STUDI PROSES MEKANISME PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC -MIXER UNTUK MENINGKATKAN
EFISIENSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL
RIZAL ALAMSYAH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Studi Proses Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static-Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2010
Rizal Alamsyah NIM . F161060042
ABSTRACT
RIZAL ALAMSYAH. Study on Mixing Process Using Static-mixer Method to Increase Transesterification Efficiency of Refined Palm Oil into Biodiesel. SUPERVISORS: ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, and DADAN KUSDIANA
One of the difficulties faced in the current technology for biodiesel production is the requirement for rigorous mixing of methanol with the feedstock oil in the reactor. Utilization of blade mixer has limitation due to the immiscible state of those substances. This research was devoted to assess of static-mixer utilization in a transesterification reactor for biodiesel production in terms of kinetics reaction (reaction rate coefficient k, activation energy Ea, and collision factor or coefficient factor A).
The experiments were conducted by reacting refined bleached deodorized palm olein (triglyceride or TG) with methanol (MeOH) at 50, 55, 60, 65, and 70o C, using potassium hydroxide (KOH) as a catalyst at atmospheric pressure. Molar ratio of TG and MeOH was 1 : 11.5 and KOH used was 1% of palm oil weight. Transesterification process using blade agitator with the same reaction condition was performed as base of comparison to those of static-mixer. Energy consumption was measured for heater during oil heating, transesterification, boiling water and biodiesel drying by kWh meter. It was also conducted for pump for distribution, reactant mixing, and impeller of blade agitator. The experiments showed that static-mixer has significant effect in reducing reaction time to reach required fatty acid methyl ester content (FAME) i.e. 96.5% than those of blade agitator. Transesterification reaction time with static-mixer were shorter than with blade agitator for all temperature levels. Reaction temperature of 65o C with 5 minutes of reaction time demonstrated the best condition for running the static-mixer reactor.
The kinetics satudy was conducted based on the decrease of bounded glicerol or unmethyl esterified compound (uME) which consists of triglyceride TG, digliceryde DG, and monoglyceride MG during transesterification reaction. Since the bounded glycerol decreased rapidly in the first stage reaction so the reation rate was evaluated into two stages reaction of transesterification that gived the initial and the final reaction rate coefficient (k1 and k2), the initial and final activation energy (Ea1
and Ea2) and the initial and final collision factor (A1 and A2). The value of Ea1, Ea2, A1, and A2 for static-mixer experiments were 1.33 J/mol, 16.71 J/mol, 6.48, minute-1 and 8.89 minute-1, respectively.
The energy ratios of static-mixer are 2,4 times higher than those of blade agitator reactor for all temperature reaction levels. It means that transesterification by
static-mixer improved the energy ratio of blade agitator. The static-mixer experiment at reaction temperature 65oC demonstrated the lowest energy consumption (Qin) e.g 1804.35 kJ/kg, meanwhile Qin for 50, 55, 60 and 70 oC were 1810.45 kJ/kg, 1807.77 kJ/kg, 1801.79 kJ/kg, and 1838.66 kJ/kg respectively. Based on the heat transfer analysis, the overall heat transfer from the reactor wall was 260.62 kJ, meanwhile the highest of heat transfer was released from pipe for circulating the reactants.
Keywords : static mixer, blade agitator, activation energy, biodiesel, collision factor, energy ratio, and transesterification
RINGKASAN
RIZAL ALAMSYAH. Studi Proses Mekanisme Pengadukan Dengan Metode Static -Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi Minyak Sawit Menjadi Biodiesel. Dibimbing oleh ARMANSYAH H. TAMBUNAN, Y. ARIS PURWANTO, dan DADAN KUSDIANA
Biodiesel merupakan monoalkil ester (misal: fatty acid methyl ester atau FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Proses esterifikasi atau transesterifikasi dapat dilangsungkan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Sejauh ini dalam produksi biodiesel umumnya dilakukan dengan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa. Kekurangan dari proses katalis basa adalah: 1) terdapat dua fase campuran minyak nabati-metanol (MeOH) yang memerlukan mekanisme pengadukan yang kuat agar proses transesterifikasi bisa efektif dan reaksi mengarah ke sebelah kanan, 2) dalam purifikasi biodiesel kasar (crude biodiesel) diperlukan proses yang panjang karena di dalam produk masih terkandung impurities yang terdiri dari residu katalis, metanol yang tidak bereaksi, dan sabun yang harus dipisahkan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan sistem pengadukan ini berkisar antara 60 – 90 menit.
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk: 1) menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan pada tingkat suhu yang sama, dan 2) mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan awal, purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein - RBDPO).
Pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi RBDPO dengan metanol (MeOH) menggunakan reaktor static-mixer. Rasio molar antara RBDPO dan MeOH adalah 1 : 11,5. Jumlah KOH yang digunakan sebanyak 1% dari RBDPO. Proses pembuatan biodiesel adalah diawali dengan pemanasan awal RBDPO dalam reaktor sesuai suhu yang ditentukan (50, 55, 60, 65, dan 70oC) dan pada saat yang sama juga MeOH dipanaskan. Saat suhu yang diinginkan tercapai, campuran MeOH-KOH dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian pengadukan dimulai dengan menghidupkan pompa static-mixer sehingga campuran melewati static-mixer. Sampling dilakukan pada biodiesel dengan mengambil contoh di keran bagian atas pada selang waktu menit ke 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70, 80, dan 90 untuk dianalisis mutunya sesuai dengan Sandard SNI 04-7128-2006.
Sampel ditampung dalam glass jar untuk kemudian diendapkan (settling) hingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah adalah gliserol kasar). Biodiesel kasar kemudian dicuci dan dianalisa berdasarkan standard
SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel. Pengujian dilakukan untuk beberapa parameter mutu utama antara lain untuk: gliserol bebas dan total gliserol dengan metoda uji (AOCS: Ca 14-56), kandungan metil ester (biodiesel), angka asam (AOCS: Cd 3-63), angka penyabunan (AOCS: Cd 3-25), viskositas, densitas, dan kadar air. Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan terlihat encer. Hasil samping reaksi transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna coklat gelap dan lebih kental dibanding metil ester, yang berada pada lapisan bagian bawah.
Reaksi transesterifikasi menunjukkan bahwa laju reaksi metil ester menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding dengan blade agitator pada periode awal proses. Hasil percobaan menunjukkan bahwa penggunaan static-mixer mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan waktu reaksi untuk mencapai kandungan metil ester minimum yaitu 96,5% dibanding menggunakan blade agitator, untuk seluruh perlakuan suhu yang diberikan. Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator unrtuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65o C dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reactor static-mixer. Hasil yang sama juga ditunjukkan dengan hasil penurunan, gliserol terikat (triglierida TG, digliserida DG, dan monogliserida MG) yang tidak bereaksi, viskositas dan angka asam dari biodiesel untuk penggunaan kedua metode pengadukan tersebut.
Perhitungan kinetika didasarkan atas penurunan jumlah gliserol terikat atau unmethyl esterified compound (uME) yang tidak bereaksi dan terdiri dari TG, DG, dan MG). Karena penurunan jumlah gliserol terikat dengan static-mixer lebih cepat pada tahap awal proses, maka laju reaksi dievaluasi ke dalam 2 tahap proses transesterifikasi sehingga memberikan konstanta laju reaksi awal (k1) dan laju raksi akhir (k2). Perubahan dari laju reaksi awal menuju laju reaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil masih menunjukkan kecenderungan penurunan. Perubahan jumlah gliserol terikat dengan blade agitator menunjukkan penurunan yang stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap reaksi transesterifikasi. Dari hasil yang diperoleh laju reaksi awal (k1) dengan static-mixer pada tahap awal lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator.
Waktu reaksi transesterifikasi dengan static-mixer lebih pendek dibanding dengan blade agitator untuk semua perlakuan suhu. Suhu reaksi 65oC dan waktu reaksi 5 menit memperlihatkan kondisi terbaik untuk mengoperasikan reaktor static-mixer. Energi aktifasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) dihitung berdasarkan persamaan Arhenius untuk tahap awal dan akhir reaksi untuk static-mixer, serta untuk satu tahap pada blade agitator. Dengan demikian muntuk static-mixer dihasilkan energi aktivasi awal dan akhir (Ea1 and Ea2) serta frekuensi tumbukan awal dan akhir (A1 and A2) yang masing-masing nilainya adalah : 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit-1 dan 8,89 menit-1. Nilai Ea dan A untuk percobaan blade agitator adalah 10,49 J/mol, dan 2,9 menit-1.
Energi transesterifikasi rata-rata menggunakan reaktor static-mixer adalah 84,53 kJ/kg lebih kecil dibanding menggunakan blade agitator yaitu 484,16 kJ/kg.
Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Qin) menggunakan static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade agitator adalah 2212,32 kJ/kg. Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi (static-mixer) 65 oC yaitu 56,01 kJ/kg. Dari hasil percobaan static-mixer pada suhu 50, 55, 55, 60, 65, dan 70oC dihasilkan rasio energi masing-masing 3,67 , 3,3, 3,65, 3,73, 3,75, dan 3,34. Rasio energi dalam pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-mixer 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan menggunkan blade agitator. Hal ini menunjukan bahwa reaktor static-mixer dapat mengurangi konsumsi energi (meningkatkan efisiensi proses transesterifikasi). Dari hasil analisis kehilangan panas terlihat bahwa kehilangan terbesar terjadi pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg) disusul dengan dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72 kJ), dan tutup bawah (8,38 kJ).
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Penulisan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STUDI PROSES PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC -MIXER UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI
TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL
RIZAL ALAMSYAH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN
BOGOR 2010
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Kohar Irwanto, MSi. Dr. Ir. Leopold E. Nelwan, MSi.
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Joelianingsih, MT. Dr. Ir. Desrial, M.Eng.
Judul Disertasi : STUDI PROSES PENGADUKAN DENGAN METODE STATIC -MIXER UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI TRANSESTERIFIKASI MINYAK SAWIT MENJADI BIODIESEL
Nama : Rizal Alamsyah NIM : F 161060042
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan Ketua
Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, MSc. Anggota
Dr. Ir. Dadan Kusdiana, MSc. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 21 September 2010 Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala izin, ridha dan
karuniaNya sehingga disertasi berjudul Studi Proses Mekanisme Pengadukan
Dengan Metode Static-Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Transesterifikasi
Minyak Sawit Menjadi Biodiesel dapat dirancang dan diselesaikan. Kegiatan
penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2008 hingga September 2009.
Disertasi ini dibuat dalam rangka penelitian untuk penyelesaian studi program
Doktor (S3) di bidang Ilmu Keteknikan Pertanian pada Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dirancang sedemikian rupa yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam khazanah teknologi energi terbarukan (renewable
energy).
Dalam penyelesaian disertasi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, serta koreksi konstruktif dari komisi pembimbing. Oleh karena itu ucapan
terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan (ketua), Dr.
Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc. (anggota) dan Dr. Ir. Dadan Kusdiana, MSc. (anggota).
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Kohar
Irwanto, MSi. dan Dr. Ir. Leopold E. Nelwan, MSi. selaku dosen penguji pada ujian
tertutup. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
Ir. Joelianingsih, MT. dan Dr. Ir. Desrial, M.Eng. selaku dosen penguji pada Ujian
Terbuka.
Penelitian Disertasi S3 di sekolah Pasaca Sarjana IPB ini didanai oleh Pusat
Pendidikan Latihan (Pusdiklat) Industri Kementerian Perindustrian dan The
Indonesian International Education Foundation (IIEF). Karenanya penulis
menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuannya. Ucapan
terimakasih juga ditujukan kepada Laboratorium energi dan Elektrifikasi Fateta IPB
serta kepada Ir. Yang-yang Setiawan, MSc. selaku Kepala Balai Besar Industri Agro
di mana penulis bekerja atas dukungan sarana dan prasarana yang berharga terhadap
penelitian ini.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada:
1. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi
Pertanian IPB, Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Sekolah Pasca
Sarjana IPB atas penerimaan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan program DOKTOR (S3) di IPB melalui jalur penelitian (by research).
Tak lupa staf pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Sekolah Pasaca Sarjana
IPB, atas segala ilmu pengetahuan dan pelayanan yang telah diberikan selama
menempuh pendidikan di IPB.
2. Dr. Sony Solistia Wirawan (BPPT), Prof. Hiroshi Nabetani (Food National
Research, Japan), Dr. Milan Martinov (CIGR), Dr. Zazueta Ranahan (CIGR), Ir.
Ari Rahmadi, MSc. dan Ir. Maharani (BPPT) atas masukan dan arahan teknis
penulisan karya ilmiah yang telah disusun,
3. Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah (Universitas Persada), Prof. Dr. Ir. Irawadi
Djamaran (TIN, IPB), dan Dr. Ir. Setyo Pertiwi, MSc. (TEP, IPB) atas arahan
teknisnya
4. Ayahanda (H. Abdul Moeis Abdullah) dan Ibunda (Hj. Nelly Sadiah) atas
asuhan, didikan, perhatian, doa yang tulus, serta dorongan morilnya.
5. Istri (Dra. Ariyanti) dan anak-anak penulis tercinta (Arizia Tamara dan Amira
Mayariza Ghina) atas segala dorongan semangat motivasi dan yang telah
bersabar menanti selama pendidikan.
6. Staf Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Pak Harto, Firman, dan
Darma atas segala bantuan teknis.
7. Bengkel Tanggerang (Kota Tanggerang) atas pembuatan dan pengujian awal
static-mixer dan Ir. Asadi, MSi (UPN Jakarta) atas masukan teknis selama
konstruksi reaktor.
8. Saudara/i Ir. Sri Wuri Hadono, MAppSc, Anton Simorangkir, SH, Anita Pardede,
dan Ir. Nurdin Kurnia, MSi (BBIA), Ir. Lukman Junaidi, Hendra Wijaya, Ssi,
MSi, Ir. Nobel Christian Siregar, ST., M Eng., Eni Hawani Lubis, Dipl. IV Kim,
MSi., Reno Fitri Hasrini, SP., MSi., Yuliasri Ramadhani Meutia, STP, MSi., Irma
Susanti, STP, Msi., Fitri Hasanah, STP., MSi, Henggar, ST., Ir. Dadang
Supriatna, MSi., Ramlan Ruvendi, SE, MM., dan teman-teman di Bidang Sarana
Riset dan Standardisasi BBIA serta Ir. Wawan Kartiwa, MSi (BPK, Bandung)
yang sering memberikan dorongan moril selama studi.
9. Saudara/i Ade Wahyuni SP, Atika SP, Retno STP, Ismail STP, dan Didin N, STP
atas bantuan teknis pengujian laboratorium, dan
10. Rasa terimakasih juga disampaikan kepada sdr. Mulyawatulloh, Firman, Darma,
Rusmawati, dan Harto (TEP) atas kelancaran teknis dan administrasi penelitian.
Penulis menyadari tulisan ini masih mempunyai kekurangan, untuk itu saran,
masukan, maupun kritik yang konstruktif sangat diharapkan. Penulis turut berdoa
semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada semuanya.
Akhir kata semoga dari disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi yang
memerlukannya. Aaamiin ya rabbal a’lamin.
Bogor, September 2010
Rizal Alamsyah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 10 Juli 1959 sebagai
anak keempat dari H. Abdul Muis Abdullah dan Hj. Nely Sadiah. Pada tanggal 10
Desember 1990 penulis menikah dengan Hj. Dra. Ariyanti dan dikaruniai dua anak
yaitu Arizia Tamara dan Amira Mayariza Ghina.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP sampai SMA di Bogor masing-
masing tahun 1971, 1974 dan 1977. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh pada Jurusan
Mekanisasi Pertanian Fateta IPB dan diselesaikan pada tahun 1983. Selanjutnya
penulis mendapat kesempatan melanjutkan Pendidikan Pasca Sarjana (S2) di School
Applied Science jurusan Food Engineering, The University of New South Wales
(UNSW), Sydney-Australia dan diselesaikan pada tahun 1990. Penulis juga pernah
mengikuti program pendidikan training for trainer di Cornell University USA dalam
bidang Food Technology pada tahun 1993 serta pernah mengikuti Training Course on
Biomass Integrated Utilization Technologies, di China Agricultural University
(CAU) Beijing China pada tahin 2008. Selanjutnya, sejak Agustus 2006 penulis
diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian (TEP)
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelitian (by
research). Penulis bekerja sebagai peneliti sejak tahun 1986 hingga sekarang dan
menjabat sebagai Kepala Bidang Sarana Riset dan Standardisasi di Balai Besar
Industri Agro (BBIA) Kementerian Perindustrian, Bogor dari tahun 2009 hingga
sekarang.
Karya ilmiah dari hasil penelitian disertasi S3 berupa Jurnal internasional
telah dipublikasikan pada Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal
Volume 12, Nomor 1 (manuskrip 1566 April), Tahun 2010 dengan judul ” Comparison of Static-Mixer and Blade Agitator Reactor in Biodiesel Production ”
Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Karya ilmiah lain dari
hasil penelitian ini juga dipublikasikan pada Jurnal Riset Industri (JRI) Volume 4
Nomor 2 (Agustus) Tahun 2010 dengan judul “Energy Consumption Analysis in
Biodiesel Production Process from Palm Oil Olein by Utilizing Static-Mixer
Reactor”. Sebuah review berjudul “The Current Status Of Biodiesel Production
Technology: A Review, dipublikasikan pada Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 21 No.
4 (Desember) Tahun. 2007.
Karya ilmiah berjudul “Rekayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode
Static-mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati
Menjadi Biodiesel” dipresentasikan dan dipublikasikan pada Prosiding Seminar
Nasional Perteta, Yogyakarta 18 November 2008. Karya ilmiah tersebut juga
merupakan bagian dari hasil penelitian Disertasi S3 penulis.
Disertasi yang berjudul “Rekayasa Mekanisme Pengadukan Dengan Metode
Static Mixer Untuk Meningkatkan Efisiensi Proses Transesterifikasi Minyak Nabati
Menjadi Biodiesel” ini juga telah mendapat anugerah (award) yang dilombakan
dalam momen DISSERTATION SCHOLAR DISSERTATION AWARD, yang
disponsori FORD FOUNDATION dan dilaksanakan oleh The Indonesian
International Education Foundation (IIEF) pada bulan Mei 2010.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. iv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………......... v
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….... viii
DAFTAR SIMBOL …………………………………………………….... x
I. PENDAHULUAN …………………………………………..………. 1 1.1 Latar Belakang ………………………………………………...… 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….. 5 1.3 Kerangka Pemikiran ………………………………………..……. 6 1.4 Hipotesis …………………………………………………………. 8 1.5 Tujuan Penelitian ……………………………………………….... 8 1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………….......... 9 1.7 Ruang Lingkup dan Outline Disertasi …………………………… 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….………… 11 2.1 Biodiesel ……………………………………..….......................... 11 2.2 Proses Transesterifikasi …………………………………….…… 12 2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Transesterifikasi 13 2.2.2 Penggunaan Katalis……………………..…………………. 16 2.2.3 Kinetika Reaksi …………………………………………… 25 2.3 Static-mixer ……………………………………………….……... 30 2.3.1 Profil Turbulensi Fluida dalam Static-mixer ......................... 30 2.3.2 Jenis Static-mixer ……………………………………….. 31 2.3.3 Aplikasi Static-mixer …………………………………….. 33 2.4 Blade agitator …………………………………………………… 34
III. METODE PENELITIAN ………………………………………… 37 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian …………………………….…….. 37 3.2 Bahan …………………………………………….…………….... 37 3.3 Reaktor Static-mixer ……….……………………………………. 37 3.4 Kondisi Percobaan ……………………………………………………... 39 3.5 Prosedur Percobaan …………….………………………………. 41 3.5.1 Uji Performansi ………………………………………... 41 3.5.2 Analisis Parameter Uji ………………………...………. 42 3.5.3 Kinetika Reaksi .................................................................. 42 3.5.4 Analisis Kehilangan Panas …………………………...… 44 3.5.5 Analisis Energi …………………………………………... 44
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …….……………………………… 47 4.1 Karakteristik Teknik Reaktor ……….…………………………… 47 4.1.1 Uji Performansi………………..…………………………….. 47 4.1.2 Analisis Parameter Uji ……..…………………..……………. 51 4.2 Kinetika Reaksi …….…………………………………………… 56 4.2.1 Laju Reaksi ………………………………………………… 56 4.2.2 Perbandingan Reaksi menggunakan Static-mixer dan Blade
agitator………………………………………………………
61 4.2.3 Konstanta Laju Reaksi (k) ....................................................... 63 4.2.4 Energi Aktifasi (Ea) dan Frekuensi Tumbukan (A) ……….... 68 4.3 Analisis Energi …………….. …………………………………… 72 4.3.1 Analisis Kehilangan Panas ………..………………………… 72 4.3.2 Kebutuhan Energi untuk Proses Transesterifikasi ………..…. 78 4.3.3 Kebutuhan Energi untuk Pemanasan awal dan Purifikasi……… 79 4.3.4 Rasio Energi ………………………….……………………... 81
V. KESIMPULAN ……………….…………………………………….. 86 5.1 Kesimpulan ……...…………………………………………… 86 5.2 Saran ………………………………………………………..... 87
DAFTAR PUSTAKA ……………….………………………………….. 88
LAMPIRAN ………………………..…………………………………… 95
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data konsumsi BBM Indonesia tahun 2009 .................................... 2
2 Karakteristik katalis asam homogen ................................................ 22
3 Karakteristik katalis asam heterogen ............................................... 22
4 Perbandingan metode katalis lipase dan alkali dalam pengolahan biodiesel………………………………………………………………
24
5 Komparasi metode katalis dan non-katalis....................................... 24
6 Petunjuk penggunaan static mixer.................................................... 33
7 Hasil uji coba reaktor static-mixer.................................................... 50
8 Keseimbangan masa pengolahan biodiesel dengan static-mixer….. 50
9 Konstanta laju reaksi transesterifikasi dengan static-mixer dan blade
agitator ..................................................................................
65
10 Perbandingan energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) 70
11 Konsumsi energi untuk setiap tahap produksi biodiesel ……......... 79
12 Hasil perhitungan rasio energi (Er) ……………………….…........ 82
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bauran energi Indonesia tahun 2006 dan proyeksinya tahun 2025 1
2 Opsi proses transesterifikasi ………………………………..…… 4
3 Kerangka pemikiran penelitian ………………………………… 7
4 Reaksi alkoholisis trigliserida dengan metanol ............................ 12
5 Diagram proses transesterifikasi (untuk FFA minyak < 0,5 %) 19
6 Diagram proses Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk
FFA minyak > 0,5 %) ..................................................................
20
7 Mekanisme reaksi katalis asam .................................................... 21
8 Reaksi transesterifikasi TG dan MeOH ........................................ 25
9 Hubungan energi dan reaksi bahan kimia ………………………. 27
10 Jenis elemen dan housing dari static-mixer tipe helical ……….. 32
11 Profil zona reaksi reaktan A dan B dalam reaktor blade agitator 35
12 Profil zona reaksi reaktan, produk, serta reaktan yang tidak
bereaksi .........................................................................................
35
13 Diagram reaktor dan setting percobaan ...……………………….. 49
14 Diagram rancangan (a) elemen static-mixer , (b) balde agitator 41
15 Diagram posisi pengukuran kondisi proses ........................... 42
16 Diagram alir percobaan penelitian……………………………… 45
17 Sampel produk biodiesel selama proses transesterifikasi ….....… 47
18 Produk hasil pengendapan .......………………………...…...…… 48
19 Proses pencucian biodiesel ..…………………………………….. 48
20 Perbandingan biodiesel pada tahap transesterifikasi, pencucian,
dan pengeringan ……………………..……………......................
49
21 FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60
dan 70oC …………………………..…………….........................
52
22 Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada
suhu 50, 60 dan 70oC ………….………………………….........
53
v
23 Gliserol total FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada
suhu 50, 60 dan 70oC ...................................................................
54
24 Viskositas AME yang dihasilkan dengan static-mixer pada
suhu 50, 60 dan 70oC ...................................................................
55
25 Densitas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu
50, 60 dan 70oC ............................................................................
56
26 Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan
static-mixer .................................................................................
57
27 Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan
blade agitator ................................................................................
57
28 Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixerdan blade
agitator pada suhu 65o C ..............................................................
58
29 Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixerdan
blade agitator pada suhu 65o C ....................................................
58
30 Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade
agitator pada suhu 50o C .............................................................
60
31 Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade
agitator pada suhu 70o C ………….…………………………….
60
32 Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
65
33 Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 55o C
66
34 Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 60o C
66
35 Hubungan konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C
67
36 Hubungan Konsentrasi ME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C
67
37 Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) tahap awal
dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer ……..
68
vi
38 Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) tahap akhir
dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer………
69
39 Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) dengan
kebalikan suhu mutlak menggunakan blade agitator ……………
69
40 Posisi pengukuran suhu pada reaktor, static-mixer ...................... 72
41 Sebaran suhu pada tutup atas, uap keluar, heater,dan kran atas 73
42 Sebaran suhu pada pipa sirkulasi, dinding luar, static-mixer, dan
kran bawah ……………………………….……………………..
73
43 Sebaran suhu pada tutup bawah, dinding dalam, glas wool, dan
kran tengah ……………………………........................................
74
44 Sebaran suhu rata-rata pada reaktor…………………………… 76
45 Kehilangan panas pada reaktor ……………………………….. 77
46 Kebutuhan energi transesterifikasi yang dibutuhkan untuk static-
mixer dan blade agitator ………….……………………………..
79
47 Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor static-mixer 80
48 Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor blade
agitator ………………………………………………………….
81
49 Rasio energi produksi biodiesel dengan tanpa melibatkan energi
purifikasi …………………………………………………...……
82
50 Rasio energi produksi biodiesel dengan melibatkan energi
purifikasi …………………………………………….…………..
83
51 Reaktor static-mixer ……………………………………….……. 100
52 Tangki penampung (tangki pencucian) …………………………. 101
53 Rumahan (Casing) dan elemen static-mixer ......……………….. 102
54 Pompa static-mixer .....………………………………..………… 103
55 Pemanas (Heater) ……………………..……………………….. 103
56 Kondenser …………………………………….………………… 104
57 Kontrol panel static-mixer…………………………..……………
104
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambar piktorial reaktor static-mixer .............................................. 95
2 Gambar irisan reaktor static-mixer .................................................... 96
3 Tampak atas reaktor static-mixer ...................................................... 97
4 Spesifikasi Reaktor Static-Mixer ..................................................... 98
5 Rancangan Fungsional Reaktor Static-mixer ……………….………... 100
6 Perhitungan rancangan tangki reaktor static-mixer ……………..… 105
7 Perhitungan rancangan settling tank dan pencucian......................... 106
8 Perhitungan tenaga pompa …......................................................…. 107
9 Perhitungan tenaga pemanas (Heater)............................................... 110
10 Perhitungan rancangan kondensor..................................................... 112
11 Perhitungan komposisi bahan baku sesuai dengan rasio yang
ditetapkan dan keseimbangan massa biodiesel ...............................
115
12 kWh meter untuk pengukuran konsimsi energi.................................. 116
13 Pengujian Reaktor dan pengukuran proses transesterifikasi …........ 117
14 Standard Nasional Indonesia–SNI 04-718-2006 (biodiesel).............. 118
15 Data hasil pengukuran kandungan metil ester.................................... 119
16 Hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu ................……. 120
17 Data sebaran suhu alat 70°C.............................................................. 130
18 Data sebaran suhu reaktor static-mixer.............................................. 131
19 Perhitungan pindah panas pada dinding tangki utama....................... 132
20 Perhitungan kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar 133
21 Perhitungan kehilangan panas dari pipa ke udara luar …………...... 134
22 Perhitungan kehilangan panas melalui dinding static-mixer ............ 135
23 Perhitungan kehilangan panas melalui tutup atas ............................ 136
24 Perhitungan kehilangan panas melalui tutup bawah ……………… 137
25 Perhitungan Er suhu 50oC ……………………………………...… 138
26 Perhitungan Er suhu 55oC ………………………………………........... 139
viii
27 Perhitungan Er suhu 60oC ……………………………………............ 140
28 Perhitungan Er suhu 65oC ………………….....……………………… 141
29 Perhitungan Er suhu 70oC ……………………………….....……….. 142
30 Roadmap biodiesel Indonesia ........................................................... 143
31 Roadmap pemanfaatan biofuel Indonesia ........................................ 144
ix
DAFTAR SINGKATAN
A : Frekuensi tumbukkan atau faktor pre-eksponensial (tidak berdimensi)
As : Angka penyabunan (mg KOH/g biodiesel)
Aa : Angka asam (mg KOH/g biodiesel)
Ad luas / penampang dinding tangki reaktor (m2)
CN: : Bilangan setana (tidak berdimensi)
CP : Cloud Point atau titik kabut (oC)
CR : Residu karbon (% w/w),
Dd : Diameter dinding tangki reaktor (m)
DG : Digliserida
Ef : Rasio energi
Ea : Energi aktivasi (kj/mol)
f : Koefisien gesekan
FFA : Free fatty acyd atau kadar asam lemak bebas (% )
FP : Flash point atau titik nyala (oC)
g : percepatan gravitasi (m/det2)
GL : Gliserol
Gb : Gliserol bebas (% massa)
Gttl : Gliserol total (% massa)
hp : Tenaga motor (Watt)
h : koefisien pindah panas konveksi (W/m2°K),
hf : Kehilangan tekanan akibat gesekan (m)
hb : Kehilangan tekanan akibat belokan (m)
hl : Kehilangan tekanan akibat kran (m)
hsm : Kehilangan tekanan akibat static-mixer (m)
ht : Kehilangan total (m)
k : Konstanta laju reaksi transesterifikasi keseluruhan (menit -1)
k1 : Konstanta laju reaksi transesterifikasi tahap awal (menit -1)
k2 : Konstanta laju reaksi transesterifikasi tahap akhir (menit -1)
kn : Konstanta laju reaksi konversi TG, DG dan MG (menit -1)
x
kr : Konstanta laju reaksi konversi TG menjadi ME (menit -1)
kl : Konstanta laju reaksi konversi Me menjadi TG (menit -1)
k’ : Pseudo konstanta laju reaksi transesterifikasi (menit -1)
Kt : Parameter pressure drop aliran turbulen
MeOH : Metanol
ME : Kandungan metil ester (% w/w)
MG : Monogliserida
NNu : bilangan Nusselt (tidak berdimensi)
n : Jumlah elemen static-mixer
n : Jumlah mol
PP : Pour point atau titik tuang (oC)
NGr : bilangan Grashoff (tidak berdimensi)
Npr : bilangan Prandtl (tidak berdimensi)
p : Panjang pipa (m)
Q : Laju volumetrik (m3/menit)
qn : kehilangan panas (kJ),
R : Tetapan gas (8,31 jK-1mol-1)
Rn : Asam lemak, n :1,2,3....dst
RBDPO : Refined bleached deodorized palm olein
Re : Bilangan Reynolds (tidak berdimensi)
T : Suhu biodiesel (oC)
TG : Trigliserida
[ TG ] : Kadar trigliserida (%,w/w)
t : Waktu (jam)
td : temperatur dinding luar (°K)
tu : suhu udara luar (°K)
μ ME : unmethyl esterfied compounds
[μ ME] : Kadar unmethyl esterfied compounds (% w/w)
w : Lebar elemen
v : kecepatan alir (m/det)
∆LTMD : Perbedaan suhu logaritmik (°C)
xi
DAFTAR SIMBOL
ß : koefisien muai volume (1/K)
ρ : Densitas (kg/L)
μ : Viskositas kinematik (cSt)
μd : Viskositas dinamik (Pa.s)
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Bahan bakar minyak berbasis fosil seperti solar, premium (bensin), premix
dan minyak tanah sangat memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan
energi nasional antara lain untuk transportasi, industri, mesin pertanian, dan
keperluan rumah tangga. Dilihat dari kebutuhan energi nasional, sekitar lima
puluh persen bahan bakar tersebut dipasok dari bahan bakar yang berasal dari
minyak bumi, sedangkan sebagian lagi dipenuhi dari sumber energi lain seperti
batu bara, gas bumi, panas bumi dan tenaga air. Sumber energi terbarukan
(renewable energy) seperti biomassa sejauh ini belum banyak dimanfaatkan
sehingga menyebabkan bauran energi (energy mix) dirasakan masih timpang.
Bauran energi di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan energi nasional
adalah: minyak bumi 52 %, gas bumi 29 %, batu bara 15 %, PLTA 3 %, panas
bumi 1 % dan energi terbarukan 0,2 %. Ketimpangan ini dimungkinkan karena
penguasaan teknologi yang belum maksimal dan sistem pengelolaan energi yang
kurang baik (Komara, 2007). Pada tahun 2025 direncanakan target bauran energi
berubah dengan penurunan penggunaan minyak bumi dan peningkatan
penggunaan sumber energi gas, batu bara, dan energi baru terbarukan seperti
terlihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Bauran energi Indonesia tahun 2006 dan proyeksinya
tahun 2025 (Perpres No. 5 Tahun 2006)
Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)
2
Kebutuhan energi bersifat primer dan selalu beriringan dengan
pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan industri dan produksi kendaraan
transportasi yang terus meningkat mengakibatkan kenaikan permintaan bahan
bakar dari minyak bumi. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang
terus dipacu dan membaik, bisa dipastikan konsumsi energi juga akan meningkat.
Data terakhir konsumsi BBM (bensin, solar, dan minyak tanah) pada tahun 2009
disajikan dalam Tabel 1. Dalam tabel tersebut disajikan data konsumsi bahan
bakar menurut sektor (industri, rumah tangga, dan transportasi) dan terlihat bahwa
jenis BBM solar merupakan jumlah terbanyak dikonsumsi dengan jumlah 122,25
kL, sedangkan dilihat dari sektor maka sektor transportasi mengkonsumsi BBM
kedua terbanyak yaitu 35,05 % setelah sektor industri.
Tabel 1. Data Konsumsi BBM Indonesia Tahun 2008
Konsumsi Menurut Jenis (Juta kL) Jenis BBM bersubsidi Bensin Solar Minyak tanah JumlahJumlah 114,79 122,25 46,83 283,87
Konsumsi Menurut Sektor (%) Sektor Industri Transportasi Rumah
tanggakomersial Lain-lain Jumlah
Jumlah 39,84 35,05 15,50 5,06 4,55 100
Sumber : Pusdatin KESDM (2009).
Sebagian dari kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi oleh minyak impor
dan saat ini impor BBM mencapai 30 persen dari kebutuhan dalam negeri (Ariati,
2007). Angka tersebut relatif tinggi karena Indonesia merupakan negara penghasil
minyak mentah. Di sisi lain laju peningkatan konsumsi bahan bakar minyak di
dalam negeri yang semakin tinggi menyebabkan jumlah impor bahan bakar
minyak (BBM) pada tahun 2010 diperkirakan akan meningkat 40 persen dari
kebutuhan dalam negeri. Oleh sebab itu, ketergantungan impor Indonesia terhadap
komoditas BBM dan minyak mentah akan terus meningkat. Di sisi lain cadangan
minyak bumi Indonesia terbatas.
Untuk mengurangi jumlah penggunaan BBM, pemerintah telah
mengeluarkan peraturan antara lain INPRES No.1 tahun 2006 tentang penyediaan
dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain, dan
3
PERPRES No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yang menjelaskan
target pemerintah di bidang konversi energi melalui pemanfaatan sumber energi
alternatif. Biodiesel berpotensi menggantikan solar dan bisa menjadi solusi
permasalahan bahan bakar minyak (BBM) di masa mendatang.
Informasi yang menyatakan FAME (biodiesel) dengan stabilitas oksidasi
dan termal yang lebih rendah dibanding petroleum diesel telah mendorong
beberapa fihak untuk melakukan hydrogenated vegetable oil (HVO) agar stabilitas
oksidasi dan oksidasi termal lebih baik dari peroleum diesel. dengan
pertimbangan bila tidak dilakukan akan membuat FAME (biodiesel) akan tidak
kompetitif dengan HVO. Sebenarnya reaksi oksidasi ini terjadi karena pengaruh
oksigen atmosfir dalam biodiesel (autoxidation). Proses ini berlangsung selama
transportasi dan penyimpanan biodiesel dan dalam tangki bahan bakar di
kendaraan.
Biodiesel termasuk golongan alkil ester dengan nama kimia alkil ester
mempunyai kemiripan sifat dengan solar. Biodiesel merupakan salah satu jenis
bahan bakar pengganti solar yang yang berasal dari minyak nabati yang bahan
bakunya bisa diperbaharui dengan cara budidaya. Beberapa sumber minyak
nabati yang bisa digunakan sebagai sumber bahan biodiesel adalah biji sawit, biji
jarak, biji nyamplung, kelapa, kedelai dan lainnya. Penggunaan biodiesel sebagai
bahan bakar untuk mesin diesel mempunyai beberapa keuntungan antara lain bisa
mengurangi ketergantungan terhadap pasar minyak dunia, menjadikan substitusi
bahan bakar solar (biosolar) dan bisa mengurangi emisi gas buang kendaraan
(Wirawan, et al., 2008; Carraretto, et. al., 2004). Biodiesel merupakan metil ester
(fatty acid methyl ester) yang diproses dengan cara transesterifikasi antara
trigliserida yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewan dengan alkohol
rantai pendek terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin
diesel (Mettelbach dan Remschmidt, 2004; Knothe, 2005).
Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar substitusi solar harus diikuti
dengan pengembangan teknologi proses yang efisien dan ekonomis. Hal ini
sejalan dengan road map biodiesel yang mengharuskan menerapkan teknologi
4
yang lebih maju sejalan dengan waktu (Ariyati, 2007). Proses transesterifikasi
tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan katalis atau tanpa katalis. Katalis
yang digunakan dalam proses transesterifikasi (catalytic transesterification) bisa
terdiri dari katalis asam, basa, dan biokatalis (enzim), sedangkan untuk untuk
proses transesterifikasi tanpa katalis (non-catalytic transesterification) bisa
diproses pada tekanan atmosfir dan kondisi tekanan tinggi (supercritical). Secara
skematis metode-metode transesterifikasi dapat dilihat dalam Gambar 2.
Sejauh ini teknik produksi biodiesel komersil umumnya dilakukan dengan
proses transesterifikasi menggunakan katalis basa. Salah satu masalah yang
dihadapi dalam menghasilkan biodiesel dengan metode ini adalah laju reaksi atau
efektifitas proses transesterifikasi yang masih relatif lambat sehingga berimplikasi
terhadap jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses relatif besar (Carraretto et
al., 2004; Mootabadi et al., 2008; Ajav dan Akingbehin, 2002). Untuk lebih
mendapatkan proses yang lebih efisien dari proses katalis basa ini, maka perlu
dikembangkan suatu rekayasa proses yang lebih efisien diilihat dari pemakaian
energi, laju reaksi, waktu reaksi.
Masalah dalam proses transesterifikasi katalis basa tersebut adalah sukar
bercampurnya trigliserida dan metanol. Dengan mekanisme pencampuran biasa
menggunakan blade agitator, frekuensi tumbukan kurang optimal bila dilakukan
Gambar 2. Opsi proses transesterifikasi (Joeliangsih, 2008; Mettelbach dan Remschmidt, 2004)
5
pada putaran (rpm) yang rendah. Bahan-bahan tersebut bisa bereaksi atau proses
reaksi bisa mengarah ke kanan bila diterapkan mekanisme pengadukan yang amat
kuat (vigorous stirring) dan suhu yang relatif tinggi (Darnoko dan Cheryan,
2000a). Dengan kata lain dibutuhkan putaran (rpm) yang amat tinggi, di mana
sebagai konsekuensinya memerlukan daya (horse power / hp) yang cukup besar.
Untuk memperbaiki rekayasa proses ini maka perlu dikembangkan suatu
proses pengolahan biodiesel dengan katalis basa yang mempunyai sistem
pengadukan (stirring) yang lebih intensif sehingga laju reaksi lebih tinggi dari
yang sudah dicapai, konstanta reaksi (k) lebih tinggi, dan energi aktivasi (Ea)
yang lebih rendah. Untuk pengembangan rekayasa proses ini diperlukan suatu
pendekatan rancangan peralatan yang baru. Salah satu pendekatannya adalah
pemanfatan sistem pengadukan static-mixer pada reaktor biodiesel.
Rasio energi (perbandingan energi output – input) di dalam suatu proses
pengolahan biodiesel dapat dijadikan suatu ukuran nilai efisiensi ekonomis dan
teknis selama proses berlangsung sehingga dapat dijadikan cara untuk
menentukan metode yang terbaik dalam pengolahan biodiesel (Costa, 2006;
Mootabadi, et al., 2008; Spath dan Mann, 2000 ). Semakin tinggi nilai rasio energi
maka akan semakin efisien energi yang digunakan untuk poduksi biodiesel.
Penelitian yang membahas analisis rasio energi dari pengolahan biodiesel masih
belum banyak dilakukan. Sejauh ini penelitian rasio energi biodesel dilakukan
dengan menggunakan reaktor konvensional (blade agitator). Dalam penelitian ini
akan dilakukan proses transesterifikasi dengan menggunakan reaktor static-mixer
di samping itu juga dihitung energi input untuk pemanasan awal minyak dan
purifikasi (pencucian dan pengeringan).
1.2 Rumusan Masalah
Sistematika perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodisel dengan katalis basa masih
menghasilkan laju reaksi yang rendah sehingga waktu reaksi transesterifikasi
relatif masih lama (1-2 jam pada kondisi reaksi T 65 oC dan tekanan atmosfir).
6
Metode pengadukan yang banyak diterapkan masih menggunakan metode
pengadukan (mixing) konvensional dalam proses produksi biodisel (blade
agitator); akibatnya bila pengadukan kurang kuat mengakibatkan efektifitas reaksi
(frekuensi) tumbukan berkurang serta menghasilkan nilai konstanta reaksi (k)
yang relatif kecil,
Konversi biodiesel (metil ester) dari minyak nabati (triglserida) dengan
katalis basa dipengaruhi pengadukan (vigorous stiring), semakin tinggi rpm
produksi semakin tinggi produksi/laju pembentukan metil ester. Pengadukan
yang efektif diperkirakan dapat meningkatkan reaksi tumbukan, laju reaksi, dan
meningkatkan konstanta reaksi pada proses produksi biodiesel.
1.3 Kerangka Pemikiran
Waktu reaksi yang relatif lama dan konsumsi energi yang tinggi
merupakan kendala dalam pengolahan biodiesel dari minyak nabati dengan
metode katalitik basa. Lamanya reaksi disebabkan laju reaksi pembentukan metil
ester (biodiesel) masih lambat. Lambatnya pembentukan metil ester ini erat
kaitannya dengan mekanisme pengadukan yang selama ini digunakan. Umumnya
pengolahan biodiesel menggunakan reaktor yang dilengkapi dengan blade
agitator untuk melangsungkan reaksi transesterifikasi. Persoalan dengan sistem
pengadukan bahan seperti ini adalah dua fase bahan dalam reaksi sulit bercampur.
Bila putaran blade agitator tidak tinggi akan memberikan efek pencampuran
yang tidak maksimal (laju reaksi yang lambat), sehingga sulit untuk mendapatkan
waktu reaksi yang singkat.
Untuk memecahkan masalah ini diperlukan suatu rekayasa proses dengan
suatu mekanisme sehingga proses dapat dilangsungkan dengan waktu yang relatif
singkat dan jumlah energi yang lebih kecil. Salah satu metode yang bisa
diterapkan adalah dengan penerapan sistem pengadukan statis (static-mixer).
Mekanisme pengadukan dengan static-mixer adalah suatu sistem pengadukan
yang menggabungkan mekanisme pencampuran bahan dengan cara dividing
(membagi), rotating (memutar), channeling (menghubungkan), diverting
(membelokan), dan recombining (menggabung kembali) aliran atau bahan yang
dicampur. Secara skematis skema kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 3.
7
Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian
8
Sejauh ini penelitian pengolahan biodiesel dengan menggunakan static-
mixer masih terbatas. Thompson (2007) melakukan penelitian pengolahan
biodiesel (canola metil ester) dari minyak canola menggunakan static-mixer skala
30 ml dengan melihat pengaruh berbagai konsentrasi katalis. Reaktor static-mixer
merupakan reaktor skala laboratorium dengan lebar elemen 4,9 mm dan panjang
300 mm. Hasil penelitian menunjukkan waktu pengolahan metil ester yang
terbaik (total gliserol terendah) dicapai pada suhu 60 oC, konsentrasi katalis 1,5 %
dengan waktu proses 30 menit.
Untuk memperbaiki rekayasa proses ini diperlukan suatu rancangan
peralatan yang baru yaitu reaktor static mixer yang mampu memberikan konstanta
reaksi yang lebih tinggi dan memberikan efisiensi energi (rasio energi output-
input) yang tinggi.
1.4 Hipotesis
Tiga hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Konstanta laju reaksi (k) dan frekuensi tumbukan (A) dapat meningkat
dengan sistem pengadukan static-mixer
2. Waktu reaksi pembentukan biodiesel (fatty acid methyl ester atau FAME)
dengan static-mixer akan lebih singkat dibandingkan waktu reaksi
menggunakan blade agitator 3. Konsumsi energi dapat berkurang dengan penerapan static-mixer dalam
reaktor pengolahan biodiesel
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji reaksi pengolahan biodiesel dari
minyak sawit dengan reaktor static-mixer sehingga diperoleh waktu
transesterifikasi lebih singkat dan kebutuhan energi pengolahan relatif lebih kecil
dibandingkan reaktor blade agitator. Secara spesifik tujuan penelitian adalah
untuk:
1. Menentukan kinetika reaksi transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi
k, energi aktivasi Ea, dan frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor
9
static-mixer pada beberapa tingkat suhu yaitu 50, 55, 60, 65, dan 70oC pada
tingkat suhu yang sama pada tekanan atmosfir. Sebagai pembanding proses
transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator dilakukan.
2. Mengkaji kebutuhan energi transesterifikasi, kebutuhan energi pemanasan
awal dan purifikasi (pencucian dan pengeringan) dan rasio energi biodiesel
dari minyak curah sawit (refined bleached deodorized palm olein RBDPO).
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk 1)
memberikan informasi karakteristik transesterifikasi biodiesel dengan reaktor
static-mixer, 2) memberikan informasi rancangan sebagai bahan scale up reaktor,
dan 3) memberikan alternatif rancangan pengolahan biodiesel dengan waktu yang
lebih singkat dan energi pengolahan biodiesel lebih kecil.
1.7 Ruang Lingkup dan Outline Disertasi
Penelitian ini mengkaji pembuatan biodiesel dengan menggunakan sistem
pengadukan static-mixer. Dalam proses pembuatan biodiesel tersebut digunakan
bahan baku (feedstock) trigliserida (TG) dari minyak goreng sawit (RBDPO),
methanol (MeOH) dengan bantuan katalis KOH. Percobaan dilakukan dengan
mengunakan reaktor static-mixer dengan mereaksikan reaktan (TG, MeOH, dan
katalis sebanyak 16,5 liter (kapasitas maksimum reaktor 23 liter). Secara garis
besar pembuatan biodiesel terdiri dari tahap proses pemanasan awal minyak,
proses transesterifikasi, dan proses purifikasi (pencucian dan pengeringan). Untuk
memvalidasi hasil proses transesterifikasi dengan static-mixer maka dilakukan
juga percobaan yang sama dengan menggunakan reaktor blade agitator. Secara
garis besar pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari 3 pembahasan, yaitu:
Pertama, pembahasan mengenai uji performansi (keseimbangan massa)
dan analisis pindah panas reaktor static-mixer. Analisis pindah panas yang diamati
dalam reaktor pada bagian pipa, dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, dan static-
mixer.
10
Kedua, pembahasan mengenai kajian tentang menentukan kinetika reaksi
transesterifikasi (laju reaksi, konstanta laju reaksi k, energi aktivasi Ea, dan
frekuensi tumbukan A) menggunakan reaktor static-mixer pada beberapa tingkat
suhu yaitu 50, 55, 60, 65, and 70oC pada tekanan atmosfir. Hasilnya
dibandingkan dengan hasil yang dicoba dengan menggunakan reaktor blade
agitator pada kondisi percobaan yang sama.
Ketiga, pembahasan mengenai analisis kebutuhan energi pemanasan awal,
energi transesterifikasi, dan energi untuk purifikasi (pencucian dan pengeringan)
dan rasio energi biodiesel dari minyak curah sawit RBDPO. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan reaktor static-mixer yang dioperasikan pada suhu 50, 55, 60,
65, and 70oC. Percobaan dengan kondisi yang sama juga dilakukan dengan reaktor
blade agitator untuk memvalidasi efisiensi energi.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel
Biodiesel merupakan sejenis bahan bakar diesel yang diproses dari bahan
hayati terutama minyak nabati dan lemak hewan dan secara kimiawi dinyatakan
sebagai monoalkil ester dari asam lemak rantai panjang yang bersumber dari
golongan lipida (Darnoko, et al., 2001; Tapasvi, et al., 2005; Ma dan Hanna,
1999). Biodiesel didefinisikan sebagai monoalkil ester rantai panjang dari asam
lemak yang diderivasi dari bahan yang dapat diperbaharui (renewable feedstocks),
seperti minyak nabati dan lemak hewan, untuk penggunaan penyundutan
kompresi (compression-ignition) dari mesin diesel (Krawczyk, 1996). Biodiesel
dianggap sebagai bahan bakar pengganti (alternatif) dari bahan bakar
konvensional diesel solar yang tersusun dari metil ester asam lemak (FAME).
Terminologi biodiesel berasal dari persetujuan Department of Energy
(DOE), The Environmental Protection Agency (EPA) dan The American Society of
Testing Materials (ASTM) sebagai salah satu energi alternatif untuk mesin diesel
(ASTM, 2002; DOE, 2009; EPA 2009 ). Istilah bio merujuk kepada bahan
terbarukan dan bahan hayati yang berbeda dari solar yang berbahan baku minyak
bumi. Dalam kenyataannya, biodiesel bisa digunakan murni (100 % metil ester)
atau sebagai campuran dengan perbandingan tertentu dengan bahan bakar solar.
Dalam istilah perdagangan campuran biodiesel dengan solar dinamakan dengan
notasi BXX. Misalnya bila campuran biosolar mengandung 5 % atau 10 % solar
maka notasi masing-masing biosolar dinyatakan sebagai B5 dan B10.
Biodiesel merupakan monoalkil ester (misal: fatty acid methyl
ester/FAME) yang diproses dengan metode transesterifikasi antara trigliserida
yang berasal dari minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek
terutama metanol untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel (Krawczyk,
1996; Mittelbach, and Reshmidt, 2004; Knothe, 2005). Sehubungan dengan
proses transesterifikasi ini proses pengolahan banyak diteliti dan dikembangkan
untuk mendapatkan proses yang lebih efisien.
12
2.2 Proses Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi memegang peranan penting dalam pengolahan
biodiesel dari minyak nabati (trigliserida atau TG). Reaksi transesterifikasi disebut
juga reaksi alkoholisis dan proses ini sering dikaitkan dengan proses untuk
mengurangi viskositas trigliserida (TG) (Otera, 1993). Reaksi transesterifikasi
secara umum dinyatakan sebagi berikut (persamaan 1):
Bila methanol (MeOH) digunakan dalam reaksi di atas maka reaksinya
disebut metanolisis dan reaksinya bisa dilihat seperti pada Gambar 4. Untuk
menjadikan biodiesel, minyak nabati diproses secara kimia dengan cara
transesterifikasi dengan keberadaan alkohol (metanol atau etanol) dan katalis
(basa atau asam) untuk menghasilkan alkil ester (biodiesel) dan gliserol sebagai
hasil samping.
H2C O C
O
R1
HC O C
O
R2
H2C O C
O
R3
3CH3OH
MeOH
H3C O C
O
R1
H3C O C
O
R2
H3C O C
O
R3
H2C OH
HC OH
H2C OH
TG FAME GL
............ [2]
Gambar 4. Reaksi alkoholisis TG dengan MeOH reaksi keseluruhan pers. [2];
tiga reaksi berurutan dan reversibel pers. [3] (R1,2,3 = asam lemak)
Trigliserida (TG) sebagai komponen utama dari minyak nabati bila
direaksikan dengan dengan alkohol (misal methanol), maka ketiga rantai asam
lemak akan dibebaskan dari skeleton gliserol dan bergabung dengan methanol
untuk menghasilkan asam lemak alkil ester (misal asam lemak metil ester atau
TG + CH3OH DG + CH3COOR1 DG + CH3OH MG + CH3COOR2 ……......[3] MG + CH3OH GL + CH3COOR3.
RCOOR1 + R2OH RCOOR2 + R1OH ………………….…..…..[1] Ester Alkohol Ester Alkohol
13
FAME). Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi tiga tahap dan reaksi balik
(reversible) yang membentuk tiga molar FAME dan satu molar gliserol (GL) dari
satu molar trigliserida (TG) dan tiga molar methanol. Digliserida (DG) dan
monogliserida (MG) merupakan hasil reaksi antara (intermediate). Terdapat dua
jenis proses transesterifikasi yaitu transesterifikasi dengan katalis dan
transesterifikasi tanpa katalis. Katalis diharapkan dapat mempengaruhi laju reaksi
dalam memproduksi biodiesel secara katalitik pada skala komersial.
2.2.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Transesterifikasi
Transesterifikasi minyak nabati menjadi biodesel merupakan suatu proses
bertahap dan reversible. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa parameter antara
lain: 1) Homogenisasi reaksi (keseragaman pencampuran), 2) molar rasio antara
methanol and minyak nabati, 3) suhu reaksi, 4) tekanan dalam reaksi, 5) waktu
reaksi, dan 6) jenis katalis (Mettelbach dan Reshmidt, 2004).
2.2.1.1 Homogenisasi Reaksi (Pencampuran)
Homogenisasi campuran dalam reaksi merupakan salah satu parameter
penting yang mempengaruhi efektifitas reaksi karena dari kondisi ini maka reaksi
tumbukan akan terjadi yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju reaksi,
konstanta reaksi, energi aktivasi dan lama reaksi. Transesterifikasi tidak akan
berlangsung baik bila campuran bahan tidak dihomogenisasi terutama selama
tahap awal proses. Pengadukan yang kuat (vigorous stirring) merupakan salah
satu metode homogenisasi yang cukup berhasil untuk proses yang dilakukan
secara batch dan kontinyu (darnoko dan Cheryan, 2000)..
2.2.1.2 Rasio Molar
Rasio molar antara methanol dan minyak nabati tergantung dari jenis
katalis yang digunakan. Untuk menjamin reaksi transesterifikasi berlangsung ke
arah kanan maka direkomendasikan menggunakan katalis berlebih. Menurut
Freedman et al.,(1986), perbandingan rasio molar 6 : 1 dari methanol terhadap
katalis basa bisa digunakan untuk mendapat rendemen ester yang maksimum.
Rasio molar yang digunakan biasanya tidak melebihi perbandingan ini, dan bila
14
jumlah alkohol terlalu berlebih maka akan berakibat menganggu pemisahan
gliserol (Srivasta dan Prasad, 2000). Rasio molar untuk proses transesterifikasi
dengan katalis asam perbandingannya direkomendasikan bisa mencapai 30 : 1
(Mittelbach dan Reshmidt, 2004).
2.2.1.3 Suhu Reaksi
Transesterifikasi dapat dilakukan pada berbagai tingkatan suhu tergantung
dari jenis minyak nabati yang digunakan. Dalam proses metanolisis kastor oil
menjadi metil risinoleat, reaksi akan berlangsung memuaskan bila dioperasikan
pada suhu 20 – 35oC dengan rasio molar 6 :1 and 12 : 1 menggunakan NaOH
sebagai katalis (Fredman et al., 1984). Untuk transesterifikasi minyak kedelai
dengan metanol molar ratio yang digunakan adalah 6 : 1 dengan 1 % NaOH,
untuk berbagai suhu transesterifikasi (Fredman et al., 1986). Setelah satu jam
proses ester yang terbentuk adalah 94,87 % dan 64 % untuk suhu 45 dan 32 oC.
Suhu reaksi mempengaruhi laju reaksi dan ester yang terbentuk. Yamazaki et al.,
(2007) menjelaskan flowrate produksi FAME meningkat dari 0,1 g/menit mulai
pada suhu 250 oC menjadi 1,0 g/menit pada suhu 330 oC.
2.2.1.4 Waktu Reaksi
Laju produksi metil ester sangat dipengaruhi oleh waktu reaksi
transesterifikasi. Fredman et al. (1984) melaporkan bahwa transesterifikasi
minyak kacang, cotton seed, minyak bunga matahari, dan kedelai dengan rasio
molar metanol terhadap minyak 6 : 1 dengan katalis sodium methoxide pada suhu
60oC. Hasil pengamatan menunjukkan setelah 1 menit diperoleh hasil metil ester
80 % dan mencapai maksimum setelah waktu reaksi 1 jam dengan hasil metil
ester 93 -98 % (Fredman et al., 1986). Ma dan Hanna (1999) juga melaporkan
bahwa pengaruh waktu reaksi dalam proses transesterifikasi lemak hewan dengan
hasil metil ester 1 – 38 %. Laju produksi metil ester mencapai maksimum setelah
waktu berjalan 15 menit (Fredman et al., 1984). Yuswono et al. (2008)
mengolah minyak minyak CPO dengan rasio molar metanol terhadap minyak 6 :
1 (katalis NaOH) dengan hasil metil ester 97 – 99 % dalam waktu 1 jam dengan
15
penghitungan waktu reaksi dimulai saat suhu bahan secara keseluruhan telah
mencapai 70 oC
2.2.1.5 Tekanan Reaksi
Metil ester dapat direaksikan dalam kondisi tekanan rendah dan tinggi.
Secara komersil produksi biodiesel dari minyak nabati dilangsungkan pada
tekanan rendah guna mengurangi biaya pengolahan dan keamanan dan umumnya
dilakukan pada tekanan atmosfir. Proses produksi biodiesel dengan tekanan
tinggi dapat dilangsungkan di atas tekanan 100 bar pada suhu 250 oC dengan
kelipatan 7 hingga 8 molar ekses dalam keberadaan katalis basa (Gerpen dan
Knothe, 2005). Tekanan reaksi yang tinggi ini juga bisa dilakukan pada
transesterifikasi tanpa katalis yang dilakukan pada tekanan 8,09 MPa dan suhu
optimal 350 oC (Kusdiana dan Saka, 2000). Keuntungan penggunaan tekanan
tinggi dalam proses transesterifikasi adalah bahan baku yang mengandung lebih
20 % FFA dapat diolah tanpa perlakuan pendahuluan serta dapat menghasilkan
gliserol kandungan tinggi dapat dihasilkan sebagai hasil samping (Kusdiana dan
Saka, 2000 Kusdiana dan Saka, 2000). Pendekatan yang diusulkan Mittelbach
dan Junek (1986) yaitu penggunaan tekanan rendah merupakan rekomendasi yang
sudah banyak diterapkan dan berhasil dilakukan dalam mengolah biodiesel.
2.2.1.6 Jenis Katalis
Untuk mencapai hasil atau rendemen yang maksimum, transesterifikasi
biasanya dilangsungkan dengan keberadaan katalis baik katalis basa (alkali)
ataupun asam. Katalis basa yang sering digunakan adalah NaOH dan KOH.
Katalis NaOH sering digunakan karena lebih reaktif dan murah. Katalis dari
kompon logam, silikat, dan enzim atau biokatalis seperti enzim lipase bisa juga
digunakan dalam sintesis biodiesel. Jumlah optimum alkali basa yang baik
digunakan berkisar anatar 0,5-1,0 % dari berat minyak nabati (Fredman et al.,
1984). Katalis asam bisa juga digunakan untuk proses produksi biodiesel.
Transesterifikasi dengan katalis asam lebih lambat dari katalis basa. Katalis asam
cocok untuk proses trigliserida dengan kandungan asam lemak dan kandungan air
16
yang tinggi (Aksoy et al., 1988). Contoh katalis asam yang sering digunakan
adalah H2SO4 (disajikan lebih lanjut dalam sub Bab 2.2.2).
2.2.2 Penggunaan Katalis
Katalis dalam proses produksi biofuel (misal esterifikasi atau
transesterifikasi) merupakan suatu bahan (misal basa, asam atau enzim) yang
berfungsi untuk mempercepat reaksi dengan jalan menurunkan energi aktivasi
(actifation energy, Ea) dan tidak mengubah kesetimbangan reaksi, serta bersifat
sangat spesifik. Sebenarnya proses produksi bisa berlangsung tanpa katalis akan
tetapi reaksi akan berlangsung sangat lambat, membutuhkan suhu yang tinggi dan
tekanan yang tinggi pula. Umumnya untuk mencapai hasil (yields) ester yang
memuaskan dalam kondisi reaksi yang sedang, produksi biodiesel dilakukan
dengan keberadaan katalis yang meliputi katalis basa (alkali), asam termasuk
katalis bahan transisi logam, dan katalis enzim.
Menurut perbedaan fase dengan reaktan, katalis dapat dibagi menjadi
katalis homogen yang memiliki fase yang sama dengan reaktannya dan katalis
heterogen yang berbeda fase dengan reaktannya (contohnya, katalis padat pada
campuran reaktan cair). Katalis heterogen menyediakan permukaan luas untuk
tempat reaksi kimia terjadi. Agar reaksi terjadi, satu atau lebih reaktan harus
tersebar pada permukaan katalis dan teradsorb ke dalamnya. Setelah reaksi
selesai, produk menjauh dari permukaan katalis padat. Seringkali, perpindahan
reaktan dan produk dari satu fase ke fase lainnya ini berperan dalam menurunkan
energi aktivasi (Mittelbach dan Remschmidt, 2004).
2.2.2.1 Katalis Basa
Kelebihan (keuntungan) penggunaan katalis basa adalah kondisi operasi
dapat dilakukan dalam kondisi reaksi sedang (mild) seperti tekanan dan suhu
rendah (1 atm, suhu 60-65oC ), molar rasio yang rendah (1 % dari jumlah minyak
nabati), memberikan waktu reaksi yang relatif cepat (sekitar 1 jam), dan
memberikan efek korosi yang rendah terhadap peralatan pengolahan (bisa
digunakan jenis bahan logam berkarbon / carbon steel reaktor). Kelemahan
17
penggunaan katalis basa adalah memerlukan pengadukan yang cukup kuat
sehingga merata untuk memperoleh hasil yang maksimal. Di samping itu dalam
proses purifikasi biodiesel dari katalis dan bahan lainnya memerlukan waktu yang
cukup lama seperti dalam proses decanting, netralisasi, washing, dan drying.
(Friedman et al., 1984; Friedman et al., 1986; Noureddini and Zhu, 1997;
Darnoko dan Cheryan, 2000).
Saat ini hampir seluruh reaksi pengolahan biodiesel skala komersial
menggunakan katalis basa homogen. Katalis yang bersifat basa lebih umum
digunakan pada reaksi transesterifikasi karena menghasilkan metil ester yang
tinggi dan waktu yang cepat. Konsentrasi katalis yang umum digunakan adalah
0.5-4% dari berat minyak (Mittelbach dan Reschmidt, 2004; Zhang et al., 2003,).
Namun pemakaian katalis basa hanya berlangsung sempurna bila minyak dalam
kondisi netral dan tanpa keberadaan air. Secara garis besar reaksi yang
berlangsung disajikan dalam persamaan [4] dan reaksi pembentukan sabun
disajikan dalam persamaan [5].
Katalis homogen selama ini telah digunakan secara luas pada produksi
biodiesel, karena harganya yang murah. Walaupun begitu, untuk aplikasi industri
katalis heterogen yang berwujud padat menawarkan keuntungan dibandingkan
katalis homogen, yaitu mudahnya pemisahan katalis dari produk dengan cara
penyaringan dan tidak perlu proses netralisasi untuk menghilangkan sisa katalis.
Beberapa katalis heterogen pada proses pembuatan biodiesel menggambarkan
bahwa katalis yang mengandung campuran unsur Ca dan Mg, serta katalis yang
mengandung K menghasilkan rendemen metil ester yang tinggi.
Katalis bersifat basa yang umum digunakan adalah basa Brönsted
sederhana seperti NaOH dan KOH. Freedman et al. (1984) membandingkan
penggunaan katalis basa NaOH dan NaOCH3 pada saat memproduksi biodiesel
RONa RO- + Na+ Na + ROH RO- + Na+ + ½ H2 (g) NaOH + ROH RO- + Na+ + H2O
R1COOR2 + NaOH R1COONa + R2OH ……………............[5]
...….............[4]
18
dari minyak kedelai. Hasil penelitian mereka adalah bahwa jumlah katalis optimal
adalah 1% NaOH atau 0,5% NaOCH3.
Noureddini dan Zhu (1997) menghasilkan rendemen metil ester 80%
dari minyak kedelai pada rasio molar metanol-asam lemak 6:1, suhu 60°C, laju
pengadukan 300 rpm selama dua jam, dan katalis NaOH 2-4%. Freedman et al.
(1984) menyebutkan metil ester dari minyak jelantah dengan kondisi terbaik pada
rasio molar metanol terhadap minyak 6:1, katalis KOH 1% dan suhu 65°C.
Secara komersial biodiesel banyak diproduksi dengan transesterifikasi alkali
(basa) di bawah tekanan atmosfir, diproses secara batch, dioperasikan pada suhu
60 – 70 oC dengan methanol berlebih serta menggunakan katalis NaOH. Dalam
proses ini metil ester akan terbentuk secara maksimal dalam waktu 60 menit.
Dengan kondisi proses tersebut hasil atau kandungan metil ester yang terbentuk
sekitar 97 - 99% (Freedman et al.,1984,) dan proses yang dipilih bergantung
dari mutu bahan baku (minyak nabati) awal. Bila minyak mempunyai nilai FFA <
0,5 % maka bisa langsung diproses dengan transesterifikasi dengan katalis basa
eperti tersaji dalam diagram proses pada Gambar 5. Bila kandungan FFA > 5 %
maka proses harus dilakukan dengan Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi).
Tahap awal dilakukan netralisasi dengan mereaksikan minyak dengan metanol
dan asam misal H2SO4 (proses ini disebut esterifikasi) sehingga nilai FFA minyak
akan turun atau < 0,5 dan selanjutnya dilanjutkan dengan proses transesterifikasi.
Proses esterifikasi dan esterifikasi-transesterifikasi (estrans) disajikan dalam
Gambar 6.
Setelah reaksi selesai akan terbentuk 2 lapisan, lapisan atas berupa metil
ester atau biodiesel serta bagian bawah adalah gliserol. Pada metil ester yang
terbentuk ditambahkan asam untuk menetralisir katalis basa dan didiamkan
(settling). Untuk purifikasi lebih lanjut biodiesel yang terbentuk dicuci dengan air
panas (90 oC) sehingga impurities (pengotor) seperti FFA, NaOH, sedimen
terlarut. Pengeringan (drying) perlu dilakukan guna mencapai kandungan air yang
serendahnya dari biodiesel, dan metanol yang tidak bereaksi (unreacted methanol)
dalam biodiesel digunakan ulang (recovery) dengan jalan destilasi atau evaporasi
19
(Freedman et al., 1984; Noureddini dan Zhu, 1997; Darnoko dan Cheryan, (2000).
Untuk lebih meningkatkan mutu biodiesel hasil purifikasi difilter kembali
sehingga grade biodiesel akan lebih baik.
Gambar 5. Diagram proses transesterifikasi (untuk FFA minyak < 0,5 %)
20
2.2.2.2 Katalis Asam
Katalis asam memberikan keuntungan antara lain cocok untuk proses
pengolahan biodiesel dengan bahan baku (feedstock) dengan tingkat keasaman
yang tinggi atau untuk proses / transesterifikasi (dengan asam lemak bebas yang
tinggi). Oleh karena itu cocok untuk proses transesterifikasi minyak sawit atau
minyak jelantah (waste edible oil), pada reaksi [6] proses esterifikasi dari asam
lemak bebas, sedangkan pada persamaan [7] disajikan mekanisme reaksi
transesterifikasi dengan katalis asam. Keunggulan lain dari katalis asam adalah
mampu menjadikan produk ester dengan rantai cabang yang panjang, dan katalis
asam dapat digunakan dalam tahap pra-esterifikasi. Mekanisme reaksi katalis
asam disajikan dalam Gambar 7.
Kekurangan penggunaan katalis asam adalah: 1) memberikan reaksi
yang sangat lambat (pada T 65oC, rasio molar metanol terhadap minyak 30,
memerlukan waktu 50 jam), 2) menghasilkan produk yang tidak diinginkan
(dialkil eter atau gliserol eter bila suhu reaksi dinaikan), dan 3) konversi ester
menurun dengan adanya kandungan air. Transesterifikasi berkatalis asam lebih
Gambar 6. Diagram proses Es-trans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk FFA minyak > 0,5 %)
21
toleran terhadap asam lemak bebas tinggi, tetapi membutuhkan pemanasan tinggi
dan waktu yang lama (Canakci dan Gerpen, 1999).
Secara garis besar katalis asam terdiri dari katalis asam homogen dan
katalis asam heterogen. Katalis asam homogen terdiri dari beberapa jenis yang
masing-masing memberikan kinerja yang berbeda seperti terlihat dalam Tabel 2.
Demikian juga dengan katalis asam heterogen mempunyai fungsi dan karakteristik
yang spesifik tergantung dari jenisnya seperti dapat dilihat dalam Tabel 3.
Transesterifikasi katalis asam dilakukan dalam rangka mensintesis minyak yang
mempunyai nilai FFA tinggi. Katalis asam seperti asam sulfat, asam phospat,
asam klorida cocok untuk reaksi yang minyak mempunyai bilangan asam lemak
bebas yang tinggi. Menyerupai sistem katalis enzimatis, reaksi katalis asam
memerlukan waktu reaksi jauh lebih panjang dibanding reaksi katalis basa
(Nelson et al., 1996; Watanabe et al., 2001, Canakci, M dan Gerpen, 2001; Linko
et al., 1998). Proses transesterifikasi tidak banyak diterapkan dalam skala
produksi karena dianggap tidak ekonomis dan dianggap time consuming.
Gambar 7. Mekanisme reaksi katalis asam (Schuchardt et al., 1998)
RCOOH + R’OH OOR’ + H2O ..………………………………....[6]
H2SO4 2H+ + SO42- .………..…….…………………...….........,….[7]
OR RCOOCR1 + H+ R1 C OH+ ...................................[8] OR OR R1 C OH+ + HOR’ R1 C OH + H+ ......................[9] OR OR’ R1 C OH R1COOR’ + HOR ..........................................[10] OR’
22
Tabel 2. Karakteristik katalis asam homogen Jenis katalis Contoh
katalis Minyak -
lemak Kondisi reaksi Jenis
alkohol Yield ester
Asam mineral
H2SO4, H3PO4 Minyak nabati FFA tinggi
T 65-250o C alkohol:minyak=
5,5-30:1 waktu 3 -50 jam
Metanol, etanol, 1-butanol
99 %
Asam alfatik dan sulfonik
p-toluen, xilen dan asam sulfat benzena (+H2SO4) C10-C12 asam sulfat benzena alkil, asam sulfat metana
Minyak nabati FFA tinggi
T 50-130o C alkohol:minyak=
3-7:1
Metanol, aqu etanol
90,5-97 %
Asam Lewis dan halogenida
BF3 (NaOH), SnCl2, AlCl3, CoCl2InI3
Minyak sunflower, & minyak lain
T 80-180o C alkohol:minyak=
6:1, Waktu 8 jam
metanol tidak ada data
Sumber : Mittlebach dan Remschmidt (2004)
Tabel 3. Karakteristik katalis asam heterogen Jenis katalis Contoh katalis Minyak - lemak Kondisi reaksi Jenis
alkohol Yield ester
Penukar ion kuat
H2SO4, H3PO4 Minyak nabati FFA tinggi
T 65-250o C alkohol:minyak=
5,5-30:1 waktu 3 -50 jam
Metanol, etanol, 1-butanol
99 %
Fosfat logam p-toluen, xilen dan asam sulfat benzena (+H2SO4) C10-C12 asam sulfat benzena alkil, asam sulfat metana
Minyak nabati FFA tinggi
T 50-130o C alkohol:minyak=
3-7:1
Metanol, etanol
90,5-97 %
Logam oksida transisi
BF3 (NaOH), SnCl2, AlCl3, CoCl2InI3
Minyak sunflower, dan minyaknabati lain
T 80-180o C alkohol:minyak=
6:1 Waktu 8 jam
metanol tidak ada data
Garam logam transisi dari asam amino
Zn dan Cd ariginate
Palm oil dn sunflower oil
3 jam metanol > 50 %
Garam logam transisi dari asam lemak
Zn dan Mn palmitat
Minyak nabati FFA tinggi
- metanol > 92 %
Garam logam transisi dari alkil asam sulfonik benzena dan asamsulfonik alkana
Zn, Ti, Cr, Co, Cd
Minyak nabati FFA tinggi (unrefined) dari FFA tallow
4,75 jam metanol 96 %
Sumber : Mittlebach dan Remschmidt (2004)
23
2.2.2.3 Katalis Enzim
Katalis enzim memberikan kemampuan untuk : 1) penggunaan berulang-
ulang hingga 50 kali tanpa kehilangan potensi katalitiknya, 2) penggunaan
metanol yang sedikit. 3) katalis enzim bisa mengkonversi metil ester pada suhu,
tekanan, dan pH sedang, 4) hasil reaksi memberikan proses purifikasi lebih
mudah, 5) mutu gliserol yang tinggi sebagai by product, 6) menunjang
pencegahan kerusakan lingkungan (mengurangi limbah cair), 7) dilakukan dalam
satu tahap proses, dan 8) bisa mengolah feedstock dengan keasaman yang tinggi
tanpa perlakuan awal (Choo dan Ong, 1986; Mittelbach, 1990; Nelson et al.,1996;
Wu et al.,1999; Fukuda et al., 2001; Ban et al.,2001)
Kekurangannya terkait dengan waktu transesterifikasi yang lama,
berlangsung pada pH tertentu, cocok dengan pelarut tertentu, dan kandungan air
tertentu, harga katalis yang mahal, efisiensi reaksi rendah, enzim membutuhkan
imobilisasi dan membutuhkan penambahan air (10 wt %) sehingga yield ester
turun drastis, serta enzim mudah untuk non aktif dalam minyak (phospolipid),
sehingga minyak nabati harus dilakukan degumming (Choo and Ong, 1986;
Nelson et al.,1996; Wu et al.,1999; Fukuda et al., 2001; Ban et al.,2001)
Katalis enzim akan mudah mengubah FFA menjadi FAME dengan
konversi yang cukup seperti untuk bahan baku minyak jelantah (Fukuda et al.,
2001). Alkoholisis enzimatis masih memerlukan biaya lebih tinggi dibandingkan
katalis basa. Enzim lipase sering digunakan sebagai katalis, dan hasil dari proses
ini adalah gliserol yang terbentuk dapat dengan mudah digunakan tanpa proses
yang rumit serta FFA dalam minyak dapat dengan mudah dikonversi menjadi
metil ester. Sebagai perbandingan dari proses katalis basa dan enzimatis dapat
dilihat dalam Tabel 4.
24
Tabel 4. Perbandingan Metode katalis lipase dan alkali dalam pengolahan biodiesel
Parameter Katalis basa Katalis lipase
Suhu reaksi 60 – 70 oC 30 – 40 oC
FFA dalam bahan saponified products metil ester
Air dalam bahan bereaksi tidak ada pengaruh Hasil metil ester normal lebih tinggi
Recovery glyserol sulit mudah
Purifikasi metil ester berulang tidak ada
Biaya produksi murah relatif mahal
*)Sumber : (Fukuda et al., 2001)
2.2.2.4 Transesterifikasi non-Katalis
Transesterifikasi non-katalis merupakan salah satu metode pengolahan
biodiesel dengan tujuan pengurangan waktu reaksi, peniadaan penggunaan katalis,
purifikiasi yang lebih baik, dan meningkatkan mutu hasil proses biodiesel. Pada
Tabel 5 disajikan perbandingan karakteristik pengolahan biodiesel dengan
bantuan katalis dan non-katalis.
Tabel 5. Komparasi metode katalis dan non-katalis *)
Parameter Katalis Superkritik MeOH
Waktu reaksi 1 – 8 jam 120 – 240 detik Kondisi reaksi tekanan 0,1 MPa,
suhu 30 – 65 oC Tekanan > 8.09 MPa
suhu > 239.4 oC Katalis basa atau asam tidak ada FFA saponified products metil ester Hasil (yield) normal lebih tinggi Hasil purifikasi metanol, katalis dan
saponified productsmetanol
Proses bertahap sederhana Konsumsi energi rendah tinggi *)Sumber : (Fukuda et al., 2001; Saka and Kusdiana, 2000)
25
2.2.3 Kinetika Reaksi
2.2.3.1 Tumbukan (collisions)
Reaksi yang hanya melibatkan satu partikel mekanisme tumbukan
berlangsung secara sederhana akan tetapi bila reaksi yang melibatkan tumbukan
antara dua atau lebih partikel mekanisme reaksi menjadi lebih rumit. Reaksi yang
melibatkan tumbukan antara dua partikel dapat bereaksi jika partikel-partikel
melakukan kontak satu dengan yang lain. Partikel-partikel harus bertumbukan
sehingga terjadi reaksi. Reaksi terjadi karena kedua partikel tersebut harus
bertumbukan dengan mekanisme yang tepat, dan partikel-partikel harus
bertumbukan dengan energi yang cukup untuk memutuskan ikatan-ikatan. Bila
dikaitkan mekanisme tumbukan dalam proses transesterifikasi (biodiesel) antara
trigliserida (TG) dan methanol (MeOH) maka dapat dijelaskan seperti dalam
Gambar 8 di bawah ini.
Tumbukan terjadi antara tiga molekul CH3OH atau (3A) dan satu molekul
trigliserida (TG). Keduanya bereaksi untuk menghasilkan 3 molekul fatty acid
methyl ester (FAME) dan 1 molekul gliserol (G). Sebagai hasil dari tumbukan
antara satu molekul TG dan tiga molekul methanol (MeOH) berubah menjadi tiga
moleklul FAME dan satu molekul GL. Di dalam reaksi transesterifikasi,
sebenarnya antara TG dan MeOH sukar sekali untuk bersatu (bereaksi) karena
Gambar 8. Reaksi transesterifikasi TG dan MeOH (E = ester, G = gliserida, A = alkohol, B = alkil dari alkohol)
26
kedua bahan tersebut mempunyai phase yang berbeda, di samping itu TG dan
MeOH mempunyai sifat elektronegatifitas yang berbeda dan menyebabkan ikatan
keduanya menimbulkan tolakan karena keduanya memiliki elektronegatifitas yang
tinggi (Atkins, 1986)
Untuk menjadikan reaksi berlangsung dan mengarah ke sebelah kanan
sehingga terbentuk 3 BE (biodiesel) maka diperlukan efek pengadukan yang
sangat tinggi (vigorous stirring) yang salah satunya dipunyai oleh static-mixer
yang bisa menghasilkan gaya inersia yang tinggi atau shear stress yang tinggi.
Kondisi ini sangat diperlukan terutama dalam tahap-tahap awal reaksi
transesterifikasi (persamaan 11) :
Di dalam reaksi transesterifikasi seperti di atas maka nilai konstanta laju reaksi (k)
harus mengikuti k1 > k2 >k3 (Levenspiel, 1972)
2.2.3.2. Energi tumbukan dan Laju Reaksi
Di dalam reaksi transesterifikasi partikel-partikel tersebut tidak dapat
bertumbukan melampui energi minimum yang disebut dengan energi aktivasi
reaksi (Ea). Ea adalah adalah energi minimum yang diperlukan untuk
melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Secara garis besar reaksi eksotermal
(termasuk reaksi transesterifikasi) dapat dijelaskan seperti Gambar 9 di bawah ini
k1
TG + CH3OH DG + CH3COOR1
k2
DG + CH3OH MG + CH3COOR2 …………..…[11]
k3
MG + CH3OH GL + CH3COOR3
27
Ea adalah energi minimum untuk menghasilkan FAME dan gliserol dari reaktan
TG dan MeOH. Jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang lebih
rendah dari energi aktivasi (Ea) maka fluida yang diproses masih dalam bentuk
reaktan (TG dan MeOH) dan tidak akan terjadi reaksi transesterifikasi. Reaktan
akan kembali ke keadaan semula energi aktivasi sebagai tembok dari reaksi.
Hanya tumbukan yang memiliki energi sama atau lebih besar dari energi aktivasi
yang dapat menghasilkan terjadinya reaksi (product). Di dalam reaksi kimia,
ikatan-ikatan dipisahkan (membutuhkan energi) dan membentuk ikatan-ikatan
baru (melepaskan energi). Umumnya, ikatan-ikatan harus diceraikan sebelum
yang baru terbentuk. Energi aktivasi dilibatkan dalam menceraikan beberapa dari
ikatan-ikatan tersebut (TG, DG, dan MG). Hubungan antara jumlah atau
persentase (frekuensi) tumbukan energi aktivasi (Ea) dan konstanta reaksi
dinyatakan dalam rumus Arhenius, dalam persamaan [12] dan konstanta laju
reaksi dinyatakan dalam persamaan [13] (Levenspiel, 1972):
Gambar 9. Hubungan energi dan reaksi bahan kimia
28
2.2.3.3 Kinetika Kimia
Kinetika kimia adalah studi tentang laju reaksi atau perubahan konsentrasi
reaktan (atau produk) per satuan waktu (Atkins., 1986). Laju reaksi sangat penting
untuk diketahui karena mampu meramalkan kecepatan campuran reaksi
mendekati keseimbangan.
Tahap awal dalam analisis kinetika reaksi adalah menentukan stoikiometri
reaksi dan mengenali setiap reaksi samping, maka data dasar tentang kinetika
kimia adalah konsentrasi reaktan dan produk pada waktu yang berbeda-beda
setelah reaksi dimulai. Karena reaksi kimia pada umumnya peka terhadap suhu,
maka suhu campuran reaksi harus dijaga konstan selama reaksi berlangsung, jika
tidak maka laju reaksi yang diamati akan merupakan laju rata-rata pada
temperatur yang berbeda-beda yang tidak berarti (Atkins, 1986). Faktor yang
mempengaruhi laju reaksi antara lain adalah sifat alami reaktan, konsentrasi
reaktan, suhu, dan adanya katalis.
Hukum laju reaksi adalah persamaan yang menyatakan laju reaksi sebagai
fungsi dari konsentrasi semua spesies yang ada, termasuk produknya. Konstanta
laju reaksi (k) tidak bergantung pada konsentrasi, tetapi bergantung pada
temperatur. Hukum laju reaksi ditentukan secara eksperimen dan umumnya tidak
dapat diduga dari persamaan reaksi. Dengan diketahuinya hukum laju reaksi dan
konstanta laju maka laju reaksi dapat diramalkan dari komposisi campurannya,
selain itu hukum laju merupakan pemandu untuk mekanisme reaksi.
Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematika yang dapat
ditunjukkan oleh hasil percobaan (Atkins, 1986). Orde reaksi hanya dapat
ditentukan berdasarkan eksperimen, dan hanya dapat diramalkan jika suatu
mekanisme reaksi diketahui. Orde reaksi terhadap suatu komponen merupakan
pangkat dari konsentrasi komponen itu di dalam hukum laju, sedangkan orde
keseluruhan reaksi adalah penjumlahan orde semua komponennya (Atkins, 1996).
29
Secara umum laju reaksi bertambah dengan naiknya temperatur.
Pengamatan empiris menunjukkan bahwa reaksi mempunyai konstanta laju yang
mentaati persamaan Arrhenius (Atkins, 1996):
Untuk kebanyakan reaksi ternyata grafik antara ln k terhadap 1/T
menghasilkan garis lurus. Persamaan Arrhenius sering dituliskan sebagai:
A disebut faktor praeksponensial atau frekuensi tumbukan dan Ea
merupakan energi pengaktifan atau energi aktivasi. Energi aktivasi merupakan
energi minimum yang harus dimiliki reaktan untuk berlangsungnya proses,
sedangkan faktor praeksponensial ditafsirkan sebagai fraksi tumbukan yang
mempunyai cukup energi untuk menghasilkan reaksi. Secara bersamaan keduanya
disebut parameter Arrhenius reaksi (Atkins, 1996). Secara garis besar (reaksi
secara keseluruhan) dari reaksi trasnesterifikasi dapat dituliskan sebagai nerikut
(persamaan 14):
TG + 3CH3OH ⇔ 3CH3COOR + GL ..............................[10]
Karena reaksi yang berlangsung merupakan reaksi bolak-balik dan mengikuti
reaksi orde pertama , konstanta reaksi (k) ke arah kanan berdasarkan k1 dan ke
arah kiri berdasarkan k2 sehingga reaksi mengikuti pseudo orde pertrama k’.
Kalau dimisalkan reaksi 11 dengan reaksi yang dituliskan sebagai berikut
(persamaan 15)
Ln k = ln A – Ea/RT ………...………………………………………..…..…..[12]
k = A e – Ea/RT ………...…………………………………………...……..……[13]
kr TG + 3 CH3OH 3 CH3COOR + GL ………………………….……[14]
kl
kr A + B D + C …………………...…………………………..…[15]
kl
30
Laju reaksi pengurangan reaktan A adalah :
- dCA / dt = k r CA - k l CA
= (k r - k l) CA
= k ’ CA
dCA / CA = k ’ dt
ln CA = k’ t , ( batas integrasi CA dan CAo ), CAo adalah konsentrasi awal CA
CA / CA o = e - k ’ t
CA = CA o e - k ’ t
Untuk jumlah masa metil ester asam lemak (D) ekivalen dengan :
CD = 3 (CA o - CA)
CD = 3 (CA o - CA o e - k ’ t)
CD = 3 CA o (1- e - k ’ t)
C Me = 3 C awal TG (1- e - k ’ t) ..................................................................[16]
Me adalah konsentrasi metil ester, dan sehingga jumlah mol metil ester yang
terbentuk 3 kali mol awal TG dikalikan (1- e - k ’ t)
2.3. Static-mixer
2.3.1 Profil Turbulensi Fluida dalam Static-mixer
Static-mixer merupakan rangkaian elemen untuk pencampuran yang
diletakkan dalam sebuah pipa dan menggunakan energi dari aliran untuk
menciptakan pencampuran antara dua atau lebih fluida (Oldshue, 1983; Paul et al.,
2003). Static-mixer merupakan satu jenis mixer yang mempunyai kehilangan
tekanan yang sangat rendah di samping memberikan efek getaran yang sangat
rendah sehingga dikenal sebagai motionless mixer. Dalam operasionalnya input
tenaga listrik static-mixer yang diperlukan cukup rendah dibandingkan dengan
jenis mixer lainnya. Static-mixer dapat diaplikasikan untuk mencampur fluida
yang mempunyai viskositas rendah, viskositas tinggi, material berserat (fibrous
materials) dan untuk keperluan proses blending (Odlshue, 1983; Paul, 2003).
Dalam operasinya static-mixer ditempatkan dalam pipa dan pada kedua
ujung pipa dibuat flens. Struktur bagian dalam static-mixer bersifat rigid dan
dihubungkan dengan cara pengelasan dengan housing atau bisa juga dilepas
31
(removable). Umumnya panjang static-mixer mencapai 10 inci dengan diameter
1 inci dengan bahan yang beerasal dari metil, fiberglass, atau polyester (FRP).
Dalam operasinya static-mixer berada dalam posisi tidak bergerak (stationary)
dan proses mixing terjadi dari proses aliran yang melalui mixer. Static-mixer
terdiri dari beberapa elemen atau beberapa seri pitch yang berulang (basic flight
unit) sepanjang ruang static-mixer (mixing chamber) (Paul, 2003).. Nomenclature
static-mixer sejauh ini belum seragam dan referensi tentang static-mixer banyak
berasal dari beberapa buku manual produsen static-mixer.
Static-mixer bisa mengintensifkan proses fisik dan kimia dan menciptakan
aliran turbulensi untuk meningkatkan efektifitas mixing. Mekanisme
pencampuran fluida yang dihasilkannya terdiri dari: 1) pembagian (dividing), 2)
pembelokkan, 3) pemutaran (rotating), 4) penghubungan (channelling).
Pencampuran tersebut bisa meningkatkan homogenitas dan mencegah
sedimentasi. Mekanisme pengadukan ini juga menghasilkan getaran yang
minimal (motionless mixer) serta memberikan kehilangan tekanan yang minimal
(low pressure loss). Static-mixer dikendalikan oleh auxiliary equipment seperti
as, speed reducer, dan motor listrik (Oldshue, 1983).
Mekanisme aliran dalam static-mixer adalah pada tahap awal fluida
dipecah dalam elemen pertama, dan aliran (channel) yang dihasilkan kemudian
diputar 180o . Setiap channel dipecah kembali dan diputar 180o dalam arah yang
berlawanan. Posisi elemen diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sudut
90o. Proses pembagian (division), pemutaran (rotation), dan pengaliran (flow)
yang terjadi secara reversal akan meningkat dengan bertambahnya jumlah
perputaran (travel) selama melalui ruang pencampuran (mixing chamber).
Menurut Oldshoe (1983) jumlah lapisan yang terbentuk ekivalen dengan 2 kali
lipat jumlah elemen yang ada. Pada Gambar 10 (a) disajikan profil aliran dalam
static-mixer.
2.3.2 Jenis Static-mixer
Jenis static-mixer antara lain 1) blade design static-mixer, 2) helical
design static-mixer, 3) non-clog static-mixer, dan 4) wafer style mixer (Oldshue,
1983; Koflo corp, 2006; Kenics corp, 2007). Blade design Static-mixer dirancang
terutama untuk fluida dengan viskositas rendah hingga sedang, helical design
32
static-mixer dirancang untuk dua aliran fluida dengan viskositas tinggi atau untuk
mencampur (blending) dua atau lebih bahan (ingredients), non-clog static-mixer
digunakan untuk mencampur bahan-bahan yang berserat (fibrous materials), dan
wafer style mixer diaplikasikan untuk pencampuran aliran bahan yang mempunyai
kecepatan tinggi atau bahan-bahan yang dicampur mempunyai masalah dengan
kepanjangan pipa. Pada Gambar 10 (b). dapat dilihat salah satu jenis static-mixer
jenis helical.
(a) Profil turbulensi static-mixer
(b) Elemen static-mixer jenis helical
Gambar 10. Profil turbulensi static mixer dan jenis elemen tipe helical
33
2.3.3 Aplikasi Static-mixer
Secara garis besar klasifikasi atau pemakaian static-mixer terbagi dalam
bidang-bidang sebgai berikut :
1. Umum (General Use)
Untuk reaksi pengadukan biasa, ekstraksi, pewarnaan, polimerisasi,
emulsifikasi, netralisasi, pindah panas, pengendalian pH, netralisasi, pencampuran
gas dan serbuk. Bahan berasal dari : Carbon Steel, 304SS, 316SS, PVC, Teflon,
PP, PE, dan lainnya
2. Pangan dan Farmasi
Untuk pengadukan edible oil, mayonnaise, es krim, coklat, minuman,
susu, kecap, dan pengadukan bahan-bahan farmasi, bahan biasanya terbuat dari
metil stainless steel (304SS, 316SS)
3. Pilot Plant
Biasanya digunakan untuk pengadukan dalam jumlah kecil resin dan
hardener, bahan biasanya terbuat dari metil (304SS, 316SS, Glass atau Acrylic
Housing dengan 304SS atau 316SS element)
4. Viscous Fluids/High Pressure
Digunakan untuk mengaduk polimer cair dan resin, pencampuran dan
distribusi panas, pencampuran fluida dengan kecepatan tinggi. Bahan konstruksi
biasanya terbuat dari metil Carbon Steel, 304SS, 316SS, 316SS TI
5. High Shear Mixers (HSM)
Digunakan untuk pencampuran yang efektif dari dispersi larutan dengan
berbagai viskositas, untuk waktu pengadukan yang pendek, untuk reaksi bahan-
bahan kimia (cair dan gas) yang mempunyai viskositas rendah. Beberapa
(guidelines) penggunaan static-mixer disajikan dalam Tabel 6 di bawah ini
34
Tabel 6. Petunjuk penggunaan static-mixer
Applikasi Kecepatan Jumlah elemen Material (bahan
konstruksi)
Raw Water Blending
1-3 fps 2-4 FRP
Flash mixing 3-5 fps 2-4 Stainless Steel, FRP, PVC
Chemical Premixing
1-3 fps 2-4 Stainless Steel, FRP, PVC
Polymer Dilution 3-5 fps 6-12 Stainless Steel, PVC Polymer Addition 1-2 fps 6-12 FRP, PVC PH Adjustment 3-5 fps 4-6 FRP, PVC Chlorination/Dechlorination Liquid/Liquid 1-5 fps 2-4 Stainless Steel, FRP,
PVC Gas/Liquid 4-10 fps 4-6 FRP, Stainless Steel In-line Aeration 8-10 fps 4-6 Stainless Steel, FRP Dissolved Air Flotation
10-12 fps (60 psi) 4-6 Stainless Steel
Sludge Blending 1-3 fps 4-6 Stainless Steel, FRP Sumber: Paul (2003) 2.4. Blade agitator
Sejauh ini reaktor transesterifikasi biodiesel skala pilot plant atau skala
produksi masih menggunakan blade agitator atau reaktor CSTR (continous stirrer
tank reaktor). Komponen utama untuk reaktor transesterifikasi tersebut terdiri
dari tangki reaktor, pemanas (heater) dari steam, pengaduk (blade agitator), serta
pompa transfer untuk pengaliran atau sirkulasi produk. Kekurangan reaktor ini
yaitu turbulensi yang dihasilkan kurang intensif dan menimbulkan vortex atau
shear stress yang tidak maksimal karena fluida hanya diputar dibandingkan
dengan mekanisme homogenisasi yang terjadi pada static-mixer. Menurut
Levenspiel (1972), bila reaktan/fluida A dan reaktan B dicampur dengan
menggunakan blade agitator maka bila terjadi reaksi, reaksi yang terbentuk
berada pada suatu zona reaksi sekitar as pengaduk blade agitator, di samping itu
akan terbentuk pula zona non-homgen di mana terdapat reaktan yang masih belum
bereaksi (Gambar 11). Bila reaktan yang bereaksi antara A dan B membentuk R
kemudian R beraksi dengan B membentuk S maka profil zona reaksi masing-
masing reaktan dan produk akan terlihat seperti Gambar 12 (Levenspiel, 1972).
35
Zona reaksi reaktan A dan B
Zona non-homogen
Zona reaksi
Konsentrasi
jarak
Gambar 12. Profil zona reaksi reaktan, produk, serta reaktan yang tidak bereaksi (Levenspiel, 1972)
Gambar 11. Profil zona reaksi reaktan A dan B dalam reaktor blade agitator (Levenspiel, 1972)
A + B →R R + B→ S
kadar B tinggi
kadar A tinggi
36
Di dalam suatu reaktor pencampur di atas fluida yang masuk segera akan
didispersikan (disebarkan) di dalam tangki. Apabila homogenisasi dalam tangki
dilakukan dengan sistem kontinyu (terdapat bagian input dan out put) beberapa
bahan pereaksi akan berada lebih lama dalam tangki dari pada mean residence
time (waktu tinggal) dan beberapa bagian lainnya akan berada (tinggal) lebih
pendek waktunya (Oldshoe et al, 1983). Jenis reaktor / tangki dengan blade
agitator) khususnya berguna untuk sistem pengadukan dengan selang konsentrasi
mutu yang dihasilkan lebih besar. Jenis tangki dengan balade agitator ini cocok
untuk reaksi berordo nol untuk berbagai tingkat volume yang diinginkan.
Sedangkan umumnya proses transesterifikasi biodiesel berordo 1, sehingga
dengan demikian untuk reaktor dengan blade agitator dalam mengefektifkan
homogenisasi campuran dan meningkatkan konversi FAME dibutuhkan
pengadukan yang kuat (vigorous stirring) dan waktu lebih lama. Salah satu
penelitian yang dilakukan berkaitan dengan hal ini dilakukan oleh Yamazaki et al
(2007) menyatakan bahwa production rate FAME meningkat dari 0,28
gram/menit menjadi 0,3 gram/menit ketika putaran homogenisasi dinaikan dari
400 rpm menjadi 700 rpm.
Hasil pengujian menunjukkan dalam tangki pengadukan dengan blade
agitator atau column mixer yang mempunyai kapasitas homogenisasi antara 1
hingga 15 000 galon/menit (3,8 hingga 5,7 x 104 liter/menit) dalam tangki yang
berkapasitas antara 1 hingga 100 galon (3,8 hingga 380 liter) retention time yang
diperlukan berkisar antara waktu beberapa menit hingga jam, akan tetapi bila
menggunakan static-mixer atau conventional in-line blender dengan hasil
homogenisasi yang sama dibutuhkan waktu homogenisasi (retention time) bisa
dalam dalam hitungan detik (Oldshoe, 1983).
37
III. METODA PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Proses Balai Besar Industri Agro
(BBIA), Jalan Ir. H. Juanda No 11 Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret
2008 sampai dengan bulan September 2009. Pengerjaan konstruksi rancangan
alat dibuat di bengkel lokal Kota Bogor (untuk tangki transesterifikasi dan
decanter) dan di bengkel kota Tangerang (untuk elemen static-mixer).
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama yaitu
minyak goreng curah (Refined Bleached Deodorized Palm Olein-RBDPO) dan
bahan penolong yang terdiri dari methanol (MeOH), dan katalis kalium hidroksida
(KOH), serta bahan kimia lain yang digunakan untuk pengujian bahan dan hasil
proses biodiesel. Karakteristik RBDPO adalah sebagai berikut: angka asam (0,41
mg KOH/g minyak), angka penyabunan (212,9 mg KOH/g minyak), asam lemak
bebas-FFA (0,1 %), kandungan air (0,3%), dan berat jenis (0,84 g/ml).
Kemurnian MeOH adalah 99% dan kemurnian KOH adalah 66 % sebagai katalis.
Bahan kimia untuk pengujian mutu biodiesel terdiri dari etanol, toluen,
kloroform, NaOH, Na2CO3, indikator PP (fenolftaline), asam oksalat, natrium
borax, dan kalium iodida. Seluruh bahan kimia tersebut mempunyai kualitas
analytical grade dan digunakan untuk menganalisis parameter mutu biodiesel
anatara lain gliserol bebas, gliserol total, methil ester, angka penyabunan,
bilangan asam, dan kandungan asam lemak bebas (FFA).
3.3 Reaktor Static-mixer
Untuk melaksanakan percobaan dirancang reaktor static-mixer dengan
volume percobaan reaktor 16,5 liter (kapasitas maksimum 23 liter). Reaktor
static-mixer terdiri dari: 1) tangki utama, 2) static-mixer, 3) kondenser untuk
mengkondensasi MeOH (reflux condenser), 4) pompa untuk sirkulasi reaktan (125
watt), 5) inlet untuk input bahan baku (minyak curah, metanol, dan KOH), 6)
38
tempat pengambilan sampel, 7) heater (untuk pemanasan minyak, 1550 Watt), 8)
outlet produk, 9) kaca pengamatan (sight glass), 10) rangka, 11) tangki
pencucian, 12) inlet pencucian, 13) outlet pencucian. Pada Gambar 13 disajikan
gambar reaktor static-mixer beserta komponen utamanaya. Pada Gambar 14
disajikan experimental setting percobaan static-mixer dan blade agitator,
Gambar teknis reaktor static-mixer hasil rancangan disajikan dalam
Lampiran 1, 2, dan 3. PadaLlampiran 4 dan 5 disajikan spesifikasi reaktor static-
mixer dan rancangan fungsional reaktor. Pada Lampiran 6 dan 7 disajikan analisis
teknik tangki utama static-mixer dan tangki pencucian, sedangkan pada Lampiran
8 dan 9 disajikan analisis teknik tenaga pompa/motor dan pemanas (heater). Pada
Lampiran 10 disajikan analisis teknik pendingin (kondensor)
Static-mixer terdiri dari 5 buah elemen dan setiap elemen berukuran
pajang 6 cm, dan lebar 5 cm. Static-mixer diletakkan dalam pipa yang berukuran
panjang 30 cm dan diameter dalam 5 cm. Reaktor dilengkapi dengan blade
agitator yang digunakan untuk memperoleh perbandingan data. Kecepatan aliran
campuran reaktan dalam static-mixer adalah 1,25 m/detik (kecepatan alir
maksimum). Pengukuran kecepatan dilakukan secara manual dengan cara
mengukur laju volumetrik atau volume per menit dibagi dengan luas penampang
pipa. Posisi pengukuran laju aliran reaktan dan skema dari static-mixer disajikan
dalam Gambar 16.
Tangki pencucian berfungsi sebagai tempat untuk menampung produk
hasil reaksi. Tangki penampung berbentuk silinder yang memiliki cekungan pada
bagian dasarnya. Terbuat dari stainless steel dengan diameter 30 cm, tinggi 40 cm
dan tinggi bagian kerucut adalah 15 cm.
39
3.4 Kondisi Percobaan (Experimental condition)
Secara garis besar kondisi percobaan yang diberikan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Static-mixer:
Bahan : Minyak curah (RBDCO), metanol, KOH (11 liter : 5,5 liter : 101 gram)
Rasio molar TG : MeOH = 1 : 11,5
Kecepatan aliran dalam pipa : 1,25 m/detik
Perlakuan suhu percobaan : 50,55,60,65,70°C
Spesifikasi elemen :
Panjang pipa (p) = 30 cm Diameter dalam pipa = 5 cm Jumlah elemen (n) = 5 Panjang elemen = 6 cm Lebar elemen (w) = 5 cm
Gambar 13. Diagram reaktor static-mixer (a) elemen (b) reaktor, (c) tangki pencucian
(a) Spesifikasi static mixer
40
Blade agitator :
Bahan : Minyak curah (RBDCO), metanol, KOH (11 liter : 5,5 liter : 101 gram)
Rasio molar TG : MeOH = 1 : 11,5
RPM : 150
Perlakuan suhu percobaan : 50,55,60,65,70°C
Spesifikasi blade agitator :
(b) spesifikasi blade agitator
41
3.5 Prosedur Percobaan
3.5.1 Uji Performansi
Pada Gambar 15 disajikan flow proses pembuatan biodiesel dalam uji
performansi reaktor biodiesel. Uji performansi dilakukan dengan mengamati
analisis keseimbangan massa dengan mengukur dan menghitung massa input
(MeOH, TG, KOH) dan massa ouput (produk biodiesel kasar, GL kasar) serta loss
yang terjadi. Minyak dipanaskan hingga suhu yang ditentukan tercapai dan pada
saat yang sama metanol dipanaskan. Perlakuan suhu transesterifikasi terdiri dari
proses yang dilakukan pada suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC. Sampel diambil pada
selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60, 65, 70 dan 90 menit. Setelah
proses transesterifikasi hasil proses diendapkan dalam settling tank sehingga
terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan bagian bawah dalah gliserol
kasar). Biodiesel kasar kemudian dicuci dan dikeringkan serta dianalisa
berdasarkan standard SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel.
Gambar 14. Diagram setting percobaan static-mixer dan blade agitator
42
Gambar 15. Diagram alir percobaan penelitian
3.5.2 Analisis Parameter Uji
Parameter uji dalam penelitian ini terdiri dari parameter mutu utama yang
antara lain kadar metil ester karena menunjukkan besarnya perubahan reaktan TG
menjadi metil ester. Dalam penentuannya dibutuhkan nilai bilangan asam, dan
kadar gliserol total. Selain itu, keberhasilan produksi biodiesel dilihat dari tingkat
viskositasnya karena tujuan transesterifikasi adalah memperoleh ester dengan
kekentalan yang menyerupai bahan bakar solar. Hasil analisis parameter uji
tersebut dibandingkan dengan standard mutu biodiseel yang dipersyaratkan yaitu
SNI 04-7128-2006 untuk mengetahui apakah mutu biodiesel yang dihasilkan telah
memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Pemanasan awal RBDPO (TG) sampai
T50,55,60,65,atau 70°C
30 menit, T 110 oC
Suhu 90
Pengeringan
Pencucian
Pemisahan ME dan GL
Pengendapan
Transesterifikasi
Pompa static-mixer (on)
Pemanasan MeOH
KOH
T=f{50,55,60,65,70°C}}
Sampling dan Analsis mutu (SNI
04-7182-2006
43
3.5.3 Kinetika Reaksi
Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak sawit (TG)
dengan MeOH dengan rasio molar 1 : 11,5, sedangkan KOH digunakan sebagai
katalis dengan jumlah 1 % dari berat minyak sawit. Metanol diberikan dalam
jumlah berlebih agar reaksi transesterifikasi selalu mengarah ke kanan (persamaan
17). Berdasarkan persamaan tersebut jumlah minyak yang direaksikan adalah 11
liter, metanol 5,5 liter dan KOH 100 gram. Perlakuan suhu transesterifikasi terdiri
dari proses yang dilakukan pada suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC. Perhitungan
jumlah reaktan berdasarkan rasio molar di atas disajikan dalam lampiran 11.
TG 3 MeOH 3 ME GL ……...………………..…….[17]
Pompa sirkulasi static-mixer dioperasikan pada kecepatan maksimum yaitu 1,25
m/detik. Pengukuran laju aliran dilakukan secara manual dengan mengukur
jumlah volume per menit dibagi dengan luas penampang pipa. Posisi pengukuran
kecepatan alir reaktan atau biodiesel disajikan dalam Gambar 13. Sampel diambil
(dengan jumlah 2 sampel) pada selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50, 55, 60,
65, 70 dan 90 menit. Sampel ditampung dalam glass jar untuk kemudian
diendapkan (settling) hingga terbentuk 2 lapisan (bagian atas biodiesel kasar dan
bagian bawah dalah gliserol kasar). Biodiesel kasar kemudian dicuci dan
dikeringkan serta dianalisa sesuai standard SNI 04-7128-2006 untuk biodiesel.
Pengujian dilakukan untuk beberapa parameter mutu antara lain untuk: gliserol
bebas dan total gliserol dengan metoda uji (AOCS: Ca 14-56), kandungan metil
ester (biodiesel), angka asam (AOCS: Cd 3-63), angka penyabunan (AOCS: Cd 3-
25), dan viskositas. Standard Biodiesel SNI No. 04-7182-2006 untuk perhitungan
kandungan metil ester disajikan dalam persamaan [18]
ME % w/w 100 (A A 4.57 G /A ………………………….[18] di mana:
As : angka penyabunan biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Cd 3-25 (mg KOH/g biodiesel)
Aa : angka asam biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Cd 3-63, (mg KOH/g biodiesel)
Gttl : gliserol total dalam biodiesel ditentukan berdasarkan dengan metode AOCS Ca 14-56 (% w/w)
44
Selama proses pengolahan dilakukan pengambilan sampel hasil untuk
dianalisis. Pengukuran dilakukan untuk selang waktu 1, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 50,
55, 60, 65, 70, 80, dan 90 menit. Tujuan pengukuran hasil adalah untuk
mengetahui waktu yang diperlukan proses transesterifikasi untuk mencapai
kandungan metil ester standard (96,5 % w/w)). Posisi pengambilan sampel untuk
masing-masing percobaan baik reaktor static-mixer dan blade agitator disajikan
dalam Gambar 16. Parameter mutu metil ester dianalisa dengan menggunakan
metoda uji bioddiesel SNI 04-7128-2006. Pada Gambar 15 disajikan flow proses
pembuatan biodiesel secara keseluruhan.
3.5.4 Analisis Kehilangan Panas
Analisis kehilangan panas pada reaktor dilakukan dengan cara pengukuran
suhu dilakukan terhadap 13 titik pengukuran, yakni suhu pada : 1) uap MeOH
keluar, 2) tutup atas 3) kran sampel atas 4) kran sampel tengah, 5) heater, 6)
tutup bawah, 7). kran sampel bawah, 8) dinding luar, 9) glasswool, 10) dinding
static-mixer, 11) dinding dalam, 12) pipa, 13) lingkungan. Data hasil
pengukuran suhu tersebut digunakan untuk mengukur kehilangan panas pada
dinding tangki utama (q1), kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar
(q2), kehilangan panas dari pipa ke udara luar (q3), kehilangan panas melalui
dinding static-mixer (q4), kehilangan panas melalui tutup atas (q5), dan
kehilangan panas melalui tutup bawah (q6).
3.5.5 Analisis Energi
Pengukuran energi dilakukan dengan menggunakan kWh-meter pada
pemanas (heater) dan pompa. Pengukuran energi untuk heater dilakukan pada
tahap: 1) pemanasan awal minyak, 2) proses transesterifikasi, 3) pemanasan air
dan pencucian, dan 4) pengeringan biodiesel. Pengukuran energi untuk pompa
digunakan untuk: 1) pengaliran dan pencampuran reaktan 2) distribusi air panas
untuk pencucian, 3) pengaliran atau distribusi biodiesel untuk pengeringan, dan 4)
tenaga motor blade gitator. Pengukuran dan pengamatan dalam proses
transesterifikasi dilakukan hingga kandungan metil ester persyaratan minimum
memenuhi yang dipersyaratkan Standard National Indonesia (SNI) yaitu 96.5%.
45
Secara skematis diagram produksi biodiesel dan pengukuran energi dengan kWh-
meter disajikan dalam Gambar 16. Pada lampiran 12 disajikan gambar kWh meter
untuk pengukuran konsumsi energi.
Energi yang dibutuhkan untuk memproduksi biodiesel (Qin) dihitung
dengan menjumlahkan energi untuk pemanasan awal RBDPO dan MeOH
(Epemanasan awal), energi untuk proses transesterifikasi (Etrans), dan energi untuk
proses purifikasi atau untuk pencucian dan pengeringan biodiesel (Epurifikasi)
seperti yang disajikan dalam persamaan [19]. Energi untuk pencucian adalah
energi untuk memanaskan 30 liter air hingga temperatur 90°C sedangkan energi
untuk pengeringan adalah energi yang digunakan untuk menguapkan air selama
30 menit pada temperatur 110°C. Pengujian Reaktor dan pengukuran proses
transesterifikasi disajikan dalam lampiran 13.
Gambar 16. Diagram posisi pengukuran kondisi proses (a) static-mixer , (b) reaktor, dan (c) tangki pencucian
46
Q E E E f …………………......................[19]
Energi untuk proses transesterifikasi (Etrans) dihitung dengan menjumlahkan energi
yang dibutuhkan untuk proses pemanasan campuran TG, MeOH, dan katalis
(Eheating-mix) dalam proses transesterifikasi dan energi untuk motor /pompa static-
mixer (Emotor) seperti disajikan dalam persamaan [20]
E E E …………………..……………...…....………....[20]
Rasio energi (Er) didefinisikan sebagai perbedaan kandungan energi dari
biodiesel yang dihasilkan (Q2) dikurangi dengan energi yang terkandung dalam
RBDPO sebelum proses transesterifikasi (Q1) dibagi dengan energi yang
dibutuhkan untuk proses pengolahan biodiesel (Qin). Dalam analisa energi ini
kandungan energi didasarkan atas kandungan energi low heating value (LHV).
Menurut Pischinger et al., (1982) LHV dari biodiesel dari minyak curah atau
palm oil (Q2) adalah 37.8 MJ/kg, sedangkan LHV dari RBDPO (Q1) adalah 36.70
MJ/kg (Gros, 2009). Persamaan rasio energi dalam produksi biodiesel disajikan
dalam persamaan [21] dan [22].
TG 3MeOH 3ME GL......................................................................[21]
E .................................................................................................[22]
di mana :
Qin : jumlah energi pemanasan awal, transesterifikasi, dan purifikasi (kJ/kg)
Q2 : nilai kalor biodiesel dari RBDPO sebesar 37.8 MJ/kg (Pischinger et al.,1982)
Q1 : nilai kalor RBDPO sebesar 36.70 MJ/kg (Gros, 2009)
Q1 Q2 Qin
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Teknik Reaktor
4.1.1 Uji Performansi
Secara garis besar proses produksi biodiesel yang dilakukan terdiri dari
tiga tahap, yaitu tahap proses (pemanasan awal dan transesterifikasi), tahap
pemisahan (pengendapan) dan purifikasi. Selama proses transesterifikasi yang
berlangsung 90 menit diambil sampel (Gambar 17) untuk dianalisis mutunya
sesuai standard SNI No. 04-7182-2006 (Lampiran 14). Produk yang dihasilkan
selama pembuatan biodiesel melalui proses transesterefikasi dengan menggunakan
reaktor static-mixer selanjutnya diendapkan (Gambar 18). Biodiesel yang
dihasilkan pada tahap proses adalah biodiesel kasar yang bercampur dengan
gliserol, sabun, sisa katalis, dan sebagainya. Pengendapan dilakukan untuk
memudahkan proses pemisahan etil ester dan gliserol dan bahan lain yang
memiliki massa jenis lebih besar dari metil ester. Pada lapisan atas terdapat
campuran metil ester dengan metanol, sedangkan lapisan bawah yang berwarna
kecoklatan dan lebih kental adalah gliserol (Gambar 16). Gliserol kemudian
dialirkan melalui corong pada bagian bawah tangki pemisah. Dari gambar terlihat
biodiesel kasar yang masih mengandung metanol dan sabun berada pada lapisan
atas. Biodiesel kasar terlihat berwarna kuning keemasan. Sedangkan gliserol yang
berada pada lapisan paling bawah memiliki warna merah kecoklatan.
Gambar 17. Sampel produk biodiesel selama proses transesterifikasi
Biodiesel kasar
Gliserol kasar
48
Pada saat awal pencucian biodiesel kasar, air hasil pencucian akan
berwarna putih susu, seperti pada Gambar 19. Pencucian dilakukan beberapa kali
sampai air pencucian berwarna bening. Setelah pencucian dilanjutkan dengan
pengeringan yang dilakukan untuk menghilangkan kandungan metanol dan
menurunkan kadar air biodiesel yang terikut dalam proses pencucian. Pengeringan
dilakukan dengan cara memanaskan biodiesel pada suhu 110 °C dan waktu yang
diperlukan selama 30 menit.
Gambar 18. Produk hasil pengendapan
Biodiesel kasar
Gliserol kasar
Gambar 19. Proses pencucian
Biodiesel
Air pencucian
49
Biodiesel hasil pengeringan akan berwarna lebih mengkilap. Penampilan
selama proses transesterifikasi, hasil pencucian, dan pengeringan disajikan pada
Gambar 20. Gambar 20a adalah biodiesel pada tahap reaksi transesterifikasi pada
proses produksi pada suhu 70 °C. Gambar 20b merupakan biodiesel hasil
pencucian dengan air bersuhu 90 °C dan hasil pencucian terlihat agak sedikit
keruh karena kadar air biodiesel meningkat (biodiesel masih mengandung air
pencucian). Gambar 20c merupakan biodiesel hasil pengeringan dengan cara
pemanasan pada suhu 110°C.
Hasil uji alat reaktor static-mixer disajikan dalam Tabel 7. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pembuatan biodiesel dengan reaktor static-
mixer menghasilkan rendemen rata-rata sebesar 98,70 % w/w setelah melewati
proses transesterifikasi 90 menit yang merubah TG dari minyak goreng kelapa
sawit menjadi metil ester. Dari proses reaksi antara 10,01 kg minyak goreng
dengan 4,35 kg metanol dihasilkan volume biodisel kasar rata-rata 9,24 kg dan
volume gliserol rata-rata 3,81 kg. Massa rata-rata biodiesel rata-rata yang
diperoleh setelah proses pencucian dan pengeringan adalah sebanyak 8,78 kg.
Analisis keseimbangan massa pembuatan biodiesel setelah dilakukan perhitungan
konversi volume hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8. Perhitungan
Gambar 20. Perbandingan biodiesel pada tahap transesterifikasi, pencucian, dan pengeringan
(a) (b) (c)
50
keseimbangan massa tersebut disajikan dalam Lampiran 11. Berdasarkan hasil
analisis keseimbangan massa tersebut terlihat massa ouput lebih kecil yaitu 13,05
kg yang berkurang sebanyak 1,41 kg. Kekurangan ini dimugkinkan karena
terdapat produk yang tersisa dalam reaktor (tercecer). Gliserol kasar yang
diperoleh 3,81 kg dan jumlah ini relatif masih mengandung metanol yang
berlebih. Kemungkinan lain adalah adanya penguapan massa MeOH selama
proses transesterifikasi
Air pendingin diperlukan untuk mempercepat terjadinya proses kondensasi
uap metanol menjadi bentuk cair di dalam kondensor. Air digunakan sebagai
media penukar panas untuk memindahkan panas dari uap ke air pendingin. Dari
hasil pengukuran didapatkan laju konsumsi air pendingin adalah 150 ml/detik
untuk proses selama 90 menit atau 5400 detik.
Table 7. Hasil uji coba reaktor static-mixer
Tahap- hasil Suhu reaksi (oC)
50oC 55oC 60 oC 65 oC 70 oC
Pemanasan awal 11 liter RBDPO atau TG (menit)
7 9 11 13 15
Transesterifikasi (menit) 15 15 10 5 5
Persentase metil ester (%) 96.5 96.8 96,5 96,5 97,35
Biodiesel kasar (kg) 9,25 9,24 9,24 9,24 9,23
Debit air kondensor (ml/detik) 150 150 150 150 150
Jumlah air untuk pencucian (liter) 30 30 30 30 30
Tabel 8. Keseimbangan masa rata-rata pengolahan biodiesel dengan static-mixer (kg)
Komponen Masa input Masa ouput
Minyak (TG) 10,01
MeOH 4,35
KOH 0,10
Produk biodiesel 9,24
Lapisan bawah (gliserol kasar)
3,81
(ouput) 13,05
Loss 1,41
TOTAL (total input) 14,46 (total ouput) 14,46
51
4.1.2 Analisis Parameter Uji
Biodiesel yang dihasilkan secara visual memiliki warna kuning jernih dan
terlihat encer. Penampakan biodiesel ini berbeda dengan minyak kelapa sawit
yang berwarna lebih pekat dan terlihat kental. Hasil samping reaksi
transesterifikasi adalah gliserol yang berwarna cokelat gelap dan lebih kental
dibanding metil ester serta terdapat di lapisan bagian bawah.
Parameter utama dalam penelitian ini adalah kadar metil ester karena
menunjukkan besarnya perubahan TG menjadi metil ester. Dalam penentuannya
dengan metode SNI dibutuhkan nilai bilangan asam, angka penyabunan, dan
kadar gliserol total. Selain itu, keberhasilan produksi biodiesel dilihat dari
viskositasnya karena tujuan transesterifikasi adalah memperoleh ester dengan
kekentalan yang menyerupai bahan bakar solar. Viskositas sendiri berkaitan erat
dengan densitas. Oleh karena itu, pengujian sifat fisik dan kimia pada biodiesel
yang telah dimurnikan meliputi metil ester, bilangan asam, kadar gliserol total,
kadar metil ester, densitas, dan viskositas. Nilai-nilai parameter ini dibandingkan
dengan nilai SNI biodisel yang dipersyaratkan
4.1.2.1 Metil ester
Metil ester yang terdapat dalam biodiesel memiliki kisaran yaitu 98,00-
98,65 (% w/w). Perolehan ini berada di atas standar biodiesel SNI 04-7182-2006
yaitu 96,50 (% w/w). Rendemen metil ester yang tinggi pada pembuatan biodiesel
dapat disimpulkan karena berasal dari bahan baku dengan karakteristik yang baik,
yaitu nilai bilangan asam minyak kelapa sawit yang rendah (0,4 mg KOH/g
minyak).
Biodiesel yang dihasilkan berupa metil ester karena dalam reaksi
transesterifikasi menggunakan metanol. Kadar metil ester tidak dapat langsung
ditentukan, tapi dihitung melalui perolehan bilangan penyabunan, bilangan asam,
dan kadar gliserol total sehingga analisis penentuan bilangan penyabunan juga
dilakukan.
52
Secara figuratif pada Gambar 21 dapat dilihat sedikit peningkatan kadar
metil ester terjadi dengan semakin tingginya suhu pada waktu reaksi yang sama.
Konversi yang semakin besar juga didapat dengan semakin lamanya waktu reaksi.
Peningkatan yang tajam terlihat pada awal reaksi dan beranjak landai atau
cenderung stabil pada waktu transesterifikasi yang lebih lama. Penyebab lain
adalah adanya proses pemurnian mengakibatkan biodiesel tidak lagi atau hanya
sedikit mengandung air dan gliserol. Metanol yang digunakan dalam kondisi
berlebih (3,83 kali stoikiometri) dan katalis KOH juga bekerja dengan baik dalam
mempercepat laju transesterifikasi.
4.1.2.2 Angka Asam
Hasil transesterifikasi minyak kelapa sawit secara umum memiliki angka
asam yang rendah dan memenuhi standar biodiesel berdasarkan SNI 04-7182-
2006 (0,80 mg KOH/g). Perolehan angka asam yang rendah ini dikarenakan
karakteristik minyak kelapa sawit yang digunakan sudah cukup baik dengan
angka asam 0,41 mg KOH/g minyak dan kadar asam lemak bebas yang kecil
yaitu 0,1 %. Nilai angka asam pada contoh biodiesel dari percobaan static-mixer
secara umum mengalami penurunan dengan bertambahnya waktu reaksi pada
semua kisaran suhu seperti terlihat pada Gambar 22. Pada suhu yang lebih tinggi
bilangan asam juga menunjukkan nilai yang lebih kecil. Dari hasil pengamatan
Gambar 21. FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 60, 65 dan 70oC
95
96
97
98
99
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%, w
/w)
Waktu (menit)
T 60⁰C
T 65⁰C
T 70⁰C
SNI
53
terlihat angka asam mengalami penurunan selama proses transesterifikasi hal ini
sangat dimungkinkan karena asam lemak metil ester akan semakin banyak dengan
bertambahnya waktu reaksi transesterifikasi sehingga keasamannya akan semakin
rendah.
4.1.2.3 Gliserol Total
Gliserol total pada biodiesel mengalami penurunan dengan lamanya waktu
reaksi dan terjadinya peningkatan suhu seperti terlihat pada Gambar 23. Hal ini
terjadi karena jumlah gliserol terikat (TG, DG, dan MG) dalam contoh biodiesel
yang semakin mengecil. Beberapa contoh biodiesel memiliki kadar gliserol total
yang tinggi, yaitu melewati batas maksimum untuk gliseol total SNI 04-7182-
2006, yaitu 0,24 %. Kadar gliserol total memenuhi standar dimulai pada menit ke
15, 20, 30, dan seterusnya untuk suhu 70 oC secara berurutan. sedangkan untuk
suhu 50 dan 60 oC masih di atas batas yang ditentukan. Hal ini terjadi karena pada
awal reaksi masih banyak trigliserida dalam minyak kelapa sawit yang belum
terkonversi menjadi metil ester. Konversi tersebut memenuhi standar pada waktu
reaksi yang lebih cepat dengan kondisi suhu yang lebih tinggi, karena panas yang
diberikan membantu mempercepat reaksi.
Gambar 22. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)
T 50 ⁰CT 60 ⁰CT 70 ⁰CSNI
54
Kadar gliserol total biodiesel yang diproses pada suhu 50 dan 60 C tidak
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh SNI 04-7182-2006, hal ini
dimungkinkan oleh kurangnya panas (suhu) reaksi yang diberikan serta adanya
reaksi balik yang memungkinkan sebagian produk berubah kembali menjadi
reaktan (TG).
4.1.2.4 Viskositas
Biodiesel harus memiliki kisaran viskositas 2,30–6,00 cSt pada suhu 40 oC
sesuai SNI biodiesel yang ditentukan. Biodiesel yang dihasilkan memiliki
viskositas yang beragam pada berbagai macam waktu dan suhu seperti pada
Gambar 24. Beberapa contoh memiliki viskositas yang besar, terutama pada awal
reaksi, sehingga nilainya tidak memenuhi standar biodiesel. Namun, nilai
viskositas biodiesel mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu reaksi
dan semakin meningkatnya suhu.
Gambar 23. Gliserol total FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC
00.5
11.5
22.5
33.5
4
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l (%
w/w
)
Waktu (menit)
T 50 ⁰CT 60 ⁰CT 70 ⁰CSNI
55
Nilai viskositas memenuhi standar SNI 04-7182-2006 dimulai pada menit
ke 5 untuk suhu 70 oC dan menit ke 20 dan seterusnya untuk suhu 50 dan 60 oC
secara berturut-turut. Perolehan ini menunjukkan bahwa pada waktu yang lama,
biodiesel akan lebih encer pada semua kisaran suhu, karena semakin banyak
minyak kelapa sawit yang bereaksi dengan metanol. Nilai viskositas tinggi pada
menit ke-1 pada suhu 50, 60 dan 70 oC dan pada menit ke 5 pada suhu 50 dan 60 oC karena waktu yang relatif singkat dan suhu yang rendah trigliserida masih
banyak yang belum terkonversi menjadi metil ester.
4.1.2.5 Densitas
Biodiesel yang dihasilkan secara umum memenuhi kisaran densitas SNI-
04-7182-2006, yaitu 850,0–890,0 kg/m3, kecuali beberapa contoh pada menit-
menit awal reaksi berlangsung seperti terlihat pada Gambar 25. Nilai densitas
biodiesel mengalami penurunan dengan semakin tingginya suhu dan lamanya
waktu reaksi. Interaksi antara waktu dan suhu dengan densitas terbesar adalah
menit ke-1 pada suhu 50 dan 60 oC. Nilai densitas pada menit ke-1 dan ke-2 tidak
memenuhi standar SNI-04-7182-2006. Hal ini dikarena waktu yang pendek
menyebabkan reaktan yang terkonversi masih sedikit. Dengan demikian, proporsi
trigliserida yang berbobot molekul besar dalam produk lebih banyak dibanding
Gambar 24. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit)
T 50 ⁰CT 60 ⁰CT 70 ⁰CSNI
56
metil ester dengan bobot molekul lebih kecil. Pada lampiran 15 disajikan
hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu hasil percobaan.
4.2 Kinetika Reaksi
Kajian kinetika reaksi yang disajikan dari penelitian ini meliputi hasil
pembahasan dari laju reaksi, kajian static-mixer dan blade agitator, energi
aktivasi (Ea), dan frekuensi tumbukan (A).
4.2.1 Laju Reaksi
Kurva konsentrasi dalam reaksi transesterifikasi menggunakan static-
mixer dan blade agitator disajikan dalam Gambar 26 dan 27. Dalam gambar
tersebut diperlihatkan perubahan proses transesterifikasi selama 90 menit waktu
reaksi. Gambar-gambar tersebut memperlihatkan produksi metil ester dengan
menggunakan static-mixer lebih cepat dibanding menggunakan blade agitator
pada periode awal proses. Dalam lampiran 16 disajikan hasil pengukuran
kandungan metil ester dengan static-mixer dan blade agitator. Hasil percobaan
tersebut juga menunjukkan bahwa static-mixer memberikan pengaruh yang
signifikan dalam mengurangi waktu reaksi untuk mencapai kandungan asam
lemak metil ester (fatty acid methyl ester-FAME) yaitu 96.5% dibandingkan
Gambar 25. Densitas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer pada suhu 50, 60 dan 70oC
840
850
860
870
880
890
900
0 20 40 60 80 100
Den
itas (
kg/m
3 )
Waktu (menit)
T 50 CT 60 CT 70 CSNISNI
57
dengan menggunakan blade agitator. Waktu reaksi transesterifikasi dengan
static-mixer jauh lebih singkat dari pada waktu reaksi dengan blade agitator pada
setiap tingkat perlakuan suhu. Efektifitas pengadukan dengan static-mixer juga
diperkuat dengan hasil pengamatan penurunan gliserol terikat (lihat pembahasan
konstanta laju rekasi Bab. 4.2.3), penurunan viskositas dan angka asam biodiesel
untuk kedua sistem tersebut seperti diperlihatkan dalam Gambar 28 dan 29.
Gambar 26. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan static-mixer
Gambar 27. Pengaruh suhu terhadap pembentukan FAME menggunakan blade agitator
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)T50 C T55 C T60 C T65 C T70 C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)T 50 C T 55 C T 60 C T 65 C T 70 C
58
Gambar 28. Viskositas FAME yang dihasilkan dengan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C
Gambar 29. Angka asam FAME yang dihasilkan dengan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)Blade Agitator Static-mixer
59
Pada Gambar 30 dan 31 ditunjukkan efektifitas pengadukan dari static-
mixer dan blade agitator pada suhu yang lebih spesifik. Gambar 30 diperlihatkan
pengaruh pengadukan static-mixer pada suhu yang rendah yaitu 50oC lebih
signifikan dibandingkan blade agitator ketika reaksi transesterifikasi berlangsung.
Pembentukan metil ester berlangsung sangat cepat pada 5 menit pertama untuk
static-mixer dan 60 menit pertama untuk blade agitator kemudian lajunya
menurun dan selanjutnya mencapai keseimbangan (laju pembentukan konstan dan
kecil). Pembentukan ester dari asam-asam lemak (FAME) menjadi tidak terlalu
signifikan bila reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 70oC. Dalam keadaan
tersebut laju reaksi terutama dipengaruhi oleh suhu reaksi dan ditunjukkan dengan
jelas oleh kemiringan kurva yang dihasilkan. Penurunan jumlah reaktan
mempengaruhi pembentukkan jumlah produk yang dihasilkan. Gambar 30
memperlihatkan fenomena bahwa kurva produksi metil ester baik yang dihasilkan
dengan static-mixer maupun blade agitator hampir mendekati. Pada Lampiran 17
disajikan hasil pengamatan hubungan parameter mutu FAME dengan waktu
selama proses transesterifikasi berlangsung pada berbagai tingkat suhu.
Perbedaan jarak kurva pembentukan metil ester dengan static-mixer dan
blade agitator pada suhu 50oC dan 70oC dikarenakan pembentukan metil ester
pada blade agitator sangat dipengaruhi oleh suhu transesterifikasi yang
berlangsung di mana semakin tinggi suhu maka produksinya akan semakin cepat.
Hal ini ditunjukkan semakin tinggi suhu proses mengakibatkan kemiringan kurva
pembentukan metil ester akan semakin besar seperti yang terjadi pada Gambar 30.
60
Gambar 30. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
Gambar 31. Pembentukan FAME menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(% w
/w)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(% w
/w)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
61
4.2.2 Perbandingan Reaksi menggunakan Static-mixer dan Blade agitator
Waktu reaksi transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester
dengan static-mixer lebih singkat dengan blade agitator. Hal ini dimungkinkan
karena beberapa hal :
1) Pengaruh elemen static-mixer
Di dalam elemen dalam rumahan (casing) static-mixer fluida (reaktan)
dipecah menjadi beberapa lapisan. Jumlah lapisan yang terbentuk setara dengan
2n di mana n adalah jumlah elemen (Paul, 2003; Oldshoe, 1983). Di dalam
penelitian ini elemen yang dirancang berjumlah 5 elemen, jadi jumlah lapisan
yang dihasilkan adalah 10 lapisan. Pada tahap awal fluida dipecah dalam elemen
pertama untuk membentuk lapisan, dan lapisan yang dihasilkan kemudian diputar
180o. Setiap lapisan dipecah kembali dan diputar 180o dalam arah yang
berlawanan. Posisi elemen diatur sedemikian rupa sehingga membentuk sudut
90o. Di dalam setiap elemen atau (mixing chamber), setiap lapisan akan
mengalami proses (1) pemecahan, (2) pemutaran, (3) pembalikan, dan (4)
penggabungan lapisan aliran reaktan yang terjadi secara reversal. Secara teoritis
semakin banyak elemen maka akan meningkatkan jumlah perputaran (travel) dan
jumlah lapisan yang dihasilkan serta menghasilkan tegangan geser lapisan dan
tumbukan antara molekul reaktan yang lebih tinggi pula.
Nilai laju pengurangan reaktan yang dalam static-mixer dinyatakan dalam
dCA/dt = kr CA - kl CA sesuai persamaan [16] akan semakin besar. Nilai dCA/dt
akan tinggi terutama pada saat awal reaksi di mana jumlah TG, DG, dan MG
masih banyak dan langsung terkonversi menjadi FAME dan GL. Berdasarkan
persamaan [11] pula jumlah FAME yang terbentuk (CMe) sebanyak 3 konsentrasi
awal TG (1- e-k’t). Nilai dCA/dt akan semakin mengecil sejalan dengan
berkurangnya jumlah gliserol terikat tersebut dan akan mencapai nilai mendekati
keseimbangan ketika gliserol terikat hampir semua terkonversi menjadi FAME.
Dari hasil kurva Gambar 26 tersebut, pengaruh suhu reaksi terhadap waktu reaksi
tidak terlalu besar bila menggunakan static-mixer.
62
2) Pengaruh sirkulasi aliran
Adanya sirkulasi aliran dalam pipa saluran reaktan baik sebelum dan
seseudah elemen static-mixer sedikit banyak juga akan mempengaruhi proses laju
rekasi pembentukan produk (ME dan GL) atau laju jumlah reaktan yang bereaksi
(TG dan MeOH). Aliran reaktan selama melalui saluran akan mempercepat laju
reaksi yang dimungkinkan akibat pengaruh panas dari dinding pipa saluran. Di
samping itu pengaruh pompa sentrifugal yang digunakan juga dimungkinkan
untuk mempengaruhi laju reaksi karena reaktan di dalam pompa sentrifugal akan
diputar sebelum dialirkan ke dalam elemen static-mixer. Mekanisme lain yang
berpengaruh adalah pada saat reaktan melalui tangki utama sebelum menuju
pompa sentrifugal dan elemen static-mixer terjadi reaksi secara kimiawi karena
pengaruh aliran dari atas ke bagian bawah tangki dan karena pengaruh panas.
3) Blade agitator
Di sisi lain penggunaan sistem pengadukan blade agitator terlihat
dipengaruhi oleh suhu reaksi (lihat Gambar 27). Hal ini dimungkinkan karena
dalam mekanisme pengadukan blade agitator menghasilkan aliran melingkar
dalam tangki dengan arah aksial dan tangensial, serta memberikan turbulensi yang
minimal (Paul et al., 2003 ). Intensitas reaksi antar molekul atau reaktan tidak
begitu tinggi serta laju reaksi dan waktu reaksi transesterifikasi lebih lambat.
Kondisi ini akan mempengaruhi frekuensi tumbukan yang tidak sebesar pada
static-mixer sehingga akan mengakibatkan laju reaksi yang relatif rendah. Dalam
skala laboratorium, produksi metil ester dengan rendemen tertinggi diperoleh pada
suhu 60 oC setelah 1 jam menggunakan katalis basa (Vicente et al., 2004, Meher
et al., 2006, Hazkil, 2008).
Di samping itu menurut Livenspiel (1972), bila reaktan yang berbeda
dicampur ( terlebih lagi bila reaktan bersifat immiscible) dengan menggunakan
blade agitator dan bila terjadi reaksi, maka reaksi yang terbentuk berada pada
suatu zona reaksi sekitar as pengaduk blade agitator, di samping itu akan
terbentuk pula zona non-homgen di mana terdapat reaktan yang masih belum
bereaksi. Untuk memperbesar zona reaksi maka diperlukan jumlah putaran yang
tinggi (vigorous stirring).
63
4.2.3 Konstanta Laju Reaksi (k)
Perbedaan laju reaksi sebenarnya dapat diklarifikasi melalui kajian
kinetika reaksi. Pada dasarnya reaksi transesterifikasi meliputi 3 tahap yaitu pada
tahap pertama TG bereaksi dengan MeOH untuk digliserida (DG), yang
dilanjutkan pada tahap kedua DG dengan MeOH bereaksi menghasilkan
monogliserida (MG). Pada tahap akhir MG bereaksi dengan MeOH menghasilkan
gliserida (GL). Pada setiap tahap reaksi, satu molekul metil ester (ME) akan
dihasilkan untuk setiap satu molekul MeOH yang bereaksi.
Kusdiana dan Saka (2001) menyederhanakan model matematik untuk
ketiga tahap proses tersebut dalam suatu proses transesterifkasi secara keseluruhan
dengan mengabaikan reaksi intermediate (DG) dan (MG), sehingga ketiga tahap
proses tersebut dapat disajikan seperti persamaan [23] beikut;
Di mana k adalah konstanta laju reaksi secara keseluruhan reaksi transesterifikasi.
Diasumsikan bahwa reaktan jumlah MeOH tidak berubah karena MeOH diberikan
dalam jumlah berlebih di samping itu reaksi juga diasumsikan mengikuti reaksi
orde pertama. Konstanta laju reaksi dapat ditentukan berdasarkan penurunan
jumlah reaktan misal TG dalam interval waktu tertentu (Barrow, 1973; Steinfeld
et al, 1989). Dalam penelitian ini, laju reaksi diprediksi dari pengurangan jumlah
TG sehingga persamaan konstanta reaksinya dapat ditulis dengan persamaan [24].
Laju reaksi G ...….......…..........................................................[24]
Dalam proses transesterifikasi tidak semua TG dapat bereaksi. Selain TG terdapat
produk antara yang tidak bereaksi yaitu DG, MG, dan asam lemak. Reaktan yang
tidak bereaksi tersebut disebut sebagai unmethyl esterified compound (uME),
sehingga persamaan [24] dapat ditulis dengan persamaan [25]. Nilai uME
(gliserol terikat) diperoleh dari jumlah total gliserol dikurangi dengan gliserol
bebas.
k TG + 3 MeOH 3 ME + GL ………………………….............……[23]
64
Laju reaksi ME , atau
ME k uME ...….…......................................................................[25]
Dengan mengasumsikan konsentrasi awal uME, pada t= 0 adalah uME, 0 dan
turun menjadi uME, t pada waktu t, maka integrasi persamaan [25] menjadi
persamaan [26] dan [27] dan k dapat dihitung berdasarkan persamaan [28]
uME,uMEt,
uME
uME k dt.........................................................................[26]
ln uME,uME,
k t .......................................................................................[27]
k uME,t uME,..................................................................................[28]
Hasil pengamatan penurunan uME disajikan dalam Gambar 32 hingga
Gambar 36. Dalam static-mixer, karena penurunan uME jauh lebih cepat pada
tahap awal proses maka laju reaksi dievaluasi dalam 2 tahap yaitu laju reaksi awal
dengan konstanta laju reaksi k1 (dari waktu 0 sampai 1 menit) dan laju reaksi
akhir dengan konstanta laju reaksi k2 (dari waktu 1 hingga 90 menit). Perubahan
dari laju reaksi awal menuju laju raeaksi akhir terlihat naik turun, akan tetapi hasil
masih menunjukkan konsistensi penurunan. Penurunan uME pada proses
transesterifikasi dengan menggunakan blade agitator menunjukkan pola yang
stabil sehingga laju reaksi dievaluasi dalam satu tahap. Hasil nilai k
menggunakan static-mixer dan blade agitator ditunjukkan dalam Tabel 9.
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat secara jelas laju reaksi awal (k1) dengan
static-mixer lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan blade agitator.
Meskipun demikian konstanta laju reaksi dengan blade agitator lebih tinggi
dibandingkan dengan konstanta laju reaksi k2 menggunakan static-mixer, hal ini
beralasan karena pada tahap akhir jumlah reaktan dalm reaktor blade agitator
masih tinggi dibandingkan dengan menggunakan static-mixer pada waktu yang
sama.
65
Tabel 9. Konstanta laju reaksi transesterifikasi dengan static-mixer dan blade agitator
T
(oC)
Static-mixer Blade agitator
k1 (menit-1)
R2 (%) k2 (menit-1)
R2 (%) k (menit-1)
R2 (%)
50 3,912 100 0,016 93,4 0,045 94,7
55 3,995 100 0,021 90,1 0,049 97,7
60 4,000 100 0,022 90,8 0,054 97,6
65 4,006 100 0,023 94,4 0,052 95,1
70 4,051 100 0,024 95,1 0,057 91,7
Gambar 32. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi
menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 50o C
y = -3.912x + 4.605R² = 1
y = -0.016x + 0.626R² = 0.934
y = -0.052x + 4.210R² = 0.951
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0 20 40 60 80 100
ln u
ME
(% w
/w)
Waktu (menit)
uME tahap awal static-mixer uME tahap akhir static-mixer uME blade agitator
66
Gambar 34. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 60o C
Gambar 33. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 55o C
y = -3.995x + 4.605R² = 1
y = -0.021x + 0.165R² = 0.901
y = -0.049x + 4.601R² = 0.977
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0 20 40 60 80 100
ln u
ME
(% w
/w)
Waktu (menit)
uME tahap awal static-mixer uME tahap akhir static-mixer uME blade agitator
y = -4.000x + 4.605R² = 1
y = -0.022x + 0.217R² = 0.908
y = -0.054x + 4.403R² = 0.976
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0 20 40 60 80 100
ln u
ME
(% w
/w)
Waktu (menit)
uME tahap awal static-mixer uME tahap akhir static-mixer uME blade agitator
67
Gambar 36. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 70o C
Gambar 35. Hubungan konsentrasi uME selama reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer dan blade agitator pada suhu 65o C
y = -4.006x + 4.605R² = 1
y = -0.023x + 0.257R² = 0.944
y = -0.052x + 4.210R² = 0.951
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0 20 40 60 80 100
ln u
ME
(% w
/w)
Waktu (menit)
uME tahap awal static-mixer uMEtahap akhir static-mixer uME blade agitator
y = -4.051x + 4.605R² = 1
y = -0.024x + 0.268R² = 0.951
y = -0.057x + 3.977R² = 0.913
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
0 20 40 60 80 100
ln u
ME
(% w
/w)
Waktu (menit)uME tahap awal static-mixer uME tahap akhir static-mixer uME blade agitator
68
4.2.4 Energi Aktivasi (Ea) dan Frekuensi Tumbukan (A)
Menurut persamaan Arhenius (Atkins, 1986), hubungan antara konstanta
laju, energi aktivasi, dan frekuensi tumbukan dapat dinyatakan dalam persamaan
[29]:
di mana Ea adalah energi aktivasi (kJ/mol), R adalah konstanta gas (0.00813 kJ
mol-1 K-1) dan A adalah frekuensi tumbukan (menit-1). Data pada Tabel 11
digunakan untuk menentukan Ea dan A dengan melakukan plot antara ln k dengan
kebalikan suhu absolute (1/T) seperti tersaji dalam Gambar 37, 38 untuk static-
mixer dan Gambar 39 untuk blade agitator. Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi
tumbukan (A) yang dihitung berdasarkan persamaan [29] baik tahap awal dan
akhir reaksi dalam static-mixer serta E dan A hasil reaksi dalam blade agitator
disajikan dalam Tabel 10. Tabel tersebut juga menunjukkan hasil dari percobaan
yang dilakukan oleh penelitian lain.
Gambar 37. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k1) tahap awal dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer
ln k = ln A – Ea/RT …………………………………………………….……[29]
y = ‐0.161x + 1.869R² = 0.827
1.36
1.37
1.38
1.39
1.4
1.41
2.9 2.95 3 3.05 3.1 3.15
ln k (m
in‐1)
1/T (x 10 ‐3°K)
69
Gambar 38. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k2) tahap akhir dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan static-mixer
Gambar 39. Plot Arhenius antara konstanta laju reaksi (ln k) dengan kebalikan suhu mutlak menggunakan blade agitator
y = ‐2.013x + 2.185R² = 0.807
‐4.2
‐4.1
‐4
‐3.9
‐3.8
‐3.7
‐3.6
2.9 2.95 3 3.05 3.1 3.15
ln k (m
in‐1)
1/T (x 10 ‐3°K)
y = ‐1.265x + 0.830R² = 0.983
‐3.2
‐3.1
‐3
‐2.9
‐2.8
2.9 2.95 3 3.05 3.1 3.15
ln k (m
in‐1)
1/T (x 10 ‐3°K)
70
Table 10. Perbandingan Energi aktivasi (Ea) dan frekuensi tumbukan (A) Hasil Percobaan
Ea (J/mol) A (menit-1) Tahap percobaan Waktu ( menit) 1,33 6,48 Tahap awal static-mixer 0 - 1
16,71 8,89 Tahap akhir static-mixer 1 - 90
10,49 2,29 blade agitator 0 - 90
Hasil Penelitian lain
Ea (J/mol) A (menit-1) Metode Referensi 0,026 - batch reaktor (katalitik) Darnoko dan Cheryan
(2000a)
69,0 x 103 6936 superkritik MeOH (non-katalitik) Kusdiana dan Saka
(2001)
31,0 x 103 4,2 reaktor kolom gelembung
(superheated/non-katalitik)
Joelianingsih et al.
(2008)
Energi aktivasi (Ea) adalah energi minimum yang diperlukan untuk
melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Dalam reaksi transesterifikasi Ea adalah
energi minimum untuk menghasilkan FAME dan gliserol dari reaktan TG dan
MeOH. Jika partikel-partikel bertumbukan dengan energi yang lebih rendah dari
energi aktivasi (Ea) maka fluida yang diproses masih dalam bentuk reaktan (TG
dan MeOH) dan tidak akan terjadi reaksi transesterifikasi. Dalam percobaan
static-mixer, nilai Ea dan A pada tahap awal lebih kecil dari Ea dan A tahap akhir
yaitu 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48 , menit-1 dan 8,89 menit-1. Hal ini
menunjukkan energi minimum yang digunakan untuk memecah beberapa ikatan-
ikatan TG, DG, dan MG menjadi ME dan GL realatif kecil. Kondisi ini
dikarenakan jumlah TG dan produk intermediate (DG dan MG) masih berada
dalam jumlah yang cukup banyak. Akan tetapi ketika jumlah reaktan tersebut
berada dalam jumlah yang sedikit pada tahap akhir reaksi di mana sebagian sudah
terkonversi menjadi produk (ME dan GL) energi untuk memecahnya akan
semakin besar (meningkat 15,38 J/mol).
Fekuensi tumbukan (A) dapat diartikan sebagai persentase tumbukan
antara bahan yang bereaksi, semakin besar A semakin besar kecepatan reaksi.
Dalam percobaan static-mixer, nilai A pada tahap akhir terlihat semakin besar dan
meningkat dari 6,48 menit-1 menjadi 8,89 menit-1, hal ini menunjukkan bahwa
tumbukkan yang terjadi antar molekul zat pereaksi semakin banyak. Pada tahap
71
akhir ini jumlah TG, MG, dan DG semakin minimal sehingga untuk
melangsungkan laju reaksi diperlukan A semakin besar. Intensitas tumbukan
yang tinggi juga sangat diperlukan dikarenakan reakssi transesterifikasi ini juga
termasuk reaksi balik (reversible) yang memungkinkan reaksi mengarah ke kiri.
Untuk membandingkan kedua hasil tersebut dengan hasil yang ditemukan
dari hasil penelitian lain tidak mudah dikarenakan terdapat adopsi dua tahap laju
reaksi dalam penelitian ini. Konstanta laju reaksi untuk non katalis untuk
transesterifikais minyak rapseed dalam kondisi superkritik yang dilakukan
Kusdiana and Saka (2001) adalah 0,041 menit-1 pada suhu 543o K dan tekanan 2
MPa, sedangkan Ea and A adalah 69 kJ/kmol and 6936 menit-1. Nilai Ea dan A
tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai hasil percobaan dengan hasil percobaan
static-mixer. Perbedaan hasil percobaan tersebut disebabkan oleh adanya
perbedaan kondisi reaksi yang dicoba. Pada percobaan Kusdiana dan Saka
dilakukan reaksi pada tekanan 40 MPa di mana polaritas MeOH akan menurun.
Sebagai akibatnya TG yang bersifat non-polar dapat disolfasi dengan MeOH
superkritik untuk mengubah fase tunggal dari minyak nabati/MeOH. Pada Tabel
10 disajikan nilai Ea dan A hasil penelitian static-mixer yang dilakukan dan dari
hasil peneliti lain.
Penelitian Ea dan A juga dilakukan oleh Joelianingsih et al. (2008) untuk
transesterifikasi minyak sawit dalam reaktor kolom gelembung sistem batch
secara non-katalis. Di dalam hasil penelitiannya, reaksi transesterifikasi
dilangsungkan dalam tekanan atmosfir, MeOH superheated, dan tanpa
pengadukan (stirring). Nilai EA dan A yang rendah dihasilkan masing-masing 31
kJ/mol and 4,2 menit-1. Percobaan tersebut dilakukan dengan gelembung MeOH
yang disebar ke dalam fase minyak serta sistem terdiri dari dua fase. Laju reaksi
dibawah kendali/pengaruh pindah masa antara fase gas dan liquid. Mekanisme
pengadukan seperti ini tentunya akan mempengaruhi besar nilai k, Ea, A, dan
waktu reaksi.
72
4.3 Analisis Energi
4.3.1 Analisis Kehilangan Panas
Pada saat proses produksi berlangsung, dilakukan pengukuran suhu pada
reaktor. Pengukuran suhu dilakukan terhadap 13 titik pengukuran, yakni suhu
pada : 1) uap MeOH keluar, 2) tutup atas 3) kran sampel atas 4) kran sampel
tengah, 5) heater, 6) tutup bawah, 7). kran sampel bawah, 8) dinding luar, 9)
glasswool, 10) dinding static-mixer, 11) dinding dalam, 12) pipa, 13)
lingkungan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 40. Hasil sebaran suhu
pengukuran suhu pada setiap bagian reaktor disajikan dalam Gambar 41, 42, dan
43. Pada lampiran 17 dan 18 disajikan data hasil pengukuran sebaran suhu
reaktor static-mixer.
Gambar 40. Posisi pengukuran suhu pada reaktor, static-mixer
73
Gambar 41. Sebaran suhu pada tutup atas, uap keluar, heater,dan kran atas
Gambar 42. Sebaran suhu pada pipa sirkulasi, dinding luar, static-mixer, dan kran bawah
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100
Suhu
(C
)
Waktu (menit)
Tutup atas Uap keluar Heater Kran atas
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100
Suhu
(C
)
Waktu (menit)
Pipa Dinding luar Static-mixer Kran bawah
74
Sebaran suhu hasil pengukuran di dalam tangki untuk kondisi proses pada
suhu 70 °C dapat dilihat pada Gambar 41. Suhu heater yang dimaksud adalah
suhu campuran di sekitar heater. Sebagai daerah yang lebih dekat dengan sumber
panas, pada saat awal pompa dihidupkan dan campuran reaktan disirkulasikan
melewati static-mixer terlihat bahwa suhu heater memang lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu di titik pengukuran lainnya.
Berdasarkan grafik pada Gambar 41, 42 dan 43 pada menit ke-0 suhu
heater tercatat sebesar 67 °C, sedangkan suhu kran bawah adalah 66 °C, kran
tengah 67 °C, dan kran atas yang jauh lebih dari sumber panas bersuhu 66 °C.
Pada saat proses sirkulasi berlangsung, campuran pada bagian dasar tangki yang
bersuhu lebih tinggi mengalir melewati pipa dan static-mixer dan kembali lagi ke
tangki utama melewati pipa penyebaran. Setelah keluar dari pipa penyebaran,
campuran akan menyentuh kran bagian atas terlebih dahulu, kemudian baru turun
perlahan-lahan ke bagian dasar tangki. Akibatnya walaupun pada saat awal suhu
Gambar 43. Sebaran suhu pada tutup bawah, dinding dalam, glas wool, dan kran tengah
0
10
20
30
40
50
60
70
0 20 40 60 80 100
Suhu
(C
)
Waktu (menit)
Tutup bawah Dinding dalam Glass wool Lingkungan Kran tengah
75
di sekitar heater lebih tinggi, setelah beberapa menit proses berlangsung, suhu
pada kran sampel atas lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada bagian lain.
Perpindahan panas yang diamati pada reaktor berhubungan dengan
perpindahan panas secara konduksi dan konveksi. Pindah panas konduksi terjadi
pada dinding tangki bagian atas dan bawah, dan pada pipa-pipa saluran serta
dinding static-mixer. Sedangkan pindah panas secara konveksi yang diamati
adalah pindah panas dari dinding bagian luar tangki ke udara luar (lingkungan).
Pindah panas secara konduksi pada plat datar dapat dihitung dengan persamaan
Fourier (Bacon, 1990)
Pada reaktor static-mixer, kehilangan panas merupakan gabungan kehilangan
panas secara konduksi dan koveksi. Kehilangan panas yang diamati terjadi pada
dinding tangki, tutup atas, tutup bawah, pipa, dan dinding static-mixer. Dengan
mengetahui suhu pada daerah-daerah tersebut dan sifat-sifat udara di sekitarnya,
kehilangan panas gabungan dapat dihitung. Kehilangan panas yang terjadi
sebanding dengan perbedan suhu yang terjadi dan luasan daerah yang mengalami
proses perpindahan panas. Sebaran suhu pada pipa, dinding tangki tutup atas,
tutup bawah, dan dinding static-mixer ditampilkan pada Gambar 44.
Kehilangan panas yang terjadi dapat dihitung dengan menghitung pindah
panas pada dinding tangki utama (q1), kehilangan panas dari dinding luar ke udara
sekitar (q2), kehilangan panas dari pipa ke udara luar (q3), kehilangan panas
melalui dinding static-mixer (q4), kehilangan panas memalui tutup atas (q5), dan
kehilangan panas melalui tutup bawah (q6). Persamaan pindah panas tersebut
didasarkan pada pindah panas secara konveksi, dengan bentuk umum :
qn = h Ad (td – tu) ....................................................................................[30]
h = NNu k /Dd ..........................................................................................[31]
NGr Npr = NNu ...........................................................................................[32]
NNu = 0,53 (NGr Npr)0,25 ..........................................................................[33]
NGr = (Dd)3 (gßρ2/µ)∆T ........................................................................[34]
76
Keterangan :
qn = kehilangan panas (kJ), n =1, 2, 3, ...., h = koefisien pindah panas
konveksi (W/m2°K), Ad = luas / penampang (m2), td = temperatur dinding luar
(°K), tu = suhu udara luar (°K), Dd = diameter (m), NNu = bilangan Nusselt (tidak
berdimensi), Npr = bilangan Prandtl (tidak berdimensi), NGr = bilangan Grashoff
(tidak berdimensi), g = percepatan gravitasi m/dt2, ρ = kerapatan udara (kg/m3),
µ = viskositas (poise), ß = koefisien muai volume (1/K) Cara perhitungannya
disajikan pada Lampiran 19 sampai dengan 24.
Gambar 44. Sebaran suhu rata-rata pada reaktor
Berdasarkan Gambar 44, disajikan grafik penyebaraan suhu dan terlihat
bahwa pipa dan tutup tangki bagian atas memiliki suhu paling tinggi. Keduanya
memiliki suhu rata-rata 57,37 °C dan 57,05 °C. Dinding static-mixer juga
memiliki suhu yang relatif tinggi. Sedangkan dinding dan tutup bagian bawah
tangki (dasar) memiliki suhu rata-rata yang lebih rendah. Pipa, tutup atas, dan
dinding static-mixer memiliki suhu yang lebih tinggi pada bagian luarnya karena
ketiga daerah tersebut tidak dilapisi oleh bahan isolator, sehingga panas dari
bahan langsung berpindah ke dinding yang terbuat dari baja tahan karat, dan
diteruskan ke lingkungan luar. Sedangkan pada dinding dan dasar tangki terdapat
57.37
38.47
57.05 54
39.37
0
10
20
30
40
50
60
70
Pipa Dinding tangki
Tutup atas Static-mixer Tutup bawah
Suhu
(oC
)
Komponen reaktor
77
ruang isolasi yang berisi glasswool. Jumlah energi yang hilang dalam bentuk
panas (dalam kJ) pada kelima daerah tersebut dapat dilihat dari grafik pada
Gambar 45.
Dari grafik pada Gambar 45 terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi
pada pipa yang berfungsi sebagai saluran sirkulasi reaktan. Pada pipa, selain suhu
yang relatif lebih tinggi luasan permukaan pipa yang berhubungan dengan udara
luar juga mempengaruhi besarnya kehilangan panas yang terjadi. Luasan pipa
bagian luar dari hasil perhitungan didapatkan sebesar 0,102 m². Sehingga
kehilangan panas yang terjadi pada pipa adalah sebesar 116,57 kJ. Walaupun
dinding memiliki luasan permukaan yang cukup besar dibandingkan daerah
lainnya, namun karena fungsi bahan isolasi yang memberikan keuntungan dengan
mencegah perpindahan panas yang terlalu besar ke lingkungan, perpindahan panas
pun tidak terlalau besar. Pada lampiran 19 hingga 24 disajikan perhitungan
pindah panas pada pipa, dinding tangki, tutup atas-bawah, dan static-mixer.
Gambar 45. Kehilangan panas pada reaktor
Luasan dinding dari hasil perhitungan adalah sebesar 0,53 m², sedangkan
kehilangan panasnya adalah sebesar 76,22 kJ. Tutup tangki bagian atas tidak
terlalu luas, mengalami kehilangan panas yang cukup besar jika dibandingkan
116.57
76.22
38.1327.71
8.38
0
20
40
60
80
100
120
140
pipa dinding tangki
Tutup atas Static-mixer Tutup bawah
Keh
ilang
an p
anas
(kJ)
Komponen reaktor
78
dengan tutup bagian bawah tangki. Dengan luasan yang sama yaitu 0,047m²,
kehilangan panas penutup tangki bagian atas adalah 38,13 kJ, sedangkan
kehilangan panas yang terjadi pada penutup tangki bagian bawah hanya 8,38 kJ.
Besarnya kehilangan panas yang terjadi pada tutup tangki bagian atas
disebabkan oleh tidak adanya bahan isolasi yang dapat mencegah perpindahan
panas dari dinding penutup tangki ke lingkungan luar. Metanol yang menguap
juga menyebabkan suhu pada dinding penutup atas tangki cukup tinggi.
Pemberian bahan isolasi pada dinding penutup bagian bawah memberikan
kehilangan panas yang minimal. Dari kelima daerah yang mengalami kehilangan
panas, dinding penutup tangki bagian bawah mengalami kehilangan panas paling
kecil. Kemudian static-mixer juga mengalami kehilangan panas yang cukup kecil,
karena dengan tinggi 30 cm, luasnya hanya 0,03 m², dan kehilangan panas hanya
sebesar 27,71 kJ. Bila dihitung dalam persen maka terlihat bahwa kehilangan
panas terbesar terjadi pada pipa saluran sebesar 44 persen dari total kehilangan
panas pada alat. Dinding menempati urutan ke dua dengan presentase sebesar 28
persen, kemudian tutup atas sebesar 14 persen, dinding static-mixer sebesar 11
persen, dan terakhir tutup bawah sebesar 3 persen. Kehilangan panas ke
lingkungan luar tentu saja tidak diinginkan karena akan meningkatkan kebutuhan
energi untuk pemanasan bahan. Pemberian bahan isolator pada bagian-bagian
yang membuat kehilangan panas menjadi tinggi dapat mengatasi pemborosan
energi.
4.3.2 Kebutuhan Energi untuk Proses Transesterifikasi
Hasil pengukuran energi pemanasan awal dan proses transesterifikasi
disajikan dalam Tabel 11. Pengaruh suhu terhadap konsumsi energi dalam proses
transesterifikasi untuk setiap suhu disajikan dalam Gambar 46. Peningkatan suhu
cenderung akan mengurangi energi yang dibutuhkan untuk proses
transesterifikasi. Berdasarkan gambar tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan
energi transesterifikasi dengan blade agitator lebih besar dibandingkan dari energi
menggunakan static-mixer pada temperature yang sama. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa static-mixer dapat mengurangi secara signifikan kebutuhan
79
energi transesterifikasi yang dibutuhkan. Dengan demikian, efektifitas energi
pengadukan dari reaktan (TG dan MeOH) menjadi metil ester (biodiesel) dalam
static-mixer jauh lebih besar dibanding dalam blade agitator
Table 11. Kebutuhan energi untuk setiap tahap produksi biodiesel
T (oC)
Static-mixer (kJ/kg) Blade agitator (kJ/kg) Pemanasan awal
Transeste-ifikasi
Purifikasi
Total (Qin)
Pemanasan awal
Transeste-rifikasi
Purifikasi
Total (Qin)
50 160,94 119,66 1529,86 1810,45 160,94 529,26 1529,86 2220,36 55 182,52 99,29 1525,96 1807,77 182,52 493,82 1525,96 2202,39 60 196,90 78,93 1525,96 1801,79 196,90 519,38 1525,96 2242,24 65 218,48 56,01 1529,86 1804,35 218,48 478,64 1529,86 2226,9870 240,06 68,74 1529,86 1838,66 240,06 399,72 1529,86 2169,63
Rata-rata 199,78 84,53 1528,30
1812,60 199,78 484,16 1528,30
2212,32
4.3.3 Kebutuhan Energi Untuk Pemanasan Awal dan Purifikasi
Distribusi energi input (Qin) dalam produksi biodiesel menggunakan
static-mixer dan blade agitator dapat dilihat dalam Gambar 47 dan 48. Energi
Gambar 46. Kebutuhan energi transesterifikasi yang dibutuhkan untuk static-mixer dan blade agitator
0
100
200
300
400
500
600
40 50 60 70 80
Ene
rgit
rans
este
rifik
asi (
kJ/k
g)
Suhu ( C)
Static-mixer Blade-agitator
80
input berasal dari: 1) energi panas dari heater untuk pemanasan awal RBDPO dan
MeOH, 2) energi panas dari heater untuk proses transesterifikasi dan energi dari
motor untuk sirkulasi (static-mixer), dan 3) energi panas dari heater untuk
memanaskan air yang digunakan untuk pencucian dan pengeringan serta energi
motor untuk mengalirkan air panas dan produk dari tangki utama ke tangki
pencucian.
Dari Gambar 47 dan 48 menunjukkan bahwa penurunan energi untuk
proses transeterifikasi dengan peningkatan suhu reaksinya dikompensasi dengan
energi untuk pemanasan awal RBDPO. Penggunaan energi untuk pemanasan
awal RBDPO lebih besar untuk suhu yang lebih tinggi. Konsumsi energi pada
setiap tahap proses produksi disajikan dalam Tabel 12. Dalam penelitian ini,
purifikasi biodiesel dilangsungkan dengan menggunakan pencucian air panas.
Metode purifikasi dengan pencucian seperti ini mempunyai kelemahan yaitu
proses dilakukan dengan waktu yang relatif lama hingga mencapai waktu 2,5 jam
serta membutuhkan jumlah air yang cukup banyak. Di samping itu dibutuhkan
proses evaporasi air dalam biodiesel hasil pencucian.
Gambar 47. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor static-mixer
50 C 55 C 60 C 65 C 70 C
Pemanasan awal 160.94 182.52 196.9 218.48 240.06
Transesterifikasi 119.66 99.29 78.93 56.01 68.74
Purifikasi 1529.26 1525.96 1525.96 1529.26 1529.26
0
400
800
1200
1600
2000
Energi (kJ/kg)
81
4.3.4 Rasio Energi
Rasio energi (Er) dihitung berdasarkan persamaan [27]. Secara garis besar
hasil perhitungan Er biodiesel dengan static-mixer dan blade agitator disajikan
dalam Tabel 12. Dari hasil pengukuran tersebut dapat dilihat bahwa suhu reaksi
tidak begitu memberikan pengaruh yang jelas terhadap rasio energi. Hal ini
dikarenakan kecenderungan adanya kompensasi dari energi transesterifikasi
terhadap energi pemanasan awal. Fenomena ini terjadi baik untuk penggunaan
static-mixer dan blade agitator.
Dalam Gambar 49 dan 50 disajikan gambar atau pola perubahan Er untuk
yang tanpa melibatkan energi purifikasi dan memasukan energi purifikasi. Hasil
percobaan menunjukkan bahwa Er rata-rata untuk memproduksi biodiesel dari
RBDPO dengan menggunakan static-mixer adalah 3,63 dan nilai ini lebih tinggi
dibandingkan rasio energi rata-rata yang dihasilkan menggunakan blade agitator
yaitu 1,51. Pemasukan energi purifikasi dalam perhitungan mengakibatkan Er
rata-rata menurun dengan nilai 0,57 dan 0,46 masing-masing untuk static-mixer
dan blade agitator. Dengan mempertimbangkan definisi Er yang digunakan dalam
Gambar 48. Distribusi energi produksi biodiesel dengan reaktor blade agitator
50 C 55 C 60 C 65 C 70 C
Pemanasan awal 160.94 182.52 196.9 218.48 240.06
Transesterifikasi 529.26 493.82 519.38 478.64 399.72
Purifikasi 1529.26 1525.96 1525.96 1529.26 1529.26
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Energi (k
J/kg)
82
dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa nilai Er yang tinggi memerlukan input
energi yang rendah untuk meningkatkan energi biodiesel dari kandungan energi
bahan baku yang diolah. Pada lampiran 26 hingga 30 disajikan data dan hasil
perhitungan Er untuk suhu 50, 55, 60, 65, dan 70oC.
Tabel 12. Perhitungan Rasio Energi (Er)
T (oC) Er (Static-mixer) Er (Blade agitator)
Qin (kJ/kg)
Er dengan purifikasi
Er tanpa purifikasi
Qin (kJ/kg)
Er dengan purifikasi
Er tanpa purifikasi
50 1810,45 0,57 3,67 2220,36 0,46 1,49
55 1807,77 0,57 3,65 2202,39 0,47 1,52
60 1801,79 0,57 3,73 2242,24 0,46 1,44
65 1804,35 0,57 3,75 2226,98 0,46 1,48
70 1838,66 0,56 3,34 2169,63 0,47 1,61
Rata-rata 1812,60 0,57 3,63 2212,32 0,46 1,51
Keterangan :
Er : (Q2-Q1)/Qin Qin: jumlah energi pemanasan awal, transesterifikasi, dan purifikasi (kJ, lihat
Tabel 12) Q2 : nilai kalor biodiesel dari RBDPO sebesar 37,8 MJ/kg (Pischinger et al.,1982) Q1 : nilai kalor RBDPO sebesar 36,70 MJ/kg (Gros, 2009)
Gambar 49. Rasio energi produksi biodiesel dengan tanpa melibatkan energi
purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w
0
1
2
3
4
45 50 55 60 65 70 75
Ras
io e
nerg
i
Suhu (oC)
Static-mixer Blade agitator
83
Pada Tabel 13 disajikan hasil perhitungan dari penelitian lain tentang Er
yang dioperasikan pada kondisi yang berbeda. Terdapat disparitas nilai Er dari
hasil penelitian yang ada, Kinast (2003) and Lurgi (2008) menghasilkan
pehitungan Er pengolahan biodiesel dari minyak sawit yang dioperasikan pada
suhu 60oC sebesar 31,8 and 32,3 (lihat Tabel 14). Nilai rasio energi tersebut jauh
lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan, akan tetapi nilai-nilai tersebut
diperoleh dengan dasar perhitungan yang berbeda yaitu dengan membandingkan
energi biodiesel terhadap energi proses serta tanpa melibatkan kandungan energi
yang terdapat dalam minyak sawit sebesar 36,7 MJ/kg (Gros, 2009) serta dalam
perhitungan tidak melibatkan energi input dari pupuk yang dikonsumsi dan
transportasi. Sagara (2006) juga melaporkan nili Er yang diperoleh dari
pengolahan biodiesel dari minyak sawit menggunakan metoda non-catalytic
bubble column reaktor sebesar 6,3. Nilai rasio energi tersebut juga diperoleh
dengan dasar perhitungan yang sama tanpa melibatkan kandungan energi minyak
sawit yang nilainya cukup besar 36,70 MJ/kg dan energi input atau pupuk selama
penanaman sawit
Gambar 50. Rasio energi produksi biodiesel dengan melibatkan energi purifikasi pada saat nilai ME mencapai 96,5 % w/w
0
0.4
0.8
1.2
1.6
2
45 55 65 75
Ras
io e
nerg
i
Suhu (oC)
Static-mixer Blade agitator
84
Di lain pihak hasil penelitian Er yang dilakukan oleh Pimentel dan Patzek
(2005) adalah 0,79. Dalam penelitian tersebut nilai Er didasarkan pada persamaan
yang tidak komprehensif dan hanya didasarkan pada perbandingan nilai energi
biodiesel terhadap jumlah energi untuk penanaman kedelai dan pengolahan
kedelai menjadi biodiesel dan tepung kedelai. Sheehan et. al. (1998) melaporkan
penelitian Er dengan lebih detail dengan melibatkan fraksi biodiesel dan produk
lain sehingga dihasilkan nilai yang lebih jelas dan komprehensif. Nilai Er dari
perhitungan ini dengan melibatkan energi untuk kultivasi, penggilingan,
transesterifikasi dan transportasi serta nilai Er yang dihasilkan adalah 3,21.
Ahmed (1994), dan Hill et. al. (2006) juga melaporkan perhitungan Er
biodiesel dari minyak kedelai masing-masing sebesar 2,51, dan 1,93. Dalam
perhitungannya dilibatkan nilai kalori co-product biodiesel (gliserol dan tepung
kedelai). Nilai-nilai Er tersebut di atas cukup beragam karena diperoleh dengan
perhitungan (persamaan) yang berbeda. Dalam perhitungan-perhitungan Er
tersebut, nilai energi input berasal dari pupuk dilibatkan (tanpa melibatkan input
sinar matahari), energi listrik dan boiler untuk pengolahan biodiesel, pengurangan
energi yang terkandung dalam tepung biji kedelai (soybean meal), energi untuk
pengangkutan/transportasi. Di samping itu masing-masing percobaan digunakan
reaktor dengan kapasitas dan kondisi proses yang berbeda (molar rasio, suhu,
tekanan, dan kecepatan pengadukan).
Tabel 13. Hasil perhitungan rasio energi (Er)
keterangan: *: tanpa energi purifikasi, **: dengan energi purifikasi
Rasio energi (Er)
Sumber Persamaan
3,63 Hasil penelitian Pers. [27]* 1,51 Hasil penelitian Pers. [27]** 0,79 Pimentel and Patzek (2005) Er = Eb/(Es+Ep) 3,21 Sheehan et al. (1998) Er=Eb/(E1f1+ E2f2+ E3f3) 2,51 Ahmed et al. (1994) Er = (Eb+Ec)/(E1+E2+E3) 1,93 Hill et al. (2006) Er = (Eb+Ec)Etp 32,3 Lurgi (2008) Er = Eb/Etp 31,8 Kinast (2003) Er = Eb/Etp 6,3 Sagara (2006) Er = Ecb/Etp
85
Eb: energi biodiesel (kJ / kg) Es: energi untuk pemanenan kedelai tanpa energi untuk transportasi (kJ / kg) Ep: energi input pengolahan biodiesel dan tepung kedelai tanpa energi transportasi (kJ/kg) Ec: nilai kalori biodiesel co-products (glycerol and soy flour) (kJ / kg) Ecb : nilai kalori biodiesel (kJ/kg) Es : energi supply dalam reaktor (kJ/kg) E1: energi inputs untuk kultivasi and transportasi (kJ / kg) E2: energi input untuk penggilingan dan transportasi (kJ / kg) E3: energi input untuk transesterifikasi dan transportasi (kJ / kg) Etp : energi transesterifikasi dan purifikasi (kJ/kg) f1, 2,3: fraksi dari energi input biodiesel (%)
86
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat disajikan dari percobaan penelitian transesterifikasi
RBDPO menggunakan reaktor static-mixer dan blade agitator:
1. Waktu reaksi transesterifikasi untuk mencapai kandungan metil ester
standard (minimum 96,5 % w/w, sesuai SNI 04-7128-2006 )
menggunakan static-mixer lebih singkat dibanding menggunakan blade
agitator. Hal ini menandakan mekanisme pengadukan static-mixer lebih
efektif dibandingkan pengadukan blade agitator,
2. Pengaruh suhu reaksi transesterifikasi pada percobaan menggunkan static-
mixer tidak terlalu signifikan terhadap pembentukan metil ester,
3. Laju reaksi transesterifikasi menggunakan static-mixer menghasilkan dua
tahap reaksi sehingga memberikan dua konstanta lau reaksi yaitu konstanta
laju reaksi awal (k1) dan konstanta laju reaksi akhir (k2) sedangkan pada
percobaan blade agitator memberikan satu tahap laju reaksi (k). (dengan
perbandingan k1 lebih besar dari k),
4. Hasil percobaan menggunakan static-mixer menghasilkan nilai Ea1, Ea2,
A1, dan A2 yaitu 1,33 J/mol, 16,71 J/mol, 6,48, menit-1 dan 8,89 menit-1..
Sedangkan nilai Ea dan A untuk blade agitator adalah 10,49 J/mol, dan
2,9 menit-1. Hasil tersebut menunjukkan frekuensi tumbukan pada static-
mixer lebih tinggi dari blade agitator.
5. Energi transesterifikasi rata-rata menggunakan reaktor static-mixer adalah
84,53 kJ/kg lebih kecil dibanding menggunakan blade agitator yaitu 484,2
kJ/kg. Energi transesterifikasi terkecil didapat pada suhu operasi 65 oC
yaitu adalah 56,1 kJ/kg.
6. Kebutuhan energi rata-rata untuk produksi biodiesel (Qin) menggunakan
static-mixer adalah 1812,60 kJ/kg, sedangkan bila menggunakan blade
agitator adalah 2212,32 kJ/kg.
7. Energi yang dibutuhkan untuk purifikasi biodiesel (pencucian dan
pengeringan) lebih tinggi dibanding untuk pemanasan awal minyak (TG)
87
dan MeOH dan proses transesterifikasi (84 % untuk purifikasi, 11 % untuk
pemanasan awal RBDPO atau TG dan MeOH, 5 % untuk transesterifikasi)
8. Rasio energi (Er tanpa melibatkan energi purifikasi ) rata-rata dengan
menggunakan static-mixer adalah 3,63, sedangkan bila menggunakan
blade agitator adalah 1,51 (Er static-mixer 2,41 lebih besar dari Er blade
agitator). Er yang dioperasikan dengan static-mixer pada suhu 65°C,
memberikan nilai yang terbesar yaitu 3,75.
9. Dari hasil perhitungan terlihat bahwa kehilangan panas terbesar terjadi
pada pipa untuk saluran sirkulasi reaktan (116,57 kJ/kg) disusul dengan
dinding tangki (73,98 kJ), tutup atas (38,47 kJ), static-mixer (27,72 kJ),
dan tutup bawah (8,38 kJ).
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian penggunaan static-mixer dengan mengubah
dimensi diameter elemen, jumlah elemen, panjang casing dan kecepatan
aliran fluida (reaktan) untuk mengetahui laju dan kinetika reaksi yang
terjadi,
2. Perlu dilakukan metoda purifikasi (pencucian) lain, karena energi yang
dibutuhkan pada tahap ini masih cukup besar. Salah satu cara yang bisa
diterapkan adalah dengan menggunakan metode pencucian kering (tanpa
menggunakan air),
3. Perlu dipelajari suatu model pabrik (industri pengolahan) yang bisa
menggambarkan waktu reaksi dan kandungan metil ester sebagai fungsi
atau pengaruh jenis bahan baku, suhu dan molar rasio reaktan, dan suhu
reaksi transesterifikasi.
88
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, I., J. Decker, and D. Morris. (1994). How much energi does it take to
make a gallon of soydiesel? Jefferson City, Mo.:National Soydiesel
Development Board.
Ajav, E.A. and A.O. Akingbehin (2002). “A Study of Some Fuel Properties of
Local Ethanol Blended with Diesel Fuel”. Agricultural Engineering
International: The CIGR Journal of Scientific Research and Development.
IV: EE 01 003.
Aksoy, H. A., Kahrahman, I., Karaosmanoglu, F., Chvelevkoglu, H., (1988).
Evaluation of Turkish sulphuric olive oil as Alternative Diesel Fuel Oil.
J. Am. Oil Chem. Soc. 65 : 935-938.
American Society for Testing and Materials, Standard Specification for Biodiesel
Fuel(B100) Blend Stock for Distillate Fuels, Designation D6751-02,
ASTM International, West Conshohocken, PA (2002).
Ariati, R. (2007). Kebijakan Nasional Pengembangan Biofuel. Makalah
disampaikan dalam Workshop Desain Pabrik Biodiesel Skala Mini,
Serpong 13-15 Nopember 2007. BRDST (BPPT), MerRistek, DJLPE
(ESDM), dan PT. Astra Agro Lestari Tbk.
Atkins PW (1986). Physical Chemistry. 3rd ed. New York: Oxford University
Press
Bacon, D.H. dan R.C. Stephens (1990). Mechanical Technology. Second Edition,
Oxford, Butterworth-Heinemann Ltd.
Ban, K., Kaieda, T. Matsumoto, A. Konodo and H. Fukuda (2001). Whole cell
biocatalyst for biodiesel fuel production utilizing Rhizopus oryzae cells
immobilized within biomass support particles. Biochemical Engineering
Journal 8 (2001): 39-43
Barrow GM. (1973). Physical chemistry. Tokyo: McGraw-Hill Kokusha Ltd, hal.
419.
Brennan, J.G., Butters, J.R., Cowell, N.D., and Lilly, A.E.F. (1969). Food
Engineering Operations, Elseiver, New York, hal. 69-75
89
BSN (2006), ‘Indonesian National Standard on Biodiesel, SNI No. 04-7182-
2006’ SNI
Canacki, M. And Gerpen, J.V. (1999). Biodiesel production via acid catalysis.
Transaction of ASAE 42 (5) : 1203 – 1210.
Carraretto, C., A. Macor, A. Mirandola, A. Stopatto and S. Tonon. (2004).
Biodiesel as alternative fuel: Experimental analysis and energetic
evaluations. In Energi 29:2195 -2211.
Choo, Y.M., and S.H. Ong (1986). Transaction of fats and oils. British patent
GB 2 188 057 A (1986).
Costa, R. S., Lora, E. E. S. (2006). The energi balance in the production of palm
oil biodiesel- two case tudies: Brazil and Colombia”. Federal University
of Itajubá/Excellence Group in Thermal and Distributed Generation NEST
(IEM/UNIFEI), Oil Palm Research Center CENIPALMA/Colombia and
Bahia Federal University – UFBA.
Darnoko, D. and Cheryan, M. (2000a). Continous production of palm methyl
esters, JAOCS, 77 (12), 1269-1272
Darnoko, D. and Cheryan, M. (2000). Kinetics of palm oil transesterification in a
batch reaktor, JAOCS, 77 (12), 1263-1267
Darnoko, Herawan, T., and Guritno, P. (2001). Biodiesel production technology
and its develpoment prospect Indonesia. Warta PPKS 9 : 17 – 27.
Department of Energi-DOE (2009). Energi Sources, DOE News Media, U.S.
Department of Energi ,Washington, DC 20585
Freedman, B., E. H. Pryde and T. L. Mounts (1984). Variables affecting the
yields of fatty esters from transesterified vegetable oils, JAOCS, 61 :
1638-1643.
Freedman, B., R. O. Butterfield and E. H. Pryde (1986). Transesterification of
kinetics of soybean oil. JAOCS, 63 : 1375-1380
Fukuda, H., A. Kondo, H. Noda (2001). Biodiesel fuel production by
transesterification of oils, Journal of Bioscience and Bioengineering, 92
(5) : 405-416
90
Gerpen, J.V. and G. Knothe. (2005). Basics of transesterification reaction. In :
Knothe, J.V. , G. Knothe and J. Krahl, (ed). The biodiesel handbook,
AOCS Press, Champaign, Illinois
Gros, S. Bio-oils for diesel engine (Technology in focus), Energi News, Issue 15,
http://www.wartsita.com/ global/docs/en/powermedia_publication/
energi_news/ _for_diesel_engines.pdf (dikases 10 Oktober 2008).
Hazkil B. (2008). Pengaruh Suhu dan Waktu Esterifikasi - Transesterifikasi pada
Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda.
Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky, and D. Tifanny (2006). Environmental,
economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol
biofuels. PNAS 103(30): 11206‐11210.
Holman, J.P. (1994). Perpindahan Kalor. Edisi ke-6, Penerjemah Jasfi, E,
Jakarta, Erlangga, hal. 859.
INPRES No.1 (2006). Penyediaan dan Pemanfaatan BahanBakar Nabati
(Biofuel).
Joelianingsih, Maeda, H., Hagiwara, S., Nabetani, H., Sagara,Y., Soerawidjaya,
T.H., and Tambunan, A.H. and Abdullah K (2008). Biodiesel fuels from
palm oil via the non-catalytic transesterification in a bubble column reactor
at atmospheric pressure: A kinetic study Renewable Energy 33 : 1629–
1636
Joelianingsih (2008). Biodiesel Production From Palm Oil In A Bubble Column
Reactor By Non-Catalytic Process. Dissertation, Bogor Agricultural
University, Bogor.
Kenics (2007). Kenics Mixing Technology, Chemeneer, Inc, Dayton, OH. http://
www.kenics.com (access ed on April, 2009)
Kinast J.A,. (2003). ” Production of Biodiesels from Multiple Feedstocks and
Properties of Biodiesels and Biodiesel/Diesel Blends,” Final Report ,
National Renewable Energy Laboratory (NREL/SR-510-31460), Gas
Technology Institute Des Plaines, Illinois, March 2003. P: 3.
91
Knothe G. (2005). Analitycal methods for biodiesel. In : Knothe, J.V. , G.
Knothe and J. Krahl, (ed). The biodiesel handbook, AOCS Press,
Champaign, Illinois
Knothe G. (2005). Introduction : What is biodiesel ?. In Knothe G. Gerpen, J.V. ,
Krahl J. editors. The biodiesel handbook. Champaign Illinois: AOCS
Press, p: 1-3
Koflo Corp. (2006). Staticmixers from "The Staticmixer Experts". Koflo
Corp. Information, Cary, Ilinois
Komara, D. (2007). Development of Biofuel/Green Energi in Indonesia: Plan and
Strategy, makalah disampaikan pada “Workshop on M s to Investment and
Flexible Mechanism 30-31 August, Bangkok, UNCC. Streaming Policies
and Investment in Low Carbon: Opportunities for New Approach.
Krawczyk T. (1996). Biodiesel-alternative fuel makes inroads but hurdles remain.
INFORM 7 (8): 800-815.
Kusdiana D, Saka S. (2001). “Kinetics of transesterification in rapeseed oil to
biodiesel fuel as treated in supercritical methanol”. Fuel 2001;80:693–8.
Linko, Y.Y., Lamsa, M., Wu., X., Uosukainen, W., Sapppala, J. and Linko, P.
(1998). Biodegradable products by lypase biocatalysis. J. Biotechnol, 66 :
41-50
Levenspiel O (1972). Chemical Reaction Engineering. 2nd ed. New York:Wiley;
1972. pp. 448-449
Lurgi AG. (2008). Biodiesel from renewable resources. Internet: www.lurgi.com
(accessed at April 10, 2008).
Ma F, and Hanna MA. Biodiesel production (1999). A review. Bioresource
Technology 1999;70:1-15.
Meher, L.C., Vidya Sagar, D. and Naik, S.N., (2006). Technical aspects of
biodiesel production by transesterification. Renew. Sustain. Energi Rev.,
10, p. 248-268.
Mittelbach, M. and C. Remschmidt. (2004). Biodiesel: The comprehensive
handbook. 1st Ed”. Boersedruck Ges.m.b.H. Vienna.
92
Mittelbach, M., M Wortgetter, J. Pernkopf, and H. Junek. (1983). Diesel Fuel
Dirived from Vegetable Oils: Preparation and Use of Rape Oil Methyl
Ester. Energy in Agriculture 2 (1983): 369-384
Moestofa dan Badeges, F. (1986). “Penyulingan Minyak Daun Kayu Manis
Secara Kohobasi dan Identifikasi dan Identifikasi Komponen Minyak
Atsiri yang dihasilkan”. J. of Agro-Based Industry, Vol. 3. No.1
Mootabadi, H,, Salamatania, B., Razali, N.Bathia, S., and Abdullah, A.Z. (2008).
“Energi Balance Production of Biodiesel”. Paper presented on
International Conference on Environmental Research and Technology
(2008). http://www.ppti.usm.my/ICERT_website/Proceeding/ (accessed
at February 10, 2009).
Mujumdar, A.S. (2004). Handbook of Industrial Drying, 2 nd Ed. (Rev. And
expanded), Marcel Dekker Ltd.
Nelson, L.A., Foglia, A., adnd Marmer, W.N. (1996). Lipase- catalyzed
production of biodiesel . J. Am. Oil Chem. Soc. 73 : 168-170
Noureddini, H., Zhu, D., (1997). “Kinetics of transesterification of soybean oil”. J.
Am. Oil Soc. Chem. 74, 1457–1463.
Oldshue, J.Y. (1983). Fluid Mixing Technology. Chemical Engineering Mc.
Graw-Hill Pub. Co, New York.
Otera J. (1993). Transesterification, Chem Rev ;93 (4):1449-1470
Paul, E., Obeng, V.A.A., dan Kresta, S.M. (2003). Handbook of Industrial
Mixing. Wiley-Interscience, New York.
PERPRES No. 5 (2006). Kebijakan Energi Nasional (Target Pemerintah Bidang
Konversi Energi Melaui Pemanfaatan Sumber Energi Alternatif.
Perry R, Green D, editors. Perry’s Chemical Engineer’s Handbook. 7th ed.
McGraw-Hill; 1997.
Peterson, C.L., (1993). “Commercial process feasibility analysis and bench scale
process system design”. University of Idaho, Departments of Agricultural
Engineering and Chemical Engineering, US Department of Energi Agreement
No. DE-B179-93BPO9233. NTIS, Springfield, VA, 15 pp.
93
Pimentel, D. and T.W. Patzek. (2005). “Ethanol Production Using Corn,
Switchgrass, and Wood; Biodiesel Production Using Soybean and
Sunflower,” Natural Resources Research, 14(1): 65-75, 2005.
Pischinger, G.H., A.M. Falcon, R.W. Siekmann and F.R. Fernandes. (1982). ”
Methylesters of Plant Oils as Diesel Fuels, Either Straight or in Blends,” pp
198-208. in Vegetable Oils Fuels. ASAE Publication 4-82. Amer. Soc.Agric.
Engrs., St. Joseph.MI. USA .
Pusdatin KESDM (2009). Buku Statistik Energi, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Energi (KESDM), Jakarta
Sagara (2006). State of the art Technologies in Non-Catalytic Methanolisis for
Biodiesel Fuel Production. In : Proceeding of the Development in Biofuel
Production and Biomass Technology Seminar. Jakatra, February 21-22 ,
Saka S, Kusdiana D (2001). Biodiesel fuel from rapeseed oil as prepared in
supercritical methanol. Fuel 2001;80:225-231.
Schuchardt, U.R., Sercheli and R.M. Vargas (1998). Transasctions of vegetable
oils; a review. Journal of the Brazilian Chemical Society 9 (3) (1998): 199-
210
Sheehan, J., V. Camobreco, J. Duffield, M. Graboski, and H. Shapouri (1998).
Life cycle inventory of biodiesel and petroleum diesel for use in an urban bus.
NREL/SR‐580‐24089 Golden, Colo.: National Renewable Energi Laboratory.
Spath, P. L., and M. K. Mann. (2000). Life cycle assessment of a natural gas
combined‐cycle power generation system. NREL/TP‐570‐27715. Golden,
Colo.: National Renewable Energi Laboratory.
Srivasta, A. and R. Prasad (2000). Triglycerides-based diesel fuels. Renewable
and Sustainable Energi Reviews, 4 : 111-133
Steinfeld JI, Francisco JS, Hase WL. (1989). Chemical kinetics and dynamics.
New York: Prentice Hall, (p. 6).
Stoecker, W.F. and J.W. Jones (1994). Refrigerasi dan Pengkondisian udara.
Penerjemah Supratman Hara, Jakarta, Erlangga, hal. 132.
Tapasvi, D. , Wiesenborn, D, Gustafson, C. (2005). Process model for biodiesel
production from various eedstocks. Transaction of the ASAE 48 (6):
2215 -2221
94
The Environment Protection Agency-EPA (2009), DOE Announce New Steps to
Strengthen ENERGI STAR, DOE News Media, U.S. Department of
Energi ,Washington, DC 20585
Thompson, J.C. and He, B.B. (2007). “Biodiesel Production Using Static-
mixers”, Transactions of the ASABE Vol. 50(1): 161−165.
Vincente, G., Martinez, M, dan Aracil, J. (2004). “Integrated biodiesel production:
a comparison of different homogeneous catalysts systems“, Bioresource
Technology , Vol. 92 (3): 297-305
Watanabe, Y., Shimada, Y., Sugihara, A., and Tominaga, Y. (2001). Enzymatic
conversion of waste edible oil to biodiesel in a fixed-bed bioreaktor. J.
Am. Oil Chem. Soc. 78 (7) : 703-707
Wirawan, S.S., A.H. Tambunan, M. Djamin, and H. Nabetani (2008). “The Effect
of Palm Biodiesel Fuel on the Performance and Emission of the
Automotive Diesel Engine”. Agricultural Engineering International: the
CIGR Ejournal. Manuscript EE 07 005. Vol. X. April, 2008.
Wu WH, Foglia TA, Marmer WN, Phillips JG. Optimizing production of ethyl
esters of grease using 95% ethanol by response surface methodology. J Am
Oil Chemists’ Soc 1999, 76(4):517-521.
Yamazaki R, Iwamoto S, Nabetani H, Osakada K, Miyawaki O, Sagara Y. (2007).
“Noncatalytic alcoholysis of oils for biodiesel fuel production by semi-
bach process”. Jpn J Food Eng. ;8:11–9.
Yuswono, Triyono, and Tahir, I. (2008). Kinetics of palm oil transesterification
in methanol with potassium hydroxide as a catalyst. Indo. J. Chem., 2008,
8 (2): 219 - 225
Zhang, Y., Dub, M.A., McLean, D.D., Kates, M., (2003). Review paper: Biodiesel
production from waste cooking oil: 1. rocess design and technological
assessment, Bioresource Technology 89 (2003) 1–16
Zandy A, Destianna M, Nazef, Puspasari F. 2007. Intensifikasi Proses Produksi Biodiesel. Bandung: ITB.
95
Lampiran l. Gambar piktorial reaktor Static-mixer
96
Lampiran 2. Gambar irisan reaktor static-mixer
97
Lampiran 3. Tampak atas reaktor static-mixer
98
Lampiran 4. Spesifikasi Reaktor Static-mixer Tangki Utama Bahan : Stainless steel 304 Tebal : 2 mm Diameter : 25 cm Tinggi : 50 cm Tinggi penutup dari dasar tangki : 6 cm Tangki kaki penyangga : 29 cm Diameter kaki penyangga : 51 cm Panjang pengaduk : 65,5 cm Blade pengaduk : 4 Kaca Bahan : Kaca Tinggi : 12,25 cm Lebar : 9,4 cm Kedalaman dari dinding luar : 3,5 cm Insulasi Bahan : Glaswool Tebal : 4.5 cm Tinggi : 35 cm Pipa saluran Bahan : pipa baja Ukuran : ¾ ” Tebal : 3 mm Pipa keluar tangki : 4,5 cm Pipa masuk tangki : 10 cm Panjang horizontal bawah dan atas : 33 cm Panjang sebelumSM : 65 cm Panjang setelah SM : 43,5 cm Saluran minyak Bahan : Stainless steel 304 Tebal : 2 mm Diameter : 12 cm Tinggi silinder : 6 cm Tinggi kerucut : 6,5 cm Pipa : 15 cm Kondensor Bahan : Spiral 6 m Diamter spiral : 10 mm Tebal spiral : 1 mm Bahan : stainless steel Diameter : 14.8 cm Tinggi : 37.5 cm
99
Motor/pompa static-mixer Type : sentrifugal Daya : 125 W Hmax : 24 m Suction max : 9 m Frekuensi : 50 Hz RPM : 2850 Tegangan : 220-240 V Motor blade agitator Daya : 125 W Rpm : 150 Frequensi : 50 Hz Voltase : 220 V Heater Jenis : SG1203 Daya : 1550 W Tegangan : 240 V Panjang : 25 cm Diameter : 7 mm Panel Heater, motor, pompa, 3 display suhu Penampung produk/tangki pencucian Bahan : Stainless steel Diameter : 30 cm Tinggi badan tangki : 40 cm Tinggi kaki penyangga : 60 cm Penutup : 5 cm Dasar kerucut : 15 cm
100
Lampiran 5. Rancangan Fungsional Reaktor Static-mixer
1. Tangki Utama
Tangki Utama merupakan tangki untuk menampung seluruh bahan baku
yakni campuran minyak nabati, methanol, dan katalis (Gambar 51). Kapasitas
tangki utama dapat menampung campuran sebanyak 23 liter/proses. Di dalam
tangki utama terjadi mekanisme pencampuran tanpa proses pengadukan.
Pencampuran terjadi secara kimiawi karena pengaruh aliran dari atas ke bagian
bawah tangki dan karena pengaruh panas. Secara mekanik, di dalam tangki utama
tidak diupayakan terjadinya proses pencampuran. Karena proses pencampuran
secara mekanik diharapkan terjadi pada saluran di mana terdapat static-mixer di
dalamnya.
Gambar 51. Reaktor static-mixer
2. Tangki Penampung/pencucian
Tangki penampung berfungsi sebagai tempat untuk menampung produk
hasil reaksi (Gambar 52). Di tangki penampang biodiesel kasar didiamkan
(settling) kemudian di pisahkan dari gliserol. Setelah itu biodiesel dicuci dengan
air bersuhu 90 dan dikeringkan. Tangki penampung berbentuk silinder yang
101
memiliki cekungan pada bagian dasarnya. Terbuat dari stainless steel dengan
diameter 30 cm, tinggi 40 cm dan tinggi bagian kerucut adalah 15 cm.
Gambar 52. Tangki penampung (tangki pencucian).
3. Static-mixer
Static-mixer atau yang sering disebut juga dengan istilah mixer tanpa
gerak (motionless mixer) digunakan untuk proses di dalam pipa. Struktur di
dalamnya padat dan elemen static-mixer dapat dipindahkan. Ukuran diameter
adalah 5 cm dan pajang 6 cm, terbuat dari logam plat stainles steel. Ketika
digunakan, mixer dalam keadaan diam dan pencampuran terjadi dari proses aliran
yang melewati mixer. Mixer statis terdiri dari suatu rangkaian struktur gambaran
cermin yang terpasang pada sebuah saluran atau poros (helix). Struktur seperti ini
disebut dengan istilah “elemen” yang berulang secara berurutan sepanjang ruang
pencampuran.
Aliran tuerbulen dihasilkan oleh bentuk elemen dan dinding saluran yang
berbentuk ulir. Elemen diputar 180 dan elemen berikutnya berpotong dengan
elemen sebelumnya dengan membentuk sudut 90 . Bentuk static-mixer dapat
dilihat pada Gambar 53.
4
y
h
a
d
r
d
a
m
d
4. Pompa/m
Pomp
yang dihasil
heliks. Fluid
aliran turbu
dalam casing
reaktor stat
digunakan u
aliran dalam
memiliki da
ditampilkan
Gambar 53
motor static-
pa menghas
lkan pompa
da dipaksa m
ulen. Aliran
g (rumahan)
tic-mixer ad
untuk memb
m sistem, sam
aya 125 W
pada Gamb
3. Rumahan
-mixer
silkan aliran
melalui flui
mengikuti ja
turbulen in
) static-mixe
dalah : Pom
bawa fluida,
mbungan, pe
W, 220 Volt
ar 54.
(Casing) da
n yang mem
da akan mel
alur tersebu
ni menyeba
er. Kompon
mpa untuk m
, kran yang
engendalian
dan 0.6 A
an elemen sta
mbawa ener
lewati static
t sehingga d
abkan terjad
nen utama sis
memompa c
g digunakan
dan instrum
Ampere.. Po
atic-mixer
gi dan teka
-mixer deng
di dalamnya
dinya penca
stem pemom
cairan, pemi
untuk men
mentasi lainn
ompa yang
102
anan. Daya
gan struktur
a terbentuk
ampuran di
mpaan pada
ipaan yang
ngendalikan
nya. Pompa
digunakan
103
Gambar 54. Pompa static-mixer
5. Heater
Heater berfungsi sebagai penyedia panas untuk mempercepat terjadinya
proses pencampuran methanol dengan minyak nabati. Panas dihasilkan dari energi
listrik yang diubah oleh koil/elemen pemanas. Heater yang digunakan adalah
jenis batangan berbahan besi dengan panjang 25 cm, diameter 7 mm. Daya
elemen pemanas adalah 1550 Watt (hasil pengukuran). Heater yang digunakan
dapat dilihat pada gambar 55.
Gambar 55. Pemanas (heater)
6. Kondensor
Kondensor berfungsi sebagai pendingin dan penukar panas untuk
mengubah uap methanol menjadi cair kembali. Kondensor yang digunakan adalah
jenis spiral dengan panjang spiral 6 m, diameter pipa spiral 10 mm, tebal 1 mm.
104
diameter dan tinggi tabung masing – masing 14,8 dan 37,5 cm. kondensor yang
digunakan ditampilkan pada gambar 56.
Gambar 56. Kondenser
7. Pipa Saluran
Pipa saluran berfungsi untuk mengalihkan campuran dari pompa melewati
static-mixer . Panjang saluran keseluruhan adalah 1,41 meter. Diameter pipa ¾
inci dengan tebal 3mm. Pada pipa terdapat katup untuk mengatur aliran fluida.
8. Kontrol Panel
Kontrol panel merupakan pusat pengaturan daya dan kontrol suhu reaktor.
Terdiri dari saklar pompa, heater, dan pengatur suhu. Kontrol panel ditampilkan
pada gambar 57.
Gambar 57. Kontrol panel static-mixer
105
Lampiran 6. Perhitungan rancangan tangki reaktor static-mixer
Tangki utama dirancang untuk dapat menampung bahan campuran
trigeliserida (TG) dan metanol (MeOH) sebanyak 20 liter, dengan perhitungan
sebagai berikut :
Volume bahan total (TG + MeOH) = 20 liter
Volume Tangki (V) = 20 liter + (15 % x Volume bahan) sebagai head space
(Brenan et al., 1969, halaman 69-75)
Vtotal = 20 liter + 3 liter
Vt otal = 23 liter
Vt dirancang dengan perbandingan T (tinggi) : Diameter (D) = 2 : 1 (Paul, 2003)
Vt = T π D2 = 2 D D2
4 4
23 m3 = π D3 D3 = 46 / (1000 π)
1000 2 D3 = 0,01465
D = 0,2447 m ~ 25 cm
T = 2 x D
= 50 cm
Keterangan :
Fungsi suatu tangki bukan hanya sekadar tempat menampung bahan,
melainkan yang lebih penting adalah sebagai tempat reaksi (TG + MeOH +
katalis). Untuk itu harus tersedia ruang kosong untuk menjaga kondisi bahan tetap
baik selama proses pencampuran terjadi. Ruang kosong (head space) berkisar
antara 15-20 % dari volume bahan (Brenan et al., 1969).
106
Lampiran 7. Perhitungan rancangan settling tank dan pencucian
Settling tank dirancang untuk : 1) menampung hasil reaksi , dan 2)
pencucian. Hasil reaksi akan membentuk 2 lapisan; FAME (lapisan atas) + GL
(lapisan bawah). Pecncucian FAME menggunakan air dan dilakukan setelah GL
dipisahkan.
Untuk pencucian diharapkan dapat menampung 32 liter (12 liter FAME dan 20
liter air). Untuk pencucian, jumlah air yang dibutuhkan sekitar 2 kali jumlah
FAME. Dimensi tinggi tangki dapat dihitung:
Va = 3,5 liter
Vd = (32-3,5) liter
= 28,5 liter
Vd= ¼ π D2 T
28,5 x 10-3 = ¼ π (0,75 T)2 T
T = 40,30 cm (pilih T = 40 cm)
Tinggi tangki ( T) = 40 cm
Diameter tangki (D) = 0,75 x 40 = 30 cm
Va = 1/3 ( ¼ π D2 t)
3,5 x 10-3 = 1/3 ( ¼ π (0.3)2 t
3,5 x 10-3 = 0,02355 t
t = 3,5 x 10-3 = 0,15 m = 15 cm `
0,02355
Tinggi tangki dasar (t) = 15 cm
D
T
t
Vd
Va
107
Lampiran 8. Perhitungan Tenaga Pompa/motor static-mixer Pompa dibutuhkan untuk mengalirkan campuran minyak melewati static mixer.
Kecepatan aliran yang akan dirancang didasarkan atas referensi Paul et. al. (2003)
berkisar 1-5 fps (ambil 1,5 m/detik).
V (kecepatan aliran) = A
, A = ¼ D2 = ¼ (0.01885)2 = 2,79 x 10-4 m2
m = V ρ A = 1,5 m/det x 857 kg/m3 x 2,79 x 10-4 m2
= 0,36 kg/dt
Bilangan Reynold :
Re =
= (857 x 1,5 x 0,01885)/6,17 x 10-3 = 3927,4
Faktor gesekan :
f = 0,079/Re0.25
= 0,079/(3927,4)0.25
= 0,01
Kehilangan tekanan akibat gesekan
hf = ²
= 4 x 0,01 x 1,41 x 1,52/(2 x 9,8 x 0,01885)
= 0,34 m
Kehilangan tekanan akibat belokan
hl = ²
Jumlah belokan 4 buah, nilai dari k = 0.8 (didalam Stoecker tabel 7-4 hal 132)
108
= 4 x 0,8 x 1,52 / (2 x 9,8)
= 0,37 m
Kehilangan tekanan akibat valve:
hl = ²
, jumlah valve 2 buah, nilai k = 6 (didalam Stoecker tabel
7-4 hal 132)
= 2 x 6 x 1,52 /(2 x 9,8)
= 1,38 m
Head akibat static mixer :
hsm = hf x KT, dengan mengambil nilai KT sebesar 100, (didalam Oldshoe, 1983
tabel 7-6 hal 431).
= 0,34 x 100
= 34 m
Head Total
Head total merupakan penjumlahan dari head statis dan head gesekan.
ht = (1,41) + (0,34 + 0,37 + 1,38 + 34)
= 37,5 m
Daya = Q x ht x x g
= 0,35 x 10-3 x 37,5 x 857 x 9,8
= 113,4 W
Daya terpasang 125 W
keterangan :
f = faktor gesekan I = panjang saluran (m) = 1,41 m V = kecepatan aliran (m/s) g = gaya gravitasi (9,8 m/s2) D = diameter dalam pipa (m) = 18,85 mm Re = bilangan Reynold
109
= densitas (kg/m3) m = massa aliran (kg/dtk) d = viskositas dinamik (Pa.s) = 6,17 x 10-3 Pa.s A = luas penampang (m2) = 2,79 x 10-4 m2 k = faktor kali untuk belokan dan kran n = jumlah belokan
Dari hasil pengukuran debit aliran adalah 0,35 liter/detik atau 2,1 liter/menit
Massa aliran (m) = Q x ρ , (hasil dari pengukuran = 857 kg/m3)
= 0,35 x 10-3 m3/dtk x 857 kg/m3
= 0,3 kg/detik
110
Lampiran 9. Perhitungan Tenaga pemanas (Heater)
Sebagian panas yang disuplai oleh elemen pamanas digunakan untuk
memanaskan minyak (TG) dan campuran (TG + MeOH + katalis). Atau dapat
dinyatakan dengan persamaan:
Qheater = Qminyak + Qcampuran (TG + MeOH + katalis)
Dalam kenyataannya heater tidak digunakan sekaligus untuk pemanasan
seluruh bahan tersebut akan tetapi berurutan, jadi untuk menentukan kebutuhan
heater didasarkan atas salah satu konsumsi panas tertinggi dari operasi pemanasan
tersebut.
Panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu minyak
Volume minyak (V) = 11 liter
Massa jenis minyak ( ) = 910 kg/m3 (Srivastava and Prassad, 2000)
Panas jenis (Cp) = 2,16 kJ/kg
Massa minyak (m) = V x
= 11 x 10-3 x 910
= 10,01 kg
Suhu awal = 28
Suhu akhir = 70
Qminyak = m Cp ∆
= 10,01 kg x 2,16 kJ/kg x (70-28)
= 908,1 kJ, (waktu pemanasan 15 menit = 900 detik)
= 1008,9 W
Panas yang dibutuhkan untuk memanaskan metanol
Volume metanol (V) = 5,5 liter
Massa jenis metanol ( ) = 790 kg/m3 (Yuswono, et al.,2008)
panas jenis metanol (cpMeOH) = 2,55 kJ/kg
Massa metanol (m) = V x
= 5,5 x 10-3 x 790
= 4,435 kg
Suhu awal = 28
Suhu akhir = 64
111
Qmetanol = m Cp ∆ = 4,435 kg x 2,55 kJ/kg x (64-28) = 407 kJ, (waktu pemanasan 10 menit = 600 s) = 678,5 W
Panas yang dibutuhkan untuk memanaskan campuran
V = volume campuran TG + MeOH + NaOH = 16,5 liter
Massa jenis campuran ( ) = 857 kg/m3 (hasil pengukuran)
Massa campuran (m) = x V
= 857 x 16.5 x 10-3
= 14,14 kg
Panas jenis campuran (cp) = 3,78 kJ/ kg
Suhu awal campuran = 64,26 (dari perhitungan)
Perhitungan suhu awal campuran;
Setelah minyak mencapai suhu 65 , maka campuran metanol dan katalis
dimasukkan ke dalam tangki, sehingga suhu kesetimbangan dapat dihitung dengan
persamaan :
Qminyak = Qmetanol
mm cpm ∆ T = mme cpme ∆ T
massa minyak (mm) = 10,01 kg
massa metanol (mme) = 5,5 kg
panas jenis minyak (cpm) = 2,16 kJ/kg
panas jenis metanol (cpme) = 2,55 kJ/kg
mm cpm (Tm-Te) = mMeOH cpMeOH (Te-Tme)
10,01 x 2,16 (70- Te) = 4,345 x 2,55 ( Te - 64)
1513,5 – 21,6 Te = 11,1 Te – 709,1
Te = 68,0oC
Qcampuran (TG + MeOH + katalis) = m Cp ∆ T
= 14,14 x 3,78 x (70- 68,0) = 107 kJ (waktu pemanasan 5 menit)
= 356,7 W
Total daya maksimal yang terpakai untuk proses 1008,9 W
Dengan demikian Daya terpasang dipilih = 1550 W
112
Lampiran 10. Perhitungan rancangan kondensor
Asumsi
Suhu uap MeOH masuk = 64,50C
Suhu uap keluar = 330C
Suhu air masuk = 250C
Suhu air keluar = 350C
Laju kondensasi = 1 g/s (Moestofa dan Badeges., 1986)
Perhitungan kalor
Qair = Q MeOH
Q MeOH = m cp ΔT + m L
Dimana :
Q : kalor yang dihasilkan (kJ)
m : massa methanol yang diuapkan (kg)
cp : panas jenis methanol (2,55 kJ/kg 0C)
ΔT : beda suhu
L : kalor laten penguapan methanol (1100 kJ/kg)
Sihingga :
QMethanol = (1 x 10-3 kg/s x 2,55 kJ/kg 0C x (64,5-33)) + (1 x 10-3 kg/s x 1100
kJ/kg)
= 1180,325 J/s
Jadi, besarnya kalor yang dikondensasikan kondensor sebesar 1180,325 J/s
Laju aliran air pendingin
Qair = Q methanol
Q = m cp ΔT
m = Q/ (cp ΔT), Cp air = 4190 j/kg K
m = 1180.325 /4190(35-25)
m = 0,02817 kg/s
= 28,17 g/s
Laju aliran air pendingin ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan laju aliran air
pendingin yang tersedia.
113
Perubahan suhu pada kondensor
Perbedaan suhu logaritmik (LMTD)
Perbedaan suhu logaritmik untuk aliran berlawanan (countercurent flow) adalah
sebagai berikut:
ΔTLMTD = (T1-T2’)-(T1’-T2)
ln (T1-T2’)/(T1’-T2)
=(64.5-35)-(33-25)
ln (64.5-35)/(33-25)
ΔTLMTD = 16,48 0C
= 62 0F
Perpindahan panas antara dua zat alir yang terpisah sekat dapat dinyatakan dengan
persamaan :
Q = U A ΔT
Dimana :
Q = jumlah panas (kJ)
U = koefisien pindah panas keseluruhan
A = luas penampang
ΔT = beda suhu
Air masuk 25 0C= T2 Air keluar 350C =T2’
kondensor Uap 64,5 0C =
Kondensat 33 0C=T1’
Panjang kondensor
S u h u
T2
T1
T1
T2
114
Nilai U = 50 Btu/ft2 jam 0F ( di dalam Perry dan Chilton, 1999 tabel 10-
10 hal 10-44).
Q = 1180.325 J/s x 1 Btu/1055 J x 3600 s/jam
= 4028 Btu/jam
A = Q/(U ΔTLMTD)
= 4028/ (50 x 62)
=1,30 ft2
L = A/a
A = 0.0655 ft (di dalam Perry dan Chilton tabel 11-2 hal 10-11),
L = 1.30/0.0655
= 19.84 ft
= 6.05 m
Sehingga dipilih pipa dengan panjang 6 m, diameter 10 mm.
115
Lampiran 11. Perhitungan komposisi bahan baku sesuai dengan rasio yang ditetapkan dan keseimbangan massa biodiesel
TG 3 MeOH 3 ME GL
Sebelum reaksi Berat awal (gr) 10010 4345 Berat molekul 850 32 287 92 mol 11,77647 135,78130
Sesudah reaksi Berat 9240 381 mol 35,32941 11,77647 % ME 98,7 Kandungan ME (gr) 9119,88 gmol 31,77660
TG yang bereaksi (mol) 11,62337TG yang tdk bereaksi (mol) 0,15309TG yang tdk bereaksi (gr) 130,12299
Reaksi TG + 3 MeOH → 3 ME + GL
Bobot molekul 850 32 287 92
Sebelum reaksi :
Massa (kg) 10,010 4,345 mol 11,776 35,328 Sesudah reaksi :
mol 35,328 11,776 Massa (kg) 35,328 mol x 287
1000 = 10,139
11,776 x 92 1000
= 1,083 Jadi secara teoritis perbandingan produk ME : GL = 10,139 : 1,083 Mol real MeOH = 4345/32= 135,7813 Mol MeOH sisa (yang berlebih) = 135,7813 - 35,3280 = 100,453 3 Rasio molar TG : MeOH = 11,776/135,7813 = 1/11,5 Lampiran 12. kWh meter untuk pengukuran konsumsi energi
116
117
Lampiran 13. Pengujian Reaktor dan pengukuran proses transesterifikasi
118
Lampiran 14. Standard Nasional Indonesia – SNI 04-718-2006 (biodiesel) Properties Method SNI ASTM Units
Masa jenis, 40oC ASTM D 1298 850 - 890 (40°C) - kg/m3
Viskositas kinematik, 40 ° C
ASTM D 445 2.3 – 6.0 9 – 6.0 mm2/s (cSt)
Angka setana ASTM D 613 51 min 47 min -
Titik nyala ASTM D 93 100 min. 130 min °C
Titik kabut ASTM D 2500 18 max Report to
customer
°C
Korosi lempeng tenbaga
ASTM D 130 no 3 max No. 3 max Rating (3 hours at 50°C)
Residu karbpon - in undistilled
sampdalam contoh asli, atau
Dalam 10 % distillation
residueampas destilasi
ASTM D 4530
05 max.
0.3 max. 0
0.05 max
% (m/m) % (m/m)
Air dan sedimen ASTM D 2709 or ASTM D-1796
0.05 max 0.050 max %-vol.
Temperature destilasi 90 %
(v/v)
ASTM D 1160
360 max
- °C
Sulfated ash ASTM D 874 0,02 maks 0.020 max %-massa
Belerang ASTM D 5453 or ASTM D-1266
100 max. Total sulfur 0.05 max
ppm
Fosfor AOCS Ca 12-55 10 max 10 ppm
Angka asam AOCS Cd 3d-63 or
ASTM D-664
0.8 max 0.8 max mg-KOH/g
Glicerol bebas AOCS Ca 14-56 or
ASTM D-6584
0.02 max 0.02 %
Gliserol total AOCS Ca 14-56 or
ASTM D-6584
0.24 max 0.24 %
Kadar alkil ester calculated 96.5 min. - %
Angka Iodium AOCS Cd 1-25 115 max - % (m/m) (g-I2/100g)
Uji Halphen AOCS Cb 1-25 AOAC Cb 1-25 AOAC Cb 1-25 -
119
Lampiran 15. Data hasil pengukuran kandungan metil ester Blade agitator
Waktu
(menit) T 50 T55 T 60 T 65 T 70 0 0 0 0 0 0
1 10,72 10,66 11,21 15,27 16,76
5 20,92 30,57 37,43 47,05 49,12
10 35,86 42,34 54,29 60,44 69,22
15 44,40 50,84 71,26 77,41 87,95
20 50,58 64,91 83,47 87,59 90,48
30 60,91 72,82 89,27 93,27 92,82
50 73,44 85,42 93,88 94,38 97,81
55 87,60 89,35 95,40 94,73 98,83
60 90,81 95,23 97,08 97,79 99,10
65 96,11 96,43 98,53 98,67 99,04
70 96,31 98,72 98,76 98,70 99,03
90 97,04 98,72 99,00 98,67 99,08
Static-mixer
Waktu
(menit) T 50 T55 T 60 T 65 T 70 0 0 0 0 0 0
1 95,80 95,83 95,94 96,38 96,16
5 96,00 95,37 96,04 96,45 97,35
10 96,30 95,56 96,55 96,66 97,83
15 96,44 96,89 96,53 97,02 98,23
20 97,50 96,52 96,65 97,58 97,80
30 98,03 96,61 96,61 97,42 98,04
50 98,20 96,65 96,82 97,51 98,28
55 98,23 96,72 97,21 97,63 98,42
60 98,20 97,15 97,76 97,84 98,57
65 98,40 97,34 97,77 97,95 98,58
70 98,50 97,77 97,81 97,98 98,58
90 98,65 9,.80 97,82 98,00 98,60
120
Lampiran 16. Hubungan parameter mutu biodiesel dengan waktu Metil ester Suhu 50 °C
Metil ester suhu 55°C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
121
Metil ester suhu 60 °C
Metil ester suhu 65 °C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
ilest
er (%
w/w
)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
122
Metil ester suhu 70 °C
Viskositas suhu 50 °C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Met
il es
ter
(%w
/w)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
123
Viskositas suhu 55 °C
Viskositas suhu 60 °C
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
124
Viskositas suhu 65 °C
Viskositas suhu 70 °C
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
osita
s (cS
t)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
0
5
10
15
20
25
30
0 20 40 60 80 100
Vis
kosi
tas (
cSt)
Waktu (menit
Blade agitator Static-mixer
125
Gliserol total (Gtl) suhu 50 °C
Gliserol total (Gtl) suhu 55 °C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l(%
w/w
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l (%
w/w
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
126
Gliserol total (Gtl) suhu 60 °C
Gliserol total (Gtl) suhu 65 °C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l (%
w/w
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l (%
w/w
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
127
Gliserol total (Gtl) suhu 70 °C
Angka asam suhu 50 °C
0
20
40
60
80
100
120
0 20 40 60 80 100
Glis
erol
tota
l (%
w/w
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0.25
0.29
0.33
0.37
0.41
0.45
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
128
Angka asam suhu 55 °C
Angka asam suhu 60 °C
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)
Blade agitator Static-mixer
129
Angka asam suhu 65 °C
Angka asam suhu 70 °C
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)Blade Agitator Static-mixer
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0 20 40 60 80 100
Ang
ka a
sam
(mg
KO
H/g
)
Waktu (menit)Blade agitator Static-mixer
130
Lampiran 17. Data sebaran suhu alat 70°C Pengujian dengan static-mixer pada suhu 70
Waktu Suhu ( ) Heater Kran bawah Kran tengah Kran atas Pipa 0 67 66 66 67 64 10 67 67 66 68 65 20 68 68 67 68 65 30 68 68 67 69 65 40 69 68 67 70 66 50 69 69 68 70 67 60 70 70 68 70 67 70 70 70 68 70 67 80 70 70 69 71 69 90 70 70 69 70 68
Rata - rata 68,8 68,5 67,5 69,3 66,4 Pengujian dengan blade agitator pada suhu 70
Waktu Suhu Heater Kran atas Kran tengah 0 68 67 68 10 68 67 69 20 69 68 69 30 69 68 70 40 69 69 70 50 69 69 71 60 70 69 71 70 69 68 71 80 70 70 71 90 70 69 71
Rata – rata 69,1 68,4 70,1
131
Lampiran 18. Data sebaran suhu reaktor static-mixer (° C) Waktu Tutup
atas Uap
keluar Heater Kran
atas Pipa Dinding
luar Static- mixer
Kran bawah
Tutup bawah
Dinding dalam
Kran tengah
Glasswool Lingkungan
0 51 32 64 60 54 37 48 63 38 38 62 38 29 5 56 32 63 64 56 38 50 64 38 38 64 38 32 10 56 31 63 63 55 39 49 62 38 38 62 39 31 15 55 30 62 63 56 38 52 64 38 46 64 40 31 20 56 30 64 64 57 38 50 64 38 47 64 40 31 25 58 30 66 66 57 38 50 65 39 47 66 40 31 30 58 30 65 66 59 38 50 66 39 47 66 40 27 35 58 30 65 66 59 38 56 65 39 48 66 40 28.5 40 58 30 65 66 59 39 56 64 40 48 66 40 28 45 58 30 65 66 59 39 55 64 40 48 65 40 29 50 58 30 65 66 59 39 56 64 40 48 65 40 29 55 58 30 65 66 58 39 56 64 40 48 65 40 31 60 58 30 64 65 57 39 56 64 40 48 65 40 30 65 57 30 65 66 58 39 57 65 40 48 64 40 28.570 58 30 65 66 57 39 58 64 40 48 64 40 30 75 58 30 65 66 59 39 57 65 40 48 65 40 30 80 57 30 65 66 56 39 55 64 40 48 64 40 28 85 58 30 64 65 58 39 57 64 40 48 64 40 30 90 58 30 65 66 57 39 58 64 41 48 64 40 31 Rata - rata
50,75 30,26 65,53 65,05 57,37 38,47 54,00 64,16 39,37 46,05 64,47 39,74 29,74
132
Lampiran 19. Perhitungan pindah panas pada dinding tangki utama
Lapisan 1 = stainless steel
Lapisan 2 = glasswool
Lapisan 3 = stainless steel
r1 = 12,5 cm
r2 = 12,7 cm
r3 = 17,2 cm
r4 = 17.4 cm h1 = 60 W/m2 K (Mujumdar, 2004) h2 = 2,94 W/m2 K (perhitungan) k1 = k3 = 15 W/m2.K (Mujumdar, 2004) L = 0.5 m
=
+
+
+
+
= ,
+ ,
,
+ ,
, ,
+ ,
,
+
12 π x 0,174 x 2,94
1/U = 0,02123 + 1,685 x 10-4 + 9,01 x 10-3 + 1,2273 x 10-4 + 0,3113 1/U = 0,3418 U = 2,925 W/m.K Pindah panas pada dinding pada menit ke -90 Q = U 1 ∆ T = 2,925 x 0,5 x (64-31) = 48,2625 W = 260,62 kJ
133
Lampiran 20. Perhitungan kehilangan panas dari dinding luar ke udara sekitar
Suhu dinding luar (td) = 38,47 = 311,47 K (lihat Lampiran 18)
Suhu udara luar (tu) = 29,74 = 302,74 K
Tf = (td + tu)/2 + 273 = 307,105 K
Npr = (tabel sifat fisik udara) = 0,70 (Holman, 1994, Daftar A-5, hal. 859)
Mencari nilai NGr
Dd = 0.34 m
g βρ /µ = 114.357.584,3
NGr = (Dd3) (g βρ /µ ) ( T) = 39.238.822,62
NGr Npr = 27.859.564,06
NNu = 0,53 (NGr Npr)0.25 = 38,1
Menghitung nilai h
k = 0,026 (Holman, 1994, Daftar A-5, hal. 859)
nilai h = (NNu k)/ Dd = 2,94 W/m2. K
Menghitung nilai q
Ad = 0,55 m2
q = h Ad (td - tu) = 14,12 J/s
lama operasi = 5400 s
kehilangan panas = 76,22 kJ
134
Lampiran 21. Perhitungan kehilangan panas dari pipa ke udara luar Suhu luar pipa (tp) = 57,37 = 330,37 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74 = 302,74 K
Tf = (tp + tu)/2 + 273 =316,56 K
Npr = (tabel sifat fisik udara = 0,70
Mencari nilai NGr
Dp = 0,019 m
g βρ /µ = 106.325.314
NGr = (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 45,902,63
NGr Npr = 32,131,84
NNu = 0.53 (NGr Npr)0.25 = 7,096
Menghitung nilai h
k = 0,026
Nilai h = (NNu k)/ Dd = 7,66 W/m2.K
menghitung nilai q
Ap= 0,102 m2
q = h Ad (td - tu) = 21,59 J/s
lama operasi = 5400 s
kehilangan panas = 116,57 kJ
135
Lampiran 22. Perhitungan kehilangan panas melalui dinding static-mixer Suhu luar pipa (tp) = 54,0 = 327,0 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74 = 302,74 K
Tf = (tp + tu)/2 + 273 =314.,7 K
Npr = (tabel sifat fisik udara) = 0,70
Mencari nilai NGr
Dp = 0,025 m
G βρ /µ = 110.890.000
NGr = (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 88.152.19
NGr Npr = 61.706,53
NNu = 0.53 (NGr Npr)0.25 = 8,35
Menghitung nilai h
k = 0,027
nilai h = (NNu k)/ Dd = 7,05 W/m2.K
menghitung nilai q
Ap = 0,03 m2
q = h Ad (td - tu) = 5,13 J/s
lama operasi = 5400 s
kehilangan panas = 27,71 kJ
136
Lampiran 23. Perhitungan kehilangan panas melalui tutup atas Suhu luar tutup atas (tt) = 57,05 = 330,05 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74 = 302,74 K
Tf = (tt + tu)/2 + 273 = 316,4 K
Npr = (tabel sifat fisik udara) =0,70
Mencari nilai NGr
Dp = 0,25 m
G βρ /µ = 106.717.561
NGr = (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) = 45,538.384.22
NGr Npr = 84.423.895,13
NNu = 0,53 (NGr Npr)0.25 = 50,80
Menghitung nilai h
k = 0,027
nilai h = (NNu k)/ Dd = 5,49 W/m2.K
menghitung nilai q
Ap = 0,047 m2
q = h Ad (td - tu) = 7,06 J/s
lama operasi = 5400 s
kehilangan panas = 38,13 kJ
137
Lampiran 24. Perhitungan kehilangan panas melalui tutup bawah Suhu luar tutup atas (tt) = 39,37 = 312,37 K
Suhu udara luar (tu) = 29,74 = 302,74 K
Tf = (tt + tu)/2 + 273 =307,56 K
Npr = (tabel sifat fisik udara = 0,71
Mencari nilai NGr
Dp = 0,25 m
G βρ /µ = 119.640.900.3
NGr = (Dp3) (g βρ /µ ) ( T) =18.002.216,72
NGr Npr = 12.781.573,87
NNu = 0,53 (NGr Npr)0.25 = 31,69
Menghitung nilai h
k = 0.027
nilai h = (NNu k)/ Dd = 3,42 W/m2.K
menghitung nilai q
Ap = 0.0471 m2
q = h Ad (td - tu) = 1,55 J/s
lama operasi = 5400 s
kehilangan panas = 8,38 kJ
138
Lampiran 25. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 50oC)
(1 kWh=3600 kJ)
PROSES (static-mixer)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,22 10,01 792 79,12 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 0,44 14,14 1584 112,02 2. pompa 0,04 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 16812 1810,45
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,57 Er tanpa drying dan washing 3,67
PROSES (blade agitator)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,22 10,01 792 79,12 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 2,05 14,14 7380 521,92 2. pompa 0,14 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 22608 2220,36
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,46 Er tanpa drying dan washing 1,49
139
Lampiran 26. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 55oC)
(1 kWh=3600 kJ)
PROSES (static-mixer)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,28 10,01 1008 100,70 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 0,36 14,14 1296 91,65 2. pompa 0,04 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,95 9,24 10620 1149,35 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 16704 1807,77
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,57 Er tanpa drying dan washing 3,65
PROSES (blade agitator)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,28 10,01 1008 100,70Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82Transesterifikasi 1. heater 1,91 14,14 6876 486,28 2. pompa 0,13 14,14 108 7,64Washing 1. heater 2,95 9,24 10620 1149,35 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10
Qin (Energi input) 22284 2202,39
Q1 (energi RBDPO) 36770
Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,47Er tanpa drying dan washing 1,52
140
Lampiran 27. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 60oC)
(1 kWh=3600 kJ)
PROSES (static-mixer)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,32 10,01 1152 115,08 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 0,28 14,14 1008 71,29 2. pompa 0,03 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,95 9,24 10620 1149,35 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 16560 1801,79
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,57 Er tanpa drying dan washing 3,73
PROSES (blade agitator)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,32 10,01 1152 115,08 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 1,91 14,14 6876 486,28 2. pompa 0,13 14,14 468 33,10 Pencuian 1. heater 2,95 9,24 10620 1149,35 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 22788 2242,24
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,46 Er tanpa drying dan washing 1,44
141
Lampiran 28. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 65oC)
(1 kWh=3600 kJ)
PROSES (static-mixer)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,38 10,01 1368 136,66 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 0,19 14,14 684 48,37 2. pompa 0,03 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 16488 1804,35
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,57 Er tanpa drying dan washing 3,75
PROSES (blade agitator)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,38 10,01 1368 136,66 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 1,76 14,14 6336 448,09 2. pompa 0,12 14,14 432 30,55 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 22464 2226,98
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,46 Er tanpa drying dan washing 1,48
142
Lampiran 29. Perhitungan Er proses biodiesel dengan static mixer dan blade agitator ( T 70oC)
(1 kWh=3600 kJ)
PROSES (static-mixer)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,44 10,01 1584 158,24 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 0,24 14,14 864 61,10 2. pompa 0,03 14,14 108 7,64 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 16884 1838,66
Q1 (energi RBDPO) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,56 Er tanpa drying dan washing 3,34
PROSES (blade agitator)daya
(kWh)massa (kg)
energi (kJ)
energi (kJ/kg)
Pemanasan TG (heater) 0,44 10,01 1584 158,24 Pemanasan MeOH (heater) 0,1 4,4 360 81,82 Transesterifikasi 1. heater 1,47 14,14 5292 374,26 2. pompa 0,1 14,14 360 25,46 Washing 1. heater 2,96 9,24 10656 1153,25 2. pompa 0,03 9,24 108 11,69 Drying 1. heater 0,88 8,78 3168 360,82 2. pompa 0,01 8,78 36 4,10 Qin (Energi input) 21564 2169,63
Q1 (energi refined palm oil) 36770 Q2 (Energi biodiesel dari m. Sawit) 37800 Er dengan washing dan drying=(Q2-Q1)/Qin 0,47 Er tanpa drying dan washing 1,61
143
Lampiran 30. Roadmap biodiesel Indonesia
Market
Product
Technology
Research And Development
Biodiesel Supply 1.5 Million kL 10% of ADO
Palm/Jatropha Biodiesel
Biodiesel Low Production Cost
High Quality Biodiesel High Cetane Number
Low Cloud Point
Biodiesel Supply 3 Million kL 15% of ADO
Updating of Standard &
Performance Test
Year 2006-2010 2011-2015 2016-2025
Biodiesel Process
Intensification
Biodiesel Supply 6.4 Million kL 20% of ADO
Commercial Plant (5000 – 20.000
Tons/Year)
Commercial Plant (20.000 -
100.000 Tons/year)
Commercial Plant of High Quality
Biodiesel
Design & Engineering
Plant
Fuel Additive
Technology
NATIONAL BIODIESEL STANDARD
Optimization &
Modification of Plant D i
Performance test
Blending Technology
144
Lampiran 31. Roadmap pemanfaatan biofuel Indonesia