SKRIPSI
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN
UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
Oleh:
KAREN PUSPASARI
F24102091
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Karen Puspasari. F24102091. Aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan untuk meningkatkan umur simpan mie basah matang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. 2007.
RINGKASAN
Mie basah telah menjadi makanan yang populer dalam diet masyarakat Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2987-1992, mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Akan tetapi, penggunaan bahan tambahan terlarang, seperti formalin dan boraks, pada produk mie basah matang ternyata marak terjadi di Indonesia beberapa waktu belakangan ini. Formalin umumnya digunakan untuk memperpanjang umur simpan mie mencapai beberapa minggu, sedangkan boraks ditambahkan untuk meningkatkan kekenyalan mie. Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/88. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu mie basah matang, khususnya dalam hal umur simpan, dengan aplikasi teknologi dan bahan tambahan pangan, serta untuk memperoleh korelasi antara umur simpan mie basah matang dengan teknologi proses yang diaplikasikan. Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan mie. Tahapan penelitian meliputi pengaruh garam alkali (Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%), penambahan hidrokoloid (CMC 0,2%, gum Arab 0,5%, dan karagenan 0,5%), aplikasi perlakuan fisik (pemasakan, penyimpanan suhu rendah, dan pengemasan), optimasi bahan pengawet yang diizinkan (natrium asetat, kalsium propionat, dan kalium sorbat), dan pemenuhan syarat CPPB. Setiap perlakuan yang memberikan umur simpan paling lama dan mutu mie terbaik akan diaplikasikan secara bersamaan pada tahapan terakhir untuk dianalisis mutu fisik, kimia, mikrobiologi, dan organoleptiknya.
Aplikasi garam alkali Na2CO3 dan STPP kedalam mie memberikan pengaruh terhadap tekstur, warna, dan umur simpan mie. Nilai kekerasan dan elastisitas yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak berbeda secara nyata. Warna mie yang diberi panambahan Na2CO3 dan STPP berada dalam kisaran warna kuning kemerahan dengan nilai kecerahan (L) mie dengan penambahan STPP (L 72,27) lebih tinggi daripada mie dengan penambahan Na2CO3 (L 68,87). Mie dengan panambahan Na2CO3 memiliki umur simpan 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan STPP selama 24 jam. Penggunaan Na2CO3 0,6% sebagai garam alkali memberikan hasil yang lebih baik daripada STPP 0,2% dalam hal tekstur, warna, dan umur simpan, sehingga Na2CO3 0,6% untuk selanjutnya akan digunakan sebagai garam alkali yang diaplikasikan dalam formula untuk mie kontrol pada tahapan selanjutnya.
Uji statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Tukey HSD menunjukkan nilai kekerasan mie dengan penambahan gum Arab 0,5% (3732,2 gf) tidak berbeda nyata dengan kontrol (3705,3 gf), namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC (3956,2 gf) dan karagenan 0,5% (3207,5 gf).
Warna ketiga sampel mie penambahan hidrokoloid berada dalam kisaran warna kuning kemerahan. Mie dengan penambahan karagenan memiliki nilai kecerahan tertinggi (L 72,89). Umur simpan mie dengan penambahan karagenan sama dengan mie kontrol, yaitu 44 jam, sedangkan mie dengan penambahan CMC dan gum Arab memiliki umur simpan 48 jam. Penambahan hidrokoloid tidak memperpanjang umur simpan mie karena konsentrasi hidrokoloid yang ditambahkan rendah sehingga tidak mampu menurunkan jumlah air bebas dalam bahan. Penambahan CMC kedalam formula mie memberikan kontribusi yang paling rendah terhadap biaya produksi dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid terbaik dari segi tekstur dan selanjutnya diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
Minyak yang digunakan untuk melumur mie adalah minyak kelapa. Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket, serta penggunaan minyak yang lebih efisien. Pengukusan mie yang dilakukan selama 10 dan 12 menit menghasilkan warna yang tidak berbeda nyata (p<0,05). Namun, warna mie yang dikukus lebih gelap dan berbeda nyata (p<0,05) dengan warna mie yang direbus selama 2 menit. Hal ini disebabkan oleh terjadinya reaksi Maillard pada mie yang dikukus karena mie kukus memiliki nilai aw 0,945-0,95, yang lebih rendah dari mie yang direbus (aw 0,97). Umur simpan mie yang dikukus lebih panjang, yaitu 68 jam, dibandingkan dengan mie yang direbus (44 jam). Pemasakan mie dengan cara direbus selama 2 menit memberikan tekstur yang lebih baik (3705,3 gf), dimana mie yang dikukus memiliki tekstur yang liat dan keras dengan nilai kekerasan 9065,0 gf (10 menit) dan 9302,8 gf (12 menit). Berdasarkan pertimbangan terhadap tekstur dan warna, mie yang direbus selama 2 menit dengan pelumuran minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan pemasakan dan pelumuran yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.
Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap umur simpan mie selama kemasan tertutup rapat, yaitu 44 jam. Pengemasan mie dengan kondisi tertutup mengurangi jumlah kontaminasi mikroba dari lingkungan. Pengemasan vakum terhadap mie menyebabkan penampakan mie menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC). Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah masih sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh produsen mie. Oleh karenanya, penyimpanan mie pada suhu ruang dengan kemasan LDPE dipilih sebagai perlakuan kondisi penyimpanan yang diaplikasikan pada tahapan kombinasi perlakuan terbaik.
Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% (formula I) dan Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% (formula VI) menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam. Kombinasi pengawet Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% (formula III) menghasilkan mie dengan umur simpan 52 jam. Kombinasi pengawet Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% (formula II) dan Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05% (formula V), yang melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50%, menghasilkan mie dengan umur simpan paling pendek, yaitu 48 jam. Mie dengan penambahan kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% (formula VII) memiliki umur simpan terpanjang, yaitu 60 jam. Formula VII sebagai pengawet terbaik setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25% menghasilkan mie dengan umur simpan 56 jam.
Mie kombinasi terbaik adalah mie yang dibuat dengan penambahan Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat 0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Perubahan warna mie kontrol dan mie kombinasi terbaik terlihat pada nilai kecerahannya, dimana nilai kecerahan akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan. Nilai kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 16, 32, dan 48. Nilai kekerasan mie kombinasi terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan 48 jam, sedangkan nilai kelengketan tertinggi pada jam ke-56.
Nilai aw mie kombinasi terbaik hampir sama dengan mie kontrol, sekitar 0,965 dan 0,970. Selama penyimpanan, terjadi penurunan nilai pH mie dimana nilai pH berbeda nyata (p<0,05) setelah penyimpanan selama 48 jam. Perubahan nilai pH mie kontrol tidak berbeda nyata (p<0,05) sampai akhir penyimpanan, sedangkan nilai pH mie berbeda nyata (p<0,05) pada jam ke-48 (pH 6,89). Nilai TAT tidak diukur karena pH mie yang disimpan masih berada di atas pH netral.
Total mikroba awal kedua sampel mie tergolong rendah, dimana TPC mie kontrol sebesar 2,96 log cfu/g dan mie kombinasi terbaik 0,57 log cfu/g. Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang sama, yaitu jam ke-32, walaupun secara subyektif mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan lebih panjang berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis. Total kapang dan khamir pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik pada waktu akhir penyimpanan masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah, yaitu kurang dari 104. Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi yang baik pada saat pengolahan mie.
Uji organoleptik dilakukan menggunakan uji hedonik dengan skala hedonik 1 sampai 5. sebagai kontrol positif, ikut diujikan mie yang dijual di pasaran. Berdasarkan penilaian panelis, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna (skor 4,21 dan 4,43), aroma (skor 3,62 dan 3,70), tekstur (skor 4,07 dan 3,63), rasa (skor 3,73 dan 3,63), dan keseluruhan (skor 3,94 dan 4,17). Sedangkan mie yang dijual di pasaran berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala laboratorium untuk atribut warna (skor 3,45), aroma (skor 1,90), tekstur (skor 2,53), rasa (skor 2,18), dan keseluruhan (skor 2,15). Hal ini menunjukkan bahwa kedua mie yang dibuat pada skala laboratorium secara keseluruhan lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah praktek higiene dan sanitasi yang baik pada saat pengolahan sangat berperan dalam mengurangi kontaminasi mikroba, sehingga mie yang dihasilkan memiliki umur simpan yang lebih panjang. Selain itu, penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup juga akan mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar selama distribusi dan penjualan.
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN
UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KAREN PUSPASARI
F24102091
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI TEKNOLOGI DAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN
UNTUK MENINGKATKAN UMUR SIMPAN MIE BASAH MATANG
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KAREN PUSPASARI
F24102091
Tanggal lulus: 27 November 2006
Menyetujui,
Bogor, Februari 2007
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen ITP
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 September
1984 dan merupakan anak pertama dari pasangan Felix
Wirya dan Vonny Kartawinata. Pendidikan formal penulis
dimulai di TK Kristen VIII BPK Penabur, SD Kristen VIII
BPK Penabur, SLTP Kristen V BPK Penabur, dan SMU
Kristen I BPK Penabur.
Penulis melanjutkan pendidikan tingginya di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur masuk SPMB pada tahun 2002. Selama kuliah
penulis aktif di beberapa organisasi kampus, seperti di kepanitiaan beberapa acara,
yaitu Lepas Landas Sarjana 2003, BAUR 2004, Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan
XII, dan National Student Paper Competition. Penulis pernah menjadi asisten
praktikum mata kuliah Kimia Dasar I dan Analisis Pangan. Penulis
berkesempatan mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang
Penelitian yang diselenggarakan oleh Dikti dan mewakili IPB pada PIMNAS XIX
2006 di Universitas Muhammadiyah Malang, serta meraih penghargaan setara
emas untuk kategori presentasi. Sejak tahun 2003 sampai akhir studinya, penulis
menerima beasiswa dari Yayasan Goodwill International.
Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, penulis melakukan penelitian selama 6 bulan
di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “Aplikasi
Teknologi dan Bahan Tambahan Pangan untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie
Basah Matang”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si. dan Dr. Ir.
Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Pengasih, hanya
karena berkat dan pimpinan-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si., selaku dosen pembimbing
pertama atas segenap waktu, bimbingan, dukungan, pengetahuan,
serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan kepada penulis
untuk belajar dan berkarya sejak awal masa bimbingan sampai
penulisan skripsi ini selesai.
2. Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc., selaku dosen pembimbing
kedua, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk membimbing dan
berdiskusi, serta memberikan masukan-masukan yang membangun
selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.
3. Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc., selaku dosen penguji, atas kesediaannya
meluangkan waktu untuk berdiskusi, membimbing, dan memberikan
masukan-masukan yang membangun, khususnya dalam hal penulisan
ilmiah.
4. Keluarga tercinta: Papi, Mami, Cheryl, Wilman, dan Wilson,
terimakasih atas kasih sayang, doa, canda tawa, pengertian, dan
perhatiannya selalu. Penulis merasa sangat diberkati memiliki
keluarga seperti kalian.
5. Yayasan Goodwill International: Mr. Paul O’Hannon, Bapak dan Ibu
Hara, Ibu Cri, Mba Rossa, dan segenap keluarga besar YGI, atas
dukungan dalam bentuk beasiswa, training kepemimpinan, dan
kebersamaan yang tidak terlupakan selama 3 tahun terakhir.
6. Para sahabat: Lilyana, Selvie (Cepi), Foni, Ci Sianne, dan Ps. Rita,
atas segala dukungan dalam doa, kata-kata membangun, cerita saat
suka dan duka, serta persahabatan yang tulus sampai sekarang ini.
7. Sahabat-sahabat dalam perjuangan: Fenni dan Steisi, terimakasih atas
persahabatan, doa, waktu-waktu yang dilalui bersama, canda tawa,
dukungan, serta kritik yang membangun sejak awal kuliah sampai
saat ini. I thank my God upon every remembrance of you.
8. Teman-teman penelitian: Inggrid, Pretty, Elvina, Meilina, dan
Dhenok, atas segala kebersamaan untuk berbagi cerita, suka-duka,
canda-tawa, kepanikan, serta doa selama penelitian dan penyusunan
skripsi ini berlangsung. Juga untuk Kiki, Shinta, Herold, Ribka,
Nanda, Nuy, Dora, Eva, Hana, Mba Nani, Risna, Woro, Manginar,
Ijal, Ulik, dan Manto, atas segala waktu dan dukungan selama
penelitian bersama di Laboratorium ITP.
9. Para Laboran dan Teknisi: Pak Koko, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh
Ida, Pak Yahya, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Sobirin, Mas Edi, dan
Mba Darsi, atas segala arahan, dukungan, pelayanan, kesabaran,
pengertian, dan cerita-cerita menghibur yang menjadikan masa-masa
penelitian sebagai pengalaman tidak terlupakan.
10. Teman-teman TPG 39: Tin2, Hanna, Fany Nene, Farah, Tissa, Ina,
Ratry, Mohung, Randy, Inal, Bobby, Prasna, Inda, Papang, Echo,
Adjeng, Didin, Dadik, Putra, dan Tono, atas kebersamaan semasa
kuliah dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman Gilgal Youth Ministry (GYM): Lora, Dessy, Deliana,
Melissa, Herman, Yusuf, Dian K., Iko, Ps. Erick, Ps. Ora & Rachel,
Ps. Owen & Evelyn, atas perhatian, teladan, dan dukungan yang
diberikan kepada penulis.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak keterbatasaan dalam pelaksanaan
penelitian dan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor, November 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Hal.
RIWAYAT PENULIS ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN PENELITIAN......................................................................... 2
C. MANFAAT PENELITIAN..................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIE ......................................................................................................... 4
1. Definisi Mie ...................................................................................... 4
2. Jenis Mie ........................................................................................... 5
3. Proses Pengolahan Mie Basah .......................................................... 5
B. KERUSAKAN MIE................................................................................ 8
C. GARAM ALKALI .................................................................................. 9
D. HIDROKOLOID..................................................................................... 10
1. Gum Arab.......................................................................................... 11
2. Karagenan ......................................................................................... 12
3. CMC.................................................................................................. 15
E. BAHAN PENGAWET............................................................................ 17
1. Propionat dan Garamnya................................................................... 18
2. Sorbat dan Garamnya........................................................................ 19
3. Natrium Asetat .................................................................................. 20
F. KONDISI PENYIMPANAN .................................................................. 21
1. Penyimpanan Suhu Rendah .............................................................. 21
2. Pengemasan....................................................................................... 22
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 25
1. Bahan ................................................................................................ 25
2. Alat.................................................................................................... 25
B. TAHAPAN PENELITIAN ..................................................................... 25
1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Mutu Mie ......................... 26
2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Mutu Mie ................ 27
3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Mutu Mie .................................................................................................... 28
4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Mutu Mie ...................... 29
5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Mutu Mie ......... 30
6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah Terhadap Mutu Mie ............................................................. 32
7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie ...................... 32
C. PENGAMATAN..................................................................................... 33
1. Mutu Fisik ......................................................................................... 33
a. Uji kekerasan, kelengketan, dan elastisitas ................................. 33
b. Pengukuran warna....................................................................... 34
2. Mutu Kimia ....................................................................................... 35
a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 35
b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 35
c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989) .............. 35
3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)................................................. 35
4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985) ................................................ 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE .... 38
B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 40
C. PENGARUH PEMASAKAN DAN PELUMURAN MINYAK TERHADAP MUTU MIE .................................................................... 43
D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE ......................................................................................................... 47
E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 51
F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE........................ 54
G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE ......................................................................................................... 56
H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP MUTU MIE............................................................................................. 56
1. Mutu Fisik .......................................................................................... 56
a. Warna .......................................................................................... 56
b. Tekstur ........................................................................................ 58
2. Mutu Kimia ....................................................................................... 59
a. Aktivitas air (Aw) ....................................................................... 59
b. Derajat keasaman (pH)................................................................ 60
c. Total asam tertitrasi (TAT) ......................................................... 61
3. Mutu Mikrobiologis .......................................................................... 61
a. Total mikroba.............................................................................. 61
b. Total kapang dan khamir............................................................. 64
c. Total koliform ............................................................................. 65
4. Mutu Organoleptik ............................................................................ 66
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN....................................................................................... 71
B. SARAN ................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74
LAMPIRAN.......................................................................................................... 79
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1. Syarat mutu mie basah ....................................................................... 4
Tabel 2. Formula mie standar........................................................................... 26
Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali ................................... 27
Tabel 4. Konsentrasi humektan yang digunakan dalam formula..................... 27
Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran................................. 28
Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan............... 29
Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan ....................... 30
Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi ............................. 31
Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik ............................ 32
Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie ................... 39
Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie ..................... 41
Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi.......... 42
Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan ........................................................................................ 44
Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie ................................... 46
Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie ............. 49
Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya............. 55
Tabel 17. Perlakuan-perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie.............. 56
Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan ...................................... 57
Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan ..................................... 58
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum........................... 6
Gambar 2. Struktur molekul karagenan ............................................................ 13
Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan ........................................ 14
Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC.............................................................. 16
Gambar 5. Struktur molekul asam propionat .................................................... 19
Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat ........................................................ 20
Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP....................... 40
Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal dengan pengemasan vakum......................................... 48
Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 53
Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet............................................................................ 54
Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)......................................... 55
Gambar 12. Aktivitas air mie.............................................................................. 59
Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie ................ 60
Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie ................... 62
Gambar 15. Pertambahan total kapang dan khamir selama penyimpanan mie .. 65
Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie .............................................................. 69
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum ..................................... 80
Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC .................................................... 81
Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab ............................................. 82
Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan............................................. 83
Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat................................... 84
Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat ......................................... 85
Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali .......... 86
Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali ........ 86
Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali ........... 87
Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali ......... 88
Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid ........... 88
Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89
Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 89
Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid............. 90
Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91
Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid .................................................................................. 91
Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ............ 91
Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92
Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 92
Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan ............. 93
Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93
Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan ................................................................................... 93
Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan .............. 94
Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan........... 94
Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 94
Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 94
Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95
Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 95
Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............. 95
Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan ......... 96
Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan ............................................................................... 96
Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 96
Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97
Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan ............................................................................... 97
Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie ............................................ 97
Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie ................................... 98
Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol .................................................. 98
Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol ................................... 98
Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik................................. 98
Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik ............. 99
Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol...................................... 99
Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik..................... 99
Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik ......................................................... 100
Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik ..................................... 101
Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna . 102
Lampiran 46. Skor uji hedonik Mie kontrol skala laboratorium atribut aroma. 103
Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur 104
Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa..... 105
Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara106 keseluruhan ................................................................................. 107
Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna ............ 108
Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma ............ 109
Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur ........... 110
Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa................ 111
Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan.............. 112
Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie................................ 112
Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terahadap atribut warna mie (p<0,05) ........... 112
Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie ............................... 112
Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05) ............. 112
Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie............................... 112
Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) ............ 113
Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie ................................... 113
Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05) ................ 113
Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie.................................. 113
Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05) ............... 113
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996, keamanan pangan
adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Anonim,
1996). Namun ironisnya, masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir ini
telah diguncang oleh masalah penggunaan formalin dalam beberapa jenis
bahan pangan, antara lain mie basah, bakso, tahu, ikan asin, dan ayam potong.
Selain penggunaan formalin, tidak sedikit produsen mie yang juga
menambahkan boraks, yang merupakan bahan campuran untuk kuningan dan
bahan las, kedalam produknya untuk memperbaiki tekstur menjadi jauh lebih
kenyal. Masalah keamanan pangan ini tidak dapat dihindari lagi walaupun
sudah ada peraturan yang melarang penggunaan kedua bahan tersebut.
Larangan penggunaan formalin dan boraks untuk bahan pangan telah diatur
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No.
722/MenKes/Per/IX/88.
Mie basah merupakan makanan yang populer dalam diet masyarakat
Indonesia. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah produk
pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan pangan
lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie (Badan
Standarisasi Nasional, 1992). Produsen mie basah telah menjamur di seluruh
kawasan Indonesia, terutama dalam bentuk industri kecil dan industri rumah
tangga. Hal tersebut tidaklah mengherankan jika kita mengingat mudahnya
cara pengolahan mie basah yang hanya melibatkan teknologi sederhana.
Untuk industri kecil yang hanya memiliki modal kecil dan dikelola secara
tradisional, teknologi pembuatan mie basah tidaklah menjadi masalah, namun
mutu mie basah yang dihasilkan akan bervariasi tergantung kondisi
sanitasinya.
Berdasarkan penelitian Pahrudin (2006), mie basah matang tanpa
penambahan pengawet memiliki umur simpan yang pendek, yaitu 26 jam pada
suhu ruang, berdasarkan terdeteksinya bau asam dan lendir. Kerusakan yang
terjadi disebabkan oleh kontaminasi mikroba selama proses produksi dan
kerusakan selama pengangkutan atau distribusi. Penggunaan bahan tambahan
ilegal, seperti formalin, untuk meningkatkan umur simpan pada mie basah
masih banyak dilakukan oleh para produsen.
Survei terhadap 12 industri mie basah mentah dan 5 industri mie
basah matang yang tersebar di daerah Jakarta (5 industri), Bogor (3 industri),
Tangerang (3 industri), dan Bekasi (6 industri) yang dilakukan oleh Indrawan
(2005) menunjukkan bahwa seluruh industri tersebut menggunakan bahan
tambahan ilegal, yaitu formalin ataupun boraks. Perinciannya adalah 13
industri (76,47%) menggunakan formalin dan 16 industri (94,12%)
menggunakan boraks. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 industri (70,59%)
menggunakan formalin sekaligus boraks, 4 industri (23,53%) menggunakan
boraks saja, dan hanya 1 industri (5,88%) yang menggunakan formalin saja.
Kandungan formalin rata-rata dalam mie basah di pasar tradisional Jabotabek
adalah 106,00 mg/kg (mie basah mentah) dan 2914,36 mg/kg (mie basah
matang). Mie yang dijual oleh pedagang produk olahan mie daerah Jabotabek
rata-rata mengandung formalin 72,93 mg/kg (mie basah mentah) dan 3423,51
mg/kg (mie basah matang). Sementara itu, mie yang dijual di supermarket
Jabotabek mengandung formalin 113,45 mg/kg (mie basah mentah) dan
2914,82 mg/kg (mie basah matang) (Gracecia, 2005; Priyatna, 2005).
Mengingat banyaknya penyalahgunaan yang terjadi, maka diperlukan
usaha-usaha untuk memproduksi mie basah yang aman dikonsumsi oleh
masyarakat. Usaha yang dapat dilakukan adalah mencari alternatif bahan
pengawet selain formalin yang aman digunakan dan mengaplikasikan praktek
pengolahan yang sesuai dengan prinsip Cara Pengolahan Pangan yang Baik
(CPPB).
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memperlajari pengaruh penggunaan
garam alkali yang berbeda, penambahan hidrokoloid, aplikasi perlakuan fisik,
dan optimasi bahan pengawet yang diizinkan terhadap mutu mie basah
matang, khususnya dalam hal umur simpan.
C. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaaat
bagi pengusaha mie basah matang, khususnya pada tingkat Usaha Kecil
Menengah (UKM), untuk menghasilkan mie basah matang dengan umur
simpan yang lebih panjang dengan biaya produksi yang terjangkau.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. MIE BASAH
1. Definisi Mie
Mie merupakan produk pasta yang pertama kali ditemukan oleh
bangsa China yang berbahan baku beras dan tepung kacang-kacangan
(Pagani, 1985). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), mie adalah
produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan
bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk
khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Kualitas mie basah
menurut SNI 01-2987-1992 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu mie basah* No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1.
Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna
-
Normal Normal Normal
2. Kadar air % b/b 20 – 35 3. Kadar abu (dihitung atas
dasar bahan kering) % b/b Maks. 3
4. Kadar protein ((N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering)
% b/b Min. 3
5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin
–
Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes. No. 722/Men.Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada
6. Cemaran logam : 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10.0 Maks. 40.0 Maks. 0.05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0.05 8. Cemaran mikroba :
8.1 Angka lempeng total 8.2 E. coli 8.3 Kapang
Koloni/g APM/g Koloni/g
Maks. 1.0 x 106
Maks. 10 Maks. 1.0 x 104
*Badan Standarisasi Nasional (1992)
2. Jenis Mie
Mie diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, diantaranya
ukuran diameter produk, bahan baku, cara pengolahan, dan karakterisitik
produk akhirnya. Berdasarkan ukuran diameter produk, Pagani (1985)
membedakan mie menjadi tiga, yaitu spaghetti (0,11 – 0,27 inci), mie
(0,07 – 0,125 inci), dan vermiselli (<0,04 inci). Berdasarkan bahan
bakunya, terdapat dua macam mie, yaitu mie yang bahan bakunya berasal
dari tepung terutama tepung terigu dan mie transparan (transparance
noodle) dari bahan baku pati, misalnya soun dan bihun.
Berdasarkan pengolahannya, mie dibedakan menjadi mie mentah
(misalnya mie ayam) dan mie matang (misalnya mie bakso). Sedangkan
berdasarkan karakterisitik produk akhirnya, terdapat dua jenis mie, yaitu
mie basah (mie ayam dan mie kuning) dan mie kering (mie telor dan mie
instan). Produk mie kering dan mie basah memiliki komposisi yang
hampir sama. Yang membedakan keduanya ialah kadar air, kadar protein,
dan tahapan proses pembuatan. Mie basah memiliki kadar air maksimal
35% (b/b) dan sumber prtoteinnya berasal dari tepung terigu yang menjadi
bahan baku utamanya. Jenis mie basah dengan bahan baku tepung aren
biasa disebut masyarakat dengan mie “gleser” (Badrudin, 1994).
3. Proses Pengolahan Mie Basah Bahan dasar untuk pembuatan mie basah yang umum digunakan
adalah tepung terigu dan air dengan bahan tambahan antara lain garam
dapur, air abu, dan minyak goreng. Terigu berfungsi sebagai bahan
pembentuk struktur, sumber karbohidrat dan sumber protein, pelarut
garam, dan pembentuk sifat kenyal gluten. Garam berperan dalam
memberi rasa, memperkuat tekstur, mengikat air, serta meningkatkan
elastisitas dan fleksibilitas mie. Penggunaan garam dapur sebanyak 1-2%
akan mengembangkan lembaran adonan dan mengurangi kelengketan.
Garam dapur yang digunakan sebanyak 2-3% akan memperbaiki
keseragaman dari jaringan gluten dan jumlah ini merupakan kontrol
terhadap enzim α-amilase jika aktivitasnya sedang minimum (Sunaryo,
1985).
Proses pembuatan mie basah matang terdiri dari proses
pencampuran, pembentukan lembaran, pembentukan mie, serta pemasakan
(Gambar 1).
Gambar 1. Diagram alir pembuatan mie basah secara umum (modifikasi dari Widowati dan Buckle (1991)).
Tahap pencampuran bertujuan untuk menghasilkan campuran yang
homogen, menghidrasi tepung dengan air, dan membentuk adonan dari
jaringan gluten, sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam proses pencampuran adalah jumlah air yang
ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan
sekitar 28-38% dari bobot tepung. Jika air yang ditambahkan kurang dari
Terigu
Mie basah matang
Pengadukan
Pemotongan
Perebusan 100 oC, 2 menit
Pemberian minyak goreng pada air rebusan
Pembentukan lembaran
Pencampuran bahan
28%, adonan menjadi keras, rapuh dan sulit dibentuk menjadi lembaran.
Jika air yang ditambahkan lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan
lengket (Oh et al., 1985 di dalam Yustiareni, 2000). Badrudin (1994)
menyatakan bahwa waktu pengadukan terbaik adalah 15 sampai 25 menit.
Apabila kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket,
sedangkan bila lebih dari 25 menit adonan menjadi keras, rapuh, dan
kering. Suhu adonan yang terbaik adalah 25 sampai 40oC. Apabila
suhunya kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar,
sedangkan bila suhunya lebih dari 40oC adonan menjadi lengket dan mie
kurang elastis. Campuran yang diharapkan adalah lunak, lembut, tidak
lengket, halus, elastis, dan mengembang dengan normal.
Setelah pengadukan, dilakukan pembentukan lembaran (sheeting).
Proses pembentukan lembaran bertujuan untuk menghaluskan serat-serat
gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Hal ini dilakukan dengan
jalan melewatkan adonan berulang-ulang di antara dua roll logam. Faktor
yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antara roll. Suhu
yang baik adalah sekitar 37oC, jika kurang 37oC maka adonan akan
menjadi kasar dan pecah-pecah, sehingga mie mudah patah. Hasil akhir
yang diharapkan adalah lembaran adonan yang halus dengan arah jalur
serat yang searah, sehingga dihasilkan mie yang elastis, kenyal, dan halus
(Badrudin, 1994).
Setelah dibentuk lembaran, dilanjutkan dengan proses pemotongan.
Proses pemotongan lembaran bertujuan untuk membentuk pita-pita mie
dengan ukuran lebar 1 sampai 3 mm, kemudian dilakukan pemasakan mie.
Pemasakan pita-pita mie dengan cara perebusan atau pengukusan
(steaming) dengan uap air bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan
mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi kenyal. Proses gelatinisasi ini
terjadi dalam beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi, dan
solidifikasi. Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaannya
sehingga mie bersifat elastis dan tidak mudah patah. Setelah itu, mie
tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie sehingga mie
menjadi lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan peristiwa pembengkakan
granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi
semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan
membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat
memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan
mempengaruhi daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).
Penguapan air permukaan terjadi pada tahap solidifikasi sehingga
mie menjadi halus, kering, dan solid (kompak). Pati akan meliputi
permukaan mie pada saat mie tergelatinisasi. Fungsinya adalah sebagai
pelindung pada saat penggorengan sehingga mie tidak menyerap minyak
terlalu banyak dan tekstur mie menjadi lembut, lunak, dan elastis. Selain
itu, pemborosan minyak pun dapat dikurangi. Tingkat kematangan mie
dapat dilihat dari pati yang tergelatinisai. Bila proses gelatinisasi tidak
sempurna, maka mie matang akan bersifat rapuh. Selain itu, bila produk
dimasak dalam air, maka air akan menjadi keruh karena larutnya pati yang
belum tergelatinisasi. Mie seperti ini saat digoreng akan membentuk
gelembung udara dan tekstur mie yang terbentuk kurang baik.
Tahap terakhir adalah pemberian minyak goreng. Pelumasan mie
yang telah direbus dengan minyak goreng dilakukan agar mie tidak
menjadi lengket satu sama lain, untuk memberikan citarasa, serta agar mie
tampak mengkilap (Mugiarti, 2001).
B. KERUSAKAN MIE
Mie matang merupakan mie basah mentah yang telah direbus terlebih
dahulu dan memiliki kadar air sekitar 52%. Mie basah matang memiliki aw
sebesar 0,97 dan pH sebesar 9,20 (Pahrudin, 2006). Berdasarkan Fardiaz
(1992), makanan dengan kadar air dan pH relatif tinggi (pH > 5,3)
dikelompokkan sebagai makanan yang mudah rusak. Kadar air dan aw yang
tinggi menyebabkan mie basah riskan mengalami kerusakan jika simpan pada
suhu ruang seperti yang umum dilakukan oleh penjual mie di pasaran.
Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada
produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang.
Menurut Fardiaz (1992), jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat
menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia
dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme
pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam pada mie basah yang
telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat
memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi
dengan memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada
kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai
dengan pembentukkan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya
berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora
berwarna hitam (Jay, 2000).
Kerusakan pada mie basah matang yang direbus terlebih dahulu terjadi
setelah penyimpanan suhu kamar selama 26 jam dengan indikator adanya
lendir dan bau asam (Pahrudin, 2006). Mie yang bermutu baik pada umumnya
berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna tidak terjadi, karena
perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase (Hoseney, 1998). Hasil
survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005) menunjukkan bahwa
ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur menjadi lengket,
berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang cepat
mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk
memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.
C. GARAM ALKALI
Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting dalam pembuatan
mie. Mie tidak akan jadi jika tidak menggunakan garam alkali. Masyarakat
kita sebenarnya kurang familiar dengan istilah garam alkali. Umumnya, garam
alkali lebih mereka kenal dengan istilah obat mie atau “kansui”.
Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium
karbonat (Na2CO3), kalium karbonat (K2CO3) dan kalium polifosfat
(KH2PO4). Garam alkali ini dapat ditambahkan masing-masing atau
kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing bahan alkali tersebut
berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan
tekstur mie. Konsentrasi Na2CO3 yang ditambahkan dalam formula mie basah
pada penelitian sebelumnya oleh Pahrudin (2006) adalah sebanyak 0,6%
sesuai dengan formula Bogasari. Formula mie dengan penambahan Na2CO3
0,6% dijadikan sebagai formula standar dalam penelitian ini. Kalium karbonat
berfungsi untuk meningkatkan sifat kekenyalan mie dan KH2PO4 untuk
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas mie.
Sodium tripolifosfat atau STPP digunakan sebagai bahan pengikat air
agar air dalam adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan
tidak cepat mengering dan mengeras. Sodium tripolifosfat dapat digunakan
untuk menggantikan penggunaan boraks pada mie basah yang sekarang
kasusnya sedang marak di pasaran. Kelebihan STPP dibandingkan boraks
adalah STPP aman untuk digunakan dalam makanan dan penggunaannya
diatur dalam Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988. Penambahan STPP
dengan konsentrasi 0,1% sampai 0,2% dalam formula mie sudah cukup bagus
untuk memberikan kekenyalan.
D. HIDROKOLOID
Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu
menurunkan aw bahan pangan. Humektan juga bersifat antimikroba,
memperbaiki tekstur, citarasa, dan dapat meningkatkan kalori (Labuza, 1975).
Lebih lanjut Labuza (1975) menjelaskan bahwa ada tiga jenis humektan.
Pertama, humektan yang memiliki kemampuan menurunkan aw; kedua,
humektan yang dapat mempertahankan kadar air; dan ketiga, humektan dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Salah satu contoh humektan adalah
hidrokoloid.
Hidrokoloid atau koloid hirofilik adalah polimer berantai panjang yang
larut dalam air dan mampu membentuk koloid dan gel. Polimer ini berukuran
antara 10 Å sampai 1000 Å. Hidrokoloid juga sering dikenal dengan istilah
gum. Ada berbagai macam hidrokoloid yang sekarang banyak digunakan di
industri pangan antara lain gum Arab, xanthan gum, agar-agar, pektin, CMC,
dan karagenan (Fardiaz, 1989). Hidrokoloid dalam bahan pangan lebih
difokuskan untuk membentuk tekstur daripada sebagai pengikat air bebas
dalam bahan.
Berdasarkan klasifikasinya, hidrokoloid dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
hidrokoloid alami, hidrokoloid modifikasi, dan hidrokoloid sintetis. Gum Arab
termasuk hidrokoloid alami hasil eksudat sedangkan karagenan adalah
hidrokoloid alami hasil ekstraksi rumput laut. Hidrokoloid alami hasil
ekstraksi tanaman adalah pektin. Xanthan gum merupakan hidrokoloid alami
hasil fermentasi bakteri. Contoh hidrokoloid hasil modifikasi adalah CMC
(Fardiaz, 1989).
Hidrokoloid sangat berperan dalam industri pangan karena hidrokolid
memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan. Hidrokoloid dapat
digunakan sebagai perekat, pengikat air, penghambat kristalisasi es, pengeruh,
pengemulsi, pembentuk gel, penghambat sineresis, dan pengental dalam
produk pangan (Fardiaz, 1989). Berdasarkan fungsinya yang dapat mengikat
air, hidrokoloid memiliki kemampuan untuk menurunkan kandungan air bebas
dalam bahan pangan (Garbutt, 1997). Kandungan air bebas dalam bahan
pangan disebut sebagai aktivitas air (aw). Nilai aw bahan pangan merupakan
salah faktor penting untuk kelangsungan hidup mikroba.
Jika suatu hidrokoloid membentuk gel untuk menghasilkan suatu
tekstur yang diinginkan dalam bahan pangan, secara langsung hal ini dapat
menurunkan nilai aw pangan tersebut, walaupun penurunnya tidak akan terlalu
signifikan karena hidrokoloid biasanya digunakan dalam kadar yang sangat
rendah, yaitu sekitar 1% dari berat bahan pangan. Jika hidrokoloid ini
membentuk gel, maka sebagian air bebas dalam bahan pangan akan terikat
sehingga nilai aw akan turun dan jumlah air bebas yang dapat dipakai oleh
mikroba untuk hidup akan berkurang juga. Belum ada penelitian yang
menunjukkan secara pasti besar penurunan nilai aw oleh gum Arab, karagenan,
dan CMC, yang akan digunakan sebagai hidrokoloid dalam penelitian ini.
1. Gum Arab
Gum Arab merupakan eksudat dari tanaman spesies Acacia
terutama Acacia senegal. Gum ini diperoleh dari bagian kulit kayu yang
terluka. Gum Arab merupakan kompleks heteropolisakarida yang tersusun
atas unit-unit L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan asam D-
glukoronat, serta sejumlah kecil protein (2%). Proporsinya bervariasi
tergantung pada spesies Acacia. Gum Arab memiliki rantai utama yang
tersusun dari β-D-galaktopiranosil yang berikatan dengan ikatan 1→3
(Belitz dan Grosch, 1987). Gum Arab secara alami merupakan campuran
kalsium, magnesium, dan garam-garam kalium dari asam arab (Glicksman,
1983).
Gum Arab sangat larut dalam air. Kelarutan gum Arab dalam air
sangat tinggi bila dibandingkan dengan hidrokoloid lainnya. Gum Arab
dapat larut sampai konsentrasi sekitar 55%, sedangkan gum lainnya tidak
dapat larut dalam air pada konsentrasi lebih besar dari 5%. Konsentrasi
gum yang tinggi memberikan stabilisasi yang baik (Fardiaz, 1989).
Kekentalan larutan akan meningkat pada penambahan gum Arab
dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sifat ini sangat berbeda dengan
jenis polisakarida lainnya, dimana penambahan konsentrasi yang rendah
akan menghasilkan larutan yang kental. Kekentalan maksimum yaitu pada
konsentrasi 40-50% pada pH 4,5-5,5. Pada pH kurang dari 4,5 dan lebih
besar dari 5,5 menyebabkan kekentalannya rendah (Fardiaz, 1989).
Menurut Whistler dan Miller (1973), viskositas rata-rata gum Arab pada
konsentrasi sebesar 1% adalah 2,015.
Kegunaan gum Arab dalam industri pangan antara lain sebagai
emulsifier dan stabilizer dalam produk-produk hasil pemanggangan. Selain
itu, gum Arab ini juga dapat menghambat proses kristalisasi gula dan
pemisahan lemak pada produk-produk confectionery dan es krim. Gum
Arab juga digunakan sebagai pengikat flavor pada produksi konsentrat
aroma dalam bentuk kapsul ataupun bubuk. Sebagai contoh, minyak
esensial diemulsifikasi dengan larutan gum Arab lalu dikeringkan dengan
spray dryer. Polisakarida (gum Arab) akan membentuk film yang
mengelilingi tetes minyak, yang akan melindungi minyak dari oksidasi
(Belitz dan Grosch, 1987).
2. Karagenan
Karagenan merupakan hidrokoloid dari rumput laut yang paling
penting dalam produk pangan. Karagenan terdiri dari ester-ester kalium,
natrium, magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa
dan 3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat
dalam polimer melalui ikatan gliko α-1,3 dan β-1,4. Kandungan ester
sulfat karagenan berkisar antara 18-40%. Chapman dan Chapman (1980)
menyatakan bahwa karagenan merupakan suatu polimer polisakarida yang
tersusun dengan ikatan α-1,3 dan β-1,4 D-Galaktopiranosa.
Polimer karagenan terdiri dari galaktosa dan dibedakan atas tiga
fraksi utama yaitu λ- (lambda), ι- (iota), dan κ- (kappa) karagenan
(Gambar 2). Ketiga fraksi tersebut dibedakan berdasarkan gugus ester
sulfat dan kandungan 3,6-anhidrogalaktosanya. Fraksi kappa-karagenan
dan iota-karagenan dapat membentuk gel, sedangkan fraksi lamda-
karagenan tidak dapat membentuk gel. Kandungan ester sulfat dalam
kappa-karagenan sebesar 25-30%, dalam iota-karagenan sebesar 28-35%,
dan dalam lamda-karagenan sebesar 32-39%.
(a) (b) (c)
Gambar 2. Struktur molekul karagenan: (a) kappa-; (b) iota-; dan (c) lamda-karagenan (Nussinovitch, 1997)
Fraksi kappa karagenan terdiri dari ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat
dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa. Kappa karagenan
terbentuk sebagai hasil aksi enzim dekinkase yang mengkatalisis μ- (mu)
karagenan menjadi kappa karagenan dengan cara menghilangkan sulfat
pada C6 dari residu ikatan α-1,4 D-galaktosa-6-sulfat yang bersamaan
dengan penutupan cincin membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Gliksman,
1983).
Berbeda dengan kappa karagenan, iota karagenan terbentuk dari ν-
(nu) karagenan, yang terdiri dari ikatan ikatan 1,3 D-galaktosa-4-sulfat dan
ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Sama seperti kappa
karagenan, dengan menghilangkan sulfat pada C6 dari ν-karagenan maka
terbentuklah 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota
karagenan (Gliksman, 1983).
Whistler dan Miller (1973) mengemukakan bahwa kelarutan
karagenan dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis
karagenan, pengaruh ada tidaknya ion, suhu, pH, dan komponen organik
larutan. Selain itu, kelarutan karagenan juga dipengaruhi oleh adanya
gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa dan sulfat ester. Karagenan umumnya larut
dalam air panas (>70oC). Dalam air dingin, hanya lamda karagenan dan
garam natrium dari kappa dan iota karagenan yang larut (Glicksman,
1983).
Viskositas terjadi pada saat dispersi karagenan dengan air.
Viskositas ini tergantung pada konsentrasi larutan, suhu, jenis karagenan,
dan molekul terlarut lainnya. Jika konsentrasi larutan karagenan
meningkat, maka viskositas juga meningkat secara logaritmik. Viskositas
larutan karagenan menurun dengan naiknya suhu dan perubahan ini
bersifat reversible.
Kappa dan iota karagenan mempunyai kemampuan untuk
membentuk gel pada saat larutan panas dibiarkan menjadi dingin, karena
mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini juga bersifat
reversible, artinya gel akan mencair jika dipanaskan dan bila didinginkan
akan membentuk gel kembali (Glicksman, 1983). Pada suhu di atas titik
cair gel, polimer karagenan dalam larutan berbentuk ramdom coils.
Polimer akan membentuk double helix pada proses pendinginan (gel I),
pendinginan selanjutnya membentuk struktur tiga dimensi (gel II).
Mekanisme pembentukan gel ini dapat dilihat pada Gambar 3 (Rees,
1969).
Gambar 3. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Rees, 1969)
Produk karagenan paling stabil pada pH netral dan alkali.
Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari iakatan gliko yang
mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel,
yang dipercepat oleh adanya panas (Moirano, 1977). Namun pada
kenyataannya, suatu gel terbentuk pada pH di bawah 7 dan hidrolisis
terjadi tidak lama kemudian, sehingga gel dapat tetap stabil (Glicksman,
1983).
Di Amerika Serikat, karagenan memiliki status GRAS dan diakui
sebagai BTP (21 CFR 172.620) oleh FDA. Di Eropa, karagenan juga telah
diakui sebagai BTP dengan E number E407. Kurang lebih 80% produksi
karagenan digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik
(Whistler dan Miller, 1973). Karagenan dapat diaplikasikan pada berbagai
produk sebagai pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk
tekstur emulsi, terutama pada produk-produk jeli, jamu, saus, permen,
sirup, puding, dodol, salad dressing, gel ikan, nugget, produk susu, bahkan
juga untuk industri kosmetik, tekstil, cat, obat-obatan, dan pakan ternak
(Suptijah, 2002). Karagenan dapat menghambat pembentukan kristal es
pada produk makanan yang dibekukan. Pada umumnya, penggunaan
karagenan dikombinasikan dengan CMC (Sodium Carboxy Methyl
Cellulose), locust bean gum, guaran, atau beberapa jenis bahan penstabil
lainnya (Arbuckle, 1986).
3. CMC
CMC (Sodium Carboxy Methyl Cellulose) merupakan hidrokoloid
sintetis yang telah dimodifikasi membentuk komponen eter selulosa. CMC
merupakan turunan dari selulosa yang memiliki bentuk linear. Monomer
penyusunnya merupakan glukosa dengan substituen berupa karboksimetil
eter (Fennema, 1985). CMC ini diperoleh dengan cara menambahkan asam
kloroasetat pada selulosa. Struktur molekul CMC dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Struktur molekul Na-CMC (Nussinovitch, 1997)
Kelarutannya dalam air cukup tinggi. Karakteristik produknya
tergantung pada derajat substitusi dan polimerisasi. Jenis yang memiliki
derajat substitusi rendah tidak larut dalam air tetapi larut dalam basa,
sedangkan jenis yang memiliki derajat substitusi tinggi larut di dalam air.
Viskositas CMC dipengaruhi oleh suhu dan pH. Pada pH kurang dari 5,0,
viskositasnya akan menurun, sedangkan CMC sangat stabil pada pH antara
5-11. CMC memiliki viskositas maksimum dan stabilitas yang paling baik
pada pH 7-9 (Whistler dan Miller, 1973). CMC dapat larut dalam air panas
dan air dingin (Glicksman, 1983).
CMC merupakan turunan selulosa yang paling banyak digunakan
sebagai hidrokoloid pangan. Fungsi dasarnya adalah untuk mengikat air
atau memberikan kekentalan sehingga dapat memantapkan komponen
lainnya atau mencegah sineresis. CMC biasanya dikombinasikan dengan
gelatin, pektin, atau gum biji lokus. Kapasitas pengikatan airnya tinggi
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan-makanan
dietetik.
CMC biasa digunakan dalam campuran adonan mie basah yang
banyak dijual di pasaran. CMC berfungsi sebagai penstabil pada mie
basah. CMC dapat juga digunakan sebagai bahan pengganti gluten (gluten
substitute). Hal ini didasarkan pada peranan senyawa tersebut yang
terbukti baik untuk mengembangkan adonan dalam formulasi roti dari
tepung beras (Nishita, et. al, 1976).
Penting untuk diperhatikan bahwa jika CMC yang ditambahkan
terlalu banyak maka akan menyebabkan adonan mie tidak mengembang
penuh, tekstur mie menjadi keras, dan daya rehidrasi berkurang.
Keuntungan penggunaan CMC adalah pada pH tinggi kekentalannya akan
meningkat (Fardiaz, 1989). Jika kekentalan meningkat berarti jumlah air
bebas dalam bahan akan menurun sehingga akan menghambat
pertumbuhan mikroba perusak.
E. BAHAN PENGAWET
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah senyawa atau campuran
berbagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan dan terlibat
dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan
merupakan bahan utama (Anonim, 1996). Menurut Codex Alimentarus di
dalam Branen dan Haggerty (2002), BTP didefinisikan sebagai bahan yang
tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
komposisi (ingredient) khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai
gizi, ditambahkan kedalam pangan dengan sengaja untuk membantu teknik
pengolahan pangan (termasuk organoleptik) baik dalam proses pembuatan,
pengolahan, persiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, pengangkutan,
dan penyimpanan produk pangan olahan, agar menghasilkan atau diharapkan
menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu pangan yang lebih baik
atau secara nyata mempengaruhi sifat khas pangan tersebut.
Di Indonesia, penggunaan BTP telah diatur sejak tahun 1988 dalam
Permenkes No. 722/MenKes/Per/IX/1988 yang dikuatkan dengan Permenkes
No.1168/MenKes/Per/1999 menyebutkan bahwa yang termasuk BTP adalah
pewarna, pemanis buatan, pengawet, antioksidan, antikempal, penyedap dan
penguat rasa, pengatur keasaman, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi,
pengental, pengeras, dan sekuestran (untuk memantapkan warna dan tekstur
makanan).
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasam, dan peruraian lain terhadap pangan
yang disebabkan oleh mikroorganisme (Departemen Kesehatan, 1988). Jenis
bahan pengawet yang paling sering diaplikasikan kedalam bahan pangan
adalah asam organik. Selain lebih aman karena umumnya buah-buahan juga
menghasilkan asam organik secara alamiah, asam organik banyak digunakan
karena kinerja antimikrobanya. Asam organik merupakan asam lipofilik lemah
yang mudah berinteraksi dengan komponen lemak yang menyusun bagian
membran sel mikroba. Asam organik akan menembus membran sel dalam
bentuk tidak terdisodiasi untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau dapat
membunuh mikroba. Setelah berada dalam sitoplasma yang memiliki pH
netral sekitar 7, bentuk tidak berdisoasi ini akan terdisosiasi dan ion H+ yang
terbentuk akan menurunkan pH sitoplasma sehingga kesetimbangan dalam sel
mikroba menjadi kacau.
Bentuk asam organik yang tidak terdisosiasi dapat diperoleh dengan
menggunakan bentuk garam dari asam organik tersebut karena bentuk garam
asam organik ini lebih dapat mempertahankan bentuk tidak berdisosiasi dan
biasanya bentuk garam lebih mudah larut dalam air. Selain itu, informasi
mengenai pKa penting untuk diketahui sebelum asam organik ini
diaplikasikan sebagai pengawet. Garbutt (1997) mendefinisikan pKa sebagai
nilai pH pada saat suatu pengawet terdisosiasi sebanyak 50%. Semakin tinggi
nilai pKa maka semakin luas spektrum penggunaan suatu asam organik untuk
dapat digunakan sebagai pengawet.
Pemilihan antimikroba yang tepat tergantung pada beberapa faktor
meliputi zat antimikroba dan zat kimia yang terkandung, komposisi produk
pangan, sistem pengawetan selain bahan kimia yang digunakan pada produk,
tipe, karakteristik, dan jumlah mikroorganisme, keamanan antimikroba dan
efektivitas biaya penggunaan antimikroba. Pengawet kimia yang digunakan
pada penelitian ini adalah kalsium propionat, kalium sorbat, dan natrium
asetat.
1. Propionat dan Garamnya
Asam propionat (C3H6O2) dengan rumus struktur CH3CH3COOH
(Gambar 2) umum digunakan sebagai penghambat kapang. Kalsium
propionat (C6H10CaO4/Ca(CH3CaH2COO)2) bersifat larut dalam air,
sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam metanol dan etanol, namun tidak
larut dalam aseton dan benzena. Memurut Merck Index (1989), kalsium
propionat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang dan
mikroorganisme lain pada industri pangan, tembakau dan farmasi.
Gambar 5. Struktur molekul asam propionat (Anonim, 1999a)
Menurut Desrosier (1977), natrium atau kalsium propionat biasa
digunakan pada industri pangan untuk menghambat kapang dan khamir
pada produk roti, mentega, selai, jeli, keju, dan produk olahan lain yang
tidak tahan lama. Efektivitasnya optimal pada pH 5-6 dan menurun dengan
meningkatnya pH. Propionat memiliki pKa 4,87 bentuk aktif sebagai asam
propinat yang tidak terdisosiasi (Samelis dan Sofos, 2003). Toksisitasnya
terhadap mikroba adalah karena mikroba tidak mampu memetabolisme
tiga rantai karbon dari asam propionat.
FDA menyatakan propionat sebagai Generally Recognized As Safe
(GRAS) dalam 21 CFR 184.1221 dengan nilai Acceptable daily Intake
(ADI) sebesar 0-20 mg/kg berat badan. Propionat dalam bentuk garam
kalsiumnya digunakan dengan konsentrasi sekitar 0,1-0,4% dan untuk
produk dengan bahan dasar tepung digunakan sebesar 0,32% (CNFP,
2002a). Di Indonesia, asam dan kalsium propionat digunakan pada sediaan
keju olahan dengan batas maksimum penggunaan 3 g/kg tunggal atau
campuran dengan asam sorbat dan garamnya, sedangkan pada roti batas
maksium penggunaannya adalah 2 g/kg.
2. Sorbat dan Garamnya
Asam sorbat yang memiliki rumus C6H8O2 (Gambar 3) merupakan
padatan putih, berbentuk kristal dan berbau agak asam. Kelarutan air pada
suhu kamar adalah 0,15 g per 100 ml (0,15 %). Grup karboksil asam
sorbat sangat reaktif sehingga dapat membentuk berbagai garam dan ester.
Sorbat memiliki nilai pKa 4,76 (Samelis dan Sofos, 2003). Ikatan ganda
terkonjugasi asam sorbat juga reaktif dan mungkin mempengaruhi
aktivitas antimikrobanya dan kualitas serta keasaman produk pangan.
Secara komersil asam sorbat tersedia dalam bentuk garamnya termasuk
kalsium, natrium, dan natrium sorbat.
Gambar 6. Struktur molekul asam sorbat (Anonim, 1999b)
Menurut Desrosier (1977), asam sorbat efektif dalam mengontrol
pertumbuhan kapang pada keju, margarin, dan daging. Bahkan pada
margarin penambahan asam sorbat lebih efektif dibanding dengan
penambahan asam benzoat sebagai pengawet. Mekanisme penghambatan
asam sorbat pada kapang yaitu dengan menghambat sistem enzim
dehidrogenase pada kapang. Namun efektivitas asam sorbat hanya terlibat
apabila kapang yang tumbuh dalam jumlah kecil. Pada tingkat
pertumbuhan kapang yang tinggi, pengaruh asam sorbat sebagai
penghambat tidak jelas terlihat (Desrosier, 1977).
Sorbat dalam bentuk garamnya digunakan dengan konsentrasi
sekitar 0,025-0,1% untuk produk roti, kue, keju, pie, dan yoghurt (CNFP,
2002b). konsentrasi maksimum yang diijinkan di Amerika Serikat adalah
0,1%. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/
Menkes/Per/IX/88, kalium sorbat digunakan pada sediaan keju olahan
dengan batas maksimum 3 g/kg, pada produk keju, margarin, acar ketimun
dalam botol, selai dan jeli, serta pekatan sari nenas batas maksimum
penggunaannya sebesar 1g/kg, sedangkan pada aprikot yang dikeringkan
dan marmalad penggunaan kalium sorbat yang diizinkan sebanyak 500
mg/kg.
3. Natrium Asetat
Natrium asetat berbentuk kristal yang berwarna putih ataupun tidak
berwarna, yang terbentuk dari reaksi antara asama asetat dengan natrium
karbaonat atau natrium hidroksida. Natrium asetat larut dalam air dan
etoksietan serta sedikit larut dalam etanol. Natrium asetat merupakan
garam dari basa kuat dan asam lemah sehingga dapat diaplikasikan sebagai
buffer pada produksi petroleum, elastomer, dan sebagai pengawet.
Natrium asetat lebih efektif terhadap khamir dan bakteri
dibandingkan dengan kapang. Asetat memiliki nilai pKa 4,75 (Samelis dan
Sofos, 2003). Natrium asetat dapat digunakan dalam saos, mayonaise,
acid-pickle vegetable, roti dan produk bakery lainnya (Belitz dan Grosch,
1999). Sebagai pengawet kimia, natrium asetat digolongkan dalam GRAS
dengan ADI tidak terbatas oleh FDA. Batas maksimum Na-asetat yang
masih aman dikonsumsi berdasarkan CODEX adalah 0,6% atau 6000
ppm.
F. KONDISI PENYIMPANAN
1. Penyimpanan Suhu Rendah
Penyimpanan pada suhu rendah (di bawah 15oC) merupakan salah
satu cara untuk mengawetkan bahan pangan. Suhu rendah dapat
menghambat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia, serta menghambat
atau menghentikan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme dalam
makanan. Faktor yang perlu diperhatikan pada penyimpanan suhu rendah
adalah penggunaan suhu yang paling tepat. Semakin rendah suhu yang
digunakan maka semakin lambat terjadi reaksi kimia, aktivitas enzim, dan
pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1987). Penyimpanan suhu
rendah dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya,
proses penuan karena adanya proses pemasakan, pelunakan, perubahan
warna dan tekstur, kehilangan air, kerusakan karena bakteri, kapang, dan
khamir (Fellers, 1955).
Daya tahan mikroorganisme terhadap suhu rendah bervariasi antara
satu dengan lainnya. Kapang dan ragi lebih tahan pada kondisi beku
daripada bakteri. Temperatur rendah menyebabkan penahanan sintesa
enzim mikroorganisme dan menginaktifkan mekanisme transpor solut
melalui membran sitoplasma pada bakteri mesofilik. Namun, hal tersebut
tidak terjadi pada bakteri psikrofilik, yaitu bakteri yang dapat hidup pada
suhu (– 7)oC hingga 10oC.
Kebanyakan bakteri psikrofilik yang terdapat dalam makanan
termasuk dalam genus Pseudomonas, dan beberapa termasuk dalam genus
Acinetobacter, Alkaligenes, dan Flavobacterium. Kapang yang sering
tumbuh pada makanan yang disimpan pada suhu rendah antara lain
termasuk dalam genus Penicillium, Cladosporium, Botrytis, dan
Geotrichum, sedangkan khamir yang mungkin tumbuh adalah genus
Deberiomyces, Torulopsis, Candida, Rhodotorula, dan beberapa jenis
lainnya (Fardiaz, 1992).
2. Pengemasan
Pengemasan pangan dilakukan untuk melindungi produk dari
lingkungan sekitarnya dalam rangka peningkatan mutu simpan.
Pengemasan vakum adalah sistem pengemasan dengan gas hampa
(tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan oksigen dari kemasan
(Syarief et al., 1989). Pengemasan vakum dilakukan dengan memasukkan
produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar
kemudian ditutup dan setelah itu direkatkan dengan panas.
Ketersediaan oksigen dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme. Jamur atau kapang bersifat aerobik (memerlukan
oksigen) sedangkan khamir dapat bersifat aerobik atau anaerobik
tergantung pada kondisinya (Fardiaz, 1992). Kandungan oksigen yang
rendah dalam kemasan terbukti mampu menghambat pertumbuhan
mikroba. Patersen et al. (1999) melaporkan bahwa rendahnya oksigen
yang terdapat dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan
mikroba dari genus Pseudomonas, Moraxella, Acinetobacter,
Flavobacterium dan Cytophaga.
Pengemasan vakum dapat mempertahankan kesegaran dan flavor
makanan 3-5 kali lebih lama dibandingkan dengan metode penyimpanan
konvensional, karena tidak ada kontak dengan oksigen, serta juga dapat
memelihara tekstur dan penampakan makanan karena mikroorganisme
seperti bakteri, jamur, dan khamir tidak dapat tumbuh dalam kondisi
vakum.
Plastik yang digunakan dalam pengemasan vakum yaitu plastik
yang mempunyai permeabilitas O2 yang rendah dan tahan terhadap bahan
yang dikemas (Sacharow dan Griffin, 1980). Polipropilen (PP) merupakan
polimer plastik yang memiliki densitas paling rendah di antara polimer-
polimer plastik lainnya. PP umumnya tersedia di pasaran dalam dua jenis,
yaitu PP tebal dan PP tipis. Perbedaan keduanya adalah pada ketebalan
bahan. Secara fisik, PP bersifat kuat, kaku, dan transparan. Kemampuan
PP dalam menghalangi uap air cukup tinggi.
Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah ringan (densitas 0,9
g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk
kemasan kaku. Polipropilen memiliki kekuatan tarik lebih besar dan lebih
kaku dari PE, serta tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan
dan distribusi. Permeabilitas uap air PP rendah, permeabilitas gas sedang
dan tidak cocok untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Plastik PP
tahan suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai untuk makanan
yang harus disterilisasi. Polipropilen tahan terhadap asam kuat, basa dan
minyak. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, siklen, toluen,
terpentin dan asam nitrat kuat.
Polietilen (PE), yang mempunyai rumus kimia (-CH2-CH2-)n,
merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri
makanan. Berdasarkan densitasnya, polietilen dibagi menjadi tiga, yaitu
polietilen densitas rendah (LDPE/Low Density Polyethylene), polietilen
densitas sedang (MDPE/Medium Density Polyethylene), dan polietilen
densitas tinggi (HDPE/High Density Polyethylene) (Hanlon, 1986). HDPE
bersifat tidak transparan, tidak mudah meregang, mudah disobek, tidak
mudah mengkerut dan meleleh saat dibakar dengan api. LDPE juga
bersifat tidak transparan, tidak mudah sobek, mudah meregang, mudah
meleleh dan mudah mengkerut. Perbedaan densitas ini akan berpengaruh
terhadap harga masing-masing jenis plastik tersebut, dimana semakin
tinggi densitas maka harga semakin mahal.
Pangan yang telah dikemas vakum nantinya akan disimpan pada
suhu rendah untuk mencegah tumbuhnya bakteri anaerobik, khususnya
Clostridium botulinum. Bakteri Gram positif berbentuk batang ini
merupakan bakteri pembentuk spora yang hidup secara anaerobik.
Clostridium botulinum ini dapat menghasilkan racun botulinum yang
bersifat neuropatik dan dapat menyerang susunan saraf. Makanan yang
dikemas vakum (anaerob) kadang-kadang masih terlihat normal dari
luarnya dalam hal bentuk, rasa, dan baunya. Untuk menghindari terjadinya
keracunan botulinum, maka dilakukan penyimpanan pada suhu rendah,
yaitu di bawah suhu optimum pertumbuhan C. botulinum strain yang
proteolitik (35oC) (Supardi dan Sukamto, 1999).
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam produksi mie adalah tepung terigu
merek Segitiga Biru dan Cakra Kembar, garam dapur, air, bahan pengawet
(Na-asetat, Ca-propionat, dan K-sorbat), hidrokoloid (CMC, gum Arab,
dan karagenan), minyak kelapa, plastik LDPE, dan plastik PP. Bahan-
bahan yang digunakan untuk analisis mikrobiologis, fisik, kimia dan
sensori adalah aquades, alkohol 96%, larutan pengencer steril NaCl 0,85%,
media Plate Count Agar (PCA), Acidified Potato Dextrose Agar (APDA),
Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA), spiritus, tissue, buffer pH 7, NaCl jenuh, kapas, dan korek api.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam produksi mie adalah noodle
machine, mixer, timbangan, baskom, gelas ukur, gelas piala, dan pisau.
Alat-alat untuk analisis adalah cawan aluminium, desikator, oven, cawan
porselin, tanur, stomacher, cawan petri steril, tabung reaksi bertutup,
tabung Durham, pipet, mikropipet, inkubator, bunsen, erlenmeyer, gelas
ukur, otoklaf, hot plate, refrigerator, sealer, aluminium foil, sudip, aw-
meter, pH-meter, texture analyzer, chromameter, dan refluks.
B. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari tujuh tahap penelitian yang saling terkait.
Pada tahap pertama dilakukan penambahan jenis garam alkali yang berbeda
kemudian diamati pengaruhnya terhadap kualitas mie basah matang,
khususnya tekstur mie. Pada tahap kedua, dilakukan penambahan hidrokoloid
ke dalam formula mie standar, kemudian diamati pengaruhnya terhadap
tekstur dan elastisitas mie basah matang. Tahap ketiga, dilakukan variasi cara
pemasakan dan cara pelumuran mie basah matang. Tahap keempat merupakan
aplikasi teknologi penyimpanan suhu rendah dan pengemasan vakum untuk
memperoleh mie dengan umur simpan lebih lama. Tahap kelima adalah
optimasi penambahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan mie
basah matang. Tahap keenam merupakan tahap penurunan konsentrasi
kombinasi pengawet terbaik dari tahap kelima untuk memenuhi syarat Cara
Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB). Setelah semua tahapan tadi dilakukan
dan diperoleh perlakuan terbaik dari masing-masing tahapan, maka dilakukan
kombinasi perlakuan terbaik untuk membuat mie basah matang pada tahap
ketujuh. Skema umum tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Istilah mie basah matang untuk selanjutnya akan dipersingkat dengan sebutan
mie.
Fomula mie, proses pemasakan, pelumuran minyak, dan pengemasan
yang digunakan diperoleh dari Pahrudin (2006) dan untuk selanjutnya disebut
sebagai prosedur standar. Formula mie dapat dilihat pada Tabel 2 dan untuk
selanjutnya disebut sebagai formula standar. Pemasakan mie basah dilakukan
dengan perebusan pada 100oC selama 2 menit. Pelumuran dilakukan dengan
minyak kelapa yang ditambahkan ke dalam air rebusan. Mie yang telah jadi
dikemas menggunakan plastik LDPE.
Tabel 2. Formula mie standar*
Bahan Komposisi
Tepung terigu (Segitiga Biru : Cakra Kembar) 1 : 1
Garam dapur 1,0% berat tepung Na2CO3 0,6% berat tepung Air 34% berat tepung
*Pahrudin (2006)
1. Pengaruh Jenis Garam Alkali Terhadap Kualitas Mie
Tahapan pertama ini dilakukan untuk memperoleh formula garam
alkali yang dapat menghasilkan mie dengan tekstur yang kenyal dan elastis
atau tidak rapuh. Garam alkali yang akan digunakan adalah natrium
karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP).
Formula yang digunakan adalah formula mie standar dengan
penggunaan garam alkali sesuai perlakuan yang tertera pada Tabel 3.
Setelah selesai dibuat, mie hasil formulasi kemudian diamati warna,
tekstur, dan elastisitasnya dengan menggunakan instrumen. Data hasil
pengamatan terhadap warna, tekstur, dan elastisitas kemudian diolah
secara statistik menggunakan Uji T dengan program SPSS 11.5.
Pengamatan subyektif dilakukan setiap 4 jam terhadap parameter bau asam
dan ada tidaknya lendir untuk mengetahui umur simpannya. Garam alkali
yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan tekstur serta elastisitas
terbaik kemudian diaplikasikan dalam formula mie pada tahap kombinasi
perlakuan terbaik.
Tabel 3. Formula perlakuan penambahan garam alkali
Perlakuan Jenis Garam Alkali Konsentrasi I Na2CO3 0,6% II STPP 0,2%
2. Pengaruh Penambahan Hidrokoloid Terhadap Kualitas Mie
Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan
optimasi penambahan hidrokoloid. Formula mie yang digunakan adalah
formula mie standar. Jenis hidrokoloid yang digunakan, yaitu CMC, gum
Arab, dan karagenan. Penggunaan hidrokoloid dilakukan secara tunggal.
Rancangan perlakuan tahap ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Konsentrasi hidrokoloid yang digunakan dalam formula
Perlakuan Jenis Hidrokoloid Konsentrasi (% berat tepung)
Kontrol Tanpa CMC – I CMC 0,2* II Gum arab 0,5** III Karagenan 0,5**
Keterangan: *Pahrudin (2006) dan **Permenkes (1988)
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan
mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas
pada saat mie selesai dibuat (jam ke-0). Data hasil pengamatan terhadap
warna, tekstur, dan elastisitas kemudian diolah secara statistik
menggunakan ANOVA dengan program SPSS 11.5. Target umur simpan
yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula hidrokoloid
dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada tahap
kombinasi perlakuan terbaik.
3. Pengaruh Pemasakan dan Pelumuran Minyak Terhadap Kualitas Mie
Dua cara pemasakan mie yang dilakuan pada tahapan ini, yaitu
dengan perebusan dan pengukusan. Selain itu, juga dilakukan dua cara
pelumuran minyak, yaitu penambahan minyak pada air rebusan dan
setelah pemasakan. Formula mie yang digunakan adalah formula mie
standar. Jenis minyak yang digunakan, yaitu minyak kelapa. Kombinasi
perlakuan pemasakan dan pelumuran dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Formula kombinasi pemasakan dan pelumuran Perlakuan Pemasakan Pelumuran Minyak
I Ditambahkan di air rebusan II Direbus Setelah perebusan III Dikukus Setelah pengukusan
Pengukusan pada skala laboratorium dilakukan dengan
menggunakan panci kukus, yaitu panci yang menyerupai dandang yang
diberi air pada bagian dasarnya sampai ketinggian tertentu. Uap air untuk
mengukus mie berasal dari air yang dibiarkan mendidih. Mie yang akan
dikukus disemprot terlebih dahulu dengan air secara merata menggunakan
botol semprot (sprayer) untuk meningkatkan kelembaban awal mie
sehingga nantinya diperoleh mie dengan tekstur yang lebih kenyal.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan
mutu fisik dengan instrumen yang meliputi warna dan tekstur pada saat
mie telah selesai dibuat (jam ke-0). Target umur simpan yang diinginkan
adalah selama 2 hari (48 jam). Data hasil pengamatan terhadap warna,
tekstur, dan elastisitas diolah secara statistik menggunakan ANOVA
dengan program SPSS 11.5. Formula kombinasi pemasakan dan
pelumuran dengan hasil terbaik yang diperoleh akan diaplikasikan pada
tahap kombinasi perlakuan terbaik.
4. Pengaruh Kondisi Penyimpanan Terhadap Kualitas Mie
Tahapan ini adalah tahap pembuatan mie dengan melakukan
optimasi perlakuan fisik. Formula mie yang digunakan adalah formula mie
standar. Kemasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemasan
plastik LDPE dan PP tebal. Perlakuan fisik yang dilakukan adalah
penyimpanan pada suhu ruang (25oC) dan suhu rendah, yaitu pada suhu
13 ± 2 oC dan 5 ± 1oC, serta pengemasan vakum dengan plastik PP tebal
yang disimpan pada suhu rendah (Tabel 6).
Tabel 6. Kombinasi perlakuan suhu penyimpanan dan pengemasan
Perlakuan Kemasan Suhu Penyimpanan
Cara Pengemasan
I LDPE Suhu ruang Tanpa vakum II PP tebal Suhu ruang Tanpa vakum III LDPE Tanpa vakum IV PP tebal
Suhu rendah 13 ± 2 oC Tanpa vakum
V LDPE Tanpa vakum VI PP tebal
Suhu rendah 5 ± 1oC Tanpa vakum
VII PP tebal Suhu rendah 13 ± 2 oC Kemas vakum
VIII PP tebal Suhu rendah 5 ± 1oC Kemas vakum
Masing-masing sampel mie ditimbang seberat 100 gram dan
dikemas dengan kondisi tertutup rapat. Pengemasan tanpa vakum
dilakukan dengan cara dikelim menggunakan sealer pada skala 1 untuk
plastik LDPE dan skala 3 untuk plastik PP tebal. Pengemasan vakum
dilakukan menggunakan plastik PP tebal dengan alat vacuum sealer milik
Laboratorium Pengemasan, Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam untuk sampel yang
disimpan pada suhu ruang dan setiap 1 hari untuk sampel yang disimpan
pada suhu rendah. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2
hari (48 jam). Perlakuan fisik terbaik yang diperoleh selanjutnya akan
diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
5. Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Terhadap Kualitas Mie
Tahapan ini dilakukan untuk eksplorasi bahan pengawet yang
mungkin digunakan untuk pembuatan mie. Tahapan ini mencakup
formulasi mie yang ditambahkan dengan bahan pengawet yang diizinkan.
Formula mie yang digunakan adalah formula mie standar.
Penambahan bahan pengawet dilakukan sesuai dengan ketentuan
kadar maksimal yang diatur dalam regulasi CODEX dan Permenkes No.
722/MenKes/Per/IX/1988. Kemudian asumsikan bila dengan kadar
maksimal pengawet tidak dapat memenuhi target umur simpan yang
diinginkan, maka pengawet tidak efektif untuk dapat meningkatkan umur
simpan mie. Kadar maksimum bahan pengawet yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kadar maksimum pengawet yang akan diaplikasikan
Bahan Pengawet Level Maksimum (%) Na-asetat 0,6** Ca-propionat 0,2*
K-sorbat 0,2* Keterangan: *Permenkes (1988) dan **CODEX
Perlakuan yang akan diterapkan adalah (1) tanpa penambahan
pengawet (kontrol) dan (2) penambahan pengawet pada adonan dengan
rancangan sesuai aturan pemakaian pada makanan secara kombinasi atau
ADI kombinasi. Formula yang digunakan merupakan modifikasi dari
Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) untuk memenuhi persyaratan atau
regulasi yang baru. Selain itu, berat bahan pengawet yang digunakan
merupakan persentase dari berat total adonan. Bahan pengawet yang
digunakan sedapat mungkin merupakan senyawa teknis atau pengawet
komersial dengan spesifikasi dan info harga yang lengkap.
Batas maksium pengunaan natrium asetat adalah 0,6%. Namun,
karena tidak ditemukan natrium asetat teknis yang food grade di pasaran
maka digunakan natrium asetat pure analysis (kemurnian 99%) seperti
yang digunakan oleh Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) dengan
konsentrasi yang diencerkan sampai satu per empat puluh (1/40) bagian dari
2,5% untuk mereduksi biaya. Untuk lebih jelasnya, formula bahan
pengawet kombinasi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Formula bahan pengawet dengan ADI kombinasi Formula Nama BTP %* Keterangan**
Kontrol – – Tanpa BTP
I Na-asetat Ca-propionat
0,032 0,1
50% 50%
II Ca-propionat Sorbat
0,1 0,1
50% 50%
III Na-asetat Sorbat
0,032 0,1
50% 50%
IV Ca-propionat Na-asetat
0,15 0,016
75% 25%
V Ca-propionat Sorbat
0,15 0,05
75% 25%
VI Ca-propionat Na-asetat Sorbat
0,05 0,032 0,05
25% 50% 25%
VII Na-asetat Ca-propionat Sorbat
0,016 0,1 0,05
25% 50% 25%
Keterangan: *Modifikasi Chamdani (2005) dan Pahrudin (2006) **Persentase dari konsentrasi maksimum
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam dan pengukuran
nilai pH. Target umur simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48
jam). Selain itu, perlu juga dipertimbangkan bahwa biaya bahan pengawet
yang ditambahkan telah memenuhi syarat maksimal 10% dari harga jual
mie yang ada di pasaran. Formula kombinasi pengawet dengan kualitas
terbaik yang diperoleh akan digunakan pada tahapan penelitian
selanjutnya, yaitu penurunan konsentrasi untuk memenuhi syarat CPPB.
6. Pengaruh Penggunaan Pengawet Terbaik dalam Konsentrasi Rendah
Terhadap Kualitas Mie
Tujuan dilakukannya tahapan ini adalah untuk melakukan uji
pemenuhan syarat CPPB, yaitu penambahan bahan tambahan pangan ke
dalam bahan pangan dengan konsentrasi sesedikit mungkin untuk
memperoleh hasil yang diinginkan. Formula mie yang digunakan adalah
formula mie standar.
Formula yang akan dikurangi konsentrasinya adalah hanya formula
pengawet terbaik yang telah diperoleh berdasarkan hasil pengamatan
subyektif pada tahap kelima. Konsentrasi yang diperoleh diturunkan secara
bertahap sebanyak 50% per masing-masing tahapan. Rancangan perlakuan
tahapan ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tahapan penurunan konsentrasi pengawet terbaik
Perlakuan Konsentrasi Kontrol positif 100% formula
I 50% formula II 25% formula IV 10% formula V 5% formula
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam. Target umur
simpan yang diinginkan adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan
pengawet dengan konsentrasi optimum akan digunakan pada tahap
selanjutnya.
7. Kombinasi Perlakuan Terbaik untuk Pembuatan Mie
Formula mie yang digunakan dalam tahap ini adalah formula mie
standar dengan penambahan garam alkali terbaik dari tahap pertama,
perlakuan hidrokoloid terbaik dari tahap kedua, pemasakan serta
pelumuran terbaik dari tahap ketiga, kondisi penyimpanan terbaik dari
tahap keempat, dan bahan pengawet dengan penurunan konsentrasi yang
menghasilkan kualitas mie terbaik dari tahap keenam.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan subyektif yang
meliputi bau asam dan ada tidaknya lendir setiap 4 jam, serta pengamatan
mutu fisik secara subjektif yang meliputi warna, tekstur, dan elastisitas
pada saat mie telah selesai dibuat. Target umur simpan yang diinginkan
adalah selama 2 hari (48 jam). Formula bahan pengawet dengan
konsentrasi optimum yang menghasilkan mie kualitas terbaik selanjutnya
akan diamati mutu fisik dengan instrumen, mutu kimia, mutu
mikrobiologis, dan mutu organoleptiknya.
C. PENGAMATAN
Tahapan ini bertujuan untuk mengamati perubahan yang terjadi selama
penyimpanan dengan mengukur pH, warna, tekstur dan elastisitas, analisis
total mikroba, total kapang-kamir, total bakteri E. coli, dan uji organoleptik
terhadap mie yang diproduksi menggunakan kombinasi perlakuan dari
hidrokoloid, bahan pengawet, dan kondisi penyimpanan terbaik. Pengamatan
yang akan dilakukan meliputi pengamatan terhadap mutu fisik, mutu kimia,
mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik.
1. Mutu Fisik
a. Pengukuran Tekstur dan Elastisitas
Pengukuran terhadap parameter kekerasan (firmness),
kelengketan (adhesiveness), dan elastisitas dilakukan dengan texture
analyzer. Untuk mengukur kekerasan dan kelengketan digunakan
Clylinder Probe P/35. Sampel diletakkan pada wadah yang telah
disediakan kemudian diukur kekerasan dan kelengketannya.
Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian diulangi setiap 16 jam
dan pada jam terakhir batas umur simpan.
Elastisitas merupakan gaya maksimum yang dapat menahan
sejumlah beban tertentu. Elastisitas diukur menggunakan
Spaghetti/Noodle Tensile Rig A/SPR. Sampel dililitkan sejajar pada
probe dan bagian dasar (base), kemudian diukur elastisitasnya. Satuan
kekerasan, kelengketan, dan elastisitas adalah gram force.
b. Pengukuran warna
Warna diukur menggunakan alat chromameter Minolta (tipe
CR 200, Jepang). Pengukuran dilakukan pada jam ke-0 kemudian
diulangi setiap 24 jam dan pada jam terakhir batas umur simpan.
Sampel diletakkan pada wadah yang telah tersedia, kemudian ditekan
tombil start dan akan diperoleh nilai L, a, dan b dari sampel dengan
kisaran 0 sampai ± 100 (putih). Notasi “a “ menyatakan warna
kromatik campuran merah-hijau dengan nilai “+a” (positif) dari 0
sampai + 100 untuk warna merah dan nilai “–a “ (negatif) dari 0
sampai – 80 untuk warna hijau. Notasi “b” menyatakan warna
kromatik campuran biru-kuning dengan nilai nilai “+b” (positif) dari 0
sampai + 70 untuk warna kuning dan nilai “–b “ (negatif) dari 0
sampai – 80 untuk warna biru. Sedangkan L menyatakan ketajaman
warna. Semakin tinggi ketajaman warna, semakin tinggi nilai L.
Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan
rumus:
oHue = tan-1ab
Jika hasil yang diperoleh:
18o – 54o maka produk berwarna red (R) 54 o – 90o maka produk berwarna yellow red (YR) 90o – 126o maka produk berwarna yellow (Y) 126o – 162o maka produk berwarna yellow green (YG) 162o – 198o maka produk berwarna green (G) 198o – 234o maka produk berwarna blue green (BG) 234o – 270o maka produk berwarna blue (B) 270o – 306o maka produk berwarna blue purple (BP) 306o – 342o maka produk berwarna purple (P) 342o – 18o maka produk berwarna red purple (RP)
2. Mutu Kimia
a. Aktivitas air (Aw)
Aktivitas air diukur menggunakan alat aw-meter Shibaura WA-
360. Sebelum digunakan untuk mengukur sampel, alat ini dikalibrasi
terlebih dahulu dengan NaCl jenuh. Sampel diletakkan dalam cawan
sensor. Cawan tersebut kemudian dimasukkan kedalam sensor aw-
meter. Tekan tombol start untuk memulai pengukuran. Nilai aw dapat
dibaca pada layar setelah ada tulisan complete.
b. pH (AOAC, 1984)
Alat pH meter dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan
dengan menggunakan larutan buffer pH 7. Sebanyak 10 gram contoh
ditambahkan 100 ml air lalu dihancurkan dengan alat stomacher.
Kemudian elektroda ditempatkan dalam sampel sehingga dapat terbaca
nilai pH yang diukur. Elektroda diangkat dan dibilas dengan akuades.
c. Total asam tertitrasi (TAT) (Apriyantono et al., 1989)
Sebanyak 10 gram sampel ditambahkan sedikit air, kemudian
dihancurkan sampai menjadi pulp. Campuran tersebut kemudian
dipanaskan samapi mendidih dan dipindahkan ke labu takar 100 ml.
Ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diambil 25 ml larutan dan
ditambahkan fenolftalein 3 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan
NaOH 0,01 N yang telah distandarisasi sampai terbentuk warna merah
muda.
3. Mutu Mikrobiologis (Fardiaz, 1992)
Analisis sifat mikrobiologis yang dilakukan yaitu analisis total
mikroba, total kapang-kamir dan total bakteri E. coli. Analisis total mikroba
dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Count). Sebanyak 10 gram sampel
dimasukkan dalam plastik tahan panas steril yang berisi 90 ml larutan
pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan
menggunakan alat stomacher selama 120 detik sehingga dihasilkan sampel
mie dengan pengenceran 1 : 10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian
dimasukkan dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer steril sehingga
diperoleh pengenceran 10-2. Dengan cara yang sama dilakukan pengenceran
10-3, 10-4 dan seterusnya.
Dari masing-masing pengenceran dipipet secara aseptis 1 ml suspensi
sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril dilakukan secara duplo.
Selanjutnya ditambahkan 15 – 20 ml medium PCA steril bersuhu 45 – 50oC.
Setelah media membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada
inkubator dengan suhu 37oC selama 2 hari. Penghitungan total mikroba
dilakukan menggunakan metode Harrigan dengan rumus sebagai berikut :
Σ N cawan CFU/g =
[(n1 x 1) + (n2 x 0,1)] x D
Keterangan: N = Jumlah koloni yang berada dalam kisaran hitung
(TPC: 25 – 250, kapang-khamir: 10 – 150)
n = Jumlah cawan yang koloninya dapat dihitung
D = Tingkat pengenceran terendah
Analisis total kapang dan kamir dilakukan dengan metode TPC
menggunakan media APDA. Perhitungan total kapang-khamir
menggunakan metode Harrigan, sedangkan analisis total koliform
dilakukan dengan metode MPN tiga tabung menggunakan media BGLBB.
Inokulasi pada tiga tingkat pengenceran. Inkubasi dilakukan pada suhu
37oC selama 2 hari. Penilaian positif atau negatifnya tabung dilihat
berdasarkan pembentukan gas. Pembentukan gas sebanyak 10% atau lebih
dari volume di dalam tabung Durham atau terbentuknya kekeruhan
dinyatakan sebagai hasil positif. Jika tetap tidak terbentuk gas, dihitung
sebagai tabung negatif. Jumlah tabung yang positif dihitung pada masing-
masing seri. Jumlah tabung positif pada tiap pengenceran kemudian
dicocokkan dengan Tabel MPN untuk mendapatkan jumlah total koliform.
Jika terdapat tabung positif, maka selanjutnya dilakukan uji penguat pada
media EMBAuntuk mendapatkan jumlah bakteri E. coli dalam sampel.
4. Mutu Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik dilakukan dengan uji hedonik menggunakan 30
orang panelis tidak terlatih dan semi terlatih. Uji hedonik dilakukan
dengan 5 (lima) skala hedonik, yaitu sangat suka (5), suka (4), netral (3),
tidak suka (2), dan sangat tidak suka (1). Parameter yang diujikan meliputi
atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan (overall). Penyajian
sampel dilakukan satu per satu secara bergantian untuk mendapatkan
penilaian yang objektif dari panelis.
Uji kesukaan dilakukan terhadap dua sampel mie, yaitu mie kontrol
dan mie kombinasi terbaik. Selain itu, diujikan juga sampel mie yang
dijual di Pasar Merdeka dan Pasar Anyar – yang dibeli pada hari yang
berbeda-beda – sebagai kontrol positif. Mie matang pasar dan mie kontrol
skala laboratorium diujikan kepada panelis sebanyak 5 kali ulangan untuk
melihat konsistensi panelis. Setelah diperoleh 5 data ulangan, kemudian
data dirata-rata untuk mendapatkan hasil yang objektif. Data hasil uji
organoleptik dianalisis secara statistik menggunakan analisis ragam
(ANOVA) dengan uji lanjut Duncan memakai program SPSS 11.5.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGARUH JENIS GARAM ALKALI TERHADAP MUTU MIE
Garam alkali memiliki peranan yang sangat penting untuk menciptakan
kondisi basa dalam pembuatan mie. Keberadaan garam alkali berguna untuk
meningkatkan kekerasan mie yang terbentuk karena adanya interaksi antar
protein gluten dalam tepung (Shiau dan Yeh, 2001). Selain itu, garam alkali
juga berperan dalam pembentukan warna kuning pada mie sebagai hasil
interaksi flavonoid gandum dalam tepung terigu dengan pH alkali (Asenstorfer
et al., 2006).
Dua jenis garam alkali yang diaplikasikan dalam tahapan ini adalah
natrium karbonat (Na2CO3) dan sodium tripolifosfat (STPP). Berdasarkan
survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005), Na2CO3 merupakan garam alkali
yang paling umum digunakan oleh para pengrajin dan industri mie di daerah
Jabotabek. Selain itu, Na2CO3 memiliki harga yang relatif murah (Rp. 7000,-
/kg) dan mudah untuk diperoleh. Sedangkan STPP merupakan salah satu jenis
garam alkali yang diduga dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan
boraks pada mie.
Pembuatan mie dengan Na2CO3 dilakukan menurut formula dan
prosedur standar (Tabel 2) yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. STPP
digunakan dengan konsentrasi sebesar 0,2% sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes) No. 722/MenKes/Per/IX/1988.
Konsentrasi STPP 0,2% umum diaplikasikan untuk produk olahan daging.
Mie yang dihasilkan kemudian dibandingkan dan diamati tekstur, warna, dan
umur simpannya.
Pengaruh penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% dan STPP 0,2%
terhadap mie yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil uji T terhadap
tekstur mie (Lampiran 8) menunjukkan bahwa nilai kekerasan dan elastisitas
yang dihasilkan oleh kedua jenis garam alkali ini berbeda secara nyata pada
taraf kepercayaan 95% (p<0,05), sedangkan nilai kelengketan keduanya tidak
berbeda secara nyata. Mie dengan penambahan Na2CO3 memiliki tekstur yang
sedikit lebih keras dan lebih elastis dibandingkan mie dengan penambahan
STPP. Umumnya, STPP digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam
adonan tidak mudah menguap sehingga permukaan adonan tidak cepat
mengering dan mengeras. Sewaktu penipisan lembaran, adonan mie yang
ditambahkan STPP cenderung terasa lebih lembab daripada adonan kontrol.
Jika diberi penilaian secara subjektif, penambahan STPP kedalam adonan mie
sebenarnya sudah memberikan hasil yang cukup baik dari segi tekstur dan
elastisitasnya.
Tabel 10. Pengaruh penambahan garam alkali terhadap mutu mie
Parameter Na2CO3 0,6% STPP 0,2% Umur simpan mie (jam) 44 24
Kekerasan (gforce) 3705,3 3521,8 Kelengketan (gforce) -661,5 -601,6 Elastisitas (gforce) 17,7 15,7
Warna (oHue) 84,21 83,60 Kecerahan (L) 68,91 72,27
Penambahan jenis garam alkali yang berbeda juga dapat berpengaruh
terhadap warna mie yang dihasilkan. Warna mie dengan penambahan Na2CO3
dan STPP berada dalam kisaran 54 – 90 oHue dengan warna kuning
kemerahan (yellow red). Hasil uji statistik menggunakan uji T (Lampiran 10)
menunjukkan bahwa nilai oHue kedua sampel tidak berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95% (p<0,05), namun nilai kecerahan (lightness (L)) kedua
sampel berbeda nyata. Mie yang menggunakan STPP memiliki warna kuning
kemerahan yang lebih cerah daripada mie dengan penambahan Na2CO3.
Pembentukan warna kuning pada produk mie sangat dipengaruhi oleh pH
garam alkali yang digunakan, dimana semakin tinggi pH alkali maka semakin
baik pembentukan warna kuning khas mie oleh flavonoid gandum. Namun,
warna kuning khas ini berbeda dengan warna kuning mie yang dijual di
pasaran. Mie yang beredar di pasaran umumnya memiliki warna kuning terang
yang berasal dari penambahan pewarna buatan.
Setelah dilakukan pengamatan lebih lanjut, mie dengan penambahan
STPP memiliki pH 7,20, yang jauh lebih rendah dibandingkan mie dengan
Na2CO3 yang memiliki pH 9,00. Nilai pH yang lebih tinggi tersebut
menyebabkan intensitas warna kuning yang terbentuk oleh Na2CO3 lebih baik
dibandingkan STPP. Perbedaan warna kedua mie ini dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Warna mie dengan garam alkali Na2CO3 dan STPP
Perbedaan nilai pH yang cukup signifikan ternyata tidak hanya
mempengaruhi penampakan mie secara fisik saja, namun juga berpengaruh
terhadap umur simpan. Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator
terdeteksinya bau asam, umur simpan mie dengan penambahan Na2CO3
mencapai 44 jam, sedangkan mie dengan STPP hanya mencapai 24 jam. Mie
dengan STPP yang memiliki pH mendekati pH netral lebih rentan terhadap
pertumbuhan mikroba pembusuk, khususnya bakteri, sehingga umur
simpannya lebih pendek dari mie dengan penambahan Na2CO3.
Jika dibandingkan dari segi ekonomi, penggunaan STPP sebanyak 0,2%
berkontribusi sebesar Rp. 30,- per kg mie dan penggunaan Na2CO3 sebanyak
0,6% berkontribusi sebesar Rp. 42,- per kg mie. Berdasarkan keseluruhan hasil
di atas, Na2CO3 0,6% digunakan untuk pembuatan mie pada tahapan
selanjutnya.
B. PENGARUH PENAMBAHAN HIDROKOLOID TERHADAP MUTU
MIE
Penambahan hidrokoloid diharapkan dapat memperbaiki tekstur mie.
Survei yang dilakukan oleh Indrawan (2005) menunjukkan bahwa 40%
industri mie menggunakan CMC dalam adonan mienya. Disamping CMC,
gum Arab dan karagenan juga digunakan dalam penelitian ini. Spesifikasi
ketiga hidrokoloid yang digunakan tertera pada Lampiran 2 – 4.
Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mie tertera pada Tabel 11.
Berdasarkan analisis ragam terhadap tekstur mie yang dihasilkan, nilai
kekerasan dan kelengketan ketiga hidrokoloid ini berbeda secara nyata dalam
taraf kepercayaan 95% (Lampiran 12). Penambahan hidrokoloid
meningkatkan kekerasan karena terjadi proses gelasi pada hidrokoloid.
Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 13), nilai kekerasan mie dengan
penambahan gum Arab 0,5% dan mie kontrol tidak berbeda secara nyata,
namun keduanya berbeda nyata dengan mie dengan penambahan CMC yang
memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan mie dengan penambahan karagenan
0,5% yang memiliki nilai kekerasan yang paling rendah. Mie dengan
penambahan CMC memiliki nilai kelengketan paling rendah dan tidak berbeda
nyata dengan mie kontrol dan mie dengan panambahan gum Arab. Mie
dengan penambahan karagenan memiliki nilai kelengketan paling tinggi dan
berbeda nyata dengan dua mie yang ditambahkan hidrokoloid lainnya.
Sedangkan untuk elastisitasnya, ketiga mie yang ditambahkan dengan
hidrokoloid memiliki nilai elastisitas yang tidak berbeda nyata dengan mie
kontrol. Hasil pengukuran tekstur ini mendukung penggunaan CMC yang
memang merupakan hidrokoloid yang paling umum diaplikasikan untuk mie
selama ini.
Tabel 11. Pengaruh penambahan hidrokoloid terhadap mutu mie
Parameter Kontrol CMC 0,2%
Gum Arab 0,5%
Karagenan 0,5%
Kekerasan (gforce) 3705,3 3956,2 3732,2 3207,5 Kelengketan (gforce) -661,5 -819,0 -753,7 -542,9 Elastisitas (gforce) 17,7 18,0 17,9 17,7
Warna (oHue) 84,21 83,31 84,75 83,64 Kecerahan (L) 68,91 69,64 69,62 72,89
Umur simpan mie (jam) 44 48 48 44 Warna mie dengan penambahan CMC, gum Arab, dan karagenan berada
dalam kisaran 54 – 90 oHue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Hasil
pengolahan data warna menggunakan analisis ragam tertera pada Lampiran
15. Berdasarkan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai oHue ketiganya
(Lampiran 16), mie dengan penambahan gum Arab memiliki oHue yang paling
besar mendekati mie kontrol dan berbeda nyata (p<0,05) dengan mie yang
ditambahkan CMC dan karagenan. Sedangkan mie dengan penambahan CMC
dan karagenan tidak berbeda nyata (p<0,05). Dari nilai kecerahannya,
karagenan memiliki warna merah kekuningan yang paling cerah dan berbeda
nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan mie kontrol dan mie yang
ditambahkan dengan CMC maupun gum Arab.
Penambahan hidrokoloid pada mie tidak berpengaruh terhadap umur
simpan. Berdasarkan pengamatan secara subyektif dengan indikator
terdeteksinya bau asam, mie dengan penambahan CMC dan gum Arab
memiliki umur simpan mencapai 48 jam, sedangkan mie dengan karagenan
memiliki umur simpan yang sama dengan kontrol, yaitu 44 jam. Adanya
peningkatan umur simpan pada mie dengan penambahan CMC dan gum Arab
mungkin disebabkan oleh adanya sebagian kecil air bebas yang diikat oleh
CMC dan gum Arab saat kedua hidrokoloid ini membentuk gel sewaktu mie
dimasak.
Berdasarkan Gracecia (2005), rata-rata harga mie matang di pasaran
sebesar Rp. 3000,- dan harga ini dianggap sebagai harga mie kontrol.
Penggunaan hidrokoloid dalam mie meningkatkan biaya produksi. Tabel 12
menunjukkan perbandingan kontribusi ketiga hidrokoloid terhadap biaya
produksi. Penambahan CMC kedalam formula mie memerlukan biaya paling
rendah dibandingkan dua hidrokoloid lainnya. Pada prakteknya, penambahan
CMC ini dapat tidak dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan
terhadap tekstur mie yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
tekstur dan biaya produksi, maka CMC dipilih sebagai perlakuan hidrokoloid
terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
Tabel 12. Kontribusi penambahan hidrokoloid terhadap biaya produksi
Jenis hidrokoloid Biaya hidrokoloid/ kg mie Harga mie/kg
Kontrol (tanpa hidrokoloid) – Rp. 3000,-*
CMC 0,2% Rp. 100,- Rp. 3100,- Gum Arab 0,5% Rp. 670,- Rp. 3670,- Karagenan 0,5% Rp. 200,- Rp. 3200,-
Keterangan: * = Harga rata-rata di pasaran berdasarkan Gracecia (2005)
C. PENGARUH PEMASAKAN DAN PELUMURAN MINYAK
TERHADAP MUTU MIE
Menurut Mugiarti (2001), pelumasan mie yang telah direbus dengan
minyak goreng dilakukan agar mie tidak menjadi lengket satu sama lain dan
agar mie tampak mengkilap. Minyak yang digunakan dalam penelitian ini
adalah minyak kelapa sesuai dengan perlakuan pelumuran minyak terbaik
yang diperoleh Pahrudin (2006). Dalam penelitian dilakukan dua cara
pelumuran minyak yang lazim dilakukan, yaitu penambahan minyak kedalam
air rebusan mie sebanyak 10% dari berat air rebusan atau 40% dari berat mie
mentah sesuai prosedur standar dan pelumuran minyak sebanyak 10% berat
mie mentah setelah perebusan, kemudian diamati umur simpan dan
kelengketannya secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan mie
dengan penampakan yang lebih baik dan untuk menghemat biaya minyak
goreng. Hasil perbandingan perlakuan pelumuran minyak dapat dilihat pada
Tabel 13.
Pelumuran minyak dengan prosedur standar cenderung menghasilkan
mie yang lengket antar untaian mie satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan
karena minyak yang ditambahkan kedalam air rebusan tidak terserap dengan
merata pada permukaan mie. Minyak yang ditambahkan dalam air rebusan
cenderung berada pada bagian atas air, sehingga pelumuran menjadi tidak
merata.
Dalam aplikasinya di industri secara umum, pelumuran dilakukan
setelah perebusan mie dengan minyak berlebih. Pelumuran minyak yang
dilakukan setelah perebusan memberikan penampakan yang lebih baik dimana
untaian-untaian mie cenderung tidak saling lengket, walaupun kadang-kadang
masih ditemukan untaian mie yang saling lengket jika pelumuran tidak
dilakukan secara merata sebelum mie dingin. Pelumuran ini lebih efisisen
dalam hal penggunaan minyak goreng dan tidak mempengaruhi umur simpan
mie (Tabel 13). Untuk tahapan selanjutnya dalam penelitian ini, pelumuran
minyak yang diaplikasikan dalam prosedur standar adalah pelumuran minyak
setelah perebusan dengan minyak kelapa sebanyak 10% dari berat adonan mie
mentah.
Tabel 13. Pengaruh pelumuran minyak terhadap umur simpan dan kelengketan
Cara pemasakan Pelumuran minyak Umur simpan (jam) Kelengketan
Dalam air rebusan (kontrol) 44 +++ Perebusan selama
2 menit Setelah perebusan 44 + Keterangan: + : sangat sedikit lengket ++ : sedikit lengket +++ : lengket
Mie dapat dimasak dengan dua cara, yaitu dengan perebusan dan
dengan pengukusan seperti yang umum dilakukan di daerah Makasar.
Pemasakan mie bertujuan untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi
gluten sehingga mie menjadi kenyal. Gelatinisasi merupakan peristiwa
pembengkakkan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali ke
bentuknya semula (Winarno, 1991). Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan
akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat
memberikan kelembutan, meningkatkan daya cerna pati, dan mempengaruhi
daya rehidrasi mie (Badrudin, 1994).
Pemilihan waktu pengukusan selama 10 dan 12 menit dilakukan
berdasarkan warna dan kematangan mie yang dikukus. Pada awalnya,
dilakukan pengukusan selama 10 dan 15 menit. Pengukusan selama 15 menit
menghasilkan mie yang berwarna sangat coklat dengan tekstur yang keras.
Mie yang dikukus selama 10 menit memberikan penampakan warna yang
lebih baik, yaitu kuning agak gelap. Waktu pengukusan dibuat menjadi 12
menit dan diperoleh mie dengan warna kuning sedikit lebih gelap dari mie
yang dikukus selama 10 menit. Warna coklat yang terbentuk pada mie kukus
berbanding lurus dengan meningkatnya waktu pengukusan. Warna coklat ini
diduga terbentuk karena reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu reaksi
Maillard (Maillard, 1912).
Reaksi Maillard terjadi saat gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-
senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida, atau
amonium) dan terjadi bila bahan dipanaskan atau direhidrasi (Maillard, 1912).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi Maillard antara lain
pH dan aw. Reaksi Maillard berlangsung pada laju yang sangat lambat pada
kondisi asam dan laju reaksi mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya pH dan mencapai maksimum pada pH 10. Kisaran pH mie
masuk dalam kisaran tersebut. Menurut Ames dan Apriyantono (1994), pH
sangat berpengaruh terhadap pembentukan 2 furfural, terutama pada
pemanasan tanpa kontrol pH. Furfural merupakan senyawa penyusun pigmen
melanoidin yang membentuk warna coklat.
Reaksi Maillard lebih berpeluang terjadi pada mie kukus karena mie ini
memiliki nilai aw yang lebih rendah daripada mie yang direbus. Mie yang
dikukus memiliki nilai aw sekitar 0,945 – 0,950 dimana nilai ini lebih rendah
dibandingkan mie yang direbus yang memiliki nilai aw sebesar 0,97. Labuza
(1975) menyatakan bahwa peluang terjadinya reaksi pencoklatan non-
enzimatis meningkat seiring dengan penurunan nilai aw dan mencapai
maksimum pada aw 0,70. Adanya perlakuan penyemprotan awal dengan air
yang meningkatkan kelembaban dan faktor penunjang seperti pH dan aw yang
tidak optimum menyebabkan pencoklatan hanya terjadi sedikit saja.
Berdasarkan pertimbangan terhadap warna tersebut, maka mie dengan waktu
pengukusan selama 10 dan 12 menit dipilih untuk diuji umur simpannya dan
dibandingkan dengan mie kontrol yang dimasak dengan cara direbus.
Cara pemasakan yang berbeda mempengaruhi sifat fisik, khususnya
tekstur dan warna, serta umur simpan mie. Pengaruh cara pemasakan terhadap
mie yang dihasilkan tertera pada Tabel 14. Berdasarkan analisis ragam
dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran 18 dan 19), tekstur mie yang dimasak
dengan cara direbus (kontrol) berbeda nyata dengan mie yang dikukus untuk
kekerasan dan kelengketan pada taraf nyata 95% (p<0,05). Mie yang dikukus
memiliki tekstur sangat keras, rapuh atau mudah patah, dan tidak elastis.
Bagian inti dari diameter mie yang dikukus cenderung masih mentah karena
uap panas tidak dapat mencapai inti dalam waktu pengukusan yang
ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan mie kukus ini rapuh dan tidak
elastis seperti mie yang direbus. Karena permukaannya kering, mie yang
dikukus cenderung memiliki nilai kelengketan yang lebih rendah
dibandingkan mie yang direbus.
Pengukusan mie menggunakan panci kukus memiliki beberapa
kelemahan, antara lain tekstur mie yang dihasilkan tidak seragam dan uap air
serta suhu pengukusan tidak dapat dipantau. Panci kukus yang digunakan
adalah panci skala rumah tangga dengan diameter tidak terlalu besar (30 – 40
cm). Karena keterbatasan ukuran diameter panci, mie yang dikukus akan
bertumpuk-tumpuk saat dikukus sehingga luas permukaan yang kontak
dengan uap panas tidak merata. Walaupun telah disemprot dengan air, mie
kukus yang dihasilkan tetap memiliki permukaan yang kering. Hal ini
menyebabkan tekstur mie kukus yang dihasilkan tidak seragam.
Ketidakseragaman ini juga menyebabkan beberapa bagian mie kurang matang
dan mie menjadi rapuh atau mudah patah.
Peluang terjadinya ketidakseragaman ini dapat diperkecil dengan
menggunakan alat steam yang suplai uap panasnya berasal dari boiler
sehingga tekanan uap, kelembaban, dan suhu dapat dipantau agar konstan. Mie
yang akan dikukus dengan alat steam diletakkan pada keranjang khusus yang
memiliki permukaan cukup luas untuk meletakkan mie tanpa bertumpukkan
sehingga permukaan yang terpapar uap lebih merata.
Tabel 14. Pengaruh cara pemasakan terhadap mutu mie
Parameter Direbus (2 menit)
Dikukus (10 menit)
Dikukus (12 menit)
Umur simpan mie (jam) 44 64 68 Kekerasan (gforce) 3705,3 9065,0 9302,8
Kelengketan (gforce) -661,5 -543,7 -468,9 Elastisitas (gforce) 17,7 – * – *
Warna (oHue) 84,21 88,84 89,19 Kecerahan (L) 68,91 61,17 58,94
Keterangan: * = Tidak diukur
Mie yang dikukus memiliki warna yang berbeda dengan mie yang
direbus. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD (Lampiran
21 dan 22), kedua sampel mie yang dikukus memiliki warna (oHue dan
kecerahan) yang tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05)
dan kedua sampel mie yang dikukus ini memiliki warna yang berbeda secara
nyata dengan mie yang direbus. Mie yang dikukus berada dalam kisaran
warna yang sama dengan mie yang direbus, yaitu pada kisaran 54 – 90 oHue
berwarna kuning kemerahan (yellow red). Namun, kedua mie yang dikukus
memiliki warna yang lebih gelap. Semakin lama waktu pengukusan akan
menghasilkan mie dengan warna yang lebih gelap dan kecoklatan.
Berdasarkan pengamatan subyektif dengan indikator terdeteksinya bau
asam, mie yang dikukus memiliki umur simpan yang lebih panjang dari mie
yang direbus karena mie yang dikukus memiliki kadar air dan nilai aw yang
lebih rendah. Mie yang dikukus selama 10 menit berdasarkan parameter
tekstur, warna, dan umur simpan tidak berbeda nyata dengan mie yang
dikukus selama 12 menit. Dari segi ekonomi, mie yang direbus selama 2 menit
membebani biaya paling kecil dibandingkan mie yang dikukus. Berdasarkan
keunggulan yang dimiliki dalam hal kekerasan, warna, dan biaya produksi,
maka mie yang dimasak dengan direbus selama 2 menit dan pelumuran
minyak setelah perebusan dipilih sebagai perlakuan cara pemasakan dan
pelumuran terbaik yang diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik.
D. PENGARUH KONDISI PENYIMPANAN TERHADAP MUTU MIE
Umur simpan mie sangat dipengaruhi oleh cara pengemasan dan kondisi
penyimpanannya. Mie dijual di pasaran dengan wadah yang sangat bervariasi.
Pada pasar-pasar tradisional, mie dijual dalam kondisi terbuka dengan wadah
plastik bening berukuran besar sekitar 20 kilogram, kantong plastik bening
atau berwarna, atau diwadahi dengan tampah dari anyaman bambu yang tidak
diketahui kondisi sanitasinya. Di pasar swalayan, mie dijual dengan kemasan
plastik LDPE atau PP tipis ukuran 1 kilogram dalam keadaan tertutup rapat
dan disimpan di lemari pendingin terbuka dengan suhu sekitar 13-17oC.
Mie disimpan pada dua kondisi suhu yang berbeda, yaitu pada suhu
ruang dan suhu rendah. Penyimpanan suhu rendah pada awalnya dilakukan
dengan menyimpan mie dalam cool room yang memiliki suhu 13 ± 2oC. Mie
yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC dalam kemasan LDPE dan PP tebal baik
dengan atau tanpa vakum memiliki umur simpan selama 10 hari. Indikator
kerusakan mie yang disimpan pada suhu 13 ± 2oC adalah munculnya spot-spot
berwarna hitam dan oranye yang diduga merupakan koloni bakteri atau
kapang. Karena tidak dilakukan identifikasi di bawah mikroskop, maka jenis
mikroba tersebut tidak dapat diketahui. Penyimpan mie pada suhu 13 ± 2oC
cukup beresiko terhadap pertumbuhan mikroba mesofilik. Menurut Garbutt
(1997), suhu optimum pertumbuhan mikroba mesofilik berkisar antara 28-
43oC, dengan suhu minimum 5oC dan maksimum 52oC. Hal ini menunjukkan
ada pertumbuhan mikroba yang kemungkinan tidak terhambat pada suhu 13 ±
2 oC, namun dapat dihambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah.
Kemudian mie disimpan dalam kulkas skala rumah tangga yang
memiliki suhu 5 ± 1oC. Kondisi ini berbeda dengan kondisi penyimpanan suhu
rendah yang dipraktekkan di pasaran. Prinsip pengemasan vakum pada
dasarnya sama dengan pengeliman menggunakan sealer, yang membedakan
hanya udara pada kemas vakum dibuat hampa dengan menarik keluar semua
udara dalam kemasan. Proses penghampaan ini menyebabkan kemasan dan
bahan yang dikemas mengkerut. Perbandingan penampakan sampel dengan
dan tanpa pengemasan vakum dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Mie dalam kemasan: (a) LDPE; (b) PP tebal; dan (c) PP tebal
dengan pengemasan vakum
Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie dapat dilihat
pada Tabel 15. Indikator kerusakan untuk mie yang disimpan pada suhu ruang
adalah terdeteksinya bau asam, sedangkan indikator kerusakan mie yang
disimpan pada suhu rendah adalah spot-spot berwarna merah atau hitam yang
kemungkinan disebabkan oleh koloni kapang. Mie yang disimpan pada suhu
ruang dengan plastik LDPE maupun PP tebal memiliki umur simpan yang
sama, yaitu 44 jam. Secara teori, PP tebal memiliki ketahanan terhadap
permeabilitas O2 yang lebih baik daripada PE. Penggunaan PP tebal tidak
berpengaruh terhadap umur simpan mie yang disimpan pada suhu ruang. Hal
ini menunjukkan bahwa kemasan plastik yang tertutup dengan rapat dapat
melindung bahan dari kontaminasi mikroba perusak yang berasal dari udara,
debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Jadi, kemasan
yang tertutup merupakan salah satu praktek sanitasi yang berperan dalam
memperpanjang umur simpan mie.
Penyimpanan mie pada suhu 5 ± 1oC meningkatkan umur simpan secara
signifikan sampai 40 hari. Suhu rendah juga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba perusak. Pada umumnya, mikroba perusak termasuk dalam kelompok
mesofilik yang terhambat pertumbuhannya pada suhu dingin (-1 sampai 5oC)
(Garbutt, 1997). Peristiwa rusaknya sel mikroba karena perubahan temperatur
dari suhu ruang ke suhu rendah dikenal dengan istilah chilling injury.
Tabel 15. Pengaruh kondisi penyimpanan terhadap umur simpan mie
Kemasan Suhu penyimpanan
Cara pengemasan Umur simpan
LDPE 44 jam PP tebal Suhu ruang Tanpa vakum 44 jam LDPE 10 hari
PP tebal Tanpa vakum 10 hari PP tebal
Suhu rendah 13 ± 2oC Kemas vakum 10 hari
LDPE 40 hari PP tebal Tanpa vakum 40 hari PP tebal
Suhu rendah 5 ± 1oC Kemas vakum 40 hari
Terdapat dua jenis chilling injury, yaitu cold shock yang bersifat
langsung dan indirect chilling injury yang bersifat tidak langsung (Garbutt,
1997). Cold shock terjadi jika makanan didinginkan secara langsung dari suhu
ruang ke suhu rendah dengan kecepatan pendinginan tertentu. Mikroba yang
terpapar cold shock akan mengalami perubahan struktur membran sel karena
terjadi kebocoran ATP dan asam amino dari dalam sel. Indirect chilling injury
terjadi jika makanan disimpan dalam waktu yang cukup lama (beberapa hari)
pada suhu rendah dan tidak tergantung pada kecepatan pendingian tertentu.
Transpor nutrisi yang diperlukan sel mikroba lama kelamaan akan terhambat
diikuti dengan akumulasi metabolit yang bersifat racun dan habisnya ATP.
Keadaan ini akan menyebabkan sel menjadi kehabisan nutrisi dan lama
kelamaan akan menyebabkan kematian sel mikroba. Kedua jenis chilling
injury ini kemungkinan besar terjadi pada penyimpanan mie pada suhu rendah.
Cold shock berpeluang terjadi pada berada di sisi sebelah luar mie dan indirect
chilling injury terjadi pada sisi sebelah dalam atau pada bagian tengah.
Kemasan plastik yang digunakan tidak berpengaruh terhadap umur
simpan, namun berpengaruh terhadap bentuk mie yang disimpan (Gambar 8).
Mie yang disimpan pada suhu rendah dan tidak dikemas vakum memiliki
bentuk yang lebih kaku sesuai dengan bentuk wadahnya. Penyimpanan pada
suhu rendah memiliki kelembaban relatif (RH) yang lebih rendah
dibandingkan RH suhu ruang, sehingga permukaan mie yang disimpan pada
suhu rendah menjadi lebih kering karena kehilangan sebagian air (Jenie,
1995).
Kemasan PP tebal bersifat kaku sehingga memberikan bentuk yang
lebih teratur jika dibandingkan mie yang dikemas dengan LDPE. Bentuk mie
yang kaku ini akan segera kembali ke bentuk awalnya setelah dibiarkan
sebentar pada suhu ruang. Bentuk mie yang dikemas vakum akan mengkerut
dan tidak dapat kembali membentuk untaian-untaian mie setelah dibiarkan di
suhu ruang. Mie matang lebih lengket dibandingkan mie mentah karena pati
telah tergelatinisasi saat perebusan. Adanya tekanan yang diberikan oleh
vacuum sealer untuk menciptakan kondisi hampa membuat mie mengkerut
dan untaian mie saling menempel satu sama lain. Pengemasan secara vakum
untuk mie dinilai kurang sesuai dari segi penampakannya.
Penyimpanan suhu rendah pada 5 ± 1oC memberikan hasil yang lebih
memuaskan dalam hal umur simpan dibandingkan penyimpanan pada suhu 13
± 2oC. Namun, aplikasi keduanya harus disertai dengan cold chain atau rantai
distribusi suhu rendah yang biayanya terlalu mahal dan tidak terjangkau untuk
produsen mie tingkat UKM bahkan oleh industri menengah sekalipun. Selama
ini, aplikasi suhu rendah umum dilakukan pada produk daging seperti sosis,
ham, dan daging olahan dengan harga mahal. Jika harga yang sama harus
dikenakan untuk mie, maka biaya yang tinggi ini menjadi tidak aplikatif bagi
produsen mie. Selain itu, alat pendingin yang tersedia di pasar-pasar swalayan
memiliki suhu sekitar 13-17oC dan tidak mencapai suhu 5 ± 1oC. Menurut
Nuraida (1995), beberapa jenis makanan akan menurun mutunya jika
disimpan pada suhu 13-17oC dibandingkan disimpan pada suhu 5-7oC.
Penyimpanan mie pada suhu 13 ± 2oC mungkin untuk diaplikasikan
pada pasar-pasar swalayan, sedangkan penyimpanan pada suhu 5 ± 1oC sejauh
ini baru dapat diaplikasikan pada tingkat rumah tangga yang membuat mie
untuk konsumsi sendiri. Dengan pertimbangan terhadap kesulitan dalam
aplikasi di pasaran, penyimpanan mie dengan suhu rendah tidak dipilih
menjadi perlakuan terbaik pada tahap ini. Kondisi penyimpanan yang
diaplikasikan pada tahap kombinasi perlakuan terbaik adalah penyimpanan
pada suhu ruang dengan plastik LDPE tanpa pengemasan vakum.
E. PENGARUH PENAMBAHAN BAHAN PENGAWET TERHADAP
MUTU MIE
Bahan pengawet biasanya ditambahkan kedalam pangan yang mudah
rusak, atau pangan yang disukai sebagai medium tumbuhnya bakteri atau
kapang. Mie yang memiliki aw dan kadar air tinggi termasuk dalam kelompok
makanan yang mudah rusak. Pertumbuhan bakteri yang dicegah atau dihambat
tergantung dari jumlah pengawet yang ditambahkan dan pH bahan pangan.
Tiga jenis pengawet yang digunakan adalah kalium sorbat, kalsium
propionat, dan natrium asetat. Kalsium propionat dan kalium sorbat yang
digunakan merupakan bahan kimia teknis. Spesifikasi kalsium propionat dan
kalium sorbat teknis tertera pada Lampiran 5 dan 6. Pengawet digunakan
dalam bentuk garamnya agar lebih mudah larut dan dapat mempertahankan
bentuk asam tidak berdisosiasi. Ketiga pengawet ini dikombinasikan menjadi
dua atau tiga dengan konsentrasi sesuai aturan pemakaian pada makanan
secara kombinasi atau ADI kombinasi sehingga diperoleh tujuh formula
pengawet.
Indikator kerusakan awal yang umum terjadi pada mie matang adalah
terdeteksinya bau asam dan adanya lendir yang merupakan akibat dari
aktivitas bakteri pembusuk. Namun, dalam penelitian pada tahapan ini
ditemukan indikator kerusakan lain, yaitu munculnya miselia-miselia kapang
berbentuk serabut-serabut berwarna putih. Kapang yang tumbuh ini
kemungkinan besar merupakan kontaminasi spora kapang dari udara atau
ruang pengolahan. Mie dengan penambahan formula pengawet yang
kerusakannya disebabkan oleh kapang diberi tanda bintang (*).
Hasil pengamatan terhadap umur simpan mie (Gambar 9)
menunjukkan bahwa umur simpan terpanjang dimiliki oleh mie yang diberi
pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-asetat 0,016% + Ca-propionat
0,1% + K-sorbat 0,05%, yaitu selama 60 jam. Mie dengan pengawet formula
III (Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1%) memiliki umur simpan 52 jam. Mie
dengan penambahan pengawet formula II* (Ca-propionat 0,1% + K-sorbat
0,1%) dan formula V* (Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05%) yang
melibatkan penambahan sorbat sebanyak 50% memiliki umur simpan paling
pendek, yaitu 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan sorbat tidak
memberikan efek penghambatan terhadap mikroba. Pada umumnya, sorbat
digunakan sebagai pengawet pada produk daging yang dikombinasikan
dengan penambahan nitrit atau benzoat (Jay, 2000).
Mie dengan penambahan pengawet formula I (Na-asetat 0,032% + Ca-
propionat 0,1%) dan formula VI* (Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% +
K-sorbat 0,05%) memiliki umur simpan 56 jam. Berdasarkan umur simpan
mie yang ditambahkan pengawet formula VII, I, dan VI*, terlihat adanya
sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium asetat, dimana asetat
berperan sebagai anti bakteri dan propionat sebagai anti kapang.
Kemungkinan adanya sinergisme antara kalsium propionat dengan natrium
asetat ini sesuai dengan penelitian Pahrudin (2006). Mie dengan hasil terbaik
yang diperoleh Pahrudin (2006) melibatkan pengawet Ca-propionat 0,075% +
Na-asetat 2,5%, disamping penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben
0,025%. Mie terbaik Pahrudin (2006) ini memiliki umur simpan 56 jam,
sedangkan mie kontrol yang dibuat tanpa penambahan pengawet memiliki
umur simpan 26 jam (berdasarkan pengamatan secara subyektif terhadap
terdeteksinya bau asam dan lendir).
44
56
4852
56
48
5660
0
10
20
30
40
50
60
70
Kontrol I II* III IV V* VI* VII
Formula pengawet
Umur
sim
pan
(jam
)
Keterangan: * : Kerusakan karena kapang Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,015 + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%
Gambar 9. Pengaruh penambahan berbagai formula pengawet terhadap umur simpan mie secara subyektif (bau asam)
Penambahan pengawet kedalam adonan mie tidak berpengaruh
terhadap pH mie. Mie yang diberi penambahan pengawet memiliki pH sekitar
9,30 – 9,53 (Gambar 10). Nilai pH mie berhubungan dengan pembentukan
warna kuning yang dilepaskan oleh flavonoid gandum pada pH alkali. Dari
nilai pH yang tidak berbeda nyata ini dapat disimpulkan bahwa warna mie
yang ditambahkan dengan formula pengawet memiliki warna kuning dengan
kecerahan yang hampir sama. Mie formula VII (mie dengan penambahan Na-
asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) selanjutnya diturunkan
konsentrasinya untuk memenuhi syarat CPPB.
9.04
9.30
9.539.41
9.33
9.50 9.489.33
8.40
8.60
8.80
9.00
9.20
9.40
9.60
9.80
10.00
Kontrol I II* III IV V* VI* VII
Formula pengawet
Nila
i pH
Keterangan: Kontrol : Na2CO3 0,6% (tanpa penambahan pengawet) I : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,1% II* : Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,1% III : Na-asetat 0,032% + K-sorbat 0,1% IV : Na-asetat 0,048% + Ca-propionat 0,05% V* : Ca-propionat 0,15% + K-sorbat 0,05% VI* : Na-asetat 0,032% + Ca-propionat 0,05% + K-sorbat 0,05% VII : Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%
Gambar 10. Derajat keasaman (pH) mie berdasarkan penambahan berbagai formula pengawet
F. PENGARUH PENGGUNAAN PENGAWET TERBAIK DALAM
KONSENTRASI RENDAH TERHADAP MUTU MIE
Dalam aplikasinya, produsen mie masih terbentur dalam hal biaya
produksi untuk menggunakan bahan pengawet dalam konsentrasi yang
diajurkan. Berdasarkan pengalaman, produsen mie akan mengencerkan
konsentrasi pengawet tetapi tanpa takaran yang jelas. Untuk menghindari hal
tersebut, maka diterapkan prinsip cara produksi pangan yang baik (CPPB).
Dengan teknik ini, penurunan konsentrasi pengawet dilakukan secara terukur
sehingga kontribusi penggunaan pengawet formula VII (Na-asetat 0,016% +
Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05%) terhadap biaya produksi dapat dihitung
seperti yang tertera pada Tabel 16.
Tabel 16. Kontribusi penurunan konsentrasi pengawet terhadap biaya
Konsentrasi pengawet Kontribusi biaya/kg mie
Kontrol negatif (tanpa pengawet) – 100% Rp. 137,- 50% Rp. 69,- 25% Rp. 35,- 10% Rp. 14,- 5% Rp. 7,-
Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-
propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% terhadap biaya produksi per kilogram mie
ternyata cukup signifikan. Setelah kontribusi terhadap biaya produksi
diketahui, selanjutnya pengaruh penurunan konsentrasi terhadap umur simpan
mie dapat dilihat pada Gambar 11.
52
60
52
44
5656
0
12
24
36
48
60
72
Kontrolnegatif
100% 50% 25% 10% 5%
Konsentrasi pengawet
Umur
sim
pan
(jam
)
Gambar 11. Pengaruh penurunan konsentrasi pengawet terbaik terhadap umur
simpan mie secara subyektif (bau asam)
Berdasarkan pengamatan, umur simpan mie yang dibuat dengan
pengawet Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% dengan
konsentrasi 100% hanya berbeda 4 jam dibandingkan mie dengan konsentrasi
pengawet 50% dan 25%. Walaupun umur simpan mie dengan penggunaan
50% pengawet dan 25% pengawet sama, namun dari segi ekonomi keduanya
berbeda nyata dimana penurunan konsentrasi pengawet sampai 25%
mengurangi kontribusi terhadap biaya produksi sampai 75% atau Rp. 102,-/kg
mie. Oleh karena pertimbangan biaya, maka formula pengawet terbaik, yaitu
Na-asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% yang telah
diturunkan konsentrasinya menjadi 25% kemudian diaplikasikan pada tahap
kombinasi perlakuan terbaik.
G. KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK UNTUK PEMBUATAN MIE
Perlakuan terbaik dari masing-masing tahapan sebelumnya
dikombinasikan pada tahapan ini untuk selanjutnya dilakukan pengamatan
terhadap mutu fisik, mutu kimia, mutu mikrobiologi, dan mutu organoleptik.
Masing-masing perlakuan terbaik dari tiap-tiap tahapan sebelumnya
dirangkum dalam Tabel 17. Mie yang dibuat dengan kombinasi perlakuan
terbaik masing-masing tahapan akan disebut sebagai mie kombinasi terbaik.
Sedangkan, mie dengan penambahan Na2CO3 0,6% yang dibuat dengan
prosedur standar akan disebut sebagai mie kontrol.
Tabel 17. Perlakuan terbaik yang diaplikasikan dalam mie Tahapan Perlakuan
Pengaruh Jenis Garam Alkali Na2CO3 0,6% Pengaruh Penambahan Hidrokoloid CMC 0,2% Pengaruh Pemasakan Rebus (100oC, 2 menit) Pengaruh Perlakuan Fisik LDPE + Truang
Konsentrasi Pengawet yang diaplikasikan dengan CPPB 25%
Na-asetat 0,004% Ca-propionat 0,025% K-sorbat 0,0125%
H. PENGARUH KOMBINASI PERLAKUAN TERBAIK TERHADAP
MUTU MIE
1. Mutu Fisik
a. Warna
Pengukuran warna mie dengan kromameter memberikan nilai L,
yaitu parameter kecerahan, dan nilai oHue atau panjang gelombang
dominan yang menentukan apakah warna tersebut merah, hijau, atau
kuning. Hasil pengukuran warna selama penyimpanan mie dapat
dilihat pada Tabel 18.
Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD, nilai
kecerahan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam ke-0, 24, dan 44
pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) (Lampiran 24 dan 25),
sedangkan nilai kecerahan mie kombinasi terbaik berbeda nyata pada
jam ke-56 (Lampiran 27 dan 28). Hal ini menunjukkan bahwa nilai
kecerahan mie berubah setelah disimpan selama 48 jam menjadi lebih
pucat (semakin mendekati warna putih) ditandai dengan meningkatnya
nilai kecerahan.
Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik berada pada kisaran 54 –
90 oHue berwarna kuning kemerahan (yellow red). Berdasarkan
analisis ragam dengan uji lanjut Tukey HSD terhadap nilai oHue, mie
kontrol memiliki oHue yang berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam
ke-44 (Lampiran 24 dan 25), sedangkan mie kombinasi terbaik
memiliki nilai oHue berbeda nyata dengan jam ke-0 pada jam ke-48
dan 56 (Lampiran 27 dan 28). Walaupun berbeda secara nyata
(p<0,05), perubahan nilai oHue tidak signifikan karena sampai akhir
penyimpanan kedua sampel mie tetap berwarna kuning kemerahan.
Dapat disimpulkan bahwa perubahan warna mie lebih jelas terlihat
pada perubahan nilai kecerahan dibandingkan nilai oHue-nya.
Tabel 18. Perubahan warna mie selama penyimpanan Kecerahan (L) oHue
Jam Mie kontrol Mie
kombinasi terbaik
Mie kontrol Mie
kombinasi terbaik
0 68,55 69,24 83,34 83,01 24 75,90 71,26 83,63 83,85 44 75,96 – 82,04 – 48 – 71,21 – 81,78 56 – 73,87 – 80,72
b. Tekstur
Gracecia (2005) menyebutkan salah satu ciri kerusakan mie
adalah adanya perubahan tekstur mie yang menjadi hancur dan lebih
lengket karena lendir yang berasal dari pertumbuhan mikroba. Hasil
pengamatan terhadap tekstur mie selama penyimpanan tertera dalam
Tabel 19. Selama penyimpanan mie terjadi penurunan nilai kekerasan
dan peningkatan nilai kelengketan.
Hasil pengukuran tekstur kemudian diuji dengan analisis ragam
dengan uji lanjut Tukey HSD dalam taraf kepercayaan 95% (p<0,05).
Kekerasan dan kelengketan mie kontrol tidak berbeda nyata antara jam
ke-0, 16, 32, dan 44 (Lampiran 30 dan 31). Kekerasan mie kombinasi
terbaik berbeda nyata dengan jam ke-0 setelah penyimpanan selama 48
jam, sedangkan nilai kelengketannya berbeda nyata dengan jam ke-0
setelah penyimpanan 16 jam dan memiliki nilai kelengketan tertinggi
pada jam ke-56 (Lampiran 33 dan 34). Nilai kelengketan mie sangat
fluktuatif karena pengukuran dengan alat texture analyzer bersifat
dangat sensitif. Jika probe tidak dibersihkan dengan baik, pengotor
yang ada pada probe dapat mempengaruhi hasil pengukuran. Secara
umum, tekstur mie yang telah mencapai umur simpannya berbeda
nyata dengan tekstur awal pada jam ke-0, ditandai dengan penurunan
nilai kekerasan dan peningkatan nilai kelengketan.
Tabel 19. Perubahan tekstur mie selama penyimpanan Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce)
Jam Mie kontrol Mie
kombinasi terbaik
Mie kontrol Mie
kombinasi terbaik
0 3705,3 3913,1 -661,5 -803,9 16 3259,7 3203,5 -512,2 -509,0 32 3593,0 3353,7 -682,6 -612,0 44 3363,1 – -602,8 – 48 – 2911,5 – -551,5 56 – 2571,1 – -375,0
2. Mutu Kimia
a. Aktivitas air (aw)
Air berperan dalam reaksi metabolisme dalam sel dan berfungsi
sebagai alat transpor zat-zat gizi maupun komponen metabolit kedalam
dan keluar sel. Jumlah air bebas dalam bahan pangan diukur dengan
nilai aw. Jenis mikroorganisme yang berbeda memerlukan aw yang
berbeda juga untuk tumbuh. Bakteri pada umumnya tumbuh dan
berkembang biak pada bahan dengan aw tinggi sektar 0,91 atau lebih,
khamir memerlukan aw yang lebih rendah antara 0,87-0,91, dan kapang
membutuhkan aw yang paling rendah untuk tumbuh, yaitu 0,80-0,87
(Garbutt, 1997). Mie matang yang diteliti Pahrudin (2006) memiliki
nilai aw berkisar antara 0,95 – 0,97.
Nilai aw mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tertera pada
Gambar 12. Kedua sampel mie tersebut memiliki nilai aw yang hampir
sama, yaitu antara 0,965-0,97. Nilai aw yang tinggi ini menunjukkan
bahwa bakteri pembusuk lebih berpeluang untuk tumbuh daripada
kapang ataupun khamir. Selain aw yang tinggi, kandungan protein
dalam mie yang cukup tinggi juga menjadi faktor penunjang
pertumbuhan bakteri pembusuk, khususnya bakteri proteolitik.
0.970.965
0.90
0.91
0.92
0.93
0.94
0.95
0.96
0.97
0.98
Sampel
Nila
i Aw
Mie kontrol Mie kombinasi terbaik
Gambar 12. Aktivitas air mie
b. Derajat keasaman (pH)
Nilai pH mie berangsur-angsur turun seiring dengan
bertambahnya jumlah mikroba perusak dalam mie yang disimpan.
Penurunan nilai pH ini disebabkan oleh dekomposisi karbohidrat dan
protein mie oleh mikroba pembusuk, khususnya bakteri sehingga
terbentuklah asam. Perubahan nilai pH selama penyimpanan mie dapat
dilihat pada Gambar 13.
Berdasarkan uji statistik dengan analisis ragam dengan uji lanjut
Tukey HSD (Lampiran 37 dan 38), penurunan pH mie kontrol pada
jam ke-0, 24, dan 44 jam tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan
95% (p<0,05). Sedangkan, penurunan pH pada mie kombinasi terbaik
tidak berbeda nyata antara jam ke-0 dan 24, namun kedua nilai pH
tersebut berbeda nyata dengan nilai pH pada jam ke-48 dan 56 jam
(Lampiran 39 dan 40). Penyimpanan mie menyebabkan penurunan
nilai pH cukup signifikan dimulai pada jam ke-48 dan seterusnya.
8.498.81
9.009.039.038.969.089.099.03 9.179.139.27
6.897.45
7.938.62
8.848.958.988.979.059.16
9.008.989.02 9.279.27
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56
Jam ke-
Nila
i pH
Mie kontrol Mie kombinasi terbaik
Gambar 13. Penurunan derajat keasaman selama penyimpanan mie
Mie kontrol yang diteliti oleh Pahrudin (2006) mengalami
penurunan nilai pH dari 9,20 (jam ke-0) menjadi 4,70 (jam ke-48).
Umur simpan mie kontrol Pahrudin (2006) selama 26 jam berdasarkan
pengamatan subyektif terhadap terdeteksinya bau asam dan lendir.
Sedangkan mie dengan hasil terbaik Pahrudin (2006), yaitu mie
dengan penambahan pegawet Monolaurin 0,25% + Metil-paraben
0,025% + Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5% memiliki umur
simpan secara subyektif selama 56 jam. Mie terbaik ini mengalami
penurunan pH dari 9,06 (jam ke-0) menjadi 8,23 (jam ke-48).
c. Total asam tertitrasi (TAT)
Total asam tertitrasi merupakan jumlah total asam yang dapat
dinetralkan oleh NaOH. Satuan TAT adalah ml NaOH 0,1N/100 gram
sampel. Pengukuran TAT dilakukan untuk verifikasi terhadap
perubahan nilai pH yang terukur dan pada umumnya dilakukan
terhadap sampel dengan pH di bawah 7. Penurunan pH suatu bahan
seharusnya diikuti dengan peningkatan nilai TAT. Namun, karena nilai
pH dari penyimpanan kedua sampel masih tinggi (pH di atas 7), maka
nilai TAT tidak dapat diukur dan tidak dilakukan pengukuran TAT.
3. Mutu Mikrobiologi
a. Total mikroba
Mikroba perusak yang tumbuh pada mie kemungkinan besar
berasal dari tepung terigu. Kapang dari genus Aspergillus, Rhizopus,
Mucor, Fusarium, dan Penicillium, serta bakteri dari genus
Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus, dan beberapa species
Achromobacter merupakan mikroba yang umumnya tumbuh pada
tepung (Christensen, 1974). Menurut Jay (2000), bakteri dari genus
Pseudomonas merupakan penyebab kerusakan berbagai bahan pangan
karena bakteri ini dapat memproduksi enzim yang dapat memecah
komponen protein dan lemak.
Syarat mutu SNI mie untuk cemaran mikroba harus memiliki
angka lempeng total maksimum 1,0 x 106 atau 6 log cfu/g sampel.
Pada Gambar 14 terlihat adanya penghambatan pertumbuhan mikroba
pada mie kombinasi terbaik di awal penyimpanan sampai jam ke-28.
Total mikroba mie kombinasi terbaik secara umum pada jam yang
sama berbeda 1 log dibandingkan mie kontrol.
Secara subyektif, mie kombinasi terbaik memiliki umur simpan
lebih panjang jika diamati berdasarkan terdeteksinya bau asam dan
lendir. Nilai TPC awal mie kombinasi terbaik (0,57 log cfu/g) lebih
rendah dibandingkan mie kontrol (2,96 log cfu/g). Namun, mie kontrol
dan mie kombinasi terbaik mencapai batas mutu SNI pada jam yang
sama, yaitu jam ke-32. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga pengawet
yang diaplikasikan dalam mie kombinasi terbaik kurang efektif dalam
menghambat pertumbuhan mikroba perusak dan tidak dapat
memperpanjang umur simpan mie secara mikrobiologis.
3.694.27 4.40 4.16
5.10
6.31 6.156.79
7.26
2.96 3.09 3.19
0.55
0.57
1.70
2.763.46 3.78
4.284.54
5.82 6.08 6.206.76
7.137.54
6.00
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56
Jam ke-
Log
cfu/
g
Mie kontrol Mie kombinasi terbaik
Gambar 14. Pertambahan total mikroba selama penyimpanan mie
Nilai TPC awal pada penelitian Pahrudin (2006), yaitu 3,51 log
cfu/g (mie kontrol) dan 3,08 log cfu/g (mie terbaik). Mie kontrol
melewati batas mutu SNI pada jam ke-30, sedangkan mie terbaik pada
jam ke-48. Penggunaan Metil-paraben dalam kombinasi pengawet
yang digunakan Pahrudin (2006) sangat berperan dalam menghambat
pertumbuhan mikroba pembusuk. Paraben memiliki pKa 8,5 dengan
kisaran pH 1 – 14 sehingga pengawet ini sesuai untuk diaplikasikan
sebagai pengawet mie.
Kemampuan pengawet untuk menghambat pertumbuhan
mikroba perusak sangat erat kaitannya dengan nilai pKa pengawet
tersebut. Ketiga pengawet yang digunakan memiliki nilai pKa yang
rendah, yang menunjukkan bahwa ketiga pengawet ini akan bekerja
dengan lebih efektif pada pH asam yang mendekati nilai pKa-nya.
Sorbat memiliki pKa 4,80. Sorbat pada pH 4,0 terdapat 86% dalam
bentuk tidak berdisosiasi dan pada pH 6,5 hanya 6% dalam bentuk
tidak berdisosiasi (Jay, 2000). Nilai pKa tersebut menunjukkan bahwa
sorbat lebih efektif digunakan untuk makanan berasam rendah dan
kurang efektif pada pH basa. Demikian juga halnya dengan propionat
dan asetat yang memiliki pKa 4,87 dan 4,75. Jay (2000) juga
menjelaskan bahwa propionat pada pH 4,0 terdapat 88% dalam bentuk
tidak berdisosiasi dan pada pH 6,0 hanya 6,7% dalam bentuk tidak
berdisosiasi. Nilai pKa yang kurang sesuai dengan pH mie
menyebabkan penggunaan pengawet menjadi kurang efektif karena
pengawet tidak bekerja secara optimum.
Faktor yang juga berpengaruh terhadap umur simpan pada mie
adalah praktek sanitasi yang benar. Jumlah mikroba awal yang tumbuh
pada mie kontrol cukup rendah. Tempat pengolahan dan peralatan
yang berbeda pasti memiliki kondisi sanitasi yang berbeda juga.
Jumlah awal mikroba rendah ini bisa tercapai karena mie dibuat di
laboratorium pengolahan dengan bahan-bahan dan peralatan yang
memiliki sanitasi cukup baik. Kondisi ini berbeda sekali dengan ruang
pengolahan dan peralatan yang dimiliki oleh kebanyakan pengrajin
mie, khususnya tingkat UKM, yang memiliki sanitasi yang buruk. Air
yang digunakan untuk membuat mie juga tidak terjamin
kebersihannya. Belum lagi tambahan kontaminasi mikroba dari pekerja
yang tidak memiliki edukasi yang cukup mengenai masalah higiene.
Kemasan yang digunakan untuk menyimpan mie juga seadanya. Mie
yang nantinya dijual dalam kondisi terbuka akan semakin
mengakumulasi jumlah mikroba dalam mie tersebut.
Chamdani (2005) melakukan perbandingan antara mutu
mikrobiologis mie basah mentah yang dihasilkan sebelum dan sesudah
pembersihan terhadap peralatan, lantai ruangan, dan pekerja produksi
pada UKM mie basah mentah. Peralatan dibersihkan menggunakan
alkohol 96%, lantai ruangan dengan pine oil, dan pekerja diminta
untuk mencuci tangan dengan sabun antiseptik. Nilai TPC awal pada
mie yang dibuat sesudah pembersihan (5,0 x 103 cfu/g) lebih rendah
daripada sebelum pembersihan (4,1 x 104 cfu/g). Sampai pada jam ke-
48, nilai TPC mie mentah sesudah pembersihan (7,7 x 105 cfu/g) juga
lebih rendah dibandingkan nilai TPC sebelum pembersihan (1,3 x 106
cfu/g). Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang baik sangat
berperan dalam menurunkan total mikroba pada produk mie.
b. Total kapang dan khamir
Nilai aw mie yang tinggi menyebabkan kapang dan khamir tidak
tumbuh pada jam-jam awal penyimpanan mie. Berdasarkan hasil
pengamatan (Gambar 15), pertumbuhan kapang dan khamir baru
terjadi pada penyimpanan jam ke-8 sebesar 0,19 log cfu/g (mie
kontrol) dan jam ke-12 sebesar 0,04 log cfu/g (mie kombinasi terbaik).
Sampai waktu akhir penyimpanan, total kapang dan khamir pada
sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik masih memenuhi
syarat mutu SNI mie basah, dimana nilai total kapang dan khamir
harus di bawah 104 atau 4 log cfu/g.
Penambahan pengawet kalium sorbat dan kalsium propionat
yang bersifat anti kapang tidak memberikan efek penghambatan
terhadap kapang karena pH mie yang terlalu tinggi tidak optimum
untuk kinerja penghambatan kedua pengawet tersebut. Berbeda dengan
hasil mie terbaik Pahrudin (2006) yang juga melibatkan penambahan
pengawet Ca-propionat 0,075% + Na-asetat 2,5%, disamping
penambahan Monolaurin 0,25% + Metil-paraben 0,025%, tidak
ditemukan pertumbuhan kapang dan khamir. Hal ini menunjukkan
bahwa penghambatan terhadap kapang dan khamir pada mie oleh
Monolaurin dan Metil-paraben lebih efektif dibandingkan oleh kalsium
propionat dan kalium sorbat. Nilai total kapang dan khamir untuk mie
kontrol Pahrudin (2006) pada jam ke-0 adalah 1,0 log cfu/g atau lebih
tinggi dibandingkan hasil penelitian ini.
Nilai total kapang dan khamir yang rendah pada kedua sampel
mie menunjukkan bahwa pengolahan mie dilakukan dengan sanitasi
yang baik. Jika praktek sanitasi sangat buruk, kapang mungkin tumbuh
sejak awal penyimpanan. Kapang ini dapat berasal dari kontaminasi
silang spora kapang yang terdapat pada lingkungan, ruang pengolahan,
atau peralatan. Tempat pengolahan mie Pahrudin (2006) dilakukan di
Pilot Plant FTDC dengan peralatan produksi dengan skala yang lebih
besar. Tempat pengolahan, peralatan, dan kondisi sanitasi yang
berbeda ini yang memungkinkan perbedaan yang cukup besar pada
nilai kapang dan khamir antara kedua penelitian ini.
0.230.47
0.60
1.301.53 1.50
1.811.33 1.67
0 0.190 0.040.080.30
0.37
1.24
1.73
1.62
1.631.98
2.23
3.28
1.60
0
1
2
3
4
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56
Jam ke-
Log
cfu/
g
Mie kontrol Mie kombinasi terbaik
Gambar 15. Total kapang dan khamir selama penyimpanan mie
c. Total koliform
Uji total koliform dilakukan untuk mendeteksi adanya bakteri
koliform, khususnya E. coli sebagai bakteri indikator sanitasi. Metode
MPN ini lebih baik bila dibandingkan metode hitungan cawan karena
lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah sangat
rendah di dalam contoh (Jenie dan Fardiaz, 1989). Bakteri E. coli tidak
ditemukan pada sampel mie kontrol maupun mie kombinasi terbaik
yang ditandai dengan tidak terbentuknya gas atau kekeruhan pada
tabung Durham di semua seri pengenceran (lihat Lampiran 41 dan 42).
Hal ini menunjukkan bahwa praktek sanitasi yang dilakukan sudah
cukup baik.
4. Mutu Organoleptik
Salah satu uji penerimaan yang paling sering digunakan terhadap
produk pangan adalah uji hedonik seperti yang digunakan dalam penelitian
ini. Dalam uji hedonik, panelis diminta untuk mengemukakan pendapat
pribadinya tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap beberapa
atribut sampel maupun terhadap sampel secara keseluruhan (overall).
Parameter yang diujikan terhadap sampel mie ini meliputi atribut warna,
aroma, tekstur, dan rasa, serta tingkat kesukaan secara keseluruhan.
Tingkat-tingkat kesukaan panelis dalam uji hedonik dikenal
dengan istilah skala hedonik. Rentang skala hedonik dapat diatur sesuai
dengan kebutuhan penilaian terhadap sampel. Untuk sampel yang sudah
dikenal secara umum, biasanya digunakan skala penilaian antara 1 sampai
5, yaitu nilai 1 untuk “sangat tidak suka”, nilai 2 untuk “tidak suka”, nilai
3 untuk “netral”, nilai 4 untuk “suka”, dan nilai 5 untuk “sangat suka”.
Sedangkan untuk sampel yang tergolong produk baru atau sampel yang
jarang dikonsumsi, biasanya skala hedonik direntangkan sampai 7 bahkan
9 skala. Mie tergolong makanan yang umum dikonsumsi dalam
masyarakat sehingga uji hedonik terhadap sampel mie cukup dilakukan
dengan skala hedonik 1 sampai 5.
Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa,
dan keseluruhan mie tertera pada Gambar 16. Berdasarkan uji statistik
menggunakan analisis ragam (Lampiran 55), warna mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
(p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie berada dalam subset
yang sama dengan skor kesukaan 4,21 dan 4,43 (Lampiran 56). Hal ini
menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC
dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak berpengaruh tehadap
warna mie.
Skor uji kesukaan terhadap warna mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik berbeda nyata dengan mie pasar, dimana warna mie pasar memiliki
skor kesukaan terendah, yaitu 3,45. Skor warna mie pasar berada dalam
subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya. Berdasarkan skor
kesukaan, panelis lebih suka pada warna mie kontrol dan mie kombinasi
terbaik dibandingkan dengan mie pasar.
Mie pasar memiliki warna kuning yang sangat terang yang diduga
berasal dari pewarna sintetik, yaitu Tartazine. Syah et al. (2005)
menyebutkan zat pewarna lain yang mungkin digunakan sebagai perwarna
mie adalah Metanil Yellow yang memberikan warna kuning cerah pada
mie. Metanil Yellow merupakan zat pewarna yang dilarang untuk
ditambahkan kedalam makanan karena pewarna ini digunakan sebagai
pewarna untuk produk-produk tekstil, cat kayu, dan cat lukis. Pewarna ini
termasuk kelompok azo yang dicurigai mempunyai dampak buruk
terhadap jaringan hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan jaringan
kulit.
Aroma yang terdeteksi pada mie segar yang baru direbus adalah
aroma terigu dan minyak kelapa yang digunakan untuk melumur mie.
Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (Lampiran 57),
aroma mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan 3,62 dan 3,70. Skor
aroma kedua mie ini berada dalam subset yang sama pada uji lanjut
Duncan (Lampiran 58). Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan penilaian
panelis, penambahan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak
berpengaruh terhadap aroma mie.
Aroma mie yang dibeli di pasar berbeda nyata dengan kedua mie
yang dibuat dalam skala laboratorium. Mie pasar memiliki skor kesukaan
paling rendah, yaitu 1,98 dan berada dalam subset yang berbeda dengan
kedua mie lainnya. Mie pasar memiliki bau menyengat yang kemungkinan
besar berasal dari bau minyak kacang bercampur dengan formalin.
Berdasarkan uji statistik menggunakan analisis ragam (lihat
Lampiran 59), tekstur mie kontrol dan mie kombinasi terbaik tidak
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) dengan skor kesukaan
4,07 dan 3,93. Skor tekstur mie ini berada dalam subset yang sama pada
uji lanjut Duncan (Lampiran 60), yang berarti menurut penilaian panelis,
penambahan CMC dan pengawet pada mie kombinasi terbaik tidak
mengubah tekstur mie.
Tekstur kedua mie yang dibuat dalam skala laboratorium berbeda
nyata dengan mie yang dibeli di pasar. Mie pasar memiliki skor kesukaan
2,53 dan berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie lainnya.
Mie pasar memiliki tekstur yang lebih liat dan keras. Uji terhadap adanya
kandungan formalin tidak dilakukan pada sampel mie pasar. Jika kontrol
positif ini menggunakan formalin, tekstur yang liat dan keras ini terbentuk
akibat interaksi antara formaldehid dengan grup asam amino bebas lisin
pada gugus ε-NH2 memebtuk ikatan silang (Marquie et al., 1997).
Uji statistik menggunakan analisis ragam untuk skor kesukaan
terhadap atribut rasa (Lampiran 61) menunjukkan tekstur mie kontrol dan
mie kombinasi terbaik tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%
(p<0,05) dengan skor kesukaan 3,73 dan 3,63. Skor rasa kedua mie ini
berada dalam subset yang sama pada uji lanjut Duncan (Lampiran 62).
Berdasarkan penilaian panelis, penambahan CMC dan pengawet pada mie
kombinasi terbaik tidak mengubah rasa mie.
Rasa mie pasar memiliki skor kesukaan 2,18 dan berbeda secara
nyata dengan kedua sampel mie lainnya. Perbedaan ini ditunjukkan oleh
letak subset yang berbeda antara mie pasar dengan mie matang kontrol dan
mie kombinasi terbaik. Hal ini menunjukkan bahwa untuk atribut rasa,
panelis lebih menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada
mie yang dijual di pasar.
Uji statistik untuk skor kesukaan terhadap mie menggunakan
analisis ragam (Lampiran 63) menunjukkan bahwa mie kontrol dan mie
kombinasi terbaik secara keseluruhan tidak berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95% (p<0,05). Berdasarkan uji lanjut Duncan, kedua mie ini
berada dalam subset yang sama dengan skor kesukaan 3,94 dan 4,17. Hal
ini berarti penambahan CMC dan pengawet kedalam mie kombinasi
terbaik tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap mie
secara keseluruhan.
Mie pasar, yang memiliki skor kesukaan 2,15, berbeda secara nyata
dengan kedua sampel mie lainnya. Mie pasar yang memiliki skor kesukaan
yang lebih rendah berada dalam subset yang berbeda dengan kedua mie
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan panelis lebih
menyukai mie yang dibuat dalam skala laboratorium daripada mie yang
dijual di pasar.
4.07
4.434.17
3.943.62
4.21
3.733.93
3.70 3.63
2.152.18
2.53
1.98
3.45
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan
Skor
Mie kontrolMie kombinasi terbaikMie pasar
Gambar 16. Skor hasil uji hedonik mie
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pemilihan garam alkali yang tepat sangat penting dalam proses
pembuatan mie karena sangat berpengaruh terhadap warna dan tekstur mie.
Penambahan garam alkali Na2CO3 0,6% kedalam adonan mie memberikan
hasil yang lebih baik dalam hal umur simpan, warna, tekstur, dan elastisitas
dari pada STPP 0,2%.
Penambahan hidrokoloid cukup berpengaruh terhadap tekstur mie. Mie
yang ditambahkan CMC 0,2% memiliki nilai kekerasan paling tinggi dan
memerlukan biaya produksi paling kecil dibandingkan kedua hidrokoloid
lainnya. Pada prakteknya di lapangan, penambahan CMC ini dapat tidak
dilakukan karena tidak memberikan perubahan signifikan terhadap tekstur mie
yang dihasilkan.
Pelumuran minyak yang dilakukan setelah pemasakan memberikan
penampakan mie yang lebih baik dan tidak lengket dengan penggunaan
minyak yang lebih efisien (10% berat mie mentah). Pemasakan mie dengan
cara dikukus menghasilkan mie dengan umur simpan lebih panjang dan
berwarna kecoklatan yang berbanding lurus dengan peningkatan waktu
pengukusan. Warna coklat ini terbentuk karena terjadinya reaksi Maillard. Mie
yang dikukus memiliki tekstur tidak seragam, sangat keras, rapuh atau mudah
patah, dan tidak elastis. Dari segi warna dan tekstur, mie yang direbus
memiliki penampakan yang lebih baik dari mie yang dikukus.
Penggunaan plastik LDPE atau PP tebal tidak berpengaruh terhadap
umur simpan mie selama dalam kondisi tertutup. Kemasan plastik yang
tertutup rapat merupakan salah satu praktek sanitasi yang dapat mereduksi
jumlah mikroba perusak hasil kontaminasi silang dari luar, seperti dari udara,
debu, tangan penjual, ataupun wadah tempat menjajakan mie. Pengemasan
vakum tidak sesuai untuk diaplikasikan pada mie karena menyebabkan
penampakan menjadi kurang menarik. Penyimpanan mie pada suhu rendah
meningkatkan umur simpan, yaitu 10 hari (13 ± 2oC) dan 40 hari (4 ± 1oC).
Pertumbuhan mikroba terhambat karena terjadi chilling injury pada sel
mikroba. Namun, biaya untuk aplikasi suhu rendah yang harus disertai dengan
cold chain atau rantai distribusi suhu rendah masih terlalu mahal dan tidak
terjangkau untuk produsen mie pada tingkat UKM maupun industri menengah.
Mie dengan penambahan pengawet formula VII, yaitu kombinasi Na-
asetat 0,016% + Ca-propionat 0,1% + K-sorbat 0,05% memiliki umur simpan
terpanjang (60 jam) berdasarkan pengamatan secara subyektif (bau asam).
Penambahan pengawet tidak mempengaruhi pH dan warna secara signifikan.
Setelah diturunkan konsentrasinya menjadi 25%, mie yang ditambahkan
pengawet formula VII memiliki umur simpan 56 jam, berdasarkan
terdeteksinya bau asam dan adanya lendir.
Perlakuan terbaik, berdasarkan mutu fisik dan umur simpan secara
subyektif, dari masing-masing tahapan dikombinasikan menjadi mie
kombinasi terbaik. Mie kombinasi terbaik dibuat dengan penambahan
Na2CO3 0,6%, CMC 0,2%, dan pengawet Na-asetat 0,004% + Ca-propionat
0,025% + K-sorbat 0,0125% (CPPB 25%), kemudian dimasak dengan cara
direbus selama 2 menit, dikemas dengan plastik LDPE, dan disimpan pada
suhu ruang. Mie memiliki nilai aw yang tinggi, sekitar 0,965-0,97, sehingga
mie tergolong sebagai makanan yang mudah rusak. Selama penyimpanan mie
kontrol dan mie kombinasi terbaik, terjadi perubahan terhadap parameter pH,
warna, dan tekstur. Nilai pH mie menurun seiring dengan bertambahnya
waktu penyimpanan yang disebabkan oleh mikroba pembusuk yang
mendekomposisi karbohidrat dan protein menghasilkan asam. Warna mie
berubah menjadi semakin pucat karena peningkatan nilai kecerahan. Selama
penyimpanan juga terjadi penurunan nilai kekerasan dan peningkatan nilai
kelengketan.
Mie kontrol dan mie kombinasi terbaik masih memenuhi standar mutu
SNI (TPC maksimum 106) selama penyimpanan 32 jam berdasarkan analisis
mutu mikrobiologis. Nilai pH mie yang kurang sesuai dengan pKa pengawet
menyebabkan penggunaan pengawet menjadi kurang efektif dalam
menghambat pertumbuhan mikroba karena pengawet tidak bekerja secara
optimum. Nilai total kapang dan khamir mie kontrol maupun mie kombinasi
terbaik masih memenuhi syarat mutu SNI mie basah (maksimum 104) sampai
akhir penyimpanan (56 jam). Koliform tidak ditemukan pada kedua sampel
mie selama penyimpanan. Kondisi ini dapat tercapai dengan praktek sanitasi
yang baik pada saat pengolahan mie.
Berdasarkan hasil uji hedonik, mie kontrol dan mie kombinasi terbaik
tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (p<0,05) untuk atribut warna,
aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Sedangkan mie yang dijual di pasaran
berbeda nyata (p<0,05) dengan kedua sampel mie yang dibuat pada skala
laboratorium untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan. Hal
ini menunjukkan bahwa kedua mie skala laboratorium secara keseluruhan
lebih disukai daripada mie yang dijual di pasaran.
B. SARAN
Mie yang dibuat tanpa penambahan pengawet jika pengolahannya
dilakukan dengan praktek sanitasi yang baik dapat diaplikasikan pada
produsen mie tingkat UKM. Penyimpanan mie dalam kemasan plastik tertutup
juga dapat mengurangi peluang terjadinya kontaminasi mikroba dari luar
selama distribusi dan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA
Ames, J. M. dan A. Apriyantono. 1994. Effect of pH on the volatil compound formed in a xylose-lysine model system. Di dalam T. H. Parliament, M. J. Morello dan R. J. Mec Gorrin (eds.). Thermal Generation Flavor. Washington American Chemical Society.
Anonim. 1996. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan. . 1999a. Propionic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=
Propionic_acid.html. [27 Januari 2006]. . 1999b. Sorbic Acid. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=
Sorbic_acid.html. [27 Januari 2006]. AOAC. 1984. Method of Analysis. Association of Official Analytical Chemistry.
Washington D.C Apriyantono, A., D. Fardiaz, Puspitasari N. L., Sedarnawati Y., Budijanto, S.
1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit IPB Press. Bogor. Arbuckle, W. S. 1986. Ice Cream. The AVI Publishing Company Inc., Westport,
Connecticut. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Mi Basah. SNI-01 2987-1992. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta. Badrudin, C. 1994. Modifikasi Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)
sebagai Bahan Pembuat Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Belitz, H. D. dan ,W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Berlin. Branen, A. L dan R. J. Haggerty. 2002. Introduction of Food Additives. 2nd
Edition. Marcel Dekker Inc. New York. Basel. Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan.
Terjemahan. UI Press, Jakarta. Chamdani. 2005. Pemilihan Bahan Pengawet yang Sesuai pada Produk Mie
Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Chapman, W dan Chapman. 1980. Karrageenan. Marine Colloid Monograph
Number One. Marine Colloid Division FMC Corp. Springfield, New Jersey.
Christensen, M. 1974. Storage The Cereal Grains and Their Products. American Association of Cereal Chemist. Minnesota.
CNFP. 2002a. Calcium Propionate. Technical Advisory Panel (TAP) Review.
USDA. USA. _____. 2002b. Pottasium Sorbate. Technical Advisory Panel (TAP) Review.
USDA. USA. Departemen Kesehatan RI. 1989. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/1988, tentang Bahan Tambahan Makanan. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Desrosier. 1977. The Technology of Food Preservation. 4th Edition. AVI
Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Fardiaz, D. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. IPB Press. Bogor. Fardiaz, S. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. PAU
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fellers, C. R. 1955. Food Preservation. Di dalam: F. C. Blanck (ed.). Handbook of
Food and Agriculture. Reinhold Publishing Corporation. New York. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker. New York. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1979. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill
Publishing Company Ltd., New Delhi. Garbutt, J. 1997. Essentials of Food Microbiology. Arnold. London. Glicksman, M. 1983. Food Hidrocolloids II. CRC Press. Boca Rota, Florida. Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hanlon, J. F. 1971. Handbook of Package Engineering. McGraw-Hill Book
Company. New York. Indrawan, I. 2005. Survai Manufaktur dalam Rangka Meningkatkan Mutu Mie
Basah di Jabotabek. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publisher, Inc.
Maryland.
Jenie, B. S. L. 1995. Prinsip Pengawetan Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor.
Labuza, T. P. 1975. Storage Stability and Improvement of Intermediate Moisture
Foods. University of Minnesota Publ. St. Paul. Minnesota. Maillard, L. C. 1912. Action of amino acids on sugars: Formation of melanoidins
in a methodical way. Compt. Rend. 154: 66-68. Di dalam: Whistler, R. L. dan J. R. Daniel. Carbohydrates. O. R. Fennema (Ed.). 1985. Food Chemistry. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc. New York and Basel.
Marquie, C., A. M. Tessier, C. Aymard, dan S. Guilbert. 1997. HPLC
determination of the reactive lysine content of cottonseed protein films to monitor the cross-linking by formaldehyde, glutaraldehyde, and glyoxal. J. Agric. Food Chem. 45:922-926.
Merck Indeks. 1989. Preservation and Preservatives. 11th Edition. Susan, B. (ed.).
Merck & Cg., Inc. Rahway, N. J. USA. Moriano, A. L. 1977. Sulfated Seaweed Polysacharide. Di dalam: Food Colloid.
AVI Publishing. Westport, Connecticut. P347 – 784. Mugiarti. 2001. Mempelajari Pengaruh Substitusi Tepung Kedelai pada
Pembuatan Mie Basah (Boiled Noodle). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nishita, K.D., R.L. Robert, dan M.M. Bean. 1976. Development of yeast leaved
rice bread formula. J. Cereal Chemistry, 53 (5): 626-635. Nuraida, L. 1995. Mikrobiologi Pangan. Diktat Pelatihan Singkat Mikrobiologi
Makanan. Ditjen PMP dan PLP Depkes/UNDP – PUSBANGTEPA, LP IPB. Bogor.
Nussinovitch, A. 1997. Hydrocolloids Application: Gum technology in the food
and other industries. Blackie Academic & Professional. London. Pagani, M. A. 1985. Pasta Product from Non Conventional Raw Material. P52-68.
Di dalam: Ch. Mercier dan C. Centrallis (eds.) 1985. Pasta and Extruction Cooked Foods. Proceeding of an Internasional Symposium held in Milan. Italy.
Pahrudin. 2006. Aplikasi Pengawet untuk Memperpanjang Umur Simpan Mie
Basah Matang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Patersen, K., P. V. Nielsen, G. Bertelsen, M. Lawther, M. B. Olsen, N. H. Nilson dan G. Mortensen. 1999. Potential of biobased materials for food packaging. J. Food Science and Technology 10: 52-68. Elsevier Science Ltd., UK.
Priyatna, N. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Tangerang dan
Bekasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rani, H. 1989. Jenis dan Mekanisme Kerja Bahan Pengawet Pangan. Makalah.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rees, D. A. 1969. Structure, Comformation, and Mechanism in The Formation of
Polysacheride Gel and Network. Di dalam: Adv. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Edinburg, Scotland. 24:279 – 282.
Saccharow, S dan R. C. Griffin. 1980. Food Packaging: Principles of Food
Packaging. 2nd Edition. The AVI Publishing. Westport, Connecticut. Samelis, J. dan J. N. Sofos. 2003. Organic Acid. Di dalam: Roller, S. (Ed.).
Natural antimicrobial for the minimal processing of foods. Woodhead Publishing Limited. Cambridge, England.
Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suptijah, P. 2002. Karagenan. http://rudyct.tripod.com/ sem2_012/pipih_ suptijah.
html. [10 Mei 2004]. Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Penerbit Alumni. Bandung. Syah, D., S. Utama, Z. Mahrus, F. Fauzan, R. Siahaan, O. Oktavia, S. Supriyadi,
dan W. Kartawijaya. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Syarief, R., S. Santausa dan S. I. Budiana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Widowati, S. dan K.A. Buckle. 1991. Gude (Cajanus cajan L Mill sp.) Sebagai
Sumber Pati dan Bahan Baku Mie Kering. Makalah pada Seminar Rutin Balitan Sukamandi, Februari 1991.
Whistler, R. L. dan J. N. B. Miller. 1973. Industrial Gum: Polysacharides and
Their Derivatives. 2nd Edition. Academic Press. New York.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
. 1991. Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan
dalam Seminar Sehari Serba Mie, Institut Pertanian Bogor. Bogor. . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia. Jakarta. Winarno, F. G. dan Rahayu, T.S. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan
Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Yustiareni, E. 2000. Kajian Substitusi Terigu oleh Tepung Garut dan Penambahan
Tepung Kedelai dalam Pembuatan Mie Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Skema tahapan penelitian secara umum
Tahap 1: Perlakuan
Garam Alkali
Tahap 5: Perlakuan Optimasi Pengawet
Tahap 6: Penurunan
Konsentrasi Pengawet
Konsentrasi Pengawet Terbaik
Pengamatan: Mutu Fisik,
Kimia, Mikrobiologis,
& Sensori
Tahap 2: Perlakuan
Hidrokoloid
Tahap 3: Perlakuan Pemasakan
& Pelumuran
Tahap 4: Perlakuan Kondisi
Penyimpanan
Humektan Terbaik
Pemasakan & Pelumuran
Terbaik
Kondisi Penyimpanan
Terbaik
Tahap 7: Pembuatan Mie Basah Matang dengan Kombinasi Perlakuan
Terbaik
Pembuatan Mie Basah Matang dengan Formula Standar
Lampiran 2. Spesifikasi hidrokoloid: CMC
Lampiran 3. Spesifikasi hidrokoloid: gum Arab
Lampiran 4. Spesifikasi hidrokoloid: karagenan
Lampiran 5. Spesifikasi pengawet: Kalsium Propionat
Lampiran 6. Spesifikasi pengawet: Kalium Sorbat
Lampiran 7. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6%
Kekerasan Kelengketan Elastisitas Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3374,6 3838,3 -546,9 -789,5 16,7 17,2 2 3783,4 3715,5 -710,5 -837,5 17,8 17,0 3 3350,1 4049,0 -548,1 -656,9 20,5 17,2 4 3707,1 3677,3 -673,2 -620,0 15,1 16,9 5 3676,6 3880,4 -594,0 -639,1 20,0 18,2
3578,4 3832,1 -614,5 -708,6 18,0 17,3 Rata-rata 3705,3 -661,5 17,7 SD 126,85 -47,1 0,4
Mie dengan STPP 0,2%
Kekerasan Kelengketan Elastisitas Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3597,0 3469,9 -619,8 -529,3 15,7 17,1 2 3505,5 3291,5 -593,1 -567,4 15,8 17,9 3 3600,4 3671,6 -655,3 -505,8 14,7 14,2 4 3484,8 3473,6 -593,0 -624,8 15,3 14,6 5 3436,4 3687,1 -564,1 -762,7 15,6 16,3
3524,8 3518,7 -605,1 -598,0 15,4 16,0 Rata-rata 3521,8 -601,6 15,7 SD 3,05 3,55 0,3
Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup
Garam Alkali N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kontrol 5 3705.260 65.7218 29.3917 Kekerasan
STPP 0,2% 5 3521.800 89.1574 39.8724 Kontrol 5 -661.580 67.8604 30.3481
Kelengketan STPP 0,2% 5 -601.560 37.0682 16.5774
Kontrol 5 17.680 1.3103 .5860 Elastisitas
STPP 0,2% 5 15.760 .9915 .4434
Lampiran 8. Uji T terhadap tekstur perlakuan garam alkali (Lanjutan) Uji T
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Kekerasan Equal
variances assumed
.468 .513 3.704 8 .006 183.460 49.5346
Kelengketan Equal
variances assumed
.909 .368 -1.736 8 .121 -60.020 34.5806
Elastisitas Equal
variances assumed
.628 .451 2.613 8 .031 1.920 .7348
Lampiran 9. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan garam alkali Mie dengan Na2CO3 0,6%
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 69,28 67,75 -84.35 82.47 2 68,62 68,10 -83.73 85.13 3 67,83 71,85 -84.16 85.42
68,58 69,23 -84.08 84.34 Rata-rata 68,91 84,21 SD 0,33 0,13
Mie dengan STPP 0,2%
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 73,60 70,48 -82,24 85,29 2 73,06 71,35 -82,32 84,76 3 74,08 71,03 -82,19 84,77
73,58 70,95 -82,25 84,94 Rata-rata 72,27 83,60 SD 1,32 1,35
Lampiran 10. Uji T terhadap warna mie dengan perlakuan garam alkali Statistik Grup
Garam Alkali N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Kontrol 3 84.2000 .72111 .41633 Derajat Hue
STPP 0,2% 3 83.6000 .17321 .10000 Kontrol 3 68.9000 .78102 .45092
Kecerahan (L) STPP 0,2% 3 72.2667 .30551 .17638
Uji T
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
Derajat Hue
Equal variances assumed
4.966 .090 1.401 4 .234 .6000 .42817
Kecerahan (L)
Equal variances assumed
4.797 .094 -6.953 4 .002 -3.3667 .48419
Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2%
Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3994,2 3979,9 -861,5 -619,2 19,9 20,4 2 3817,2 4016,8 -1316,5 -672,9 16,1 19,3 3 3717,5 3948,2 -818,0 -747,3 15,9 17,5 4 3692,9 3967,1 -799,3 -830,2 17,1 19,8 5 4175,1 4132,7 -843,1 -681,2 17,1 16,5
3903,4 4008,9 -927,7 -710,2 17,2 18,7 Rata-rata 3956,2 -819,0 18,0 SD 52,8 -108,8 0,8
Mie dengan Gum Arab 0,5% Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik
ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3272,9 3964,1 -526,3 -751,5 17,1 18,4 2 3546,9 3683,5 -790,3 -706,1 16,1 20,0 3 3391,5 3992,4 -564,8 -883,9 17,4 18,6 4 3906,7 3935,5 -776,5 -811,2 17,8 17,3 5 3560,0 4068,7 -947,5 -778,2 17,2 18,7
3535,6 3928,8 -721,1 -786,2 17,1 18,6 Rata-rata 3732,2 -753,7 17,9 SD 196,6 -32,6 0,8
Lampiran 11. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan)
Mie dengan Karagenan 0,5% Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Elastisitas (gforce) Titik
ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 21 3376,2 2902,6 -560,0 -390,0 17,9 19,2 2 3492,3 3088,4 -670,1 -425,7 15,9 18,8 3 3303,2 3118,9 -586,0 -400,9 17,0 17,8 4 3316,8 2872,9 -573,0 -423,9 18,6 19,1 5 3202,9 3175,4 -938,6 -460,8 15,7 17,0
3338,3 3031,6 -665,5 -420,3 17,0 18,4 Rata-rata 3207,5 -542,9 17,7 SD 175,9 -122,6 0,7
Lampiran 12. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1561532.010 3 520510.670 Within Groups 181939.232 16 11371.202
Kekerasan Total 1743471.242 19
45.774 .000
Between Groups 215251.132 3 71750.377 Within Groups 121271.960 16 7579.498
Kelengketan Total 336523.092 19
9.466 .001
Between Groups .289 3 .096 Within Groups 19.448 16 1.216
Elastisitas Total 19.738 19
.079 .970
Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid
Kekerasan Subset for alpha = .05
Hidrokoloid N 1 2 3
Karagenan 0,5% 5 3185.000 Kontrol 5 3705.260
Gum Arab 0,5% 5 3732.240 CMC 0,2% 5 3944.180
Sig. 1.000 .978 1.000 Kelengketan
Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N
1 2 CMC 0,2% 5 -818.960
Gum Arab 0,5% 5 -753.660 Kontrol 5 -661.580 -661.580
Karagenan 0,5% 5 -542.920 Sig. .050 .178
Lampiran 13. Uji lanjut Tukey terhadap tekstur mie dengan perlakuan hidrokoloid (Lanjutan)
Elastisitas
Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N 1 Kontrol 5 17.680
Karagenan 0,5% 5 17.740 Gum Arab 0,5% 5 17.900
CMC 0,2% 5 17.980 Sig. .972
Lampiran 14. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan hidrokoloid Mie dengan CMC 0,2%
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 69,62 70,31 -83,35 83,10 2 67,69 70,57 -83,27 83,09 3 70,11 70,95 -83,54 83,47
68,66 70,61 -83,39 83,22 Rata-rata 69,64 83,31 SD 0,98 0,09
Mie dengan Gum Arab 0,5%
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 68,17 69,09 -84,48 85,47 2 70,84 69,47 -84,47 84,81 3 73,27 70,60 -83,85 85,37
69,51 69,72 -84,27 85,22 Rata-rata 69,62 84,75 SD 0,11 0,48
Mie dengan Karagenan 0,5%
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 70,81 73,16 -84,15 83,67 2 75,60 72,53 -83,21 83,56 3 72,77 72,02 -83,50 83,76
73,21 72,57 -83,62 83,66 Rata-rata 72,89 83,64 SD 0,32 0,02
Lampiran 15. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2.419 3 .806
Within Groups .500 4 .125 Derajat Hue
Total 2.919 7
6.445
.052
Between Groups 19.119 3 6.373
Within Groups 2.339 4 .585 Kecerahan
Total 21.458 7
10.897
.021
Lampiran 16. Uji lanjut Tukey terhadap warna mie dengan perlakuan hidrokoloid
Derajat Hue Subset for alpha = .05
Hidrokoloid N 1 2
CMC 0,2% 2 83.3050 Karagenan 0,5% 2 83.6400 83.6400
Kontrol 2 84.2100 84.2100 Gum Arab 0,5% 2 84.7450
Kecerahan
Subset for alpha = .05 Hidrokoloid N
1 2 Kontrol 2 68.9050
Gum Arab 0,5% 2 69.6150 CMC 0,2% 2 69.6350
Karagenan 0,5% 2 72.8900
Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Mie Kukus 10’
Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 9144,4 8868,5 -554,8 -607,9 2 9408,2 8801,7 -537,7 -481,2 3 9683,6 9240,8 -556,3 -617,1 4 9165,1 8973,2 -556,8 -499,9 5 7902,7 9462,2 -467,0 -558,0
9060,8 9069,3 -534,5 -552,8 Rata-rata 9065,0 -543,7 SD 4,25 8,65
Lampiran 17. Hasil analisis tekstur mie dengan perlakuan pemasakan (Lanjutan) Mie Kukus 12’
Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 8941,7 10102,4 -488,9 -484,7 2 9750,7 9290,4 -526,7 -362,8 3 9065,3 9153,1 -498,2 -347,4 4 9389,8 8821,2 -619,8 -361,5 5 9266,2 9247,1 -462,3 -536,4
9282,7 9322,8 -519,2 -418,6 Rata-rata 9302,8 -468,9 SD 20,05 50,5
Lampiran 18. Analisis ragam terhadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 100194781.15
6 2 50097390.578
Within Groups 500454.148 12 41704.512
Kekerasan
Total 100695235.304 14
1201.246
.000
Between Groups 94360.528 2 47180.264Within Groups 28499.508 12 2374.959
Kelengketan
Total 122860.036 14
19.866
.000
Lampiran 19. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie dengan perlakuan pemasakan Kekerasan
Subset for alpha = .05 Pemasakan
N 1 2
Kontrol 5 3705.260 Kukus 10' 5 9065.080 Kukus 12' 5 9302.820
Kelengketan
Subset for alpha = .05 Pemasakan N
1 2 3 Kontrol 5 -661.580
Kukus 10' 5 -543.700 Kukus 12' 5 -468.900
Lampiran 20. Hasil analisis warna mie dengan perlakuan pemasakan
Mie Kukus 10’ Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2
1 62,47 60,73 -89,25 -88,47 2 63,65 62,00 -89,49 -88,41 3 63,81 60,33 -89,04 -88,38
63,31 61,02 -89,26 -88,42 Rata-rata 61,17 -88,84 SD 1,15 0,42
Mie Kukus 12’
Kecerahan (L) oHue Titik ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 1 59,96 57,52 89,25 87,89 2 59,58 58,17 89,49 89,98 3 58,76 59,66 89,04 89,47
59,43 58,45 89,26 89,11 Rata-rata 58,94 89,19 SD 0,49 0,08
Lampiran 21. Analisis ragam terhadap warna mie dengan perlakuan pemasakan
Sum of Squares df Mean
Square F Sig.
Between Groups 2.419 3 .806
Within Groups .500 4 .125 Derajat Hue
Total 2.919 7
6.445
.052
Between Groups 19.119 3 6.373
Within Groups 2.339 4 .585 Kecerahan (L)
Total 21.458 7
10.897
.021
Lampiran 22. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie dengan perlakuan pemasakan Derajat Hue
Subset for alpha = .05 Pemasakan N
1 2 Kontrol 2 84.2100
Kukus 10' 2 88.8400 Kukus 12' 2 89.1850
Kecerahan (L)
Subset for alpha = .05 Pemasakan N
1 2 Kukus 12' 2 58.9400 Kukus 10' 2 62.1650
Kontrol 2 68.9050
Lampiran 23. Hasil analisis warna mie kontrol selama penyimpanan L a b oHue Jam 1 2 1 2 1 2 1 2
0 69,08 68,01 2,78 2,81 24,06 23,80 83,41 83,27 24 78,70 73,10 2,88 2,63 25,31 24,05 83,50 83,75 44 77,47 74,44 3,19 3,12 23,21 21,95 82,17 81,90
Lampiran 24. Analisis ragam warna mie kontrol selama penyimpanan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 72.671 2 36.336 5.230 .105
Within Groups 20.843 3 6.948 Kecerahan
(L) Total 93.514 5
Between Groups 2.875 2 1.437 55.643 .004
Within Groups .077 3 .026 Derajat Hue
Total 2.952 5
Lampiran 25. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kontrol selama penyimpanan
Derajat Hue Subset for alpha = .05
Mie kontrol N 1 2
44 jam 2 82.0350 0 jam 2 83.3400
24 jam 2 83.6250 Sig. 1.000 .317
Kecerahan
Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1 0 jam 2 68.5450
24 jam 2 75.9000 44 jam 2 75.9550
Sig. .131
Lampiran 26. Hasil analisis warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
L a b oHue Jam 1 2 1 2 1 2 1 2 0 68,64 69,84 2,86 3,02 23,94 24,07 83,16 82,86 24 71,36 71,15 2,46 2,67 23,20 24,39 83,94 83,75 48 71,14 71,27 3,13 3,08 20,73 22,27 81,43 82,13 56 74,47 73,27 3,35 3,37 20,65 20,47 80,79 80,65
Lampiran 27. Analisis ragam warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 21.651 3 7.217 19.631 .007
Within Groups 1.471 4 .368 Kecerahan (L)
Total 23.121 7 Between Groups 11.304 3 3.768 47.418 .001
Within Groups .318 4 .079 Derajat Hue
Total 11.622 7 Lampiran 28. Uji lanjut Tukey warna mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Derajat Hue Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N
1 2 56 jam 2 80.7200 48 jam 2 81.7800 0 jam 2 83.0100
24 jam 2 83.8450 Sig. .064 .129
Kecerahan
Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N
1 2 0 jam 2 69.2400
48 jam 2 71.2050 24 jam 2 71.2550 56 jam 2 73.8700
Sig. .093 1.000 Lampiran 29. Hasil analisis tekstur mie kontrol selama penyimpanan
Kekerasan (gfroce) Kelengketan (gfroce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3578,4 3832,1 3705,3 -614,5 -708,6 -661,5 16 2659,7 3259,7 3259,7 -466,6 -557,7 -512,2 32 3590,8 3593,0 3593,0 -706,5 -658,6 -682,6 44 3150,2 3576,0 3363,1 -567,1 -638,5 -602,8
Lampiran 30. Analisis ragam tekstur mie kontrol selama penyimpanan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 650258.744 3 216752.915 2.863 .168
Within Groups 302837.085 4 75709.271 Kekerasan
Total 953095.829 7 Between Groups 34913.284 3 11637.761 3.793 .115
Within Groups 12273.195 4 3068.299 Kelengketan
Total 47186.479 7 Lampiran 31. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kontrol selama penyimpanan
Kekerasan Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1
16 jam 2 2959.700 44 jam 2 3363.100 32 jam 2 3591.900 0 jam 2 3705.250 Sig. .163
Kelengketan
Subset for alpha = .05 Mie kontrol N 1 32 jam 2 -682.550 0 jam 2 -661.550
44 jam 2 -602.800 16 jam 2 -512.150
Sig. .116
Lampiran 32. Hasil analisis tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Kekerasan (gforce) Kelengketan (gforce) Jam Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 3769,2 4057,0 3913,1 -883,0 -724,7 -803,9 16 3188,2 3218,8 3203,5 -559,3 -458,7 -509,0 32 3115,6 3591,7 3353,7 -539,8 -684,1 -612,0 48 2739,4 3083,6 2911,5 -513,1 -589,8 -551,5 56 2523,3 2618,9 2571,1 -357,0 -393,0 -375,0
Lampiran 33. Analisis ragam tekstur mie kombinasi terbaik selama penyimpanan
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 2020870.036 4 505217.509 11.533 .010
Within Groups 219024.705 5 43804.941 Kekerasan
Total 2239894.741 9 Between Groups 197070.830 4 49267.708 7.798 .022
Within Groups 31590.315 5 6318.063 Kelengketan
Total 228661.145 9 Lampiran 34. Uji lanjut Tukey tehadap tekstur mie kombinasi terbaik selama
penyimpanan Kekerasan
Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N
1 2 56 jam 2 2571.100 48 jam 2 2911.500 16 jam 2 3203.500 3203.500 32 jam 2 3353.650 3353.650 0 jam 2 3913.100 Sig. .065 .091
Kelengketan
Subset for alpha = .05 Mie kombinasi terbaik N
1 2 0 jam 2 -803.850
32 jam 2 -611.950 -611.950 48 jam 2 -551.450 -551.450 16 jam 2 -509.000 -509.000 56 jam 2 -375.000
Sig. .067 .138 Lampiran 35. Hasil analisis aktivitas air (aw ) mie
Nilai aw Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Mie kontrol 0,970 0,970 0,970 Mie kombinasi terbaik 0,960 0,970 0,965
Lampiran 36. Hasil analisis derajat keasaman (pH) mie Mie kontrol Mie kombinasi terbaik Jam
ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 9,00 9,05 9,03 9,18 9,14 9,16 4 9,27 9,27 9,27 9,01 9,02 9,02 8 9,10 9,16 9,13 8,93 9,02 8,98 12 9,15 9,18 9,17 8,99 9,01 9,00 16 9,14 9,04 9,09 9,22 9,31 9,27 20 9,07 9,09 9,08 9,23 9,31 9,27 24 8,95 8,97 8,96 9,03 9,07 9,05 28 9,03 9,02 9,03 8,92 9,01 8,97 32 8,94 9,11 9,03 8,94 9,01 8,98 36 8,98 9,01 9,00 8,93 8,97 8,95 40 8,77 8,84 8,81 8,85 8,82 8,84 44 8,93 8,04 8,49 8,59 8,65 8,62 48 – – – 7,64 8,21 7,93 52 – – – 7,22 7,68 7,45 56 – – – 6,65 7,13 6,89
Lampiran 37. Analisis ragam pH mie kontrol
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .348 2 .174
Within Groups .398 3 .133 Total .745 5
1.312
.390
Lampiran 38. Uji lanjut Tukey tehadap pH mie kontrol
Subset for alpha = .05 Mie Kontrol N 1 44 jam 2 8.4850 24 jam 2 8.9600 0 jam 2 9.0250 Sig. .412
Lampiran 39. Analisis ragam pH mie kombinasi terbaik
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 6.846 3 2.282 32.689 .003
Within Groups .279 4 .070 Total 7.126 7
Lampiran 40. Uji lanjut Tukey tehadap warna mie kombinasi terbaik Subset for alpha = .05
Mie kombinasi terbaik N 1 2
56 jam 2 6.8900 48 jam 2 7.9250 24 jam 2 9.0500 0 jam 2 9.1600 Sig. .057 .973
Lampiran 41. Hasil analisis mikrobiologi mie kontrol
Total Mikroba (cfu/g)
Total Kapang-khamir (cfu/g) Total koliform Jam
ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 20 3,1 x 102 1,5 x 103 0 0 0 0 4 1,5 x 102 2,3 x 103 0 0 0 0 8 1,4 x 103 1,7 x 103 1,1 x 100 2,0 x 100 0 0 12 1,5 x 103 8,4 x 103 1,5 x 100 1,9 x 100 0 0 16 1,1 x 104 2,6 x 104 2,7 x 100 3,2 x 100 0 0 20 1,7 x 104 3,3 x 104 3,1 x 100 4,9 x 100 0 0 24 1,2 x 104 1,7 x 104 2,2 x 101 1,8 x 101 0 0 28 1,5 x 105 1,0 x 105 4,6 x 101 2,1 x 101 0 0 32 2,0 x 106 2,1 x 106 4,8 x 101 1,5 x 101 0 0 36 1,3 x 106 1,5 x 106 1,1 x 102 2,0 x 101 0 0 40 6,3 x 106 6,0 x 106 2,8 x 101 1,5 x 101 0 0 44 1,9 x 107 1,7 x 107 7,2 x 101 2,2 x 101 0 0
Lampiran 42. Hasil analisis mikrobiologi mie kombinasi terbaik
Total Mikroba (cfu/g)
Total Kapang-khamir (cfu/g) Total koliform Jam
ke- Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 20 3,0 x 100 4,5 x 100 0 0 0 0 4 3,0 x 100 4,1 x 100 0 0 0 0 8 7,1 x 101 3,0 x 101 0 0 0 0 12 8,1 x 102 3,4 x 102 1,0 x 100 1,0 x 100 0 0 16 3,9 x 103 1,9 x 103 1,4 x 100 1,0 x 100 0 0 20 1,1 x 104 1,1 x 103 2,0 x 100 2,0 x 100 0 0 24 1,2 x 104 2,6 x 104 2,5 x 100 2,2 x 100 0 0 28 4,5 x 104 2,4 x 104 2,0 x 101 1,5 x 101 0 0 32 1,4 x 106 6,1 x 105 2,5 x 101 5,4 x 101 0 0 36 6,1 x 105 7,0 x 105 9,2 x 101 1,6 x 101 0 0 40 1,3 x 106 1,1 x 106 2,3 x 101 6,0 x 101 0 0 44 1,3 x 106 1,9 x 106 1,7 x 101 6,9 x 101 0 0 48 6,7 x 106 4,9 x 106 1,0 x 102 8,4 x 101 0 0 52 1,4 x 107 1,3 x 107 8,0 x 101 2,6 x 102 0 0 56 5,6 x 107 1,4 x 107 2,2 x 103 1,6 x 103 0 0
Lampiran 43. Scoresheet uji organoleptik
Uji Hedonik
Nama : Tanggal :
Jenis Produk : Mie Basah Matang
Kode sampel :
Instruksi :
1. Netralkan lidah anda dengan air putih yang disediakan (sebelum memulai dan antar
sampel).
2. Cicipi sampel (diamkan selama 10 detik) dan berikan penilaian. Berikan tanda (√) pada
pernyataan yang sesuai dengan pilihan anda untuk setiap parameter.
Penilaian Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka
Komentar :
Terima kasih
Lampiran 44. Skor uji hedonik mie kombinasi terbaik
542 Panelis Warna Aroma Tekstur Rasa Keseluruhan 1 5 5 4 5 5 2 2 2 3 4 3 3 5 3 2 3 4 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 3 4 6 5 5 4 5 5 7 5 4 4 3 5 8 5 5 5 4 5 9 5 3 4 4 5 10 3 2 2 2 2 11 5 3 5 4 5 12 4 4 4 4 5 13 4 2 4 3 3 14 4 5 5 4 5 15 5 3 5 5 5 16 5 4 4 3 5 17 2 5 2 4 4 18 5 2 5 2 4 19 4 5 3 3 3 20 4 3 4 2 3 21 4 1 4 4 4 22 5 5 4 4 5 23 5 3 5 5 5 24 4 4 4 4 4 25 5 4 3 4 4 26 5 5 5 3 4 27 4 2 3 4 3 28 5 5 4 4 4 29 4 3 2 3 3 30 5 5 5 2 4
Rata-rata 4,43 3,70 3,93 3,63 4,17
Lampiran 45. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut warna
Warna Panelis 988 189 267 325 913 Rata2 1 5 4 5 4 5 4,6 2 4 4 4 5 3 4,0 3 5 1 5 5 3 3,8 4 5 5 5 5 5 5,0 5 5 4 5 5 5 4,8 6 5 3 5 5 4 4,4 7 5 5 5 5 5 5,0 8 5 4 4 5 5 4,6 9 5 4 5 4 4 4,4 10 4 3 5 3 2 3,4 11 5 3 5 4 5 4,4 12 4 3 2 5 5 3,8 13 4 3 3 5 4 3,8 14 5 4 4 4 4 4,2 15 5 4 4 2 5 4,0 16 5 3 4 4 5 4,2 17 5 5 5 4 4 4,6 18 5 3 5 3 5 4,2 19 5 4 4 4 5 4,4 20 4 1 4 5 5 3,8 21 5 5 5 2 4 4,2 22 5 3 5 3 5 4,2 23 5 3 4 4 4 4,0 24 3 2 4 5 5 3,8 25 4 5 4 3 5 4,2 26 5 1 5 4 5 4,0 27 4 4 2 4 5 3,8 28 5 2 5 4 5 4,2 29 4 2 5 5 4 4,0 30 4 4 5 4 5 4,4
Rata2 4,63 3,37 4,40 4,13 4,50 4,21
Lampiran 46. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut aroma
Aroma Panelis 988 189 267 325 913 Rata2 1 5 4 3 4 5 4,2 2 5 4 3 4 3 3,8 3 3 1 3 5 3 3,0 4 5 5 3 5 4 4,4 5 4 5 5 4 2 4,0 6 3 3 5 4 4 3,8 7 2 3 5 4 3 3,4 8 5 5 4 5 5 4,8 9 3 4 3 4 2 3,2 10 3 3 4 2 2 2,8 11 3 4 5 2 2 3,2 12 3 3 2 5 5 3,6 13 3 2 3 5 5 3,6 14 5 4 3 3 1 3,2 15 3 5 1 5 2 3,2 16 4 2 4 5 3 3,6 17 5 5 5 4 2 4,2 18 2 4 5 3 5 3,8 19 5 4 2 4 4 3,8 20 4 3 4 5 1 3,4 21 2 3 5 3 4 3,4 22 5 4 3 3 4 3,8 23 4 5 3 4 3 3,8 24 4 3 3 5 3 3,6 25 3 4 2 4 5 3,6 26 4 3 5 3 4 3,8 27 3 3 3 1 5 3,0 28 4 2 4 4 4 3,6 29 4 1 5 5 2 3,4 30 5 3 5 3 2 3,6
Rata2 3,77 3,47 3,67 3,90 3,30 3,62
Lampiran 47. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut tekstur
Tekstur Panelis 988 189 267 325 913 Rata2
1 2 5 5 5 5 4,4 2 4 5 4 5 5 4,6 3 5 1 4 5 3 3,6 4 5 3 4 5 3 4,0 5 5 5 5 5 5 5,0 6 5 2 5 4 4 4,0 7 4 4 5 4 3 4,0 8 5 5 4 5 5 4,8 9 5 5 3 5 3 4,2 10 2 4 4 4 3 3,4 11 5 2 5 4 5 4,2 12 4 4 2 5 5 4,0 13 4 4 3 5 5 4,2 14 5 3 5 4 4 4,2 15 4 5 5 5 2 4,2 16 2 2 4 5 5 3,6 17 5 5 5 4 3 4,4 18 5 4 5 4 2 4,0 19 3 4 4 5 5 4,2 20 3 4 3 4 5 3,8 21 5 4 4 4 5 4,4 22 4 4 5 4 3 4,0 23 5 3 4 3 4 3,8 24 3 3 4 5 3 3,6 25 4 4 2 3 5 3,6 26 5 4 5 3 4 4,2 27 2 3 4 5 5 3,8 28 5 2 3 5 4 3,8 29 4 3 5 5 4 4,2 30 4 4 5 4 2 3,8
Rata2 4,10 3,67 4,17 4,43 3,97 4,07
Lampiran 48. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium atribut rasa
Rasa Panelis 988 189 267 325 913 Rata2
1 4 4 5 4 5 4,4 2 5 3 4 5 4 4,2 3 2 1 3 4 3 2,6 4 5 4 4 5 4 4,4 5 5 4 5 5 3 4,4 6 5 3 2 4 3 3,4 7 3 4 5 2 4 3,6 8 5 3 5 5 5 4,6 9 5 5 5 5 3 4,6 10 3 4 4 3 2 3,2 11 5 4 5 4 3 4,2 12 2 3 1 3 5 2,8 13 3 3 4 5 4 3,8 14 3 4 2 3 2 2,8 15 4 5 4 5 3 4,2 16 3 3 4 5 5 4,0 17 5 4 5 4 3 4,2 18 5 5 4 3 5 4,4 19 3 5 1 3 5 3,4 20 2 3 3 4 5 3,4 21 5 4 4 2 3 3,6 22 3 2 3 4 5 3,4 23 4 1 4 4 3 3,2 24 3 3 4 5 4 3,8 25 3 5 2 3 2 3,0 26 5 3 5 3 4 4,0 27 3 3 3 3 5 3,4 28 5 3 5 5 3 4,2 29 5 1 5 5 2 3,6 30 3 2 5 3 2 3,0
Rata2 3,87 3,37 3,83 3,93 3,63 3,73
Lampiran 49. Skor uji hedonik mie kontrol skala laboratorium secara keseluruhan
Keseluruhan Panelis 988 189 267 325 913 Rata2
1 5 4 5 4 5 4,6 2 4 4 4 5 4 4,2 3 3 1 5 5 3 3,4 4 5 4 4 5 4 4,4 5 5 4 5 5 4 4,6 6 5 3 3 5 3 3,8 7 4 4 5 4 4 4,2 8 5 4 4 5 5 4,6 9 5 5 4 5 4 4,6 10 3 4 4 3 2 3,2 11 5 4 5 4 4 4,4 12 4 3 2 4 5 3,6 13 3 3 3 5 4 3,6 14 5 4 3 4 2 3,6 15 4 5 2 4 3 3,6 16 4 3 4 5 5 4,2 17 5 5 5 4 4 4,6 18 5 4 5 3 4 4,2 19 4 4 4 4 5 4,2 20 3 2 3 4 5 3,4 21 5 4 4 3 4 4,0 22 5 3 3 4 4 3,8 23 5 2 4 4 3 3,6 24 3 3 3 5 4 3,6 25 4 5 2 3 4 3,6 26 5 3 5 3 4 4,0 27 4 2 3 3 5 3,4 28 5 2 5 5 3 4,0 29 4 1 5 5 2 3,4 30 4 3 5 4 3 3,8
Rata2 4,33 3,40 3,93 4,20 3,83 3,94
Lampiran 50. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut warna
Warna Panelis 553 511 291 756 824 Rata2
1 2 5 3 5 5 4,0 2 2 5 4 5 4 4,0 3 5 5 4 2 5 4,2 4 1 4 5 1 2 2,6 5 5 5 3 2 5 4,0 6 5 4 5 1 5 4,0 7 5 5 4 1 5 4,0 8 5 4 3 2 5 3,8 9 5 5 5 5 5 5,0 10 3 5 5 2 3 3,6 11 3 4 5 2 1 3,0 12 5 4 3 4 1 3,4 13 5 4 2 3 1 3,0 14 2 3 4 2 5 3,2 15 5 5 5 5 1 4,2 16 1 5 5 4 5 4,0 17 4 5 5 4 5 4,6 18 5 5 4 1 2 3,4 19 5 4 4 3 5 4,2 20 1 3 4 5 2 3,0 21 2 1 4 4 5 3,2 22 3 5 3 4 4 3,8 23 3 3 2 2 5 3,0 24 1 4 5 1 3 2,8 25 1 3 3 2 1 2,0 26 1 5 5 4 1 3,2 27 5 4 3 2 2 3,2 28 2 3 4 1 1 2,2 29 5 2 4 4 1 3,2 30 1 2 2 2 2 1,8
Rata2 3,27 4,03 3,90 2,83 3,23 3,45
Lampiran 51. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut aroma
Aroma Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 1 1 1 2 5 2,0 2 1 2 4 3 2 2,4 3 1 4 1 1 5 2,4 4 1 3 2 1 4 2,2 5 2 5 1 2 4 2,8 6 1 5 1 1 2 2,0 7 2 1 2 1 4 2,0 8 1 2 2 1 4 2,0 9 2 1 3 2 4 2,4 10 2 5 2 3 2 2,8 11 2 3 2 1 1 1,8 12 1 1 2 2 4 2,0 13 2 1 1 1 1 1,2 14 1 1 2 1 2 1,4 15 2 1 2 1 5 2,2 16 1 1 3 1 4 2,0 17 1 1 4 1 2 1,8 18 1 1 2 2 3 1,8 19 1 1 2 1 2 1,4 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 1 5 4 2,6 22 1 1 2 2 2 1,6 23 2 1 1 1 1 1,2 24 1 4 3 1 3 2,4 25 1 3 4 1 1 2,0 26 1 3 1 1 1 1,4 27 1 2 2 1 2 1,6 28 1 1 5 1 1 1,8 29 1 2 3 4 1 2,2 30 1 3 4 1 2 2,2
Rata2 1,30 2,07 2,27 1,57 2,70 1,98
Lampiran 52. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut tekstur
Tekstur Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 3 4 2 1 5 3,0 2 4 2 5 5 2 3,6 3 4 1 3 1 2 2,2 4 1 1 2 1 2 1,4 5 5 5 1 2 2 3,0 6 2 5 1 1 4 2,6 7 3 1 2 1 4 2,2 8 5 2 2 2 2 2,6 9 3 1 2 2 5 2,6 10 3 1 5 2 3 2,8 11 2 2 3 3 1 2,2 12 5 1 5 2 1 2,8 13 4 1 2 1 1 1,8 14 2 1 3 2 1 1,8 15 4 2 4 4 5 3,8 16 3 1 2 2 5 2,6 17 2 1 4 1 2 2,0 18 4 1 2 1 2 2,0 19 3 2 2 1 4 2,4 20 1 1 2 2 2 1,6 21 4 1 3 2 4 2,8 22 4 1 4 1 1 2,2 23 3 1 2 1 5 2,4 24 5 4 3 2 4 3,6 25 1 2 2 1 1 1,4 26 1 5 4 1 1 2,4 27 5 5 2 1 4 3,4 28 2 2 4 1 1 2,0 29 5 3 4 3 4 3,8 30 3 3 4 3 2 3,0
Rata2 3,20 2,10 2,87 1,77 2,73 2,53
Lampiran 53. Skor uji hedonik mie matang pasar untuk atribut rasa
Rasa Panelis 553 511 291 756 824 Rata2
1 1 1 2 2 5 2,2 2 1 2 2 4 5 2,8 3 1 2 1 1 5 2,0 4 1 4 3 1 3 2,4 5 5 2 1 2 2 2,4 6 3 5 1 1 4 2,8 7 4 1 3 2 4 2,8 8 1 1 1 1 5 1,8 9 3 1 2 4 4 2,8 10 3 1 5 2 2 2,6 11 3 4 2 1 5 3,0 12 4 1 5 1 1 2,4 13 1 1 2 1 1 1,2 14 1 1 2 1 1 1,2 15 2 1 4 4 1 2,4 16 1 1 5 1 4 2,4 17 1 1 5 1 3 2,2 18 1 1 4 1 5 2,4 19 3 4 4 1 3 3,0 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 2 2 3 2,0 22 1 1 2 1 3 1,6 23 2 1 1 1 2 1,4 24 2 2 2 2 3 2,2 25 1 3 4 1 1 2,0 26 1 4 2 1 1 1,8 27 4 3 3 1 1 2,4 28 1 3 4 1 1 2,0 29 1 2 2 3 1 1,8 30 2 2 1 1 2 1,6
Rata2 1,93 1,93 2,67 1,57 2,80 2,18
Lampiran 54. Skor uji hedonik mie matang pasar secara keseluruhan
Keseluruhan Panelis 553 511 291 756 824 Rata2 1 1 2 2 2 5 2,4 2 1 2 4 4 3 2,8 3 2 2 3 1 4 2,4 4 1 3 2 1 3 2 5 5 4 1 2 2 2,8 6 2 5 1 1 4 2,6 7 4 1 2 1 4 2,4 8 1 1 2 1 5 2 9 3 1 2 3 5 2,8 10 3 1 5 2 2 2,6 11 3 3 2 1 1 2 12 4 2 3 2 1 2,4 13 1 1 2 1 1 1,2 14 1 2 2 1 1 1,4 15 2 1 4 4 1 2,4 16 1 2 4 1 5 2,6 17 1 1 5 1 3 2,2 18 1 1 3 1 3 1,8 19 4 1 2 1 4 2,4 20 1 1 3 1 3 1,8 21 2 1 2 2 2 1,8 22 1 1 2 2 3 1,8 23 2 2 1 1 1 1,4 24 1 3 4 2 3 2,6 25 1 3 4 1 1 2 26 1 4 2 2 1 2 27 4 2 3 1 2 2,4 28 1 2 3 1 1 1,6 29 2 1 3 4 1 2,2 30 1 2 2 1 2 1,6
Rata2 1,93 1,93 2,67 1,63 2,57 2,19
Lampiran 55. Analisis ragam terhadap atribut warna mie Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 30.292(a) 31 .977 2.088 .008 Intercept 1462.487 1 1462.487 3125.382 .000 SAMPEL 15.793 2 7.896 16.875 .000 PANELIS 14.500 29 .500 1.068 .405 Error 27.140 58 .468 Total 1519.920 90 Corrected Total 57.433 89
Lampiran 56. Uji lanjut Duncan terhadap atribut warna mie (p<0,05)
Subset Sampel N
1 2 Mie matang pasar 30 3.453 Mie kontrol 30 4.207 Mie kombinasi terbaik 30 4.433
Sig. 1.000 .204
Lampiran 57. Analisis ragam terhadap atribut aroma mie
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 77.444(a) 31 2.498 4.250 .000 Intercept 864.900 1 864.900 1471.263 .000 PANELIS 20.900 29 .721 1.226 .251 SAMPEL 56.544 2 28.272 48.093 .000
Error 34.096 58 .588 Total 976.440 90
Corrected Total 111.540 89
Lampiran 58. Uji lanjut Duncan terhadap atribut aroma mie (p<0,05)
Subset Sampel N
1 2 Mie matang pasar 30 1.980 Mie kontrol 30 3.620 Mie kombinasi terbaik 30 3.700
Sig. 1.000 .688
Lampiran 59. Analisis ragam terhadap atribut tekstur mie
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 57.767(a) 31 1.863 3.572 .000 Intercept 1102.500 1 1102.500 2113.651 .000 SAMPEL 42.467 2 21.233 40.707 .000 PANELIS 15.300 29 .528 1.011 .472
Error 30.253 58 .522 Total 1190.520 90
Corrected Total 88.020 89
Lampiran 60. Uji lanjut Duncan terhadap atribut tekstur mie (p<0,05) Subset Sampel
N 1 2
Mie matang pasar 30 2.533 Mie kombinasi terbaik 30 3.900 Mie kontrol 30 4.067 Sig. 1.000 .375
Lampiran 61. Analisis ragam terhadap atribut rasa mie
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 63.721(a) 31 2.056 5.077 .000 Intercept 910.116 1 910.116 2247.902 .000 PANELIS 18.591 29 .641 1.583 .068 SAMPEL 45.131 2 22.565 55.734 .000
Error 23.483 58 .405 Total 997.320 90
Corrected Total 87.204 89
Lampiran 62. Uji lanjut Duncan terhadap atribut rasa mie (p<0,05)
Subset Sampel
N 1 2
Mie matang pasar 30 2.180 Mie kombinasi terbaik 30 3.633 Mie kontrol 30 3.727 Sig. 1.000 .572
Lampiran 63. Analisis ragam terhadap keseluruhan mie
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 88.250(a) 31 2.847 8.838 .000 Intercept 1051.308 1 1051.308 3263.923 .000 PANELIS 14.772 29 .509 1.581 .069 SAMPEL 73.478 2 36.739 114.061 .000
Error 18.682 58 .322 Total 1158.240 90
Corrected Total 106.932 89
Lampiran 64. Uji lanjut Duncan terhadap keseluruhan mie (p<0,05)
Subset Sampel
N 1 2
Mie matang pasar 30 2.147 Mie kontrol 30 3.940 Mie kombinasi terbaik 30 4.167 Sig. 1.000 .127
Recommended