M. FATIHUL, IHSAN
SEJARAH DESA MOJOGENENGTiga Tokoh di Balik Berdirinya Desa MojogenengCet.I. Mojogeneng. Pemdes,2013.IX+60 hlm.;12x18ISBN: 000-00000-0-0
Penulis : M. Fatihul IhsanEditor : Desain Cover : Fairuz Al DakhilLayout : Amel CantikKontributor : Perangkat desaPenerbit : PEMDES Dicetak :
Perbuatan yang mempunyai derajat tinggi di hadapan Allah adalahPerbuatan yang di dasari dengan ketulusan
itulah yang dilakukan olehTiga tokoh perintis desa Mojogeneng
(Mbah Onggo Yudho, Mbah Karibun, Mbah Singo Taruno)
PEMDESPemerintah Desa, Desa Mojogeneng
Jl. Raya Mojogeneng, kode pos 61373(0321)0000000000
ISI BUKU
Isi buku………………………………………………………………………………………Pengantar penulis……………………………………………………………………..Sambutan Kepala desa………………………………………………………………Sambutan ketua BPD…………………………………………………………………Sambutan tokoh masyarakat…………………………………………………….Asal usul desa desa Mojogeneng………………………………………………Tiga tokoh dibalik berdirinya desa Mojogeneng………………………..
Mbah Onggo Yudho………………………………………………………. Mbah Karibun……………………………………………………………….. Mbah Singo Taruno……………………………………………………….
Terbentuknya pemerintah desa Mojogeneng……………………………Istilah sawah dan tanah…………………………………………………………….
Sawah Gogol……………………………………………………………….. Sawah kemakmuran…………………………………………………… Tanah Eigendom……………………………………………………………
Tempat-tempat legendaris……………………………………………………….Lembaga-lembaga social…………………………………………………………Penutup …………………………………………………………………………………..Lampiran-lampiran……………………………………………………………………Album foto……………………………………………………………………………….
PENGANTAR PENULIS
Tidak banyak yang tahu secara persis sejak tahun berapa desa
Mojogeneng berdiri dan siapa saja sebenarnya tokoh dibalik berdirinya
desa Mojogeneng. Sebagaimana desa-desa lain, Mojogeneng awalnya
merupakan daerah yang tidak berpenghuni dan tentunya bukan
sembarang orang yang mampu membuka kawasan ini untuk dijadikan
sebagai pemukiman penduduk. Adalah 1).Mbah Onggo Yudho 2) Mbah
Karibun dan 3). Mbah Singo Taruno, ketiga tokoh inilah yang berperan
besar terhadap pembukaan lahan sebagai cikal bakal desa Mojogeneng
yang awalnya merupakan daerah kosong, angker dan penuh mistik,
daerah yang awalnya kosong kini telah menjadi desa yang aman, nyaman
dan agamis.
Penulis berharap setelah terbitnya buku ini, setidaknya akan
membuka mata dan menyadarkan kita semua yang sudah melupakan
para pendahulunya untuk mengingat kembali serta mengenalkan pada
masyarakat yang belum tahu. Dengan harapan masyarakat akan selalu
mengenang jasa-jasa beliau bukan hanya tahu sejarahya tapi setidaknya
berupaya untuk mengirim do’a sebagai bukti baktinya terhadap
seseorang yang telah berjasa besar untuk membukakan lahan bagi
masyarakat. Disamping itu masyarakat desa Mojogeneng juga perlu tahu
perjalanan sejarah Mojogeneng dari segala aspek, mulai dari kapan
adanya pemerintahan desa, siapa saja pemimpinnya, apa saja fasilitas-
fasilitas yang ada sekarang, apa itu sawah kemakmuran, apa itu sawah
eigendom, sawah bekas gogol dan tidak ketinggalan cerita-cerita rakyat
yang berkaitan dengan tempat-empat mistik dll.
Kami tahu bahwa buku itu akan sulid terwujud bilamana tanpa ada dukungan dari semua pihak, maka dari itu seyogyanya kami ucapkan beribu terima kasih kepada: kepala desa Mojogeneng yang mendukung penuh, ketua BPD, Forum Masyarakat desa Mojogeneng, para tokoh masyarakat, tidak ketinggalan para sesepuh desa yang banyak memberi informasi dan dukungan, antara lain kiai Said, Bapak Ahmad Ishaq putra
dari kepala desa Iskandar yang terkenal dengan istilah lurah Kandar, Nyai Hj. Muskinah (alm), Bapak Ahmad Ishaq dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebut secara rinci.
Akhirnya kamipun sadar tak ada gading yang tak retak,
termasuk Gading Martin anaknya Roy Marten itu juga akan retak.
Maksud saya tentunya buku ini belum bisa dikatakan sampurna
dan masih banyak kejadian-kejadian yang belum tertulis, maka
dari itu kami sangat terbuka dalam menerima masukan, saran,
kritik yang sifatnya positif demi sampurnanya buku “Sejarah Desa
Mojogeneng” ini.
Mojogeneng 25 Januari 2013
M. Fatih
Asal usul desa Mojogeneng
Mojogeneng sebagai desa dengan jumlah pendudukn
sekitar 1200 KK (kepala keluarga) terletak sebelah selatan kota
Mojokerto dengan jarak sekitar 15 km yang mayoritas
pendudunya santri, sebagai masyarakat yang tingal daerah
pedesaan penduduk Mojogeneng kebanyakan berprofesi sebagai
petani, namun seiring dengan perjalanan zaman, tidak sedikit
sekarang masyarakat Mojogeneng yang berwiraswasta ataupun
home industry. Keberadaan desa Mojogeneng yang sekarang
sudah mapan baik secara ekonomi, pendidikan maupun fasilitas
umum ini adalah merupakan desa yang yang didirikan atau di
rintis oleh tiga tokoh agama yaitu:
1). Mbah Onggo Yudho
2). Mbah Karibun
3). Mbah Singo Taruno.
Atas jerih payah tiga tokoh itulah siapa sangka tempat yang
asalnya merupakan daerah yang kosong tidak berpenghuni,
bahkan terkenal angker tapi sekarang telah menjadi desa yang
tentram, damai dan masyarakatnya sangat agamis.
Tidak banyak yang tahu tepatnya sejak tahun berapa desa
Mojogeneng resmi berdiri, tapi yang pasti jauh sebelum merdeka
desa Mojogeneng sudah berpenghuni bahkan sudah berdiri
pemerintahan. Nama Mojogeneng menurut beberapa sumber
adalah diambil dari nama sebuah pohon yang banyak tumbuh di
daerah Mojokerto yang bernama pohon Mojo dan tanah yang
berbentuk dataran tinggi yang terkenal dengan istilah tanah
Geneng, pada saat itu ada sebuah pohon Mojo yang tumbuh di
tanah Geneng tepatnya disebelah utara Masjid Pehngaron sehingga
daerah ini dinamakan Mojogeneng. Pada tahun 80an di
Mojogeneng masih banyak terdapat pohon Mojo, namun seiring
perjalanan waktu jejak-jejak itu sedikit demi sedikit lambat laun
hilang, tapi keberadaan pohon Mojo di wilayah Mojokerto masih
banyak terlihat sebagaimana di daerah Trowulan tempat kerajaan
Mojopahit berdiri.
Keberadaan desa Mojogeneng mencakup sebuah dusun benama
Pehngaron, dalam pemerintahan Pehngaron masih satu
administrasi dengan desa Mojogeneng meskipun secara kuantitas
Pehngaron sudah layak berdiri pemerintahan sendiri. Bahkan
menurut
cerita zaman dulu Pehngaron juga sudah terdapat kepala
desa, namun seiring perjalanan waktu Pehngaron berinisiatif
bergabung menjadi satu pemerintahan dengan Mojogeneng.
Tentang kapan bergabungnya Pehgngaron dengan Mojogeneng
secara administrasi masyarakat tidak banyak yang tahu karena
tidak ada dokumen tertuiss yang bisa dijadikan sebagai sumber
rujukan.
Sebagaimana asal usul desa-desa lain yang desa selalu
dikait-kaitkan dengan alam, mulai dari pepohonan, benda-benda
aneh, mata air ataupun kejadian-kejadian yang lain. Terbentuknya
nama Pehngaron juga bekaitan dengan sebuan benda. Konon
ceritanya adalah berawal dari ditemukannya sebuah benda
Tempeh dan Ngaron oleh seseorang di sebuah tempat. Tempeh
adalah sebuah benda yang oleh masyarakat pedesaan biasanya
dipakai tempat untuk menjemur keripik atau sisa nasi yang akan
dijadikan karak (nasi aking), sedangkan Ngaron adalah sebuah
benda tembikar yang bentuknya menyerupai panci namun sedikit
cembung dan biasanya terbuat dari tanah liat yang biasanya oleh
masyarakat desa di buat menggoreng kopi. Namun anehnya
tempeh yang biasanya terbuat dari anyaman bambu tapi Tempeh
yang ditemukan di Pehngaron tersebut justru terbuat dari batu,
demikian juga Ngaron yang umumnya terbuat dari dari tanah liat
tapi ngaron tersebut juga terbuat dari batu. Konon menurut tokoh-
tokoh masyarakat kedua benda tersebut pada tahun 80an masih
terdapat di tempat semula yaitu di sebuah kebun masyarakat,
namun sekarang sudah tidak diketahui dimana keberadaan benda
tersebut. Dengan ditemukannya kedua benda tersebut maka
tempat itu akhirnya dinamakan Pehngaron.
Secara cultur masyarakat dusun Pehngaron tidak jauh beda
dengan masyarakat Mojogeneng. Baik dalam hal keagamaan,
pendidikan atapun yang lain dan juga tidak sedikit masyarakat
Pehngaron yang ahli di bidang agama, bahkan fasilitas keagamaan
juga lengkap, baik Masjid maupun mushalla bahkan juga terdapat
pesantren, namun belum terdapat lembaga pendidikan formal
sehingga dalam hal pendidikan masyarakat Pehngaron sebagian
ada yang ke desa Mojogeneng dan sebagian lagi ke desa lain.
Dan yang tidak kalah penting di dusun Pengaron terdapat
fasilitas pengairan yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat sekitar yaitu bendungan air dan masyarakat mengenal
dengan istilah Dam. Bendungan tersebut merupakan peninggalan
Belanda yang bangun sekitar tahun 1912 M. dan sampai sekarang
masih berdiri kokoh meskipun pada sekitar tahun 2003 pernah di
terjang banjir bandang yang sangat besar bahkan sampai
menenggelamkan kota Mojokerto. Dan yang paling penting dengan
bendungan air yang berdiri kokoh tersebut pendistribusian
kebutuhan masyarakat akan air akan terpenuhi, baik untuk
persawahan, mandi ataupun yang lain. Sehingga daerah Pehngaron
dan sekitarnya tidak pernah mengalami kekeringan meskipun
terjadi kemarau panjang.
Gerbang desa Mojogeneng dibangun tahun….
Tiga tokoh
dibalik berdirinya desa Mojogeneng
Mbah Onggo Yudho
Kalau dilihat dari namanya Mbah Onggo Yudho nampak
seperti orang Jawa namun sejatinya beliau adalah asli Banten Jawa
Barat, dan beliaulah orang yang diyakini oleh masyarakat
Mojogeneng sebagai orang yang pertama membuka lahan sebagai
cikal bakal desa Mojogeneng ini, mengenai siapa siapa orang
tuanya tidak banyak yang tahu. Sebagai orang yang membuka
lahan baru, tentunya Mbah Onggo Yudho bukanlah orang
sembarangan, sudah pasti beliau adalah orang yang mempunyai
kelebihan dalam hal ilmu kebatinan dan agamanya sangat kuat, hal
ini bisa dilihat bagaimana tradisi masyarakat Mojogeneng yang
sangat agamis.
Pertama kali beliau membuka lahan yang tentunya
kondisinya belum berpenghuni saat itu beliau melempar keris
pusaka kemudian jatuh di lokasi Mojogeneng saat ini. Pada saat
menebangi pohon, Mbah Onggo Yudo tidak jarang mengalami
gangguan dari mahluq bangsa Jin mungkin karena mereka tidak
terima daerahnya dijamah manusia sehingga Mbah Onggo sering
mengalami peristiwa-peristiwa aneh, keanehan yang paling sering
beliau alami adalah beliau sering mendapat kiriman makanan
yang sama persis dengan masakan istrinya di rumah yang
bernama Aminah. Awalnya beliau tidak menyangka kalau apa yang
dimakan sebenarnya bukan masakan istrinya, tapi lama kelamaan
beliau mulai curiga setelah diamat-amati bahwa istrinya tidak
pernah mengirim makanan ke tempat beliau beraktifitas, sejak itu
akhirnya beliau tahu bahwa yang selama ini memberi makanan
adalah mahluq sebangsa Jin yang yang tidak diketahui dengan jelas
apa
maksudnya memberi makanan pada Mbah Onggo Yudo.
Sebagaimana tidak ada yang mengetahui secara persis tahun
berapa beliau lahir, demikian juga wafatnya, perjuangan beliau
dalam membuka lahan untuk perkampungan sampai akhir hayat
dan di makamkan di Mojogeneng juga bahkan sampai sekarang
makamnya meski sederhana tapi tetap terawat dengan baik di
lingkungan RT 10 RW 03 belakang Pesantren Kun Aliman.
Lokasi Mbah Aminah, istri Mbah Onggo Yudho
Mbah Karibun
Mbah Karibun adalah satu diantara tiga tokoh yang banyak
ikut berperan dalam membuka lahan cikal bakal desa Mojogeneng
ini. Mengenai nama Karibun sebagian masyarakat berpendapat
bahwa nama tersebut bukan nama sebenarnya, namun nama
tersebut merupakan julukan terhadap beliau yang ahli ibadah yang
tentunya dekat dengan Allah, dan nama Karibun itu berasal dari
bahasa arab Qoribun dari kata dasar Qoroba artinya dekat, jadi
Qoribun maksudnya adalah orang yang dekat dengan Allah.
Makam Mbah Onggo Yudho perintis berdirinya desa Mojogeneng
Pendapat itu sangat beralasan karena tidak mungkin kalau beliau
hanya orang biasa kemudian sanggup membantu membuka
kawasan Mojogeneng yang saat itu tentunya sangat angker.
Latar belakang kedatangan Mbah Karibun yang asli
Cirebon Jawa Barat ke wilayah yang bakal jadi desa Mojogeneng
sendirian tidak membawa keluarga, menurut pendapat sebagian
masyarakat kedatangan beliau ke Mojogeneng adalah atas
undangan Mbah Onggo Yudo yang merasa kewalahan dalam
menghadapi ganasnya gangguan bangsa halus yang menghuni
wilayah Mojogeneng, namun versi lain kedatangan beliau ke
Mojogeneng dimungkinkan karena beliau memang seorang
pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat karena saat itu
di Indonesia masih dalam kekuasaan penjajah Belanda dan saat itu
tidak ada tempat yang aman bagi tokah agama atau tokoh
masyarakat, konon para tokoh agama yang berani menentang
penjajah pasti dijadikan target penangkapan oleh Belanda
termasuk juga Mbah Karibun, sehingga kedatangan Mbah Karibun
di tanah Mojogeneng di yakini oleh sebagian masyarakat karena
menghindari ancaman Belanda.
Tapi yang jelas Mbah Karibun sepertinya di mata Mbah
Onggo Yudho adalah sosok yang tepat di mintai bantuan untuk
menyelesaikan babad desa Mojogeneng, dan beliau diharapkan
membantu mampu menaklukkan bangsa halus yang selalu
mengganggu. Hal ini sangat beralasan Karena beliu adalah dikenal
sebagai orang yang mempunyai kekuatan batin alias sakti dan
kedatangannya sangat dibutuhkan untuk men-siwer
( membersihkan tempat-tempat yang masih terdapat anasir-anasir
mahluq jahat).
Bagi para sesepuh Mojogeneng cerita kehebatan Mbah
Karibun dalam hal ilmu kebatinan tidak ada yang meragukan,
bahkan konon ceritanya pada saat itu beliau mempunyai macan
putih yang tentunya bukan macan biasa tapi semacam penjelmaan
dari ilmu kesaktian yang beliau kuasai, konon pada saat-saat
tertentu macan tersebut menampakkan diri sebagai tanda sedang
ada sesuatu, bahkan menurut para orang tua pada zaman dahulu
macan putih itu tidak jarang menampakkan diri tapi hanya pada
orang-orang tertetu. Sebagaimana yang pernah di seritakan oleh
Nyai Hj. Muskinah, bahwa suami beliau pernah suatu waktu
melihat sesosok macan putih besar sedang menampakkan diri dan
hewan itu diyakini sebagai penjelmann dari ilmu kesaktiannya
Mbah Karibun.
Diantara kehebatan Mbah Karibun adalah bahwa pada masa
penjajahan Belanda makam beliau biasanya di buat tempat
persembunyian masyarakat Mojogeneng dan sekitarnya ketika
sedang ada
patroli Belanda
yang sedang
mencari orang-
orang pribumi yang berani menentang penjajah, namun anehnya
meskipun Belanda lewat tidak jauh dari makam Mbah Karibun
pasukan Belanda tidak dapat melihat kalau banyak masyarakat
yang sedang bersembunyi di makam tersebut. Namun mengenai
siapa keturunan dari mbah karibun tidak ada yang bisa
menjelaskan, hal ini karena sampai saat ini tidak ada yang
mengetahui siapa istri dari Mbah Karibun.
Mbah Karibun tinggal di Mojogeneng sampai akhir hayat,
hal ini mungkin karena beliau sudah merasa bagian dari
masyarakat Mojogeneng, maka tidak salah kalau beliau
memutuskan menetap di desa ini sampai akhir hayat. Dan
makamnya sampai sekarang masih terawat rapi berada di
lingkungan RT 08 RW 03. Namun jangan heran jika melihat makam
beliau yang sangat sederhana, bahkan nisannyapun hanya terbuat
dari batu (sekarang sudah di ganti batako), hal ini konon ceritanya
karena beliau dulu pernah berpesan pada masyarakat kelak kalau
meninggal makamnya tidak usah dibangun, dari situ terlihat
tentang sifat kesederhan dan kerendahan hatinya.
Mbah Singo Taruno
Tidak kalah penting untuk diketahui dari kedua tokoh di
atas adalah Mbah Singo Taruno. Sebagaimana Mbah Onggo Yudho
dan Mbah Karibun, Mbah Singo Taruno adalah dibalik satu
diantara tiga tokoh yang ikut berjuang membuka lahan desa
Mojogeneng. Kedatangan beliau ke Mojogeneng juga sebagaimana
Mbah Karibun. Kedatangan Mbah Singo Taruno ke Mojogeneng
diharapkan turut membantu mengatasi rintangan-rintangan dari
bangsa Jin yang dirasa cukup sebagaimana yang diharapkan pada
Mbah Karibun.
Kalau dilihat dari namanya sekilas Mbah Singo Taruno
adalah orang Jawa, namun sejatinya beliau adalah berasal dari
Mataram atau NTB (Nusa Tenggara Barat), menurut cerita konon
Mbah singo Taruna memiliki ilmu kesaktian berupa macan putih
sebagaimana Mbah Karibun, sehingga ada yang mengkait-kaitkan
bahwa istilah Singo adalah julukan karena mempunyai ilmu
tersebut. Bahkan untuk memperkuat anggapan tersebut dulu
sekitar tahun akhir tahun 60an seorang yang rumahnya dekat
makam beliau kalau di saat menjelang sampai magrib masih
sering mendengar suara macan meraung di area makam. Tidak
seperti Mbah Karibun yang datang ke Mojogeneng sendirian tapi
Mbah Singo Taruno bersama seorang istri hal ini diperkuat dengan
makamnya yang saling bersandingan, hal inilah yang memperkuat
bahwa beliau datang ke Mojogeneng bersama istrinya yang
bernama Aminah.
Sebagaimana Mbah Karibun, Mbah Singo Taruno juga
dengan setianya membantu Mbah Onggo Yodho dalam bahu
membahu membuka lahan desa
Mojogeneng sampai hayat
menjemputnya di desa ini, bahkan
makamnya sampai sekarang
masih terawat dengan rapi
dilingkungan RT 06 RW 03.
Bahkan makam beliau sering di datangi orang-orang yang
bermacam-macam tujuannya mulai yang hanya sekedar mengirim
doa sampai yang mempunyai maksud-maksud tertentu.
Di samping tiga tokoh di atas sebenarnya masih ada satu
tokoh lagi yang tidak pernah disebut, hal ini karena beliau
membantu merintis desa Mojogeneng namun tidak sampai wafat
di Mojogeneng. Beliau adalah Mbah Sulaiman, konon menurut
cerita Mbah Sulaiman setelah ikut berpartisipasi merintis desa
Mojogeneng kemudian beliau pindah tempat ke Sidoarjo dan tidak
kembali lagi ke Mojogeneng.
Makam Mbah Singo Taruno beserta istri salah satu perintis berdirinya desa Mojogeneng
Terbentuknya pemerintahan desa Mojogeneng
Pemerintah desa (PEMDES) Mojogeneng jauh sebelum
merdeka sudah berdiri, namun sampai buku ini terbit tidak
ditemukan dokumen tentang tahun berapa pertama kali
pemerintahan desa Mojogeneng terbentuk, hal ini tidak ada bukti
dokumen pendukung namun kalau menurut cerita sebagian tokoh
masyarakat desa Mojogeneng bahwa sudah sejak lama di
Mojogeneng sudh terdapat pemerintahan sebagaimana urutan
beberapa orang yang pernah menjabat kepala desa di desa
Mojogeneng, diantaranya adalah:
Pertama, Singo Golo, Singo Golo menjabat sebagai kepala
desa Mojogeneng pada masa penjajahan Belanda. Sebagai kepala
desa pada masa penjajahan tentunya beliau tentunya tidak mudah
pada saat itu pada saat itu Indonesia masih di bawah kekusaan
Belanda, sehingga menurut sebagian cerita beliau terkadang
sikapnya cenderung keras terhadap masyarakatnya sebagaimana
Belanda, namun demikian beliau juga mempunyai sifat bijaksana,
semisal kalau ada masyarakat yang tidak mampu bayar upeti /
pajak sawah, maka sebagian sawah masyarakat tersebut diminta
dan berikan pada masyarakat yang lain. Pada Saat kepemimpinan
Lurah Singo Golo desa Mojogeneng konon sudah terdapat pasar
(economic centre) sebagai sentra perdagangan masyarakat
Mojogeneng dan sekitarnya, pasar tersebut tepatnya di utara
Masjid Minhajul Abidin “sekarang”, bahkan konon di tempat itu
juga dulunya terdapat onder distrik (pemerintahan setingkat
Kecamatan), hal ini sangat beralasan dan bisa di perkuat dengan
adanya bekas-bekas pondasi bangunan tua, bahkan banyak
ditemukan batu-bata kuno yang ukurannya besar-besar sehingga
menurut keyakinan sebagian masyarakat bahwa suatu saat di
tempat itu juga suatu saat akan menjadi sentra kegiatan baik
kegamaan maupun penddikan .
Dan pada saat kepemimnan lurah Singo Golo itu juga
keberadaan pasar pernah di relokasi (pindah lokasi) ke lingkungan
sekolah SD “sekarang”. Konon ceritanya ketika hendak memindah
pasar dari utara Masjid, lurah Singo Golo membuat trik dengan
memanfaatkan kekuatan ilmu kebatinannya yaitu dengan cara
merubah batu besar di lokasi tersebut untuk dijadikan buaya putih
sehingga banyak masyarakat yang tertarik melihat buaya tersebut
yang pada akhirnya tempat itu rame dan berubah menjadi pasar,
namun keadaan itu tidak bertahan lama. Kini batu besar yang
dulunya pernah dijelmakan menjadi buaya putih kini telah di
kubur tepatnya di pengimaman mushalla…….milik Bapak Muhyi
yang terkenal dengan sebutan Pak Mukiyi, pengkuburan batu
tersebut karena dikhawatirkan akan dijadikan masyarakat sebagai
batu keramat yang bisa menjadikan musyrik.
Kedua, Setelah berakhirnya kepemimpinan Singo Golo
tampuk kekuasaan desa Mojogeneng dipimpin oleh kepala desa
bernama Singo Mejo. Sebagai seorang pemimpin Singo Mejo tidak
jauh beda dengan gaya kepemimpinan kepala desa sebelumnya.
Pada masa kepemimpinan Singo Mejo tidak banyak cerita tentang
prestasi kebijakan-kebijakan apa saja yang dibuat hal ini mungkin
karena beliau hanya meneruskan tugas-tugas kepala desa
pendahulunya, sebagaimana Singo Golo kepemimpinan Singo Mejo
juga tidak ada dokumen tertulis sebagai data pendukung mengenai
mulai tahun berapa dan berakhir tahun berapa beliau menjabat
kepala desa.
Ketiga, Wak Mblok, Wak Mblok menjabat kepala desa
menggantikan Singo Mejo setelah jabatannya berakhir. System
pemilihan kepala desa saat itu masih dengan cara penunjukkan
karena saat itu memang belum ada Pilkades atau pemilihan Kepala
Desa. Beliau menjabat kepala desa kurang lebih selama hampir 20
tahun, hal ini karena diperkirakan lurah Mblok menjabat mulai
tahun 1912 dan berakhir pada tahun 1932.
Keempat, setelah habis masa tugasnya lurah Wak Mblok
sebagai kepala desa, kepemimpinan desa Mojogeneng dilanjutkan
oleh Bapak Iskandar yang terkenal dengan istilah lurah Kandar
selama kurang lebih sepuluh tahun, sebagaimana para lurah
pendahulunya lurah Kandar menjadi lurah juga dengan cara
penunjukkan, beliau menjabat kepala desa mulai tahun 1932 dan
berakhir pada tahun 1942 (ket: Ahmad Ishaq, putra lurah Kandar,
H. Tusawah), pada masa lurah Kandar perangkat desa Mojogeneng
sudah mulai tertata, hal ini dibuktikan dengan sudah adanya posisi
perangkat desa petengan yang berfungsi untuk menjaga keamanan
desa, tuwowo yang berfungsi mendistribusikan pengairan, mataulu
yang bertugas mengurus administrasi pengiran dll.
Kelima, Setelah lurah Kandar sudah tidak lagi menjabat
sebagai kepala desa, estafet kepemimpinan kepala desa
Mojogeneng di lanjutkan oleh H. Nur kurang lebih selama 32
terpilihnya H. Nur sebagai kepala desa melalui pemilihan, dan
periode inilah pertama kalinya Mojogeneng mengadakan
pemilihan kepala desa, saat itu ada tiga calon namun dimenangkan
oleh H. Nur. Beliau menjabat kepala desa sejak tahun 1944 sampai
1976. Pada saat kepemimpinan lurah H. Nur banyak kebijakan-
kebijakan yang bermanfaat baik untuk masyarakat maupun untuk
pemerintahn desa, diantara gagasannya adalah meminta sebagian
sawah gogol yang sedang digarap masyarakat, karena sebenarnya
status sawah gogol yang ada di tangan masyarakat adalah masih
berstatus hak pakai karena saat itu belum ada sawah yang
bersertifikat. Tujuan meminta sebagian dari sawah gogol tersebut
adalah untuk dijadikan inventaris desa berupa sawah
kemakmuran yang hasilnya dijadikan sebagai sumber keuangan
desa yang sekarang terkenal dengan istilah APB-Des (Anggaran
pendapatan dan Belanja Desa), hal ini karena saat itu itu belum ada
kucuran dana subsidi baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah setingkat propinsi ataupu Kabupaten.
Disamping itu dengan adanya sawah kemakmuran tersebut
sedikit banyak terjadi pemerataan ekonomi masyarakat, hal ini
karena dalam mengerjakan sawah kemakmuran lurah H. Nur
sengaja melibatkan masyarakat, pada saat pemerintahn H. Nur
desa perangkat desa Mojogeneng sudah tertata.
Keenam, Pada tahun 70-an terjadi reformasi
kepemimpinan pemerintah desa, Melalui proses Pilkades
kepemimpinan kepala desa Mojogeneng kemudian dilanjutkan
oleh Bapak Ali Ainan selama 20 tahun sejak tahun 1977 sampai
pada tahun 1995. Pada masa Bapak Ali Ainan program yang
menonjol diantara adalah pembangunan fasilitas umum,
diantaranya adalah pembangunan jalan, membangunan saluran air
(selokan) dll. Dan salah satu kebijakan yang menonjol adalah
memangkas beberapa sawah gogol yang sedang di garap
masyarakat karena saat itu keberadaan sawah gogol luasnya
antara milik orang yang satu dengan yang lainnya tidak seragam,
seseorang ada yang luas sawahnya 450 boto, 600 boto bahkan ada
juga yang 800 boto. Dibawah lurah lurah Bapak Ali Ainan luas
sawah gogol yang tidak sama itu akhirnya diseragamkan menjadi
450 boto dengan cara memangkas, sementara potongan dari
sawah gogol 600 dan 800 boto itu dijadikan sebagai aset desa
sebagai sawah kemakmuran.
Ketujuh, Seiring berakhirnya kepemimpinan Bapak Ali
Ainan, melalui Pilkades estafet kepemimpinan desa Mojogeneng
kemudian dilanjutkan oleh Ibu Minah sebagai lurah terpilih, beliau
adalah putri dari mantan lurah H, Nur. Terpilihnya Ibu Minah
sebagai kepala desa Mojogeneng merupakan fenomena, hal ini
karena saat itu masih jarang ada kepala desa perempuan dan
Mojogeneng adalah lingkungan masyarakat santri, namun diluar
dugaan Bu Minah yang seorang perempuan terpilih sebagai kepala
desa dengan proses demokratis. Dan sampai saat ini beliaulah
satu-satunya kepala desa perempuan di desa
Kedelapan, setelah masa tugas Bu Minah sebagai kepala
desa selesai pada tahun 2000 tidak serta merta muncul bakal
calon kepala desa baru karena saat itu tidak ada masyarakat yang
berminat mencalonkan diri sebagai kepala desa. Di tengah sepinya
peminat orang yang mencalonkan KADES kemudian muncul tokoh
alternative yaitu Bapak Thoyib seorang guru PNS, bahkan Pilkades
saat itu lawannya hanya bumbung kosong alias hanya terdapat
calon tunggal. Dengan terpilihnya Bapak Thoyib sebagai kepala
desa diharapkan Mojogeneng mengalami kemajuan, Mojogeneng
dibawah kepemimpinan Bapak H. Thoyib yang menonjol adalah
masalah kejujuran sehingga beliau dikenal tentang kejujuranya
dalam mengelola keuangan desa.
Beliau menjabat Kades Mojogeneng selama satu periode
tapi selama delapan tahun mulai tahun 2000 sampai 2008 pada
saat masa jabatan Kades mestinya hanya lima tahun tapi ada
perpanjangan selama tiga tahun. Sebenarnya kepemimpinan
Bapak H. Thoyib yang saat itu sudah selesai banyak yang berharap
beliau mencalonkan lagi, namun beliau lebih memilih melanjutkan
profesinya sebagai guru PNS.
Kesembilan, Dengan tidak lagi mencalonknnya H. Thoyib
sebagai Kades namun reformasi kepemimpinan harus tetap
berjalan, akhirnya saat itu muncul beberapa calon namun detik-
detik pencalonan yang muncul hanya calon tunggal yaitu Bapak
Solikin warga pendatang berasal dari Kedundung Magersari kota
Mojokerto, namun peraturan pada saat itu tidak boleh Pilkades
dengan hanya calon tunggal maka istrinya disuruh maju
mencalonkan sebagai kompetitor untuk memenuhi syarat
terlaksananya Pilkades, dengan majunya suami istri tersebut hasil
Pilkades akhirnya Pak Solikin di nyatakan sebagai pemenang,
beliau menjabat sejak 2008 sampai tahun 2013. Dibawah
kepemimpinan beliau banyak melakukan program pembangunan
diantaranya renovasi balai desa, pintu gerbng balai desa, serta
pelaksanaan program PNPM diantaranya pavingisasi,
pembangunan jembatan penghubung antara desa Mojogeneng
dengan Padang Asri, pembangunan irigasi pinggir jalan dari arah
Pehngaron menuju Mojogeneng, penerangan jalan dll.
Balai Desa Mojogeneng
TABEL KEPALA DESA MOJOGENENG
SEJAK AWAL SAMPAI 2013
NO NAMA KEPALA
DESA
MULAI
MENJABAT
AKHIR MASA
JABATAN
MASA
MENJABAT
1 Singo Golo _ _ _
2 Singo Mejo _ 1912 _
3 Wak Mblok 1912 1932 20 tahun
4 Iskandar (lurah
Kandar)
1932 1942 10 tahun
5 H. Nur 1942 1976 32 tahun
6 Ali Ainan 1977 1995 18 tahun
7 Minah 1995 2000 5 tahun
8 H. Thoyib 2000 2008 8 tahun
9 Solikin 2008 2013 5 tahun
10 ……….?......... ……………… ……………….. ………………
Kini Mojogeneng secara organisasi sudah banyak
mengalami kemajuan, demikian dengan kondisi keuangan, berikut
perangkat-perangkat desa pada saat ini diantaranya:
1. Kaur umum / pemerintahan, perangkat ini mengurusi
kepentingan masyarakat yang berhubungan dengan
administrasi kependududukan atau yang lain semisal, urusan
KK, akte kelahiran, KTP sementara dll.
2. Kaur keuangan / bendahara, perangkat ini berfungsi mengurusi
keluar masuknya keuangan desa baik uang yang dihasilkan dari
APB-Des (Anggaran Pendapatan Belanja Desa) seperti hasil
penjualan sawah kemakmuran, penjualan mangga pinggir jalan
atau yang lain, maupun uang yang berasal dari subsidi atau
sumbangan dari APBD maupun APBN.
3. Kaur kesejahteraan, perangkat ini berfungsi mengurusi
kesejahteraan masyarakat diantara tugasnya mendistribusikan
sumbangan sembako dari pemerintah untuk masyarakat dll
5. Kaur pembangunan, perangkat ini berfungsi mengurusi
pembangunan infrastruktur desa mulai dari pembangunan
irigasi, jalan, jembatan, gedung-gedung fasilitas umum seperti
gedung balai desa, gedung sekolah dll.
6. Kepala dusun (polo), perangkat ini bertugas mengurusi pajak,
baik pajak tanah maupun bangunan dll.
7. Carik / sekdes, perangkat ini berfungsi mengurusi administrasi
desa, pembuatan surat menyurat dll.
8. Mudin, perangkat ini berfungsi untuk mengurusi kematian
dengan segala keperluannya, mulai dari mengumumkan, kafan
mayit, mengkordinir pihak penggali kubur dll.
9. Mata ulu, posisi jabatan ini berfungsi untuk mengurusi
pengairan namun bukan bertugas dilapangan tapi hanya sebatas
mengurus secara organisatoris pemerinahan berupa laporan-
laporan serta berkodinasi dengan pejabat yang lebih tinggi.
10. Tuwowo, sebagaimana Mata ulu, Tuwowo juga perangkat desa
yang berhubungan dengan masalah pengairan / irigasi, namun
bukan sebagai kordinator tapi sebagai petugas lapangan untuk
mendistribusikan air ke sawah para petani.
STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA
Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 diatur tentang
pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan pemerintahan desa
adalah segala kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa
sebagaimana dimaksudkan dalam penjelasn apasl 28 UUD 1945.
Adapun struktur organisasi pemerintahan desa/kelurahan
nampak seperti pada bagan diatas. Pemerintahan desa memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentinga
masyarakat. Kepala desa bertanggung jawab pada Badan
Perwakila Desa dan menyampaikan laporan tugas tersebut kepada
Bupati. Masa jabatan 2X (maksimal 10 tahun).
Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat
daerah kabupaten dan/atau daerah kota dibawah kecamatan. Di
desa dibentuk Lembaga Kemasyarakatan Desa yang merupakan
mitra pemerintah desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat
desa.
Selain itu, sekarang juga terdapat lembaga sebagai mitra
pemerintah desa diantaranya; BPD (Badan Permusyawaratan
Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Bank desa,
gapoktan. Keberadaan semua lembaga tersebut tentunya
tujuannya untuk melancarkan semua program-program yang
bersentuhan dengan masyarakat.
Sebagai desa yang berpenduduk sekitar 2300 jiwa
(sekarang), Mojogeneng terdapat 15 RT dan 3 RW yang berfungsi
membantu pemerintahan desa untuk mengontrol penduduk
ataupun keperluan-keperluan yang lain.
Istilah sawah dan tanah
Sawah Gogol
Istilah sawah Gogol adalah tanah sawah yang belum jelas
kepemilikannya oleh masyarakat atau seseorang karena saat itu
Indonesia baru saja merdeka sehingga administrasi pertanahan
belum tertib dan kebanyakan tanah statusnya masih milik
pemerintah. Maka sejatinya sawah Gogol pada saat itu yang sedang
dikuasai (di garap) masyarakat adalah hanya sebatas hak pakai
yaitu hak menggunakan atau memanfaatkan langsung tanah yang
diamanahkan oleh Negara yang bukan berdasarkan sewa
menyewa. Tanah Gogol ini bukan hanya terdapat di desa
Mojogeneng namun juga terdapat di desa-desa lain.
Mengenai berapa luasnya sawah gogol yang sedang di
kerjakan masyarakat memang tidak seragam tergantung
geografisnya. Ada yang luasnya 450 Boto, 500 Boto bahkan ada
yang 600 Boto yang dalam masyarakat pertanian terkenal dengan
istilah “Bau”.
Sawah kemakmuran
Keberadaan kondisi beberapa desa di Mojokerto tidak
terkecuali desa Mojogeneng, bahwa pada saat setelah
kemerdekaan tidak serta merta makmur bahkan dari segala sisi
masih sangat memprihatinkan baik secara administrasi maupun
infrastuktur, khususnya di sector keuangan. Hal ini bisa di
maklumi karena saat itu belum ada anggaran dari pemerintah
diatasnya (APBD/APBN) untuk biaya operasional Pemdes seperti
pada masa reformasi sekarang ini. Misalnya dana ADD (Alokasi
Dana Desa) untuk operasional Pemdes, PNPM (Program Nasional
Pemberdayan Masyarakat) untuk pembangunan, dana GAPOKTAN
(Gabungan Kelompok Tani) untuk pembiayaan para petani, dana
PUEM (Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat) untuk para
pedagang kecil / UMKM, dana PUAP untuk pembiayaan agrobisnis
pedesaan, ataupun dana-dana yang lain.
Dengan tidak adanya keuangan tersebut, maka pada saat
pemerintahan desa Mojogeneng di jabat oleh H. Nor, muncul
kebijakan berupa untuk menggali keuangan melalui sumber daya
alam yaitu sawah yang tujuannya untuk dijadikan sebagai sumber
pundi-pundi keuangan desa, yang mana dengan adanya
pemasukan dari hasil sawah nantinya bisa dijadikan sebagai dana
operasional atau untuk pembangunan desa, maka sejak gagasan itu
muncul Lurah H. Nur berinisiatif untuk memangkas sawah Gogol
yang saat itu sedang dikerjakan oleh masyarakat. Tanah Gogol
sebagai tanah yang statusnya sebagai tanah Negara, maka kepala
desa sebagai kepala pemerintahan setingkat desa berhak meminta
tanah atau sawah yang saat itu sedang dalam kekuasaan
masyarakat yang mana tujuannya untuk dijadikan kepentingan
umum. Pada saat itu terkumpullah beberapa hektar sawah dengan
jumlah kurang lebih sebanyak 12 H. Dengan adanya sawah
kemakmuran tersebut pemerintahan desa bisa berjalan meskipun
belum bisa maksimal seratus persen.
Sawah angguran
Disamping ada istilah sawah gogol di Mojogeneng juga
pernah ada istilah sawah Angguran yaitu sawah dari hasil
pemangkasan sawah Gogol yang kemudin di garap secara
bergiliran oleh masyarakat yang tidak mempunyai sawah dengan
dibentuk kelompok-kelompok masyarakat. Dengan kebijakan
demikian diharapakan dari pemangkasan sawah tersebut bisa
mengangkat ekonomi masyarakat miskin karena sudah diberi
kesempatan menggarap sawah tersebut. Dalam menggalang
kesadaran masyarakat supaya menyerahkan sebagaian sawah
yang sedang mereka kuasai untuk dijadikan sebagai inventaris
desa sebagai cikal bakal sawah kemakmuran kepala desa yang saat
itu H. Nur tidak mengalami kesulitan karena karena masyarakat
mempunyai kesadaran tinggi dalam mendukung pemerintah desa.
Dari sawah Gogol menuju sawah hak Milik
Seiring dengan perjalanan waktu sawah Gogol yang
awalnya hanya sebatas hak pakai yang dikelola masyarakat.
Akhirnya pada tahun sekitar tahun 1960an untuk menentukan
status kepemilikan tanah-tanah tersebut supaya ada kepastian
hukum, maka sawah Gogol tersebut di proses ke BPN (Badan
pertanahan Nasional) yang dulunya bernama hukum Agraria yang
terdapat pada UUPA (Undang-undang Pokok Hukum Agraria)
untuk di sertifikatkan, hal ini untuk penertiban administrasi
pertanahan seiring dengan proses tersebut kini tanah-tanah
tersebut sekarang sudah resmi menjadi hak milik masyarakat yang
jumlahnya kurang lebih 90 tempat yang terkenal dengan istilah
sawah bekas Gogol.
Tanah Eigendom
Dalam Istilah tanah, ada yang bernama tanah eigendom yaitu hak
milik mutlak, keberadaan tanah ini sejak zaman penjajahan
Belanda sudah ada dan diperuntukkan kepada para pejabat-
pejabat pemerintahan untuk dikelola sebagai penghargaan, dan
keberadaan sawah eigendom tersebut sampai sekarang masih
berfungsi sebagaimana tujuan awalnya, dan sekarang terkenal
dengan istilah. Sebenarnya istilah tanah eigendom bukan hanya
berupa sawah, tapi semua tanah tinggalan pemerintahan Belanda
yang sampai sekarang tanah tersebut tidak bisa disertifikatkan dan
oleh masyarakat dan pemerintah banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan umum seperti pasar, Masjid, Gereja atau fasilitas-
fasilitas umum yang lain.
Tempat-tempat legendaris
Sumber Buntung
Kata buntung dalam bahasa Indonesia berarti putus tidak
kelanjutannya atau tidak ada sambungannya. Konon nama
sumber Buntung ini juga disinyalir mata airnya tidak ada
sambungan dari mana aliran mata air diatasnya. Mata air ini
letaknya berada di sawah desa Mojogeneng paling timur tidak
jauh dari pemakaman umum desa Mojogeneng, untuk mencari
tempat tersebut tidak sulit karena dari jauh nampak jelas
dengan ditandai pohon besar yang kelihatan berdiri tegak
ditengah-tengah sumber tersebut, mata air di tempat pada
awalnya cukup besar namun sejak dilakukan pengeboran tak
jauh dari tempat tersebut mata airnya menjadi kecil. Tempat ini
bagi masyarakat Mojogeneng menyimpan cerita-cerita mistik,
diantaranya terdapat ular yang sangat besar yang nampak pada
saat-saat tertentu bahkan zaman dulu tidak jarang petani yang
sedang mengairi sawah melihat wujud dari ular tersebut namun
kemunculannya tidak sampai menyakiti ataupun menggganggu
masyarakat. Meski tempat ini menyimpan cerita mistik namun
bagi masyarakat Mojogeneng tidak begitu menakutkan, bahkan
karena di tempat ini terdapat banyak ikan meski tidak diketahui
dari mana asal muasalnya karena tidak ada sambunganya dari
sungai mana sehingga tempat ini menjadi tujuan favorit untuk
mencari ikan, semisal ikan wader, lele, belut namun tidak
sedikit ikan Gatul yang yang lazimnya hidup di sungai-sungai
yang mengalir.
Sumber kembar
Sumber kembar adalah mata air yang bentuk dan ukuranya
mirip dan posisi serta berjajar dengan jarak sekitar 15 meter
sehingga mata air ini dinamakan sumber kembar, sumber tersebut
berada di sawah paling utara perbatasan antara sawah desa
Mojogeneng dan desa Tambang. Legenda sumber mata air ini juga
tidak jauh berda dengan serunya dengan mata air-mata air lain
yang tentunya dari segi mistiknya. Menurut kebanyakan
masyarakat yang punya aktifitas ke sawah, bahwa di mata air
tersebut ada seekor ular besar yang tentunya bukan ular biasa dan
tidak jarang menampakkan diri namun tidak sampai menyakiti
masyarakat. Konon menurut orang pintar yang masih penduduk
Mojogeneng bahwa ular tersebut tidak hanya membawa petaka
pada seseorang sejauh tidak diganggu keberdaannya. Sebagaimana
sumber Buntung tempat ini juga terdapat banyak ikan, namun
tidak banyak orang berani masuk ke dalam posisi mata air karena
dilihat dari luar saja sudah menampakkan keangkerannya yang
oleh masyarakat disebut dengan istilah sintru.
Sumber buntung Nampak dari jauh
Sumber Wak Mat (Pak Mat)
Mata air ini dinamakan Sumber Pak Mat karena posisi
sumber tersebut berada di sekitar tanahnya Pak Mad, disamping
mempunyai cerita yang sama dengan sumber-sumber yang lain, di
sumber Pak Mat ini masih menurut cerita orang pintar juga
terdapat benda-benda antik semisal batu merah delima, besi
kuning namun tidak ada yang berani mengambilnya konon karena
sudah dikuasai dan dijaga oleh mahluq ghaib.
Sebagaimana sumber-sumber yang lain tempat ini juga
terdapat banyak ikan, meski terdapat cerita mistik namun tidak
menghalangi anak-anak kampung untuk mencari ikan di sini hal
itu karena tempatnya tidak menampakkan kemistikanya.
Makam Boriyah
Istilah Boriyah adalah nama seorang orang lelaki dan
perempuan yang bernama Pak Bor dan Nyai Iyah yang meninggal
di sawah perbatasan antara Mojogeneng dan Tampung Rejo
akhirnya tempat tersebut ppuler dengan sebutan makam Boriyah.
Kedua orang tersebut berjasa dalam pembukaan lahan sebagai
cikal bakal desa Tampung Rejo. Sebuah desa yang posisinya
sebelah utara desa Mojogeneng dan masuk wilayah Kecamatan
Puri, namun anehnya keberadaan makam Boriyah berada di atas
wilayah desa Mojogeneng. Konon Menurut cerita, kenapa makam
Boriyah berada di wilayah tanah Mojogeneng. Menurut cerita yang
sudah diyakini masyarakat bahwa setelah Mbah Onggo Yudho
telah menetapkan batas wilayah Mojogeneng yang telah beliau
babad kemudian di batasi dengan ilmu kebatinan, konon menurut
cerita kemudian Mbah Boriyah memasuki wilayah tersebut hal ini
penyebab sakitnya Mbah Boriyah yang sampai mengakibatkan
beliau meninggal dunia dan di tempat itu pula lantas beliau di
makamkan.
Babakan Sibung
Babakan adalah istilah tempat di sungai yang dijadikan
sebagai jujukan mandi, sedangkan Sibung adalah nama seorang
warga Mojogeneng pada tahun 40-an yang mempunyai kelebihan
dalam hal ilmu kebatinan, kesaktian dalam hal mengusir mahluq
halus, bagi orang-orang tua Mojogeneng Pak Sibung pada saat itu
memang terkenal kehebatannya, disamping tidak pernah tidur
malam, beliau juga terkenal jago dalam masalah menghadapi
bangsa halus. keberadaan posisi rumahnya sebelah utara Masjid,
namun sisa-sisa peninggalan rumahnya tidak ada bekasnya.
Menurut keyakinan sebagian masyarakat Mojogeneng bahwa siapa
saja yang menempati daerah bekas tempat tinggalnya Pak Sibung
harus kuat riyadhoh (tirakat: kuat tidak tidur, puasa dll). Kalau
tidak kuat riyadhoh maka harus siap untuk di ganggu mahluq-
mahluq halus, hal ini karena pada masa hidupnya Pak Sibung
beliau banyak menanam tumbal untuk menghalau atau
menetralisir mahluq halus yang sering menggodanya.
Babakan sibung yang oleh masyarakat Mojogeneng dikenal
dengan istilah kali sibung berada di utara Masjid Minhajul Abidin
dan sampai sekarang babakan itu masih di manfaatkan oleh
masyarakat sekitar untuk mandi ataupun yang lain.
Kali Kedung
Istilah kali kedung ini terdapat di dua tempat, 1). Berada di
lingkungan RT 11. 2). Berada di lingkungan RT 15. Khusus yang
berada di RT 11 diyakini masyarakat tempatnya menyimpan cerita
ghaib. Bahkan Jin yang menghuni kali kedung ini tidak segan-segan
merasuki masyarakat yang dianggap mengganggu ketenangannya
atau mungkin menggoda warga yang mempunyai sikap tidak
wajar. Bahkan ketika ada salah seorang warga yang kerasukan Jin
masyarakat meyakini Jin Kali Kedunglah yang merasuki.
Beda lagi dengan Kali Kedung yang berada di RT 15, tempat
ini memang banyak yang meyakini menganggap sedikit angker
namun, kejadian-kejadian yang pernah terjadi hanya sebatas
menggoda masyarakat yang sedang mandi ke Kali, menurut
masyarakat sekitar biasanya menggodanya dengan suara-suara
aneh tetapi bentuk fisiknya tidak nampak, dengan kejadian
tersebut mengakibatkan warga merasa takut ke sungai.
Mengenai istilah Kali Kedung karena Kali tersebut
bentuknya agak sedikit dalam sehingga mengakibatkan jumlah air
menjadi lebih banyak dari pada posisi air di atas atau di bawahnya
sehingga tempat tersebut dinamakan kedung atau agung (baca:
penuh / banyak).
Lembaga-lembaga social
A. Lembaga pendidikan
Mojogeneng meskipun jaraknya jauh dari kota, para tokoh
dan masyarakat Mojogeneng sangat peduli terhadap pendidikan,
bahkan Mojogeneng bisa dibilang sebagai desa berbasis
pendidikan, hal ini bisa dilihat dengan lengkapnya lembaga
pendidikan yang yang ada, mulai TK (TK Darma wanita dan TK
Muslimat), SDN, MI, MTS, Aliyah, SMP, SMA, madrasah Diniyah dan
yang tidak kalah menarik di Mojogeneng berdiri beberapa
pesantren yang menjadi rujukan para masyarakat Mojokerto dan
sekitarnya yang ingin mendalami ilmu pengetahuan agama
misalnya:
1. Pesantren Bidayatul Hidayah
Pesantren Bidayatul Hidayah berdiri sekitar tahun 40-an
yang di dalamnya terdapat beberapa asrama / komplek,
pendidikannya mulai dari tingkat TK, MI, MTs sampai Aliyah
sekolah setingkat SLTA, diniyah dll.
2. Pesantren Majmaal Bahroin (Al Maba)
Pesantren Al Maba berdiri pada pertengahan tahun 2000.
Berdirinya pesantren ini semakin memperlengkap keberadaan
lembaga pendidikan di Mojogeneng karena di dalamnya ada
lembaga pendidikan SMP, SMA serta SMK termasuk juga program
kegamaan seperti diniyah Al Maba.
Bahkan yang patut dibanggakan di tengah-tengah
masyarakat juga banyak bermunculan komunitas-komunitas
tempat belajar informal, seperti TPQ, kelompok-kelompok
bimbingan belajar ataupun tempat-tempat belajar yang lain.
B. Lembaga Keagamaan
Sebagai desa yang sejak dulu terkenal dengan penduduknya
yang agamis dan berkarakter santri, di desa Mojogeneng
setidaknya terdapat 14 mushalla dan 2 Masjid (termasuk dusun
Pehngron), dan semuanya aktif dalam menjalankan kegiatan
keagamaan. Diantara nama-nama mushalla dan Masjid tersebut
adalah:
Masjid Minhajul Abidin
Masjid Minhajul Abidin
berdiri pada tahun 1927 M
berdasarkan tulisan yang terter
di kayu, dibangun diatas tanah
wakaf dengan luas kurang lebih
30x20 cm. berada dilingkungan RT 15 RW 03, Masjid ini dibangun
atas inisiatif tokoh-tokoh masyarakat, konon pada awalnya masjid
ini dibangun dengan kayu dari langgar tengah.
Pada mulanya ketika
Masjid Minhajul Abidin
belum di rehab yang
terakhir pada tahun 2001
bangunannya sangat
sederhana berbentuk
empat bujur sangkar yang
di topang empat tiang
sebagai sokoguru sebagaimana Masjid-Masjid kuno lainnya,
namun kini kondisinya sudah berubah drastis baik luas, bentuk
maupun arsitekturnya. Ide merenovasi Masjid tersebut bukan
tanpa alasan, tapi atas pertimbangan yang matang dari sebagian
besar masyarakat diantara alasannya adalah karena semakin
banyaknya jamaah khusunya pada saat shalat jum’at dan
tempatnya dirasa kurang memadai untuk menampung para
jamaah tersebut, hal ini karena yang shalat jum’at bukan hanya
warga Mojogegeneng saja namun para santri Pondok Pesantren
yang datang dari berbagai daerah.
Masjid Baiturrahman
Masjid Al Azhar Pehngaron merupakan kategori Masjid
bersejarah dan di bangun sekitar 1918 M. di atas tanah Eigendom
dua puluh delapan tahun sebelum Indonesia merdeka, dan
posisinyapun stretegis karena di pinggir jalan raya, bahkan di area
masjid ini juga dulunya pernah terdapat kantor KUA, sehingga
posisi pejabatan KUA pernah di jabat masyarakat dusun
Pehngaron sampai tujuh kali.
Mushalla Al Hidayah
Mushalla Al Hidayah berdiri sekitar tahun 1933 di atas
tanah waqaf berada lingkungan RT 04 RW 03, pada awalnya
mushalla ini di bangun dengan sangat sederhana menggunakan
bahan total dari kayu dengan bentuk angkringan, bangunan
MMasjid Minhajul Abidin di bangun pada tahun 1927 M
Masjid Baiturrohman di bangun pada tahun 1918 M
semacam ini lazim terjadi pada bangunan mushalla pada masa lalu
hal ini karena saat itu masih sulitnya mencari bahan material
bangunan disamping minimnya biaya, namun seiring dengan
perjalanan waktu pada tahun 1965 dengan swadaya masyarakat
mushalla ini di renovasi dengan bentuk bangunan permanen dan
rehab ulang pada tahun…...
Mushalla Al Muqorrobin
Mushalla Al Muqorrobin didirikan pada tahun 1993 diatas
tanah milik pribadi. mushalla ini usianya paling muda di antara
seluruh mushalla yang ada di Mojogeneng, berada di lingkungan
RT 08 RW 03. Pada mulanya mushalla ini adalah bangunan rumah
kosong yang sudah tidak di huni, atas inisiatif pemiliknya
bangunan tersebut di bongkar total dan dibangun untuk fungsikan
sebagai mushalla. Kemudian pada tahun 2009 resmi menjadi
mushalla tanah waqaf.
Mushalla Darun Na’im
Mushalla Darun Na’im di dirikan kurang lebih pada tahun
1962 M. Mushalla ini pada mulanya berada di desa Candi Dinoyo
berbentuk angkringan terbuat dari bambo, kemudian entah apa
alasannya mushalla ini di angkat dan pindah ole Bapak Amari ke
Mojogeneng dan di dirikan di atas tanah milik kerabatnya yang
berada di lingkungan RT 08 RW 03. Mushalla yang awal mulanya
berbentuk angkringan sebagaiman mushalla Al Hidayah dengan
bentuk sederhana, kemudian karena sudah tidak layak untuk di
gunakan kemudian pada tahun sekitar tahun 1970 di rehabilitasi
dengan bentuk permanen namun hanya sebagian dan di
sampurnakan lagi pada tahun 1984.
Mushalla Darun Nikmah
Mushalla Darun Nikmah di dirikan sekitar tahun 1962 di
atas tanah wakaf berada dilingkungan RT 09 RW 03. Sejak awal
berdiri sudah berbentuk permanen dan tidak ada mengalami
banyak perubahan sampai sekarang.
Mushalla balai desa
Mushalla balai desa didirikan pada tahun 2002. berada di
lingkungan balai desa. didirikannya mushalla ini salah satu
tujuannya adalah melengkapi infrastruktur di lingkungan kantor
PEMDES sebagai fasilitas ibadah para perangkat termasuk juga
masyarakat sekitar balai desa. Sebagai desa yang mayoritas
berpenduduk santri mushalla ini sangat penting sebagai symbol
karakter masyarakatnya.
Mushalla P. Mukiyi
Mushalla di dirikan sekitar tahun 1970 di atas tanah milik
pribadi berada dilingkungan RT 10 RW 03 belakang sekolah SDN.
Sebagamana mushalla tua yang lain dulu bangunannya juga
berbentuk angkringan kemudian direhabilitasi pada tahun 80-an
dan direhab ulang pada tahun 90-an.
Musahalla Darul Hasan
Mushalla Darul Hasan dirikan sekitar tahun 1944 diatas
tanah wakaf, dulunya mushala ini terkenal dengan sebutan
mushalla Pak Mudin karena waktu itu yang Pak Mudin tinggal di
samping mushalla tersebut. Sebagaimana mushalla yang lain,
mushalla ini juga dulunya sangat sederhana kemudian di renovasi
pada tahun 1966 dan di rehab ulang pada tahun 2008.
Mushalla Baitul Makmur
Mushalla Baitul Makmur pada awalnya adalah mushalla
milik H. Abdur Rahman di desa Pehngaron karena tidak begitu
maksimal jamaahnya kemudian mushalla ini karena bentuk
angkringan kemudian di pindah ke Mojogeneng sekitar pada tahun
1934 da atas tanah wakaf dengan luas kurang lebih 7X6 cm,
mushalla ini berada di lingkungan RT 11 RW 03. Tidak mau
ketinggalan dalam hal fastabiqul khoirot mushalla inipun akhinya
di renovasi dengan bentuk permanen sekitar pada tahun 1980 dan
reha ulang pada tahun 2008.
Mushalla Al Ghozali
Mushalla Al Ghozali di bangun pada tahun ……………di atas
tanah milik pribadi. Mushalla yang kini berada di dalam pesantren
Bidayatul Hidayah koplek Al Ghozali jauh sebelum ada pesantren
mushalla ini sudah ada, kini mushalla tersebut telah menjadi
fasilitas pesantren dan sudah mengalami beberapa renovasi.
Mushalla An Naim
Mushalla An Naim berdiri tahun 1962 namun awalnya
lokasinya agak ke timur kira 30 M sebagaimana mushalla yang lain
mushalla ini dulunya juga berbentuk angkringan terbuat dari kayu.
kemudian pada tahun 1978 setelah terpilihnya Bapak Ali Ainan
sebagai lurah Mojogeneng kemudian mushalla di pindah di posisi
yang sekrang ini di atas tanah hasil pembelian yang dibiayai oleh
desa kemudian dibangun secara permanen, lokasi berada
lingkungan RT 12 RW 03. Seiring perjalanan waktu pada tahun
2007 dengan swadaya masyarakat mushalla ini di renovasi dengan
bentuk bangunan seperti sekarang.
Mushalla Langgar Tengah (Mojogeneng)
Mushalla Langgar Tengah di bangun sekitar tahun 1861 M
berdasarkan pahatan angka yang ada di kayu dan tiang bedug.
Mushalla ini didirikan oleh Mbah Asdarib salah satu sesepuh
masyarakat Mojogeneng di atas tanah pribadi dengan luas sekitar
kurang lebih 8X 12 M, berada lingkungan RT 12 RW 03, bagi
masyarakat Mojogeneng mushalla ini merupakan mushalla
legendaris karena disamping bangunannya sudah tua, mushalla ini
dulunya juga menjadi sentral tempat mengaji baik remaja
Mojogeneng maupun anak luar desa Mojogeneng. Mengenai nama
Langgar Tengah karena mushalla ini di anggap berada di tengah-
tengah desa, meskipun secara geografis mushalla ini posisinya
tidak terlalu persis di tengah-tengah desa, karena sejak awalnya
memang sudah terkenal dengan sebutan Langgar Tengah sehingga
sampai sekarangpun nama itu tetap melekat. Mushalla ini
beberapa kali mengalami renovasi pada tahun 1932, 1986, 2007.
Mushalla Al Amin
Mushalla Al Amin di bangun sekitar tahun 1940-an diatas milik
pribadi dengan luas tanah kurang lebih 8X8 Cm berada
dilingkungan RT 13 RW 03. Mushalla ini awalnya tidak jauh beda
dengan mushalla lama yang lain yakni angkringa, kemudian sekitar
tahun 70-an direnovasi dengan bentuk bangunan permanen, dan
sekitar tahun……… melalui dana dari seorang dermawan mushalla
inipun direhab ulang.
Mushalla Darun Nikmah
Mushalla Darun Nikmah berada paling ujung desa
Mojogeneng ini termasuk kategori tanah milik pribadi dengan luas
tanah sekitar 9X8 M berada di lingkungan RT 15 RW 03. Tidak
seperti mushalla-mushalla lain yang pernah mengalami berbentuk
angkringan, mushalla ini sejak awal sudah dibangun menggunakan
material dengan bentuk permanen. Direnovasi pada tahun 2010
dan sekarang sudah resmi menjadi mushalla tanah waqaf.
Mushalla Langgar Tengah (Pehngaron)
Mushalla ini berdiri tahun 1918 M. di atas tanah milik
pribadi, secara geografis Mushalla ini berada tepat di tengah dusun
sehingga dinamakan langgar tengah. Pada awalnya bentuk
bangunannya sangat sederhana, namun pada tahun 1984 lantas
direhab dan di rehab ulang pada tahun 2009.
Mushalla NU An Nur (Pehngaron)
Mushalla NU An Nur bardiri tahun 1995 M. di atas tanah
milik pribadi tepat di pinggir jalan raya Pehngaron, sehingga bagi
siapa saja yang bermaksud mencarinya tidak akan mengalami
kesulitan.
Daftar nama Masjid dan mushalla desa MojogenengDan dusun Pehngaron
NoNama Mushalla dan Masjid
TempatBerdiri tahun
Renovasi tahun
1Masjid Minhajul Abidin
Mojogeneng RT 14 / RW 03
1927 M 2001
2Masjid Baiturrohman
Pehngaron
RT 01 /RW 01 1918 M _
3Mushalla Al Hidayah
Mojogeneng RT 04 / RW 02
1933 M 1965,……..
4Mushalla Al Muqorrobin
Mojogeneng
RT 08 / RW 03 1987 M _
5Mushalla Darun Nikmah
Mojogeneng
RT 08 / RW 03 1962 M
1970, 1984
6Mushalla Darun Nikmah
Mojogeneng RT 09 / RW 03
1944 M _
7Mushalla Balai desa
Mojogeneng
RT 10 / RW 032002 M _
8 Mushalla P. Mukiyi Mojogeneng 1970 M 1990, 1990
RT 10 / RW 03
9Mushalla Darul Hasan
Mojogeneng RT 10 / RW 03
1944 M1966, 2004
10Mushalla Baitul Makmur
Mojogeneng RT 11 / RW 03
1934 M 1980, 2008
11Mushalla Al Ghozali
Mojogeneng RT 11 RW 03
12 Mushalla An Naim Mojogeneng RT 12 / RW 03
1962 M1978, 2009
13Mushalla Langgar Tengah
Mojogeneng RT 12 / RW 03 1861 M
1932, 1986, 2007
14 Mushalla Al AminMojogeneng
RT 13 / RW 03 1940-an
15Mushalla Darun Nikmah
MojogenengRT 14 / RW 03
1987 M 2010
16Mushalla Langgar Tengah
Pehngaron
RT 01 / RW 01 1918 M
1984,
17Mushalla An Nur NU
Pehngaron
RT 02 / RW 01 1995 M
1984, 2009
Penutup
Dengan ucapan syukur Alhamdulillah kini buku “sejarah
desa Mojogeneng” telah selesai di tulis. Inti dari penulisan buku ini
adalah semata-mata ingin mengenang para pendahulu kita yaitu
Mbah Onggo Yodho, Mbah Karibun serta Mbah Singo Taruno yang
telah bersusah payah dan penuh keihlasan membuka lahan yang
sekarang telah menjadi desa makmur, damai serta agamis ini.
Dengan ditulisnya sepak terjang ketiga tokoh tersebut
bukan hanya untuk diketahui dan hanya sebatas dikenang saja,
namun yang lebih penting adalah kita bisa mengambil suritaudan
bagaimana kepribadian beliau yang tulus dalam meninggalkan
jejak-jejak jasanya dan kesederhanaan hidupnya. Hal ini karena
beliau sadar bahwa bila waktu telah berakhir teman sejati
hanyalah amal.
Sebagai penutup, saya berharap setelah terbitnya buku ini
kita tidak tergolong orang yang lupa jasa para pendahulunya
sehingga kita bukan kategori orang yang masuk dalam istilah
“kacang yang lupa akan kulitnya”. Karena kita tahu bagaimana
beratnya Mbah Onggo Yudho, Mbah Karibun serta Mbah singo
Taruno dalam merintis desa Mojogeneng yang kita nikmati
sekarang ini, bahkan sedikitpun beliau tidak mengharap sesuatu
dari jerih payahnya kecuali hanya ridha Allah Swt. Terakhir kami
berharap semoga buku ini bisa menjadi amal sholeh yang bisa
mengantarkan kita semua masuk surganya Allah Swt. Amin…
Album foto
1. Makam Mbah singo Taruno beserta istri
2. Makam Mbah Onggo Yudho
3. Makam Mbah Karibun beserta muridnya
4. Makam Mbah Sarbini (menantu Mbah Onggo Yudho), Mbah
Ahmad Suhaimi, Mbah Asyari beserta istri.
5. Lokasi makam Mbah Aminah (istri Mbah Onggo Yudho)
6. Pemakaman Umum Desa Mojogeneng
Nara sumber
Kiai Said (sesepuh masyarakat)
Ahmad Ishaq (sesepuh masyarakat /
putra lurah Kandar)
H. Thayib (mantan kepala desa)
Sofwan (warga masyarakat)
Syuhada’ (sesepuh masyarakat)
H. Aruman (tokoh masyarakat)
Agus. H. Fathoni (tokoh masyarakat)
Mashuda (tokoh masyarakat)
H. Tusawah (tokoh masyarakat)
H. Zainuddin (tokoh masyarakat)
H. Tamim (sesepuh masyarakat)