Bab I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tekanan darah tinggi atau yang lazimnya sehari-hari disebut sebagai hipertensi merupakan
salah satu penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi dan angka kematian yang cukup tinggi
terutama di negara-negara maju dan didaerah perkotaan/urban untuk negara berkembang seperti
halnya di Indonesia. Penyakit Hipertensi ini tergolong dalam klassifikasi penyakit subakut dan kronik
yang memerlukan penanganan rutin dan kesadaran dari penderitanya untuk selalu memiliki tekanan
darah yang terkontrol dengan cara monitoring pribadi secara rutin.
Penderita hipertensi biasanya sangat heterogen itu membuktikan bahwa penyakit ini
bagaikan mozaik, diderita oleh orang banyak yang datang dari berbagai sub-kelompok berisiko di
dalam masyarakat. Hal tersebut juga berarti bahwa hipertensi dipengaruhi oleh faktor risiko ganda,
baik yang bersifat endogen seperti neurotransmitter, hormon, dan genetik, maupun yang bersifat
eksogen, seperti rokok, nutrisi, dan stresor. Di seluruh dunia, hipertensi merupakan masalah yang
besar dan serius. Di samping karena prevalensinya yang tinggi dan cenderung meningkat di masa
yang akan datang, juga karena tingkat keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan
kematian mendadak. Kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda, akan sangat membebani
perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang
panjang, bahkan seumur hidup.
Di seluruh dunia, penyakit ini menarik perhatian yang besar, terutama karena
ketidaksesuaian antara perkembangan teknologi intervensinya dengan daya beli masyarakat.
Penyakit yang diderita oleh orang banyak ini berkembang ke arah bisnis yang besar dan menawan,
seakan mengucilkan halayak ramai yang membutuhkannya. Prevalensi hipertensi di Indonesia yang
ditentukan berdasarkan kriteria ambang hipertensi (bordeline hypertention) yaitu tekanan darah
dengan rentang antara 140/90-159/94 mmHg, diperkirakan 4,8-18,8%. Angka ini lebih tinggi dari
angka prevalensi yang dilaporkan oleh Cheng dan kawan-kawan di Taipeh, yaitu sekitar 6,2% dan
oleh Freis di Amerika Serikat, yaitu 10-15%. Selain prevalensinya yang tinggi, juga angka kematian
akibat hipertensi di masyarakat mengalami peningkatan yang sangat pesat. Menurut pengamatan
WHO, selama 10 tahun terakhir, terlihat bahwa jumlah penderita hipertensi yang dirawat di berbagai
rumah sakit meningkat lebih dari 10 kali lipat. Peningkatan ini tentu saja sangat mencemaskan
siapapun yang peduli, karena penemuan kasus yang hanya dilakukan secara pasif pada masyarakat
yang tingkat pengetahuannya rendah hanyalah sebongkah gunung es yang muncul di permukaan
samudra.
Apalagi banyak para ahli yang beranggapan bahwa tidak ada korelasi antara hipertensi
dengan keluhan-keluhan subjektif yang sering diutarakan penderita. Bahkan, ada yang beranggapan
bahwa keluhan hipertensi tidak ada yang spesifik. Sifatnya yang sangat subjektif memberikan
peluang besar untuk diekspresikan secara berbeda oleh setiap penderita yang datang dari sub-
kelompok dalam populasi dengan tingkat pemahaman yang sangat berbeda. Sebagai contoh, di kota
Semarang terlihat bahwa hipertensi berhubungan dengan nyeri kepala, tetapi di pedesaan tak
satupun keluhan itu yang signifikan.
Itu berarti bahwa penemuan kasus secara pasif akan sangat tidak berarti jika dibandingkan
dengan besar penduduk dan luasnya wilayah yang terkena. Khususnya di negara berkembang,
1
termasuk Indonesia, fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia belum mampu menjangkau seluruh
wilayah secara efektif. Pelayanan pasif seperti itu paling tinggi hanya mampu menjangkau sekitar
50% dari penderita hipertensi yang ada di masyarakat, dan hanya sekitar 25% dari penderita yang
terdeteksi tersebut mendapat pengobatan. Dari jumlah itu, hanya sekitar 12,5% yang
berkesempatan mendapat pengobatan secara baik dan teratur. Sisanya akan terkucil dan dilupakan.
Mereka selanjutnya akan mengalami keadaan patologi mengerikan tanpa intervensi yang layak, satu
per satu masuk ke dalam perangkap cacat dan kematian yang mengenaskan.
Di lain pihak, pemahaman para petugas kesehatan, termasuk dokter, terhadap hipertensi
tidaklah menggembirakan. Dari wawancara yang pernah dilakukan terhadap dokter, diketahui bahwa
hanya 60,9% dokter yang secara jujur menyatakan melakukan peneraan alat pengukur tekanan
darahnya. Hanya sekitar 14% yang mengetahui angka prevalen hipertensi di Indonesia, dan hanya
sekitar 7,7% yang menganjurkan pasien hipertensi untuk berolahraga. Hal yang mungkin
menggembirakan adalah bahwa obat yang sering digunakan para dokter adalah diuretika, alkaloid
rauwalfia, dan obat campuran yang sering digunakan adalah metyldopa serta beta bloker. Di
samping mungkin merefleksikan kepedulian dokter Indonesia terhadap kesehatan masyarakat, tetapi
tidak tertutup kemungkinan hal tersebut mencerminkan tingkat ketertinggalan mereka dibidang
terapi hipertensi. Bagaimanapun, yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa hanya 48% dari
dokter yang diwawancarai yang menyatakan bahwa hipertensi merupakan penyakit yang perlu
pengamatan seumur hidup.
Kalau ada orang yang paling peduli pada masalah hipertensi dalam masyarakat, mungkin
dia adalah Prof. Boedhi Darmojo dari FK Universitas Diponegoro, Semarang. Selama bertahun-tahun,
perhatiannya tercurah pada hipertensi dalam masyarakat. Sehubungan dengan tingginya prevalensi
hipertensi di Indonesia, menurut Prof. Boedhi Darmojo, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian serius, antara lain: Pertama, penemuan kasus secara aktif oleh semua petugas yang
bekerja di bidang kesehatan, terutama dokter dan dokter perusahaan. Kedua, intensifikasi dan
ekstensifikasi upaya penyuluhan tentang tanda atau gejala hipertensi, berbagai faktor yang
mempengaruhi
kejadian hipertensi, serta berbagai komplikasi hipertensi kepada masyarakat luas. Ketiga,
peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan sampai ke tingkat pedesaan.
Keempat, peningkatan pengetahuan, sikap, dan praktik tentang tujuan penanganan hipertensi di
kalangan tenaga kesehatan, khususnya dokter. Terakhir, peningkatan kerjasama dan sistem rujukan
antar berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan.
Menurut WHO dan hasil penelitian yang dipublikasikan pada American Journal Of Public
Health tahun 1994 duapuluh percent ( 20%) dari masyarakat di negara maju dengan usia dewasa
menderita hipertensi,dimana kelompok usia ini mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan
stroke terutama bagi penderita yang tidak terkontrol dan tidak diobati.
Penelitian/Screening dilakukan oleh David H Stockwell dkk tahun 1994 dimana dari 1394
karyawan Dinas Kesehatan di New York City diperiksa tekananan darahnya dan didapatkan 409
karyawan menderita Hipertensi (29.34%) dan ternyata dari 409 penderita hipertensi tersebut diatas:
a. 120 orang tidak mengetahui menderita hipertensi ( 29.33%)
b. 289 orang tahu dirinya sebagai penderita ( 70.67%)
c. 88 orang penderita tidak pernah berobat ( 21.50%)
d. 150 orang penderita berobat tapi tekanan darah gagal dikontrol ( 36.67%)
2
Dari gambaran hasil penelitian tersebut dapat dikatakan hipertensi fenomenanya di dalam
masyarakat bila tidak diintervensi dengan monitoring rutin dan kontrol maka
dari seluruh kasus hipertensi 358 penderita ( 87.5%) potensial untuk mendapatkan berbagai risiko
komplikasi dari hipertensi seperti stroke, kegagalan jantung dan lainnya.
Jadi jelas hipertensi merupakan suatu penyakit kronik yang perlu diawasi karena potensial
menambah beban permasalahan kesehatan di masyarakat dimana hubungan linier dari hipertensi
dengan penyakit penyakit lain yang diakibatkannya .
Di Indonesia prevalensi hipertensi secara nasional sampai saat ini angkanya belum pernah
ada karena penelitian terhadap prevalensi hipertensi ini secara Nasional & simultan (penelitian
multisenter) belum pernah dilakukan. Angka morbiditas hipertensi yang ada hanyalah hasil-hasil
penelitian di berbagai Propinsi yang secara terpisah-pisah.
Budi Darmojo dalam naskah ilmiahnya mengumpulkan angka-angka mengenai hipertensi
dan berkesimpulan 18-28.6% penduduk Indonesia yang berumur di atas 20 tahun adalah penderita
hipertensi. Selain hal hal tersebut diatas pada survei Penyakit Jantung Budi Darmojo menemukan
prevalensi hipertensi sebesar 33.3% di mana wanita prevalensinya lebih tinggi dari laki-laki. Dari
survei penyakit jantung tersebut distribusi derajat hipertensi ditemukan 68.4% hipertensi ringan;
28% hipertensi sedang dan 3.5% hipertensi berat dan tidak ditemukan hubungan linier antara derajat
hipertensi dan umur.
Dari pencatatan dan pelaporan Rumah Sakit di 27 propinsi di Indonesia tahun 1985 oleh
Dirjen pelayanan medik dari semua penderita berobat jalan 0.8% adalah penderita hipertensi.
Ditinjau dari geografik patologi dikatakan terdapat kecenderungan bahwa masyarakat
yang berdomisili di daerah urban/perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan
masyarakat yang berdomisili di daerah rural /pedesaan dimana Susalit E. dalam laporannya
mendapatkan angka 14.2% untuk masyarakat yang berdomisili di pinggiran kota Jakarta, sedangkan
penelitian lain yang dilakukan pada penduduk didaerah sukabumi didapatkan prevalensi hipertensi
sebesar 28.6%, sedangkan penelitian/skrining yang dilaksanakan oleh Sugiri dan kawan kawan pada
masyarakat pedesaan daerah Randu Blatung, Kabupaten Blora Jawa Tengah mendapatkan angka
8.6%.
Saharman Leman dan kawan kawan mendapatkan angka prevalensi hipertensi 17.8% pada
penelitiannya di masyarakat pedesaan di Kangirian Talang, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Syakip
Baleri dan kawan kawan yang meneliti prevalensi hipertensi pada beberapa kelompok masyarakat di
Ujung Pandang mendapatkan angka prevalensi hipertensi 11.75 % pada kelompok industri; 9.75%
pada kelompok nelayan dan 7.92% pada kelompok tani. Terlihat dari di setiap geografi/wilayah yang
diteliti menunjukkan perbedaan angka yang cukup bermakna sehingga masih perlu diadakan suatu
penelitian lebih lanjut dan mendalam.
Penelitian prevalensi hipertensi pada pelajar sekolah menengah pertama yang dilaporkan
oleh Wasilah Rochmah dkk di Yogjakarta sebanyak 203 pelajar yang berumur 12-17 tahun
didapatkan 10 orang pelajar dengan tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan dengan tekanan
darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg.
Penelitian yang sama dilaksanakan oleh Robinson Harahap terhadap 3612 pelajar SMA
dengan umur 15 – 21 tahun didapat angka prevalensi hipertensi 3.3 %.
Penelitian lainnya yang dilaksanakan di Indonesia antara lain Darmoyo tahun 1986
Mendapatkan 6% sampai 15% orang dewasa mempunyai tekanan darah sistolik diatas 160 mmHg
atau tekanan darah diastolik di atas 95 mmHg. Penelitian yang mendapatkan angka prevalensi
tertinggi di Silungkang Sumatera Barat yaitu 19.5% dan yang terendah di Lembah Balim Irian Jaya
sebesar 0.6%. Tekanan darah meningkat sesuai dengan kenaikan umur baik pada laki-laki maupun
3
wanita dan hal ini terlihat jelas pada wanita setelah berumur 45 tahun. Prevalensi hipertensi pada
penduduk yang tinggal di tepi pantai lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di
pedalaman dan pegunungan.
Tidak terlihat perbedaan antara perkotaan dan pedesaan. Survei kesehatan rumah tangga
tahun 1986 melaporkan angka prevalensi hipertensi tertinggi di tujuh daerah yang di survei di
Yogjakarta, Bali, Sulawesi Utara, Bengkulu, Kalimantan Barat , Maluku dan Nusa Tenggara Barat
didapatkan di daerah Sulawesi Utara yaitu sebesar 816.2 per 100000 penduduk dan Yogjakarta dan
Bali prevalensinya agak rendah yakni untuk golongan umur 15–24 tahun sebesar 42 per 100000
penduduk, untuk golongan umur 25–34 tahun sebesar 207 per 100000 penduduk dan sangat
meningkat pada golongan umur 55 tahun ke atas sebesar 2534,3 per 100000 penduduk ( Budiarso
dkk 1989). Survei ini juga melaporkan bahwa penyebab kematian kelompok penyakit kardiovaskuler
yang menonjol adalah hipertensi yakni sebesar 42 per 100000 penduduk dan kematian yang
disebabkan oleh hipertensi meningkat dengan bertambahnya umur di mana pada kelompok umur
35–44 tahun angka kematiannya sebesar 30,7 per 100000 penduduk dan naik menjadi 339,5 per
100000 penduduk pada umur 55 tahun ke atas.
Suatu penelitian untuk mengetahui status penderita hipertensi yang berhubungan dengan
pengendaliannya pada penduduk di Indonesia dilakukan oleh Darmoyo tahun 1977 pada penduduk
kota Semarang berupa survei rumah tangga yang dilaksanakan sesuai dengan Pedoman WHO
didapatkan dari 1315 penduduk yang berumur diatas 20 tahun tidak mengetahui mereka menderita
hipertensi dan 34,1% diantaranya mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi tetapi tidak
diobati. Terdapat sebesar 17,9% penderita hipertensi yang mengetahui bahwa mereka menderita
hipertensi dan diobati akan tetapi hipertensinya tidak terkendali.
Sugiri di Jawa Tengah melaporkan didapatkan pervalensi hipertensi sebagai berikut 6,6%
kelompok pria dan 11.6% kelompok wanita. Laporan dari Sumatera Barat didapatkan 18.6% pria dan
17,4 % wanita dan di daerah perkotaan Semarang 7,5% pria dan 10.9% wanita, sedangkan di daerah
perkotaan Jakarta 14,6% pria dan 13,7% wanita. Menurut laporan Puskesmas tahun 1984 penderita
penyakit darah tinggi adalah 0,9% dari seluruh pengunjung dan yang dirawat inap di Rumah Sakit
pada tahun yang sama adalah 1,1% penderita hipertensi. Pada tiga survei rumah tangga yang telah
dilakukan oleh badan penelitian dan pembangunan kesehatan tahun 1972, 1980 dan 1986 ada
tendensi kenaikan prevalensi tekanan darah tinggi dan hampir merata meliputi semua daerah yang
disurvei. Pada tahun 1972 tercatat penderita dengan penyakit kardiovaskuler 2,5% dengan urutan
ke-2, pada tahun 1980 kejadian kardiovaskuler naik menjadi 5,2% menduduki urutan ke 6 dan
didapat kejadian hipertensi 3,3% dari yang sakit. Pada tahun 1986 kardiovaskuler tercatat 9,84%
dan hipertensi 5,09% dari yang sakit. Menurut hasil sensus penduduk Indonesia tahun 1980
persentasi golongan orang usia lanjut telah bertambah disebabkan perbaikan dalam kegiatan
pencegahan kesehatan masyarakat dan angka harapan hidup meningkat serta umur rata-rata
sewaktu meningkat pula.
Dari data tersebut di atas memberikan gambaran bahwa hipertensi merupakan masalah
kesehatan yang potensial, hipertensi merupakan faktor risiko yang utama untuk terjadinya stroke di
Indonesia. Mengacu pada data-data hasil survei di atas telah dapat diperkirakan 16 juta sampai
dengan 18 juta penduduk di Indonesia memiliki potensi untuk mendapatkan stroke dari derajat
ringan sampai berat pada saat awalan milineum ketiga ini.
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menanggulangi hipertensi di masyarakat
dengan beberapa program intervensi, antara lain pengurangan faktor-faktor risiko dengan perubahan
cara hidup, pencegahan melalui integrasi program di puskesmas, pendidikan pada tenaga kesehatan,
4
cara-cara melakukan case finding dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Dengan kata lain
pendekatan komunitas harus segera dilakukan, dan berubah dari pendekatan klinis yang individual.
2. Permasalahan
Seperti diketahui dari hasil-hasil penelitian yang lampau prevalensi penyakit darah
tinggi/hipertensi berkisar antara 7% sampai dengan 20% dan cenderung meningkat pada
kelompok usia lanjut. Dilain pihak angka kematian akibat hipertensi menurut penelitian tahun 1986
mencapai 42,8 per 100000 penduduk dengan distribusi yang meningkat untuk kelompok umur 35–
45 tahun sebesar 30,7% dan untuk kelompok umur 55 tahun keatas sebesar 339,5 per 100000
penduduk.
Hal lain yang penting adalah tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyakit hipertensi
cukup rendah dimana dari hasil survei menunjukkan 43,9% penderita hipertensi tidak mengetahui
bahwa mereka menderita hipertensi di mana angka ini hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan
penelitian oleh David H.Stockwell di Newyork tahun 1994.
Di Kotamadya Palembang dimana penelitian”Pola kejadian hipertensi dan beberapa faktor
risikonya” ini dilakukan terdapat beberapa permasalahan yang perlu dijawab antara lain:
1. Dari komposisi demografi kependudukan kotamadya Palembang mempunyai kelompok
umur 15 tahun keatas dengan persentase yang cukup tinggi dimana angka absolut
menunjukkan jumlah 1017539 jiwa ( >1.000.000 ). Kelompok ini merupakan kelompok
yang potensial untuk terkena hipertensi.
2. Sehubungan dengan gambaran demografi diatas sampai saat ini belum pernah
dilakukan penelitian berapa besarnya prevalensi hipertensi pada kelompok tersebut
baik secara kasar maupun secara spesifik.
3. Berkaitan Pola kejadian hipertensi di Kotamadya Palembang sampai saat ini dari
berbagai jenis faktor risiko hipertensi yang ada belum pernah ada penelitian yang
menghasilkan angka yang mewakili faktor risiko kejadian hipertensi di Kotamadya
Palembang.
Dari keseluruhan uraian diatas dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa di Kotamadya belum
ada data data dasar mengenai pola kejadian hipertensi yang meliputi distribusi prevalensi, distribusi
faktor risiko maupun distribusi tingkat kesadaran masyarakat terhadap penyakit hipertensi.
Dalam penelitian ini dicoba menjawab berbagai permasalahan yang diuraikan diatas
dengan mencoba mencari distribusi angka prevalensi hipertensi dan jenis faktor risiko dari
hipertensi yang ada pada masyarakat Kotamadya Palembang tahun 2009.
3. Tujuan Penelitian
Penelitian pola kejadian hipertensi dan beberapa faktor risikonya di Kotamadya
Palembang ini bertujuan :
1. Tujuan umum :
1.1. Mencari/menghimpun angka prevalensi hipertensi di Kotamadya
Palembang
1.2. Mencari & membuktikan asosiasi hipertensi dengan beberapa variabel
faktor risiko yang dikumpulkan pada penelitian ini
2. Tujuan Khusus
2.1. Menghitung beberapa jenis angka prevalensi hipertensi di Kotamadya
Palembang antara lain
a. Menghitung prevalensi umum hipertensi di Kotamadya Palembang
b. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan kelompok umur
5
c. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin
d. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan umur
e. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan status gizi
f. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan kebiasaan merokok
g. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan lamanya merokok
h. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan jumlah batang rokok yang
dihisap per hari
i. Menghitung prevalensi hipertensi berdasarkan status pekerjaan
2.2. Mencari asosiasi faktor risiko dengan kejadian hipertensi Di Kotamadya
Palembang :
a. Mencari asosiasi hipertensi dengan faktor kebiasaan merokok
b. Mencari asosiasi hipertensi dengan jumlah rokok yang dihisap per hari
c. Mencari asosiasi hipertensi dengan lamanya merokok
d. Mencari asosiasi hipertensi dengan status gizi
e. Membuktikan perbedaan kejadian hipertensi berdasarkan jenis kelamin
f. Membuktikan perbedaan kejadian hipertensi berdasarkan status
pekerjaan
4. Jadwal pelaksanaan Penelitian
NO BULAN KEGIATAN
1 JANUARI 2009
1.Pembuatan usulan penelitian
2.Pembentukan organisasi penelitian
3.Pelatihan petugas lapangan/surveyor
4.Intrument test
2 JANUARI - MARET 2009
1.Pengumpulan data
2.Data entri
3.Supervisi di lapangan
4.Editing data
3 MARET 2009
1..Menyusun draft laporan
2.Diskusi draft laporan
3.Editing draft laporan
4.Penyusunan laporan akhir
5.Organisasi Penelitian
NO JABATAN NAMA
1 Peneliti Dr. R.M. Suryadi DTM&H;MPH
2 Konsultan & Editor1.Dr. M.A. Husnil Farouk MPH
2.Dr. Hendarmin Aulia S.U.
3. Sekretaris Zr . Nurazizah B.SC
4.Penanggung Jawab Pengumpulan
Data Zr . Isnawati B.Sc
5Penanggung Jawab Pengolahan
data Dr. Zulkarnain M.Sc
6
6 Pewawancara/surveyor
1.Zr. Isnawati B.Sc
2.Zr. Zuhro B.Sc
3.Zr. Dewi Usdiningsih B.Sc
4.Zr. Eliya Sumirah B.Sc
5.Zr. Yuliana B.Sc
6.Zr. Betty Yuliana B.Sc
7.Zr. Arniyanti. B.Sc
8.Zr Anisah B.Sc
9.Zr Nurazizah B.Sc
10.Zr Rupiah B.Sc
11.Zr.Kesumawati B.Sc
7 Pengolah data
1.Zr. Nurazizah B.Sc
2. Nurbaiti
3. Dewi Anggraini
4. Maria Muhareni
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Definisi
Menurut WHO batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg
dan tekanan darah sama atau di atas 140/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan darah
diantara normotensi dan hipertensi disebut borderline hipertensi. Batasan tersebut tidak
membedakan usia dan jenis kelamin sedangkan batasan hipertensi dengan memperhatikan
perbedaan usia dan jenis kelamin dianjurkan oleh Kaplan sebagai berikut :
1. Pada usia < 45 tahun dikatakan hipertensi apabila tekanan darah waktu
berbaring di atas atau sama dengan 130/90 mmHg.
2. Pria usia 45 tahun dikatakan hipertensi apabila tekanan darahnya di atas
145/95 mmHg.
3. Pada wanita tekanan darah di atas atau sama dengan 160/95 mmHg
dinyatakan hipertensi.
7
Batasan lain berdasarkan peningkatan tekanan darah sistolik. Peningkatan tekanan sistolik
tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik disebut hipertensi sistolik atau hipertensi sistolik
terisolasi ( isolated systolic hypertension ).
Kriteria hipertensi sistolik terisolasi adalah bila peninggian tekanan sistolik lebih dari 2 kali tekanan
diastolik dikurangi 15 mmHg tanpa diikuti oleh peninggian tekanan diastolik atau tekanan sistolik
lebih dari 2 kali tekanan diastolik bila tekanan diastolik tidak melebihi 90 mmHg.
The Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure,
1984 membagi sistolik, diastolik serta sistolik dan diastolik.
Tabel 1. klasifikasi Hipertensi Sistolik
No Tekanan Darah Sisitolik dalam mmHg Kategori / klasifikasi
1 < 140 Tekanan darah normal
2 140 – 159 Hipertensi terisolasi border line
3 > 160 Hipertensi sistolik terisolasi
Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Diastolik
No Tekanan Darah Diastolikdalam mmHg Kategori / klasifikasi
1 < 85 Tekanan darah normal
2 85 -89 Tekanan darah normal tinggi
3 90 - 104 Hipertensi ringan
4 104 - 114 Hipertensi sedang
5 > 115 Hipertensi berat
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan Tekanan Sistolik dan Diastolik
Tekanan Darah Sistolik( mmHg)
Diatolik( mmHg) < 140 140 –159 > 160
< 85 Normal Hipertensi sistolik terisolasi Hipertensi sistolik
terisolasi
85 – 89 Normal Tinggi Border Line
90 – 104 Hipertensi Ringan
105 – 114 Hipertensi Sedang
> 115 Hipertensi Sedang
Sebuah komite yang dibentuk oleh Experimental Medical Case Review Organisation
( EMCRO ) di Amerika menentukan bahwa kriteria hipertensi yang menetap adalah sebagai berikut :
1. Apabila tekanan darah tetap tinggi setelah diperiksa 3 kali berturut – turut dengan interval
tidak kurang dari satu minggu.
2. Apabila 3 dari 4 kali pengukuran tekanan darah yang dilakukan 2 hari berturut – turut,
tekanan diastolik lebih dari 100 mmHg.
3. Pada wanita hamil adanya hipertensi menetap ditentukan setelah 6 minggu post partum.
8
4. Pada wanita yang memakai oral kontrasepsi obat tersebut harus dihentikan 4 – 6 bulan dulu
sebelum diagnosa hipertensi ditentukan.
Menurut Freis, hipertensi esensial dibagi dalam beberapa tingkatan :
1 Hipertensi ringan dengan diastolik menetap rata–rata antara 90–104 mmHg
pada 3 kali kunjungan atau lebih.
2. Hipertensi sedang dengan diastolik menetap rata–rata antara 105–114 mmHg pada 3 kali
kunjungan atau lebih.
3. Hipertensi berat dengan diastolik menetap antara 115–129 mmHg.
4. Hipertensi maligna bila tekanan diastolik 130 mmHg atau lebih.
Sebelum hipertensi ringan adapula suatu tingkatan yang disebut hipertensi labil (borderline
hypertension ) dimana tekanan darah berkisar antara 150/90 – 160/100 mmHg.
Pembagian pada saat ini yang terkenal adalah berdasarkan kadar renin dalam darah.
1. Kadar renin rendar lebih kurang 30 % dari penderita hipertensi esensial.
2. Kadar renin normal sekitar 50 % dari penderita hipertensi esensial.
3. Kadar renin tinggi sekitar 20 % dari penderita hipertensi esensial.
Pembagian lain berdasarkan patofisiologi yaitu:
1. Hipertensi labil
2. Hipertensi menetap
3. Hipertensi maligna
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik dan hipertensi sekunder
atau disebut juga hipertensi renal. Berbagai faktor dihubungkan dengan hipertensi esensial akan
tetapi belum terdapat keterangan pasti yang dapat menjelaskan penyebabnya.
Hipertensi esensial meliputi lebih kurang 90% dari seluruh penderita hipertensi dan 10%
sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Dari golongan hipertensi sekunder hanya 50% yang
dapat diketahui penyebabnya dari golongan ini hanya beberapa persen yang dapat diperbaiki
kelainannya. Oleh karena itu upaya penanganan hipertensi esensial lebih mendapat prioritas.
Banyak pendapat yang dikemukakan tentang penyebab tekanan darah tinggi esensial ini
diantaranya menyatakan bahwa tekanan darah esensial tidak disebabkan satu macam akan tetapi
sebagai akibat komplek faktor–faktor yang satu sama lain saling berkaitan.
Ada kemungkinan tekanan darah tinggi esensial sudah dimulai sejak anak – anak meskipun
sekarang belum ada bukti–bukti yang meyakinkan. Bila hal tersebut dapat dibuktikan betul kita
dapat mengadakan pencegahan sejak kanak–kanak.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain :
1. Faktor herediter, didapat pada keluarga yang umumnya hidup dalam lingkungan dan
kebiasaan makan yang sama.
2. Faktor usia, berkorelasi positif antara umur dan tekanan darah tinggi.
3. Jenis kelamin, pria lebih tinggi dari wanita, tetapi di Indonesia terlihat pada beberapa
penelitian lebih tinggi wanita.
9
4. Konsumsi garam, telah jelas ada hubungan tetapi ada penelitian pada daerah di mana
konsumsi garam tinggi tidak selalu mempunyai prevalensi tinggi.
5. Obesitas, telah diketahui adanya korelasi timbal balik antara obesitas dan hipertensi.
6. Faktor geografis dan lingkungan mempunyai peran dalam hubungan dengan terjadinya
hipertensi, seperti penduduk di pantai dan pedalaman pegunungan, daerah terisolir.
7. Faktor psikokultural, ada banyak hubungan antara psikokultural dengan hipertensi tetapi
belum didapat kesimpulan. Pekerjaan, pendidikan dan lain–lain tidak banyak berpengaruh,
tetapi stres, psikososial akut menaikkan tekanan darah secara tiba–tiba.
Menurut WHO penyebab tekanan darah tinggi esensial berkaitan langsung dengan
peradaban hidup, makin modern suatu kehidupan dituntut konsentrasi penggunaan waktu yang
serba cepat, segala sesuatunya harus cepat sehingga kehidupan selalu tergesa–gesa. Akibat
ketenangan dan ketentraman hidupnya berkurang ini merupakan salah satu faktor yang penting
untuk terjadinya penyakit hipertensi tetapi penyebab–penyebab yang pasti sampai sekarang ini
belum dapat ditemukan.
3. Patogenesis dan Patofisiologi Hipertensi Esensial
Etiologi hipertensi esensial masih belum jelas. Beberapa faktor diduga memegang peranan
dalam genesis hipertensi. Faktor psikik, sistem saraf, ginjal, jantung dan pembuluh darah,
kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, natrium dan air. Hipertensi tidak disebabkan oleh satu
faktor tetapi oleh beberapa faktor turut memegang peranan dan menjalin satu sama lain dalam
genesis hipertensi, ini dikenal dengan teori Mosaik.
Ledingham mengemukakan klasifikasi patofisiologi hipertensi esensial :
1. Stadium labil (labile essential hypertension),
2. Menetap (fixed essential hypertension)
3. Maligna (labile essential hypertension).
1. Stadium Labil ( labile essential hypertension )
Tekanan emosi akan meningkatkan aktifitas saraf otonom dan menyebabkan kenaikan
tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriole glomerulus. Vasokonstriksi darah ginjal arteriole
post glomerulus menimbulkan retensi natrium dengan akibat kenaikan volume plasma (VP) dan
volume cairan ekstra seluler (VCES) dan kenaikan tekanan pengisian atrium, akhirnya isi semenit
meningkat. Kenaikan isi semenit menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah tepi (tekanan
perifer) akibatnya terjadi hipertensi. Proses ini akan berlangsung terus walaupun tekanan emosi
telah hilang. Menurut beberapa peneliti, tekanan emosi dapat mempertahankan kenaikan darah
terutama pada pasien – pasien peka.
Ginjal memegang peranan penting dalam mengendalikan kelebihan cairan dan homeostasis
natrium. Pada hipertensi esensial stadium labil dimana belum terdapat kelainan struktur dinding
pembuluh darah ginjal maka kenaikan tekanan darah akan menjadi normal kembali (normotensi)
karena ekskresi natrium melalui urine meningkat.
10
Analisa pada stadium labil
1. Renin: sebagian besar pasien dengan PRA (plasmarenin activity) normal,
hanya 10 – 40 % dengan PRA rendah.
2. Isi semenit: labilitas hipertensi paralel dengan labilitas isi semenit
terutama pada usia muda.
2. Stadium Menetap (fixed essential hypertension)
Pada stadium menetap telah terdapat perubahan–perubahan struktur dinding pembuluh
darah yang irreversibel berupa hiperplasi, hialinisasi dan fibrionid, mengenai arteriole post
glomerulus. Perubahan–perubahan dinding ini menyebabkan penyempitan lumen diikuti oleh
filtration friction dan renal vascular resistance yang persisten.
Pada stadium menetap terjadi tipe renal karena telah terdapat perubahan pada pembuluh
darah ginjal. Tekanan darah dipertahankan tinggi akibat kenaikan TPR walaupun isi semenit dan
volume cair telah normal kembali.
Secara teoritis pada stadium menetap terdapat kenaikan renin plasma tetapi ternyata
sebagian pasien mempunyai renin plasma rendah. Mekanisme penurunan renin plasma tidak
diketahui, diduga penurunan RBF (renal blood flow) primer akibat kenaikan TPR pada arteriole
post glomerular dan diikuti oleh kenaikan FF (filtration friction) dan akhirnya terjadi penurunan
renin plasma
3. Stadium Maligna (malignant essential hypertension)
Hubungan sistem renin – angiotensin – aldosteron
Kenaikan tekanan intravaskuler menyebabkan perubahan struktur dinding pembuluh darah
arteriole afferen glomerulus berupa nekrose fibrinoid. Sebenarnya perubahan – perubahan ini
sudah mulai terjadi pada stadium menetap, hanya pada stadium maligna perubahan– perubahan
lebih kuat sehingga menyebabkan penyempitan
lumen. Penyempitan lumen pembuluh darah menyebabkan iskemi yang merangsang
sel juxta glomerulus untuk melepaskan renin. Kenaikan renin dan angiotensin langsung
menyebabkan hipertensi. Kenaikan tekanan darah tergantung dari komponen zat pressor dan
komponen volume (aldosteron dan natrium).
Sebagian besar pasien hipertensi esensial stadium maligna menunjukkan tanda–tanda
hiperaldosteronisme sekunder: kenaikan plasma renin dan aldosteron, peningkatan tahanan
pembuluh darah tepi dan penurunan konsentrasi natrium melalui urine meningkat (natriuresis).
Natriuresis ini menyebabkan penurunan volume plasma dan konsentrasi natrium. Pada hipertensi
esensial stadium maligna peranan diuretik dan pembatasan garam natrium dalam diet tidak akan
menurunkan tekanan darah tetapi meningkatkan konsentrasi plasma renin.
4. Diagnosis
Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan data
anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan
penunjang.
11
Umumnya sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah
tinggi, kadang – kadang tekanan darah tinggi ini ditemukan secara kebetulan sewaktu penderita
datang ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain.
Gejala yang dirasakan oleh penderita tekanan darah tinggi sangat individual sekali, kadang–kadang
terasa :
1. Pusing–pusing di seluruh kepala dan kadang–kadang sampai muntah.
2. Rasa sakit dan kaku pada kuduk/leher bagian belakang.
3. Penderita mudah tersinggung dan mudah marah.
4. Tetapi kadang-kadang penderita tidak merasa apa – apa.
Pada 70-80% kasus hipertensi essensial, didapatkan riwayat hipertensi dalam keluarga,
walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnostik hipertensi essensial. Apabila riwayat hipertensi
didapat pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.
Mengenai usia penderita hipertensi, sebagian besar timbul pada usia 25-45 tahun dan hanya 20
% yang timbulnya kenaikan tekanan darah dibawah usia 20 tahun dan di atas 50 tahun.
Pengukuran tekanan darah harus dilakukan secara akurat. Berbagai faktor dapat
mempengaruhi hasil pengukuran, misalnya faktor pasien, alat dan tempat pengukuran.
Pengukuran sebaiknya dilakukan pada penderita dengan cukup istirahat, sedikitnya 5 menit sesudah
berbaring dan dilakukan pengukuran pada posisi berbaring, duduk dan
berdiri, sebanyak 3 – 4 kali pengukuran dengan interval antara 5 – 10 menit. Ukuran manset dapat
mempengaruhi hasil. Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Balon dipompa sampai
diatas tekanan sistolik dan dibuka perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung.
Tekanan sistolik dicatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan tekanan
diastolik dicatat apabila bunyi tidak terdengar lagi (Korotkoff V). Pemeriksaan tekanan darah
sebaiknya dilakukan pada kedua lengan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri.
5. Pedoman Umum Terapi Hipertensi
Keputusan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak hanya ditentukan oleh tingginya
tekanan darah, tetapi juga oleh adanya faktor risiko kardiovaskuler lainnya dan adanya TOD. Makin
tinggi tekanan darah, adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain dan atau sudah adanya TOD
makin tinggi risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Bagi mereka , manfaat
pengobatan hipertensi makin besar.
Sebaliknya pada hipertensi ringan tanpa disertai faktor-faktor lain atau TOD, manfaat pengobatan
hipertensi kecil sekali, sehingga penderita mungkin lebih dirugikan oleh adanya efek samping yang
ditimbulkan oleh anti hipertensi.
Berdasarkan perimbangan manfaat dan kerugian ini, maka JNC-V menggunakan rekomendasi
berikut untuk memulai pengobatan hipertensi pada orang dewasa.
Tekanan darah yang meningkat pada pengukuran pertama harus dipastikan dengan pemeriksaan
ulang sedang satu sampai beberapa minggu sebelum diputuskan untuk diobati. Kecuali bila tekanan
darah sangat tinggi (diastolik lebih atau sama dengan 120 mmHg atau sistolik lebih atau sama
dengan 210 mmHg) atau disertai dengan TDD, maka penderita perlu segera diobati.
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua (2) :
1. Non farmakologis/modifikasi pola hidup :
12
Pembatasan garam
Latihan dan diet kaya kadar kalium
Hentikan kebiasaaan merokok
Hindarkan dan atasi tekanan mental
Hentikan dan hindarkan pemakaian obat–obatan kortikosteroid dan kontrasepsi oral
2. Pengobatan dengan obat-obatan (farmakologis)
Pengobatan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan penyebab hipertensi
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan
memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan kemungkinan seumur
hidup
2.1. Jenis-jenis obat anti hipertensi
Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat kencing)
sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung
menjadi lebih ringan. Contoh obat-obatan yang termasuk golongan diuretik adalah
Hidroklorotiazid. Efek samping yang sering dijumpai adalah: hipokalemia (kekurangan
kalsium dalam darah) dan hiponatremia (kekurangan natrium dalam darah) yang dapat
mengakibatkan gejala lemas, hiperurisemia (peningkatan asam urat dalam darah) dan
gangguan lainnya seperti kelemahan otot, muntah dan pusing.
Penghambat simapetik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja
pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat
simpatetik adalah: Metildopa, Klonidin dan Reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah:
anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah),
gangguan fungsi hati dan kadang-kadang dapat menimbulkan hepatitis kronis.
Betabloker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung.
Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan
betabloker adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol. Pada penderita diabetes melitus
harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula
dalam darah turun menjadi sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya).
Pada orang tua terdapat gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga
pemberian obat harus hati-hati.
Vasodilator
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot
pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah: Prasosin, Hidralasin. Efek
13
samping yang kemungkinan akan terjadi dari pemberian obat ini adalah : sakit kepala dan
pusing.
Penghambat ensim konversi Angiotensin
Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat Angiotensin II (zat yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini
adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin timbul adalah: batuk kering, pusing, sakit
kepala dan lemas.
Antagonis kalsium
Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi
jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah: Nifedipin, Diltiasem dan
Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah sembelit, pusing, sakit kepala dan
muntah.
Penghambat Reseptor Angiotensin II
Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat Angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang
termasuk dalam golongan ini adalah Valsartan (Diovan). Efek samping yang mungkin timbul
adalah: sakit kepala, pusing, lemas dan mual.
BAB III
METODOLOGI PENELI'TIAN
1 Lokasi
Lokasi penelitian ini adalah di Kotamadya Palembang.
2 Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2009 sampai Maret 2009 pelaksanaannva sebagal
berikut :
NO BULAN KEGIATAN
1 JANUARI 2009
1.Pembuatan usulan penelitian
2.Pembentukan organisasi penelitian
3.Pelatihan petugas lapangan/surveyor
4.Intrument test
2JANUARI SAMPAI DENGAN
MARET 2009
1.Pengumpulan data
2.Data entry
3.Supervisi di lapangan
4.Editing data
3 MARET 2009
1.Editing data
2.Menyusun draft laporan
3.Diskusi draft laporan
4.Editing draft laporan
5.Penyusunan laporan akhir
14
3. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah studi Cross sectional yang bersifat deskriptif dalam mencari prevalensi
hipertensi dan bersifat analitik dalam pengukuran faktor risiko.
4. Populasi dan sampel
Populasl penelitian adalah penduduk vang berumur di atas 15 tahun di Kotamadya Palembang .
Jumlah sampel adalah 16489 unit dasar sampel yang dihitung memakai metoda perhitungan
sampel cross sectional dengan design effect = 1
p = 0.05 power = 90% dan Jumlah penduduk Kotamadya Palembang tahun 2001 1471443 jiwa
dengan jumlah penduduk umur 15 tahun keatas 1017539 jiwa
Sampel diperoleh dari populasi dengan metoda Multistage Random Sampling disetiap kampung
yang ada di Kotamadya Palembang dengan merujuk pada demografi penduduk Kotamadya
Palembang dimana rukun tetangga merupakan tingkatan terakhir dari penarikan sampel.
5. Variabel penelitian
Variabel terikat/dependent penelitian ini adalah tekanan darah sistolik dan diastolik Sedangkan
variabel bebas/independent terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, status gizi, kebiasaan
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan lamanya merokok dan jumlah pendapatan rata-rata
perbulan.
6. Cara pengumpulan data
1. Tekanan darah, berat badan & tinggi badan didapatkan dengan pengukuran langsung memakai
alat dengan metoda yang sudah ditentukan.
2. Data lainnya didapatkan dengan wawancara memakai kuesioner bersamaan pada waktu
pemeriksaan.
3. Alat yang digunakan adalah sphygmomanometer air raksa. Tekanan darah diukur dengan
cara responden berbaring dengan lengan kanan diletakkan lurus di samping tempat tidur, dan
manset dari spygmanometer diikat pada lengan kanan atas kemudian tekanan darah diukur
dengan menggunakan stetoskop dengan catatan pengukuran tekanan darah dilakukan
setelah objek yang diteliti istirahat selama 5 – 10 menit.
7. Instrument test
Perneriksaan tekanan darah menggunakan stetoskop Littmann dan manset merek LPK. Pasien
diperiksa dengan posisi berbaring lengan yang diperiksa adalah lengan kanan yang sebelum
penelitian personal dan instrument screening test telah dilakukan terlebih dahulu dan hanya direkrut
personel yang mempunyai kemampuan yang homogen (p<0.05)
8. Analisis data
Data disajikan dalam bentuk teks dan tabulasi kemudian data dianalisis secara deskriptif dan
inferensial dengan memakai bantuan program Scansoft Statistik/SPSS/G.Power/Epical/ SxS sesuai
dengan kebutuhan analisis.
15
9. Batasan operasional
1. Hipertensi adalah suatu keadaan tekanan darah dirnana tekanan sistolik 140 mmHg dan
tekanan diastolik - 90 mmHg. Tekanan sistolik dicatat pada saat terdengar bunyi pertarna
(Korotkoff I), sedangkan tekanan diastolik dicatat apabila bunyi tidak terdengar lagi.
(Korotkoff V).
2. Umur dihitung berdasarkan tanggal lahir atau menanyakan ulang tahun terakhir.
3. Jenis kelarnin adalah laki-laki dan perempuan dicatat pada saat interview
4. Pekerjaan adalah semua yang dilakukan individu sehingga dapat menghasilkan uang
untuk kebutuhan dapat menghasilkan uang untuk kebutuhan.
5. Status gizi adalah suatu keadaan gizi seseorang berdasarkan TB/BB diklasifikasikan
menjadi Normal; Underweight dan Overweight sesuai dengan rumus perhitungan berat
badan ideal.
6. Kebiasaan merokok adalah apakah seseorang itu merokok atau tidak.
7. Jumlah batang rokok yang dihisap per hari adalah banyaknya rokok yang dihisap dalam
satu hari.
8. Lamanya merokok adalah waktu dari saat pertama kali merokok sampai dengan waktu
sekarang.
10. Hipotesis
1. Hipotesis Nul:
Tidak terdapat asosiasi prevalensi hipertensi dengan faktor risiko jenis kelamin, status
gizi, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan lamanya merokok.
2. Hipotesis alternatif (H1)
Terdapat asosiasi bermakna prevalensi hipertensi dengan faktor risiko jenis kelamin, status
gizi, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan lamanya merokok.
3. Hipotesis penelitian :
1. Prevalensi hipertensi di Kotamadya Palembang tidak berbeda dengan prevalensi Nasional
2. Faktor Risiko jenis kelamin, status gizi, kebiasaan merokok, jumlah rokok yang dihisap
per hari dan lamanya merokok berasosiasi dengan kejadian hipertensi di Kotamadya
Palembang
16