Download pdf - Serb Uk Sari

Transcript
Page 1: Serb Uk Sari

KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA

PADA MANUSIA

IRIS RENGGANIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: Serb Uk Sari

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kealergenikan Serbuk Sari

Indonesia pada Manusia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juni 2009

Iris Rengganis

NIM G361040081

Page 3: Serb Uk Sari

ABSTRAK

IRIS RENGGANIS. Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia. Dibimbing oleh ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, dan SRI BUDIARTI.

Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada manusia terhadap

alergen. Alergi terjadi ketika tubuh membuat antibodi IgE secara berlebihan sebagai tanggapan atas suatu alergen. Serbuk sari merupakan alergen lingkungan penting di negara subtropik yang dapat menyebabkan penyakit alergi pada musim berbunga. Meskipun tumbuhan berbunga terjadi sepanjang tahun di Indonesia, namun alergi serbuk sari belum banyak dipelajari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serbuk sari dari tumbuhan di suatu wilayah di Indonesia yang dapat menyebabkan alergi pada manusia. Alat penangkap serbuk sari Burkard dipasang selama tujuh hari di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sedangkan penangkap serbuk sari pasif dengan gelas objek berperekat dipasang di wilayah Darmaga Bogor, Pasar Minggu dan Jagakarsa di Jakarta Selatan. Serbuk sari yang tertangkap diidentifikasi dibawah mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), yaitu serbuk sari akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Bobot molekul profil protein ekstrak serbuk sari didominasi oleh pita-pita berukuran 10-70 kD pada analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Ekstrak protein serbuk sari tersebut dan ekstrak serbuk sari campuran rumput komersial (Grasses mix) digunakan sebagai pembanding, diuji pada orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan menggunakan metode uji tusuk kulit. Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit

Page 4: Serb Uk Sari

ABSTRACT

IRIS RENGGANIS. Allergenicity of Indonesian Pollen in Human. Supervised by ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A.RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, and SRI BUDIARTI.

Allergy is a human immediate hypersensitive reaction to allergens. It occurs

when the body produces an excess of IgE antibody as response to allergen. Pollens are important environmental allergens in subtropical countries which contribute to significant morbidity especially during the pollination period. Despite the all year long of plants flowering in Indonesia, pollen allergy has not been well studied. The objectives of this study were to identify pollen from plants in a given area in Indonesia which may cause allergy in human. A Burkard spore trap was set for seven days sampling in Lebak Bulus, district in South Jakarta, while a passive collectors with adhesive object glass were placed in Darmaga Bogor, Pasar Minggu and Jagakarsa in South Jakarta. Using light and scanning electron microscopes (SEM), pollens that were trapped and identified were acacia (Acacia auriculiformis), cogon grass (Imperata cylindrica), coconut (Cocos nucifera), palm trees (Elaeis guineensis), maize (Zea mays), rice (Oryza sativa), and pine (Pinus merkusii). Molecular weight of protein profiles from those pollen extract using sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis analysis (SDS-PAGE) were dominated by 10-70 kD bands. Allergenicity in human to those pollen commercial Grasses mix extract was also included in the test to people with and without history of allergy, 69 people each, using the skin prick test method. The seven pollen of plants trapped in Indonesia are allergenic. Human sensitivity to Cogon grass and acacia pollen are more severe than to the rest of other pollen, however, the sensitivity was most found to commercial allergens of Grasses mix. People with respiratory allergy was more sensitive than people without history of allergy. Meanwhile, human sensitivity to acacia was the same in those two groups of people. Pollen of Cogon grass and acacia are potential allergens to be used for skin prick test in Indonesia. Acacia trees are not recommended to be utilized as a shading tree since their pollen showed sensitivity reaction in human.

Keywords: pollen, allergen, sensitivity, skin prick test.

Page 5: Serb Uk Sari

RINGKASAN

Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Salah satu bentuk alergi adalah alergi pernapasan, misalnya rinitis alergi dan asma bronkial. Alergi merupakan penyakit yang diturunkan dan muncul akibat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, alergi tidak dapat diobati secara tuntas, tetapi pemicu yang terdapat di lingkungan dapat dikontrol dan dihindari dengan cara memberi penyuluhan pada pasien. Salah satu alergen lingkungan yang penting namun terabaikan adalah serbuk sari tumbuhan. Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman saat dengan berbunganya tumbuhan di musim semi sampai musim panas. Penyebaran serbuk sari ini sangat bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi. Sebagian besar serbuk sari yang menyebabkan alergi di negara empat musim berasal dari rumput-rumputan. Di Indonesia, tumbuhan berbunga sepanjang tahun dan penyebaran serbuk sari terjadi setiap saat. Namun sampai kini belum terdapat studi yang menyeluruh tentang serbuk sari tumbuhan mana saja yang berpotensi menyebabkan alergi pernapasan pada manusia, yaitu rinitis alergi dan asma bronkial. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman flora yang tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya pajanan terhadap serbuk sari sangat besar. Diketahui serbuk sari kelapa sawit, kelapa genjah, jagung dan pinus alergenik pada hewan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang sensitivitas terhadap serbuk sari tumbuhan yang ada di Indonesia pada manusia.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul (BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui potensi kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit, baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.

Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap pasif dan alat penangkap Burkard, identifikasi serbuk sari menggunakan mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), penentuan BM protein serbuk sari alergenik menggunakan analisis SDS-PAGE. Alergen serbuk sari diuji secara klinis pada kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan cara uji tusuk kulit. Penangkapan serbuk sari dilakukan di wilayah Darmaga, Bogor dan Jakarta Selatan, yaitu Lebak Bulus, Pasar Minggu dan Jagakarsa. Alat penangkap Burkard yang dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai Desember 2006 di Lebak Bulus berhasil menangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, pinus, dan rumput-rumputan. Rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut adalah alang-alang. Di Kecamatan Pasar Minggu dan Jagakarsa tertangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, jagung, rumput-rumputan (terbanyak alang-alang) dan pinus. Serbuk sari padi, jagung, dan alang-alang tertangkap di Darmaga Bogor. Serbuk sari diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium Biologi Tumbuhan

Page 6: Serb Uk Sari

Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Ukuran serbuk sari yang didapat berkisar antara 20-100 µm. Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji tusuk kulit dilakukan di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, Klinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB. Bahan untuk ekstrak protein berupa serbuk sari yang dipilih adalah akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), jagung (Zea mays), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Selain itu digunakan alergen ekstrak serbuk sari Grasses mix 1. Bent grass (Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4. Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6. Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10. Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire fog (Holcus lanatus). Juga digunakan alergen tungau debu rumah jenis Dermatophagoides pteronisinnus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f), kontrol positif histamin, dan untuk kontrol negatif dipakai phosphate buffer saline (PBS) yang digunakan sebagai pelarut. Responden penelitian untuk uji tusuk kulit terdiri dari kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan rentang usia antara 19-55 tahun. Derajat sensitivitas dikategorikan berdasarkan besarnya bentol pada uji tusuk kulit, yaitu positif (+) 1 bila bentol berukuran 3-5 mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm dan + 4: > 20 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk sari alang-alang dan akasia paling banyak menghasilkan reaksi positif pada uji tusuk kulit yang menunjukkan telah terjadi sensitisasi. Selain itu, alergen komersial Grasses mix menghasilkan sensitivitas yang lebih tinggi pada kedua kelompok dibanding terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia. Di dalam ekstrak alergen Grasses mix terdapat serbuk sari Cynodon dactylon, yang ternyata merupakan salah satu jenis rumput yang banyak terdapat di Indonesia. Karena itu sebaiknya dilakukan uji sensitivitas juga terhadap Cynodon dactylon untuk mengetahui seberapa besar telah terjadi sensitisasi. Hasil analisis SDS-PAGE protein serbuk sari, mendapatkan rentang BM antara 10-70 kD, yang merupakan rentang BM protein alergenik. Sebagai simpulan, penelitian ini berhasil mendapatkan ekstrak alergen serbuk sari dari tujuh jenis tumbuhan di Indonesia, yaitu alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi, dan pinus. Uji tusuk kulit terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi. Selain itu, sensitivitas terhadap serbuk sari akasia sama tingginya pada kedua kelompok. Dengan demikian, serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit

vi

Page 7: Serb Uk Sari

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Disertasi ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Disertasi dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Page 8: Serb Uk Sari

KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA

PADA MANUSIA

IRIS RENGGANIS

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 9: Serb Uk Sari

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: Dr. Rita Megia, DEA Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Ujian Terbuka: Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. dr. Heru Sundaru, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Page 10: Serb Uk Sari

Judul Disertasi : Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia Nama : Iris Rengganis NIM : G361040081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Alex Hartana, MSc. Prof.Dr.Ir.Edi Guhardja, MSc. Ketua Anggota

Prof.Dr.Mien A.Rifai, MSc. Prof.Dr.dr.Samsuridjal Djauzi, SpPD, KA-I, FACP Anggota Anggota

Dr.dr.Sri Budiarti Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 10 Juli 2009 Tanggal Lulus: 17 Juli 2009

Page 11: Serb Uk Sari

Disertasi ini kudedikasikan kepada

Kedua Orang tuaku tercinta

Page 12: Serb Uk Sari

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas rahmat dan karunia Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dimulai sejak bulan Maret 2005 hingga Mei 2008, dengan judul Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia.

Pada kesempatan ini, pertama-tama penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana MSc, Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc, Prof. Dr. Mien A. Rifai, MSc, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, K-AI, FACP, dan Dr. dr. Sri Budiarti atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar dalam penyelesaian Disertasi ini.

Begitu juga ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Ketua Program Studi Biologi Pasca Sarjana IPB yang banyak memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Kepada Dr. Ir. Kiagus Dahlan selaku Wakil Dekan dan Dr. Rita Megia, DEA selaku penguji luar komisi yang telah berkenan dan meluangkan waktu pada saat ujian tertutup.

Selain itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada: Prof. Pakit Vichyanond, MD dari Faculty of Medicine Mahidol University, Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Prof. Boonchua Dhorranintra, MD dan Kanda Kasetsinsombat dari Palinology Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan mengenai cara penangkapan serbuk sari dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pelatihan serbuk sari di Bangkok.

Chew Fook Tim, PhD dan Ong Tan Ching dari Department of Biological Sciences, National University of Singapore yang telah memberi informasi dan pengarahan mengenai pembuatan alergen serbuk sari.

Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI dari Divisi Alergi Imunologi, Departemen Penyakit Dalam RS Dr.Sutomo, Dra. Siti Farida, SpFRS, Apt dan Ibu Wiwid di Bagian Produksi Alergen Laboratorium Instalasi Farmasi, RS Dr.Sutomo Surabaya yang telah mengijinkan penulis untuk mengikuti prosedur berbagai jenis pembuatan alergen.

Dr. Ir. Juliarni, MAgr. dari Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah membimbing dengan sabar selama penulis mengikuti mata kuliah khusus Uji Penangkapan Serbuk Sari. dr. Murdiati Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI yang telah membantu dalam melengkapi data penyakit di Puskesmas DKI.

Ir. Catharina Suryowati, MSi, Dra. Marfuah, MSi, Nuning Hendria Sari, SP, Sdri.Wijiastuti SSi, Bapak Tono, dan Bapak Ivan Nurcahyo dari Dinas Pertamanan DKI yang telah membantu melengkapi data tanaman di wilayah Jakarta dan telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di Kebun Bibit Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Dra. Titisari Puntorini (Kasubid. Tata Lingkungan), Drh. H. Bambang Triana (Kabid.Konservasi), dan Berliana, DSc. (Staf Bid.Konservasi) dari Taman Margasatwa Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di area tersebut.

Page 13: Serb Uk Sari

Dr. Arief Budi Witarto, MEng. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Nina Maryana, SSi. dan Suwarti, MSi. dari Protein Indonesia Institute, Ibu Ika Malikhah dan Bapak Iwa Sutiwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB, Ibu Dewi dari Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta Bapak Sutiyo dari Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ir. Endang Purwaningsih, Kartika Dewi, MSi, dan Yuni Apriyanti yang telah membantu pembuatan foto SEM dari Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Juga kepada Himmah Rustiami, MSc. dan Eka Fatmawati T, SSi. yang telah membantu pembuatan preparat serta foto serbuk sari dengan mikroskop cahaya di Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Kepada teman sejawat dr. H. Muh. A. Aristyawan yang mengijinkan uji tusuk kulit pada pasien alergi di Klinik Bulog Jakarta Selatan. Juga kepada Bapak Moh. Thamrin dan Ibu Asri Wahyuni dari Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja yang telah membantu pelaksanaan uji tusuk kulit, serta Bapak H. Firdaus Alamhudi yang banyak memberi motivasi dan pengembangan wawasan pada penelitian ini.

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng yang telah memberi dorongan untuk dapat mempergunakan internet serta komputer secara mandiri sejak awal penulis mengikuti S3 di IPB. Dr. Ir. Y. Purwanto, APU dan Dr. Rugayah, MSc. dari Herbarium Bogoriense LIPI Bogor yang banyak memberi masukan pada saat mulainya penelitian ini, serta rekan-rekan di IPB, Nor Sholekhah Damayanti, SSi, MSi, Dr. Fitmawati SSi, MSi, Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi, Dr. Ir. Amin Retnoningsih, Msi, Dr.Ir.Donata S.Pandin, MSi. dan Ir. Dorly yang telah banyak membantu selama penulis menjalani penelitian ini. Juga kepada Ibu Henny Nurhayati dari Bagian Akademik IPB, Ibu Yenny Rosmalawaty, Ibu Eti Suhaeti dan Bapak Djoni Sudjadi di Departemen Biologi yang membantu dalam penyelesaian Disertasi ini. Dr. drh. Retno D.Soejoedono, MS, dan Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak memberi wawasan di bidang Imunologi.

Prof. Dr. Azis Rani, SpPD, K-GEH yang telah memberi izin kepada penulis untuk masuk dalam program S3 di IPB dan Dr.dr.C.Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, M.Epid selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang selalu memberi dorongan untuk menyelesaikan Disertasi ini. Prof.Dr.dr. Dina Mahdi, SpPD, K-AI, SH dan Prof.Dr.dr.Heru Sundaru,SpPD, K-AI, guru saya, dr. Nanang Sukmana, SpPD, K-AI, selaku Ketua Divisi Alergi Imunologi Klinik, rekan-rekan sejawat dr. Teguh HK, SpPD, K-AI, dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, dr.Evy Yunihastuti, SpPD, dr. Okki Ramadian, SpPD, dr. Moch. Iqbal Hassarief Putra, dr. Budi Amarta Putra, juga kepada Enna Meilina, S.Si, Mutiaz Hayati, SST, Upi Fitria Diana, Skom, Parama Puspita, Tini Rohmani, Elva Afianti, Moh.Yunus serta semua perawat Zr.Wiwi Wahyuni, AMK, Zr.Maryati, Zr.Sumirah di Divisi Alergi Imunologi Klinik yang telah banyak membantu dan memberi semangat kepada penulis.

Ungkapan terima kasih yang mendalam dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan kepada ayahanda Karnen Garna Baratawidjaja, ibunda Wachjuni Baratawidjaja, kepada suami R. Putra dan keempat anak saya Gladys, Andrew, Zaki, Yasser, juga kepada ketiga adik saya Ambara, Prasna Pramita, Farah Prashanti, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan serta semua bantuan moril maupun materiil hingga terselesaikannya studi doktor ini.

Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan berlipat ganda. Sebagian dari penelitian ini telah ditulis dan diterbitkan dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 9, September 2008 dengan judul Sensitivitas terhadap Serbuk Sari

xii

Page 14: Serb Uk Sari

pada Pasien Alergi Pernapasan. Mudah-mudahan Disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Juni 2009

Iris Rengganis

Page 15: Serb Uk Sari

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1958 sebagai anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. dr. Karnen Garna Baratawidjaja, SpPD, K-AI, FAAAAI dan dr. Wachjuni Baratawidjaja, MHA. Pendidikan sarjana ditempuh di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada tahun 1977 dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1984, penulis mengawali tugas dari Departemen Kesehatan sebagai dokter Puskesmas Kelurahan Cikoko, Kecamatan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, DKI. Pada tahun 1988 penulis mendapat penghargaan sebagai dokter teladan Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan ikatan dinas dari Departemen Kesehatan selama 5 tahun, pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Spesialis 1 Pascasarjana FKUI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada tahun 1994. Kemudian penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan sekaligus meneruskan ke Program Studi Spesialis 2 (Konsultan) di bidang Alergi Imunologi.

Pada tahun 1995, penulis menjalankan ikatan dinas yang kedua dari Departemen Kesehatan sebagai Internis di RS Haji Jakarta selama 2,5 tahun. Selama bertugas di RS Haji Jakarta, penulis mendirikan Klinik Alergi dan Edukasi Asma, serta Klub Senam Asma. Setelah selesai tugas pemerintah pada tahun 1998, penulis kembali ke FKUI sebagai staf pengajar dan menamatkan Konsultan Alergi Imunologi pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis bertugas sebagai Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dari RSCM (RS dr.Cipto Mangunkusumo), dan ditugaskan sebagai Dokter Kloter selama 40 hari di Arab Saudi. Pada tahun 2002, penulis bertugas kembali sebagai TKHI Non Kloter dari RSCM, dan menduduki jabatan sebagai Kepala Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Madinah selama 70 hari.

Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004, dengan biaya sendiri. Penulis adalah anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI), Pengurus Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) serta Pengurus Dewan Asma Indonesia (DAI). Saat ini penulis bertugas sebagai staf pengajar di Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.

Page 16: Serb Uk Sari

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ................................................................................................xv

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvii

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................xviii

1. PENDAHULUAN .............................................................................................1

2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................5

Penyakit Alergi ...........................................................................................5

Rinitis Alergi ....................................................................................... 8

Asma Bronkial ................................................................................... 11

Dermatitis Atopi ..................................................................................12

Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi.................................12

Serbuk Sari ................................................................................................14

Penangkapan Serbuk Sari ....................................................................15

Identifikasi Serbuk Sari .......................................................................16

Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara ...................................18

3. BAHAN DAN METODE ............................................................................... 22

Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................22

Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari ......................23

Pembuatan Alergen .................................................................................. 26

Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari................................................. 27

Etika Penelitian ….................................................................................... 27

Uji Klinis.................................................................................................. 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 30

Identifikasi Serbuk Sari ............................................................................32

Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari .................................34

Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari.............................................36

Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi ................................................................. 45

5. SIMPULAN .....................................................................................................52

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................53

LAMPIRAN ......................................................................................................... 65

Page 17: Serb Uk Sari

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jenis-jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs………..... 6

Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda

antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi…..45

Page 18: Serb Uk Sari

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast 7

Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga ………........ 24

Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus.. 24

Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon.. ........................................................................................................... 25 Gambar 5 Alat penangkap dengan gelas objek berperekat silikon yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa.......................................................... 26

Gambar 6 Uji Tusuk Kulit................................................................................... 28

Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …. 32

Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ................................................................................ 32

Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ....... 33

Gambar 10 Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …………………………………………………... 33

Gambar11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB ....................... 34

Gambar12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perat nitrat...............34

Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia.37

Gambar 14 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang- alang................................................................................................... 38

Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung 39

Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap sewrbuk sari kelapa genjah ……………………………………………………………… 40

Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari

kelapa sawit ..................................................................................... 41

Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi ...42

Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus..42

Gsmbar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix..........43

Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi......48

Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi ............................................................................................................ 48 Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix ................................................................................ 49

Page 19: Serb Uk Sari

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peta DKI Jakarta ............................................................................ 66

Lampiran 2 Peta Jakarta Selatan ........................................................................ 67

Lampiran 3 Lembar Informasi Penelitian........................................................... 68

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian ............................ 69

Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Clearence).............................70

Page 20: Serb Uk Sari

DAFTAR SINGKATAN

AAAAI American Academy of Allergy, Asthma and Immunology

BM bobot molekul

CBB coomassie brilliant blue

CDC Center for Disease Control

C. dactylon Cynodon dactylon

Cyn d 1 Cynodon dactylon 1

Cyn d 7 Cynodon dactylon 7

Der.p Dermatophagoides pteronyssinus

Der.f Dermatophagoides farinae

D. glomerata Dactylis glomerata

DKI Daerah Khusus Ibu Kota

DKK Dinas Kesehatan Kota

FKUI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

GINA Global Initiative for Asthma

IDI Ikatan Dokter Indonesia

IgE Imunoglobulin E

IgG Imunoglobulin G

IgM Imunoglobulin M

IL-4 Interleukin-4

IL-13 Interleukin-13

IPB Institut Pertanian Bogor

ISAAC International Study of Asthma and Allergies in Childhood

kD kilo Dalton

KNAA Konsensus Nasional Asma pada Anak

LMW low molecule weight

L. perenne Lolium perenne

mA mili Amper

mm milimeter

μm mikrometer

PAPDI Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia

Page 21: Serb Uk Sari

PERALMUNI Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia

Phl p 1 Phleum pratense 1

PPSHB Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi

RAST radioallergosorbent test

RS Rumah Sakit

RSCM Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo

SEM scanning electron microscope

SDS-PAGE sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis

Th2 T helper 2

tris-HCl tris(hydroxymethyl)aminomethane hydrochloride

WAO World Allergy Organization

w/v weight per volume

Zea m 1 Zea mays 1

xix

Page 22: Serb Uk Sari

1. PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang

berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi

timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada

seseorang yang hipersensitif. Efeknya terlihat dalam bentuk rinitis alergi, asma

bronkial (asma) dan dermatitis atopi (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Dalam dua dekade akhir, penyakit alergi meningkat di hampir semua

negara di dunia, terutama negera-negara maju (Singh & Kumar 2003; Folletti et

al. 2008). Setelah tahun 1990, jumlah pasien asma yang berobat ke dokter dan

dirawat di rumah sakit juga tak menurun (Akinbami & Schoendorf 2002).

Berdasarkan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood

(ISAAC), prevalensi penyakit alergi di negara-negara maju lebih tinggi

dibandingkan di negara-negara berkembang. Penelitian ISAAC menemukan

sekitar 20-30% kasus alergi berupa rinitis alergi, 5-15% asma dan 0,33-20,5%

dermatitis atopi pada populasi di dunia (Beasley et al. 1998). Namun penelitian

seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pengetahuan alergi di

sini sangat minim, informasi akurat tentang seberapa besar prevalensi penyakit

alergi dan statistik insiden penyakit alergi juga jarang diperoleh di negeri ini.

Beberapa penelitian yang sudah dilaporkan di antaranya penelitian di Utan

Kayu, Jakarta Pusat, menunjukkan persentase prevalensi asma pada penduduk

berusia lebih dari 14 tahun sebesar 6,9% (Sundaru & Sukmana 1990). Selain itu,

penelitian ISAAC di Indonesia tahun 1996 dilakukan pada anak usia 13-14 tahun,

melibatkan tujuh kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,

Denpasar, Manado, dan Ujung Pandang. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa

prevalensi di berbagai daerah tersebut menunjukkan rentang yang cukup

besar, yaitu rinitis alergi berkisar 22,57-61,94%, asma 2,09-9,01%, dan

dermatitis atopi 0,39-18,8% (Baratawidjaja et al. 2006).

Kini penderita alergi ditemukan di semua lapisan masyarakat di dunia,

dengan tingkat keparahan berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang sampai

berat. Pada kasus kronis yang berat, alergi mengganggu aktivitas sehari-hari

Page 23: Serb Uk Sari

pasien, dan akhirnya menurunkan kualitas hidupnya. Tak hanya itu, pengobatan

alergi dengan menggunakan jasa dokter, obat, kunjungan gawat darurat, atau

perawatan rumah sakit perlu biaya yang tidak sedikit (Wijk 2002). Masalah ini

tentunya akan sangat memberatkan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi

mayoritas penduduk kita.

Penyebab alergi ditimbulkan oleh interaksi antara faktor genetik dan

lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diwarisi penderita dari

salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tua penderita alergi cenderung

memiliki anak yang berbakat alergi pula. Selain hal tersebut, ada faktor lain yang

tidak kalah pentingnya yaitu pola hidup penderita serta keadaan lingkungan yang

banyak dipenuhi alergen. Alergen itu sendiri bisa berasal dari dalam rumah

(indoor allergens) atau dari luar rumah (outdoor allergens). Alergen dalam rumah

bermacam-macam, antara lain tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, atau

serpihan kulit hewan piaraan seperti anjing dan kucing, sedangkan alergen luar

rumah dapat berupa spora jamur dan serbuk sari (pollen) yang bersifat musiman,

terutama di negara yang mempunyai 4 musim (Church & Holgate 1995; Lilly

2005; Schoefer et al. 2008).

Penyakit alergi adalah penyakit inflamasi yang berjalan kronis dan sulit

disembuhkan selama masih ada pemicunya. Terapi yang diberikan pada saat

kambuh umumnya bersifat simptomatik, artinya ditujukan untuk mengurangi

gejala saja. Rekomendasi penting penanganan penyakit alergi dimulai dengan

menghindari alergen. Oleh karena itu penatalaksanaan penyakit alergi selain

pengobatan, ditekankan pada kontrol lingkungan agar terhindar kontak dengan

alergen (Luskin 2005; Bacharier et al. 2008; Bateman et al. 2008). Untuk itu,

sebagai dasar antisipasi alergi, setiap pasien alergi perlu mengetahui bahan-bahan

apa yang dapat memicu reaksi alergi pada dirinya. Hingga kini belum ada terapi

yang dapat menghilangkan atau menyembuhkan penyakit alergi sampai tuntas.

Pengobatan alergi hanya dapat mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh

dengan cara menghindari pemicu. Penanganan memerlukan kontrol lingkungan

yang ketat melalui penyuluhan pada pasien (Bateman et al. 2008). Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan seperti rinitis alergi dan

asma yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman. Dalam arti,

Page 24: Serb Uk Sari

penyakitnya muncul bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi (D’Amato et al.

2007; Mandal et al. 2008). Penelitian di lapangan menunjukkan, penyebaran

serbuk sari di udara berfluktuasi sesuai musim, sehingga dapat dibuat kalender

yang menunjukkan fluktuasi jumlah serbuk sari di udara dalam satu tahun.

Kalender tersebut diperlukan oleh pasien alergi dalam upaya menghindari

pajanan, sehingga kekambuhan penyakit alergi akan dapat diperkirakan

berdasarkan jenis serbuk sari di musim tertentu (Platt-Mills et al. 1998; Gossage

2000; Kuhl 2001). Penelitian epidemiologi yang banyak dilakukan para peneliti telah

meningkatkan pemahaman dan penanganan penyakit alergi. Berbagai penelitian

itu membuktikan, serbuk sari rumput merupakan penyebab penyakit alergi penting

di seluruh dunia, sehingga perlu diwaspadai serbuk sari sebagai salah satu alergen

utama pemicu alergi pernapasan (Phanichyakam et al. 1989, Silvestri et al. 1996;

Bufe et al. 1998; Sridhara et al. 2002).

Di Amerika dan Eropa, berbagai alergen baik dalam maupun luar rumah

sudah banyak diteliti dan diketahui (Gossage 2000; Kuhl 2001). Ekstrak serbuk

sari rumput-rumputan sebagai alergen pada uji tusuk kulit telah digunakan sebagai

gold standard dalam diagnosis penyakit alergi (Wodehouse 1965; Nelson 2000;

Koshak 2006). Dewasa ini di Indonesia umumnya dipakai alergen komersial

untuk uji tusuk kulit, yang berarti hanya terbatas pada bahan yang dibuat di Eropa

atau Amerika. Walau alergen komersial cukup banyak dan bervariasi untuk

mendeteksi pencetus alergi yang umum, namun alergen serbuk sari tumbuhan

tropik tidak tersedia sehingga besar kemungkinan akan tetap tidak terdeteksi.

Sebuah penelitian uji sensitivitas yang dilakukan pada pasien alergi

pernapasan di sebuah Klinik Alergi Imunologi di Jakarta terhadap 8 jenis alergen

dalam rumah asal Singapura, dengan hasil positif tinggi pada uji tusuk kulit

terhadap jenis tungau debu rumah Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides

pteronyssinus, dan Blomia tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998a). Penelitian

selanjutnya uji tusuk kulit dilakukan di klinik yang sama di Jakarta terhadap

alergen regional asal Singapura pada pasien alergi pernapasan dengan persentase

reaksi positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus 77,57%, Blomia

tropicalis 71,96%, Austroglycyphagus malaysiensis 33,64%, Elaeis guineensis

Page 25: Serb Uk Sari

22,43%, Acacia auriculiformis 12,15%, Dicranopteris spp 11,21%, Curvularia

fallax 8,41%, dan Exserohilum rostratum 13,08% (Baratawidjaja et al. 1999).

Pada sisi lain, hasil penelitian tersebut belum banyak memberikan

informasi tentang alergi secara menyeluruh di Indonesia. Untuk faktor alergen

misalnya, selama ini yang lebih banyak diteliti adalah faktor alergen dalam

rumah, sedangkan faktor alergen di luar rumah seperti terabaikan. Padahal di

daerah tropis seperti Indonesia ini, rumput-rumputan tumbuh tersebar di mana-

mana sepanjang tahun. Serbuk sari yang disebarkan angin dari berbagai pohon

dan rumput mengandung sejumlah alergen terutama protein (Gossage 2000; Puc

2003).

Berdasarkan latar belakang tersebut, tampaknya sampai saat ini belum

terdapat studi tentang alergen serbuk sari tumbuhan di Indonesia dan

kemungkinannya sebagai penyebab alergi pada manusia. Kondisi ini cukup

memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman

flora yang memiliki sumber serbuk sari yang tersedia sepanjang tahun,

kemungkinan terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari sangat besar. Oleh karena

itu penelitian khusus tentang sensitivitas terhadap serbuk sari asal tumbuhan

Indonesia sangat perlu dilakukan untuk dapat mengungkapkan dan

mengidentifikasi serbuk sari yang tersebar di udara serta seberapa jauh manusia

telah tersensitisasi.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang

berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada

manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul

(BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate

polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui

kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit,

baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang seberapa

besar telah terjadi pajanan terhadap alergen serbuk sari pada manusia. Serbuk sari

yang berpotensi tinggi sebagai alergen dapat digunakan dalam panel uji tusuk

kulit sebagai upaya pencegahan penyakit alergi di Indonesia.

Page 26: Serb Uk Sari

2. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Alergi

Dalam imunologi, banyak istilah yang kerap tumpang tindih untuk

menggambarkan penyakit alergi. Selain istilah alergi, dikenal istilah atopi dan

hipersensitivitas. Ketiga istilah sering dipakai bergantian tanpa mempengaruhi

makna kalimat, meskipun sebenarnya masing-masing mempunyai batasan

tersendiri. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1906 oleh Clemens

Peter Freiherr von Pirquet, seorang dokter anak dari Austria yang mendalami

bidang bakteriologi dan imunologi. Alergi berasal dari bahasa Yunani allos

(artinya: perubahan atau penyimpangan) dan ergon (artinya: reaksi). Oleh karena

itu, alergi didefinisikan sebagai reaksi penyimpangan sistem imun terhadap

bahan-bahan alergen yang tidak berbahaya. Pengaktifan sistem imun yang tidak

diinginkan serta berpotensi merusak jaringan tubuh disebut hipersensitivitas.

Bakat atau kecenderungan seseorang untuk mengalami reaksi hipersensitivitas

disebut atopi, yang berasal dari bahasa Yunani atopia yang berarti tanpa tempat,

karena reaksi hipersensitivitas dapat bermanifestasi secara menyeluruh pada tubuh

(sistemik). Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca pada tahun 1928, yaitu

istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada orang yang mempunyai

kepekaan dalam keluarganya.

Penyakit-penyakit alergi sering dihubungkan dengan organ tertentu, yaitu

hidung (rinitis alergi), mata (konjungtivitis alergi), rongga hidung di belakang

wajah (sinusitis), paru (asma bronkial/asma), kulit (dermatitis atopi/ekzema dan

urtikaria/kaligata) (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Dahulu semua jenis hipersensitivitas disebut alergi, tetapi sekarang alergi

hanya merupakan satu dari empat jenis reaksi hipersensitivitas (Tabel 1). Alergi

adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disebut juga tipe cepat atau anafilaksis,

ditandai dengan produksi antibodi Imunoglobulin E (IgE) berlebihan sebagai

respons atas rangsangan alergen yang memicu aktivasi sel-sel imun tertentu untuk

melepaskan zat perantara (mediator) kimiawi seperti histamin, dan menimbulkan

respons inflamasi berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi (Platt-Mills et

al. 2006).

Page 27: Serb Uk Sari

6

Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs (Platt-Mills 2006)

Tipe Nama reaksi Perantara Contoh penyakit 1 Alergi/cepat/anafilaksis IgE Asma, rinitis alergi, dermatitis atopi 2 Sitotoksik IgG, IgM Anemia hemolitik autoimun 3 Kompleks imun IgG, IgM Lupus eritematosus sistemik 4 Lambat Sel T Dermatitis kontak

Suatu alergen akan menimbulkan gejala klinik bila seseorang telah

mengalami sensitisasi yang merupakan hasil interaksi antara kemampuan

seseorang secara genetik untuk merespons pemajanan oleh alergen. Sensitisasi

ditandai dengan produksi IgE, sebagai petanda respons imun terhadap alergen

yang merangsang. Pemajanan oleh alergen kepada orang yang tidak sensitif,

meskipun dalam jumlah besar tidak akan menimbulkan gejala, sementara bagi

orang yang sensitif, hanya dibutuhkan sejumlah kecil alergen untuk menimbulkan

gejala alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat terjadi sejak masa kandungan,

kanak-kanak, dan bahkan dewasa (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007).

Penyakit alergi ditandai oleh respons imun terhadap alergen dalam

lingkungan yang menimbulkan inflamasi imunologik di jaringan dan kelainan

fungsi organ dengan dibentuknya antibodi IgE spesifik. Alergen masuk ke dalam

tubuh melalui beberapa cara, yaitu alergen hirup melalui saluran napas (tungau

debu rumah, serpihan kulit binatang, serbuk sari, dan spora jamur), alergen

ingestan melalui mulut (makanan dan obat-obatan), alergen injektan (obat suntik)

dan alergen kontaktan seperti logam, karet, dan wangi-wangian (Al-Frayh &

Hasnain 2000). Manifestasi alergi dapat terjadi di organ pernapasan berupa asma

dan rinitis alergi, di kulit berupa dermatitis atopi dan urtikaria (kaligata/biduran),

serta reaksi alergi yang mengancam nyawa bersifat sistemik yang disebut

anafilaksis (Rabson et al. 2005, Chapel et al. 2006; Kuby et al. 2007).

Alergen yang masuk tubuh akan memacu sel limfosit B untuk

memproduksi IgE yang kemudian diikat oleh reseptornya pada sel mast yang

terdapat di jaringan tubuh dan basofil yang berada dalam sirkulasi. Selanjutnya

alergen yang sama masuk tubuh pada pajanan ulang akan diikat oleh IgE tersebut.

Ikatan IgE dan alergen spesifiknya akan mengaktifkan sel mast dan basofil untuk

melepas histamin dan mediator lainnya yang berperan dalam timbulnya gejala

alergi (Gambar 1).

Page 28: Serb Uk Sari

7

Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast (dimodifikasi dari Rabson et al. 2005)

Pasien alergi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen spesifik akan

menunjukkan reaksi kulit positif berupa bentol dan merah pada uji tusuk kulit. Sel

limfosit B dan produknya yang berupa antibodi IgE merupakan elemen utama

respons imun humoral. Produksi antibodi oleh sel limfosit B dikendalikan dan

dirangsang oleh sel limfosit T dengan profil sitokin T helper2 (Th2),

meningkatkan sintesis Interleukin-4 (IL-4) dan Interleukin-13 (IL-13) yang

memacu sintesis antibodi IgE. Sel mast ditemukan dalam berbagai jaringan seperti

kulit, konjungtiva mata, saluran cerna serta saluran napas bagian atas dan bawah.

Di tempat-tempat tersebut sel mast terpajan dengan berbagai bahan eksternal. Sel

mast juga ditemukan sekitar saraf dan pembuluh darah. Sebaliknya basofil tetap

dalam sirkulasi yang merupakan sekitar 0,5% dari leukosit (sel darah putih). Bila

sel mast dan basofil diaktifkan, akan berdegranulasi dan melepas berbagai

mediator baik yang sudah ada dalam sel (preformed) yang menimbulkan awal

respons alergi dan yang dibentuk baru (newly generated/synthesize) (Rabson et al.

2005; Platt-Mills 2006).

Respons alergi dibagi menjadi fase dini dan fase lambat. Sel mast

merupakan sel utama yang berperan dalam fase dini, melepas mediator yang

sudah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan Platelet Activating Factor

(PAF), dan mediator yang baru disintesis seperti leukotrin. Efek histamin adalah

bronkokonstriktor, meningkatkan sekresi mukus dan kontraksi otot polos saluran

napas, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas vaskular (Bachert 2002;

MacGlashan 2003). Leukotrin merupakan kemoatraktan leukosit poten,

menginduksi kontraksi otot polos, bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi

mukus, sedangkan mediator PAF berfungsi sebagai kemoatraktan eosinofil poten

Alergen IgE Sel Mast Mediator Reaksi hipersensitivitas tipe 1/alergi/cepat

Rinitis alergi

Asma bronkial Dermatitis atopi dan urtikaria

Alergi makanan

Histamin

Serbuk Sari IgE

Sel Mast

Page 29: Serb Uk Sari

8

(Edwards 2003). Eosinofil ditemukan pada tahun 1879 oleh Paul Ehrlich, sel ini

dianggap berperan penting dalam inflamasi alergi. Eosinofil memproduksi dan

melepas berbagai mediator, salah satunya Protein Dasar Utama (Major Basic

Protein) yang merusak jaringan dan memacu inflamasi pada penyakit alergi

(Romagnini 2004).

. Rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi kronik lapisan lendir (mukosa)

hidung yang terletak di saluran napas atas, diperantarai antibodi IgE setelah

dipicu oleh pajanan alergen. Gejala-gejalanya dapat berupa bersin-bersin, hidung

berair, hidung tersumbat dan gatal, seringkali disertai mata gatal, merah dan

berair. Berdasarkan kemunculannya, rinitis alergi dibagi menjadi rinitis

intermiten dan persisten. Berdasarkan keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi

ringan, sedang, dan berat. Rinitis alergi adalah penyakit multifaktorial dengan

banyak faktor risiko yang dipicu oleh interaksi gen dan lingkungan. Rinitis alergi

dan asma adalah penyakit alergi pernapasan, dengan konsep one airway one

disease, yang berarti pada orang yang menderita rinitis alergi seringkali disertai

asma, karena merupakan satu saluran pernapasan. Rinitis alergi adalah penyakit

alergi pada saluran pernapasan atas, sedangkan asma pada saluran pernapasan

bawah (Huang 2007).

Pencetus rinitis alergi adalah alergen, baik alergen dalam rumah atau luar

rumah di daerah beriklim sedang. Alergen dalam rumah terpenting adalah tungau

debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan seperti kucing dan anjing.

Alergen luar rumah terpenting adalah serbuk sari. Spora jamur merupakan alergen

dalam dan luar rumah, Aspergillus dan Penicillium adalah spesies yang paling

banyak ditemukan dalam rumah, sedang Alternaria dapat ditemukan di dalam

maupun luar rumah (Matsui & Wood 2007). Penyakit rinitis yang dicetuskan

serbuk sari disebut polinosis. Sejak lama masyarakat di negara 4 musim

menyadari bahwa pada musim panas, orang-orang tertentu akan mengalami rinitis

alergi yang dikenal dengan istilah hay fever. Semula mereka menganggap

penyakit ini disebabkan oleh bunga mawar pada awal musim panas dan oleh

tanaman goldenrod di akhir musim panas. Kenyataannya, hay fever dicetuskan

oleh serbuk sari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar bunga mawar dan

Page 30: Serb Uk Sari

9

serbuk sari gulma ragweed yang tumbuh di sekitar goldenrod. Hay fever pada

awal musim panas berbarengan dengan berbunganya rumput-rumputan,

sedangkan pada akhir musim panas sejalan dengan berbunganya ragweeds dan

goldenrods. Selain rumput-rumputan dan ragweed, banyak tumbuhan lain

penyebab hay fever (Wodehouse 1965). Di Amerika Utara, ragweed jenis

Ambrosia artimisifolia (Asteraceae) merupakan serbuk sari gulma terpenting oleh

karena dapat disebarkan dengan jarak ratusan kilometer. Reaksi alergi terhadap

serbuk sari tersebut terjadi pada akhir musim panas dan berlangsung sampai bulan

Oktober. Sekalipun demikian, di Florida Selatan orang yang tersensitisasi dapat

menunjukkan gejala alergi di luar musim tersebut. Hal ini disebabkan di daerah

pantai itu, serbuk sari di produksi sepanjang tahun. Dewasa ini ragweed juga

ditemukan di Korea, Jepang, Australia dan Eropa (Gossage 2000).

Cynodon dactylon disebut juga Bermuda grass, serbuk sarinya merupakan

sumber polinosis yang sangat banyak di seluruh dunia, pencetus asma, rinitis

alergi, dan konjungtivitis alergi yang kuat, dikenal sebagai salah satu spesies

rumput yang sering menyebabkan reaksi alergi dan terdapat di berbagai wilayah

seperti Eropa, Amerika, Afrika Selatan, Australia, India, dan Jepang

(Sompolinsky et al.1984; Adler et al.1985; Weber 2002). Serbuk sari C. dactylon

merupakan alergen tersering penyebab rinitis alergi pada anak-anak yang

dibuktikan dengan uji IgE spesifik (Halonen et al. 1997) dan juga berhubungan

bermakna dengan sinusitis (Lombardi et al. 1996).

Selain di daerah beriklim sedang, reaksi alergi terhadap serbuk sari

C. dactylon juga ditemukan di Asia Tropik. Pada penelitian di Thailand, 17% dari

100 orang pasien alergi rinitis menunjukkan uji IgE spesifik terhadap alergen

C. dactylon (Pumhirun 1997). Di Semenanjung Malaysia, serbuk sari C. dactylon

dilaporkan merupakan serbuk sari yang paling alergenik di antara serbuk sari

rumput-rumputan (Sam 1998). Bahkan di Kuwait, negara yang terdapat di gurun

pasir, mendapatkan serbuk sari C. dactylon sebagai salah satu alergen yang paling

sering ditemukan pada 505 orang dewasa muda dengan prevalensi 53,6%, sedikit

lebih banyak dari tungau debu rumah (52,7%) (Ezeamuzie 1997). Dari 810 pasien

asma atau rinitis alergi di Kuwait, IgE spesifik terhadap C. dactylon terdeteksi

pada 54,6% serum pasien (Ezeamuzie 2000). Pada 706 pasien rinitis alergi berusia

Page 31: Serb Uk Sari

10

6-64 tahun, IgE spesifik terhadap C. dactylon didapatkan pada 55% orang

(Dowaisan 2000). Di Uni Emirat Arab, 33% dari 263 pasien alergi pernapasan

didapatkan sensitif terhadap C. dactylon (Lestringant et al. 1999). Di Arab Saudi,

IgE spesifik terhadap C. dactylon merupakan salah satu alergen yang sering

dijumpai pada pasien dewasa maupun anak-anak dengan asma dan rinitis alergi

(Al-Anazy 1997; Sorensen 1986). C. dactylon juga merupakan alergen yang

menonjol di Afrika Selatan pada anak-anak dengan asma dan rinitis alergi (Green

1997; Potter 1991).

Alergen Serbuk Sari Poaceae pencetus rinitis alergi. Protein serbuk sari

poaceae yang dapat mencetuskan alergi telah diteliti luas dan dibagi menjadi 13

grup. Alergen grup 1 meliputi glikoprotein yang mempunyai BM antara 27-35

kD. Alergen ini berada baik di sitoplasma maupun di eksin butir serbuk sari dan

merupakan alergen utama dari ekstrak serbuk sari rumput. Sekitar 90% orang

yang alergi serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas antibodi IgE terhadap

alergen grup 1 (Matthiesen et al. 1991; Han et al. 1993; Schramm et al. 1996).

Alergen ini merupakan glikoprotein yang sering menyebabkan reaktivitas silang

dengan serbuk sari berbagai rumput lainnya (Grobe et al. 1999; Schenk et al.

1996; Hiller et al. 1997). Pada serbuk sari C. dactylon terpenting adalah alergen

grup 1 (Cyn d 1) dengan BM 30 kD (Shen et al. 1988; Ford & Baldo 1987;

Matthiesen et al. 1991) dan grup 7 (Cyn d 7) (Smith et al. 1997; Suphioglu et al.

1997).

Alergen grup 2 dan 3 meliputi protein non-glikosilat dengan kisaran BM

10-12 kD. Alergen grup 4 merupakan glikoprotein pengikat IgE dengan BM 50-

67 kD dan awalnya diidentifikasi dari rumput Phleum pratense yang sering

disebut Timothy grass, Lolium perenne dikenal dengan nama Perennial rye grass,

dan Dactylis glomerata atau Orchard grass (Brodard et al. 1993). Sebanyak 80%

orang yang alergi terhadap serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas IgE

terhadap alergen grup 4, sehingga kelompok ini dianggap sebagai alergen mayor

(Leduc-Brodard et al. 1996). Alergen grup 5 mirip dengan grup 1, mempunyai

BM antara 27-33 kD. Alergen grup 6 adalah sitokrom, sejauh ini hanya ditemukan

pada P. pratense, yang merupakan protein non-glikosilat bersifat asam dengan

BM sekitar 13 kD (Lowenstein et al. 1978). Alergen grup 7 merupakan

Page 32: Serb Uk Sari

11

sekelompok protein kecil dengan BM 8,7-8,8 kD, ditemukan pada rumput C.

dactylon dan P. pratense (Smith et al. 1997, Niederberger et al. 1996, Puc 2003).

Alergen grup 11 pertama ditemukan dari serbuk sari L. perenne yang merupakan

glikoprotein pengikat IgE berukuran 18 kD (Ree et al 1995). Alergen grup 12

merupakan keluarga protein yang disebut profilin berukuran 14 kD (Sohn et al

1994), dan grup 13 merupakan kelompok terakhir yang ditemukan pada serbuk

sari rumput-rumputan dengan BM sekitar 55-60 kD (Sohn et al. 1994).

Asma bronkial

Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik di paru yang terletak di

saluran napas bawah, berupa episode penyempitan dan peradangan jalan napas

yang disertai produksi lendir (mukus) berlebihan sebagai respons terhadap satu atau

lebih pencetus. Batasan teknis dari Global Initiative for Asthma (GINA)

mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan

peran berbagai sel, terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi pada

orang yang peka mengakibatkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada

tertekan, dan batuk terutama malam dan dini hari (Bateman et al. 2008). Batasan

praktis dari Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak adalah mengi berulang dan

atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada

malam dan dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, dan dapat membaik dengan

atau tanpa pengobatan serta adanya riwayat asma atau atopik lain pada pasien dan

atau keluarganya [UKK Pulmonologi IDAI 2002].

Faktor pencetus serangan asma antara lain adalah alergen (tungau debu

rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan, spora jamur, serbuk sari), asap rokok,

polusi udara, dan infeksi virus. Alergen merupakan faktor terpenting tidak hanya

dalam mencetuskan asma, tetapi juga menentukan keparahan dan menetapnya

gejala-gejala asma (Nelson 2000). Secara patologis, asma ditandai oleh

hiperreaktivitas bronkus. Orang atopi adalah orang yang rentan untuk mengalami

hiperreaktivitas bronkus, tetapi hanya 10-30% yang akhirnya mengalami asma.

Bukti bahwa asma memiliki komponen genetik berasal dari studi pada keluarga,

yang memperkirakan bahwa kontribusi faktor genetik terhadap atopi dan asma

secara relatif adalah sekitar 40-60%. Asma adalah penyakit genetik yang kompleks

Page 33: Serb Uk Sari

12

dan melibatkan banyak gen, sehingga kerentanan terhadap asma melibatkan

interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan (Kuby et al. 2007).

Dermatitis atopi

Dermatitis atopi atau ekzema adalah peradangan kronik kulit dengan

gejala gatal yang seringkali mengganggu tidur. Pada bayi, ekzema umumnya

berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala, belakang telinga,

badan, lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali ditemukan di lipatan

kulit sekitar lutut dan siku. Menjelang remaja ekzema umumnya menghilang dan

dapat bermanifestasi menjadi asma. Alergen pemicu biasanya berupa makanan

(susu, makanan laut, kacang tanah, coklat, dan lain-lain). Reaksi alergi makanan

selain berupa dermatitis atopi, dapat juga berupa reaksi bentol, kemerahan dan

gatal yang dikenal dengan sebutan urtikaria, nama lainnya biduran atau kaligata

(Rabson et al. 2005).

Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi

Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik

seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen

yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi,

tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat

diketahui dengan pemeriksaan IgE (Bousquet et al. 2008). Ditemukannya antibodi

IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis

dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya

IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit (skin prict test) dan pemeriksaan

darah cara radioallergosorbent test (RAST) (Rusznak & Davies 1998; Jarvis &

Burney 2004; Koshak 2006)

Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara

(anamnesis) tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci

keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan,

intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta

lingkungan (Church & Holgate 1995). Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat

ditemukan rinore atau ingusan, penurunan atau hilangnya indera penciuman.

Page 34: Serb Uk Sari

13

Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada

saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas

(Rabson et al. 2005). Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis

alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk

kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya (Church &

Holgate 1995).

Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada

tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys

pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan

volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus

tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk

menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai

kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut

(Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan

adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal

diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji

tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat,

mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah

besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004).

RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar

IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan

adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan

ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian

direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien.

Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme

linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik

untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit

tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti

ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang

mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu

menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya

lebih mahal dibanding uji tusuk kulit. Meski demikian, hasil RAST perlu

Page 35: Serb Uk Sari

14

diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti

anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik

(Chapel et al. 2006).

Serbuk Sari

Serbuk sari adalah alat reproduksi tumbuhan guna mempertahankan

jenisnya dari kepunahan. Serbuk sari berupa butiran halus yang mengandung

mikrogametofit, yang menghasilkan gamet jantan tumbuhan berbiji. Dinding

serbuk sari terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar yang disebut eksin dan lapisan

dalam intin. Lapisan eksin terdiri dari bahan yang sangat kuat disebut

sporopolenin, dibagi menjadi lapisan seksin eksternal dan neksin internal. Seksin

merupakan lapisan yang memiliki ornamen berupa lubang-lubang sirkular atau

galur-galur longitudinal atau keduanya, dan neksin tidak. Struktur eksin

merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi, dan

memiliki aviditas untuk zat pewarna dasar (fuchsin dan phenosaffranin).

Pelepasan serbuk sari atau antesis biasanya terjadi pasif, karena anter pecah bila

menjadi kering (Faegri et al. 1964).

Studi terhadap serbuk sari disebut palinologi dan istilah palinologi

diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1945. Palinologi juga berkaitan

dengan bidang ilmu lainnya seperti biologi polinasi dan biologi reproduktif.

Untuk kepentingan taksonomi, penekanan diberikan pada ciri-ciri komparatif

serbuk sari, khususnya pada apertura dan struktur dinding (Stuessy 1990).

Aplikasi studi serbuk sari di bidang kedokteran antara lain dalam mengidentifikasi

alergen sebagai pencetus penyakit alergi dan imunoterapi (Mildenhall et al. 2006).

Penyerbukan pada tumbuhan dapat melalui beberapa cara yaitu anemofili

(dibantu angin) seperti padi, jagung, rumput, akasia dan pinus, hidrofili (dibantu

air) seperti tanaman air, entomofili (dibantu serangga) seperti pada anggrek,

ornitofili (dibantu burung) seperti benalu, kiropterofili (dibantu kelelawar) seperti

durian, malakofili (dibantu siput) dan antropofili (dibantu manusia) seperti pada

vanili. Serbuk sari tumbuhan anemofili biasanya kecil, halus, amat ringan, dan

diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Di antara tumbuhan entomofili,

terdapat beberapa tumbuhan yang memproduksi serbuk sari sangat banyak,

Page 36: Serb Uk Sari

15

memiliki anter terbuka, serbuk sari yang kurang lengket dapat melepaskan cukup

banyak serbuk sari ke udara; tumbuhan seperti ini disebut amfifili karena secara

parsial dapat menggunakan angin sebagai cara penyebaran serbuk sari

(Wodehouse 1965; Sornsathapornkul & Owens 1998; Smith 2000).

Aerobiologi adalah ilmu tentang partikel biologis yang terdapat di udara.

Aerobiologi antara lain bertujuan untuk memahami penyebaran partikel biologis

yang terdapat di udara yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan

tumbuhan sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, banyak orang mengalami

reaksi alergi karena partikel biologis yang dihirup, adakalanya bersifat alergen

terhadap manusia. Serbuk sari merupakan salah satu contoh dari partikel biologis

yang terdapat di udara yang menjadi objek aerobiologi (Lacey & West 2006).

Penangkapan Serbuk Sari

Untuk mengetahui serbuk sari apa yang ada di udara, dapat dilakukan

penangkapan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan kolektor pasif

berupa kolektor aeroalergen dasar yang secara total tergantung pada angin dan

gravitasi untuk membawa objek di udara ke permukaan pengumpul. Yang paling

banyak dipakai adalah gelas objek berperekat yang ditempatkan tak terlindung

dalam posisi terpajan terhadap udara bebas dalam waktu singkat (Smith 2000).

Alat penangkap lain seperti slit-type volumetric spore trap merupakan cara

terbaik pengumpulan serbuk sari dengan mesin slit-type yang menggunakan alat

penghisap. Alat ini mengeluarkan udara melalui satu atau beberapa ventilasi agar

udara terhisap ke dalam mesin melalui celah sempit berukuran 0,04x0,55 inci.

Kipas dan pompa udara digunakan untuk mengeluarkan udara dan menciptakan

kondisi bertekanan rendah yang memungkinkan udara masuk dan berganti melalui

celah. Slit-type volumetric spore trap yang banyak dipakai adalah alat Burkard.

Alat Burkard volumetric spore trap terdiri dari bagian luar dan bagian dalam

dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari

terus-menerus. Drum ini dilengkapi dengan pita plastik transparan “Melinex”

yang dilekatkan di sekelilingnya. Alat Burkard juga dilengkapi dengan sebuah

pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga

dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian

akan membentur dan melekat pada “Melinex”. Alat ini dapat diandalkan, mudah

Page 37: Serb Uk Sari

16

dibawa, dapat digunakan dalam segala cuaca, dan mudah dioperasikan. Burkard

merupakan alat yang direkomendasikan oleh World Allergy Organization

(WAO) dan mendapat sertifikasi dari The American Academy of Allergy,

Asthma and Immunology (AAAAI) (Lacey & West 2006, Hasnain et al. 2007).

Identifikasi Serbuk Sari

Untuk mengidentifikasi serbuk sari dapat dilakukan dengan mikroskop

cahaya dan pengamatan ultrastruktur dengan SEM, identifikasi berdasarkan

karakteristik berupa ukuran, bentuk, apertura, dan permukaan eksin (Faegri et al.

1964; Smith 2000).

Ukuran. Ukuran dan volume serbuk sari bervariasi secara alamiah karena

faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Ukuran dapat berubah dari bunga ke

bunga atau dari anter ke anter pada bunga yang sama. Temperatur dan

ketersediaan air juga dilaporkan mempengaruhi ukuran serbuk sari. (Smith 2000).

Bentuk. Bentuk serbuk sari ditentukan secara genetik dan lingkungan.

Bentuk butir serbuk sari dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial,

ditentukan berdasarkan perbandingan antar panjang aksis polar (P) dan diameter

ekuatorial (E), diekspresikan dalam bentuk indeks polar/ekuatorial (P/E Index),

yaitu rasio panjang dari kutub ke kutub dibandingkan lebar ekuatorial. Ekuator

adalah zona berjarak sama (equidistant) di antara kutub-kutub (Kapp 1969).

Serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat cenderung

memiliki morfologi yang serupa. Faktor lingkungan internal dan eksternal juga

turut berperan membentuk serbuk sari. Jika lingkungan internal tidak sama,

bentuk serbuk sari dari spesies yang berkerabat dekat atau bahkan sama mungkin

menghasilkan perbedaan nyata. Serupa dengan itu, jika faktor lingkungan

eksternal tidak sama, serbuk sari akan sangat berbeda tanpa memandang

kedekatan kekerabatannya. Kecenderungan kemiripan serbuk sari antar spesies

yang berkerabat dapat ditekan oleh perkembangan karakter yang dicetuskan oleh

pengaruh luar sehingga sedikit kemiripan yang dapat dikenali (Wodehouse 1965;

Smith 2000).

Apertura. Apertura atau bukaan adalah suatu area tipis pada eksin yang

berhubungan dengan perkecambahan serbuk sari, berfungsi sebagai titik keluar

tabung serbuk sari yang mengakomodasi perubahan volume di dalam serbuk sari

Page 38: Serb Uk Sari

17

ketika mengalami hidrasi atau pengeringan. Apertura melintas dari eksin ke intin,

dan dibedakan menjadi dua tipe yang bermanfaat untuk mengidentifikasi, yaitu

berupa celah memanjang disebut kolpi/kolpus (furrow) dan yang celah pendek

atau berbentuk bulat disebut porus/pori (pore). Pada bagian tengah pori beberapa

serbuk sari tampak suatu tudung sirkular (operkulum) yang merupakan sisa

perkembangan dinding serbuk sari sebelumnya, dan seringkali gugur saat

penyebaran serbuk sari yang telah matang. Pori pada serbuk sari dikelompokkan

berdasarkan jumlahnya. Serbuk sari inapertura tidak mempunyai pori pada

permukaannya. Serbuk sari yang mempunyai satu, dua, atau tiga pori-pori

berturut-turut disebut monoporat, diporat, dan triporat. Serbuk sari lainnya

mempunyai kolpus di permukaannya, dengan satu, dua, tiga, dan empat kolpi,

berturut-turut disebut monokolpat, dikolpat, trikolpat, dan tetrakolpat (Faegri et

al. 1964; Smith 2000).

Permukaan eksin. Serbuk sari juga mempunyai karakteristik permukaan

berdasarkan tipe ornamentasi eksin yang menjadi alat mengidentifikasi. Tipe

ornamentasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan

ornamentasinya, yaitu: psilat, perforat, foveolat, skabrat, verukat, gernat, klavat,

pilat, ekinat, rugulat, striat, dan retikulat. Permukaan psilat (Yunani: psilos-halus,

rata) tidak menampakkan gambaran apa pun di permukaannya dan tampak halus

rata, contohnya serbuk sari rumput. Di luar itu, ciri permukaan serbuk sari

digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang tampak sebagai penekanan atau

ridges pada eksin (retikulata, rugulata, dan striata), dan gambaran yang

merupakan tonjolan dari eksin (bakulata, klavata, ekinata, gemata, skabrata, dan

verukata). Permukaan retikulata (Latin: rete=jaring) adalah permukaan serbuk sari

yang mirip jaring. Permukaan rugulata (Latin: ruga=keriput) mempunyai

permukaan yang tidak teratur dengan garis-garis keriput yang tidak paralel.

Permukaan striata (Latin: stria=garis) mempunyai permukaan bergaris halus yang

tersusun hampir sejajar. Permukaan eksin bakulata (Latin: baculum=batang)

adalah tonjolan berbentuk batang dengan diameter terbesar kurang dari tinggi

tonjolan. Permukaan klavata (Latin: clava=gada) berbentuk tonjolan gada atau

raket tenis yang apeks-nya lebih lebar dari dasarnya. Permukaan ekinata (Latin:

echinatus-duri) adalah tonjolan berbentuk duri dan meruncing tajam dari dasar ke

Page 39: Serb Uk Sari

18

ujungnya. Permukaan gemata (Latin: gemma=tunas) adalah tonjolan berbentuk

tombol pintu atau tonjolan bulat dengan dasar menyempit. Permukaan skabrata

(Latin: scaber-bercak kecil) cenderung tampak sebagai permukaan kasar yang

tersusun dari tonjolan-tonjolan sangat kecil berdiameter kurang dari satu mikron.

Permukaan verukata (Latin: verucca-kutil) tampak tidak rata dengan tonjolan-

tonjolan bulat yang tidak menyempit di dasarnya (Faegri et al. 1964; Smith 2000).

Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara

Alergen adalah antigen yang memacu produksi antibodi IgE. Alergen

dalam udara masuk tubuh melalui inhalasi, terdiri dari partikel organik

(aeroalergen) dan inorganik. Serbuk sari tumbuhan merupakan sumber alergen

yang sangat penting dan dapat menimbulkan penyakit alergi pada kisaran 10-20%

populasi manusia, biasanya berupa rinitis alergi (Thompson & Stewart 1993).

Kadar dan jenis serbuk sari dapat berbeda bergantung pada jenis tumbuhan, angin,

dan faktor meteorologik lainnya. Kadar alergen di udara harus cukup tinggi,

dengan ukuran yang kecil dan ringan. Serbuk sari yang bersifat alergenik

umumnya berukuran 10-100 µm. Ukuran serbuk sari dapat dibagi menjadi

kategori: sangat kecil bila < 10 um, kecil 10-25 um, sedang 25-50 um, besar 50-

100 um, sangat besar 100-200 um (Weber 1998; Taylor et al. 2002).

Kebanyakan partikel aeroalergen mengandung campuran protein atau

glikoprotein yang dapat menimbulkan sensitivitas pada orang yang alergi. Secara

klinis aeroalergen mempunyai 3 ciri utama yaitu mengandung determinan antigen

spesifik yang dapat memacu respons alergi melalui antibodi IgE pada orang yang

sensitif. Pajanan dengan kadar ambien yang cukup untuk menimbulkan respons

alergi pada orang yang sensitif, berukuran kecil sehingga dapat mencapai mukosa

saluran napas (Gossage 2000). Bila serbuk sari menempel di mukosa orang yang

alergi, protein alergen yang disimpan dalam seksin dan lapisan intin bergerak

melalui lubang-lubang dan lajur-lajur lapisan eksin dan memacu respons alergi

(Ring 2005).

Serbuk sari di udara merupakan sumber alergen hirupan. Distribusi

musiman aeroalergen bervariasi di berbagai lokasi di satu negara. Rumput-

rumputan merupakan tanaman alergenik terpenting di Eropa dan Amerika (Jelks

Page 40: Serb Uk Sari

19

1987; Wodehouse 1965). Di Malaysia telah dilakukan penelitian penangkapan

serbuk sari dengan alat penangkap “Rotorod” yang menunjukkan serbuk sari

rumput merupakan 40% dari seluruh jumlah serbuk sari yang tertangkap dalam 1

tahun. Serbuk sari di udara Malaysia menunjukkan variasi musim, puncaknya di

bulan Maret dan paling sedikit di bulan Januari ketika musim hujan dan

kelembaban udara relatif tinggi (Ho et al. 1995). Serbuk sari rumput di Thailand

juga merupakan serbuk sari alergenik penting yang tertangkap di antara berbagai

alergen serbuk sari lainnya (Tuchinda et al. 1983, Phanichyakarn et al. 1989).

Serbuk sari alergenik berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi tiga

kelompok, yaitu serbuk sari pohon (tree pollen), serbuk sari gulma (weed pollen),

dan serbuk sari rumput (grass pollen). Serbuk sari pohon berasal dari 2 kelas

tumbuhan utama yaitu Angiosperma (tumbuhan berbiji tertutup), dan

Gymnosperma (tumbuhan berbiji terbuka, contoh pinus-pinusan). Kebanyakan

reaksi alergi yang berarti ditimbulkan oleh serbuk sari Angiosperma, sedang

serbuk sari kerabat-kerabat Pinus secara klinis tidak dianggap penting karena

ukurannya besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik lemah (Gossage 2000).

Serbuk sari Poaceae sering menimbulkan penyakit alergi karena serbuk sari ini

disebarkan angin dan ditemukan di seluruh dunia. Poaceae dapat ditemukan di

semua benua, mulai dari gurun sampai kutub, dalam air tawar maupun air laut,

yang seluruhnya merupakan 25-35% dari vegetasi dunia (Esch 2004).

Di daerah tropik dan subtropik, serbuk sari suku Poaceae dapat ditemukan

sepanjang tahun. Orang yang sensitif terhadap satu jenis serbuk sari suku

Poaceae, biasanya juga menunjukkan reaksi silang terhadap banyak jenis serbuk

sari suku Poaceae lainnya. Serbuk sari Poaceae terbanyak mempunyai diameter

antara 20-60 μm dan dapat menimbulkan gejala alergi pada banyak orang. Serbuk

sari yang masuk ke dalam saluran napas dapat menimbulkan gejala mengi,

fragmen serbuk sari dengan ukuran <10 um dapat terhirup dan masuk ke saluran

napas bagian bawah (Gossage 2000).

Tampaknya rinitis alergi dicetuskan serbuk sari pada saat kontak dengan

saluran napas atas dan mata. Pasien mengalami iritasi atau gatal, bersin-bersin dan

kemerahan pada mata atau rinorea segera setelah terkena serbuk sari. Ketika

Page 41: Serb Uk Sari

20

masuk ke dalam saluran napas atas, gejala-gejala asma dapat terjadi akibat

akumulasi cairan dan sekresi di bronkiol terminal (Al-Frayh & Hasnain 2000).

Sebagian besar studi tentang gejala-gejala alergi umumnya dilakukan

terhadap alergen tunggal. Protein alergenik yang spesifik serbuk sari telah

diisolasi dan diidentifikasi (Verdino 2006). Alergen serbuk sari mengandung

protein atau glikoprotein, tetapi tidak semua protein serbuk sari menyebabkan

sensitisasi pada manusia. Molekul yang dapat menyebabkan sensitisasi pada

manusia disebut atopen, memiliki BM antara 10-70 kD dan cenderung terdapat di

dinding luar serbuk sari. Protein alergenik ini bersifat larut air, sehingga mudah

tersedia secara biologis dan dapat mencetuskan reaksi alergi yang diperantarai IgE

dalam hitungan detik (Suphioglu 1998; Behrendt et al. 2001, Puc 2003). Bila

mengalami hidrasi, serbuk sari dapat melepaskan sejumlah enzim dengan

konsentrasi tinggi, termasuk protease yang ketika terdeposisi di permukaan

mukosa jalan napas atas, dapat merusak integritas epitel (Robinson et al. 1997,

Sehqul et al. 2005).

Sensitivitas terhadap alergen lingkungan tidak sama pada setiap individu.

Sebagian orang dapat tersensitisasi dengan kadar yang tinggi atau waktu pajanan

yang lama, tetapi sebagian lainnya dapat memperlihatkan sensitivitas luas

terhadap berbagai alergen dengan kadar rendah (Taylor et al. 2002; Traidl-

Hoffman et al. 2002; Grote et al. 2003; Bacsi et al. 2006). Kemampuan berespons

terhadap alergen, yang disebut kecenderungan atopi ini, ditentukan secara genetis.

Terjadinya alergi pada seseorang yang memiliki predisposisi, harus ada pajanan

aeroalergen yang cukup untuk menimbulkan sensitisasi, dan pajanan aeroalergen

yang berkesinambungan pada orang yang tersensitisasi untuk menimbulkan gejala

klinis (Metzger et al. 1987; Leung 1996).

Sensitisasi terhadap pajanan alergen sudah dimulai sejak tahun pertama

kehidupan. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa sensitisasi terhadap

serbuk sari birch (Betula spp) adalah 25% lebih tinggi pada bayi yang lahir selama

musim serbuk sari birch dibandingkan bayi yang lahir setelah musim tersebut dan

tidak terpajan sampai usia 9 bulan (Suonemi et al. 1981). Pajanan dini ketika bayi

terhadap alergen poten seperti serbuk sari dan tungau debu rumah pada individu

Page 42: Serb Uk Sari

21

sensitif merupakan faktor risiko untuk terkena penyakit alergi di kemudian hari

(Sporik et al. 1990).

Penelitian tentang serbuk sari tumbuhan di Indonesia yang berpotensi

menyebabkan penyakit alergi pernah dilakukan di Jakarta (Djalil et al. 1987).

Penangkapan serbuk sari dilakukan dengan alat penangkap Burkard volumetric

spore trap yang dipasang di daerah Jakarta Pusat selama satu minggu. Pada bulan

November 1985 mendapatkan beberapa spesies spora jamur dan serbuk sari yang

berpotensi alergenik, yaitu Alternaria, Cladosporium, Acacia auriculiformis dan

Myrtaceae. Pada bulan Agustus 1987, penelitian serupa diulang kembali dan

mendapatkan beberapa jenis serbuk sari yang banyak ditemukan di Jakarta, yaitu

dari suku Poaceae (Gramineae), Moraceae, A. auriculiformis, dan Myrtaceae.

Spora jamur terbanyak yang didapat adalah Cladosporium, Drechslera,

Nigrospora, Alternaria, dan Cercospora. Penangkapan pada bulan November

1985 dianggap mewakili musim hujan, sedangkan pada bulan Agustus 1987

mewakili musim kemarau. Dari pengamatan tersebut, tampak dominasi spora

Cladosporium di musim kemarau dan Alternaria di musim hujan. Namun tidak

tampak ada perbedaan jumlah serbuk sari yang bermakna antara musim hujan dan

kemarau. Untuk meneliti serbuk sari yang berpotensi alergenik, perlu diketahui

serbuk sari mana yang memiliki konsentrasi tinggi di udara.

Serbuk sari A. auriculiformis mencapai konsentrasi puncak pada pukul 11

pagi, sedangkan serbuk sari Poaceae mencapai konsentrasi puncak antara pukul

13-15 siang. Dari perhitungan, tampak bahwa konsentrasi berbagai serbuk sari

yang ditangkap sangat rendah untuk menyebabkan gangguan alergi, kecuali

konsentrasi serbuk sari Poaceae dan A. auriculiformis.

Page 43: Serb Uk Sari

3. BAHAN DAN METODE

Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat

penangkap, identifikasi serbuk sari dengan mikroskop cahaya dan scanning

electron microscope (SEM), penentuan jenis serbuk sari dan pengumpulan serbuk

sari, membuat ekstrak alergen serbuk sari untuk mengetahui kealergenikannya

baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi dengan cara

uji tusuk kulit, serta melihat profil bobot molekul (BM) alergen serbuk sari yang

diuji dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis

(SDS-PAGE).

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Mei

2008.

Penangkapan serbuk sari dilakukan sesuai dengan kemungkinan serbuk sari

sebagai alergen di daerah Darmaga Bogor, Lebak Bulus Cilandak, Ragunan Pasar

Minggu dan Ciganjur Jagakarsa di Jakarta Selatan (Lampiran 1,2). Untuk

mengetahui sebaran serbuk sari, penelitian pendahuluan dilakukan di daerah

Darmaga Bogor dan Lebak Bulus Cilandak di Jakarta Selatan. Penelitian

pendahuluan pada tahun 2005 dengan pemasangan alat penangkap serbuk sari

pasif di Darmaga Bogor didasarkan atas serbuk sari suku Poaceae seperti alang-

alang, jagung dan padi. Alat dipasang selama 6 hari antara tanggal 30 Maret

sampai 4 April 2005 serta antara 9 Juni sampai 12 Juni 2005. Sedangkan

penelitian awal di daerah Lebak Bulus Cilandak, Jakarta Selatan dilakukan untuk

mengetahui serbuk sari apa yang tertangkap di daerah tersebut dengan

menggunakan Burkard volumetric spore trap selama 1 tahun, dari 1 Januari

sampai 31 Desember 2006.

Penangkapan serbuk sari dilanjutkan pada tahun 2007 dengan memilih

Kecamatan Pasar Minggu berdasarkan kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan

Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi di area tersebut (DKK DKI Jakarta

2006), dan juga dari Peta Peruntukan Tanah yang dikeluarkan Dinas Tata Kota

Jakarta tahun 2005, Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan memiliki area

Page 44: Serb Uk Sari

23

penghijauan yang sangat luas. Di wilayah ini diketahui berbagai tanaman seperti

tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung, pisang, kelapa sawit,

kelapa genjah, rambutan, jambu, mangga, alang-alang, dan rumput gajah.

Berdasarkan data tersebut diatas, maka ditentukan area penelitian adalah daerah

Pasar Minggu dan sekitarnya. Penangkapan serbuk sari dilakukan pada bulan

Januari 2007 sampai Mei 2007 dengan gelas objek yang dioles perekat silikon dan

digantung pada batang bambu di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan

Kebun Bibit Dinas Pertamanan Ciganjur Jagakarsa (Lampiran 1,2).

Serbuk sari diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorim

Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium

Biologi Tumbuhan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB)

IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang

Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk

sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian

Biologi LIPI Cibinong.

Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di

Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian

Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji klinis dengan cara uji tusuk kulit dilakukan di

Poli Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM, Poli Alergi

Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi

Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE untuk penentuan BM dilakukan

di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB.

Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari

Penangkapan serbuk sari pada penelitian ini menggunakan tiga jenis alat.

Jenis alat yang pertama berupa alat penangkap serbuk sari pasif yang dibuat dari

papan tripleks yang diberi atap kecil agar terlindung dari hujan, digunakan untuk

menangkap serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Papan untuk menangkap

serbuk sari alang-alang dan jagung berukuran 60x40 cm, sedangkan papan untuk

serbuk sari padi berukuran 80x20 cm. Pada setiap alat penangkap, ditempel pita

transparan “Melinex” sepanjang 20 cm dengan double tape di kedua ujungnya,

kemudian diatas pita “Melinex” diberi perekat silikon. Pita “Melinex” ditempel

sebanyak tiga baris di bagian depan dan tiga baris di bagian belakang papan. Alat

Page 45: Serb Uk Sari

24

penangkap ini dipasang di areal yang banyak alang-alang, ladang jagung dan

persawahan di Darmaga (Gambar 2). Setelah beberapa hari, pita “Melinex”

diangkat dari papan tripleks dan digunting sepanjang gelas objek berukuran

7,5x2,5 cm. Serbuk sari yang menempel di pita “Melinex” diletakkan di atas gelas

objek dalam posisi terbalik, kemudian sediaan diperiksa di bawah mikroskop

cahaya.

Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga: a. di ladang

jagung dan b. di sawah

Jenis alat penangkap kedua berupa alat Burkard volumetric spore trap

(Gambar 3) yang terdiri dari bagian luar dan bagian dalam dengan drum yang

dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari terus-menerus.

Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus

a b

Bagian luar Bagian dalam (letak drum)

Page 46: Serb Uk Sari

25

Drum ini dilengkapi dengan pita transparan “Melinex” yang diolesi

perekat silikon (Gambar 4) dan yang diletakkan di sekelilingnya, dilengkapi juga

dengan sebuah pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per

menit, sehingga dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah,

yang kemudian akan membentur dan melekat pada pita “Melinex”. Alat ini dapat

digunakan dalam segala cuaca, dan dipasang di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon

Jenis alat penangkap ketiga menggunakan gelas objek yang dioles perekat

silikon, kemudian dijepit dengan penjepit kertas dan digantung pada tiang dari

bambu (Gambar 5a dan 5b). Alat penangkap pasif ini tidak dapat digunakan bila

hujan, hanya bisa bila cuaca tidak hujan dan ada angin. Diharapkan serbuk sari

yang beterbangan akan menempel pada gelas objek yang tergantung (Gambar 5c).

Alat ini dipasang pagi hari sekitar pukul 07.00 dan diangkat sore hari sekitar

pukul 17.00. Alat ini dipasang di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan

Kebun Bibit Ciganjur Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Serbuk sari yang berhasil tertangkap oleh alat penangkap di empat lokasi,

kemudian diidentifikasi guna mengetahui spesies tumbuhannya. Identifikasi

serbuk sari yang tertangkap diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya,

tanpa pulasan atau diwarnai dengan zat warna safranin. Identifikasi dilakukan

dengan membandingkan serbuk sari yang tertangkap dengan serbuk sari kontrol

yang diambil dari bunga yang diketahui.

Drum

Perekat silikon

Pita transparan “Melinex”

Page 47: Serb Uk Sari

26

Gambar 5 Alat penangkap (a dan b) dengan gelas objek berperekat silikon (c)

yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa, Jakarta Selatan

Struktur permukaan serbuk sari diamati dengan menggunakan SEM tipe

JEOL JSM-5310LV. Dari serbuk sari yang tertangkap tidak semuanya ditindak

lanjuti untuk pengujian alergi. Serbuk sari yang dilanjutkan untuk uji klinis

dengan cara uji tusuk kulit ada 7 jenis, yaitu akasia, alang-alang, kelapa genjah,

kelapa sawit, pinus, jagung dan padi. Setelah ditentukan jenis serbuk sari yang

akan dipakai untuk uji tusuk kulit, selanjutnya dilakukan pengumpulan serbuk sari

mengikuti metode Ching & Ching (1964). Semua jenis serbuk sari diambil dan

dikumpulkan langsung dari bunganya sekitar pukul 8 pagi. Bunga kelapa beserta

serbuk sarinya berdasarkan modifikasi Santos (1995) dikeringkan di ruang

bersuhu 19°C selama 2 hari. Semua serbuk sari diayak dengan saringan

bertingkat, sehingga serbuk sari terpisah dari bagian bunga lainnya, kemudian

disimpan pada suhu –20°C dan siap di ekstraksi untuk pembuatan alergen.

Pembuatan Alergen

Setiap serbuk sari yang akan diekstrak dimasukkan dalam cryotube

Corning, lalu direndam semalam dalam tabung cryofab yang berisi nitrogen cair.

Hari berikutnya, berat serbuk sari ditimbang dengan timbangan analitik dan

ditumbuk halus dengan mortar, lalu disuspensi dalam 10% (w/v) etanol 96%,

dikocok menggunakan stirrer selama 30 menit pada suhu ruang. Suspensi serbuk

sari dipindahkan ke dalam eppendorf 1,5 ml, disentrifugasi menggunakan

refrigerated microcentrifuge dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada

suhu 4oC. Supernatan berisi etanol 96% dengan kandungan lemak terlarut,

a b c

Page 48: Serb Uk Sari

27

dibuang, endapan dikeringkan di atas tisu. Selanjutnya disuspensi dalam 5% (w/v)

NaCl 0,5 M, dengan menggunakan vortex pada suhu ruang selama 30 menit untuk

melarutkan protein. Setelah itu ekstrak protein didialisis dalam phosphat buffer

saline (PBS) menggunakan membran dialisis semalam pada suhu 4ºC untuk

menghilangkan mikromolekul non-protein. Konsentrasi protein diukur dengan

metode Lowry (1951) dan untuk uji tusuk kulit konsentrasi disamakan pada 0,2

mg/ml (Ong 2005). Kemudian disaring dengan filter membran syringe steril 0,22

µm dan siap dipakai untuk uji tusuk kulit. Ekstraktan dari setiap jenis serbuk sari

yang digunakan sebagai alergen untuk uji tusuk kulit disimpan pada suhu 4ºC.

Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari

Ekstrak serbuk sari yang dipakai untuk uji tusuk kulit, diukur BM

proteinnya dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel

electrophoresis (SDS-PAGE). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan

komponen-komponen protein dengan pengaruh arus listrik dalam medan listrik,

sehingga terjadi laju perpindahan. Gel yang digunakan terbuat dari tris-HCl, SDS,

bis-akrilamida, amonium persulfat, dan temed mengikuti metode Laemmli (1970)

yang dimodifikasi. Resolving (running) gel yang digunakan dengan konsentrasi

12% akrilamid, dan stacking gel 4% akrilamid. Pulasan pita protein dilakukan

dengan pewarnaan coomassie brilliant blue (CBB) dan perak nitrat (silver

staining). Marker BM yang digunakan adalah standar protein dengan BM rendah

atau low molecular weight (LMW). Sampel didenaturasi dengan pemanasan dan

penambahan b-mercapto-ethanol. Pada saat running, besar voltase yang dipakai

75 volt dengan kuat arus 40 mili Amper (mA), lama running 3 jam. Setelah proses

running selesai, dilakukan pewarnaan dengan melarutkan gel dalam larutan

pewarna. Kemudian didiamkan semalam dan keesokan harinya dilakukan proses

destaining.

Etika Penelitian

Berdasarkan Deklarasi Helsinki tentang etik penelitian yang menggunakan

uji klinis pada manusia, semua peserta penelitian harus mendapat penjelasan yang

cukup (Lampiran 3) dan menyatakan persetujuannya secara tertulis (informed

consent) untuk diikutsertakan dalam penelitian (Lampiran 4). Data peserta

Page 49: Serb Uk Sari

28

penelitian dilaporkan secara anonim. Pada penelitian ini, potensi masalah etik

terletak pada penggunaan bahan alergen yang belum dibakukan untuk uji tusuk

kulit. Kajian etik telah dilakukan dan disetujui oleh Panitia Tetap Etik Penelitian

Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 29 Oktober

2007 dengan Surat Keputusan No: 359a/PT02.FK/ETIK/20 (Lampiran 5).

Uji Klinis

Uji klinis dilakukan dengan cara uji tusuk kulit untuk mengetahui

sensitivitas seseorang terhadap alergen tertentu. Uji tusuk kulit mengikuti metode

Rusznak dan Davies (1998) dilakukan di lengan bawah bagian dalam, batas-batas

tempat penetesan alergen yang akan diuji ditandai dengan tinta. Alergen maupun

kontrol diteteskan sebanyak 1 tetes di setiap batas tersebut, lalu ditusuk dengan

jarum khusus (Gambar 6a, 6b). Puncak respons uji tusuk kulit terjadi antara 10-15

menit setelah penusukan alergen (Gambar 6c). Dalam praktik, uji tusuk kulit

ditunggu 15 menit, kemudian dikeringkan dengan tisu dan diamati.

Gambar 6 Uji Tusuk Kulit: a. Jarum uji tusuk kulit, b. Cara uji tusuk kulit, c. Hasil uji tusuk kulit

Reaksi uji tusuk kulit terhadap alergen dianggap positif bila terbentuk

bentol berukuran 3 milimeter (mm) atau lebih dengan catatan tidak terjadi reaksi

pada kontrol negatif. Hasil positif berarti ada alergen yang bereaksi dengan IgE

spesifik pada permukaan sel mast kulit. Reaksi positif dapat terjadi pada

seseorang tanpa gejala klinis. Interpretasi tes kulit positif tergantung dari riwayat

pasien dan gejala klinis yang dipacu pajanan dengan alergen. Evaluasi sulit

dilakukan pada mereka yang tidak menyadari terhadap pajanan rendah. Derajat

sensitivitas dapat dikategorikan berdasarkan diameter bentol: positif 1 (+1): 3-5

mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm, dan + 4: > 20 mm (Gambar 6c).

a b c

Page 50: Serb Uk Sari

29

Pemilihan dan jumlah sampel pasien untuk uji tusuk kulit diambil

berdasarkan pada urutan kedatangan pasien yang sudah terdiagnosis asma dan

rinitis alergi (kelompok riwayat alergi), mereka yang kontrol antara bulan

Oktober-November 2007 ke Rumah Sakit (RS) atau Klinik yang sudah ditentukan

untuk penelitian, yaitu 1.Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit

Dalam (IPD) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) - RS Dr. Cipto

Mangunkusumo (RSCM), 2.Poliklinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah,

3.Klinik Bulog, dan 4.Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta.

Kriteria kelompok riwayat alergi yang ikut penelitian adalah pasien yang

sudah terdiagnosis asma, rinitis alergi atau keduanya, berusia 19-55 tahun, jenis

kelamin tidak dibedakan, perempuan tidak hamil, bebas obat (antihistamin dan

steroid) yang dapat mengganggu penilaian uji tusuk kulit dalam 7 hari sebelum

dilakukan uji tusuk kulit, dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Selain itu

diikutsertakan juga kelompok tanpa riwayat alergi dengan kriteria umur, jenis

kelamin, tidak hamil, tidak makan obat seperti kelompok pasien alergi.

Banyaknya sampel dari masing-masing kelompok 69 orang. Pada kelompok

riwayat alergi umurnya berkisar antara 20-52 tahun, dan sebagian besar (74%)

adalah perempuan, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi antara 19-54 tahun

dengan banyaknya laki-laki 37 dan perempuan 32 orang. Alergen serbuk sari yang

dipakai berasal dari alang-alang, akasia, kelapa sawit, kelapa genjah, jagung, padi

dan pinus. Sebagai alergen pembanding digunakan alergen komersial ekstrak

serbuk sari campuran 12 jenis rumput yang terdiri dari serbuk sari; 1. Bent grass

(Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4.

Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6.

Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye

grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10.

Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire

fog (Holcus lanatus). Selain itu dipakai 2 jenis alergen tungau debu rumah, yaitu

Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f)

yang merupakan pencetus alergi terbesar di seluruh dunia. Sebagai kontrol positif

digunakan histamin (zat penyebab alergi pada semua orang), sedangkan untuk

kontrol negatif dipakai phosphat buffer saline (PBS) yang berfungsi sebagai

pelarut dan tidak menimbulkan reaksi positif pada uji tusuk kulit.

Page 51: Serb Uk Sari

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Serbuk sari adalah gametofit jantan tumbuhan berbunga yang berperan

dalam proses pembuahan, dan merupakan salah satu sumber alergen yang dapat

mencetuskan penyakit alergi pada manusia (Faegri et al. 1964, Gossage 2000).

Untuk mengetahui serbuk sari yang dapat menimbulkan alergi pada manusia,

perlu dilakukan penangkapan dan identifikasi serbuk sari yang tumbuh di suatu

daerah di Indonesia. Serbuk sari yang akan diuji diekstraksi proteinnya dan

untuk melihat kealergenikannya pada manusia, maka dilakukan uji klinis dengan

cara uji tusuk kulit (Church & Holgate 1995). Sebagian besar serbuk sari adalah

protein yang bobot molekulnya dapat diukur dengan analisis SDS-PAGE. Bobot

molekul (BM) protein serbuk sari juga dapat membantu mengkonfirmasi serbuk

sari yang berpotensi alergenik (Puc 2003; Jiang et al. 2005).

Dari berbagai laporan, diketahui bahwa serbuk sari rumput-rumputan

paling banyak menyebabkan alergi pada manusia, seperti Rye grass, Timothy

grass, Bermuda grass, dan alang-alang (Jelks 1987, Singh & Kumar 2003). Rye

grass dan Timothy grass tidak ada di Indonesia, sehingga penelitian untuk

mengetahui serbuk sari rumput-rumputan apa saja di Indonesia yang

menyebabkan alergi pada manusia perlu dilakukan. Pada penelitian awal tahun

2005, hasil tangkapan serbuk sari di daerah Darmaga Bogor, didapatkan serbuk

sari padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), alang-alang (Imperata cylindrica),

dan rumput gajah (Pennisetum purpureum). Serbuk sari rumput gajah tidak diteliti

lebih lanjut dalam penelitian ini, karena laporan tentang alergi akibat serbuk sari

rumput gajah tidak banyak.

Mengingat uji klinis akan dilakukan terhadap pasien yang berdomisili di

wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, maka penangkapan serbuk sari

juga dilakukan di wilayah Jakarta. Sebagai daerah penelitian penangkapan serbuk

sari dengan alat Burkard, dipilih lokasi di Lebak Bulus berbatasan dengan Bogor

yang masih banyak ditanami pohon-pohonan, rumput-rumputan, dan tumbuhan

lainnya. Alat Burkard dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai

Desember 2006, serbuk sari yang tertangkap adalah serbuk sari akasia, kelapa

Page 52: Serb Uk Sari

31

genjah, pinus, dan rumput-rumputan (yang terbanyak tumbuh adalah alang-alang),

serta didapatkan pula jenis jamur Curvularia dan Alternaria.

Berdasarkan Laporan Tahunan Data Angka Kesakitan dari berbagai

Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan

Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi (18,06%) adalah di Kecamatan Pasar

Minggu, Jakarta Selatan (DKK DKI Jakarta 2006).

Data dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2005) menunjukkan bahwa

Kecamatan Pasar Minggu memiliki area penghijauan yang sangat luas dengan

berbagai tanaman seperti tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung,

pisang, kelapa sawit, kelapa genjah, rumput-rumputan terbanyak alang-alang,

rambutan, jambu, dan mangga. Dengan demikian kemungkinan tingginya kasus

ISPA tersebut diduga berkaitan dengan banyaknya serbuk sari yang beterbangan

di udara Pasar Minggu. Dari alat penangkap serbuk sari yang dipasang di

Kecamatan Pasar Minggu dan sekitarnya (Kecamatan Jagakarsa), tertangkap

serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, pinus, jagung, dan rumput-

rumputan terbanyak alang-alang.

Di negara-negara Asia, diketahui bahwa serbuk sari tanaman akasia dan

kelapa sawit alergenik bagi penduduk Singapura (Lee et al. 1995; Chew et al.

2000), kelapa sawit bagi penduduk Malaysia (Kimura et al. 2002), alang-alang

bagi penduduk India (Singh & Kumar 2003). Serbuk sari tanaman jagung, padi,

Bermuda grass, alang-alang, dan akasia dilaporkan merupakan serbuk sari

alergenik bagi penduduk Filipina (Cua-Lim et al. 2006). Di Thailand dilaporkan

hasil uji tusuk kulit serbuk sari penyebab alergi pada manusia meliputi akasia

19%, kelapa genjah 12%, dan Bermuda grass 17% (Visitsunthorn & Vichyanond

2006).

Pada penelitian lain oleh Damayanti (2008) yang menggunakan hewan percobaan

tikus Wistar, penyuntikan subkutan ekstrak serbuk sari kelapa genjah, kelapa

sawit, jagung, dan pinus berhasil mencetuskan reaksi alergi pada tikus tersebut,

sehingga diduga ekstrak serbuk sari tanaman-tanaman tersebut dapat juga

menimbulkan reaksi alergi pada manusia. Oleh karena itu, pada penelitian ini

keempat serbuk sari tersebut serta serbuk sari akasia (A. auriculiformis), alang-

Page 53: Serb Uk Sari

32

alang (I. cylindrica), dan padi (O. sativa) dipilih untuk pengujian pada manusia.

Hasil tangkapan serbuk sari diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya dan SEM.

Identifikasi Serbuk Sari

Identifikasi serbuk sari dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dan

SEM.

Serbuk sari akasia. Termasuk suku Leguminoceae, ukurannya berkisar

20-70 µm, dapat terdiri dari 8, 16, atau 32 sel yang disebut polyad, dindingnya

tektat dengan ornamentasi skabrat (Gambar 7 a,b,c).

Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b,c)

Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit. Serbuk sari kelapa genjah

(Palmae/Arecaceae), berukuran sekitar 60 µm, bersifat monad, monokolpat

dengan ornamentasi psilat (Gambar 8 a,b,c). Serbuk sari kelapa sawit

(Arecaceae), berukuran sekitar 30 µm, bersifat monad, trikolpat dengan

ornamentasi psilat (Gambar 8 d,e,f).

Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah (atas) dan kelapa sawit (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d) dan SEM (b,c,e,f)

Page 54: Serb Uk Sari

33

Serbuk sari pinus. Termasuk suku Pinaceae, ukurannya berkisar antara

20-35 µm, mempunyai dua kantong udara sehingga bentuknya menyerupai

Mickey Mouse. Berbentuk sferoidal, berstruktur dinding tektat dengan

ornamentasi psilat atau vesikulat dan inaperturat. Gambar 9a serbuk sari pinus

dilihat dengan mikroskop cahaya. Gambar 9b dan 9c yang diamati dengan SEM.

Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b, c)

Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Termasuk suku Poaceae,

mempunyai sifat yang sama; monoporat, monad, bentuk steroidal (Gambar 10)

Gambar 10 Serbuk sari alang-alang (atas), jagung (tengah), dan padi (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d,g) dan SEM (b,c,e,f,h,i)

Page 55: Serb Uk Sari

34

Pada penampakan SEM tampak struktur dindingnya tektat dengan

ornamentasi psilat dan porus yang jelas pada ketiga jenis serbuk sari suku

Poaceae (Gambar 10). Khusus untuk serbuk sari jagung, ukurannya berkisar

antara 90-110 µm (Gambar 10 d,e,f), sedangkan serbuk sari suku Poaceae lainnya

memiliki rentang ukuran antara 20-60 µm (Weber 1998; Taylor et al. 2002).

Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari

Pengukuran BM polipeptida protein serbuk sari dapat dipakai untuk

mengetahui apakah protein tersebut termasuk protein alergenik. Analisis SDS-

PAGE dapat menduga BM polipeptida suatu protein. Ekstrak protein serbuk sari

dari tujuh tanaman dianalisis dengan SDS-PAGE pewarnaan CBB (Gambar 11)

dan perak nitrat (Gambar 12).

Gambar 11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB. Lajur 1 dan 9:

Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus 6: Akasia, 7: Alang-alang, 8: Padi

Gambar 12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perak nitrat. Lajur 1

dan 6: Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus, 7: Akasia, 8: Alang-alang, 9: Padi

Page 56: Serb Uk Sari

35

Pita polipeptida menunjukkan protein dalam keadaan terdenaturasi. Pada

kedua gambar tersebut tampak tanda panah yang menunjukkan pita protein yang

selalu muncul disetiap lajur protein serbuk sari yang dianalisis dengan BM 31 kD.

BM kelapa sawit. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa sawit

menghasilkan beberapa pita antara 15-67 kD. Intensitas terkuat tampak pada pita

dengan BM sekitar 26 dan 31 kD yang terlihat pada lajur 2 (Gambar 11, 12).

Purifikasi ekstrak kelapa sawit mendapatkan glikoprotein dengan BM 31 kD yang

bereaksi terhadap IgE dari pasien polinosis kelapa sawit (Kimura 2002).

BM kelapa genjah. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa genjah

menghasilkan beberapa pita dengan intensitas pulasan terkuat pada BM 15 dan 25

kD yang tampak pada lajur 4 (Gambar 11, 12).

BM jagung. Pada SDS-PAGE serbuk sari jagung, terdapat delapan pita,

intensitas terkuat tampak pada pita berukuran sekitar 24 kD dan 35 kD terlihat

pada lajur 3 (Gambar 11, 12). Penelitian Western blot serbuk sari jagung

menghasilkan pita reaktif IgE yang kuat pada BM 35 kD dan 55 kD (Petersen

2006). Kedua pita tersebut sesuai dengan alergen protein Zea m 1 dan Zea m 13.

Perbandingan imunologis dan biokimiawi memperlihatkan bahwa alergen

dari serbuk sari jagung mengandung empat grup alergen serbuk sari rumput-

rumputan, yaitu grup 1, 3, 12, dan 13. Namun, hanya dua grup alergen yang

paling kuat mencetuskan reaksi IgE, yaitu grup 1 dan 13. Zea m 1 adalah

glikoprotein yang merupakan alergen grup 1 dan merupakan 4% dari seluruh

protein yang diekstrak dari serbuk sari. Glikoprotein ini cepat disekresi ketika

serbuk sari terhidrasi dan memiliki aktivitas wall-loosening yang spesifik untuk

dinding sel rumput (Cosgrove 1997; Li 2003). Zea m 1 mewakili kelompok

protein yang disebut expansin, yaitu protein yang terlibat dalam peregangan

dinding sel dalam pertumbuhan tabung serbuk sari ketika fertilisasi (Cosgrove

1997). Alergen Zea m 13 diketahui berfungsi sebagai poligalaturonase (Niogret

1991; Suck 2000).

BM alang-alang. Elektroforesis protein serbuk sari alang-alang pada lajur

7 (Gambar 11) hanya menampakkan pita-pita di bawah 33 kD dengan pewarnaan

CBB, sedangkan dengan pewarnaan perat nitrat pada lajur 8 (Gambar 12)

memperlihatkan tiga pita utama berukuran sekitar 16 kD, 33 kD, dan 67 kD.

Page 57: Serb Uk Sari

36

Pemeriksaan imunoblot ekstrak serbuk sari alang-alang menghasilkan 7 protein

alergenik utama dengan BM 16, 28, 40, 43, 57, 62 dan 85 kD (Kumar et al.

1998). BM padi. Hasil elektroforesis protein serbuk sari padi (Gambar 11, 12)

menunjukkan pita protein yang dominan pada BM 16 dan 32 kD. Penelitian Tsai

(1990) dengan pemeriksaan darah immunoblot pada pasien alergi menghasilkan 3

pita polipeptida utama serbuk sari padi dengan BM 16, 26, dan 32 kD.

BM akasia. Elektroforesis protein serbuk sari akasia memperlihatkan dua

pita protein dominan berukuran 16 kD dan 30 kD pada Gambar 12 lajur 7.

BM pinus. Elektroforesis serbuk sari pinus menghasilkan beberapa pita

dan terkuat pada BM 26 dan 31 kD seperti tampak pada lajur 5 (Gambar 11, 12)

Secara keseluruhan, BM protein dari 7 tanaman serbuk sari yang diteliti,

didapatkan BM berkisar antara 10-70 kD yang menunjukkan bahwa protein dalam

kisaran tersebut merupakan protein alergenik (Puc 2003; Jiang 2005).

Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari

Pengujian ini mempergunakan ekstrak serbuk sari sebagai alergen dalam

uji tusuk kulit. Hasil reaksi positif terhadap alergen yang diuji, ditentukan dengan

munculnya bentol histamin pada kulit yang berukuran ≥ 3 mm dibandingkan

dengan kontrol negatif.

Sensitivitas terhadap serbuk sari akasia. Hasil penelitian pada kelompok

riwayat alergi, derajat sensitivitas terhadap akasia didapatkan 7 orang positif 1,

3 orang positif 2 dan hanya 1 orang positif 3, sedangkan kelompok tanpa

riwayat alergi, didapatkan 8 orang positif 1, 3 orang positif 2, dan tidak

didapatkan positif 3 (Gambar 13). Walaupun persentase reaksi positif terhadap

serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok, tetapi derajat

sensitivitasnya berbeda. Pada kelompok riwayat alergi, terdapat variasi derajat

positif 1 sampai 3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama

didapatkan positif 1 dan tidak didapatkan positif 3. Ada kemungkinan alergen ini

telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari oleh orang tanpa riwayat

alergi, karena gejala klinisnya yang ringan, seperti bersin-bersin, yang dapat

dianggap sebagai penyakit flu biasa (common cold) oleh orang tersebut.

Berdasarkan temuan diatas, identifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap serbuk

Page 58: Serb Uk Sari

37

sari pohon peneduh jalan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pohon

selanjutnya, jika pohon akasia akan diganti dengan pohon lain. Hal ini penting

dilakukan guna memilih pohon peneduh yang tepat dan aman dari pajanan

alergen, mengingat pohon-pohon tersebut biasanya berada di pinggir-pinggir jalan

dan disekitar pemukiman penduduk.

Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia

Hasil temuan lain yang memperkuat yaitu uji tusuk kulit di Singapura

mendapatkan sensitivitas sebesar 27,7% untuk serbuk sari akasia (Chew 2000).

Penelitian di Bengal India, pada tahun 2000 mendapatkan uji tusuk kulit positif

terhadap serbuk sari akasia (Boral & Bhattacharya 2000), dan pada tahun 2004

sebesar 20,4% dari 147 orang pasien alergi pernapasan yang diperiksa dengan

derajat sensitivitas pada umumnya adalah positif 1 (17,8%) (Boral et al. 2004).

Spesies akasia lainnya telah dilaporkan menyebabkan asma, yaitu Acacia

melanoxylon di Tasmania (Wood-Baker 1997) dan Acacia floribunda di

Mediteranea (Ariano 1991). Akasia merupakan genus yang besar dan meliputi

lebih dari 1000 spesies. Pohon A.auriculiformis adalah tumbuhan asli Australia,

Indonesia dan Papua New Guinea (Sornsathapornkul & Owens 1998). Selama ini

belum ada alergen serbuk sari akasia yang diketahui karakteristiknya. Namun,

dapat terjadi reaktivitas silang antara serbuk sari akasia dan serbuk sari rumput rye

(Howlett 1982). Penelitian lain, serbuk sari akasia juga menunjukkan reaksi

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat Sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 59: Serb Uk Sari

38

positif juga pada uji tusuk kulit di negara Thailand (Pumhirun et al. 1997) dan

Arab Saudi (Suliaman et al. 1997).

Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang. Reaksi positif terhadap

serbuk sari alang-alang pada kelompok alergi menunjukkan persentase tertinggi

dibandingkan terhadap serbuk sari yang diteliti lainnya. Derajat sensitivitas

terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok riwayat alergi terutama adalah

positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi kebanyakan positif 1

(Gambar 14). Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan

tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek. Hal ini merupakan salah satu

dasar pemilihan serbuk sari alang-alang untuk pemeriksaan kealergenikannya.

Gambar 14 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang

Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh dimana-mana, serbuk sarinya

ringan, mudah disebarkan angin sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada

waktu musim berbunga (Bijli 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di wilayah

bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan dan Australia. Penelitian di India

mendapatkan bahwa alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi

alergi pada pasien atopik dibandingkan suku Poaceae lainnya (Sridhara et al.

1995). Penelitian klinis selanjutnya mendapatkan sensitivitas (uji tusuk kulit

positif) pada 8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar 1998).

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 60: Serb Uk Sari

39

Tampak bahwa serbuk sari alang-alang merupakan alergen dengan tingkat

sensitivitas tertinggi pada kelompok riwayat alergi, sehingga berpotensi

dimasukkan dalam panel pemeriksaan uji tusuk kulit.

Sensitivitas terhadap serbuk sari jagung. Derajat sensitivitas terhadap

serbuk sari jagung pada kelompok riwayat alergi terutama adalah positif 2,

sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama didapatkan positif 1

(Gambar 15)

Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung

Alergi terhadap serbuk sari jagung telah dilaporkan di Filipina (Cua Lim et

al. 2006), tetapi belum pernah dilaporkan di Indonesia. Pada penelitian ini tingkat

sensitivitas terhadap serbuk sari jagung tergolong sedang, baik pada kelompok

riwayat alergi maupun kelompok tanpa riwayat alergi (7,2%), kemungkinan

disebabkan karena perbedaan wilayah penangkapan serbuk sari dan tempat tinggal

responden penelitian. Penangkapan serbuk sari dilakukan di Darmaga Bogor,

sedangkan responden penelitian tinggal di Jakarta. Oleh karena itu, tidak tertutup

kemungkinan bahwa tingkat sensitivitas yang lebih tinggi akan ditemukan pada

penduduk di wilayah perkebunan jagung atau pada komunitas petani jagung.

Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi alergenik serbuk sari

tanaman jagung khusus di wilayah perkebunan jagung.

Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah. Pada kelompok riwayat alergi,

derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah, didapatkan 4 orang positif

1 dan 3 orang positif 2. Pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan

0

1

2

3

4

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 61: Serb Uk Sari

40

positif 1 sebanyak 6 orang (Gambar 16). Persentase tingkat sensitivitas serbuk sari

kelapa genjah 10,1% pada kelompok riwayat alergi dan 8,7% pada kelompok

tanpa riwayat alergi, menunjukkan bahwa alergen tersebut berada di udara bebas

wilayah Jakarta yang terbawa oleh angin. Serbuk sari tanaman kelapa genjah

merupakan serbuk sari alergenik bagi penduduk negara India (Sridhara et al.

1995; Mandal et al. 2008).

Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa genjah

Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa sawit. Uji sensitivitas terhadap

serbuk sari kelapa sawit mendapatkan 4 orang riwayat alergi positif 1 dan 1 orang

positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang

yang masing-masing terdiri dari positif 1 dan 2 (Gambar 17).

Tingkat sensitivitas yang didapat dari penelitian ini tidak terlalu tinggi

pada kelompok riwayat alergi dan bahkan tergolong rendah pada kelompok tanpa

riwayat alergi. Tanaman kelapa sawit banyak ditanam di Jakarta sebagai pohon

peneduh dan elemen pertamanan kota serta real estate besar, sehingga ada

kemungkinan pajanan serbuk sari kelapa sawit sudah terjadi pada penduduk

Jakarta. Adapun areal perkebunan kelapa sawit yang sangat luas di Indonesia,

terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebagai perbandingan, sensitivitas

terhadap serbuk sari kelapa sawit dilaporkan sebesar 39,8% dan merupakan

alergen luar rumah yang tertinggi di Singapura (Chew 2000). Diduga serbuk sari

0

1

2

3

4

5

6

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 62: Serb Uk Sari

41

tersebut terbawa angin dari Malaysia di mana terdapat perkebunan kelapa sawit

yang luas sekali.

Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa sawit

Penelitian sebelumnya mendapatkan komponen alergenik multipel dari

serbuk sari kelapa sawit (Lee et al. 1995). Perlu penelitian lebih lanjut apakah

tingkat sensitivitas protein serbuk sari kelapa sawit lebih tinggi pada penduduk di

areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sensitivitas terhadap serbuk sari padi. Derajat sensitivitas positif 1

terhadap serbuk sari padi, didapatkan pada 3 orang riwayat alergi dan 1 orang

tanpa riwayat alergi, sedangkan positif 2 hanya didapatkan pada 1 orang dalam

masing-masing kelompok (Gambar 18)

Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas terhadap

serbuk sari padi, hanya sedikit orang yang terpapar alergen serbuk sari padi.

Kemungkinan disebabkan karena areal persawahan di Jakarta saat ini hampir tidak

ada dan penangkapan serbuk sari padi dilakukan di Bogor. Penelitian terhadap

alergi serbuk sari padi sangat jarang dilaporkan. Pada suatu penelitian di Taiwan,

sebanyak 312 pasien asma anak menjalani uji tusuk kulit, dan 29 (9,3%) orang di

antaranya menghasilkan reaksi positif dengan ukuran bentol > 6 mm (Tsai 1990).

0

1

2

3

4

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 63: Serb Uk Sari

42

Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi

Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus. Derajat sensitivitas terhadap

serbuk sari pinus pada kelompok riwayat alergi hanya ditemukan positif 2

sebanyak 3 orang, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan

positif 1 sebanyak 1 orang (Gambar 19). Meskipun serbuk sari pinus tertangkap di

wilayah Jakarta, pohon pinus bukan merupakan tanaman khas di Jakarta. Pohon

pinus banyak ditanam di daerah perumahan dalam jumlah terbatas, sehingga

pajanannya tidak terlalu banyak seperti tanaman lain.

Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus

0

1

2

3

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi

tanpa riwayat alergi

0

1

2

3

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 64: Serb Uk Sari

43

Pohon pinus dari spesies Pinus merkusii disebut pula dengan pinus

Sumatra (Sumatran pine). Alergi terhadap serbuk sari pinus jarang dilaporkan dan

tampaknya tidak bermakna secara klinis.

Sebuah penelitian di Spanyol Selatan melaporkan adanya reaksi uji kulit

positif terhadap serbuk sari cemara Australia (Casuarina equisetifolia) pada 6

orang dari 210 pasien non-atopi dengan riwayat rinitis, asma, atau rinitis asma

hanya pada musim gugur. Lima orang di antaranya menunjukkan reaksi IgE

positif dari darah dengan cara RAST (Garcia 1997). Penelitian lain di Arizona,

Amerika Serikat mendapatkan 12 dari 826 pasien atopik (1,5%) yang

menghasilkan uji kulit positif terhadap serbuk sari pohon Pinus ponderosa

(Freeman 1993). Belum ada laporan tentang alergi serbuk sari pohon Pinus

merkusii.

Sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix. Uji sensitivitas terhadap

serbuk sari Grasses mix pada kelompok riwayat alergi mendapatkan 18 orang

positif 1 dan 7 orang positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi

ditemukan 12 orang positif 1 dan 4 orang positif 2 (Gambar 20).

Dalam sediaan alergen 12 Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda

grass (C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga reaksi positif

dapat terjadi karena pajanan dengan jenis rumput tersebut.

Gambar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix

0 2 4 6 8

10 12 14 16 18

Frekuensi kasus

Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas

riwayat alergi tanpa riwayat alergi

Page 65: Serb Uk Sari

44

Selain itu, diduga adanya kandungan protein yang epitopnya (bagian

alergen yang merangsang pembentukan antibodi IgE) sama dalam Grasses mix

dengan serbuk sari Poaceae lainnya, yang umum terdapat di lingkungan tempat

tinggal responden. Reaksi silang sering ditemukan di antara suku Poaceae karena

adanya kandungan epitop protein yang serupa (Sridhara et al. 2000; Jutel 2005).

Sensitivitas terhadap tungau debu rumah. Alergen tungau debu rumah

merupakan alergen terbanyak yang menimbulkan reaksi uji tusuk kulit positif

pada hampir semua orang di seluruh dunia, karena pada umumnya orang lebih

lama berada di dalam rumah atau ruangan, sehingga lebih sering dan lama

terpajan dengan tungau debu rumah (Pumhirun et al. 1997, Baratawidjaja et al.

1998b). Oleh karena itu, alergen tungau debu rumah termasuk salah satu yang

harus ada dalam panel uji tusuk kulit dan sebagai petunjuk ada tidaknya atopi

pada seseorang.

Berdasarkan uji tusuk kulit dengan alergen tungau debu rumah, diketahui

bahwa atopi ditemukan pada sekitar ≥25 % populasi manusia tanpa memandang

riwayat alerginya (Bousquet et al. 2008). Namun dalam penelitian ini, proporsi

orang tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik (positif salah satu tungau) jauh

lebih besar, yaitu 47,8%. Timbulnya reaksi positif terhadap serbuk sari yang

diteliti, pada kelompok tanpa riwayat alergi diduga kelompok tersebut pernah

terpajan dengan serbuk sari tersebut, tetapi tidak cukup memberikan gejala

penyakit alergi.

Dari hasil uji tusuk kulit pada penelitian ini, didapatkan hasil positif

tertinggi terhadap tungau debu rumah untuk kedua kelompok dibanding dengan

alergen yang lainnya, hanya saja berbeda dalam derajat sensitivitasnya. Perbedaan

sensitivitas seseorang kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya proporsi

kelompok tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik. Secara klinis, pada umumnya

diagnosis atopik antara lain dibuktikan dengan reaksi uji tusuk kulit positif

terhadap Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan atau Dermatophagoides

farinae (Der.f) yang merupakan alergen dalam rumah.

Page 66: Serb Uk Sari

45

Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan

kelompok tanpa riwayat alergi

Hasil uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi menunjukkan bahwa

persentase reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih tinggi

dibanding terhadap serbuk sari lainnya (Tabel 2). Persentase kelompok riwayat

alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk sari alang-alang 20,3%, akasia

15,9%, dan kelapa genjah 10,1%, sedangkan terhadap ekstrak serbuk sari yang

diteliti lainnya memberikan reaksi positif kurang dari 10%. Dari 7 jenis alergen

serbuk sari yang diuji, perbedaan persentase sensitivitas uji tusuk kulit yang

bermakna antara kelompok riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi hanya tampak

pada serbuk sari alang-alang, akan tetapi dibandingkan terhadap alergen Grasses

mix, persentase kelompok riwayat alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk

sari tanaman yang diteliti masih lebih rendah (Tabel 2).

Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda

antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi

Jenis alergen Riwayat

alergi Tanpa

riwayat alergi n % N %

Akasia 11 15,9 11 15,9 Alang-alang 14 20,3 6 8,7 Jagung 5 7,2 5 7,2 Kelapa genjah 7 10,1 6 8,7 Kelapa sawit 5 7,2 2 2,9 Padi 4 5,8 2 2,9 Pinus 3 4,3 1 1,4 Campuran rumput (Grasses mix) 25 36,2 16 23,2 Dermatophagoides pteronisinnus (Der. p) 54 78,3 19 27,5 Dermatophagoides farinae (Der. F) 54 78,3 30 43,5

Demikian pula jika dibandingkan terhadap alergen tungau debu rumah

(Der. p dan Der. f) kelompok riwayat alergi yang memberikan reaksi positif

sangat tinggi. Kecenderungan sensitivitas terhadap alergen serbuk sari Grassess

mix dan tungau debu rumah (Der. p dan Der. f) lebih banyak pada kelompok

riwayat alergi dibandingkan tanpa riwayat alergi.

Kelompok riwayat alergi ditentukan berdasarkan pada kedatangan pasien

ke rumah sakit atau klinik, umur pasien yang datang berkisar 20-52 tahun,

kebanyakan di bawah atau berumur 30 tahun (42%). Kelompok riwayat alergi

Page 67: Serb Uk Sari

46

sebagian besar menderita rinitis alergi 51 orang (74%), 14 orang (20%) asma, dan

4 orang (6%) menderita keduanya. Kelompok ini sebagian besar perempuan (51

orang). Umur kelompok riwayat alergi dalam penelitian ini serupa dengan umur

pasien rinitis alergi yang dilaporkan beberapa negara di Eropa, yaitu 36 tahun

dengan kisaran antara 31-42 tahun (Bauchau & Durham 2005).

Penelitian di Thailand mendapatkan prevalensi hiperreaktivitas bronkus

dan asma tertinggi pada kelompok usia 30-39 tahun (Dejsomritrutai et al. 2006).

Di Amerika Serikat (AS) prevalensi asma pada perempuan hampir dua kali lipat

dari penderita laki-laki (CDC 2001), gejala perbedaan penyakit alergi pada

perempuan dibandingkan pada laki-laki di AS telah tampak dalam 20 tahun

terakhir (Anderson et al. 1992). Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan

hormon seks (Barr et al. 2004; Zimmerman et al 2000), perbedaan ukuran jalan

napas dan responsivitasnya (Pagtakhan et al. 1984), atau obesitas (Chen et al.

2002; Thomson et al. 2003). Fluktuasi hormon perempuan (estrogen dan

progesteron) berhubungan dengan gejala-gejala rinitis alergi musiman (Stübner et

al. 1999). Perubahan-perubahan di hidung diketahui terjadi selama siklus

menstruasi, pubertas, dan kehamilan (Kalogeromitros et al. 1995; Ellegard 2004).

Reaksi positif uji tusuk kulit terhadap alergen dapat dibedakan derajat

sensitivitasnya berdasarkan diameter bentol, positif 1 (3-5 mm), positif 2 (6-10

mm), positf 3 (11-20 mm), dan positif 4 bila > 20 mm. Dalam pengujian ini,

pasien yang diuji tidak ada yang memperlihatkan derajat positif 4. Derajat

sensitivitas masing-masing alergen pada kelompok riwayat alergi dan tanpa

riwayat alergi disajikan pada Gambar 21 dan 22.

Derajat sensitivitas terhadap akasia, baik pada kelompok riwayat alergi

maupun tanpa riwayat alergi umumnya bereaksi positif 1 yang berarti telah terjadi

pajanan serbuk sari pada kedua kelompok. Tampaknya pajanan yang terjadi pada

kedua kelompok masih rendah.

Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah pada kelompok

riwayat alergi didapatkan positif 1 (4 orang) dan positif 2 (3 orang). Pada

kelompok tanpa riwayat alergi hanya didapatkan positif 1 sebanyak 6 orang.

Terhadap serbuk sari kelapa sawit, pada kelompok riwayat alergi

didapatkan 4 orang bereaksi positif 1 dan 1 orang positif 2, sedangkan pada

Page 68: Serb Uk Sari

47

kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang yang masing-masing

positif 1 dan 2 (Gambar 21 dan 22). Seperti diketahui tanaman kelapa sawit

banyak ditanam di Jakarta sebagai tanaman penghijauan dan elemen pertamanan,

sehingga ada kemungkinan telah terjadi pajanan serbuk sari kelapa sawit pada

penduduk Jakarta.

Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang bereaksi positif 2, didapatkan

pada 9 orang dengan riwayat alergi dan hanya 1 orang tanpa riwayat alergi. Di

India alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi alergi pada pasien

atopik dibandingkan spesies lain dalam suku Poaceae (Sridhara et al. 1995).

Penelitian klinis lebih lanjut memperlihatkan uji tusuk kulit bereaksi positif pada

8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar et al. 1998). Serbuk sari alang-

alang tampaknya merupakan alergen penyebab sensitivitas tinggi pada kelompok

riwayat alergi, sehingga berpotensi sebagai bahan alergen dalam panel

pemeriksaan uji tusuk kulit.

Reaksi sensitivitas terhadap serbuk sari jagung bereaksi positif 2 pada

kelompok riwayat alergi ada 4 orang, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat

alergi hanya 1 orang. Ekstrak serbuk sari padi menghasilkan reaksi positif 2 pada

3 orang riwayat alergi dan 1 orang tanpa riwayat alergi. Penelitian sensitivitas

terhadap serbuk sari jagung dan padi menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas

pada kedua kelompok (Gambar 21 dan 22), ini dapat disebabkan orang yang

terpapar hanya sedikit mengingat area ladang jagung tidak banyak dan

persawahan di Jakarta hampir tidak ada. Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus

sangat sedikit, hanya ditemukan positif 2 pada tiga orang riwayat alergi dan 1

orang tanpa riwayat alergi dengan positif 1.

Umumnya serbuk sari kerabat-kerabat pinus secara klinis tidak dianggap

penting karena ukurannya sangat besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik

lemah. Uji sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix pada kedua kelompok

kebanyakan menghasilkan sensitivitas positif 1, ini menyatakan banyak orang

yang sudah terpapar walaupun tidak menunjukkan gejala, sedangkan terhadap

tungau debu rumah sebagian besar memperlihatkan sensitivitas positif 2 pada

kelompok riwayat alergi.

Page 69: Serb Uk Sari

48

7

3

1

5

9

1

4 43

4

1

3

1

3

18

7

18

31

5

21

29

5

0

5

10

15

20

25

30

35

Juml

ah O

rang y

ang S

ensit

if

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

Akasia Alang-alang

Jagung K_genjah K_sawit Padi Pinus Grass_mix Der_p Der_f

(+) 1

(+) 2

(+) 3

Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi

8

3

5

1

4

1

6

1 1 1 1 1

12

4

12

7

18

12

0

5

10

15

20

25

30

35

Jumlah

Oran

g yan

g Sen

stif

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

(+)1

(+)2

(+)3

Akasia Alang-alang

Jagung K_genjah K_sawit Padi Pinus Grass_mix Der_p Der_f

(+) 1

(+) 2

Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi

Page 70: Serb Uk Sari

49

Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang,

akasia dan Grasses mix

Reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia baik pada

kelompok alergi menunjukkan persentase lebih tinggi dibandingkan terhadap

serbuk sari yang diteliti lainnya. Akan tetapi bila dibandingkan terhadap Grasses

mix yang bereaksi positif masih lebih rendah (Gambar 23). Serbuk sari alang-

alang merupakan satu-satunya alergen yang memberikan perbedaan hasil

bermakna pada uji klinis antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa

riwayat alergi. Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan

tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek, ini merupakan salah satu dasar

pemilihan serbuk sari alang-alang untuk diperiksa potensi kealergenikannya.

Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh di mana-mana, serbuk sarinya ringan

dan mudah disebarkan angin, sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada

waktu musim berbunga (Bijli et al. 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di

wilayah bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan, dan Australia.

Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix

Walaupun persentase reaksi positif terhadap serbuk sari akasia tidak

berbeda pada kedua kelompok responden, tetapi derajat sensitivitasnya berbeda.

Pada kelompok riwayat alergi, bervariasi derajat sensitivitasnya positif 1 sampai

0 2 4 6 8

10 12 14 16 18 20

Positif 1

Positif 2

Positif 3

Positif 1

Positif 2

Positif 3

Positif 1

Positif 2

Positif 3

Riwayat alergi Tanpa riwayat alergi

Grasses mix Alang-alang Akasia

Page 71: Serb Uk Sari

50

3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi tidak ada yang positif 3.

Kemungkinan alergen ini telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari

oleh orang tanpa riwayat alergi karena gejala klinis yang ringan seperti bersin-

bersin, yang dapat dianggap sebagai penyakit flu biasa dan bukan alergi oleh

kebanyakan orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk sari akasia

merupakan alergen pencetus alergi pada manusia, sebaiknya dipikirkan untuk

mengganti dengan pohon peneduh lain, yang telah diidentifikasi serbuk sarinya

bukan penyebab alergi pada manusia.

Hasil uji tusuk kulit terhadap campuran rumput (Grasses mix)

menunjukkan persentase dari masing-masing kelompok responden lebih tinggi

dari persentase serbuk sari yang diuji (Gambar 21, 22, 23).

Dalam sediaan alergen Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda grass

(C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan

reaksi positif akibat adanya pajanan. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa

serbuk sari Poaceae, Grasses mix dan alang-alang, memberikan sensitivitas yang

cukup bermakna secara klinis. Artinya dalam populasi studi, pasien alergi juga

memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami sensitivitas terhadap serbuk

sari Poaceae dibandingkan orang tanpa riwayat alergi. Dua serbuk sari Poaceae

lainnya, yaitu jagung dan padi, tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada

kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal

orang yang diteliti dan area penangkapan serbuk sari.

Alergen serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

ekstrak kasar protein serbuk sari. Alergen komersial untuk uji tusuk kulit telah

diketahui susunan polipeptidanya yang menghasilkan reaksi alergenik, yaitu

reaksi yang memproduksi IgE. Produksi antibodi IgE pada pasien alergi akan

mengakibatkan munculnya gejala-gejala alergi dari rinitis sampai asma. Untuk

pembuatan vaksin imunoterapi, perlu dilakukan analisa polipeptida yang ada

dalam ekstrak kasar serbuk sari.

Alang-alang, jagung, padi dan Grasses mix termasuk suku Poaceae. Antar

suku Poaceae sering terjadi reaksi silang karena adanya protein yang sejenis,

sehingga dapat memberikan reaksi yang serupa (Weber 2003). Dari hasil

penelitian ini tampak bahwa serbuk sari Grasses mix dan alang-alang,

Page 72: Serb Uk Sari

51

memberikan perbedaan sensitivitas yang cukup bermakna secara klinis. Artinya

dalam populasi studi, pasien alergi juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami sensitivitas terhadap serbuk sari Poaceae dibandingkan orang tanpa

riwayat alergi.

Serbuk sari jagung dan padi tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada

kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal

responden penelitian dan area penangkapan serbuk sari. Penelitian klinis oleh

Petersen et al. (2006) pada pasien polinosis rumput memperlihatkan adanya reaksi

silang (cross-reactivity) antara alergen dari serbuk sari Timothy grass (Phl p1) dan

serbuk sari jagung (Zea m1). Namun reaktivitas alergen Zea m1 jauh lebih rendah

dibandingkan Phl p1. Hampir semua serbuk sari Poaceae memiliki reaktivitas

silang derajat tinggi, karena banyak epitop yang sama di sebagian besar spesies

(Lieferman & Gleich 1976). Komponen alergenik utama pada sebagian besar,

yaitu alergen Gp1, merupakan glikoprotein yang memicu gejala-gejala alergi pada

individu yang sensitif serbuk sari Poaceae. Respons uji tusuk kulit positif dapat

terjadi sampai 43% pada orang tanpa gejala penyakit alergi (Kerkhof et al. 1996).

Studi longitudinal memperlihatkan bahwa adanya uji tusuk kulit positif pada

orang tanpa gejala dapat memprediksi munculnya gejala-gejala alergi di kemudian

hari, termasuk asma (Horak 1985, Bodtger et al. 2003), terutama jika kadar

alergen tinggi.

Uji tusuk kulit positif pada orang yang tersensitisasi tanpa gejala dapat

terjadi pada 1-5% alergen tunggal dan 8-30% panel aeroalergen. Ciri penting yang

ditemui pada orang tersensitisasi tanpa gejala adalah kemampuan menghasilkan

reaksi alergi fase dini (Bodtger et al. 2003), tetapi tidak fase lambat yang ditandai

dengan inflamasi eosinofilik (Durham et al. 1996). Studi lain pada sampel mukosa

saluran napas (hidung dan bronkhus) mendapatkan bahwa pada orang tanpa gejala

dengan uji tusuk kulit positif terhadap tungau debu rumah, tidak terjadi proses

inflamasi di saluran napas. Pada orang-orang ini, tidak tampak timbunan sel-sel

eosinofil dan basofil serta tidak tampak penebalan membran basal di mukosa

saluran napas. Selain itu, hitung eosinofil darah secara bermakna lebih rendah

dibandingkan pasien rinitis alergi dan asma (Braunsthal et al. 2003). Gejala-gejala

alergi dapat muncul pada 20-60% orang setelah 2-24 tahun (Bodtger 2004).

Page 73: Serb Uk Sari

5. SIMPULAN Serbuk sari alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi

dan pinus yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik pada manusia,

berukuran antara 20-100 um dengan BM protein yang terekstrak berkisar 10-70

kD. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai sumber alergen untuk

bahan uji tusuk kulit. Protein dari serbuk sari alang-alang memperlihatkan pita

protein berukuran BM 16, 33 dan 67 kD pada SDS-PAGE, sedangkan serbuk sari

akasia memperlihatkan dua pita protein dominan berukuran 16 dan 30 kD.

Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap tersebut di Indonesia bersifat

alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih

banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit

dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix, diduga

kemungkinan telah terjadi sensitisasi terhadap serbuk sari C.dactylon yang

terdapat dalam alergen Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-

alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan

pada kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak

berbeda pada kedua kelompok orang tersebut. Alergen dari serbuk sari alang-

alang dan akasia dapat direkomendasikan sebagai bahan panel uji tusuk kulit di

Indonesia. Sifat alergenik pada serbuk sari akasia perlu menjadi bahan

pertimbangan agar tanaman akasia tidak lagi digunakan sebagai pohon

penghijauan dan pohon peneduh jalan. Musim berbunga pada pohon buah-buahan

yang bersifat serempak di suatu daerah seperti rambutan, jambu dan mangga perlu

juga ditelaah kemungkinan sebagai pencetus alergi pada manusia, demikian juga

serbuk sari dari berbagai spesies rumput seperti C.dactylon yang banyak

digunakan sebagai tanaman penutup tanah dan yang tumbuh liar di sekitar kita.

Page 74: Serb Uk Sari

53

DAFTAR PUSTAKA

Adler TR, Beall GN, Heiner DC, Sabharwal UK, Swanson K. 1985. Immunologic and clinical correlates of bronchial challenge response to Bermuda grass pollen extracts. J Allergy Clin Immunol 75:31-36.

Akinbami LJ, Schoendorf HC. 2002. Trends in childhood asthma: prevalence, health care utilization and mortality. Pediatrics 110:315-322.

Al-Anazy FH, Zakzouk SM. 1997. The impact of social and environmental changes on allergic rhinitis among Saudi children. A clinical and allergological study. Int J Pediatr Otohinolaryngol 42:1-9.

Al-Frayh AR, Hasnain SM. 2000. Pollen allergy in Saudi Arabia. Curr Pediatr Res 4(1):1-5.

Anderson HR, Pottier AC, Strachan DP. 1992. Asthma from birth to age 23: incidence and relation to prior and concurrent atopic disease. Thorax 47:537-542.

Ariano R, Panzani RC, Amedeo J. 1991. Pollen allergy to mimosa (Acacia floribunda) in a Mediterranean area: an occupational disease. Ann Allergy 66:253-256.

Bacharier LB et al. 2008. Diagnosis and treatment of asthma in

childhood: a PRACTALL consensus report. Allergy 63:5-34. Bachert S. 2002. The role of histamine in allergic disease: re-appraisal of its

inflammatory potential. Allergy 57:287-296. Bacsi A, Choudhury BK, Dharajiya N, Sur S, Boldogh I. 2006. Subpollen

particles: carriers of allergenic proteins and oxidases. J Allergy Clin Immunol 118:844-850.

Baratawidjaja IR, Baratawidjaja PP, Darwis A, Baratawidjaja KG. 1998a. Allergy profile study in patients attending a private allergy clinic. Med J Indonesia 7:204-211.

Baratawidjaja IR et al. 1998b. Mites in Jakarta Homes. Allergy Net. Allergy 53:

1226-1235. Baratawidjaja IR et al. 1999. Prevalence of Allergic Sensitization to Regional

Inhalants among Allergic Patients in Jakarta, Indonesia. Asian Pacific J Allergy Immunol 17:9-12.

Page 75: Serb Uk Sari

54

Baratawidjaja KG et al. 2006. Allergy and Asthma Scenario in Indonesia. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 707-736.

Barr RG, Wentowski CC, Grodstein F. 2004. Prospective study of post menopausal hormone use and newly diagnosed asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med 164:379-386.

Bateman et al. 2008. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHLBI/WHO Workshop Report. National Institute of Health Publication.

Bauchau V, Durham SR. 2005. Epidemiological characterization of the intermittent and persistent types of allergic rhinitis. Allergy 60:350-353.

Beasley R et al. 1998. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet 351:1225-1232.

Behrendt H et al. 2001. Secretion of proinflammatory eicosanoid-like substances precedes allergen release from pollen grains in the initiation of allergic sensitization. Int Arch Allergy Immunol 124:121-125.

Bijli KM, Singh BP, Sridhara S, Gaur SN, Arora N. 2003. Effects of various stabilizing agents on Imperata cylindrical grass pollen allergen extract. Clin Exp Allergy 33:65-71.

Bodtger U, Poulsen LK, Malling HJ. 2003. Asymptomatic skin sensitization to birch predicts later development of birch pollen allergy in adults: a 3-year follow-up study. J Allergy Clin Immunol 111:149-154.

Bodtger U. 2004. Prognostic value of asymptomatic skin sensitization to

aeroallergen. Curr Opin Allergy Clin Immunol 4:5-10.

Boral D, Bhattacharya K. 2000. Aerobiology, allergenicity and biochemistry of three pollen types in Berhampore town of West Bengal, India. Aerobiologia 16(3):417-422.

Boral D, Chatterjee S, Bhattacharya K. 2004. The occurrence and allergising potential of airborne pollen in West Bengal, India. Ann Agric Environ Med 11:45-52.

Bousquet J, Chatzi L, Jarvis D, Burney P. 2008. Assessing skin prick tests reliability in ECRHS-I. Allergy 63:341-346.

Page 76: Serb Uk Sari

55

Braunstahl GJ, Fokkens WJ, Overbeek SE. 2003. Mucosal and systemic inflammatory changes in allergic rhinitis and asthma: a comparison between upper and lower airways. Clin Exp Allergy 33:579-587.

Brodard V, David B, Gorg A, Peltre G. 1993. Two-dimensional gel

electrophoresis analysis with immobilized pH gradients of Dactylis glomerata pollen allergens. Int Arch Allergy Immunol 102;72-80.

Bufe A, Gehlhar K, Schramm G, Schlaak M, Becker WM. 1998. Allergenic activity of a major grass pollen allergen is elevated in the presence of nasal secretion. Am J Respir Crit Med 157:1269-1276.

[CDC] Center for Disease Control. 2001. Self-reported asthma prevalence among adults – United States, 2000. MMWR 50:682-686.

Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. 2006. Essentials of Clinical Immunology. Oxford: Blackwell Publishing Inc. hlm.78-94.

Chen Y, Dales R, Tang M, Krewski D. 2002. Obesity may increase the incidence of asthma in women but not in men: longitudinal observations from the Canadian national population health surveys. Am J Epidemiol 155:191-197.

Chew FT et al. 2000. Evaluation of the allergenicity of tropical pollen and airborne spores in Singapore. Allergy 55:340-347.

Ching TM, Ching KK. 1964. Freeze-drying pine pollen. Plant Physiol 39:705-709.

Church MK, Holgate ST. 1995. Allergy. London: Mosby-Wolfe.

Cosgrove DJ, Bedinger P, Durachko DM. 1997. Group I allergens of grass pollen as cell wall-loosening agents. Proc Natl Acad Sci USA 94:6559-6564.

Cua-Lim F et al. 2006. Allergy and Asthma - The Scenario in The Philippines. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 763-817.

Damayanti NS. 2008. Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

D’Amato G et al. 2007. Allergenic pollen and pollen allergy in Europe. Allergy 62:976-990.

Dejsomritrutai W et al. 2006. Prevalence of bronchial hyperresponsiveness and asthma in the adult population in Thailand. Chest 129:602-609.

Page 77: Serb Uk Sari

56

[DKK DKI Jakarta] Dinas Kesehatan Kota Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2006. Data Angka Kesakitan dari Berbagai Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta.

Dinas Tata Kota Jakarta. 2005. Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ibukota Jakarta Tahun 2005. Jakarta: Dinas Tata Kota DKI Jakarta.

Djalil A, Keith-Lucas DM, Baratawidjaja KG. 1987. Pollen and spore trapping from the air of Jakarta. Interim Report. Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia and Allergy Unit, Faculty of Medicine, University of Indonesia.

Dowaisan A et al. 2000. Sensitization to aeroallergens among patients with allergic rhinitis in a desert environment. Ann Allergy Asthma Immnol 84:433-438.

Durham SR, Ying S, Varney VA. 1996. Grass pollen immunotherapy inhibits allergen-induced infiltration of CD4+ T lymphocytes and eosinophils in the nasal mucosa and increases the number of cells expressing messenger RNA for interferon-gamma. J Allergy Clin Immunol 97:1356-1365.

Edwards A. 2003. Mechanism of allergic diseases. Di dalam: Holgate ST, Arshad

SH, editor. The Year in Allergy. Oxford: Clinical Publishing Services, hlm. 81-94.

Ellegard EK. 2004. Clinical and pathogenetic characteristics of pregnancy rhinitis. Clin Rev Allergy Immunol 26:149-159.

Esch RE. 2004. Grass pollen allergen. Di dalam: Lockey RF, Bukantz SC, Bousquet J, editor. Allergens and Allergen Immunotherapy. New York: Marcel Dekker, hlm. 185-205.

Ezeamuzie CI et al. 2000. IgE-mediated sensitization to mould allergens among patients with allergic respiratory disease in a desert environment. Int Arch Allergy Immunol 121:300-307.

Ezeamuzie CI et al. 1997. Prevalence of allergic sensitization to inhalant allergens among blood donors in Kuwait - a desert country. Allergy 52:1194-1200.

Faegri K, Iversen J, Waterbolk HT. 1964. Textbook of Pollen Analysis. New York: Hafner Publishing Company.

Folletti I, Forcina A, Marabini A, Bussetti A, Siracusa A. 2008. Have the prevalence and incidence of occupational asthma and rhinitis because of laboratory animals declined in the last 25 years? Allergy 63:834-841.

Ford SA, Baldo BA. 1987. Identification of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen allergens by electroblotting. J Allergy Clin Immunol 79:711-720.

Page 78: Serb Uk Sari

57

Freeman GL. 1993. Pine pollen allergy in northern Arizona. Ann Allergy 70:491-494.

Garcia JJ et al. 1997. Pollinosis due to Australian pine (Casuarina): An aerobiologic and clinical study in southern Spain. Allergy 52:11-17.

Gossage DL. 2000. Airborne allergens. Di dalam: Altman LC, Becker JW, Williams PV, editor. Allergy in Primary Care. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm. 65-76.

Green R, Luyt D. 1997. Clinical characteristics of childhood asthmatics in Johannesburg. S Afr Med J 87:872-882.

Grobe K, Becker WM, Schlaak M, Petersen A. 1999. Grass gorup I allergens (beta-expansins) are novel, papain-related proteinase. Eur J Biochem 263:33-40.

Grote M, Valenta R, Reichelt R. 2003. Abortive pollen germination: a mechanism of allergen release in birch, alder, and hazel revealed by immuno-gold electron microscopy. J Allergy Clin Immunol 111:1017-1023.

Han S-H, Chang Z-N, Chi C-W, Peng H-J, Liu C-C, Tsai J-J. 1993. Use of monoclonal antibodies to isolate and characterize Cyn d I, the major allergen of Bermuda grass pollen. J Allergy Clin Immunol 92;249-58.

Hasnain SM, Katelaris C, Newbegin E, Singh AB. 2007. Aeroallergen monitoring standard for the Asia Pacific Region. A World Allergy Organization (WAO) manual for the use of the Burkard Volumetric Spore Trap and Burkard Personal Volumetric Air Sampler.

Halonen M, Stern DA, Wright AL, Taussig LM, Martinez FD. 1997. Alternaria as a major allergen for asthma in children raised in a desert environment. Am J Respir Crit Care Med 155:1356-1361.

Hiller KM, Esch RE, Klapper DG. 1997. Mapping of an allergenically important determinant of grass group I allergens. J Allergy Clin Immunol 100:335-340.

Ho TM, Tan BH, Ismail S, Bujang MK. 1995. Seasonal prevalence of air-borne pollen and spores in Kuala Lumpur, Malaysia. Asian Pacific J Allergy Immunol 13:17-22.

Horak F. 1985. Manifestation of allergic rhinitis in latent-sensitized patients. A prospective study. Arch Otorhinolaryngol 242:239-245.

Howlett BJ, Hill DJ, Knox RB. 1982. Cross-reactivity between Acacia (wattle)

and rye grass pollen allergens. Detection of allergens in Acacia (watlle pollen). Clin Alergy 12:259-268.

Page 79: Serb Uk Sari

58

Huang SW. 2007. Nasal allergy and sinus infection: The link and therapeutic implications. Medical Progress 34:326-329.

Jarvis D, Burney R. 2004. Diagnosing allergy. Di dalam: Durham ES, editor. ABC of Allergies. London: BMJ Publishing, hlm. 4-7.

Jelks M. 1987. Allergy plants that cause sneezing and wheezing. Tampa: World-Wide Publications.

Jiang SY, Jasmin PXH, Ting YY, Ramachandran S. 2005. Genome-wide identification and molecular characterization of ole_e_I, allerg_1 and allerg_2 domain-containing pollen-allergen-like genes in Oryza sativa. DNA Research 12:169-179.

Jutel M, Jaeger L, Roland S, Meyer H, Fiebig H, Cromwell O. 2005. Allergen-specific immunotherapy with recombinant grass pollen allergens. J Allergy Clin Immunol 116;608-613.

Kalogeromitros D et al. 1995. Influence of the menstrual cycle on skin-prick test

reactions to histamine, morphine and allergen. Clin Exp Allergy 25:461-466.

Kapp RO. 1969. How to Know Pollen and Spore. WMc. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. hlm.3-16.

Kerkhof M, Droste JH, de Monchy JG, Schouten JP, Rijcken B. 1996. Distribution of total serum IgE and specific IgE to common aeroallergens by sex and age, and their relationship to each other in a random sample of the Dutch general population aged 20–70 years. Dutch ECRHS Group, European Community Respiratory Health Study. Allergy 51:770-776.

Kimura Y et al. 2002. Purification and characterization of 31-kDa palm pollen

glycoprotein (Ela g Bd 31 K), which is recognized by IgE from palm pollinosis patients. Biosci Biotechnol Biochem 66:820-827.

Koshak E. 2006. Do in Vitro IgE tests have a role in identifying atopic asthma?

Allergy & Clinical Immunology 19(1):3-7.

Kuby J, Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA. 2007. Hypersensitivity Reaction. Di dalam: Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA, editor. Immunology. New York: WH Freeman and Company, hlm. 371-400.

Kuhl S. 2001. Aeroallergens and Other Environmental Allergens. Di dalam: Naguwa SM, Gershwin ME, editor. Allergy and Immunology Secrets. Philadelphia: Hanley and Belfus. hlm. 33-44.

Page 80: Serb Uk Sari

59

Kumar L, Sridhara S, Singh BP, Gangal SV. 1998. Characterization of cogon grass (Imperata cylindrica) pollen extract and preliminary analysis of grass group 1, 4, and 5 homologues using monoclonal antibodies to Phleum pratense. Int Arch Allergy Immunol 117:174-9.

Lacey ME, West JS. 2006. A Manual for Catching and Identifying Airborne Biological Particles. Dordrecht, The Netherlands: Springer.

Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685.

Leduc-Brodard V, Inacio F, Jaquinod M, Forest E, David B, Peltre G. Characterization of Dac g 4, a major basic allergen from Dactylis glomerata pollen. 1996. J Allergy Clin Immunol 98:1065-1072.

Lee BW et al. 1995. Characterization of oil palm pollen (Elaeis guineensis Jacq.) allergens. J Allergy Clin Immunol 95:261.

Lestringant GG, Bener A, Frossard PM, Abdulkhalik S, Bouix G. 1999. A clinical study of airborne allergens in the United Arab Emirates. Allerg Immnol (Paris) 31(8):263-267.

Leung R. 1996. The role of allergens in asthma and allergic rhinitis. Hong Kong Med J 2:307-314.

Li LC, Bedinger PA, Volk C, Jones AD, Cosgrove DJ. 2003. Purification and characterization of four beta-expansins (Zea m 1 isoforms) from maize pollens. Plant Physiol 132:2073-2085.

Lieferman KM, Gleich GJ. 1976. The cross-reactivity of IgE antibodies with pollen allergens: i. Analysis of various species of grass pollens. J Allergy Clin Immunol 58:123-139.

Lilly CM. 2005. Diversity of asthma: Evolving concepts of pathophysiology and

lessons from genetics. J Allergy Clin Immunol 115:S526-S531.

Lowenstein H. 1978. Immunological partial identity and in vitro inhibitory effect of two major timothy pollen allergens to whole pollen extract of four grasses. Int Arch Allergy Appl Immunol 57;379-83.

Lombardi E, Stein RT, Wright AL, Morgan WJ, Martinez FD. 1996. The relation between physician-diagnosed sinusitis, asthma, and skin test reactivity to allergens in 8-year-old children. Pediatr Pulmonol 22:141-146.

Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J Biol Chem 193:265-275.

Page 81: Serb Uk Sari

60

Luskin AT. 2005. What the asthma end points we know and love do and do not tell us. J Allergy Clin Immunol 115:S539-S545.

MacGlashan D. 2003. Histamine mediator of inflammation. J Allergy Clin Immunol 112:S53-S59.

Mandal J, Roy I, Chatterjee S, Bhattacharya SG. 2008. Aerobiological investigation and in vitro studies of pollen grains from 2 dominant avenue trees in Kolkata, India. J Investig Allergol Clin Immunol 18: 22-30.

Matthiesen F, Schumacher M, Lowenstein H. 1991. Characterisation of the major allergen of Cynodon dactylon (Bermuda grass) pollen, Cyn d 1. J Allergy Clin Immunol 88:763-774.

Matsui EC, Wood RA. 2007. Question physicians often ask about allergens that trigger asthma. Medical Progress 34:330-336.

Metzger WJ et al. 1987. Local allergen challenge and bronchoalveolar lavage of allergic asthmatic lungs – description of the model and local airway inflammation. Am Rev Resp Dis 135:433-440.

Mildenhall DC, Wiltshire PE, Bryant VM. 2006. Forensic palynology: why do it and how it works. Forensic Sci Int 163:163-172.

Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K. 1994. Skin testing, the cornestone in allergy diagnosis. Di dalam: Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K, editor. Essential Allergy, edisi ke-2. Blackwell Science. hlm. 111-116.

Nelson HS. 2000. The importance of allergens in the development of asthma and the persistence of symptoms. J Allergy Clin Immunol 105:S628-S632.

Niederberger V et al. 1999. Calcium-dependent immunogloblin E recognition of the apo- and calcium-bound form of a cross-reactive two EF-hand timothy grass pollen allergens, Phl p 7. FASEB J 13:843-856.

Niogret MF, Dubald M, Mandaron P, Mache R. 1991. Characterization of pollen polygalacturonase encoded by several cDNA clones in maize. Plant Mol Biol 17:1155-1164.

Ong TC. 2005. Allergen for skin prick test. Department of Biological sciences, National University of Singapore.

Pagtakhan RD et al. 1984. Sex differences in growth patterns of the airways and lung parenchyma in children. J Appl Physiol: Respirat Environ Exercise Physiol 56:1204-1210.

Page 82: Serb Uk Sari

61

Petersen A, Dresselhaus T, Grobe K, Becker WM. 2006. Proteome analysis of maize pollen for allergy-relevant components. Proteomics 6:6317-6325.

Phanichyakarn P, Kraisarin C, Sasisakulporn C. 1989. Atmospheric pollen and mold spores in Bangkok: A 15 year survey. Asian Pac J Allergy Immunol 7:113-118.

Platt-Mills TAE, Woodfolk JA, Wheatley LN. 1998. Environmental Allergens. Di dalam: Denburg JA, editor. Allergy and Allergic Disease. Humana Press. Totowa. hlm. 41-60.

Platt-Mills TAE. 2006. Immediate hypersensitivity. Di dalam: Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I, editor. Immunology. Philadelphia: Mosby-Elsevier. hlm. 423-446.

Potter PC, Berman D, Toerien A, Malherbe D, Weinberg EG. 1991. Clinical significance of aero-allergen identification in the Western Cape. S Afr Med J 79:80-84.

Puc M. 2003. Characterisation of pollen allergens. Ann Agric Environ Med 10:143-149.

Pumhirun P, Towiwat P, Mahakit P. 1997. Aeroallergen sensitivity of Thai patients with allergic rhinitis. Asian Pac J Allergy Immunol 15:183-185.

Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Really Essential Medical Immunology, Blackwell Publishing. hlm. 148-163.

Ree van R et al. 1995. Lol p XI, a new major grass pollen allergen; is a member of a family of soybean trypsin inhibitor-related proteins. J Allergy Clin Immunol 95:970-978.

Ring J. 2005. Allergy in Practice. New York: Springer. hlm. 42-49.

Robinson C, et al. 1997. On the potential significance of the enzymatic activity of mite allergens to immunogenicity. Clues to structure and function revealed by molecular characterization. Clin Exp Allergy 27:10-21.

Romagnini S. 2004. Allergy: Is it a Th2-predominant disease? Di dalam: Isolauri E, Walker WA, editor. Allergic Diseases and the Environment. Basel: Karger, hlm. 69-96.

Rusznak C, Davies RJ. 1998. ABC of allergies: Diagnosing allergy. BMJ 316:686-689.

Sam CK et al. 1998. A study of pollen prevalence in relation to pollen alergy in Malaysian asthmatics. Asian Pac J Allergy Immunol 16:1-4.

Page 83: Serb Uk Sari

62

Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, Labouisse JP. 1995. Di dalam: Manual on Standardized Research Techniques in Coconut Breeding. Manado: Balitka.

Schenk S et al. 1996. T cell epitopes of PHL p 1, major pollen allergen of timothy grass (Phleum pratense). Cross-reactivity with group I allergens of different grasses. Adv Exp Med Biol 409:141-146.

Schoefer Y, Schafer T, Meisinger C, Wichmann HE, Heinrich J. 2008. Predictivity of allergic sensitization (RAST) for the onset of allergic diseases in adults. Allergy 63:81-86.

Schramm G, Petersen A, Bufe A, Schlaak M, Becker WM. 1996. Identification and characterization of the major allergens of velvet grass (Holcus lanatus), Hol l 1 and Hol l 5. Int Arch Allergy Immunol 110:354-63.

Sehqul N, Custovic A, Woodcock A. 2005. Potential roles in rhinitis for protease and other enzymatic activities of allergens. Curr Allergy Asthma Rep 5:221-226.

Shen HD et al. 1998. Identification of allergens and antigens of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen by immunoblot analysis. Clin Allergy 18:401-409.

Silvestri M, Oddera S, Rossi GA, Crimi P. 1996. Sensitisation to airborne allergens in children with respiratory symptoms. Ann Allergy Asthma Immunol 76:239-244.

Singh AB, Kumar P. 2003. Aeroallergens in clinical practice of allergy in India. An overview. Ann Agric Environ Med 10:131-136.

Smith EG. 2000. Sampling and Identifying Allergenic Pollens and Molds. San Antonio: Blewstone Press.

Smith PM, Xu H, Swoboda I, Singh MB. 1997. Identification of a Ca2+ binding protein as a new Bermuda grass pollen allergen Cyn d 7: IgE cross-reactivity with oilseed rape pollen allergen Bra r 1. Int Arch Allergy Immunol 114:265-271.

Sohn RH, Goldschmidt-Clermont PJ. 1994. Profilin: At the crossroads of signal transduction and the actin cytoskeleton. Bioessays 16:465-472.

Sompolinsky D, Samra Z, Zavaro A, Barishak Y. 1984. Allergen-spesific immunoglobulin E antibodies in tears and serum of vernal conjunctivitis patients. Int Arch Allergy Appl Immunol 75:317-321.

Sorensen H, Ashoor AA, Maglad S. 1986. Perennial rhinitis in Saudi Arabia. A prospective study. Ann Allergy 56:76-80.

Page 84: Serb Uk Sari

63

Sornsathapornkul P, Owens JN. 1998. Pollination biology in a tropical Acacia hybrid (A. mangium Willd.x A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth.). Annals of Botany 81: 631-645.

Sporik R, Holgate ST, Platts-Mills TA, Cogswell JJ. 1990. Exposure to house-

dust mite allergen (Der p 1) and the development of asthma in childhood: a prospective study. N Engl J Med 323:502-507.

Sridhara S et al. 2002. Immunobiochemnical characterization of Sorghum vulgare pollen allergens prevalent in tropical countries. Indian J Allergy Asthma Immunol 16(1):33-39.

Sridhara S et al. 1995. A study of antigenic and allergenic relationship among grass pollen grains prevalent in India. Ann Allergy Asthma Immunol 74:73-79.

Stübner UP et al. 1999. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 54:865-871.

Stuessy TF. 1990. Plant Taxonomy. The Systematic Evaluation of Comparative Data. New York: Columbia University Press. hlm. 267-287.

Suck R et al. 2000. The high molecular mass allergen fraction of timothy grass pollen (Phleum pratense) between 50-60 kD is comprised of two major allergens: Phl p 4 and Phl p 13. Clin Exp Allergy 30:324-332.

Suliaman FA, Holmes WF, Kwick S, Khour F, Ratard R. 1997. Pattern of immediate type hypersensitivity reactions in the Eastern Province, Saudi Arabia. Ann Allergy Asthma Immunol 78:415-441.

Sundaru H, Sukmana N. 1990. Epidemiologi asma di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 3:17-18.

Suonemi I, Bjorksten F, Haahtela T. 1981. Dependence of immediate hypersensitivity in the adolescent period on factors encountered in infancy. Allergy 36:263-268.

Suphioglu C, Ferreira F, Knox RB. 1997. Molecular cloning and immunological characterization of Bermuda grass pollen. FEBS Lett 402:167-172.

Suphioglu C. 1998. Thunderstorm asthma due to grass pollen. Int Arch Allergy Immunol 116:253-260.

Taylor PE, Flagan R, Valenta R, Globsky MM. 2002. Release of allergens in respirable aerosols: a link between grass pollen and asthma. J Allergy Clin Immunol 109:51-56.

Page 85: Serb Uk Sari

64

Thompson PJ, Stewart GA. 1993. Allergens. Di dalam: Holgate ST, Church MK editor. Allergy. Boston: Mosby-Wolfe. hlm.1.1-1.14.

Thomson CC, Clark S, Camargo CA. 2003. Body mass index and asthma severity among adults presenting to the emergency department. Chest 124:795-802.

Traidl-Hoffman C et al. 2002. Lipid mediators from pollen act as chemoattractants and activators of polymorphonuclear granulocytes. J Allergy Clin Immunol 109:831-838.

Tsai YT, Chen SH, Lin KL, Hsieh KH. 1990. Rice pollen allergy in Taiwan. Ann Allergy 65:459-462.

Tuchinda M, Theptaranon Y, Limsathayourat N. 1983. A Ten-year surveillance of atmospheric pollens and moulds in the Bangkok area. Asian Pacific J Allergy Immune 1:7-9.

[UKK Pulmonologi IDAI]. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak. Revisi. Jakarta.

Visitsunthorn N, Vichyanond P. 2006. Allergy and asthma - The Thailand scenario. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 833-871.

Verdino P. 2006. Structural characterization of pollen allergens. Clin Rev Allergy Immunol 30:73-95.

Wijk van RG. 2002. Allergy: a global problem, quality of life. Allergy 57:1097-1110.

Weber RW. 1998. Pollen identification. Ann Allergy Asthma Immunol 80:141-145.

Weber RW. 2003. Bermuda grass. Ann Allergy Asthma Immunol 88(3):A-6.

Wodehouse RP. 1965. Pollen Grains. Their structure, identification and significance in science and medicine. New York: Hafner Publishing Company, Inc. hlm. 134-152.

Wood-Baker R, Markos J. 1997. Occupational ashtma due to blackwood (Acacia melanoxylon). Aust Z J Med 27:452-453.

Zimmerman JL, Woodruff PG, Clark S, Camargo CA. 2000. Relation between phase of menstrual cycle and emergency department visits for acute asthma. Am J Respir Crit Care Med 162:512-515.

Page 86: Serb Uk Sari

LAMPIRAN

Page 87: Serb Uk Sari

66

Lampiran 1

PETA DKI JAKARTA

http://www.geocities.com/gozaliarief/peta_jakarta_gede.jpg

Penelitian dilakukan di Jakarta Selatan (warna dasar hijau), Kecamatan Cilandak (lingkaran merah), Kecamatan Pasar Minggu (lingkaran kuning), dan Kecamatan

Jagakarsa (lingkaran hija

Page 88: Serb Uk Sari

67

Lampiran 2

PETA JAKARTA SELATAN

http://selatan.jakarta.go.id/kesmas/media/map.jpg

Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilandak, Pasar Minggu dan Jagakarsa

Page 89: Serb Uk Sari

68

Lampiran 3

Lembar Informasi Penelitian

Yth. Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,

Dengan ini kami jelaskan bahwa akan diadakan penelitian tentang alergi,

untuk mengetahui sensitisasi atau kepekaan terhadap bahan-bahan yang dapat

mencetuskan alergi pada pasien asma dan rinitis alergi yang tidak dalam serangan.

Pada penelitian ini akan dilakukan uji tusuk kulit di lengan bawah yang berkisar 30

menit. Persiapan uji tusuk kulit adalah tidak minum obat anti alergi/ antihistamin,

obat-obatan flu atau obat golongan steroid satu minggu sebelumnya. Hasil uji positif

akan ditandai dengan adanya bentol.

Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari di dalam penelitian ini bersifat

sukarela, dan dapat menolak selama proses penelitian berlangsung. Semua data pada

penelitian ini bersifat rahasia.

Apabila Bapak/Ibu/Saudara/Saudari bersedia ikut serta pada penelitian ini,

kami mohon kesediaan untuk dapat menandatangani lembar persetujuan menjadi

peserta penelitian yang berjudul:

“Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta”

Hal-hal yang belum jelas dalam penelitian ini dapat ditanyakan langsung/via telepon

pada penanggung jawab penelitian ini:

dr. Iris Rengganis, SpPD, KAI

Divisi Alergi Imunologi Klinik,

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

HP : 0816-728045

K : 021-3141160

Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, kami ucapkan terima kasih.

Page 90: Serb Uk Sari

69

Lampiran 4

Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian

(Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : ..........................................................................

Usia : ............... tahun

Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan

Telepon/HP : ..........................................................................

Setelah mendapat keterangan secukupnya tentang penelitian yang berjudul :

“Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta“ Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian di atas. Mengetahui Jakarta, ........................... 2007 Peneliti, Yang menyetujui,

(dr.Iris Rengganis, SpPD, KAI) (................................................)

Page 91: Serb Uk Sari

70

Lampiran 5

KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK

(ETHICAL CLEARANCE)


Recommended