0.35 cm
LEAD ARENAJelas & Mengganjal
SLiLiT
www.lpmarena.com
EDISI APRIL 2014
OPINI
Diterbitkan Oleh:Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PelindungAllah SWT
PenasehatRektor UIN Suka
PembinaAbdur Rozaki, S.Ag, M.Si
Pemimpin UmumTaufiqurrohman
Wk. Pemimpin UmumAhmad Jamaludin
Sekretaris UmumAyu Usada Rengkaning Tyas
BendaharaPuji Hariyanto
Dewan RedaksiAnik Malussoleha
Pemimpin RedaksiRobi Kurniawan
Redaktur OnlineFolly Akbar
Redaktur SLiLiTJanuardi Husin S
Redaktur BahasaIndah Fajar Rosalina
Staf RedaksiUul, Iim, Tika, Elmi, Fendi, Arif, Lilik, Khusni H,Chusna, Lugas, Mugiarjo, Ulfatul F, Nisa, Dedik, Novi, Arifki, Ichus, Haetami, Bayu, Soim, Irsal, Jamal
Rancang Sampul & Tata LetakS Ghidafian Hafidz & Andy R
Lukisan Sampul MukaHenggar RomadioniMahasiswa Pendidikan Seni RupaFBS, UNY
FotograferAbdul Majid
Direktur Perusahaan & ProduksiIntan Pratiwi
Koordinator PusdaHasbullah Syarif
Koordinator JarkomArdi Hartanto Saputra
Koordinator PSDMAhmad Taufiq
Kantor Redaksi/Tata UsahaStudent Center Lantai 1 No. 1/14UIN Sunan Kalijaga YogyakartaJl. Laksda Adi Sucipto Yogyakarta 55281Telp. 085282638050 (Intan Pratiwi)http//: www.lpmarena.com
SLiLiT ARENA
SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut.
Wartawan SLiLiT ARENA dibekali tanda pengenal dalam setiap peliputan dan tidak menerima amplop dalam bentuk apapun
INDEKS
SLiLiT ARENA2 |
Selasa, 29 Aprill 2014
ARENAJelas & Mengganjal
EDISI APRIL 2014
SLiLiT
www.lpmarena.com
UNIVERSITARIA
Stagnasi Pola SkripsiPemilihan tema skripsi oleh mahasiswa
cenderung stagnan. Hal ini dikarenakan
pemilihan tema lebih banyak melihat
pada skripsi yang telah ada...
6
Terlahir Demi yang Lebih Besar
KUI begitu digadang-gadangkan di FSH
dan menjadi Prodi dengan jumlah
mahsiswa terbanyak. Namun
kelahirannya sejak awal telah disiapkan
9 13
Banyaknya peserta ujian training
ICT yang tidak lulus, menyebabkan
mahasiswa harus merogoh koceknya
lagi untuk mengikuti .....
Ujian Training ICT Sering Tidak Lulus
15
KANCAH
Daftar Isi
Indonesia, mungkin bisa dikatakan
belum merdeka sepenuhnya. Negara
kita belum terlepas dari belenggu
kolonialisme. Kita dahulu dijajah....
Masih Belenggu Imperialisme
17
“Hanya ada dua hal yang menerangi segala sesuatu di muka bumi:
matahari di langit dan pers di bumi.”--Mark Twain,--
Meneguhkan Kembali KebebasanPers di Dunia Kampus
19
Suara kokok ayam membangkitkan
matahari dari tidurnya. Secara
perlahan, dia menampakkan
wujudnya yang kemerahan. Di saat
Antara Kopi dan Ayah18
SASTRA
Saifa AbidiAllah
Tangan Waktu
Sajak Nugroho
SURAT PEMBACA
SLiLiT ARENA| 3
Jangan cuma seperti moderator dong!
Sulit tampaknya bagi saya men-justifikasi perilaku dan
karakter dosen yang mengajar saya di kelas. Tetapi ada
beberapa hal yang perlu saya utarakan, entah ini penting
atau tidak, terlepas ini objektif atau subjektifitas semata.
Saya telah mengambil beberapa mata kuliah di
semester VI ini dengan dosen pengajar yang bergelar
magister, doktor, atau profesor. Bahkan, moyoritas
memiliki gelar doktor. Suatu keberuntungan bagi saya
yang sedang menempuh S1 di UIN Suka dengan kualitas
dosen yang seperti itu.Dalam pikiran saya, dosen-dosen
ini adalah dosen dengan kualitas pengajar yang
profesional, mengingat gelar dan pengalaman mereka.
Tapi apa yang saya alami selama ini dalam proses
belajar di kelas terasa tidak semuanya sesuai harapan.
Angan-angan mendapat pengajaran dan ilmu yang
banyak dari dosen di kelas ternyata tak terenuhi.
Sebagian dari mereka hanya seperti moderator dalam
seminar, yang bertugas memberi pengantar saja.
Beberapa kawan pernah bercerita, ketika dia menemui
salah satu dosen dan nasihat (kebetulan dosen tersebut
bergelar doktor). Sang dosen bilang, “ilmu yang kamu
dapat di kampus jika prosentasenya 100%, yang
didapatkan di kelas paling hanya 25% dan 75%
mahasiswa harus cari sendiri diluar”. Artinya, secara tidak
langsung mahasiswa harus cari ilmu sendiri di luar dan
mengamini bahwa dosen memang hanya menjadi
moderator di dalam kelas.
Lalu di mana tanggung jawab dosen sesungguhnya?
Atau itu semua hanya untuk mengonstruk cara pandang
mahasiswa, sehingga kemudian mengamini seperti yang
saya ungkapkan di atas, dan dosen “lari” dari
tanggungjawabnya sebagai seorang pengajarsesuai
dengan kapasitasnya sebagai magister, doktor, atau
pofesor?
Ditambah lagi seringnya jam kosong atau kuliah yang
diliburkan sendiri oleh dosen, dengan alasan
penelitianlah, proyeklah, atau lagi ngajar di kampus
lainlah. Hal ini membuat saya berpikir, tampaknya
memang ungakapan yang sering diberikan kepada
mahasiswa -bahwa mahasiswa harus aktif mencari ilmu
atau teori di luar kampus- hanya untuk membuat
mahasiswa memaklumi supaya dosen bisa “lari” dari
tanggung jawabnya.
Harapan saya tentu dosen harus memberikan ilmunya
dengan kapasitas gelar yang mereka sandang. Dan bagi
pihak kampus, harus mengawasi kinerja dosen dan juga
memberi sanksi jika dosen yang memilki jadwal mengajar
di UIN tetapi malah mengajar kampus luar.
Rian Budiarto,mahasiswa semester VI
Jurusan Filsafat Agama, FUSPI.
EDITORIAL
Bagi sebagian orang, khususnya orang-orang yang mengenal
pendidikan perguruan tinggi, kata skripsi bisa mengandung
semangat lain selain karya ilmiah. Skripsi dipahami secara simpel;
Sebentar lagi diwisuda, dan yang terpenting; Sebentar lagi
memperoleh pekerjaan. Diketahui bahwa skripsi adalah agenda
terakhir bagi seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar
kesajanaannya. Dan karena ini adalah agenda terakhir, wajarlah
menjadi tugas yang paling berat selama perkuliahan. Dan karena
berat, para orang tua mahasiswa di kampung halaman, biasanya
akan mengorbankan apa saja agar anak-anak mereka bisa
menuntaskannya. Dan kadangkala, kata “berat” dan
“mengorbankan apa saja” tersebut ditunjukkan dengan upaya
total; entahlah dalam bentuk materi, doa dan pikiran. Hingga
akhirnya mereka dapat berbondong-bondong menunju kampus
dengan moment kemenangan wisuda.
Makna lain dari skripsi tersebut meskipun simpel, hadir
begitu saja ketika kata skripsi atau “tugas akhir” diutarakan. Kita
dapat melihat makna ini sebagai bentuk reaksi pengharapan dari
formasi kehidupan masyarakat kita yang kacau-balau; Dimana
ekonomi carut-marut, peradaban semakin tak karuan dan
kehidupan sosial seringkali harus berhadapan dengan tindak
kejahatan dan intimidasi.
Karena ini berupa reaksi pengharapan, kita tahu;
Pengharapan ini telah menyelimuti konteks persoalan
sebenarnya dari skripsi tersebut. Skripsi tidak meniscayakan
pekerjaan. Skripsi memang sebuah “tugas akhir” dan setiap tugas
punya soal dan kesulitannya sendiri. Persis disini kita berkutat.
Lantas bagaimana pengharapan tersebut? Ya, memang
t inggal pengharapan. Namun bukan berarti harus
dikesampingkan. Persoalannya, pengharapan itu muncul karena
konteks sosial-ekomomi yang sulit. Hingga setiap orang butuh
“sesuatu untuk bertahan”. Meski sesuatu itu adalah sebuah
harapan. Pengharapan itu kali ini ditopangkan pada mahasiswa
–yang punya sejarah sebagai strata elit masyarakat.
Ketika seorang anak -juga seorang mahasiswa- menulis skripsi
kemudian dibebankan kepadanya persoalan lulus dan pekerjaan.
Itu adalah beban yang tak koheren untuknya. Beban skripsi
adalah beban menjawab pertanyaan dan persoalan penelitian.
Dan seperti diatas, setiap persoalan punya kesulitannya sendiri.
Persis disana kita harus berkutat. Kenapa imingan lulus dan kerja
ikut nimbung? Ini bisa saja kita telusi jawaban dari kondisi
Terlalu Jauh Ngomongin “Skripsi berkualitas”
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA4 |
Selasa, 29 April 2014
kampus yang tak lagi “ramah” dengan semangat mencari
pengetahuan, atau kelas kuliah yang tak memancing
kegelisahan. Kemudian lebih memilih dunia kerja, karena kerja
“mungkin akan berarti” –setidaknya bagi diri sendiri dan
keluarga-, mungkin kampus tak lebih berarti dari kerja.
***
Kami memulai tulisan ini dengan pembuka seperti diatas
karena banyak sekali diantara kita yang acapkali
mencampurbaurkan persoalan skripsi, lulus dan memperoleh
pekerjaan. Untuk orang dikampung halaman, kita dapat
memahami ini sebagai bentuk kenaifan dalam memandang
persoalan. Artinya, memang masyarakat hidup dengan
kesusahan. Jadi dorongan menulis skripsi dapat berarti
dorongan membantu mereka yang tengah sulit menghapi
kehidupan. Agar cepat lulus dan kemudian “ayolah bantu kami”,
begitu lebih kurangnya.
Namun suruhan lulus dan memperoleh pekerjaan dengan
menyegerakan skripsi dari para dosen dan birokrasi kampus
sungguh sangatlah mengherankan. Disini posisi orang
dikampung halaman dengan birokrat kampus berbeda. Para
dosen dan birokrasi kampus yang punya andil besar membantu
kematangan proses berpikir mahasiswa, terlihat berpacu-pacu
ingin mempercepat proses tersebut. “kamu tiga setengah tahun
bisa. Kemudian skripsi dan cepat wisuda”. Waw, kenapa cepat-
tidaknya yang menjadi persoalan? Bukan nya kematangan dan
kesiapan mahasiswa tersebut yang mesti diseriusi.
Ketika pertanyaan ini diajukan, kita kembali menemukan
jawaban-jawaban “bergincu” yang kosong makna; Seputar SKS
yang sudah mencukupi dan mata kuliah metode penelitian
(metopen) yang telah lulus. Bahkan tak jarang pertanyaan balik
diutarakan,”Mau ngapain lama-lama dikampus?” Waw, apakah
“lama” berarti tak berkualitas. Atau Semata-mata persoalan
regulasi waktukah yang menjadi orentasi masyarakat kampus
kita. Jika benar demikian, benarlah kampus sebagai salter;
tempat peralihan yang semata-mata peralihan. Dan jika benar
demikian, jangan terlalu banyak berharap dari peralihan. Karena
tujuan salter hanya membuat “Anda bisa pergi secepat mungkin
dari sini. Kemudian orang baru datang untuk dibuat pergi
secepat mungkin pula.” Otomatis, “Ketika salter kami ditumpuki
orang yang tak kunjung pergi, pelayanan kami (pegawai) dinilai
buruk dan akibatnya 'pengunjung' lain akan berupaya memilih
salter yang lain, karena salter ini bukan satu-satunya ketempat
tujuan”.
***
Seiring dengan itu, mahasiswa yang kesulitan menemukan
ide atau tema baru dalam objek penelitian skripsinya menjadi
keniscayaan. Selain dari ruang interaksi akademisi yang
menyempit, pola komunikasi antara mahasiswa dan dosen pun
bermasalah. Mengkomunikasikan tema dan objek penelitian
acapkali mampet karena disalah-satu pihak, atau kedua-duanya,
mempunyai pandangan tentangan arti penyusunan skripsi
tersebut. Disatu pihak barangkali ingin skripsi berkualitas (dalam
artian penulis menguasai tema dan kerangka penelitiannya,
“syukur-syukur” menemukan jawaban baru dari kegelisahan
penelitiannya) sedangkan pihak lain berpikiran sebaliknya;
bagaimana “yang mudah saja!”
Maka, hemat kami, cukup beruntung kawan-kawan
mahasiswa yang menemukan ruang-ruang baru andaikata dunia
perkuliahan (kelas dan interaksi dengan dosen) tak memberi
cukup ruang untuk mengembangkan ekspresi intelektualnya.
Ruang yang dimaksud disini tentu ruang akademi juga, bisa saja
tidak melulu formal. Dan beruntung pula, mahasiswa yang
menemukan dosen-dosen yang mau “berusaha agak keras” demi
mahasiswanya untuk membantu proses 'menemukan' jawaban
kegelisahan itu. Karena tidak semua dosen akan seperti ini,
dikarenakan posisinya sebagai seorang “pejalan rutinitas yang
menerima gaji”
Disini, agaknya belum pantas rasanya kita membicarakan
penciptaan skripsi berkualitas. Posisi kita saat ini baru sampai
pada tahap “prihatin”. Artinya, kebanyakan orang dikampus
memang menggelisahkan hal yang sama terkait skripsi ini,
namun piranti-piranti untuk menumbuhkan semangat menulis
ilmiah untuk menjawab persoalan belum mumpuni. Baik piranti
untuk kesadaran kearah sana, ataupun piranti untuk ruang-ruang
intelektual sebagai ajang diskusi.
Akibatnya, banyak karya yang berujung di gudang-gudang
penumpukan. Bahkan untuk dipublikasikan ke publik pun masih
diperdebatkan!
Kita butuh paradigma berpikir kritis dan karena itu butuh
ruang. Ruang “kemerdekaan berpikir” yang seluas-luasnya.
Ruang itu bisa dipahami sebagai ruang konkrit dalam artian
sarana-prasarana untuk mengemukakan pendapat tanpa
dipersulit birokrasi, dengan keleluasaan menyampaikan hal-hal
(ekspresi) berbeda dari cara pandang kebanyakan tanpa
intimidasi, termasuk intimidasi simbolik! Dan ruang dalam artian
sistemik; akses dan distribusi pengetahui diorentasikan pada
EDITORIAL
SLiLiT ARENA| 5
keleluasaan mahasiswa untuk memilih dan menentukan
indentitas berpikirnya. Sistem sebagai piranti untuk
mengalokasikan pembentukan identitas berpikir mahasiswa
tersebut.
Tanpa mempertimbangkan piranti dan mekanisme
ruang, kualitas hanyalah mimpi. Walaupun ada yang
namanya keberuntungan, kita maklumi, keberuntungan
tak terbagi dengan rata. [] Redaksi
Redaksi menerima kritik dan saran terhadap editorial.kirim tulisan ke [email protected]. Bentuk tulisan utuh400-700 kata. lampirkan biodata lengkap. judul file: Kritik Editorial.
CATATAN KAKI
Mahasiswa sebagai “Agent of Change”, bukan
menjadi istilah yang asing lagi di telinga, bahkan mungkin
sudah muak untuk mendengarnya. Setiap mahasiswa
berbeda-beda dalam menafsirkan “Agent of change”.
Sebagian ada yang mengartikan bahwa mahasiswa itu
sebagai agent perubahan dalam meningkatkan taraf
hidup mereka masing-masing. Alhasil, mereka selalu
serius dalam belajar, bahkan meninggalkan absensi
dianggap sebagai momok yang menakutkan.
Namun, sebagian mahas iswa la innya
mengartikan bahwa mahasiswa sebagai agent of change
itu harus bisa merubah segala aspek yang bersangkutan
dengan maasyarakat umum, dan pada akhirnya mereka
lah yang suka berkoar-koar di bawah terik matahari tanpa
memerdulikan proses perkuliahan yang sedang
berlangsung.
Tidak sedikit mahasiswa yang merasa resah
dengan sikap mereka yang bisa dibilang anarkis.“Ngapain
sih ngurusin orang lain. Potong rambut aja nggak bisa kok
sok jadi pahlawan orang lain.” Sebuah celetukan yang
biasa muncul di tengah perkumpulan mahasiswa “Homo
academicus” itu. Bukan karena mahasiswa itu benci
dengan mereka yang berambut gondrong, tapi sikap
mereka yang terlalu anarkis membuat mahasiswa Homo
academicus menjadi ilfil.
“Saya tuh, merasa malu banget jadi mahasiswa
UIN Sunan Kalijaga. Gimana nggak malu, kalau setiap
saya pulang ke kampung halaman, saya dianggap negatif
oleh teman-teman saya yang katanya UIN suka demo lah,
bisanya cuman bikin keributan aja lah. Padahal saya kan
tidak pernah ikut demo. Eh, malah saya dapat getahnya.”
Curhat salah seorang mahasiswa.
Tampaknya, banyaknya aksi tidak hanya berakibat
pada rusaknya infrastruktur yang ada. Ternyata,
banyaknya aksi juga mengakibatkan beban moral dan
beban psikologis kepada mahasiswa lain. Sebagian
mahasiswa khawatir jika telah lulus, mereka sulit
mendapatkan pekerjaan dikarenakan tempatnya menimba
ilmu sudah mendapat citra “kampus pembikin onar”.
Namun, tak bisa di tolak, bahwa “Diam tertindas
atau mati merdeka.” Semboyan andalan para mahasiswa
pergerakan yang tak pernah ketinggalan itu memang perlu.
Bahkan dirasa sangat penting untuk mengawal birokrasi
kampus. Hal ini yang sering tidak disadari oleh para
mahasiswa Homo academicus yang selalu mencari posisi
aman. Karena mereka memandang bahwa tugas
mahasiswa itu hanya belajar yang rajin agar bisa
mendapat nilai bagus sehingga dapat membanggakan
orang tua. Bukan malah memorak-porandakan kampus
dengan aksi.
Bukan kah pada dasarnya tujuan kuliah adalah
untuk menjadi seorang buruh? Bekerja untuk orang lain
dengan imbalan gaji. Kalau tidak ingin menjadi buruh,
kenapa harus takut sulit mendapatkan pekerjaan?.
Kalau mahasiswa Homo academicus merasa
berdosa jika tidak masuk kuliah, mahasiswa pergerakan
akan lebih merasa berdosa jika tidak dapat menjadi “agent
of change” bagi masyarakat umum. Sehingga bagi mereka
hanya ada dua pilihan “REVOLUSI ATAU MATI”.[]
Imroatus Saadah
Menolak Diamdan Tertindas
Selasa, 29 Aprill 2014
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA6 |
Pemilihan tema skripsi oleh mahasiswa cenderung stagnan.
Hal ini dikarenakan pemilihan tema lebih banyak melihat pada skripsi yang telah ada.
Skripsi bisa dibuat hanya dengan mengganti objek kajian semata walau dengan pembahasan yang sama.
Stagnasi Pola Skripsi
Oleh: Anisatul Ummah
Skripsi menjadi tugas akhir yang wajib dipenuhi tiap
mahasiswa sebagai syarat telah memenuhi Tri Dharma
Perguruan Tinggi yang kedua, yaitu penelitian. Namun pola
skripsi yang diajukan mahasiswa tarkadang hanya
mengadopsi dari skripsi yang ada sebelumnya, sehingga
memunculkan tema dan objek yang kurang variatif.
Seperti yang terjadi pada Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Kepala
Jurusan (Kajur) PAI Suwadi mengatakan, mahasiswanya
cenderung stagnan dalam memilih tema skripsi. Padahal,
menurutnya Suwadi, ada banyak bahan yang bisa diteliti
dan dijadikan skripsi. “Tapi kok kalo nggak itu, nggak
(mau),” katanya.
Bahkan, skripsi terkadang hanya diartikan sebagai
syarat legal formal. Seperti yang diungkapkan Asif Az Zafi,
mahasiswa Jurusan PAI, “Kadang skripsi ingin praktisnya.
Jadi nelitinya kurang greget.”
Lusi Fatmawati , mahasiswa PAI lainnya yang kini
sedang mengerjakan skripsi dengan tema “Efektivitas
Teknologi Informasi Sebagai Media Pembelajaran PAI”,
memulai skripsinya dengan mencari tema skripsi yang telah
ada.
“Kenapa milih efektivitas, sebenarnya saya kemarin
milih bukan karena pengen, tapi lihat-lihat skripsi (lain,
Red.) kok cocok,” ungkap Lusi.
Sebelumnya dari pihak jurusan mengatakan,
kebanyakan mahasiswa belum maksimal dalam
memahami tema. Misal mencapuradukkan pendekatan dan
metode, “Bahkan sudah diumumkan kalau skripsi tentang
upaya guru saya tolak,” kata Suwadi. Alasan penolakan,
karena skripsi dengan tema tersebut sudah terlalu banyak.
Menengok dari pola skripsi di tahun 2012, unsur-unsur
klasifikasi berdasarkan kategori unsur pendidikan dan
objek penelitian. Dari 267 jumlah skripsi yang ada, kita
dapat membandingkan dari jumlah terbanyak, dengan
unsur pendidikan guru berjumlah 46 skripsi; konsep nilai 45
skripsi; dan metode 40 skripsi; hingga yang paling sedikit
yaitu unsur pendidikan kurikulum dan kepala sekolah
masing-masing satu skripsi; serta evaluasi dan sumber
daya manusia masing-masing dua skripsi.
Selain unsur klasifikasi, objek kajiannya mulai dari PAI,
al-Quran, al-Hadits, Fiqih, SKI, Aqidah, Akhlak, Bahasa
Arab, Muamalah, Politik, dan Hukum. Dari jumlah 287
objek, dimana objek bisa lebih dari dua, 148 diantaranya
memilih PAI, dan 61 memilih akhlak. Sedangkan muamalah
dan hukum kosong.
Berkaca pada data di atas, saat ini terjadi
ketidakseimbangan tema maupun objek kajian yang dipilih
oleh mahasiswa. Mahasiswa cenderung memilih tema
skripsinya hanya berdasarkan tema-tema yang telah ada.
Dengan alasan tersebut kini tema dari skripsi di Jurusan PAI
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA| 7
UNIVERSITARIA
mulai dibatasi.
Menurut Suwadi, hal ini dikarenakan kemampuan
mahasiswa yang lemah dalam menentukan tema skripsi
yang akan diangkat. “Problemnya adalah mahasiswa yang
low, sehingga terpontal-pontal. Lah wong mengajukan
tema kok lihat dari judul yang ada,” ungkap Kajur PAI yang
mulai menjabat sejak tahun 2012 itu.
Kini, dalam pola skripsi di Jurusan PAI mulai
dikelompokkan dengan karateristik tema skripsi yang
diterima. Pertama, terkait dengan kompetensi PAI.
Misalnya ketika mahasiswa akan meneliti tentang PGMI,
tidak bisa dilaksanakan karena PGMI bukan ranah PAI.
Kedua, dikaitkan dengan isu aktualitas. Misal menulis
tentang tokoh klasik namun dikaitkan dengan isu aktual.
“Saya ilustrasikan singkong, dulu singkong balok. Dipotong
langsung digoreng. Dengan sama-sama singkong tapi
sekarang jadi singkong keju. Boleh meneliti Al Gazali, tapi
harus ada isu aktual tadi,” tandas Suwadi.
Ketiga, harus memadang kebaruan, karena yang baru
pasti punya kontribusi. Keempat, bisa dilaksanakan
dengan objek kajian yang jelas. Kelima, tidak repetisi
(mengulang-ulang) ganti lokasi, misal pembelajaran difabel
di MAN dan hanya ganti lokasi saja. Menurut Suwadi
pengelompokan ini berkaca dari pengelompokan tahun
2012 dan diterapkan pada tahun 2013.
Stagnasi pola skripsi terjadi dengan bentuk yang
berbeda di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam
(PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Di Jurusan PMI,
ada dua pola pembuatan skripsi, yaitu kajian literatur dan
penelitan lapangan. Mahasiswa cenderung membuat
penelitian lapangan.
Mahasiswa lebih memilih penelitian lapangan dengan
wawancara, karena dirasa lebih mudah daripada kajian
literatur. “Malas baca buku. Lebih mudah langsung
wawancara. Kalau literature kan harus banyak referensi,”
ujar Lusiana Nur Utami, mahasiswa PMI.
Pola skripsi di Jurusan PMI sendiri belum ada
pengelompokan dan pembatasan tema, sehingga pola
tema dan judul skripsi rata-rata sama. “Kita polanya
terserah. Di PMI belum ada pemetaan,” tutur Lusiana Nur
Utami, mahasiswa PMI yang sedang mengerjakan skripsi
dengan tema 'peranan Pokdarwis (Kelompok Sadar
Wisata) dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui
pelestarian budaya Jawa'.
Pihak jurusan sendiri memang mengarahkan kepada
penelitian lapangan. Alasannya, karena basik dari PMI
adalah pengembangan masyarakat. Selain itu, karena
kualifikasi dosen yang dimiliki lebih banyak ke arah
penelitian lapangan dibandingkan dengan kajian
literatur.
“Karena dosen PMI kebanyakan penelitian lapangan.
Sehingga terarah lapangan dan kualitatif. Kerena
ketergantungan dengan SDM, dan dosen-dosen PMI yang
ada kebanyakan penelitian lapangan. Sehingga arahnya ke
sana,” tutur Fajrul Munawir, Kajur PMI.
Fajrul menambahkan, karena hal itu di Jurusan PMI
belum ada pengelompokan tentang pola maupun tema
skripsi yang akan diajukan oleh mahasiswa. Kendati
demikian, pengawasan tentang tema yang diajukan oleh
mahasiswa tetap dilakukan. Kajian literature tetap
diperlukan untuk terjun ke masyarakat.
“Jadi perlu perimbangn antara literatur dan lapangan.
Kalau nggak seperti itu nanti akan njomplang. Kalau
literaturnya nggak pernah diteliti, nggak pernah
dikembangkan, nantikan jadi stagnan,” katanya.
Pola skripsi yang kini berkutat dengan tema yang sama
dan hanya diganti objek kajian ditanggaapi Kartika,
mahasiswa PMI yang sedang mengerjakan skripsi. “Kalau
objeknya sama tapi pembahasannya berbeda nggak
masalah. Tapi kalau objeknya beda tapi pembahasannya
sama buat apa? Kalau buat skripasi apapun
pembahasannya tapi kan harus beda dalam kajian pustaka
membandingkan dengan skripsi lain. Kalau sama isinya
nah kenapa harus diteliti lagi, harusnya adalah yang beda,”
pungkas Kartika.
Percepatan Lulus
Tidak dapat dipungkiri, stagnasi pola skripsi ini karena
mahasiswa memang belum memahami secara total
tentang penggarapan skripsi yang baik. Skripsi yang
seharusnya datang dari kegelisahan mahasiswa sebagai
insan akademisi urung terlaksana pada praktiknya.
Tuntutan dari pihak jurusan agar mahasiswanya cepat
menyelesaikan studi menjadi salah satu penyebab.
Mahasiswa bisa langsung mengajukan judul skripsi, hanya
dengan syarat telah lulus matakuliah Metodologi Penelitian.
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA8 |
UNIVERSITARIA
Hal tersebut diungkapkan oleh Nikmaturrokhmah,
mahasiswa BKI semester VI, yang ARENA temui di ruang
skripsi perpustakaan lantai dua. Nikmaturrokhmah
mengatakan, ia dan teman-teman seangkatannya telah
disuruh mengajukan judul secepatnya oleh pihak jurusan.
Saat ini, sudah lebih dari 75 persen teman sengkatannya
yang telah mengajukan judul penelitian skripsi. Beberapa
ada yang telah bimbingan.
“Kata Kajur, kalau kakak angkatan banyak yang belum
lulus, akan menghambat (proses perkuliahan, Red.),”
katanya.
Nikmaturrokhmah mengaku dirinya belum begitu
mengerti tentang penggarapan skripsi. Dia hanya dirutuh
mengajukan beberapa judul yang nantinya akan
dikonsultasikan dengan pihak jurusan. Pihak jurusanlah
yang akan memilih mana judul yang layak untuk diteruskan
menjadi penelitian di skripsi.
“Bikin dulu dua sampai tiga judul ke PA. kemudian
konsultasi, kira-kira pembimbingnya bilang ini itu, dikasih
saran. Lalau dikasih ke jurusan biar di tentukan yang bagus
yang mana,” katanya.
Pada akhirnya, memang pihak jurusan, atau dosen
pembimbing lah yang menentukan arah penelitian skripsi
mahasiswa. Hal serupa dialami oleh Muhammad Azwar,
Mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin, Sejarah,
dan Pemikiran Islam semester X.
Azwar menceritakan proses pengajuan tema skripsinya.
Ia mengajukan tiga judul skripsi, ketiganya tidak ada yang
diterima. Alasannya, karena tema yag diajukan Azwar
terlalu meluas.
“Iya. Terlalu meluas. Dosennya bilang jangan terlalu
rumit-rumit, yang penting selesai dan mendalam,” kata
Azwar.Baru pada pengajuan judul yang keempat skripsi
Azwar diterima. Yaitu tentang Inkulturasi (ayat-ayat surga,
surga Al-qur'an vs surga Arab).
“Judul yang keempat dibantai juga, tapi dibantainya
hanya dalam hal metodologi
karena menganalogikan bahwa al-Quran dipengaruhi
antropologi. Kemudian
diterima karena aku bilang aku tidak mau melihat
apakah al-Quran sebagai makhluk atau qodim, tapi melihat
bahwa al-Quran dengan tradisi arab ada kemiripan,” kata
mahasiswa yang akan diwisuda pada bulan April
mendatang.[]
wawancar bersama Chusnul Chotimah
Selasa, 29 Aprill 2014
pendapat, semua peserta menyetujui
pembukaan jurusan baru. Semua
menganggap pent ing secara
akademik. Akhirnya dalam workshop
tersebut lahirlah Prodi baru bernama
Keuangan Islam (KUI).
Ada niat tersendiri di kalangan
FSH tentang rencana pendirian Prodi
KUI. Harapannya, KUI bisa menjadi
embrio untuk membuat Faklutas
Ekonomi di IAIN Suka.
“Itu (KUI, Red.) dinyatakan
memang sebagai cikal bakal untuk
pendirian Fakultas Ekonomi. Waktu
itu belum mengenal istilah ekonomi
dan bisnis yah. Tapi Fakultas
Ekonomi,” kata Syafiq.
Selain nama jurusan, di hari itu
juga dibentuk tim khusus. Tim itu
diketuai oleh Mochamad Sodik,
beranggotakan Syafiq sendiri, Ibnu
Qizam, Misnen Ardiansyah, dan
beberapa dosen lain di FSH. Tim
inilah yang bertugas menggodog
kurikulum dan menyiapkan proposal
ke Mendiknas serta keperluan lain
untuk KUI.
Izin resmi KUI baru keluar setahun
kemudian, saat itu Syamsul Anwar
yang menjabat sebagai Dekan FSH.
Prodi KUI berdiri di bawah naungan
J u r u s a n M u a m a l a h , k a r e n a
kedekatan secara keilmuannya.
Jabatan tertinggi adalah Sekretaris
Prodi, yang dijabat oleh Akhmad
Yusuf Khoiruddin. Menginduk secara
langsung di bawah kepemimpinan
Hamim Ilyas sebagai kepala Jurusan
Muamalah.
FSH adalah fakultas dengan ciri
khusus hukum Islam tau fiqih.
Dengan adanya KUI di FSH memang
diakui Syafiq menjadi sesuatu yang
krusial. Hal ini dikarenakan sisi
ekonomi yang dikembangkan di KUI.
“Sementara belum ada induknya
maka dititipkan kepada fakultas yang
paling dekat keilmuannya lah. Kita
mengambil akhirnya Muamalah yang
kita anggap paling dekat, makanya di
titipkan syariah. Kalau Fishum sudah
ada mungkin dulu di Fishum,” Syafiq
menambahkan.
Di tahun pertamanya KUI
menerima sekitar 90 mahasiswa baru
yang kemudian diwadahi dalam dua
kelas. Perkuliahan berjalan dengan
dosen pengajar sebagian besar
diambil dari jurusan Muamalah.
S e m e n t a r a k u r i k u l u m y a n g
digunakan disusun sendiri oleh Prodi.
Menurut Syafiq, KUI adalah salah
s a t u P r o d i y a n g d i b e r i k a n
keleluasaan secara akademik untuk
mengatur kurikulumnya. “Sehingga
mata kuliah yang Syariah (kurikulum
dari FSH) tidak seluruhnya diadopsi,
yang un ivers i tas juga t idak
seluruhnya diadopsi,” ungkap dosen
asal Yogyakarta tersebut.
KUI ternyata direspon positif oleh
masyarakat. Beberapa tahun
kemudian, KUI menjadi favorit.
D i b u k a l a h 4 - 5 k e l a s u n t u k
Waktu itu, tahun 1999, Syafiq
Mahmadah Hanafi, baru tiga tahun
bergabung di Fakultas Syariah dan
Hukum (FSH) Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Ia
menjadi dosen Muamalah, salah satu
jurusan yang ada di FSH.
Menurut penuturan dari Syafiq, di
tahun yang sama, FSH yang saat itu
Hamim Ilyas menjabat sebagai dekan,
berinisiatif menggelar workshop untuk
merencanakan pembuatan program
studi (Prodi) baru di FSH.
“Ide awal waktu itu memang
mengantisipasi lembaga keuangan
syariah yang mulai berkembang saat
itu. Maka perlu dipersiapkan secara
akademik adanya Prodi yang
berkaitan dengan itu,” ungkap Syafiq.
Syafiq adalah salah satu orang
yang ditunjuk sebagai panitia dalam
acara workshop tersebut. Bersama
teman-temannya sesama dosen di
FSH, akhirnya workshop digelar di
gedung rektorat lama atau yang
sekarang bernama PTIPD/PKSI.
Ditunjuk sebagai ketua panitia adalah
Malik Madany.
Pukul 09.00 WIB workshop dimulai
dengan peserta kesemuanya berasal
dari FSH. Ini memang workshop
internal fakultas. Sesuai dengan ide
awalnya, dalam workshop tersebut
d i je laskan bahwa FSH per lu
membuka Prodi baru yang mendekati
lembaga keuangan syariah. Tidak ada
perdebatan, tidak ada perbedaan
SLiLiT ARENA| 9
UNIVERSITARIA
KUI begitu digadang-gadangkan di FSH dan menjadi Prodi dengan jumlah mahsiswa terbanyak.
Namun kelahirannya sejak awal telah disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar.
Terlahir Demi Yang Lebih Besar
Oleh: Ulfatul Fikriyah
Selasa, 29 Aprill 2014
Kalijaga diharuskan membuka tiga
fakultas dengan basic keilmuan
umum. Dirancanglah tiga proposal
pembuatan fakultas baru. Fakultas
Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum),
Fakultas Sains dan Teknologi
(Saintek) dan Fakultas Ekonomi.
“Yang memrakarsai pembuatan
Fakultas Ekonomi memang UIN, tapi
berkoordinasi dengan Fakultas
Syariah,” ungkap Syafiq.
Dari tiga fakultas yang diusulkan,
hanya Fishum dan Saintek yang
diterima, sedangkan Fakultas
Ekonomi tidak. Alasannya pada
waktu itu, karena Fakultas Ekonomi
sudah terlalu banyak dan dianggap
jenuh.
Usaha untuk membuat Fakultas
Ekonomi belum surut. Tahun 2005,
bertepatan dengan konversi IAIN
menjadi UIN. Syafiq kembali
menampung mahasiswa baru. Waktu
itu belum ada sistem akreditasi,
asalkan universitas itu sudah negeri
maka dianggap sudah memiliki
akreditasi baik.
Melihat perkembangan KUI yang
pesat dengan semakin banyaknya
mahasiswa yang mendaftar, orang-
orang yang mengurus KUI mempunyai
inisiatif untuk menjadikan KUI Prodi
tersendiri, dan terpisah dengan
Jurusan Muamalah. Akhirnya sekitar
tahun 2003 keinginan itu terwujud. KUI
bukan lagi bagian dari Muamalah.
Akhmad Yusuf Khoiruddin yang
semula menjadi Sekretaris Prodi,
diangkat menjadi KaProdi KUI.
Bak gayug bersambut. Tahun 2004,
IAIN di bawah kepemimpinan Amin
Abdullah sedang mengusung konversi
IAIN menjadi Uiversitas Islam Negeri
(UIN). Untuk menuju UIN, IAIN Sunan
mengusulkan untuk mengembalikan
KUI pada rencana semula. Ketika itu,
jabatan dekan telah beralih kepada
Yudian Wahyudi.
“Pak ini sudah saatnya kita
s e b a g a i f a k u l t a s S y a r i a h
mengajukan lagi untuk pendirian
fakultas ekonomi, karena ide dasar
dulu untuk fakultas syariah,” kaya
Syafiq menirukan perkataannya
kepada Yudian. Namun Yudian urung
menanggapi secara maksimal
usulannya tersebut. Sehingga KUI
masih berada di FSH.
Harus Pindah ke FEBI
Prodi KUI menjadi sangat
berkembang. Dengan segala
kemajuan yang telah dicapai, KUI
mendapatkan akreditasi A di FSH.
KUI menjadi taring di FSH. Data
tahun 2013, jumlah total mahasiswa
SLiLiT ARENA10 |
UNIVERSITARIASelasa, 29 Aprill 2014
aktif di KUI 705 orang, terbanyak di
FSH. Disusul kemudian Ilmu Hukum,
dengan 583 orang mahasiswa.
Te r n y a t a d e n g a n s e g a l a
kemajuan yang dimiliki oleh KUI, para
konseptor KUI belum melupakan niat
awal KUI didirikan, yaitu membuat
Fakultas Ekonomi.
Niat tersebut benar-benar
terwujud pada tahun 2012. Berbekal
surat keputusan dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, UIN
memberanikan di r i membuka
Fakultas Ekonomi dengan nama
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
(FEBI). Ibnu Qizam ditunjuk sebagai
dekan, dan Misnen Ardiansyah
sebagai wakilnya.
Dengan adanya FEBI, maka KUI
harus menginduk secara langsung ke
FEBI. Karena FEBI adalah rumpun
keilmuan terdekat dengan KUI
dibandingkan dengan FSH.
M u n c u l n y a k a b a r a k a n
dipindahnya Prodi KUI dari FSH ke
FEBI telah diketahui hampir seluruh
mahasiswa KUI di UIN Suka. Akhmad
Syar i fudd in , mahas iswa KUI
semester VI mengaku, sempat
mengikuti sosialisasi mengenai hal
tersebut.
“Sekitar semester II akhir.
Dikumpulinnya itu pas FEBI mau
buka. Itu kayak semacam sosialisasi.
Ketika ada fakultas baru, masa depan
KUI gimana? Karena ini juga nasib
kami,” katanya.
Ageng Asmara Sani, salah satu
mahasiswa KUI semester VI
mengungkapkan t e l ah l ama
mendengar kabar tersebut dari
dosennya. “Tau dari dosen. Itu bilang
kalo pokokmen (pokoknya) sudah
ada isu KUI bakal pindah,” ungkap
Ageng.
“Tapi yang dipermasalahkan itu
cara pindahnya nanti. Apakah dia
ujug-ujung (tiba-tiba) langsung 100
persen pindah ke sana? Apakah
pelan-pelan? Apakah akan cut off,
stop sampai angatan 2014 nggak
ada, nunggu kita yang angkatan 2013
ke atas lulus semua. Kalau bedol
desa, kita cau (pindah) semua,”
tambah mahasiswa asal Bali
tersebut.
Kabar pindahnya KUI dari FSH ke
FEBI ditanggapi oleh Muhammad
Yazid Afandi KaProdi KUI 2014.
Menurutnya, masalah perpindahan
KUI adalah mencari cara yang
terbaik, sesuia dengan keinginan
UIN, tapi juga tidak melanggar
ketentuan dari Kementerian Agama.
“Sebenarnya kalau saya lihat ini
seperti mencari pola penyelesaian
yang smooth. Masih mencari kira-kira
seperti apa. Supaya ini kemauan dari
Kemenag pusat sama dengan
kepentingan pengembangan UIN
bisa match, kemudian tidak ada yang
dirugikan di sini. Makanya mencari
beberapa alternatif yang sampe
sekarang saya rasa belum final,” kata
Yazid.
KUI akhirnya harus diputus, dan
tidak menerima mahasiswa baru
pada tahun depan. Angkatan 2014
mejadi angkatan terakhir di KUI. FSH
harus rela melepas si anak emas.
Layaknya batu pertama dalam
sebuah bangunan, KUI menjadi
landasan yang kokoh, namun pada
ahkirnya harus rela terbenam demi
tercapai niatan awal.[]
SLiLiT ARENA| 11
UNIVERSITARIA
Abdul Majid/LPM ARENA
Iklankan Usaha Anda, mari bergabung dengan kami!
Hanya Rp 50.000,-
Space ini
Selasa, 29 Aprill 2014
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA| 13
Dok. Pribadi
munaqosah. Harapan kita sebenernya bukan itu, tetapi
juga mahasiswa mendapatkan tambahan kompetensi
dalam penggunaaan TIK. ICT ini ekstrakulikuler, bukan
seperti mata kuliah yang masuk dalam kurikulum, jadi
meningkatkan kemauan mahasiswa itu menjadi tantangan
kami,” tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Arif Wibisono. Staff
PTIPD itu mengatakan, banyaknya mahasiswa yang tidak
lulus ujian karena mereka menyepelekan training. Rata-
rata mahasiswa yang tidak lulus, absensi mereka tidak
sampai 75 persen. “Dalam Training ICT, absensi tidak
berpengaruh dalam nilai ujian, yang dinilai hanyalah
jawaban dari setiap soal yang diberikan dalam ujian,”
katanya.
Muhammad Habibi, salah satu instruktur pelatihan juga
menanggapi hal tersebut. “Banyak mahasiswa yang tidak
bisa memanaj waktu dengan baik, yang dikerjakan soal
yang susah dulu, padahal sudah kita sarankan lebih baik
mengerjakan soal yang mudah dulu, soal yang internet itu
soal yang paling mudah,” kata dia.
Winda Eva, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran
Islam, mengungkapkan ketidak lulusan dirinya dalam
mengikuti ujian training karena tidak bisa mejawab soal Ms.
Excel dan waktunya sangat mepet, “Waktu itu saya tidak
bisa mengerjakan soal excel, susah itu, waktunya juga
kurang, ketat juga pengawasanya,” tuturnya sambil
tertawa.
Habibi, membenarkan hal ini. Banyaknya mahasiswa
yang tidak lulus ada di Microsoft Excel, “Dari sekian banyak
kasus yang sering tidak diisi itu excelnya, mereka cuma
ditulis soalnya saja, padahal ketika pelatihan kami
menyuruh mahasiswa untuk bertanya mana saja yang
belum paham, dan biasanya tidak ada yang bertanya,”
papar alumni mahasiswa Teknik Informatika itu.
Vira, mahasiswa KPI juga mengugkapkan alasan lain
atas ketidaklulusanya pada ujian training, karena masalah
koneksi.
“Dulu itu aku nggak bisa ngerjain karena waktu itu
internetnya nggak connect,” katanya.
Irfan, Fasilitator sekaligus pengawas dalam ujian
training mengungkapkan, kejadian seperti yang dialami
oleh Vira tdak seharusnya terjadi. Jika ada mahasiswa yang
mengalami masalah dengan koneksi segera menghubungi
Kondisi banyaknya mahasiswa yang tidak lulus ujian
ICT ditangapi oleh Agung, “Input mahasiswa kita sangat
bervariasi, untuk mahasiswa fakultas-fakultas tertentu
presentase kelulusanya untuk mencapai grade minimal B
itu tinggi contohnya fakultas Sains dan teknologi (Saintek),
tetapi di beberapa fakultas yang lain memang belum bisa
mengikuti kemampuan anak Saintek, yang itu tadi
kemampuan mahasiswa. Yang kedua, kemauan
mahasiswa, kadang-kadang tidak 100% mahasiswa
menganggap training seperti seperti kuliah wajib, jadi
mereka baru sadar butuh sertifkat ICT ketika mau
Trainig ICT dilakukan dalam 2 sesi, yakni sesi pertama
pada semester 1 dan sesi kedua pada semester 2. Training
tersebut dilakukan selama 10 kali pertemuan atau setara
dengan 2 sks, yang kemudian pada akhir training diadakan
ujian training.
Namun, dalam pelaksanaanya setiap tahun,
presentase mahasiswa yang tidak lulus ujian ICT semakin
bertambah. Untuk mahasiswa yang angkatan 2010 yang
mengikuti training sebanyak 1.975 mahasiswa, yang lulus
training sebanyak 1.097, mahasiswa yang tidak lulus
sebanyak 878 mahasiswa. Angkatan 2011 yang mengikuti
training sebanyak 3.179 mahasiswa, yang lulus training
sebanyak 1.366 mahasiswa, mahasiswa yang tidak lulus
sebanyak 1.813 mahasiswa. Angkatan 2012 yang
mengikuti training sebanyak 3.320 mahasiswa, yang lulus
training sebanyak 1.205 mahasiswa, mahasiswa yang
tidak lulus sebanyak 2.115 mahasiswa. Angkatan 2013
yang mengikuti training sebanyak 3.380 mahasiswa, yang
lulus training sebanyak 1.272 mahasiswa, mahasiswa yang
tidak lulus sebanyak 2.108 mahasiswa. Berikut
Selasa, 29 Aprill 2014
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA12 |
Abdul Majid/LPM ARENA
ICT (Information and Comunication Teknologi)
merupakan training/pelatihan Teknologi dan Informasi
yang dilakukan oleh Pusat Teknologi Informasi dan
Pangkalan Data (PTIPD) UIN Sunan Kalijaga. Program
training ini telah berlangsung sejak tahun 2007. Agung
Fatwanto, ketua PTIPD menjelaskan adanya program
training merupakan terjemahan dari penjaminan mutu.
“Jadi ketika IAIN bertransformasi menjadi UIN itu
meyusun sasaran mutu, ada 5 sasaran mutu, yang nomor 5
itu bidang tugasnya kami, lulusan UIN SUKA diharapakan
mampu menggunakan teknologi informasi, minimal
gradenya B,” katanya.
Sasaran mutu tersebut diterjemahkan dalam bentuk
pelaksanaan program dan kegiatan, yakni berupa training
ICT dan Sertifikasi ICT yang fungsinya untuk meningkatkan
kemampuan IT mahasiswa UIN. Training ICT hanya
diperuntukan pada mahasiwa baru di setiap tahunya.
Sedangkan sertifikasi diadakan untuk memberi
kesempatan kepada mahasiswa sebelum angkatan 2007
ke bawah yang waktu itu belum diwajibkan mengikuti
training untuk mengikuti ujian kemampuan IT dasar,
memberikan kesempatan kepada mahasiswa setelah
angkatan 2007 yang sudah mengikuti training tetapi belum
memenuhi standar minimal, dan memenuhi tuntutan
beberapa prodi yang memiliki pembatasan jangka waktu
berlakunya sertifikat ICT lebih cepat dari yang telah
ditentukan oleh PTIPD.
“Dari PTIPD untuk jangka waktu sertifikat itu 7 tahun
tetapi ada beberapa Prodi yang memberlakukan rentang
waktu sertifikat lebih cepat,” ungkap Agung. Sertifikat ICT
merupakan sertifikat wajib bagi mahasiswa UIN sebagai
syarat mengikuti Munaqosah dengan grade minimal B.
Banyaknya peserta ujian training ICT yang tidak lulus,menyebabkan mahasiswa harus merogoh koceknya lagi untuk mengikuti serifikasi.
Alasan sebagian mahasiswa yang tidak lulus ujian training karena tingkat kesulitannya yang tinggi, sedang waktu yang diberikan sangat sedikit.
Ujian Training ICT Sering Tak Lulus
Oleh: Khusni Hajar
Selasa, 29 Aprill 2014
Keterangan : untuk mahasiswa angakatan 2011, 2012 dan 2013 masih banyak mahasiswa yang belum mengikuti ujian sertifikasi.
Namun ada beberapa mahasiswa yang telah mengikuti ujian ICT.
SLiLiT ARENA14 |
UNIVERSITARIApengawas, agar segera bisa ditangani.
“Sudah sering kita beri pegarahan kepada mahasiswa
sebelum ujian untuk mengerjakan soal internet dulu, biar
jika ada masalah langsung dapat kita atasi, kalau
ngerjainya di akhir nanti kan waktunya kan mepet,” kata
Irfan.
Banyaknya mahasiswa yang tidak lulus ujian ICT
menyebabkan mahasiswa tersebut harus mengikuti ujian
sertifikasi dengan membayar Rp.40.000. Pendaftaran ujian
sertifikasi dapat dilakukan kapan saja.
Pendaftaran ujian sertifikasi bisa kapan saja, biasanya
untuk ujian sertifikasi di hari Senin dan Rabu, kalau jumlah
mahasiwanya banyak, kadang juga 3-4 kali dalam
seminggu, ditambah di hari Selasa dan Kamis. Soal dalam
ujian training dan dan ujian sertifikasi tidak jauh berbeda,
yakni aplikasi Perkantoran (Ms. Word, Ms. Excel. Ms.
Power Point) dan Internet.
Berbeda dengan ujian training ICT, dalam ujian
sertifikasi banyak mahasiswa yang lulus hanya dalam satu
kali ujian. Sehingga jarang ada mahasiswa yang harus
mengulang kembali setelah mengikuti ujian sertifikasi.
“Kalau ujian sertifikasi banyak mahasiswa yang
langsung lulus, paling hanya 1 atau 2 mahasiswa yang
tidak lulus, dan yang tidak lulus juga di masalah Ms.
Excel,” papar Arif yang juga korektor ujian sertifikasi.
Berikut presentasenya :
Tingginya tingkat kelulusan yang pada saat
ujian sertifikasi ini tidak terlepas dari banyaknya waktu
yang diberikan kepada peserta ujian. Waktu yang
diberikan kepada mahasiswa ketika mengikuti ujian
training adalah 90 menit sedangkan untuk sertifikasi
120 menit. “Kalau untuk training kenapa 90 menit
karena kan baru saja diberi pelatihan, sedangkan kalau
ujian sertifikasi mahasiswa perlu mengingat-ingat
kembali, mereka sehingga diberikan waktu yang lebih
lama,” jelas Arif.[]
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA| 15
KANCAH
Indonesia, mungkin bisa dikatakan belum merdeka
sepenuhnya. Negara kita belum terlepas dari belenggu
kolonialisme. Kita dahulu dijajah dan sekarang pun kita
masih dijajah, namun cara penjajahannya saja yang
berbeda. Pasti muncul dalam pikiran kita, kenapa saya
bisa mengatakan demikian? Sebelumnya kita harus
membicarakan dulu terkait dengan agenda penjajahan
Barat terhadap dunia Timur. Ya, memang Timur belum
sempat menjajah Barat. Dan malangnya posisi kita
sekarang ada di pihak Timur sebagai jajahan.
Kira-kira awal abad ke 17 M, agenda imperialisme
Barat ini telah hadir ke permukaan dunia Timur. Pada
mulanya orang-orang Barat menjelajahi Timur untuk
kepentingan negara mereka yaitu mendapatkan rempah-
rempah. Mungkin kita dari SD telah mengenal istilah 3G
(gold, glory, gospel). Namun kemudian niat awal ini
berubah menjadi sebuah misi penjajahan. Yang mana
kemudian menjadi sebuah kepentingan Barat itu sendiri
untuk menguasai Timur dari segala aspek.
Dalam hal menguasai tentu ada yang berkuasa dan
ada yang dikuasai. Pertemuan antara yang menguasai
(penjajah) dan yang dikuasai ini (terjajah) lazim disebut
orang dengan “colonial encounter” (pertemuan kolonial).
Dalam pertemuan ini, Barat -sebagai pendatang- melihat
timur sebagai sesuatu yang sangat memprihatinkan.
Mereka memandang timur -daerah koloni mereka- begitu
rendah, udik, kuno, dan tidak terdidik. Pandangan ini
membuat mereka mempunyai sebuah misi terhadap
Timur yang sering disebut-sebut dengan misi
'pemberadaban' (civilization). Ibaratnya kita (Timur)
adalah seorang pasien yang lagi sekarat, dan Barat tiba-
tiba datang menjadi dokter yang menawarkan resep-
resep dan obat yang perlu kita minum supaya menjadi
sehat.
Dahulu misi ini sering didampingi oleh penjajahan
secara fisik. Penjajahan fisik sekarang tidak bisa lagi
dilakukan. Sehingga misi pemberadaban ini pun dilakukan
dengan cara yang lebih halus. Mungkin bisa dengan cara
hegemoni dan sebagainya. Resep pun ditawarkan oleh
dokter dengan cara yang lebih halus supaya sang pasien
meminumnya dan mengakui bahwa dokter itu hebat.
Seperti yang kita lihat, misi ini tak semata-mata tujuannya
untuk memajukan daerah jajahan. Tidak semata-mata
mengobati pasien yang sedang sekarat. Namun untuk
memperlihatkan bahwa dokternya hebat dan mempunyai
kuasa, sehingga pasien pun akan manut-manut saja apa
yang dikatakan dokternya. Intinya supaya sang pasien bisa
dikuasai dari segi apapun. Memang dibalik itu semua ada
sebuah misi tersendiri untuk melanggengkan kekuasaan
Barat itu sendiri.
Ya, sekarang kita mesti membuka mata lebar-lebar dan
melihat kenyataan ini. Dahulu kita dijajah dengan cara fisik
dengan mengambil segala kekayaan negeri dan
menghancurkan mental rakyat. Dahulu kita didiktekan
untuk begini untuk begitu. Sekarang kita tetap masih
dijajah, kita masih didiktekan untuk seharusnya menjadi
seperti ini dan seperti itu. Seperti kata Edward W. Said
(Orientalisme, 1978), Barat seolah-olah hendak
membentuk identitas Timur (kita Indonesia berada di pihak
timur), Barat menjadikan Timur layaknya sebuah papan
tulis, yang bisa dihapus, agar mereka bisa tinggal di sana
dan memaksakan nilai-nilai mereka untuk diikuti oleh Timur
yang tinggal di dalamnya.
Namun pertanyaannya sekarang adalah apakah kita
benar-benar sakit? Apakah kita benar-benar terbelakang
dan harus diberadabkan ? Permasalahannya adalah kita
sendiri tak mengerti bahwasanya kita ini lagi sakit atau tidak.
Bahkan kita pun tak mengerti apa resep atau obat yang
telah diberikan Barat kepada kita itu sendiri. Kita hanya
menerima, manut dan mengagumi Barat tanpa mengerti
semuanya ini. Inilah sekiranya kondisi yang sering menjadi
pemicu beberapa permasalahan di negara kita.
Ada suatu kondisi yang menggambarkan kita sebagai
pihak yang terjajah membenci sekaligus mengagumi
kemegahan bahkan ingin menjadi seorang Barat tentunya.
Seperti sosok Hanafi dalam novel 'salah asuhan'. Bahwa
hubungan kita (Timur) dan mereka (Barat) seperti
hubungan “benci-benci tapi rindu”. Hal ini telah dijelaskan
Homi K. Bhaba lewat konsepnya mimikri dan ambivalensi.
Dimana selalu muncul 'tiruan yang buram' (blurred copy)
dan 'sikap tak menentu' (ambivalen) dalam diri kita sebagai
yang terjajah.
Ambil saja Islam –yang lebih dekat dengan kita (Timur)-
Masih Belenggu Imperialisme
Oleh: Arifkie Budiawarman
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA16 |
untuk menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini.
Mungkin kita bisa membagi Islam itu menjadi dua bagian,
fundamental dan liberal. Kenapa bisa terbagi? siapa yang
fundamental dan siapa yang liberal? Pembagian ini tidak
bisa kita lepaskan dari proyek imperialismenya Barat.
Munculnya Islam konservatif atau fundamental dan liberal
telah menjadi bukti bahwa Barat telah berhasil
menampakkan kembali gigi mereka di dunia Timur. Dokter
telah berhasil memberikan resep dan obat kepada
pasiennya, dalam hal ini Islam. Namun pasien tersebut
ada sebagian yang tak menerima mentah-mentah resep
itu dan ada sebagian yang menerimanya mentah-mentah.
Pasien yang tidak menerima itulah mereka Islam
konservatif atau fundamental. Sedang pasien yang
menerima merekalah yang disebut Islam liberal. Hal ini
telah memicu konflik yang berkepanjangan dalam
menentukan Islam kedepannya. Ambivalensi pun muncul
dalam tubuh umat Islam, di satu sisi mereka tidak
menerima apa pun yang berasal dari barat dan di sisi lain
mereka menerima begitu saja demi kemajuan Islam,
katanya. Ya, pihak konservatif menganggap resep-resep
yang diterima pihak liberal dari Barat sebagai sesuatu
yang tidak Islami (konsep kafir). Sedangkan pihak liberal
memakai resep-resep tersebut dengan tujuan
merekonstruksi kembali khazanah Islam klasik yang tidak
lagi bisa digunakan zaman sekarang. Dalam Islam liberal
inilah kemudian Barat menemukan kembali kuasanya.
Bahwa Islam yang fundamental bagi Barat adalah sesuatu
yang buruk sedang Islam liberal adalah baik.
Inilah sebuah bukti dari proyek imperialisme barat yang
sekiranya telah berhasil mencoba 'menghancurkan' Islam
dari dalam –pihak Islam sendiri. Bahkan proyek-proyek
lainnya telah lama merambah ke dalam negara kita. Dan
kembali kita Indonesia didiktekan oleh penguasa kita,
penjajah kita, Barat. Lantas apa tawaran kita sebagai
negara Indonesia yang katanya telah merdeka selama
lebih 60 tahunan? Apakah kita masih ingin dikuasai oleh
pihak lain?
Membaca Pendidikan
Penguasaan Barat atas Timur ini dilancarkan dengan
berbagai wacana. Antara yang baik dengan yang buruk
yang ditentukan oleh Barat itu sendiri. Penilaian baik buruk
ini pun merambah ke dalam dunia pendidikan juga. Ada
suatu pendidikan yang baik menurut mereka dan ada yang
tidak baik. Inilah yang dirasakan dalam sistem pendidikan di
Indonesia saat ini. Bahwa pendidikan Indonesia jika belum
menggunakan resep Barat, belumlah dapat dikatakan
sistem pendidikan yang baik. Barat melihat Timur sebagai
yang tak terdidik, bodoh, seperti yang dijelaskan di atas.
Sehingga Barat memberikan -mendiktekan- suatu sistem
pendidikan yang baik –menurut mereka- untuk timur.
Wacana pun dilancarkan di tengah-tengah masyarakat
timur tentang pendidikan yang baik. Dan kita sebagai timur
pun menerimanya dan mengagumi Barat sebagai Dokter
yang telah memberikan obat tentang penyakit kita yaitu
mutu pendidikan yang rendah dan sistem pendidikan yang
tidak baik.
Munculnya kebijakan-kebijakan baru tentang sistem
pendidikan menjadi bukti bahwa Indonesia sedang
mencoba meniru dan menggunakan resep yang telah
diberikan Barat. Adanya kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah ini telah berhasil
memunculkan perdebatan yang sengit di tengah-tengah
masyarakat dan kalangan mahasiswa khususnya yang
secara langsung merasakan kebijakan tersebut. Pada
kenyataannya kebijakan tersebut belum mampu
memberikan hasil yang positif dalam perkembangan
pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Kebijakan-kebijakan itu misalnya tentang Ujian Nasional
(UN), Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Nasional
(SNMPTN), revisi kurikulum, dan yang terhangat sekarang
adalah Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kebijakan ini
dihadirkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia, katanya. Namun pada kenyataannya ini malah
menghasilkan permasalahan-permasalahan baru dalam
pendidikan khususnya. Memang Jika kita mencoba
membuka mata kembali mungkin penerapan-penerapan
kebijakan ini tak luput dari proyek imperialisme Barat.
Ambil saja pembuatan kurikulum baru sebagai
contohnya. Revisi kurikulum besar-besaran pun terjadi
dalam upaya untuk mengikuti perkembangan zaman,
katanya. Di sini adanya upaya untuk menyamakan diri
dengan Barat yang lebih baik, suatu kekaguman terhadap
Barat sendiri. Tanpa kita harus tahu bahwa sistem
pendidikan kita dan kurikulum-kurikulum tersebut pada
akhirnya hanya untuk kepentingan Barat semata, kapitalis
khususnya. Apa kepentingan Barat kapitalis tersebut? Ya
tentu untuk menguasai Indonesia kembali yang dimulai dari
KANCAH Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA| 17
sistem pendidikan dengan memberikan resep-resep
kurikulum tersebut. Pada dasarnya hanya untuk
memproduksi pola pikir yang tidak kritis bagi rakyat
Indonesia. Dengan tidak kritisnya rakyat Indonesia tentu
mereka dengan mudah kembali menjajah Indonesia dari
segala aspek.
Di samping kurikulum, ada Uang Kuliah Tunggal
(UKT) yang menjadi isu terhangat dalam sistem
pendidikan kita saat ini. Dengan diberlakukannya
kebijakan UKT ini kiranya dapat memberikan suatu
keadilan bagi mahasiswa, harapannya. Biaya kuliah
sesuai dengan kemampuan finansial keluarga. Namun
kebijakan ini pun menghasilkan pergolakan di tengah-
tengah masyarakat, mahasiswa khususnya. Nah, apakah
kebijakan ini pun adalah sebuah resep yang ditawarkan
oleh dokter untuk kita sebagai pasiennya ? Jika benar ini
adalah resep, tentu di belakang resep itu ada kepentingan
Barat.
Yogyakarta, 07 Maret 2014
sosial kemasyarakatan di mana peran utamanya adalah
ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran dan
tanggungjawab sosial itulah yang sampai detik ini tidak
boleh ditawar-tawar lagi sebagai landasan utamanya.
Sebagai salah satu hak sekaligus kewajiban dari
masing-masing warga Negara, kebebasan pers perlu untuk
terus terjamin, terutama dalam hal praksisnya di lapangan.
Meski Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
(Pasal 4) sudah mempertegas penjaminan tersebut, yakni
kebebasan pers sebagai hak asasi warga Negara; tidak
diperkenankan adanya penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran; mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi; serta wartawan mempunyai “hak tolak”, pada
realitasnya masih ada saja yang bertentangan. Hal ini tentu
saja bermakna bahwa kebebasan pers belum sepenuhnya
teranulir sebagaimana seharusnya.
Mengambil contoh di lingkungan kampus, tak jarang
para jurnalis Pers Mahasiswa (Persma) menemui kendala
ketika hendak “membongkar” suatu realitas lingkungan
kampus di mana ia berada, terutama tentang kebobrokan
pelayanan dari civitas akademiknya.
Di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, persoalan semacam itu juga terjadi
hari ini. Teman-teman Persma yang ingin mengangkat isu
soal sikap “acuh tak acuh” – sikap ini dinilai dari maraknya
asisten dosen (Asdos) yang mengampu mata kuliah
tertentu – dari beberapa dosen pengampu mata kuliah
dalam proses perkuliahan, sampai tul isan ini
dipublikasikan, soal itu belum terealisasi bahkan jauh dari
apa yang diharapkan. Selain karena perdebatannya masih
hanya berada di kalangan mahasiswa, sehingga akurasi
datanya masih mengawang-ngawang, informasi langsung
dari dosen bersangkutan pun sangat sulit didapatkan,
terutama soal alasan penggunaan Asdos. Salah satu
faktornya adalah karena dosen bersangkutan tidak mau
ditemui apalagi dimintai tanggapan mengenai persoalan
yang melibatkan dirinya tersebut secara individu.
Sepintas lalu, asdos bukan menjadi masalah ataupun
penghambat dalam proses perkuliahan. Bahkan, jika asdos
sekalipun yang harus mengemban semua mata kuliah dari
awal semester hingga akhir, tentu tidak akan pernah
menjadi masalah di kalangan mahasiswa. Memang,
sebagian mahasiswa menganggap bahwa perkuliahan itu
hanya proses formal yang hubungannya secara langsung
Saban hari kita sudah mengenal apa yang disebut
sebagai “kebebasan pers”. Di Indonesia, istilah ini sudah
mulai mengemuka di saat pemerintahan sedang dilanda
krisis. Kontrol atas pemerintah masih begitu sedikit saat itu,
bahkan tidak ada sama sekali. Baru pada runtuhnya rezim
Orde Baru, kebebasan pers cenderung semakin luas.
Beragam media massa (pers), baik nasional ataupun lokal,
berbondong-bondong mengembangkan sayapnya, saling
bersaing dalam hal mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, serta menyampaikan informasi
sebagai konsumsi publik.
Di samping sebagai lembaga ekonomi yang dituntut
berorientasi komersil guna mendapat keuntungan
finansial, pers juga bertanggungjawab sebagai lembaga
OPINI
“Hanya ada dua hal yang menerangi segala sesuatu di muka bumi:
matahari di langit dan pers di bumi.”
--Mark Twain,--
Oleh: Maman Suratman
Meneguhkan Kembali Kebebasan Pers di Dunia Kampus
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA mengundang semua kalangan civitas akademika UIN Sunan Kalijaga untuk mengirimkan tulisan maupun artikel ke alamat redaksi LPM ARENA. Dan bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan pemberitaan SLiLiT ARENA, bisa menuliskan hak jawabnya, atau datang langsung ke kantor redaksi LPM ARENA guna berdiskusi lebih lanjut.
UNIVERSITARIA
SLiLiT ARENA18 |
kepada kelanjutan studi atau ke dunia kerja. Mereka
cenderung berpendapat bahwa pengetahuan
sesungguhnya hanya bisa didapat di luar lingkungan
kampus, sedang kampus hanyalah jembatan yang sifatnya
sementara. Karenanya, mau diajar dosen atau Asdosnya,
menguasai atau tidak materi perkuliahan, bukan jadi soal.
Yang terpenting bagi mereka adalah – maaf jika sedikit
menyebutnya pragmatis – ijazahnya.
Akan tetapi, sebagian besar mahasiswa lainnya juga
perlu kita perhatikan. Bahwa ada mahasiswa yang merasa
dirugikan dan “dibohongi” dengan hadirnya pengajar-
pengajar dadakan seperti asdos ini. Mahasiswa yang
tadinya bersemangat mengikuti mata kuliah karena
menganggap dosennya mumpuni di bidang itu, misalnya
karena sudah bergelar doktor atau professor di bidangnya,
pada akhirnya patah (semangat) hanya karena persoalan
pengajar atau dosen yang mereka anggap masih setara
dengan mereka (pengajar dengan yang diajar sama-sama
masih berstatus mahasiswa). Alhasil, mahasiswa pun ikut-
ikutan acuh tak acuh dalam proses perkuliahan tersebut.
Dari realiatas yang demikian ini, timbul pertanyaan
besar. Maraknya asdos yang mengemban proses
perkuliahan, bukankah ini pertanda bahwa dosen
pengampu yang bersangkutan tidak memiliki komitmen
luhur sebagai tulang punggung bangsa kita? Bagaimana
mungkin bangsa ini akan tercerdaskan jika para
pengajarnya saja tidak mampu atau bahkan tidak memiliki
niat dan keinginan untuk berkecimpung dalam aktifitas
pencerdasan tersebut?
Persoalan asdos ini mungkin saja terbilang sederhana.
Akan tetapi, biar bagaimanapun sederhananya, tentu tak
bisa dianggap sepele, apalagi persoalan itu sudah
menyangkut atau melanggar hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak yang bersangkutan. Dosen yang
memiliki kewajiban sebagai pengajar tidak boleh acuh tak
acuh pada kewajibannya, dan mahasiswa yang
menggenggam hak sebagai pelajar tentu harus
mendapatkan pendidikan sebagaimana selayaknya
sebagai pelajar sekaligus warga Negara.
Bagi para jurnalis Persma, realitas yang demikian ini
menjadi masalah yang urgent di mana penyelesaiannya
mau tidak mau harus melibat-sertakan dosen-dosen
bersangkutan. Sudah terlalu lama wacana seputar ini hanya
mengalir di kalangan mahasiswa. Lagi-lagi, ini menjadi
kendala terbesar bagi mereka. Seperti sudah disebutkan di
awal tadi bahwa dosen-dosen bersangkutan, jangankan
hendak berbagi informasi mengenai soal ini, melihat batang
hidung para jurnalis Persma saja, bagi mereka (dosen-
dosen), sudah seperti melihat hantu, hingga harus bergegas
berlari. Aneh, bukan?
***
Ada baiknya untuk kita kembali mengingat bahwa fungsi
pers tidak lain sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan yang utama adalah kontrol sosial (Pasal 3 Ayat
1 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers). Keempat fungsi ini
jelas memaktub beberapa manfaat di dalamnya.
Sebagaimana pernah dinyatakan Amartya Sen (TEMPO :
2004) bahwa melalui pers kita dapat berkomunikasi dan
lebih memahami dunia secara lebih leluasa, menyuarakan
aspirasi kalangan yang termarginalkan, dan ikut serta
menyebarluaskan pengetahuan.
Jadi, ketika ada pihak yang tidak mau berbagi informasi
hanya karena soal itu menyangkut aibnya secara pribadi, ini
jelas harus kita maklumi bersama. Akan tetapi, jika soalnya
seperti yang terjadi di lingkungan kampus, di mana itu
melibatkan dosen sebagai orang yang memiliki kewajiban
dan tanggungjawab sosial yang besar, jelas tidak boleh ada
konpensasi atasnya.
Persoalan hak dan kebenaran adalah persoalan yang
berbeda ranahnya. Tidak boleh dicampuradukkan. Maka
dari itu, kebebasan pers harus dan sewajibnya untuk kita
teguhkan kembali. Paling tidak, itu berawal dari dunia
kampus, dunia mahasiswa, dunianya para penerus cita-cita
bangsa. Karena darinya, kebenaran bisa terungkap,
bagaimanapun pahitnya. Bahwa konsekuensi jangan
pernah dijadikan hambatan walau sedikitpun.
Maman Suratman
Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA| 19
Dok. Istimewa
SASTRA
Tangan Waktu*Oleh: Saifa Abdillah
Angin yang menolakku
pohon dan hujan
yang mengacuhkanku
seperti juga dingin
yang melemparkan
aku ke sini
kenapa gelap begitu sempit
bergumul di antara
cahaya yang berbalik arah
jika segala yang tegak di bumi
menolakku,
sisakan satu saja untukku
seperti seberkas pesona
pada peristiwa
rahasia abadi para pecinta
yang ketika terkuak
keanggunannya akan merontokkan
kedua sayap jibril, yang mustahil
pemisah antara aku
dan pesonamu yang Ilahi
Jagad Kutub, 2013
Di Tomoho Sebelum cuaca redam
angin angkuh
bersikeras selisih
dengan hujan
yang pedendam
hujan marah
mengamuk Sangahe
dan Tomoho di Sulawasi
selama tiga hari
bukit-bukit runtuh,
jalanan pasang
dan sungai pun
seperti terus tunduk
pada hujan dan angin
yang bertingkah
bagai kutukan
mengungsilah...
mengungsilah angin
dari reruntuhan
sebelum hujan
mengerahkan sungai
dan membunuh
apa yang hendak dibunuh
selama titah Tuhan
pada peperangan
belum selesai dipertempuran
mengungsilah...
mengungsilah angin
dari reruntuhan
barangkali ada yang
terlupakan
apa yang tak kau pikirkan
dari sebuah kehendak
yang mendadak
bangkit dari air bandang
jangan terburu-buru
ini bukan setan, tapi Tuhan
yang jadi penengah
Jagad Kutub, 2014
Adalah Mahasiswa Perbandingan
Agama, dan aktif di Lesehan Sastra
Kutub Yogyakarta.
Sebuah Cerpen
Suara kokok ayam membangkitkan matahari dari
tidurnya. Secara perlahan, dia menampakkan wujudnya
yang kemerahan. Di saat itulah aktifitas manusia dimulai.
Aku sebagai manusia juga tidak luput dengan hal itu.
Memulai aktifitas pagi dengan melakukan apa yang
menjadi kewajibanku secara tidak langsung sebagai
seorang anak. Membantu Ibu melakukan pekerjaan rumah
tangga. Wujud bakti terhadap keluarga.
Gelas-gelas kotor aku susun rapi ke sebuah baki kecil,
untuk memudahkan saat dibawa ke tempat pencucian.
Secara tidak sengaja mataku beralih ke sebuah gelas kaca
yang tidak berwarna bening lagi. Gelas itu bewarna agak
gelap. Terdapat rona kehitaman memenuhi seluruh
permukaannya. Kopi lah yang telah membuatnya seperti
itu. Dia duduk manis di rak piring, tepatnya berada di paling
pojok. Karena sudah lama tidak disentuh, membuatnya
semakin kusam saja.
Entah kenapa, tanpa dikomandoi dadaku sesak saat
melihat gelas itu. Penglihatanku kabur karena air mata
yang mengenang di pelupuknya. Gelas itu mengingatkanku
pada seseorang. Lelaki tua yang selalu meneguk cairan
hitam dari gelas kaca itu.
***
“Tira, ke sini sebentar, buatkan Ayah kopi,” Ayah
memanggilku pelan. Dengan segera, aku mendekati beliau.
“Ayah, ayolah. Tidak usah minum kopi lagi. Hanya
memperburuk kesehatanmu Ayah. Sudah tiga kali Ayah
minum kopi hari ini, ini kali keempatnya.”
“Tahu apa kau ah? Sudah, kalau kau tidak mau
membuatkannya untukku, tidak usah cerahamiku seperti
itu.”
Aku hanya tertunduk takzim mendengar kata-kata Ayah.
Walau dengan hati berat, aku tetap membuat Ayah segelas
kopi yang bewarna hitam pekat. Kopi kesukaan Ayah. Dua
Antara Kopi dan Ayah
*Oleh: Tri Adnan
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA20 |
SASTRA
sendok bubuk hitam dipadukan dengan satu sendok gula,
disempurnakan dengan guyuran air panas yang
melahirkan aroma yang khas disaat aku mengaduknya.
Hidungku serasa mengenal aroma ini seperti sahabat
dekat.
Ayah adalah seorang pecandu kopi. Dalam sehari, dia
bisa minum kopi lebih dari tiga kali. Pagi saat matahari
menyapa, siang di kala matahari bersinar perkasa dan
malam ketika matahari meringkuk di sangkarnya. Kadang-
kadang disaat waktu senja menjelang, Ayah masih
menyempatkan meneguk cairan hitam ini. Membiarkan
cairan ini memperburuk kesehatan dan secara perlahan
membunuh dari dalam.
Aku tidak menyalahkan cairan pekat itu atas kepergian
Ayah. Sama sekali tidak. Walau sebenarnya, dia lah yang
memacu rangsangan benih-benih yang bersemayam di
dalam tubuh Ayah lebih agresif untuk beraktifitas. Benih-
benih yang membuat aku meneteskan air mata melihat
Ayah yang sesegukan hanya untuk mengambil oksigen
bebas di udara tanpa ada yang menagih pembayaran
atasnya.
Asma. Peradangan kronis yang terjadi pada saluran
pernapasan. Membuat orang yang menderitanya menjadi
sulit untuk bernafas. Itulah penyakit warisan yang diterima
Ayah dari Kakek. Aku juga tidak bisa menyalahkan Kakek
atas penyakit yang dia wariskan. Semua telah diatur Tuhan,
hanya itu yang bisa aku gumamkan sebagai penghibur hati,
disaat melihat siksaan yang dirasakan Ayah hanya untuk
mengambil sedikit udara yang berkeliaran di bumi. Aku
bersyukur tidak menerima warisan turun temurun itu dari
Ayah.
Banyak yang mengatakan kopi adalah obat alami yang
dapat membantu meringankan asma. Sungguh
menakjubkan kafein yang dikandungnya, membantu
meringankan tekanan yang terjadi di saluran pernafasan.
Susunan zat kimia yang terdapat di dalam kafein
menyerupai susunan zat kimia yang terdapat dalam
Theophylline. Theophylline dikenal sebagai obat untuk
meredakan penyakit yang telah lama bersarang di dalam
tubuh Ayah ini.
Tetapi, tidak semua obat bisa menjadi sahabat, begitu
juga antara kopi dan Ayah. Mereka tidak menjadi sahabat
sejati yang bisa saling berbagi. Kopi tidak menyehatkan
Ayah. Hanya memperparah kesehatan beliau. Ayah begitu
bangga pada kopi karena rasa dan aromanya yang
menggelitik rongga hidung. “kau tahu? Aku dan kopi itu tidak
dapat dipisahkan. Aku tidak dapat berfikir jernih tanpa kopi.”
Begitulah kata Ayah padaku saat itu sambil menghirup
aromanya. Sayangnya kopi tidak pernah bangga atau
memuja Ayah dengan sedikit memberikan manfaat yang
terkandung di dalam tubuhnya.
Entah karena Ayah yang terlalu banyak memasukkan
cairan hitam kental itu ke dalam tubuhnya, atau kandungan
kopi lah yang tidak bersahabat dengan organ-organ tubuh
Ayah, sehingga asma yang diderita Ayah semakin parah.
Ditambah semakin banyaknya air hitam itu masuk setiap
hari memenuhi lambung Ayah.
Aku sering menemani Ayah untuk mengunjungi dokter,
mengadu atas ulah penyakit ini. Dokter telah berulang kali
memperingatkan Ayah untuk mengurangi meminum kopi, di
depan dokter Ayah mengangguk seperti paham seberapa
parah asma yang bersarang di dalam tubuhnya. Tapi, saat
Ayah telah berada di rumah, beliau seperti lupa atas apa
yang dikatakan dokter. Beliau kembali memintaku
membuatkan kopi, seperti tidak menghiraukan bahaya
yang mengancam tubuh rentanya.
“Tahu apa dia ah? Dia tidak bisa menghentikanku
dengan mudahnya. Toh dia juga manusia, tidak pantas
mengaturku begitu saja,” begitulah kata Ayah saat aku telah
memperingatkan apa yang telah dikatakan dokter atas
penyakitnya. Ayah yang bandel.
Dan pada akhirnya, tubuh Ayah tidak kuasa lagi
menahan sakit atas setiap udara yang dia hirup untuk
melanjutkan usia. Ayah pergi. Pergi selama meninggalkan
aku di dunia. Meninggalkan kenangan pada jejak-jejak
hitam yang tergambar jelas pada gelas kaca.
***
“Tiraa ... ke sini sebentar,”
Aku tersentak saat Ibu memanggil dari dapur. Seketika
lamunanku buyar. Aku kembali ke dunia sekarang.
“Iya Bu, aku segera datang.”
Dengan cepat, aku menghapus genangan yang sempat
terbit di ujung mata. Sebelum memenuhi panggilan Ibu, aku
menoleh pada gelas yang menyimpan jutaan kisah. Aku
hanya bisa tersenyum tipis saat memandangnya. Paling
tidak, gelas itulah yang mendekatkan aku dengan Ayah.
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA| 21
SASTRASebuah Puisi
warungku inimemangnya salah?
Kalau ada orang korupsi, ya tangkap saja dia
apa urusannya denganku?
Apa urusannya dengan uang yang sudah dia bayar kepadaku
untuk barang dagangan yang sudah kuserahkan padanya
Kenapa setelah kamu seret dia, aku juga diseret-seret segala?
Apa karena aku melayani koruptor?
Bukankah banyak juga di tempat-tempat ibadah?
sita juga sumbangan-sumbangan mereka di sana
berani?**
2. Sajak Kambing Korban
Kau memberiku makan, rumah, uang, dan kedudukan
amboi aku merasa girangbukan main senangnya
Tapi akhirnya baru kutahukau telah jadikan aku kambing korban
Kau menggemukkan dirikubukan karena kau menyayangiku
Kau menggemukkanku untuk keuntunganmu sendiri
supaya aku jadi paling gemuk
Sekarang aku baru tahutega-teganya kau wahai manusia!
Sajak Nugroho Angkasa1. Sajak Dagang
Kamu panggil aku karena aku jualan barang
apa urusanmu?kamu mau tahu barang yang kujual?
mau kamu beli juga?
Aku buka warungaku jualan teh, kopi, mi instan
apa urusanmu?
Mau makan dan minum?aku layani sepenuh hati
pokoknya kamu bayar aku terima
Kenapa pula aku tanya asal-usul uangmu?
hasil korupsikah?
Uang dari mana pun itu bukan urusankuurusanku kamu beli yang aku jual
jangan lupa bayar
Kenapa pula aku sampai dipanggil-panggil yang berwenang?
bayaranmu padaku semua tutut disita pula
Kalau terus seperti itu urusan di negeri ini
siapa yang mau dagang lagi?
Kamu yang sedang baca sajak inijangan senyum-senyum dan malah
senang begitudaganganku ini usaha paling tua
Anak, istri, dan keluargaku aman tidak pernah diganggu
maka harus ada warung seperti
Walau sebenarnya aku menyesal karena selalu menuruti kemauan beliau
membuatkan kopi. Aku tidak bisa menolak setiap perintah Ayah. Aku terlalu
sayang kepadanya. Hatiku selalu luluh setiap beliau pulang dari ladang dan
memintaku untuk membuatkan kopi. Pernah suatu kali aku telah berjanji pada
diriku untuk tidak membuatkan Ayah kopi lagi, tapi disaat Ayah membuatnya
sendiri dengan mata sayu, hatiku kembali berontak untuk melakukan rutinitas
harian itu lagi. Aku merasa telah durhaka dengan tidak menaati perintahnya dan
membuat beliau bersedih.
Selamat jalan Ayah. Maafkan aku yang ikut andil dalam menyuburkan
penyakitmu.
Sekretaris Redaksi LPM Al-Itqan STAIN Syekh M. Djamil Djambek
Bukittinggi, Padang, Sumatera Barat.
Hukum dan segala peraturan pun kau buat
semata untuk membenarkan penyembelihanku
Sungguh kejam kau wahai manusia…apa salahku sehingga kau sembelih?
Aku kambing di pinggir jalanaku juga pejabat di pusat pemerintahan
Aku berada di mana-manaDi mana saja selama masih ada
manusia jahanam**
3. Sajak Cuci Uang
Koruptor dikenai pasal cuci uang?jujur aku bingung
kenapa korupsi tidak disebut korupsi saja
Seenaknya kalian memasuki rumah mereka
menggeledah dan menyita baju mereka, barang-barang mereka
Kenapa kalian tidak berani ke tempat-tempat ibadah juga
yang jatah mereka lebih dari yang diperoleh koruptor
Aku bingung kenapa dianggap bersekongkol dan dipersalahkan?bagaimana dengan para ahli kitab
di tempat-tempat ibadah yang notabene tidak menjual apa-apa
tapi tetap dapat jatah!
Aku masih berdagang barangSedangkan mereka hanya berjualan
harapan
Aku sungguh bingungkenapa mereka tak tersentuh
dan kenapa aku yang justru dicari-cari dan jadi buronan terus?
Aku sungguh bingung, bingung, bingung…
**4. Sajak S3: Sumpah Seekor Sapi
Kamu pikir dengan menyembelihku perkara selesai
tidak, tidak semudah itu
Saat penjagal-penjagalmumemisahkan kepala dari badanku
segala kebangsatanmu pun tampak jelas di depan mata
dan terekam oleh jiwaku
Selasa, 29 Aprill 2014
SLiLiT ARENA22 |
SASTRASebuah Puisi
Mereka yang sekarang membuatmu pusing tujuh keliling dan tak bisa tidur
malamadalah roh sapi-sapi gentayangan yang
kamu sembelihmereka datang untuk balas dendam
Silakan memerah tetek susu kami, monggo silakan
ambil semua susu kami, kami rela
Tapi kalau kami disembelihbagaimana kalau suatu saat kami
berkuasadan kami ganti menyembelih kalian
semua?
Cukup sudah kamu perdagangkan bangsaku, rasku, keluargaku, wahai
bangsa manusia!sekarang giliran kalian mesti membayar
utangaku datang untuk menyelesaikan utang –
piutangmu
Akhirat masih lamakamu mesti bayar sekarang juga
Ayo kuantar kamu ke rumah-rumahtempat penjagalan manusia-manusia
seperti kamu!**
5. Sajak Pangeran
Bangun pagi itu kerja petaniaku pangeran putra petinggi
Untuk apa bangun pagi-pagi?aku tidak perlu ke ladang untuk bertani
Mohon komisi itu kerja makelaraku pangeran, bukan makelar
Money laundering? Kenapa harus dicuci?
walau kotor, haram toh uang tetap uangkutelan mentah-mentah, enak juga kok
rasanya
Kalau dicuci bisa susut, untuk apa?anak bisa haram, istri juga bisatapi uang, tak ada uang haram
dengan uang akan kupertahankan kerajaan ayahku
bahkan mengembangkannya!
Dengan uang akan kubuat singgasanayang berukuran pas untuk pantatku
Ingat aku pangeran, anak rajaaku pengganti ayahku, raja kalian
Kubuka diriku
bagi kalian yang mau memasukikuaku selalu terbuka!
**6. Sajak Revolusi
Dulu aku gembong becaksekarang tidak
aku jadi pengurus beberapa gembongsudah naik pangkat
Dulu aku gembong becaktapi kini aku tidak lagi mau jadi oncom
Pengalamanku banyak sekalisemua karena kegembonganku
Dulu paling banyak terjadi kecelakaanitu prestasi yang luar biasa
Pasalnya bagiku orang-orang yang tak mampu adalah makhluk lemah
tidak berguna bagi bangsatak bermanfaat untuk negara
Terlebih rakyat semua berotak tempeditambah lemah lagi
apa mau jadi tempe mereka
Dulu aku gembong becakkecelakaan-kecelakaan itu
justru untuk menyelamatkanagar bangsa tempe tetap jadi tempe
tidak jadi oncom
Tempe masih sehatoncom bisa buat sakit perut
Orang-orang yang mati dalam kecelakaan itu
sudah hampir jadi oncomjadi ya biarlah semua terjadi
seleksi alam namanyasupaya tempe tidak berubah jadi
oncom
Dulu aku gembong becakjadi masih banyak kenalantukang-tukang becak sejati
Anakku pernah ditabrak becakeh malah orang lemah itu melapor
kok cepat melapor ya?Seperti kecoa saja
Bukan, bukan kecoakarena kalau kecoa itu seperti politisi
mereka tidak pernah matiabadi
Kelak di sajak lain
kapan-kapan akan aku ceritakanhubungan kecoa dan politisi
Jadi untung juga yadulu aku gembong becak
sehingga masih banyak kenalan
Tapi tetap sajalebih untung sekarang
aku mengurusi beberapa gembongtinggal kutelpon mereka
salah seorang langsung membereskan
Satu orang mati untuk mengurusianakku, pangeranku
“no problem” itu kata toke-toke yang kuhubungi
semuanya beres dalam sekejap mata
Berkat kegembonganku dulupangeranku selamat
Ya bagaimana tidak selamat?keluarga yang tak mampu itu dapat
uangmereka malah berterimakasih
jadi mau apa lagi?
Orang lemah, tak bergunamereka tak mampu
tak pernah memberi keuntunganuntuk apa mereka hidup?
Inilah baiknya hidup di alam demokrasi.peraturan dan undang-undang berjaya!
berjaya karena bisa diubah-ubahdiatur, disulap, diapa-apakan saja oleh
para toke-toke!
Dulu aku gembong becaksebelumnya hanya tukang becak
Bagiku perjalanan hidup ini layaknya rambutku
tak beruban begitu saja
Semua jalan ini pernah kulewatisekarang aku tahu cara-cara jitu
untuk memanipulasi apa saja
Manipulasi itulah carakubagi politisi kegembongan
seperti diriku ini
Dulu aku gembong becak…
Selasa, 29 Aprill 2014
23 |SLiLiT ARENASLiLiT ARENA
Selasa, 29 Aprill 2014
www.lpmarena.com
Jelas & MengganjalARENASLiLiT
ED
ISI A
PR
IL 2
014