IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PEMERINTAH KOTA SEMARANG UNTUK
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN GELANDANGAN DI
KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Aulia Rahmawati
NIM. 3450402078
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
2007
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian
skripsi pada :
Hari : Senin
Tanggal : 19 Februari 2007
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Soegito, SH. Tri Sulistiyono, SH.
NIP. 130529532 NIP. 132255794
Mengetahui:
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Drs. Eko Handoyo M. Si.
NIP. 131764048
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Semarang, pada:
Hari :
Tanggal : Februari 2007
Penguji Skripsi
Ubaidillah Kamal, S.Pd NIP. 132233422
Anggota I Anggota II
Drs. Soegito, SH Tri Sulistiyono, SH.
NIP. 130529532 NIP. 132255794
Mengetahui: Dekan,
Drs. H. Sunardi, M.M. NIP. 130367998
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah
Semarang, Februari 2007
Aulia Rahmawati
NIM. 3450402078
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
1. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila
kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh
- sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap”. (Q. S. Al. Nasyrah : 6 – 8).
2. “Orang terkuat adalah bukan mereka yang selalu menang melainkan
mereka yang tetap tegar meskipun mereka jatuh”. (Penulis).
PERSEMBAHAN
1. Untuk orangtuaku atas doa dan cinta kasihnya
yang akan selalu kusayangi dan kuhargai
ketulusannya.
2. Teman-teman Hukum Angkatan’02.
3. Almamaterku.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Walaupun banyak
halangan dan kendala dalam pembuatannya, tidaklah menjadi hambatan yang
berarti. Dalam penulisan skripsi ini, tak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Penulis sadar bahwa skripsi ini terselesaikan berkat bantuan banyak pihak.
Dalam kesempatan ini, penghargaan dan ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada :
1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. H. Sunardi, MM. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang.
3. Drs. Eko Handoyo, M. Si. selaku Ketua Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan.
4. Dra. Martitah, M. Hum selaku Ketua Prodi Ilmu Hukum.
5. Drs. Soegito, SH. (Pembimbing I) yang telah memberikan bimbingan,
motivasi, dukungan dan pengarahan dalam meyelesaikan skripsi ini.
6. Tri Sulistiyono, SH. (Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan,
bantuan, saran dan kritik dengan sabar tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Drs. Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Pemerintah Kota Semarang yang telah
memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
vii
8. Drs. Soemarso, Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo yang
telah memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Drs. Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan Penyaluran Panti Karya Mardi
Utomo yang telah memberikan informasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Jepi, yang telah memberikan bantuan, dukungan dan motivasi sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan angkatan 2002: Genx Gendut (Feri, Novita, Uut),
Cahyoso, Heri , Sugeng, dll.
12. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara moral mupun material.
Akhirnya besar harapan penulis, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
diri sendiri dan pembaca serta berguna bagi perkembangan khasanah ilmu
pengetahuan. Amin.
Semarang, Februari 2007
Penulis
viii
SARI
Rahmawati, Aulia. 2007. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Gelandangan di Kota Semarang. Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Drs. Soegito, SH. dan Tri Sulistiyono, SH. 110h. Kata Kunci: Kebijakan, Gelandangan, Kesejahteraan Gelandangan Kota Semarang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin bertambah. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya urbanisasi dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, menyebabkan banyak dari mereka yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi gelandangan atau pengemis. Oleh karena itulah diperlukan suatu kepastian hukum terhadap mereka baik berupa pelayanan dan rehabilitasi sosial maupun upaya peningkatan kesejahteraan bagi gelandangan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam upaya meningkatkan kesejahteraan gelandangan di Kota Semarang?, 2) Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan?, 3) Bagaimana usaha yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut?. Penelitian ini bertujuan: 1) Untuk mengetahui implementasi kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang dalam meningkatkan kesejahteraan gelandangan di Kota Semarang. 2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi kebijakan. 3) Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan Kasubbag Rehabsos Setda Kota Semarang, Staf bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, dan Kepala dan Staf Panti khusus yang menangani gelandangan. Wawancara dan observasi juga dilakukan dengan 10 orang gelandangan yang di tampung di panti serta 10 orang gelandangan yang sudah disalurkan/kembali ke masyarakat. Selain itu juga dilakukan pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang gelandangan. Validitas data menggunakan teknik triangulasi, data yang telah dikumpulkan dianalisis secara induktif dan disajikan secara deskriptif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan dapat dibagi dua, yaitu keputusan kebijakan dan pernyataan kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan antara lain; Pembentukkan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang, Kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan Panti Khusus Gelandangan, dan Larangan Memberi Uang Kepada Gelandangan di Jalan. Adapun dalam implementasinya kebijakan-kebijakan tersebut ada yang dapat dilaksanakan dan belum dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan faktor pendukung implementasi kebijakan, yaitu: adanya ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus, komunikasi yang baik antar pelaksana kebijakan, sumber-sumber yang cukup tersedia, serta struktur birokrasi yang jelas. Dan faktor penghambat implementasi kebijakan, yaitu: kurangnya dana dari Pemerintah Propinsi kepada panti khusus gelandangan, dan kurangnya dukungan dari masyarakat.
ix
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Semarang sudah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang gelandangan, ada kebijakan yang dapat diimplementasikan dan ada pula yang belum dapat diimplementasikan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya faktor pendukung dan faktor penghambat kebijakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan gelandangan. Pemerintah Kota Semarang diharapkan lebih tanggap dengan kondisi gelandangan rentan dengan masalah kemiskinan, misalnya dengan membuat Peraturan Daerah tentang gelandangan. Dan Pemerintah Propinsi juga harus meningkatkan pemberian dana operasional kepada Panti khusus gelandangan untuk memaksimalkan jangkauan pelayanan bagi gelandangan yang di tampung di panti agar setelah mereka keluar dari panti mereka mampu merubah pola hidup dan cara mencari penghasilannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta mampu menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat secara wajar. Setiap kebijakan baik yang telah dikeluarkan harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat tahu tujuan kebijakan tersebut dikeluarkan sehingga ada persamaan tujuan yang akan mendorong suksesnya implementasi kebijakan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. ii
PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................... iii
PERNYATAAN............................................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
SARI.............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................. x
DAFTAR TABEL......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Batasan Masalah ............................................................................... 8
C. Permasalahan .................................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 9
E. Sistematika Penulisan Skripsi ........................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Publik............................................................................... 13
1. Pengertian Kebijakan Publik (Public Policy) ............................. 13
2. Tujuan Kebijakan........................................................................ 17
3. Jenis Kebijakan Publik................................................................ 17
xi
4. Sifat Kebijakan Publik ................................................................ 19
B. Implementasi Kebijakan.................................................................... 20
1. Pengertian Implementasi Kebijakan ........................................... 20
2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ............................... 22
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ............................. 26
4. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan ............... 28
C. Gelandangan...................................................................................... 29
1. Pengertian Gelandangan.............................................................. 29
2. Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan ................................ 31
3. Ciri-ciri Gelandangan.................................................................. 32
4. Dasar Yuridis Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang
Gelandangan................................................................................ 33
D. Kesejahteraan .................................................................................... 35
1. Pengertian Kesejahteraan ............................................................ 35
2. Fungsi Kesejahteraan Sosial ....................................................... 37
3. Kriteria Usaha Kesejahteraan Sosial........................................... 38
4. Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial ................................................................... 39
BAB III METODE PENELITIAN
A. Dasar Penelitian ................................................................................ 41
B. Lokasi Penelitian............................................................................... 42
C. Fokus Penelitian ................................................................................ 42
D. Sumber Data Penelitian..................................................................... 43
E. Teknik Pengumpulan Data................................................................ 44
xii
F. Validitas Data.................................................................................... 46
G. Analisis Data ..................................................................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Gelandangan Kota Semarang .............................. 50
1. Daerah Asal dan Persebaran Gelandangan Kota Semarang........ 50
2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Gelandangan.................... 53
3. Umur dan Pekerjaan Gelandangan.............................................. 55
B. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang
Gelandangan...................................................................................... 56
C. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Pemerintah Kota Semarang Tentang Gelandangan........................... 83
1. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ............................... 83
2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ............................. 92
D. Upaya Pemerintah Kota Semarang Untuk Mengatasi Hambatan
Implementasi Kebijakan.................................................................... 100
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................... 106
B. Saran.................................................................................................. 108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 109
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Daftar Panti Rujukan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah ............... 66
Tabel 2. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Persinggahan
Margo Widodo Semarang Tahun 2006........................................... 72
Tabel 3. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Mardi Utomo
Semarang Tahun 2001-2006 .......................................................... 73
Tabel 4. Sifat dan Isi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam
Menangani Gelandangan................................................................. 82
Tabel 5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan ................................... 92
Tabel 6. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan ................................. 100
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan .................................................. 21
Gambar 2. Analisis Data Kualitatif............................................................... 49
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. SK. Walikota Semarang No. 462/ 133/ 2002 ...........................
Lampiran 2. Rekapitulasi Gelandangan Kota Semarang Tahun 2003-2006.
Lampiran 3. Daftar Informan dan Responden...............................................
Lampiran 4. Pedoman Wawancara ...............................................................
Lampiran 5. Foto...........................................................................................
Lampiran 6. Dokumentasi Surat Kabar dan Internet ....................................
Lampiran 7. Surat Ijin Penelitian ..................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kependudukan merupakan salah satu sumber masalah sosial
yang penting, karena pertambahan penduduk dapat menjadi penghambat
dalam pelaksanaan pembangunan, apalagi jika pertambahannya tersebut tidak
terkontrol secara efektif. Akibat pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh
kondisi yang serba tidak merata, terutama mengenai sumber-sumber
penghidupan masyarakat yang semakin terbatas. Pertambahan jumlah
penduduk tersebut disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi di
bandingkan dengan tingkat kematian yang rendah, dan juga peluang kerja
yang sangat kecil sebagai akibat dari perubahan era globalisasi menuju era
pasar bebas yang menuntut setiap individu untuk memperjuangkan hidupnya.
Kota Semarang, adalah salah satu kota besar di Indonesia, Ibukota
Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya.
Seperti halnya kota-kota lain yang sedang berkembang di seluruh dunia,
Semarang juga merasakan fenomena yang serupa. Perkembangan pesat,
seperti berdirinya kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan,
pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong para urban untuk
mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan di
kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak
2
mungkin pula mereka menyambung hidupnya dengan menjadi gelandangan
atau pengemis.
Menurut Justin M. Sihombing (2005:79). munculnya gelandangan
secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak
berupa terasingnya sebagian kelompok masyarakat dari sistem kehidupan
ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang
kelihatannya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis. Munculnya
kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang
terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.
Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial
yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,
terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota besar). Salah satu faktor
yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya
arus urbanisasi dari daerah pedesaan ke kota-kota besar, sehingga terjadi
kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para
urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta
terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang
mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi
gelandangan atau pengemis.
Jumlah gelandangan dari tahun ke tahun semakin meningkat, terlebih
sejak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997. Berdasarkan
data dari pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos)
Departemen Sosial RI tahun 2000, diluar propinsi Maluku dan Nanggroe Aceh
3
Darussalam populasi gelandangan dan pengemis seluruh Indonesia berjumlah
72.646 orang. Kemudian tahun 2002 mengalami peningkatan sehingga
populasinya menjadi 85.294 orang (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna
Sosial Departemen Sosial RI 2005). Sedangkan rekapitulasi Bagian Sosial
Kota Semarang tahun 2003 ada sekitar 218 orang gelandangan. Sampai tahun
2006, jumlah tersebut mengalami penurunan, yaitu ada 197 orang
gelandangan. Jumlah itu termasuk mereka yang bekerja sebagai pengemis,
pemulung, dan pengamen.
Gelandangan merupakan sekelompok masyarakat yang terasing, karena
mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan yang tidak lazim, seperti di
kolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api
ataupun di setiap emper-emper toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka ini
akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya (Sastraatmadja,
1987:23).
Peran pemerintah dalam menangani masalah sosial gelandangan
sangat penting, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2) dan
Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Amandemen keempat. Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen keempat berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini
memberikan pengertian bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberantas
pengangguran dan harus mengusahakan supaya setiap warga negara dapat
memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak untuk hidup. Sedangkan Pasal
34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat yang berbunyi
4
: “Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara”. Pasal tersebut
memberikan pengertian pula bahwa tujuan negara sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara
tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya untuk memelihara fakir miskin
dan anak-anak terlantar.
Sampai saat ini gelandangan dianggap sebagai perbuatan pidana. Hal
ini tercerminkan dari bunyi Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagai berikut :
Ayat (1) Barang siapa bergelandangan tanpa mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama tiga bulan.
Ayat (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama enam bulan.
Pasal di atas jelas menganggap gelandangan sebagai suatu tindakan yang
melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah tidak dapat menyikapi masalah
sosial gelandangan itu hanya dengan memberikan hukuman karena masalah
sosial gelandangan merupakan tanggung jawab pemerintah, sesuai yang
diamanatkan Pasal 27 ayat (2) dan 34 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, perlu
adanya campur tangan Pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Semarang
untuk menanggulangi masalah gelandangan di kotanya. Salah satunya dapat
dilakukan dengan cara merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah
gelandangan tersebut. Karena semua masalah yang timbul merupakan agenda
tetap pemerintah untuk mendapatkan penyelesaiannya dengan menuangkannya
melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
5
Masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba
cepat, mengarahkan perhatian kita bukan lagi pada seputar penggarapan
hukum sebagai suatu sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi
hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum bukan lagi
sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam bidang-
bidang kehidupan masyarakat, melainkan hukum diharapkan pula untuk dapat
menjadi pengungkap yang tepat dari kekuatan-kekuatan baru yang timbul
yang hendak membentuk masyarakat menurut tuntutan keadaan serta
pandangan-pandangan baru (Bambang Sunggono, 1994:1-2).
Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum merupakan instrumen
atau alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum
sebagai sarana yang sadar dan efektif untuk mengatur masyarakat melalui
peraturan-peraturan hukum yang dibuat dengan sengaja. Hukum merupakan
suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum
akan melayani kebutuhan anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian
kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, serta melindungi
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,
hukum semakin penting peranannya sebagai sarana untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan pemerintah (Bambang Sunggono, 1994:3).
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipergunakan untuk
mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan
pola-pola kebiasaan yang telah ada, melainkan lebih dari itu, hukum menjurus
penggunaannya sebagai suatu sarana. Hukum adalah norma yang
mengarahkan masyarakat untuk mencapai cita-cita keadaan tertentu dengan
6
tidak mengabaikan kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, hukum terutama
dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan digunakan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu (Bambang Sunggono, 1994:76).
Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan kebijakan. Hukum
merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijakan pemerintah. Seidman
dalam Bambang Sunggono (1994:77), menyatakan bahwa pembuat kebijakan
hanya mempunyai satu alat yang dapat ia pakai untuk mempengaruhi aktivitas
pemegang peran, ialah peraturan-peraturan yang ia buat. Hukum memberikan
legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah dan sebagai peraturan
perundang-undangan telah membuktikan bahwa ia merupakan salah satu alat
untuk melaksanakan kebijakan.
Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk menangani gelandangan
sendiri juga dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangaan yang
telah ada sebelumnya. Yaitu Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan kesejahteraan gelandangan antara lain; UU No. 6 Tahun 1974 tentang
Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
Beberapa peraturan perundangan tersebut diatas merupakan kebijakan
publik (public policy) atau yang sering disebut kebijakan negara, karena
kebijakan itu dibuat negara. Bila dikaitkan dengan tujuan kebijakan, maka
yang hendak dicapai adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sejahtera
untuk kaum marginal di Indonesia.
Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada
undang-undang dan bersifat otoritatif. Sifat kebijakan bisa diperinci menjadi
7
beberapa kategori yakni tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),
keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan
kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan
dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002:19).
Kebijakan negara yang dibuat para legislator pusat seperti undang-
undang berlaku secara nasional dan terkadang dalam implementasinya di
daerah akan dijalankan sesuai dengan kondisi daerah itu. Sebagai contoh,
suatu Pemerintah Propinsi membuat aturan yang berlaku untuk daerahnya saja
(Peraturan Daerah). Peraturan Daerah memang penting, dibuat untuk
mengatur daerahnya, termasuk untuk mengatur masalah-masalah sosial seperti
pemukiman kumuh, pengemis dan gelandangan, urbanisasi, pengangguran dan
mungkin masalah anak jalanan dan anak terlantar.
Dari beberapa sifat kebijakan publik diatas adalah jelas bahwa
sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu
bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak
dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan publik harus
dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil judul skripsi :
“Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Untuk Meningkatkan
Kesejahteraan Gelandangan Di Kota Semarang ”, dengan alasan sebagai
berikut :
8
1. Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan penerapan kebijakan
yang dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menangani masalah
sosial gelandangan, mengingat Pemerintah Kota Semarang yang sering
mengadakan penertiban, razia, garukan atau apapun istilahnya, yang
menakutkan bagi gelandangan dan kaum marginal lain.
2. Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidakteraturan
sosial yang ditandai dengan ketidaktertiban serta mengurangi
ketidaknyamanan masyarakat di sekitarnya sehingga mengganggu
keindahan kota.
B. Batasan Masalah
Agar dalam melakukan penelitian tidak menyimpang dari judul yang
dibuat, maka penulis perlu melakukan pembatasan masalah untuk
mempermudah permasalahan dan mempersempit ruang lingkup, yang dalam
hal ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian dilakukan di Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang dan
Panti Karya yang menangani masalah sosial gelandangan.
2. Obyek yang diteliti adalah tentang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan
gelandangan di Kota Semarang dan implementasi kebijakan tersebut.
C. Permasalahan
Gelandangan merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan
budaya, sehingga menempatkan mereka pada lapisan sosial yang paling bawah
ditengah-tengah masyarakat kota. Mereka bahkan jauh dari taraf kehidupan
masyarakat yang sejahtera. Padahal disisi lain mereka adalah warga negara
9
yang memiliki hak dan kewajiban yang sama, sehingga mereka perlu
diberikan perhatian yang sama untuk mendapatkan penghidupan dan
kehidupan yang layak.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan gelandangan di Kota Semarang ?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan Pemerintah Kota Semarang ?
3. Bagaimana upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan
implementasi kebijakan ?
D. Tujuan dan manfaat penelitian
1. Tujuan Penelitian.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan
Pemerintah Kota Semarang dalam meningkatkan kesejahteraan
gelandangan di Kota Semarang dan implementasinya.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan
penghambat implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang.
c. Untuk mengetahui cara mengatasi hambatan yang timbul dalam
implementasi kebijakan.
2. Manfaat Penelitian
10
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Manfaat Praktis
1) Bagi Pemerintah
Memberikan informasi yang bermanfaat, yang dapat dijadikan
acuan bagi pengambil keputusan, terutama dalam menangani
permasalahan sosial gelandangan di kotanya.
2) Bagi Mahasiswa
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta kemampuan
menganalisis terhadap kenyataan yang ada mengenai
penanggulangan permasalahan sosial gelandangan dalam
peningkatan kesejahteraannya.
3) Bagi Masyarakat
Dapat menginformasikan hasil-hasil penelitian ini kepada
masyarakat luas sehingga gelandangan dapat memperoleh
dukungan dan bantuan moral maupun fisik sebagai wujud rasa
kepedulian masyarakat akan kesejahteraan mereka.
b. Manfaat Teoritis
1) Menambah kepustakaan dan dapat juga digunakan sebagai referensi
untuk penelitian yang sejenis.
11
2) Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis tentang
pengimplementasian kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan gelandangan di
kotanya.
E. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi terdiri dari tiga bagian yaitu bagian awal, bagian inti,
bagian akhir skripsi. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
1. Bagian awal skripsi
Bagian awal yang terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan,
halaman kelulusan, pernyataan, motto dan persembahan, kata pengantar,
dan daftar isi.
2. Bagian inti skripsi
Bagian inti penulisan skripsi ini dapat dibagi menjadi (5) lima Bab,
yaitu:
Bab I PENDAHULUAN berisi latar belakang, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, sistematika penulisan
skripsi.
Bab II LANDASAN TEORI berisi kerangka pemikiran atau teori-
teori yang berkaitan dengan pokok bahasan, yaitu mengenai : pengertian
implementasi kebijakan, faktor-faktor pendukung dan penghambat
implementasi kebijakan, pengertian kebijakan publik, tujuan kebijakan,
12
kategori kebijakan publik, dan sifat kebijakan publik, pengertian
gelandangan, faktor penyebab munculnya gelandangan, ciri-ciri
gelandangan, dan Peraturan Pemerintah tentang penanggulangan
gelandangan dan pengemis, pengertian kesejahteraan, fungsi kesejahteraan
sosial, kriteria usaha kesejahteraan sosial, dan peraturan yang mengatur
tentang kesejahteraan sosial.
Bab III METODE PENELITIAN dasar penelitian, lokasi penelitian,
fokus penelitian, sumber data penelitian yang diperoleh dari informan,
responden dan dokumen, teknik pengumpulan data, selanjutnya validitas
data dan analisis data.
Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN yang memuat
tentang hasil penelitian dan pembahasan tentang implementasi kebijakan
Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan, faktor-faktor yang
mendukung dan menghambat implementasi kebijakan serta upaya
mengatasi hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan
Bab V PENUTUP berisi simpulan dari keseluruhan bab-bab yang
ada, juga diberikan saran-saran yang diharapkan membantu memecahkan
permasalahan.
3. Bagian Akhir Skripsi
Bagian akhir skripsi ini terdiri dari daftar pustaka, dan lampiran-
lampiran.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan Publik (Public Policy)
Secara umum istilah kebijakan dan kebijaksanaan seringkali
dipergunakan secara bergantian. Kedua istilah ini terdapat banyak
kesamaan dan sedikit perbedaan, sehingga tak ada masalah yang berarti
bila kedua istilah itu dipergunakan secara bergantian. Pengertian istilah
kebijakan dan kebijaksanaan juga terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
a. Kebijakan : kepandaian ; kemahiran
Kebijakan berarti :
1) Hal bijaksana ; kepandaian menggunakan akal budinya
(pengalaman dan pengetahuannya);
2) Pimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintahan,
perkumpulan dan sebagainya);
3) Kecakapan bertindak bila menghadapi orang lain (dalam kesulitan
dan sebagainya). (Poerwadarminta,1994: 115).
b. Istilah kebijaksanaan biasanya digunakan untuk perbuatan yang baik,
menguntungkan atau positif.
Kebijaksanaan berarti :
1) Pandai; mahir; selalu menggunakan akal budinya
14
2) Patah lidah; pandai bercakap-cakap. (Poerwadarminta,1994:115).
Sedangkan policy berasal dari bahasa Latin politeia yang berarti
kewarganegaraan. Karena policy dikaitkan dengan pemerintahan, maka
lebih tepat jika diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan bukan kebijakan
(Bayu Suryaningrat, 1989 : 11).
Berbeda dengan Budi Winarno dalam bukunya “Teori dan Proses
Kebijakan Publik”, ia mempergunakan istilah kebijakan, Kebijakan
digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang
pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau
sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Budi winarno, 2002 :
14).
Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan tidak hanya
digunakan dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk
menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda (Budi
Winarno, 2002 : 16).
Berkaitan dengan pengertian kebijakan tersebut, Carl Friedrich
dalam Budi Winarno (2002 : 16) memberikan pengertiannya sebagai
berikut :
Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.
Istilah kebijakan ini lebih tertuju pada kebijakan publik (public
policy) yaitu kebijakan negara, kebijakan yang dibuat negara. Kebijakan
15
publik dapat juga berarti serangkaian tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Bentuk kebijakan
publik itu bisa berupa undang-undang atau peraturan daerah (Perda) dan
yang lain (Ambarsari Dewi, 2002 : 1).
Menurut James Anderson, dalam Bambang Sunggono (1994 : 23)
mengatakan bahwa : “Public Policies are those policies developed by
governmental bodies and officials” (kebijakan publik adalah kebijakan-
kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah).
Menurut Anderson, implikasi dari pengertian kebijakan publik
tersebut adalah :
(a) Bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau
merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan;
(b) Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat-pejabat pemerintah;
(c) Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud
akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;
(d) Bahwa kebijkan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah
16
tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
(e) Bahwa kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau
selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat
memaksa (otoritatif). (Bambang Sunggono ,1994 : 23).
Pressman dan Widavsky mendefinisikan kebijakan publik sebagai
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang
bisa diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-
bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi
oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah (Budi Winarno, 2002 :
17).
Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijkan publik
merupakan ciri khusus kebijakan publik. Hal ini seperti yang diungkapkan
David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para
sesepuh suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, penasihat
raja dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orng
yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, diakui
oleh sebagian besar anggota sistem politik, mempunyai tanggung jawab
untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang
diterima secara mengikat dalam dalam jangka waktu yang lama oleh
sebagian besar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam
batas-batas peran yang diharapkan (Budi Winarno, 2002 : 18).
17
Dari pengertian kebijakan publik yang diuraikan diatas dapat
disimpulkan bahwa :
(1) Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-
tindakan pemerintah;
(2) Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
itu mempunyai tujuan tertentu;
(3) Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
2. Tujuan Kebijakan
Fungsi utama dari negara adalah mewujudkan, menjalankan dan
melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan
dengan tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya, yaitu :
a. Memelihara ketertiban umum (negara sebagai stabilisator);
b. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal
(negara sebagai stimulator);
c. Memadukan berbagai aktivitas (negara sebagai koordinator);
d. Menunjuk dan membagi benda material dan non material (negara
sebagai distributor). (Bambang Sunggono,1994 : 12).
3. Jenis Kebijakan Publik
Menurut James E. Anderson, kebijakan publik dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Substantive Policies and Procedural Policies.
18
Substantive Policies adalah kebijakan yang dilihat dari substansi
masalah yang di hadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan politik
luar negeri, kebijakan dibidang pendidikan, kebijakan ekonomi, dan
sebagainya. Dengan demikian yang menjadi tekanan dari substantive
policies adanya pokok masalahnya (subject matter) kebijakan.
Procedural Policies adalah suatu kebijakan yang dilihat dari pihak-
pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik,
serta cara bagaimana suatu kebijakan publik diimplementasikan..
b. Distributive, Redistributive, and Self Regulatory Policies.
Distributive Policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
pemberian pelayanan atau keuntungan bagi individu-individu,
kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau masyarakat
tertentu. Redistributive Policies adalah kebijakan yang mengatur
tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak di
antara kelas-kelas dan kelompok-kelompok penduduk.
Self Regulatory Policies adalah kebijakan yang mengatur tentang
pembatasan atau pelarangan perbuatan atau tindakan bagi seseorang
atau sekelompok orang.
c. Material Policies.
Material policies adalah kebijakan-kebijakan tentang pengalokasian
atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi para
19
penerimanya, atau mengenakan beban-beban bagi mereka yang
mengalokasikan sumber-sumber material tersebut.
d. Public Goods and Private Goods Policies.
Public Goods Policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang
penyediaan barang-barang dan pelayanan-pelayanan untuk
kepentingan orang banyak.
Private Goods Policies merupakan kebijakan-kebijakan tentang
penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan untuk
kepentingan perorangan yang tersedia di pasar bebas, dengan imbalan
biaya tertentu. (Sutopo dan Sugiyanto, 2001: 5)
4. Sifat Kebijakan Publik
Menurut Budi Winarno, sifat kebijakan bisa diperinci menjadi
beberapa kategori, yaitu :
a. Tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan-tuntutan yang
dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah,ditujukan kepada
pejabat-pejabat pemerintah atau sistem politik.
b. Keputusan kebijakan (policy decisions) didefinisikan sebagai
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah
yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-
tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah
menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif
atau pernyatan-pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan
20
administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-
undang.
c. Pernyataan kebijakan (policy statements) adalah pernyataan-
pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik.Yang
termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-
perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan
pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat
pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan itu.
d. Hasil kebijakan (policy outputs) lebih merujuk ke manifestasi nyata
dari kebijakan publik, hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut
keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan.
e. Dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat-
akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan yang berasal dari
tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah (Budi Winarno, 2002 :
19-20).
Definisi sifat kebijakan publik diatas adalah jelas bahwa
sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu
bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian didiamkan dan tidak
dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan publik harus
dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan
yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.
21
B. Implementasi Kebijakan
1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Secara umum istilah implementasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti pelaksanaan atau penerapan (Poerwadarminta, 1990 :
327). Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan yang
dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa to implement
(mengimplementasikan) berarti to provide the means for carryingout
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect
to (menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu). Pengertian
tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengimplementasikan sesuatu harus
disertai sarana yang mendukung yang nantinya akan menimbulkan
dampak atau akibat terhadap sesuatu itu. (Abdul Wahab, 1997 : 67).
Pengertian implementasi diatas apabila dikaitkan dengan kebijakan
adalah bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat
dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan kemudian
didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah
kebijakan harus dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Abdul Wahab (1997 : 65),
menyatakan bahwa :
Proses implementasi adalah “those action by public or private individuals groups that are directed the achivement of objectives set forth in prior decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
22
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan
waktu tertentu (Bambang Sunggono 1994:137).
Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila
tujuan-tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah
dibuat, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan
tersebut. Suatu proses implementasi dapat digambarkan secara sistematis
seperti berikut ini :
Sumber : Bambang Sunggono (1994 : 139).
Dari skema diatas terlihat bahwa proses implementasi dimulai
dengan suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Hasil proses
implementasi terdiri dari hasil kebijakan yang segera atau disebut sebagai
“policy performance”. Secara konkrit antara lain dapat kita lihat jumlah
dan isi barang dan jasa yang dihasilkan pemerintah dalam jangka waktu
tertentu untuk menaikkan taraf kesejahteraan warga masyarakat, misalnya.
Perubahan dalam taraf kesejahteraan warga masyaraakat dapat dianggap
sebagai hasil akhir kebijakan yang disebut juga sebagai “policy outcome”
atau “policy impact”. Dengan sendirinya di dalam hasil akhir kebijakan
Kebijakan
Proses pelaksana
an
Dampak segera
kebijakan
Dampak akhir
kebijakan
23
termasuk juga hasil-hasil sampingan disamping “policy performance”
yang diperoleh.
2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan bila dipandang dalam pengertian yang
luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan
(Budi Winarno, 2002:102).
Adapun syarat-syarat untuk dapat mengimplementasikan
kebijakan negara secara sempurna menurut Teori Implementasi Brian W.
Hogwood dan Lewis A.Gun, yaitu :
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan mengalami gangguan atau kendala yang serius. Hambatan-hambatan tersebut mungkin sifatnya fisik, politis dan sebagainya;
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai;
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia; d. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasarkan oleh suatu
hubungan kausalitas yang handal; e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnnya; f. Hubungan saling ketergantungan kecil; g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan; h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat; i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna; j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna. (Abdul Wahab,1997:71-78 ). Menurut Teori Implementasi Kebijakan George Edward III),
faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :
1) Komunikasi.
Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).
24
Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah
transmisi. Seorang pejabat yang mengimlementasikan keputusan harus
menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah
umtuk pelaksanaanya telah dikeluarkan.
Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah
kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak
hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi
tersebut harus jelas.
Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah
konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.
2) Sumber-sumber.
Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi
kebijakan meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang
baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-
fasilitas yang dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.
3) Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.
Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekunsi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika
para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang
dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan awal.
4) Struktur birokrasi.
25
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur
pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta (Budi Winarno,2002
: 126-151).
Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Meter
dan Horn, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :
(a) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan.
Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu
program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur
karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan
bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan.
(b) Sumber-sumber kebijakan.
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar
implementasi yang efektif.
(c) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan
ketepatan komunikasi antar para pelaksana.
(d) Karakteristik badan-badan pelaksana.
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan
struktur birokrasi. Srtuktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi
keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
(e) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.
26
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-
badan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
(f) Kecenderungan para pelaksana (implementors).
Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana
kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan.
(Budi Winarno, 2002:110).
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan
dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus
dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya.
Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan
melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan :
(1) Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan-
keputusan badan-badan pemerintah;
(2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan;
(3) Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah,
konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan;
(4) Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena
kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi;
(5) Adanya sanksi-sanksi tertentu yaang akan dikenakan apabila tidak
melaksanakan suatu kebijakan (Bambang Sunggono,1994 : 144).
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Menurut Bambang Sunggono, implementasi kebijakan mempunyai
beberapa faktor penghambat, yaitu :
a. Isi kebijakan.
27
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya
isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup
terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-
program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua,
karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang
akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan
dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat
berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi
suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan
yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang
menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
b. Informasi.
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para
pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang
perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan
baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan
komunikasi.
c. Dukungan.
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila
pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut.
d. Pembagian potensi.
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi
suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi
28
diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini
berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi
pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan
masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab
kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya
pembatasan-pembatasan yang kurang jelas (Bambang Sunggono,1994 :
149-153).
Adanya penyesuaian waktu khususnya bagi kebijakan-kebijakan
yang kontroversial yang lebih banyak mendapat penolakan warga
masyarakat dalam implementasinya.
Menurut James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan
anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan
publik, yaitu :
1) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana
terdapat beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan
publik yang bersifat kurang mengikat individu-individu;
2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan
dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai
atau bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan
pemerintah;
3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara
anggota masyarakat yaang mencenderungkan orang bertindak dengan
menipu atau dengan jalan melawan hukum;
29
4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran” kebijakan
yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi
sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau kebijakan publik;
5) Apabila suatu kebijakan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan
sistem nilai yang dianut masyarakat secara luas atau kelompok-
kelompok tertentu dalam masyarakat. (Bambang Sunggono, 1994 :
144-145).
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan
dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan
kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat
harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.
Sehingga apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan
keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah
efektif.
4. Upaya Mengatasi Hambatan Implementasi Kebijakan
Peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi
implmentasi kebijakan publik. Suatu kebijakan akan menjadi efektif
apabila dalam pembuatan maupun implementasinya didukung oleh sarana-
sarana yang memadai. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu
kebijakan dapat terlaksana dengan baik, yaitu :
a. Peraturan hukum ataupun kebijakan itu sendiri, di mana terdapat
kemungkinan adanya ketidakcocokan-ketidakcocokan antara
kebijakan-kebijakan dengan hukum yang tidak tertulis atau kebiasaan
yang berlaku dalam masyarakat;
30
b. Mentalitas petugas yang menerapkan hukum atau kebijakan. Para
petugas hukum (secara formal) yang mencakup hakim, jaksa, polisi,
dan sebagainya harus memiliki mental yang baik dalam melaksanakan
(menerapkan) suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan.
Sebab apabila terjadi yang sebaliknya, maka akan terjadi gangguan-
gangguan atau hambatan-hambatan dalam melaksanakan
kebijakan/peraturan hukum;
c. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu
peraturan hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin
terlaksana dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas
yang memadai agar tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau
hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya;
d. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya
kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga
masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang-
undangan. (Bambang Sunggono, 1994 : 158).
C. Gelandangan
1. Pengertian Gelandangan
Gelandangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai
pengertian sebagai berikut :
a. Berjalan kesana sini tidak tentu tujuannya; berkeliaran; bertualangan.
b. Orang yang tidak tentu tempat kediaman dan pekerjaannya.
(Poerwadarminta, 1990 : 261).
31
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun
1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis, yang berbunyi
:
Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma dan kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Departemen Sosial Republik Indonesia lebih memandang
gelandangan sebagai orang yang tak mampu beradaptasi dengan
lingkungannya (masyarakat). Menurut mereka gelandangan adalah mereka
yang karena sesuatu sebab mengalami ketidakmampuan mengikuti
tuntutan perkembangan tata kehidupan masyarakat zamannya, sehingga
hidup terlepas dari aturan-aturan masyarakat yang berlaku dan membentuk
kelompok tersendiri dengan tata kehidupan yang tidak sesuai dengan
ukuran martabat manusiawi masyarakat sekeliling (lingkungannya) (Balai
Penelitian Kesejahteraan Sosial, 1979 : 1).
Menurut Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 1961, 1971, dan
1980, mendefinisikan gelandangan sebagai berikut :
Gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, atau tempat tinggal “tetapnya” tidak termasuk dalam wilayah pencacahan atau blok sensus yang ada. Karena pada dasarnya blok sensus dan wilayah pencacahan sudah memasukkan semua tempat rumah tinggal yang lazim, maka gelandangan ialah mereka yang tidak tinggal di rumah tangga dan pemukiman yang ada. Dalam pelaksanaan sensus pencacahan gelandangan ditujukan pada daerah-daerah bukan tempat tinggal tetapi merupakan tempat-tempat konsentrasi hunian orang-orang di bawah jembatan, di kuburan, di pinggir rel kereta api, di emper toko, di taman-taman atau daerah hunian gelandangan yang dikenali. Jadi menurut definisi ini gelandangan adalah orang-orang yang bertempat tinggal di kawasan-kawasan yang tidak layak untuk tempat tinggal (Soetjipto Wirosardjono, 1984 : 60).
32
Menurut Sarlito W. Sarwono, gelandangan adalah orang-orang
miskin yang hidup di kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal
tertentu yang sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban
pemerintah kota karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas
perkotaan, tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati
itu, tidak membayar pajak misalnya (Sarlito W. Sarwono, 1978 : 49).
2. Faktor Penyebab Munculnya Gelandangan
Keadaan sosial ekonomi yang belum mencapai taraf kesejahteraan
sosial yang baik, menyeluruh dan merata dapat berakibat meningkatnya
gelandangan dan pengemis terutama di kota-kota besar. Menurut Noer
Effendi, munculnya gelandangan juga dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :
a. Faktor eksternal, antara lain : 1) Gagal dalam mendapatkan pekerjaan. 2) Terdesak oleh keadaan, seperti tertimpa bencana alam, perang, dll 3) Pengaruh orang lain.
b. Faktor internal, antara lain: 1) Kurang bekal pendidikan dan keterampilan 2) Rasa rendah diri, rasa kurang percaya diri 3) Kurang siap untuk hidup di kota besar 4) Sakit jiwa, cacat tubuh (Noer Effendi, 1993 : 114).
Menurut Buku Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis, selain faktor eksternal dan
faktor internal, ada pula beberapa hal yang mempengaruhi seseorang
menjadi gelandangan, yaitu :
(a) Tingginya tingkat kemiskinan.
Kemiskinan menyebabkan seseorang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar minimal dan menjangkau pelayanan umum sehingga
33
tidak dapat mengembangkan kehidupan pribadi maupun keluarga
secara layak.
(b) Rendahnya tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan yang rendah dapat menjadi kendala seseorang
untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
(c) Kurangnya keterampilan kerja.
Kurangnya keterampilan kerja menyebabkan seseorang tidak dapat
memenuhi tuntutan pasar kerja.
(d) Faktor sosial budaya.
Ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis, yaitu :
(1) Rendahnya harga diri pada sekelompok orang, mengakibatkan
tidak dimilikinya rasa malu untuk meminta-minta.
(2) Sikap pasrah pada nasib.
Mereka menganggap bahwa kemiskinan dan kondisi mereka
sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak
ada kemauan untuk melakukan perubahan.
(3) Kebebasan dan kesenangan hidup menggelandang.
Ada kenikmatan tersendiri bagi sebagian besar gelandangan dan
pengemis yang hidup menggelandang, karena mereka merasa tidak
terikat oleh aturan atau norma yang kadang-kadang membebani
mereka, sehingga mengemis menjadi salah satu mata pencaharian.
(Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos RI, 2005 : 7-8).
34
3. Ciri-ciri Gelandangan
a. Anak sampai usia dewasa, tinggal disembarang tempat dan hidup
mengembara atau menggelandang di tempat-tempat umum, biasanya
dikota-kota besar;
b. Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku
kehidupan bebas atau liar;
c. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil
sisa makanan atau barang bekas. (Dokumen Bagian Sosial Pemkot,
2003).
4. Dasar Yuridis Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang
Gelandangan
Adapun yang menjadi dasar yuridis dikeluarkannya Kebijakan
Pemerintah Kota Semarang untuk menangani gelandangan yaitu Peraturan
Pemerintah tentang penanggulangan gelandangan dan pengemis yaitu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980. Dalam
Peraturan Pemerintah tersebut diatur usaha pemerintah untuk menangani
masalah sosial gelandangan dan pengemis yang dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
a. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi
penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan,
pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada
hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan
mencegah terjadinya :
35
1) Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau kelurga-
keluarga terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit
penghidupannya;
2) Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan
pengemisan di masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan
kesejahteraan umum;
3) Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan
dan pengemis yang telah di rehabilitasi dan ditransmigrasikan ke
daerah pemukiman baru ataupun dikembalikan ke tengah
masyarakat.
Usaha preventif bertujuan untuk mencegah timbulnya
gelandangan dan pengemis di masyarakat, yang ditujukan baik kepada
perorangan maupun kelompok yang diperkirakan menjadi sumber
timbulnya gelandangan dan pengemis.
Usaha preventif ini dilakukan dengan cara :
(a) Penyuluhan dan bimbingan sosial;
(b) Pembinaan sosial;
(c) Bantuan sosial;
(d) Perluasan kesempatan kerja;
(e) Pemukiman lokal;
(f) Peningkatan derajat kesehatan.
b. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melelui
lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk
36
menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya di masyarakat.
Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan /atau
meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada
seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan
pergelandangan dan pengemisan.
Usaha represif ini dilakukan dengan cara :
1) Razia;
2) Penampungan sementara untuk diseleksi;
Setelah gelandangan tersebut dirazia dan diseleksi, maka tindakan
selanjutnya adalah :
(a) Dilepaskan dengan syarat;
(b) Dimasukkan dalam panti sosial;
(c) Dikembalikan kepada keluarganya;
(d) Diserahkan ke Pengadilan;
(e) Diberikan pelayanan kesehatan;
3) Pelimpahan.
c. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi
usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,
pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah pemukiman
baru melalui transmigrasi maupun ke tengah masyarakat, pengawasan
serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan
37
dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak
sesuai dengan martabat manusia sebagai warga negara RI.
Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat
berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha rehabilitatif ini
dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,
dan tindak lanjut, yang kesemuanya itu dilaksanakan melalui Panti
Sosial.
D. Kesejahteraan
1. Pengertian Kesejahteraan
Kesejahteraan secara harfiah mengandung makna yang luas dan
mencakup berbagai segi pandangan atau ukuran-ukuran tertentu tentang
suatu hal yang menjadi ciri utama dari kata tersebut. Kesejahteraan
bermula dari kata “sejahtera”, yang berarti aman, sentosa, makmur atau
selamat artinya lepas dari segala macam gangguan dan kesukaran
(Sumarnonugroho,1991:27).
Kemudian istilah kesejahteraan ini sering dikaitkan dengan
kesejahteraan sosial, yaitu suatu sistem yang terorganisasi di bidang
pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga, yang bertujuan untuk
menjamin kebutuhan ekonomi manusia, standar kesehatan dan kondisi
kehidupan yang layak, mendapatkan kesempatan yang sama dengan warga
negara lainnya, peningkatan derajat harga diri, kebebasan berpikir dan
melakukan kegiatan tanpa gangguan sesuai dengan hak-hak asasi seperti
yang dimiliki sesamanya.
38
Pasal 2 Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang berbunyi :
Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk mewujudkan tata
kehidupan yang tenteram lahir batin yang dapat dirasakan oleh masing-
masing individu, golongan, ataupun masyarakat, mereka harus mempunyai
kemampuan untuk bekerja dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik materiil maupun spirituil tanpa adanya hambatan fisik, mental dan
sosial.
Secara lengkap dalam Piagam PBB tahun 1959 dalam
Sumarnonugroho mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial adalah :
Suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama melalui teknik-teknik dan metode-motode dengan maksud agar supaya memungkinkan individu-individu, kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial. (Sumarnonugroho,1991:36).
2. Fungsi Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi penyembuhan dan pemulihan (kuratif/remedial dan
rehabilitatif).
39
1) Fungsi penyembuhan dapat bersifat represif artinya bersifat
menekan agar masalah sosial yang timbul tidak makin parah dan
tidak menjalar;
2) Fungsi pemulihan (rehabilitatif) terutama untuk menanamkan dan
menumbuhkan fungsionalitas kembali dalam diri orang maupun
anggota masyarakat;
3) Fungsi penyembuhan dan pemulihan bertujuan untuk meniadakan
hambatan-hambatan atau masalah sosial yang ada.
b. Fungsi pencegahan (preventif).
Dalam hal ini meliputi langkah-langkah untuk mencegah agar jangan
sampai timbul masalah sosial baru, juga langkah-langkah untuk
memelihara fungsionalitas seseorang maupun masyarakat.
c. Fungsi pengembangan (promotif, developmental).
Untuk mengembangkan kemampuaan orang maupun masyarakat agar
dapat lebih meningkatkan fungsionalitas mereka sehingga dapat hidup
secara produktif.
d. Fungsi penunjang (suportif).
Fungsi ini menopang usaha-usaha lain agar dapat lebih berkembang.
Meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat memperlancar keberhasilan
program-program lainnya seperti bidang kesehatan, kependudukan dan
keluarga berencana, pendidikan, pertanian dan sebagainya.
(Sumarnonugroho, 1991 : 43).
3. Kriteria Usaha Kesejahteraan Sosial
40
Pasal 2 ayat (2) UU. No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yang berbunyi : “Usaha
kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program dan kegiatan yang
ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan, dan
mengembangkan kesejahteraan sosial”.
Menurut Wilensky dan Lebeaux mengemukakan lima kriteria untuk
menentukan kegiatan-kegiatan yang dapat disebut sebagai usaha
kesejahteraan sosial, yaitu :
a. Formal Organization
Usaha-usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu organisasi yang
formal.
b. Social Sponsorship and Accountability
Usaha kesejahteraan sosial diselenggarakan oleh masyarakat atas
dukungan masyarakat dan pelaksanaannya harus pula di
pertanggungjawabkan kepada masyarakat.
c. Absence of Profit Motive as Dominant Program Purpose
Tidak ada motif mencari untung sebagai tujuan yang menonjol dalam
sesuatu program.
d. Functional Generalization : An Integrative View of Human Needs
Memiliki fungsi yang bersifat umum yaitu ada kebulatan pandangan
tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang memerlukan bantuan dan
perlu dipenuhi.
e. Direct Concern with Human Consumption Needs
Secara langsung berhubungan dengan konsumsi kebutuhan-kebutuhan
manusia. (Sumarnonugroho, 1991 : 44 ).
41
4. Undang-Undang No. 6 tahun 1974 Tentang ketentuan Pokok
kesejahteraan Sosial
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang
Kesejahteraan Sosial yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam Undang-Undang
No. 6 Tahun 1974 tersebut diatur pula tentang tugas dan usaha pemerintah
di bidang kesejahteraan sosial.
a. Tugas Pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :
1) Menentukan garis kebijaksanaan yang diperlukan untuk
memelihara, membimbing, dan meningkatkan usaha kesejahteraan
sosial;
2) Memupuk, memelihara, membimbing dan meningkatkan kesadaran
serta rasa tanggung jawab sosial masyarakat;
3) Melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan usaha-usaha
kesejahteraan sosial.
b. Usaha-usaha pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi :
1) Bantuan sosial kepada warga negara baik secara perorangan
maupun kelompok yang mengalami kehilangan peran sosial atau
menjadi korban akibat terjadinya bencana, baik sosial ataupun
alamiah, atau peristiwa-peristiwa lain. Kehilangan peran sosial
disini maksudnya adalah hilangnya kemampuan seseorang atau
42
sekelompok orang untuk secara aktif turut serta dalam
penghidupan bersama;
2) Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan
suatu sistem jaminan sosial;
3) Bimbingan, pembinaan, dan rehabilitasi sosial, termasuk di
dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat;
4) Pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan
peradaban, perikemanusiaan dan kegotongroyongan.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Dasar Penelitian
Penelitian adalah “Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan
menggunakan metode ilmiah” (Soetrisno Hadi 1993: 4). Sedangkan
“methodologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Metodologi
penelitian dapat diartikan, “sebagai suatu cara atau jalan yang harus digunakan
untuk tujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan”. (Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang atau pelaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara holistik (utuh) (Moleong, 2000: 5).
Dengan demikian pendekatan kualitatif hanya meneliti data yang
berbentuk kata-kata dan biasanya merupakan proses yang berlangsung lama.
Penelitian kualitatif lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori sumatif
berdasarkan dari konsep-konsep yang timbul dari data empiris. Dalam
penelitian kualitatif, peneliti merasa tidak mengetahui apa yang tidak
diketahuinya, sehingga disain penelitian yang dikembangkan selalu merupakan
kemungkinan yang terbuka akan berbagi perubahan yang diperlukan dan
44
lentur terhadap kondisi yang ada dilapangan pengamatan (Rachman, 1999:
17).
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan Yuridis Sosiologis atau Socio Legal Research, dimana
dalam penelitian ini langkah-langkah teknis yang dilakukan mengikuti pola
penelitian ilmu sosial. (Soerjono Soekanto, 1986: 10)
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilakukan.
Penetapan lokasi penelitian merupakan tahap yang sangat penting dalam
penelitian kualitatif, karena dengan ditetapkannya lokasi penelitian berarti
objek dan tujuan sudah ditetapkan sehingga mempermudah penulis dalam
melakukan penelitian. Lokasi ini bisa di wilayah tertentu atau suatu lembaga
tertentu dalam masyarakat. Untuk memperoleh data primer, lokasi penelitian
dilakukan di Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, Panti Karya
Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya Mardi Utomo. Alasannya
karena instansi-instansi tersebut sebagai pelaksana kebijakan Pemerintah Kota
Semarang untuk menangani gelandangan. Sedangkan untuk melengkapi data
primer yang diperlukan, peneliti juga melakukan penelusuran data sekunder
melalui pengamatan terhadap gelandangan yang berkeliaran di jalan.
C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian menyatakan pokok permasalahan apa yang menjadi
pusat perhatian atau tujuan dalam penelitian. Dalam penelitian ini yang
menjadi fokus kajian dalam penelitian adalah :
45
1. Kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang
untuk meningkatkan kesejahteraan gelandangan dan implementasi
kebijakan tersebut.
2. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan
Pemerintah Kota Semarang.
3. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi
hambatan implementasi kebijakan.
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian adalah subjek darimana data diperoleh
(Arikunto, 2002 : 107). Sumber data dalam penelitian ini adalah :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan atau
dari masyarakat (Soemitro, 1998 : 10). Untuk mendapatkan data primer
tersebut, penulis menggunakan cara, yaitu dengan :
a. Wawancara
Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan
bertanya langsung dengan yang diwawancarai (Soemitro, 1988: 57).
b. Observasi
Observasi atau yang disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan
pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan
seluruh alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, peraba dan pengecap (Arikunto, 1997:133).
2. Data Sekunder
46
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan (Soemitro, 1998 : 10). Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dengan cara :
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian Kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan data
dengan cara menggunakan dan mempelajari literatur buku - buku
kepustakaan yang ada untuk mencari konsepsi - konsepsi, teori - teori
yang berhubungan erat dengan permasalahan (Soemitro, 1998 : 98).
b. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data
mengenai hal – hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan lain-
sebagainya (Arikunto, 1998 : 236).
E. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai cara yang
disesuaikan dengan informasi yang diinginkan, antara lain dilakukan dengan :
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dengan maksud
tertentu. Wawancara itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan, dan yang diwawancarai
47
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut
(Moleong, 2002 : 135).
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara
sederhana dengan gelandangan didalam panti dan gelandangan yang sudah
kembali ke masyarakat mengenai asal mereka, sebab-sebab mereka
menggelandang, serta keadaan keluarganya. Wawancara juga dilakukan
dengan Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, Staf panti khusus
gelandangan.
2. Observasi
Observasi atau yang disebut pula pengamatan, meliputi kegiatan
pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh
alat indra. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, peraba
dan pengecap. (Arikunto, 1997:133). Observasi dilakukan melalui
pengamatan dan pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti.
Pengamatan dalam penelitian ini dilakukan terhadap kehidupan
sosial gelandangan. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui apakah
kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang benar-
benar dapat mengatasi masalah sosial gelandangan demi meningkatkan
kesejahteraan mereka.
3. Dokumentasi
48
Dokumentasi adalah metode yang dilakukan oleh peneliti dengan
menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, foto, notulen rapat, catatan harian, dan sebagainya
(Arikunto, 2002 : 135).
Dalam penelitian ini dokumen diperoleh dari buku-buku literatur
tentang masalah sosial gelandangan, peraturan perundang-undangan, yaitu
Undang-Undang No. 6 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun
1980, dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
F. Validitas Data
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat – tingkat
kevaliditan atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan
valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan, dapat mengungkap data
dan variabel yang diteliti secara tepat. (Arikunto, 1997: 144).
Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data ini (Moleong 2000:178). Proses pemeriksaan data dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil
wawancara dengan data hasil observasi dan data pelengkap lainnya.
Menurut Patton dalam Moleong, triangulasi dengan sumber dapat
ditempuh dengan jalan sebagai berikut:
49
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi; 3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti
dengan sepanjang waktu; 4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pandangan orang seperti orang yang berpendidikan; 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan. (Moleong, 2000:178). Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.
G. Analisis Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan
suatu analisis data untuk mengolah data yang ada. Analisis data adalah proses
Pengamatan
Wawancara
Sumber data
Sumber Data
Dokumen
Wawancara
50
pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis
kerja seperti yang disarankan oleh data. (Moleong. 2000: 103).
Menurut Milles dalam Rachman (1999:120), tahapan analisis data
adalah sebagai berikut :
1. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pemerhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan, transformasi data kasar yang
diperoleh dari catatan lapangan. Cara mereduksinya dengan meringkas,
mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, dan menulis memo.
2. Penyajian data
Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi yang
tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, misalnya dituangkan
dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan, bagan. Penyajian data
dilakukan dengan menyusun sekumpulan informasi yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, yang mungkin
51
alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan juga diverifikasi, yaitu
pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalis selama
penyimpulan, tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, tukar pikiran
diantar teman sejawat, atau meminta respon atau komentar kepada
responden yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang
telah disimpulkan peneliti, kekokohannya, dan kecocokannya.
Tahapan analisis data kualitatif diatas dapat dilihat dalam gambar
berikut :
Sumber : Milles dan Hubberman dalam Rachman (1999:120)
Keempat komponen itu saling mempengaruhi dan mempunyai
keterkaitan. Pertama-tama peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan
mengadakan wawancara atau observasi yang disebut tahap pengumpulan data.
Karena data yang dikumpulkan banyak maka diadakan reduksi data. Setelah
direduksi kemudian disajikan data, selain itu pengumpulan data juga
digunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai
dilakukan, maka diambil suatu kesimpulan atau verifikasi.
Pengumpulan Data Penyajian Data
Kesimpulan/verifikasi Reduksi Data
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Gelandangan Kota Semarang
1. Daerah Asal dan Persebaran Gelandangan Kota Semarang
Kota Semarang merupakan salah satu kota besar di Indonesia,
Ibukota Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan
budaya. Seperti halnya kota-kota lain yang sedang berkembang diseluruh
dunia, Semarang juga merasakan fenomena yang serupa. Perkembangan
pesat, seperti berdirinya kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana
perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong
para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka
mampu bertahan di kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum
beruntung bukan tidak mungkin pula mereka menyambung hidupnya
dengan menjadi gelandangan atau pengemis.
Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap serta mengembara ditempat
umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak
dalam masyarakat (Departemen Sosial RI 2005).
Jumlah gelandangan di Kota Semarang dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2006 mengalami peningkatan dan juga penurunan.
Peningkatan jumlah gelandangan tersebut disebabkan karena ada beberapa
gelandangan yang berasal dari luar kota Semarang, yang pada saat Bagian
53
Sosial Pemerintah Kota Semarang melakukan penghitungan mereka berada
di Kota Semarang.
Rekapitulasi Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang tahun 2003
sampai dengan tahun 2006, bahwa gelandangan di Kota Semarang tersebar
di 49 titik mangkal di Kota Semarang. Dari tahun 2003 sampai tahun 2006,
jumlah gelandangan yang paling banyak adalah di Johar, dan dibeberapa
titik yang tak teridentifikasi akan adanya gelandangan, yaitu di Sidodadi,
Pasar Kambing, Kaliwiru, Jatingaleh, Sukun, Hanoman, Poncol, Terboyo,
Simpang Lima, Bangkong, Gayam, Supriyadi, Plamongan, POLDA,
Kariyadi, dan Jembatan Sampangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada lampiran 2.
Gelandangan Kota Semarang bukan saja berasal dari Semarang,
tetapi mereka ada pula yang berasal dari luar Semarang. Mereka yang
pernah terjaring dalam razia oleh Satpol PP, kemudian disalurkan ke panti
khusus gelandangan atau dikembalikan lagi ke keluarganya atau ke daerah
tempat dia berasal.
Hal ini seperti diungkapkan oleh gelandangan yang penulis temui di
dalam panti khusus gelandangan.
“Saya berasal dari Kupang”.(wawancara dengan Susan, gelandangan,
23 September 2006, 09.00 WIB).
“Aku asli Surabaya”. (wawancara dengan Aini, gelandangan, 23
September 2006, 09.05 WIB).
“Asal saya dari Gresik”. (wawancara dengan Liana, gelandangan, 23
September 2006, 09.10 WIB).
54
Berdasarkan wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa
gelandangan Kota Semarang tidak hanya berasal dari Kota Semarang,
melainkan juga berasal dari luar Kota Semarang
Selain berasal luar dari Kota Semarang, ada pula gelandangan yang
berasal dari dalam Kota Semarang.
“Rumah saya di Jomblang”. (wawancara dengan Sugiyarto,
gelandangan, 25 November 2006, 16.00 WIB).
“Saya dari Randusari”. (wawancara dengan Timin, gelandangan, 26
November 2006, 15.30 WIB).
“Rumah saya dulu di Tlogosari”. (wawancara dengan Tuti,
gelandangan, 9 November 2006, 11.00 WIB).
Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian
gelandangan juga berasal dari dalam Kota Semarang.
Hal ini seperti yang diutarakan pula dalam wawancara penulis
dengan pegawai panti.
“Kita menampung gelandangan tidak hanya dari dalam kota
semarang, tapi juga gelandangan yang berasal dari luar kota Semarang.
Mereka terkena razia oleh petugas penertiban dan langsung dibawa kemari.
Untuk mengetahui dari mana asal mereka kita lakukan pendekatan dengan
mereka”. (wawancara dengan Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan
Margo Widodo, 22 September 2006, 11.00 WIB).
“Gelandangan di kota Semarang tidak hanya berasal dari dalam kota
saja, tapi mereka juga berasal dari luar Kota Semarang. Seperti Tuti, dia
terkena razia di daerah Pedurungan, dan setelah kita tanya, ternyata
rumahnya di Tlogosari”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi
55
Rehabilitasi dan Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo,12 November 2006,
09.30 WIB).
“Gelandangan di panti ini, tidak hanya berasal dari dalam kota saja,
tapi juga berasal dari luar kota semarang. Ada gelandangan yang ketika
pertama kali masuk ke panti dalam kondisi jiwa dan mental yang baik, kita
bisa langsung bertanya pada mereka, apakah masih mempunyai keluarga
atau tidak. Seperti Susan, asalnya Kupang, dia sudah lama disini. Pertama
kali datang ke panti dia sudah dalam kondisi jiwa, mental dan fisik yang
baik, jadi bisa langsung kita tanyai.Akan tetapi bagi gelandangan yang
ketika dia pertama kali disini masih dalam kondisi jiwa, mental dan fisik
yang kurang baik, kita melakukan pendekatan dulu dengan mereka, baru
setelah itu kita tanya apakah dia masih mempunyai keluarga atau tidak.
Seperti Liana, dia dari Gresik, tadinya waktu datang kesini dia ngakunya
dari Jakarta, akan tetapi setelah kita melakukan pendekatan, akhirnya dia
bilang sendiri kalau dia asli dari Gresik”. (wawancara dengan Sumarso,
Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,
10.00 WIB).
Berdasarkan wawancara dengan gelandangan tentang daerah asal
mereka dapat disimpulkan bahwa tentang daerah asal mereka juga
dibenarkan oleh pegawai panti yang menampung gelandangan tersebut,
karena ia sudah lama ditampung dipanti jadi ia sudah memiliki kondisi
mental dan fisik yang baik pula.
56
Dari wawancara diatas menunjukkan bahwa gelandangan kota
semarang tidak hanya berasal dari Kota Semarang saja, tapi juga berasal
dari luar kota Semarang.
2. Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Gelandangan
Ada berbagai alasan mengapa seseorang menjadi gelandangan..
Hal ini seperti diungkapkan oleh gelandangan yang penulis temui di dalam
panti khusus gelandangan.
“Saya dari desa kesini ingin cari kerja, karena di desa tidak ada
lapangan pekerjaan yang cocok untuk saya. Tapi setelah saya di kota
ternyata lebih sulit dapat kerja, apalagi saya tidak punya modal
keterampilan”. (wawancara dengan Sudrun, gelandangan, 8 November
2006, 10.00 WIB).
“Saya pernah kerja di pabrik di Jakarta, tapi terus di PHK, padahal
itu temat satu-satunya saya dan keluarga cari uang untuk makan. Lalu saya
kembali ke Semarang, tapi sampai sekarang belum dapat kerja”.
(wawancara dengan Wagiyem, gelandangan, 8 November 2006, 15.00
WIB).
“Saya dari desa kesini (Semarang) niatnya mau cari kerja cari uang
untuk makan, apalagi ibu dan adik-adik saya di desa juga perlu makan.
Saya disini jadi pembantu, nanti uangnya saya kirim ke rumah saya didesa
biar bisa buat beli makan ibu dan adik-adik saya”. (wawancara dengan Tri,
gelandangan, 9 November 2006, 16.00 WIB).
57
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang
menyebabkan seseorang menjadi gelandangan adalah kemiskinan dan
faktor ekonomi. Hal ini merupakan alasan yang klasik bahwa alasan
tersebut merupakan faktor yang utama yang diungkapkan responden dalam
wawancara.
Selain faktor kemiskinan ada faktor lain yang menyebabkan
seseorang menjadi gelandangan. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh
Karno dan Junaidi.
“Bapakku kawin lagi setelah bercerai setelah bercerai dengan ibu.
Waktu itu aku langsung ikut sama bibiku di Wonogiri. Karena tidak betah
aku pergi dari rumah bibiku, dan aku hanya menggelandang sampai
akhirnya aku terkena razia oleh petugas dan dibawa ke panti di Kudus.
Setelah lama dipanti di Kudus aku dibawa kepanti di Semarang”.
(wawancara dengan Karno, gelandangan, 23 September 2006, 10.00 WIB)
“Saya sering dimarahi ibu waktu dirumah, padahal saya tidak
melakukan kesalahan. Lalu saya pergi dari rumah karena saya sudah tidak
tahan”. (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 23 september 2006,
10.30 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa ada faktor lain yang
menyebabkan seseorang menjadi gelandangan adalah faktor yang datang
dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis (broken home), orang tua
bercerai dan tidak mempedulikan kehidupan dan keinginannya.
3. Umur Dan Pekerjaan Gelandangan
58
Usia gelandangan bervariatif, yaitu berkisar antara 18-50 tahun. Usia
mereka merupakan usia produktif. Di usia ini, mereka dianggap masih
mempunyai potensi untuk bekerja secara produktif sehingga minimal
mereka dapat hidup mandiri. Akan tetapi di usia mereka yang masih
produktif itu ada diantara mereka yang belum bisa hidup mandiri, apalagi
untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarganya.
Banyak dari mereka yang tidak hanya menggelandang seorang diri,
tapi terkadang mereka juga membawa anak-anak mereka untuk ikut
menggelandang. Sebelum gelandangan tersebut terkena razia dan di bawa
ke panti khusus gelandangan mereka juga mempunyai pekerjaan sendiri,
walaupun bukan pekerjaan yang layak Hal ini disebabkan karena banyak
diantara mereka yang tidak memperoleh lapangan pekerjaan, sehingga
untuk mempertahankan hidupnya mereka melakukan aktivitas tertentu
seperti mengemis, mengamen, ataupun hanya menggelandang saja di
jalanan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Susan, Aini, Liana, Junaidi,
Rohmat dan Yuni.
“Saya dulu bantu-bantu masak diwarung di
Pedurungan”.(wawancara dengan susan, gelandangan, 23 September 2006,
09.00 WIB).
“Saya dulu di Surabaya pernah bekerja di pabrik konveksi”.
(wawancara dengan Aini, gelandangan, 23 September 2006, 09.10 WIB).
“Saya sebelum bekerja di pabrik dan pernah juga jaga toko
(pramuniaga)”. (wawancara dengan Liana, gelandangan, 23 September
2006, 09.15 WIB).
59
“Saya dulu ngamen dijalan cari uang buat makan”. (wawancara
dengan Junaidi, gelandangan, 23 september 2006, 09.20 WIB).
“Saya dulu di Jakarta pernah bekerja sebagai cleaning service, dan
jualan koran”. (wawancara dengan Rohmat, gelandangan, 29 September
2006, 09.25 WIB).
“Sebelum disini (dipanti) saya meminta-minta dijalan”. (wawancara
dengan Yuni, gelandangan, 23 September 2006, 09.30 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum
gelandangan tersebut ditampung di panti khusus gelandangan mereka juga
pernah bekerja, antara lain sebagai pengamen, buruh pabrik maupun
meminta-minta dijalan.
B. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Tentang
Gelandangan
Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial
yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat,
terutama yang berada didaerah perkotaan. Masalah sosial gelandangan dan
pengemis di Indonesia, terutama di Semarang kemudian mendorong
Pemerintah Kota Semarang untuk mengeluarkan kebijakan untuk
menanggulangi gelandangan dan pengemis. Kebijakan yang dibuat dan
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Semarang itu merupakan kebijakan publik,
karena kebijakan publik (public policy) berarti serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang
mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
60
Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidak
teraturan sosial yang ditandai dengan ketidaktertiban serta mengurangi
ketidaknyamanan masyarakat disekitarnya. Kebijakan yang dibuat itu harus
bisa di implementasikan oleh para pelaksana kebijakan dan diharapkan dapat
mengurangi peningkatan jumlah gelandangan di Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota
Semarang telah membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk menangani
gelandangan, yaitu:
1. Pembentukan Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang
Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang, seperti yang
tercantum dalam SK Walikota Semarang No. 462 /133/ 2002 tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota
Semarang, diantaranya bertugas melakukan penertiban gelandangan di
Kota Semarang. Tim yang diketuai oleh KaBag Sosial Setda Kota
Semarang ini melibatkan pula pihak-pihak antara lain; Pengadilan Negeri
Semarang, Kejaksaan Negeri Semarang, Kodim 0733/BS, Poltabes
Semarang, Pengadilan Agama Semarang, Kesbang Linmas, Departemen
Agama, Dinas Kesehatan Kota, BKKBN, Dinas Pendidikan Nasional,
Dinas Perhubungan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Infokom dan
Bagian Umum Pemerintah Kota Semarang. Tim ini jugalah yang
melakukan razia atau operasi terhadap PGOT (pengemis, gelandangan dan
orang terlantar). Keterangan selengkapnya mengenai Tim Penanggulangan
tuna Sosial di Kota Semarang dapat dilihat pada lampiran 1.
61
Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang yang
terdiri dari 23 (dua puluh tiga) instansi tersebut mempunyai tugas yaitu:
a. Mengkoordinasikan langkah-langkah kebijaksanaan penanggulangan
tuna sosial Kota Semarang.
b. Memberikan bimbingan asistensi tentang kebijaksanaan Walikota
Semarang dibidang Penanggulangan tuna sosial kepada aparat
pemerintah ditingkat kecamatan se-Kota Semarang.
c. Menyusun petunjuk pelaksanaan Penanggulangan Tuna Sosial Kota
Semarang.
d. Menyampaikan laporan dan saran pertimbangan kepada Walikota
Semarang.
Adapun rincian tugas dan tanggung jawab anggota Tim Koordinasi
Penanggulangan Tuna sosial Kota Semarang adalah :
1) Ketua Umum
(a) Merumuskan kebijaksanaan, memberikan petunjuk pengarahan,
melaksanakan koordinasi dan pembinaan serta pengendalian
kegiatan penanggulangan tuna sosial.
(b) Menyampaikan laporan kepada Walikota Semarang tentang
pelaksanaan Penanggulangan Tuna Sosial.
2) Ketua
(a) Memimpin rapat rutin dan rapat insidentil Tim Koordinasi
Penanggulangan Tuna Sosial
(b) Mengeluarkan petunjuk teknis tentang pelaksanaan
penanggulangan tuna sosial
62
(c) Mengkoordinasikan pembuatan program kerja dan evaluasi
pelaksanaan program kerja.
(d) Menyampaikan laporan berkala kepada ketua umum tentang
pelaksanaan penaggulangan tuna sosial
(e) Melaksanakan tugas lain yaang diberikan oleh Ketua Umum
3) Wakil Ketua
(a) Membantu Ketua I dalam melaksanakan tugasnya
(b) Menyajikan data teknis yang berkaitan dengan Penanggulangan
Tuna Sosial.
(c) Memimpin pelaksanaan kegiatan operasional di lapangan dalam
usaha penanggulangan tuna sosial.
4) Sekretaris I
(a) Menyiapkan konsep petunjuk Walikota Semarang tentang
Penanggulangan Tuna Sosial
(b) Menyiapkan pelaksanaan rapat yaang meliputi : pembuatan
undangan rapat, bahan rapat, notulen rapat, serta melaporkan hasil
rapat Walikota Semarang.
(c) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Ketua.
5) Sekretaris II
(a) Menghimpun laporan pelaksanaan Penaggulangan Tuna Sosial
dari kecamatan dan menyajikan kepada Ketua I secara berkala
(b) Menyusun laporan akhir tahun pelaksanaan penanggulangan tuna
sosial
(c) Melaksanakan tugas harian yang diberikan oleh Ketua
(d) Melaksanakan tugas umum kesekretariatan.
63
6) Anggota
Anggota mewakili instansi pemerintah dan atau mewakili organisasi
(a) Mengkoordinasikan sumber daya yang berada di
instansi/organisasi masing-masing dan jajarannya untuk diarahkan
kepada pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan tuna sosial.
(b) Memberikan saran pertimbangan dan bahan masukan kepada ketua
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan tuna
sosial.
Hingga sekarang tim ini masih beroperasi, melakukan penertiban
sosial atau razia terhadap PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang
terlantar).
“Razia terhadap tuna sosial kita lakukan sebanyak 4 kali sebulan,
yaitu ditempat-tempat yang sekiranya menjadi tempat mangkal
gelandangan. Setelah itu mereka kita bawa ke panti khusus gelandangan
agar memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial”. (wawancara dengan
Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang,
3 Oktober 2006, 09.00 WIB).
“Kita membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial
salah satu tujuannya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis
di kota semarang. Pelaksanaan kebijakan tersebut kita lakukan dengan
mengadakan razia terhadap tuna sosial”. (wawancara dengan Sulistyo
Budi, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 3 oktober 2006,
09.30 WIB).
64
“Kita melakukan razia terhadap PGOT sebanyak empat kali dalam
sebulan, untuk mengurangi jumlah PGOT yang berkeliaran di jalan. Razia
tersebut kita lakukan dengan melibatkan Satpol PP”. (wawancara dengan
M. Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober
2006, 10.00 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota
Semarang telah membuat dan mengeluarkan kebijakan untuk menangani
gelandangan dengan membentuk Tim Koordinasi penaggulangan tina
sosial kota semarang yang salah satunya melakukan razia terhadap PGOT
(pengemis gelandangan dan orang terlantar).
Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka teori yang
mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam
menangani gelandangan adalah termasuk dalam sifat kebijakan yang di
kemukakan oleh Budi Winarno. Budi Winarno merinci sifat kebijakan
menjadi lima kategori yaitu tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands),
keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan
kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan
dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002 : 19).
Berkaitan dengan sifat kebijakan tersebut maka kebijakan
Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan termasuk
dalam keputusan kebijakan (policy decisions). Keputusan kebijakan adalah
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang
mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan
kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan
undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyatan-
65
pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-peraturan administratif atau
membuat interpretasi yuridis terhadap Undang-Undang (Budi Winarno,
2002:19).
Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota
Semarang dalam menangani gelandangan telah mengeluarkan keputusan
kebijakan yaitu tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Tuna Sosial Kota Semarang. Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial
ini dibentuk berdasarkan SK. Walikota Semarang No. 462/133/2002.
Implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang Pembentukan
Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang,
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Semarang dengan melakukan
penertiban, pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan Kota
Semarang., yang salah satu tugasnya adalah melakukan operasi/razia
terhadap PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang terlantar).
Kata “razia” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai
arti penggrebekkan, terutama terhadap penjahat atau orang-orang yang
dianggap berbahaya bagi keamanan (Poerwadarminta, 1984:807).
Pengertian razia tersebut bila dihubungkan dengan razia yang dilakukan
Pemerintah Kota Semarang terhadap gelandangan dapat berarti razia
merupakan gerakan terencana terhadap suatu obyek kegiatan yang
dianggap tidak biasa berlaku di masyarakat. Kegiatan itu berlangsung
sebagai akibat adanya penyimpangan dalam kehidupan di masyarakat, di
mana masyarakat tidak mau menerima dan juga tak dapat meniadakannya.
Razia terhadap gelandangan menitik beratkan pada kondisi yang
menyebabkan lingkungan di mana seseorang atau kelompaok gelandangan
66
menimbulkan suasana tidak aman secara fisik, psikis, maupun sosial.
Secara fisik, ketidakamanan yang ditimbulkan terhadapa gelandangan
dapat berupa perilaku kekerasan yang dialami oleh masyarakat sehingga
kerugian materi lebih menonjol.
Ketidakamanan psikis, merupakan kondisi yang menimbulkan
seseorang atau kelompok masyarakat mengalami rasa takut ketika
berhadapan secara langsung di jalan dengan gelandangan. Hal itu
disebabkan karena penampilan keseharian mereka yang cenderung aneh.
Sedangkan ketidakamanan sosial, merupakan kondisi yang tercipta di
lapangan, di mana sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi perbedaan
status sosial yang menggambarkan kondisi ketidakadilan. Iklim demikian
akan memudahkan terciptanya konflik sosial diantara lapisan yang
ditimbulkan. Konflik sosial yang berkepanjangan menciptakan tindakan
kekerasan sebagai akibat tingkat konflik cenderung meningkat secara
kuantitas maupun kualitas tanpa penyelesaian akhir. Salah satu factor
penyebab tingginya kekerasan dalam masyarakat adalah masalah ekonomi.
Kekerasan yang disebabkan oleh faktor ekonomi menempati skala
frekuensi yang dominan disbanding kekerasan-kekerasan yang
dilatarbelakangi oleh faktor non ekonomi (M. Sihombing, 2005:53).
Kebijakan Pemerintah Kota Semarang baik yang menyangkut
pembentukan dan pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penanggulangan
Tuna Sosial Kota Semarang sejauh ini dapat diimplementasikaan oleh para
pelaksana kebijakan. Terbukti dalam sebulan razia dapat dilaksanakan oleh
tim ini minimal empat kali sebulan, yang dalam pelaksanaannya pula
bekerjasama dengan Satpol PP dan Kepolisian.
67
Razia yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang terhadap
gelandangan tersebut bertujuan menciptakan keteraturan, keindahan, dan
ketertiban secara umum. Razia juga bertujuan untuk memutus mata rantai
kehidupan gelandangan agar kembali normal di tengah masyarakat. Akibat
yang diharapkan, perilaku secara wajar dimiliki gelandangan sehingga
tidak menggelandang lag. Keberhasilan memutus mata rantai ini tentu saja
dapat meningkatkan peran gelandangan di tengah masyarakat secara
umum. Akibat yang ditimbulkan, perilaku produktif akan ditunjukkan
gelandangan dibandingkan waktu sebelumnya.
Perilaku produktif tersebut dapat dilihat pada tataran yang
dimunculkan pada perubahan yang diharapkan, antara lain; Pertama, tidak
hidup menggelandang lagi. Kembalinya gelandangan di kehidupan normal
di tengah masyarakat memerlukan proses didik yang perlu dipaksakan.
Razia dengan menampung mereka pada panti tertentu, yang nantinya akan
diberi bekal keterampilan sehingga timbul kesadaran untuk mengubah
hidup dari menggelandang kearah hidup normal.
Kedua, memiliki mata pencaharian yang akan menopang
kebutuhan hidupnya. Kegagalan gelandangan untuk hidup normal lebih
disebabkan karena mereka tidak memiliki sumber penghasilan lewat
pekerjaan yang mampu mereka lakukan. Atau miskinnya keterampilan
menyebabkan mereka menggelandang lagi. Oleh karena itu, usaha
Pemerintah Kota Semarang melakukan koordinasi dengan panti khusus
gelandangan merupakan usaha membekali mereka agar mampu
menciptakan lapangan kerja atau setidaknya mau bekerja pada orang lain
sebagai usaha mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
68
Dengan terpenuhinya sasaran ini akan menciptakan kondisi kehidupan
mereka yang lebih sejahtera daripada sebelumnya.
Ketiga, mengembalilkan harkat sebagai warga Negara dengan hak
dan kewajiban yang sama. Keinginan untuk hidup normal di
tengahmasyarakat membawa dampak meningkatnya rasa percaya diri
seseorang dari hidup menggelandang ke tingkat yang lebih baik.
Akibatnya, motivasi mereka untuk bekerja akan tumbuh searah dengan
sasaran yang ingin dicapainya.
Berdasarkan paparan diatas, maka razia yang dilakukan terhadap
gelandangan bertujuan, antara lain untuk :
1. Meningkatkan harkat gelandangan yang tercapai melalui hidup layak
dan normal yang telah ditunjukkan dalam kesehariannya.
2. Meningkatkan kesejateraan gelandangan sebagai akibat telah
dimilikinya keterampilan dan kemampuan bekerja yang dapat
memperoleh penghasilan yang dapat dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup masa depannya.
3. Membebaskan lingkungan dari gangguan sosial yang menyebabkan
kenyamanan hidup masyarakat terjamin tanpa gangguan yang berarti.
Dengan demikian razia bermanfaat bagi segala pihak yang
bersangkutan dan terciptanya kondisi normal di tengah kehidupan
masyarakat.
2. Kerjasama dengan panti khusus gelandangan
Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Semarang dalam
menangani gelandangan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemkot,
69
melainkan membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan pihak lain
yang mempunyai tujuan yang sama, misalnya ingin mengentaskan
gelandangan, mengurangi jumlah gelandangan dan memajukan
kesejahteraan mereka. Pihak yang dimaksud adalah panti khusus
gelandangan.
Pemerintah Propinsi mempunyai panti rehabilitasi yang dijadikan
rujukan bagi gelandangan dan tuna sosial lain yang terkena razia. PGOT
(Pengemis, gelandangan dan orang terlantar) yang terkena razia akan
ditampung di Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya
Mardi Utomo. Daftar rujukan Panti Rehabilitasi milik Pemerintah Propinsi
Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Daftar Panti Rujukan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
No Panti Rujukan Tampungan
1. PKW (Panti Karya Wanita) Kendal. PKW “Wanita Utama” Surakarta.
WTS (Wanita Tuna Susila)
2. Panti Karya Mandiri “Mardi utomo” Mulawarman Semarang.
Gelandangan
3. RS Jiwa atau PTL (Panti Tuna Laras) Ngudi Rahayu Kendal.
Orang gila
4. PW (Panti Werda) Pucang Gading Semarang
Orang Jompo
5. PPP (Panti Pamardi Putra) “Mandiri” Semarang
Anak nakal (yang mempunyai masalah dengan narkoba)
Sumber: Dokumen Bagian Sosial Pemkot Semarang 2003
70
Di Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya
Mardi Utomo, gelandangan akan mendapatkan bimbingan dan penyuluhan
dari petugas panti. Di sana mereka mendapat fasilitas dari Panti, seperti
makan, minum, dan tempat tidur, atau boleh dikatakan panti ini menjadi
tempat tinggal sementara selama keluarga belum menjemput. Gelandangan
yang ditampung di panti tersebut memperoleh pelayanan dan rehabilitasi
sosial diberikan pembinaan dan bekal keterampilan. Bekal keterampilan
yang diberikan kepada mereka selama di Panti sangatlah berguna, karena
mengingat usia mereka yang masih produktif dan masih mampu bekerja,
sehingga kelak mereka bisa hidup mandiri. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Yuni, Junaidi, dan Karno.
“Saya dulu tertangkap dijalan, terus langsung dibawa ke panti.
Tapi disini tidak enak, karena tidak boleh keluar kemana-mana”.
(wawancara dengan Yuni, gelandangan, 20 November 2006, 09.00 WIB).
“Saya dulu pernah dirazia oleh petugas (Satpol PP) dan langsung
diantar kesini (ke Panti). (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 20
November 2006, 09.15 WIB).
“Saya dulu terkena razia di Kudus, lalu saya dibawa ke panti
disana. Kemudian dipindah kesini (Panti khusus gelandangan di
Semarang)”. (wawancara dengan Karno, gelandangan, 20 November 2006,
09.30 WIB).
“Di sini (di dalam Panti) enak, tiap hari dapat makan gratis, diberi
tempat tidur sendiri. Di sini juga disuruh bantu-bantu. Bantu masak,
71
bersih-bersih, cuci piring. Saya juga diajari membuat keset, menjahit”.
(wawancara dengan Aini, gelandangan, 23 September 2006, 09.40 WIB).
“Saya senang ada di Panti, saya betah disini. Disini diberi makan,
minum, pakaian, tempat tidur. Saya tidak mau pulang kerumah, karena ibu
saya mengusir saya dari rumah, katanya saya dulu nakal, bandel, sering
bolos sekolah”. (wawancara dengan Junaidi, gelandangan, 23 September
2006, 10.00 WIB).
“Saya senang tinggal disini, pokoknya seperti dirumah. Disini juga
disuruh bantu-bantu. Bantu masak untuk makan kita semua disini, lagipula
saya senang memasak. Sebenarnya saya ingin pulang ke Kupang, kangen
sama keluarga, tapi nanti menunggu adik saya menjemput”. (wawancara
dengan Susan, gelandangan, 23 September 2006, 09.05 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan hasil
razia Pemerintah Kota Semarang langsung di bawa ke panti khusus
gelandangan untuk diberi pelayanan dan rehabilitasi.
Tidak semua gelandangan yang ditampung di dalam panti itu
merasa senang maupun merasa nyaman berada disana. Hal ini seperti yang
diungkapkan Yuni, dan Tuti yang tinggal di panti bersama ketiga anaknya.
“Saya tidak senang tinggal disini, karena tidak boleh kemana-
mana, keluar saja diawasi. Saya ingin pulang ke Kudus, bertemu dengan
anak saya”. (wawancara dengan Yuni, gelandangan, 23 September 2006,
09.00 WIB).
“Disini tidak enak, kasihan anak-anak saya, masih kecil-kecil.
Disini kita hanya mendapat jatah makan, minum, dan tempat tinggal
72
sendiri (sejenis asrama). Tapi anak saya juga butuh jajan, susu, mainan,
bahkan pakaian saja kita tidak diberi. Tapi untungnya kita diperbolehkan
keluar hari Sabtu dan Minggu, itupun tidak boleh jauh-jauh dari panti”.
(wawancara dengan Tuti, gelandangan, 9 November 2006, 10.00 WIB).
Pernyataan gelandangan yang menyebutkan kalau selama mereka
di tampung dipanti tidak merasakan kenyamanan yang dikarenakan
minimnya fasilitas yang mereka peroleh disana, secara tidak langsung
ditepis oleh pegawai panti yang bersangkutan.
“Gelandangan yang kita tampung dipanti ini kita beri fasilitas
seperti layaknya mereka di rumah. Antara lain makan, minum, tempat
tidur, pakaian layak pakai, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Saya rasa
semuanya sudah kita bagi sama rata, baik itu jatah makan, minum,
pakaian”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan
Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo, 12 November 2006, 10.00 WIB).
“Memang kita jarang memberi mereka uang selama mereka disini,
karena masih terbatasnya dana yang kita terima dari Pemerintah Propinsi.
Akan tetapi bagi keluarga yang suaminya bekerja diluar, saya rasa punya
cukup uang untuk membelikan anaknya jajan ataupun mainan”.
(wawancara dengan Nyoman, Staf Rehabilitasi dan Penyaluran, 12
November 2006, 11.00 WIB).
“Kalau masalah pakaian, kita dapat sumbangan dari PMI, dan dari
donatur. Tak jarang ada dermawan yang datang ke panti dan memberikan
sumbangan berupa sandang dan pangan. Itu semua juga langsung kita
73
bagikan kepada mereka. Jadi kalau ada gelandangan yang merasa belum
mendapat jatah pakaian, itu karena keterbatasan sumbangan”. (wawancara
dengan Weda, Staf Pelayanan Rehabilitasi Sosial Panti Karya
Persinggahan Margo Widodo, 25 September 2006, 10.30 WIB).
“Memang gelandangan yang kita lihat dia sudah cukup baik fisik
dan mentalnya, kita perbolehkan mereka keluar dari panti, tapi hanya
untuk jalan-jalan ataupun pergi ke pasar membeli kebutuhan mereka, dan
bukan untuk lari atau meninggalkan panti. Mereka kita perbolehkan keluar
hari Sabtu dan Minggu saja. Kita tidak bertujuan membuat mereka merasa
terpenjara di dalam panti ini, tapi memang untuk gelandangan yang mental
dan kondisi fisiknya kurang baik, kita harus memberi pembinaan kepada
mereka dengan lebih intensif. Pembinaan tersebut kita berikan dengan
lebih intensif agar mereka mendapat pembinaan baik itu mental maupun
fisik dengan maksimal, dan tanpa mengurangi pembinaan, pelayanan dan
rehabilitasi sosial kepada gelandangan yang telah lebih dulu berada di
dalam Panti ini”. (wawancara dengan Sumarso, Kepala TU Panti Karya
Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 10.30 WIB).
“Selama ini kita sudah memberikan fasilitas yang saya rasa sudah
cukup layak, baik itu dalam hal pembinaan, pelayanan dan rehabilitasi
sosial. Dalam hal pembinaan mental kepada gelandangan, setiap
minggunya kita mendatangkan kyai dan pendeta untuk memberikan
74
ceramah rohani kepada mereka. Sedangkan untuk latihan fisik kita
mengajarkan mereka berolahraga, dan untuk meningkatkan kondidi
kesehatan jasmani mereka. Kita juga mendatangkan dokter dari rumah
Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang untuk mengontrol kesehatan,
terutama kondisi fisik mereka, karena beberapa diantara mereka ada yang
menderita penyakit seperti luka yang tak kunjung sembuh. Kalaupun ada
fasilitas yang dirasa masih kurang lengkap itu dikarenakan terbatasnya
dana yang kita terima dari Pemerintah Propinsi, mengingat semakin
bertambahnya jumlah gelandangan hasil razia yang kita tampung disini.
Tapi kita sudah semaksimal mungkin memberikan pembinaan, pelayanan
dan rehabilitasi kepada mereka”. (wawancara dengan Kartono, Kepala
Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 11.30
WIB).
Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa panti
khusus gelandangan memberikan pembinaan, pelayanan dan rehabilitasi
bagi gelandangan yang ditampung dipanti. Dan juga panti memberikan
fasilitas kepada mereka berupa sandang dan pangan. Kalaupun ada
gelandangan dipanti tersebut yang merasa tidak puas dengan fasilitas yang
ada, itu dikarenakan terbatasnya dana yang ada yang digunakan untuk
memberikan pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan.
75
Panti Karya Persinggahan Margo Widodo memiliki daya tampung
120 orang gelandangan per sekali tampung. Jumlah itu terdiri dari
gelandangan yang memang sudah lama tinggal di panti itu, gelandangan
hasil razia Pemkot, maupun gelandangan yang sudah tidak mempunyai
keluarga atau tidak diketahui dimana keluarganya berada. Atau lebih
jelasnya, bila Pemkot membawa gelandangan hasil razia ke Panti trrsebut,
maka jumlah gelandangan yang ada di panti itu hrus tetap berjumlah 120
orang. Bila jumlah itu melebihi daya tampung panti maka panti harus
memilih gelandangan yang telah lama berada dipanti untuk di kembalikan
ke keluarganya ataupun kembali ke masyarakat. Dan apabila ada
gelandangan yang tidak tahu keberadaan keluarganya, dan ia dirasa sudah
mampu untuk bekerja, maka ia di salurkan ke panti karya. Keterangan
lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 2.
76
Tabel 2. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Persinggahan Margo Widodo Semarang Tahun 2006
No Bulan Kembali ke masyarakat
Pondok Pesantren
Panti Karya
Panti Wreda
Meninggal Dunia
Lari Jumlah
1. Januari 10 - 9 - 3 8 30 2. Februari 16 - 2 2 1 3 24 3. Maret 17 - 2 2 - 8 29 4. April 45 - 2 2 2 - 51 5. Mei 71 6 2 - - 1 80 6. Juni 31 6 - 1 3 - 41 7. Juli 51 - 2 7 1 - 61 8. Agustus 55 - - - 2 1 58 9. September 55 - - 4 - - 59
10. Oktober 36 - 4 3 - - 43 11. November 29 1 3 2 - - 35 12. Desember 18 - 7 - - - 25
Jumlah 434 13 33 23 12 21 453
Sumber: Panti Karya Persinggahan Margo Widodo Semarang
77
Sedangkan data yang diperoleh dari Panti Karya Mardi Utomo yang
menampung 105 orang gelandangan, pada tahun 2005 tercatat ada 85 orang
gelandangan yang kembali ke masyarakat, 5 orang berwirausaha, dan 32
orang mengikuti program transmigrasi. Keterangan lebih lengkap dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Tabel Penyaluran Gelandangan Panti Karya Mardi Utomo
Semarang Tahun 2001-2006
Tahun Kembali ke masyarakat
Transmigrasi Wirausaha Jumlah
2001 27 69 9 105 2002 75 18 12 105 2003 78 19 8 105 2004 59 34 12 105 2005 75 22 8 105 2006 80 20 5 105
Sumber : Panti Karya Mardi Utomo Semarang
Pihak pantipun juga masih mengawasi dan membantu gelandangan
yang telah kembali ke masyarakat, misalnya mereka dikontrakkan rumah
ataupun dicarikan pekerjaan di sekitar tempat tinggal mereka yang sesuai
dengan keahlian yang dimiliki. Dalam penelitian ini wawancara hanya
dilakukan dengan gelandangan yang disalurkan di Kota Semarang saja.
Gelandangan yang sudah kembali ke masyarakat dan berwirausaha
diungkapkannya pada wawancara berikut.
“Waktu saya keluar dari Panti, saya pulang kesini (Pucang Gading).
Tadinya saya bingung mau pulang kemana, tapi untung saya dikontrakan
rumah disini. Sehari-hari saya jadi tukang kayu. Hasilnya lumayan, buat
78
makan anak dan istri saya”. (wawancara dengan Suroso, gelandangan, 6
November 2006, 16.00 WIB).
“Setelah keluar dari panti, saya pulang kesini, ke rumah. Sehari-
harinya saya bikin gorengan, terus dijual ke pasar. Alhamdulillah yang beli
banyak. Kira-kira sehari saya dapat untung 30 ribu”. (wawancara dengan
Nuryati, gelandangan, 9 November 2006, 16.30 WIB).
“Seperti ini setiap harinya, jadi tukang pijat, karena keahlian saya
hanya memijat. Tapi hasilnya lumayan, bisa untuk beli makan”. (wawancara
dengan Supodo, 11 November 2006, 16.00 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan yang
telah keluar dari panti sudah dapat bekerja dan hidup layak ditengah
masyarakat, karena selama dipanti mereka telah memperoleh bekal
keterampilan yang nantinya bisa dimanfaatkan ketika mereka sudah kembali
masyarakat.
Gelandangan yang telah menjalani masa rehabilitasi di Panti selain
akan dikembalikan kepada keluarganya maupun disalurkan ke masyarakat,
dan berwirausaha, juga dapat mengikuti program transmigrasi. Gelandangan
yang mengikuti program transmigrasi dikhususkan untuk gelandangan yang di
tampung di dalam Panti dan sudah berkeluarga. Gelandangan yang mengikuti
program transmigrasi tersebut tidak selalu merasakan ketentraman selama
disana.
“Saya dulu pernah ikut transmigrasi ke Surabaya, satu keluarga.
Disana diberi lahan, lalu dikerjakan. Tapi kita disana nggak lama, solanya
79
waktu kita disana panennya cuma sedikit, jadi masih kurang buat makan sama
beli jajan buat anak-anak. Akhirnya saya kembali lagi ke sini (Panti Karya
Mardi Utomo), nanti kalau ada transmigrasi lagi saya mau ikut. Saya mau
transmigrasi ke Sulawesi, soalnya saudara saya ada disana”. (wawancara
dengan Tuti, gelandangan, 9 November 2006, 10.00 WIB).
“Saya pernah ikut transmigrasi ke Maluku. Saya nggak betah disana,
karena waktu saya disana airnya sulit, jadi kalau mau masak, nyuci harus
ngambil air dulu yang letaknya jauh dari rumah. Belum ada setahun saya
kembali lagi kesini (Panti Karya Mardi utomo). Nanti kalau ada transmigrasi
ke Sumatra saya mau ikut, saya mau ketempat anak saya yang sekarang kerja
disana”. (wawancara dengan Wati, gelandangan, 10 November 2006. 11.00
WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa gelandangan yang
mengikuti program transmigrasi dari pemerintah tidak merasa nyaman karena
berbagai alasan. Diantaranya hasil panen di tempat transmigrasi yang tidak
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, dan juga kesulitan akan air bersih.
Dari hasil penelitian diatas, dan dikaitkan dengan teori sifat kebijakan,
maka kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan panti khusus gelandangan
dalam menangani gelandangan adalah termasuk keputusan kebijakan (policy
decisions). Keputusan kebijakan adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh
pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan
substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam
80
kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-
perintah eksekutif atau pernyatan-pernyatan resmi, mengumumkan peraturan-
peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap Undang-
Undang (Budi Winarno, 2002:19).
Kerjasama Pemerintah Kota Semarang dengan panti khusus
gelandangan termasuk dalam keputusan kebijakan ((policy decisions), karena
Panti yang bersangkutan juga termasuk dalam susunan keanggotaan Tim
Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang, dan tercantum
dalam lampiran Surat keputusan Walikota Semarang No. 462/133/2002.
PGOT (pengemis, gelandangan, dan orang terlantar) yang terjaring dalam
razia kemudian dibawa atau disalurkan ke panti khusus gelandangan, yaitu
Panti Karya Persinggahan Margo Widodo dan Panti Karya Mardi Utomo
untuk diberi pembinaan, bekal keterampilan serta mamperoleh pelayanan dan
rehabilitasi sosial. Hal ini terkait dengan kebijakan Pemerintah Kota
Semarang untuk menertibkan gelandangan agar tidak berkeliaran lagi di jalan-
jalan dan dalam rangka mengurus mereka sesuai yang diamanatkan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari hasil penelitian diatas maka kerjasama Pemerintah Kota
Semarang dengan panti khusus gelandangan merupakan penaggulangan
gelandangan yang dilakukan melalui usaha represif dan usaha rehabilitatif.
Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14 Peraturan
81
Pemerintah Republik Indonesia No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis.
(1) Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melelui
lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk
menghilangkan pergelandangan dan pengemisan serta mencegah
meluasnya di masyarakat.
Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan /atau
meniadakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik kepada
seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan
pergelandangan dan pengemisan.
Usaha represif ini dilakukan dengan cara :
1) Razia;
2) Penampungan sementara untuk diseleksi;
Setelah gelandangan tersebut dirazia dan diseleksi, maka
tindakan selanjutnya adalah :
(1) Dilepaskan dengan syarat;
(2) Dimasukkan dalam panti sosial;
(3) Dikembalikan kepada keluarganya;
(4) Diserahkan ke Pengadilan;
(5) Diberikan pelayanan kesehatan;
3) Pelimpahan ke Pengadilan
(2) Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi
usaha-usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan,
pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah
82
pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah masyarakat,
pengawasan serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para
gelandangan dan pengemis kembali memiliki kemempuan untuk
hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai warga
negara RI.
Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat
berperan kembali sebagai warga masyarakat. Usaha rehabilitatif ini
dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,
dan tindak lanjut, yang kesemuanaya itu dilaksanakan melalui Panti
Sosial.
Dari hasil penelitian diatas juga terungkap bahwa tidak semua
gelandangan yang ditampung didalam panti khusus gelandangan merasa
betah dan nyaman berada disana. Alasannya karena mereka tidak merasa
sebebas dibandingkan pada saat mereka masih berkeliaran dijalan. Bahkan
ada pula dari mereka yang mengatakan kalau di panti, ia tidak
mendapatkan pakaian, dan makanan tambahan. Akan tetapi panti khusus
gelandangan tersebut sudah berupaya semaksimal mungkin memberikan
pelayanan dan rehabilitasi sosial. Baik itu berupa fasilitas makan, minum,
tempat tidur, pemeliharaan kesehatan, dan juga bimbingan rohani.
Gelandangan yang ditampung di panti-panti tersebut juga
diikutkan dalam program transmigrasi. Biasanya program transmigrasi ini
ditujukan untuk gelandangan yang sudah berkeluarga, maksudnya sudah
menikah. Di daerah transmigrasi itu mereka akan memperoleh rumah dan
lahan untuk dikerjakan. Akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang merasa
83
tidak betah tinggal di daerah transmigrasi itu. Hal ini disebabkan oleh
terbatasnya fasilitas yang ada, masih belum tercukupinya kebutuhan
sehari-hari mereka dan lain sebagainya. Sehingga banyak dari mereka
yang memilih untuk kembali lagi ke Panti tempat mereka ditampung
sebelumnya.
Berkaitan dengan hasil penelitian dan wawancara dengan
gelandangan yang ditampung di panti maupun gelandangan yang sudah
kembali ke masyarakat, terbukti bahwa kerjasama Pemerintah Kota
Semarang dengan Panti khusus gelandangan dalam hal penyaluran dapat
dilaksanakan dengan baik. Gelandangan yang terjaring dalam razia
tersebut memang langsung dibawa ke Panti khusus gelandangan untuk
memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial. Di panti itu mereka akan
memperoleh pelayanan dan rehabilitasi sosial yang akan berguna bagi
mereka bila sudah disalurkan ke masyarakat. Diharapkan dengan
pelayanan dan rehabilitasi sosial selama di panti itu dapat menjadi modal
mereka untuk bekerja mencari nafkah agar dapat hidup layak, sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
3. Larangan memberi uang kepada gelandangan
Mendukung upaya Pemerintah Kota Semarang untuk menanggulangi
gelandangan dan pengemis, maka dikeluarkanlah suatu kebijakan yaitu
tentang larangan memberi uang kepada gelandangan dan pengemis.
“Kita sudah menghimbau kepada masyarakat kota Semarang agar
jangan memberi uang kepada gelandangan ataupun pengemis, karena itu tidak
mendidik, karena semakin diberi mereka akan menjadi senang mengemis,
84
sehingga akan membuat mereka malas bekerja” (wawancara dengan M.
Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 3 Oktober 2006, 11.00 WIB).
“Adanya larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan
sepertinya belum bisa dilaksanakan oleh masyarakat kota Semarang. Ada
sebagian masyarakat Kota Semarang yang belum bisa melaksanakan
kebijakan tersebut”. (wawancara dengan Sri Redjeki, Staf Bagian Sosial
Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 11.15 WIB).
“Larangan memberikan uang kepada gelandangan sepertinya kurang
mendapat dukungan dari sebagian masyarakat. Sebagian masyarakat peduli
dan sebagian lagi agaknya tidak menanggapi larangan itu, karena sampai
sekarang masih ada saja masyarakat yang memberi uang kepada gelandangan
di jalan”. (wawancara dengan Arifin, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota
Semarang, 3 Oktober 2006, 11.20 WIB).
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan
Pemerintah Kota Semarang yang melarang masyarakat memberi uang kepada
gelandangan dijalan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya karena sampai
sekarang sebagian masyarakat masih ada yang memberikan pada gelandangan
dijalan.
Adanya pernyataan kebijakan yang melarang masyarakat untuk tidak
memberi uang kepada gelandangan di jalan dilatarbelakangi karena adanya
anggapan dari pihak Pemerintah Kota Semarang, bahwa memberi mereka
uang akan sangat tidak mendidik. Dan berdasarkan pengamatan dijalan,
penulis juga melihat bahwa masyarakat masih saja banyak yang memberi
85
uang kepada gelandangan dijalan. Dengan alasan mungkin mereka merasa
kasihan dengan gelandangan yang sedang meminta-minta di jalan.
Dalam penelitian terungkap bahwa tidak semua kebijakan Pemerintah
Kota Semarang tentang gelandangan belum dapat diimplementasikan, baik
oleh Pemerintah Kota Semarang maupun oleh masyarakat. Ada kebijakan
yang dapat dilaksanakan dan adapula kebijakan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan.
Berkaitan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan
termasuk dalam sifat kebijakan, seperti yang di kemukakan oleh Budi
Winarno, adalah pernyataan kebijakan (policy statements).
Pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau
artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini
adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden,
peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan-
pernyataan atau pidato-pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud
dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan itu
(Budi Winarno, 2002 : 19).
Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa Pemerintah Kota
Semarang telah mengeluarkan pernyataan kebijakan tentang gelandangan
yaitu tentang larangan memberi uang kepada gelandangan. Munculnya
kebijakan yang melarang masyarakat untuk tidak memberi uang kepada
gelandangan di jalan dilatarbelakangi karena adanya anggapan dari pihak
Pemkot, bahwa memberi mereka uang akan sangat tidak mendidik. Meskipun
sudah ada himbauan demikian nyatanya masyarakat masih saja memberikan
86
uang kepada mereka di jalan. Kebijakan ini juga menuai protes dari
gelandangan. Kebijakan ini sekan-akan menjadi halangan bagi mereka dalam
mencari nafkah, karena pendapatan mereka akan menurun dan kalau sudah
demikian dari mana mereka harus mencari nafkah. Karena mereka tidak hanya
seorang diri menggelandang akan tetapi satu kelurga ikut menggelandang,
misalnya seorang ibu yang sembari menggendong anaknya meminta-minta di
jalan, atau bisa juga anaknya juga disuruh meminta-minta.
Kebijakan ini seolah-olah merupakan sebuah arogansi dari pemegang
kekuasaan yang bisa mengeluarkan statement larangan-larangan tertentu dan
dirasa merugikan salah satu pihak yaitu gelandangan. Karena itulah saya
berpendapat bahwa kebijakan ini belum dapat diimplementasikan sesuai
dengan harapan.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat dan isi
kebijakan Pemerintah Kota Semarang dalam menangani gelandangan dapat
dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Sifat dan Isi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam
Menangani Gelandangan
No. Sifat Kebijakan Isi Kebijakan Tujuan
1. SK. Walikota
No. 462/
133/2002.
Keputusan
kebijakan
(policy
decisions).
Pembentukkan
Tim
Penanggulangan
Tuna Sosial Kota
Semarang
Mengurangi
jumlah
gelandangan di
Kota Semarang
dengan
melakukan razia
terhadap
gelandangan.
87
2. Kerjasama
dengan panti
khusus
gelandangan
Keputusan
kebijakan
(policy
decisions).
Kerjasama dengan
panti khusus
gelandangan,
karena unsur panti
juga tercantum
dalam lampiran
SK. Walikota No.
462/ 133/2002.
Mengurangi
jumlah
gelandangan dan
meningkatkan
kesejahteraan
mereka.
3. Larangan
memberi uang
kepada
gelandangan di
jalan.
Pernyataan
kebijakan
(policy
statement).
Melarang
masyarakat
memberi uang
kepada
gelandangan di
jalan.
Supaya
masyarakat kota
Semarang peduli
bahwa memberi
uang kepada
gelandangan di
jalan itu tidak
mendidik.
C. Faktor Pendukung Dan Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Pemerintah Kota Semarang Tentang Gelandangan
1. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan
Suatu kebijakan dirumuskan dan dibuat bukan sekedar untuk dijadikan
rencana, namun harus diimplementasikan untuk mewujudkan tujuan
kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam
urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono,1994:137). Implementasi
kebijakan merupakan tahap penting dalam proses kebijakan publik. Suatu
program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau
tujuan yang diinginkan.
88
Kebijakan akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai
dampak (manfaat) positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dalam
pelaksanaan kebijakan, ada faktor yang mendukung implementasi kebijakan
Pemerintah Kota Semarang tersebut.
“Dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, ada beberapa faktor yang
menjadi pendukungnya, yaitu kita mempunyai staf yang cukup memadai,
fasilitas yang mendukung, dan dengan adanya SK Walikota No.
462/133/2002 itu menjadi dasar tujuan kita untuk menanggulangi tuna sosial
di Kota Semarang”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag Rehabsos
Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 10.00 WIB).
“Yang menjadi pendukung pelaksanaan kebijakan Pemkot tentang
gelandangan adalah adanya struktur birokrasi yang jelas, dalam hal ini
keanggotaan Tim Penanggulangan Tuna sosial Kota Semarang yang masing-
masing mempunyai tugas seperti tercantum dalam SK. Walikota No.
462/133/2002”. (wawancara dengan Sri Adjieti, Staf Bagian Sosial
Pemerintah Kota Semarang, 3 Oktober 2006, 10.30 WIB).
“Pelaksanaan kebijakan Pemkot tentang gelandangan didukung
dengan kerjasama kita dengan panti khusus gelandangan dalam hal
penyaluran mereka ke masyarakat. Kita juga melakukan dialog dengan
mereka dalam hal penerimaan gelandangan hasil razia yang kita lakukan”.
(wawancara dengan M. Ridwan, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota
Semarang, 3 Oktober 2006, 11.00 WIB).
“Dalam hal kebijakan yang kita buat yang melarang memberi uang
kepada gelandangan di jalan, pernah kita lakukan dengan membuat
89
pengumuman di surat kabar”. (wawancara dengan Tri Redjeki, Staf Bagian
Sosial Pemerintah Kota Semarang, 4 oktober 2006, 09.00 WIB).
“Kerjasama kita dengan Pemerintah Kota Semarang tentang
gelandangan yaitu dalam hal penerimaan gelandangan hasil razia yang
dilakukan Pemerintah Kota Semarang, dan Pemerintah Kota Semarang juga
melakukan dialog dengan kita (pihak panti) dalam hal jumlah gelandangan
yang kita terima setiap kali razia oleh Pemkot”. (wawancara dengan Sumarso,
Kepala TU Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,
10.00 WIB).
“Dalam hal pembinaan, pelayanan, pemberian bekal keterampilan
untuk gelandangan yang kita tampung di panti, kita punya staf atau tenaga-
tenaga yang memang ahli di bidangnya”. (wawancara dengan Kartono,
Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006, 11.30
WIB).
“Pelayanan dan rehabilitasi untuk gelandangan, di panti kita punya
susunan keanggotaan serta pembagian tugasnya”. (wawancara dengan Joko
Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi dan Penyaluran panti Karya Mardi Utomo, 12
November 2006, 10.00 WIB).
Berdasarkan wawancara diatas bahwa implementasi kebijakan
Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan dilakukan melalui kerjasama
dengan panti khusus gelandangan. Hal itu pula yang menjadi pendukung
Pemerintah Kota Semarang untuk mengmplementasikan kebijakan. Selain
didukung kerjasama dengan panti khusus gelandangan Pemerintah Kota
90
Semarang juga memiliki staf yang cukup memadai. Sedangkan panti khusus
gelandangan dalam mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota
Semarang itu dilakukan dengan memberikan pelayanan, pembinaan, bekal
keterampilan dan rehabilitasi bagi gelandangan dipanti.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, ada beberapa teori yang
mendukung implementasi kebijakan, yaitu Teori Implementasi Van Horn dan
Van Meter, dan Teori Implementasi Edward III.
Menurut Teori Implementasi Kebijakan George Edward III, faktor-
faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :
a. Komunikasi.
Ada tiga hal penting yang dibahas dalam proses komunikasi
kebijakan, yakni transmisi, konsistensi, dan kejelasan (clarity).
Faktor pertama yang mendukung implementasi kebijakan adalah
transmisi. Seorang pejabat yang mengimlementasikan keputusan harus
menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah umtuk
pelaksanaanya telah dikeluarkan.
Faktor kedua yang mendukung implementasi kebijakan adalah
kejelasan, yaitu bahwa petunjuk-petunjuk pelaksanaan kebijakan tidak
hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi komunikasi
tersebut harus jelas.
91
Faktor ketiga yang mendukung implementasi kebijakan adalah
konsistensi, yaitu jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,
maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.
b. Sumber-sumber.
Sumber-sumber penting yang mendukung implementasi kebijakan
meliputi : staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk
melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang
dapat menunjang pelaksanaan pelayanan publik.
c. Kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku.
Kecenderungan dari para pelaksana mempunyai konsekuansi-
konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Jika para
pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu yang dalam hal
ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan
kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan
awal.
d. Struktur birokrasi.
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan, baik itu struktur
pemerintah dan juga organisasi-organisasi swasta. (Budi Winarno, 2002 :
126-151).
Menurut Teori Proses Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van
Horn, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu :
1) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan;
92
Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu
program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena
implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-
tujuan itu tidak dipertimbangkan.
2) Sumber-sumber kebijakan.
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau
perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar
implementasi yang efektif.
3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan
komunikasi antar para pelaksana.
4) Karakteristik badan-badan pelaksana.
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur
birokrasi. Srtuktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi kebijakan.
5) Kondisi ekonomi, sosial dan politik.
Kondisi ekonomi, sosial dan politik dapat mempengaruhi badan-
badan pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
6) Kecenderungan para pelaksana (implementors).
Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana
kebijakan akan mempengaruhi keberhasilan pencapaian kebijakan. (Budi
Winarno, 2002:110).
93
Berkaitan dengan hasil penelitian dan menurut dua Teori
Implementasi Kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor pendukung
implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan
menggabungkan Teori Implementasi Kebijakan Edward III dan Teori
Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn, yaitu :
a) Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota
Semarang dan pelaksanaan tugas tim selama ini dapat diimplementasikan
dengan baik oleh pelaksana kebijakan. Keberhasilan implementasi
kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung
implmentasi kebijakan,yaitu:
(1) Ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus
Tujuan dikeluarkannya kebijakan ini sudah jelas dan khusus yaitu
untuk mengurangi bertambahnya jumlah tuna sosial di Kota
Semarang. Kejelasan tujuan ini mendorong suksesnya implementasi
kebijakan tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Tuna Sosial Kota Semarang.
(2) Komunikasi yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota
Semarang) dan panti khusus gelandangan.
Dalam implementasi kebijakan, komunikasi sangatlah penting.
Komunikasi diperlukan untuk mebentuk persamaan tujuan dan
kejelasan instruksi diantara para pelaksana kebijakan. Perintah-
94
perintah yang diberikan harus jelas dan konsisten, agar para pelaksana
itu dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan apa yang
diinstruksikan. Berkaitan dengan hasil penelitian, pembentukan tim
dan pembagian tugasnya sudah diinstruksikan dengan jelas dan tertera
dalam SK Walikota No. 462/133/2002 tentang Pembentukan Tim
Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang. Sedangkan panti khusus
yang menangani gelandangan juga telah dapat bekerjasama dengan
Pemerintah Kota Semarang dalam hal penyaluran gelandangan hasil
razia.
(3) Sumber-sumber yang cukup tersedia.
Sumber- sumber dalam hal ini meliputi : staf, wewenang dan fasilitas.
Berkaitan dengan hasil penelitian, tidak ada permasalahan yang berarti
dengan staf pelaksana tugas tim koordinasi, wewenang para pelaksana
kebijakan sudah dirinci jelas dalam SK Walikota No. 462/133/2002
dan fasilitaspun sudah diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang
dalam melaksanakan tugas tim.
(4) Struktur birokrasi yang jelas
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering baahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Secara sadar atau
tidak mereka membentuk organisasi efektif untuk melaksanakan
kebijakan tertentu. Berkaitan dengan hasil penelitian, struktur
birokrasi pelaksana kebijakan Pembentukan Tim Koordinasi dan
95
pelaksanaan tugas tim sudah jelas tertera dalam SK. Walikota No.
462/133/2002.
b) Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.
Kerjasama pemerintah Kota semarang dengan panti khusus gelandangan
dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelaksana kebijakan (Pemerintah
Kota Semarang) dan panti khusus gelandangan. Kerjasama dapat
terlaksana dengan baik dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu :
(1) Sumber-sumber yang cukup tersedia.
Sumber-sumber disini meliputi : staf, wewenang dan fasilitas.
Berkaitan dengan hasil penelitian, pemerintah kota semarang dalam
bekerjasama dengan panti khusus gelandangan sudah menentukan staf-
staf yang bertanggung jawab melakukan koordinasi dengan pihak-
pihak tersebut, misalnya untuk pembinaan gelandangan adalah tugas
dari Rehabilitasi Sosial Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang.
(2) Kecenderungan-kecenderungan para pelaksana kebijakan dan
masyarakat (panti khusus gelandangan).
Kecenderungan-kecenderungan berhubungan dengan sifat para
pelaksana kebijakan. Orang-orang yang mempunyai orientasi yang
sama akan dapat bekerjasama, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan
hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa kerjasama Pemerintah Kota
Semarang dengan panti khusus gelandangan dapat dilaksanakan
96
dengan baik dikarenakan adanya persamaan tujuan antara pemerintah
dengan panti khusus gelandangan yaitu untuk mengurangi jumlah
gelandangan di Kota Semarang.
(3) Komunikasi yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota
Semarang) dan masyarakat (panti khusus gelandangan).
Dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan, Pemerintah dan
masyarakat (panti khusus gelandangan) melakukan dialog. Misalnya
saat Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan pernyataan untuk
melarang masyarakat agar tidak memberi uang kepada gelandangan di
jalan.
c) Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan
Kebijakan Pemerintah Kota Semarang yang melarang memberi uang
kepada gelandangan di jalan didukung karena adanya faktor komunikasi
yang baik antara pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota Semarang) dan
masyarakat. Dalam implementasi kebijakan, Pemerintah Kota Semarang
mengeluarkan pernyataan untuk melarang masyarakat agar tidak memberi
uang kepada gelandangan di jalan.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Faktor
pendukung implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk
menangani gelandangan dapat dilihat pada tabel 5.
97
Tabel 5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan
No. Kebijakan Faktor Pendukung Implementasi
Kebijakan
1. SK. Walikota No.
462/133/2002 Tentang
Pembentukkan Tim
Koordinasi Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis.
a. Ukuran dan tujuan kebijakan
yang jelas dan khusus.
b. Komunikasi yang baik antar
pelaksana kebijakan
c. Sumber-sumber yang cukup
tersedia (staf, wewenang, dan
fasilitas)
d. Struktur birokrasi yang jelas
2. Kerjasama dengan Panti
Khusus gelandangan
a. Sumber-sumber yang cukup
tersedia (staf, wewenang, dan
fasilitas)
b. Kecenderungan-kecenderungan
para pelaksana kebijakan
c. Komunikasi yang baik antar
pelaksana kebijakan
3. Larangan memberi uang
kepada gelandangan di jalan
a. Komunikasi antar pelaksana
kebijakan dan masyarakat.
2. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
Adanya faktor pendukung tersebut diharapkan implementasi dari
tujuan dikeluarkannya kebijakan ini dapat terwujud. Akan tetapi dalam
98
pelaksanaannya terdapat pula faktor penghambat implementasi kebijakan.
Faktor penghambat implementasi kebijakan dapat berasal dari dalam
Pemerintah Kota Semarang sendiri dan dari dalam panti khusus gelandangan.
Faktor penghambat yang berasal dari dalam Pemerintah Kota Semarang
seperti yang diungkapkan oleh Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang.
“Selama ini kita telah berupaya untuk menanggulangi permasalahan
sosial melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial. Kita punya staf yang bersama-
sama melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan, walaupun masih terbatasnya
tenaga yang terampil di bidangnya. Dan juga kerjasama kita dengan panti
khusus gelandangan, dan saya rasa kita sudah maksimal dalam
pelaksanaanya”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag Rehabsos Pemkot
Semarang, 3 Oktober 2006, 10.15 WIB).
“Kebijakan tentang larangan pemberian uang kepada gelandangan di
jalan saya rasa belum bisa dilaksanakan secara menyeluruh. Masyarakat
masih banyak yang memberi uang kepada mereka di jalan. Sepertinya
masyarakat belum mengerti bahwa semakin sering gelandangan di jalan di
beri uang semakin senang mereka menggelandang”. (wawancara dengan
Gusnadi, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 Oktober 2006, 09.15 WIB).
“Hambatan pelaksanaan kebijakan Pemkot Semarang tentang
gelandangan yaitu kurangnya dukungan dari sebagian masyarakat Kota
Semarang untuk tidak memberi uang kepada gelandangan di jalan”.
(wawancara dengan Arifin, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 oktober
2006, 09.30 WIB).
99
Dari hasil wawancara diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor
penghambat implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang
gelandangan adalah karena kurangnya kesadaran masyarakat agar tidak
memberi uang kepada gelandangan di jalan sehingga mereka malas untuk
mencari uang secara layak, dan juga masih terbatasnya dana yang digunakan
untuk meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi gelandangan.
Adapun faktor penghambat yang berasal dari dalam Panti khusus
gelandangan seperti yang diungkapkan oleh pegawai panti.
“Kita masih kekurangan dana operasional yang kita terima dari
Pemerintah Propinsi yang kita butuhkan untuk meningkatkan pemberian
fasilitas kepada gelandangan yang kita tampung disini”. (wawancara dengan
Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September
2006, 11.30 WIB).
“Kita sudah memberikan pelayanan yang maksimal kepada
gelandangan yang kita tampung disini, akan tetapi terbatasnya dana yang ada
menyebabkan masih kurangnya jangkauan pelayanan. Dalam arti sejauh mana
gelandangan yang telah kita beri pembinaan, pelayanan dan bekal
keterampilan itu nantinya tidak menggelandang lagi dan dapat bekerja secara
produktif sehingga mereka dapat hidup layak dan mencapai tingkat
kesejahteraannya”. (wawancara dengan Joko Tri Wuryanto, Kasi Rehabilitasi
dan Penyaluran Panti Karya Mardi Utomo, 12 November 2006, 10.30 WIB).
100
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi hambatan Panti khusus gelandangan untuk mendukung implementasi
kebijakan Pemerintah Kota Semarang yaitu masih kurangnya dana yang
diterima dari Pemerintah Propinsi untuk memberikan pelayanan dan
rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung, kurangnya fasilitas yang
ada di Panti yang menunjang pemberian bekal ketrampilan pada gelandangan,
dan masih kurangnya tenaga-tenaga yang ahli dibidangnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan, maka teori tentang
faktor-faktor yang menjadi penghambat Implementasi Kebijakan Pemerintah
Kota Semarang tentang gelandangan, yaitu :
a. Isi kebijakan.
Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya iisi
kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci,
sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan
terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya
ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan.
Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan
adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab
lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat
terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-
101
sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan
tenaga manusia.
b. Informasi.
Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para
pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu
atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.
Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan
komunikasi.
c. Dukungan.
Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada
pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut.
d. Pembagian potensi.
Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu
kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para
pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan
diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian
wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian
tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas
(Bambang Sunggono,1994 : 149-153).
102
Berkaitan dengan teori diatas, maka factor yang menghambat
implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang tentang gelandangan
yaitu :
1) Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota
Semarang.
Kebijakan Pemerintah kota Semarang tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang dalam
pelaksanaannya belum bisa dilaksanakan dengan maksimal, dikarenakan
faktor :
a) Isi kebijakan.
Berkaitan dengan hasil penelitian dan teori diatas, hambatan
yang timbul dalam implementasi dapat terjadi karena tenaga atau staf
pelaksana kebijakan (Pemerintah Kota Semarang) yang kurang
terampil di bidangnya.
2) Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.
Kerjasama Panti khusus gelandangan dalam menangani gelandangan di
Panti sampai saat ini masih terdapat hambatan. Menurut Buku Standar
Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial gelandangan dan
pengemis, faktor penghambat implementasi kebijakan yang berasal dari
panti khusus gelandangan yaitu :
(a) Jangkauan pelayanan
103
Panti khusus gelandangan dalam memberikan pelayanan dan
rehabilitasi sudah semaksimal mungkin dalam pelaksanaannya, akan
tetapi setelah gelandangan tersebut keluar dari panti tidak
menggelandang lagi dan dapat bekerja secara produktif masih belum
dapat dipastikan. Karena itu juga tergantung dari kemauan
gelandangan itu sendiri, apakah ia mau bekerja untuk hidup layak dan
produktif ataukah ia lebih senang menggelandang.
(b) Dana
Terbatasnya dana yang diterima oleh panti khusus gelandangan dari
Pemerintah Propinsi yang digunakan untuk memberikan pelayanan
dan rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung di panti.
(c) Keterbatasan SDM
Keterbatasan SDM maksudnya adalah panti khusus gelandangan
masih kekurangan tenaga-tenaga yang ahli di bidangnya, misalnya
dalam hal pemberian keterampilan.
(d) Sarana dan prasarana
Masih terbatasnya perlengkapan yang menunjang pemberian bekal
keterampilan kepada gelandangan. (Departemen Sosial RI 2005 : 2).
3) Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dapat disimpulkan
bahwa gagalnya implementasi kebijakan yang melarang masyarakat
104
memberikan uang kepada gelandangan di jalan dikarenakan beberapa
faktor, yaitu :
(a) Informasi.
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dan
dikaitkan dengan teori diatas, kebijakan yang melarang masyarakat
untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan belum dapat
diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan dikarenakan kurangnya
komunikasi antara pelaksana kebijakan dan masyarakat. Kurangnya
komunikasi tersebut timbul karena informasi yang kurang jelas dari
pemerintah. Hal ini menyebabkan perbedaan persepsi antara para
pelaksana kebijakan (pemerintah) dan masyarakat. Ketidaksamaaan
persepsi inilah yang mengakibatkan gagalnya implementasi kebijakan
tentang larangan memberi uang kepada gelandangan. Pemerintah
beranggapan bahwa memberikan uang kepada gelandangan di jalan
tidak mendidik. Dan berdasarkan pengamatan saya masyarakat masih
saja memberikan uang kepada gelandangan di jalan. Alasannya
mungkin mereka tidak peduli dengan kebijakan yang dikeluarkan
Pemerintah Kota Semarang itu, dan mungkin juga masyarakat merasa
kasihan dengan gelandangan yang sering meminta-minta di jalan.
(b) Dukungan.
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, dan
dikaitkan dengan teori diatas, kebijakan yang melarang masyarakat
105
untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan belum dapat
diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan dikarenakan kurangnya
dukungan msyarakat. Dukungan masyarakat pada kebijakan ini masih
kurang. Masyarakat masih saja memberikan uang kepada gelandangan
di jalan. Kurangnya dukungan ini mengakibatkan pelaksanaan
kebijakan tidak dapat maksimal.
Dari uarian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi Faktor
Penghambat Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk
menangani gelandangan dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan
No. Kebijakan Faktor Penghambat Implementasi
Kebijakan
1. SK. Walikota No. 462/133/2002
Tentang Pembentukkan Tim
Koordinasi Penanggulangan
Gelandangan dan Pengemis.
a. Terbatasnya tenaga yang
terampil di bidangnya.
2. Kerjasama dengan Panti Khusus
gelandangan
a. Jangkauan pelayanan yang
masih terbatas
b. Keterbatasan dana
c. Keterbatasan SDM
d. Sarana dan prasarana dipanti
yang masih terbatas
106
3. Larangan memberi uang kepada
gelandangan di jalan
a. Kurangnya komunikasi antara
pelaksana kebijakan dan
masyarakat
b. Kurangnya dukungan
masyarakat
D. Upaya Pemerintah Kota Semarang Untuk Mengatasi Hambatan
Implementasi Kebijakan
Dengan adanya faktor penghambat yang telah diuraikan diatas,
Pemerintah Kota Semarang berupaya untuk mengatasi hambatan yang timbul
dalam implementasi kebijakan.
“Kita terus memaksimalkan kinerja Tim Penanggulangan Tuna Sosial
Kota Semarang yang juga didukung oleh staf yang memadai, dan memperluas
jangkauan penertiban dan pelayanan, agar PGOT (Pengemis, Gelandangan dan
Orang Terlantar) di Kota Semarang dapat memperoleh pelayanan dan rehabilitasi
sosial, sehingga hasilnya optimal. Sedangkan dengan terbatasnya tenaga yang
terampil di bidangnya, kita akan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengimplementasikan kebijakan”. (wawancara dengan Wardoyo, Kasubbag
Rehabsos Pemkot Semarang, 3 Oktober 2006, 10.00 WIB).
“Kita akan tingkatkan kerjasama dengan Panti khusus gelandangan dalam
hal penerimaan gelandangan hasil razia yang kita lakukan. Kalau masalah dana,
kita tidak memberi bantuan dana kepada panti karena Pemerintah Propinsi sudah
memberi dana kepada panti khusus gelandangan untuk memberikan pelayanan
107
dan rehabilitasi kepada gelandangan yang di tampung disana. Seandainya dana
yang diterima itu masih kurang, sebaiknya panti yang mengusulkan kePemerintah
propinsi untuk menaikkan dana yang diberikan karena panti khusus gelandangan
itu milik pemerintah propinsi, dan bukan milik Pemerintah Kota”. (wawancara
dengan Gunawan, Staf Bagian Sosial Pemkot Semarang, 6 Oktober 2006, 10.30
WIB).
“Kita sebisa mungkin memberi pengertian kepada masyarakat dengan
meningkatkan komunikasi kepada mereka tentang larangan memberikan uang
kepada gelandangan di jalan. Kita juga berupaya membantu negara untuk
mengurus gelandangan sesuai yang tercantum dalam pasal 34 UUD 1945”.
(wawancara dengan Sri Gudiati, Staf Bagian Sosial Pemerintah Kota Semarang, 6
Oktober 2006, 11.00 WIB).
“Masalah kurangnya dana yang kita terima dari pemerintah propinsi yang
kita gunakan untuk memberikan pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan,
serta jangkauan pelayanan, kita hanya berusaha agar dengan terbatasnya dana
yang ada kita bisa memberikan pelayanan yang maksimal”. (wawancara dengan
Kartono, Kepala Panti Karya Persinggahan Margo Widodo, 22 September 2006,
11.20 WIB).
Penulis juga melakukan pengamatan terhadap gelandangan yang
berkeliaran di jalan, misalnya di jalan Pahlawan, Pandanaran, Kalisari, Thamrin,
dan di tepi-tepi sepanjang jalan lainnya. Dan ternyata masih ada juga orang yang
memberi uang kepada gelandangan di jalan. Seakan-akan mereka tidak peduli
kebijakan pemerintah Kota Semarang yang melarang memberi uang kepada
108
gelandangan di jalan. (Pengamatan oleh penulis, 14-16 November 2006, 10.00
WIB-14.00 WIB).
Berdasarkan wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa upaya
Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan implementasi kebijakan
dilakukan dengan berusaha semaksimal mungkin dalam implementasi kebijakan
walaupun dengan keterbatasan staf yang kurang terampil serta meningkatkan
komunikasi dengan masyarakat agar tidak senantiasa memberikan uang kepada
gelandangan. Karena hal itu mendorong gelandangan tersebut menjadi malas
bekerja dan mengharapkan sesuatu yang instant (cepat) untuk mendapatkan uang.
Sedangkan Panti khusus gelandangan berupaya mengatasi hambatan
implementasi kebijakan dengan memaksimalkan pelayanan dan rehabilitasi bagi
gelandangan di dalam panti meskipun dengan keterbatasan dana yang diterima
dari Pemerintah Propinsi.
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, maka menurut teori
yang diungkapkan oleh James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan
anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu kebijakan publik,
yaitu :
1. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan atau kebijakan publik yang bersifat
kurang mengikat individu-individu. (Bambang Sunggono, 1994 : 144-145).
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pengamatan, kebijakan yang
melarang masyarakat untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan,
yang ternyata sampai sekarang masih saja ada masyarakat yang memberi uang
109
kepada mereka, bagi pelanggarnya tidak dikenakan sanksi. Karena itulah
sebagian masyarakat Kota Semarang tidak peduli denagn adanya kebijakan
itu.
2. Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan dimana
mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau
bertentangan dengaan peraturan hukum dan keinginan pemerintah. (Bambang
Sunggono, 1994 : 144-145).
Berkaitan dengan hasil penelitian tentang kebijakan yang melarang
masyarakat untuk memberikan uang kepada gelandangan di jalan, sebagian
masyarakat ada yang mematuhinya, dan sebagian lagi tidak peduli dengan
kebijakan tersebut. Masyarakat yang masih saja memberi uang kepada mereka
dikarenakan mereka merasa kasihan melihat gelandangan yang meminta-
minta di jalan, mereka ingin beramal untuk membantu sesama manusia yang
membutuhkan.
Berdasarkan dengan hasil penelitian, ada beberapa teori yang berkaitan
dengan upaya mengatasi hambatan implementasi kebijakan. Menurut
Bambang Sunggono, supaya kebijakan dapat berfungsi dengan baik maka
unsur yang diperlukan yaitu :
a. Fasilitas, yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan suatu peraturan
hukum. Apabila suatu peraturan perundang-undangan ingin terlaksana
dengan baik, harus pula ditunjang oleh fasilitas-fasilitas yang memadai
agar tidak menimbulkan gangguan-gangguan atau hambatan-hambatan
dalam pelaksanaannya.
110
b. Warga masyarakat sebagai obyek, dalam hal ini diperlukan adanya
kesadaran hukum masyarakat, kepatuhan hukum, dan perilaku warga
masyarakat seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan.
(Bambang Sunggono, 1994 : 158).
Berkaitan dengan hasil penelitian, pengamatan dan berdasarkan teori
diatas, bahwa upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan
yang timbul dalam implementasi kebijakan dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1) Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan
implementasi kebijakan tentang masih terbatasnya tenaga yang terampil di
bidangnya yaitu Pemerintah Kota Semarang berusaha semaksimal
mungkin untuk membina kerjasama yang baik dengan sesama pegawai
dalam mengimplementasikan kebijakan.
2) Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan
implementasi kebijakan tentang adanya kebijakan yang melarang
masyarakat agar tidak memberi uang kepada gelandangan dijalan yaitu
dengan meningkatkan komunikasi yang baik dengan masyarakat, supaya
masyarakat mengerti bahwa membei uang kepada gelandangan di jalan
tidak mendidik. Tujuannya agar kebijakan yang telah dikeluarkan itu
dapat diimplementasikan dengan baik oleh pelaksana kebijakan dan
mendapat dukungan dari masyarakat.
Sedangkan upaya panti khusus gelandangan untuk mengatasi
hambatan yang timbul dalam implementasi kebijakan, tentang terbatasnya
dana yang diterima dari Pemerintah Propinsi sehingga mengakibatkan belum
111
maksimalnya pemberian pelayanan dan rehabilitasi kepada gelandangan, serta
jangkauan pelayanan panti khusus gelandangan, maka panti khusus
gelandangan hanya berusaha agar dengan terbatasnya dana yang ada Panti
khusus gelandangan tersebut dapat memberikan pelayanan yang maksimal,
dan untuk masalah terbatasnya dana ini Pemerintah Kota Semarang tidak
dapat membantu karena panti khusus gelandangan itu milik Pemerintah
Propinsi.
112
BAB VPENUTUP
Mengakhiri penelitian ini dapat diajukan simpulan dan saran-saran yang
diharapkan dapat memberi masukan bagi masyarakat dan pemerintah sebagai
pelaksana kebijakan.
A. Simpulan
1. Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk meningkatkan kesejahteraan
gelandangan yaitu dengan dikeluarkannya SK. Walikota No. 462/133/2002,
dan implementasinya yaitu diwujudkan dalam :
a. Pembentukan Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang.
b. Kerjasama dengan panti khusus gelandangan.
c. Larangan memberi uang kepada gelandangan di jalan.
2. Implementasi kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk mengurangi
jumlah gelandangan di Kota Semarang mempunyai faktor pendukung dan
faktor penghambat implementasi kebijakan.
Faktor pendukung implementasi kebijakan :
a. Ukuran dan tujuan kebijakan yang jelas dan khusus.
b. Komunikasi yang baik antar pelaksana kebijakan.
c. Sumber-sumber yang cukup tersedia, yaitu adanya staf yang cukup
memadai.
d. Struktur birokrasi yang jelas.
113
Sedangkan yang menjadi faktor penghambat implementasi kebijakan yaitu :
a. Terbatasnya tenaga yang terampil di bidangnya.
b. Terbatasnya dana dari Pemerintah Propinsi kepada panti khusus
gelandangan.
c. Kurangnya komunikasi antara pelaksana kebijakan dan masyarakat.
d. Kurangnya dukungan masyarakat.
3. Adanya faktor penghambat implementasi kebijakan maka kebijakan
Pemerintah Kota Semarang dalam menanggulangi masalah sosial
gelandangan belum dapat diimplementasikan.
4. Upaya Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi hambatan implementasi
kebijakan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemerintah Kota Semarang berupaya mengatasi hambatan implementasi
kebijakan dengan cara meningkatkan kerjasama yang baik dengan sesama
pegawai dalam mengimplementasikan kebijakan.
b. Pemerintah Kota Semarang berupaya mengatasi hambatan implementasi
kebijakan yang melarang masyarakat agar tidak memberi uang kepada
gelandangan dijalan yaitu dengan meningkatkan komunikasi yang baik
dengan masyarakat. Dengan begitu masyarakat diharapkan dapat
mendukung kebijakan pemerintah tersebut.
114
Sedangkan upaya panti khusus gelandangan untuk mengatasi hambatan
implementasi kebijakan yaitu dengan berusaha memberikan pelayanan yang
maksimal walaupun dana yang diterima dari Pemerintah Propinsi terbatas.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas penulis menyarankan :
1. Pemerintah Kota Semarang diharapkan lebih tanggap dengan kondisi
gelandangan yang rentan dengan masalah kemiskinan, misalnya dengan
membuat Peraturan Daerah tentang gelandangan. Dan Pemerintah Propinsi
juga harus meningkatkan pemberian dana operasional kepada Panti khusus
gelandangan untuk memaksimalkan jangkauan pelayanan bagi gelandangan
yang di tampung di dalam panti agar setelah mereka keluar dari panti mereka
mampu merubah pola hidup dan cara mencari penhasilannya sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat, serta mampu menjalankan fungsi
sosialnya di masyarakat secara wajar.
2. Setiap kebijakan yang telah dikeluarkan harus disosialisasikan kepada
masyarakat sehingga masyarakat tahu tujuan kebijakan tersebut dikeluarkan
sehingga ada persamaan tujuan yang akan mendorong suksesnya
implementasi kebijakan.
115
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta. Dewi, Ambarsari. 2002. Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan. Jakarta:
Pattiro. Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial. 2005. Standar Pelayanan
Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Gelandangan dan Pengemis. Jakarta: Departeman Sosial RI.
Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: Hanindita. Dwijowijoto, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi. Jakarta: Gramedia. Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1978. Masalah-masalah Kemasyarakatan di Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan. Sastraatmadja, Entang. 1987. Dampak Sosial Pembangunan. Bandung: Angkasa. Sihombing, M Justin. 2005. Kekerasan Terhadap Masyarakat Marginal.
Yogyakarta: Narasi. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1989. Studi Hukum dan Kemiskinan. Semarang: Tugu
Muda. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Sumarnonugroho, T. 1991. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial. Yogyakarta:
Hanindita.
116
Sunggono, Bambang. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Grafika.
Suryaningrat, Bayu. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Sutopo., dan Sugiyanto. 2001. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara RI. Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara edisi 2. Jakarta: Bumi Aksara. Winarno, Budi. 2002. Kebijakan dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo. Peraturan Perundangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-IV. Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis Surat Keputusan Walikota Semarang No. 462 / 133 / 2002 tentang Pembentukkan Tim Penanggulangan Tuna Sosial Kota Semarang