STENOSIS DUODENUM
Saron Anggraini, Zulkarnain Muin, Yimelda Anak Usman, Rizky Nur
Harun, Dian S. Ningrum,Vita Rahayu.
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Hasannuddin
Makassar
A. ABSTRAK
Stenosis duodenum merupakan penyempitan pada duodenum yang
menyebabkan obstruksi pada duodenum. Stenosis duodenum dipercayai
terjadi akibat kegagalan dalam proses pembentukan embriologi struktur
bilier dan pankreas selama masa fetus. Side to side duodenoduodenostomy
adalah terapi operatif perbaikan standar pada stenosis duodenum, pada
beberapa kasus, duodenojejunostomy dapat menjadi pilihan jenis operasi
yang lain dengan perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan yang
minimal.
Berdasarkan penemuan kasus di RSUD dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar, bulan Maret 2013, dilaporkan seorang anak perempuan berusia
26 hari dengan muntah-muntah yang dialami sejak 3 hari sebelum masuk
Rumah Sakit dan didiagnosis menderita ileus obstruktif parsial et causa
stenosis duodenum.
Kata kunci : Stenosis duodenum, duodenoduodenostomy,
duodenojejunostomy
ABSTRACT
Duodenal stenosis is a stricture on duodenal that can cause duodenal
obstruction. They are believed to result from a developmental error during
early foetal life within the area of intense embryological activity involved in
the creation of the biliary and pancreatic structures. A side-to-side
duodenoduodenostomy is the standard repair for duodenal stenosis. In some
cases, duodenojejunostomy can be an alternative and may afford an easier
repair with minimal dissection.
1
According to case found in RSUD Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar on March 2013, reported of a 26 days age old baby girl present
with vomitting suffered since age of 3 days before hospitalized and been
diagnosed with partial obstructive ileus caused by duodenal stenosis.
Keyword : Stenosis duodenal, duodenoduodenostomy, duodenojejunostomy
B. PENDAHULUAN
Walaupun insidens obstruksi duodenum cukup jarang, diestimasi
insidennya bervariasi antara1 dari 10.000 hingga 1 dari 40.000 kelahiran.
Kebanyakan diperoleh perbandingan antara atresia dan stenosis adalah 3:2
atau 2:2. Atresia duodenum dan stenosis adalah penyebab tersering dari
obstruksi intestinum pada bayi yang baru lahir.
Ada berbagai jenis tipe obstruksi duodenum, obstruksi dapat parsial
maupun komplit, ekstrinsik atau instrinsik, atau bahkan kedua-duanya.
Atresia dan stenosis duodenum termasuk dalam obstruksi instrinsik.
Obstruksi duodenum berkaitan dengan prematuritas (46%) dan
polyhidramnions maternal (33%). Sebagai tambahan, terdapat angka
kejadian yang tinggi hubungan antara obstruksi duodenum dan sejumlah
anomali, yaitu down syndrome (>30%), malrotasi (>20%), kelainan jantung
bawaan (20%).
Gejala klinis yang paling sering muncul adalah muntah bilious dan
intoleransi makanan. Dari pemeriksaan fisis, tdak ada temuan yang spesifik
untuk menegakkan diagnosis, namun mungkin kita akan menemukan
distensi pada perut bagian atas.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada foto polos abdomen akan didapatkan gambaran udara
double bubble yang merupakan patognomonis gambaran pada obstruksi
duodenum.
Duodenuduodenostomy atau duodenotomy dengan reseksi membran
merupakan pilihan tindakan operatif pilihan dengan hasil cukup bagus dan
memiliki riwayat morbiditas post operatif yang minimal
2
C. LAPORAN KASUS
Bayi perempuan berumur 26 hari masuk dengan keluhan utama
muntah-muntah sejak 3 hari sebelum dibawa ke RS. Frekuensi muntah
2x/hari, warna kehijauan, tidak menyemprot. Demam (-), kejang (-), sesak
(-), riwayat demam (+) waktu pasien umur 5 hari. Anak malas menyusui.
Ibu kontrol teratur di dokter kandungan. BAB : Riw pengeluaran meconeum
2 hari setelah lahir, setelah itu belum pernah BAB sampai pasien dirawat
selama 11 hari di rumah sakit. Dan sekarang pasien sudah BAB teratur
dalam 5 hari terakhir, dengan frekuensi 1-2x/hari, konsistensi lunak, warna
coklat kekuningan, ampas (+), darah (-), lendir (-).
BAK : lancar, warna kuning
- Riwayat kelahiran, cukup bulan, persalinan normal di Pustu (Puskesmas
Bantu), ditolong bidan, bayi tidak segera menangis, riwayat pengeluaran
mekonium 2 hari setelah lahir.
- Ibu tidak mengkonsumsi obat-obatan saat hamil
Pada pemeriksaan fisis, keadaan umum:sakit sedang/gizi
kurang/composmentis. Mata cekung (+), bibir kering (+), turgor menurun.
Ditemukan tanda vital didapatkan nadi 142 x/menit, Pernapasan 51x/menit,
dan suhu 36,80 C.. Pada regio abdomen, dari inspeksi:tampak sedikit
cembung, ikut gerak napas; auskultasi:peristaltik (+) kesan normal
;palpasi:nyeri tekan sulit dinilai, masssa tumor (-), Perkusi:timpani.-->
tauh di slide
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 15/11/2012: WBC
10,57x 103, RBC 4,13 x 106, Hb 10,4, HCT 33,1, PLT 149x106, GDS 108,
Na 136, K 5,3, Cl 105. ada di slide lab terup date
Foto abdomen 3 posisi (12/03/2013) kesan: Atresia duodenum. Foto
kontrol abdomen 3 posisi (19/03/2013) kesan : susp. Stenosis duodenum.
Foto klinis pasien (21/03/2013) setelah dikompresi dengan NGT :
Ganti !!!!!
3
Foto polos abdomen 3 posisi (12/03/2013)
kesan: ileus paralitik
4
cropppp !!!
5
Foto BNO (19/03/2013)
kesan:suspect stenosis duodenum
ganti !!!!!
D. PEMBAHASAN
Dari anamnesis didapatkan keluhan muntah-muntah yang dialami
sejak 3 hari sebelum dibawa ke RS dengan warna muntah kehijauan.
Frekuensi muntah 2x/hari, tidak menyemprot. Berdasarkan kepustakaan,
gejala klinis yang paling sering dari stenosis duodenum adalah muntah
bilious, namun apabila obstruksi terjadi pada daerah supra ampular, maka
pasien akan mengalami muntah non bilious yang berulang.
Pada pemeriksaan fisis, keadaan umum:sakit sedang/gizi
kurang/composmentis, mata cekung (+), bibir kering (+), turgor menurun,
ditemukan tanda vital didapatkan nadi 142 x/menit, Pernapasan 51x/menit,
dan suhu 36,80 C, sehingga didapatkan skor dehidrasi berdasarkan WHO
modifikasi UNHAS pada pasien ini adalah 12, pasien dikategorikan dalam
6
kondisi dehidrasi ringan-sedang. Hal tersebut sesuai kepustakaan yang
menyebutkan bahwa pada penderita stenosis duodenum akan didapatkan
kondisi dehidrasi apabila kondisi pasien tidak cepat ditangani.
Pada pemeriksaan fisis regio abdomen didapatkan, Inspeksi: tampak
sedikit cembung, ikut gerak napas; Auskultasi: peristaltik (+) kesan normal;
Palpasi: nyeri tekan sulit dinilai, massa tumor (-),; Perkusi: timpani.
Berdasarkan kepustakaan, tidak ada hasil pemeriksaan fisis yang spesifik
untuk menegakkan diagnosis stenosis duodenum, namun mungkin dapat
ditemukan distensi pada abdomen bagian atas.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang, dari pemeriksaan laboratorium
darah rutin, kimia darah, dan elektrolit semua dalam batas normal,
berdasarkan kepustakaan, pada stenosis duodenum tidak ada hasil
laboratorium tertentu yang patognomonis untuk menegakkan diagnosis
stenosis duodenum.
Dari pemeriksaan radiologi foto abdomen 3 posisi (12/03/2013)
didapatkan gambaran double bubble appearence dan kesan: Atresia
duodenum. Dan dari hasil pemeriksaan foto kontrol abdomen 3 posisi
(19/03/2013) didapatkan kesan : Stenosis Duodenum. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyebutkan bahwa pada stenosis duodenum, foto polos
abdomen adalah metode kunci untuk menegakkan diagnosis, pada foto
polos abdomen tersebut akan didapatkan gambaran bayangan udara double
bubble. Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua
mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi.
Selain pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, pada kasus ini
sebenarnya masih dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan untuk
mengkonfirmasi adanya stenosis, yaitu pemeriksaan radiologi dengan
menggunakan kontras. Namun, pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada
kasus obstruksi inkomplit.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, pasien ini didiagnosis ileus obstruktif et
causa stenosis duodenum.
7
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan
elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali
normal. Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis.
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian
disusul dengan teknik bedah yang disesuaikandengan hasil eksplorasi
selama laparotomi
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk
dilakukan tindakan pembedahan. Prosedur operatif standar pada stenosis
duodenum pada saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui insisi pada
kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah
dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara
yang minimal invasive. Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan
anastomosis duodenoyeyunostomi.
Angka bertahan hidup bayi ,bila ditangani dengan baik, adalah 90-95
%. Peningkatan angka bertahan hidup dapat dihubungkan dengan perawatan
respirasi, hiperelementasi, anestesi pediatrik yang meningkat hasilnya,
peningkatan kewaspadaan dan terapi anomali lain yang mengikuti.
E. KESIMPULAN
Stenosis duodenum adalah penyempitan atau striktura lumen
duodenum yang abnormal menyebabkan obstruksi yang tidak lengkap.
Bedakan dengan atresia yang menyebabkan obstruksi lengkap Stenosis dan
atresia duodenum umumnya terdapat pada bagian pertama dan kedua
duodenum, kebanyakan pada daerah sekitar papilla Vater.
Insidens stenosis duodenum 1/5000-10.000 kasus. Rasio atresia dan
stenosis adalah 3:2 atau 2:2.
Anamnesis : Bila lumen sangat kecil, gejala menyerupai atresia Bila
lumen agak longgar : gejala muncul saat berumur beberapa bulan/tahun
8
Gejala : Muntah, bilious dan non bilious Bisa timbul saat dewasa : refluks
gastroesofageal, ulserasi peptic, atau obstruksi duodenum proksimal. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan adanya tanda khas untuk mendiagnosa
stenosis duodenum selain adanya distensi pada abdomen bagian atas.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada foto polos abdomen akan didapatkan gambaran udara
double bubble yang merupakan patognomonis gambaran pada obstruksi
duodenum.
Prinsip penatalaksanaan ileus obstruktif et causa suspek stenosis
duodenum pada dasarnya berupa balance cairan dan elektrolit, dekompresi,
mengatasi syok dan keadaan emergensi (jika ada), dan hilangkan obstruksi.
Dapat dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik spektrum luas.
Duodenuduodenostomy atau duodenotomy dengan reseksi membran
merupakan pilihan tindakan operatif pilihan.
DISKUSI
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI DUODENUM
9
Intestinum tenue merupakan organ pencernaan yang sering
juga disebut sebagai small intestine atau usus kecil/ usus halus.
Intestinum tenue menghubungkan gaster dengan valvulla ileocaecal
(bauhini) yang merupakan batas antara intestinum tenue dengan
intestinum crassum. Seluruh organ yang termasuk dalam intestinum
tenue juga merupakan organ-organ intraperitoneal. Intestinum tenue
terdiri atas duodenum, jejenum, dan ileum.
Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan
usus yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara
gaster dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput
pancreas. Duodenum merupakan bagian terminal/ muara dari system
apparatus biliaris dari hepar maupun dr pancreas. Selain itu duodenum
jg merupakan batas akhir dr saluran cerna atas. Dimana saluran cerna
dipisahkan mjd saluran cerna atas dan bawah oleh adanya lig. Treitz
(m. suspensorium duodeni) yg terletak pd flexura duodenojejunales yg
merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen
duodenum terdapat lekukan2 kecil yg disebut dg plica sircularis.
Duodenum terletak di cavum abdomen pd regio epigastrium dan
umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yg disebut dg
mesoduodenum. Duodenum terdiri atas beberapa bagian :
a. Duodenum pars Superior
Bagian ini bermula dr pylorus dan berjalan ke sisi kanan
vertebrae lumbal I dan terletak di linea transylorica. Bagian ini
terletak setinggi Vertebrae Lumbal I, dan memiliki syntopi :
- Anterior : lobus quadratus hepatis, vesica fellea
- Posterior : bursa omentalis, a. gastroduodenalis, ductus
choledocus, v. portae hepatis dan V. cava inferior
- Superior : foramen epiploica winslow
- Inferior : caput pancreas
b. Duodenum pars Descendens
10
Merupakan bagian dr duodenum yg berjalan turun setinggi
Vertebrae Lumbal II – III. Pd duodenum bagian ini terdapat
papilla duondeni major dan minor, yg merupakan muara dr
ductus pancreaticus major dan ductus choledocus, jg oleh ductus
pancreaticus minor yg merupakan organ apparatus biliaris yg
merupakan organ2 system enterohepatic. Duodenum bagian ini
memiliki syntopi :
- Anterior : fundus vesica fellea, colon transversum, lobus
hepatis dextra, lekukan usus halus.
- Posterior : ureter dextra, hilus renalis dextra
- Medial : caput pancreas
- Lateral : colon ascendens, flexura coli dextra, lobus hepatis
dextra
c. Duodenum pars Horizontal
Merupakan bagian dr duodenum yg berjalan horizontal ke
sinistra mengikuti pinggir bawah caput pancreas dan memiliki
skeletopi setinggi Vertebrae Lumbal II. Duodenum bagian ini
memiliki syntopi :
- Anterior : mesenterium usus halus, vasa. Mesenterica superior,
lekukan jejunum
- Posterior : ureter dextra, m. psoas dextra, VCS, aorta
- Superior : caput pancreas
- Inferior : lekukan jejunum
d. Duodenum pars Ascendens
Merupakan bagian terakhir dr duodenum yg bergerak naik
hingga pd flexura duodenujejunales yg merupakan batas antara
duodenum dan jejunum. Pd flexura duodenojejunales ini
terdapat ligamentum yg menggantung yg merupakan lipatan
peritoneum yg disebut dg lig. Treitz (m. suspensorium duodeni)
yg dimana ligamentum ini juga merupakan batas yg membagi
saluran cerna mjd saluran cerna atas dan saluran cerna bawah.
11
Duodenum bagian ini memiliki skeletopi setinggi Vertebrae
Lumbal I atau II. Duodenum bagian ini memiliki syntopi :
- Anterior : mesenterium, lekukan jejunum.
- Posterior : pinggir kiri aorta , pinggir medial m. psoas sinistra
Vaskularisasi Duodenum
Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi
menjadi 2. Utk duodenum pars superior hingga duodenum pars
descendens diatas papilla duodeni major (muara ductus pancreticus
major), divaskularisasi oleh R. superior a. pancrearicoduodenalis
cabang dr a. gastroduodenalis, cabang dr a. hepatica communis, cabang
dr triple hallery yg dicabangkan dr aorta setinggi Vertebae Thoracal
XII – Vertebrae Lumbal I. dan aliran vena nya lgsg bermuara ke
system portae.
Sedangkan dibawah papilla duodeni major, duodenum
divaskularisasi oleh R. duodenalis a. mesenterica superior yg
dicabangkan dr aorta setinggi Vertebrae Lumbal I. Sedangkan aliran
vena nya bermuara ke v. mesenterica superior.
\
Innervasi Duodenum
Duodenum di innervasi oleh persarafan simpatis oleh truncus
sympaticus segmen thoracal VI-XII, sdgkn persarafan parasimpatis
nya oleh n. vagus (n. X)
Fisiologi Duodenum
Pd duodenum pars superior scr histologist terdapat adanya sel
liberkeuhn yg berfungsi utk memproduksi sejumlah basa. Basa ini
berfungsi utk menaikkan pH dr chymus yg masuk ke duodenum dr
gaster, shg permukaan duodenum tdk teriritasi dg adanya chymus yg
asam td.
12
Selain itu, pd duodenum tjd proses pencernaan karbohidrat scr
enzymatic yg telah berbentuk disakarida. Dimana duodenum
mendapatkan muara dr ductus pancreaticus, dimana pd pancreas
diproduksi enzyme maltase, lactase dan sukrase. Dimana enzyme
maltase akan berfungsi utk memecah 1 gugus gula maltose mjd 2
gugus gula glukosa. Sdgkn lactase akan merubah 1 gugus gula laktosa
mjd 1 gugus glukosa dan 1 gugus galaktosa. Sementara itu, enzyme
sukrase akan memecah 1 gugus sukrosa mjd 1 gugus fruktosa dan 1
gugus glukosa.
Sementara itu,di dalam duodenum jg terjadi pencernaan lipid
scr enzymatic. Dimana lipid dalam bentuk diasilgliserol akan teremulsi
oleh adanya getah empedu yg dialirkan mll ductus choledocus dr
vesica fellea dan hepar. Setelah itu, emulsi lemak td akan diubah oleh
enzyme lipase pancreas mjd asam lemak dan 2 diasilgliserol.
II. EPIDEMIOLOGI
Insiden obstruksi duodenum bervariasi antara1 dari 10.000
hingga 1 dari 40.000 kelahiran. Kebanyakan diperoleh perbandingan
antara atresia dan stenosis adalah 3:2 atau 2:2. Atresia duodenum dan
stenosis adalah penyebab tersering dari obstruksi intestinum pada bayi
yang baru lahir.
Obstruksi duodenum berkaitan dengan prematuritas (46%) dan
polyhidramnions maternal (33%). Sebagai tambahan, terdapat angka
kejadian yang tinggi hubungan antara obstruksi duodenum dan
sejumlah anomali, yaitu down syndrome (>30%), malrotasi (>20%),
kelainan jantung bawaan (20%).
III. ETIOLOGI
Obstruksi instrinsik pada duodenum terjadi akibat kegagalan
vakuolisasi dan rekanalisasi.
13
IV. PATOFISIOLOGI
Penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya
daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga
menyebabkan penyempitan atau penyumbatan lumen usus. Hal
tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu. Sehingga terjadi
pengumpulan isi lumen usus yang berupa gas dan cairan pada bagian
proksimal tempat penyumbatan yang menyebabkan pelebaran dinding
usus (distensi).
Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat
sebagai kompensasi adanya sumbatan atau hambatan. Bila obstruksi
terus berlanjut dan terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka
bagian proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan baik dan
bising usus menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan
intraluminal dan adanya distensi menyebabkan gangguan vaskuler
terutama stasis vena. Dinding usus menjadi udem dan terjadi
translokasi bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang
disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menyebabkan timbulnya
gejala sistemik. Efek lokal peregangan usus adalah iskemik akibat
nekrosis disertai absorbsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga
peritoneum dan sirkulasi sistemik. Hal ini biasanya terjadi pada
obstruksi usus dengan strangulasi. Bahaya umum dari keadaan ini
adalah sepsis.
Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul
tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan
yang tertelan, sekresi usus dan udara akan berkumpul dalam jumlah
yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian proksimal dari usus
mengalami distensi dan bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan
absorbsi membran mukosa usus menurun dan dinding usus menjadi
edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat dengan sendirinya
secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan
fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi,
iskemik, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian.
14
V. MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik
abdomen, mual, muntah, perut distensi dan tidak bisa buang air besar
(obstipasi). Mual muntah umumnya terjadi pada obstruksi letak tinggi.
Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominan adalah
nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut
dan bagian proksimal usus menjadi sangat dilatasi. Obstruksi pada
usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus
atau bagian epigastrium. Pasien dengan obstruksi partial bisa
mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi dari usus dapat diraba.
Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih
ringan dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa
konstipasi yang berakhir pada obstipasi dan distensi abdomen. Muntah
jarang terjadi.
Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul
gejala muntah yang terdiri dari cairan jernih hijau atau kuning dan
terlihat dini dalam perjalanan. Usus didekompresi dengan regurgitasi,
sehingga tak terlihat distensi. Jika obstruksi di distal di dalam usus
halus atau kolon, maka muntah timbul lambat dan setelah muncul
distensi. Muntahannya kental dan berbau busuk (fekulen) sebagai hasil
pertumbuhan bakteri berlebihan sekunder terhadap stagnansi.
Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik
dengan pola naik turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau
letak tinggi dari usus halus (jejenum dan ileum bagian proksimal)
maka nyeri bersifat konstan/menetap.
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam
menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian
15
berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal,
ditemukan hasil laboratorium yang normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis
dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase sering
didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau
strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi
dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non strangulata. Hematokrit
yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat
ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan
metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis.
Radiologik
Pada foto posisi tegak akan tampak bayangan air fluid level
yang banyak di beberapa tempat (multiple air fluid level) yang tampak
terdistribusi dalam susunan tangga (step ladder appearance),
sedangkan usus sebelah distal dari obstruksi akan tampak kosong.
Jumlah loop dari usus halus yang berdilatasi secara umum
menunjukkan tingkat obstruksi. Bila jumlah loop sedikit berarti
obstruksi usus halus letaknya tinggi, sedangkan bila jumlah loop lebih
banyak maka obstruksi usus halus letaknya rendah. Semakin distal
letak obstruksi, jumlah air fluid level akan semakin banyak, dengan
tinggi yang berbeda-beda sehingga berbentuk step ladder appearance.
Bayangan udara di dalam kolon biasanya terletak lebih ke
perifer dan biasanya berbentuk huruf “U” terbalik. Obstruksi kolon
ditandai dengan dilatasi proksimal kolon sampai ke tempat obstruksi,
dengan dekompresi dari kolon bagian distal. Kolon bagian proksimal
sampai letak obstruksi akan lebih banyak berisi cairan daripada feses.
Usus halus bagian proksimal mungkin berdilatasi, mungkin juga tidak.
Dugaan tumor kolon dapat dibuat foto barium enema. Foto polos
abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus
halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Foto thoraks
16
PA diperlukan untuk mengetahui adanya udara bebas yang terletak di
bawah diafragma kanan yang menunjukkan adanya perforasi.
CT scan kadang – kadang digunakan untuk menegakkan
diagnosa pada obstruksi usus halus untuk mengidentifikasi pasien
dengan obstruksi yang komplit dan pada obstruksi usus besar yang
dicurigai adanya abses maupun keganasan.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Ileus paralitik
Merupakan suatu gawat abdomen berupa distensi abdomen
karena usus tidak berkontraksi akibat adanya gangguan motilitas di
mana peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau
trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus.
Manifestasi kliniknya berupa distensi perut, tidak dapat flatus maupun
defekasi dan dapat disertai muntah serta perut terasa kembung. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen, bising usus menurun
atau bahkan menghilang, tidak terdapat nyeri tekan dan perkusi
timpani di seluruh lapang abdomen. Pada pemeriksaan radiologi, foto
polos abdomen didapatkan gambaran dilatasi usus menyeluruh dari
gaster sampai rektum dan herring bone appearance (gambaran tulang
ikan).
VIII. PENATALAKSANAAN
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan
elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan
menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi
usus kembali normal.
Resusitasi.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi
tanda-tanda vital, dehidrasi dan syok.Pasien yang mengalami ileus
17
obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan
ektrolitsehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat.
Respon terhadap terapi dapat dilihatdengan memonitor tanda-tanda
vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena,
diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan
untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensiabdomen
Farmakologis
Pemberian obat-obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi
gejala mual muntah.
Operatif
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik
untuk mencegah sepsis sekunder.Operasi diawali dengan laparotomi
kemudian disusul dengan teknik bedah yang disesuaikandengan hasil
eksplorasi selama laparotomi.
1. Persiapan Prabedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT)
dan lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah
muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa,
hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus.
2. Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk
dilakukan tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif
emergensi dan harus dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari
pertama setelah bayi lahir.Prosedur operatif standar saat ini berupa
duodenoduodenostomi melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun
dengan perkembangan yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan
koreksi atresia duodenum dengan cara yang minimal invasive. Atau dapat
dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis duodenoyeyunostomi.
18
Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan
ampula vateri dan saluran Wirsungi. Prosedur pembedahan dimulai
dengan insisi tranversal pada supra umbilikalabdominal, 2 cm di atas
umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah sampai kuadran kanan
atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan inspeksi didalamnya
untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali lainnya. Untuk
mendapatkan gambaran lapang pandang yang baik pada pars superior
duodenum,dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver)
selanjutnya kolon asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan
perlahan-lahan. Terdapat dua bentuk anastomosis duodenduodenostomy
yang dapatdilakukan yaitu bentuk 1) Side to side duodenostomy dan 2)
Proksimal tranverseto distal longitudinal (Diamond Shaped
Duodenoduodenostomy).
Tindakan operasi Diamond Shaped Duodenoduodenostomy
(DSD)dilakukan sebagai berikut.
• Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal
• Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum
distal
• Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow
• Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen
distal yang dibuat.
• 20 - 30 ml saline hangat diinjeksikan
• Cateter kemudian dilepas
IX. KOMPLIKASI
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi
dehidrasi,terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah
pembedahan, dapat terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan
duodenum (megaduodenum), gangguan motilitas usus, atau refluks
gastroesofageal.Penelitian Laura K et al (1998) yang dilakukan terhadap
92 neonatus dengan atresia duodenal (Tipe I 64%, Tipe II 17%, Tipe III
18%) dengan melakukan tindakan pembedahan Duodenoduodenostomy
19
(86%), duodenotomy with web excision (7%) and duodenojejunostomy
(5%), didapatkan komplikasi postoperative (Postoperative Complications)
yaitu 4 neonatus (3%) dengan obstruksi, congestive heart failure (9%),
ileus paralitik yang berkepanjangan (4%),pneumonia (5%), infeksi luka
superfisialis (3%). Komplikasi lanjut termasuk perlekatan obtruksi usus
(9%), dismotilitas duodenal lanjut yang menghasilkan megaduodenum
yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan gastroesophageal refluks
disease yang tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan
pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian
akibat obstruksi usus. Isi lumen usus merupakan campuran bakteri yang
mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan nekrotik dan darah. Usus
yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan
menggeluarkan materi tersebut ke dalam rongga peritoneum. Tetapi
meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus
yang permeabel tersebut dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui
cairan getah bening dan mengakibatkan shock septik.
X. PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama
50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah
meningkat hingga 90%.
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti
umur, etiologi, tempat dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat
muda ataupun tua maka toleransinya terhadap penyakit maupun tindakan
operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas.
Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi
usus halus.
Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi
mempunyai angka kematian 5 %. Kebanyakan pasien yang meninggal
adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi usus halus yang
20
mengalami strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 8 % jika
operasi dilakukan dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala-
gejala, dan 25 % jika operasi diundurkan lebih dari 36 jam.
XI. KESIMPULAN
Obstruksi usus (mekanik) adalah keadaan dimana isi lumen saluran
cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada
sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding
usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada
suatusegmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut.
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh adhesi,hernia inkarserata,
neoplasma,intususepsi, volvulus, benda asing, kumpulan cacing askaris,
sedangkan obstruksi usus besar penyebabnya adalah karsinoma, volvulus,
divertikulum Meckel, penyakit Hirschsprung,inflamasi, tumor jinak,
impaksi fekal.Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut,
disertai kembung. Bisingusus yang meningkat dan “metallic sound” dapat
didengar sesuai dengan timbulnya nyeri padaobstruksi di daerah distal.
Gejala umum berupa syok, oliguri dan gangguan elektrolit. Kolik dapat
terlihat pada inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan
pada auskultasisewaktu serangan kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas
sebagai bunyi nada tinggi. Usus di bagian distal kolaps, sementara bagian
proksimal berdilatasi. Usus yang berdilatasimenyebabkan penumpukan
cairan dan gas, distensi yang menyeluruh menyebabkan pembuluhdarah
tertekan sehingga suplai darah berkurang (iskemik), dapat terjadi perforasi.
Gambaran radiologi dari ileus berupa distensi usus dengan multiple air
fluid level, distensi usus bagian proksimal, absen dari udara kolon pada
obstruksi usus halus.Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi
bagian yang mengalami obstruksiuntuk mencegah perforasi. Tindakan
operasi biasanya selalu diperlukan.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Puri P, Hollwarth M. Duodenal obstruction. In: Sweed Y,editors.Pediatric
surgery. Germany:Springer; 2006.p.203-212
2. Kaddah, SN et al. Congenital duodenal obstruction. Annals of pediatric
surgery. 2006:130 -5
3.
22