SERIKAT ISLAM
oleh
Gerungan S.S.J. RATULANGIE
BAARN
HOLLANDIA – DRUKKERIJ
1913
Kita berdiri pada titik-balik sejarah Kolonial.
Jaman kini memprihatinkan.
Dalam pidatonya yang diadakan pada audiensi 1 September y.b.I.
sebagai jawaban Tuan JACOBS, penyambung-lidah kelompok ke-12 dan para
‘praticulieren’, Gubernur Jendral Idenburg mulai dengan kata-kata:
“Kekuatan-kekuatan terlelap bangun, keinginan-keinginan tersembunyi
menjadi nyata. Dimana-mana ada penyadaran diri, dan akibatnya orang
mempertanyakan buah-buah budaya Barat kita.”
Memang, orang hanya perlu membaca koran-koran Hindia, untuk
mengakui dasar kata-kata ini : perserikatan-perserikatan muncul, benturan-
benturan terjadi antara berbagai bangsa atau antara bagian-bagian masyarakat
hindia yang terpisah oleh hukum, dan akibatnya yang tak terelakkan,
muncullah konflik-konflik antara rakyat dan penguasa.
Yang berada paling depan dalam “bangunnya kekuatan-kekuatan yang
terlelap” itu pastilah organisasi Serikat Islam, baik oleh jumlah penganut yang
diperolehnya, maupun oleh cakupan tujuan luas yang dikejarnya: yaitu
perbaikan keadaan ekonomi masyarakat pribumi dan peningkatan hidup
beragamanya. Namun orang terutama patut berhati-hati dalam menilai fakta-
fakta berita yang membanjiri kita dari Hindia. Sulit mencatat dengan tepat
kejadian-kejadian yang merugikan atau yang menguntungkan S.I., karena pers
Eropa di Hindia tak mungkin tidak memihak sama sekali. Kepentingan
pertamanya sedikit banyak adalah menentang aliran-aliran politik di dunia
pribumi Hindia-Belanda; lewat sensor peraturan percetakan pers Hindia yang
ketat, kebanyakan di antara mereka ini terbawa bersikap kurang lunak terhadap
serikat-senikat politik di sana. Bukankah hal ini suatu kenyataan dalam
perlawanan Partai Hindia; orang tak berhenti sebelum lembaga yang dianggap
membahayakan Negara dan kekuatan Eropa itu dibinasakan. Seluruh pers
Eropa mempersatukan diri demikian eratnya, sekalipun dalam keadaan lebih
tenang mereka sering bertengkar, untuk mematikan Expres yang baru saja
terbit di Bandung.
Hal ini tidak mengherankan kita, karena “pers agung” yang dikuasai
orang Eropa (kecuali Bataviaasch Nieuwsblad), merasa kehilangan dasarnya
karena propaganda I.P. melalui Expres. Sekalipun begitu, juga bagi pers Eropa,
kebenaran tidak selalu dapat diingkari atau ditutupi dan fakta-faktanya
memang terlalu jelas. Itu sebabnya kami sangat terkesan oleh pertentangan
semu dari berita-berita yang dikandung koran-koran Hindia tentang gerakan-
gerakan disana. Sekiranya kita mendalami hakekat masalahnya, dapatlah kita
mengembalikan semuanya kepada satu sebab, yang saya sebut saja: jiwa baru,
yang telah merasuki masyarakat Hindia, sebagai lawan dari mana yang begitu
gemar digunakan jurnalistik Hindia sebagai sanggahan: jiwa DOUWES
DEKKER. Sebab, bahwa di Hindia kita berurusan dengan jiwa rakyat, terbukti
dan kejadian-kejadian dan juga kini disadari Pemerintah, sebagaimana ternyata
dari kutipan kata-kata Gubernur Jenderal itu.
Lagipula, terlalu naif untuk mengira bahwa seorang saja mampu
memasukkan ide-ide yang baru sama sekali, apabila massa itu sendiri tidak
sudah memiliki suatu predisposisi untuk menerimanya.
Bila orang ingin rnenyanggah saya, bahwa ‘kekuatan kata-kata’ itu
faktor besar, dan memperlihatkan kepadaku contoh-contoh dari sejarah purba
dimana satu orang dapat menguasai kumpulan rakyat, dapatlah saya katakan
bahwa tiada cara yang lebih sederhana daripada mengirim seorang orator ke
Hindia untuk meyakinkan rakyat akan hal yang berlawanan dengan apa yang
mereka pikirkan kini disana, - sebagaimana dapat kita tarik dari fakta-faktanya
- untuk mencegah badai. Sengaja saya berhenti sejenak pada pembicaraan
Indische Partij sebelumnya. Karena saya sendiri yakin bahwa serikat ini dan
Serikat Islam dua organisasi yang tak mungkin terpisahkan satu dan yang lain.
Antara kedua organisasi ini terdapat hubungan sebab akibat yang jelas terlihat
jika dipandang lebih dalam. Keduanya itu hasil dari keadaan-keadaan yang
sama; bahwa yang satu mengusung ‘islam” dalam benderanya hanyalah bukti,
bahwa yang lain berpijak pada dasar-dasar yang lebih liberal. Namun satu di
antara kedua organisasi ini adalah hasil dari yang lain kalau saja pemikiran ini
tidak terlalu gila dan terlampau gegabah, saya akan memprotesnya.
Apa saja alasan-alasannya, yang membuat ide-ide baru itu muncul di
segala lapisan masyarakat, sulit digambarkan secara singkat. Lagipula. apabila
kita harus melacak semua faktor yang langsung dan tidak langsung telah
mengarahkan jalannya keadaan, kita harus kembali ke jaman sejarah lampau,
bahkan lebih jauh lagi sekiranya kita mengikuti rangkaian kejadian dan sebab-
musababnya.
Cukuplah yang berikut ini. Ketika hubungannya terbina, ketika
penduduk pribumi diposisikan secara kurang menguntungkan terhadap orang
asing. ketika itu orang sudah dapat meramalkan, bahwa suatu saat cepat atau
lambat, pada lanjutan perkembangan jiwa kaum pribumi, kerusuhan-kerusuhan
sekarang ini akan menjadi kenyataan. Masyarakat pribumi kini tak dapat lagi
bergerak dalam kerangka undang-undang yang usang; ia mengejar ruang gerak
lebih luas, dan dalam keadaan berlanjut yang sangat lazim seperti ini tak bisa
tidak ia akan berbenturan dengan lembaga-lembaga usang, dan kelompok-
kelompok penduduk yang menikmati keuntungan lebih banyak, bila hubungan-
hubungan seperti itu dipertahankan. Dan hal ini dapat kita lihat dalam
halaman-halaman berikut ini: bahwa partai anti revolusioner di Hindia harus
dicari di antara orang Eropa asli dan kaum bangsawan pribumi.
Marilah sekarang kita ikuti kejadian-kejadian yang pertama-tama
mengungkapkan “keinginan-keinginan terselubung” itu, agar dengan
memandang cetusan-cetusannya itu, kita dapat memperoleh gambaran tentang
hakekatnya. Pertama kali orang menjadi agak sadar tentang hal ini ketika tujuh
delapan tahun lalu oleh mahasiswa STOVIA (Sekolah Kedokteran di
Weltevreden) ide-ide baru dilontarkan ke dunia, yang menemukan
perwujudannya dalam “Boedi Oetomo” yang bagaikan sengatan listrik
menyambar lapisan-lapisan atas masyarakat. Setelah dipandang penuh
kecurigaan, gerakan ini melalui ketekunan para pendirinya segera
memenangkan kepercayaan golongan Priyai dan Pemerintah. Bagaimanapun
orang kemudian dalam perumusan tujuannya mengedepankan perbaikan
ekonomi dan pendidikan, untuk menutup-nutupi hakekat Boedi Oetomo yang
sebenarnya, kenyataannya tak teringkari: gerakan ini muncul dari kesadaran
diri orang Jawa dan merupakan endapannya. Kehidupan Hindia telah
memasuki era baru, dan sudah berlalu bahwa Ia menyerah kepada keadaan
berdasarkan pikiran: dura lex, sed lex, bahwa rasa nasionalisme sudah
berbicara, bahkan nasionalisme yang ketat, dapat kita simpulkan dan fakta
bahwa hanyalah orang Jawa yang dapat memasuki organisasi ini sebagai
anggota. Maka serikat itu dengan tepatnya menamakan diri “Jong Javanen
Bond”. Harapan-harapan tinggi, yang dimiliki terhadap Boedi Oetomo, sedikit
banyak meleset, ketika pejabat-pejabat tinggi pemerintah pribumi menduduki
jabatan dalam Pemerintah pusat. Orang lalu mengkhawatirkan suatu tekanan
dari atas, yaitu pengaruh Pemerintah, yang bekerja agresif terhadap kehidupan
berserikat. Kekhawatiran tsb, ternyata bukannya tak ada dasarnya: di bawah
pimpinan pengurus yang mundur tahun ini, organisasi ini hanya menjadi suatu
bayangan lemah dari ide para pendirinya. Karena, di samping atau sebelum
menjadi pengurus oraganisasi nasionalis ini mereka itu abdi Gubernemen. Dan
bahwa antara Gubernemen dan B.Oe. tak selalu ada kedamaian merupakan
suatu akibat tak terelakkan dari keadaannya. Orang dapat saja berdalih
sebanyak-banyaknya, suatu organisasi seperti B.Oe. dalam keputusannya harus
terarah menentang jiwa pemerintah yang ada. Karena akhirnya syarat-syarat
berdirinya yang pertama, justeru adalah kekosongan dalam kehidupan bersama,
yang tidak dapat atau tidak rnau diisi Pemerintah. Apabila hubungan sosial
sesuai dengan kehendak rakyat Hindia, organisasi seperti itu tak punya dasar,
bahkan tidak pernah dilahirkan. Kedudukan hukum yang tak sama antara orang
Eropa dan orang pribumi, yang sering tak rnenguntungkan yang disebut
terakhir, merupakan batu sandungan pertama bagi banyak kaum pribumi yang
sudah sadar akan pembedaan itu. Pada titik ini B.Oe. saja sudah berlawanan
dengan Pemerintah, sekurang-kurangnya di masa itu. Masalah ini mungkin di
masa depan tidak lagi memberi alasan untuk saling berbenturan, karena apabila
kita menganggap ucapan dalam Pidato mahkota Hindia sebagai suatu janji,
akan terjadi suatu awal dalam persamaan masalah hukum. Namun sekalipun
hal ini dibereskan sepenuhnya, masih saja ada kasus-kasus yang menempatkan
kepentingan Pemerintah jauh berseberangan dengan perjuangan B.Oe.
Namun, kekosongan ini mungkin juga terjadi oleh kekurangan intern,
oleh kekurangan yang lekat pada masyarakat pribumi sendiri yang sebenarnya
dapat saja ditiadakan. Hal ini dapat saya akui sepenuhnya, dan saya tahu juga
bahwa B.Oe. sampai sekarang hanya bekerja ke arah itu, namun hal ini sama
sekali tidak meniadakan kemungkinan tentang apa yang saya sebut di atas ini.
Orang juga menunjuk kepada kemungkinan, agar melalui
penggabungan tsb., orang dapat melawan masuknya semakin jauh ke
pedalaman orang Cina, yang menguasai perdagangan kecil dan industri kecil,
dan dengan ketrampilan melebihi ketrampilan pekerja Jawa, hampir menggeser
mereka dan pasar kerja, sehingga dengan demikian dapat menguasai
perjuangan di bidang sosial ekonomi.
Namun, bagaimanakah semestinya sikap seorang pegawai pemerintah
dalam hal ini? Bukankah ia berada antara dua titik api, apabila Ia mau
mendengar suara hatinya?
Masalah nasional menuntut agar ia menjauhi kaum Cina sekuat
tenaganya, namun sebagai abdi negara seharusnya Ia bersikap netral, karena
sebagai warga masyarakat yang tertib dan jujur mereka mencari nafkahnya.
Bahwa pukulan politik akhirnya harus dijatuhkan, disadari oleh
sejumlah orang. Saya ingat ump. bahwa dalam masa pendiriannya, orang
penuh kekhawatiran rnenyelidiki kalau-kalau organisasinya berpolitik atau
tidak. Orang begitu khawatir terhadap apa saja yang berbau politik, karena
organisasi-organisasi politik itu dilarang.
Lama orang timbang-menimbang, ketika seorang muda Jawa naik
panggung, lalu mengambil keputusan dengan kata-kata: “B.Oe. akan menjadi
serikat sosial, tapi demi tercapainya tujuan, jika perlu akan menggunakan cara-
cara politik.” Dengan demikian tercapailah perdamaian: jadi bukan oraganisasi
politik!
Sampai sekarang memang, B.Oe. senantiasa bekerja di bidang sosial
dengan mendirikan toko-toko koperasi, sekolah-sekolah, dst. Tapi kalau begitu,
apakah aksi yang dilancarkan B.Oe. dapat dikembalikan kepada perjuangan
kelas yang biasa? Pasti bukanlah dernikian, karena B.Oe. bukan organisasi dari
suatu kelas kaum pribumi, melainkan mencakup keseluruhan kehidupan
pribumi. Lagipula, dapatkah digambarkan dengan tajam pemisahannya: mana
batas antara perjuangan kelas dan propaganda politik?
Terutama di Hindia dengan hubungan-hubungan yang aneh, dimana
rendah dirinya orang pribumi dijunjung sebagai dalil tak terbantahkan, setiap
langkah maju bagi kontingen pribumi, berarti mundurnya wibawa moral
bangsa kulit putih; dan setiap perbaikan sosial orang pribumi, membuka
perspektif dari konsekuensi politis.
Meskipun anggota-anggota B.Oe. semata-mata harus dicari di antara
kaum terpelajar, program kerjanya seperti yang sudah kita lihat, menyebar ke
seluruh rakyat; terutama diusahakan perlindungan terhadap mereka yang lemah
morilnya dengan meningkatkan taraf moral rakyat. Namun dimana satu
golongan rakyat itu memperkuat diri, di situ bagian-bagian lainnya harus
dipersulit dalam pekeijaannya, sekalipun hanya dengan persaingan. Dan karena
orang perorangan berkonsentrasi ke dalam satu badan, yang kriteria
keanggotaannya adalah kebangsaan dan bukan kelas, dengan sendirinya aksi
B.Oe. dibatasi dan dapatlah kita lihat dengan jelas, pertentangan antar suku.
Demi rasa kemanusiaan, pemerintah harus menghadapinya dengan netral,
mengapa begitu sulit keanggotaan pimpinan dari serikat yang nasionalis ini,
dapat digabungkan dengan suatu jabatan dalam pemerintahan luar negeri.
Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, hal ini juga disadari DOUWES DEKKER,
ketika itu redaktur surat kabar tsb., dan saya menemukan bagian kalimat
berikut ini: “Kesalahan pertama yang dibuat perserikatan yang muda itu adalah
memilih regent Karanganyar menjadi ketua.”
Penulis bukan menolaknya karena regent itu tidak siap untuk tugas tsb.,
sebaliknya pegawai Pemerintah tsb terkenal karena sifat-sifatnya yang baik
sekali, dan berasal dari rakyat (ia sebelumnya guru), andaikan saja ia tidak
memiliki prasangka-prasangka bangsawan kuno dan lebih memahami
kebutuhan rakyat. Tetapi dalam prinsipnya penulis menentang masuknya
pegawai tinggi pemerintah ke dalam B.Oe. Dalam hal ini ia tidak salah; karena
betapa kemudian pegawai-pegawai Pemerintah yang lebih tinggi, meminta
sampai memalukan pendapat residen yang bersangkutan dulu, sebelum mereka
berurusan dengan B.Oe.; bagaimana kemudian ternyata “Regenten
vereeniging” mengembangkan diri sebagai kelompok reaksioner dalam
masyarakat pribumi.
Dan ini kembali dapat dijelaskan dengan baik; karena apabila ide baru
ini diterima dimana-mana, tamatlah hak-hak istimewa kaum bangsawan;
hilanglah rasa hormat yang hampir kekanak-kanakan, - yang dimiliki rakyat
terhadap pemimpin-pemimpinnya, yang membuat mereka ini hidup cukup
nyaman, - untuk diganti dengan rasa sederajat. Tidak mengherankan bahwa
kaum bangsawan penuh keprihatinan memandang majunya proletariaat,
perlahan tapi pasti.
Perjuangan ini sarna dengan yang diperlihatkan Eropa pada bangkitnya
burgerij dalam abad pertengahan, bedanya rakyat di Hindia sering masih
mendapat dukungan Pemerintah. Karena itu gerakan yang sedang
mereorganisir diri di Jawa sedikit-banyak mendapat perlawanan dari anggota-
anggota bangsawan, termasuk kaum berada.
Sesudah B.Oe., banyak perserikatan lokal didirikan, namun kebanyakan
lebur ke dalam organisasi besar atau menjadi cabang-cabangnya.
Bersama semua tanda-tanda pertuasan kekuatan rakyat pribumi, tak
bisa tidak, orang Indo-Eropa, si “Indo” terancam akan terjepit. Di satu pihak
orang Eropa asli, di pihak lain orang pribumi, kedua kekuasaan itu dapat
menjepitnya apabila ia sendiri tidak bertindak ekspansif pada waktunya, dan
memasang kuda-kuda.
Sebagai pengimbang B.Oe, oleh kaum muda Indo-eropa didirikan
“Bond van Jong indo’s”. Sayang, di bawah pimpinan yang sangat buruk.
Serikat itu dipimpin orang-orang muda yang berdarah panas, yang dalam
dokumen-dokumen propaganda lebih banyak mengumbar kata-kata bualan
daripada memperlihatkan pemahaman dan sikap taktis. Temperamen blasteran
mempermainkan serikat itu sehingga cepat mati akibat kehebihan vitalitas.
Setelah diumumkan dengan hebohnya, 5 tahun lamanya orang tidak mendengar
apa-apa lagi, sampai belum lama lalu muncul kembali, dalam bentuk Indische
Partij yang dimurnikan dan dibersihkan. Azas-azas dan Bond van Jong Indo’s
dan dari Indische Partij berbeda; Yang pertama tidak mengijinkan
keanggautaan orang pribumi, yang disebut terakhir, mengijinkannya. Namun
apa saja bukti akhirnya? Tidak lain dan penyesuaian diri yang terakhir ini
terhadap situasi. atau lebih tepat dikatakan, mereka belajar dari praktek
Indobond.
Azas penggabungan para Indo dilepaskan, dengan tepat, maka
terwujudlah gagasan agung: tak ada pembedaan dalam hal kebangsaan, tiada
pembedaan antara kulit putih, cokelat dan kuning.
Apa pun yang dapat orang bebankan kepada lndische Partij, di atas
segala tuduhan, tak terbantahkan oleh keluhuran hakekatnya, adalah prinsipnya
yang patut diterirna demi peri kemanusiaan: yaitu kesatuan di Hindia.
Dalam rapat-rapat B.Oe. dan organisasi-organisasi kecil lainnya,
gagasan tentang kebersamaan itu disebarkan di tengah rakyat Hindia, hal mana
juga didorong pers pribumi. Yang ini (pers pribumi di Jawa) harus kita bagi
dua: yang pentama dipimpin orang Jawa dan berorientasi Jawa; sedangkan
yang kedua di bawah pimpinan orang Minahasa atau Ambon (seperti Khabar
Perniagaan dan Warna Warta) dan digerakkan dengan modal Cina.
Dengan sendirinya, jenis koran terakhir ini tidak terlalu rajin ikutserta
dalam membangun suku Jawa namun menyerahkan hal ini kepada yang
pertama.
Suku Jawa dibangunkan; mereka didorong menjadi lebih ekonomis;
penganiayaan orang pribumi oleh orang Eropa (yang sering terjadi oleh
opzichter Eropa di perkebunan atau dalam karya-karya pemerintah) dikecam
keras. Orang tidak segan-segan bersusah-.payah dan menempuh segala upaya.
untuk membangun perasaan dalam diri orang pribumi bahwa ia lebih dan
sekedar ‘kuda beban”. Yang turut-serta memajukan penyadaran diri ini adalah
fakta bahwa sejumlah dokter pribumi di Eropa meraih gelar kedokteran
Belanda, dan sehubungan dengan ini dapat dibaca dalam koran-koran pribumi,
artikel-artikel dengan tendensi: lihatlah, kita juga bisa, bukan’. Siapa mis. tidak
mengenal narna MAS ASMAOEN? Sangatlah menarik contoh berikut ini;
Seorang wartawan lndo duduk dalam sebuah bendi ketika sang kusir
mengejutkannya dengan kata-kata: “Toean, apakah Mas Asmaoen sudah
doktor?” sang Indo tidak tahu siapa yang dimaksud.
Sebelumnya, seorang muda pribumi tidak berani bergerak di kalangan
rekan-rekan Eropanya, takut akan perlakuan yang tidak begitu baik. Betapa
beberapa tahun lalu kata Inlander diucapkan dengan penghinaan tak terbatas..
Dan masa itu masih tersisa ungkapan: “Sungguh inlands”.untuk segala hal
yang buruk. Berbohong itu inlands, mencuri itu inlands, semua sifat jahat itu
inlands, semua sifat baik itu Eropa, sekurang-kurangnya di Hindia. Betapa
asing pun bunyinya untuk telinga Eropa, hal ini memang benar. Dan atas azas
inilah, dipandang-entengnya orang pribumi secara a priori itu, didasarkan
ketentuan yang pada lembaga-lembaga Pemerintah disebut “cabang-cabang
dinas”, - kaum pribumi mempunyai suatu traktemen yang kira-kira setengah
dan yang dipunyai rekan Eropa sepekerjaannya dengan syarat-syarat yang
sama. Yang saya maksudkan disini terutama Perkereta apian Negara, namun
ada lebih banyak lagi, yang menjalankan sistem memalukan tentang ‘rate of
wages’ yang ganda itu. Dapat dimengerti bahwa hal seperti itu mengakibatkan
komplikasi yang paling gila; jika ump. seorang pribumi mendapat bawahan
orang eropa yang lebih muda yang traktemennya dua kali sebanyak traktemen
dirinya. Atas dasar apa dapat dibenarkan bahwa seorang dokter pribumi dalam
dinas Gubernemen untuk perjalanannya mendapat ganti-rugi f. 2,- sehari.
seorang klerk atau kondektur, kalau orang Eropa atau disamakan dengan orang
Eropa, f.5,-?!.
Betapa rendahnya pendapatan para guru pribumi dibandingkan dengan
klerk Eropa dsb., yang pada umumnya lebih rendah tingkat perkembangan
moril dan intelektualnya. Keadaan semacam ini pasti tidak memupuk rasa puas
di kalangan masyarakat pribumi yang intelektual pada umumnya. Orang jangan
terkecoh oleh pikiran bahwa orang pribumi menyerah dalam hal ini dengan
ketakwaan yang menjadi sifatnya, dan jangan lupa, bahwa orang pribumi
intelektual ini dengan senangnya didengar oleh rakyat, oleh massa, yang
merekam kata-kata mereka bagaikan ramalan-ramalan. Orang mesti mengamati
kehidupan di desa dan kampung untuk dapat menyadari daya cakup para guru
pribumi dan kaum terdidik Iainnya yang terpancar dari mereka terhadap rakyat.
Ketika tinggal selama beberapa minggu di salah satu stasiun kecil di Perkereta-
apian Priangan, saya melihat setiap malam bahwa ada heberapa orang pria dan
desa mendatangi kepala stasiun untuk bercakap-cakap. Namun percakapannya
terutama terdiri atas berbicaranya sang kepala stasiun tanpa hentinya dan yang
lain hanya berkata “semoehoen” belaka. Dan pria ini masih berdiri di luar
hubungan desa; ia bukan guru dan bukan kepala atau ‘adjie’. Betapa mudahnya
ketidak-puasan ini beralih kepada rakyat. Dan kejadian-kejadian yang baru
saja, mernbuktikan bahwa hal itu terjadi.
Orang dapat merasakan pada umumnya di dunia pribumi bahwa
pertandingan dimulai dengan suatu rintangan disebabkan posisi kurang
menguntungkan terhadap orang kulit putih. Kesadaran ini meresapi segala
lapisan masyarakat dan mempersiapkan rakyat untuk kerjasama nasional Jawa.
Pada saat yang tepat diperdengarkanlah jeritan di Solo, panggilan untuk
berhimpun dibawah bendera Serikat Dagang Islam. Penyebab langsung
dilahirkannya serikat itu sudah diketahi: orang mau menjalin suatu ikatan
melawan perdagangan kecil Cina. Kata Islam menarik dunia Islam, pada saat
yang tepat ketika tersebar kerusuhan dan ketidak-puasan.
Namun kini terjadi suatu keanehan, suatu pertanyaan yang harus
dijawab. Kebetulankah bahwa awal politik pengkristenan berlangsung pada
saat yang sama dengan bersatunya unsur Islam, ataukah yang terakhir ini suatu
akibat dari yang pertama? Dalam pendirian dan dalam propaganda tidak
mungkin dapat kita temukan apa yang merujuk kepada agitasi melawan politik
dari rejim sebelumnya, namun arus kuat para anggota untuk perserikatan ini
pastilah juga suatu reaksi islam terhadap kecamuknya kristianisasi, yang
mengancam juga daerah-daerah Islam, namun yang kini ditiadakan, demikian
harapan kita. Bagaimana pengkristenan semacam itu mencapai justru hal
sebaliknya dari yang dituju, terbukti dari kata-kata seorang Jawa yang berdiam
di Nederland berikut ini: “Kami berterimakasih kepada IDENBURG atas
pemerintahan kristennya, karena Ia telah membangunkan kami dan membuat
kami merasa bahwa kami, orang Islam, bersatu.” Suatu permainan kata yang
sama sekali tidak kosong, di Hindia dikenakan pada S.I. Nama ‘S.I.’ mestinya
diartikan: “Salahnya Idenburg”.
Di salah satu tempat di Jawa, dengan lingkungan islam, didirikan
sekolah kristen yang oleh Pemerintah disubsidi, d.k.l. ditunjang dengan
pembayaran pajak juga oleh kaum islam. Ketika di tempat yang sama
dimintakan subsidi untuk sekolah Islam, permohonan itu ditolak. Mestikah
orang Jawa dengan ini tidak merasa, bahwa agamanya dianak-tirikan? Tiada
yang lebih berbahaya dan ada menimang diri sendiri hingga tertidur dengan
kata-kata Dr. FOKKER, lndolog Amsterdam: “Dimana-mana Islam menderita
bangkroet” jadi di Hindia juga demikian. Tidak, Islam di Hindia tidak akan
menderita bangkrut, Islam yang dengan kurang kekerasan tapi dengan
perkembangan berangsur-angsur menapaki jalannya menuju lebih dari
30.000.000 penganutnya. (prof. SNOUCK HURORONJE, Nederland en de
Islam). Dan hasil apa telah diberi karya zending sejak satu abad? Dalam 1814
oleh zendeling BRUECKNER dari Nederlandse Zendingsgenootschap
disebarkan Perjanjian Baru dalam bahasa Jawa rendah dan bahasa Melayu
sebanyak beberapa ribu, suatu bukti bahwa ketika itu Zending sudah bekerja
keras. Dan hasilnya, bahwa jumlah orang pribumi kristen dalam tahun 1902
terdiri dari 19000 orang, termasuk tentara Ambon dan Manado (v.
DEVENTER, Overzicht van den economischen toestand van de Inl.
Bevolking op Java en Madoera). yaitu satu banding 500 orang Islam.
Bukankah ini bukti suatu kekalahan dari zending? Dan bila kita mengikuti
tanda-tanda jaman, maka urusan zending bahkan di Minahasa, bentengnya
zending, tidak seberapa baik posisinya.
Orang Jawa itu, hakekatnya Budhis, animis? Mungkin saja, namun itu
tidak diketahui mereka yang bersangkutan. Mereka yakin, bahwa mereka
Muslim sejati. Mereka samasekali tidak menyadari bahwa seluruh kehidupan
rohaninya lebih condong ke kerohanian Budhis daripada ke kerohanian Islam.
Hal ini terbukti dari prakteknya: ziarah ke Mekah yang setiap tahun terlaksana
oleh jutaan orang, sesungguhnya tidak akan tenjadi kalau bukan sentimen
keagamaan membuat mereka demikian. Dan, kemana pun suatu
pengelompokan terjadi dengan warna Islam, kesanalah mereka bergerak.
Itu sebabnya saya berkata, bahwa memperlakukan kekristenan lebih
baik dari Islam merupakan suatu langkah kelewat berani pada papan percaturan
politik. Dengan cara demikian. orang Islam akhirnya ditantang. yang akibatnya
tidak menguntungkan.
Jumlah anggota di Solo dalam waktu singkat menanjak sedemikian
rupa, sehingga Pemerintah demi kelancarannya rnenganggap penting untuk
membubarkan serikat itu. Namun, dengan demikian jiwa rakyat tidak musnah
dan di Surabaya muncul di bawah nama yang diubah; kata “dagang”
dihilangkan dan serikat baru itu bernama Serikat Islam. Sekali menerima
dorongan, gerakan itu berkembang, dan seperti dikatakan suatu koran Hindia:
“Bagaikan monster berkepala banyak muncullah S.I. dimana-mana.”
Memang, bagaikan jamur muncullah cabang-cabang, kendati usaha-
usaha Pemerintah untuk membinasakan akar-akarnya. Di Parungkuda, sebuah
halte pada jalur kereta-api di Priangan, kereta-api kereta-api tak mampu
memuat orang-orang yang mau ke Bogor untuk mendaftarkan diri di tempat
yang ada cabang S.I.-nya. Bulan Juli y.l. jumlah anggotanya sudah melampaui
500.000 tersebar di seluruh Jawa, dan masih terus bertambah. Gerakan itu juga
telah benpindah ke Sumatra, bagaimanapun di Palembang sudah berdiri sebuah
cabang S.I. Apakah akan berkembang terus menyusuri pantai Timur Sumatra
sampai ke Aceh yang penuh pergolakan, akan ditentukan masa depan. Hal ini
bukan tidak mungkin: di antara pengontrak-pengontrak Deli mudah sekali
terdapat seorang penganut S.I. yang mau membuat propagnda untuk
serikatnya.
Atas pertanyaan, apa hubungan antara Boedi Oetomo dan Serikat Islam,
harus saya jawab kembali: hubungan sebab-akibat. Namun bukan hanya dalam
sebab sebabnya, namun juga dalam akibat-akibatnya, dalam arah kerjanya
ditemukan titik-titik persamaan antara kedua serikat ini; keduanya berjuang ke
arah perbaikan sosial bagi orang pribumi pada umumnya, namun kalau B.Oe.
mencakup sebagai anggotanya kelas-kelas terdidik (priayi, guru, pedagang),
S.I. meliputi keseluruhan masyarakat pribumi. Jadi kita dapat memandang
B.Oe. sebagai perintis. pembuka jalan bagi SI. dan sangatlah mungkin, saya
hampir mau katakan: pastilah bahwa kedua serikat itu dalam waktu dekat akan
saling lebur menjadi satu Bond Jawa-nasional (atau Hindia-nasional). B.Oe.
otaknya, SI. daya rakyatnya, merupakan kombinasi yang sempurna. Bahwa hal
ini juga disadari pemimpin-pemimpin gerakan Jawa, telah dibuktikan TJIPTO
MANGOENKOESOEMO, yang dalam salah satu artikel-artikelnya
memperjuangkan a.l.: (saya mengutip di luar kepala): :“Daripada
memperlakukan organisasi rakyat yang muda itu (SI.) penuh kecurigaan,
patutlah kita mencermati perkembangannya agar pada waktunya dapat
membanting stir, apabila terancam penyelewengan.”
Lapisan-lapisan terdidik rupanya telah mendengarkan kata-kata ini, dan
tidak hanya telah mengikuti S.I. dalam perkembangannya, tetapi ikutserta
secara aktif, dan memasukinya sebagai anggota serikat. Bahkan bangsawan
tertinggi pun memasuki serikat itu, dan kami temukan dalam S.I. suatu
pertemuan yang menguntungkan dan bangsawan dan rakyat, sungguh suatu
unicum dalam masyarakat Jawa dengan tradisinya yang bertahan benabad-
abad lamanya hingga terbentuk hukum-hukum yang tak tergoyahkan. Putera
mahkota Solo adalah pelindung serikat dan rupanya telah mendorong kaum
bangsawan untuk mengenakan S.I. Apakah kerjasama kaum bangsawan
pribumi dengan S.I. merupakan langkah tergesa-gesa, dan orang menyadari
telah membuat tindakan berani dan telah menghancurkan diri sendiri apabila
ternyata serikat ini memang akan sukses? Rupa-rupanya demikian. dan hanya
dilihat dari sisi ini, dapat diterangkan bahwa Soesoehoenan dari Solo
mengeluarkan suatu larangan bagi bawahannya untuk menjadi anggota S.I.,
padahal sebelumnya senikat sudah mengharapkan perkenanan tahta Solo.
Bagaimana pun juga, hal ini hanya membuktikan pendirian saya, bahwa
setiap aliran baru dalam masyarakat Jawa akan menemukan perlawanan dari
kaum bangsawan negeri itu, terutama sejauh gerakan ini memiliki karakter
demagogis. yang rnenyebabkan hak-hak yang dinikmati kaum bangsawan
berabad-abad lamanya harus dibinasakan. Kaum bangsawan akan senantiasa
menjadi partai reaksioner apabila suatu waktu perang politik dan kelas pecah di
Hindia, sekalipun ada juga partai-partai yang berhaluan lain; suatu pantulan
sejati dan perjuangan di Eropa.
Sudah berkali-kali diajukan pertanyaan apakah S.I. suatu organisasi
agama, dan oleh kebanyakan ini diingkari. Dalam salah satu pembicaraan
malam harinya, Mr. DOUWES DEKKER yang sebenarnya tahu tentang
keadaan Hindia, menyinggung masalah ini dalam arti tsb. Namun seperti
kebanyakan orang, ia telah menempatkan dirinya sepihak, dengan menguji
serikat ini dengan suatu esai umum tanpa memperhatikan keadaannya, Kita
hanya perlu rneninjau situasinya selayang pandang untuk meyakini hal yang
sebaliknya.
Rakyat Hindia-Belanda dapat kita bagi seperlunya ke dalam dua
kelompok : Kaum muslimin sejumlah kira-kira 30.000.000 dan yang bukan
Muslim (orang Kristen, orang kafir, orang Budhis, dsb.) kira-kira 7.000.000.
S.I. bermaksud membawa kelompok pertama ke dalam satu badan; namun
ungkapan kebersamaan semacam ini di kalangan rakyat islam, mau tak mau
menumbuhkan perlawanan di kelompok-kelompok lain.
Ini sering kita lihat di Hindia; panggilan Jong-Java ke B.Oe. oleh orang
lndo Eropa dijawab dengan pendirian Bond van Jong Indo yang sayangnya
mati muda. Dari pihak rakyat Cina, kita lihat reaksi dalam serikat-serikat Cina.
(saya tahu juga bahwa yang terakhir ini merupakan pantulan dari evolusi Cina
sendiri), namun ini tidak meniadakan sebab-sebab di Hindia sendiri yang telah
mendorongnya dan bahwa orang baru sesudah B.Oe. membuat propaganda
yang kuat untuknya.
Juga suku-suku lain dan rakyat asli, tidak berdiam diri dan tergoncang
oleh B.Oe, bersatu. orang Ambon, Minahasa, Melayu. Sepuluh tahun terakhir,
di Hindia bergolaklah nafsu berserikat. Akhirnya kita menyaksikan bahwa
pada waktu bersamaan bangkit Serikat Islam, lndische Partij (oleh inisiatif
Hindia dan Indo) dan orang Minahasa yang berdiam di Batavia.
B.Oe. menetapkan sebagai syarat kepada anggotanya, kebangsaan
Jawa; S.I. lebih jauh lagi menetapkan batas-batasnya lebih luas dan menuntut
anggotanya harus Muslim. Dan sejauh S.I. benjuang untuk rakyat Muslim,
sejauh itu ia segera berbenturan dengan yang bukan Muslim, yang
kepentingannya kadang-kadang langsung bertolak-belakang dengan
kepentingan yang disebut sebelumnya; maka situasi yang kita peroleh: Islam
lawan bukan-Islam.
Lagipula, faktanya sudah mengandung antitesenya bahwa anggotanya
hanyalah orang muslim belaka. “Orang tidak mengadakan propaganda,”
katanya. “Karena itu S.I. bukan perserikatan agama”. Memang sulit diadakan
propaganda untuk Islam di tanah Islam; lalu apakah propaganda suatu conditio
sine qua non untuk serikat agama? Bukankah masih ada cara-cara lain untuk
mengungkapkan ciri keagamaan?
Hal ini dapat kita lihat dengan jelas: dimana serikat itu beragitasi
keluar, oleh situasi luar biasa dan suasana kini di kalangan kaum pribumi,
aksinya terarah melawan orang non-Islam.
Bagaimana suasananya dapat kita simpulkan dan berbagai benturan
antara orang Eropa dan Cina di satu pihak dan kaum S.I. di pihak lain.
Lagipula, S.I. menganjurkan anggotanya untuk berpegang pada Kur’an.
Apabila S.I. berjuang secara sosial, mengapa tidak dikotbahkan boikot
melawan benalu tengkulak-tengkulak Arab dan kaum kolportir. Rukankah
putranya HADRAMAUTH sudah pasti penghisap darah besar bagi kehidupan
hersarna pribumi, dan belum lagi disebut hakekat haji. Mengapa S.I. tidak
berjuang rnematahkan pengaruh para haji ini? Pasti bukanlah derni
kepentingan orang pribumi, individu-individu ini berkeliaran di desa-desa dan
memiliki kehidupan yang enak bertumpu pada kepercayaan polos orang-orang
desa itu? Tetapi memang sulit, karena kedua kategori ini Muslim juga dan
perlu dilindungi oleh bendera S.I.
Bagaimanapun juga, hanya keadaan, - dari pihak-pihak yang
bersangkutan yang satu Muslim dan yang lain tidak, - membuat kita tidak
menolak kemungkinan bahwa dalam hal ini kita tetap berurusan dengan
organisasi keagamaan.
Sekali lagi yang berikut ini: untuk memasuki organisasi. para calon
harus mengangkat sumpah setia kepada Kur’an dan anggaran dasar
organisasinya.
Sumpah ini tentu saja harus diangkat sesuai tuntutan dunia Muslim: di
tangan seorang imam (rohaniwan).
Jadi sudah sulit sekali di Hindia memisahkan kerja sosial dan politik,
dan kedua ini saling melebur satu ke dalam yang lain, sehingga tri-sila ini
disempurnakan oleh fakta bahwa Kur’an tidak mengenal pemisahan antara
agama dan politik.
Apabila orang Muslim ingin berpegang erat pada peraturan-peraturan
Kur’an, maka setiap penganut agama lain adalah musuhnya. bahkan ia tak
boleh mengakui raja yang bukan Muslim.
Dengan menerima nama Islam, para pendiri pasti harus bertanggung-
jawab atas konsekuensi-konsekuensinya yang mengalir dan hal ini. Namun
orang tidak boleh mengabaikan satu faktor besar: kesadaran diri masyarakat
pribumi, dan dapat kita lihat juga dalam S.I. suatu gerakan nasional yang kuat;
ini ungkapan suatu bangsa yang, setelah mencapai fase tertentu, ingin didengar
apabila ada yang perlu diputuskan tentang dirinya.
Bukanlah tendensi nasional melalui agama kita temukan dalam S.I,
melainkan rasa kebangsaan dengan agama. Inilah sebabnya saya berpendapat
bahwa Serikat Islam dalam perkembangannya harus bersifat baik politik
maupun agama: sekalipun para pemimpinnya memberi penjelasan yang lain,
bagian terbesar para anggotanya memandang serikatnya bukan saja sebagai
yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan sosial, melainkan juga (dan
terutama) sebagai yang bertendensi agama.
Saya tak berkata, bahwa S.I. itu salah satu cabang dan Gerakan Pan
Muslim. bahkan mengejar tujuannya. Namun kemungkinannya bukan tidak
ada, bahwa organisasi ini sesudah waktu tertentu akan mengejar cita-cita yang
lebih jauh dan yang kini dimilikinya, dan akan memperoleh warna
internasional. Karena. bahwa orang Muslim dan Hindia-Belanda memang
terbuka untuk Pan Islamisme, sekali ia berkenalan dengan gerakan besar ini,
dan bahwa ia telah ditaklukkan bagi keraaan Muslim yang akbar ini, kalau para
promotor memalingkan pandangan mereka ke Hindia, - sudah ternyata dan
suatu perkara hukum di Medan, dimana seorang Turki diadili, yang dengan
alasan-alasan menyesatkan menarik uang dari kaum pribumi dengan
menceriterakan bahwa Sultan Turki mengutusnya untuk mengabari kaum
Muslim di Hindia-Belanda, agar dia membebaskan mereka dan beban Belanda,
bila setiap orang membayarnya f.40,-. Banyak orang dengan cara itu tertipu,
dan telah menyetor uangnya; dan deretan korban akan semakin panjang apabila
Pemerintah tidak menemukan penipuan itu.
Adakah uang itu mengalir ke saku orang Turki itu, sekiranya orang
tidak memilih di atas kekuasaan Belanda, kekuasaan sultan Turki? Hal ini telah
terjadi pada orang Melayu, namun pada orang Jawa ini pun mungkin terjadi.
Selanjutnya saya tahu, dan raja-raja kerajaan Muslim kecil di Sulawesi
Utara yang kebetulan pernah saya kenal, bahwa beberapa di antara mereka
pernah berpikir (apakah sekarang masih demikian, saya tak tahu) untuk
mengirim putera-putera mereka untuk pendidikan ke Turki, ke Istambul,
karena pendidikan di hoofdenschool di Tondano menurut mereka tidak cukup
dan karena pengaruh kristen terlalu mereka rasakan.
Menyangkut orang Jawa:, orang sebaiknya jangan merasa aman soal ini
karena berpikir, bahwa ia sebenarnya bukan Muslim secara rohani, karena
sekali lagi, orang Jawa tidak menyadari hal ini; Ia sendiri yakin bahwa ia
Muslim sejati. Dan sekiranya ada yang meragukannya, para haji yang
berkepentingan bahwa umatnya itu Muslim sejati, akan menjamin bahwa
kekhawatiran ini tidak menjalar. Di kalangan keturunan orang buangan Jawa di
Tondano, saya mengamati, bagaimana mereka menentang terhadap kepala-
kepala distrik (kristen), begitu patuhnya mereka terhadap seorang Said yang
juga dikucilkan, yang baru datang.
Bila kita lebih jauh meneliti tindakan-tindakan S.I. maka kita melihat
bahwa mereka pun di jantung masyarakat pribumi, berjuang melawan
kekurangan-kekurangan rakyat.
Perjuangan ini tidaklah baru, karena beberapa tahun lalu oleh murid-
murid Landbouw en Veeartsenschool di Bogor didirikan suatu perserikatan
bertujuan memerangi kejahatan-kejahatan rakyat. Serikatnya menyandang
nama 7 M yang adalah huruf-huruf pertama kata-kata maling, madat, main,
minurn, modon, mangan. Namun sesudah pendiriannya serikat ini sedikit
sekali kabarnya. Selain surnpah waktu masuk, para anggota harus berikrar
memerangi berbagai kejahatan dalam diri sendiri maupun dalam diri orang
lain. Bahwa S.I. kuat memegang ikrar ini, dan bahwa ia terpandang oleh
anggotanya, dapat disimpulkan dari kejadian-kejadiannya. Menurut koran-
koran Hindia, kabarnya di daerah-daerah yang sudah dimasuki S.I., pencurian
dan perampokan berkurang dari sebelumnya. Dan dengan bantuan S.I.
Pemerintah berhasil memberi penerangan tentang berbagai kejahatan yang
dilakukan, hal mana tidak mungkin sebelumnya. Karena itu begitu berbahaya
untuk begitu saja menerima semua kejahatan-kejahatan yang oleh koran-koran
Hindia dikenakan kepada S.I., karena sebagaimana seorang di antara mereka
harus mengakui: sebenarnya hubungan dengan kerusuhan-kerusuhan tidak
dapat di buktikan samasekali bahwa S.I. yang melakukannya. Apa yang kita
ketahui pasti, selalu bagus bunyinya. Tanpa segera mengingkari ungkapan ini
harus juga kita akui bahwa, dimana S.I. langsung terlibat dalam
pemberontakan, hal ini sering terpancing oleh kecurigaan yang dimiliki dan
ditunjukkan Pemerintah dan penduduk Eropa terhadap SI. Dimana Pemerintah
rnenyarnbutnya secara terbuka, kita lihat dia senantiasa bersedia bekerja-sama
dengan baik. Ketika pemerintah rnemintanya, cabang S.I. di Batavia, telah
menyerahkan brosur-brosur, yang oleh komite Bandung dikirim kepadanya
untuk disebarkan. Betapa mudah cabangnya berpura-pura mengatakan bahwa
brosur-brosur tsb. sudah tersebar.
Di Bandung, tempat S.I. tidak menemukan perlawanan dan pihak
Pemerintah, Ia beragitasi dengan sukses terhadap kehidupan concubinaat
wanita-wanita pribumi dengan orang Eropah.
Bahwa dogma-dogma agama harus digunakan (kabarnya Kur’an
melarang untuk hidup seperti itu dengan orang Kristen), dapat dirnengerti.
Bukankah harus ditemukan caranya untuk menyadarkan orang pribumi akan
situasi yang tidak diinginkan seperti ini: tujuan menghalalkan cara.
Karena concubinaat di Hindia,-yang oleh sering terjadinya di kalangan
orang Eropa yang tidak menikah - yang hampir menjadi suatu kebiasaan
umum, telah kehilangan sengatnya. Betapa sedikitnya orang muda Eropa dan
Indo-Eropa terutama di pedalaman, memiliki keteguhan moral yang mampu
menolak kebiasaan bejad seperti ini.Untuk memperlihatkan kepada wanita
pribumi kedudukannya yang miring sebagai concubine, orang terpaksa harus
mengacu kepada ajaran agama, karena keberatan-keberatan etis oleh keadaan
telah kehilangan segala daya meyakinkan.
Selanjutnya ini suatu bukti tambahan bahwa S.I. bukanlah tidak
merniliki ciriciri agama, terutama bila kita melihat bahwa mis. di Priangan,
menurut Pemimpin Redaksi Javabode kunjungan ke mesjid-mesjid sangat
meningkat sesudah didirikannya S.I.
Apa yang paling utama terkesan di S.I. adalah solidaritas anggotanya;
orang cenderung membandingkanya dengan suatu camora Italia, sekiranya ia
tidak bekerja terbuka dan mengejar suatu tujuan luhur dan indah yang tak
terbantahkan. Solidaritas semacam ini mungkin diperlihatkan kepada orang
Eropa dengan cara tidak terlalu rnenyenangkan, namun tetap suatu bukti yang
menggembirakan dari bangkitnya kemampuan beladiri orang pribumi
menentang kekuasaan rohani Cina dan Eropa, dan sekaligus suatu jarninan,
agar orang Eropah kurangi agresifitas dalam pembasmian fisik kaum pribumi.
Sangatlah menentang rasa keadilan. dan bila orang adalah pribumi, sengsara
dan terhina, untuk melihat bagaimana mis. Opzichter Eropa dalam kesalahan
sekecil apa pun menghukum seorang pekerja pribumi dengan ‘rammeling’
sambil menetahui bahwa dia tak akan membela diri 1), dan tak seorang pun
akan mengetahuinya. Jika keadaan memuncak, bila orang akhirnya teah
melukai orang pribumi dalam perasaannya yang terdalam, dan dia akhirnya
mengambil pisau, maka dalam koran-koran disebut bahwa politik etislah yang
menanggung segala kesalahan, dan lembaga penyelamat: arbeids inspectie
yang masih belum cukup keras tindakannya, diserang.
Seringkali berita-berita dari Hindia sampai kepada kami tentang
asisten-asisten yang diserang kuli-kuli di perkebunan-perkebunan. Namun
secara mutlak dapat dipastikan bahwa selalu dalam berita itu muncul kalimat
ini: “tuan H baru 2 minggu (atau dua bulan, sebulan, dsb.) di sini”. Jadi suatu
pemberitahuan bahwa yang diserang itu bagaimana pun baru saja di Hindia.
Bukankah segera muncul pertanyaan, dan bukankah pertanyaan itu wajar:
“:Tidakkah mungkin, bahwa bukan nafsu membunuhnya orang Jawa,
melainkan kasarnya orang kulit putih yang tidak mengenal adat setempat,
penyebab pembunuhan itu?”
Mengapa opzichter Indo jarang berkonflik dengan pekerja-pekerjanya;
ia pun tahu bahkan lebih tahu menguasai rakyatnya, dan juga keras? Tidakkah
kejadian-kejadian di Hindia suatu petunjuk, untuk tidak lagi memandang Deli
dsb. sebagai tempat pembuangan bagi tenaga-tenaga Belanda yang berlebihan
atau tak terpakai? Di Hindia cukup banyak orang muda lndo-Eropa atau
pribumi yang dapat rnengerjakan tugas seorang asisten perkebunan jauh lebih
baik dan orang muda Belanda; mereka mengenal rakyat pribumi dan tahan
terhadap iklirn Hindia. Maka orang tidak perlu lagi di Deli menantikan penuh
kecemasan datangnya SI. Namun sayang, warna kulit dan kelahiran mereka
biasanya suatu halangan tak teratasi untuk jabatan-jabatan tsb.
Pertanyaan apakah Serikat Islam suatu ungkapan kehendak rakyat dan
memenuhi suatu kebutuhan yang dirasakan, sudah terjawab lewat fakta-
faktanya. Di seluruh Jawa anggota-anggota telah melapor untuk S.I., baik
orang Madura dan Sunda, yang hampir tidak ada persamaannya dalam sifat-
sifat rakyatnya, dan yang rasa kepentingan bersamanya sampal sekarang masih
terpendarn bahkan di bidang agama.
Namun kebersamaan ini dibangunkan pertama-tama oleh propaganda
S.I. dan kedua oleh politik kristen yang terlalu kuat dan Pemerintah di tahun-
tahun terakhir. Sebagai bukti untuk yang terakhir ini saya ingatkan, bagaimana
sesudah “Zondagsrustcirculatie” di Hindia timbul suatu kemarahan baru yang
tertekan di kalangan pegawai negeri Muslim, terutama di perkereta-apian:
“Mengapa” tanya mereka, “hari istirahat kami tidak dihormati, dan karni
dipaksa merayakan hari Minggu bersama orang kristen.” Bahkan dalam koran
melayu “Chabar Perniagaan” yang dimodali Cina: ketika itu, orang merujuk
kepada sebuah artikel dan Peraturan Pemerintah yang menurutnya kepercayaan
setiap orang harus dihormati Pemerintah.
Tindakan kristen melampaui batas apa saja dapat terjadi di Hindia,
terbukti dan kejadian-kejadian berikut: “Seorang residen yang baru diangkat
mengadakan perjalanan kelilingnya yang pertama di daerah kristen; secara
kebetulan ia harus merayakan hari Minggu di tempat yang juga didiami orang
Muslim, yang bahkan memiliki pemimpin rakyatnya (burgervader) sendiri.
Sang residen pagi itu ingin ke gereja, kejadian besar itu diumumkan kepada
para kepala-kepala daerah. Para kepala distrik lalu mengirim surat resmi
kepada kepala-kepala desa agar masuk gereja berpakaian seragam. Kepala
muslim kita pun berseragam lengkap, duduk mendengarkan penolong pendeta
Minggu pagi itu.”
Bersamaan dengan rasa kebersamaan islam-jawa itu, masuk pula
faham-faham antifeodal ke dalam rakyat Jawa. Tidak bisa tidak; saat
bangkitanya proletariat. ide-ide barn ini harus memasuki rakyat: jiwa ini
terungkap dalam S.I. sebagai kekuatan rakyat yang mendesak ke atas, yang
jalannya masih dapat diubah pemimpin-pemimpinnya dalam hal-hal kecil,
namun mengubahnya secara menyeluruh mereka tidak mampu.
Jika kita mengikuti laporan-laporan tentang penghitungan rakyat oleh
S.I. di Kali-Wungu, kita semakin yakin, bahwa S.I. mengarah kepada
demagogi. Sebagai pembicara terhormat rnuncullah tuan TJOKROAMINOTO,
Redaktur koran S.I.: Oetoesan Hindia. yang ternyata seorang pembicara
rakyat yang ulung, dan yang dalam pidatonya menyatakan dengan jelas warna
demokratisnya S.I.
Dalam replik dan duplik antara dirinya dan seorang jaksa dari salah satu
tempat di daerah itu, yang terakhir ini membela mati-matian lembaga-lembaga
seusia berabad-abad melawan serangan-serangan yang semakin rnernenangkan
demokrasi. yang menemukan wakil yang tiada tandingannya dalam tuan
TJOKROAMINOTO. Bahwa para pemimpinnya sangat menyadari kekuatan
yang mendukung mereka, dapat kita lihat dan kata-kata benikut dalam pidato
tsb,: “Harapan kita bahwa otonitas yang sah membuat kita mengerti apabila
terjadi kesalahan, sebab kita dengan senang hati akan rnenyesuaikan diri”.
Lewat surat terbuka dalam Oetoesan Hindia, redaksi berpaling kepada
Pemerintah sambil mengungkapkan ketidakpuasannya tentang cara kerjanya
pegawai Eropa (a.l. seorang asisten residen), dengan mengungkapkan harapan
agar pemerintah memperingatkan pegawai-pegawai itu atas tidak pantasnya
cara kerja mereka.
Betapa berwibawa gaya surat itu, nadanya begitu tegas sehingga kita
dapat memandang dokumen itu sebagai koreksi terhadap kebijakan pemerintah.
Sejauh ini untuk pertama kali, serikat pribumi berpaling dengan bertanya
langsung kepada pejabat Pemerintah tertinggi,
Apa pula yang dapat dikatakan tentang seorang pemimpin cabang S.I.
yang menolak seorang kontrolir B.B. untuk menyerahkan dua anggota S.I.
yang sesudah rnernbunuh, lari menyembunyikan diri ke rumahnya, sebelum
mengadakan pembelaan dengan komite sentral.
Sekali lagi, bukanlah maksud para pemimpin, bahwa S.I. melawan
Pemerintah sekalipun dalam suatu tindakan yang cukup beralasan, namun yang
disebut di atas ini rnenggambarkan makna, hakekat, yang dikenakan orang
pniburni kepada serikatnya. terutama kepada pemimpinnya. Sidang yang
dipilih rakyat pribumi dan yang lahir darinya yang sebagai pelindung
berhadapan dengan gubernernen Belanda. ini salah satu contoh dan banyak
lainnya.
Dan peraturan-peraturan pemerintah dalam bulan-bulan terakhir, amat
sangat bersifat sedemikian, sehingga mengesankan bagi orang pribumi bahwa
S.I. sepantasnyalah melawan pemerintah; mereka hanya memperlemah
posisinya terhadap rakyat. Ketentuan-ketentuan seperti di Besuki mis, bahwa
apabila empat anggota S.1. terlihat bersarna-sama mereka segera dapat
ditangkap, tak dapat tidak membuat orang tertawa belaka.
Mengapa ketakutan itu, kecurigaan dari orang Eropa? Di Besuki
perkebunan tebu telah memiliki senjata-senjata. Itukah suatu pengakuan, suatu
pengakuan terpaksa bahwa apabila memang kemarahan rakyat meletus, para
kepala perkebunanlah jatuh sebagai korban-korban pertama? Sekali lagi
adakah ini suatu pengakuan terpaksa, dan kebenaran fakta-fakta yang ditulis
dalam “Het Boek Van Siman, den Javaun”?
Nah, ubahlah keadaan kerja wong tani, maka tak akan ada lagi alasan
bagi pemilik-pemilik pabrik gula dan petani tabak untuk membentengi diri
dalam rumah-rumahnya. Namun bukan cuma swasta, pemerintah pun - yang
(lihat pidato mahkota Gubernur Jenderal) tahu bahwa S.I. menguasai seluruh
keadaan, - memperlihatkan kecurigaan dan kekhawatiran terhadap S.I. yang
bekerja tak rnenguntungkan prestisenya. Ketika putera mahkota Solo naik
kapal di Tanjung Priok untuk berlayar ke Eropa, wakil-wakil S.I. ingin
menyapanya sebagai pelindung serikat, Namun dihalangi polisi. Mengapa
rakyat harus dilarang menjalankan penghormatan spontan ini? Mengapa
perbuatan picik terhadap suatu kenyataan sederhana, sehingga tindakan ini
membawa kepada salah tafsir?
Dan masa meyakini pendapat ini meskipun salah, karena tuan
TJOKROAMINOTO menganggap perlu mengatakan dalam pidato yang sudah
sering disebut-sebut: “Sumpah yang kami minta sebagai syarat, hanyalah suatu
janji kesetiaan terhadap statuta; tak ada yang dituntut menentang pemerintah.
Ada yang mengatakan bahwa S.I. mernpunyai rahasia. Ah, ada saja rahasia-
rahasia di luar organisasi. Kalau pimpinan merasa kekurangan tenaga untuk
mempertahankan statuta, Si. akan minta bantuan pemerintah.” Apabila
gambaran yang salah itu belum masuk, mengapa ahli pidato ini menekankan
kesepakatan yang harus ada antara S.I. dan pemerintah? Jiwa serikat rupanya
telah menyimpang jauh dari maksud para pendiri sehingga mereka
rnenganggap perlu menguraikan pendirian mereka dalam suatu pernyataan
hukum: mereka menjelaskan keyakinannya:
a. Bahwa sejarah kelahiran Serikat Islam tidak ada hubungannya
dengan apa yang berkali-kali dikemukakan dalam koran-koran Hindia. seakan-
akan dari pihak pemerintah diadakan tekanan pada berpindahnya orang Muslim
kepada agama Kristen;
b. bahwa mereka dalam lingkungannya tidak menemukan bahwa usaha-
usaha yang dimaksud itu (jika ada) telah menyebabkan rasa tidak senang di
kalangan pribumi.
c. bahwa kaum pribumi tidak dihalang-halangi dalam pelaksanaan
kewajiban-kewajiban agama Muslimnya, dan secara hakiki juga tidak mau
dihalangi, tetapi bahwa dapat dipastikan S.I. tidak didirikan sebagai pertahanan
terhadap agama kristen atau terhadap agama-agama lain apa pun;
d. bahwa masalahnya lain samasekali, terutama untuk memperoleh
hubungan-hubungan ekonomi yang lebih baik oleh kerjasama, sehingga orang
Jawa, Madura, Sunda dan Melayu, masing-masing sesuai kemampuannya
bekerjasama demi kemajuan yang dalam tahun-tahun larnpau di Hindia tak
dapat diingkari, juga untuk menarik keuntungan daripadanya.
e. bahwa bangsa-bangsa di Timur di tahun-tahun terakhir dimana-mana
telah maju, sehingga juga sebagian besar kaum pribumi di Jawa terbangun dan
memahami bahwa hanya dengan kerja-sama (semua terikat oleh satu ikatan)
dapat diharapkan hasil-hasil kemajuan;
f. bahwa serikat mengenakan nama Islam karena para pendiri mengerti,
bahwa ini paling berkesan dan dengan dernikian mencapai ‘ikatan yang
diperlukan” sementara selain kepentingan materiiil kaum pribumi (Muslim R.),
serikat bertujuan meningkatkan kehidupan beragama di kalangan pribumi
Muslim tanpa perlu bersikap bermusuhan.
Namun marilah kita tinjau lebih dekat pernyataan ini.
Dalam a dijelaskan bahwa sejarah kelahiran dsb. dsb. Betul,
sebagaimana saya sudah kemukakan lebih dulu: bukan pendiriannya melainkan
dibanjirinya serikat, harus dipandang sebagai reaksi atas semangat
kepemerintahan.
Dalam b. orang berhati-hati dari menjelaskan bahwa mereka di
lingkungannya tidak menemukan rasa tidak senang terhadap tekanan (jika
memang ada) untuk membuat kaum pribumi beralih ke agama kristen.
Bagaimana keadaan di luar lingkungan mereka, tidak disebut-sebut, Namun
bila memang diadakan tekanan dalam hal itu. pastilah terdapat rasa tidak
senang, hal mana memang sangat mudah difahami.
Dalam c. pernyataan yang pasti bahwa orang pribumi dalam
menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya tidak mau dihalangi, namun
segera sesudahnya kepastian bahwa S.I. bukan pertahanan terhadap agama
kristen.
Dalam d. juga upaya menenangkan dan pernyataan puas kepada
pemerintah dengan mengernukakan kemakmuran rakyat dan diperkuat
dalam e. yang juga menyatakan bahwa karena kemakmuran inilah,
timbul kebangkitannya.
Dalam f. suatu penjelasan tentang motif-motif mengapa kata Islam
diambil, dan pengingkaran bahwa tujuan-tujuan keagamaan menjadi dasarnya;
namun hal ini segera dibantah oleh pemberitahuan pada akhirnya: bahwa
tujuan yang dikejarnya adalah peningkatan hidup keagamaan orang Muslim
tanpa fanatisme terhadap yang beragama lain.
Namun dengan demikian pertanyaan tidak terjawab: apabila tujuan
utama serikatnya adalah perbaikan hubungan-hubungan sosial, kepentingan
materiil kaum pribumi, mengapa dibuat antitese dalam pernyataan iman,
sehingga bagian besar dan penduduk asli diasingkan?
Bagaimana menafsirkan pernyataan ini? Dengan mengujinya pada
kejadian-kejadian, saya beranggapan bahwa para penanda-tangan mempunyai
berbagai motif.
Pertama, karena khawatir bahwa kendali penguasa atas kekuatan-
kekuatan terpendam yang dibangunkannya, perlahan-lahan akan terlepas,
mereka berkehendak dengan pernyataan otentik jelas-jelas membatasi
tanggung-jawabnya, dan jelas tidak rnau dimintai pertanggung-jawabannya
atas kejadian-kejadian yang tidak langsung mengalir dari tujuan-tujuan
tertulisnya.
Kedua: Pemerintah kini ingin mereka ampuni atas tuduhan bahwa SI.
oleh anutan politik pemerintah yang menyebabkan turunnya nilai rohani
organisasi dengan berubahnya arah politik hal ini harus dicegah: di atas
segalanya, di bawah kekuasaan klerikal kristen atau liberal, S.I. harus dapat
mempertahankan dirinya sebagai perwujudan kehendak rakyat terlepas dan
sernangat kepemerintahan.
Ketiga: memperlihatkan kepada kita S.I. dalam bentuknya yang paling
murni, yaitu yang diterangi pencerahan cita-cita para pendiri. Namun, fakta-
fakta jelas tampak bagi kita, dan realitas kita lihat menyimpang dan cita-
citanya.
Akhirnya apa gunanya bagi kita maksud-maksud sejumlah pribadi,
apabila massa lain pendapatnya? Dan, sebagaimana TJOKROAMINOTO
sendiri akui dalam pidatonya bahvva para pemimpin tidak akan mampu
mengarahkan serikat ke tujuan lain apabila dikehendakinya sendiri, demi
pandangan yang benar, kita jangan terlalu memandang serius penjelasan
sejumlah pemimpin. sekurang-kurangnya jangan memakai pernyataan ini
sebagai suatu penilaian obyektif dan dengan demikian memandang lebih
rendah gerakannya.
Karena dari pengakuan itu sendiri, dan pengakuan tentang ketidak-
mampuan diri sendiri untuk menghalangi atau mernbalikkan kehendak rakyat,
dapat ditarik kesimpulan, bahwa jiwa serikat tidak dapat dinilai menurut ide-
ide sejumlah pemimpin, Namun menurut pengungkapan-pengungkapannya.
Masalah lain adalah pertanyaan: sejauh mana para pemimpin itu
bersalah, bahwa mereka kini tidak lagi menguasai keseluruhan gerakan yang
mereka awali itu, sehingga kadang-kadang para anggota telah kehilangan
pandangan atas statuta, dan berbenturan dengan pemerintah.
Bila kita mengikuti kejadian-kejadiannya. kadang-kadang rupanya para
pemimpin tidak bersalah; bahwa mereka sekurang-kurangnya baik dalam
pidato maupun dalam tulisan mendesak para anggotanya agar menjaga
ketenangan dan ketertihan dalam negeri, Namun sering tindakan gegabah para
pegawai Pemerintah atau berpegangnya terlalu keras pada kebiasaan lama
orang Eropa atau Cina, memancing perlawanan dari atau benturan dengan S.I.
Kita juga tidak boleh lupa, bahwa pers Hindia berdaya-upaya untuk
menyoroti SI. secara negatif.
Bagaimana mis. tentang pembunuhan massal yang dalam bulan
Agustus dilancarkan anggota S.I. di Batavia? Orang menjadi khawatir, dan
Javabode dengan agitasi berlebihan, menulis tgl. 19 Agustus:
“Semangat kaum pribumi, dipanasi kegilaan agama, ingin
mengungkapkan diri dalam menjalankan pembunuhan massal terhadap orang
Eropa. Bedebah-bedebah yang berspekulasi atas fanatisme sesamanya,
bersembunyi di balik S.I. itu ingin mengadakan pembunuhan-pembunuhan
demi hasil jarahan. Para saudara harus didahulukan karena S.I. dan agama
Kristen dan sesudah membicarakan ketentuan-ketentuan Pemerintah, disertai
pernyataan bahwa sejumlah pasukan akan siap-siaga lengkap dengan senjata,
menyusul pernyataan untuk menenagkan penduduk Batavia: “Jadi tidak ada
alasan sedikit pun untuk khawatir, (sic.R). Orang jangan takut untuk kejadian
yang akan datang. Bayangan-bayangan yang sudah terlontar sudah memancing
ketetapan-ketetapan yang sangat ketat.”
Setelah begitu dihebohkan, sekurang-kurangnya dapat dinantikan
adanya bentrokan-bentrokan antara militer dan S.I.
Namun, tak terjadi apa-apa, bahkan tak ditulis apa-apa lagi tentang hal
itu. Seluruh ancaman ternyata khayalan belaka; orang berusaha mengumpulkan
bahan untuk incrimineren S.I.
Tgl. 29 Maret y.l. oleh Pimpinan Pusat S.I. dalam suatu audiensi,
diserahkan kepada Gubernur Jenderal statuta untuk rnemperoleh hak pendirian,
yang ditolak Gubernur Jenderal. yang berpendapat bahwa sebelum diberi hak
berdirinya. para pemimpin harus menunjukkan sungguh-sungguh mampu
menguasai gerakannya.
Mungkin saja pendirian tentang hal ini yang diambil pemerintah dapat
dibenarkan berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi dan sudut-pandang
taktik tidak demikian.
Berdasarkan kenyataan bahwa organisasi ini suatu ungkapan dan jiwa
rakyat, mestinya mereka sambut secara terbuka. Tidaklah dapat diingkari,
bahwa penolakan ini menimbulkan kekecewaan di antara para anggota, dan
dilihat sebagai sikap bermusuhan terhadap setiap emansipasi rakyat pribumi.
Semoga pada permohonan berikut Pemerintah berubah pendapat, sebab
pemberian hak berdiri akan membawa dua akibat langsung: 1.kewibawaan
moril para pemimpin diperkuat, yang mernampukan mereka lebih kuat
menuntut diturutinya statuta; 2. pemerintah tidak menunjukkan sikap
bermusuhan dan juga tidak takut terhadap kebangkitan rakyat pribumi.
Jalan tengah untuk memberi hak berdiri kepada organisasi-organisasi
lokal dan tidak kepada satu organisasi besar menurut saya akan memperlemah
posisi pemerintah.
Seperti halnya setiap gerakan di negara-negara lain akan muncul
pribadi-pribadi yang menginginkan lebih cepat jalannya keadaan. Orang-orang
yang jiwanya mendahului masanya, Namun tetap harus hadir untuk
melempangkan jalan bagi massa, yang mengikutinya. Di antara pribadi-pribadi
semacam itu saya masukkan orang-orang Jawa yang sudah banyak
diperbincangkan seperti TJIPTO MANGOENKOESOEMO, dan R.M.
SOEWARDI SOERJANINGRAT. Yang terakhir ini adalah Ketua S.I. di
Bandung. Orang-orang terpandang dengan sikap kritis, memberontak terhadap
pandangan-pandangan keliru dan hubungan-hubungan yang salah di negerinya.
Maka ketika pesta-pesta kemerdekaan Belanda dirayakan dengan begitu
menyinggung perasaan orang pribumi, terbentuklah di Bandung suatu komite
terdiri dari orang-orang pribumi yang menyebarkan brosur geincrimmeerde:
“Jika saya orang Belanda....” Dapatlah dimengerti dan dimaafkan terhadap
seorang anak bangsa yang tidak memiliki kemerdekaannya. Tulisan ini
mestinya tidak boleh menjadi alasan bagi ditawannya kedua orang tsb. yang
memiliki keberanian untuk berjuang demi cita-citanya. Lagipula dalam
keseluruhan dokumen itu tak ada bekas ‘rassenhaat”. Justitie di Hindia yang
mau memerangi ‘rassenhaatwekkende’ tulisan telah alpa dalam memusatkan
perhatiannya terhadap artikel dalam Preangerbode: “Jika saya orang pribumi”
Bodoh dan lebih menghina lagi dari lawannya, tulisan itu mencerminkan cara
yang tak dapat dipercaya sebagaimana orang Eropa rata-rata yang oleh
pengaruh panasnya matahari tropis bertindak terhadap rakyat pribumi.
Terpaku pada kewibawaan Barat di masa ini, baginya segala yang
sifatnya Hindia, rendah dan ia lupa (bahkan tidak tahu samasekali) bahwa
Timur juga memiliki budaya yang sangat dihargai orang-orang Barat terhormat
dan termasyur.
Dalam pamflet: “Bila saya pribumi” satu penghinaan ditumpukkan atas
yang Iainnya dan berakhir dengan: “Apabila saya orang pribumi ... saya ingin
menjadi orang Belanda.”
Perlakuan merendahkan yang sudah dikenakan pada orang pribumi,
terlalu dikenal untuk dibicarakan lebih lanjut. Namun apabila seorang pribumi
bereaksi mengamuk, ía disebut: “orang Jawa yang tidak matang, setengah
masak” atau “anak tropen tanpa keseimbangan dalam pikiran dan perasaan”,
sebagaimana dirumuskan redaksi Soerabaiasche Handeishlud.
Bagi saya lebih dapat dimengerti bahwa pengejaran itu dilembagakan
karena jiwa lndische Partij berhembus dalam brosurnya. Kalau demikian, ini
satu bukti lagi bahwa sekalipun resmi sudah dibubarkan., l.P. masib tetap ada.
sekurang-kurangnya ikatan jiwa yang mengikat anggota-anggota partai
sehingga pada suatu hari bangkit dalam bentuk yang lain.
Betapa kelirunya akibat hukuman itu, dapat kita baca dalam Expres.
TJIPTO MANGOEN KOESOEMO menulis:
“Ada rangsangan untuk menantang penguasa (Pemerintah) yang
mengerahkan tenaganya sedemikian rupa untuk mengecilkan kami. Semakin
kuat aksinya, seimbang pula kekuatan kita.”
Naif tak bertanggungjawablah para penguasa di Nederland untuk
memandang TJIPTO dan SOEWARDI terpisah sama sekali dari massa rakyat
Jawa, sebagai dua “true ayes” yang pikiran-pikirannya terlalujauh terpisah dan
orang Jawa biasa, untuk diperhitungkan. Hal ini juga dilihat sejumlah koran
hindia; Locomotief a.l. berkata: “Setiap permainan pemberontakan hanya akan
bermuara pada sejumlah salvo. Atau bila rnenghendaki basil paling baik, pada
munculnya penguasa yang lain..” Kemungkinan ketiga tidak dibicarakannya :
Bagaimana pun juga orang mengakui bahwa ide-ide TJIPTO dan SUWARDI,
tersebar luas di berbagai kalangan. yang dapat menjadi alasan bagi suatu
“permainan pemberontakan.”
Bukan, kita jangan melihat dalam kedua orang Jawa ini orang-orang
sesat secara rohani di tengah hutan-rimba ide-ide Barat yang dimasuki berbagai
orang Hindia yang bangkit, bukan, mereka adalah bentara-bentara yang diutus
mendahului arak-arakan panjang yang akan datang. Apa tujuan akhirnya;
kemana arah arakarakan itu? Menurut saya ini tidak bisa diragukan lagi.
Mungkin tidak disadari, perjuangan S.I. akhirnya akan dibimbing menurut
arahan yang dikehendaki TJIPTO dan SUWARDI, betapa menghancurkan pun
pandangan pers dan masyarakat.
Dalam koran Locomotief kita membaca: “Sungguh amat sangat
disayangkan karena ini sangat merugikan penduduk pribumi. ini ikut
merugikan suatu serikat yang murni dan berguna.”
Bahwa kedua idealis, sebab memang demikianlah mereka, Iebih
merugikan daripada menguntungkan diri mereka sendiri, sudah pasti. tetapi
bahwa mereka telah merugikan kepentingan S.I. tidaklah jelas. Justeru oleh
selingan yang kurang menyenangkan ini dalam kehidupan politik, mereka telah
memberi pelajaran kepada pemimpin-pemimpin S.I. untuk berhati-hati.
Bagaimana para pemimpin menanggapi isyarat ini baru kita tahu kemudian.
Namun bahwa evolusi S.I. kini sudah dibatasi, kenyataannya
didiamkan. Saat-saat yang sulit akan dihadapi wakil-wakil penguasa Belanda
di Hindia.: politik kolonial telah memasuki tahap yang baru. Di samping
pandangan dan keinginannya, Pemerintah kini juga harus rnempertimbangkan
pandangan rakyat Hindia, yang diwakili pimpinan S.I. Pada pandangan
pertama kesannya situasi tidak sehat berupa “adanya negara dalam negara”,
pada tiniauan selanjutnya sebenarnya ini langkah besar maju menuju
“Parlemen Hindia”, jadi sangat rasional.
Pada akhir usahanya, saya tak dapat tidak memberi sekedar pandangan
alas aliran-aliran pada urnumnya yang muncul di Hindia.
Kini bukan pertanyaan lagi apakah Hindia matang untuk pemerintahan
sendiri, soalnya hanya apakah Hindia berhak atas pemerintahan sendiri. Dan
jawabannya tak bisa tidak ya; juga politisi Belanda yang punya wibawa
beranggapan, bahwa satu-satunya kewajiban yang dipikul Belanda adalah:
mendidik Hindia untuk berdiri sendiri sebagai bangsa. Jadi sekiranya hak
otonomi bagi Hindia suatu fakta yang tak terbantahkan maka haruslah
diperjuangkan setiap upaya yang mendorong hal tsb.
Dan begitu “disayangkan” bahwa pemerintah bersikap sangat tidak
bersahabat terhadap lndische Partij; ketika ungkapan partai itu penuh gejolak,
mestinya diredakan; karena dengan pembubaran I.P. telah diadakan pemilihan
di kalangan pribumi dan Indo terhadap pemerintah. Terutama yang terakhir ini,
merasa dilupakan oleh tanah air. Siapa yang meragukannya, carilah saja suatu
karya ilmiah tentang “Masalah Indo.”
Bila professor SNOUCK HURGONJE dalam serangkaian ceramah
membahas masalah Islam, pantaslah orang memberi lebih banyak perhatian
terhadap soal yang sama pentingnya: masalah Indo. Praktek telah
membuktikan bahwa hal ini patut diperhatikan, bahwa sang Indo tak mesti
disisihkan bagaikan Jumlah yang boleh diabaikan dalam politik kolonial, dan
bahwa dalam perlakuan keliru unsur Indo masih lebih berbahaya dan yang
pribumi, karena sang Indo tidak memiliki kesabaran dan ketakwaan seperti
yang dimiliki orang Jawa.
Dalam suatu artikel Gids berkatalah tuan VAN DEVENTER merujuk
kepada masalah Islam: “Hendaknya Belanda diperingati dan bangun, sebelum
terlambat”. Kata-kata ini ingin juga saya terapkan pada masalah Indo.
Bermimpi tentang suasana berpikir di Hindia kini, amat sangat optirnis.
Telah muncul semangat ketidak-puasan orang tidak puas dengan ketertiban
yang ada tidak puas dengan tanah air, dan :kerusuhan serta permainan revolusi
merupakan pendahuluan dan hal-hal yang akan datang, kecuali tangan besi
membanting stir dan mengarahkan kepal politik kolonial ke pelabuhan yang
aman.
Karena, sekalipun tuan NOTOSOEROTO menulis dalam salah satu
tulisannya bahwa nada dasar dan perasaan kaum pribumi di Nederland itu:
‘simpati terhadap Belanda dan orang Belanda”, apa artinya jumlah kecil itu
ketimbang jutaan di Hindia sana.
Selama situasi disana tidak diperbaiki, bukan saja untuk sejumlah kaum
intelektual namun bagi semua orang yang terlahir dalam perjuangan hidup dan
menggulati prasangka dan posisi hukum yang tak menguntungkan, selama itu
tetap ada ketidakpuasan.
Bukanlah di Belanda harus terlaksana perbaikan terhadap penyakitnya,
bukan saja upaya melancarkan aliran orang Hindia ke Belanda yang akan
membelokkan bahaya (sebelum tercapai Jumlah secukupnya disini, mungkin
sudah terlambat), Namun di Hindia sendiri orang harus mulai dengan
perubahan mendasar yang menuntut kepatutan.
Disana, bahan bakar harus dijauhi dan apinya; orang harus membasmi
hal-hal yang bisa menjadi penyebab arak-arakan yang diumumkan dua bentara
agar dapat lewat bagaikan mimpi buruk yang menakutkan bagi rakyat Hindia
dan Belanda.
Bahwa kelak akan tiba waktunya bahwa Hindia berdiri sendiri sebagai
bangsa, sudah pasti. Sejarah tak dapat membuktikan adanya satu bangsa pun
yang dikuasai secara abadi.
Semoga perpisahan yang tak terelakkan itu bersahabat sifatnya, agar
sesudahnya tetap berlangsungjalinan unsur-unsur budaya yang nyaman antara
Hindia dan Belanda yang berabad-abad lamanya pernah dipersatukan oleh
sejarah.
AMSTERDAM, November 1913.
DAFTAR KATA-KATA BAHASA ASING
Kata-kata Bahasa Hal.
adie Jawa kepala 8
arae ayes Latin 25
arbeids inspectie Belanda dinas pekerjaan
umum
17
bataviaasch niewuwshlad Belanda harian batavia 1,6
bond van jong Indo’s Belanda nama serikat orang
indo
6.7
Burgerij Belanda rakyat biasa 6
camora Italia 16
concubide Belanda pasangan hidup
bersamadi luar
perkawinan
16
concuhinaat Belanda hidup di luar
perkawinan
16
conditio sine qua non Latin syarat mutlak 13
demagogis Belanda agitatif 11
expres Belanda nama harian di
hindia belanda
1
gids Belanda nama hmedia di
belanda
26
hoofdeiischool Belanda sekolah pemimpin 14
incriminasi Belanda inkriminasi 23
indischie partij Belanda partai hindia 2.7
inlander Belanda orang pribumi 7
inlands Belanda bersifat pribumi 7
Javabode Belanda nama media di jawa 16
Justitie Belanda pengadilan 24
klerk Belanda tenaga tata usaha 8
kolperteur Belanda penjaja 13
landbouw en
veeartsenschool
Belanda sekolah pertanian
dan peternakan
15
locomotife Belanda nama harian 25
monster Belanda monster 10
opzichter Belanda mandor 7.16
praticulieren Belanda kaum swasta 1
preangerbode Belanda nama media di jawa
barat
24
proletariaat Belanda proletariat 6
rammeling Belanda pukulan 16
rate of wages Inggris skala gaji 8
regent Belanda bupati 5
regenten vereeniging Belanda persatuan bupati 6
semoehoen Belanda ya 8
soerabaiasch handelsblad Belanda nama media di
surabaya
25
stovia Belanda sekolah tinggi
kedokteran
3
traktement Belanda traktemen 8
unicum Belanda keunikan 11
wong Belanda orang 19
zendeling Belanda utusan 9
zending Belanda perutusan 9
zendingsgenootschap Belanda misi 9
zondagsrustchirculatie Belanda peraturan hari
minggu
17
DAFTAR KATA-KATA
BAHASA ASING
Kata-kata Bahasa Hal.
adie Jawa kepala 8
arae ayes Latin 25
arbeids inspectie Belanda dinas pekerjaan
umum
17
bataviaasch niewuwshlad Belanda harian batavia 1,6
bond van jong jndo’s Belanda nama serikat orang
indo
6.7
Burgerij Belanda rakyat biasa 6
camora Italia 16
concubine Belanda pasangan hidup
bersamadi luar
perkawinan
16
concubinaat Belanda hidup di luar
perkawinan
16
conditio sine qua non Latin syarat mutlak 13
demagogis Belanda agitatif 11
expres Belanda nama harian di
hindia belanda
1
gids Belanda nama hmedia di
belanda
26
hoofdeiischool Belanda sekolah pemimpin 14
incriminasi Belanda inkriminasi 23
indischie partij Belanda partai hindia 2.7
inlander Belanda orang pribumi 7
inlands Belanda bersifat pribumi 7
Javabode Belanda nama media di jawa 16
Justitie Belanda pengadilan 24
klerk Belanda tenaga tata usaha 8
kolperteur Belanda penjaja 13
landbouw en
veeartsenschool
Belanda sekolah pertanian
dan peternakan
15
locomotief Belanda nama harian 25
monster Belanda monster 10
opzichter Belanda mandor 7.16
praticulieren Belanda kaum swasta 1
preangerbod Belanda nama media di jawa
barate
24
proletariaat Belanda proletariat 6
rammeling Belanda pukulan 16
rate of wages Inggris skala gaji 8
regent Belanda bupati 5
regenten vereeniging Belanda persatuan bupati 6
semoehoen Belanda ya 8