara diantaranya adalah Desa Bukambero. Desa tersebut cukup
mewakili keadaan sosial budaya masyarakat di sekitar Kelompok hutan setempat.
2) Kecamatan Wewewa Selatan diantaranya adalah Desa Delo. Desa tersebut cukup
mewakili keadaan sosial budaya masyarakat di sekitar Kelompok Hutan Yawili (RTK. 02).
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
34
3) Kecamatan Wewewa Barat diwakili oleh Desa Waingapura. Desa ini mewakili kelompok
hutan Kelompok Hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45).
4) Kecamatan Wewewa Timur diwakili oleh Desa Dikira. Desa ini mewakili kelompok hutan
Kelompok Hutan Yawila (RTK. 02)
Berdasarkan hasil survey terhadap desa-desa sampling dapat dideskripsikan secara lebih
rinci disajikan sebagai berikut:
A. Kecamatan Kodi Utara: Desa Bukambero (KH Rokoraka Matalumbu)
Sejarah dan kepemerintahan
Kecamatan Kodi Utara terdiri atas 18 (delapan belas) desa dengan luas 253,73 km2. Jumlah
penduduk Kecamatan Bukambero 51.958 jiwa dengan kepadatan penduduk 220 jiwa/ km2.
Desa Bukambero merupakan satu dari delapan belas desa di Kecamatan Kodi Utara dengan
luas wilayah 22,16 km2 atau 9,40% dari luas wilayah Kecamatan Kodi Utara. Desa
Bukambero terdiri dari 4 (empat) dusun yaitu Dusun Padedemanu, Dusun Kapaka Wuni,
Dusun Padarang, dan Dusun Bondo Kalogpo. Batas-batas wilayah Desa Bukambero, yaitu:
Sebelah utara : Samudera Indonesia
Sebelah selatan : Desa Magho Linyo
Sebelah timur : Desa Kalembu Kaha
Sebelah barat : Desa Kadu Eta
Berdasarkan sejarah terbentuknya desa merupakan desa induk dari Desa Kalembu Kaha dan
Desa Bilacenge. Masyarakat Desa Bukambero sudah menghuni desa dari 7 (tujuh) generasi.
Masyarakat Desa Bukambero menghuni desa ini berdasarkan suku dan budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Dari peta tata batas Kelompok Hutan Rokoraka
Matalumbu (RTK. 45), Desa Bukambero menjadi salah satu desa yang berada di dalam
kawasan hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45). posisi dan letak Desa Bukambero sebagian
berada di tepi kawasan hutan dan sebagian lagi berada di dalam kawasan hutan. Dari jumlah
responden yang ada 100% responden berada di tepi hutan dengan jarak 1-2 km.
Pemerintahan Desa Bukambero salah satunya sebagai penyelenggara pemerintahan desa
yang bertujuan untuk menciptakan suasana yang kondusif di desa, peningkatan
pembangunan ekonomi dan pembangunan desa serta kelancaran administrasi. Pemerintahan
yang baik diharapkan dapat meningkatkan kemajuan di segala bidang dan kemakmuran
masyarakatnya. Melihat struktur pemerintahan dan tugas masing-masing penyelenggara,
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
35
Desa Bukambero termasuk wilayah yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari ketaatan
masyarakat Desa Bukambero dalam menjalankan semua peraturan dan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah Desa Bukambero. Salah satu contoh adalah kegiatan rutin gotong
royong dalam membuat jalan di sekitar desa.
Selain pemerintahan desa, masyarakat Desa Bukambero menghormati tokoh adat dan
kesatuan lembaga yang ada di Desa Bukambero. Kegiatan adat masih dijalankan oleh
seluruh masyarakat Desa Bukambero. Peran ketua adat dan ritual adat sangat besar.
Kepercayaan masyarakat kepada “Marapu” tergambar dalam segala aspek kehidupan mulai
dari proses kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian), membangun rumah, bertanam,
panen dan lain-lain. kepercayaan ini sangat dipegang teguh dan dijalankan oleh setiap
masyarakat Desa Bukambero tanpa kecuali. Sanksi akan dikenakan apabila ada anggota
masyarakat yang melanggar atau tidak menjalankan salah satu ritual adat.
Penduduk di Desa Bukambero hidup secara berkelompok tersebar di 4 (empat) dusun yaitu
Dusun Padedemanu, Dusun Kapaka Wuni, Dusun Padarang, dan Dusun Bondo Kalogpo.
Secara umum pemukiman penduduk di Desa Bukambero mempunyai pola permukiman
memanjang mengikuti alur jalan raya yang ada di sepanjang Desa Bukambero. Sebagian
besar kondisi rumah penduduk Desa Bukambero merupakan rumah semi permanen (rumah
adat).
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
36
Gambar 19. Rumah Permanen dan Semi Permanen di Desa Bukambero
Tata Guna Lahan Desa
Masyarakat Desa Bukambero sebagai bagian dari masyarakat Sumba Barat Daya mengenal
konsep sistem pembagian lahan Kabisu. Sistem ini merupakan sistem pembagian lahan dari
ketua suku besar yaitu Wenamaya kepada setiap anak suku yaitu Watupakadu, Umbu Tanda
dan Umbu Tedda. Pembagian lahan ini dibagikan kepada setiap masyarakat suku tersebut
per marga dan per jumlah kepala keluarga. Setiap anak suku memperoleh lahan kurang lebih
70 hektar untuk dibagikan. Pembagian lahan ini hanya bagi anggota suku yang sudah
berkeluarga.
Untuk ketua suku sendiri yaitu Wenamaya, luas lahan yang dimiliki berbeda sekitar kurang
lebih 10 hektar dari anak suku. Lahan yang dibagikan kepada setiap anak suku dan anggota
suku dipergunakan untuk lahan pertanian. Adapun luas wilayah menurut penggunaan lahan
di Desa Bukambero hingga akhir Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 7 Luas Wilayah Desa Bukambero menurut penggunaan lahan 2015
No. Penggunaan Tanah Luas (Ha)
1. Permukiman 200
2. Ladang 600
3. Kebun 50
4. Semak belukar (bekas ladang) 20
5. Padang rumput/alang-alang 80
6. Hutan rakyat/hutan tanaman rakyat 20
7. Hutan 75
8. Rawa 2
9. Lain-lain 1
Sumber : Monografi Desa Bukambero, 2015
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
37
Berdasarkan tabel diatas penggunaan lahan yang dominan yaitu ladang yang dijadikan
wilayah garapan pertanian untuk menunjang perekonomian masyarakat Desa Bukambero
dan permukiman. Rata-rata masyarakat Desa Bukambero mempunyai lahan pertanian milik
sendiri dengan luas berkisar antara 0,5-1 hektar per kepala keluarga. Selain itu, masyarakat
Desa Bukambero juga memiliki lahan non pertanian yang dipergunakan sebagai rumah dan
pekarangan.
Kependudukan
Jumlah penduduk Desa Bukambero mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga
Tahun 2015 seluruhnya mencapai 3.626 jiwa sebagaimana ditunjukkan pada table berikut:
Tabel 2. 8 Jumlah Penduduk Desa Bukambero 5 (lima) tahun terakhir
No. Tahun Total (Jiwa)
1. 2009 2.873
2. 2010 2.895
3. 2011 2.916
4. 2012 3.075
5. 2013 3.151
6. 2014 3.626
Sumber : Monografi Desa, 2015
Mayoritas penduduk Desa Bukambero menganut agama Katholik, sebagian lainnya
menganut Kristen dan Islam. Fasilitas ibadah yang terdapat di wilayah ini hanya terdapat
gereja katholik sebagai tempat peribadatan yang berjumlah 1 (satu) buah.
Gambar 20. Presentase Penganut Agama di Desa Bukambero
Di Desa Bukambero terdapat taman kanak-kanak (TK) yang berjumlah 1 (satu) buah dan
sekolah dasar (SD) yang berjumlah 2 (dua) buah. Untuk jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, penduduk Desa Bukambero bersekolah di ibukota kabupaten. Dari monografi Desa
0,69 % 3,31%
96 %
Islam
Kristen
Katholik
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
38
Bukambero diperoleh data bahwa presentase rata-rata penduduk yang menempuh tingkat
pendidikan terbanyak adalah SD dan SMA. Presentase jumlah penduduk yang mengenyam
pendidikan di Desa Bukambero dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 21. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bukambero
Desa Bukambero memiliki posyandu yang berjumlah 5 (lima) buah, bidan/mantri 1 (satu)
orang, dan dukun bayi terlatih berjumlah 5 (lima) orang. Fasilitas ini dimanfaatkan untuk
pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil dan balita. Apabila diperlukan pemeriksaan kesehatan
yang lengkap, masyarakat Desa Bukambero memeriksakan kesehatan di puskesmas dan
rumah sakit di Tambolaka.
Kondisi jalan dari Desa Bukambero ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten cukup baik.
Tetapi kondisi jalan antar dusun dan dari dusun ke jalan utama rusak berat dan sulit dilalui
kendaraan baik roda dua maupun roda empat.
Untuk sanitasi lingkungan, masyarakat Desa Bukambero sudah memiliki MCK pribadi yang
berjumlah 431 buah yang digunakan oleh 514 kepala keluarga dengan kondisi baik. Untuk
sumber air, wilayah Desa Bukambero tidak memiliki sumber mata air maupun sumur. Untuk
memperoleh air, masyarakat harus berjalan sekitar 3-4 km menuju sumber mata air
terdekat. Selama ini masyarakat mengandalkan air hujan yang ditampung sebagai sumber
air. Diluar musim hujan, masyarakat memperoleh air dengan cara membeli air tangki yang
dijual seharga Rp 200.000,- per tangki yang berisi sekitar 5.000 liter air yang bisa digunakan
untuk keperluan sehari-hari selama ± 2 minggu.
Kondisi Perekonomian
Sebagian besar masyarakat di Desa Bukambero mempunyai mata pencaharian sebagai
petani. Dari jumlah penduduk Desa Bukambero yang diperoleh 730 KK atau 97,9%
22,09%
20,85%
49,70%
5,54% 1,43% 0,06% 0,33%
Tidak sekolah
SD tidak tamat
SD
SMP
SMA
D1,D2,D3
S1/S2
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
39
merupakan petani. Dari hasil pengolahan data primer, 8 orang responden atau 80%
merupakan petani.
Lahan pertanian penduduk umumnya ditanami tanaman pangan. Tanaman pangan yang
diusahakan oleh penduduk Desa Bukambero adalah tanaman padi, kacang-kacangan, jagung
dan ubi-ubian. Hasil panen tanaman yang diusahakan oleh masyarakat Desa Bukambero
dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.
Selain bertani, masyarakat Desa Bukambero juga mengusahakan ternak. Jenis ternak yang
diusahakan oleh masyarakat Desa Bukambero diantaranya kerbau, sapi, babi, kambing dan
domba, ayam, itik dan unggas lainnya. Ternak yang diusahakan oleh masyarakat Desa
Bukambero dipergunakan untuk konsumsi dan acara adat. Jumlah ternak yang ada di Desa
Bukambero tersaji pada tabel berikut:
Tabel 2. 9 Jumlah ternak di Desa Bukambero
No. Jenis Jumlah (ekor)
1. Kerbau 150
2. Sapi 20
3. Kuda 100
4. Babi 400
5. Kambing/Domba 80
6. Ayam 305
7. Itik 10
8. Unggas lainnya 25
Sumber : Monografi Desa, 2015
Hasil analisa data primer menunjukkan hasil 70% responden berpenghasilan < Rp. 500.000.
Rendahnya tingkat pendapatan berkaitan dengan tingkat pendidikan dimana 49,70%
masyarakat Desa Bukambero berpendidikan sekolah dasar. Dengan rendahnya keahlian yang
dimiliki serta pengetahuan teknologi yang masih terbatas, masyarakat Desa Bukambero
hanya terpusat pada mata pencaharian sebagai petani tradisional. Disisi lain, potensi hasil
pertanian dan peternakan apabila diusahakan secara intensif cukup melimpah. Selain itu,
pesta adat yang hampir dilakukan secara terus-menerus dengan pengeluaran yang tidak
sedikit menyebabkan semakin berkurang tingkat pendapatan yang diperoleh. Hampir
sebagian besar pendapatan yang diperoleh digunakan untuk persiapan pesta adat yang
sewaktu-waktu diadakan.
Sarana dan prasarana kesehatan di Desa Bukambero hanya terdapat posyandu. Tenaga
kesehatan yang ada hanya bidan/mantra dan dukun bayi terlatih. Dengan sarana dan
prasarana yang tidak memadai, masyarakat Desa Bukambero harus ke ibukota kabupaten
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
40
apabila ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Untuk sarana sanitasi lingkungan, hampir
semua masyarakat Desa Bukambero memiliki MCK Pribadi. Akan tetapi sarana dan
infrastruktrur jaringan pipa air maupun sumur (pompa dan timba) tidak terdapat di wilayah
Desa bukambero. Untuk mendapatkan air bersih masyarakat Desa Bukambero hanya
mengandalkan air hujan dan sumber mata air dengan jarak yang cukup jauh dari
permukiman warga. Untuk transportasi dan perhubungan, sarana transportasi dan kondisi
jalan di wilayah Desa Bukambero cukup bagus. Akan tetapi kemudahan akses dan kondisi
jalan yang cukup layak tidak menjadikan Desa Bukambero berkembang dengan baik.
Dengan kondisi jalan yang rusak, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat. Masyarakat
kesulitan untuk memasarkan hasil pertanian sehingga berakibat dari kurangnya pendapatan
masyarakat.
Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi
Masyarakat Desa
Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan baik
yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut.
Masyarakat sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas,
tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik
bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang
menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut
sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya
hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001).
Di Desa Bukambero, ketua dan ritual adat telah melekat dalam setiap kegiatan masyarakat.
peran ketua adat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan tidak terlalu signifikan. Bagi
masyarakat Desa Bukambero sendiri tidak ada ketentuan adat secara khusus terhadap
hutan. Beberapa ketentuan adat seperti waktu larangan masuk hutan atau waktu larangan
memungut hasil hutan belum diatur. Yang sudah ada terbatas pada penunjukkan tempat
terlarang yang berada dalam hutan yaitu tempat pemujaan dan tempat keramat yang
merupakan tempat pemujaan dan persembahan serta pohon yang dilarang ditebang (pohon
beringin) dan binatang yang tidak boleh dibunuh (burung gagak dan burung hantu).
Potensi konflik tenurial dimungkinkan terjadi di masa yang akan datang. Seiring dengan
pertambahan kebutuhan lahan yang semakin meningkat, bukan hal yang tidak mungkin
masyarakat yang terdesak akan kebutuhan ekonomi akan merambah hutan. Dengan
ketersediaan akses menuju hutan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk membuka
lahan di kawasan hutan. Akan tetapi, untuk saat ini konflik yang terjadi masih terjadi antar
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
41
masyarakat itu sendiri. Yang terjadi adalah masyarakat yang mempunyai kebun yang
berdekatan bisa berkonflik berkaitan dengan batas kebun mereka. Akan tetapi, konflik ini
bisa diselesaikan dengan mekanisme adat dan pendekataan secara kekeluargaan.
Penyelesaian secara adat dilakukan dengan sumpah adat yang ditandai dengan
penyembelihan hewan yaitu babi. Untuk mencegah terjadinya konflik tenurial, pemerintah
daerah dalam hal ini dinas kehutanan setempat, pemerintah desa dan lembaga adat harus
berperan aktif dalam memberikan sosialisasi dan informasi mengenai kawasan hutan.
Untuk peluang dan dukungan terhadap kawasan, masyarakat Desa Bukambero cukup
mendukung dengan adanya hutan disekitar wilayahnya. Akan tetapi, dukungan ini terbatas
pada pemikiran bahwa hutan penting dan perlu dilestarikan tetapi belum ada tindakan yang
nyata. Apabila pemerintah setempat melakukan sosialisasi dan informasi mengenai kawasan
hutan secara intensif, masyarakat Desa Bukambero akan memahami pentingnya keberadaan
hutan. Peran lembaga adat dapat diberdayakan untuk memberikan dukungan terhadap
kawasan hutan karena lembaga adat mempunyai peran besar dalam kehidupan masyarakat
dan masyarakat Desa Bukambero sangat menghormati peran lembaga adat dan Rato
Marapu.
Dengan proporsi 98% kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani, usaha pertanian
menjadi prioritas utama sebagai sumber ekonomi dan penghidupan bagi masyarakat Desa
Bukambero. Pengembangan usaha pertanian lebih diintensifkan untuk membantu
meningkatkan produksi pertanian. Bagi masyarakat Desa Bukambero, tanaman pertanian
yang dapat dikembangkan adalah padi, jambu mete, kelapa dan jati. Peningkatan produksi
pertanian diharapkan bisa mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan.
B. Kecamatan Wewewa Selatan: Desa Delo (Kelompok Hutan Yawila)
Sejarah dan Kepemerintahan
Kecamatan Wewewa Selatan terpilih sebagai lokasi pengambilan sample kegiatan
Inventarisasi Sosial Budaya masyarakat di dalam/sekitar hutan, dengan alasan bahwa Desa
Delo berada di sekitar kawasan hutan pada Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) dan
Kecamatan Wewewa Selatan mempunyai luas wilayah 174,14 km2 terbagi kedalam 12 desa
dengan jumlah penduduk 24.070 jiwa.
Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) sudah penetapan dengan SK Menhut No: 281/Kpts-II/1986
tanggal 11 September 1986 dengan luas 2524 Ha. Kelompok Hutan Yawila (RTK.02) memiliki
fungsi yaitu Hutan Lindung.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
42
Pada tahun 1952 Desa Delo sudah terbentuk namun sistem pemerintahannya masih berupa
swapraja atau sistem kerajaan yang dipimpin oleh Cornelis Nono Katoda. Seiring berjalannya
waktu pada tahun 1966 Desa Delo resmi menjadi desa definitif dengan sistem pemerintahan
demokrasi dan dipimpin oleh kepala desa. Sejak terbentuk menjadi desa definitif sampai
sekarang Desa Delo telah mengalami 8 (delapan) kali pergantian kepala desa. Menurut
informasi yang diperoleh hasil dari wawancara nama Delo dalam bahasa indonesia artinya
adalah nama sebuah pohon. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini bahkan disekeliling
kantor desa banyak terdapat pohon delo.
Sejak resmi berdiri Desa Delo mengalami perkembangan setiap tahunnya. Hal ini ditandai
dengan mulai berdirinya sarana dan prasarana seperti pembangunan gedung sekolah,
tempat ibadah, fasilitas kesehatan, pembangunan jalan dan sebagainya. Sampai saat ini
Desa Delo terbagi dalam 3 (tiga) dusun/lingkungan yaitu Dusun I yang disebut Ana Tana
artinya pemilik tanah, Dusun II yang disebut Bindi (nama suku) dan Dusun III yang disebut
Edekalada (nama suku) yang terdiri dari 12 RT dan 6 RW. Masyarakat Desa Delo merupakan
masyarakat asli yang secara turun temurun tinggal di desa tersebut. Tingkat pengetahuan
menentukan juga terhadap perkembangan daerah tempat masyarakat tinggal. Lamanya
tinggal di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang dapat dijadikan sebagai indikator
perkembangan dan kontribusi masyarakat terhadap desa tempat dia tinggal. Lamanya
tinggal seseorang disuatu tempat juga dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
perkembangan yang terjadi di tempat tersebut.
Desa Delo memiliki sistem dan struktur masyarakat yang homogen, yaitu masyarakat Desa
Delo merupakan penduduk asli yang turun temurun lahir, tinggal dan berkarya di
lingkungan tempat tinggal mereka. Hubungan kekerabatan terjalin dengan erat karena
merupakan bagian dari kelompok kekeluargaan atau keluarga besar (klan atau marga).
Masyarakat Desa Delo juga masih menghormati tokoh-tokoh masyarakat baik tokoh formal
dan tokoh non formal. Peranan pimpinan desa (formal dan non formal) dengan hasil rapat
warga sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di dalam pembangunan desa baik
itu dalam menangani permasalahan yang dihadapi masyarakat maupun dalam perencanaan
suatu program pemerintahan.
Tokoh non formal yang di hormati masyarakat di Desa Delo biasa disebut tetua adat atau
dalam bahasa Wewewa disebut Rato. Rato memegang peranan yang penting di Desa Delo.
Peran Rato antara lain bertanggung jawab dalam hal acara upacara adat seperti kelahiran,
kematian, pernikahan, penyelesaian masalah adat, pembagian tanah kepada masyarakat dan
pengambil keputusan, namun jika tidak mampu diserahkan kepada perangkat desa.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
43
Masyarakat Desa Delo merupakan masyarakat yang terbuka yang dapat menerima pengaruh
budaya luar dari desa, dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan adat setempat.
Meskipun begitu biasanya masyarakat luar atau pendatang yang tidak mengikuti aturan adat
atau tradisi masyarakat adat harus menghormati adat yang berlaku di Desa Delo. Adat
istiadat yang sampai saat ini masih berkembang sebagai contohnya adalah dalam
melangsungkan pernikahan, kelahiran dan kedukaan serta ketentuan adat dalam
pemanfaatan sumber daya hutan. Dalam hal pernikahan, adat istiadat yang biasanya
dilakukan terdiri dari beberapa tahap. Tahapan awal yaitu bertunangan (pinangan).
Kemudian calon pengantin laki-laki memberitahu orang tua untuk mendapatkan restu.
Selanjutnya keluarga dari pihak calon pengantin laki-laki meminang calon pengantin
perempuan ke orang tuanya dengan syarat membawa barang pinangan 1 (satu) buah
parang, 1 (satu) buah memoli dan 1 (satu) ekor kuda. Balasan dari orang tua calon
pengantin perempuan berupa 1 (satu) lembar kain dan sarung dan kemudian memberi
waktu untuk menentukan waktu pernikahan.
Jika waktu pernikahannya sudah tiba maka pihak dari calon pengantin laki-laki membawa
ternak sesuai dengan kondisi kedudukan suku atau biasa disebut belis. Pada umumnya belis
yang harus disiapkan oleh calon pengantin laki-laki tergantung tingkat kedudukannya. Jika
termasuk golongan bangsawan belis yang harus disiapkan sebanyak 50 ekor binatang (25
ekor kuda dan 25 ekor kerbau), untuk kelas menengah sebanyak 30 ekor binatang (15 ekor
kuda dan 15 ekor kerbau) sedangkan untuk kelas bawah sebanyak 10 ekor binatang (5 ekor
kuda dan 5 ekor kerbau). Dari semua tingkat golongan hal yang wajibkan harus ada yaitu
memoli emas. Setelah belis terpenuhi balasan dari orang tua calon pengantin perempuan
menyiapkan babi sebanyak 4 ekor dengan standar babi yang keluar taringnya sebanyak 1
ekor dan babi yang ukuran sedang sebanyak 3 ekor, kemudian kain sarung sebanyak 3 -
40 lembar dan semua peralatan rumah tangga. Setelah kedua belah pihak sepakat maka
pesta pernikahan dapat dilangsungkan.
Dalam hal kelahiran berlaku juga tradisi upacara adat yang dalam bahasa daerah disebut
tunu manu (bakar ayam) dan tunu wawi (bakar babi). Prosesi adatnya dimulai jika bayi yang
baru lahir sudah berumur 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam. Bidan atau dukun beranak yang
membantu proses persalinan diberi upah berupa sirih pinang seikhlasnya dengan ayam 2
(dua) ekor dimana ayam yang diberikan kemudian dibakar atau disebut tunu manu. Ritual
selanjutnya rambut bayi dipangkas habis seluruhnya dilanjutkan dengan acara bakar babi
istilah adatnya disebut tunu wawi. Upacara adat ini merupakan syukuran karena ibu dan
anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
44
Gambar 22. Pakaian adat untuk berburu
Jika ada kedukaan hal yang pertama kali dilakukan adalah pukul tambur (gendang). Hal ini
menandakan bahwa ada berita duka cita. Untuk masing-masing suku berdasarkan kelasnya
dibedakan jenis hewan yang harus disediakan dalam upacara adat nanti. Jika yang
meninggal berasal dari suku penguasa maka diwajibkan memotong 1 (satu) ekor kerbau
dengan ukuran tanduknya minimal 15 cm. Namun jika yang meninggal dari suku kecil maka
ketika tambur atau gendang dipukul diwajibkan memotong 1 (satu) ekor babi.
Setelah itu jenazah dimasukkan kedalam peti kemudian ditentukan jadwal penguburan.
Biasanya paling cepat 3 (tiga) hari atau paling lama 1 (satu) minggu. Ketika acara
penguburan biasanya dilakukan acara adat dimana anggota keluarga yang meninggal baik
anak laki-kali maupun perempuan harus membawa 1 (satu) ekor kerbau, sedangkan saudara
serta cucu harus membawa babi. Ketentuan adat juga berlaku dalam pemanfaatan sumber
daya hutan. Untuk masuk ke dalam hutan hanya diperbolehkan pada bulan tertentu yaitu
bulan November. Istilah adatnya disebut Ghulla Puddu. Dilakukan hanya pada bulan
November karena menurut kepercayaan masyarakat Desa Delo bulan yang tepat karena
bulan suci. Masyarakat boleh masuk ke hutan hanya untuk berburu babi hutan yang akan
disajikan sebagai sesajen. Sebelum masuk ke dalam hutan biasanya dilakukan ritual adat
yang dipimpin oleh Rato. Setelah ritual selesai baru diperbolehkan untuk masuk ke dalam
hutan dengan menggunakan pakaian adat dan membawa sirih pinang. Pakaian adat yang
digunakan pada saat masuk ke hutan untuk berburu dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Kehidupan masyarakat Desa Delo memiliki pola yang dipengaruhi oleh musim. Sehingga
kegiatan-kegiatan masyarakat Desa Delo dilakukan sesuai kalender musim yang
dilaksanakan secara terstruktur disajikan pada tabel di bawah ini.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
45
Tabel 2.10 Kalender Musim Desa Delo
NO. URAIAN BULAN
KETERANGAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1
Perladangan
* * * * * *
Kegiatan meliputi tebas, tebang, bakar, pembersihan,
tunggal-tanam, penyiangan dan
dan Panen
2 Bersawah * *
3 Upacara/Pe
sta adat * * *
Sumber : Monografi Desa Delo, 2015
Keberadaan lembaga kemasyarakatan juga sangat mendukung untuk kemajuan desa. Di
Desa Delo juga terdapat lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan yang masih aktif hingga
sekarang. Lembaga masyarakat yang berkembang adalah LPMD/LPMK, Rukun Warga (RW),
Rukun Tetangga (RT), dan Karang Taruna dengan ruang lingkup kegiatannya yakni
kemasyarakatan. Dengan adanya lembaga kemasyarakatan ini memberikan dampak yang
positif bagi masyarakat karena dapat memberikan pedoman bagi anggota masyarakat
bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan, menjaga keutuhan
masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial atau sistem pengawasan kepada masyarakat terhadap tingkah laku
anggota-anggotanya.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh Perusahaan dan pemerintah sudah terlaksana di
Desa Delo. Pada tahun 2011 penduduk Desa Delo mendapat bantuan dari BLHD Kabupaten
Sumba Barat Daya dengan jenis anakan mahoni, gmelina dan johar. Sampai saat ini
perkembangan dari jenis anakan tersebut tumbuh dengan baik. Selain itu Desa Delo juga
mendapat bantuan dari Provinsi yaitu PNPM Mandiri dari tahun 2012 sampai tahun 2014.
Pada tahun 2012 mendapat bantuan pembangunan gedung SD, tahun 2013 pembangunan
jalan dan tahun 2014 pengerasan jalan yang ada di Desa Delo.
Tata Guna Lahan
Desa Delo merupakan salah satu dari 12 desa yang ada di wilayah Kecamatan Wewewa
Selatan. Kebutuhan terhadap lahan akan mempengaruhi tingkat pembukaan lahan baru
khususnya terhadap kawasan hutan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3005 jiwa dengan
497 KK, akan memerlukan kebutuhan lahan yang banyak. Dalam rangka mengantisipasi
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
46
Gambar 23. Kondisi tata guna lahan Desa Delo
persoalan konflik lahan dan mencegah pembukaan lahan baru pada areal hutan, maka
pemerintah desa maupun tetua adat mengantisipasi dengan membuat ketentuan luas areal
lahan yang diperbolehkan untuk masyarakat.
Pembagian lahan pertama kali diberikan oleh suku penguasa kemudian diberikan kepada
suku-suku kecil. Pembagiannya dilihat dari kedudukan suku masing-masing berdasarkan sisi
penguasaan. Kemudian dari masing-masing suku kecil yang membagi ke setiap kepala
keluarga. Pembagian lahan kepada masing-masing kepala keluarga disesuaikan dengan
jumlah anggota keluarga. Jika anggota keluarga lebih banyak maka mendapat bagian yang
lebih banyak juga. Hal ini hasilnya sangat efektif untuk mencegah pembukaan lahan baru
pada areal hutan yang juga merupakan lokasi KPH dan mengantisipasi konflik sosial di
masyarakat terkait persoalan lahan.
Pemanfaatan lahan yang ada di desa terpilih terdiri dari lahan pemukiman, sawah, ladang,
kebun (tanaman keras/tanaman tahunan) dan hutan rakyat. Luas penggunaan lahan di desa
terpilih mencapai ± 21 Ha.
Dari diagram di atas, kebutuhan lahan oleh masyarakat desa terpilih sebagian besar berupa
lahan kering. Hal ini disebabkan karena mayoritas mata pencaharian penduduk adalah
bertani. Lahan kering dimanfaatkan oleh masyarakat desa terpilih untuk menanam tanaman
pertanian/ladang. Selain lahan kering ada juga penggunaan lainnya antara lain untuk
pemukiman penduduk, ladang, kebun (tanaman keras/tanaman tahunan) dan hutan
rakyat/hutan tanaman rakyat. Untuk penggunaan lahan berupa sawah basah luasannya
hanya mencapai 6,20 Ha atau sebanyak 29% dari luas total penggunaan lahan di desa
terpilih.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
47
Kependudukan
Penduduk di dalam/sekitar kawasan hutan merupakan salah satu pemegang peran penting
terhadap besarnya tekanan terhadap kawasan hutan. Jumlah penduduk di Desa Delo dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 11 Jumlah Penduduk di Desa Delo
No. Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-Laki 1245 Orang
2 Perempuan 1760 Orang
3 Jumlah KK 497 KK
Jumlah Total 3.005
Sumber : Monografi Desa Delo, 2015
Dengan jumlah total penduduk sebanyak 3.005 jiwa yang terbagi atas 497 KK, Desa Delo
terbagi atas 3 (tiga) dusun/kampung. Untuk jumlah dan sebaran penduduk di Desa Delo
berdasarkan nama dusun/kampung dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 2. 12 Jumlah dan Sebaran Penduduk Berdasarkan Nama Dusun/Kampung
No. Nama Kampung/Dusun Jumlah Jiwa Jumlah KK
1 Ede Kalada 1.150 188
2 Bindi 655 115
3 Anatana 1.200 194
Jumlah 3005 497
Sumber: Monografi Desa Delo, 2015
Adapun data mengenai jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Desa
Delo dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 13 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Desa Delo
No. Kelompok Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (Jiwa)
1 0 – 4 70 96 166
2 5 – 9 91 176 267
3 10 – 14 85 116 210
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
48
No. Kelompok Umur Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Total (Jiwa)
4 15 – 19 67 147 214
5 20 – 24 115 116 231
6 25 – 29 117 120 237
7 30 – 34 209 230 439
8 35 – 39 145 184 329
9 40 – 44 97 126 223
10 45 – 49 60 96 157
11 50 – 54 75 96 171
12 55 – 59 40 84 124
13 60 – 64 49 80 129
14 ≥ 65 25 39 64
Jumlah 1.245 1.760 3.005
Sumber : Monografi Desa Delo, 2015
Perkembangan jumlah penduduk dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2. 14 Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Delo dalam Kurun Waktu 1 (satu) Tahun
Tahun Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Total (Jiwa)
2014 1123 1105 2228
2015 1245 1760 3005
Sumber : Kecamatan Wewewa Selatan Dalam Angka, 2014 dan Monografi Desa Delo, 2015
Ditinjau dari segi tingkat pendidikan masyarakat secara umum terlihat bahwa masyarakat
Desa Dole sebagian besar mampu melanjutkan ke jenjang sekolah menengah sebagian lagi
sudah ada yang berpendidikan sarjana. Kondisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
secara lebih rinci disajikan pada gambar dibawah ini.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
49
Gambar 24. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Kondisi Perekonomian
Pada umumnya penduduk Desa Delo memiliki mata pencaharian pokok dari bertani,
berkebun dan beternak. Lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat Desa Delo umumnya
berupa sawah, ladang dan kebun. Hasil pertanian yang diperoleh berupa tanaman pangan
seperti padi (padi sawah dan padi ladang), jagung, kelapa, kopi dan pisang. Masyarakat
Desa Delo di dalam pengolahan lahannya kebanyakan masih menggunakan alat tradisional
seperti, parang, linggis, sabit dan cangkul untuk mengolah lahan garapannya, meskipun ada
beberapa alat yang dipakai sudah modern untuk mengolah tanah seperti traktor.
Masyarakat Desa Delo untuk keperluan memasarkan hasil produksi sudah menggunakan
mobil/motor karena fasilitas jalan desa yang baik yang menghubungkan desa menuju kota
kecamatan. Perkembangan pendididikan di Desa Delo saat ini sudah maju. Pola pikir
masyarakat sudah mulai terbuka akan pentingnya pendidikan sehingga sebagian masyarakat
sudah ada menyekolahkan anaknya baik laki-laki ataupun perempuan sampai kejenjang lebih
tinggi setingkat sarjana.
Masyarakat Desa Delo masih menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Pemberian sanksi
adat biasanya akan lebih ditaati dan ditakuti oleh masyarakat karena sanksinya merupakan
sanksi sosial dan mereka akan merasa lebih berat karena akan dikucilkan dari kehidupan
bermasyarakat sehari-hari dan bisa dikeluarkan dari adat atau tidak diikutsertakan dalam
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
Tidak Sekolah SD tidaktamat
SD Tamat SLTP SLTA D1/D2/D3 S1
Jum
lah
(jiw
a)
Tingkat pendidikan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
50
setiap proses adat yang berlaku. Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan masih terikat
dengan hukum adat. Hal ini terlihat dari hal-hal yang dikerjakan laki-laki dan perempuan
ketika akan meyelenggarakan upacara/pesta adat. Jenis-jenis kegiatan adat yang berlaku di
Desa Delo antara lain musyawarah adat, sanksi adat, upacara adat perkawinan, upacara
adat kematian, upacara adat kelahiran, upacara adat dalam pembangunan rumah dan
upacara adat dalam penyelesaian masalah/konflik.
Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi
Masyarakat Desa
Penduduk Desa Delo mayoritas sudah lama tinggal dan menetap secara turun temurun di
desa dan merupakan penduduk asli. Pada umumnya masyarakat mengetahui batas desanya
dari cerita asal usul sesepuh berupa batas yang dibuat secara adat maupun batas
administrasi. Pemukiman penduduk Desa Delo berbatasan dengan tepi kawasan hutan
dengan jalan utama menuju atau keluar kawasan hutan adalah jalan setapak.
Tingkat pengetahuan masyarakat Desa Delo terhadap keberadaan kawasan hutan sangat
tinggi. Hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil survey bahwa sebanyak 70% responden
mengetahui tentang keberadaan kawasan hutan yang ada dekat dengan tempat tinggal
mereka.
Tingkat pengetahuan terhadap kawasan hutan berpengaruh terhadap pengelolaan hutan
secara lestari. Kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan pada masa sulit sekarang ini
cenderung menurun karena kebutuhan hidup yang meningkat, harga bahan kebutuhan yang
terus naik. Hal ini berakibat semakin besarnya tekanan terhadap hutan. Namun dalam hal ini
tidak berlaku di Desa Delo karena adanya kerjasama antar pimpinan desa baik formal
maupun non formal dengan masyarakat khususnya masyarakat yang berkaitan langsung
dengan kawasan hutan dan dinas kehutanan setempat bekerja sama melakukan
pengamanan terhadap kawasan hutan agar kelestarian hutan tetap terjaga.
Masyarakat desa terpilih pada umumnya melakukan usaha di bidang pertanian dan
perkebunan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Usaha kehutanan yang
dikembangkan masyarakat belum terlihat pelaksanaannya, masyarakat desa terpilih hanya
memanfaatkan/mengambil hasil hutan non kayu seperti madu, tumbuhan obat-obatan dan
kayu bakar yang diambil dari hutan hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
saja tidak untuk dijual.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
51
C. Kecamatan Wewewa Selatan: Desa Waingamura (Kelompok Hutan
Rokoraka Matalumbu)
Sejarah Desa, Pemukiman, dan Tata Guna Lahan Desa
Berdasarkan sejarah terbentuknya desa, Desa Waimangura merupakan pusat administrasi
dari sejak zaman Kolonial Belanda. Seiring dengan perkembangan tata pemerintahan,
dengan keluarnya Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Sumba Barat Nomor: DD 12/II/I
tanggal 07 Mei 1969 mengenai Pembentukan Desa-Desa Gaya Baru di Kabupaten Daerah
Tingkat II Sumba Barat, maka terbentuklah Desa Waimangura. Dengan demikian Desa
Waimangura merupakan Desa Induk yang sudah ada sejak tahun 1969 dan sekarang pun
menjadi Ibukota Kecamatan Wewewa Barat.
Beberapa masyarakat di Desa Waimangura pernah tinggal di Wanototo yang terletak di
Kelompok Hutan Rokoraka Matalumbu, namun pemerintah meminta masyarakat untuk turun
karena akan segera dilakukan reboisasi. Walaupun sudah sejak tahun 1982 sudah dilarang
tinggal di daerah tersebut, namun masih ada beberapa masyarakat yang berladang di
tempat tersebut. Sehingga perlu dilakukan tindakan yang bijak dari pemerintah terkait
dengan perladangan di dalam hutan.
Sejarah desa penting diketahui oleh masyarakat di Desa Waimangura untuk mengetahui
perkembangan desa ini dari waktu ke waktu. Selain untuk mengetahui perubahan-perubahan
di masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi karena perubahan
tersebut.
Pola penyebaran permukiman penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh keadaan iklim,
keadaan tanah, tata air, topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di
wilayah tersebut. Dalam hubungan dengan bentang alamnya, saat ini pola permukiman di
Desa Waimangura termasuk pola pemukiman memanjang. Pola permukiman memanjang
memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel
kereta api atau pantai.
Permukiman di Desa Waimangura berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola
pemukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga
memudahkan pembangunan jalan-jalan di permukiman. Namun pola ini sebenarnya
terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi. Sarana transportasi yang
tersedia di Desa Waimangura berupa jalan, baik jalan aspal maupun jalan pengerasan
ataupun jalan tanah dengan kondisi kurang baik di beberapa titik.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
52
Gambar 25. Rumah tersebar di sepanjang jalan
Pembagian lahan di Desa Waimangura awal mulanya dilakukan oleh Kepala Suku (Suku
Beidello) yang mengatur 3 suku lainnya (We’elewo, Tegowatu dan Bondoponda).
Selanjutnya diantara keempat suku tersebut akan mengatur lahan yang telah menjadi bagian
dari setiap suku.
Pada umumnya lahan di Desa Waimangura akan diwariskan dari orang tua kepada
keturunannya. Serta seiring dengan perkembangan zaman, sebagian masyarakat telah
mensertifikatkan lahan yang dimiliki.
Namun ada beberapa masalah terkait dengan lahan di Desa Waimangura diantaranya belum
adanya penataan dan pemetaan tata guna lahan serta belum adanya prona atau proda bagi
tanah yang belum memiliki sertifikat. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi bibit konflik di
kemudian hari terkait dengan sengketa tanah.
Tabel 2.15 Luas Wilayah Desa Waimangura menurut penggunaan lahan
No. Penggunaan Tanah 2015 (Ha)
1. Permukiman *
2. Sawah dan Ladang 380
3. Ladang *
4. Kebun 500
5. Semak Belukar (bekas ladang) *
6. Padang rumput/alang-alang -
7. Hutan Rakyat/hutan tanaman rakyat 30
8. Hutan 40
9. Rawa *
Sumber : Data Monografi Desa Waimangura 2015
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
53
Kebutuhan lahan adalah kebutuhan hidup minimum. Tekanan penduduk terhadap daya
dukung lahan dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara jumlah penduduk dan
persentase petani dengan luas lahan minimal untuk hidup layak (Sumarwoto, 2003).
Berdasarkan Laporan Data RPDAS Terpadu Aesesa Provinsi Nusa Tenggara Timur (2012)
luas lahan garapan minimal untuk mendukung hidup layak seorang petani pada jenis
penggunaan lahan sawah seluas 1,4 ha/KK.
Sistem dan Struktur Masyarakat
Waimangura merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Wewewa Barat dan
sekaligus sebagai ibukota Kecamatan Wewewa Barat. Dalam urusan pemerintahan, wilayah
ini dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu oleh Sekretaris Desa dan 4 (Empat)
Kepala Urusan yaitu Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Pembangunan dan
Ekonomi, Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat serta Kepala Urusan Ketentraman dan
Ketertiban dan Keamanan.
Beberapa kelembagaan kemasyarakatan formal yang aktif di Desa Waimangura diantaranya
adalah Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Program Pemberdayaan Keluarga (PKK) Perlindungan
Masyarakat (Linmas) serta Karang Taruna. Kondisi saat ini lembaga-lembaga
kemasyarakatan belum maksimal dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam
perencanaan dan pembangunan Desa. Tugas pokok dan fungsi kelembagaan masyarakat
harus dioptimalkan untuk meningkatkan daya dukung terhadap kinerja pemerintahan, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Desa Waimangura, ada beberapa orang yang
mempunyai pengaruh wibawa sehingga disegani dan dihormati serta dapat dijadikan
pemimpin atau pameran baik formal maupun nonformal atau yang biasa dikenal dengan
tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat formal yang ada di Desa Waimangura diantaranya
adalah Kepala Desa, Sekeretaris Desa, Kepala Seksi di Desa serta aparat-aparat Desa
lainnya. Sedangkan tokoh non formal di Desa Waimangura diantaranya adalah pendeta,
pastor serta tokoh-tokoh adat (Rato).
Tokoh formal berperan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan Desa Waimangura.
Sedangkan tokoh non formal mempunyai peran penting dalam penyelesaian masalah tanah,
batas tanah, klaim kepemilikan, pemanfaatan atas tanah, membantu warga dalam urusan
pesta baik pernikahan maupun kematian. Salah satu peran nyata Rato dalam kehidupan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
54
sosial yaitu membantu warga dalam urusan pernikahan, kematian, dan pesta huru-hara.
Dengan demikian tokoh formal maupun non formal memiliki peran yang sangat besar dalam
tatanan kehidupan sosial di Desa Waimangura.
Berdasarkan hasil analisis data primer, sebagian besar responden merupakan penduduk asli
yang secara turun temurun tinggal di wilayah ini dan telah menetap lebih dari 20 tahun
(Tabel 16.). Namun demikian penduduk di Desa Waimangura memiliki sifat yang terbuka
terhadap perubahan. Hal ini terlihat dari adanya suku pendatang yang berasal dari daerah
lain seperti dari Jawa, Nusa Tenggara Barat maupun wilayah lainnya. Berdasarkan sejarah
Desa Waimangura, sejak zaman dulu penduduk di desa ini bersifat terbuka terhadap
pendatang yang akan diharapkan akan memajukan Desa Waimangura.
Waimangura merupakan salah satu unit pemerintahan terkecil yang berbentuk Desa di
Kecamatan Wewewa Barat Kabupaten Sumba Barat Daya. Desa Waimangura dipimpin oleh
seorang Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat setiap 6 (enam) tahun sekali.
Walaupun dipilih secara langsung oleh masyarakat namun Kepala Desa yang terpilih
merupakan keturunan raja di Waimangura.
Di dalam struktur pemerintahan, Desa Waimangura dipimpin oleh Kepala Desa yang dibantu
oleh beberapa Kepala Urusan (Kaur). Adapun Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa Waimangura sesuai dengan Peraturan Desa Waimangura Nomor 01
Tahun 2011 sebagai berikut:
- - - - - - -
Gambar 26. Struktur organisasi Desa Waimangura
BPD KADES
Sekretaris Desa
Kaur Pemerintahan
Kaur Pembangunan dan Ekonomi
Kaur Kesra Kaur Trantib
Kepala Dusun I Kepala Dusun II
Kepala Dusun III
Kepala Dusun IV
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
55
Berdasarkan struktur di atas dapat terlihat bahwa secara formal, Desa Waimangura dipimpin
oleh Kepala Desa serta dibantu oleh Sekretaris Desa dan 4 (empat) Kepala Urusan. Setiap
kepala urusan telah memiliki perannya masing-masing dalam pembangunan. Desa
Waimangura terbagi menjadi 4 (empat) Dusun yaitu Dusun 1 (Mikku Ate), Dusun 2 (Lolo
Ramo), Dusun 3 (Dimu Dede), dan Dusun IV (Kabu Roto) serta terbagi menjadi 4 Rukun
Warga dan 19 Rukun Tetangga (RT).
Selain pemerintahan desa, di Desa Waimangura terdapat Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) yang berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama dengan Kepala Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Jumlah anggota BPD Desa Waimangura
periode 2011-2015 sebanyak 7 (tujuh) orang. Selain BPD terdapat beberapa lembaga
masyarakat desa yang ada di Desa Waimangura. Untuk lebih lengkap mengenai lembaga
masyarakat dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.16 Lembaga-lembaga di Desa Waimangura
No. Nama Lembaga Jumlah Anggota (orang)
1. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 7
2. Lembaga Kemasyarakatan 35
3. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM)
4
4. PKK 24
5. Linmas 20
6. Karang Taruna Seluruh pemuda Desa Waimangura
7. Desa Waimangura Yangu Kesenian 15
8. Kumpulan Gereja Kristen Sumba Seluruh masyarakat Desa Waimangura
9. Muda Mudi Katolik (Mudika) Seluruh pemuda Desa Waimangura
Sumber : Data Sekunder Daftar Isian Sosial Budaya Desa Waimangura
Selain lembaga formal seperti pada tabel di atas, di Dusun Lenggara Desa Waimangura juga
terdapat lembaga adat namun belum berbadan hukum. Lembaga adat ini dipimpin oleh
Ketua Suku (Rato). Fungsi pokok lembaga adat di Desa Waimangura adalah untuk
musyawarah adat. Lembaga adat memiliki peran yang besar dalam urusan pesta adat seperti
pesta huru-hara, pesta kematian, pesta masuk rumah, pesta panen dan pesta kawin.
Selain tokoh formal, masyarakat juga menghormati tokoh-tokoh non formal seperti tokoh
agama dan tokoh adat. Tokoh agama yang dihormati adalah pendeta dan pastor, sedangkan
tokoh adat yang dihormati adalah Ketua Adat yang dikenal dengan sebutan Rato.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
56
Masyarakat Desa Waimangura cukup heterogen, sebagian besar masyarakat merupakan
penduduk asli serta turun temurun tinggal di desa tersebut. Namun ada beberapa orang
yang tinggal menetap dengan alasan mencari nafkah.
Hubungan kekerabatan antar penduduk Desa Waimangura sangat kental dan masih
dipertahankan sampai saat ini. Hubungan kekerabatan yang mengikat antar penduduk di
Desa Waimangura didasarkan pada keturunan, ikatan perkawinan dan tempat tinggal.
Hubungan kekerabatan berdasarkan keturunan di Desa Waimangura mengikuti garis
keturunan dari pihak ayah (patrilinear), sebagai contoh untuk nama keturunan mengikuti
fam dari pihak ayah. Sedangkan untuk hubungan kekerabatan berdasarkan ikatan
perkawinan, ikatan perkawinan bukan hanya mengikat antara laki-laki dan perempuan
namun mengikat keluarga secara luas. Kesamaan tempat tinggal juga menjadikan
kekerabatan diantara penduduk di Desa Waimangura semakin tinggi.
Kependudukan
Jumlah penduduk di Desa Waingamura semakin meningkat dari tahun ke tahun terutama
antara tahun 2012 dan 2013 terlihat pertambahannya cukup signifikan sebagaimana
ditunjukkan pada gambar berikut:
Gambar 27. Jumlah Penduduk Desa Waimangura Tahun 2012-2013
Ketersediaan angkatan kerja di suatu desa dapat dijadikan salah satu tolak ukur untuk
menentukan produktivitas penduduk. Berdasarkan data pada Tahun 2010, jumlah penduduk
di Desa Waimangura terbanyak berada pada kelompok umur 0-19 tahun. Lebih jelasnya data
penduduk berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut:
4460
4470
4480
4490
4500
4510
4520
4530
4540
2012 2013
Jum
lah
Pen
du
du
k
Tahun
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
57
Tabel 2.17 Jumlah Penduduk Desa Waimangura berdasarkan kelompok umur
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
0-04 247 255 502
05-09 271 261 532
10-14 281 258 539
15-19 254 235 489
20-24 157 114 271
25-29 127 133 260
30-34 152 135 287
35-39 120 130 250
40-44 98 92 190
45-49 86 96 182
50-54 66 66 132
55-59 45 51 96
60-64 34 38 72
65-69 29 25 54
70-74 25 20 45
75+ 25 32 57
Jumlah 2.017 1.941 3.958
Sumber: Kecamatan Wewewa Barat dalam Angka Tahun 2011
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 2.062 jiwa (52,09%)
penduduk Desa Waimangura berumur 0-19 tahun, 1.668 jiwa (42,14%) penduduk Desa
Waimangura berumur 20-69 tahun dan 171 (4,32%) jiwa penduduk berumur lebih dari 60
tahun. Dengan demikian, jumlah penduduk usia produktif lebih sedikit persentasenya
dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.
Tingkat pendidikan masyarakat Waimangura secara umum mengalami peningkatan dari
Tahun 2012 – 2013. Untuk lebih lengkapnya mengenai perkembangan tingkat pendidikan
penduduk Desa Waimangura pada tahun 2012-2013 dapat dilihat pada diagram berikut:
Gambar 28. Perbandingan Tingkat Pendidikan Desa Waimangura Tahun 2012 dan 2013
0
5
10
15
20
25
30
35
Tidak/Belum pernahsekolah
Tidak/Belum TamatSD
SD SLTP/sederajat SLTA Akademi/universitas
jum
lah
(o
ran
g)
jenjang pendidikan
2012
2013
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
58
Berdasarkan data pada tabel diatas terlihat bahwa 70%, responden hanya mengenyam
pendidikan sekolah sampai tingkat SD. Sarana pendidikan formal yang ada Desa
Waimangura yaitu TK, SD, SMP serta SMK baik negeri maupun swasta. Dengan demikian
maka sarana bukan masalah bagi penduduk di Desa Waimangura untuk melanjutkan
pendidikan.
Sebanyak 68,71% penduduk Desa Waimangura memeluk agama Kristen Protestan,
sedangkan penduduk lainnya memeluk agama Islam, Katholik, Budha dan Hindu. Adapun
sarana ibadah yang ada di Desa Waimangura sebanyak 7 (tujuh) buah gereja Kristen serta 1
(satu) buah gereja Katholik.
Dalam melakukan kehidupan sehari-hari, masyarakat di Desa Waimangura melakukan
kegiatan secara bersama-sama. Lebih jelasnya mengenai kegiatan gotong royong yang biasa
dilakukan di Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. 18 Jenis kegiatan dan frekuensi gotong royong setahun terakhir
No. Jenis Kegiatan Gotong Royong Rata-rata jumlah warga yang terlibat
1. Membangun Rumah 15-30 orang
2. Membersihkan Jalan Desa Seluruh masyarakat
3. Kerja Kebun 10-20 orang
4. Kerja Sawah 10-20 orang
5. Kebersihan Lingkungan Hidup Seluruh masyarakat
6. Kebersihan Sarana Umum Seluruh warga
7. Penanaman Pohon Seluruh warga
Sumber : Data Sekunder Daftar Isian Sosial Budaya Desa Waimangura
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Penduduk Desa Waimangura secara umum bermatapencaharian sebagai petani, yaitu
sebanyak 613 orang (40,17%), sisanya merupakan pegawai/pensiunan, pendagang,
pengrajin/industry kecil, dan jasa lainnya. Hal tersebut selaras dengan hasil analisis data
primer, dimana 90% responden bekerja di bidang pertanian.
Bidang pertanian menjadi pilihan utama penduduk Desa Waimangura dalam mencari nafkah.
Komoditi yang diperoleh masyarakat dari hasil bertani diantaranya adalah padi, jagung,
kacang nasi, dan ubi kayu. Berdasarkan data pada RPJMDes, potensi tanaman pangan di
Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
59
Tabel 2.19 Potensi Tanaman Pangan di Desa Waimangura
Sumber : Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM Desa Waimangura 2012-2018
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa produktivitas tanaman pangan mengalami
peningkatan dari tahun 2012-2013. Hal ini dikarenakan adanya upaya ekstensifikasi dan
intensifikasi pertanian tanaman pangan yang disertai dengan perbaikan metode dan
teknologi pra panen. (RPJMDes Desa Waimangura Tahun 2012-2018)
Dalam menunjang usaha pertanian di Desa Waimangura telah dibangun irigasi untuk
mengairi sawah. Adanya irigasi ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman
pangan terutama padi.
Gambar 29. Irigasi dan Sawah di Desa Waimangura
Selain itu penduduk di Desa Waimangura memiliki kebiasaan untuk menanam sayuran di
pekarangan. Mayoritas penduduk di Desa Waimangura mengkonsumsi sendiri sayuran yang
ditanam. Namun jika musim kemarau, maka penduduk akan memanfaatkan daun ubi kayu
dan daun pepaya yang ditanam di pekarangan rumah sebagai sayur.
Tanaman Pangan Uraian Tahun
2012 2013
Padi
Luas Panen (Ha) 380 410
Produksi Gabah (Ton) 177,5 190
Produktivitas (ton/ha) 0,5 0,5
Jagung
Luas Panen (Ha) 455 500
Produksi (Ton) 361 405
Produktivitas (ton/ha) 0,8 0,8
Kacang Nasi
Luas Panen (Ha) 28 30
Produksi (Ton) 9 12
Produktivitas (ton/ha) 0,3 0,42
Ubi Kayu
Luas Panen (Ha) 32 40
Produksi (Ton) 15,8 19,87
Produktivitas (ton/ha) 0,5 0,5
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
60
Gambar 30. Pemanfaatan Pekarangan rumah
Desa Waimangura merupakan salah satu desa yang subur, cocok untuk ditanami berbagai
jenis buah-buahan diantaranya durian, rambutan, alpukat, juga kedondong. Namun menurut
informasi dari masyarakat curah hujan di Desa Waimangura mengalami penurunan dari
tahun ke tahun dikarenakan adanya perusakan hutan.
Selain bertani masyarakat di Desa Waimangura juga memiliki usaha beternak. Secara umum
hasil ternak penting bagi masyarakat Sumba terutama digunakan untuk acara adat.
Sehingga dari segi perekonomian, hasil ternak tidak akan meningkatkan pendapatan jika
digunakan sendiri untuk acara adat. Untuk lebih jelasnya mengenai kondisi ternak yang ada
di Desa Waimangura dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.20 Perkembangan populasi ternak di Desa Waimangura
No Jenis Ternak Tahun Perkembangan
2012 2013 (%)
1 Kerbau 274 302 0,25
2 Sapi 18 21 0,025
3 Kuda 149 160 0,10
4 Kambing 172 193 0,18
5 Babi 1091 1193 0,93
6 Unggas (Ayam dan Bebek)
2146 2203 0,55
Rata-Rata 0,34
Sumber : RPJM Desa Waimangura 2012-2018
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kenaikan populasi tertinggi adalah jenis ternak babi
sedangkan yang terendah adalah sapi. Selain bertani dan berkebun, masyarakat di Desa
Waimangura mengembangkan usaha sektor perkebunan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
61
Tabel 2.21 Produktivitas Perkebunan di Desa Waimangura
No Komoditi Uraian Tahun
2012 2013
1. Kelapa Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 31 35
Produksi (Ton) 4 5
Produktifitas (%) 12,9 14,28
2. Jambu Mente Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 18 18
Produksi (Ton) 2 1,5
Produktifitas (%) 11,11 8,3
3. Kemiri Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 350
Produksi (Ton) 150 160
Produktifitas 50 45,71
4. Kopi Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 95 100
Produksi (Ton) 9,5 12
Produktifitas (%) 10 12
5. Pinang Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 50 100
Produksi (Ton) 15 20
Produktifitas (%) 30 20
6. Kakao Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 420
Produksi (Ton) 30 45
Produktifitas (%) 10 11,25
7. Pisang Luas Areal Tanaman menghasilkan (Ha) 300 400
Produksi (Ton) 600 650
Produktifitas (%) 200 162,5
Sumber : RPJM Desa Waimangura 2012-2018
Berdasarkan tabel diatas diketahui dalam kurun waktu 2011-2012, dari ketujuh komoditi
yang dikembangkan masyarakat di Desa Waimangura ketiga diantaranya (Kelapa, Kopi,
Kakao) mengalami peningkatan produktivitas. Sedangkan keempat komoditi lainnya (Jambu
mente, Kemiri, Pisang, dan Pinang) mengalami penurunan produktivitas. Secara umum
peningkatan produktivitas dipengaruhi oleh perluasan areal tanam (ekstensifikasi).
Untuk mendukung perekonomian di suatu wilayah diperlukan sarana ekonomi yang cukup
memadai. Sarana perekonomian di Desa Waimangura cukup lengkap, hal ini dikarenakan
Waimangura merupakan ibukota Kecamatan Wewewa Barat. Dengan tersedianya sarana
perkonomian yang cukup lengkap maka diharapkan akan meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
62
Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi
Masyarakat
Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan baik
yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut.
Masyarakat sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas,
tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik
bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang
menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat sekitar hutan yang menyangkut
sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya
hutan sebaik-baiknya (FWI dan GFW, 2001).
Desa Waimangura merupakan salah satu wilayah yang berada di sekitar kawasan hutan
Rokoraka Matalumbu (RTK.45) sehingga penduduk di Desa Waimangura memiliki peranan
yang sangat besar. Berdasarkan hasil analisa data primer, sebagian besar responden
memiliki pengetahuan yang baik terhadap kawasan hutan Rokoraka Matalumbu (RTK.45)
baik tentang batas kawasan hutan dengan desa (pal batas) maupun tentang kondisi hutan
Rokoraka Matalumbu. Dengan demikian penduduk di Desa Waimangura secara umum
mengakui tentang keberadaan kawasan hutan Rokoraka Matalumbu.
Informasi tentang kawasan hutan Rokoraka Matalumbu diperoleh masyarakat secara turun
temurun dari petugas kehutanan/aparat dan orang tua. Peran petugas kehutanan dalam hal
ini mantan petugas kehutanan sangat penting. Dikarenakan ada mantan petugas kehutanan
yang tinggal dan menetap tinggal di Desa Waimangura hingga pensiun. Sehingga peran
tokoh ini cukup penting dalam menjaga kelestarian hutan meski sudah tidak aktif berdinas.
Selain itu di Desa Waimangura juga ada Kantor KRPH (Kepala Resort Pemangkuan Hutan)
Wewewa Barat. Sehingga petugas kehutanan sering berkantor dan berpatroli ke wilayah
tersebut.
Ada 3 (tiga) pihak yang berperan dalam menjaga eksistensi kawasan hutan di Desa
Waimangura yaitu penduduk sekitar kawasan, pemerintah dan tokoh adat. Penduduk sekitar
kawasan hutan Rokoraka Matalumbu mengakui keberadaan kawasan hutan yang berada di
sekitar pemukiman yang hanya dipisahkan oleh jalan raya. Walaupun dalam kehidupan
sehari-hari masih ada masyarakat yang berladang di dalam kawasan hutan, mangambil kayu
dan bambu untuk membuat rumah, dan memanfaatkan kawasan hutan dengan mengambil
hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti Kemiri, Jambu Mete, dan Madu.
Adapun peranan pemerintah Desa Waimangura dalam sektor kehutanan sampai saat ini
dirasakan cukup baik, hal tersebut dibuktikan dengan pengakuan pemerintah desa akan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
63
kawasan hutan dan pemerintah desa akan bertindak keras terhadap oknum perusak hutan
dan akan diproses secara hukum.
Sedangkan peranan tokoh adat di Desa Waimangura dalam menjaga keberadaan hutan
cukup besar dimana ada aturan secara tidak tertulis tentang larangan merusak hutan dan
ada sanksi adat terhadap perusak hutan.
Masyarakat, pemerintah maupun tokoh adat memiliki peran masing-masing dalam menjaga
keberadaan hutan dan diharapkan ketiga pihak tersebut terus bersinergi serta mampu
memaksimalkan perananannya masing-masing.
Fungsi utama kawasan hutan Rokoraka Matalumbu bagi masyarakat di Desa Waimangura
saat ini adalah sebagai sumber mata pencaharian yaitu sebagai tempat mengambil kemiri
dan jambu mete.
Analisis Usaha Kehutanan dan Tani Masyarakat
Secara ekologi manusia merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya. Manusia
terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia membentuk lingkungan
hidupnya. Kelangsungan hidupnya hanya mungkin dalam batas kemampuannya untuk
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan hidup. Dengan demikian maka semua
aspek kehidupan penduduk Desa Waimangura akan berpengaruh terhadap kawasan hutan
Rokoraka Matalumbu termasuk mata pencaharian penduduk.
Berdasarkan hasil analisa data primer, 80% responden yang memiliki kegiatan ekonomi
terkait dengan mengelola dan memanfaatkan kawasan hutan. Kedelapan Kepala Keluarga
(KK) tersebut bermata pencaharian utama mengambil Kemiri dan dan Jambu Mete dari
dalam kawasan hutan. Hasil yang diperoleh dari hutan baik kemiri maupun jambu mete
cukup membantu perekonomian keluarga.
Pemerintah Desa Waimangura melalui RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) Tahun
2014, terdapat program peningkatan ekonomi terkait dengan kehutanan dan perkebunan.
Pemerintah Desa menetapkan kegiatan wajib tanam tanaman kehutanan setiap tahun 10
pohon per KK berupa (Kelapa, pisang, mahoni, jati, dan Gmelina). Program kegiatan ini
diharapkan akan meningkatkan perekonomian rumah tangga. Selain itu pohon yang ditanam
bisa menjadi investasi untuk membangun rumah anak cucu kedepannya. Dengan demikian
maka Hutan Keluarga ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan kayu tanpa merusak
kawasan hutan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
64
Ada 5 (lima) komoditi yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan oleh masyarakat di
Desa Waimangura yaitu Jati, Gmelina, Mahoni Kemiri dan Jambu Mete. Masyarakat yang
memiliki lahan luas akan memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam tanaman tanaman
keras tersebut seperti Jati dan Mahoni. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
menanam tanaman kehutanan, Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan
Kabupaten Manggarai Barat bekerja sama dengan UPT Kementerian Kehutanan untuk
menyediakan bibit-bibit tanaman kehutanan.
Masyarakat Desa Waimangura mengharapkan Pemerintah Daerah untuk melibatkan
masyarakat dalam mengamankan hutan seperti menjadikan penduduk sebagai pengaman
hutan.
Penduduk Desa Waimangura sebagai salah satu masyarakat yang berada di sekitar Kawasan
Hutan Rokoraka Matalumbu memiliki peranan yang sangat penting. Dengan demikian maka
penduduk Desa Waimangura harus dilibatkan dalam pengelolaan kawasan hutan Rokoraka
Matalumbu. Masyarakat mengharapkan bisa menggarap tegakan Gmelina dan Jambu mete
yang ada di dalam kawasan dan melakukan tumpang sari dengan tanaman pertanian.
Ada beberapa program pemberdayaan masyarakat yang bisa dilaksanakan terkait dengan
pengelolaan kawasan hutan diantaranya Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) serta Hutan Desa (HD). Dengan dilibatkannya masyarakat dalam mengelola
kawasan hutan maka diharapkan kelestarian hutan Rokoraka Matalumbu akan tetap lestari
tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat.
D. Kecamatan Wewewa Timur: Desa Dikira (Kelompok Hutan Lamboya)
Sejarah Desa, Pemukiman, dan Tata Guna Lahan Desa
Desa Dikira terbentuk pada tahun 1961 dan telah mengalami pergantian kepala desa
sebanyak 5 (lima) kali. Pada mulanya Desa Dikira masuk dalam wilayah pemerintahan
Kabupaten Sumba Barat hingga pada tahun 2007 terjadi pemekaran kabupaten dan masuk
dalam wilayah administrasi Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya
berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2007.
Masyarakat Dikira terdiri dari 4 (empat) suku besar yaitu suku Beaka, suku Welewo, suku
Wanga dan suku Nuratta. Suku yang paling besar adalah suku Beaka dengan kepala suku
yaitu Daniel N.G. Dappa yang saat ini menjabat sebagai kepala Desa Dikira. Terdapat 4
(empat) dusun dalam struktur pemerintahan desa yaitu Dusun Rodanna, Dusun Katamawee,
Dusun Bondowunuta, dan Dusun Puuede. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa
Wewewa.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
65
Perumahan penduduk Dikira tidak tertata dalam suatu kompleks pemukiman yang kompak
sehingga penduduk masih hidup terpencar. Terdapat 2 (dua) kelompok besar Permukiman
penduduk yaitu pemukiman yang tersebar di tepi hutan (KH Yawila) dan pemukiman yang
tersebar di tepi sungai Polapare. Pemukiman penduduk umumnya masih sederhana berupa
rumah panggung yang terbuat dari bambu dan beratapkan seng atau alang-alang, dan
beberapa rumah yang telah dibangun permanen.
Terdapat keunikan bentuk atap pada bangunan rumah masyarakat Sumba Barat Daya secara
umum termasuk di Desa Dikira yang dibuat menjulang tinggi pada bagian tengah atap
berbentuk segi empat dimana semakin ke atas semakin mengecil seperti bentuk pasak. Pada
rumah tradisional yang berupa rumah panggung terdapat 3 (tiga) lantai dimana lantai 1
berupa lantai tanah yang merupakan tempat hewan ternak, lantai 2 untuk tempat tinggal
penghuni rumah, lantai 3 di atas plafon langsung di bawah atap adalah tempat penyimpanan
bahan makanan.
Gambar 31. Bentuk bangunan rumah di Desa Dikira
Pembagian lahan pertanian maupun lahan untuk permukiman dilakukan pada pemerintahan
kepala desa Dikira yang pertama yaitu Bapak Manu Lede. Penggunaan lahan di desa Dikira
berupa tanah kering yaitu sebagai Lahan Pertanian, pemukiman, dan lainnya. Adapun luas
wilayah menurut penggunaan tanah di desa Dikira hingga akhir tahun 2014 dapat dilihat
pada Tabel 2.23.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
66
Tabel 2.22 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah di Desa Dikira
No. Penggunaan Tanah Luas
LUAS (Km2) 20,35
1. Lahan Pertanian (Ha) 275
2. Pemukiman dan Pekarangan(Ha) 20,16
3. Lainnya (Ha) 1739.84
Sumber : Kecamatan Wewewa Timur dalam angka 2015
Kepemilikan lahan masyarakat untuk pertanian umumnya merupakan warisan turun temurun
yang letaknya berbatasan dengan kawasan hutan dan bersifat permanen sehingga
masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan. Penggunaan
lahan di Desa Dikira yang terbatas juga disebabkan faktor keadaan topografi wilayah yeng
berbukit-bukit. Batas kepemilikan lahan pertanian penduduk biasanya dibatasi dengan
menggunakan tanaman kelapa atau jenis pohon tertentu.
Saat ini sedang terjadi konflik lahan tempat pembangunan kantor kepala desa yang terpaksa
dihentikan proses pembangunannya. Faktor penyebabnya adalah lahan tersebut merupakan
tanah warisan milik penduduk suku yang tidak mendukung terpilihnya kepala desa. Hingga
saat ini belum ada proses penyelesaian masalah baik secara adat maupun secara hukum.
Sistem dan Struktur Masyarakat
Desa Dikira mayoritas penduduknya memiliki sistem dan struktur masyarakat yang homogen,
yaitu merupakan penduduk asli dan turun temurun lahir, tinggal, dan berkreasi di desa
tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, hubungan kekerabatan antar penduduk sangat
kental terjalin. Garis keturunan masyarakat adalah patrilineal. Agama/kepercayaan penduduk
desa Dikira mayoritas adalah agama Protestan dan Khatolik.
Adapun adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Desa Dikira diantaranya adalah
adat istiadat dalam upacara pernikahan. Dalam upacara adat pernikahan terdapat beberapa
tahapan adat yang mengharuskan pihak keluarga laki-laki untuk menyediakan ternak kerbau
yang akan dijadikan sebagai mas kawin dan sebagai syarat untuk memohon restu pada
orangtua serta keluarga dari pihak perempuan. Jumlah kerbau yang diminta tergantung
pada status sosial keluarga pihak perempuan, dimana semakin tinggi status sosial keluarga
pihak perempuan maka jumlah kerbau untuk mas kawin semakin banyak. Upacara
pernikahan biasanya dilangsungkan di rumah mempelai laki-laki.
Selain itu terdapat upacara-upacara adat untuk melakukan kegiatan menanam pada lahan
pertanian maupun kegiatan panen, dan juga sebelum melakukan pembangunan rumah adat
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
67
atau rumah penduduk. Setiap suku di Desa Dikira mempunyai tempat khusus yang
dikeramatkan untuk kegiatan ritual adat tersebut. Suku Beaka misalnya mempunyai tempat
pelaksanaan ritual yang berlokasi di Mangora, suku Welewo mempunyai lokasi ritual yang
berlokasi di Loko, begitu juga dengan dua suku yang lainnya mempunyai tempat
pelaksanaan ritual yang berbeda.
Dalam pembangunan desa masyarakat ikut berperan aktif didalamnya seperti peran serta
masyarakat dalam pembangunan desa, semangat kegotongroyongan masyarakat Desa Dikira
juga ada dalam berbagai kegiatan. Sebagai contohnya adalah adanya kegiatan gotong
royong saat ada kematian penduduk desa, gotong royong dalam kegiatan tanam dan panen
padi di sawah, pembersihan kebun, pembangunan rumah, dan lain-lain.
Di Desa Dikira juga terdapat lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan. Sarana kelembagaan
tersebut baik berupa lembaga formal maupun informal yang bermanfaat bagi kehidupan
bermasyarakat penduduk desa. Adapun lembaga masyarakat tersebut diantaranya adalah
lembaga sosial ekonomi masyarakat berupa 2 (dua) unit Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi
tersebut diantaranya Koperasi Anggur Merah yang merupakan program pemerintah Provinsi
Nusa Tenggara Timur dan Koperasi Cahaya Bapa yang dibentuk oleh gabungan kelompok
tani (Gapoktan) Cahaya Bapa. Lembaga sosial budaya diantaranya gereja sebagai lembaga
kerohanian bagi masyarakat baik umat Protestan maupun Khatolik.
Kehidupan sosial budaya sehari-hari penduduk Desa Dikira hampir semuanya dipengaruhi
oleh adat istiadat daerah setempat. Norma adat ini mempengaruhi kehidupan masyarakat
baik hubungan sosial masyarakat maupun hubungan masyarakat dengan alam. Sistem garis
keturunan dan hubungan kekerabatan penduduk Desa Dikira masih berpegang pada prinsip
patrilineal.
Pertambahan penduduk Desa Dikira dipengaruhi oleh faktor-faktor diantaranya kelahiran,
kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar.
Tata kehidupan penduduk Desa Dikira umumnya terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku, dan dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan adat-istiadat yang ada di desa Dikira dan juga garis keturunan
menurut marga-marga suku yang dipimpin oleh masing-masing kepala suku.
Tabel 2.23 Nama suku yang ada di Desa Dikira beserta nama Kepala Suku
No. Nama Suku Nama Kepala Suku
1. Suku Beaka Daniel N.G Dappa
2. Suku Welewo Yusuf Rewa
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
68
No. Nama Suku Nama Kepala Suku
3. Suku Wonga Alfonsus Lendetera
4. Suku Nuratta NG. Umbu Leba
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
2. Sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas
kesatuan wilayah/territorial administrasi (perbekelan/kelurahan) yang pada umumnya
terpecah lagi menjadi kesatuan sosial yang lebih kecil yaitu dusun. Di desa Dikira terdapat
4 (empat) dusun dengan jumlah penduduk pada masing-masing dusun adalah sebagai
berikut.
Tabel 2. 24 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Dusun
No. Nama Dusun Jumlah Kepala Keluarga (KK)
1. Dusun Rodanna 104
2. Dusun Katamawee 86
3. Dusun Bondowunuta 68
4. Dusun Puuede 78
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Dari sistem kemasyarakatan yang ada tersebut maka warga desa dapat masuk menjadi dua
keanggotaan warga desa ataupun satu keanggotaan, yaitu sistem pemerintahan desa dinas
sebagai wilayah administratif dan atau desa dengan kehidupan masyarakat setempat
berdasarkan hukum adat.
Kependudukan
Penduduk Desa Dikira mengakui adanya kawasan hutan di wilayah tempat tinggalnya.
Keberadaan KH Yawila (RTK. 2) di sekitar Desa Dikira secara langsung dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan akan kayu juga menjadi penyangga sumber mata air. Adapun data
jumlah penduduk Desa Dikira disajikan pada Tabel 2.25.
Tabel 2.25 Jumlah Penduduk Desa Dikira Pada Akhir Tahun 2014
No. Desa Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan
1. Dikira 1598 818 780
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Jumlah penduduk desa setiap tahun bervariasi jika dilihat dari grafik pertambahan penduduk
5 (lima) tahun terakhir berikut ini.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
69
Gambar 32. Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (Lima) Tahun Terakhir
Laju pertumbuhan penduduk Desa Dikira selama 5 (lima) tahun terakhir dapat dihitung
dengan rumus : (p1-po) x 100/po, dimana po adalah jumlah penduduk tahun awal, dan p1
adalah jumlah penduduk tahun akhir, maka diperoleh nilai 2,70 %. Berdasarkan RPJMD NTT
(2009-2014), nilai laju pertumbuhan penduduk (r) termasuk dalam kategori Laju
pertumbuhan penduduk tinggi (> 2%).
Di Desa Dikira sudah terdapat sarana dan prasarana pendidikan yaitu adanya sekolah TK dan
SD dan SLTP. Konsidi bangunan TK dan SD dalam kondisi baik dan layak. Untuk jenjang
yang lebih tinggi, masyarakat Desa Dikira pada umumnya menyekolahkan anaknya ke
ibukota kecamatan atau ke ibukota kabupaten. Jumlah penduduk menurut tingkat
pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.26 Jumlah Penduduk Desa Dikira Menurut Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Persentase (%)
1. Tamat SD 250 15,64
2. Tamat SLTP 100 6,25
3. Tamat SLTA 20 1,25
4. Tamat D1/D2/D3/S1 0 0
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Tingkat pendidikan di Desa Dikira masih sangat rendah karena hanya sebagian kecil
penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP dan SLTA bahkan belum ada penduduk yang
menamatkan pendidikan pada perguruan tinggi. Kesadaran penduduk Desa Dikira akan
pentingnya pendidikan masih sangat rendah. Masyarakat lebih cenderung memelihara ternak
bahkan menyiapkan biaya untuk kepentingan adat istiadat dibandingkan menjual ternaknya
untuk biaya sekolah anak.
750 758 813 798 818
663 670 735 758 780
2011 2012 2013 2014 2015
Grafik 2. Jumlah Pertambahan Penduduk Desa Dikira 5 (lima) Tahun Terakhir
Laki-laki Perempuan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
70
Mayoritas penduduk Desa Dikira menganut agama Kristen Protestan dan Khatolik.
Penyebaran agama Kristen Protestan di Pulau Sumba merupakan peran dari bangsa Belanda.
Sedangkan penyebaran agama Khatolik di Sumba Barat Daya dan sekitarnya pertama kali
dilakukan oleh misionaris-misionaris Jesuit dari pulau Jawa dan dilanjutkan oleh misionaris
dari Flores.
Mayoritas penduduk di Desa Dikira memeluk agama Kristen dan Khatolik, dan penduduk
lainnya beragama Islam. Adapun sarana ibadah yang ada di Desa Waimangura sebanyak 4
(empat) buah gereja Kristen serta 2 (dua) buah gereja Khatolik.
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Sebagian besar penduduk Desa Dikira menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian
berupa padi dan jagung. Hasil pertanian menjadi sumber ekonomi masyarakat Desa Dikira.
Jumlah petani serta luas produksi tanaman pertanian setahun terakhir dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2.27 Jumlah Petani serta Luas Produksi Tanaman Pertanian di Desa Dikira
NO. Jenis Komoditi Jumlah Petani
(kk)
Luas Areal
(Ha)
Produksi Per Hektar
(ton/ha)
A. Tanaman Pangan
1. Padi Sawah 100 275 10
2. Padi Ladang -
3. Jagung 300 10
B. Tanaman Tahunan
1. Kelapa 300 -
2. Pinang 300 -
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Hasil-hasil pertanian masyarakat lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-
hari. Untuk menopang perekonomian, masyarakat memiliki banyak sekali hasil perkebunan
dan hasil buah-buahan yang dijual. Tanaman tahunan seperti kelapa dan pinang rata-rata
dimiliki sebanyak 2-3 pohon oleh setiap KK untuk dimanfaatkan sendiri.
Selain hasil pertanian dan perkebunan, masyarakat juga memelihara ternak dengan jenis
dan jumlah disajikan dalam tabel berikut ini.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
71
Tabel 2.28 Jumlah Ternak di Desa Dikira
NO. Jenis Ternak Jumlah
1. Kerbau 40
2. Sapi 5
3. Kuda 30
4. Babi 500
5. Kambing 100
6. Ayam 1000
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Ternak selain untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual, biasanya digunakan untuk upacara-
upacara adat, seperti Kerbau sebagai mas kawin dalam upacara adat pernikahan, ayam
digunakan dalam upacara adat kematian. Menurut pengakuan masyarakat bahwa jumlah
ternak kerbau berkurang drastis karena wabah penyakit sura yang pernah menyerang
beberapa waktu yang lalu.
Jumlah sarana ekonomi yang terdapat di Desa Dikira sampai dengan akhir tahun 2014 dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2. 29 Jumlah Sarana Ekonomi di Desa Dikira
No. Sarana Ekonomi Jumlah
1. Penggilingan padi 2
2. Ojek Motor 10
3. Truk 1
4. koperasi 2
5. Pick Up 1
Sumber : Data Monografi Desa Tahun 2015
Penggilingan padi pada Desa Dikira salah satunya merupakan milik Gapoktan Cahaya Bapa
yang dapat dimanfaatkan oleh anggota kelompok tani tersebut.
Fasilitas kesehatan berupa Posyandu dan Polindes telah dimanfaatkan masyarakat walaupun
masih sangat terbatas karena tidak tersedianya tenaga medis yang memadai. Penanganan
masalah kesehatan berupa penyakit ringan langsung ditangani oleh bidan di polindes,
sedangkan penyakit berat biasanya dirujuk ke puskesmas kecamatan atau ke Rumah Sakit
Umum di Tambolaka. Jenis penyakit yang sering diderita oleh penduduk Desa Dikira adalah
penyakit Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Menurut pengakuan masyarakat
bahwa hampir setiap bulan terdapat penduduk yang mengalami penyakit Malaria.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
72
Masyarakat Desa Dikira sudah terjamah dengan fasilitas listrik PLN dengan Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang memanfaatkan aliran deras sungai Lokomboro
yang berada di desa tetangga yaitu Desa Pada Eweta. Sungai Lokomboro berhulu pada
Hutan Yawila (RTK 2) sehingga pemerintah selalu menekankan kepada masyarakat agar
menjaga kelestarian hutan untuk mempertahankan kelestarian sumber air dan debit air
sungai Lokomboro.
Penggunaan alat-alat elektronik seperti televisi dan parabola belum dimiliki oleh semua
penduduk. Penggunaan telepon genggam sebagai sarana telekomunikasi sudah digunakan
hamper semua masyarakat. Fasilitas air bersih desa Dikira masih mengandalkan mata air
dari sungai Polapare. Masyarakat Desa Dikira secara keseluruhan telah memiliki sarana MCK
di setiap rumah, namun belum semua sarana MCK penduduk masuk dalam standar MCK
sehat.
Gambar 33. PLTMH di desa Pada Eweta
Akses jalan di Desa Dikira masih kurang baik karena sebagian besar berupa jalan aspal
namun mulai rusak. Akses jalan ini menjadi penghubung desa Dikira dan desa-desa
tetangga. Sedangkan jalan penghubung antara desa Dikira dengan kota kecamatan Wewewa
Timur di Elopada dan ke kota kabupaten di Tambolaka berupa jalan aspal yang rusak
sebagian.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh Pemerintah melalui gabungan kelompok
tani (Gapoktan) dan penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk
kaum perempuan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui Gapoktan diantaranya
mengembangkan usaha di bidang pertanian, peningkatan kualitas SDM dan peningkatan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
73
kesejahteraan anggota kelompok tani. Sedangkan pemberdayaan masyarakat melalui PKK
salah satunya yaitu pelatihan pembuatan Tortilla dengan menggunakan bahan-bahan lokal.
Kondisi Politik Lokal yang Mempengaruhi Keberadaan Hutan dan Mempengaruhi
Masyarakat
Penduduk Desa Dikira mayoritas sudah lama tinggal dan menetap secara turun temurun di
desa dan merupakan penduduk asli. Pada umumnya masyarakat mengetahui batas desanya
dari cerita asal usul desa dari sesepuh berupa batas yang dibuat secara adat. Sebagian
pemukiman penduduk Desa Dikira berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Yawila (RTK.
2) dengan jalan utama menuju atau keluar kawasan hutan adalah jalan setapak.
Menurut penduduk Desa Dikira kondisi hutan di sekitar tempat tinggal masih dalam keadaan
baik karena masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan.
Hutan bagi masyarakat Dikira adalah penyangga sumber mata air yang saat ini dijadikan
saluran-saluran irigasi untuk sawah-sawah masyarakat. Selain itu masyarakat juga
mengambil kayu bakar untuk dijual atau untuk dipakai sendiri. Penebangan pohon dalam
jumlah kecil dilakukan untuk pembangunan rumah warga Desa Dikira.
Kebijakan untuk menjaga kelestarisan hutan ditujukan untuk menjaga kelestarian sumber air
yang berasal dari dalam kawasan hutan Yawila (RTK 2). Kebijakan ini berlaku tidak hanya
untuk masyarakat Desa Dikira tetapi juga untuk masyarakat yang berada di sekitar kaki
gunung Yawila. Di Desa Dikira terdapat beberapa ketentuan adat dalam pemanfaatan
sumber daya hutan diantaranya tidak boleh memotong/ mematikan bambu. Hal ini
merupakan larangan adat terutama untuk suku Beaka.
Analisis Usaha Kehutanan dan Tani Masyarakat
Masyarakat Desa Dikira pada umumnya melakukan usaha pertanian hanya untuk menopang
perekonomian dan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kawasan Hutan Yawila
(RTK. 2) menjadi sumber air untuk pengairan lahan pertanian Desa Dikira sehingga
masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian di dalam kawasan hutan. Masyarakat desa
Dikira sangat menyadari pentingnya keberadaan hutan dengan menanam pohon baik di
kebun maupun di pekarangan rumah.
Pengelolaan kawasan hutan dilakukan dengan budidaya tanaman kehutanan. Penduduk
Dikira mengharapkan adanya program pembagian bibit tanaman kehutanan oleh Dinas
Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya untuk reboisasi kawasan hutan maupun untuk
ditanam di lahan masyarakat.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
74
2.4 Perizinan dan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Di dalam Wilayah KPHL Sumba Barat Daya belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan
maupun izin usaha pemanfaatan hasil hutan.
2.5 KPHL SBD dalam Perspektif Tata Ruang Wilayah dan Pembangunan
Daerah
Pendekatan dalam menata pembangunan dan pengelolaan daerah berorientasi pada
pemanfaatan struktur dan pola tata ruang berbasis potensi dengan memperhatikan daya
tampung dan daya dukung lingkungan dalam pemanfaatan ruang dengan memperhitungkan
aspek keberlanjutan produktifivas dan aspek penyelamatan lingkungan (pemahaman
pembangunan berkelanjutan adalah sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk dapat
memenuhi sendiri kebutuhan mereka), baik mulai dari perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan sehingga selalu menjaga keseimbangan lingkungan alam,
keseimbangan lingkungan sosial budaya supaya tetap sinergi dengan peningkatan kualitas
kehidupan dan pertumbuhan ekonomi.
Posisi KPHL Sumba Barat Daya tidak terlepas dari konteks tata ruang wilayah dan
pembangunan daerah. Keberadaan KPHL diharapkan mampu mendukung fungsi-fungsi
penggunaan ruang sebagaimana diharapkan dalam tata ruang wilayah dan mampu
meningkatkan produktivitas sumber daya hutan dan lahan dalam mendukung pembangunan
daerah.
Berdasarkan potensi yang menonjol di Kabupaten Sumba Barat Daya, dimana salah satu
arahan tata ruang wilayah menyebutkan bahwa ekowisata/jasa lingkungan merupakan salah
satu andalan dalam mensejahterakan masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya. Untuk
mendukung hal tersebut maka kawasan yang memiliki potensi jasa ekosistem yang tinggi
perlu memelihara, menjaga dan mengelola sumberdaya secara lestari.
Berkaitan dengan hal tersebut, KPHL SBD ini diharapkan mampu menjawab visi dan misi
Kabupaten Sumba Barat Daya dalam konteks kehutanan dan lingkungan hidup sebagaimana
diuraikan sebagai berikut:
- Sesuai petikan visi pembangunan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya, maka
keberadaan KPHL SBD sangat selaras dengan visi tersebut, dimana salah satunya
adalah pengembangan wisata alam yang lestari melingkupi suatu pengertian bahwa
pengelolaan sumber daya alam khususnya wisata/jasa ekosistem yang optimal untuk
kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
75
o Mengembangkan Kegiatan wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan memperhatikan kelestarian dan bentang alam kawasan.
o pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu.
- Dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan daerah, maka keberadaan dan
pengelolaan KPHL SBD tidak terlepas dari rencana strategis pembangunan kehutanan
sebagaimana telah disusun oleh Dinas Kehutanan Provinsi NTT.
- Terkait dengan visi Dinas Kehutanan Provinsi NTT, yaitu “Terwujudnya
Penyelenggaraan Pembangunan Kehutanan Secara Terpadu Untuk Menjamin
Kelestarian Hutan yang Bermanfaat Bagi Masyarakat” maka keberadaan KPHL SBD
sangat strategis untuk menjawab visi tersebut. Hal tersebut Dimaksudkan bahwa
hasil-hasil pembangunan kehutanan akan memberikan nilai positif bagi hutan yang
berfungsi konservasi, lindung dan produksi. Fungsi hutan tersebut harus dapat
dirasakan dan dinikmati secara terkelanjutan atau terus menerus sepanjang hidup
melalui suatu bentuk perencanaan yang matang dan terarah sehingga mampu
meningkatkan taraf hidup rakyat di Provinsi NTT umumnya dan Kabupaten Sumba
Barat Daya khususnya.
2.6 Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan
Keberadaan KPHL SBD diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pembangunan daerah Kabupaten Sumba Barat Daya. Dalam menjawab hal ini perlu
dilakukan identifikasi isu strategis, kendala dan permasalahan yang terkait langsung dengan
keberadaan KPHL SBD sebagai wilayah yang berperan strategis dalam pembangunan
kehutanan.
2.6.1 Isu Strategis
Beberapa isu strategis terkait dengan keberadaan KPHL SBD baik secara ekologi, ekonomi
dan sosial diperoleh sebagai berikut:
1) Keberadaan hutan lindung memiliki peran strategis baik bagi lingkungan maupun bagi
pertumbuhan ekonomi daerah, terutama dalam kaitannya dengan pelestarian fungsi tata
air dan peningkatan pendapatan masyarakat.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
76
2) Sumba Barat Daya memiliki potensi wisata yang masih tergolong perawan. Mulai wisata
bahari, memiliki pantai-pantai yang indah di Weekuri, Pero, dan Kondamaloba yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Dari kampung Tosi terlihat anggun di
tengah pepohonan tua dan kuburan megalitik dan juga terdapat pasola yang rutin di
gelar secara turun temurun. Di desa tradisional Ratenggaro juga memiliki pantai yang
sangat indah. Tapi sayang kurangnya perhatian dari pemerintah maupun pihak-pihak
terkait membuat pesona wisata yang ada di pulau Sumba belum dapat dikelola dengan
baik. Potensi wisata pulau Sumba perlu dikelola secara bagus guna mendongkrak
pendapatan asli daerah. Serta disisi lain menggerakan ekonomi kerakyatan dan sektor-
sektor jasa perhotelan dan rumah makan serta klub-klub kesenian. Pariwisata harus
dipandang sebagai gerakan ekonomi untuk memajukan ekonomi daerah.
3) Tingkat kehidupan ekonomi di bawah garis kemiskinan yang sangat tinggi, berdasarkan
data tahun 2013 sekitar 8,33 persen penduduk miskin di Propinsi Nusa Tenggara Timur
adalah penduduk miskin yang berada di kabupaten Sumba Barat Daya. Kondisi ini
berpotensi terhadap kerawanan sosial dan perambahan terhadap kawasan hutan dalam
upaya memenuhi kehidupan ekonominya.
4) Masyarakat sekitar hutan yang umumnya merupakan tipe peladang memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap lahan dan sumber daya hutan.
5) Potensi pengelolaan lahan akan mendapat tantangan dari suku/etnis menjadi masalah
tersendiri, mengingat posisi suku-suku di Sumba Barat Daya sangat kuat sehingga semua
kebijakan pemerintah harus mempertimbangkan eksistensi suku/etnis yang ada di
Sumba Barat Daya.
2.6.2 Kendala dan Permasalahan
Beberapa kendala dan permasalahan yang cukup menonjol di wilayah kerja KPHL SBD dan
sekitarnya diuraikan sebagai berikut:
1) Saat ini tingkat perambahan hutan hutan di wilayah KPHL SBD tergolong cukup besar,
yaitu mencakup areal seluas 494,53 hektar baik pada hutan lindung maupun hutan
produksi. Kondisi ini tampak pada lahan di dalam kawasan yang telah berubah fungsinya
menjadi lahan pertanian. Sedangkan penutupan lahan berupa semak belukar mencapai
5.616,39 Ha dan tanah kosong 119,39 Ha. Kondisi ini mengindikasi adanya kegiatan
pertanian telah berlangsung lama yang terjadi di areal hutan.
2) Tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan juga masih relatif
rendah. Pembangunan bidang kehutanan diharapkan mampu menyediakan lapangan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
77
kerja dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan melalui kegiatan pemanfaatan hasil hutan
non kayu dan jasa lingkungan.
3) Belum dikelolanya jasa ekosistem berupa wisata alam dengan baik/profesional.
Pengelolaan dan promosi yang baik akan meningkatkan pendapatan asli daerah dan
ekonomi masayarakat serta dapat menumbuhkembangkan sektor lainnya seperti sektor-
sektor jasa perhotelan dan rumah makan serta klub-klub kesenian. Sektor ekowisata
diprediksi dapat memajukan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan KHPL.
4) Tingginya lahan kritis, seperti semak belukar dan tanah kosong baik di hutan lindung
maupun di hutan produksi.
5) Tingkat curah hujan yang rendah dan akan menyulitkan dalam upaya reboisasi kawasan
dan berpotensi terjadinya Kebakaran hutan sebagai imbas dari kekeringan yang cukup
panjang.
6) Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar hutan berimplikasi terhadap
pemahaman mengenai pentingnya hutan untuk keberadaan baik lingkungan maupun
kehidupan alam sekitarnya menjadi semakin berkurang. Ketidaktahuan ini menjadikan
hutan hanya sebagai sumber ekonomi belaka tanpa diikuti dengan pengetahuan
mengenai pola pemikiran bahwa keberadaan hutan sangat penting.
7) Potensi konflik tenurial dimungkinkan terjadi di masa yang akan datang. Seiring dengan
pertambahan kebutuhan lahan yang semakin meningkat, bukan hal yang tidak mungkin
masyarakat yang terdesak akan kebutuhan ekonomi akan merambah hutan. Dengan
ketersediaan akses menuju hutan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
membuka lahan di kawasan hutan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
78
3.1. Visi dan Misi Pengelolaan Hutan KPHL Sumba Barat Daya
3.1.1. Visi
Visi adalah gambaran atau pernyataan tentang sesuatu yang ingin diwujudkan oleh
lembaga/organisasi di masa jauh ke depan. Perumusan visi dapat dilakukan dengan
menggunakan data atau informasi yang bersifat normatif, visioner, dan teknis. Visi KPHL
Sumba Barat Daya secara prinsif harus berdasarkan pada visi misi diatasnya yaitu
pemerintah daerah, dinas kehutanan provinsi/kabupaten serta kondisi potensi kehutanan,
permasalahan dan tujuan kesejahtaeraan masyarakat khususnya wilayah Sumba Barat Daya.
Selain itu, penunjukan Kesatuan Pengelolaan Hutan lindung di Sumba Barat Daya
memberikan arti bahwa kegiatan ke depan harus berdasarkan prinsif kelestarian ekologi
dalam arti sustainable yang mendukung tumbuh dan berkembangnya aspek ekonomi dan
pemerataan pembangunan.
Visi pembangunan SBD dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
Tahun 2014 – 2019 adalah “Membangun Masyarakat Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD)
yang Sejahtera, Mandiri dan Aman” berdasarkan visi pembangunan serta hasil identifikasi,
analisis dan prediksi kondisi umum berbagai sumber daya yang berada pada wilayah KPHL
SBD dan di sekitar kawasan KPHL, maka Visi KPHL SBD tahun 2015-2024 adalah ”
Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dan
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat “.
Visi tersebut mengandung arti sebagai berikut:
Pengelolaan KPHL, merupakan suatu wujud satuan pengelolaan kawasan tingkat
tapak yang tertata dan terorganisir dalam kerangka penerapan prinsip-prinsip
pengelolaan hutan lindung lestari.
Lestari, kegiatan pengelolaan hutan di KPHL SBD yang tetap memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan guna mendukung keberlanjutan ekosistem hutan
sehingga dapat mengoptimalkan manfaat sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
BAB
3 VISI DAN MISI
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
79
Penyedia Jasa Ekosistem, ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan pertimbangan untuk perencanaan strategis menuju pengelolaan kawasan hutan
lestari sebagai penyedia jasa ekosistem yang mandiri.
Menjamin Kehidupan masyarakat, upaya memaksimalkan potensi sumber daya
hutan bagi kesejahteraan masyarakat, dimana masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan dasar yang bersifat material dan terutama pemanfaatan Jasa Ekosistem
dan hasil hutan non kayu untuk peningkatan kesejahteraan.
3.1.2 Misi
Memperhatikan makna yang terkandung dalam Visi KPHL SBD 2015 – 2024 yaitu
”Terwujudnya Pengelolaan Kawasan Hutan sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dan
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat “. Maka misi ditujukan untuk melaksanakan
agenda-agenda utama yang menjadi penentu keberhasilan pencapaian visi. Mengacu pada
kelestarian ekologi/lestari dan menjamin kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, maka
diperlukan bentuk nyata implementasinya sebagai gambaran tentang tahapan pelaksanaan.
Dengan demikian, ditetapkan misi pengelolaan KPHL Kabupaten Sumba Barat Daya sebagai
berikut :
1. Memantapkan status kawasan KPHL Sumba Barat Daya;
2. Pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yaitu dengan mengoptimalkan
potensi hasil hutan non kayu dan jasa ekosistem lainnya dengan memperhatikan
ekosistemnya;
3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang efisiensi dan efektifitas dalam
pengelolaan KPHL;
4. Pengembangan potensi ekowisata dan jasa ekosistem lainya;
5. Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan;
6. Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan melalui kegiatan pengelolaan dan
pelestarian ekosistem hutan yang terintegrasi dengan pemanfaatan hasil hutan non
kayu, pengembangan ekowisata, aneka usaha kehutanan dalam peningkatan
ekonomi masyarakat.;
7. Membangun dan mengembangkan kemitraan dengan para pihak dalam pengelolaan
produk hasil hutan dan jasa lingkungan hutan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
80
3.1.3 Tujuan Pengelolaan
Berdasarkan visi dan misi diatas maka pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya mempunyai
tujuan pengelolaan sebagai berikut:
1) Terwujudnya kepastian hukum, meminimalkan terjadinya sengketa lahan,
menyediakan lahan bagi masyarakat untuk mendukung pengelolaan KPHL serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan penataan batas; Tertatanya
penataan kawasan KPHL SBD, Blok dan Petak yang pengelolaannya dilakukan secara
partisipatif dan kolaboratif dalam perlindungan dan pengawasan ditujukan untuk
menjaga fungsi perlindungan, pelestarian dan pengawetan keanekaragaman hayati
dan ekosistemnya;
2) Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistem ditujukan untuk pengendalian
fungsi pemanfaatan secara lestari, bijaksana dan berkelanjutan dalam rangka
pengembangan ekowisata di wilayah KPHL SBD;
3) Peningkatan kualitas sumber daya manusia ditujukan untuk mempersiapkan aparatur
pengelola dalam pelayanan publik, penyusun struktur organisasi, fungsi, wewenang,
tugas dan tanggung jawab serta tata hubungan yang efektif dan efisien dalam
pengembangan ekowisata di KPHL SBD, terwujudnya peningkatan SDM dan
pemantapan aspek kelembagaan sehingga terbentuk staf pengelola KPHL yang
mampu bekerja secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan tata hubungan
yang baik dengan para pihak di luar pengelola kawasan tersebut;
4) Pengembangan potensi ekowisata ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pertimbangan untuk perencanaan strategis menuju pengelolaan
hutan lestari dan KPHL yang mandiri;
5) Peningkatan perlindungan dan pengamanan hutan ditujukan untuk menjaga fungsi
perlindungan, pelestarian serta revitalisasi hutan sesuai dengan fungsi peruntukannya
demi tercapainya kondisi hutan yang lestari;
6) Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan ditujukan untuk penguatan kelembagaan
dengan memberikan izin pengelolaan hutan agar dapat meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat melalui kerjasama dengan menempatkan masyarakat
sebagai mitra yang sejajar;
7) Terbangunnya berbagai skema kerjasama antara KPHL dan masyarakat serta
pemegang izin dalam pengelolaan kawasan hutan. Terwujudnya pengelolaan jasa
lingkungan dalam peningkatan pemahaman dan keterampilan masyarakat dalam
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
81
melakukan usaha upaya konservasi ekosistem pelestarian alam dan peningkatan
pendapatan masyarakat.
3.1.4 Pendekatan Strategi Pengelolaan
Pendekatan strategi yang akan dipergunakan untuk mewujudkan visi dan misi serta tujuan
pengelolaan tersebut memerlukan analisis, tahapan, serta prakondisi melalui pendekatan
antara lain :
Strategi-strategi sebagaimana tersebut di atas dipandang sesuai walaupun terdapat
keterbatasan-keterbatasan yang berkaitan dengan sumber daya. Pemerintah kabupaten
harus melibatkan lembaga-lembaga lain untuk mengambil bagian dalam pengelolaan hutan
lindung, khususnya masyarakat sekitar yang memiliki mata pencaharian yang bergantung
pada hutan dan berbagai pengalaman dalam mengelola sumber daya alam secara
berkelanjutan. Masyarakat dapat terlibat dalam berbagai kegiatan, seperti patroli hutan,
penanaman kembali, dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Berbagai kegiatan
mata pencaharian alternatif harus mulai dikembangkan, seperti pembibitan dan pemanfaatan
hasil hutan selain kayu, seperti rotan, madu, dan lainnya. Kesempatan yang diberikan oleh
pemerintah pusat melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat, seperti hutan desa dan
hutan kemasyarakatan akan lebih memperkuat komitmen masyarakat dalam mengelola
sumber daya alam.
Untuk menciptakan sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk membiayai pengelolaan
dan perlindungan hutan, keterlibatan individual, koperasi, perusahaan negara, atau swasta
harus didukung dimana keterlibatan mereka diharapkan dapat mendukung terbangunnya
berbagai kegiatan yang menghasilkan pendapatan, seperti program adopsi pohon atau
pembayaran jasa lingkungan (seperti ekowisata, pembayaran untuk air, dan lainnya).
Kerangka pelaksanaan strategi hutan lindung terdiri dari enam langkah utama: a) kolaboratif dan adaptif (adaptive collaborative management).
Pengelolaan hutan lindung secara kolaboratif dan adaptif artinya pengelolaan hutan
lindung dirancang sedemikian rupa sehingga melibatkan berbagai pemangku
kepentingan utama dan menghasilkan berbagai pembelajaran. Pembelajaran-
pembelajaran tersebut dihasilkan melalui proses pemantauan dan refleksi yang
dilakukan secara berkala terhadap pengelolaan hutan lindung dimana pembelajaran-
pembelajaran yang dihasilkan selama proses pengelolaan tersebut digunakan sebagai
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
82
dasar untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai intervensi yang akan dilakukan
selanjutnya. Pengelolaan hutan lindung yang dilakukan secara bersama melibatkan
antara lain, pemerintah kabupaten, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait
lainnya (khususnya lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta). Kemudian, untuk
memastikan adanya dampak positif terhadap hutan dan masyarakat sekitar, maka
pengelolaan hutan lindung harus mendukung penguatan hak-hak pengelolaan oleh
masyarakat melalui program-program, seperti hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
b) Pengembangan wisata alam berbasis kelestarian
Pengelolaan hutan lindung dengan tujuan pengembangan wisata alam/ekowisata secara
lestari dapat menjamin keberlangsungan ekologi yang memberikan kontribusi secara
nyata bagi peningkatan ekonomi masyarakat dengan harapan dapat meminimalisasi
masalah degradasi dan deforestasi hutan, masalah lingkungan dan sosial. Secara
operasional dapat berimplikasi pada terjaganya ekosistem hutan secara optimal. meliputi
kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi/produksi dan kelestarian sosial.
Kelestarian ekologi
Prinsip kelestarian ekologi dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan hutan di KPHL yang tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan
guna mendukung keberlanjutan ekosistem hutan sehingga dapat mengoptimalkan
manfaat sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan melalaui ekowisata/jas lingkungan.
Kelestarian ekonomi
Prinsip kelestarian ekonomi dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan keberlanjutan
usaha kehutanan di KPHL, namun tetap memperhatikan kelestarian ekologi dan sosial.
Kelestarian sosial
Prinsip kelestarian fungsi sosial dalam pengelolaan KPHL berkaitan dengan terjaminnya
keberlangsungan manfaat sosial sumber daya hutan bagi para pemanfaat hutan dengan
melibatkan partisipasi aktif para pemanfaat dalam pengelolaan hutan.
b) Pengelolaan yang berkeadilan
Pengelolaan KPHL berkaitan dengan distribusi manfaat sumber daya hutan bagi para
pemanfaat sumber daya hutan. Pemanfaat sumber daya hutan dapat berupa sektor
pemerintah, sektor swasta, dan sektor publik (lembaga swadaya masyarakat (LSM),
masyarakat. Pengelolaan hutan harus dapat memberikan kesempatan yang sama bagi
para pemanfaat hutan dalam mengakses sumber daya hutan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
83
c) Pengembangan kemitraan dengan masyarakat
Pengembangan kemitraan berkaitan dengan peran KPHL terutama dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui skema kegiatan
pengelolaan hutan yang dilakukan. Skema kegiatan pengelolaan hutan ini merupakan
upaya pemberdayaan masyarakat setempat yang dapat dilakukan melalui kemitraan
kehutanan. Skema ini dapat berupa hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman
rakyat (HTR), hutan desa (HD), dan skema lain yang memungkinkan masyarakat
mendapatkan izin usaha di bidang kehutanan.
d) Legalitas Kawasan
Penataan kawasan ditujukan untuk memperoleh kepastian hukum, menghindari
sengketa yang bersumber dari tumpang tindihnya perizinan dan areal kawasan serta
menyediakan wadah bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan baik dalam
rangka mendukung program KPHL Sumba Barat Daya, maupun program pembangunan
daerah Kabupaten Sumba Barat Daya dan Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan
mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
e) Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Bersama
Kegiatan ini ditujukan untuk menjaga keutuhan fungsi kawasan, keragaman hayati
beserta ekosistemnya, menjaga agar kawasan terbebas dari perambahan, perusakan
dan gangguan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam memperkuat perlindungan
dan pengamanan kawasan diperlukan strategi-strategi yang melibatkan peran serta
semua pihak berdasarkan kewenangan yang dimiliki masing-masing pihak, baik di
internal KPHL Sumba Barat Daya, maupun pihak-pihak eksternal seperti Kepolisian,
Dinas Kehutanan, pihak swasta yang bekerja di sekitar kawasan KPHL Sumba Barat
Daya, serta masyarakat di sekitar kawasan KPHL Sumba Barat Daya. Selain memperkuat
pengamanan bersama, diperlukan juga partisipasi masyarakat yang berada di sekitar
kawasan, partisipasi ini dapat diperkuat dengan membangun pengamanan swakarsa
masyarakat yang berada di sekitar kawasan.
f) Manajemen Kolaborasi
Kerjasama akan mengatur dan membagi peran dari masing-masing pihak dalam
pengelolaan bersama. Peran beberapa pihak tersebut harus bersinergi dalam
memperkuat program yang ada, mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
84
evaluasi dapat dilakukan bersama-sama, sehingga hasil yang diharapkan dapat
maksimal dan bermanfaat bagi pencapaian tujuan bersama.
g) Sinergisitas Program Antar Pihak
Pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya tidak hanya dilakukan oleh unit pengelola saja,
namun perlu melibatkan berbagai pihak. Keterlibatan antar pihak dapat diwujudkan
dengan memperkuat sinergisitas program para pihak. Pemerintah Pusat dan daerah
memiliki program-program pembangunan Kehutanan dapat bersinergi dan dapat
dikerjasamakan dengan program di KPHL Sumba Barat Daya. Untuk memperkuat dan
sinergisitas program dengan pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
perusahaan maupun investor harus disesuaikan dengan rencana dan tujuan KPHL
Sumba Barat Daya, maupun pemerintah daerah, mulai dari perencanaan, implementasi,
monitoring dan evaluasi.
h) Membuka Jaringan (networking)
Jaringan kerjasama yang dibangun akan memperkuat program-program yang
berdampak pada pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya. Kerjasama dapat dibangun
dengan pihak luar yang memiliki visi dan misi sejalan dengan visi dan misi
pembangunan KPHL Sumba Barat Daya.
i) Pengembangan Daerah sekitar kawasan KPHL Sumba Barat Daya
Pengelolaan daerah sekitar KPHL Sumba Barat Daya haruslah didukung oleh sistem yang
cukup baik. Sistem tersebut harus dibangun sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan yang ada di masyarakat. Untuk mengurangi tekanan yang besar terhadap
kawasan, salah satunya diperlukan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan KPHL
Sumba Barat Daya. Pemberdayaan ini dapat berupa pengembangan ekonomi, budaya,
wisata, kesadartahuan mengenai lingkungan dan lain-lain, yang diadopsi dan diadaptasi
dari potensi dan kekuatan yang ada di masyarakat.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
85
4.1. Analisis Data dan Informasi KPHL Sumba Barat Daya
4.1.1 Faktor Internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness)
A. Potensi Kawasan Hutan
A.1. Penunjukkan kawasan
Total luas areal KPHL Sumba Barat Daya (SBD) adalah seluas 20.646,64 ha terdiri dari hutan
lindung seluas 12.028,41 ha (58%) dan hutan produksi seluas 8.618,23 ha (42%), telah
memiliki SK Penunjukkan Kawasan dari Menteri Kehutanan Nomor: SK.3911/Menhut-
VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014. Dengan telah adanya penunjukkan kawasan hutan,
maka KPHL SBD secara legalitas memiliki kekuatan hukum.
A.2. Fungsi Kawasan
Dari total luas kawasan hutan KPHL Sumba Barat Daya (SBD) seluas 20.646,64 ha, dengan
fungsi yang didominasi oleh fungsi hutan lindung, memiliki potensi pengembangan hutan
untuk pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan HHBK, pemanfaatan jasa ekosistem dan
sisanya untuk rehabilitasi dan blok inti hutan lindung.
A.3. Tata Batas Kawasan Hutan
Batas kawasan KPHL Sumba Barat Daya terdiri dari batas luar antara KPHL Sumba Barat
Daya dengan KPH lain dan guna lahan lain, dan di dalam kawasan yakni batas antar blok
arahan pemanfaatan dan batas antar petak dalam blok arahan pemanfaatan. Keberadaan
tanda batas luar merupakan bentuk kepastian hukum KPHL Sumba Barat Daya di lapangan,
oleh karena itu penting artinya bagi eksistensi KPHL Sumba Barat Daya. Berdasarkan
penelusuran tentang dokumen tata batas hutan di Kabupaten Sumba Barat Daya baru
direalisasi 2 dokumen (Statistik BPKH Wilayah XIV Kupang, 2009), sehingga merupakan
kelemahan utama yang memungkinkan terjadinya okupasi atau perambahan kawasan hutan.
A.4. Tutupan Lahan
Tutupan lahan dalam KPHL Sumba Barat Daya masih didominasi oleh karakteristik yang
mencirikan areal hutan. Dari total luas KPHL seluas 20.646,64 ha, seluas 20.032,72 ha atau
97% adalah tutupan lahan yang masih mencirikan hutan dan sisanya adalah areal
ANALISIS DAN PROYEKSI BAB
4
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
86
penggunaan lain. Dari tutupan lahan yang mencirikan hutan adalah belukar seluas 5.616,39
ha (27%), hutan lahan kering primer seluas 11.407,04 ha (55%), hutan lahan kering
sekunder seluas 2.333,50 ha (11%), padang rumput/savana seluas 675,80 ha (3%), sisanya
adalah pertanian lahan kering campur seluas 494,53 ha (2%) dan tanah terbuka kosong
seluas 119,39 ha (1%).
Tabel 4. 1 Tutupan Lahan di areal KPHL Sumba Barat Daya (dalam ha)
ARAHAN Belukar
Hutan
Lahan Kering
Primer
Hutan
Lahan Kering
Sekunder
Padang
Rumput
/Savana
Pertanian
Lahan Kering
Campur
Tanah
Terbuka
Kosong
Grand Total
HL-BLOK INTI 686,07 4.557,77 490,65 205,42 119,39 6.059,30
HL-BLOK PEMANFAATAN
3.250,39
1.107,91 935,02 675,80 5.969,12
HP-BLOK PEMANFAATAN
HHK-HT
796,17
2.877,44
722,52
4.396,13
HP-BLOK
PEMANFAATAN JASLING/HHBK
186,20
1.110,02
1.296,22
HP-BLOK
LINDUNG 270,37 1.386,28 1.656,65
HP-BLOK
PEMBERDAYAAN 427,18 367,62 185,32 289,11 1.269,23
Grand Total 5.616,3
9 11.407,04 2.333,50 675,80 494,53 119,39 20.646,64
% (Persentase) 27% 55% 11% 3% 2% 1%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
87
Gambar 34. Peta Penutupan Lahan di Wilayah KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
88
A.5. Kondisi Kekritisan Lahan
Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, mengindikasikan bahwa areal KPHL Sumba Barat Daya
memiliki lahan tidak kritis seluas 142,07 ha (1%), potensial kritis seluas 13.073,68 ha (63%),
agak kritis 1.107,40 ha (5%), kritis seluas 6.323,48 ha (31%) dan sangat kritis seluas 0 ha
(0%). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sebagai modal awal kurang menguntungkan
sehingga pada awal pengelolaan harus dilakukan pemulihan lahan kritis yang akan menjadi
beban pengelola KPHL.
Tabel 4. 2 Tingkat Kekritisan di Kawasan KPHL SBD
Fungsi ARAHAN Tidak
Kritis
Potensial
Kritis
Agak
Kritis
Kritis Sangat
Kritis
Grand
Total
HL
HL-BLOK INTI 142,07 2.936,88 0 2.980,34 0 6.059,30
HL-BLOK PEMANFAATAN
0 4.120,25 264,08 1.584,78 0 5.969,12
HL Total
142,07 7.057,13 264,08 4.565,13 0 12.028,41
HP
HP- BLOK PEMANFAATAN HHK-HT
0 4.268,76 0 127,37 0 4.396,13
HP-BLOK PEMANFAATAN JASLING/HHBK
0 803,86 178,38 313,98 0 1.296,22
HP- BLOK LINDUNG
0 101,89 237,76 1.317,01 0 1.656,65
HP- BLOK PEMBERDAYAAN
0 842,05 427,18 0 0 1.269,23
HP Total
0 6.016,55 843,32 1.758,36 0 8.618,23
Grand Total
142,07 13.073,68 1.107,40 6.323,48 0 20.646,64
PERSENTASE
(%) 1% 63% 5% 31% 0% 100%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
A.6. Kegiatan Rehabilitasi
Berdasarkan tingkat kekritisan di atas, maka dari areal KPHL Sumba Barat Daya dari seluas
20.646,64 ha yang memerlukan kegiatan rehabilitasi seluas 4.085,89 ha (20%) terdiri dari
kegiatan rehabilitasi di Blok HL seluas 1.099,15 ha (5%) dan rehabilitasi di Blok HP seluas
2.986,74 ha (14%); dan yang tidak memerlukan rehabilitasi seluas 16.560,75 ha (80%)
terdiri di Blok HL seluas 10.929,26 ha (53%) dan di Blok HP seluas 5.631,49 ha (27%). Hal
ini berarti dari segi kegiatan, maka selain memiliki potensi untuk mengembangkan potensi
hutan yang sudah ada terutama HHBK, tetapi juga dibebani untuk melakukan rehabilitasi
terlebih dahulu.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
89
Tabel 4. 3 Kebutuhan Kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Hutan di KPHL SBD (ha)
Fungsi ARAHAN HL-BLOK
REHABILITA
SI
HL-BLOK
NON REHABILITA
SI
HP-BLOK REHABILITA
SI
HP-BLOK
NON REHABILI
TASI
Grand Total
HL
HL-BLOK INTI 1.099,15
4.960,15
6.059,30
HL-BLOK PEMANFAATAN
5.969,12
5.969,12
HL Total
1.099,15
10.929,26
12.028,41
HP
HP-BLOK PEMANFATAAN
HHK-HT
2.190,45
2.205,68
4.396,13
HP-BLOK PEMANFATAAN
JASA LINGKUNGAN
DAN HHBK
243,23
1.052,99
1.296,22
HP-BLOK LINDUNG
0,12
1.656,53
1.656,65
HP-BLOK
PEMBERDAYAAN
552,93
716,29
1.269,23
HP Total 2.986,74 5.631,49 8.618,23
Grand
Total 1.099,15 10.929,26 2.986,74 5.631,49 20.646,64
Persentase (%)
5% 53% 14% 27% 100%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
B. Potensi Pemanfaatan
B.1. Arah Pemanfaatan
Berdasarkan hasil pengolahan, bahwa arahan pemanfatan di KPHL SBD seluas 20.646,64 ha
adalah terdiri dari (1) pemanfaatan HHBK seluas 6.323,84 ha (31%) terdiri di blok hutan
lindung seluas 2,941,56 ha (14%) dan hutan produksi seluas 3.382,28 ha (16%), (2)
pemanfaatan jasa lingkungan seluas 4.839,09 ha (23%) yakni di blok hutan lindung seluas
3.027,55 ha (15%) dan di hutan produksi seluas 1.811,54 ha (9%), (3) rehabilitasi seluas
2.986,74 ha (15%) di hutan produksi, (4) simpanan karbon seluas 6.496,97 ha (32%) yakni
di hutan lindung seluas 6.059,30 ha (30%) dan di hutan produksi seluas 437,68 ha (2%).
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
90
Tabel 4. 4 Potensi Pemanfaatan di Areal KPHL Sumba Barat Daya
Fungsi ARAHAN
PEMANFA
ATAN HHBK
PEMANFAATAN
JASA LINGKUN
GAN
REHABILITASI
SIMPANA
N KARBON
HP-BLOK
JASA LINGKUN
GAN AIR
Grand Total
HL
HL-BLOK INTI
-
-
-
6.059,30
-
6.059,30
HL-BLOK
PEMANFAATAN
2.941,56
3.027,55 - -
-
5.969,12
HL Total
2.941,56
3.027,55
-
6.059,30
-
12.028,41
% HL 14% 15% 0% 29% 0% 58%
HP
HP-PEMANFAATAN
HHK-HT
1.603,88
601,80
2.190,45
- -
4.396,13
HP-
PEMANFAATAN
JASLING/HHBK
960,34
92,64
243,23
- -
1.296,22
HP-LINDUNG
101,76
1.117,09
0,12
437,68 -
1.656,65
HP-PEMBERDAYAAN
716,29
-
552,93 - -
1.269,23
HP Total 3.382,28 1.811,54 2.986,74
437,68
-
8.618,23
% HP 16% 9% 14% 2% 0% 42%
Grand Total
6.323,84
4.839,09
2.986,74
6.496,97
-
20.646,64
Persentase (%) 31% 23% 14% 31% 0% 100%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
B.2. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Berdasarkan hasil kajian, menunjukkan bahwa tidak ada arahan untuk blok pemanfaatan
kayu baik untuk skala besar maupun kecil di KPHL Sumba Barat Daya.
B.3. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu
Berdasarkan luas total arahan pemanfaatan HHBK di KPHL Sumba Barat Daya seluas
6.323,84 ha terdiri di blok hutan lindung seluas 2,941,56 ha (14%) dan hutan produksi
seluas 3.382,28 ha (16%). Berdasarkan data statistik tahun 2012 Kabupaten Sumba Barat
Daya (BPS, 2013), terdapat 10 jenis HHBK, dimana yang tercatat produksinya adalah kemiri
isi dan kutu lak dengan produksi masing-masing sebesar 30 ton dan 20 ton. Jenis lain yang
tercatat namanya namun tidak tercatat produksinya adalah asam biji, sirih hutan, pinang iris,
kunyit, rotan, kemiri kulit, cendana dan kata. Dengan demikian HHBK yang dapat
dikembangkan adalah ke sepuluh jenis tersebut, karena jenis-jenis ini potensi dikembangkan
sebagai komoditas unggulan dari KPHL Sumba Barat Daya.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
91
Tabel 4. 5 Potensi Pemanfaatan HHBK di Areal KPHL SBD
Fungsi ARAHAN PEMANFAATAN HHBK
HL HL-BLOK INTI -
HL-BLOK PEMANFAATAN 2.941,56
HL Total
2.941,56
% HL
14%
HP
HP-PEMANFAATAN HHK-HT 1.603,88
HP- PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN/ HHBK
960,34
HP-LINDUNG 101,76
HP-PEMBERDAYAAN 716,29
HP Total
3.382,28
% HP
16%
Grand Total
6.323,84
Persentase (%) 31%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
B.4. Potensi pengembangan sylvopastural
KPHL SBD memiliki tutupan padang rumput/savana seluas 675,80 ha (3%). Karakteristik dari
padang savana, secara ekologis hanya cocok ditumbuhi oleh padang rumput dan beberapa
jenis pohon tertentu. Di pihak lain, sebagian mata pencaharian penduduk sekitar KPHL
Sumba Barat Daya adalah peternakan yang umumnya menggunakan sistem penggembalaan
liar. Berdasarkan data statistik di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2012 (BPS, 2013)
ternak besar yang dibudidayakan oleh penduduk Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sapi,
kerbau dan kuda dengan masing-masing populasi sebesar 2717 ekor, 11,930 ekor dan 4,713
ekor. Dengan demikian, KPHL SBD memiliki potensi agroforestry model sylpopastural yakni
pengembangan ternak sapi, kerbau dan kuda di tutupan lahan savana.
B.5. Potensi pemanfaatan jasa lingkungan air
Di dalam areal KPHL Sumba Barat Daya terindikasi terdapat tubuh air sebagai aliran
permukaan. Dengan daerah yang memiliki curah hujan yang rendah, maka air merupakan
barang yang langka dan perlu dilestarikan. Dalam melakukan pelestarian sumber air dan
pemanfaatan air secara berkelanjutan, maka KPHL SBD berpeluang untuk memanfaatkan
jasa air secara komersil dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan air di sekitar KPHL
SBD.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
92
C. Keadaan Pengelolaan Kawasan
C.1. Organisasi KPHL
Meskipun organisasi KPHL ini baru terbentuk dengan struktur yang belum lengkap, namun
merupakan potensi dari aspek pengelolaan kawasan, karena terbentuknya organisasi KPHL
SBD merupakan bukti adanya dukungan politik dan kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah kabupaten terhadap KPHL. KPH dewasa ini menjadi bagian dari penguatan
sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten. Keberadaan KPH menjadi
semakin kuat dengan dikeluarkannya Permendagri No. 61 Tahun 2010 yang mengamanatkan
bentuk organisasi KPH sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah, dan tanggung jawab Gubernur atau Bupati/Walikota melalui Sekretaris
Daerah. KPH merupakan suatu sistem pengelolaan hutan berdasarkan satu satuan wilayah
yang berbasis ekosistem, yang di dalamnya memuat prinsip-prinsip kelestarian hutan,
tindakan administrasi, dan tindakan organisasi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang
prospektif, sehat dan lestari.
Organisasi KPHL SBD telah ditetapkan melalui Keputusan Bupati Sumba Barat Daya. Dengan
organisasi KPHL yang ada, maka organisasi mulai dapat melakukan kegiatan manajemen
KPHL seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
Resort KPHL
Seksi Rehabilitasi dan
Pemanfaatan Seksi Perencanaan dan
Perlindungan
Sub bagian Tata Usaha Kelompok Jabatan
Fungsional
Kepala KPHL
Gambar 35. Struktur organisasi KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
93
C.2. Aparatur
Personil KPHL Sumba Barat Daya berasal dari aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten
Sumba Barat Daya, oleh karena itu sebagai organisasi baru yang belum memiliki
kemampuan untuk mengadakan personil sendiri, secara internal ini merupakan potensi yang
dimiliki KPHL Sumba Barat Daya meskipun minimal.
C.3. Sumber Pembiayaan
Berdasarkan hasil tata hutan di areal KPHL Sumba Barat Daya tidak teridentifikasi adanya
IUPHHK – HT, IUPHHK – HA dan IUPHHK – HTR. Dengan demikian pada awal pengelolaan
KPHL Sumba Barat Daya memerlukan sumber pembiayaan yang kuat dari sumber di luar
KPHL, khususnya dari anggaran pemerintah dan sumber dana lainnya. Adapun dukungan
anggaran pemerintah bersumber dari APBN, APBD, BLU; sedangkan sumber dana lainnya
adalah kerjasama dengan lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat dan sumber lain
yang sah dan tidak mengikat.
C.4. Sarana dan Prasarana
Agar pengelolaan kawasan hutan KPHL Sumba Barat Daya dapat berhasil dengan baik
diperlukan berbagai sarana prasarana pokok dan penunjang. Kebutuhan terhadap sarana
dan prasarana ini terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur bagi institusi
baru. Adapun sarana prasarana yang diperlukan adalah:
a) Tanah dan gedung kantor KPHL dan resort beserta peralatan kantor;
b) Sarana transportasi berupa kendaraan roda 4 dan 2;
c) Sarana komunikasi;
d) Alat perlengkapan kerja di lapangan;
e) Prasarana jalan di dalam kawasan KPHL.
Kondisi sarana dan prasarana yang dimiliki KPHL Sumba Barat Daya sebagai unit
pengelolaan kecil sumber daya hutan yang baru, belum memiliki sarana dan prasarana
tersebut.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
94
4.1.2 Faktor Eksternal (Peluang/Opportunities dan Ancaman/Threats)
A. Aksesibilitas
Berdasarkan hasil penataan hutan menunjukkan bahwa kelas keterjangkauan atau
aksesibilitas terhadap blok memiliki aksesibilitas rendah sebesar 42%, aksesibilitas sedang
sebesar 28% dan aksesibilitas tinggi sebesar 31%. Berdasarkan arahan blok hutan lindung,
untuk blok inti memiliki kelas aksesibilitas rendah 41%, aksesibilias sedang 45%, dan
aksesibilitas tinggi sebesar 14%; sedangkan untuk blok pemanfaatan HL aksesibilitas rendah
10%, aksesibilitas sedang 27% dan akesibilitas tinggi 63%. Dalam hutan produksi, untuk
blok pemanfaatan HHK-HT memiliki aksesibilitas rendah sebesar 65%, aksesibilitas sedang
17%, dan aksesibilitas tinggi sebesar 18%; untuk blok pemanfaatan jasa lingkungan dan
HHBK memiliki aksesibilitas rendah sebesar 69%, aksesibilitas sedang 7% dan aksesibilitas
tinggi sebesar 24%; untuk blok lindung memiliki aksesibilitas rendah 94%, aksesibilitas
sedang 6% dan aksesibilitas tinggi 0%; dan untuk blok pemberdayaan memiliki aksesibilitas
rendah 13%, aksesibilitas sedang 39% dan aksesibilitas tinggi 48%. Hal ini menunjukkan
bahwa areal KPHL Sumba Barat Daya sebagian besar memiliki akses yang menguntungkan
dari masuknya penduduk sekitar KPHL.
Tabel 4. 6 Kelas Aksesibilitas Terhadap Areal KPHL Sumba Barat Daya
ARAHAN
Rendah Sedang Tinggi
Grand Total (ha) Luas
(ha) %
Luas (ha)
% Luas (ha)
%
HL-BLOK INTI 2.497,11 41% 2.707,54 45% 854,64 14% 6.059,30
HL-BLOK PEMANFAATAN 599,49 10% 1.598,23 27% 3.771,39 63% 5.969,12
HP-BLOK OEMANFAATAN HHK-HT
2.869,65 65% 736,27 17% 790,21 18% 4.396,13
HP-BLOK PEMANFATAAN
JASA LINGKUNGAN DAN HHBK
888,68 69% 93,56 7% 313,98 24% 1.296,22
HP-BLOK LINDUNG 1.554,77 94% 101,76 6% 0,12 0% 1.656,65
HP-BLOK
PEMBERDAYAAN 163,96 13% 491,71 39% 613,55 48% 1.269,23
Grand Total 8.573,66 42% 5.729,08 28% 6.343,90 31% 20.646,64
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
95
Gambar 36. Peta Kelas Aksesibilitas di wilayah KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
96
B. Potensi Pasar HHBK
Biji pinang telah dimanfaatkan sejak ratusan tahun lalu untuk menyirih atau menginang.
Menyirih merupakan budaya masyarakat di Nusa Tenggara Timur, termasuk Kabupaten
Sumba Barat Daya. Hal ini merupakan peluang pasar bagi pengembangan pinang di KPHL
SBD. Di samping peluang di pasar local tersebut, juga pinang memiliki peluang untuk pasar
ekspor ke China, India, Pakistan dan Bangladesh.
Cendana (Santalum album) merupakan jenis dengan penyebaran alami yang terbatas, di
antaranya ada di Nusa Tenggara Timur, termasuk tumbuh di Kabupaten Sumba Barat Daya.
Kayu cendana merupakan bahan mentah untuk memproduksi minyak cendana. Saat ini
minyak cendana banyak diekspor ke Eropa, Amerika, Cina, Korea, Taiwan, dan Jepang.
Setiap tahun, kebutuhan minyak cendana dunia sekitar 200 ton. Pemenuhan kebutuhan
minyak cendana dunia tersebut kebanyakan disuplai dari India (50%). Indonesia, Australia,
Kaledonia Baru, dan Fiji, menyuplai sekitar 20 ton. Jadi masih ada kekurangan suplai sekitar
80 ton pertahun (Masyhud, 2009). Kondisi ini merupakan peluang bagi KPHL dalam
mengembangkan kayu cendana.
Dengan masih diproduksinya HHBK kemiri isi dan kutu lak, maka menunjukkan permintaan
akan kedua komoditas tersebut cukup tinggi. Oleh karena itu, potensi pasar untuk kayu
cendana, kemiri isi, dan kutu lak saat sekarang dan masa yang akan datang merupakan
peluang yang dapat dipertimbangkan oleh pengelola KPHL untuk mengembangkan ketiga
komoditas tersebut.
C. Potensi Permintaan Jasa Ekosistem
C.1. Potensi Permintaan Air
Kabupaten Sumba Barat Daya berada di daerah dengan iklim yang kering, sehingga air
merupakan barang langka dan menjadi kebutuhan utama masyarakat. Kondisi ini merupakan
peluang bagi KPHL SBD yang diindikasikan memiliki potensi sumber daya air permukaan.
D. Keadaan Hubungan KPHL dengan Masyarakat Sekitar
D.1. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Pembangunan KPHL SBD
Dari hasil kuisioner persepsi dan sikap masyarakat terhadap pembangunan KPHL SBD masih
rendah, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa areal yang masuk KPHL SBD
sebagian sebagai tanah adat. Sebagian juga berpendapat bahwa dengan adanya KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
97
menyebabkan terbatasnya aktivitas kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan seperti
penggembalaan ternak dan berladang berpindah. Oleh karena itu, persepsi dan sikap
masyarakat yang masih rendah terhadap keberadaan KPHL SBD merupakan ancaman bagi
keberadaan KPHL SBD.
D.2. Kegiatan berladang dan penggembalaan ternak
Pembakaran ladang adalah salah satu fenomena yang selalu dijumpai di kawasan KPHL SBD
dan selalu terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun. Kegiatan pembakaran ladang
dilakukan dalam rangka penyiapan lahan untuk berladang atau untuk menumbuhkan rumput
muda di ladang penggembalaan dan berburu. Dampak yang ditimbulkan oleh pembakaran
yang tidak terkendali antara lain menyebabkan kematian tanaman-tanaman dan anakan-
anakan yang tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam sendiri oleh masyarakat
maupun program pemerintah, serta mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Kegiatan
berladang ini merupakan ancaman yang serius bagi keberadaan tanaman yang ada di dalam
KPHL SBD.
D.3. Kegiatan Berburu dan Meramu
Sebagian masyarakat sekitar hutan lindung sering masuk ke kawasan hutan untuk
mengambil umbi-umbian seperti: umbi gadung, belitung (talas-talasan), dan keladi. Waktu
pengambilan bahan pangan dilakukan masyarakat pada saat musim kemarau, dimana
cadangan pangan mulai berkurang. Selain itu, masyarakat masuk ke hutan untuk mengambil
hasil hutan yang bernilai ekonomi cukup tinggi, antara lain: pinang, asam, kemiri, sirih
hutan, pinang, kunyit, rotan, cendana, kata dan kutu lak. Untuk mempermudah akses masuk
hutan, masyarakat terkadang membakar tanaman untuk membuka jalur masuk hutan. Hal
ini berpotensi untuk merusak lingkungan, meskipun sejauh ini relatif terkendali.
D.4. Masalah Tenurial
Seperti halnya masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara laiinnya, di Kabupaten Sumba Barat
Daya bahwa ladang, sawah, kebun dan pekarangan yang diusahakan masyarakat adalah
lahan milik sendiri yang diperolah petani melalui sistem waris secara turun temurun,
sehingga kepemilikan lahan semakin lama semakin terfragmentasi. Masyarakat tidak/belum
mengenal perubahan penguasaan lahan melalui sistem jual beli, sewa menyewa atau gadai
tanah. Hal ini yang diindikasikan sebagai penyebab bergesernya batas pemukiman/lahan
masyakat yang masuk ke kawasan hutan. Dengan demikian masalah tenurial merupakan
salah satu ancaman yang tinggi terhadap kawasan KPHL Sumba Barat Daya.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
98
D.5. Masalah Kemiskinan
Masalah kemiskinan dengan keterbatasan kepemilikan lahan menyebabkan masyarakat
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap lahan dan hutan. Berdasarkan data statistik
tahun 2012 (BPS, 2013), persentase penduduk miskin di Kabupaten Sumba Barat Daya lebih
tinggi dari tingkat kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun memiliki
kecenderungan menurun dari tahun 2008 sampai 2012, namun persentase penduduk miskin
masih di atas 20%.
Dengan persentase penduduk miskin lebih 20%, maka kemiskinan masyarakat berpotensi
menjadi ancaman terhadap keberadaan kawasan KPHL Sumba Barat Daya. Namun demikian,
karena pola hidup masyarakat yang berada di sekitar KPHL Sumba Barat Daya umumnya
memiliki pola bertani subsisten, yang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan dasar dengan
taraf minimal, serta jumlah dan kepadatan penduduk yang rendah, semestinya alasan
tersebut bukan menjadi faktor utama terdegradasinya fungsi lahan dan hutan. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa lahan dan hutan dalam kondisi kritis dan mempunyai
kecenderungan tingkat kritisnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Tabel 4. 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2 dan Garis Kemiskinan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
99
4.1.3 Penilaian Terhadap Faktor Kekuatan/Kelemahan dan Peluang/
Ancaman (SWOT)
Berdasarkan uraian sebelumnya terkait faktor internal dan faktor eksternal pembangunan
dan pengembangan KPHL Sumba Barat Daya terungkap faktor kekuatan dan kelemahan dari
internal KPHL Sumba Barat Daya dan faktor peluang dan ancaman dari eksternal KPHL
Sumba Barat Daya. Berdasarkan parameter yang dikembangkan ditentukan ukuran nilai
SWOT yakni 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi) sebagaimana pada tabel 4.8. Sedangkan
besarnya nilai kepentingan (bobot) dilakukan dengan justifikasi, dengan masing-masing
faktor yakni Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman adalah bernilai 100.
Adapun hasil pengelompokkan masing-masing faktor SWOT dan penilaian ukuran SWOT dan
bobot dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 4. 8 Perhitungan Nilai Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
SWOT
Skor SWOT Bobot (Persentase Besarnya
Kepentingan) Nilai
Rendah (1)
Sedang (2) Tinggi
(3)
KEKUATAN (STRENGHT)
1. Penunjukkan kawasan 3 15 45
2. Fungsi Kawasan 2 10 20
3. Tutupan Lahan 2 15 30
4. Potensi Pemanfaatan HHBK 2 15 30
5. Potensi pengembangan sylvopastural 1 10 10
6. Potensi pengembangan manfaat jasa ekosistem air
1 10 10
7. Organisasi KPHL 2 10 20
8. Sumber Pembiayaan 1 15 15
Jumlah Nilai Kekuatan 100 180
KELEMAHAN (WEAKNESS)
1. Tata Batas Kawasan Hutan 3 25 75
2. Lahan Kritis 2 20 40
3. Potensi Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu 3 15 45
4. Aparatur 3 20 60
5. Sarana dan Prasarana 3 20 60
Jumlah Nilai Kelemahan 100 280
PELUANG (Opportunities)
1. Potensi Permintaan Hasil Hutan Kayu 3 25 75
2. Potensi Permintaan HHBK 2 25 50
3. Potensi Permintaan Air 3 25 75
4. Peluang Kerjasama dgn NGO 2 25 50
Jumlah Nilai Peluang 100 250
ANCAMAN (Threats)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
100
SWOT
Skor SWOT Bobot (Persentase Besarnya
Kepentingan) Nilai
Rendah (1)
Sedang (2) Tinggi
(3)
1. Aksesibilitas 2 20 40
2. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Pembangunan KPHL SBD
3 20 60
3. Kegiatan berladang dan penggembalaan ternak
3 15 45
4. Kegiatan Berburu dan Meramu 3 15 45
5. Masalah Tenurial 3 15 45
6. Masalah Kemiskinan 3 15 45
Jumlah Nilai Ancaman 100 280
Berdasarkan hasil perhitungan masing-masing faktor di atas, maka dapat diketahui posisi
strategis KPHL Sumba Barat Daya saat sekarang yakni dengan menghitung sumbu P dan Q
sebagai berikut:
P = Kekuatan - Kelemahan = 180 – 280 = - 100
Q = Peluang – Ancaman = 225 – 280 = - 55
Pada koordinat PQ pada titik A tersebut menunjukkan bahwa strategi yang diterapkan dalam
pembangunan KPHL Sumba Barat Daya adalah menggunakan strategi bertahan. Artinya
pengelola KPHL Sumba Barat Daya dalam membangun KPHL Sumba Barat Daya pada tahap
awal ini harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Meningkatkan kekuatan dan peluang yang ada
2. Membuka peluang-peluang baru
3. Mengatasi dan menurunkan kelemahan yang ada
4. Menetralisir ancaman yang ada.
Berkaitan dengan kondisi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (SWOT) yang dimiliki
KPHL Sumba Barat Daya pada awal pembangunannya, maka langkah-langkah yang
disarankan untuk diterapkan sebagai dasar bagi penyusunan program strategi pembangunan
dan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai berikut.
i. Meningkatkan fungsi kawasan hutan yakni kawasan hutan lindung hutan produksi yang
pada saat pembangunan KPHL Sumba Barat Daya ini fungsinya belum maksimal;
ii. Meningkatkan tutupan lahan yang didominasi tutupan belukar dan hutan lahan kering
sekunder melalui rehabilitasi dan pengayaan jenis yang lebih produktif di kawasan hutan
produksi dan jenis yang memiliki nilai fungsi lindung yang tinggi di kawasan hutan
lindung;
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
101
iii. Mengurangi tingkat kekritisan lahan dari kritis menjadi agak kritis, dari agak kritis
menjadi potensial kritis dan potensial kritis menjadi tidak kritis melalui perbaikan faktor-
faktor yang menyebabkan kekritisan lahan;
iv. Meningkatkan dan memperkaya hasil hutan bukan kayu di blok HL – Pemanfaatan
maupun di Blok HP – Pemanfaatan;
v. Meningkatkan jasa ekosistem berupa pengembangan simpanan karbon dan melestarikan
jasa ekosistem air;
vi. Mengembangkan sylvopastural di tutupan lahan padang rumput atau savana dengan
ternak unggulan Sumba Barat Daya seperti kuda dan sapi;
vii. Melakukan penataan batas luar maupun batas antar blok dan antar petak di dalam KPHL
Sumba Barat Daya;
viii. Menjalin kerjasama dengan pihak donatur untuk mendapatkan pembiayaan kegiatan
sehingga tidak mengandalkan pembiayaan dari APBN maupun APBD;
ix. Melakukan penambahan pegawai (aparatur) sesuai dengan perkembangan kebutuhan
organisasi;
x. Meningkatkan kemampuan aparatur melalui pendidikan dan latihan, baik di dalam
provinsi maupun di luar provinsi;
xi. Meningkatkan kesadaran dan persepsi masyarakat terkait dengan keberadaan KPHL;
xii. Meningkatkan keterampilan masyarakat dalam melakukan pengolahan tanah tanpa api
dalam kegiatan perladangan maupun penggembalaan ternak;
xiii. Melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan.
Kekuatan Kelemahan
Peluang
Ancaman
A (-100,-55)
Gambar 37. Posisi Strategis Pada Awal Pembangunan KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
102
4.2 Proyeksi Kondisi Wilayah KPHL Sumba Barat Daya di masa yang akan
datang
4.2.1. Proyeksi Kelestarian Fungsi Lindung
Sesuai peruntukannya, KPHL Sumba Barat Daya adalah kesatuan pengelolaan yang
didominasi untuk mendukung kelestarian fungsi hutan lindung yakni pengaturan tata air dan
menjaga kesuburan tanah. Oleh karena itu pemanfaatan hutan lindung hanya ditujukan
untuk pemanfaatan yang tidak mengganggu fungsi utamanya tersebut yakni pemanfatan
HHBK dan jasa lingkungan. Berdasarkan potensi yang ada, jenis usaha yang dapat
dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya adalah sebagai berikut.
(1) Pemanfaatan kawasan
Pemanfaatan kawasan yaitu segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan (areal)
dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan. Adapun bentuk usaha yang dapat
dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya diantaranya adalah :
Usaha budidaya tanaman obat (herba): sirih hutan dan pinang hutan
Usaha tanaman bernilai tinggi yaitu kutu lak, asam, dan kemiri
Usaha budidaya perlebahan
Usaha budidaya penangkaran satwa liar yakni ular sanca
Usaha budidaya sarang burung walet
Usaha peternakan dengan model sylvopastural
Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan
Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.
Khusus untuk pemanfaatan kawasan di hutan produksi – blok pemanfaatan HHBK dan
blok pemberdayaan, bentuk usaha yang dapat dikembangkan adalah budidaya kayu
cendana. Sedangkan usaha peternakan dengan model sylvopastural dapat dikembangkan
di HP – Blok Pemberdayaan dengan tutupan savana.
(2) Pemanfaatan jasa lingkungan
Pemanfaatan jasa lingkungan yang dikembangkan adalah bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan fungsi
utamanya. Adapun bentuk usaha yang dapat dikembangkan di KPHL SBD diantaranya
adalah:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
103
Usaha wisata alam
Usaha olah raga tantangan
Usaha pemanfaatan air
Usaha perdagangan karbon (carbon trade)
Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan
Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.
(3) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung
Pemungutan HHBK yaitu pengambilan hasil hutan bukan kayu yang sudah ada secara
alami dengan tidak merusak fungsi utama kawasan. Adapun bentuk usaha yang dapat
dikembangkan di KPHL Sumba Barat Daya diantaranya adalah:
Mengambil rotan
Mengambil madu
Mengambil kutu lak
Mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya
Perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional.
Blok pemanfaatan adalah Blok Pemanfaatan Hutan Lindung, Blok Pemanfaatan Hutan
Produksi dan Blok HP Pemberdayaan.
4.2.1.1. Proyeksi pemanfaatan kawasan hutan
Arahan pemanfaatan KPHL Sumba Barat Daya untuk HHBK seluas 6.323,84 ha (31% dari
total KPHL Sumba Barat Daya) yang terdiri dari HL – Blok Pemanfaatan seluas 2.941,56 ha
(14%) dan HP – Blok Pemanfaatan HHK-HT seluas 1.603,88 ha (8%), HP – Blok
Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan HHBK seluas 960,34 ha (5%), HP- Blok lindung seluas
101,76 ha (0%) dan HP- Blok Pemberdayaan seluas 716,29 ha (3%). Dalam jangka panjang
arahan rehabilitasi seluas 2.986,74 ha (14%) di hutan produksi, potensi ini sangat kecil.
Secara umum pembangunan hutan tanaman untuk produksi hasil hutan HP- Blok
Pemanfaatan HHK-HT seluas 2.190,45 ha, HP-Pemanfaatan Jasa Lingkungan/HHBK seluas
243,23 ha dan HP-Blok Pemberdayaan seluas 552,93 ha. Berdasarkan distribusi areal
tersebut, maka pengembangan HHBK diarahkan pada 4 tujuan pokok, yaitu:
1. HL – Blok Pemanfaatan untuk pengembangan budidaya tanaman obat, antara lain untuk
sirih hutan dan pinang hutan, dan pengembangan budidaya tanaman bernilai tinggi
seperti kutu lak, asam dan kemiri;
2. HP – Blok Pemanfaatan untuk pengembangan budidaya cendana;
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
104
3. HP – Blok Pemberdayaan untuk pengembangan budidaya bernilai tinggi dan budidaya
cendana serta penggembalaan ternak pola sylvopastural.
Dengan potensi HHBK yang masih relatif kecil dan tidak akan menjamin kelestarian produksi,
maka dalam menuju untuk kelestarian produksi perlu dilakukan upaya sebagai berikut:
1. Melakukan pengayaan jenis (enrichment planting) dengan menanam yang akan
dikembangkan di masing-masing blok pemanfaatan dan blok pemberdayaan di atas;
2. Melakukan rehabilitasi lahan dengan menanam jenis yang akan dikembangkan di masing-
masing blok di atas;
3. Mengembangkan teknologi untuk menumbuhkan rumput di padang penggembalaan
tanpa menggunakan api.
Sehubungan dengan pertimbangan KPHL SBD sebagai unit usaha, maka jenis terpilih untuk
HHBK tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Diutamakan adalah jenis endemic;
b. Tanaman yang akan ditanam harus memiliki produksi yang tinggi;
c. Memiliki nilai jual yang tinggi;
d. Dapat dibuat economical unit yang menguntungkan bagi industri atau ekspor;
e. Kesesuaian faktor lingkungan seperti tanah, iklim, topografi, dan sebagainya dengan
jenis yang akan ditanam.
Asumsi yang digunakan dalam proyeksi HHBK periode 2015 – 2024 di wilayah KPHL SBD
adalah:
a. Pohon ditanam secara serentak selama empat tahun selesai;
b. Jenis HHBK utama yang akan dikembangkan adalah jenis endemik yang terdiri dari
pinang hutan, kutu lak, asam biji, kemiri hutan dan cendana;
c. Pengembangan HHBK untuk jenis pinang hutan, kutu lak, asam biji dan kemiri areal
hutan lindung, hutan produksi, dan blok hutan produksi pemberdayaan dengan arahan
pemanfaatan HHBK dan rehabilitasi;
d. Pengembangan HHBK untuk cendana hanya dikembangkan di areal hutan produksi dan
areal hutan produksi pemberdayaan dengan arahan pemanfaatan HHBK dan rehabilitasi;
e. Perhitungan proyeksi menggunakan jumlah pohon yang akan ditanam dengan jarak
tanam 3 x 2 m2 atau 1600 pohon per ha.
f. Pengembangan jenis HHBK dilakukan melalui pengayaan dengan menambah jumlah
pohon masing-masing yakni:
- Hutan Lindung di blok pemanfaatan HHBK sebanyak 10% atau 160 pohon per ha dan
blok rehabilitasi sebanyak 20% atau 320 pohon;
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
105
- Hutan Produksi di Blok Pemanfaatan HHBK sebanyak 30% atau 320 pohon per ha
dan di blok rehabilitasi sebanyak 100% atau 1600 pohon per ha;
- Hutan Produksi Pemberdayaan di Blok pemanfaatan HHBK sebanyak 15% atau 240
pohon per ha dan di blok rehabilitasi sebanyak 20% atau 320 pohon per ha;
- Harga jual yang digunakan adalah harga jual saat sekarang;
- Daur tebang pohon cendana adalah 50 tahun dengan produksi kayu cendana 500 kg
per pohon;
- Tanaman HHBK lainnya mulai berproduksi pada umur 4 tahun.
Berdasarkan asumsi tersebut, maka proyeksi HHBK periode 2015 - 2024 terlihat
sebagaimana Tabel 4.9. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
1. Proyeksi HHBK di Hutan Lindung
HHBK direncanakan dikembangkan di Blok HL Pemanfaatan HHBK dan di Blok Rehabilitasi
adalah pinang hutan, kutu lak, asam biji, dan kemiri. Jumlah pohon yang akan ditanam
masing-masing jenis adalah 470.650 batang. Dengan asumsi keempat komoditas tersebut
mulai dapat diambil hasilnya adalah pada tahun ke empat, maka total nilai selama 6 tahun
sampai tahun 2024 adalah sebesar Rp.2,5 trilyun atau rata-rata Rp.424 milyar.
2. Proyeksi HHBK di Blok HP Pemanfaatan Hutan Produksi
HHBK direncanakan di kembangkan di Blok HP Pemanfaatan HHBK dan di Blok
Rehabilitasi adalah hanya cendana dengan jumlah total pohon yang akan ditanam
sebanyak 815.966 pohon. Dengan asumsi bahwa daur pohon cendana ini baru ditebang
pada umur 50 tahun, maka periode 2015 – 2024 belum memperoleh pendapatan dari
produksi kayu cendana. Diperkirakan bahwa dengan jumlah pohon sebanyak tersebut
dengan harga sekarang, total pendapatan kayu cendana pada tahun 2065 di Blok HP
Pemanfaatan HHBK sebesar Rp. 203 trilyiun per tahun.
3. Proyeksi HHBK di Blok HP Pemberdayaan Hutan Produksi
HHBK yang direncanakan dikembangkan di Blok HP Pemberdayaan untuk HHBK dan di
Blok Rehabilitasi adalah pinang hutan, kutu lak, asam biji, kemiri dan cendana.dengan
jumlah total pohon yang akan ditanam untuk masing-masing jenis sebanyak 304.630
pohon. Untuk jenis HHBK selain cendana, diasumsikan bahwa keempat komoditas
tersebut mulai dapat diambil hasilnya adalah pada tahun ke empat, maka total nilai
selama 6 tahun sampai tahun 2024 adalah sebesar Rp. 76 trilyun per tahun.
Untuk cendana, dengan asumsi bahwa daur pohon cendana ini baru ditebang pada umur
50 tahun, maka periode 2015 – 2024 belum memperoleh pendapatan dari produksi kayu
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
106
cendana. Diperkirakan bahwa dengan jumlah pohon sebanyak tersebut dengan harga
sekarang, total pendapatan kayu cendana pada tahun 2065 di Blok HP Pemberdayaan
HHBK dan rehabilitasi sebesar Rp. 76 trilyun per tahun.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
107
Tabel 4. 9 Proyeksi HHBK Tahun 2015-2024 di Wilayah KPHL SBD
No. Blok/Jenis Komoditas
Pemanfaatan HHBK Rehabilitasi Total
Pohon
Produksi HHBK (ton)
Harga (Rp/kg)
Nilai (Rp. Juta)
Luas Jml Pohon Luas Jml Pohon Kg/phn Total (ton) Rata-Rata/
tahun Total
Rata-rata/tahun
A Hutan Lindung
2.545.462
424.244
1 Pinang Hutan
2.942
470.650 - -
470.650 0,46 216 2.598 7,5 116.909
19.485
2 Kutu Lak
2.942
470.650 - -
470.650 7 3.295 6.589 25 988.364
164.727
3 Asam Biji
2.942
470.650 - -
470.650 3 1.412 4.236 15 381.226
63.538
4 Kemiri
2.942
470.650 - -
470.650 25 11.766 35.299 5 1.058.962
176.494
B HP Produksi
10.199.579.292 203.991.586
1 Cendana
2.666
426.557
2.434 389.409
815.966
500
407.983
8.159.663
25 10.199.579.292
203.991.586
C HP Pemberdayaan
3.807.872.675
76.432.037
1 Pinang Hutan 716 171.910 553 132.720 304.630 0,46 140 1.682 7,5 493,481 12.612 2 Kutu Lak 716 171.910 553 132.720 304.630 7 2.132 4.265 25 4,028,906 106.620
3 Asam Biji 716 171.910 553 132.720 304.630 3 914 2.742 15 1,609,178 41.125
4 Kemiri 716 171.910 553 132.720 304.630 25 7.616 22.847 5 4,469,940 114.236
5 Cendana 716 171.910 553 132.720 304.630 500 152.315 3.046.298 25 3.807.872.182 76.157.444
Total 14.009.997.429
280.847.866
Sumber: Hasil Analisis
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
108
Selain kelestarian hasil hutan kayu dan non kayu, kelestarian produksi di wilayah KPHL SBD
ada kegiatan pemanfaatan hutan untuk jasa lingkungan. Dengan demikian perlu
mengalokasikan lahan hutan alami untuk dijadikan skema perdagangan karbon. Untuk itu
penggunaan areal pemanfaatan hutan yang bersifat alami untuk kepentingan jasa
lingkungan seperti REDD, RE, PAN/RAP KARBON perlu dirintis dan diwujudkan dalam periode
2015-2024. Disamping itu, menuju perkembangan permintaan akan wisata pantai dan
bahari, maka perlu dirintis untuk mengembangkan wisata alam pantai dan bahari periode
2015 – 2024.
4.2.2. Proyeksi Kelestarian Ekologis
Untuk menjamin kelestarian kawasan KPHL SBD ini diperlukan upaya rehabilitasi dan
reklamasi terhadap kawasan yang diklasifikasikan sebagai sangat kritis, kritis dan agak
kritis. Dalam 10 tahun ke depan diperkirakan lahan ini dapat diminimalkan apabila pengelola
KPHL dapat melakukan rehabilitasi seluas 10,396 ha atau rata-rata 1040 ha per tahun. Lahan
ini meliputi lahan sangat kritis seluas 4 ha, kritis seluas 1,964 ha, dan agak kritis seluas
8,428 ha. Kemudian juga harus menjaga lahan potensial kritis seluas 7,717 ha supaya
menjadi tidak kritis.
Tabel 4. 10 Proyeksi Pengurangan Tingkat Kekritisan Lahan di KPHL SBD Periode 2015 – 2024
Klasifikasi 2015
2024
Perubahan
ha % ha %
Tidak Kritis 142,07 1% 8.465,12 41% 40%
Potensial Kritis 13.073,68 63% 5.858,03 28% -35%
Agak Kritis 1.107,40 5% 6.323,48 31% 26%
Kritis 6.323,48 31% - 0% -31%
Sangat kritis 0 0% - 0% 0%
Total 20.646,64 100% 20.646,64 100%
Kelestarian ekologi kawasan KPHL SBD dapat terjaga dengan baik apabila tekanan terhadap
aktifitas yang merusak hutan seperti penebangan liar, perambahan liar, dan kebakaran
hutan dan lahan dapat diminimalkan. Apabila upaya ini dapat dilakukan maka wilayah
dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang tinggi dapat dikurangi.
Berdasarkan analisis yang dilakukan sebelumnya, bahwa kebakaran hutan dan lahan di areal
KPHL SBD lebih disebabkan oleh kebiasaan masyarakat menggunakan api dalam menyiapkan
lahan, menggembalan ternak dan berburu. Dengan melakukan kegiatan penyuluhan dan
peningkatan kapasitas masyarakat dalam penyiapan lahan tanpa menggunakan api dan
mengembangkan pengelolaan sylvopastural, maka diharapkan pada periode 2015 – 2024
dapat dikurangi minimal 20% dari kondisi sekarang.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
109
4.2.3. Proyeksi Kelestarian Sosial Ekonomi
Kelestarian KPHL SBD secara sosial ekonomi dapat dilakukan dengan adanya upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan dan peningkatan pendapatan
pertumbuhan ekonomi wilayah, serta peningkatan pendapatan bagi daerah. Dalam 10 tahun
mendatang, dengan berjalannya pengelolaan KPHL SBD yang diprioritaskan jenis HHBK yang
unggulan di Kabupaten Sumba Barat Daya yang sebagian besar berada di Blok HP
Pemberdayaan melalui pembentukan Hutan Kemasyarakatan, diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sumber kesejahteraan ini berasal dari penciptaan
tenaga kerja total sebanyak 4,418 orang.
Penciptaan lapangan kerja terjadi di Blok HP Pemberdayaan sebagai petani dengan asumsi 1
kepala keluarga memiliki 3 anggota keluarga sehingga dapat diserap sebanyak 2,209 orang.
Dengan asumsi bahwa pengelolaan HHBK di Blok HP Pemberdayaan dibuatkan Hutan
Kemasyarakatan dengan luas rata-rata 15 orang per KK, maka pendapatan masyarakat
peserta Hutan Kemasyarakatan mencapai Rp. 1,070,000 per bulan per orang atau total Rp.
1.76 trilyun. Sedangkan untuk Cendana dapat dinikmati oleh keturunannya dengan
pendapatan mencapai Rp. 2.9 trilyun.
Sisanya dari pengelolaan HL dan HP melalui HOK. Dengan asumsi UMR di Kabupaten SBD
sebesar Rp, 1,000,000, maka diperoleh penghasilan sebesar Rp. 4,418 milyar lebih per
tahunnya.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
110
Rencana kegiatan jangka panjang di KPHL Sumba Barat Daya diselaraskan dengan tujuan
Pemerintah baik Pemerintah Pusat, Provinsi Nusa Tenggara Timur maupun Kabupaten
Sumba Barat Daya. Sehingga melalui rencana jangka panjang ini para pemegang izin dan
pengelolaan hutan lainnya dalam areal KPHL mengetahui arah kebijakan dan strategi
penanganan masalah yang dihadapi akan dintegrasikan guna mewujudkan rencana jangka
panjang tersebut.
Rencana jangka panjang KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya telah mempertimbangkan
aspirasi dan kebutuhan para pihak seperti aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja,
penyelesaian konflik, pendampingan masyarakat, pengelolaan sistem informasi dan
database, rencana pendanaan, monitoring dan evaluasi. Partisipasi para pihak sangat
diperlukan dalam penyusunan rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan sehingga
semua pihak mampu bersinergi satu sama lain untuk mencapai visi, misi dan tujuan yang
telah ditetapkan dalam organisasi KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat Daya.
Kegiatan pengelolaan hutan yang akan dilakukan oleh KPHL SBD Kabupaten Sumba Barat
terintegrasi dalam rencana jangka panjang diuraikan dalam misi Kabupaten Sumba Barat
Daya tahun 2009-2013 sebagaimana berikut ini:
1. Mewujudkan kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya yang maju, berdaya saing
didukung prasarana dan sarana kehidupan yang memadai;
2. Mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel;
3. Mewujudkan kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya yang sejahtera.
Perencanaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan secara menyeluruh. Kegiatan
pengelolaan hutan pada umumnya melibatkan kegiatan-kegiatan seperti inventarisasi hutan;
Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; penggunaan
kawasan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; perlindungan hutan dan konservasi alam.
Selain kegiatan tersebut di atas, dalam sebuah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan),
manajemen sumberdaya hutan tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan tersebut karena KPH
RENCANA KEGIATAN BAB
5
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
111
berjalan menuju kemandirian dan profesional (BLU) dan kelompok masyarakat pengelola
hutan.
Rencana kegiatan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya tersebut dijelaskan secara lengkap,
sebagai berikut:
5.1 Inventarisasi Berkala Wilayah Kelola Serta Penataan Hutannya
Kegiatan inventarisasi hutan berkala bertujuan untuk: (1) Mengetahui kondisi hutan (timber
standing stock) secara berkala, (2) Bahan untuk menyusun Rencana Pengelolaan Wilayah
KPHL Sumba Barat Daya (SBD) sepuluh tahunan (untuk lebih detail periode 5 tahunan), dan
(3) Bahan pemantauan kecenderungan (trend) kelestarian hutan di areal KPHL SBD,
terutama pada fungsi kawasan hutan produksi.
Sedangkan penataan hutan adalah kegiatan penyusunan rencana pengusahaan hutan yang
ditata untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pemanfaatan hutan secara ekonomis dan
berdasarkan asas kelestarian.
Kegiatan inventarisasi dan penataan hutan dilakukan bersama antara Dinas Kehutanan
Kabupaten Sumba Barat Daya, KPHL Sumba Barat Daya (SBD) dan BKPH Wilayah XIV. Tim
yang melaksanakan kegiatan inventarisasi dan penataan hutan terdiri dari: Kepala dan Staf
KPHL SBD, staf BPKH, dan staf dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Penyusunan rencana kegiatan inventarisasi berkala wilayah KPHL SBD dilengkapi dengan:
(1) Peta areal kerja digital serta hasil cetak (hardcopy) dari areal yang akan di survei, (2)
Data penginderaan jauh resolusi tinggi dengan umur perekaman data tidak lebih dari 2
tahun terakhir serta mempunyai kualitas citra yang baik dengan maksimum tutupan areal
sebesar 5%, (3) Peta areal kerja, peta jalan, sungai dan lokasi permukiman atau
perkampungan baik dalam bentuk digital maupun hasil cetak (hardcopy), (4) Rencana bagan
sampling dan bentuk plot contoh, (5) Rencana alat dan perlengkapan di lapangan, (6) Tata
waktu pelaksanaan, (7) Rencana penyediaan tenaga kerja dan organisasi, (8) Rancangan
pengolahan analisis data dan pelaporan hasil dan (9) Rencana luaran (output).
Rencana kegiatan penataan hutan di wilayah KPHL SBD, meliputi: inventarisasi hutan,
pembagian blok dan petak, tata batas dalam wilayah KPHL SBD berupa penataan batas blok
dan petak, dan Pemetaan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
112
5.1.1 Inventarisasi Hutan
Inventarisasi di wilayah KPHL Sumba Barat Daya untuk mengumpulkan data-data di wilayah
pengelolaannya. Data tersebut dikumpulkan baik di hutan produksi dan hutan lindung,
maupun wilayah sekitar KPHL Sumba Barat Daya. Hasil inventarisasi digunakan sebagai
dasar dalam menyusun perencanaan hutan pada setiap tapak di wilayah kerja KPHL Sumba
Barat Daya.
Pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan ini diarahkan untuk mendapatkan data dan
informasi tentang: (1) Status penggunaan dan penutupan lahan, (2) Jenis tanah, kelerengan
lapangan/topografi, (3) Iklim, (4) Hidrologi (tata air), (5) bentang alam dan gejala-gejala
alam, (6) Kondisi sumber daya manusia dan demografi, (7) Jenis, potensi dan sebaran flora,
(8) Jenis, populasi dan habitat fauna dan (9) Kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.
Kegiatan inventarisasi ini terdiri atas: (1) Inventarisasi biogeofisik, (2) Inventarisasi sosial,
ekonomi, dan budaya. Kegiatan inventarisasi biogeofisik dan inventarisasi sosial, ekonomi
dan budaya sudah dilaksanakan (data hasil inventarisasi di Bab II). Kegiatan inventarisasi
akan diulang setiap 5 tahun sehingga data potensi biogeofisik, sosial, ekonomi dan budaya
areal pengelolaan selalu terbarukan (up to date).
5.1.2 Hasil Penataan Hutan di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya
Kegiatan penataan hutan di wilayah KPHL Sumba Barat Daya telah dilakukan dengan hasil
berupa pembagian areal ke dalam blok-blok berdasar fungsi hutan yang dipadukan dengan
RKTN dan karakteristik biogeofisik wilayah, sehingga areal kerja dapat diperoleh arahan
pengelolaannya. Hasil kegiatan penataan wilayah kerja KPHL SBD terdiri dari blok Hutan
Lindung (58%) dan blok Hutan produksi (42%). Hutan lindung terdiri dari arahan blok inti
dan blok pemanfaatan. Sedangkan blok hutan produksi terdiri dari blok arahan
pemanfaatan dan pemberdayaan. Berdasarkan wilayah administratif kecamatan, pembagian
blok dituangkan pada Gambar 38.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
113
Gambar 38. Peta Penataan Hutan di wilayah kerja KPHL SBD
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
114
Gambar 39. Luas blok fungsi dan arahan KPHL Sumba Barat Daya
Pembuatan rencana blok-blok kawasan dilakukan secara partisipatif dengan para pemangku
kepentingan untuk menghindarkan permasalahan di masa depan. Penyusunan blok-blok
pada dasarnya adalah proses perencanaan dan pembuatan kesepakatan secara partisipatif
antara KPHL SBD dengan para pemangku kepentingan terutama masyarakat sekitar
kawasan, Pemerintah Daerah dan lain-lain. Hasil proses ini dituangkan dalam dokumen
tertulis mengenai tata ruang atau blok-blok dalam kawasan KPHL SBD. Karena pembagian
blok-blok ini merupakan hasil kerja multi pihak, maka dibuat dokumen yang mengikat secara
hukum sehingga memiliki akuntabilitas dan legitimasi yang kuat. Pembuatan blok-blok
kawasan KPHL SBD merupakan upaya untuk memastikan terwujudnya penataan ruang yang
secara jelas mengatur tata hak yang secara konsiten ditegakkan dan harus dipatuhi oleh
para pihak.
5.1.3 Pembagian Blok Hutan Lindung di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya
Blok hutan lindung yang dimiliki oleh KPHL Sumba Barat Daya seluas + 12.028,41 ha yaitu
sekitar 58% dari total. Blok hutan lindung ini terdiri dari dua blok, yaitu blok inti dan blok
pemanfaatan. Secara detail disajikan pada tabel berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
115
Tabel 5. 1 Pembagian blok dan arahan pengelolaan KPHL SBD
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
Dari tabel di atas diketahui bahwa Blok hutan lindung KPHL SBD sebagian besar dialokasikan
sebagai blok inti dengan arahan karbon stok (50%), berikutnya adalah blok paemanfaatan
arahan APL (25%). Sedangkan peruntukan blok lainnya relatif kecil.
i. Blok Inti
Keberadaan blok inti dari hutan lindung berfungsi lindung setempat, terutama perlindungan
hidrologis dan sebagai penyimpan karbon. Blok inti di wilayah KPHL SBD seluas + 6059,30
ha diperuntukkan sebagai blok arahan untuk karbon stok. Skema karbon stok tersebut perlu
direncanakan dengan seksama dengan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Tutupan
lahan di blok inti ini didominansi oleh hutan lahan kering primer sebesar 75%. Kondisi ini
merupakan kondisi alami yang akan dipertahankan dalam mendukung penyimpanan karbon
sesuai arahan blok.
Gambar 40. Kondisi tutupan vegetasi di areal blok inti di Hutan lindung KPHL Sumba Barat Daya
11%
75%
8% 3% 2% Belukar
Hutan Lahan KeringPrimer
Hutan Lahan KeringSekunder
Pertanian Lahan KeringCampur
Tanah Terbuka Kosong
Blok Arahan Luas (Ha) Persentase
(%)
BLOK INTI KARBON STOK 6.059,30 50%
BLOK PEMANFAATAN
APL
3.027,55 25%
SKALA KECIL
2.941,56 24%
TOTAL
12.028,41 100%
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
116
Selain areal-areal yang berupa hutan lahan kering primer diketahui bahwa sebagian areal
memiliki tutupan berupa belukar, hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering
campur. Berdasarkan kondisi ini maka areal tersebut yang berada di dalam blok inti
membutuhkan perlakuan khusus, yaitu merehabilitasi areal dengan jenis-jenis tanaman asli
sesuai tipe ekosistem hutannya atau pada beberapa areal yang tingkat fragmentasinya
rendah dapat dibiarkan untuk menjalani proses suksesi secara alami. Terkait dengan fungsi
yang dimiliki areal ini direncanakan untuk direhabilitasi dengan jenis-jenis tanaman yang
mendukung fungsi perlindungan tata air dan pencegah erosi agar kawasan lindung setempat
dapat terjaga dengan baik.
Berdasarkan kondisi kemiringan lahan diketahui bahwa areal blok inti ini dominan berada
pada kelas lereng 15-25 % (curam) dan 25-40 % (sangat curam), sehingga memiliki resiko
ekologis yang tinggi. Sebagai blok perlindungan, areal tersebut dimaksudkan untuk
mendukung fungsi kawasan lindung setempat atau dengan pengertian lain tidak untuk
dimanfaatkan pada skala komersial.
Gambar 41. Luas setiap kelas lereng di blok inti hutan lindung KPHL SBD
0,00
500,00
1000,00
1500,00
2000,00
2500,00
3000,00
0 - 8% 15 - 25% 25 - 40%
Luas
(H
a)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
117
ii. Blok Pemanfaatan
Blok Pemanfaatan Hutan Lindung di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya merupakan blok
yang paling luas mencapai sekitar 5969,12 ha atau 28,9 % dari total luas KPHL SBD.
Terdapat empat bentuk blok arahan sesuai RKTN dan kondisi karakteristik wilayah setempat
berupa APL (areal penggunaan lain) dan usaha skala kecil (Gambar 42).
Gambar 42. Luas blok arahan pada blok pemanfaatan hutan lindung KPHL SBD
Kondisi tutupan lahan sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD
terdapat berbagai keragaman dari wilayah yang masih tertutup hutan sampai tanah kosong.
Secara lebih rinci tutupan lahan di areal ini disajikan pada tabel berikut:
Tabel 5.2 Sebaran blok pemanfaatan di dalam areal hutan lindung KPHL SBD
BLOK ARAHAN TUTUPAN LAHAN LUAS (ha)
APL
Belukar 1.666,94
Hutan Lahan Kering Sekunder 684,81
Padang Rumput/Savana 675,80
USAHA SKALA
KECIL
Belukar 1.583,45
Hutan Lahan Kering Primer 1.107,91
Hutan Lahan Kering Sekunder 250,20
LUAS TOTAL 5.969,12
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
3027,55 ha
2941,56 ha
APL
Arahan Usaha Skala Kecil
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
118
1) Pemanfaatan Blok untuk Areal Penggunaan Lain (APL)
Areal penggunaan lain (APL) di dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung memiliki porsi
yang cukup besar bila dibandingkan dengan arahan lainnya. Keberadaan APL ini
memerlukan perhatian secara khusus dalam penataan lebih lanjut mengingat sebagian besar
areal berupa belukar, sebagian areal lainnya non hutan adalah padang rumput/savana dan
pertanian lahan kering campur. Kondisi tutupan vegetasi pada APL secara keseluruhan
ditunjukkan pada Gambar 43 berikut:
Gambar 43. Kondisi sebaran tutupan vegetasi pada APL di Hutan Lindung KPHL SBD
2) Penataan Blok Usaha Skala Kecil
Usaha skala kecil merupakan bentuk arahan yang ditujukan kepada masyarakat sekitar pada
blok pemanfaatan di kawasan hutan lindung. Berdasarkan hasil analisis spasial diperoleh luas
areal yang direncanakan untuk usaha skala kecil mencapai 2.941,56 ha. Pemanfaatan yang
dapat dilakukan adalah yang tidak mengganggu fungsi hidrologis dari lahan. Kondisi tutupan
lahan di wilayah sasaran diketahui bahwa lahan-lahan umumnya berupa belukar. Kondisi
sebaran tutupan areal pada blok pemanfaatan hutan lindung di wilayah sasaran disajikan
pada gambar berikut:
55%
23%
22%
Belukar
Hutan Lahan KeringSekunder
Padang Rumput/Savana
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
119
Gambar 44. Kondisi tutupan areal di wilayah sasaran usaha skala kecil di hutan lindung
blok pemanfaatan
Untuk membangun skema pengelolaan skala kecil ini perlu kerjasama yang baik dengan
masyarakat sekitar hutan. Masyarakat dibina membentuk unit kelembagaan yang kuat,
berupa kelompok atau koperasi. Bentuk kegiatan dapat diusahakan oleh skala kecil di hutan
lindung berupa pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, seperti gaharu, nilam, dan lainnya.
5.1.4 Pembagian Blok Hutan Produksi di Areal Kerja KPHL Sumba Barat Daya
Hutan produksi di wilayah kerja KPHL Sumba Barat Daya sebesar 44% dari total luas areal
kerja KPHL SBD, yaitu seluas + 8.618,23 ha. Hutan produksi ini terbagi menjadi dua blok,
yaitu blok pemberdayaan dan blok pemanfaatan sebagaimana disajikan pada tabel berikut:
Tabel 5. 3 Pembagian blok hutan produksi di wilayah KPHL SBD
BLOK BLOK ARAHAN LUAS (Ha) PERSENTASE
(%)
BLOK PEMANFAATAN HHK-HT
APL 905,05 11%
Rehabilitasi 2.190,45 25%
Usaha Skala Besar 355,88 4%
Usaha Skala Kecil 944,75 11%
BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK
APL 1.052,99 12%
Rehabilitasi 243,23 3%
BLOK LINDUNG
APL 1.117,09 13%
Karbon Stok 437,68 5%
Rehabilitasi 0,12 0%
Usaha Skala Besar 101,76 1%
1.583,45 1.107,91
250,20
Belukar
Hutan Lahan KeringPrimer
Hutan Lahan KeringSekunder
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
120
BLOK BLOK ARAHAN LUAS (Ha) PERSENTASE
(%)
BLOK PEMBERDAYAAN APL 716,29 8%
Rehabilitasi 552,93 6%
Grand Total 8.618,23 100%
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
A. Blok Pemanfaatan HHK-HT
Blok pemanfaatan HHK-HT di kawasan hutan produksi KPHL SBD seluas 4.396,13 ha. Terdiri
dari empat blok arahan, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL), blok rehabilitasi,usaha skala
besar dan usaha skala kecil. Kondisi tutupan lahan pada blok pemberdayaan di hutan
produksi KPHL SBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 45. Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemanfaatan HHK-HT KPHL SBD
Kondisi tutupan lahan yang terbanyak di blok pemanfaatan HHK-HT hutan produksi di KPHL
SBD adalah hutan lahan kering primer dan belukar. Dalam rangka kegiatan rehabilitasi selain
bersumber dari anggaran pemerintah/daerah juga bekerjasama dengan mitra lainnya seperti
perusahaan yang memiliki komitmen dan program rehabilitasi hutan dan lahan. Program
rehabilitasi yang dilakukan diintegrasikan dengan pemberdayaan masyarakat, sehingga
manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari kegiatan rehabilitasi tersebut dapat dirasakan
oleh masyarakat.
- 200,00 400,00 600,00 800,00
1.000,00 1.200,00 1.400,00
Be
luka
r
Hu
tan
Lah
an K
erin
g P
rim
er
Hu
tan
Lah
an K
erin
g Se
kun
de
r
Be
luka
r
Hu
tan
Lah
an K
erin
g P
rim
er
Hu
tan
Lah
an K
erin
g Se
kun
de
r
Hu
tan
Lah
an K
erin
g P
rim
er
Hu
tan
Lah
an K
erin
g P
rim
er
APL Arahan untuk RehabilitasiArahanUsahaSkalaBesar
ArahanUsahaSkalaKecil
601,80
183,48 119,77 194,37
1.393,33
602,75 355,88
944,75
Luas
(H
a)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
121
B. Blok Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan HHBK
Blok pemanfaatan di hutan produksi KPHL SBD memiliki luas + 1.296,22 ha. Berdasarkan
kriteria RKTN areal di wilayah ini diarahkan untuk direhabilitasi dan APL. Berdasarkan
tutupan lahan menunjukkan bahwa areal-areal di lokasi ini sebagian besar merupakan hutan
lahan kering primer dan sedikit belukar.
Gambar 46. Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok pemanfaatan jasa lingkungan
C. Blok Lindung
Blok pemanfaatan di hutan produksi KPHL SBD memiliki luas + 1.656,65 ha. Berdasarkan
kriteria RKTN areal di wilayah ini diarahkan untuk APL, karbon stok, rehabilitasi dan usaha
skala besar. Berdasarkan tutupan lahan menunjukkan bahwa areal-areal di lokasi ini
sebagian besar merupakan hutan lahan kering primer dan sedikit belukar.
Gambar 47. Kondisi tutupan vegetasi di areal HP-Blok Lindung
- 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00
Belukar Hutan Lahan KeringPrimer
Hutan Lahan KeringPrimer
APL Arahan untukRehabilitasi
186,20
866,79
243,23
Luas
(H
a)
-
500,00
1.000,00
Belukar Hutan LahanKeringPrimer
Hutan LahanKeringPrimer
Belukar Belukar
APL Karbon Stok Arahanuntuk
Rehabilitasi
ArahanUsaha Skala
Besar
168,48
948,61
437,68
0,12 101,76
Luas
(H
a)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
122
Kawasan hutan produksi di KPHL SBD yang masuk dalam blok lindung untuk karbon stok
seluas 437,68 ha. Tutupan lahan pada areal ini didominasi oleh hutan lahan kering primer.
Perlu dilakukan pengawasan dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Untuk
menduga karbon stok yang dapat disimpan di wilayah ini, maka perlu dilakukan penelitian-
penelitian baik secara mandiri maupun melibatkan pihak-pihak lain di luar seperti perguruan
tinggi atau lembaga lingkungan lainnya.
D. Blok Pemberdayaan
Blok pemberdayaan di kawasan hutan produksi KPHL SBD seluas 1.269,23 ha. Terdiri dari
dua blok arahan, yaitu Areal Penggunaan Lain (APL) dan blok rehabilitasi. Kondisi tutupan
lahan pada blok pemberdayaan di hutan produksi KPHL SBD disajikan pada gambar berikut:
Gambar 48. Kondisi sebaran tutupan lahan di blok pemberdayaan KPHL SBD
Kondisi tutupan lahan yang terbanyak di blok pemberdayaan hutan produksi di KPHL SBD
adalah hutan lahan kering primer dan belukar. Untuk lahan belukar perlu penanganan serius
untuk peningkatan produktivitas agar mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
Rehabilitasi dengan jenis-jenis kayu komersil dan HHBK merupakan strategi yang tepat
dengan pola agroforestry multidaur. Jenis-jenis tanaman yang digunakan juga perlu
disesuaikan dengan kondisi lahan yang kering dengan sumber air yang terbatas di NTT, dan
kondisi kecuraman yang ada di wilayah tersebut. Strategi ini diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat secara terus menerus melalui hasil-hasil
pertanian dan kehutanan. Pada sisi yang lain lahan dapat menahan bahaya erosi di musim
hujan. Sebagai blok pemanfaatan, areal tersebut dimaksudkan untuk mendukung fungsi
pemanfaatan pada aspek tertentu. Untuk KPHL SBD pemanfaatan yang ditekankan adalah
untuk jasa lingkungan berupa karbon stok dan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan kondisi
kemiringan lahan diketahui bahwa areal sebagian besar berada pada kelas lereng 8-15%
-
200,00
400,00
600,00
Belukar PertanianLahan Kering
Campur
Hutan LahanKering Primer
Hutan LahanKering
Sekunder
APL Arahan untuk Rehabilitasi
427,18
289,11 367,62
185,32
Luas
(H
a)
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
123
(landai), sehingga tidak terlalu berisiko dalam melaksanakan rehabilitasi. Terkait dengan
fungsi yang dimiliki areal ini maka areal belukar direncanakan untuk direhabilitasi dengan
jenis-jenis tanaman yang mendukung fungsi pemanfaatan untuk masyarakat setempat
dapat terjaga dengan baik.
5.2 Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu
Kawasan KPHL Sumba Barat Daya tidak terdapat izin lainnya sehingga seluruh wilayah KPHL
SBD masuk kategori wilayah tertentu. Potensi hutan yang dimiliki KPHL SBD perlu digali
dan dipromosikan sehingga dikenal dan menjadi daya tarik bagi investor dalam
memanfaatkan dan meningkatkan nilainya. Promosi diawali dengan melakukan inventarisasi
potensi, membuat profil potensi yang bisa dikerjasamakan dan menyampaikan ke berbagai
pihak.
Salah satu pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu adalah melalui pemanfaatan jasa
lingkungan. Pemanfaatan jasa lingkungan ini merupakan produk Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (SDAHE) berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak
langsung (intangible), yang meliputi antara lain jasa wisata alam, jasa perlindungan tata
air/hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan,
penyerapan dan penyimpanan karbon.
Manfaat lainnya dari wilayah tertentu di KPHL SBD adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
HHBK yang dihasilkan dari wilayah kerja KPHL SBD akan diusahakan untuk dapat dipasarkan
setelah melalui proses pengolahan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan nilai produknya di
pasar. Di dalam tahap awal pengembangan sentra industri HHBK perlu didukung oleh
kerjasama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Di dalam tahap awal, kerjasama
pengembangan sentra HHBK dapat dilakukan dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.
Hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi tinggi di kawasan hutan KPHL SBD adalah
minyak cendana, alkohol dan daun lontar dari penyadapan dan pengambilan daun lontar.
Disamping itu perlu dieksplorasi tanaman obat yang ada di dalam kawasan hutan di KPHL
tersebut.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
124
Gambar 49. Peta Wilayah Tertentu KPHL Sumba Barat Daya
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
125
5.3 Pemberdayaan masyarakat
Kabupaten Sumba Barat Daya tergolong wilayah yang sangat subur. Hasil tanaman pangan
seperti padi, jagung, kedelai, berbagai jenis kacang dan masih banyak jenis lainnya. Hasil
jagung dan kacang-kacangan sebagai andalan komoditi keluar wilayah Sumba Barat Daya.
Hasil perkebunan andalan komoditi Sumba Barat Daya seperti Jambu Mente, kelapa, kemiri,
kopi dan masih banyak lainnya. Hasil kehutanan yang sangat menonjol adalah Kayu Jati,
kayu Mahoni dan lainnya. Hasil peternakan,sebagai wilayah sabana di sebagian wilayah tentu
pasti peternakan andalan adalah Sapi, Kerbau, Kuda dan Babi.
Hal tersebut membuat ketergantungan masyarakat sekitar KPHL SBD masih tinggi terhadap
lahan dan hutan yang sering menimbulkan tekanan keberlanjutan sumber daya dan hutan.
Untuk menjaga keberlanjutan potensi sumber daya lahan dan hutan maka diperlukan upaya
pemberdayaan masyarakat berupa meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat
petani dalam kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang memperhatikan
upaya fungsi kawasan lindung.
Dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat dalam perlindungan, pelestarian dan
rehabilitasi perlu dilakukan dengan melibatkan lembaga adat masyarakat desa sekitar KPHL
SBD. Melalui penguatan lembaga adat dalam perlindungan, pelestarian dan rehabilitasi hutan
di wilayah hutan KPHL akan lebih efektif.
Peningkatan nilai tambah ekonomi dari produk dan jasa yang berbasiskan kreatifitas
masyarakat setempat perlu didorong oleh manajemen KPHL SBD. Baik berupa HHBK maupun
jasa lingkungan. Peningkatan nilai seni dari produk HHBK melalui pengembangan obat-
obatan berbasis pengetahuan lokal merupakan contoh kegiatan kreatif yang dapat
meningkatkan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
5.4 Pembinaan dan Pemantauan (Controlling) Pada Areal KPHL Yang
Telah Ada Izin Pemanfaatan Maupun Penggunaan Kawasan
Hutannya
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Sumba Barat Daya, saat ini pada wilayah
pengelolaan KPHL SBD tidak terdapat pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Untuk menjamin penyelenggaraan pengelolaan berjalan dengan baik, maka kegiatan-
kegiatan yang dapat mengganggu keutuhan ekosistem hutan KPHL SBD harus dapat
dicegah.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
126
Keberadaan KPHL SBD akan mengubah hubungan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan.
Sehingga sistem pemantauan (controlling) hutan yang dikembangkan dilakukan secara
partisipatif dengan masyarakat. Untuk mendapatkan dukungan dan keberadaannya diterima
oleh masyarakat, maka diperlukan program sosialisasi baik melalui tatap muka maupun
media sosial lainnya. Program sosialisasi ini harus dilakukan secara terus menerus sesuai
dengan tahapan kegiatan pengelolaan. Program sosialisasi yang dilakukan bukan hanya
sekedar untuk meningkatkan pemahaman akan KPHL tetapi ditujukan untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan KPHL SBD.
Kegiatan pengamanan yang melibatkan masyarakat salah satu contohnya adalah dalam
kegiatan penandaan batas kawasan. Sebelum dilakukan penandaan batas di lapangan
berupa pal atau patok batas, maka perlu dilakukan sosialisasi mengenai batas wilayah
pengelolaan KPHL SBD. Sosialisasi tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik
antar pihak yang berkepentingan terhadap kawasan yang ditentukan sebagai kawasan KPHL
SBD. Batas tersebut harus diketahui oleh para pihak, terutama masyarakat yang berada
dekat dengan wilayah kerja.
Kepala KPHL wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan
izin pemanfaatan hutan di wilayah KPH-nya. Hasil pembinaan, pemantauan dan evaluasi ini
wajib dilaporkan setiap tiga bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota.
5.5 Penyelenggaraan Rehabilitasi Pada Areal Di Luar Izin
Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya
dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan utama di dalam
rencana pemulihan hutan dan lahan diarahkan kepada revegetasi di lahan yang mengalami
degradasi baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan.
Terdapat dua kegiatan dalam rehabilitasi, yaitu kegiatan penanaman dan kegiatan
konservasi tanah. Para pelaku pembangunan di luar sektor kehutanan berkewajiban
melakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi, karena usahanya berpotensi menimbulkan
perubahan dan terganggunya ekosistem hutan, seperti usaha pertambangan.
KPHL SBD memiliki blok rehabilitasi pada fungsi kawasan hutan lindung seluas + 991,17 ha
dan blok rehabilitasi pada fungsi kawasan hutan produksi seluas + 121,81 ha, sehingga total
luas blok rehabilitasi adalah 1112,98 ha. Luasan tersebut direncanakan akan dilaksanakan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
127
secara bertahap setiap tahun anggaran. Pelaksanaan rehabilitasi harus memperhatikan
musim penghujan dan jenis-jenis yang cocok pada kawasan KPHL SBD.
5.6 Pembinaan Dan Pemantauan (Controlling) Pelaksanaan Rehabilitasi
Dan Reklamasi Pada Areal yang Sudah Ada Izin Pemanfaatan
Maupun Penggunaan Kawasan Hutan
KPHL SBD belum terdapat izin lain selain kegiatan KPHL bersangkutan. Sehingga seluruh
kegiatan pembinaan dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi saat ini
dikelola langsung oleh KPHL SBD. Sistem pelaksanaan rehabitasi melibatkan masyarakat
yang ada di sekitar areal KPHL SBD. Pelibatan masyarakat terjadi dalam beberapa kegiatan
seperti penanaman, pembangunan teknik konservasi, pembuatan persemaian dan penyedia
bibit melalui kelompok-kelompok masyarakat, serta kegiatan lainnya.
Untuk melibatkan masyarakat perlu keguiatan pembinaan baik dalam bentuk penyuluhan,
maupun pendampingan.
Di dalam merencanakan kegiatan pemulihan hutan dan lahan secara revegetasi, ada
beberapa faktor yang menentukan pemilihan jenis dan pola tanam yang akan dilakukan
yakni:
- Kondisi iklim. Areal KPHL SBD berada di wilayah beriklim tropis, namun secara umum
tergolong kering hingga sedang (tipe F) dengan memiliki 2 (dua) musim yaitu musim
hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung rata-rata berlangsung selama 4
bulan antara bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan musim
kemarau berlangsung selama 8 bulan terjadi antara bulan April sampai dengan bulan
November setiap tahunnya. Rata-rata curah hujan per tahun adalah 500 - 1200 mm.
Suhu udara rata-rata 270 C dengan suhu minimum mencapai 200 C dan suhu
maksimum mencapai 330 C. Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 72%
sampai 84% sedangkan kecepatan angin tergolong rendah rata-rata 8,4 knot/jam.
- Kondisi Topografi. Areal KPHL SBD berada di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya
yang didominasi oleh wilayah berbukit hingga bergunung dengan topografi curam dan
sangat curam (lereng lebih dari 25%) dengan sedikit dataran berupa Topografi lereng
datar (0-2% dan 2-8%), lereng landai (8-15%) hanya seluas 18,01%. Ketinggian dari
permukaan laut hingga 1.319 meter.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
128
- Mata pencaharian penduduk di dalam dan sekitar KPHL. Berdasarkan hasil wawancara
dan pencatatan monografi desa, sebagian besar (77%) mata pencaharian penduduk
di dalam dan sekitar KPHL adalah pertanian dan peternakan. Mengingat curah hujan
yang rendah, maka kegiatan pertanian yang dilakukan adalah berladang berpindah
dan mengandalkan curah hujan.
Berdasarkan tiga faktor utama tersebut, maka arah dari rencana revegetasi dalam upaya
memulihkan fungsi hutan yang mengalami degradasi di setiap arahan blok adalah sebagai
berikut.
1) Blok Hutan Lindung
Berdasarkan hasil tata hutan KPHL SBD diperoleh tingkat kekritisan lahan
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 5. 4 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Lindung KPHL SBD
Blok hutan lindung Tingkat kekritisan Luas (ha)
HL-BLOK INTI
Kritis 2.980,34
Potensial Kritis 2.936,88
Tidak Kritis 142,07
Total HL-BLOK INTI 6.059,30
HL-BLOK PEMANFAATAN
Agak Kritis 264,08
Kritis 1.584,78
Potensial Kritis 4.120,25
Total HL-BLOK PEMANFAATAN 5.969,12
TOTAL 12.028,41
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
Revegetasi hutan diarahkan untuk kelas kritis dan sangat kritis. Adapun rencana
pemulihan di lokasi tersebut adalah sebagai berikut:
- Blok Inti. Kondisi lahan kritis di Blok Inti Hutan Lindung seluas 2.1980,34 ha.
Rehabilitasi lahan di Blok ini ditujukan untuk perlindungan tata air dan simpanan
karbon (carbon sink). Karena tipe iklimnya adalah tipe F dengan curah hujan rendah,
maka jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis mempunyai
perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah dan kurang memiliki potensi
pemanfaatannya (bio material) selain sebagai penyimpanan karbon.
- Blok Pemanfaaatan. Rehabilitasi lahan di Blok Pemanfaatan Hutan Lindung ditujukan
untuk kondisi lahan agak kritis dan kritis seluas 1.848,87 ha. Dengan memperhatikan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
129
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar KPHL, maka rehabilitasi ini dimaksudkan
untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan
sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung
pengembangan jasa ekosistem, wisata alam, dan pengembangan hasil hutan non
kayu, pakan ternak dan pangan. Karena tipe iklimnya adalah tipe iklim F dengan curah
hujan rendah, maka jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis
perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah yakni jenis Multi Purpose
Tree Species (MPTS) dari jenis asli yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.
2) Blok Hutan Produksi
Berdasarkan hasil tata hutan KPHL SBD diperoleh tingkat kekritisan lahan
sebagaimana tabel berikut:
Tabel 5. 5 Tingkat Kekritisan Lahan di Blok Hutan Produksi KPHL SBD
BLOK HUTAN PRODUKSI TINGKAT
KEKRITISAN LUAS (HA)
HP-PEMANFAATAN HHK-HT Kritis 127,37
Potensial Kritis 4.268,76
HP-BLOK PEMANFATAAN JASA LINGKUNGAN DAN HHBK
Agak Kritis 178,38
Kritis 313,98
Potensial Kritis 803,86
HP-BLOK LINDUNG
Agak Kritis 237,76
Kritis 1.317,01
Potensial Kritis 101,89
TOTAL HP-BLOK PEMANFATAAN 7.349,00
HP-BLOK PEMBERDAYAAN Agak Kritis 427,18
Potensial Kritis 842,05
TOTAL HP-BLOK PEMBERDAYAAN 1.269,23
TOTAL 8.618,23
Sumber : Hasil analisis spasial (2015)
Adapun rencana pemulihan di lokasi tersebut diarahkan pada lahan kritis dan sangat kritis
adalah sebagai berikut:
- Blok pemanfataan jasa lingkungan dan HHBK. Kondisi lahan kritis di Blok pemanfataan
HHK-HT, Blok pemanfaatan jasa lingkungan dan HHBK dan Blok lindung pada Hutan
Produksi, yaitu lahan kritis dengan luas 1.758,36 ha. Sedangkan yang agak kritis
luasnnya adalah 416,14 ha dan lahan potensial kritis seluas 5.174,50 ha. Rehabilitasi
lahan di Blok ini ditujukan untuk meningkatkan potensi pemanfaatan untuk jasa
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
130
lingkungan dan HHBK, sehingga perlu ditanam jenis-jenis tertentu yang menunjang
tujuan tersebut. Karena tipe iklimnya adalah tipe F dengan curah hujan rendah, maka
jenis tanaman yang akan dipilih adalah jenis endemik. Untuk jasa lingkungan dipilih
jenis mempunyai perakaran dalam dengan tingkat evapotranspirasi rendah dan
kurang memiliki potensi pemanfaatannya (bio material) selain sebagai penyimpanan
karbon. Sedangkan untuk HHBK dipilih jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan hasil non
kayunya, seperti kayu putih, kayu manis, dan gaharu.
- Blok Pemberdayaan. Rehabilitasi lahan di Blok Pemberdayaan Hutan Produksi
ditujukan untuk kondisi lahan agak kritis seluas 427,18 ha dan lahan potensial kritis
adalah 842,05 ha. Blok ini telah ada upaya masyarakat masuk ke dalam kawasan
sehingga akan diarahkan menjadi pengelolaan hutan bersama masyarakat, dalam
bentuk skala besar ataupun skala kecil seperti HTR, HKM, atau hutan desa. Dengan
memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar KPHL, maka rehabilitasi ini
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan
dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya meningkat. Karena
tipe iklimnya adalah tipe iklim F dengan curah hujan rendah, maka jenis tanaman
yang akan dipilih adalah jenis endemik, jenis perakaran dalam dengan tingkat
evapotranspirasi rendah yakni jenis Multi Purpose Tree Species (MPTS) dari jenis asli
yang dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.
5.7 Penyelenggaraan Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam
Perlindungan terhadap kawasan hutan dan konservasi alam diarahkan untuk
mempertahankan eksistensi kawasan, serta menjaga agar fungsi-fungsi kawasan terhindar
dari proses degradasi akibat ulah manusia, bencana alam, maupun karena serangan hama
dan penyakit.
Salah satu faktor yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan adalah karena adanya
berbagai kepentingan yang berbeda atas sumber daya hutan sehingga mempengaruhi
pilihan tindakan yang berbeda-beda pula. Misalnya para pengusaha, pilihan tindakannya
cenderung berorientasi untuk kepentingan memperbesar modal yang dalam pelaksanaannya
justru mengorbankan kepentingan lain, seperti mengabaikan asas konservasi atau
kelestarian lingkungan, merebut kepemilikan lahan hutan yang sebelumnya dikuasai rakyat
setempat, atau penggunaan hutan dan lahan oleh masyarakat akibat tidak tersedianya lahan
pekerjaan, kemiskinan, dan penguasaan keterampilan yang rendah, telah meningkatkan
ketergantungan masyarakat terhadap hutan (sandang, pangan, dan papan). Untuk
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
131
mengurangi kerusakan akibat degradasi dan deforestasi maka diperlukan penyelenggaraan
perlindungan dan konservasi alam tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat yang ada di
dalam dan sekitar hutan.
5.7.1 Perlindungan Hutan
Dasar hukumnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah: (1) UU RI No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) Permenhut
P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada
KPHL dan KPHP, (3) PP Nomor 60 tahun 2009 tentang Perubahan PP Nomor 45 tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan, dan (4) Permendagri Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi di Daerah.
Perlindungan hutan dilaksanakan dengan tujuan melindungi kawasan hutan dan proses
produksi dapat berjalan dengan baik. Prinsip pelaksanaan perlindungan hutan adalah (1)
upaya penanganan diutamakan secara preventif, (2) Perlakuan represif dilakukan dengan
mempertimbangkan hasil proses intelijen yang akurat, (3) Sosialisasi seluruh peraturan
perundangan senantiasa dilakukan oleh seluruh aparat, (4) Pelatihan fisik petugas polisi
kehutanan dilakukan secara rutin sekurang-kurangnya setiap minggu sekali, (5) Operasi
dilakukan melalui operasi fungsional dan operasi gabungan, (6) Penanganan kebakaran
diupayakan bersama dengan masyarakat secara bersama-sama, (7) Persediaan makanan
ternak diupayakan dengan memanfaatkan jenis tanaman sela ataupun tanaman inti, dan (8)
Permasalahan penggunaan tanah diselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku.
5.7.2 Konservasi Alam
Rencana teknis konservasi alam merupakan penjabaran dari salah satu atau beberapa
kegiatan teknis yang telah tersusun dalam rencana pengelolaan. Untuk setiap kegiatan
dalam rencana pengelolaan yang memerlukan penjabaran lebih rinci, masing-masing dapat
disusun rencana teknisnya, misalnya rancangan untuk bangunan tertentu, pembinaan
habitat, pembinaan populasi dan rancangan pengambilan sumber genetik.
Pembinaan Habitat dan Populasi Untuk memperbaiki atau memulihkan kerusakan tumbuhan,
satwa, atau ekosistem dapat dilakukan pembinaan habitat yang pelaksanaannya harus tetap
memperhatikan prinsip konservasi. Agar kualitas dan kuantitas jenis tumbuhan dan satwa
tetap berada dalam keadaan seimbang dan dinamis, di setiap kawasan konsenvasi pada
dasarnya dapat dilakukan pembinaan populasi yang pelaksanaannya harus tetap
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
132
memperhatikan prinsip konservasi; Pembinaan habitat dan populasi pada pengelolaan
tumbuhan dan satwa serta habitatnya meliputi kegiatan berupa: (1) pembinaan padang
rumput untuk satwa, (2) penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon yang dapat
meningkatkan fungsi konservasi, (3) pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat
berkubang dan mandi satwa, (4) penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa, (5)
penambahan tumbuhan dan satwa asli, dan (6) pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa
pengganggu.
Rehabilitasi dan Restorasi. Rehabilitasi dan restorasi hutan dan lahan adalah kegiatan
pemulihan kondisi sebagian kawasan hutan menjadi atau mendekati kondisi ekosistem
alami, melalui kegiatan reboisasi, pemeliharaan, pengkayaan jenis atau penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif, dan perbaikan lingkungan untuk memulihkan fungsi
ekosistem alami yang rusak. Pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi di kawasan hutan
mempunyai tujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi ekosistem
yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal sesuai daya dukung, dan
peranannya sebagai habitat suatu jenis tumbuhan/satwa dalam mendukung sistem
penyangga kehidupan. Tujuan dari proses rehabilitasi dan restorasi adalah mengembalikan
struktur, fungsi keanekaragaman dan dinamika suatu ekosistem yang menghadapi degradasi
tersebut.
Terdapat empat tipe utama untuk mengembalikan/memulihkan komunitas hayati dan
ekosistem yang mengalami degradasi, yaitu: (1) Tanpa tindakan, karena upaya pemulihan
terlalu mahal dan selalu gagal, pengalaman menunjukkan bahwa ekosistem akan dapat pulih
dengan sendirinya, (2) Restorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara
aktif dengan spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi spesies
seperti semula, (3) Rehabilitasi, merupakan pemulihan dari sebagian fungsi-fungsi ekosistem
dan spesies asli, seperti memperbaiki hutan yang terdegradasi melalui penanaman, dan (4)
Penggantian, merupakan upaya penggantian suatu ekosistem terdegradasi dengan
ekosistem lain yang lebih produktif, seperti menganti hutan yang terdegradasi dengan
padang rumput dan sebagainya.
Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan
tercapainya tiga sasaran konservasi (UU No 5 Tahun 1990), yaitu:
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga
kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia
(perlindungan sistem penyangga kehidupan).
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
133
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
tekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan
sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin
kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta
belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di
perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan
potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
5.8 Penyelenggaraan Koordinasi Dan Sinkronisasi Antar Pemegang Izin
Rencana ke depan KPHL SBD akan bekerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan
wilayahnya. Pelibatan peran swasta atau pemegang izin, akan didukung melalui koordinasi
dan sinkronisasi kegiatan antara KPHL SBD dengan perusahaan pemegang izin. Hal ini
dilakukan agar pelaksanaan kegiatan antara keduanya tidak saling merugikan atau sinergis,
misalnya dalam pengangkutan hasil panen antar pemegang izin melalui sarana yang sama
dan lainnya.
Keterlibatan dan dukungan dapat melalui berbagai bentuk seperti kerjasama: (1) pelatihan
untuk peningkatan kapasitas staf pengelola KPHL Sumba Barat Daya dengan perusahaan
pemegang izin, (2) pendampingan pemberdayaan masyarakat, (3) penelitian untuk
pengelolaan KPHL SBD serta perusahaan pemegang izin, dan (4) dukungan kebijakan.
Peran manajemen KPHL SBD sangat berkontribusi dalam membuat rencana pengelolaan
oleh karena itu koordinasi dengan pengelola di areal yang telah berizin akan menghasilkan
sinergi positif, sehingga kegiatan koordinasi dan sinkronisasi akan terus dikembangkan.
Setelah sinkronisasi program antara KPHL SBD dengan perusahaan pemegang izin, maka
akan dilakukan pra-kondisi dalam perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi,
sehingga pencapaian kerja di wilayah KPHL SBD lebih mudah terukur dan hasilnya
diharapkan menjadi lebih baik. Implementasi program dan kegiatan ini sebagai upaya
membangun KPHL SBD yang mandiri dan berkelanjutan. Sinkronisasi program antara
KPHL SBD dan perusahaan pemegang izin juga akan disesuaikan dengan permasalahan
yang ada, sehingga proses-proses implementasinya semakin baik dan bermanfaat bagi para
pihak.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
134
5.9 Koordinasi Dan Sinergi Dengan Instansi Dan Stakeholder Terkait
Koordinasi penting dilaksanakan agar terjadi penyerasian dan menyinergikan semua
kegiatan di dalam kawasan KPHL SBD. Selain itu koordinasi dengan instansi dan
stakeholder terkait agar sejalan dengan berbagai tujuan dan kepentingan pembangunan
yang lebih besar. Dalam upaya mengelola hutan di kawasan KPHL SBD agar lebih berdaya
guna dan memiliki dampak yang meluas maka diperlukan adanya koordinasi dan
sinkronisasi dengan stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan pada tingkat
tapak.
Sinkronisasi lebih diupayakan untuk Wilayah KPHL SBD berada dalam wilayah administrasi
desa, kecamatan dan kabupaten. Camat dan Kepala Desa sebagai pemegang wilayah
administrasi mempunyai peran yang strategis dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayah
KPHL SBD. Adanya lahan-lahan garapan masyarakat pada areal konsesi menjadi
hambatan terbesar perusahaan untuk bisa melakukan akselerasi realisasi penanaman.
Dibutuhkan koordinasi dan sinkronisasi dengan Dinas terkait selaku penanggung jawab atas
penempatan masyarakat di kawasan hutan dalam wilayah KPHL SBD. Kegiatan koordinasi
dan sinkronisasi diarahkan pada:
a. Pelaksanaan koordinasi Pengelola KPHL SBD dengan instansi maupun pihak yang terkait
di semua tingkatan.
b. Pelaksanaan sinkronisasi kegiatan di tingkat tapak antara Pengelola KPHL SBD dengan
instansi maupun pihak yang terkait di semua tingkatan.
5.10 Penyediaan Dan Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM)
Efektivitas dan efisiensi pengelolaan KPHL SBD tergantung kepada pemilihan staf
organisasi yang tepat. Program pengembangan SDM KPHL SBD, mencakup beberapa
kegiatan umum antara lain:
(1) Analisa beban kerja dan kebutuhan personil, dan
(2) Analisa penyesuaian struktur organisasi KPHL SBD, Program pengembangan tersebut
akan didukung kegiatan lainnya, seperti: pemantapan kebijakan pengelolaan KPHL;
penambahan staf pengelola KPHL; penyusunan prosedur kerja dan mekanisme
kolaborasi atau kerjasama; terakhir adanya peningkatan sarana dan prasana. Rincian
detailnya adalah sebagai berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
135
5.10.1. Pemantapan Kebijakan Pengelolaan KPHL
Pengelolaan KPHL SBD akan melihat kondisi saat ini dan kondisi harapan pada masa yang
akan datang. Permasalahan pokok yang ada saat ini, sedini mungkin akan diselesaikan dan
disesuaikan dengan kondisi yang ada, terutama pada hal yang sangat prinsip yaitu legalitas
formal penetapan kawasan yang bebas konflik. Kemudian aturan-aturan sebagai dasar
dalam pengelolaan yang dapat mendukung kebijakan pengelolaan jangka panjang. Langkah
strategis yang lebih terinci sebagai penjabaran dari rencana pengelolaan jangka panjang
(RPJP) akan tergambar dalam pengelolaan jangka pendek secara kualitatif dan kuantitatif,
yang akan dituangkan sebagai langkah pengelolaan yang bersifat teknis operasional.
Pengelolaan KPHL SBD sangat membutuhkan dukungan dan kemampuan personil yang
memadai. Kapasitas personil menentukan berhasil tidaknya pengelolaan. Untuk itu dalam
rencana jangka panjang ini akan dimasukkan upaya pengembangan dan peningkatan bagi
staf pengelola KPHL SBD dalam berbagai bidang seperti: pendidikan, pelatihan-pelatihan
penunjang berupa keahlian pada bidang-bidang tertentu, dan penggalian informasi dari luar
yang dapat menambah pengalaman dan wawasan.
Beberapa rencana kegiatan jangka panjang dalam rangka peningkatan kapasitas staf
pengelola, antara lain: (1) Perbaikan jenjang pendidikan, (2) Pemetaan kompetensi staf, (3)
Diklat SDM pengelola KPHL SBD, (4) Pertukaran kunjungan staf pengelola, (5) Studi
banding, dan (6) Magang pegawai.
5.10.2. Penambahan Staf Pengelola KPHL
Peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan KPHL SBD dapat dilakukan dengan
penambahan staf untuk mengisi kekurangan formasi yang ada. Dengan jumlah personil yang
memadai maka diharapkan pelaksanaan tugas tidak akan dijabat secara rangkap, sehingga
target pengelolaan dapat tercapai dengan baik dan tepat waktu. Kegiatan makro dalam
jangkap panjang mencakup penambahan formasi pegawai dan rekruitmen petugas
lapangan. Sesuai prosedur yang ada, maka pengusulan untuk penambahan formasi
pegawai akan disampaikan ke pusat karena domainnya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK), sedangkan rekruitmen petugas lapangan sedapat mungkin berasal dari
masyarakat di sekitar kawasan dengan sistem penggajian sebagai tenaga upah/kontrak.
Pada perekrutan tenaga kerja lapangan akan memperhatikan kedekatannya dengan hutan
dan masyarakat, kedekatan bukan hanya dari aspek fisik tetapi juga spiritnya. Tanggung
jawab masing-masing tenaga kerja dijelaskan secara tegas dalam job descriptions, dimana
bagian administrasi dipisahkan dengan bagian pengelolaan, dan setiap pelatihan akan selalu
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
136
berorientasi pada pelayanan, sehingga setiap staf dapat berlaku profesional dalam melayani
dan berupaya meminimalkan kekecewaan pihak lain yang melakukan kerjasama atau
memanfaatkan jasa di KPHL SBD.
5.10.3. Penyusunan Prosedur Kerja (SOP) dan mekanisme kolaborasi atau
kerjasama
Pelaksanaan tugas lingkup KPHL SBD akan lebih maksimal apabila ada kejelasan mengenai
tata kerja dan tanggung jawab pada masing-masing bidang tugas. Penyelesaian suatu
kegiatan dilakukan melalui prosedur dan tahapan yang mantap dari alur pelaksanaan dan
ketepatan waktu yang efisien. Secara legal formal tata organisai dan uraian tugas pada
KPHL SBD tersebut adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan. Peraturan ini merupakan pedoman yang
digunakan untuk lingkup Kementerian Kehutanan. Dasar hukum penyusunan prosedur kerja
mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan N0.2734/Kpts-II/2002 tanggal 30 April 2002
tentang Pedoman Penyusunan Prosedur kerja Lingkup Kementerian Kehutanan. Sedangkan
untuk pelaksanaan tugas-tugas yang bersifat teknis operasional sesuai dengan bidang tugas
dan kegiatan tertentu, disusun petunjuk teknis yang akan menjadi pedoman pelaksanaan
tugas di lapangan. Untuk pencapaian program ini dalam rencana jangka panjang, mencakup
beberapa kegiatan makro antara lain: (1) Penyusunan Prosedur Kerja KPHL, (2)
Penyusunan Prosedur Kerja Seksi Pengelolaan Wilayah KPHL SBD, dan (3) Penyusunan
Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan kegiatan.
5.10.4. Peningkatan Sarana dan Prasarana
Agar pengelolaan berjalan lebih efektif dan efisien maka dukungan sarana dan prasarana
yang memadai yang sesuai dengan jenis dan jumlah kebutuhan sangat diperlukan. Sarana
dan prasarana di KPHL SBD terdiri dari sarana prasarana perkantoran pada kesekretariatan
KPHL SBD. Satuan Pengelolaan Wilayah (blok), sarana prasarana penunjang pengelolaan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta sarana prasarana kegiatan dalam
menunjang perlindungan dan pengamanan kawasan. Kelengkapan sarana dan prasarana
yang diperlukan diperoleh dengan pengadaan baru maupun pemeliharaan yang telah ada.
Sarana prasarana diperoleh dari pengusulan dalam setiap tahun anggaran kegiatan.
Kebutuhan sarana prasarana penunjang pengelolaan KPHL SBD mencakup: (1)
Pembangunan rumah jabatan dan mess lapangan, (2) Pembangunan kantor resort
lapangan, pondok kerja, pondok jaga dan pos jaga, (3) Pengadaan kendaraan roda 4 dan 2,
(4) Pengadaan alat transportasi air, (5) Peningkatan peralatan kantor, (6) Peningkatan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
137
perlengkapan kerja personil, (7) Pengadaan peralatan komunikasi lapangan, (8) Penyediaan
sarana penunjang dan pelayanan pengelolaan wisata alam, (9) Pembangunan mini hidro
dan instalasi air bersih, dan (10) Pemeliharaan, perbaikan dan rehabilitasi sarana dan
prasarana.
5.11 Penyediaan Pendanaan
Pendanaan pengelolaan KPHL SBD dipenuhi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengelolaan KPHL
SBD yang optimal membutuhkan dana yang cukup besar. Dana tersebut tidak mungkin
dicukupi hanya dari keuangan negara (APBN dan APBD). Pemenuhan kebutuhan
pendanaan untuk melengkapi kekurangan dana pengelolaan dari APBN dan APBD akan
dipenuhi dari berbagai sumber, diantaranya:
a. Pembayaran imbal jasa tegakan melalui mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme
pembayaran karbon dapat berupa pembiayaan kegiatan rehabilitasi, pertambangan,
perambahan hutan, bekas kebakaran dan kerusakan hutan lainnya. Skema
perdagangan karbon juga bisa direalisasikan melalui pengembangan program
pengelolaan hutan berbasis masyarakat, atau pengelolaan hutan primer tanpa ada
rencana penebangan (untuk program REDD+);
b. Perlindungan DAS dan tata air. KPHL SBD berada pada provinsi NTT yang sedikit
curah hujan. Kemungkinan pemanfaatan air baku untuk masyarakat luas bisa dijadikan
sebagai alternatif;
c. Kekayaan keanekaragaman hayati. Keragaman hayati, keunikan spesies flora dan
fauna, keindahan bentang alam dan sosial budaya masyarakat lokal dapat dikemas
dalam paket wisata yang memiliki nilai tinggi selain untuk tujuan penelitian dan
pendidikan;
d. Pengembangan pengembalaan pada wilayah-wilayah tertentu yang secara alami
merupakan wilayah savana dapat dilakukan dengan bermitra dengan masyarakat;
e. Produk-produk yang dihasilkan dari budidaya masyarakat lokal juga dapat dikemas dan
diberi label konservasi untuk diperdagangkan di pasar hijau;
f. Bermitra dengan LSM misalnya WWF, CI, FFI dan lain-lain yang sering mendapatkan
bantuan dana internasional untuk melakukan aktivitas konservasi di Kawasan
Pelestarian Alam (khususnya untuk pengelolaan Blok perlindungan);
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
138
g. Pengembangan wilayah-wilayah wisata alam yang berpotensi menjaring turis domestik
dan non domestik.
Untuk mendukung program ini dipersiapkan kegiatan umum untuk jangka panjang yang
mencakup:
a. Membangun mekanisme penggalangan dana yang menguntungkan para pihak. Secara
sederhana mekanisme ini dapat berupa kesepakatan yang memungkinkan untuk
dilaksanakan, dan tidak menyimpang dari aturan main yang ada.
b. Penyusunan proposal untuk memperoleh dukungan pendanaan. Proposal dibuat
berdasarkan kemampuan KPHL SBD saat ini kemudian dibandingkan dengan
kekurangan yang ada. Gap yang terjadi antara kondisi pendanaan saat ini dan
kekurangan dana yang masih harus dipenuhi, dijadikan sebagai dasar penyusunan
proposal untuk memperoleh dukungan pendanaan dari pihak lain. Penyusunan proposal
dan mencari dukungan pendanaan dapat dilakukan secara sendiri atau bersama-sama
dengan pihak lain seperti konsultan, LSM, BUMN, dan perusahaan swasta.
c. Membangun perencanaan program bersama. Perencanaan program bersama
merupakan salah satu langkah strategis untuk mencari dana. Penyusunan perencanan
dibuat secara bersama-sama dengan para pihak di luar KPHL SBD. Pendanaan tidak
hanya berupa uang tetapi juga berupa kerjasama program, misalnya NGO maupun
pihak swasta yang tertarik pada sesuatu issue ataupun obyek tertentu.
5.12 Pengembangan Database
Keberadaan database yang lengkap dan tidak kadaluwarsa terkait kawasan pengelolaan
sangat berguna dalam pengelolaan KPHL SBD, contohnya dalam mengambil keputusan
tentang suatu kegiatan. Selain itu, database juga bermanfaat bagi pihak luar yang
membutuhkan informasi tentang KPHL SBD seperti misalnya para peneliti dari universitas
atau lembaga penelitian, LSM, instansi pemerintah, dan individu. Database dan informasi
dapat dikumpulkan dari unit-unit pengelola di lapangan dan juga dari luar.
Database yang ada dapat dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk analog atau manual
(peta, dokumen, laporan, data penelitian dan lain-lain), data digital (dokumen-dokumen,
data GIS dan data digital lainnya). Unit yang secara khusus mengelola database ini pada
organisasi KPHL SBD merupakan Division Support System (DSS) atau pendukung sistem
organisasi yang diperlukan sebagai dasar untuk mengambil keputusan pengelolaan, baik oleh
manajemen pusat KPHL SBD maupun pengelola pada unit terkecil di lapangan. Beberapa
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
139
rencana kegiatan yang mendukung pengembangan database di KPHL SBD, antara lain: (1)
Pelatihan staf pengelola database, (2) Penyiapan perangkat database, (3) Penyusunan dan
pengelolaan sistem database, dan (4) Membangun manajemen sistem pusat informasi.
Dimana pemberian atau pertukaran data dan informasi khususnya dengan pihak luar akan
diatur oleh Standar Operasional Prosedur (SOP).
5.13 Rasionalisasi Wilayah Kelola
Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, maka diperlukan ketepatan menentukan
prioritas program dan wilayah yang dikelola. Rasionalisasi wilayah kelola ini dilakukan untuk
menentukan efektivitas dan efisiensi manajemen KPHL. Bentuk rasionalisasi ini dilakukan
dengan melakukan penilaian terhadap prioritas pengelolaan blok dibandingkan dengan
ketersediaan sumber daya baik sumber daya manusia, keuangan maupun fasilitas. Dengan
demikian pengerahan sumber daya ke arah blok pengelolaan prioritas diharapkan lebih fokus
dan bisa dilakukan. Sementara blok yang bukan prioritas tetap menjadi tanggung jawab
KPHL dalam menghadapi gangguan dari masyarakat dan menjaga agar proses regenerasi
alami dapat berjalan dan tidak mendapatkan gangguan.
Di antara para pihak yang berkepentingan perlu dibangun komunikasi dan koordinasi yang
baik, termasuk membuat kesepakatan terkait mekanisme pembagian tugas, fungsi dan
peran serta dari masing-masing pihak. Mekanisme tersebut dituangkan ke dalam aturan
main yang mengikat para pihak untuk melaksanakan tugas, fungsi dan perannya masing-
masing. Adanya aturan ini akan meningkatkan komitmen para pihak dalam pengelolaan
KPHL SBD secara menyeluruh.
5.14 Review Rencana Pengelolaan
Review rencana pengelolaan KPHL SBD dilakukan melalui kegiatan monitoring dan
evaluasi. Tujuan review ini adalah agar kegiatan pengelolaan KPHL SBD dapat dilaksanakan
sebagaimana perencanaan yang telah disusun, Kegiatan monitoring ini dilakukan dalam
rangka mengawasi, mengamati, atau melakukan pengecekan dengan cermat apakah
pelaksanaan pengelolaan KPHL SBD telah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan
pegelolaan yang telah dibuat, atau apakah pengelolaan KPHL SBD tersebut masih dalam
koridor pencapaian tujuan yang telah ditetapkan di awal.
Fungsi dari monitoring adalah untuk mencatat atau mengetahui apa yang terjadi dalam
pelaksanaan suatu pengelolaan hutan ‘tanpa’ mempertanyakan mengapa hal tersebut terjadi
dan tidak melihat adanya hubungan sebab akibat mengapa hal tersebut terjadi. Sedangkan
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
140
tujuan dari evaluasi dalam pengelolaan hutan dimaksudkan untuk mengukur efektifitas dan
efisiensi pelaksanaan dari rencana kegiatan yang ditetapkan.
Evaluasi juga dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai
secara obyektif terhadap pencapaian hasil-hasil yang direncanakan sebelumnya. Hasil-hasil
evaluasi dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi kegiatan-kegiatan perencanaan
selanjutnya. Evaluasi pada hakikatnya bermakna mempertanyakan aktualitas atau validitas
secara teknis dari rencana sesudah dilaksanakan. Evaluasi bersifat teknis dan berorientasi
pada pencapaian tujuan dan atau pemecahan masalah yang berbeda dengan pemeriksaan.
Evaluasi sering digunakan untuk menunjukkan capaian pada setiap tahapan dalam siklus
pengelolaan hutan. Evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh umpan balik untuk menjadi
bahan dalam upaya perbaikan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaaan
selanjutnya. Evaluasi dilakukan terhadap semua komponen penyelenggaraan pengelolaan
KPHL SBD yang mencakup seluruh kegiatan pengelolaan KPHL SBD yang telah
direncanakan di awal.
Supaya pelaksanaan evaluasi dapat berlangsung dengan baik, maka dibuat suatu rencana
evaluasi untuk menjadi pedoman atau petunjuk dan pemberi arah bagi pelaksana dalam
berpikir dan bertindak. Rencana evaluasi disajikan dalam bentuk pertanyaan yang perlu
dijawab melalui pelaksanaan evaluasi. Berikut disajikan perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan evaluasi:
a. Waktu melakukan evaluasi, dibagi menjadi: (1) Evaluasi tahunan dilaksanakan untuk
pelaksanaan kegiatan pengelolaan KPHL SBD seperti yang tercantum dalam RKT, (2)
evaluasi 5 tahunan untuk kegiatan yang tercantum dalam Rencana pengelolaan KPHL
SBD, dan (3) evaluasi 10 tahunan untuk kegiatan yang tercantum dalam rencana
pengelolaan KPHL SBD;
b. Kegiatan evaluasi dilakukan melalui pengamatan terestris, penggunaan citra, kombinasi
terestris dan citra, penelusuruan dokumen, dan wawancara;
c. Pihak yang melakukan evaluasi adalah pengelola Kawasan KPHL, pihak ke-3 seperti
konsultan dan universitas, dan pemerintah (pusat, provinsi dan Kabupaten);
d. Biaya untuk melakukan evaluasi.
Evaluasi dalam pengelolaan hutan dilakukan dengan pendekatan goal oriented dan bukan
budget oriented. Evaluasi secara umum dibagi menjadi tiga kategori, sebagai berikut:
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
141
(1) Evaluasi tahap perencanaan, yaitu evaluasi dilakukan dalam rangka memilih dan
menentukan skala prioritas terhadap beberapa alternatif atau kemungkinan yang dapat
ditempuh / dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya;
(2) Evaluasi tahap pelaksanaan, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui tingkat
perkembangan atau tingkat kemajuan pelaksanaan pekerjaan, disbanding dengan
target rencana yang telah disusun. Evaluasi pada tahapan ini digunakan untuk menilai
apakah tujuan perencanaan masih tetap akan dapat dicapai;
(3) Evaluasi setelah pelaksanaan, yaitu evaluasi yang dilakukan untuk membandingkan
hasil akhir pelaksanaan rangkaian kegiatan pengelolaan dengan perencanaan (hasil
akhir yang direncanakan).
Pengendalian kegiatan meliputi monitoring dan evaluasi kegiatan. Monitoring merupakan
kegiatan untuk memantau kegiatan pengelolaan KPHL SBD, yang dilakukan secara periodik
sesuai dengan jenis dan jangka waktu perizinannya. Berdasarkan hasil monitoring dan
evaluasi, dilakukan tindak lanjut berupa upaya penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan
pengelolaan hutan. Dalam perencanaan suatu kegiatan, penyelenggara kegiatan selalu
diperhadapkan pada keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Atas dasar itu maka suatu
rencana haruslah sedapat mungkin didasarkan dan berorientasi pada efisiensi penggunaan
waktu, tenaga dan biaya tersebut.
Perencanaan kegiatan dapat memberi informasi dan pemahaman tentang waktu dimulai
serta prakiraan dan realisasi waktu selesainya setiap tahapan kegiatan serta hubungan dan
saling ketergantungan antara setiap tahapan kegiatan proyek. Dengan demikian, akibat yang
muncul apabila salah satu tahapan kegiatan proyek terlambat dimulai dan/atau terlambat
selesai, dapat diketahui. Dengan demikian kemungkinan untuk melakukan perbaikan dan
penyempurnaan secara tepat waktu (jika terjadi kesalahan yang berkonsekuensi pada
keterlambatan dimulainya atau selesainya suatu tahapan kegiatan tertentu) dapat dilakukan
dengan segera. Setiap perencanaan kegiatan di KPHL SBD akan menggunakan network
planning (CPM/Critical path method, PERT/Program Evaluation and Review Technique, dan
Metode PM (Presedence Method). Network planning merupakan teknik perencanaan
menggunakan diagram atau grafik, yang sekaligus dapat menggambarkan hubungan dan
saling ketergantungan antara satu tahapan kegiatan dengan tahapan kegiatan lainnya dari
suatu proyek. Diagram atau grafik termaksud dianalisis dengan waktu sebagai unit analisis
dan hasil analisnya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
142
5.15 Pengembangan Investasi
Sebagai suatu unit kelola yang memiliki kewenangan untuk mengelola kawasannya sendiri,
upaya untuk mengembangkan investasi menjadi dimungkinkan. Pada prinsipnya, suatu
investasi yang akan dilakukan harus memiliki nilai tambah yang dapat dirasakan manfaatnya.
Terkait dengan pengangaran, maka pengembangan investasi ini dikenal dengan capital
budgeting (anggaran modal). Modal yang mendukung pengembangan investasi adalah
pembangunan infrastruktur yang mendukung pengelolaan KPHL.
Pengembangan infrastruktur fisik KPHL SBD terutama pengembangan infrastruktur di kantor
dan lapangan. Infrastuktur yang dikembangkan di lapangan sesuai dengan keperluan blok
arahan yang telah ditentukan. Pengembangan infrastruktur tersebut diharapkan tidak
mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya, tidak mengubah bentang
alam, dan tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan lainnya. Blok inti dan
perlindungan diarahkan kepada fungsi sebagai perlindungan tata air, erosi dan banjir
sehingga penyiapan infrastruktur berupa bangunan fisik minimal dibangun di wilayah ini
dibanding dengan blok pemanfaatan dan pemberdayaan.
Selain itu, skema-skema pengembangan investasi dapat dilakukan dan sesuai dengan
kondisi di tingkat tapak. Pengembangan investasi hasil hutan bukan kayu yang dapat
dikembangkan antara lain jenis kayu manis, kayu putih, dan gaharu serta jenis lainnya yang
dapat beradaptasi di wilayah NTT. Pihak pengelola KPH dapat berkerja sama dengan
perusahaan dalam bentuk kemitraan untuk mengembangkan jenis-jenis tertentu. Bentuk
pengembangan investasi diarahkan pada pengembangan investasi produksi hasil hutan
bukan kayu.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
143
PEMBINAAN, PEMANTAUAN DAN
PENGENDALIAN PELAPORAN
b
Dalam melaksanakan manajemen KPHL Sumba Barat Daya menganut manajemen adaptif
dengan menggunakan dua kunci manajemen yakni (1) menerapkan serangkaian kegiatan
manajemen berkelanjutan yakni plan, do, check dan action (PDCA), dan (2) perbaikan yang
terus menerus (continual improvement). Penerapan PDCA mencakup penetapan
perencanaan (Plan), melaksanakan perencanaan (Do), melakukan evaluasi kegiatan melalui
audit dan evaluasi (Check), dan melaksanakan hasil evaluasi (Action) dalam satu siklus
manajemen. Dalam melaksanakan perbaikan secara berkelanjutan perlu menetapkan
ukuran atau standar keberhasilan dalam setiap siklus manajemen. Kedua hal tersebut maka
manajemen yang digunakan akan selalu disesuaikan dengan perubahan secara internal
maupun eksternal KPHL Sumba Barat Daya.
Pada dasarnya KPH dibentuk sebagai bagian dalam upaya pelaksanaan efektivitas
manajemen hutan secara menyeluruh (nasional). Oleh karena itu, pihak yang
berkepentingan (stakeholder) mencakup pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten. Peranan para stakeholder diwujudkan dalam bentuk pembinaan, pengawasan
dan pengendalian (check) sebagai rangkaian manajemen berkelanjutan.
6.1. Pembinaan
Pembinaan dilakukan secara berjenjang sesuai kewenangan masing-masing yakni oleh
pemerintah, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pemerintah kabupaten Sumba
Barat Daya. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelaksanaan Norma,
Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang terkait dengan pengelolaan hutan produksi.
Disamping itu juga meliputi pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan
tugas perbantuan, pinjaman dan hibah luar negeri dalam pengelolaan KPHL SBD.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas
Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur berupa pembinaan terhadap pelaksanaan
pengelolaan KPHL SBD yang berskala regional.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya berupa
pembinaan dalam penyelenggaraan pengelolaan pada skala tapak. Pembinaan yang
diberikan dapat berupa pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan atau
BAB
6
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
144
supervisi. Pembinaan dilakukan secara berkala1 setiap semester (6 bulan), dan dalam
keadaan tertentu dapat dilakukan pembinaan secara khusus. Hasil pembinaan digunakan
sebagai bahan evaluasi perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan, dan/atau
perbaikan terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.
6.2. Pengawasan
Pemerintah pusat menetapkan standar keberhasilan suatu KPHL yakni NSPK. Oleh karena
itu, untuk memastikan efektifitas KPHL SBD dalam pelaksanaan Norma, Standar, Prosedur,
dan Kriteria (NSPK) yang terkait dengan pengelolaan hutan produksi, pemerintah akan
melakukan pengawasan (check). Disamping itu juga mencakup pengawasan terhadap
efektifitas pelaksanaan tugas dekonsentrasi dan tugas perbantuan, pinjaman dan hibah luar
negeri dalam pengelolaan KPHL SBD.
Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Dinas
Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi pengawasan terhadap efektifitas
pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan KPHL SBD yang memiliki keterkaitan dengan
kewenangan Pemerintah Provinsi.
Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup
pengawasan terhadap efektifitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan KPHL SBD
pada skala tapak. Pengawasan secara formal dilakukan secara berkala setiap semester (6
bulan), dan dalam keadaan tertentu dapat dilakukan pengawasan secara khusus. Hasil
pengawasan digunakan sebagai bahan perbaikan perencanaan dan pelaksanaan
pengelolaan, dan/atau perbaikan terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.
Serangkaian pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten, merupakan perwujudan dalam melaksanakan manajemen adaptif
yang berpegang pada prinsip manajemen berkelanjutan dalam memastikan agar
pelaksanaan (do) sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (plan).
6.3. Pengendalian
Dalam satu siklus manajemen langkah terakhir adalah action yakni melaksanakan kegiatan
hasil rekomendasi dari kegiatan pengawasan. Dengan demikian peranan pengendalian
adalah untuk memastikan bahwa hasil pengawasan yang dilakukan telah dilakukan sehingga
langkah yang dilakukan KPHL SBD kearah capaian yang diharapkan.
Pengendalian meliputi kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan
KPHL SBD. Kegiatan monitoring dilakukan agar hasil yang dicapai dapat memenuhi standar
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
145
atau sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Monitoring dan evaluasi secara formal
dilakukan secara berkala setiap semester (6 bulan), dan dalam keadaan tertentu dapat
dilakukan monitoring dan evaluasi secara khusus. Hasil pengendalian digunakan sebagai
bahan evaluasi perbaikan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan, dan/atau perbaikan
terhadap pengelolaan KPHL SBD ke depan.
Mekanisme pengendalian KPHL SBD ini merupakan wujud dalam pelaksanaan prinsip dasar
peningkatan yang terus menerus (continual improvement). Dengan prinsip ini maka
manajemen KPHL SBD akan semakin baik dan selalu beradaptasi dengan perubahan
kondisi internal maupun eksternal KPHL SBD itu sendiri.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
146
PEMANTAUAN, EVALUASI DAN
PELAPORAN
Pada rencana pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya, kegiatan pemantauan dan evaluasi
kegiatan merupakan kegiatan penting yang direncanakan akan dilaksanakan. Tujuannya
agar seluruh kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan mengarah pada tercapainya visi,
misi dan tujuan pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya yang sudah ditetapkan di awal. Selain
itu kegiatan pemantauan, evaluasi dan pelaporan juga termasuk ke dalam kegiatan yang
direncanakan, untuk melihat sejauh mana tingkat pencapaian dan keberhasilan dari suatu
program pengelolaan yang dilaksanakan.
7.1. Pemantauan
Kegiatan pemantauan merupakan upaya yang perlu dilakukan secara kuantitatif baik yang
menyangkut pelaksanaan kegiatan maupun hasil dari proses-proses yang dilakukan.
Kegiatan pemantauan harus melibatkan alat dan sistem pemantauan yang terintegrasi
sehingga para pemangku kepentingan dapat melakukan pemantauan terhadap proses-proses
dan mengukur keberhasilan dan kegagalan dari proses yang dijalankan.
Komponen pemantauan dilandaskan pada semua aspek yang berkaitan dengan aktivitas
pelaksanaan pengelolaan KPHL SBD. Dengan kata lain hal-hal yang akan menjadi komponen
pemantauan adalah meliputi semua aspek pelaksanaan rencana pengelolaan KPHL SBD yang
telah disusun dan disepakati secara bersama, yang meliputi aspek persiapan program yang
mencakup arahan pencapaian tujuan, hasil, dan dampak program serta aspek pelaksanaan
program yang mencakup masalah yang dihadapi dan pencapaian tujuan, hasil, dan dampak
nyata dari program/kegiatan. Penanganan permasalahan KPHL SBD (pengelolaan KPHL SBD)
secara terpadu harus memenuhi standar hasil pencapaian sasaran dari program/kegiatan
pengelolaan KPHL yang telah disusun.Beberapa kegiatan penting pemantauan yang perlu
dilakukan secara singkat disajikan pada Tabel 7.1
BAB
7
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
147
Tabel 7. 1 Kegiatan Pemantauan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL SBD
Jenis Pemantauan Frekuensi Skala
Kondisi lingkungan
Kondisi tata air
Kondisi sosial ekonomi
o Tahunan
o Tahunan
o Tahunan
Wilayah KPHL
Wilayah KPHL
Desa/Kecamatan
Penataan hutan
Kondisi Flora dan Fauna
Kualitas air
Pengembangan wisata alam
Sosial ekonomi masyarakat
o 1-2 tahun
o 1-2 tahun
o Tahunan
o 1-2 tahun
o Tahunan
Wilayah KPHL
Wilayah KPHL
Wilayah KPHL
Wilayah KPHL
Desa/Kecamatan
Implementasi kegiatan o Jejak kemajuan
o Analisis arah
perubahan
Blok/Tapak
Pemantauan dilakukan secara terus menerus terhadap pelaksanaan suatu tugas dan fungsi
satuan organisasi. Kegiatan pemantauan yang dilanjutkan dengan evaluasi dapat dilakukan
oleh unsur internal KPHL maupun unsur eksternal baik oleh instansi pemerintah maupun
masyarakat. Pemantauan terhadap jalannya pengelolaan kawasan dilaksanakan oleh internal
KPHL bersama-sama dengan instansi terkait dan pihak ke-3 sebagai mitra. Pemantauan
dilaksanakan dengan melakukan penilaian terhadap seluruh komponen kegiatan
pengelolaan. Hasil yang diperoleh dari pemantauan akan dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam evaluasi pengelolaan. Jangka waktu pemantauan dapat dilakukan
secara berkala. Evaluasi dilakukan dengan melihat ukuran kuantitatif dan kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan, yang dikategorikan kedalam kelompok
masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan manfaat (benefits).
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi mencakup :
1. Pemantauan dan evaluasi oleh internal KPHL SBD;
2. Pemantauan dan evaluasi oleh institusi lain;
3. Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat.
Kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan guna menjamin jalannya proses pengelolaan
dan tercapainya tujuan yang diharapkan. Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk melihat
sejauh mana pencapaian seluruh kegiatan yang sudah dilaksanakan. Pemantauan dan
evaluasi dimulai dari pembinaan pada tingkat manajemen KPHL SBD dengan pengawasan
pada tingkat internal sebagai penilai dan pengontrol sampai kepada proses di lapangan.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
148
7.2. Evaluasi
Evaluasi dilakukan oleh pihak pemangku kebijakan pengelolaan KPHL SBD dan setiap
anggota kelompok dituntut partisipasinya secara aktif sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini
diharapkan akan terlaksana dengan baik maka harus dikelola oleh petugas tertentu
mengingat kegiatan ini akan dilaksanakan secara terus-menerus dan diyakini akan timbul
berbagai masalah jika tidak ada yang bertanggung jawab secara khusus dalam menangani
kegiatan pemantauan dan evaluasi ini. Kendatipun demikian keterlibatan para pihak tetap
penting dalam memberikan data dan informasi yang akurat, memberikan verifikasi dan
justifikasi data dan informasi yang diperoleh, memberikan kontribusi dalam membicarakan
temuan-temuan di lapangan, dan memberikan kontribusi dalam membangun rencana tindak
lanjut dan aktivitas bersama.
Evaluasi yang efektif harus meliputi 5 komponen yaitu: monitoring, penilaian kinerja, adaptif
manajemen, operasional dan prosedur serta menyusun laporan final kegiatan. Pada tahapan
evaluasi harus dapat diidentifikasi apakah rencana yang telah ditetapkan dapat tercapai, apa
hambatan yang ditemui serta masukan apa yang diperlukan untuk perbaikan di kemudian
hari. Tahapan evaluasi digambarkan pada Gambar 50.
Gambar 50. Alur Pelaksanaan Evaluasi Rencana Pengelolaan Hutan
Hasil yang diperoleh pada kegiatan pemantauan dan evaluasi akan menjadi masukan kepada
KPHL SBD sebagai bahan dalam menentukan kebijakan di rencana dan pelaksanaan kerja
periode berikutnya. Kegiatan pemantauan dan evaluasi ini dilaksanakan dalam bentuk
kegiatan sebagai berikut :
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
149
1. Membangun mekanisme pelaporan yang efektif dan efisien;
2. Rapat pembinaan reguler;
3. Sistem Pengawasan Internal Instansi.
Evaluasi keberhasilan program pengelolaan Kawasan KPHL SBD dapat diukur dari :
a. Tercapainya kelestarian produksi, ekologi dan jasa ekosistem dalam pengelolaan
KPHL SBD;
b. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan Kawasan KPHL SBD
semakin menurun;
c. Timbulnya kesadaran dan meningkatnya peran aktif masyarakat terutama yang
di sekitar kawasan untuk menjaga dan melindungi kawasan KPHL SBD dari
gangguan keamanan kawasan serta berkembangnya nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat dalam mendukung pengelolaan kawasan;
d. Berhasilnya program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan sebagai
upaya alternatif dalam peningkatan perekonomian masyarakat;
e. Meningkatnya partisipasi pengelolaan kawasan oleh seluruh stakeholder yang
memiliki kepedulian terhadap keberhasilan pembangunan KPHL SBD , para pihak
dimaksud yaitu: Pemerintah Pusat, Kepala KPHL SBD sebagai Unit Pelaksana
Teknis Daerah pengelola KPHL SBD, Pemerintah Daerah provinsi dan Kabupaten,
dan investor, LSM, masyarakat dan mitra pendukung lainnya;
f. Tersedianya data dan informasi mengenai potensi kawasan.
7.3. Pelaporan
Pelaporan merupakan bentuk pertanggungjawaban kegiatan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Pada instansi pemerintah, pelaporan
seluruh kegiatan yang dilaksanakan disampaikan dalam Laporan. Pelaporan kinerja
dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja dari suatu instansi pemerintah
dalam satu tahun anggaran, yang dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan sasarannya.
Penyampaian laporan disampaikan kepada pihak yang memiliki hak atau yang
berkewenangan meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Pada kegiatan pelaporan,
kepala KPHL SBD melaporkan hasil akhir seluruh kegiatan secara berkala khususnya
terhadap kegiatan pengelolaan yang telah direncanakan sebelumnya dan realisai
pelaksanaan kegiatannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Acuan yang digunakan
dalam pelaporan adalah berdasarkan standar prosedur operasional yang berlaku pada
lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelaporan disusun dengan mengacu
kepada Prosedur Kerja pelaporan berdasarkan standar prosedur operasional yang berlaku
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
150
pada lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pelaporan disusun dengan
mengacu kepada Prosedur Kerja KPHL SBD.
Tahapan dari penyampaian laporan dimulai dari penyiapan format laporan, penyusunan
bahan laporan dan resume telaahan bahan laporan sampai pada tahap penyusunan Laporan
Bulanan, Laporan Triwulanan, Laporan Semesteran, dan Laporan Tahunan. Seluruh laporan
yang telah tersusun ditandatangani oleh Kepala KPHL SBD dan disampaikan kepada Menteri
Lingkungan Hidup dan kehutanan dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten Sumba Barat daya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Sumba Barat Daya
151
Penentu keberhasilan pembangunan KPHL adalah adanya komitmen para pihak untuk ikut
berpartisipasi secara aktif terhadap pengelolaan KPHL Sumba Barat Daya. Tercukupinya staf
pengelola baik administrasi maupun teknis lapangan yang sesuai dengan beban kerja yang
dimiliki, konsistensi kebijakan, dan adanya kepastian hukum atas kawasan yang dikelola
melalui penataan batas yang partisipatif. Selain itu, adanya pengakuan hak-hak masyarakat
atas sumber daya hutan sebagai bentuk insentif yang mampu meningkatkan partisipasi
masyarakat untuk membantu pengelolaan dan mengawasi setiap gangguan dan ancaman
yang dapat mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan hutan di wilayah KPHL Sumba Barat
Daya. Semua peran tersebut akan berjalan baik dengan berpedoman pada prinsif efisiensi
dan efiktifitas pengelolaan, kelestarian, keadilan serta kesejahteraan untuk mencapai
kelestarian ekosistem.
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang disusun sebagai acuan, pedoman dan arahan
berbagai strategi kegiatan agar pengelolaan KPHL dilaksanakan secara benar, efisien dan
efektif. Rencana kegiatan disusun berdasarkan informasi yang tersedia, meliputi berbagai
potensi, permasalahan dan peluang yang ada di KPHL SBD. Hasil analisa data tersebut
diwujudkan dalam butiran rencana kegiatan yang ditujukan untuk menjabarkan setiap misi
yang telah ditetapkan guna mewujudkan visi KPHL SBD. KPHL SBD memiliki banyak potensi,
terutama potensi ekowisata. KPHL SBD menetapkan ekowisata sebagai bentuk pengelolaan
yang menjadi fokus utama. Berbagai kegiatan direncanakan akan dilaksanakan untuk
mendukung hal tersebut, dimulai dengan Pemantapan pengelolaan sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya di kawasan KPHL dan sekitarnya secara terpadu, Optimalisasi
pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari, berkelanjutan dan mandiri, Rehabilitasi
Hutan, Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola KPHL dan masyarakat
sebagai mitra pembangunan KPH, Pemantauan dan evaluasi kinerja pengelolaan KPHL,
Peningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat, pemerintah dan swasta (mitra
usaha) dalam mendukung pembangunan kehutanan, Peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia pengelola KPH dan masyarakat sebagai mitra pembangunan KPH, Pemantauan dan
evaluasi kinerja pengelolaan KPHL, Peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat,
pemerintah dan swasta (mitra usaha) dalam mendukung pembangunan kehutanan, dan
Peningkatan upaya perlindungan hutan, penegakan hukum dan keamanan.
BAB
8 PENUTUP