SISTEM PERS INDONESIA PADA SAAT KINI:SEBUAH PERUMUSAN SISTEM PERS NASIONAL
MakalahDiajukan Sebagai Ganti Ujian Sisipan Satu untuk
Mata Kuliah Pengantar Jurnalistik
Oleh:Christopher Allen Woodrich
NIM: 084114001
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIAJURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa makalah yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, ..........................................
Penulis
Christopher Allen Woodrich
2
KATA PENGANTAR
Atas bantuan mereka dalam penyelesaian makalah ini saya ingin ucapkan
terima kasih kepada orang-orang berikut:
Trifosa Sie Yulyani Retno Nugroho, atas dukungannya dalam semua tugas
akademik.
Drs. B. Rahmanto, M. Hum untuk segala ajarannya, baik yang terkait
dengan mata kuliah maupun yang dimaksud sebagai guyuan.
Para wartawan Kompas untuk artikel-artikel mereka yang cukup
profesional dan menarik dibaca.
Makalah ini tidak sempurna dan apabila terjadi kekurangan saya mohon maaf
lebih dahulu. Terima kasih.
Yogyakarta, ………………….. 2009
Christopher Allen Woodrich
NIM: 084114001
DAFTAR LAMPIRAN
3
Halaman
LAMPIRAN I: 130 TRUK BBM DISIAGAKAN ....................................... 12
LAMPIRAN II: KEBEBASAN PERS TERANCAM ................................... 15
LAMPIRAN III: MUHAMMADIYAH HARI MINGGU .............................. 20
DAFTAR ISI
4
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Tujuan dan Metode Analisis ....................................................... 1
C. Sistematika Penyajian ................................................................. 2
BAB II: PENGERTIAN DASAR TEORI PERS .......................................... 3
A. Sistem Pers Otoriter ................................................................... 3
B. Sistem Pers Liberal ..................................................................... 3
C. Sistem Pers Komunis .................................................................. 4
D. Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial .......................................... 4
BAB III: ANALISIS JENIS PERS INDONESIA .......................................... 6
A. Gaya Bahasa Artikel ................................................................... 6
B. Topik Artikel .............................................................................. 7
C. Sudut Pandang Artikel ................................................................ 8
BAB IV: PENUTUP ....................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 11
LAMPIRAN ..................................................................................................... 12
5
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Telah diajarkan dalam mata kuliah Pengantar Jurnalistik bahwa ada
setidaknya empat jenis pers utama, yaitu pers otoriter, pers liberal, pers komunis, dan
pers tanggung jawab sosial. Keempat macam pers ini mempunyai tujuan dan unsur-
unsur tersendiri; oleh karena itu, cukup simpel menganalisis jenis pers apa saja yang
digunakan dalam suatu wilayah atau negara tertentu.
Secara historis, pers Indonesia (dan sebelumnya Hindia Belanda) tidak diberi
kebebasan untuk melaporkan hal yang bertentangan dengan tujuan pemerintah. Sejak
lahir pers Nusantara pada tengah abad kesembilan belas sampai dengan runtuhnya
Orde Baru pada tahun 1998 pers Indonesia dikendalikan dengan ketat. Akibatnya,
sampai dengan tahun 1998 sistem pers Indonesia adalah pers otoriter.
Namun, sistem pers Indonesia kini beda dari yang sebelumnya. Dalam
beberapa bidang memang terbiasa mengikuti pernyataan pemerintah, tetapi dalam
bidang lain pers sungguh-sungguh bertentangan keras dengan agenda pemerintah.
Akibatnya, kadang tidak diketahui kini pers Indonesia adalah pers semacam apa.
B. Tujuan dan Metode Analisis
Analisis dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan apa jenis pers
Indonesia pada zaman pasca-Soeharto ini. Jenis pers Indonesia ini akan dimasuk ke
salah satu dari empat macam pers yang diajari di kelas.
6
Untuk mencapai tujuan itu, masalah akan dipecahkan dengan analisis gaya
dan inti dari dua artikel dan satu opini dari harian Kompas dan perbandingan dengan
ciri-ciri empat macam teori pers.
C. Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi menjadi empat bab dan sepuluh subbab. Bab satu adalah
bab pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagai menjadi tiga
subbab dan menjelaskan latar belakang masalah, tujuan dan metode analisis, dan
sistem penyajian.
Bab dua terdiri dari empat subbab. Bab ini berfungsi sebagai informasi latar
belakang yang menjelaskan apa itu keempat teori pers. Terdapat dalam bab ini adalah
penjelasan pers otoriter, pers liberal, pers komunis, dan pers tanggung jawab sosial.
Bab tiga adalah analisis jenis pers Indonesia; ini dibagi dalam tiga subbab
yang terfokus pada satu aspek artikel per subbab. Dalam bab ini akan dipecahkan
apakah macam pers Indonesia menurut teori yang dipelajari dalam kelas. Analisis ini
dilakukan dengan cara memperbanding beberapa aspek artikel dari harian Kompas
dengan unsur-unsur setiap macam pers yang dipelajari.
Bab empat adalah penutup. Penutup ini merupakan kesimpulan dan saran dari
makalah ini.
7
BAB II: PENGERTIAN DASAR TEORI PERS
a) Sistem Pers Otoriter
Teori pers otoriter menyatakan bahwa pers berada untuk menyampaikan
segala tujuan pemerintah kepada rakyat. Pers ini lahir di Eropa pada abad kelima
belas ketika pemerintah-pemerintah Eropa masih menggunakan sistem politis
absolute monarchy. Macam pers ini berkembang pada abad keenam belas tetapi saat
kini jarang ditemui kecuali dalam diktatorial non-komunis (Rahmanto, 2009).
Oleh karena pers otoriter berada karena diizinkan pemerintah setiap penerbit
pers diawasi dengan ketat dan tidak boleh menghina pemerintah atau penguasa. Ini
jelas kelihatan pada Orde Baru. Pada saat itu, berbagai media pers didiri oleh
pemerintah, di antara lain RRI, TVRI dan Suara Karya. Untuk terus-menerus menerbit
setiap pers perlu Surat Izin Cetak, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers dan sebagainya
(Rahmanto, 2009).
b) Sistem Pers Liberal
Pers liberal lahir pada abad ketujuh belas dan berkembang dalam abad-abad
berikutnya. Pertama-tama muncul karena perubahan budaya di negara-negara Barat
yang disebabkan revolusi industrial; pada saat itu manusia diakui sebagai makluk
rasional yang dapat membedakan kebenaran dan kesalahan. Akibatnya, pers
dibebaskan untuk menuliskan apa saja (Rahmanto, 2009).
Fungsi pers liberal tidaklah terbatas pada mengungkapkan fakta, tetapi juga
untuk memberi hiburan. Ada pula fungsi untuk bertentangan dengan pemerintah dan
8
monolopinya dalam komunikasi. Oleh karena fungsi-fungsi itu, pers liberal sering
ucapkan rahasia pemerintah sebagai akibat dari investigative reporting dan protes
keras ketika ada undang-undang yang membatasi kebebasan pers (Rahmanto, 2009).
c) Sistem Pers Komunis
Pers komunis lahir agak mirip pers otoriter, tetapi lebih terkendali oleh
pemerintah. Lahir di Uni Soviet pada awal abad kedua puluh dengan runtuhnya
keczaran Rusia, pers komunis berdasarkan teori-teori Karl Marx tentang sosialisme.
Kini pers komunis dipegang (dengan beberapa modifikasi) dalam negara-negara
komunis, di antara lain Republik Rakyat Cina, Viet Nam, Korea Utara, dan Kuba
(Rahmanto, 2009).
Dalam pers komunis, pers dianggap sebagai alat propaganda partai (penguasa)
dan digunakan sebisa-bisanya untuk memperlancar proyek-proyek partai. Oleh karena
dimaksud sebagai alat propaganda, pers komunis sangat terbatas dalam apa yang bisa
dilaporkan. Semua macam pers milik negara dan disensor oleh negara. Sama sekali
tidak boleh ada kritik terhadap partai ataupula tujuannya (Rahmanto, 2009).
d) Sistem Pers Tanggung Jawab Sosial
Sistem pers tanggung jawab sosial muncul sebagai perkembangan dari pers
liberal pada abad kedua puluh karena pers liberal dianggap terlalu menipu
masyarakat. Dalam sistem pers ini, pers berdiri terpisah dari pemerintah, tetapi wajib
mengendalikan diri sesuai dengan kode etik pers. Dalam kata lain, dalam sistem pers
9
tanggung jawab sosial pers harus coba untuk melaporkan kebenaran saja dan bukan
hanya menghibur (Rahmanto, 2009).
Oleh karena ada self-control itu, pers tanggung jawab sosial dianggap
bertanggung atas informasi yang disampaikannya. Untuk menghindari ketidakjelasan
dan bias, pers harus bersifat objektif dalam pelaporan peristiwa. Pers juga harus
bersifat nonpartisan dan tidak memihak-pihak dalam isu-isu sosial ataupun pilihan
umum (Rahmanto, 2009).
10
BAB III: ANALISIS JENIS PERS INDONESIA
a) Gaya Bahasa Artikel
Gaya bahasa ketiga artikel / opini yang dianalisis cukup standar. Jarang
digunakan kata-kata yang melebih-lebih atau membesar-besar topik. Kata-kata
inflammatory atau sensasionalis yang sering dijumpai dalam pers liberal dan tabloid
tidak ada di kedua artikel.
Tingkat bahasa cukup sederhana dan dapat dimengerti oleh sebagian besar
pembaca. Tatkala ada kata atau istilah yang agak spesialis, misalnya kata “hasiab”
dalam artikel “Muhammadiyah Hari Minggu,” (selanjutnya disebut MHM) pasti
diartikan. Walaupun ini tidak menandai satu macam pers tertentu, ini memperluas
pengertian pembaca yang mungkin dari latar belakang berbeda.
Dalam kedua artikel digunakan kata-kata yang denotasinya netral, sesuai
dengan pers otoriter, pers komunis dan pers tanggung jawab sosial. Misalnya, dalam
artikel “130 Truk BBM Disiagakan” (selanjutnya disebut 130 TBD) terdapatlah
kalimat “Sepeda motor terlihat mendominasi lalu lintas, terutama pada pagi hari”
yang bersifat cukup objektif. Bisa saja dalam pers liberal kalimat itu berbunyi
“Sepeda motor bergila-gilaan menutupi jalan dan menyebabkan macet,” yang
konotaasinya lebih negatif.
Sedangkan, gaya bahasa dalam opini “Kebebasan Pers Terancam”
(selanjutnya disebut KBT) bersifat menegaskan. Ada beberapa kalimat yang diulang-
ulangi sebagai penegas intinya. Contohnya, frase-frase “nondemokratis,” “represif,”
11
dan “antikebebasan pers” digunakan berkali-kali. Sifat pengulangan dan penegasan
opini ini mengarah ke pers liberal karena bersifat inflammatory.
Macam pers Indonesia juga ditandai oleh pilihan judul dan by-line artikel.
Konotasi bisa terbawa dari keterkaitan dua frase di atas artikel. Contohnya, dalam
artikel MHM ada by-line “Pemerintah Belum Memutuskan Tanggal Idul Fitri.”
Ketika hanya judul dan by-line artikel dibaca ada penangkapan bahwa pemerintah
tidak efisien; kritik pemerintah ini sesuai dengan pers liberal atau pers tanggung
jawab sosial.
b) Topik Artikel
Topik artikel (apa yang dibahas dalam artikel) dapat menandai orientasi pers
oleh karena pelesapan adalah cara objektif menyampaikan pikiran. Dalam kata lain,
dengan melesap informasi yang tidak sesuai dengan sudut pandang seorang wartawan
dapatlah wartawan itu mengubah pikiran masyarakat tanpa mengubah objektivitas
artikelnya.
Dalam kedua artikel yang dianalisis, topik artikel adalah sesuatu yang sangat
berguna bagi sebagian besar masyarakat. Dalam artikel 130 TBD, masyarakat diberi
tahu bahwa telah disediakan bensin ekstra untuk pompa-pompa di Sumatera; dengan
pengetahuan itu masyarakat tidak perlu buru-buru isi bensin dan menyebabkan macet.
Dalam artikel MHM, masyarakat diberi tahu bahwa Muhammadiyah telah
menetapkan hari Idul Fitri pada hari Minggu; untuk kaum Islam, pengetahuan awal
12
hari raya ini dapat bantu mereka siapkan diri untuk Lebaran dengan cara menentukan
batas belanjaan. Ini termasuk pers tanggung jawab sosial.
Sedangkan, dalam opini KPT topik adalah reaksi terhadap undang-undang
baru yang menentukan hukum berat untuk pelanggaran rahasia negara. Topik ini
bertentangan dengan posisi pemerintah dan karena itu membuktikan bahwa pers tidak
dipeliharakan seratus persen oleh pemerintah; dalam kata lain, pers Indonesia
bukanlah pers otoriter atau komunis.
c) Sudut Pandang Artikel
Sudut pandang (point of view) ditandai oleh beberapa bagian artikel, di antara
lain diksi, pilihan informasi, pelesapan informasi, kelengkapan artikel, dan juga
dengan tempat letaknya artikel dalam koran. Misalnya, artikel-artikel yang dianggap
penting oleh pers diletakkan di halaman-halaman depan dengan artikel yang besar.
Sedangkan, artikel yang dianggap tidak penting diletakkan di belakang.
Dalam artikel 130 TBD, sudut pandang cukup objektif. Contohnya, pada akhir
artikel diberi pernyataan oleh wakil pemerintah bahwa takkan ada hambatan yang
berarti dalam perjalanan. Pernyataan ini diseimbangi dengan informasi bahwa jumlah
pemudik bermotor meningkat dan mulai dominasi jalan pada pagi hari. Oleh karena
ada keseimbangan informasi itu, pembaca tidak dipersuasi setuju dengan laporan oleh
karena pelesapan informasi.
Dalam artikel MHM, sudut pandang anti-pemerintah secara tidak langsung. Di
antara lain, ketika judul dibaca bersama by-line ada pesan ketidakefisienan
13
pemerintah. Apalagi, walaupun pemerintah diberi lebih banyak kutipan dan fokus
dalam artikel ada pula pernyataan yang terdengar agak menghina. Misalnya,
permohonan pemerintah agar masyarakat sabar menunggu keputusan dikatakan dua
kali dalam artikel. Kritik pemerintah ini sesuai dengan pers liberal atau tanggung
jawab sosial.
Sudut pandang yang paling jelas terletak pada opini KPT, yaitu posisi anti-
pemerintah. Keputusan pemerintah untuk undang-undang baru dikritik secara
mendalam dalam opini yang penuh emosi. Namun, pembaca tidak diberi kutipan
langsung dari undang-undang tersebut atau lihat semua ayat dan pasal dalam konteks
ataupun komentar dari ahli. Akibatnya, terjadi pelesapan informasi yang cukup besar
dalam opini ini yang mewarnai penangkapan masyarakat. Ini mencerminkan sistem
pers liberal.
14
BAB V: PENUTUP
Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa pers Indonesia pada saat ini
pasti bukan pers otoriter ataupun pers komunis. Pers Indonesia pada saat ini lebih
mengarah ke pers tanggung jawab sosial, yang menjaga sikap dan nama baik dengan
kebenaran dan objektivitas dalam artikel.
Namun, ada pula beberapa aspek pers liberal yang masih terasa dalam pers
Indonesia pada saat ini. Opini seperti KPT reaksionis dan terbawa emosi, bukan
logika. Dalam opini-opini ada kebiasaan menyampaikan gagasan tanpa
memeriksanya dengan ahli dalam bidang itu; dalam kasus KPT, ahli hukum.
Oleh karena itu, pers Indonesia moderne tidak dapat disebut seratus persen
pers tanggung jawab sosial. Namun, bisa dikatakan bahwa pers Indonesia pada saat
ini bersifat tanggung jawab sosial dalam artikel tetapi liberal dalam opini.
Agar bisa lebih dipercaya rakyat sebaiknya pers Indonesia ingat pada
kedudukannya sebagai pelapor peristiwa penting yang berguna untuk rakyat. Apabila
ada sesuatu yang sangat memarahkan, sebaiknya opini tentang itu mengkritik dengan
bukti tambahan dari ahli atau kutipan dari buku.
15
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Leo. 2009. “Kebebasan Pers Terancam.” Kompas. 14 September.
Rahmanto, Drs. B. 2009. “Empat Macam Teori Pers.” Pelajaran.
Staff Kompas. 2009. “130 Truk BBM Disiagakan.” Kompas. 14 September.
Staff Kompas. 2009. “Muhammadiyah Hari Minggu.” Kompas. 14 September.
16
LAMPIRAN
Lampiran I: 130 Truk BBM Disiagakan
(Diambil dari Kompas, tanggal 14 September 2009 halaman 22).
130 Truk BBM Disiagakan
Pemudik Bersepeda Motor Mulai Memasuki Jawa Tengah
PALEMBANG, KOMPAS – Pertamina menyiapkan 130 truk tangki bahan bakar
minyak jenis solar, premium, dan pertamax di sejumlah titik jalan di Sumatera bagian
selatan. Truk-truk itu membawa cadangan pasokan BBM untuk stasiun pengisian
bahan bakar untuk umum selama arus mudik-balik.
Dalam kondisi darurat, truk dapat pula difungsikan untuk memenuhi
permintaan konsumen industri.
Kepala Bagian Relasi Eksternal Pertamina Unit Pemasaran II Sumatera
Bagian Selatan Roberth MVD di Palembang, Minggu (13/9), menyebutkan
penyiagaan 130 truk tangki BBM itu seiring dengan pengerahan tim satuan tugas
(satgas) Lebaran 2009 yang beranggotakan lebih dari 100 orang.
“Salah satu titik utama penempatan truk BBM itu di jalan linatas timur, yang
merupakan jalan utama di arus mudik dan balik. Ada 18 SPBU di jalintim yang
dipantau,” katanya.
Penempatan truk-truk itu berdekatan dengan SPBU. Pengaturan seperti itu
dilakukan agar truk cepat sampai ke SPBU jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebanyak
76 truk lainnya disebar di berbagai kabupaten/kota di Sumatera Selatan.
17
Roberth juga menjelaskan, sebagian truk BBM itu milik Pertamina dan ada
sebagian lainnya yang disewakan dari pengusaha.
Lintasi Nagreg
Pada Minggu kemarin, pemudik bersepeda motor mulai melintasi jalur
Nagreg di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dari arah barat ke timur. Namun,
sebagian besar bis antarkota yang melintas tampak kosong.
Arus mudik dari Jakarta ke Kota Semarang atau kota-kota lain di Jateng juga
belum tampak. Kepala Dinas Perhubungan, Komunkasi, dan Informatika Provinsi
Jateng Kris Nugroho mengatakan belum ada perbedaan yang mencolok dibanding
hari-hari sebelumnya.
Kris menyatakan, seluruh daerah di Jateng siap menerima pemudik. Semua
jalan yang sebelumnya dalam perbaikan sudah dapat dilalui pada 10 hari sebelum
Lebaran (H - 10).
“Tidak ada hambatan berarti, kecuali mengantisipasi pasar tumpah yang
berpotensi menimbulkan kemacetan lalu lintas saat arus puncak, yaitu H - 4 dan H -
3. Sebanyak 17 jembatan timbang di Jateng kami fungsikan untuk posko dan dapat
digunakan untuk beristirahat,” ujarnya.
Namun, arus kendaraan yang masuk ke Jateng melalui jalur pantura di
perbatasan Cisanggarung dan pintu keluar Tol Kanci - Pejagan di Pejangan,
Kabupaten Brebes, kemarin mulai meningkat. Sepeda motor terlihat mendominasi
lalu lintas, terutama pada pagi hari. Pelat nomor kendaraan mereka berasal dari
18
Jakarta, Bandung, Cirebon, dan Lampung. Sebagian besar pengendara sepeda motor
melaju secara bergerombol.
(ONI/ADH/ELD/UTI/WIE)
19
Lampiran II: Kebebasan Pers Terancam
(Diambil dari Kompas, tanggal 14 September 2009 halaman 6).
Kebebasan Pers Terancam
Oleh Leo Batubara
Tahun 2008 dapat disebut sebagai tahun yang paling mengancam kebebasan pers.
Pemerintah dan DPR menerbitkan lima UU, tiga di antaranya – UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Keterbukaan Informasi Publik –
mengkriminalkan pers. Sementara UU Pemilu dan UU Pilpres dapat memberedel
pers.
Tahun 2009, menjelang masa bakti DPR 2004 - 2009 berakhir, pemerintah
dan DPR menyiapkan RUU Rahasia Negara (RUU RN) yang lebih represif
mengancam pers daripada peraturan dan perundang-undangan kolonial Belanda dan
tentara pendudukan Jepang yang terkait pers.
Berdasarkan Pasal 49 Ayat (1), korporasi (termasuk perusahaan pers) yang
melarang rahasia negara dipidana denda Rp. 50 miliar - Rp. 100 miliar. Ancaman
Ayat (2), perusahaan pers pelanggar ketentuan itu dapat dibekukan atau dicabut
izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Pasal 44 Ayat (1), pelanggar
ketentuan rahasia negara - termasuk pers - dapat dipidana penjara tujuh tahun - 20
tahun. Ketentuan paling singkat tujuh tahun berintensi agar wartawan pelanggar dapat
di-“Prita”-kan (Prita Mulyasari, korban pertama UU ITE), langsung dipenjarakan
tanpa putusan majelis hakim.
20
Berdasarkan Pasal 11 dan 12, Presiden dapat mendelegasikan penetapan
rahasia negara kepada pimpinan Lembaga Negara. Ketentuan berikut terkait standar
dan prosedur perlindungan dan pengelolaan rahasia negara diatur Peraturan
Menteri/Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen.
Mengancam Pers
Penentuan rahasia negara menjadi pasal karet dan mengulang pengalaman
pada era Orde Baru, UU Pokok Pers (No. 11/1966 junto No. 21/1982) melarang
pemberedelan pers. UU itu memberi otoritas kepada Menteri Penerangan
menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Maka, berdasarkan
Peraturan Menteri No. 1/1984, Menpen berwenang mecabut surat izin usaha
penerbitan pers.
Dalam pertemuan masyarakat pers dengan Menteri Pertahanan Juwono
Sudarsono, sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU RN, di Dewan Pers
(13/8/2009), Dewan Pers menilai RUU RN tak berparadigma demokrasi, tak
konstitusional, dan mengancam kebebasan pers.
RUU RN dinilai tidak demokratis karena desainnya menempatkan penguasa
sebagai yang berdaulat dalam pengaturan rahasia negara. Di negara demokratis,
pengaturan rahasia negara berprinsip maximum access limited exemption. Sebagian
besar informasi dapat diakses publik, sebagian kecil dikecualikan sebagai rahasia
negara. Sementara RUU RN bermuatan limited access maximum exemption.
21
RUU RN tidak memedomani Pasal 28F UUD 1945 bahwa rakyat mempunyai
hak konstitusional untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi.
RUU RN bertentangan dengan kebebasan pers (UU No. 40/1999 tentang
Pers). Sesuai UU Pers, pertama, perusahaan pers tidak boleh diberedel dan dihukum
sebagai korporasi terlarang. Yang memberedel dan menghukum pers sebagai
korporasi terlarang dapat dipidana penjara paling lama dua tahun sesuai Pasal 18
Ayat (7).
Kedua, kesalahan pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik untuk
kepentingan umum tidak dikriminalkan. Kesalahan pers akibat pemberitaan pers
diselesaikan dengan hak jawab. Jika pengadu tidak puas atas putusan Dewan Pers
dapat menempuh jalur hukum. Ancamannya, pers teradu dapat dipidana denda paling
banyak Rp. 500 juta.
Berdasar konsep kebebasan pers yang dianut UU Pers, kriminalisasi pers dan
pidana denda dengan jumlah besar akan melumpahkan fungsi kontrol sosial pers.
UU Pers memberi perintah kepada pers, pertama, memperjuangkan keadilan
dan kebenaran; kedua, melakukan fungsi kontrol sosial, ketiga, melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan sarana terhadap hal-hal yang terkait dengan
kepentingan umum; keempat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
Pelaksanaan amanat itu adalah bagian kontribusi pers dalam membantu pelaksanaan
pemerintah yang bersih dan baik serta memerangi korupsi.
22
Masalahnya, bagaimana pers dapat melaksanakan amanat itu jika RUU RN
justru (1) menerapkan rezim ketertutupan, (2) mengancam pers dengan penjara dan
denda yang potensial membangkrutkan.
Menolak RUU Rahasia Negara
Ketika anggota Masyarakat Pers Indonesia - terdiri Dewan Pers, Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis
Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan SET,
Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Institut Pengembangan Media
Lokal (IPML), serta Forum Pemantau Informasi Publik – bertemu Komisi I DPR
(8/9/1009), bahan RUU RN hasil pembahasan terkini belum mengakomodasi tuntutan
dan masukan masyarakat pers yang telah disampaikan kepada Menhan sebulan
sebelumnya. Kepada Komisi I DPR, masyarakat pers menyampaikan, Indonesia
memerlukan UU RN, tetapi menolak RUU RN versi Departemen Pertahanan karena
masih berparadigma otoriter, tidak konstitusional, dan antikebebasan pers.
Saat penulis bertemu Agus Brotosusilo, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang
Ideologi dan Politik (9/9/2009), dinyatakan sejumlah tuntutan Dewan Pers
dipertimbangkan untuk diakomodasi. Ancaman pemberedelan dan pernyataan
perusahaan pers sebagai korporasi terlarang dihapus. Ancaman pidana penjara turun,
paling singkat empat tahun, denda menjadi maksimal Rp. 5 miliar. Atas perubahan
itu, dosis sianida RUU RN dikurangi, tetapi masih mengancam kebebasan pers.
23
Kesimpulan
Dari desain RUU RN itu dapat disimpulkan, pertama, harapan rakyat agar
pers dapat efektif membantu memerangi korupsi dan terselenggaranya pemerintahan
bersih dikhawatirkan kian sulit terwujud. Ancaman penjara dan denda besar akan
melumpuhkan fungsi kontrol pers dan mematikan jurnalisme investigasi.
Kedua, RUU RN yang berorientasi rezim ketertutupan akan mempersempit
bahkan berpotensi menutup akses publik dan pers atas sumber informasi yang
bermasalah, yang diduga korup.
Ketiga, argumentasi bahwa RUU RN melindungi kepentingan nasional patut
diwaspadai karena berintensi melindungi penyelenggara negara yang berorientasi
kepentingan kelompok dan individu.
LEO BATUBARA
Wakil Ketua Dewan Pers
24
Lampiran III: Muhammadiyah Hari Minggu
(Diambil dari Kompas, tanggal 14 September 2009 halaman 15).
Muhammadiyah Hari Minggu
Pemerintah Belum Memutuskan Tanggal Idul Fitri
JAKARTA, KOMPAS – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri 1
Syawal 1430 Hijriah jatuh pada 20 September 2009, Muhammadiyah mengacu pada
hasil hasiab (perhitungan) kalender.
Sementara itu, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia baru akan
melangsungkan siding isbat penetapan hari Idul Fitri pada hari Sabtu (19/9).
Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Fatah Wibisono mengatakan, hasil hisab itu sudah dicantumkan dalam maklumat PP
Muhammadiyah Nomor 06/MLM/L0/E/2009 tentang Penetapan 1 Ramadhan, 1
Syawal, dan 1 Zulhijah tertanggal 23 Juli 2009. Penetapan berdasarkan siding hasil
hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Yogyakarta pada 11 Juni
2009.
“Majelis memedomani hisab hakiki wujudul hilal dan hasilnya 1syawal 1430
Hijriah jatuh pada 20 September 2009,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta,
Minggu.
Sementara Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bahrul Hayat mengatakan,
pemerintah belum menentukan Idul Fitri secara resmi. Rencananya Depag baru akan
menggelar siding isbat pada 19 September mendatang.
25
Hargai
Pemerintah menghargai keputusan Muhammadiyah yang telah menetapkan
tanggal Idul Fitri. Hal itu adalah hak setiap organisasi massa dalam menentukan hari
raya keagamaan yang disesuaikan dengan keyakinan dan cara perhitungan masing-
masing. “Itu adalah keputusan internal Muhammadiyah sebagai sebuah ormas.
Berdasarkan hisab atau perhitungan mereka, Idul Fitri jatuh pada hari Minggu,”
ujarnya.
Meski demikian, Bahrul berharap masyarakat mengikuti hasil siding isbat.
Dalam siding itu, semua ormas Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, akan diundang dan dilibatkan dalam Dewan Hisab dan Rakyat
Departemen Agama.
Bahrul menegaskan pentingnya kebersamaan dan persatuan umat. “Penetapan
hari Idul Fitri oleh Depag sebagai wakil pemerintah juga bukan untuk kepentingan
salah satu ormas tertentu,” katanya.
Ia berharap masyarakat dan semua komponen ormas Islam bersabar
menunggu siding isbat dan merayakan Idul Fitri tahun ini dengan mengikuti
keputusan pemerintah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengakui ada dua metode
penetapan awal bulan, yakni hisab dan rukyat hilal. Hasil kedua metode itu bisa saja
berbeda.
Hisab hakiki merupakan penghitungan awal bulan dalam tahun Hijriah, yang
antara lain menggabungkan ilmu falak dan matematika. Sementara rukyat hilal
26
mengutamakan pengamatan langsung hilal atau bulan sabit pada hari pertama sebagai
dasar penetapan awal bulan.
(RAZ/REK)
27