BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh memiliki sistem imun sebagai pertahanan tubuh dalam menghadapi antigen.
Namun, terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun,
salah satunya adalah Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit SLE merupakan penyakit
sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem
saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.1
Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada
setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit
bervariasi mulai dari ringan sampai menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan sering
berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui secara jelas. Berbagai
faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di Negara maju maupun di Negara
berkembang termasuk Indonesia.1 Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multi
disiplin dan dukungan dari berbagai pihak.
Pencegahan dan penatalaksanaan yang baik dapat menurunkan angka kejadian morbiditas
dan mortalitas akibat SLE.
1
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh2 . Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit SLE terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10.2 Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.3
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitif 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan SLEi subkutaneus akut 6,7%.4
Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.4
2.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
2
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.1
2. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita SLE, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.1
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko SLE dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.1
3
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatanObat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced SLE Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.1,2
2.4 PATOFISIOLOGI
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut menyebabkan hiperaktif sel T dan sel B. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks.5
Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE. Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.
Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan
4
antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit, sistem saraf). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap. Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh.
Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE serebral dan ini menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Kompleks imun ini menyebabkan respon inflamasi serta gangguan blood brain barrier. Kompleks ini beredar dan telah ditemukan di dalam pleksus koroid pada waktu terjadi otopsi. Vaskulitis hanya ditemukan pada sekitar 10% dari pasien dengan SLE serebral. Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi. Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine (interferon alfa dan interleukin-6) pada penderita SLE serebral adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Sitokin dapat memicu terjadinya edema, penebalan endotel, dan infiltrasi neutrofil dalam jaringan otak5,6 ,10
Gambar 1. Tahapan pembentukan kompleks imun pada SLE5
2.5 DIAGNOSIS
5
Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology
(ACR). Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti
SLE nefritis, neuropskiatrik SLE (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah
ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya.7,8
Tabel 1.Kriteria Diagnosis SLE Eritematosus Sistemik7
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa
Artritis Artritis non erosive yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serositis pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura
Atau
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Atau
6
b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis
atau ketidakseimbangan elektrolit)
Atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis
atau ketidakseimbagna elektrolit)
Gangguan hematologi a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
Atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
Atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA : antibodi terhadap nonve DNA dengan
titer yang abnormal
Atau
b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuclear Sm
Atau
c. Temuan positif terhadap antibody antifosfolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM
2) Tes SLE antikoagulan positif menggunakkan
7
metoda standard, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekuran-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibody
treponema.
Antibodi antinuklear positif
(ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluorosensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma SLE yang diinduksi obat
Keterangan:
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut
yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak
ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Untuk SLE yang menyerang otak atau sering disebut dengan SLE serebral , diagnosisnya
masih sulit. Tidak ada standar emas tunggal diagnostik.
Beberapa penelitian merekomendasikan bahwa diagnosis harus didasarkan pada penilaian klinis
serta adanya antibodi dalam serum dan CSF. Sebuah diagnosis SLE serebral tidak dapat dibuat
dari temuan radiologis saja, karena yang benar adalah vaskulitis serebral jarang terlihat
radiologis atau bahkan pada otopsi.
Berikut gejala klinik pada SLE yang menyerang otak, seperti : kejang, psikosis,
myelopathy, atau stroke pada pasien dengan SLE. Dalam definisi yang paling luas, itu adalah
respon inflamasi dari SSP sekunder untuk SLE. Sebuah gangguan neurologis pada SLE dapat
8
terjadi sebagai kejadian yang terisolasi atau dalam hubungannya dengan tanda-tanda sistemik
lain dari SLE atau bahkan mendahului timbulnya penyakit sistemik. klinis, autopsi, atau laporan
anekdot pasien diikuti selama periode waktu variabel.
Cerebritis SLE dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Durasi keterlibatan SSP
mungkin bervariasi, seperti pada migren klasik atau transient ischemic attack (TIA), ataupun
demensia. Defisit neurologis yang dihasilkan mungkin bersifat sementara atau permanen,
kadang-kadang mengakibatkan kematian.8
Tanda-tanda neurologis dikategorikan menjadi fokus, spesifik, dan neuropsikiatri
1. Manifestasi Fokal
Tanda-tanda neurologis fokal termasuk stroke, transverse myelitis, palsi saraf kranial,
neuropati perifer, dan chorea, serebelum ataksia. Infark pembuluh darah besar cenderung
terjadi dalam isolasi dari peristiwa neurologis lainnya. Insiden stroke adalah 3% -20%
pada pasien dengan SLE serebral. Hal ini tertinggi dalam 5 tahun pertama penyakit ini
dan tingkat kekambuhan stroke dilaporkan dalam literature berkisar antara 13% -69%
Transvere Myelitis terjadi dari demielinasi atau vasculopathy; biasanya pada arteri kecil
yang sering terkena.
Infark sumsum tulang belakang dan hematoma subdural, mengakibatkan paraplegia,
disfungsi sfingter, dan kehilangan sensori.
Palsi saraf kranial terjadi pada 10% -15% pasien SLE serebral. Serebral laring,
kehilangan penglihatan, ptosis, dan kelemahan wajah adalah manifestasi lebih umum.
Neuropati perifer terjadi di lebih dari 20% dari populasi pasien SLE serebral. Hal ini
dapat terjadi sebagai carpal tunnel syndrome, mati rasa / kesemutan, nyeri wajah, dan
telinga berdenging. Gangguan gerak, seperti ataksia cerebellar dan chorea, terlihat dalam
waktu kurang dari 5% pasien SLE serebral.8
2. Manifestasi spesifik
Tanda-tanda neurologis spesifik terjadi pada sekitar 40% -70% pasien SLE serebral
seperti sakit kepala, kejang, dan sindrom otak organik. istilah "SLE headache" adalah
manifestasi yang paling sering terjadi. Jika sakit kepala berlanjut, trombosis vena serebral
harus dipertimbangkan. Meskipun 40% -70% dari pasien SLE mengeluh sakit kepala,
9
hubungan langsung dengan SLE dan keparahan penyakit ini tidak selalu jelas. Kejang
terjadi pada 20% pasien. Berbagai jenis dilaporkan; tonik-klonik yang paling umum.
Kejang ini disebabkan oleh infark mikro atau subarachnoid hemorrhage.
3. Manifestasi neuropsikiatri
Gejala sisa neuropsikiatri terlihat pada pasien SLE serebral berkisar dari gangguan
afektif terhadap perilaku dan kognitif. Sekitar 20% dari semua pasien SLE awalnya
terdapat gangguan neuropsikiatri. Pasien yang terdiagnosis SLE cerebritis banyak
muncul di klinik psikiatri atau neurologi. Gejala Afektif termasuk gangguan
kepribadian, mudah tersinggung, marah, kecemasan, depresi, kesedihan, dan perasaan
putus asa.
Perilaku pada pasien SLE serebral memiliki episode kewajiban emosional seperti
menangis dan apatis, kontak mata yang buruk, dan kurangnya inisiatif. Defisit kognitif
terlihat pada 20% -40% pasien SLE. Gejala termasuk kesulitan dalam berpikir,
berkonsentrasi, dan berbicara, dengan tingkat fluktuasi kesadaran.
Psikosis dapat terjadi pada SLE serebral. Namun, penyebab psikosis adalah
controversial seperti keterlibatan SSP baik dari pengobatan dan steroid dapat terjadi.
Karena steroid adalah pengobatan andalan untuk SLE, mungkin sulit untuk
membedakan antara psikosis steroid atau aktual keterlibatan SSP. Cara terbaik untuk
membedakan antara keduanya adalah untuk mengurangi dosis steroid untuk
menentukan apakah tanda-tanda dan gejala berkurang. Jika gejala psikotik penurunan,
keracunan steroid harus dipertimbangkan .
Karena tidak ada satu laboratorium tes khusus untuk mendiagnosa SLE serebral, hal ini
menjadi sebuah tantangan. Cerebrospinal Fluid (CSF) dapat digunakan, karena hal ini
menunjukkan tingkat protein yang tinggi pada 40% -80% dari pasien dengan manifestasi serebral
dari SLE. CSF juga dapat diuji untuk menemukan interleukin-6 dan interferon alfa (sitokin),
karena ditemukan secara signifikan lebih tinggi pada pasien SLE dengan gejala neurologis.
10
Dalam sebuah studi, tampak di CSF pasien SLE serebral, peningkatan kadar oksida nitrat.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya nitrat / nitrit dalam CSF dapat digunakan untuk
memantau aktivitas atau perkembangan SLE tersebut.
Sepuluh dari 19 antigen nuklir yang berbeda khusus untuk SLE. Terdapat antibodi
antinuclear (ANA) dalam serum yang digunakan dalam diagnosis dari SLE serebral. Anti DNA
adalah tes yang paling spesifik dalam 40% -60% pasien SLE. Antibodi spesifik yang
menargetkan bagian dari neuron dan mengkonfirmasiketerlibatan SSP adalah antibodi yang
ditargetkan intracytoplasmic.
Adanya antibodi antifosfolipid, SLE antikoagulan dan anticardiolipin, berkorelasi dengan
perubahan dalam pasien CT / MRI. Dalam review literatur lebih dari 1.000 pasien SLE serebral,
antikoagulan SLE terlihat dalam serum 34% dari pasien dan antibody antikardiolipin (yaitu, IgG,
IgA, IGM) terlihat pada 44% -50% dari pasien.7,8
2.6 DIAGNOSIS BANDING
Dengan adanya gejala di berbagai organ maka penyakit-penyakit yang harus didiagnosis
banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan SLE mempunyai gejala-
gejala yang dapat enyerupai SLE yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik, dermatomiositis,
dan purpura trombositopenik.9
a. Artritis Reumatika.
Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Pola karakteristik dari
persendian yang terkena adalah mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan,
dan kaki. Awitannya biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba
hangat, bengkak,kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
b. Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik. Skleroderma
merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-
kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu disekitarnya. Sklerosis
sistemik seperti scleroderma sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-
alat viseral.
c. Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama pada
palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-kadang
juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-otot 11
ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap
dan menyerupai SLE Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher, toraks,
lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul
keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal.
Fase ini disertai demam intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan
berat badan.
d. Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite
dengan trias :trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat.
Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus, pembesaran
limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,fenomena Raynaud, nyeri perut, dan
pembesaran hati.
2.7 PENATALAKSANAAN
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan
dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan
penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
reumatologi.
Pilar Pengobatan SLE12:
1. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan mengenai
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebih
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
12
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit
ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
Beberapa edukasi yang penting adalah :
a. Penjelasan tentang apa itu SLE dan penyebabnya.
b. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
c. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
d. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
e. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat-obatan tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya
termasuk antibiotik.
f. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya.
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka
setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun
sosial. Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan
fungsi kognitif sebesar 86,49%.11 Pembuktian dilakukan menggunakan alat
pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal
ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada
SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata
psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Namun adanya gangguan fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan
dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau
rumah.
13
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat
adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga
yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
2. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi
rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
3. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE
a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan
antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam. Aspirin
14
adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan
indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi,
dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah
efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Efek
samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal,
retensi cairan, meningitis aseptik.
b. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan dari
berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan
metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat
dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5
mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari
respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan
steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Pada SLE
aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon,
metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi,
lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan
klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini,
5-10 hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau
vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000
mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen
ini
mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral
setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat
sementara,
sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
15
3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik
azayhioprine atau cyclophosphamide.
Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5
mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.
c. Metotreksat
Metotreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk
penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating
atau azathrioprin. Metotreksat dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif
sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama
pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Efek samping Mtx yang paling sering
dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.
Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes
fungsi ginjal dan hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,
pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.12
2.8 KOMPLIKASI
SLE dapat menyebabkan timbulnya berbagai komplikasi. Komplikasi yang dapat timbul
adalah adanya gagal ginjal, kerusakan pada otak, dan mata. Selain itu, obat yang digunakan pada
pengobatan SLE yaitu steroid dapat menyebabkan kecedaraan organ yang dapat menimbulkan
infeksi karena terjadinya supresi sistem imun. Antara komplikasi yang dapat timbul akibat
penggunaan steroid adalah gangguan psikiatri, rentan terhadap infeksi, kelemahann tulang,
pembentukan katarak pada mata, diabetes dan memperburuk kondisi penderita yang mendertia
diabetes. Peningkatan tekanan darah, insomnia dan penipisan lapisan kulit juga merupakan
komplikasi yang dapat timbul akibat penggunaan steroid.13
Komplikasi sering terjadi pada wanita menderita SLE yang hamil terutamanya jika
adanya gangguan pada ginjal. Pada waktu pasca partus, penyakit dapat timbul kembali. Pada
wanita yang SLE sudah tidak aktif untuk 6 hingga 12 bulan, potensi untuk tidak berlakunya
kegagalan kehamilan lebih rendah. Selain itu, antibodi yang terbentuk pada ibu yang akan
16
ditransfer ke janin dapat menyebabkan timbulnya ‘rash’, anemia, dan bradikardi akibat daripada
‘complete heart block’(neonatal SLE).
SLE dapat menyebabkan berbagai komplikasi terhadap sistem organ. Komplikasi yang
tersering adalah adanya SLE nefritis. Penderita dengan kondisi ini bisa terjadi gagal ginjal
sehingga perlu dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Tanpa nefritis atau nefrosis pun
seringkali ada proteinuri.
Komplikasi lainya adalah :
Thrombosis vena dalam atau emboli paru
SLE dapat juga menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium
dan pericardium; timbul perikarditis, endokarditis atau miokarditis.
Fenomena Raynaud timbul pada sekitar 40% dari pasien SLE. Beberapa kasus
dapat sangat berat sehingga terjadi gangrene pada jari.
Efusi pleura dan kerusakan jaringan paru, pleuritis. Pleuritis (nyeri dada) dapat
timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE.
Abortus spontan, anak lahir mati dan komplikasi kehamilan yang lain. Jumlah
abortus spontan dan anak lahir mati pada penderita SLE memang lebih tinggi
daripada wanita sehat, tetapi abortus terapetik tidak merupakan indikasi.
Strok
Trombositopeni
Inflamasi pembuluh darah. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteri dan
vena.
Kolitis ulserativa serta hepatosplenomegali ditemukan.
Atritis, biasanya tanpa deformitas, bersifat episodik dan migratorik dan atrofi
muskulo-skeletal dengan mialgia telah dilaporkan. Sendi-sendi yang paling sering
terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu,
lutut dan pergelangan kaki.
Limfadenitis dapat bersifat regional atau generalisata.
Neuritis perifer, ensefalitis, konvulsi, dan psikosis dapat terjadi. Perubahan-
perubahan pada system saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang
ganas dan seringkali bersifat fatal.13
17
2.9 PENCEGAHAN
Penderita harus menghindari trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin
dan stress emosional. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah
Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
Istirahat
Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus
diobati dengan segera.
Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif
Perubahan gaya hidup untuk meningkatkan daya imun.
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,
pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.13
2.10 PROGNOSIS
Diagnosis yang lebih awal membuat pasien mendapat perawatan lebih dini disamping
adanya kemajuan dari segi perobatan. Prognosis bervariasi tergantung kepada adanya inflamasi
organ yang serius.
Kebanyakan pasien SLE hidup tanpa masalah dan ada juga yang mengalami gangguan
organ misalnya gagal ginjal, serangan jantung dan juga strok. Derajat komplikasi yang terjadi
bergantung kepada beratnya penyakit. Bagi wanita, mereka masih bisa hamil dan melahirkan
18
seperti wanita yang sehat. Penderita yang telah didiagnosis lebih 5 tahun menghidap SLE dengan
keadaan vaskulitis akut dan kronik mempunyai risiko mortalitas yang lebih tinggi berbanding
penderita yang didiagnosis dalam masa kurang dari 5 tahun. Berdasarkan data ‘survival rate’
selama 5 tahun adalah 93%.13
BAB III
PENUTUP
Penyakit SLE merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang
melibatkan multiorgan,seperti kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata dan rongga mulut.
Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di Negara maju maupun di Negara
berkembang termasuk Indonesia.
SLE dapat menyerang sistem saraf, dan menyebabkan lupus serebral. Penemuan gejala
klinis seperti kejang, psikosis, myelopathy dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan caian
serebrospinal dapat membantu menegakkan diagnosis SLE pada sistem saraf.
Pencegahan dan penanganan yang tepat seperti pemberian kortikosteroid maupun NSAID
dapat membantu mengurangi angka morbiditas dan mortalitas SLE terutama pada serebral.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H, Albar Z, Kasjimir YI, et al. SLE Eritematosus Sistemik. 2009. Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta : Interna Publishing; 2565-2579.
2. Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic SLE erythematosus. In: Tsokos GC,
Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic SLE erythematosus.
Philadelphia. Mosby 2007:1-18
3. Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010
4. Cervera R, Khamashta MA, Font J, Sebastiani GD, Gil A, Lavilla P, et al . Morbidity and
mortality in systemic SLE erythematosus during a 10-year period, a comparison of early
and late manifestation in a cohort of 1000 patients. Medicine 2006;82:299-308
5. (Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2005 ; hal.27-30)
6. Hochberg Mc. Updating the Ameican College of Rheumatology revised criteria for the
classification of systemic SLE erythematosus [letter]. Arthritis Rheum 2007; 40: 1725
20
7. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic SLE
erythematosus In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s SLE erythematosus. 7 th ed.
Philadelphia.Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
8. Lahita RG. The clinical presentation of systemic SLE erythematosus. In:Lahita RG,
Tsokos G, Buyon J, Koike T.Editors.Systemic SLE Erythematosus,5 thed.San
Diego.Elsevier;2011;525-540
9. Djuanda Suria. Penyakit Jaringan Konektif. In Djuanda A., Mochtar H., Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h.264-67
10. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic SLE erythematosus. J Clin Pathol; 2007;481-
490.
11. Data dari RS Cipto Mangunkusumo 2010
12. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia;2011;12-17
13. Michael E. Makeover. Systemic SLE Erythematosus. Diunduh di
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm . Diunduh pada tahun 2015
21