ROSASEA
I. PENDAHULUAN
Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada
kulit, berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar
pilosebaseus di wajah dan dapat merusak kontur wajah sehingga tampak
lebih cembung, terutama pada bagian hidung, pipi, dagu, dan dahi. Penyakit
ini ditandai juga dengan adanya eritema yang berkepanjangan dan
telangiektasi disertai dengan papul atau pustul. Selain itu, pada periode
tertentu wajah tampak kemerahan dan terasa panas terbakar yang terjadi
hanya dalam beberapa menit (flushing).1,2
Pada kenyataannya tidak semua kasus sesuai dengan gambaran ini, di
mana tidak semua ciri-ciri selalu muncul. Suatu usaha dilakukan baru-baru
ini untuk menentukan kriteria diagnosis menyimpulkan bahwa adanya satu
atau lebih dari tanda-tanda berikut dengan distribusi pada bagian sentral
wajah dipikirkan sebagai rosasea yaitu flushing (kulit kemerahan dan terasa
panas terbakar), eritema non transient, papul, pustul, dan telangiektasis.2
Sebagian besar para ahli meyakini bahwa perubahan vaskular,
terutama flushing merupakan suatu gambaran yang khas dan konstan yang
diikuti dengan progresifitas ke arah inflamasi (papul dan pustul) dan adanya
limfedema kronik, penebalan kulit, dan rinofima merupakan suatu komplikasi
lanjut. Walaupun demikian, banyak kasus yang tidak menunjukkan pola yang
jelas tentang hal tersebut.2,3
II. EPIDEMIOLOGI
Rosasea menyerang hampir 3% diantara populasi dunia. Rosasea
lebih sering terjadi pada bangsa kulit putih (ras kaukasoid). Namun, tidak
menutup kemungkinan orang Afrika dan orang Asia juga dapat menderita
rosasea. Pada bangsa kulit putih ditemukan penderita rosasea sekitar 10%
dari jumlah total bangsa kulit putih.1,2,4
Puncak insiden dan beratnya penyakit terjadi pada dekade ketiga dan
keempat, pada usia 30-50 tahun, dengan insiden puncak antara 40-50
0
tahun. Walaupun demikian, anak-anak, remaja, dewasa muda dan usia
lanjut dapat menderita rosasea.1,4,5
Berdasarkan jenis kelamin, pada umumnya rosasea lebih sering terjadi
pada perempuan dibanding laki-laki. Tapi rinofima, salah satu jenis rosasea,
lebih sering menyerang laki-laki dibanding perempuan.2
Data insiden rosasea pada kelompok etnik yang berbeda sangat
bervariasi dan secara umum data ini masih kurang dan lemah, tetapi dapat
disimpulkan bahwa insiden dan mungkin deteksi rosasea tertinggi pada
individu dengan kulit tipe I dan II, diikuti ras Asia dan insiden terendah pada
populasi berkulit hitam. Insidensi penyakit ini juga sering didapatkan pada
penduduk di Celtic (fototipe kulit I dan II) dan Mediterania Selatan. Frekuensi
yang rendah atau jarang terdapat pada orang yang berwarna kulit gelap
(fototipe kulit V dan VI, warna kulit coklat dan hitam).1
III. ETIOPATOGENESIS
Etiologi dari rosasea tidak diketahui. Ada beberapa faktor yang terlibat
dalam patogenesis terjadinya rosasea yakni pembuluh darah, paparan
iklim/musim, makanan dan obat-obatan, mikroorganisme, imunologi, reactive
oxygen species (ROS), peningkatan angiogenesis, dan lainnya.2
a. Pembuluh darah
Peningkatan aliran darah ke pembuluh darah wajah dan peningkatan
jumlah pembuluh darah yang letaknya lebih dekat ke permukaan wajah
diduga menjadi faktor terjadinya eritema dan flushing. Selain itu, vasodilatasi
dan respon normal terhadap hipertermia lebih menonjol pada orang-orang
dengan rosasea.4,6
Beberapa perbedaan tersebut mencakup reaktivitas vaskular pada
daerah wajah, komposisi atau struktur jaringan penyambung kulit, komposisi
matriks, struktur pilosebasea, atau kombinasi antara respon jaringan kutan
terhadap berbagai faktor pencetus rosasea. Baik mekanisme neural maupun
humoral menimbulkan reaksi kemerahan yang hanya terbatas pada area
wajah. Hal ini disebabkan karena aliran darah pada bagian bawah wajah
lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya. Selain itu
vaskularisasi lapisan kutaneus wajah terletak lebih superfisial dan terdiri atas
1
pembuluh darah yang lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan
area tubuh yang lain.6
b. Paparan iklim/musim
Peran musim panas atau musim dingin, termasuk di dalamnya peran
sinar ultraviolet matahari yang dapat menimbulkan kerusakan pembuluh
darah kulit penyebab eritema persisten masih terus diselidiki karena belum
jelas dan bertentangan hasilnya.2
c. Makanan dan obat-obatan
Makanan pedas, alkohol, dan minuman panas dapat memicu flushing
pada penderita rosasea.2,3
Adanya peningkatan bradikinin yang dilepas oleh adrenalin pada saat
kemerahan kulit flushing menimbulkan dugaan adanya peran obat, baik
sebagai penyebab maupun yang dapat digunakan sebagai terapi rosasea,
seperti amiodarone, steroid topikal, dan vitamin B-6 dan B-12 dosis tinggi.3
d. Mikroorganisme
Demodex folliculorum (tungau yang biasa hidup di folikel rambut
manusia) dahulu dianggap berperan pada etiologi rosasea, namun akhir-
akhir ini mulai ditinggalkan.2-4
Kutu yang hidup pada lumen folikel sebaceous pada area kepala dan
diduga dapat menyebabkan rosasea dalam berapa dekade, tetapi
kebenarannya mesti dikaji lebih dalam. Kutu Demodex hidup pada sebagian
besar folikel sebasea pada area tengah wajah dan lebih banyak didapatkan
pada pasien rosasea dibandingkan dengan individu normal. Folikel yang
didiami oleh Demodex menunjukkan respons inflamasi di sekitarnya. Akan
tetapi, masalah-masalah yang menyangkut teori ini termasuk kesulitan
dalam pengambilan sampel folikel dan perlunya penjelasan mengapa
sebagian besar pengobatan rosasea memberikan perubahan yang nyata
namun tidak memberikan efek terhadap kutu tersebut.4
e. Imunologi
Dari lapisan dermo-epidermal penderita rosasea ditemukan adanya
deposit imunoglobulin oleh beberapa peneliti, sedang di kolagen papiler
ditemukan antibodi antikolagen dan antinuklear antibodi sehingga ada
dugaan faktor imunologi pada rosasea.2
2
f. Angiogenesis dan ekspresi berlebihan dari vascular endothelial growth
factor (VEGF)
Studi yang dilakukan dengan menggunakan capillaroscopy video pada
lesi rosasea eritematotelangiektasia menunjukkan neoangiogenesis
meningkat dan pembesaran pembuluh darah. Studi imunohistokimia multipel
menunjukkan ekspresi VEGF meningkat pada endotel pembuluh darah pada
kulit lesi dibandingkan dengan yang non lesi pada pasien rosasea. Cuevas
dkk menggunakan dobesilat topikal, penghambat faktor pertumbuhan
angiogenik, untuk pengobatan rosasea eritematotelangiektasia dan
melaporkan adanya perbaikan dalam eritema dan telangiektasia setelah 2
minggu.3
g. Lainnya
Stress psikis diduga merupakan faktor penyebab. Defisiensi vitamin,
hormonal dan seborre juga pernah disangka berperan pada etiologi rosasea
namun tidak dapat dibuktikan.2
IV. GAMBARAN KLINIS
Tempat predileksi rosasea adalah di sentral wajah, yaitu hidung, pipi,
dagu, kening, dan alis. Kadang-kadang meluas ke leher bahkan pergelangan
tangan atau kaki. Lesi umumnya simetris.2-4
Gejala utama rosasea adalah eritema, telangiektasi, papul, edema, dan
pustul. Komedo tak ditemukan dan bila ada mungkin kombinasi dengan akne
(komedo solaris, akne kosmetika). Adanya eritema dan telangiektasia adalah
persisten pada setiap episode dan merupakan gejala khas rosasea. Papul
kemerahan pada rosasea tidak nyeri, berbeda dengan akne vulgaris, dan
hemisferikal. Pustul hanya ditemukan pada 20% penderita, sedang edema
dapat menghilang atau menetap antara episode rosasea.2-4
Meskipun gejala klinis dari rosasea sangat bervariasi, National
Rosacea Society (NRS) Expert Committee pada tahun 2002 telah membagi
rosasea menjadi empat sub-tipe, yakni: eritematotelangiektasis (sub-tipe 1),
papulopustular (sub-tipe 2), phymatosa (sub-tipe 3), dan okuler (sub-tipe 4)
dengan tingkat keparahan dari setiap derajat sub-tipe sebagai derajat 1
(ringan), derajat 2 (sedang), atau derajat 3 (berat). Terdapat beberapa varian
rosasea, yakni granulomatosa, periorifisial dermatitis dan pioderma fasialis.2,3
3
a. Erythematotelangiectatic Rosacea (ETR)
Fase paling awal dari sub-tipe ini adalah kemerahan yang bersifat
rekuren akibat berbagai macam stimulus seperti stres emosional, minuman
panas, alkohol, makanan pedas, latihan fisik, dan cuaca panas atau dingin.
Seiring berjalannya waktu, kemerahan akan timbul dalam durasi yang lebih
lama hingga akhirnya menjadi permanen. Timbul rasa terbakar dan
menyengat, edema pada area wajah yang berbentuk cembung, dan kadang
disertai pengelupasan. Telangiektasis akan terbentuk pertama kali di alae
nasi, kemudian pada hidung dan pipi. Pada beberapa individu, dapat
ditemukan spider angioma atau papular angioma yang berukuran lebih
besar. Perpanjangan episode atau memberatnya gejala kemerahan yang
diikuti gejala sistemik seperti diare, wheezing, nyeri kepala, palpitasi, atau
kelemahan mengindikasikan diperlukannya investigasi untuk menyingkirkan
keadaan yang jarang terjadi yang mungkin memberikan gejala berupa
kemerahan seperti sindrom karsinoid, feokromositoma, atau
mastositosis.2,3,5,7
Gambar 1. Sub-tipe eritematetolangiektasis
Sumber: Pelle MT. Rosacea. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.
b. Papulopustular Rosacea (PPR)
4
Gambar 2. A. Tipe papulopustul ringan B. Tipe papulopustul
berat.
Sumber: Pelle MT. Rosacea. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine.
Sub-tipe ini bermanifestasi sebagai eritema yang persisten pada
daerah sentral wajah dengan papul dan pustul yang dominan pada area
wajah yang berbentuk cembung. Sesuai teori vaso reaktivitas, pada
pasien-pasien rosasea terdapat papul-papul yang nampak berwarna
merah dan
lebih gelap
dibandingkan
dengan lesi
yang sama pada
akne. Derajat
sub-tipe ini juga
dibagi menjadi
derajat ringan,
sedang, dan
berat. Rasa
terbakar dan
menyengat pada
wajah juga
ditemukan pada
sub-tipe ini, tetapi tidak seberat pada sub-tipe eritematotelangiektasis. Pada
kedua sub-tipe ini (ETR dan PPR), eritema dapat menyebar sampai pada
area periorbital. Edema dapat bersifat ringan atau berat. Edema yang berat
dapat memberikan gambaran morfologi berupa plak yang padat pada
wajah.2,3,7
c. Phymatosa
Rosasea phymatosa memiliki karakteristik yakni adanya penebalan
kulit, nodul-nodul, kontur permukaan yang ireguler pada area wajah yang
cembung. Phyma sering muncul pada hidung (rhinophyma), tetapi dapat
juga terbentuk pada dagu (gnathophyma), dahi (metaphyma), kelopak mata
(blepharophyma), dan telinga (otophyma). Pada wanita yang menderita
rosasea tidak terbentuk phyma.3,7
5
Gambar 4. Rosasea okuler.
Sumber: American Academy of Dermatology.
Rosacea: Sign & Symptoms
Diunduh dari: http://www.aad.org/dermatology-
a-to-z/diseases-and-treatments/q---t/rosacea/
signs-symptoms
Gambar 3. Tipe phymatosa dengan rinofima.
Sumber: Wolff K, Johnson RA. Rosacea.
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology.
d. Rosasea okuler
Rosasea okuler dapat
muncul sebelum gejala-gejala
kutaneus pada 20% kasus
rosasea. Separuh jumlah pasien
baru mendapatkan gejala okuler
setelah muncul gejala pada kulit.
Gejala pada kulit dan mata
timbul secara simultan pada
sejumlah kecil kasus. Derajat
keparahan rosasea okuler tidak
berkaitan dengan rosasea pada
kulit.3,7,8
Manifestasi dari rosasea
okuler adalah blefaritis, konjungtivitis, iritis, skleritis, hipopion, keratitis,
neovaskularisasi pada kornea, ulserasi kornea dan sampai pada ruptur
kornea. Blefaritis adalah manifestasi klinis yang sering ditemukan, ditandai
dengan eritema pada tepi kelopak mata, terkelupas, dan terbentuk krusta,
dan pada beberapa kasus ditemukan kalazion dan infeksi stafilokokus
karena adanya disfungsi glandula meibom. Gejala-gejala lain yang dapat
ditemukan adalah fotofobia, nyeri, rasa terbakar, gatal, dan sensasi adanya
benda asing dalam mata. Pada kasus yang berat, keratitis rosasea dapat
menyebabkan kebutaan.3,7,8
6
Gambar 5. Rosasea granulomatousa
Sumber: Pelle MT. Rosacea. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.
Selain keempat subtipe rosasea di atas, terdapat pula varian rosasea,
yaitu rosasea granulomatous dan rosasea glandular. Rosasea
granulomatous memiliki gambaran histologi berupa formasi granuloma,
dengan gambaran klinis papul/nodul merah atau kuning coklat yang
monomorfik dan berukuran sama, serta berlokasi pada pipi dan kulit di
antara kulit wajah periorifisium.2,3,7
Pada uji diaskopi, papul ini akan menunjukkan perubahan warna
seperti apel-jelli sama seperti pada sarkoidosis atau lupus vulgaris. Tidak
ada kelainan pada kulit sekitarnya.2,3,7
Rosasea glandular lebih sering mengenai kulit laki-laki yang
berminyak tebal. Lesi ditandai dengan papul edematous, pustul berukuran
0.5 - 1 cm, dan nodulokistik.3
Lesi cenderung berkumpul pada area sentral wajah, namun bila
diderita perempuan, rosasea glandular tidak mengenai dagu. Sering kali
7
Gambar 7. Gambaran histopatologi dari rosasea
Sumber: Pathology of Rosacea. Roy S.
Diunduh dari:
http://www.histopathology-india.net/ros.htm
diserai dengan riwayat akne saat remaja dan skar. Kemerahan kulit jarang
terjadi dibanding rosasea eritematotelangiektasis, namun sering terjadi
edema pesisten yang menjadi masalah.3
Gambar 6. Rosasea glandular
Sumber: Pelle MT. Rosacea. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Histopatologi
Perubahan histologi tergantung stadium dari proses yang terjadi.
Biasanya terdapat ketidakteraturan pada jaringan ikat kulit bagian atas,
ditandai dengan adanya edema, kerusakan serabut otot dan sering terjadi
elastosis yang berat. Fase inflamasi ditandai adanya sel limfosit, histiosit,
polimorfonuklear, sel plasma, dan benda asing tipe giant cell. Demodex
folliculorum seringkali ditemukan pada folikel rambut daerah yang
mengalami gangguan.4
Tidak ada gambaran
histologis yang spesifik
untuk rosasea, tetapi
kombinasi dari beberapa
tanda-tanda klinik dapat
digunakan untuk
menegakkan diagnosis.
Gambaran histopatologis
yang paling sering 8
ditemukan pada rosasea adalah infiltrasi sel radang limfohistiosit dalam
jumlah besar yang letaknya agak berjauhan satu dengan yang lain di sekitar
pembuluh darah kulit, telangiektasis, edema, elastosis, dan terdapat
gangguan struktur kulit bagian atas.3
b. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes diagnostik yang spesifik sebab diagnosis utamanya
didasarkan atas gambaran klinik saja. Kultur bakteri dapat dilakukan jika
dicurigai terdapat infeksi Staphylococcus aureus dan secara khusus infestasi
Demodex folliculorum.3
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis rosasea ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih
gambaran klinis. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi adanya rosasea. Pemeriksaan biopsi dilakukan hanya
untuk menyingkirkan diagnosa alternatif, namun gambaran histopatologi
yang didapat tidak bersifat diagnostik.3-5
Pedoman Diagnosis Rosasea
Gambaran Primer (terdapat satu atau lebih)
Kemerahan (eritema yang bersifat sementara)
Eritema yang tidak bersifat sementara
Papul dan pustul
Telangiektasi
Gambaran Sekunder (terdapat satu atau lebih)
Terbakar atau menyengat
Plak
Kering
Edema
Gejala pada mata
Lokasi perifer
Perubahan phymatosa
Diadaptasi dari Wilkin J, et al: J Am Acad
Dermatol 2002; 46:584
9
Pada tahap awal atau stadium 1 rosasea dimulai dengan timbulnya
eritem tanpa sebab atau akibat sengatan matahari. Eritem ini menetap lalu
diikuti timbulnya beberapa telangiektasis. Pada stadium 2 diselingi episode
akut yang menyebabkan timbulnya papul, pustul dan udem, terjadilah eritem
persisten dan banyak telangiektasis, papul dan pustul. Pada stadium 3
terlihat eritema persisten yang dalam, banyak telangiektasia, papul, pustul,
nodul, dan edema.3-5
VII. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding rosasea terbagi atas dua kelompok gejala klinik
rosasea yaitu papul/pustul wajah dan flushing atau eritema.3
a. Papul atau pustul pada wajah
1. Akne vulgaris
Dapat terjadi pada umur remaja, kulit seboroik, terdapat komedo,
papul, pustul, nodus, kista. Tempat predileksi muka, leher, bahu,
dada, dan punggung bagian atas. Tidak ada telangiektasis.
Sedangkan pada rosasea, tidak terdapat komedo, ditemukan dilatasi
vaskular, terjadi pada usia pertengahan, dan umumnya terbatas pada
2/3 wajah.3,9
Gambar 8. Akne VulgarisDiambil dari: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick;s: Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology.
2. Dermatitis perioral
Terjadi pada wanita muda, tempat predileksi sekitar mulut dan
dagu, polimorfi tanpa telangiektasis dan keluhan gatal. Berbeda
10
dengan rosasea, pada dermatitis perioral tidak terdapat telangiektasis
dan flushing.3,9
Gambar 9. Dermatitis perioral
Diambil dari: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick;s: Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
b. Flushing atau eritema pada wajah
1. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik sering terjadi bersama-sama dengan rosasea,
tetapi yang membedakannya yaitu pada dermatitis seboroik terdapat
skuama berminyak dan agak gatal dengan tempat predileksi
retroaurikular, alis mata, dan sulkus nasolabialis.3,9
Gambar 10. Dermatitis seboroik
Diambil dari: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick;s: Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
11
2. Lupus Eritematosus Sistemik
Meskipun SLE dapat menstimulasi terjadinya rosasea, namun
klinis terlihat eritema dan atrofi pada pipi dan hidung dengan batas
tegas dan berbentuk kupu-kupu.3,9
Gambar 11. Lupus Eritematosus Sistemik
Diambil dari: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick;s: Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
3. Dermatomiositis
Dermatomiositis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik
yang menyerang kulit dan atau otot rangka. Dermatomiositis ditandai
oleh adanya edema dan inflamasi periorbita, eritema pada wajah,
leher, dan bagian atas tubuh.3,9
Gambar 12. Dermatomiositis
Diambil dari: Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick;s: Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology.
12
VIII. KOMPLIKASI
a. Rinofima
Rinofima adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan pembesaran
hidung yang tidak teratur, merah dan terbentuknya seperti bola lampu
akibat peradangan yang tidak ditangani dengan baik ataupun
peradangan kronik pada kulit hidung. Rinofima berhubungan dengan
kelenjar sebasea yang terletak dibawah permukaan kulit hidung.2
Gambar 13. Rinofima
Sumber: Dermatology Information System.
Diunduh dari: http://www.dermis.net/dermisroot/pt/30760/image.htm
b. Inflamasi (peradangan okular)
c. Jaringan parut dapat terbentuk pada kasus yang parah
IX. PENATALAKSANAAN
Topikal
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah menjauhkan dari
faktor pencetus seperti bahan – bahan yang dapat mengiritasi kulit contoh:
sabun, alkohol, larutan obat, dan yang dapat merusak kulit. Melindungi diri
dari sinar matahari sangat penting dilakukan yaitu dengan faktor pelindung
15 atau yang lebih tinggi selalu di rekomendasikan seperti spektrum UVA
dan UVB.10,11
13
Biasanya antibiotik efektif pada pasien dengan akne. tetrasiklin,
eritromisin dan doksisiklin dengan konsentrasi 0,5% - 2% sering diberikan.
Metronidazole adalah derivate synthetic antibacteri dan antiprotozoa. Dari
peneitian klinis, metronidazole 0,75% gel tropikal atau krim 1% dapat
menyembuhkan lesi hingga 68% – 91%. Bentuk gel adalah yang paling
efektif untuk papul dan pustul rosasea.5,13,14
Imidazole juga biasa digunakan untuk rosasea. Mekanisme kerjanya
adalah sebagai anti inflamasi dan imunosupresan dan bakterisidal. Efek
toksin imidazole sangat rendah dan bisa mentoleransi kulit pasien yang
sensitif.14
Adapalene Neftoic acid derivate terbaru dengan poten retinoid acid
reseptor agonis dan anti inflamasi. Adapalene terbukti aman sebagai
penatalaksanaan topikal untuk akne dan kulit yang teriritasi. Adapalene gel
0,1% berefek kuat pada papul dan pustul tapi kurang signifikan pada eritem
dan telangiektasis.14
Retinoid topikal adalah pilihan lain. Contohnya isotretinoin 0,2% yang
mengurangi iritasi dan inflamasi lesi di stage II dan stage III. Topikal
kortikosteroid hanya digunakan untuk rosasea stadium berat.2,14
Sistemik
Rosasea sangat berespon baik terhadap antibiotik oral. Eritromycin
biasanya efektif tetapi tetrasiklin yang paling efektif. Tetrasiklin dan
doksisiklin biasanya efektif dalam mengontrol papul dan pustul dari rosasea
dan mengurangi eritem. Dapat dimulai dengan dosis 250 mg – 1 g/hari
tetrasiklin, doksisiklin . Tetrasiklin oral efektif pada rosasea oftalmica.2,13
Isotretionin juga efektif meskipun mempunyai resiko yang lebih
daripada tetrasiklin. Obat ini bisa digunakan untuk rosasea yang resisten
terutama yang tidak berespon terhadap antibiotik, seperti rosasea lupoid,
rosasea stage III, rosasea gram negatif, rosasea conglobata, rosasea
fulminant. Dosisnya 0,5 – 1 mg/kg/hari. Efek samping pada mata yang paling
sering terjadi.14
Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan pada rosasea fulminant
contohnya prednisolon 1 mg/kg/hari diberikan selama 7 hari.14 Untuk terapi
14
pada ocular rosacea ditambahkan air mata buatan dan metronidazole gel
mata.15
Tindakan yang dapat dilakukan untuk rosasea adalah untuk grade 2-3
dengan rinofima adalah operasi eksisi, electrosurgery atau terapi laser
carbon dioxide ternyata tindakan tersebut mendapat respon perbaikan.5
X. PROGNOSIS
Rosasea umumnya persisten, berangsur bertambah berat melalui
episode akut. Namun ada pula yang remisi secara spontan.2
XI. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya rosasesa maka hal-hal dibawah ini perlu
dilakukan:
a. Menjaga kebersihan kulit. Bersihkan dengan lembut beberapa kali
sehari. Gunakan pembersih yang lembut dan menghindari pembersih
muka yang kasar sehingga dapat menyebablan iritasi kulit.
b. Pakailah tabir surya yang lembut, jika ragu dengan suatu produk,
gunakan tabir surya yang diformulasikan untuk bayi, saat pergi dan
beraktivitas. Matahari dapat memperburuk kondisi klinis.
c. Menjaga kelembaban kulit. Tinggal di lingkungan yang ber-AC pada
cuaca yang panas, maka semprotkan wajah dengan air dingin. Minum
air putih minimal satu hari 8 gelas. Gunakan pelembab yang alami
sesuai dengan jenis kulit.
d. Jangan mengkonsumsi makanan atau minuman yang terlalu panas,
untuk menghindari uap panas dapat membuat iritasi pada wajah.
e. Hindari sauna, mandi uap dan kolam air panas serta facial steam.
f. Evaluasi program diet. Makanan tertentu dapat memperparah kondisi.
Mengurangi makanan pemicu yang dapat menimbulkan rosacea.
XII. KESIMPULAN
Rosasea adalah suatu kondisi peradangan kronik pada kulit wajah
yang mempengaruhi pembuluh darah dan unit pilosebasea yang ditandai
15
dengan kemerahan pada kulit dan telangiektasi disertai episode
peradangan yang memunculkan erupsi papul, eritema, kekasaran kulit,
papulopustular inflamasi menyerupai jerawat dan edema. Diagnosis
banding rosasea adalah akne vulgaris, dermatitis seboroik, dermatitis
perioral dan SLE. Pengobatan yang diberikan berupa topikal dan sistemik.
Komplikasi yang ditimbulkan oleh rosasea antara lain rinofima,
inflamasi okular, dan rosasea limfadema. Umumnya persisten, berangsur
bertambah berat melalui episode akut. Namun adapula yang remisi secara
spontan.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Johnson RA. Rosacea. Disorders of Sebaceous and Apocrine
Glands. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2009.
2. Wasitaatmajaya SM. Rosasea. Akne, Erupsi, Akneiformis, Rosasea,
Rinofima. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. p. 261-3.
3. Pelle MT. Rosacea. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 6th ed.
New York: McGraw-Hill Companies; 2003. p. 782-92.
4. Jarmuda S, O’Reilly N, Zaba R, et al. The Potential Role of Demodex
folliculorum Mites and Bacteria in the Introduction of Rosacea. Poland:
Journal of Medical Microbiology Papers in Press. Published August 29, 2012.
5. Cowell FC. Rosacea. England: The New England Journal of Medicine; 2005.
6. Gawkrodger DJ. Dermatology: An Illustrated Colour Text. Sebaceous and
Sweat Glands – Acne, Rosacea and Other Disorders. 3rd ed. UK: Churcill
Livingstone; 2002. p.61.
7. Banasikowska AK. Elston D, editor. Rosacea. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1071429-overview#showall.
Accessed on May 5th, 2014.
8. Randleman JB. Roy H, editor. Occular Rosacea Clinical Presentation.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1197341-
clinical#showall. Accessed on May 5th, 2014.
9. Buxton PK. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ Publishing Group;
2003. p.50.
10. Anonymous. Rosacea. Available from:
http://www.skinsight.com/adult/rosacea.htm. Accessed on 5th May, 2014.
11. Anonymous. What is Rosacea? Available from:
http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Rosacea/rosacea_ff.asp. Accessed on
4th May, 2014.
17
12. 4509American Academy of Dermatology. Rosacea. Available from: o9.
Accessed on 5th May, 2014.
13. Cohen AF, Jeffry D, Tiemstra. Diagnosis and Treatment of Rosacea. 2002.
14. Gooderham M. Rosacea and It’s Topical Management. Skin Therapy Letter;
2007.
15. Baldwin HE. Systemic Therapy for Rosacea. Skin Therapy Letter; 2007.
16. Anonymous. Rosacea. Available from:
http://www.nhs.uk/conditions/rosacea/Pages/Introduction.aspx. Accessed on
4th May, 2014.
18