Download doc - Suku Minangkabau

Transcript

Suku Minangkabau

Adnan Saidi, Hatta, Yusof Ishak, Muszaphar Shukor, Natsir, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Hamka, Yamin, Marah Roesli, Chairil Anwar, Agus Salim

Suku Minangkabau atau Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia [2] . Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa beberapa literatur Belanda juga telah menyebut masyarakat suku ini sebagai Padangsche Bovenlanden[3].

Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal [4] , walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di

dunia.[rujukan?] Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.

Orang-orang Minang dikenal menonjol dalam bidang pendidikan dan perniagaan. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara masakan khas suku ini, yang populer dengan sebutan masakan Padang, sangatlah digemari.

Tanah Minang pernah menjadi ajang perang Paderi yang terjadi pada tahun 1803 - 1838[5], dan merupakan salah satu perang penaklukan terlama yang dilancarkan Belanda dalam politik ekspansinya di abad ke-19 di Nusantara. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan tanah Minang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda sejak tahun 1838, dan berakhir pada tahun 1942 seiring dengan penyerahan kekuasaan kepada Jepang.

Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal sebagai tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat

setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar dengan diberikan pisau pada tanduknya. Dalam pertempuran, anak kerbau itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya dan ingin menyusui maka anak kerbau kecil langsung menanduk serta mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan tersebut menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau[6] (dalam bahasa Indonesia yang maknanya sama dengan Menang-Kerbau).

Nama "Minang" sendiri malah telah disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 Masehi dan berbahasa Sansekerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minānga" ...[7]. Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan[8]. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya[9]. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama[10] bertarikh 1365 M, juga ada menyebutkan salah satu dari negeri Melayu yang bernama Minangkabwa.

Asal Usul

Untuk sejarah narasi Minangkabau, lihat Tambo Minangkabau dan Tombo Lubuk Jambi.

Suku Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan

China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi, dan didaerah Menhir Mahat (nama satu daerah yang terletak antara perbatasan Sumatera Barat dan Riau sekarang) banyak dijumapi peninggalan megalit. Selanjutnya masyarakat ini menyebar dari Luhak nan Tigo (darek). terus ke daerah pesisir (pasisie) di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus di utara hingga Kerinci di selatan.

Selain berasal dari Luhak nan Tigo, masyarakat pesisir juga banyak yang berasal dari India Selatan dan Persia. Dimana migrasi masyarakat tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, ketika kerajaan tersebut jatuh ke tangan Portugis.

Sosial KemasyarakatanDaerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.

Persukuan dalam kelompok Etnis Minangkabau

Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan istilah suku. Di masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah[4]:

Suku Koto Suku Piliang Suku Bodi Suku Caniago

Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta, sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.

Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa sansekerta dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing yang menetap di Kerajaaan Pagaruyung.

Sekarang suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari hubungannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

Suku Piboda Suku Pitopang Suku Tanjung Suku Sikumbang Suku Guci Suku Panai Suku Jambak Suku Panyalai Suku Kampai Suku Bendang

Suku Malayu

Suku Kutianyie Suku Mandailiang Suku Sipisang Suku Mandaliko Suku Sumagek Suku Dalimo Suku Simabua Suku Salo Suku Singkuang

Suku Rajo Dani

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:

Suku Biduanda (Dondo) Suku Batu Hampar (Tompar) Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh) Suku Mungkal Suku Tiga Nenek Suku Seri Melenggang (Somolenggang) Suku Seri Lemak (Solomak) Suku Batu Belang Suku Tanah Datar Suku Anak Acheh Suku Anak Melaka Suku Tiga Batu

# Suku Koto

Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau. Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang) yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago

Asal Usul Suku Koto

A. A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung. Dahulu Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua

suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, dimana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar karena diagungkan oleh orang banyak),sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang "tagak samo tinggi, duduka samo randah" Suku K

Sejarah

Gelar Datuk Suku Koto

Diantara gelar datuk Suku Koto adalah :

Datuk Tumangguang , gelar ini diberikan kepada Ir. Tifatul Sembiring oleh warga suku Koto Kanagarian Guguak-Tabek Sarojo, Bukittinggi

Datuk Bandaro Kali , gelar ini pernah akan dinobatkan kepada Mentri Pariwisata Malaysia, Dr. Yatim|Rais Yatim yang berdarah Minang tapi beliau menolaknya lantaran akan sulit baginya untuk terlibat dalam kegiatan suku Koto nagari Sipisang setelah beliau dinobatkan.

Datuk Sangguno Dirajo Datuk Panji Alam Khalifatullah , gelar ini dinobatkan

kepada Taufik Ismail karena beliau seorang tokoh berdarah Minangkabau suku Koto yang telah mempunyai prestasi di bidang seni dan kebudayaan.

Datuk Patih Karsani

Pemekaran

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Tanjung Koto Koto Piliang di nagari Kacang, Solok Koto Dalimo, Koto Diateh,

Koto Kaciak, Koto Kaciak 4 Paruaik di Solok Selatan koto Tigo Ibu di Solok Selatan Koto Kampuang, Koto Kerambil, Koto Sipanjang koto sungai guruah di Nagari Pandai Sikek (Agam) koto gantiang di Nagari Pandai Sikek (Agam) koto tibalai di Nagari Pandai Sikek (Agam) koto limo paruik di Nagari Pandai Sikek (Agam) koto rumah tinggi di nagari Kamang Hilir (Agam) koto rumah gadang, di nagari Kamang Hilir (Agam) kotosariak, di nagari Kamang Hilir (Agam) koto kepoh, di nagari Kamang Hilir (Agam) koto tibarau, di nagari Kamang Hilir (Agam) koto tan kamang/koto nan batigo di nagari Kamang Hilir

(Agam) Koto Tuo di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu koto Baru di Kenegerian Paranap, Inderagiri Hulu

# Suku Piliang

Suku Piliang adalah salah satu suku (marga) yang terdapat dalam kelompok suku Minangkabau. Suku ini merupakan salah satu suku induk yang berkerabat dengan suku Koto membentuk Adat Ketumanggungan yang juga terkenal dengan Lareh Koto Piliang

EtimologiMenurut AA Navis, kata Piliang terbentuk dari dua kata yaitu 'Pele' artinya 'banyak' dan 'Hyang' artinya 'Dewa atau Tuhan'.[1] jadi Pelehyang artinya adalah banyak dewa. Ini menunjukkan bahwa di masa lampau, suku Piliang adalah suku pemuja banyak dewa, yang barangkali mirip dengan kepercayaan Hindu.

Pemekaran

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

Piliang Guci (Guci Piliang di nagari Koto Gadang, Agam) Pili di Nagari Talang, Sungai Puar (Agam) Koto Piliang di nagari Kacang, Solok dan Lubuk Jambi,

Kuantan Mudik, Riau Piliang Laweh (Piliang Lowe) di ([[Kuantan Singingi)) Piliang Sani (Piliang Soni) di Kuantan Singingi, Riau dan

nagari Singkarak, Solok Piliang Baruah Piliang Bongsu, Piliang Cocoh, Piliang Dalam, Piliang Koto, Piliang Koto Kaciak, Piliang Patar, Piliang Sati Piliang Batu Karang di nagari Singkarak, Solok Piliang Guguak di nagari Singkarak, Solok Piliang Atas (Kuantan Singingi)) Piliang Bawah (Kuantan Singingi)) Piliang Godang (Piliang Besar) Piliang Kaciak (kecil)

Persebaran

Suku ini banyak menyebar ke berbagai wilayah Minangkabau yaitu Tanah Datar, Agam, Lima Puluh Kota, Solok, Riau, Padang dan beberapa daerah lainnya.

Dari beberapa sumber, diketahui tidak terdapat suku ini di Pesisir Selatan dan Solok Selatan.

Kerabat

Di bawah payung suku Koto-Piliang, terdapat banyak suku lain yang bernaung, diantaranya adalah :

1. suku Tanjung 2. suku Guci 3. Suku Sikumbang 4. Suku Malayu 5. Suku Kampai 6. Suku Panai 7. Suku Bendang

Suku Piliang berdatuk kepada Datuk Ketumanggungan di zaman Adityawarman.

Suku Bodi

Suku Bodi adalah salah satu suku (marga) dalam kelompok etnis Minang yang juga merupakan sekutu Suku Caniago membentuk Adat Perpatih atau Lareh Bodi Caniago. Kelarasan Bodi-Caniago ini didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Etimologi

Bodi berasal dari bodhi (sansekerta) yang maknanya berarti yang telah mendapat petunjuk[1]. Bodi dapat dirujuk kepada pohon Bodhi, sebuah pohon yang sering dijadikan oleh pertapa Buddhist. Konon dulu suku ini adalah penganut Buddha yang taat, suku ini sudah menempati wilayah Minang jauh sebelumnya datangnya agama Islam. Bahkan dapat dikatakan bahwa suku ini termasuk pendiri suku asal nenek moyang orang Minang.

Penghulu Adat

Diantara gelar datuk suku Bodi adalah Datuk Sinaro Nan Bandak, Datuk Rambayan di Air Tabit.

Persebaran

Suku ini banyak tersebar di wilayah Minang yang lain seperti halnya saudara dekatnya sendiri yaitu Suku Caniago, Suku

Koto dan Suku Piliang. Suku ini kebanyakan terdapat di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh Kota.

Pemekaran

Suku Bodi dan suku Caniago tidak banyak melakukan pemekaran suku sebagaimana suku lainnya. Suku ini terkenal kompak, barangkali disebabkan faktor adat Perpatih yang mereka anut.

Suku Bodi di daerah lain ada yang disebut dengan Suku Budi Caniago atau Suku Bodi Caniago, misalnya di Kenagarian Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Riau.

Suku Caniago

Suku Caniago adalah suku asal yang dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang yang merupakan salah satu induk suku di Minangkabau selain suku Piliang. Suku Caniago memiliki falsafah hidup demokratis, yaitu dengan menjunjung tinggi falsafah "bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat. Nan bulek samo digolongkan, nan picak samo dilayangkan" artinya: "Bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat". Dengan demikian pada masyarakat suku caniago semua keputusan yang akan diambil untuk suatu kepentingan harus melalui suatu proses musyawarah untuk mufakat.

Falsafah tersebut tercermin pula pada bentuk arsitektur rumah adat bodi Caniago yang ditandai dengan tidak terdapatnya anjuang pada kedua sisi bangunan Rumah Gadang. Hal tersebut menandakan bahwa tingkat kasta seseorang tidak membuat perbedaan perlakuan antara yang tinggi dengan yang rendah. Hal yang membedakan tinggi rendahnya seseorang pada masyarakat suku Caniago hanyalah dinilai dari besar tanggung jawab yang dipikul oleh orang tersebut.

Salah satu falsafah lain untuk mencari kata kesepakatan dalam mengambil keputusan pada suku caniago adalah "aia

mambasuik dari bumi" artinya suara yang harus didengarkan adalah suara yang datang dari bawah atau suara itu adalah suara rakyat kecil, baru kemudian dirembukkan dalam sidang musyawarah untuk mendapatkan sebuah kata mufakat barulah pimpinan tertinggi baik raja maupun penghulu yang menetapkan keputusan tersebut.

Gelar Datuk Suku Caniago

Diantara gelar datuk suku ini adalah :

Datuk Rajo Penghulu Datuak Manjinjiang Alam Datuk Bandaro Sati Datuk Rajo Alam Datuk Kayo Datuk Paduko Jalelo Datuk Rajo Perak Datuk Paduko Amat Datuk Saripado Marajo

Minangkabau Perantauan

Jumlah Perantau

Rumah Gadang

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk suku Minangkabau yang hidup di luar provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mohctar Naim, pada tahun

1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %.[11] Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa.[12] Dengan perkiraan 7 juta orang Minang di seluruh dunia, berarti hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia. Sebab menurut sensus tahun 1930, perantau Minangkabau hanya sebesar 10,5% dibawah orang Bawean (35,9 %), Batak (14,3 %), dan Banjar (14,2 %).

Gelombang Rantau

Merantau pada etnis Minang telah berlangsung cukup lama. Sejarah mencatat migrasi pertama terjadi pada abad ke-7, dimana banyak pedagang-pedagang emas yang berasal dari pedalaman Minangkabau melakukan perdagangan di muara Jambi, dan terlibat dalam pembentukan Kerajaan Malayu.[13]

Migrasi besar-besaran terjadi pada abad ke-14, dimana banyak keluarga Minang yang berpindah ke pesisir timur Sumatera hingga ke Negeri Sembilan, Malaysia. Bersamaan dengan gelombang migrasi ke arah timur, juga terjadi perpindahan masyarakat Minang ke pesisir barat Sumatera. Di sepanjang pesisir ini perantau Minang mendirikan koloni-koloni dagang, seperti di Meulaboh, Aceh tempat keturunan Minang dikenal dengan sebutan Aneuk Jamee. Setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, banyak keluarga Minangkabau yang berpindah ke Sulawesi Selatan. Mereka menjadi pendukung kerajaan Gowa, sebagai pedagang dan administratur kerajaan. Datuk Makotta bersama istrinya Tuan Sitti, sebagai cikal bakal keluarga Minangkabau di Sulawesi.[14] Gelombang migrasi berikutnya terjadi pada abad ke-18, yaitu ketika Minangkabau mendapatkan hak istimewa untuk mendiami kawasan Kerajaan Siak.

Pada masa penjajahan Hindia-Belanda, migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1920, ketika perkebunan

tembakau di Deli Serdang, Sumatera Timur mulai dibuka. Pada masa kemerdekaan, Minang perantauan banyak mendiami kota-kota besar di Jawa, terutama Jakarta. Kini Minang perantauan hampir tersebar di seluruh dunia.

Perantauan Intelektual

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi, dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut, yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia

Sebab Merantau

Faktor Budaya

Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut

suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.[16]

Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

Faktor Ekonomi

Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Merantau Dalam Sastra

Fenomena merantau dalam masyarakat Minangkabau, ternyata sering menjadi sumber inspirasi bagi para pekerja seni, terutama sastrawan. Hamka, dalam novelnya Merantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau

Minang yang pergi ke Deli dan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lain Tenggelamnya Kapal Van der Wijck juga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Di kampung, ia menghadapi kendala oleh masyarakat adat Minang yang merupakan induk bakonya sendiri. Selain novel karya Hamka, novel karya Marah Rusli, Siti Nurbaya dan Salah Asuhannya Abdul Muis juga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, mengisahkan perantau Minang yang belajar di pesantren Jawa dan akhirnya menjadi orang yang berhasil. Dalam bentuk yang berbeda, lewat karyanya yang berjudul Kemarau, A.A Navis mengajak masyarakat Minang untuk membangun kampung halamannya yang banyak di tinggal pergi merantau.

Novel yang bercerita tentang perantau Minang tersebut, biasanya berisi kritik sosial dari penulis kepada adat budaya Minang yang kolot dan tertinggal. Selain dalam bentuk novel, kisah perantau Minang juga dikisahkan dalam film Merantau karya sutradara Inggris, Gareth Evans.

Orang Minangkabau dan Kiprahnya

Imam Bonjol, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir, Fahmi Idris

Suku Minang terkenal sebagai suku yang terpelajar, oleh sebab itu pula mereka menyebar di seluruh Indonesia bahkan manca-negara dalam berbagai macam profesi dan keahlian, antara lain sebagai politisi, penulis, ulama, pengajar, jurnalis, dan pedagang. Berdasarkan jumlah populasi yang relatif kecil (2,7% dari penduduk Indonesia), Minangkabau merupakan salah satu suku tersukses dengan

banyak pencapaian. Majalah Tempo dalam edisi khusus tahun 2000 mencatat bahwa 6 dari 10 tokoh penting Indonesia di abad ke-20 merupakan orang Minang.

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Sejak dulu mereka telah pergi merantau ke berbagai daerah di Jawa, Sulawesi, semenanjung Malaysia, Thailand, Brunei, hingga Philipina. Di tahun 1390, Raja Bagindo mendirikan Kesultanan Sulu di Philipina selatan. Pada abad ke-14 orang Minang melakukan migrasi ke Negeri Sembilan, Malaysia dan mengangkat raja untuk negeri baru tersebut dari kalangan mereka. Raja Melewar merupakan raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat pada tahun 1773. Di akhir abad ke-16, ulama Minangkabau Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang, dan Dato Ri Tiro, menyebarkan Islam di Indonesia timur dan mengislamkan kerajaan Gowa. Setelah gagal merebut tahta Kesultanan Johor, pada tahun 1723 putra Pagaruyung yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I mendirikan Kerajaan Siak di daratan Riau.[17]

Kedatangan reformis Muslim yang menuntut ilmu di Kairo dan Mekkah mempengaruhi sistem pendidikan di Minangkabau. Sekolah Islam modern Sumatera Thawalib dan Diniyah Putri banyak melahirkan aktivis yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan, antara lain A.R Sutan Mansur, Siradjuddin Abbas, dan Djamaluddin Tamin.

Pada periode 1920 - 1960, banyak politisi Indonesia berpengaruh lahir dari ranah Minangkabau. Menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan Asia, pada tahun 1923 Tan Malaka terpilih menjadi wakil Komunis Internasional untuk wilayah Asia Tenggara. Politisi Minang lainnya Muhammad Yamin, menjadi pelopor Sumpah Pemuda yang mempersatukan seluruh rakyat Hindia-Belanda. Di dalam Volksraad, politisi asal Minang-lah yang paling vokal. Mereka antara lain Jahja Datoek Kajo, Agus Salim, dan Abdul Muis. Tokoh Minang lainnya Mohammad Hatta, menjadi ko-proklamator kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan, empat orang Minangkabau duduk sebagai perdana menteri

(Sutan Syahrir, Mohammad Hatta, Abdul Halim, Muhammad Natsir), seorang sebagai presiden (Assaat), seorang sebagai wakil presiden (Mohammad Hatta), seorang menjadi pimpinan parlemen (Chaerul Saleh), dan puluhan yang menjadi menteri, di antara yang cukup terkenal ialah Azwar Anas, Fahmi Idris, dan Emil Salim. Emil bahkan menjadi orang Indonesia terlama yang duduk di kementerian RI. Minangkabau, salah satu dari dua etnis selain etnis Jawa, yang selalu memiliki wakil dalam setiap kabinet pemerintahan Indonesia. Selain di pemerintahan, di masa Demokrasi liberal parlemen Indonesia didominasi oleh politisi Minang. Mereka tergabung kedalam aneka macam partai dan ideologi, islamis, nasionalis, komunis, dan sosialis.

Di samping menjabat gubernur provinsi Sumatera Tengah/Sumatera Barat, orang-orang Minangkabau juga duduk sebagai gubernur provinsi lain di Indonesia. Mereka adalah Datuk Djamin (Jawa Barat), Muhammad Djosan dan Muhammad Padang (Maluku), Anwar Datuk Madjo Basa Nan Kuniang dan Moenafri (Sulawesi Tengah), Adenan Kapau Gani (Sumatra Selatan), serta Djamin Datuk Bagindo (Jambi).[18]

Beberapa partai politik Indonesia didirikan oleh politisi Minang. PARI dan Murba didirikan oleh Tan Malaka, Partai Sosialis Indonesia oleh Sutan Sjahrir, PNI Baru oleh Mohammad Hatta, Masyumi oleh Mohammad Natsir, Perti oleh Sulaiman ar-Rasuli, dan Permi oleh Rasuna Said. Selain mendirikan partai politik, politisi Minang juga banyak menghasilkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib para aktifis pergerakan. Buku-buku bacaan utama itu antara lain, Naar de Republiek Indonesia, Madilog, dan Massa Actie karya Tan Malaka, Alam Pikiran Yunani dan Demokrasi Kita karya Hatta, Fiqhud Dakwah dan Capita Selecta karya Natsir, serta Perjuangan Kita karya Sutan Sjahrir.

Penulis Minang banyak mempengaruhi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mereka mengembangkan bahasa melalui berbagai macam karya tulis dan keahlian. Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, Hamka, dan A.A Navis

berkarya melalui penulisan novel. Nur Sutan Iskandar novelis Minang lainnya, tercatat sebagai penulis novel Indonesia yang paling produktif. Chairil Anwar dan Taufik Ismail berkarya lewat penulisan puisi. Serta Sutan Takdir Alisjahbana, novelis sekaligus ahli tata bahasa, melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga bisa menjadi bahasa persatuan nasional. Novel-novel karya sastrawan Minang seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Layar Terkembang, dan Robohnya Surau Kami telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Selain melalui karya sastra, pengembangan bahasa Indonesia banyak pula dilakukan oleh jurnalis Minang. Mereka antara lain Djamaluddin Adinegoro, Rosihan Anwar, dan Ani Idrus. Di samping Abdul Rivai yang dijuluki sebagai Perintis Pers Indonesia, Rohana Kudus yang menerbitakan Sunting Melayu, menjadi wartawan sekaligus pemilik koran wanita pertama di Indonesia.

Di Indonesia dan Malaysia, disamping orang Tionghoa, orang Minang juga terkenal sebagai pengusaha ulung. Banyak pengusaha Minang sukses berbisnis di bidang perdagangan tekstil, rumah makan, perhotelan, pendidikan, dan rumah sakit. Di antara figur pengusaha sukses adalah, Abdul Latief (pemilik TV One), Basrizal Koto (pemilik peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara), Hasyim Ning (pengusaha perakitan mobil pertama di Indonesia), dan Tunku Tan Sri Abdullah (pemilik Melewar Corporation Malaysia)

Banyak pula orang Minang yang sukses di dunia hiburan, baik sebagai sutradara, produser, penyanyi, maupun artis. Sebagai sutradara dan produser ada Usmar Ismail, Asrul Sani, Djamaludin Malik, dan Arizal. Arizal bahkan menjadi sutradara dan produser film yang paling banyak menghasilkan karya. Sekurang-kurangnya 52 film dan 8 sinetron dalam 1.196 episode telah dihasilkannya. Film-film karya sineas Minang, seperti Lewat Djam Malam, Gita Cinta dari SMA, Naga Bonar, Pintar Pintar Bodoh, dan Maju Kena

Mundur Kena, menjadi film terbaik yang banyak digemari penonton.

Pemeran dan penyanyi Minang yang terkenal beberapa di antaranya adalah Ade Irawan, Dorce Gamalama, Eva Arnaz, Nirina Zubir, dan Titi Sjuman. Pekerja seni lainnya, ratu kuis Ani Sumadi, menjadi pelopor dunia perkuisan di Indonesia. Karya-karya beliau seperti kuis Berpacu Dalam Melodi, Gita Remaja, Siapa Dia, dan Tak Tik Boom menjadi salah satu acara favorit keluarga Indonesia. Di samping mereka, Soekarno M. Noer beserta putranya Rano Karno, mungkin menjadi pekerja hiburan paling sukses di Indonesia, baik sebagai aktor maupun sutradara film. Pada tahun 1993, Karno's Film perusahaan film milik keluarga Soekarno, memproduksi film seri dengan peringkat tertinggi sepanjang sejarah perfilman Indonesia, Si Doel Anak Sekolahan.

Di luar negeri, orang Minangkabau juga dikenal kontribusinya. Di Malaysia dan Singapura, antara lain Tuanku Abdul Rahman (Yang Dipertuan Agung pertama Malaysia), Yusof bin Ishak (presiden pertama Singapura), Zubir Said (komposer lagu kebangsaan Singapura Majulah Singapura), Sheikh Muszaphar Shukor (astronot pertama Malaysia), Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Adnan bin Saidi. Di negeri Belanda, Roestam Effendi yang mewakili Partai Komunis Belanda, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang pernah duduk sebagai anggota parlemen.[19]. Di Arab Saudi, hanya Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, orang non-Arab yang pernah menjadi imam besar Masjidil Haram, Mekkah.

Kerajaan Pagaruyung

Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347. Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam. Dan akhirnya runtuh pada masa Perang Padri.

Replika Istana Pagaruyung di Sumatera Barat

Sejarah

Arca Amoghapasa di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.

Berdirinya Pagaruyung

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.

Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa [1] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang[2].

Dan yang menarik dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[3] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut[4].

Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377 [4].

Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Pengaruh Hindu-BudhaPengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa

pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya[5]. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).

Prasasti Adityawarman

Pengaruh Islam

Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal:

"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran.

Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini[6].

Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam.

Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.

Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).

Hubungan dengan Belanda dan Inggris

Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666[7]melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di

Malaka[8] Namun setelah adanya interaksi pihak Belanda maupun Inggris dengan kawasan pedalaman ini, mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut[9].

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung

Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Dan Sultan Muning Alamsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan[10].

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari

Sultan Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada Belanda[11]. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintahan Belanda.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon [12] . Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Wilayah kekuasaan

Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini: [13]

Dari Sikilang Aia BangihHingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak RajoHingga Sialang Balantak Basi

Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:

Nan salilik Gunuang MarapiSaedaran Gunuang PasamanSajajaran Sago jo SinggalangSaputaran Talang jo KurinciDari Sirangkak nan BadangkangHinggo Buayo Putiah DaguakSampai ka Pintu Rajo HiliaHinggo Durian Ditakuak RajoSipisau-pisau HanyuikSialang Balantak BasiHinggo Aia Babaliak MudiakSailiran Batang BangkawehSampai ka ombak nan badabuaSailiran Batang SikilangHinggo lauik nan sadidiehKa timua Ranah Aia BangihRao jo Mapat TungguaGunuang MahalintangPasisia Banda SapuluahTaratak Aia HitamSampai ka Tanjuang SimaliduPucuak Jambi Sambilan Lurah

Daerah Luhak nan TigoDaerah di sekeliling Gunung PasamanDaerah sekitar Gunung Sago dan Gunung SinggalangDaerah sekitar Gunung Talang dan Gunung KerinciDaerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnyaDaerah di Pesisir Selatan hingga Muko-MukoDaerah Jambi sebelah baratDaerah yang berbatasan dengan JambiDaerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung SailanDaerah sekitar Gunung Sailan dan SingingiDaerah hingga ke rantau pesisir sebelah timurDaerah sekitar Danau Singkarak dan Batang OmbilinDaerah hingga Samudra IndonesiaDaerah sepanjang pinggiran Batang SikilangDaerah yang berbatasan dengan Samudra IndonesiaDaerah sebelah timur Air BangisDaerah di kawasan Rao dan Mapat Tunggua

Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatanDaerah sepanjang pantai barat SumatraDaerah sekitar Silauik dan LunangDaerah hingga Tanjung SimaliduDaerah sehiliran Batang Hari

Sistem pemerintahan

Aparat pemerintahan

Pada awalnya Adityawarman menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit [14] pada masa itu dan kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan Dharmasraya dan Sriwijaya yang pernah ada pada masyarakat setempat. Dimana ibukota diperintah secara langsung oleh Raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat[15].

Dan kemudian setelah masuknya Islam, raja Pagaruyung, yang disebut juga sebagai Raja Alam, melaksanakan tugas-tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama, mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, yang artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung.

Selain kedua raja tadi, Raja Alam dibantu pula oleh Basa Ampek Balai, artinya "orang besar" (menteri-menteri utama) yang berempat. Mereka adalah:

1. Bandaro (bendahara) atau Tuanku Titah yang berkedudukan di Sungai Tarab. Kedudukannya hampir sama seperti Perdana Menteri. Bendahara ini dapat dibandingkan dengan jabatan bernama sama di Kesultanan Melaka

2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik. Ia bertugas memelihara hubungan dengan rantau dan kerajaan lain.

3. Indomo yang berkedudukan di Saruaso. Ia bertugas memelihara adat-istiadat

4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh. Ia bertugas sebagai panglima perang

Namun belakangan pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting. Ia bertugas menjaga syariah agama masuk menjadi Basa Ampek Balai mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh.

Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu di mana mereka berhak menagih upeti sekedarnya. Daerah-daerah ini disebut rantau masing-masing. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.

Cap Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung

Pemerintahan Darek dan Rantau

Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 Nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari terkadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.

Darek

Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah), umumnya nagari-nagari ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari mengendalikan pemerintahan melalui para

penghulu mereka. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung ini, Raja Pagaruyung hanya bertindak sebagai penengah meskipun ia tetap dihormati.

Pembagian daerah darek adalah sebagai berikut:

Luhak Tanah Data

Alam Surambi Sungai Pagu

Batipuah Sapuluah Koto

Kubuang Tigobaleh

Langgam nan Tujuah

Limokaum Duobaleh Koto

Lintau Sambilan Koto

Lubuak nan Tigo

Nilam Payuang Sakaki

Pariangan Padangpanjang

Sungai Tarab Salapan Batua

Talawi Tigo Tumpuak

Tanjuang nan Tigo

Sapuluah Koto di Ateh

Luhak Agam

Ampek-Ampek Angkek

Lawang nan Tigo Balai

Nagari-nagari Danau Maninjau

Luhak Limo Puluah Koto

Hulu Lareh Luhak Ranah

Sandi

Rantau

Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Daerah-daerah rantau ini meliputi Pasaman, Kampar, Rokan, Indragiri dan Batanghari. Wilayah rantau pada awalnya merupakan tempat mencari kehidupan bagi suku Minangkabau.

Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah Koto merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar Kiri dan Rantau Kampar Kanan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan.

Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:

Rantau Luhak Tanah Data

Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah

Lubuak Ambacang

Lubuak Jambi Gunuang Koto Benai Pangian Basra Sitinjua Kopa Taluak Ingin Inuman

Rantau Luhak Agam

Nagari-nagari pantai barat Sumatera

Pasaman Barat Pasaman

Timur Panti Rao Lubuak

Sikapiang dll.

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Rantau Luhak Limo Puluah Koto

Mangilang Tanjuang Balik Pangkalan Koto Alam Gunuang

Malintang Muaro Paiti Rantau

Barangin Rokan

Pandalian Kuatan

Singingi Gunuang

Surantiah Taluak Rayo Simpang

Kulayang Aia Molek Pasia Ringgit Kuantan Talang Mamak Kualo Thok

Rantau Pasisia Panjang (Rantau Banda Sapuluah)

Batang Kapeh Kuok Surantiah Ampiang Perak Kambang Lakitan Punggasan Aia Haji Painan Banda

Salido atau dikenal juga Bungo Pasang

Tarusan, awalnya tidak termasuk karena ia bukan rantau orang Sungai Pagu tapi rantau orang Muaro Paneh, nagari anggota konfederasi Kubuang Tigo Baleh

Palembayan Silareh Aia Lubuak

Basuang Kampuang

Pinang Simpang

Ampek Sungai

Garinggiang Lubuak Bawan Tigo Koto Garagahan

Manggopoh

Sailan Kuntu Lipek Kain Ludai Ujuang Bukik Sanggan Tigo Baleh

Koto Kampar Sibiruang Gunuang

Malelo Tabiang Tanjuang Gunuang

Bungsu Muaro Takuih Pangkai Binamang Tanjuang Abai Pulau Gadang Baluang Koto

Sitangkai Tigo Baleh Lubuak

Aguang Limo Koto

Kampar Kuok Salo Bangkinang Rumbio Aia Tirih Taratak Buluah Pangkalan

Indawang Pangkalan

Kapeh Pangkalan

Sarai

Tapan Lunang Silauik Indropuro

Nagari Tarusan, Tapan, Lunang, Silauik dan Indropuro awalnya tidak dimasukkan sebagai anggota Bandar Sepuluh. Begitu pula Bayang.

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya

Anduriang Kayu Tanam

Guguak Kapalo Hilalang

Sicincin Toboh

Pakandangan Duo Kali

Sabaleh Anam Lingkuang

Tujuah Koto

Sungai Sariak.

Koto Laweh

Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Malaysia sekarang, yaitu Rantau Nan Sambilan (Negeri Sembilan). Nagari-nagarinya adalah

Jelai Jelebu Jehol Kelang

Naning Pasir Besar Rembau Segamat Sungai Ujong

Datuk

Datuk adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah orang di berbagai kebudayaan.

Asal Usul

Datuak atau Datuk atau Dato' berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu datu yang bermakna sama dengan raja. Hal ini dapat dirujuk dari Prasasti Telaga Batu, dimana pada baris 11 terdapat kata kedatuan yang ditafsirkan sama dengan kedaton atau keraton yakni istana raja, sehingga kedatuan dapat disamakan dengan wilayah datu.[1]. Selanjutnya kata datu ini berubah penuturan menjadi "datuk", suatu gelaran yang masih digunakan sampai saat ini di Minangkabau, Malaysia, dan Brunei.

Datuk di Minangkabau

Datuk dilafalkan dengan dialek Minang sebagai "Datuak", adalah merupakan gelar adat yang diberikan kepada seseorang melalui kesepakatan suatu kaum atau suku yang ada di Negeri Minangkabau (provinsi Sumatra Barat sekarang) dan selanjutnya disetujui sampai ke tingkat rapat adat oleh para tokoh pemuka adat setempat (Kerapatan Adat Nagari biasa disingkat dengan KAN). Gelar ini sangat dihormati dan hanya dipakai oleh kaum lelaki Minang yang akan atau telah menjadi pemangku adat/tokoh pemuka adat atau Penghulu (nama lain dari Datuk) bagi suatu suku atau kaum tertentu di Minangkabau. Dan sebelum gelar ini disandang seseorang, mesti dilakukan suatu upacara adat atau malewa gala (Bahasa Minang), dengan sekurangnya memotong seekor kerbau dan kemudian diadakan jamuan makan. Dan jika calon Datuk tersebut tidak mampu untuk

mengadakan acara tersebut, maka dia tidak berhak untuk menyandang gelar Datuk tersebut.

Seseorang yang bergelar Datuk dapat juga disamakan dengan pemimpin suatu kaum atau suku dan gelar tersebut juga khusus untuk kaum atau suku tersebut, namun kadangkala ada juga gelar Datuk diberikan kepada seseorang (lelaki) hanya sebagai gelar kehormatan saja.

Seseorang yang telah menyandang gelar Datuk dan di-lewa-kan, maka masyarakat setempat tidak diperkenankan lagi memanggil nama sebelumnya tetapi mesti memanggil dengan nama kebesarannya itu, jika ada masyarakat setempat yang diketahui menghina dan merendahkan seseorang yang bergelar Datuk, maka orang tersebut akan dikenai sanksi adat.

Pewarisan Gelar Datuk dalam Tradisi Minangkabau

Berbeda dengan tradisi Melayu yang lain, gelar datuk dapat diwariskan menurut sistem matrilinial. Bila seorang Datuk meninggal dunia, gelar Datuk tersebut dapat diberikan kepada saudara laki-lakinya, atau keponakan (kemenakan) yang paling dekat hubungan kekerabatannya dari garis ibu. Namun dapat juga diberikan kepada selain kepada kerabat dekatnya asal masih dalam satu suku, dan biasanya seluruh warga suku tersebut juga menyetujuinya. Datuk yang baru dinobatkan tetap memakai gelar yang sama, tanpa ada tambahan lain digelar tersebut. Jadi misal sebelumnya A Datuak Bandaro jika kemudian diganti oleh si B, maka gelar berikutnya B Datuak Bandaro.

Jika suatu suku telah berkembang dengan banyak, dan kemudian telah berpencar secara kelompok ke daerah lain, dan jika suku tersebut merasa perlu mengangkat Datuk yang baru, maka biasanya gelar Datuk sebelumnya tetap dipakaikan dengan menambah satu atau dua kata lagi sesudah nama Datuk sebelumnya. Misalnya nama Datuk sebelumnya adalah Datuak Bandaro maka gelar Datuk

belahannya adalah Datuk Bandaro Putiah atau Datuak Bandaro nan Putiah. Dan setiap suku dapat melakukan pemekaran bergantung dari kesepakatan suku masing-masing.

Gelar-gelar Datuk dalam Tradisi Minangkabau

Gelar Datuk tergantung pada masing-masing suku yang ada di Minangkabau. Berdasarkan tingkat status sosial dari gelar masing-masing Datuk dapat dilihat dari gelar kebesaran yang diikuti setelah gelar Datuk tersebut. Untuk gelar Datuk yang awal atau tertua biasanya terdiri dari satu suku kata dan berasal dari bahasa sansekerta, misalnya Datuak ketemanggungan. Sedangkan bila terdiri dari dua kata atau lebih, biasanya dianggap gelar belahan atau pecahan, misalnya Datuak Parpatiah nan Sabatang. Dan kemudian setelah masuknya pengaruh Islam, maka gelar Datuk ada diserap dari bahasa Arab. Berikut daftar gelar Datuk yang utama dalam tambo dan tradisi umum Wilayah Minang:

1. Datuak Ketumanggungan2. Datuak Parpatiah nan Sabatang3. Datuak Bandaro4. Datuak Mangkudun5. Datuak Indomo6. Datuak Sinaro

Datuk di Malaysia

Di Malaysia, Datuk atau Dato' adalah gelar kehormatan yang dianugerahkan oleh Sultan atau Raja atau Yang di-Pertuan Besar. Gelar ini setaraf dengan gelaran "Sir" di Britania Raya. Gelar ini dapat juga diberikan selain kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan, dan tak jarang ditambahkan dengan gelar yang lain seperti sri, maka jadilah "datuk sri...". Dan yang agak bergeser sedikit adalah pemakaian gelar datuk atau dato' di Malaysia tidak lagi diberikan hanya bagi orang asli Melayu tapi juga dapat diberikan pada etnis yang lain, seperti dari etnis China, India ataupun lain sebagainya.

Perbedaan lain penggunaan gelar antara datuk Minangkabau dengan Malaysia adalah gelar datuk di Minang ditambahkan sesudah nama asli, tapi di Malaysia istilah datuk atau dato' ditempatkan sebelum nama asli.

Datuk di Moro Philippina

Gelar Datto juga digunakan oleh masyarakat Muslim Moro di Philippina. Gelar ini disandang oleh para pimpinan dari satu klan atau marga.

Datuk dalam pengertian yang lain

Dalam pengertian yang lain, seorang kakek juga dipanggil datuk atau disingkat atuk atau atuak dalam bahasa Minang.

Pedagang Minangkabau

Pedagang Minangkabau merujuk pada profesi sekelompok masyarakat yang berasal dari ranah Minangkabau. Disamping profesi dokter, guru, dan ulama, menjadi pedagang merupakan mata pencarian bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau. Biasanya profesi ini menjadi batu loncatan bagi perantau Minangkabau setibanya di perantauan.

Sejarah

Pedagang-pedagang besar Minangkabau telah menjejakan kakinya sejak abad ke-7.[1] Mereka menjadi pedagang berpengaruh yang beroperasi di pantai barat dan pantai timur Sumatra. Pedagang Minang banyak menjual hasil bumi seperti lada, yang mereka bawa dari pedalaman Minangkabau ke Selat Malaka melalui sungai-sungai besar seperti Kampar, Indragiri, dan Batang Hari. Sejak kemunculan Kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Minangkabau yang bekerja untuk kerajaan. Di sepanjang pantai barat Sumatra, para pedagang ini membuka pos-pos

perdagangannya di kota-kota utama dari Aceh hingga Bengkulu, seperti Meulaboh, Barus, Tiku, Pariaman, Padang, dan Bengkulu. Peranan pedagang Minangkabau mulai menurun sejak dikuasainya pantai barat Sumatra oleh Kesultanan Aceh.[2]

Munculnya kaum Paderi di Sumatera Barat pada akhir abad ke-18, merupakan kebangkitan kembali pedagang Minangkabau yang dirintis oleh para ulama Wahabi. Pedagang ini kembali mendapatkan ancaman dari Kolonial Hindia Belanda sejak dibukanya pos perdagangan Belanda di Padang. Perang Paderi yang berlangsung selama 30 tahun lebih telah meluluhlantakan perdagangan Minangkabau sekaligus penguasaan wilayah ini dibawah kolonial Hindia-Belanda.[3]

Di tahun 1950-an, banyak pedagang Minangkabau yang sukses berbisnis diantaranya Hasyim Ning, Rahman Tamin, Agus Musin Dasaad, dan Sidi Tando. Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pedagang Tionghoa sangat merugikan pedagang Minangkabau. Kesulitan berusaha dialami oleh pedagang Minang pada saat itu, terutama masalah pinjaman modal di bank serta pengurusan ijin usaha.

Kultur

Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain, sehingga siap untuk diperintah-perintah, bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Prinsip "lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah organisasi besar" (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah satu cara

memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka. Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya, dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus kerja kantoran, yang acap kali di suruh dan di marah-marahi.

Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan keberlangsungannya bagi setiap kaum di Minangkabau. Dengan kepemilikan tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke pasaran.

Selain itu, kultur merantau yang menanamkan budaya mandiri, menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan pemula untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karenanya menjadi pedagang kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang.

Jenis usaha

Restoran

Usaha rumah makan merupakan jenis usaha yang banyak digeluti oleh pedagang Minang. Jaringan restoran Minang atau yang biasa dikenal dengan restoran Padang tersebar ke seluruh kota-kota di Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia dan Singapura. Disamping itu terdapat juga usaha restoran yang memiliki ciri khas dan merek dagang yang dijalani oleh pedagang dari daerah tertentu. Pedagang asal Kapau, Agam biasanya menjual nasi ramas yang dikenal dengan Nasi Kapau. Pedagang Pariaman banyak yang menjual Sate Padang. Sedangkan pedagang asal Kubang, Lima Puluh Kota menjadi penjual martabak, dengan merek dagangnya Martabak Kubang. Restoran Sederhana yang dirintis oleh

Bustamam menjadi jaringan restoran Padang terbesar dengan lebih dari 60 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia.[4] Di Malaysia, Restoran Sari Ratu yang didirikan oleh Junaidi bin Jaba, salah satu restoran Padang yang sukses.

Tekstil

Di pasar tradisional kota-kota besar Indonesia, pedagang Minangkabau banyak yang menggeluti perdagangan tekstil. Di Jakarta, pedagang Minangkabau mendominasi pusat-pusat perdagangan tradisional, seperti Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Blok M, Pasar Jatinegara, dan Pasar Bendungan Hilir. Dominansi pedagang tekstil Minangkabau juga terjadi di Medan dan Pekan Baru. Jika di Medan pedagang Minangkabau mendominasi Pasar Sukaramai, maka di Pekan Baru mereka dominan di Pasar Pusat dan Pasar Bawah. Di Surabaya, pedagang tekstil asal Minang banyak dijumpai di Pasar Turi.

Kerajinan

Orang Minang banyak melakukan perdagangan dari hasil kerajinan. Para pedagang ini banyak yang menggeluti kerajinan perak, emas, dan sepatu. Kebanyakan dari mereka berasal dari Silungkang, Sawahlunto dan Pandai Sikek, Tanah Datar.

Disamping juga banyak yang menggeluti usaha jual-beli barang-barang antik, dimana usaha ini biasanya digeluti oleh pedagang asal Sungai Puar, Agam.[5] Pedagang barang antik Minangkabau banyak ditemui di Cikini, Jakarta Pusat dan Ciputat, Tangerang Selatan

Percetakan

Bisnis percetakan merupakan jenis usaha yang banyak dijalankan oleh pedagang Minang. Usaha percetakan yang mereka jalani meliputi percetakan undangan dan buku. Bahkan dari usaha percetakan ini berkembang menjadi

usaha penerbitan buku dan toko buku. Usaha percetakan banyak digeluti oleh pedagang asal Sulit Air, Solok. Salah satu tokoh sukses yang menggeluti bisnis percetakan ini ialah H.M Arbie yang berbasis di kota Medan.[6]

Hotel dan Travel

Bisnis pariwisata terutama jaringan perhotelan dan travel juga banyak digeluti oleh pengusaha Minangkabau. Di Jakarta, hotel milik pengusaha Minang banyak dijumpai antara lain Hotel Ambhara, Hotel Sofyan, dan Hotel Gran Mahakam. Di samping itu, jaringan Hotel Grand Menteng merupakan jaringan bisnis hotel terbesar milik orang Minang. Di Pekan Baru, disamping Best Western Hotel milik Basrizal Koto, ada Hotel Pangeran yang dimiliki oleh Sutan Pangeran. Bisnis travel di geluti oleh pengusaha asal Payakumbuh, Rahimi Sutan di bawah bendera Natrabu Tour.[7]

Pendidikan

Bisnis pendidikan juga menjadi pilihan bagi orang Minang. Usaha ini biasanya digeluti oleh para pendidik yang pada mulanya bekerja pada sekolah negeri atau swasta. Dari pengalaman tersebut, mereka bisa mengembangkan sekolah, universitas, atau tempat kursus sendiri yang akhirnya berkembang secara profesional. Di Jakarta, setidaknya terdapat tiga universitas milik orang Minang, yaitu Universitas Jayabaya didirikan oleh Moeslim Taher, Universitas Persada Indonesia YAI didirkan oleh Julius Sukur, dan Universitas Borobudur didirikan oleh Basir Barthos.

Media

Bakat menulis dan ilmu jurnalistik yang dimiliki oleh orang Minang, telah melahirkan beberapa perusahaan media besar di Indonesia. Antara lain ialah koran Oetoesan Melajoe yang didirikan oleh Sutan Maharaja pada tahun 1915, majalah Panji Masyarakat yang didirikan oleh Hamka, koran Pedoman yang didirikan oleh Rosihan Anwar, koran Waspada yang

didirikan oleh Ani Idrus, majalah Kartini yang didirikan oleh Lukman Umar, majalah Femina yang didirikan oleh putra-putri Sutan Takdir Alisjahbana, dan jaringan televisi TV One yang didirikan oleh Abdul Latief.

Keuangan

Bisnis di industri keuangan, seperti perbankan, sekuritas, dan asuransi juga merupakan pilihan bagi pengusaha Minang. Bahkan pengusaha Minang, Sutan Sjahsam yang juga adik perdana menteri pertama Indonesia Sutan Sjahrir, merupakan perintis pasar modal di Indonesia. Sjahsam juga seorang pialang saham dan mendirikan perusahaan sekuritas, Perdanas. Disamping Sjahsam, ekonom Syahrir juga aktif dalam bisnis sekuritas dengan mendirikan perusahaan Syahrir Securities. Di bisnis perbankan, ada pengusaha Minang lainnya, Anwar Sutan Saidi, yang mendirikan Bank Nasional pada tahun 1930.[8]

Silaturahmi pedagang

Untuk membangun jaringan dan silaturahmi antar pedagang Minangkabau, maka diadakanlah pertemuan yang dikenal dengan Silaturahmi Saudagar Minang. Silaturahmi ini pertama kali diadakan di Padang pada tahun 2007 yang dihadiri tak kurang dari 700 pengusaha Minang dari seluruh dunia.[9]

Pedagang sukses Djohor Soetan Perpatih , menjadi seorang pedagang

sukses di tahun 1930-an. Bersama saudaranya Djohan Soetan Soelaiman, dia mendirikan toko Djohan Djohor yang terkenal dengan aksi mendiskon barang yang menyebabkan toko-toko Tionghoa di Pasar Senen, Pasar Baru, dan Kramat (ketiganya berada di Jakarta) menurunkan harga dagangannya.[10]

Hasyim Ning merupakan pengusaha Minang sejak era Orde Lama. Bisnisnya bergerak di bidang otomotif, yaitu sebagai agen tunggal pemegang merek mobil-

mobil asal Eropa dan Amerika Serikat. Hasyim pernah dijuluki pers sebagai "Raja Mobil dan Henry Ford Indonesia". Dia sempat dituding sebagai boneka kapitalis ketika pada tahun 1954 perusahan yang dipimpinnya, Indonesia Service Company, mendapat kredit lunak sebesar 2,6 juta dollar AS dari Development Loan Fund.[11] Selain itu bisnis Hasyim juga merambah perhotelan dan biro perjalanan.[12]

Abdul Latief merupakan sosok sukses pengusaha Minangkabau di Jakarta. Bisnis Abdul Latief meliputi properti dan media dibawah bendera ALatief Corporation. Pasaraya dan TV One merupakan perusahaan terbesar milik Latief. Selain sukses sebagai pengusaha, Latief juga menjabat sebagai menteri Tenaga Kerja di pemerintahan Orde Baru.

Basrizal Koto merupakan pengusaha asal Pariaman yang menggeluti bisnis media, hotel, pertambangan, dan peternakan. Basrizal yang dikenal dengan Basko memiliki hotel yang berbasis di Pekan Baru dan Padang. Selain itu dia memiliki peternakan sapi terbesar di Asia Tenggara.[13]

Rahimi Sutan , pengusaha Minangkabau yang sukses menggeluti bisnis travel, biro perjalanan, dan rumah makan. Saat ini Natrabu Tour, perusahaan travel miliknya, bertebaran di seluruh daerah tujuan wisata di Indonesia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.[14]

Fahmi Idris merupakan salah satu pengusaha Minang yang juga seorang politisi. Fahmi mendirikan grup bisnis Kodel yang bergerak dibidang perdagangan, industri, dan investasi. Fahmi yang telah berbisnis sejak tahun 1967, sempat berhenti kuliah dari FEUI untuk mulai berwirausaha.[15]

Datuk Hakim Thantawi , merupakan pengusaha yang bergerak di bidang pertambangan dan perdagangan di bawah bendera Grup Thaha.

Tunku Tan Sri Abdullah , merupakan pengusaha Minang-Malaysia yang cukup sukses. Dibawah bendera Melewar Corporation, bisnisnya meliputi produksi baja dan manufaktur.

Adat Minangkabau

Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.

Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Raja dan Penghulu, dan dipakai dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua peraturan hukum dan perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Seorang Raja atau Penghulu memegang kekuasaan karena keturunan, dan kekuasaan itu menjadi sah karena didukung oleh para ulama yang memegang otoritas agama dalam masyarakat. Dari ide ini muncul adagium Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.

Sesudah kedatangan kolonialis Eropa, wilayah hukum Adat dibatasi hanya pada pengaturan jabatan Penghulu, kekuasaan atas Tanah Ulayat, peraturan waris, perkawinan, dan adat istiadat saja. Kekuasaan hukum, keamanan dan teritorial diambil alih oleh pemerintah kolonial.

Keadaan ini berlanjut sampai pada zaman kemerdekaan.

Setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan gerakan Kembali ka Nagari, Adat Minang mendapat tempat yang lebih baik dan dimasukkan sebagai salah satu dasar pemerintahan Nagari, Pemerintahan Daerah Kabupaten, dan Pemerintahan Daerah Provinsi, sesudah UUD 1945.

Di bawah ini adalah ikhtisar Adat Minang, sering disebut Undang nan Empat, sebagaimana dipahami dan hidup dalam masyarkat Minangkabau.

Undang nan Empat

Adat Minangkabau sebagai peraturan dapat diringkas dalam sistematika yang disebut Undang nan Emapat yaitu:

1. Undang-undang Luhak dan Rantau2. Undang-undang Nagari3. Undang-undang dalam Nagari4. Undang-undang nan Duapuluh

Undang-undang Luhak dan Rantau

Bunyi undang-undang ini adalah sebagai berikut:

Luhak bapanguluRantau barajoBajalan samo indak tasundakMalenggang samo indak tapampeh

Masyarakat Minangkabau meyakini adanya kesatuan genealogis semua Nagari-nagari dalam wilayah Minangkabau dan juga kesatuan genealogis penduduknya. Karena itu Adat Minang sebagai produk budaya adalah satu kesatuan juga. Nenek moyang orang Minangkabau diyakini turun dari puncak Gunung Marapi, dan Nagari tertua di Minangkabau adalah nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar sekarang.

Orang-orang yang satu keturunan menurut garis keturunan Ibu berkelompok membentuk sebuah suku, dan dipimpin oleh seorang laki-laki yang disebut Penghulu.

Aturan ini berlaku di wilayah Minangkabau yang lebih dahulu berkembang, yaitu di Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limapuluh Koto.

Dalam perkembangannya, di daerah Rantau, meskipun terdapat juga suku-suku dan Penghulu, tiap-tiap Rantau dipimpin oleh seorang Raja yang biasanya berasal dari daerah Luhak juga, atau mendapat mandat dari Raja Pagaruyung.

Undang-undang NagariNagari bakaampek sukuDalam suku babuah paruikBasawah baladangBabalai bamusajikBalabuah batapian

Undang-undang Nagari berisi aturan dasar dan syarat-syarat berdirinya sebuah Nagari, yaitu syarat-syarat yang menunjukkan kemampuan penduduk beberapa kampung untuk mendirikan suatu susunan masyarakat yang lebih teratur. Syarat-syarat ini meliputi kemampuan ekonomi, prasarana dan jumlah penduduk atau suku.

Disyaratkan paling kurang ada empat suku yang akan bergabung dalam Nagari dan masing-masing suku itu harus cukup besar -- dikatakan terdiri dari beberapa paruik atau kelompok yang satu keturunan dari seorang nenek. Para Penghulu keempat suku itu secara kolektif menjadi Pimpinan Nagari. Perkawinan hanya berlaku secara eksogami, yaitu antara warga suku yang berlainan.

Harta benda tidak bergerak seperti sawah ladang dan rumah dimiliki secara bersama-sama oleh kaum perempuan dalam suatu suku, dan menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Laki-laki mengawasi dan mendayagunakan harta benda. Semua warga suku dapat mengambil manfaat dari harta benda.

Selain prasarana ekonomi seperti sawah dan ladang, jalan dan jembatan, serta sarana kebersihan, Nagari juga harus mampu mendirikan sebuah Masjid unutuk tempat ibadah dan sebuah Balairung tempat para Penghulu bersidang.

Undang-undang dalam NagariBarek samo dipikue, ringan samo dijinjingSaciok bak ayam, sadanciang bak basi,Sakik basilau, mati bajanguakSalah batimbang, hutang babayie

Undang-undang dalam Nagari mengatur tata hubungan warga masyarakat dalam sebuah nagari. Sistem yang dipakai adalah tipikal masyarakat komunal, dengan ciri-ciri:

Setiap orang secara alami langsung menjadi warga Nagari

Demokrasi langsung, karena para Penghulu sangat dekat dengan masyarakatnya, musyawarah dan mufakat dilaksanakan tanpa diwakilkan.

Gotong royong. Kebersamaan dalam menghadapi segala masalah dalam Nagari

Social safety net, semua warga Nagari, dapat mengandalkan bahwa dirinya akan dibantu secara bersama-sama oleh masyarakat jika dia mengalami kesusahan yang mendesak.

Untuk menjaga hubungan yang harmonis dan saling tolong menolong antar semua warga, anggota masyarakat Nagari selalu berusaha berkomunikasi dengan semua orang dengan bahasa yang tidak langsung, disebut baso-basi.

Selain itu, pada rites of passage seperi kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian selalu diadakan acara adat dengan format yang khusus dan baku, tetapi dapat sedikit berbeda antara satu Nagari dengan Nagari lainnya, sesuai dengan prinsip adat selingkar Nagari.

Termasuk dalam undang-undang dalam Nagari adalah adat-istiadat yang menyangkut hiburan dan rekreasi, seperti Randai, pertandingan layang-layang dan buru babi.

Undang-undang nan Duapuluh

Undang-undang nan Duapuluh adalah duapuluh fasal yang dipakai oleh para Penghulu dalam mengadali dan memutus perkara kejahatan yang terjadi dalam Nagari. Delapan fasal yang pertama merinci nama-nama tindak kejahatan, sedang duabelas fasal berikutnya berisi nama-nama tuduhan dan dugaan tindak kejahatan.

Salah nan Salapan yaitu:

1. Dago-dagi, perbuatan yang menimbulkan kekacauan umum

2. Sumbang-salah, perbuatan tidak senonoh3. Samun-sakar, perampokan4. Maling-curi, pencurian5. Tikam-bunuh, penyerangan dan pembunuhan6. Lacung-kicuh, penipuan7. Upeh-racun, pemberian bahan yang mengandung racun

untuk membunuh atau menyebabkan sakit8. Siar-bakar, pembakaran rumah atau bangunan dengan

sengaja

Tuduh nan Enam berisi nama-nama tuduhan Cemo nan Enam berisi nama-nama kecurigaan atau

dugaan tindak kejahatan

Kejahatan yang dituduhkan atau diduga dilakukan hanya dapat dihukum jika terbukti secara meyakinkan.

Budaya Minangkabau

Budaya Minangkabau adalah sebuah budaya yang berkembang di Minangkabau serta daerah rantau Minang. Hal ini merujuk pada wilayah di Indonesia meliputi propinsi Sumatera Barat, bagian timur propinsi Riau, bagian selatan propinsi Sumatera Utara, bagian timur propinsi Jambi, bagian utara propinsi Bengkulu, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal

baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan dan sebagainya.

Wilayah budaya

Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang meliputi Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang. Kemudian budaya tersebut menyebar ke wilayah rantau di sisi barat dan timur Luhak Nan Tigo. Batas-batasnya biasa dinyatakan dalam ungkapan Minang berikut ini :

Dari Sikilang Aia Bangihhingga Taratak Aia HitamDari Durian Ditakuak Rajohingga Sialang Balantak Basi

Jika merujuk pada ungkapan tersebut, maka wilayah budaya Minangkabau meliputi :

1. Sumatera Barat2. Bagian barat Riau : Kabupaten Kampar, Kuantan

Singingi, Pelalawan, Inderagiri Hulu3. Bagian selatan Sumatera Utara : Natal, Kabupaten

Mandailing Natal4. Bagian timur Jambi : Kabupaten Kerinci, Bungo5. Bagian utara Bengkulu : Kabupaten Mukomuko

Ditambah daerah rantau yang menerapakan budaya Minangkabau, yaitu :

1. Negeri Sembilan, Malaysia2. Bagian barat Aceh : Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh

Selatan, Nagan Raya

Sistem Adat

Semenjak zaman kerajaan Pagaruyung, ada tiga sistem adat yang dianut oleh suku Minangkabau yaitu :

1. Sistem Kelarasan Koto Piliang2. Sistem Kelarasan Bodi Caniago3. Sistem Kelarasan Panjang

Pakaian adat Minangkabau

Dalam pola pewarisan adat dan harta, suku Minang menganut pola matrilineal yang mana hal ini sangatlah berlainan dari mayoritas masyarakat dunia yang menganut pola patrilineal. Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan orang Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.

Sistem Kelarasan Koto Piliang

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Ketumanggungan. Ciri yang menonjol dari adat Koto Piliang adalah otokrasi atau kepemimpinan menurut garis keturunan yang dalam istilah adat disebut sebagai "menetes dari langit, bertangga naik, berjenjang turun" Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Tanah Datar dan sekitarnya. Ciri-ciri rumah gadangnya adalah berlantai dengan ketinggian bertingkat-tingkat.

Sistem Kelarasan Bodi Caniago

Sistem adat ini merupakan gagasan adat yang digariskan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sistem adatnya merupakan antitesis terhadap sistem adat Koto Piliang dengan menganut paham demokrasi yang dalam istilah adat disebut sebagai "yang membersit dari bumi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi". Sistem adat ini banyak dianut oleh suku Minang di daerah Lima Puluh Kota. Cirinya tampak pada lantai rumah gadang yang rata.

Sistem Kelarasan Panjang

Sistem ini digagas oleh adik laki-laki dari dua tokoh diatas yang bernama Mambang Sutan Datuk Suri Dirajo nan Bamego-mego. Dalam adatnya dipantangkang pernikahan dalam nagari yang sama. Sistem ini banyak dianut oleh luhak Agam dan sekitarnya.

Namun dewasa ini semua sistem adat diatas sudah diterapkan secara bersamaan dan tidak dikotomis lagi.

Reformasi Budaya

Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam.

Hal ini tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki mesjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

Harta Pusaka

Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam.

Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.

Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.

Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:

Gadih gadang indak balaki (perawan tua yang belum bersuami)

Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.

Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah)

Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.

Rumah gadang katirisan (rumah besar bocor)

Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.

Mambangkik batang tarandam (membongkar kayu yang terendam)

Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.

Kontroversi Hukum Islam

Menurut hukum Islam, harta haruslah diturunkan sesuai dengan faraidh yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.

Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari, dan Agus Salim.[1] Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib Masjidil Haram Mekkah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali ke

ranah Minang.[2] Sikap Abdul Karim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama diatas. Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.

Produk Budaya

Masjid khas Minangkabau di tahun 1895

Demokratis

Produk budaya Minangkabau yang cukup menonjol ialah sikap demokratis pada masyarakatnya. Sikap demokratis pada masyarakat Minang disebabkan karena sistem pemerintahan Minangkabau terdiri dari banyak nagari, dimana pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada musyawarah mufakat. Selain itu tidak adanya jarak antara pemimpin dan rakyat, menjadi faktor lain tumbuh suburnya budaya demokratis ditengah masyarakat Minang. Hal ini terdapat dalam pernyataan adat bahwa "pemimpin itu didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting". Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid pernah mengafirmasi adanya demokrasi Minang dalam budaya politik Indonesia. Sila keempat Pancasila yang berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan ditengarai berasal dari semangat demokrasi Minangkabau, yang mana rakyat/masyarakatnya hidup ditengah-tengah permusyawaratan yang terwakilkan.

Novel

Novel yang beredar luas serta menjadi pengajaran bagi pelajar di seluruh Indonesia dan Malaysia, merupakan novel-novel berlatarbelakang budaya Minangkabau. Seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Merantau ke Deli dan Dibawah Lindungan Ka'bah karya Hamka, Salah Asuhan karya Abdul Muis, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, dan Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis.

Disamping itu terdapat pula produk budaya Minangkabau seperti upacara, festival, kesenian, tambo, pepatah-petitih, hingga makanan.

Upacara dan Festival Tabuik Turun mandi Batagak pangulu Turun ka sawah Manyabik Hari Rayo

Foto foto bisa dilihat di www.West-Sumatra.com [1] ET Hadi Saputra Katik Sati 13:17, 27 Februari 2010 (UTC)

Kesenian Randai Rabab Pasisie Silek (Silat Minangkabau) Saluang Talempong Tari Piring Tari Payung Tari Pasambahan Tari Indang Sambah Manyambah

Ukiran

Seni ukir dahulunya dimiliki oleh banyak Nagari di Minangkabau, namun saat ini seni ukir ini berkembang di Pandai Sikek (Pandai Sikat). Nagari Pandai Sikek terletak di antara Kota Padang Panjang dan Bukittingi, tepatnya di kaki Gunung Singgalang, termasuk ke dalam wilayah Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Data.

Kain Sungkik (Songket)

Kain songket dahulunya sama dengan seni ukir, kerajinan ini dimiliki oleh beberapa Nagari di Minangkabau, namun sekarang yang masih bertahan adalah Nagari Pandai Sikek dan Silungkang.


Recommended