Transcript
Page 1: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN WAYANG

KULIT DI YOGYAKARTA

David Nugroho Akbar Karsten, Tony Rudyansjah

Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan arena sosial pedalangan wayang kulit Yogyakarta.

Perhatian tentu saja diberikan kepada para dalang wayang kulit di Yogyakarta, khususnya para

dalang yang memiliki dua orientasi gaya pedalangan yang berbeda. Perbedaan orientasi inilah

yang pada akhirnya menjadi dua kekuatan yang memberikan warna di dalam kancah wayang

kulit di Yogyakarta. Walaupun berbeda, keduanya ternyata memiliki perannya masing-masing

yang menguatkan keberadaan wayang kulit di Yogyakarta, dan kemudian menciptakan sebuah

keselarasan. Untuk menjelaskan fenomena tersebut, tulisan ini memuat sejarah dan kondisi saat

ini wayang kulit di Yogyakarta,serta profil dari dua dalang yang menjadi representasi dari

masing-masing orientasi gaya pertunjukan. Data diperoleh selama melakukan penelitian melalui

keterangan yang diberikan oleh beberapa informan, termasuk kedua dalang tersebut. Penelitian

dilakukan di daerah Yogyakarta dalam kurun waktu lebih kurang enam bulan dan teknik

pengumpulan data yang dipakai selama melakukan penelitian adalah wawancara mendalam dan

observasi terlibat dengan mengikuti kegiatan sehari-hari para informan.

Kata Kunci: Dalang; Dualisme; Enkulturasi; Kontemporer; Permintaan Pasar.

ABSTRACT

This Thesis aimed to describe the social arena of Yogyakarta‟s shadow puppetry. The focus is

given to the shadow puppeteers in Yogyakarta, especially to them who have two different

orientations of playing style. These differences, finally, have become two strengths which colored

the arena of Yogyakarta‟s shadow puppet. Even though they are different, they have taken their

own roles that strengthen the existence of Yogyakarta‟s shadow puppet, and made it to be in

harmony. In explaining this phenomenon, this thesis discusses the history and the latest situation

of Yogyakarta‟s shadow puppetry, and the profile of two shadow puppeteers who represent two

different orientations of performance style. The data was obtained from the information shared by

informants during the research, including those two shadow puppeteers. The research was

conducted in Yogyakarta within a period of about six months and to collect the data, the

researcher used in-depth interviews and participant observations by performing daily activities

with them.

Keywords: Puppeteer; Dualism; Enculturation; Contemporary; Demands.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 2: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

PENDAHULUAN

Bagi orang Jawa, wayang mempunyai kedudukan khusus di dalam kebudayaan mereka.

Wayang bukan hanya dapat dilihat sebagai sekedar materialistik kebudayaan orang Jawa,

melainkan juga sudah menjadi sebuah tradisi bagi mereka. Benedict Anderson (2008: 12)

menjelaskan bahwa tradisi wayang merupakan mitologi religius yang diterima hampir secara

universal dan mampu membina suatu keterikatan intelektual dan emosional yang mendalam.

Maksud dari mitologi religius di sini adalah wayang sendiri sudah menjadi bagian dari sistem tata

kehidupan yang diimani oleh orang Jawa. Wayang bukan lagi hanya sekedar cerita tentang pesan

moral dan filosofi kehidupan, namun sudah menjadi sebuah kepercayaan, layaknya sebuah agama

bagi orang Jawa. Selain itu, nilai-nilai dalam pewayangan telah mendarah daging di dalam diri

orang Jawa, yang pada akhirnya terejawantahkan pada setiap tindakan mereka. Oleh karena itu,

berbagai unsur dalam kebudayaan Jawa, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sampai

kepada ritual yang mereka miliki, dapat dilingkupi oleh mitologi tersebut karena sifatnya yang

hampir universal.

Lebih lanjut, Benedict Anderson (2008: 12) mengatakan bahwa mitologi wayang Jawa

adalah suatu upaya untuk menjelajahi secara puitis posisi eksistensial orang Jawa, hubungan-

hubungannya dengan tatanan alam nyata dan dunia gaib, kepada orang lain maupun dirinya

sendiri. Dengan kata lain, tradisi wayang pada orang Jawa melingkupi segala aspek kehidupan

dan terefleksikan dalam tatanan hidup mereka. Di samping itu, Clifford Geertz (1981: 351)

menjelaskan bahwa wayang merupakan seni yang paling tersebar luas, yang paling berakar

dalam, paling dielaborasi secara filosofis dan religius di Jawa. Inilah yang membuat wayang Jawa

menjadi selalu menarik untuk siapapun yang ingin menyelami dan memahaminya.

Bila berbicara mengenai wayang Jawa, maka hampir seluruhnya mengacu pada satu

bentuk wayang yang paling populer di Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu wayang kulit.

Wayang kulit selalu memiliki caranya tersendiri untuk menarik perhatian para pecintanya, baik

dari sisi pertunjukannya, maupun di luar pertunjukannya. Layaknya sebuah pagelaran wayang

kulit, semua diserahkan kepada penonton, apakah mau menonton dari depan layar, di balik layar,

atau bahkan selalu berputar untuk menonton dari kedua sisi.

Wayang kulit adalah sebuah tontonan yang sarat dengan pesan-pesan moral dan refleksi

kehidupan manusia. Hal tersebut menjadikannya bukan hanya sebagai sekedar hiburan semata,

tetapi juga dapat menjadi guru bagi penontonnya. Inilah yang membuat wayang kulit selalu dapat

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 3: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

bertahan di dalam gempuran jaman dari awal sampai pada saat ini. Di tengah perkembangan

teknologi yang begitu pesat, di mana kebutuhan akan hiburan dapat dipenuhi dengan begitu

mudahnya, wayang kulit masih memiliki tempat di hati para penggemarnya dan bahkan masih

dapat menarik perhatian banyak orang untuk menontonnya. Mungkin pertunjukan seperti ini yang

harusnya menjadi konsumsi manusia saat ini, sebuah hiburan yang dapat menuntun mereka ke

dalam sebuah kebijaksanaan.

Kemudian yang perlu disampaikan di sini adalah bahwa wayang kulit bukanlah benda

hidup yang dapat menghadirkan pesannya dan bermain sendiri menuruti cerita yang sudah

ditentukan. Wayang kulit dikendalikan oleh seorang sutradara, yang berperan sebagai pengatur

cerita, penggerak wayang, dan dirigen dari setiap alunan musik yang dibawakan dari seperangkat

gamelan. Oleh karena itu, orang tersebut dipanggil dengan sebutan dalang. Dalang adalah sang

penguasa tunggal di dalam sebuah pertunjukan wayang. Seperti halnya Tuhan, dalang adalah

yang maha kuasa dan tidak ada satupun yang dapat mengalahkannya bila sudah berada di atas

panggung.

Dalang merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam sebuah pertunjukan

wayang. Tanpa seorang dalang, wayang-wayang tersebut hanya akan berupa benda mati yang

tidak berdaya, begitu pula dengan unsur-unsur lainnya yang ada di dalam sebuah pertunjukan,

semuanya menjadi tidak berarti. Peran penting seorang dalang, bukan hanya sebagai pemimpin

pertunjukan dan penggerak dari wayang, melainkan juga sebagai penyampai pesan, ajaran moral,

etis maupun filosofis kepada para penontonnya. Dalang adalah seorang guru yang memiliki

tanggung jawab besar dalam menyampaikan banyak hal.

Pada kenyataannya, saat ini banyak dalang yang sudah tidak mementingkan atau tidak

menyadari akan tanggung jawab tersebut, sehingga pertunjukan wayang akan terlihat menjadi

sebuah pertunjukan hiburan saja tanpa ada pesan yang dapat ditangkap. Kalaupun ada, mungkin

pesan itu datang dari cerita yang sudah dibuat sejak dahulu, atau dari makna simbolis di balik

pertunjukan wayang itu sendiri, bukan dari kebijaksanaan sang dalang. Nampaknya, hal ini sudah

menjadi sebuah kekhawatiran sendiri di antara para dalang yang masih menyadari tugasnya

sebagai penyampai pesan.

Semenjak pecahnya Mataram yang terbagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta pada tahun

1755, banyak perubahan yang terjadi di kedua wilayah tersebut, di antaranya adalah terpecahnya

kelompok-kelompok dalang sebagai imbas dari perpecahan yang terjadi. Setelah itu, banyak

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 4: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

perubahan yang terjadi pada arena pedalangan di Surakarta dan di Yogyakarta. Masing-masing

pihak mencoba untuk mencari karakternya yang sesuai dengan jati diri mereka. Kemudian,

perubahan jaman yang terjadi tentunya juga turut memaksa para dalang untuk dapat

menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan kondisi yang ada.

Tekanan ini disadari betul oleh banyak dalang baik di Surakarta, maupun di Yogyakarta.

Mereka mulai memasukkan unsur-unsur „kekinian‟ di setiap pementasan wayang kulit. Hal itu

tercermin di dalam pertunjukan wayang yang mereka tampilkan dengan porsi hiburan yang lebih

menonjol dan memasukan lebih banyak aksi di dalamnya.

Saat arena pedalangan di Surakarta terlihat lebih adaptif dengan perubahan jaman,

rupanya hal ini masih menjadi polemik di dalam arena pedalangan di Yogyakarta. Bagi segelintir

dalang di Yogyakarta, mereka tetap memilih untuk mempertahankan kemurnian wayang kulit

Yogyakarta sesuai dengan aturan yang sudah ada sejak dulu, dan menentang kehadiran dalang

yang terlalu mementingkan unsur hiburan di pertunjukannya.

Para dalang pun akhirnya ditantang kembali oleh persaingan-persaingan yang terbentuk di

antara sesama dalang. Persaingan yang terbentuk antara dalang yang masih menjaga aturan yang

ada dan dalang yang mencoba untuk melakukan inovasi membuat arena wayang kulit Yogyakarta

semakin memanas. Dua kubu ini, secara umum memperdebatkan konsistensi di antara sesama

dalang untuk menjaga tradisi wayang kulit di Yogyakarta. Perdebatan ini dimulai ketika banyak

dalang-dalang yang muncul saat ini dianggap membawa lebih banyak memerhatikan unsur

hiburan dan mulai melupakan ajaran atau aturan yang diwariskan oleh para pendahulunya.

Kekhawatiran ini memang cukup beralasan, apalagi jika melihat bahwa dalanglah yang

memegang kunci regenerasi, bukan hanya secara fisik, tetapi juga perannya dalam meneruskan

pewayangan dan pedalangan di Yogyakarta.

Pada akhirnya, dalang wayang kulit di Yogyakarta dapat dikatakan terbagi menjadi dua,

yaitu dalang pakem dan dalang kontemporer. Kedua kategori dalang inilah yang akan menjadi

fokus di sini untuk melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam arena pedalangan

wayang kulit di Yogyakarta saat ini.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 5: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

TINJAUAN TEORITIS

Dualisme

Dualisme secara umum diartikan sebagai dua kondisi yang berbeda, hidup berdampingan

dalam masyarakat pada satu waktu yang bersamaan, satu bersifat superior dan lainnya bersifat

inferior, dalam beberapa hal saling bertentangan (Boeke, 1953). Pernyataan tersebut berasal dari

penelitian Boeke di Indonesia yang melihat kelompok masyarakat dengan sistem sosial modern

hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat tradisional. Menurutnya dualisme sosial ini

saling bertentangan karena di satu sisi sistem sosial modern dianggapnya rasional dan masyarakat

tradisional masih emosional.

Clifford Geertz juga memakai istilah „dual‟ untuk merujuk pada teori yang dipakai oleh

Boeke sebelumnya mengenai ekonomi Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Geertz sendiri

mengartikan dualisme itu sebagai satu hal yang memiliki „dua muka‟ (Geertz, 1976: 52).

Melalui pemaparan di atas, saya menyimpulkannya ke dalam sebuah bentuk umum di

mana istilah dualisme sendiri digunakan untuk menggambarkan dua sistem kehidupan berbeda

yang ada di dalam satu kehidupan masyarakat. Kemudian, dari konsepsi mengenai dualisme yang

seperti itu, maka saya mencoba untuk menempatkan istilah dualisme itu di sini dalam rangka

menunjukan „keduaan‟ yang dimiliki oleh gaya pedalangan wayang kulit di Yogyakarta.

Dualisme ini tercermin di dalam gaya pedalangan yang dibawakan oleh para dalang yang terbagi

menjadi dua, yaitu dalang pakem dan dalang kontemporer.

Sebelum menariknya kepada gaya pedalangan yang dibawa oleh masing-masing dalang,

ada hal yang harus dipahami terlebih dulu mengenai dualisme pandangan dunia Jawa. Pandangan

dunia Jawa memiliki dualisme yang bertolak dari suatu distingsi antara dua segi fundamental

realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi itu bersatu di dalam diri manusia. Lahir

manusia terdiri atas tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, omongannya, dan sebagainya.

Sedangkan batin menyatakan diri dalam kehidupan kesadaran subjektif. Oleh karena itu, lahir

atau alam luar dianggap bersifat kasar dan batin, kenyataan dalam manusia, secara hakiki bersifat

halus. (Magnis-Suseno, 1985: 117).

Inilah yang terlihat di dalam gaya pedalangan yang dibawakan oleh dalang pakem dan

dalang kontemporer. Dalang pakem dianggap lebih halus dan lebih teratur, sedangkan dalang

kontemporer dilihat sebagai dalang yang urakan, nyeleneh, dan sembarangan. Jadi, dapat dilihat

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 6: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

bagaimana dalang pakem digambarkan sebagai dalang yang „batiniyah‟ dan dalang kontemporer

yang bersifat „lahiriyah‟.

Menyangkut konsepsi dualisme mengenai lahir dan batin yang disampaikan oleh Magnis-

Suseno di atas, hal yang senada juga pernah dijelaskan oleh Talcott Parson dalam menjelaskan

pemikiran Kantian yang memiliki dualisme radikal dalam perhatiannya untuk melihat manusia.

Menurut Parson, manusia adalah a physical body sekaligus juga a spiritual being di saat yang

bersamaan (Parson, 1968: 474). Sebuah pertunjukan wayang kulit juga dapat dianalogikan seperti

layaknya seorang manusia yang memiliki physical body sekaligus menjadi spiritual being. Ini

terkait dengan fungsi pertunjukan wayang kulit yang bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga

tuntunan. Begitu pula dengan gaya pedalangan setiap dalang, ada yang cenderung dominan

kepada tontonan atau aspek hiburannya, dan ada yang selalu menjaga agar tuntunannya selalu

tersampaikan dengan mematuhi setiap aturan yang telah ditentukan.

Lebih lanjut, untuk menjelaskan bagaimana dualisme gaya pedalangan tersebut dapat

terjadi di dalam arena pedalangan wayang kulit di Yogyakarta, maka saya melihat arena wayang

kulit di Yogyakarta sebagai sebuah pasar. Saya melihat arena wayang kulit di Yogyakarta sebagai

pasar karena wayang kulit sebagai sebuah pertunjukan dapat dikatakan sebagai salah satu

komoditas di dalam dunia kesenian. Sebagai sebuah pasar, permintaan pasar dan kebutuhan

(needs) yang muncul dapat mempengaruhi secara signifikan produksi sebuah komoditas. Oleh

karena itu, saya akan menjelaskan mengenai permintaan pasar dan needs untuk memahami hal

tersebut.

Permintaan Pasar dan Needs

Pada umumnya dalam pengertian dasar, pasar adalah tempat bertemunya antara

penawaran dan permintaan suatu barang, jasa atau faktor produksi tertentu. Namun dalam arti

sempitnya pasar adalah tempat di mana barang dan jasa diperjualbelikan, sedangkan dalam arti

luasnya adalah proses terjadinya pembeli dan penjual melakukan transaksi untuk menentukan dan

menetapkan kesepakatan bersama. Di titik inilah permintaan (demand) akan bertemu dengan

penawaran (supply) yang mempengaruhi produksi dari sebuah komoditas tersebut.

Permintaan adalah berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta pada berbagai waktu

dan tempat tertentu, sedangkan yang dimaksud sebagai penawaran adalah jumlah barang dan jasa

yang ditawarkan/diproduksi pada berbagai waktu dan tempat tertentu. Kemudian, menurut Marx,

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 7: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

komoditas adalah satu benda atau objek yang dengan segi-segi yang dimilikinya akan

memuaskan atau memenuhi keinginan manusia (human wants) (dalam Rudyansjah, 2011: 172).

Keinginan-keinginan manusia inilah yang disebut sebagai permintaan, sehingga dalam

skema pasar, produksi akan terjadi ketika adanya permintaan yang muncul dari pasar. Permintaan

tidak hanya muncul melalui keinginan-keinginan yang timbul, tetapi juga melalui kebutuhan-

kebutuhan (needs) yang ada. Produksi suatu hal memerlukan kebutuhan-kebutuhan hidup, karena

tidak ada seorangpun dapat dicekoki dengan produk-produk masa datang, dengan nilai-nilai pakai

(kegunaan) yang produksinya belum diselesaikan (Engels, 2007: 23).

Penjelasan di atas berguna untuk melihat bagaimana perkembangan yang terjadi di dalam

arena wayang kulit di Yogyakarta yang pada awalnya seluruh gaya pedalangan mengikuti pakem,

perlahan-lahan berubah dan memunculkan pertunjukan wayang kulit kontemporer.

Perkembangan jaman memunculkan permintaan pasar dan kebutuhan penonton terhadap sebuah

bentuk baru gaya pedalangan wayang kulit di Yogyakarta.

Permintaan pasar inilah yang disikapi secara berbeda-beda oleh para dalang di

Yogyakarta. Respon yang berbeda diperlihatkan oleh para dalang. Di satu pihak, ada kelompok

yang mengafirmasi permintaan pasar, dan di lain pihak ada kelompok yang menentang

permintaan pasar tersebut. Kemudian, untuk menjelaskan respon yang muncul terhadap

permintaan pasar ini, saya akan menjelaskannya melalui konsep tindakan (action).

Action

Manusia bukanlah makhluk pasif yang begitu saja dipengaruhi oleh apa yang terjadi di

lingkungan mereka. Namun, manusia juga dapat merespon segala sesuatu yang berasal dari luar

mereka secara beragam. Respon yang muncul dari setiap manusia juga dipengaruhi oleh tujuan-

tujuan atau motivasi yang dimiliki oleh manusia. Tujuan atau motif inilah yang pada akhirnya

diperlihatkan dan diwujudkan ke dalam tindakan.

Ada tiga proposisi yang dikatakan oleh Levison terkait dengan tindakan (action), yaitu:

“The action is the same event as the bodily motion; a description of the action differs in meaning

from the description of the identical bodily motion; and action descriptions refers to the bodily

motion (or omission) under its intentional description for the agent or for a member of a certain

society” (Levison, 1974).

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 8: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

Mengacu pada proposisi yang diajukan oleh Levison di atas, tujuan atau intention menjadi

salah satu fokus perhatian yang penting dalam menjelaskan tindakan seseorang. Dalam hal ini,

tentu saja tindakan yang diambil oleh para dalanglah yang dilatarbelakangi oleh tujuannya. Akan

tetapi, tidak semua perbedaan tujuan juga menyebabkan perbedaan tindakan yang diambil, atau

sebaliknya. Terkadang satu tujuan yang sama dapat dipahami secara berbeda dan diwujudkan

dalam tindakan-tindakan yang berbeda pula.

Bertolak dari hal itulah, maka tujuan dari setiap individu pun memengaruhi pilihan

rasional individu untuk membangun strategi yang tepat, seperti ungkapan Parker dkk. (2003: 18),

“Rational individuals acquire the relevant information and know what to do with it to construct

their strategies to achieve their goals.” Perbedaan pilihan rasional individu inilah yang turut

memengaruhi tindakan sebagai hasil akhirnya. Pilihan rasional individu dalam memperoleh

informasi yang relevan dengan tujuan yang ingin dicapai berfungsi untuk mengetahui tindakan

yang dilakukan. Untuk kasus di sini, para dalang memiliki pilihan rasional individu yang berbeda

untuk menyikapi permintaan pasar yang muncul dan diejawantahkan di dalam tindakannya (baca:

gaya pedalangannya).

Namun, pilihan rasional individu tidak berdiri begitu saja dalam menentukan tindakan

yang diambil oleh para dalang. Pola penanaman nilai yang berbeda juga memberikan

pengaruhnya dalam menentukan tindakan yang diambil oleh para dalang. Nilai-nilai dan

pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh para dalang menjadi penting untuk dilihat. Hal

inilah yang dapat dilihat melalui pola enkulturasi yang dialami oleh para dalang.

Enkulturasi

Penggambaran proses enkulturasi atau pembentukan dalang akan memperlihatkan

kemampuan dan orientasi dalang tersebut, yang nantinya akan tercermin di dalam gaya

pedalangannya. Untuk mencapai pemahaman terhadap itu, maka saya menggunakan konsep

enkulturasi di sini. Beberapa definisi saya jabarkan di bawah ini agar mendapatkan gambaran

yang cukup jelas mengenai enkulturasi.

Pertama, yang perlu ditegaskan di sini adalah pentingnya untuk membedakan antara

pembelajaran mengenai enkulturasi dengan sosialisasi. Seringkali kita terjebak untuk

menyamaratakan arti dari kedua hal tersebut karena kesulitan untuk membedakannya melalui

definisi-definisi yang ada. Enkulturasi berarti serangkaian proses dalam mempelajari budaya

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 9: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

dengan segala keunikan dan kekhasannya. Sedangkan sosialisasi adalah seperangkat nilai-nilai

pasti yang dibutuhkan dan dibuat oleh manusia, untuk manusia sendiri. Menurut Margaret Mead,

Sosialisasi adalah pembelajaran sebagai proses yang universal. Sedangkan enkulturasi adalah

kata yang lebih spesifik, yakni sebagai sebuah proses pembelajaran kebudayaan yang dilakukan

pada suatu masyarakat, pada suatu budaya tertentu (Mead, 1963).

Enkulturasi menurut Herskovitz adalah proses seseorang manusia mempelajari aturan-

aturan dalam kehidupannya baik secara sadar maupun tidak sadar. Proses ini dilakukan tidak

hanya semata-mata sebagai proses adjustment (penyesuaian) dalam kehidupan sosialnya, tetapi

juga untuk pencapaian kepuasan yang menjadi bagian dari pengalaman sosial mereka sehari-hari.

Setiap manusia pasti melalui enkulturasi untuk hidup sebagai anggota masyarakat. Proses dari

enkulturasi di mulai selama masa kanak-kanak. Mereka belajar untuk melihat dan mengondisikan

serta melakukan kebiasaan mereka sehari-hari, seperti makan, tidur, bicara, dan mandi (personal

hygiene). Hal tersebut menjadi suatu yang signifikan dalam mengasah kepribadian serta

membentuk pola-pola kebiasaan yang nantinya akan dilakukan selama proses kehidupan mereka

hingga dewasa (Herskovitz, 1995).

Paul Bohannan mengatakan bahwa budaya itu diciptakan dan terbentuk dari waktu ke

waktu, tetapi kebudayaan itu sendiri dipraktekan dan ”dipertunjukan” (performed) sepanjang

waktu dalam kehidupan. Sekali budaya itu tercipta, maka terjadi juga pengaplikasian secara

konstan menjaga kebudayaan itu sendiri untuk tetap hidup. Melakukan kebudayaan itu adalah

bentuk dari performance, baik itu merupakan proses industri atau bisnis yang kita lakukan selama

durasi pekerjaan manusia. Budaya dapat disimpan ke dalam sebuah bentuk artefak dan penulisan,

sehingga budaya dapat diingat dalam benak manusia. Bagi kehidupan, kebudayaan harus

dipertunjukan secara konstan (dalam Palmer dan Jankowiak, 1996: 225-226).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

Pendekatan ini dirancang untuk memahami masalah-masalah sosial dan kemanusiaan

berdasarkan pada hal yang kompleks, yang digambarkan secara menyeluruh, dibentuk dengan

kata-kata, dilaporkan melalui pandangan mendetail dari informan, dan diadakan pada setting

aslinya (Cresswel, 2003: 1-2). Di samping hal tersebut, pendekatan ini dilakukan karena setiap

ahli antropologi, dipaksa harus bisa menjelaskan secara mendalam berbagai lapisan struktur

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 10: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

pemaknaan yang ada dalam satu kebudayaan, sehingga tulisan etnografi yang dihasilkannya

harus bersifat thick description (Rudyansjah, 2009: 9).

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelitian lapangan untuk dapat

menggali sebanyak mungkin informasi yang dibutuhkan untuk mendukung tulisan ini. Terlebih

lagi, menurut David M. Fetterman dalam bukunya Etnography. Step by Step, penelitian lapangan

(fieldwork) adalah ciri utama etnografi (Fetterman, 1989). Jadi, data akan dikumpulkan dengan

berbagai macam teknik pengumpulan data, di antaranya adalah observasi partisipatif, dan

wawancara. Observasi partisipatif dilakukan untuk mendapatkan sebuah pengalaman yang

mendekati dengan apa yang dirasakan oleh subjek penelitian. John C. Ogbu menjelaskan bahwa

etnografi yang baik memerlukan participant observation yang secara tradisional memang

dipraktekan oleh Antropologi (Ogbu, 1981). Terkait dengan hal tersebut, Ogbu mengutip yang

disampaikan oleh Berreman dimana participant observation mengacu pada praktek hidup di

antara masyarakat yang dipelajari, mengenal mereka, mempelajari bahasa mereka, dan

memahami cara hidup mereka; melalui interaksi intensif dengan mereka dalam keseharian hidup.

Etnografer berdialog, bekerja, menghadiri fungsi sosial dan ritual, mengunjungi, mengundang,

menghadiri banyak situasi, belajar memahami mereka dalam banyak setting dan keadaan jiwa.

Terkadang ia (etnografer) mewawancarai untuk data spesifik, selalu siaga terhadap segala

informasi, siap untuk melakukan follow up dan memahami setiap event atau fakta yang tidak

terantisipasi atau tidak dapat dijelaskan (begitu saja) (Berreman dalam Ogbu, 1981).

Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, karena Yogyakarta merupakan lokasi tempat

masalah penelitian ini ditemukan seperti yang telah disampaikan di awal. Saya tinggal di

Yogyakarta selama beberapa waktu yang tidak ditentukan untuk mendapatkan data lapangan

yang diperlukan untuk merampungkan penelitian ini.

Subjek utama penelitian ini adalah dalang pakem dan dalang kontemporer, sehingga saya

mencoba untuk memilih dua orang dalang yang masing-masing dari mereka cukup

merepresentasikan kedua kategori tersebut. Untuk dalang pakem, saya memilih Ki Mas Lurah

Cermo Sutedjo. Beliau dipilih karena beliau merupakan salah satu dari dua dalang yang dianggap

paling senior di Yogyakarta. Selain itu, beliau adalah dalang yang dikenal sangat teguh

memegang pakem di dalam pertunjukannya. Kemudian, yang membuat saya memutuskan untuk

memilih beliau sebagai representasi dari para dalang pakem adalah karena beliau adalah dalang

pakem yang cukup keras menentang kehadiran dalang kontemporer. Sedangkan untuk dalang

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 11: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

kontemporer, saya memutuskan untuk menjadikan Ki Seno Nugroho sebagai representasi yang

paling ideal, karena beliau merupakan dalang kontemporer yang paling populer saat ini di

Yogyakarta. Beliau juga dianggap sebagai dalang yang menjadi „leader‟ para dalang

kontemporer di Yogyakarta. Walaupun begitu, bukan berarti dalang-dalang lainnya

dikesampingkan. Beberapa dalang lainnya juga turut menjadi informan, hanya saja mereka tidak

dipilih secara khusus, melainkan ditentukan secara acak.

PEMBAHASAN

Menjadi Dalang Pakem

Nama baik keraton Yogyakarta Tidak hanya berada di tangan para petinggi-petingginya,

tetapi juga berada di dalam genggaman setiap abdi dalem-nya. Mengabdikan diri dan menjadi

seorang abdi dalem keraton Yogyakarta berarti juga bertanggung jawab dalam meneruskan

sekaligus menjaga nilai-nilai kekeratonan. Itulah yang selalu dipegang teguh oleh Pak Tedjo

dalam menjalani hidupnya sebagai abdi dalem keraton Yogyakarta. Hal ini dicerminkan beliau

dalam profesinya sebagai dalang wayang kulit. Sebagai seorang dalang wayang kulit, beliau

bertugas untuk menjaga pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta agar tidak menyimpang dari apa

yang sudah ditetapkan oleh keraton Yogyakarta dan para pendahulunya. Sampai saat ini, pakem

tersebut selalu menjadi pedomannya dalam setiap pertunjukan wayang kulit yang dibawakan.

Beliau tidak hanya menerapkan pakem tersebut di dalam pentas wayang kulit, tetapi beliau juga

mengajarkannya kepada murid-muridnya di sekolah dalang keraton, Habirandha.

Pak Tedjo memang dikenal sebagai dalang yang cukup gigih dalam mempertahankan

prinsip dan pendiriannya, baik di mata masyarakat, maupun di dalam pandangan beberapa dalang

lainnya. Gelar dalang keraton yang disematkan kepada Pak Tedjo pun bukannya tidak beralasan,

gelar itu diberikan setelah beliau berhasil membuktikan kesetiaannya terhadap keraton

Yogyakarta selama bertahun-tahun. Pelatihan, pendidikan, dan masa baktinya terhadap keraton,

membuatnya semakin paham akan seluk beluk keraton, khususnya pada gaya pedalangannya.

Beliau telah menguasai dasar-dasar pedalangan atau pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta,

sehingga apabila ada dalang yang menyimpang sedikit saja dari pakem wayang kulit gagrak

Yogyakarta, beliau akan segera tahu.

Bagi Pak Tedjo, tidak mudah untuk menjadi seorang dalang pakem saat ini, karena

banyak sekali desakan-desakan yang muncul untuk menggoyahkan apa yang telah

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 12: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

dipertahankannya selama ini. Beberapa di antaranya adalah desakan untuk mengikuti

perkembangan jaman dan desakan untuk memenuhi permintaan pasar demi mendapatkan tempat

di pasaran. Desakan ini memang diakui beliau sudah sangat sering menghampiri dirinya, namun

beliau tetap teguh dengan pendiriannya, karena beliau memegang amanah dari keraton

Yogyakarta.Walaupun begitu, beliau sangat mengkhawatirkan generasi-generasi penerusnya

nanti, karena banyak dalang-dalang muda yang menyerah dengan desakan tersebut. Selain itu,

pemahaman mengenai pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta yang tidak dikuasai secara

mendalam juga akan mengakibatkan seorang dalang dapat dengan mudahnya terombang-ambing

dideru ombak desakan. Beliau sebenarnya memaklumi perkembangan yang ada di arena

pedalangan wayang kulit Yogyakarta, boleh saja mengikuti pasar atau perkembangan jaman,

namun pakem-nya sendiri tidak boleh dilupakan dan tetap harus dikuasai dengan baik.

“Karena itu perkembangan mas, seni itu adalah berkembang, tidak akan mungkin seni itu

cuma saklek, tidak akan mungkin. Namun, biarpun berkembang, setelah mengetahui

fondasinya atau wewatonnya, setiap ada pertanyaan dia bisa menjawab tepat. Tapi lain,

kalau sudah hura-hura tapi tidak tahu fondasinya, ya lain. Meskipun sudah jadi rumah,

tapi tidak bisa berdiri tegak, karena dia cuma menuruti pasar. Menuruti pasar itu ada dua

macem, memang dia kepingin laku, jadi nurutin pasar, dan ada juga keliatannya dia

nurutin pasar, tapi sebetulnya si dalang tidak menguasai adanya dasar-dasar (pakem)

tersebut. Ya itu perkembangan seni, kalau dikatakan kemajuan ya enggak, itu

perkembangan. Perkembangan dengan kemajuan kan lain, lah kalau sudah ada kemajuan,

ya ada kemunduran, kemunduran itu bagaimana? Kemajuan itu bagaimana? Nek mundur

koyo ngopo? Nek maju koyo piye? Nah ini yang dalang-dalang itu suka lepas kontrol,

adanya hal-hal menuruti pasar.”

Dalam pandangan Pak Tedjo, keadaan seperti ini masih akan berlangsung dalam satu atau

dua tahun ke depan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk dapat mengubah tren pasaran ini

menjadi ke pakem-nya kembali dalam waktu singkat. Pak Tedjo dan dalang-dalang lainnya yang

juga memegang teguh pakem sudah mulai perlahan-lahan mengingatkan para dalang pasar agar

tidak lepas kontrol dan meninggalkan pakem terlalu jauh. Pak Tedjo berharap agar setiap

pertunjukan wayang kulit yang dibawakannya dapat menjadi pengingat bagi mereka yang sudah

mulai menyimpang dari pakem, bahkan tidak jarang beliau pun mengingatkan langsung kepada

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 13: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

mereka saat ada kesempatan untuk bertemu. Selain itu, masyarakat yang menjadi penonton

wayang kulit juga diharapkan memiliki kesadaran untuk ikut bersama menjaga pakem dengan

tidak menuntut dalang untuk menampilkan hiburan yang berlebihan.

Menjadi Dalang Kontemporer

Ki Seno dikenal sebagai salah satu dalang kontemporer yang masih sangat muda dan

dalang yang paling terkenal di Yogyakarta saat ini. Pencapaian ini tentunya sangat mengagumkan

apabila melihat usia beliau yang baru menapaki tahun ke-39. Ketenarannya didapatkan melalui

hasil kejeniusan beliau dalam menempatkan diri di dalam pasar wayang kulit di Yogyakarta.

Beliau dapat membaca apa yang dibutuhkan dan diinginkan dari para penonton di dalam

pertunjukan wayang kulit. Inilah sebabnya beliau sangat digandrungi oleh para pecinta wayang

kulit di Yogyakarta. Permainannya dalam setiap pertunjukan wayang kulit sangat dinantikan oleh

para penonton.

Saat ini Ki Seno telah menjadi pemimpin akan tren gaya pedalangan yang dapat dikatakan

sebagai pemuas hasrat para penonton yang sangat mendambakan hiburan yang lebih di dalam

sebuah pertunjukan wayang kulit. Ini dapat dilihat melalui perjalanannya dari panggung ke

panggung yang tidak segan untuk diduetkan dengan pelawak atau hiburan lainnya di dalam

pertunjukan wayang yang dibawakannya. Akibatnya, banyak dalang muda yang mencoba

mengikuti jejaknya untuk mencapai kesuksesannya dengan memenuhi permintaan pasaran.

Padahal, dulu banyak dalang yang tidak berani untuk berinovasi lebih atau menuruti permintaan

pasar, karena banyak mendapat tentangan dari dalang-dalang yang lebih sepuh, khususnya

mereka yang masih memegang teguh pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta. Semenjak

kemunculan Ki Seno inilah, banyak dalang-dalang yang menjadi lebih berani untuk berinovasi

dan mendengarkan permintaan para penontonnya.

Gaya pedalangan yang dibawa oleh Ki Seno tentu saja mengundang kritik dari mereka

yang sangat memerhatikan pakem. Ki Seno juga tidak merasa sungkan untuk mengatakan kepada

saya bahwa beliau memang kerap kali mendapat teguran dari beberapa dalang pakem. Namun,

hal itu tidak lantas membuat Ki Seno menjadi patah semangat dan beralih kepada wayang kulit

pakem. Ki Seno tetap teguh memegang pendiriannya untuk menjadi seorang dalang kontemporer.

Sifat beliau yang suka “ngeyel” inilah yang kerap kali dianggap sebagai kenakalan beliau sebagai

dalang. Ki Seno pun tidak menampik anggapan bahwa dirinya memang dalang yang nakal.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 14: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

“Kalau tentangan, itu sudah biasa mas. Saya dari awal mendalang memang sudah nakal.

Seperti bocah yang mainnya itu terlalu jauh, tapi dia pulang lagi. Mereka-mereka itu

(dalang pakem) berideologi terlalu kolot. Kalau mereka bilang ini ngerusak pakem, yang

ngerusak pakem itu bagian mana? Yang namanya pakem itu kalau saya, Petruk itu

anaknya siapa? Semar kan? Nah kalau saya bilang Petruk itu anaknya Werkudara itu baru

ngerusak pakem, tapi kan saya tetep lurus aja, saya gak pernah berubah. Cuma saya,

seperti seorang sutradara, harus bisa mengolah cerita semanis mungkin. Kalau cuma itu-

itu saja ya gimana mau laku? Kalau mau tanya dalang paling nakal di Jogja itu siapa? ya

saya itu.”

Ki Seno juga mengakui bahwa beliau memang sering memberi wejangan kepada mereka,

para dalang-dalang muda lulusan dari Institut Seni Indonesia (ISI) dan SMKI Yogyakarta, agar

mereka harus berani berinovasi dalam gaya pedalangannya. Mereka tidak boleh terpaku dengan

yang sudah ada saja, harus terus berinovasi agar kreativitas mereka juga tidak terbatasi.

Menurutnya, jika tidak ada dorongan dari dirinya, mereka akan takut untuk mengembangkan

gaya pedalangannya karena adanya dalang-dalang pakem tersebut. Inilah salah satu bentuk dari

kepedulian Ki Seno kepada para adik-adik kelasnya agar mereka berani untuk mengembangkan

gaya permainannya tanpa harus dibatasi oleh apa yang sudah ada saja.

“Kebanyakan dari adik-adik saya itu, saya lecut, saya suruh, harus mau berinovasi, karena

tanpa berinovasi wayang itu akan membosankan.”

Menjadi seorang dalang kontemporer rupanya membawa sebuah kesenangan sendiri bagi

Ki Seno, karena merasa bebas untuk dapat mengeksplorasi kemampuan mendalangnya tanpa

terhalang oleh batasan-batasan apapun. Beliau pun juga memaklumi jika ada yang menentang

jalan pikirannya dalam mengolah gaya pedalangannya. Semuanya itu wajar, sah-sah saja bila

memang terdapat perbedaan di dalam setiap pemikiran manusia, namun jangan sampai perbedaan

tersebut malah membatasi ruang gerak dari salah satu pihak, atau bahkan sampai merugikan.

“Ada juga sih dalang yang jalannya harus lurus dengan rel tanpa harus mengisi inovasi-

inovasi, ya monggo, itu gak apa-apa. Nantinya akan ditinggal masyarakat karena

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 15: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

masyarakat sekarang kan gak mau tontonan yang bertele-tele, yang harus memperhatikan

sekali itu gak mau.”

KESIMPULAN

Sejak terjadinya paliyan nagari pada tahun 1755 yang menyebabkan pecahnya Mataram

menjadi Surakarta dan Yogyakarta, arena wayang kulit di Yogyakarta digiring kepada sebuah

dualisme gaya pertunjukan. Dualisme gaya pertunjukan ini dapat dilihat melalui orientasi gaya

pertunjukan yang dimiliki oleh para dalang. Ada dalang yang masih memegang teguh pakem

wayang kulit gagrak Yogyakarta, dan ada pula dalang yang mengembangkannya dengan

menyatukan berbagai pakem yang diketahuinya. Kategori dalang seperti ini disebut sebagai

dalang pakem dan dalang kontemporer.

Pada awalnya seluruh gaya pertunjukan wayang kulit di Yogyakarta adalah gaya

pertunjukan yang mengikuti pakem. Di tahun 1925, yayasan Habirandha, atau sekolah dalang

didirikan di keraton Yogyakarta. Di tempat inilah pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta

diajarkan, sehingga pada kisaran tahun tersebut gaya pertunjukan wayang kulit seluruhnya

merujuk kepada pakem. Dua puluh tahun kemudian, kemerdekaan Indonesia turut mempengaruhi

perkembangan wayang kulit di Yogyakarta. Pada masa ini kesenian wayang kulit menjadi aset

nasional, sehingga pertunjukan wayang kulit menjadi lebih dikenal. Tentu saja, pertunjukan yang

dibawakan saat itu adalah wayang kulit pakem dan tren ini semakin tersebar luas. Di tahun 1960,

partai-partai politik mulai bermunculan, pertunjukan wayang kulit pun mulai dijadikan alat

penyampai pesan-pesan politis. Dalang-dalang yang tidak memihak partai politik manapun, saat

itu tidak mendapat tempat. Keadaan ini juga menyebabkan kreativitas para dalang menjadi

tertekan, karena dijadikan „wayang‟ oleh partai-partai politik yang menjadi „dalang‟nya. Di

tengah tekanan inilah hadir dalang-dalang yang mendobrak dengan gaya pertunjukannya yang

lebih menghibur, Ki Nartosabdo di Surakarta, dan Ki Suparman Cermo Wiyoto di Yogyakarta.

Kehadiran mereka dengan gaya pertunjukan menghibur tetapi masih pada pakem-nya menjadi

sebuah sajian baru yang digemari masyarakat saat itu. Pada masa orde baru, sekitar tahun 1966

pun terulang kembali kejadian sebelumnya, pertunjukan wayang kulit dipolitisasi sebagai media

penyampai pesan-pesan pembangunan dan untuk kepentingan pemilihan umum. Sampai pada

tahun 1998, di mana seluruh dalang dan arena pertunjukan wayang kulit nasional berada dalam

titik jenuhnya. Seperti mati suri, saat itu dalang-dalang populer pun tidak banyak mendapatkan

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 16: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

tanggapan. Kemudian, muncullah Ki Enthus Susmono, dalang dari Tegal yang menggairahkan

lagi panggung pertunjukan wayang kulit nasional. Ki Enthus berinovasi dengan banyak

menambahkan unsur-unsur baru di dalam pertunjukannya, seperti pelawak, penyanyi, penari.

Kemudian, banyak dalang yang meniru gaya pertunjukan ini, tidak terkecuali dalang-dalang di

Yogyakarta. Mulai saat itulah dualisme gaya pertunjukan di Yogyakarta mulai mencuat, muncul

dalang pakem dan dalang kontemporer.

Perkembangan jaman yang terjadi tersebut, rupanya juga turut mempengaruhi penonton-

penonton wayang kulit di Yogyakarta. Kelompok-kelompok penonton muncul sebagai penikmat

wayang kulit dengan selera yang berbeda-beda. Penonton kalangan tua adalah penonton yang

cenderung menyukai pertunjukan wayang kulit yang sesuai pakem. Ini dapat dimaklumi karena

saat mereka muda dulu, pertunjukan wayang kulit yang mereka saksikan adalah wayang kulit

pakem. Sedangkan, untuk penonton kalangan muda, pertunjukan wayang kulit yang

menghiburlah yang menjadi kesukaan mereka, maka tidak heran apabila pertunjukan wayang

kulit kontemporer menjadi pilihan mereka. Selera mereka dapat dipahami karena mereka hidup

dan besar di masa di mana hiburan seperti terus menerus muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih

mudah untuk didapatkan, sehingga pertunjukan wayang kulit yang mereka sukai adalah

pertunjukan yang dapat menyaingi berbagai hiburan tersebut. Karakter seperti ini juga tidak jauh

ditemukan pada penonton baru, mereka biasanya tertarik untuk menonton pertunjukan wayang

kulit karena menginginkan hiburan, namun bisa saja ketertarikan tersebut membawanya untuk

mencari tahu pertunjukan wayang kulit pakem dan menyukainya. Kelompok-kelompok inilah

yang juga pada akhirnya memetakan gaya pertunjukan wayang kulit yang dibawakan para dalang

terus terbagi dua dan menjadi peluang bagi dalang pakem dan dalang kontemporer.

Dua dalang di Yogyakarta yang merepresentasikan masing-masing kategori dalang di atas

adalah Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo dan Ki Seno Nugroho. Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo adalah

dalang pakem yang dituakan di Yogyakarta, sedangkan Ki Seno Nugroho adalah dalang

kontemporer yang masih relatif muda dan sangat terkenal di Yogyakarta. Keberadaan mereka

tidak terlepas dari dua hal yang telah dijelaskan di atas, namun yang membentuk orientasi gaya

pertunjukan mereka yang pada akhirnya membuat mereka menjadi dalang pakem dan dalang

kontemporer adalah enkulturasi yang mereka alami.

Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo dibesarkan di dalam keluarga dalang dan mulai belajar

mendalang dengan ayahnya yang juga seorang dalang pakem wayang kulit gagrak Yogyakarta.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 17: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

Kemudian, beliau menjadi abdi dalem keraton Yogyakarta dan mulai memperdalam ilmu

pedalangannya di sana sejak usia 22 Tahun. Sekarang beliau menjadi seorang pengajar di

Habirandha, keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, kultur yang terbentuk di dalam diri Ki Tedjo

adalah kultur keraton Yogyakarta. Maka tidak heran bila akhirnya beliau menjadi seorang dalang

pakem.

Ki Seno Nugroho mengalami proses enkulturasi yang berbeda dengan apa yang dialami

oleh Ki Tedjo. Ki Seno kecil hanya sempat belajar sedikit mengenai pedalangan dengan ayahnya.

Sebagian besar ilmu pedalangannya ditimbanya melalui SMKI Yogyakarta dan dalang-dalang

dari Surakarta. Orientasi pengajaran SMKI Yogyakarta yang diproyeksikan untuk mencetak

dalang profesional dan sesuai dengan perkembangan jaman ini nampaknya tertanam di dalam diri

Ki Seno Nugroho. Ditambah lagi pengalamannya belajar ilmu pedalangan kepada dalang-dalang

dari Surakarta, membuat nilai-nilai pedalangan Surakarta yang cenderung lebih adaptif terhadap

perkembangan jaman itu juga terserap oleh Ki Seno Nugroho. Inilah yang akhirnya membentuk

Ki Seno Nugroho menjadi seorang dalang kontemporer yang memadupadankan antara pakem

Yogyakarta dan pakem Surakarta di dalam pertunjukan wayang kulitnya.

REFERENSI

Anderson, Benedict R. O‟G.,

2008 Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Jejak.

Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., & Dassen, P.R.,

1992 Cross-cultural Psychology: Research and Application. Cambridge: Cambridge

University Press.

Boeke, J.H.,

1953 Economics and Economic Policy of Dual Societies. New York: Institute of Pacific

Relations.

Creswell, John W.,

2003 Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches.

Thousands Oaks, London & New Delhi: Sage Publications.

Engels, Frederick,

2007 Tentang Das Kapital Marx. Oey‟s Renaissance.

Fetterman, David M.,

1989 Ethnography. Step by Step. Thusands Oaks, London & New Delhi: Sage

Publications.

Geertz, Clifford,

1973 Interpretation of Culture. New York: Basic Books.

1976 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara

K.A.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 18: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

1981 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Groenendael, Victoria M. Clara Van,

1985 The Dalang Behind The Wayang. Dordrecht: Foris Publication.

Haryanto, S.,

1992 Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize.

Hendrosaputro, Marsono,

1999 Ensiklopedia Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa.

Herskovitz, Melville J.,

1995 Man and His Work: The Science of Cultural Anthropology. New York: Knopf.

Keeler, Ward,

1987 Javanese Shadow Plays, Javanese Selves. Princeton: Princeton University Press.

1992 Javanese: A Cultural Approach. Ohio University: Monographs in International

Studies.

Langer, Sussanne K.,

1979 Feeling and Form: A Theory of Art. London: Routledge.

Levison, Arnold B.,

1974 Knowledge and Society: An Introduction to the philosophy of the Social Sciences.

New York: Pegasus.

Locke, John,

1999 An Essay Concerning Human Understanding. The Pennsylvania State University.

Magnis-Suseno, Frans,

1985 Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:

PT. Gramedia.

Mulyono, Sri,

1982 Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya. Jakarta: PT. Gunung Agung.

1976 Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Nawangi.

1979 Simbolisme dan Mistisisme Dalam Wayang: Sebuah Tinjuan Filosofis. Jakarta:

Gunung Agung.

Murtiyoso, Bambang, et al,

2004 Pertumbuhan & Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra

Etnika Surakarta.

2007 Teori Pedalangan: Bunga Rampai Elemen Elemen Dasar Pakeliran. Surakarta:

ISI Surakarta.

Nastiti, Titi Surti,

2003 Pasar di Jawa pada Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi. Jakarta: Pustaka

Jaya. Parker, J., Mars L., Ransome P., dan Stanworth, H.

2003 Social Theory: A Basic Tool Kit. New York: Palgrave Macmillan. Parson, Talcott,

1968 Structure of Social Actions Vol. II. New York: The Free Press.

Rudyansjah, Tony,

2009 Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan. Jakarta: Rajawali Press.

2011 Alam, Kebudayaan, dan Yang Ilahi. Depok: Titian Budaya.

Santosa, Iman Budhi,

2011 Saripati Ajaran Hidup Dahsyat Dari Jagad Wayang. Yogyakarta: Flashbooks.

Soetarno, Sarwanto, Sudarko,

2007 Sejarah Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta.

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 19: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

Soetarno, Sunardi, Sudarsono,

2007 Estetika Pedalangan. Surakarta: ISI Surakarta.

Woodward, Mark R.,

1989 Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta.

Arizona: The University of Arizona Press.

JURNAL

Hadiprayitno, Ki Kasidi,

1997 „Perlunya Belajar Wayang dalam Kehidupan Budaya Jawa‟. Jantra: Jurnal

Sejarah dan Budaya. Vol. IV, No. 7. pp. 523-530.

Kleden-Probonegoro, Ninuk,

2000 „Teater Tradisional sebagai Dokumen Komunitas‟. Antropologi Indonesia. Vol.

62. pp. 8-24.

Mead, Margareth,

1963 „Papers in Honor of Melville J. Herskovits: Socialization and Enculturation‟.

Current Anthropology. Vol. 4, No. 2. pp. 184-188

Ogbu, John U.,

1981 „School Etnography: A Multilevel Approach‟. Anthropology & Education

Quarterly. Vol. XII, No.1.

Palmer, Gary B., & Jankowiak, William R.,

1996 „Performance and Imagination: Toward an Anthropology of the Spectacular and

the Mundane‟. Cultural Anthropology. Vol. 11, No. 2. pp. 225-258

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013

Page 20: SEJARAH, PASAR, DAN DUALISME GAYA PEDALANGAN …

Sejarah Pasar..., David Nugroho A K, FISIP UI, 2013