UTANG SEBAGAI ALASAN PUTUSNYA IKATAN PERKAWINAN (Analisis Putusan Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMAD ADNAN
NIM. 1110044200012
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iv
KATA PENGANTAR
بسم هلل الر حمن الر حيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang
telah senantiasa memberikan rahmat yang berlimpah kepada penulis, sehingga
penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat beriring salam tidak lupa penulis haturkan kepada junjungan
besar kita Baginda Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
kejahiliyahan ke zaman ketauhidan dan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi prasyarat kurikulum sarjana strata satu
(S-1) program studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain
kepada :
1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Kamarusdiana, S.Ag, M.H dan Sri Hidayati, MA, Ketua dan Sekretaris Prodi
Hukum Keluarga.
v
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, M.A, Pembimbing yang telah banyak membantu
memberikan bimbingan, petunjuk, masukan serta kemudahan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah banyak membimbing saya dari awal masuk perkuliahan sampai hari ini.
5. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membekali saya dengan ilmu pengetahuan
dan pengalaman yang sangat berguna.
6. Kedua orang tua, Sudiro (Ayahanda tercinta) dan Runati (Ibunda tercinta) atas
segala doa, nasehat, dukungan dan kasih sayang yang tak ada hentinya
dicurahkan kepada penulis.
7. Kakak, Kakak Ipar dan Adikku : Dwi Marianti Sudiro, Desta Sutrisna Hamid,
Abdullah Sa’bani dan Dede Juanda yang selalu memberikan kasih sayang
serta motivasi yang tak henti-hentinya kepada penulis.
8. Rukiyati (Ukie) sebagai sahabat sekaligus kekasih yang telah mendukung dan
memberikan semangat saya sepenuhnya, Abim, Azhar, Menyeng, Oge, Oji,
Sukron dan semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini namun tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu.
9. Sahabat-sahabat Jurusan Administrasi Keperdataan Islan angkatan 2010 serta
kawan-kawan TEAM KKN 87 yang selalu ada di saat suka dan duka penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
vi
Akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran, kritik dan koreksi yang konstruktif
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 8 Januari 2015
Muhamad Adnan
vii
ABSTRAK
MUHAMAD ADNAN : 1110044200012 Utang Sebagai Alasan Putusnya
Ikatan Perkawinan (Analisisi Putusan Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2015, x + 80 + lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penetapan Hakim dalam
memutuskan perkara perceraian yang disebabkan karena utang-piutang sesuai dengan
Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan ajaran Agama Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data
melalui riset pustakaan dan riset lapangan, metode interview dan observasi, serta
teknik penulisan yang disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik sebuah
kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa utang piutang tidak dapat dijadikan
alasan putusnya ikatan perkawinan berdasarkan putusan Hakim Pengadilan Agama
Tangerang. Dengan alasan, bahwa utang piutang sampai saat ini masih belum dapat
dijadikan alasan perceraian dikarenakan belum ada peraturan pelaksanaannya
sehingga terdapat kekosongan, maka Hakim melandaskan putusan berdasarkan nilai-
nilai yang berkaitan pada putusan tersebut.
Kata Kunci : Perceraian, Utang Piutang
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2013
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ............................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9
D. Metodologi Penelitian ................................................................. 10
E. Review Studi Terdahulu ............................................................. 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 15
BAB II PERCERAIAN DAN UTANG PIUTANG
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ................................... 17
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian ............................................ 21
C. Perbedaan dan Prosedur Cerai Talaq dan Cerai Gugat ............... 23
D. Pengertian dan Dasar Hukum Utang Piutang ............................. 28
E. Rukun, Syarat dan Hikmah Utang Piutang ................................. 31
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA TANGERANG
ix
A. Sejarah Singkat Pengadilan ........................................................ 34
B. Visi dan Misi Pengadilan ............................................................ 36
C. Tugas, Pokok dan Fungsi Pengadilan ......................................... 37
D. Struktur Organisasi Pengadilan .................................................. 38
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan .................................................... 43
BAB IV PUTUSAN PENGADILAN
A. Duduknya Perkara Putusan (No. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng) ..... 47
B. Gugatan dan Pembuktian ............................................................ 48
C. Pertimbangan Hukum ................................................................. 50
D. Duduknya Perkara Putusan (No. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng) ......... 51
E. Permohonan dan Pembuktian ..................................................... 53
F. Pertimbangan Hukum ................................................................. 55
G. Analisis Penulis ........................................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 64
B. Saran ........................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 68
LAMPIRAN - LAMPIRAN
1. Salinan Putusan No. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng.......................... 71
2. Salinan Putusan No. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng.............................. 83
3. Surat Permohonan Data/Wawancara di Pengadilan ................... 95
4. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi .............. 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
untuk menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi
yang dimiliki Islam tersebut keluar sebagai rangkaian peraturan yang disebut
hukum. Hukum tersebut bersifat baku dan diakui sebagai “undang-undang
Tuhan” [qanun ilahi] : permanen dan tidak dapat diubah. Qanun ilahi ini,
diundangkan oleh negara atau tidak, ia harus ditegakkan sebagai suatu yang
berwatak “buatan tuhan”. Namun, ada kalanya peraturan-peraturan itu
diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia menjadi hukum manusia melalui
proses legislasi.1
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perrjanjian hukum antar
pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu
pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang
biasanya intim dan seksual. Di dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari
kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga
“pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).
1 Yayan Sopyan, Islam-Negara, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hal. 1
2
Kata “nikah” sendiri sering digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga
untuk arti akad nikah.2
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, tertuang dalam pasal 1 yakni Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Al-Quran menyatakan perkawinan sangat dianjurkan kepada hamba-Nya
yang beriman dan telah memenuhi syarat untuk melaksanakan perkawinan, dalam
rangka untuk mencapai kesempurnaan ibadahnya. Karena pada dasarnya manusia
adalah mahluk ciptaan Allah yang membutuhkan pendamping dalam menjalani
kehidupan sebagai mahluk yang terhormat dibandingkan dengan mahluk ciptaan
Allah yang lainnya. Allah telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang
melaksanakan perkawinan akan diberikan anugerah yang berlipat ganda.
Perkawinan merupakan hal yang cukup menarik untuk di bicarakan lebih-
lebih pada waktu sekarang, karena pada waktu ini banyak masalah yang timbul
berkaitan dengan perkawinan, karena perkawinan merupakan hal yang rumit dan
kompleks. Rumit karena perkawinan bukanlah merupakan hal yang mudah
seperti yang dibayangkan oleh banyak orang dan kompleks karena perkawinan
menyangkut banyak segi. Seperti dalam segi untuk mendapatkan keluarga
2 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Jakarta. Kencana, 2003) hal. 7
3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta. Raja
Grafindo Persada, 2004) hal. 203
3
bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang yang terlihat dari
Firman Allah dalam surat ar Rum ayat 21 sebagai berikut :
Artinya : “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum ayat 21)
Oleh karena itu, untuk membentuk keluarga yang baik yang dibentuk melalui
perkawinan diperlukan pemikiran yang mendalam, lebih-lebih dalam menghadapi
waktu-waktu yang akan datang.4
Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah,
membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan warrohmah guna menghasilkan
keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak
hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk
perbuatan hukum yang berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki
dan perempuan yang dilakukan tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang
lain, ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta. Putra Grafika,
2006) hal. 47
4
agama sebagai keyakinan yang abstrak (transendental) kedua mempelai. Hal ini
dipertegas dalam Surat An-Nisaa ayat 19 yang menyatakan :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisaa ayat
19)
Pada hakikatnya, seseorang melakukan akad pernikahan adalah saling
berjanji serta saling berkomitmen untuk saling mambantu, manghargai dan
menghormati satu dengan yang lainnya, sehingga tercapailah kebahagiaan dan
cita-cita yang diinginkan. Tujuan perkawinan itu tertulis dalam Kompilasi
Hukum Islam atau yang biasa disebut dengan KHI dan terdapat dalam Pasal 3.5
Selain untuk membangun suatu kehidupan yang sakinah, mawaddah dan
rohmah, penuh kasih sayang, toleransi, tenggang rasa dan sempurnanya akhlak
maka yang semua itu akan membawa rumah tangga kepada keimanan dan
5 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
(Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1992).
5
ketakwaan yang sempurna.6 Tetapi tidak dapat dipungkiri dengan berjalan
dinamisnya roda kehidupan, diantara anggota keluarga, diantara suami istri tidak
lepas dari perselisihan. Kenyataan seperti ini membuktikan bahwa tidak mudah
untuk memelihara keseimbangan dan kelestarian hidup bersama suami istri
bahkan kehidupan yang harmonis dan kasih sayang dalam rumah tangga tidak
dapat diwujudkan.
Tidaklah dapat dielakkan akan adanya pengaruh roda kehidupan atau
globalisasi ke dalam setiap sendi kehidupan di dunia ini, tidak terkecuali dalam
hal perkawinan akan timbul berbagai macam masalah. Kenyataan menunjukkan
bahwa cukup banyak keluarga yang mengalami keretakan akibat kurang adanya
pengertian antara suami-istri yang mengakibatkan terlantarnya anak-anak,
putusnya hubungan suami-istri dan bentuk-bentuk yang lain.
Tidak ada pernikahan yang dibangun untuk bercerai, tetapi tidak bisa
dipungkiri juga bahwa setiap rumah tangga mempunyai permasalahan dan
tantangan yang berbeda-beda. Sehingga diharapkan pemikiran yang jernih dan
kepala dingin untuk menyelesaikan permasalahan dan tantangan yang
dihadapinya, dengan demikian ikatan cinta yang berlandaskan ajaran agama
menjadi dasar bagi mereka dalam menghadapi permasalahan yang ada.
Faktor ekonomi, merupakan salah satu faktor yang menimbulkan
permasalahan di dalam kehidupan berumah tangga, seringkali pasangan suami
istri mengalami kegagalan dalam mencapai cita-cita dari perkawinannya karena
6 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fikih. (Jakarta.
Departemen Agama, 1985), hal. 62.
6
faktor tersebut, serta sangat kompleksnya masalah ini dimana akan menyebabkan
rasa ketidakcocokan antara suami dan istri.
Agama mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, karena
dengan adanya ikatan yang sah itu seorang istri menjadi terikat semata-mata
kepada suaminya dan tertahan menjadi miliknya. Allah Swt berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :
Artinya : “dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 233)
Nafkah yang harus dipenuhi seorang suami kepada istrinya.7 Kegiatan
istri terfokus untuk suami. Dia terhalangi melakukan banyak hal demi suaminya,
sehingga wajib bagi isteri mendapatkan pemeliharaan dan nafkah, sebagaimana
halnya pemerintah harus memberikan nafkah kepada bawahannya karena diri
mereka tertahan untuk berjihad tidak bisa beraktivitas lain. Dengan demikian
jelaslah kewajiban suami memberi nafkah kepada istri harus dengan baik. Selama
ikatan suami istri masih berjalan, dan istri tidak durhaka atau karena hal-hal lain
yang menghalangi penerimaan belanja.8
Dalam kenyataannya, banyak suami yang tidak dapat memberi nafkah
kepada istri dan anak-anaknya karena masalah ekonomi yang terus meningkat
yang pada akhirnya salah satu anggota keluarga memutuskan untuk meminjam
7 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, PSW UIN Syahid Jakarta. Hal. 61
8 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah. Penerjemah : Muhammad Thalib, (Al Ma’arif), Hlm. 80
7
uang kepada kerabat dekat, rekan sampai kepada rentenir tergantung pinjaman
yang mereka kehendaki, karena hal ini mereka sebut sebagai alternatif untuk
mendapatkan uang dengan atau tanpa meminta izin kepada istri ataupun suami.
Tetapi hal semacam inilah yang menjadikan hubungan keluarga retak dan
membawa kepada perselisihan yang mengakibatkan perceraian di muka
pengadilan baik gugatan ataupun permohonan.
Proses perceraian sendiri diatur dalam Islam dengan sempurna, dengan
memberikan hak-hak bagi mereka supaya masing-masing dapat menjalankan
peran dan fungsinya secara optimal.9
Di lihat dari latar belakang yang ada, ditakutkan akan ada kasus-kasus
semacam ini di ranah masyarakat dikarenakan kelalaian hakim dalam
menetapkan putusan suatu perkara. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih lanjut dan mencoba menganalisis putusan majelis hakim
Pengadilan Agama Tangerang dalam karya ilmiah yang berbentuk skripsi yang
berjudul :
“UTANG SEBAGAI ALASAN PUTUSNYA IKATAN
PERKAWINAN” (Analisis Putusan Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan
Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
9 Dikutip sepenuhnya dari id.m.wikipedia.org/wiki/Perceraian#islam, artikel diunduh
pada 18-03-2014/ pukul 11:07 WIB.
8
Agar pembahasan skripsi ini terarah dan lebih spesifik, maka perlu
ditentukan batasan masalah yang akan dibahas. Adapun pembatasan masalah
yang akan dibahas sesuai dengan permasalahan bahwa secara teori Undang-
undang maupun KHI, utang-piutang tidak dapat dijadikan alasan putusnya
ikatan perkawinan tetapi pada kenyataannya alasan tersebut dapat dipakai
oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama, Penulis melakukan penelitian
dengan objek penelitian di Pengadilan Agama Tangerang.
2. Rumusan Masalah
Dalam peraturan yang berlaku tidak disebutkan utang piutang sebagai
penyebab putusnya ikatan perkawinan baik oleh al-Quran, Hadits, Undang-
undang maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), tetapi kenyataannya di
lapangan banyak suami maupun istri yang tidak melaksanakan kewajibannya
sehingga terdapat putusan perceraian yang disebabkan karena utang piutang.
Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut :
a. Apakah suami maupun istri yang tidak sanggup membayar utang dapat
menjadi suatu alasan perceraian?
b. Bagaimana prosedur perceraian karena suami mempunyai banyak utang
serta suami tidak sanggup membayar utang istri?
c. Apa pertimbangan hakim dalam mengabulkan perkara putusan Gugatan
Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan putusan Permohonan Nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng?
9
Dengan pembatasan dan rumusan masalah di atas diharapkan skripsi
ini dapat menjelaskan sesuai dengan tema yang penulis ambil dalam judul
skripsi utang sebagai alasan putusnya ikatan perkawinan di Pengadilan
Agama Tangerang.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan melihat pokok permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, maka
tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah :
1. Untuk memahami keputusan Hakim Pengadilan Agama dalam menetapkan
putusan perceraian yang disebabkan karena hutang.
2. Untuk mengetahui apa yang dijadikan dasar atau pertimbangan hakim
pengadilan agama dalam menentukan putusan tersebut serta akibat putusan
tersebut.
Adapun manfaat yang akan didapatkaan dalam penelitian diantaranya
adalah :
1. Bagi Penulis
a. Mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperoleh dan dapat memperluas
pengetahuan khususnya dalam bidang perceraian.
b. Menegtahui kondisi yang terjadi dilapangan khususnya di dalam lingkup
Pengadilan Agama.
10
c. Membandingkan teori yang telah ada dengan permasalahan yang
sebenarnya terjadi di masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
a. Memberikan informasi bagi semua kalangan masyarakat tentang percerian
karena hutang piutang dan akibat hukumnya.
b. Memberikan informasi tentang keputusan Hakim Pengadilan Agama
mengenai perceraian karena hutang piutang kepada masyarakat.
3. Bagi Institusi
Memberikan informasi bagi institusi mengenai apa saja dasar Hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan penetapan perkara perceraian karena
hutang piutang.
4. Bagi Universitas
a. Menambah referensi bagi teman-teman dalam mempelajari hukum
perceraian serta akibat hukumnya.
b. Mengatahui kemampuan mahasiswa dalam menerapkan ilmu
pengetahuannya.
c. Memberikan gambaran tentang kesiapan dan kelayakan mahasiswa dalam
menangani masalah di lapangan.
D. Metode Penelitian
11
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini apabila dilihat dari datanya merupakan penelitian
kualitatif bersifat pendekatan analisis yuridis yaitu data yang diperoleh
meliputi salinan putusan Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng, dokumen pribadi dan lain-lain, kemudian
menganalisa isi putusan, untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian para
hakim dalam menyelasaikan perkara perceraian karena utang piutang.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library
Research) apabila dilihat dari segi penelitian hukum, yakni penelitian
kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku-buku, kitab-kitab fiqih,
perundang-undangan dan yurisprudensi yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini.
2. Pendekatan
Dalam penulisannya memakai metode pendekatan kasus, karena
pendekatan kasus sering digunakan untuk mengetahui alasan-alasan hukum
yang digunakan hakim untuk memutus perkara khususnya perkara putusan
Nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng
karena dalam pendekatan ini yang perlu diketahui oleh peneliti adalah ratio
recidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk
sampai kepada putusannya.10
3. Sumber data dan proses pengumpulan data
10
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), Hlm. 119.
12
a. Data primer
Data primer berbentuk putusan dan berita acara yang didapatkan
dari Pengadilan Agama Tangerang yaitu salinan putusan Nomor.
0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet
dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara
perceraian dan utang piutang.
c. Studi kepustakaan (library reseach)11
Yaitu untuk memperoleh landasan teoritis yang ada kaitannya
dengan judul penulis bahas, dimana dilakukan dengan cara mengkaji
buku-buku, makalah, artikel maupun website agar mendapatkan data
tentang teori-teori dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
menggunakan konten analisis yaitu menganalisa dengan cara menguraikan
dengan mendeksripsikan putusan dan menghubungkannya dengan hasil
wawancara, serta analisa yurispudensi hakim Pengadilan Agama. Data-data
yang terkumpul selanjutnya diidentifikasi serta diolah dengan menggunakan
pola deskriftif analitis.12
5. Teknik penulisan
11
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
Hlm. 50.-51
12 Lesy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung : Remaja Rosda Karya,
2000), Hlm. 178
13
Teknik penulisan dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada
buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2012".13
E. Review Studi Terdahulu
Dari sekian banyak literatur skripsi yang ada di Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah, penulis menemukan data yang
berhubungan dengan pembahasan penelitian ini antara lain :
1. Nama Penulis : Ratih Purnamasari
Judul skripsi : "Perceraian Karena Korupsi" (Analisa Putusan Perkara
No. 21/Pdt.G/2009/PTA.JK di Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta)
Tahun : 2011
Penulis skripsi ini menguraikan tentang perceraian yang disebabkan
karena salah satu pihak melakukan korupsi sehingga mengakibatkan kepada
perceraian. Hal tersebut terjadi karena pengakuan dan pembuktian juga
keterangan saksi-saksi yang diperoleh dan fakta-fakta menyangkut keadaan
rumah tangga penggugat dan tergugat. Selain itu adanya keterlibatan tergugat
terhadap kasus korupsi dan ditangkap oleh KPK kemudian diproses menurut
hukum sehingga hal tersebut menimbulkan pertengkaran terus-menerus yang
berakibat pada perceraian. Perbedaannya dengan skripsi saya adalah, karena
saya melihat dari dua buah putusan pengadilan, maka saya lebih menganalisis
13
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM)
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), Hlm. 32
14
terhadap akibat utang yang dilakukan oleh termohon dan penggugat yang
mengakibatkan adanya perbedaan antara putusan pengadilan yakni pertama
termohon mendapatkan putusan berupa talak satu raj’i, kedua, tergugat
mendapatkan putusan berupa talak ba’in syughra.
2. Nama Penulis : Etty F
Judul Skripsi : “Ketidak Harmonisan yang terjadi di Kehidupan Rumah
Tangga sebagai pemicu perceraian di Wilayah Pengadilan
Agama Jakarta Selatan”
Tahun : 2005
Dalam tulisannya menjelaskan bahwa, faktor terjadinya perceraian
salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi, faktor perselingkuhan,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain-lain. Adapun ketidak
harmonisan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan terjadinya percekcokan dan pertengkaran yang berakhir
dengan pelaporan gugatan cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan serta
ketidak harmonisan dapat disebabkan karena adanya sikap-sikap dan perilaku
yang tidak baik di antara mereka berdua salah satunya adalah :
1. Penganiayaan, suami telah melakukan penganiayaan dan pemukulan
kepada pasangannya dalam arti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
atau istrinya dan istrinya tersebut merasa tidak diperlakukan dengan baik
sebagaimana perintah agama.
2. Ketidaktaatan, salah satu kewajiban istri terhadap suaminya ialah taat
terhadap perintah suaminya selama perintah tersebut tidak bertentangan
15
dengan ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW, karena dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 83 ayat 1 disebutkan :
“kewajiban utama bagi suami istri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam garis-garis yang dibenarkan oleh hukum islam”.
Dari point ini dapat di analisa bahwa tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi maupun
kekerasan dalam seks yang pada akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk
mengakhiri hubungan suami istri di hadapam persidangan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Disini terlihat jelas perbedaan dalam pembahasan judul yang dibahas dan
ditulis oleh kakak kelas penulis yakni Ratih Purnamasari dan Etty F karena di
dalam karyanya membahas judul yang tidak spesifik, maka untuk
menspesifikasikan kembali maka penulis mengajukan judul yang sudah tertera
dan mohon izinkan penulis diberikan kesempatan untuk membahas dan meneliti
kembali dari judul yang sudah penulis tetapkan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi skripsi ini, penulis
memberikan bagian pembahasan sebanyak lima bab dan secara garis besar
gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:
BAB PERTAMA berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran
umum Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
16
Penelitian, Metode Penelitiani, Review Studi Terdahulu dan Sistematika
Penulisan.
BAB KEDUA menjelaskan tentang tinjauan umum tentang perceraian
yang terdiri dari, pengertian perceraian atau thalaq, pengertian utang piutang,
dasar hukum, serta thalaq yang diperolehnya.
BAB KETIGA akan Menjelaskan uraian deskripsi data berkenaan dengan
gambaran umum Pengadilan Agama Tangerang yang berkaitan dengan sejarah
dan struktur organisasinya.
BAB KEEMPAT merupakan analisis yuridis terhadap Putusan Nomor.
647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng.
BAB KELIMA adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang
didalamnya akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi
membangun dunia akademis.
17
BAB II
PERCERAIAN DAN UTANG PIUTANG
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Ta’rif atau pengertian talak menurut bahasa Arab ialah berasal dari
tholaqo yathluqu-tollaqo yang bermakna “melepaskan ikatan” atau
“menguraikan tali pengikat” baik tali pengikat itu bersifat konkret seperti tali
pengikat kuda atau unta maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat
perkawinan.1 Sedangkan menurut istilah perceraian merupakan sebutan untuk
melepaskan ikatan pernikahan, apabila dibagi antara umum dan khusus yang
berarti umum adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh
suami yang ditetapkan oleh Hakim serta yang berarti khusus yakni perceraian
yang dijatuhkan oleh pihak suami. Yang di maksud disini adalah melepaskan
ikatan pernikahan atau bubarnya hubungan perkawinan. Menurut Sayyid
Sabiq, apabila telah terjadi perkawinan, yang harus dihindari adalah
perceraian, meskipun perceraian bagian dari hukum adanya persatuan atau
perkawinan itu sendiri. Dalam al-Munawir Kamus Bahasa Arab Indonesia,
cerai adalah terjemahan dari bahasa Arab “Thalaqa” yang secara bahasa
artinya melepaskan ikatan.2
Perceraian dalam bahasa Indonesia dipakai dalam pengertian yang
sama dengan talak dalam istilah fiqh yang berarti bubarnya pernikahan.
1 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,
Ilmu Fikih, (Jakarta: Departemen Agama, 1985), Cet. Ke-2, h. 226
2 Ahmad Warsan Munawir, Al-Munawir : Kamus Bahasa Arab Indonesia, ( Surabaya :
Pustaka Progresif, 1997) Cet. Ke 14, h. 53
18
Sebagaimana hukum perkawinan, hukum perceraian dalam islam juga kerap
menimbulkan salah paham, seakan-akan ajaran islam memberikan hak yang
lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan, padahal betapa hati-hatinya
hukum islam dalam mengatur soal perceraian dan tidak salah kalau dikatakan
bahwa tiada satu agama atau peraturan manusia pun yang dapat menyamainya.
Hak laki-laki dan perempuan begitu seimbang sehingga mencerminkan rasa
keadilan yang luhur.3
Secara esensial bercerai itu berarti kufur terhadap nikmat Allah,
sedang kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap suatu nikmat adalah
haram. Jadi tidak halal bercerai kecuali karena keadaan darurat. Tetapi jika
tidak ada alasan, perceraian yang demikian berarti kufur terhadap nikmat
Allah, berlaku jahat kepada istri. Karena itu, perbuatan tersebut dibenci dan
dilarang Islam.4
Apabila pergaulan suami-istri tidak dapat mencapai tujuan pernikahan
tersebut, maka hal itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena
tidak ada kesepakatan antara suami-istri, maka dengan keadilan Allah Swt.
dibukakannya suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu pintu
perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan itu terjadilah ketertiban dan
ketentraman antara kedua belah fihak, dan supaya masing-masing dapat
mencari pasangan yang cocok yang dapat mencapai apa yang dicita-citakan.5
3 Beni Ahmad Syaebani, FIQH MUNAKAHAT. (Bandung : Pustaka Setia, 2001). h. 55
4 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 317.
5 Sulaiman Rasjid, FIQH ISLAM. (Bandung : Sinar Baru Algesindo, cetakan ke 30,
1997). h. 401
19
2. Dasar Hukum Perceraian
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam
masalah talak akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi
rumah tangga dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami
isteri. Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan
kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua
suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun
memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman,
Artinya: “bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”.
(Q. S. An-Nisaa ayat 21)
Suami istri wajib menjaga terhubungnya tali pengikat perkawinan dan
tidak sepantasnya pasangan suami istri berusaha merusak dan memutuskan tali
tersebut dan perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bias abadi dan
apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam islam yakni terwujudnya keluarga
sejahtera dapat terwujud.6
Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau
talak kedua, maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari
6 H. Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Than 1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana,
2006) h. 206
20
rumahnya sebelum berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh
keluar dari rumah tanpa izin dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat
menginginkan segera hilangnya amarah yang menyulut api perceraian.
Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa
segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb kita
dalam firman-Nya,
Artinya : ”Hai Nabi jika kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan perbuatan keji
yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan
sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq ayat 1)
Ada pula hadits yang berkenaan dengan dasar hukum perceraian. Yaitu hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, sebagai berikut:
ر قال عن لم ب ن عم و ه وسلم الل الله صل : قال رسم : اع ض م اح للال ا ى الله ي
اعو داود(اح طلاقم )رواه 7
7 Muhammad ibn Ismail Al Amir As-Shan’ni, Subul As-Salam Al Musholah ila Bulugh
Al Maram, Juz 3 (Kairo: Dar Ibn Al Jauzi, 1428 H), h. 156
21
Artinya : “Dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesuatu
(perbuatan) halal yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian
(perceraian)”. (HR. Abu Daud).
Perceraian adalah perbuatan halal yang paling di benci oleh Allah, dan
perceraian merupakan alternatif terakhir atau sebagai “pintu darurat” yang
boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak lagi dapat
dipertahankan keutuhannya.8
B. Sebab - Sebab Terjadinya Perceraian
Angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Perceraian
terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah sama-sama
merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai
perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya
secara keras menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan
alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu,
dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di Undang-Undang
Perkawinan akan dijelaskan, yaitu :9
1. Karena Kematian
Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh kematian tidak
menimbulkan banyak persoalan, apalagi kematian tersebut terjadi di hadapan
dan di tempat kediaman bersama, sehingga tidak ada masalah yang perlu
diperbincangkan lagi. Dengan meninggalnya salah seorang dari pasangan
8 Abu Daud Sulaiman bin al-„Asy‟ Asy, Sunan Abu Daud”, Mausu‟ah al-Hadis al-
Syarif, (Mesir: Global Islamic Sofware Company, 2000), Juz. I. h. 5.
9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 113
22
suami istri, dengan sendirinya putuslah ikatan perkawinan. Pihak yang masih
hidup boleh menikah lagi bilamana persyaratan yang telah ditentukan oleh
ketentuan yang berlaku dipenuhi sebagaimana mestinya.10
2. Karena Perceraian
Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami
dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam
dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraian
atas kehendak suami berbeda dengan perceraian atas kehendak istri.
Perceraian atas kehendak suami disebut cerai talak, sedangkan cerai atas
tuntutan istri disebut cerai gugat.11
3. Karena Atas Putusan Pengadilan
Putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan adalah berakhirnya
perkawinan yang didasarkan atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Alasan-alasan yang dipergunakan dalam putusnya
perkawinan berdasarkan putusan pengadilan tidak terinci dan tertentu seperti
alasan-alasan perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dan PP
Nomor 9 tahun 1975. Beberapa alasan yang dipergunakan antara lain: (a)
alasan karena tidak sanggup memberi nafkah, dan (b) alasan karena istri atau
suami hilang tidak tahu kemana perginya. Alasan yang benar-benar murni
10 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia,
(Bandung: Rosda Karya, 1991), h. 194.
11 H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-3, h. 206
23
merupakan perceraian yang berasal dari putusan Pengadilan adalah alasan
pada poin kedua (b).12
Dengan demikian, perceraian merupakan salah satu sebab putusnya
perceraian. UUP perkawinan menyebutkan adanya 16 hal penyebab
perceraian. Penyebab perceraian tersebut lebih dipertegas dalam rujukan
Pengadilan Agama, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), dimana yang
pertama adalah melanggar hak dan kewajiban.
C. Perbedaan dan Prosedur Cerai Thalaq dan Cerai Gugat
1. Perbedaan Cerai Thalaq dan Cerai Gugat
Jatuhnya talak atau cerai cukup dengan sebuah pernyataan yang
dikeluarkan oleh suami. Sebagaimana terdapat dalm Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Perceraian pada Pasal 66 ayat (1) yaitu : “Seorang
suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan siding guna menyaksikan
ikrar talak”.13
Sedangkan dalam KHI pada Pasal 117 yaitu : “perceraian hanya dapat
dilakukan di depan siding Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.14
Dalam perkara cerai gugat, seorang istri diberikan suatu hak gugat
untuk bercerai dengan suaminya, karena dalam cerai talak hanya di miliki oleh
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta. Putra Grafika,
2006) h. 197
13 Lihat Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, Pasal 66
14 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
24
suami. Akan tetapi bukan berarti cerai gugat haknya mutlak milik istri dan
tidak ada pembayaran iwadl serta yang memutuskan perceraian adalah
Hakim.15
Dengan demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur
tertentu dalam upaya menuntut perceraian.
Secara umum, talak artinya adalah kembali. Terdapat dua jenis talak
dari segi boleh tidaknya suami rujuk denga istrinya, yaitu talak Ba’in dan talak
Raj’i.16
Talak Raj’i adalah talak yang diucapkan oleh suami, dan apabila ingin
rujuk dalam masa iddhah, maka tidak perlu ada akad nikah baru. Cukup
adanya pernyataan dari pihak suami bahwa mereka sudah rujuk. Sedangkan
untuk talak Ba’in, yaitu perceraian karena diajukan oleh sang istri. Talak
Ba’in terdiri atas dua jenis, yaitu Ba’in Kubro dan Ba’in sugro. Talak Ba’in
Kubro dapat diupayakan rujuk, namun harus melalui penghalalan (muhalil).
Sedangkan untuk Ba’in Sugro terlepas dari adanya masa masa iddhah atau
tidak, tetap harus melalui akad nikah untuk rujuk dan harus melewati prosesi
pernikahan sebagaimana awal menikah dulu.
2. Prosedur Perceraian
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian merujuk pada
Pasal 118 HIR, yaitu bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami
mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat
tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan
tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini,
15
Nailatul Hidayah, “Ketidaksanggupan Suami dalam Melunasi Hutang Istri Sebagai
sebab Pengajuan Perceraian”.(Skripsi FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 33
16 Artikel diunduh dari website http://id.wikipedia.org/wiki/Talak pada tanggal 14 Januari
2015 pada Pukul. 21.16 wib
25
kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam
hukum Islam dan karakteristik Hukum Islam dalam perceraian memang
menghendaki demikian.17
Pemeriksaan sengketa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. Awal surat permohonan yang telah dibuat
dan ditandatangani diajukan ke kepaniteraan pengadilan agama (surat
permohonan diajukan pada sub kepaniteraan permohonan).
Kemudian pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara
dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya
perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Hal ini sejalan dengan Pasal 193 Rbg / Pasal 128 Ayat (1) HIR /
Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, yang meliputi:18
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim lain
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.
Setelah terdaftar, permohonan diberi nomor perkara kemudian
diajukan kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima
17
Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. h. 72
18 Pasal 90 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, h.74
26
permohonan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani
perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan
oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan
dibantu dua orang hakim anggota.19
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan. Ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Tata cara pemanggilan di mana harus secara resmi dan patut,
yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil di tempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada
ahli warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.20
19
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
(Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6, h.39
20 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,…, Cet.ke-6, h. 40.
27
Pasal 121 HIR, untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan
perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini
panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.21
Sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 54: “Hukum acara yang berlaku
pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini” hal
ini menjelaskan bahwa proses pemeriksaan perkara di depan sidang
pengadilan dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata.22
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini
hanya bersifat checking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti
mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian,
inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim. Pemohon ataupun termohon,
hakim harus sengguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata
upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan
tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.23
21
M. Fauzan, Pokok Pokok Acara Peradilan Agama, h. 13
22 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h.
202-203.
23 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
(Jakarta: Sinar Grafika,2004), Cet.ke-6, h. 41-42
28
Selanjutnya pada tahap dari termohon, pihak termohon diberikan
kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya
terhadap pemohon melalui hakim. Pada tahap replik pemohon kembali
menegaskan isi permohonannya yang dilakukan oleh termohon dan juga
mempertahankan diri atas sanggahan-sangghan yang disangkal termohon.
Kemudian pada tahap duplik, termohon dapat menjelaskan kembali
jawabannya yang disangkal oleh pemohon.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan
pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan,
hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan
menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri
sengketa.24
D. Pengertian dan Dasar Hukum Utang Piutang
1. Pengertian Utang Piutang
Di dalam fiqih Islam, utang piutang atau pinjam meminjam telah
dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa)
ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang
yang ber-utang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta
orang yang memberikan utang. Secara etimologis lainnya qardh merupakan
bentuk mashdar dari qaradha-yaqridhu, yang artinya dia memutuskannya.
Qardh adalah bentuk mashdar yang berarti memutuskan. Dikatakan qaradhu
asy-syai‟a bil miqradh, atau memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qaradh
24
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, …. , Cet.ke-6, h. 43-45.
29
adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar. Terdapat definisi
yang dikemukakan dalam kompilasi hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif
dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan lembaga keuangan
syariah.25
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah
menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat)
sesuai dengan padanannya.26
Beberapa pendapat tentang defenisi Al-Qardh. Menurut Imam Hanafi,
Al-Qardh adalah pemberian harta oleh seseorang kepada orang lain supaya ia
membayarnya. Kontrak yang khusus mengenai penyerahan harta kepada
seseorang agar orang itu mengembalikan harta yang sama sepertinya.
Sementara itu, Imam Malik menyatakan bahwa Al-Qardh merupakan jaminan
atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan dan
bukan merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti
bentuk yang dipinjamkan.27
2. Dasar Hukum Utang Piutang
Hukum Utang Piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam
bahkan orang yang memberikan utang atau pinjaman kepada orang lain yang
sangat membutuhkan adalah hal yang sangat disukai dan dianjurkan serta
25
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta, Kencana. 2012), h. 333
26 Al-Abbadi, Abdullah Abdurrahim. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-
Islamiyyah Al-Mu’ashirah, h.29.
27 M. Muslichuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8
30
disenangi oleh Allah, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar.
Beberapa dasar hukum utang piutang sebagai berikut :
a. Al Quran
Dalil dari Al Quran firman Allah Swt surat Al Baqarah ayat 245 :
Artinya : “siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan
meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang
banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan.”
Allah Swt berfirman dalam Q.S. Al Baqarah ayat 280 :
Artinya : “dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka
berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu”
Serta dalam Q.S. Al Baqarah ayat 282 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya.”
Firman Allah Swt dalam Q.S. Al Maidah ayat 1 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
b. Al Hadits
31
ال كن كصدقة مرت ضا مرتي ما قر س ل يمق رضم مم س 28رواه ابن ماجه() ما من مم Artinya : “Bukan seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainnya) kecuali yang satunya adalah (senilai) shodaqah” (H.R. Ibnu
Majah)
Serta dikatakan dalam hadist lain yakni,
ضقة عدي نه حت يمق عن هم )رواها سم نف من مم مؤ (احرتميذ مل “jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi”(H.R.
At-Tirmidzi).
c. Pendapat Ulama
Sementara dari pendapat para ulama bahwa mereka menjelaskan
para kaum muslimin telah mengisyaratkannya utang piutang (pinjam-
meminjam).29
Kesepakatan ini di dasari oleh tabiat manusia yang tidak
bias hidup tanpa pertolongan orang lain. Tidak ada seorang pun yang
memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam
meminjam sudah menjadi suatu bagian dari kehidupan manusia.
E. Rukun, Syarat dan Hikmah Utang Piutang
1. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Berkaitan dengan diperbolehkannya melakukan utang piutang maka
hal ini menjadikannya beberapa rukun yang harus dipenuhi agar utang piutang
tersebut dapat dilakukan dan dinyatakan sah, berikut ini rukun utang piutang :
a. Adanya orang yang berutang, disyaratkan bahwa orang yang berutang
cakap dalam melakukan tindakan hukum.
28
HR. Ibnu Majah Jilid II/812 Nomor. 2430, dari Ibnu Mas’ud.
29 Isnawati Rais, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.150.
32
b. Adanya orang yang berpiutang, syaratnya sama dengan syarat di point (a).
c. Harta yang di utang piutang-kan, syaratnya barang tersebut murni dan
jelas kehalalannya, bukan harta yang haram atau bercampur antara barang
halal dan haram.
d. Adanya lapadz, yakni penyataan dari pihak penerima utang dan pihak
pemberi piutang.30
Beberapa jenis utang meliputi : utang kepada Allah dan utang kepada
manusia. Hutang kepada Allah misalnya pembayaran zakat, puasa,
menjanjikan sesuatu atau nadzar, penebusan dosa atau kafarat. Menurut Imam
Hanafi, utang kepada Allah seharusnya tidak diambil dari harta yang
ditinggalkan. Hal ini dikarenakan tanggung jawab tersebut sudah hilang
bersamaan dengan meninggalnya orang yang mempunyai komitmen tersebut.
Tetapi jika pewaris mewasiatkan hal tersebut maka hal ini menjadi kewajiban
yang harus dilakukan dari hartanya. Namun menurut Imam Syafi‟i, Imam
Maliki dan Imam Hambali utang kepada Allah harus tetap dilaksanakan
meskipun orang tersebut telah meninggal.31
2. Hikmah Dibolehkannya Utang Piutang
Hikmah serta manfaat dibolehkannya utang-piutang sebagaimana
firman Allah Swt, hadits-hadits dan pendapat para ulama antara lain :
30
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004,
h. 137.
31 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,(Jakarta: Kencana, 2012), h.336.
33
- Pertama, menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara
mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami
kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan.32
- Kedua, Berharap pahala dari Allah Swt termasuk mendapatkan
pertolongan-Nya.
- Ketiga, Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling
menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
32
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah,…, h. 336.
34
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA TANGERANG
A. Sejarah Singkat Pengadilan1
Pengadilan Agama Tangerang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan II,
Komplek Perkantoran Cikokol Kota Tangerang adalah merupakan Pengadilan
Agama kelas I B yang berada di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama
Banten. Pengadilan Agama Tangerang dibangun di atas tanah seluas + 2.020 M2
dengan status tanah hak pakai berdasarkan sertifikat yang diterbitkan Badan
Pertanahan Nasional Tangerang Nomor 28 dan 29 tanggal 21 September 1984 dan
telah dibalik nama atas nama Pemerintah Republik Indonesia Cq Mahkamah
Agung RI. Adapun bangunan gedung Pengadilan Agama Tangerang
seluas + 1858 M2 dua lantai yang telah dibangun pada tahun 2009.
2
1. Peta Wilayah Hukum
a. Secara astronomis, Kota Tangerang terletak diantara :
6o 6’ - 6
o13’ LS, 106
o 36’ - 106
o 42’ BT
b. Kota Tangerang meliputi areal seluas 164,539 KM2
secara geografis,
dengan batas sebagai berikut :
1. Sebelah Barat : wilayah Kab. Serang
2. Sebelah Utara: Laut Jawa
3. Sebelah Timur: wilayah Kab. Tangerang
1 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/sejarah, pada tanggal 5 Januari 2015
2 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/sejarah, pada tanggal 13 Januari 2015
35
4. Sebelah Selatan : wilayah Kab.Lebak.3
2. Letak Geografis
Letak geografis Kota Tangerang terletak antara 6 6’ Lintang Selatan
sampai dengan 6 13’ Lintang Selatan dan 106 36’Bujur Timur sampai dengan 106
42’ Bujur Timur. Batas wilayahnya;
- Sebelah utara, berbatasan dengan kecamatan Teluknaga dan Kecamatan
Sepatan Kabupaten Tangerang.
- Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Curug (Kabupaten Tangerang)
dan Kecamatan Serpong,Kecamatan Pondok Aren (Tangerang Selatan).
- Sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta.
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.
3. Gambaran Umum Pengadilan
Penelusuran pembentukan Pengadilan Agama Tangerang secara historis
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan Agama-
Pengadilan Agama lainnya yang ada di wilayah negara RI. Fase sebelum
kemerdekaan dimana Indonesia mengalami beberapa kali masa penjajahan oleh
bangsa lain seperti Belanda, Jepang, dan lain-lain mewarnai tumbuh kembang dan
terbentuknya institusi Peradilan Agama di Indonesia.
Kota Tangerang dinyatakan sebagai wilayah Kotamadya (Kota) pada
tanggal 31 Juli 1993. Status Kota yang saat itu berada dibawah Propinsi Jawa
Barat merupakan upaya pengembangan wilayah daaerah tingkat 2 (dua) yang
sebelumnya dipusatkan pada satu wilayah kabupaten Tangerang. Berdasarkan
3 Artikel sepenuhnya dikutip dari http://pa-tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/
sejarah, pada tanggal. 14 Januari 2015, Pukul 22.21 wib.
36
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 Kota Tangerang diberikan otoritas daerah
tersendiri di samping kabupaten Tangerang yang berpusat di Tigaraksa.
Selanjutnya, setelah provinsi Banten dibentuk Kota Tangerang pun beralih
menjadi wilayah Kota yang berada di bawah provinsi Banten.4
B. Visi dan Misi Pengadilan5
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-
undang No.7 Tahun 1989 pada pasal 2 menyebutkan bahwa : ‘Peradilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara tertentu”, serta untuk menujang dan memenuhi
harapan lembaga Peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya murah
sebagai mana tersebut dalam Pasal 57 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989, maka Pengadilan Agama Tangerang
mengimplementasikan-nya dengan Visi dan Misi yang diharapkan dapat
memenuhi harapan bagi para pencari keadilan tersebut.
Adapun Visi dan Misi Pengadilan Agama Tangerang adalah :
Visi : TERWUJUDNYA PENGADILAN AGAMA TANGERANG YANG
TERHORMAT DAN BERMARTABAT”
Misi : 1. Tewujudkan pelayanan prima dengan cara memperbaiki akses
pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat.
2. Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan Independen dengan cara
4 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/sejarah, pada tanggal 5 Januari 2015.
5 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/visidanmisi, pada tanggal 12 Januari 2015
37
meningkatkan kwalitas SDM yang professional.6
C. Tugas, Pokok dan Fungsi Pengadilan
Pengadilan Agama merupakan lembaga Peradilan pada tingkat pertama
yang tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara- perkara tertentu diantara orang Islam atau yang menundukan diri dengan
hukum Islam berupa:
a. Perkawinan;
b. Waris;
c. Wasiat;
d. Hibah;
e. Wakaf;
f. Zakat;
g. Infaq;
h. Shadaqoh dan Ekonomi Syari’ah.7
(Dasar Hukum : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang-ndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama jo undang-undang No 50 Tahun 2009).
Selain dari tugas pokok diatas, Peradilan Agama mempunyai tugas
tambahan baik yang diatur dalam Undang-undang maupun dalam peraturan-
peraturan lainnya yaitu :
6 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/visi, pada tanggal 05 Januari 2015
7 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/tupoksi, pada tanggal 15 Januari 2015
38
1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989)
2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) Undang-undang No.
7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam
perkara volunteer.
3. Memberikan isbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan tahun
hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006)
4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugas-tugas
lainnya.8
D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama9
Pengadilan Agama Tangerang merupakan Pengadilan Agama Kelas I B,
yang saat ini dipimpin oleh (Drs. Nasirudin, M.H) dan seorang wakil (Drs.
Sahlan, S.H., M.H) mempunyai struktur organisasi sebagai berikut :
1. Pimpinan : Ketua dan Wakil Ketua
2. Tenaga Fungsional : Para Hakim
3. Kepaniteraan/Kesekretariatan
a. Panitera dibantu oleh :
8 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/tupoksi, pada tanggal 05 Januari 2015.
9 Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/organisasipengadilan, pada tanggal 13 Januari 2015
39
Wakil Panitera, Wakil Panitera Permohonan, Panitera Gugatan dan Panitera
Hukum serta beberapa orang dari Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti
sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Pasal Ayat 26 ayat (2).
b. Sekretaris dibantu oleh :
Wakil Sekretaris sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam
Pasal 43 yakni : Kepala Urusan Kepegawaian, Kepala Urusan Keuangan dan
Kepala Urusan Umum.
Berikut ini adalah nama-nama pejabat yang ada di dalam organisasi
Pengadilan Agama Tangerang pada tahun 2014 diantaranya :10
JABATAN NAMA
KETUA Drs. Nasirudin, M.H
WAKIL KETUA Drs. Sahlan, S.H., M.H
HAKIM Drs. Nasirudin, M.H
Drs. Sahlan, S.H., M.H
Drs. Ubin Mubin Surdiman
Drs. Haryadi Hasan., MH.
Drs. Mansyur
Dra. Hj. Ulyati R.
Drs. Arwendi
Drs. Dudih Mulyadi
Drs. H. A. Bakhri Syams
10 10
Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/daftar-ketua-panitera, pada tanggal 13 Januari 2015
40
Drs. Masgiri, MH
Drs. Buang Yusuf, S.H., M.H.
Mahrus, Lc., M.H.
PANITERA/SEKRETARIS Drs. Mukhtar, M.H.
WAKIL PANITERA H. Karso, Bc.Kn, S.Ag.
PANMUD PERMOHONAN Mardiati, SH.
PANMUD HUKUM Nadlroh Hasun, S.Ag.
STAF Nurwinda Findiandi, SE.
Eka Novianti
WAKIL SEKRETASIS Ratna Sari Fitriani, S.H., M.H.
KAUR KEPEGAWAIAN Susmakadaranipa, S.Ag.
STAF KEPEGAWAIAN Amelia Fitry, A.Md.
Siti Jamilah Naufaliani
KAUR KEUANGAN Hana Nuraeni, S.Sos.
KAUR UMUM Arif Rahmanto, ST.
BENDAHARA Riska Mizalfi, S.Kom.
STAF UMUM Pradnya Paramita, A.Md.
JURUSITA Rudi Andiwijaya
Amin Hidayat Sanie
Abdul Rochim
JURUSITA PENGGANTI Dra. Hj. Lathifah, HM.
Windy Indrawati, SE.
Irvan Yunan
41
Faj Amiky, SH.
Eka Kurniati Khadam, SH.
M. Affan Gofar
Uus Usnadi
Endang Dwi Purwanti, A.Md.
Mardianah
SKEMA STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA.11
11 Skema struktur Organisasi dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama
Tangerang dari : http://pa-tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/struktur-pa, pada tanggal 13
Januari 2015
42
43
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan
Wilayah Hukum/Yurisdiksi Pengadilan Agama Tangerang meliputi
seluruh wilayah Daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (tiga
belas) Kecamatan dan 104 (seratus empat) Kelurahan sebagai berikut :12
KECAMATAN KELURAHAN KECAMATAN KELURAHAN
BATUCEPER
Poris Gaga
CIBODAS
Cibodasari
Batu Jaya Cibodas
Batu Sari Cibodas Baru
Batuceper Panunggangan
Barat
Poris Gaga Baru Uwung Jaya
Kebon Besar Jatiuwung
Poris Jaya
CILEDUG
Peninggilan
LARANGAN
Gaga
Sudimara Timur Larangan Utara
Sudimara Barat Larangan Selatan
Parung Serab Larangan Indah
Sudimara Jaya Cipadu
Peninggilan Utara Kreo
Tajur Kreo Selatan
Sudimara Selatan Cipadu Jaya
12
Dikutip sepenuhnya dari website Pengadilan Agama Tangerang dari : http://pa-
tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil/wilayah, pada tanggal 13 Januari 2015
44
CIPONDOH
Gondrong
TANGERANG
Tanah Tinggi
Cipondoh Indah Suka Asih
Petir Buaran Indah
Poris Pelawad
Indah
Sukarasa
Cipondoh Babakan
Poris Pelawad Cikokol
Cipondoh
Makmur
Sukasari
Kenanga Kelapa Indah
Ketapang
Poris Pelawad
Utara
JATIUWUNG
Keroncong
PERIUK
Gembor
Jatake Gebang Raya
Pasir Jaya Sangiang Jaya
Gandasari Periuk
Alam Jaya Periuk Jaya
Manis Jaya
KARANG
TENGAH
Pondok Pucung
NEGLASARI
Kedaung Wetan
Parung Jaya Karang Anyar
Karang Tengah Negalasari
45
Karang Timur Karangsari
Pondok Bahar Selapajang Jaya
Padurenan Kedaung Baru
Karang Mulia Mekarsari
KARAWACI
Karawaci Baru
PINANG
Panunggangan
Utara
Bojong Jaya Sudimara Pinang
Nusa Jaya Pinang
Cimone Nerogtog
Cimone Jaya Panunggangan
Timur
Pabuaran Kunciran
Sumur Pacing Kunciran Indah
Bugel Kunciran Jaya
Marga Sari Cipete
Sukajadi Pakojan
Gerendeng Panunggangan
Pasar Baru
Koang Jaya
Pabuaran
Tumpeng
Karawaci
46
Nambo Jaya
BENDA
Benda
Jurumudi
Jurumudi Baru
Belendung
Pajang
47
BAB IV
PUTUSAN PENGADILAN
A. Duduk Perkara Putusan (Nomor: 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng)
Berdasarkan para pihak dan saksi, dalam putusan nomor.
0647/Pdt.G/2011/PA.Tng disebutkan bahwa penggugat adalah Lis Munawaroh
binti H. Muhamad, umur 39 tahun, Agama Islam, pekerjaan Pegawai Honorer
Kelurahan tempat kediaman di : Jl KH. Musthofa RT. 02 RW. 04 Kelurahan Poris
Jaya, Kecamatan Batuceper Kota Tangerang. Atas dasar surat gugatannya
tertanggal 18 Mei 2011 yang didaftarkan pada hari di Kepanitraan Pengadilan
Agama Kota Tangerang pada tanggal itu juga dengan register perkara Nomor.
0647/Pdt.G/2011/PA.Tng.1
Menurut pengakuan Penggugat, Penggugat adalah istri sah tergugat, yang
pernikahannya dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 3 Desember 1992, di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan
Batuceper Kota Tangerang.
Selama pernikahan Penggugat dan Tergugat menjalani hidup berumah
tangga dan tinggal dalam satu rumah/tempat kediaman bersama di Jl. KH.
Musthofa RT. 02 RW. 04 Kelurahan Poris Jaya, Kecamatan Batuceper Kota
Tangerang dan selama pernikahan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai anak
laki-laki yang bernama Muhammad Andre Saputra bin Najmudin, umur 16 tahun
lahir di Tangerang tanggal 9 Januari 1995.
1 Salinan Putusan Perkara Nomor: 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng, h. 1
48
Semula rumah tangga antara penggugat dengan tergugat rukun dan
harmonis selama 6 tahun, namun sejak bulan Mei 1998 mulai timbul permaslahan
dimana sering terjadi percekcokan dan pertengkaran yang disebabkan karena
Penggugat dan Tergugat sudah tidak sejalan dalam membina rumah tangga,
tergugat sering bermain judi dan mabuk-mabukan, sering ke diskotik dan bar
dangdut serta Tergugat sering ber-utang kepada rentenirt tanpa sepengetahuan dan
seizin Penggugat.
Pada 28 April 2011 merupakan puncak dari pertengkaran dan perselisihan
dalam rumah tangga Tergugat dan Penggugat, mereka telah pisah rumah dan tidak
ada komunikasi yang baik. Musyawarah keluarga telah dilaksanakan untuk
merukunkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat, akan tetapi tidak berhasil.2
Dengan beberapa kejadian di atas, rumah tangga antara Penggugat dengan
Tergugat sudah sulit untuk dibina menjadi rumah tangga yang baik dan harmonis
kembali, sehingga perkawinan untuk membentuk rumjah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah tidak mungkin lagi tercapai, sehingga Penggugat
berkesimpulan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat harus diakhiri
dengan perceraian.
B. Gugatan dan Pembuktian
1. Gugatan Penggugat
Mengenai isi dari tuntutan Penggugat, Penggugat memohon kepada
Pengadilan Agama Kota Tangerang kiranya dapat menjatuhkan putusan
sebagai berikut:
2 Salinan Putusan Perkara Nomor: 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng, h. 3
49
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
b. Menetapkan menyatakan menjatuhkan talak dari tergugat (Najmudin bin
Muksin) kepada Penggugat (Lis Munawaroh binti H. Muhamad)
c. Membebaskan biaya perkara kepada Penggugat dan membebankan biaya
perkara kepada Negara
d. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex Aquo et bono)
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Penggugat dan Tergugat telah
hadir ke persidangan.
Bahwa karena Penggugat mengajukan permohonan untuk berperkara
secara prodeo, maka sebelum memeriksa pokok perkara terlebih dahulu
diperiksa permohonan berperkara secara prodeo terlebih dahulu, tetapi
berdasarkan putusan sela nomor. 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng tanggal 13 Juni
2011 yang amar pokoknya Majelis menolak permohonan Penggugat untuk
beracara secara prodeo dan memerintahkan untuk membayar panjar biaya
perkara.3
Kemudian, dibacakanlah surat Gugatan Penggugat tersebut dalam
persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum yang isinya tetap
dipertahankan oleh Penggugat.
2. Pembuktian
Untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya telah mengajukan bukti
tertulis berupa foto copy KTP atas nama (Penggugat) yang dikeluarkan oleh
3 Salinan Putusan Perkara Nomor: 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng, h. 11
50
Camat Kecamatan Batuceper Kota Tangerang Nomor 2671003540370001
tanggal 3 Maret 2008 (bukti P1) dan foto copy Kutipan Akta Nikah dari
Kantor Urusan Agama Kecamatan Batuceper Kota Tangerang Nomor.
756/13/XII/1992 tanggal 2 Desember 1992 (bukti P2).
Penggugat telah menyampaikan kesimpulan secara lisan yang pada
pokoknya Penggugat tetap ingin bercerai dengan Tergugat demikian pula
Tergugat menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya tidak keberatan
bercerai dengan Penggugat dan selanjutnya Penggugat maupun Tergugat tidak
mengajukan sesuatu apapun lagi dan memohon putusan perkara ini.4
C. Pertimbangan Hukum
Maksud dan tujuan dari gugatan Penggugat adalah sebagaimana
tersebut di atas. Bahwa Majelis Hakim telah menasehati Penggugat agar
berdamai dengan Tergugat, namun tidak berhasil.
Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan antara Penggugat dan
Tegugat dalam membina rumah tangga sudah tidak harmonis sehingga sulit
untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana ketentuan hukum Islam
yang tersirat dalam ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang
Undang nomor 1 Tahun 1974. Dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis
Hakim berpendapat ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah
pecah yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut di atas, sehingga
antara Penggugat dan Tergugat tidak mungkin untuk dapat dirukunkan
kembali untuk membina rumah tangga bersama dan gugatan Penggugat telah
4 Salinan Putusan Perkara Nomor: 0647/Pdt.G/2011/PA.Tng, h. 9
51
memenuhi maksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang mengisyaratkan
adanya perselisiihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dibuktikan
oleh Penggugat di persidangan, maka dari itu gugatan Penggugat patut
dikabulkan dalam Persidangan di Pengadilan Agama Kota Tangerang.
Oleh karena perkara ini termasuk ke dalam bidang perkawinan,
berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Perkawinan, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor
50 Tahun 2009, maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan
kepada Penggugat untuk membayarnya. Perkara ini dipertimbangkan yang
amarnya yaitu “Pasal 125 HIR dan segala peraturan per undang-undangan
yang berlaku. Memperhatikan kaidah hukum syara yang berkaitan dengan
perkara ini”.
D. Duduk Perkara Putusan (Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng)
Berdasarkan para pihak dan saksi, dalam putusan nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng disebutkan bahwa Pemohon adalah Uus bin Sarwa,
umur 33 tahun, Agama Islam, pendidikan SMK, pekerjaan Karyawan Swata
tempat kediaman di : Alam Pesona Wanajaya P 30 RT. 006 RW. 018 No. 7,
Kelurahan Wanajaya, Kecamatan Cibitung Bekasi, Jawa Barat. Atas dasar surat
pengajuan permohonan cerai talak tertanggal 29 Agustus 2013 yang didaftarkan
pada hari di Kepanitraan Pengadilan Agama Kota Tangerang pada tanggal itu juga
dengan register perkara Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng.5
5 Salinan Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 1
52
Menurut pengakuan Pemohon, Pemohon adalah suami sah Termohon,
yang pernikahannya dilaksanakan pada hari 17 Maret 2001, di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo, Gunung
Kidul, Djogjakarta sebagaimana ternyata dari kutipan Akta Nikah Nomor.
130/62/III/2001, tanggal 17 Maret 2001.
Selama pernikahan Pemohon dan Termohon menjalani hidup berumah
tangga dan mengambil tempat kediaman di Alam Pesona Wanajaya P30/No. 7,
Wanajaya Cibitung, Bekasi sebagai tempat kediaman bersama terakhir dan selama
pernikahan Pemohon dan Termohon telah dikaruniai anak perempuan yang
bernama Najwa Agni Usnisa, umur 6 tahun lahir di Tangerang tanggal 12 Januari
2007.
Semula rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon rukun dan
harmonis selama 5 tahun, namun sejak bulan Agustus 2012 mulai tidak harmonis
dengan adanya perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon dengan Termohon
yang terus menerus dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi yang
disebabkan antara lain :
1) Bahwa Termohon berhutang dengan orang lain tanpa sepengetahuan Pemohon
2) Bahwa Termohon menjual perabotan rumah tangga disaat Pemohon sedang
bekerja.
3) Bahwa Termohon tidak menghormati dan menghargai Pemohon sebagai
kepala rumah tangga.6
6 Salinan Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 2
53
Puncak keretakan rumah tangga antara Pemohon dengan Temohon
tersebut terjadi kurang lebih pada Maret 2013, yang akibatnya antara Pemohon
dengan Termohon telah pisah rumah dan Termohon yang meninggalkan tempat
kediaman bersama. Musyawarah keluarga telah dilaksanakan untuk merukunkan
rumah tangga Pemohon dan Termohon, akan tetapi tidak berhasil.
Dengan beberapa kejadian di atas, rumah tangga antara Pemohon dengan
Termohon sudah sulit untuk dibina menjadi rumah tangga yang baik dan harmonis
kembali, sehingga perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah tidak mungkin lagi tercapai dan sulit dipertahankan lagi,
dan karenanya agar masing-masing pihak tidak lebih jauh melanggar norma
hukum dan norma agama maka perceraian merupakan jalan terakhir bagi
Pemohon untuk menyelesaikan permasalahan antara Pemohon dengan Termohon.
E. Permohonan dan Pembuktian
1. Permohonan Pemohon
Mengenai isi dari tuntutan Pemohon, Pemohon memohon kepada
Pengadilan Agama Kota Tangerang kiranya dapat menjatuhkan putusan
sebagai berikut:7
a. Mengabulkan permohonan Pemohon.
b. Menetapkan mengizin Pemohon (Uus bin Sarwa) untuk menjatuhkan talak
satu raj’ie terhadap Termohon (Sulistyawati binti Bejo Hartoyo) didepan
sidang Pengadilan Agama Tangerang.
7 Salinan Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 3
54
c. Memerintahkan Penitera Pengadilan Agama Tangerang untuk
menyampaikan salinan putusan perkara ini setelah mempunyai kekuatan
hukum tetap kepada KUA Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul,
Djokjakarta.
d. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon.
e. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex Aquo et bono).
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Pemohon dan Termohon telah
hadir ke persidangan. Majelis Hakim menjelaskan kepada para pihak bahwa
terhadap perkara yang bersangkutan terlebih dahulu harus melalui proses
mediasi, baik Mediator dari Hakim Pengadilan maupun dari luar Pengadilan.
Kemudian, dibacakanlah surat Permohonan Pemohon tersebut dalam
persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum yang isinya tetap
dipertahankan oleh Pemohon.
2. Pembuktian
Untuk memperkuat dalil-dalil Permohonannya Pemohon telah
mengajukan bukti tertulis berupa foto copy buku Kutipan Akta Nikah nomor
130/62/III/2001 tanggal 19 Maret 2001 atas nama Pemohon dan Termohon
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Karangmojo, Kabupaten
Gunung Kidul, Propinsi DI Yogyakarta, bermaterai cukup dan dicocokkan
dengan aslinya selanjutnya disebut (bukti P).8
8 Salinan Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 4
55
Majelis Hakim telah memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan
saksi-saksi untuk di dengarkan keterangannya dan untuk itu pemohon telah
menghadirkan saksi-saksi untuk bersaksi di hadapan Hakim.
Kemudian Pemohon telah menyampaikan kesimpulan secara lisan
yang pada pokoknya Pemohon tetap ingin bercerai dengan Termohon dan
akan memberi Termohon mut’ah berupa uang Rp. 500.000,- (lima ratus ribu
rupiah) dan nafkah selama masa iddah sebesar Rp. 1.500.000,- (satu juta lima
ratus ribu rupiah) demikian pula Termohon menyampaikan kesimpulan yang
pada pokoknya tidak keberatan bercerai dan menerima mut’ah, nafkah selama
masa iddah tersebut dan selanjutnya Pemohon maupun Termohon tidak
mengajukan sesuatu apapun lagi dan memohon putusan perkara ini.
F. Pertimbangan Hukum
Maksud dan tujuan dari Permohonan Pemohon adalah sebagaimana
tersebut di atas. Bahwa berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008 setiap perkara
yang masuk ke Pengadilan terlebih dahulu harus melalui proses mediasi, tanpa
mediasi perkara tersebut batal demi hukum, baik mediatornya dari luar pengadilan
maupun dari hakim yang telah ditentukan. Majelis Hakim telah menasehati
Pemohon agar berdamai dengan Termohon, namun tidak berhasil.
Yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah karena dalam
rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah terjadi perselisihan yang
terus menerus yang sulit untuk di rukunkan lagi, yang puncaknya di antara
Pemohon dengan Termohon telah berpisah rumah yang disebabkan sebagaimana
alasan-alasan yang dikemukakan Pemohon dalam surat Permohonannya.
56
Majelis Hakim berpendapat bahwa hubungan antara Pemohon dan
Termohon dalam membina rumah tangga sudah tidak harmonis sehingga sulit
untuk mewujudkan tujuan perkawinan sebagaimana ketentuan hukum Islam yang
tersirat dalam ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang Undang nomor
1 Tahun 1974. Dalam kondisi tidak harmonis tersebut Majelis Hakim berpendapat
ikatan perkawinan antara Pemohon dan Termohon telah pecah yang disebabkan
oleh hal-hal sebagaimana tersebut di atas, sehingga antara Pemohon dan
Termohon tidak mungkin untuk dapat dirukunkan kembali. untuk membina rumah
tangga bersama dan gugatan Pemohon telah memenuhi maksud Pasal 19 huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam yang mengisyaratkan adanya perselisiihan dan pertengkaran yang
terus menerus dapat dibuktikan oleh Pemohon di persidangan, maka dari itu
gugatan Pemohon patut dikabulkan dalam Persidangan di Pengadilan Agama Kota
Tangerang.9
Oleh karena perkara ini termasuk ke dalam bidang perkawinan,
berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Perkawinan, sebagaimana yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 50
Tahun 2009, maka semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Pemohon untuk membayarnya. Perkara ini dipertimbangkan yang amarnya yaitu
“Pasal 125 HIR dan segala peraturan per undang-undangan yang berlaku.
Memperhatikan kaidah hukum syara yang berkaitan dengan perkara ini”.10
9 Salinan Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 10
10 Lihat dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
57
G. Analisis Penulis
Putusan Pengadilan Agama Tangerang terhadap Lis Munawaroh binti H.
Muhamad dan Najmudin bin Mukhsin dengan perkara Nomor.
647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Putusan Pengadilan Agama Tangerang terhadap Uus
bin Sarwa dan Sulistyawati binti Bejo Hartoyo dengan perkara Nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng bahwa para Hakim pada umumnya dalam memberikan
putusan dengan mengambil dasar hukum, di antaranya faktor-faktor penyebab
perceraian diatas ini sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Perkawinan, merupakan puncak perselisihan dan pertengkaran dalam
rumah tangga antara pemohon dan termohon, penggugat dan tergugat.11
Akhirnya dikarenakan suami tidak sanggup lagi menanggung perasaannya,
maka suami pun memilih untuk mengajukan permohonan perceraian ke
Pengadilan Agama dikarenakan kondisi yang terjadi pada dirinya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 80 ayat 2 dan 4 dinyatakan
bahwa kewajiban suami terhadap istrinya sebagai berikut:
1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu kehidupan
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a. Nafkah, kiswah dan tempat tinggal bagi istrinya.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak.
11 Lihat Salinan Perkara Putusan Nomor. 647/Pdt.G/2011/PA.Tng, Hlm 1 dan Salinan
Perkara Putusan Nomor: 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. h. 1
58
c. Biaya pendidikan bagi anak.12
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka suami wajib memberikan
nafkah kepada istri dan anak-anaknya (biaya kehidupannya) akan tetapi ada
suami yang tidak melakukan kewajiban tersebut. Tidak semata-mata
perceraian karena faktor ekonomi yang menyebabkan perceraian, hal tersebut
di antaranya: istri tidak merasa cukup akan penghasilan suaminya, sementara
istri hanya ingin berfoya-foya atau boros, atau istri tidak berlaku jujur atau
bohong terhadap suami dalam masalah ekonomi dan dalam putusan Nomor.
1326/Pdt.G/2013/PA.Tng yakni suami melakukan permohonan dan putusan
Nomor. 647/Pdt.G/2011/PA.Tng yakni istri yang melakukan gugatan, yang
isinya sebagai berikut:
Pertama, pemohon memohon kepada Majelis Hakim agar dapat
mengabulkan seluruh tuntutannya untuk dikabulkan.
Kedua, penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar gugatannya
dikabulkan seluruhnya.
Ketiga, pemohon memohon kepada Majelis Hakim agar menetapkan
biaya mut’ah yang disebutkan oleh pemohon sesuai dengan peraturan Per-
Undang-Undangan yang berlaku dan menjatuhkan putusan seadil-adilnya.
Keempat, pemohon dan penggugat memohon kepada Majelis Hakim
agar gugatannya dalam meminta putusan thalaq dikabulkan seluruhnya.
Majelis Hakim di Pengadilan Agama pun akan mengabulkan gugatan cerai
yang diajukan suami maupun permohonan talak dari pihak istri. Sebagaimana
12
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 80 ayat 2 dan 4. h. 44
59
dimaksud dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri”.
Dengan telah diperolehnya suatu fakta yang berkaitan dengan duduk
perkara antara pemohon dengan termohon serta penggugat dengan tergugat telah
terjadi perselisihan yang tidak mungkin lagi dapat dirukunkan.13
Dinilai telah
memenuhi alasan hukum baik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana yang tersebut pada Pasal 19 Huruf (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun berdasarkan ketentuan
Hukum Islam sebagaimana tersebut pada Pasal 116 Huruf (f) Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim sudah dapat mendalilkan Pasal 9
Huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maupun berdasarkan
ketentuan Hukum Islam sebagaimana tersebut pada Pasal 9 Huruf (f) Kompilasi
Hukum Islam karena apabila dipaksakan rumah tangganya utnuk bersatu maka
sudah tidak layak lagi karena sudah melanggar Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
memberikan keterangan mengenai dasar dan tujuan perkawinan bahwa :
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan warahmnah”.
Berdasarkan ketentuan Hukum Islam diatas maka telah jatuhlah talaq,
yakni talaq satu Raj’i yaitu dimana suami memiliki hak untuk merujuk istrinya,
sebab akad perkawinannya tidak mempengaruhi hubungannya hak (kepemilikan)
13
Arso Sastroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia. (Jakarta: Bulan Bintang, 1981),
h. 60.
60
dan tidak mempengaruhi hubunannya yang halal (kecuali persetubuhan). Majelis
Hakim perlu mengetengahkan petunjuk Allah sebagaimana tersebut dalam surat al
Baqarah ayat 226 yang berbunyi :
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah
ayat : 226)
Dapat ditafsirkan dalam ayat diatas bahwasanya ketika kedua pasangan
suami istri tersebut sudah tidak ada lagi kecocokan kembali dan dalam
percekcokan tersebut telah melanggar dari tujuan perkawinan itu sendiri dengan
telah diperolehnya suatu fakta yang berkaitan dengan duduk perkara antara
pemohon dengan termohon dan penggugat dengan tergugat terjadi perselisihan
yang tidak mungkin lagi dapat dirukunkan.
Majelis berpendapat agar masing-masing pihak tidak lagi lebih jauh
melanggar norma-norma hukum, maka perceraian dapat dijadikan satu alternative
untuk menyelesaikan rumah tangga antara pemohon dengan termohon serta
61
penggugat dengan tegugat karena baik berdasarkan ketentuan Hukum Islam
sebagaimana yang tesebut dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat (21) yang diperjelas
oleh Pasal (3) Kompilasi Hukum Islam maupun berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana tersebut pada Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.14
Dengan pertimbangan tersebut maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menegaskan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.15
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan keterangan mengenai
dasar dan tujuan perkawinan bahwa : “perkawinan bertujuan untuk kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah”.16
Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama sebagaimana
dimaksud Pasal 39 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, harus dipatuhi alasan-alasan sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan.
14
Zainudin Ali, Hukum Islam di Indonesia.
15 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1
16 Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3
62
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 1 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Sementara dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan
2 (dua) alasan-alasan tambahan di atas yakni, pertama suami melanggar taklik
talak, kedua, peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak-rukunan
rumah tangga.17
Sedangkan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan
gugatan perceraian di Pengadilan Agama
1. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya.
2. Suami meninggalkan istri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada izin
atau alasan yang jelas dan benar, artinya suami dengan sadar dan sengaja
meninggalkan istri.
17 Himpunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Departemen Agama Republik
Indonesia, 2004
63
3. Suami dihukum penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan.
4. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya istri.
5. Suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat
badan atau penyakit yang di deritanya.
6. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus tanpa kemungkina untuk
rukun kembali.
7. Suami melanggar taklik talak yang di ucapkan pada saat ijab kabul.
Sementara di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) jo Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dengan tambahan alasan melakukan gugatan
yakni suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidak-harmonisan
dalam keluarga (rumah tangga).18
Disamping dapat dipandang sebagai upaya meminimalkan percerian,
ketentuan yang menyangkut keterlibatan Pengadilan Agama, alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar perceraian tersebut diatas juga merupakan langkah ke arah
menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar setiap perceraian yang terjadi
benar-benar sah bukan perceraian haram. Serta kewajiban-kewajiban yang
menjadi konsekuensi logis dari perceraian dapat ditunaikan dengan baik, sehingga
tidak ada pihak yang dirugikan.19
18
Lihat di Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal. 116
19 Suher Sidik Ismail, Ketentraman Suami Istri. (Surabaya : Dunia Ilmu. 1999) Cet. Ke-1.
h. 129
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang terdahulu, penulis menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengenai persoalan suami tidak dapat melunasi utang dirinya, serta istri tidak
jujur dalam berutang hingga suami merasa tidak dihargai, dalam Perundang-
undangan di Indonesia utamg piutang tidak dapat dijadikan sebagai alasan
perceraian, karena ternyata alasan tersebut tidak ditemukan dalam perundang-
undangan di Indonesia. Diduga kuat karena adanya materi undang-undang
yang mengatur tentang harta bersama. Akan tetapi karena dengan adanya
utang yang dilakukan oleh istri serta utang yang dilakukan oleh suami memicu
pertengkaran antara suami istri secara terus menerus. Pertengkaran terus
menerus inilah alasan yang dijadikan hakim untuk mengabulkan gugatan serta
permohonan cerai mereka, bukan karena alasan utang-piutang.
2. Gugatan dan Permohonan perkara ini sama-sama menganut asas bahwa
perkara gugatan dan permohonan diajukan ke pengadilan yang daerah
hukumnya meliput tentang kedudukan atau tempat tinggal tergugat maupun
termohon. Prosedur pemeriksaan sengketa gugatan perceraian dan
permohonan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. Awal surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan
ke kepaniteraan pengadilan agama (surat permohonan diajukan pada sub
65
kepaniteraan permohonan). Kewenangan relative dan kewenangan absolut
harus diperhatikan sebelum membuat perkara gugatan atau perkara
permohonan yang diajukan ke pengadilan.
3. Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara Putusan Nomor.
0647/Pdt.G/2011/PA.Tng dan Nomor. 1326/Pdt.G/2013/PA.Tng. awalnya
adalah untuk mendamaikan kedua belah pasangan suami istri yang bercerai
sesuai PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2008 tentang Mediasi, keterlibatan Pengadilan Agama sebagai alasan
yang dijadikan alasan perceraian merupakan langkah ke arah menumbuhkan
kesadaran hukum masyarakat agar setiap perceraian yang terjadi benar-benar
sah, sehingga tidak ada lagi yang dirugikan. Dan Majelis Hakim dapat
memberikan pertimbangan sesuai dengan Peraturan Undang-Undang yakni
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan keterangan mengenai dasar dan
tujuan perkawinan bahwa “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah mawaddah warrahmah”.
Dan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 35:
Artinya : dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An Nisa
ayat 35)
66
Oleh karena itu, demi kemaslahatan bersama maka perceraian pun dapat
dikabulkan oleh Hakim.
B. Saran
Sebagaimana yang telah uraikan di atas, maka penulis menyarankan :
1. Kepada lembaga pengurus Perkawinan yakni Kantor Urusan Agama (KUA)
terutama kepada Badan Penasihat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4)
supaya lebih mengintensifkan kembali tentang pemahaman berumah tangga
kepada calon pengantin yang ingin mendaftarkan pernikahannya di Kantor
Urusan Agama, agar dapat menghayati perlunya membina rumah tangga yang
sakinah mawaddah warrahmah yang merupakan tujuan dari kehidupan
berumah tangga itu sendiri.
2. Hak suami istri perlu di sosialisasikan melalui khotib jumat, kuliah shubuh,
jurnal dan lain-lain.
3. Hak suami istri tersebut di masukkan ke dalam kurikulum Madrasah
Tsanawiyah dan Aliyah dengan kurikulum menggunakan Ilmu Fiqih.
4. Sebagai langkah akademis perlu diadakan latihan bagi para mahasiswa akan
kemampuan menjadi mediator dalam mendamaikan para pihak yang sedang
cekcok mengingat kurikulum yang ada di Fakultas lebih dominan masih
bersifat teoritis, sehingga perlu diimbangi dengan kurikulum yang berbasis
praktik.
68
DAFTAR PUSTAKA
a. Sumber - sumber Media Cetak
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974
Pasal 90 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama
Ahmad, Zubair. Relasi Suami Istri Dalam Islam : PSW UIN Syahid Jakarta. 1992
Ahmad Syaebani, Beni. FIQH MUNAKAHAT. Bandung : Pustaka Setia, 2001
Al-Abbadi, Abdullah Abdurrahim. Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-
Islamiyyah Al-Mu’ashirah
Basiq Djalil, Ahmad. Peradilan Agama di Indonesia, cet.ke-1. Jakarta : Kencana,
2006,
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia. Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1992
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fikih. Jakarta.
Departemen Agama, 1985
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatang dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2012
Ghazaly, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta. Kencana, 2003
Ibn Ismail Al Amir As-Shan’ni, Muhammad. Subul As-Salam Al Musholah ila
Bulugh Al Maram, Juz 3. Kairo: Dar Ibn Al Jauzi, 1428 H
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta : Kencana, 2012
Mukti Arto, H. A. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, cet. Ke-3.
Jakarta : Pustaka Pelajar, 2000
69
Muslichuddin, M. Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Nuruddin, Amiur. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai
KHI, Jakarta. Kencana, 2006
Rais, Isnawati. Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Jakarta : Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Rasjid, Sulaiman. FIQH ISLAM, cetakan ke 30. Bandung : Sinar Baru Algesindo,
1997
Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Indonesia dan Malaysia,
Bandung: Rosda Karya, 1991
Sastroatmodjo, Arso. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang,
1981
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004
Sidik Ismail, Suher. Ketentraman Suami Istri. Cetakan ke-1. Surabaya : Dunia
Ilmu. 1999
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Cet.ke-6 Jakarta : Sinar Grafika, 2004
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Putra
Grafika, 2006
Sopyan, Yayan. Islam-Negara. Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah, 2011
Undang-undang perkawinan di Indonesia: PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Peraturan UU. No.1 Tahun 1974, Jakarta: Pradnya Paramita,
1991.
Pasaribu, Chairuman. Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika,
2004
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta, Ilmu Fikih, Cet. Ke-2. Jakarta : Departemen Agama, 1985
Warsan Munawir, Ahmad, Al-Munawir : Kamus Bahasa Arab Indonesia, Cet. Ke
14. Surabaya : Pustaka Progresif, 1997
70
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
2008
Zurinal Z, Aminuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
b. Sumber - sumber Media Digital
Sulaiman bin al-Asy Abu Daud. ‟Asy Sunan Abu Daud”, Mausu’ah al-Hadis al-
Syarif, Mesir : Global Islamic Sofware Company, 2000
http://pa-tangerangkota.go.id/index.php/profil/profil, pada tanggal 5 Januari 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Talak pada tanggal. 14 Januari 2015
id.m.wikipedia.org/wiki/Perceraian#islam, artikel diunduh pada 18-03-2014/
pukul 11:07 WIB.
Pengadilan Agama Tangerang, Website. http://pa-tangerangkota.go.id.
Tangerang, 2015
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97