Transcript

http://groups.yahoo.com/group/buni/ TANGGUNG JAWAB Ibun Mon, 14 Aug 2006 10:08:07 -0700 "Dua jalan untuk menjadi manusia yang bertanggungjawab: membiasakannya sejak kecil atau menunggu sampai keadaan memaksanya." "Adek maem ya?" "Nggak mau!" "Kakak juga makan nih, disuapin ya?" "Nggak mau!" "Nanti waktunya habis lho." "Ntar ah!" "Mbak bilangin ibu kalau Adek nggak mau makan!" Mendengar kata-kata sakti sang Kakak ini, si Adik yang semula tak bergeming mulai beringsut untuk membuka mulutnya dan menerima suapan dari sang Kakak. Satu dan dua suapan berhasil masuk, tetapi pada suapan ketiga si Adik mulai bertingkah kembali. "Cukup ah!" "Lho, baru dua suap ... empat suap lagi deh!" Seterusnya kakak beradik itu makan bersama dari satu tempat bekal yang sama. Bergantian sang kakak menyuapkan nasi dan potongan sosis goreng diujungnya untuk dirinya sendiri, kemudian ia juga menyuapi adik laki-lakinya yang duduk persis disebelahnya. Sampai di sini barangkali kita tidak merasakan sesuatu yang istimewa dari apa yang dilakukan dua anak itu. Tetapi bila Anda tahu bahwa adegan itu dilakukan oleh kakak beradik yang masih berusia 7 dan 5 tahun, dengan seragam dan tas sekolah lengkap, serta dilakukannya di atas Mikrolet, Anda pasti akan berpikir lain. Kedua anak itu naik sebuah Mikrolet trayek Lebak Bulus - Kebayoran Lama dari Pondok Pinang di suatu pagi antara pukul 5:45 sampai 6:30 an WIB. Seperti biasa mereka berangkat ke sekolah di daerah Bungur, Kebayoran Lama bersama-sama tanpa diantar atau dijemput orangtuanya. Menilik seragam sekolah dan topi yang mereka kenakan, si kakak perempuan kira-kira kelas dua SD dan adik laki-lakinya masih di Taman Kanak-kanak. Luar biasa. Sebagian penumpang yang mayoritas ibu-ibu seolah menahan napas haru, ketika harus melihat adegan kedua anak ini di sepanjang perjalanan. Sang Kakak begitu telatennya menyuapi si Adik dan sang Adik pun, meski kelihatan tidak selera makan tetapi menuruti perkataan sang Kakak. Apakah mereka masih punya orangtua? Lalu kenapa mereka membiarkan anak-anak sekecil ini berangkat sekolah dan pulang dengan kendaraan umum sendirian? Seorang ibu yang duduk di seberang mereka mengajak mereka bercakap. Rupanya memang kedua anak itu terbiasa berangkat dan pulang sekolah bersama-sama tanpa diantar

orangtuanya. Bahkan sang Kakak juga harus bertanggungjawab untuk memastikan si Adik juga sarapan pagi dengan baik. Dan tanggungjawab itu pun harus dilakukannya di atas Mikrolet! Sesuatu yang mungkin sulit dilakukan oleh seorang ibu sekalipun. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan belum terjawab ketika dua anak itu harus turun di sekolah mereka daerah sekitar Jalan Bungur, Kebayoran Lama. Saya lalu teringat akan cerita anak saya tentang kekonyolan salah seorang teman sekelasnya (kelas 2 Sekolah Dasar) yang terpaksa harus "pup" di sekolah, berteriak-teriak sedemikian rupa memanggil "Mbak"-nya karena tidak bisa --maaf-- cebok sendiri. Juga beberapa temannya yang kalau makan siang masih disuapi oleh "Mbak"-nya masing-masing. Padahal, usia mereka nyaris sama dengan si Kakak dalam Mikrolet di atas. Sedemikian kontras. Betapa pun kita tidak bisa membandingkan begitu saja teman-teman anak saya ini dengan dua anak penumpang Mikrolet di atas --karena memang hidup dan kehidupan yang mereka jalani berbeda-- tetapi jelas ada sesuatu yang sangat mendasar dan universal harus kita pahami di sini. Bahwa bagaimana pun seorang anak harus belajar melakukan tanggungjawabnya sejak kecil. Bukan berarti membebani dengan pekerjaan dan tugas yang sebenarnya menjadi porsi orangtua seperti apa yang dilakukan Si Kakak dalam Mikrolet di atas, tetapi cukup berlatih untuk bertanggungjawab dengan kebutuhan dan kehidupannya kebutuhan mereka sendiri. Bukankah sangat tidak wajar, anak usia 7 tahun masih harus dibantu --maaf-- cebok atau disuapi ketika makan? Ada dua jalan bagaimana kita bisa menjadi menjadi manusia yang bertanggungjawab. Pertama, membiasakannya sejak kecil; atau kedua, situasi dan keadaaan yang memaksa kita melakukannya.

COMMENT : Tanggung jawab seorang kakak terhadap orang tuanya yang menjaga adiknya setiap hari. Orang tuanya memberi kepercayaan untuk terbiasa berangkat sekolah tanpa orang tua, dan itu dilakukan kakaknya dengan baik. Kakaknya juga dapat memastikan adiknya sarapan pagi dengan menyuapinya walaupun adiknya menolak. Bagaimanapun seorang anak harus belajar melakukan

tanggungjawabnya yang diberikan orang tuanya sejak kecil. Bukan berarti membebani dengan pekerjaan dan tugas yang sebenarnya menjadi porsi

orangtua seperti apa yang dilakukan Si Kakak dalam Mikrolet di atas, tetapi cukup berlatih untuk bertanggung jawab dengan kebutuhan dan kehidupannya sendiri.

Oct 27

Kisah tanggung jawab seorang anakSebuah kisah teladan dari negeri China Saya dapat dari email, saya posting karena sangat memberkati saya. Sayang sekali saya tidak bisa melacak penulis aslinya. Semoga memberkati setiap pembaca yang lain. Untuk siapapun yang mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari ortu kuncinya satu, memaafkan , sehingga kedamaian ada pada hidup kita , jaman dulu sudah biasa ortu bertindak seperti itu , banyak faktor, salah satunya kemiskinan dan pendidikan yg rendah. Semoga tulisan dibawah ini membawa kita semua , terutama yg mengalami hal-hal buruk, setelah membaca e-mail ini ada damai dalam hidup kita, Amin. Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Perhatiannya yang besar kepada Papanya, hidupnya yang pantang menyerah dan mau bekerja keras, serta tindakan dan perkataannya yang menyentuh hati membuat Zhang Da, anak lelaki yang masih berumur 10 tahun ketika memulai semua itu, pantas disebut anak yang luar biasa. Saking jarangnya seorang anak yang berbuat demikian, sehingga ketika Pemerintah China mendengar dan menyelidiki apa yang Zhang Da perbuat maka merekapun memutuskan untuk menganugerahi penghargaan Negara yang Tinggi kepadanya. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da. Mengikuti kisahnya di televisi, membuat saya ingin menuliskan cerita ini untuk melihat semangatnya yang luar biasa. Bagi saya Zhang Da sangat istimewa dan luar biasa karena ia termasuk 10 orang yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar manusia. Atau lebih tepatnya ia adalah yang terbaik diantara 140 juta manusia. Tetapi jika kita melihat apa yang dilakukannya dimulai ketika ia berumur 10 tahun dan terus dia lakukan sampai sekarang (ia berumur 15 tahun), dan satu-satunya anak diantara 10 orang yang luarbiasa tersebut maka saya bisa katakan bahwa Zhang Da yang paling luar biasa di antara 1,4 milyar penduduk China. Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia. Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.

Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggung jawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya. Demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya. Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba makan itu semua, ia tahu mana yang masih bisa ditolerir oleh lidahnya dan mana yang tidak bisa ia makan. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya. Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat.

ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dikerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari. Zhang Da menyuntik sendiri papanya Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Sejak umur sepuluh tahun ia mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang ia beli. Yang membuatnya luar biasa adalah ia belajar bagaimana seorang suster memberikan injeksi/ suntikan kepada pasiennya. Setelah ia rasa ia mampu, ia nekad untuk menyuntik papanya sendiri. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, saya pun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun, maka Zhang Da sudah terampil dan ahli menyuntik. Aku Mau Mama Kembali Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu! Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, Sebut saja, mereka bisa membantumu Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar ia pun menjawab, Aku Mau Mama Kembali.

Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah! demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap. Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit, mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat kata belece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya. Tidak semua orang bisa sekuat dan sehebat Zhang Da dalam menyiasati kesulitan hidup ini. Tapi setiap kita pastinya telah dikaruniai kemampuan dan kekuatan yang istimewa untuk menjalani ujian di dunia. Sehebat apapun ujian yg dihadapi pasti ada jalan keluarny. Ditiaptiap kesulitan ada kemudahan dan Allah tidak akan menimpakan kesulitan diluar kemampuan umat-Nya. Jadi janganlah menyerah dengan keadaan, jika sekarang sedang kurang beruntung, sedang mengalami kekalahan. Bangkitlah! Karena sesungguhnya kemenangan akan diberikan kepada siapa saja yg telah berusaha sekuat kemampuannya.

COMMENT :Sungguh mengharukan kisah anak ini yang sangat setia kepada ayahnya. Tanggung jawab itu memang harus dilakukan setiap anak ketika orang tuanya sudah tua / melemah, tetapi siapa sangka anak 10 tahun sudah bisa menghidupi ayahnya sendiri. Tanggung jawab tetap tanggung jawab. Anak itu tidak melepaskan tanggung jawabnya begitu saja dan meninggalkan ayahnya, tetapi ia sekuat tenaga menghidupi apapun caranya. Seperti, mencari makan untuk bersama, mencari obat untuk ayahnya, bekerja sebagai tukang batu, merawat ayahnya yang sakit, dan lain-lain. Ketika kebutuhan mewah datang kepadanya, ia tidak mau dan ingin mamanya kembali. Sungguh ketaatan dan tanggungjawabnya kepada orang tuanya melebihi segalanya yang ada di depan mata.

www.els.fk.umy.ac.id TANGGUNGJAWAB ANAK TERHADAP KEDUA IBUBAPA by Bambang Heri Gunawan - Wednesday, 17 May 2006, 11:49 AM

TANGGUNGJAWAB ANAK TERHADAP KEDUA IBUBAPA 1. Apabila keduanya memanggil maka anak harus segera menyahut dan hadir kepadanya. 2. Anak dilarang memanggil kedua ibu bapanya dengan panggilan nama. 3. Bercakaplah dengan keduanya dengan gelaran yang mulia. 4. Anak mestilah berbicara dengan lemah lembut terhadap keduanya, jangan sesekali mengasarinya atau berlaku biadap. 5. Sentiasa merendahkan suara bila bercakap dengan keduanya. 6. Bila keduanya menyuruh untuk melakukan sesuatu maka anak harus melaksanakannya dengan penuh taat selama suruhan itu tidak berupa maksiat. Jika suruhan itu berupa maksiat sekalipun maka tolaklah dengan penuh rasa hormat dan meminta maaf. 7. Bila berjalan bersama mereka maka anak harus berada di belakangnya. 8. Bila keduanya memerlukan layanan maka anak harus melayaninya dengan penuh rasa hormat walaupun kadang kala ibu bapa tidak berlaku adil diantara anak-anaknya. 9. Sentiasa merendah diri bila berada di hadapan keduanya dan coba untuk menggembirakan hati mereka. 10. Bila anda hendak keluar rumah atau ke mana saja maka beritahulah keduanya dan mintalah izin. 11. Jangan memasuki bilik tidur kedua orang tua kita sebelum meminta izin terlebih dahulu. 12. Bila keduanya memarahi ataupun memukul kita maka terimalah ini sebagai satu hukuman dan jangan menunjukan sifat kebencian atau marah kita kepada keduanya. 13. Bila ibu bapa memerlukan kepada pakaian maka anak harus menyediakan sekadar kemampuan. 14. Bila ibu bapa memerlukan kepada makanan maka anak harus memberinya sekadar kemampuan.

15. Setiap kali anda membuat mereka merasa sedih atau dukacita maka segeralah menyesal diatas keterlanjuran tersebut serta segera memohon maaf. 16. Jika anda sedang solat sunat tiba-tiba keduanya memanggil maka berhentilah dari solat dan sahutlah seruan mereka walaupun seruan itu tidak ada perkara yang penting. 17. Anak mestilah rela terhadap keduanya sebagaimana ia merasa rela terhadap dirinya sendiri. 18. Jangan terlalu melebihkan istri/suami dari kedua orang tua. 19. Setiap kali berdoa anak mestilah mendoakan akan keampunan Allah terhadap kedua ibu bapanya dan berusahalah dengan amalan yang soleh mengikut kemampuan sendiri. 20. Sekiranya keduanya telah meninggal dunia maka tinggikanlah martabat dan kemuliaan mereka, bayarlah hutang piutang yang masih ada dan berbuat baik serta hormatilah terhadap sahabat-sahabat keduanya. 21. Jika mereka ada meninggalkan wasiat maka tunaikanlah wasiat itu mengikut kemampuan anda.

COMMENT :Inilah saran-saran yang baik bagi semua anak menurut www.els.fk.umy.ac.id. Diharapkan bagi semua anak akan bertanggung jawab terhadap ibu bapaknya sampai ia melaksanakan tugas tanggung jawab nya dengan baik. Dijelaskan juga tanggung jawab tentang kesopanan, kerelaan, dan perbuatan-perbuatan lain yang harus dilakukan oleh seorang anak.

11-04-2007, 08:36 AM #2 onechang Anggota KafeGaul Junior

Tanggal Gabung: 23 Aug 2004 Lokasi: Small Town in Japan Post: 685 Sebenarnya kl merawat ortu hrs seluruh anak kan ortunya tp kl ada yg tinggalnya jauh pas udah berkeluarga hrs ada saling pengertian. Cuma ya jangan lepas tangan. Kayak aku ada ibu sakit stroke dan masih terapi (alhamdullilah nggak sampe lumpuh/berada ditempat tidur), ibuku masih bisa jln atau melakukan aktivitas cuma ngga sesehat dulu tp hrs kontrol terus. Aku sbg anak yg jauh cuma bisa bantu keuangan aja terutama obatnya sedangkan saudara yg lain juga bgt dan yg merawat adikku. Tp aku juga mikir adikku kan kerja masih bujang jd aku sediain pembantu dan buka usaha dirumah (toko) utk ibuku biar ada aktivitas. Kl di Jepang tugas bgn udah budaya anak pertama laki-laki. Tp imbalannya anak tsb dpt warisan rumah ortu dan ini terus berlanjut utk turunan berikutnya.

COMMENT :Ini adalah salah satu contoh tanggung jawab anak kepada orangtuanya. Ia, meskipun tinggal jauh dari ibunya, masih memperdulikan dan memikirkan ibunya yang sakit. Ia tidak lepas tangan begitu saja. Ia masih mengontrol kondisi ibunya dan membelikan obat untuk ibunya. Ia juga bertanggung jawab terhadap adiknya.

www.diasporasejahtera.com Sifat Anak yang Bertanggung Jawab Pertama, anak yang memiliki rasa tanggung jawab adalah anak yang memahami tugas dan kewajibannya. Untuk setiap usia ada tugas yang perlu dilaksanakan. Karena itu, kita biasanya memandang ganjil anak usia 10 tahun yang belum mampu memakai kaus kaki dan mengikat tali sepatunya sendiri, misalnya. Kebanyakan anak yang tidak pernah diajar dan diberitahu akan tugasnya tidak pernah belajar bagaimana melakukan tugasnya secara bertanggung jawab. Kedua, rasa tanggung jawab mendorong anak melakukan kewajibannya tanpa terlalu banyak diperintah atau diawasi. Tentu akan sangat melelahkan bila kita mempunyai dua anak atau lebih dan mereka perlu terus-menerus diterintah untuk melakukan tugas-tugasnya. Sebaliknya, anak yang bertanggung jawab mempunyai inisiatif untuk melaksanakan kewajibannya tanpa diminta sekalipun. Ketiga, anak bertanggung jawab bila ia melakukan kewajibannya sekalipun itu bukan tugas yang menyenangkan baginya. Bagaimanapun menyenangkannya suatu pekerjaan, tentu ada sisisisi yang kurang menyenangkan. Rasa tanggung jawab membuat anak tetap menyelesaiikan pekerjaannya dan tidak cepat beralih ke hal lain yang lebih menarik perhatiannya. Keempat, anak yang bertanggung jawab memiliki kontrol diri yang kuat sehingga ia mampu mendahulukan penyelesaian tugasnya meskipun ia memiliki kesempatan untuk bersenangsenang. Ada semacam rasa tidak enak yang mendorongnya untuk terus bertahan dalam pekerjaannya, sehingga ia mampu mengabaikan hal lain. Namun rasa bersalah ini tidak membebani sedemikian rupa sehingga anak tidak lagi fleksibel dalam menghadapi hidupnya sehari-hari. Selain itu, perasaan sang anak yang bertanggung jawab juga dapat dikendalikan membuatnya tidak cepat frustasi atau tidak berdaya ketika menghadapi kesulitan. Kelima, anak yang bertanggung jawab akan menghadapi akibat buruk yang harus diterimanya ketika ia tidak mampu menuntaskan tugasnya atau melakukan perbuatan tertentu yang mempunyai resiko tidak enak. Tentu menjengkelkan bila anak menyangkal telah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang, sekalipun secara nyata kita menyaksikannya melakukan hal tersebut. Sebaliknya kita bangga terhadap anak kita yang berani mengaku salah dan bersedia menerima konsekuensi perbuatannya.

COMMENT :Telah dijelaskan di atas tentang sifat-sifat anak yang bertanggung jawab. Orang tua cukup mengajarkan anak dan selebihnya anak akan melakukan tanggung jawabnya sendiri. Anak akan memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya, mendahulukan tanggung jawabnya. Anak akan belajar menerima akibat dari suatu kegiatan yang mempunyai resiko tidak mengenakkan sebagai rasa tanggung jawabnya atas kegiatan tersebut.

Cerita ini menekankan ttg kewajiban anak utk merawat orgtuanya APAKAH SEORANG IBU PERNAH MENAKAR AIR SUSUNYA?

Di dalam puisi dan cerita-cerita rakyat di beberapa negara, banyak diceritakan masalah tentang hubungan cinta dan tidak cinta antara orangtua dengan anak-anaknya. Ada beberapa negara di dunia ini tidak mempunyai cerita-cerita rakyat yang berkenaan dengan penggambaran hubungan cinta kasih antara orangtua dengan anak-anaknya. Dan mereka hanya menekankan tentang cinta kasih kepada semua orang, yang tentu saja termasuk orangtua mereka juga. Banyak sekali orang yang menangis ketika mendengar dan membaca puisi dan cerita-cerita yang menggambarkan tentang hubungan cinta kasih antara orangtua dengan anak. Ada satu cerita berasal dari sebuah puisi yang amat terkenal di Srilanka. Puisi yang asli terdiri dari empat bait, yang dapat mengubah seseorang menjadi penuh belas kasih. Ceritanya sebagai berikut :Pada suatu ketika, hiduplah seorang ibu yang membesarkan anak laki-lakinya. Dengan melalui berbagai penderitaan akhirnya ibu tua itu berhasil menghantarkan anak laki-lakinya mencapai kehidupan yang sukses. Anak laki-laki itu lalu menikah dan mempunyai rumah sendiri. Setelah ia berkeluarga dan mempunyai kehidupan yang cukup baik, tetapi ia tidak pernah menengok kepada kedua orangtuanya yang sudah tua itu. Ayah dan ibu tua itu sudah lama amat menderita, mereka tidak mempunyai makanan dan pakaian yang cukup.

Pada suatu hari karena mereka sudah amat kelaparan, tidak mempunyai lagi makanan yang dapat dimakan, ibu tua itu merasa ia dapat meminta pertolongan dari anaknya. Dengan badan yang sudah membungkuk, ia berjalan perlahan-lahan menuju ke rumah anaknya untuk meminta makanan. Anak laki-laki itu yang melihat ibunya datang segera bersembunyi di dalam rumah. Ia diam saja di dalam rumah dan tidak mau keluar menemui ibunya, ia lalu menyuruh isterinya keluar untuk menemui ibunya. Di depan pintu rumah, ibu tua itu berkata kepada menantu perempuannya, bahwa ia amat lapar dan membutuhkan makanan. Menantunya tanpa berkata sepatah katapun lalu masuk ke dalam rumah dan membawa sebuah keranjang, lalu diberikannya kepada mertuanya, yang berisi dua liter gandum. Tetapi ibu mertua yang sedang kelaparan itu, tentu saja tidak dapat memakan gandum yang belum dimasak itu. Ia harus memasaknya terlebih dahulu, dan membutuhkan waktu yang cukup lama sampai gandum itu matang dan dapat dimakan. Sedangkan ia sudah amat lapar, dan membutuhkan makanan yang sudah matang supaya dapat segera dimakan untuk menghilangkan rasa laparnya. Ibu tua itu menerima keranjang yang berisi gandum itu dengan perasaan sedih, ia tidak bahagia. Ia menghadapi kenyataan yang pahit, ia hanya menerima dua liter gandum, pemberian dari anak laki-lakinya yang amat sangat dikasihinya. Anak laki-lakinya itu tidak

mau keluar menemuinya ketika ia datang, hatinya amat kecewa dan sedih sekali. Ibu tua itu lalu mengucapkan syair ketika ia menerima gandum itu,

"Saya datang ke depan pintu rumah anakku karena saya amat lapar dan hampir mati Tetapi saya hanya memperoleh dua liter gandum Saya ragu-ragu, apakah saya harus menerimanya atau tidak Oh anakku sayang apakah saya pernah menakar air susuku ketika menyusuimu?"

Ternyata menantunya itu amat marah mendengar kata-katanya. Ia merasa kata-kata ditujukan untuk dirinya. Dengan marah ia lalu berkata : "Hai nenek tua, ibuku sendiri yang telah membesarkanku, dan tidak akan membiarkan aku menderita sedikitpun, tidak ribut ketika ia datang, dan hanya kami berikan seliter gandum. Kami kan sudah memberikanmu dua liter gandum, tetapi kamu malah berkata-kata seperti itu. Sudahlah nenek tua, pergilah dari tempat ini sekarang juga!" Anak laki-laki itu tidak berusaha meredakan pertentangan antara ibu dan isterinya, ia hanya diam saja. Tetapi sejak saat itu setelah mendengar puisi yang diucapkan si ibu tua, orang-orang menjadi merasa ngeri dan takut apabila sudah tua nanti, akan menghadapi keadaan seperti yang dialami oleh ibu tua itu. itu

COMMENT :Cerita ini menekankan tentang kewajiban seorang anak untuk merawat ayah dan ibunya yang sudah tua, seperti ayah dan ibu merawat anaknya dengan penuh kasih yang tanpa batas ketika mereka masih kecil. Jadi seorang anak harus berbakti dengan merawat orangtua mereka, dengan penuh hormat dan dengan cinta kasih yang tulus ikhlas. Anak tidak boleh meninggalkan orang tuanya meskipun ia telah berkeluarga, ia harus tetap mengasihi orang tuanya.

Bagai Gendewa terhadap Anak PanahPenulis : Eka Darmaputera Kita telah membahas betapa keras, tandas, dan lugasnya perintah Tuhan kepada anak-anak agar menghormati orang tua mereka. Dijanjikan-Nya pahala paling mulia bagi yang mematuhinya, dan diancamkan-Nya hukuman paling mengerikan bagi para pelanggarnya. Ya! Namun, ini tidak boleh kita jadikan alasan untuk membenarkan tindak kesewenang-wenangan para orang tua terhadap anak-anak mereka! Jangan mentang-mentang! Orang tua, menurut kesaksian alkitab, tidak hanya memiliki "hak", sementara anak-anak cuma mempunyai "kewajiban". Tidak! Indahnya dan adilnya etika Alkitab adalah bahwa semua perintah Tuhan senantiasa punya dua sisi. Selalu dua arah. Timbal balik. Tak pernah berat sebelah. Karena itu di samping janji berkat, ada ancaman laknat. Di samping "hak", ada "kewajiban". Orang tua, jelas mempunyai hak. Itu tentu! Tapi mereka juga punya kewajiban. Sedang anakanak? Mereka punya kewajiban, itu so pasti. Tapi, jangan lupa, mereka juga punya hak! *** DASAR teologis untuk etika timbal-balik tersebut, adalah sebuah prinsip bahwa "anak-anak" bukanlah milik "orang tua" mereka. Anak-anak adalah anugerah, karunia, pemberian, hadiah Allah. Yang di"titip"kan kepada orang tua untuk dilahirkan, diasuh, dipelihara, dan dibesarkan. Orang tua yang dipilih memang eksklusif. Tuhan tidak memilih orang lain, kecuali ibu saya yang satu itu, untuk melahirkan saya. Namun, orang tua tidak mempunyai hak eksklusif atas anak-anak mereka. Hak "eigendom" atau "hak milik" atas anak-anak itu tetap pada Allah. Anak-anak itu tetap milik Tuhan sepenuhnya. Eka Darmaputera adalah anak pak Pitoyo, ya, tetapi 100 persen milik Tuhan. Atau meminjam tamsil yang terkenal dari Kahlil Gibran, "orang tua" adalah sekadar "gendewa" di tangan pemanah. Anak-anak adalah anak-anak panah. Sedang pemanah itu tak lain adalah sang Dia. Tuhan, sang Pemilik sejati. Gendewa tentu penting. Tanpanya, mustahil anak-anak panah bisa melesat. Tapi gendewa tidak menentukan arah si anak panah. Yang menentukan adalah kehendak sang pemanah, dan kemampuan si anak panah. Atau, dengan istilah yang lebih kontemporer, gendewa hanya berfungsi sebagai semacam "fasilitator", yang memungkinkan anak panah itu meluncur ke sasaran dengan sebaik-baiknya.

Jadi, sekali lagi, gendewa penting. Tapi jangan takabur, lalu menganggap diri terlalu penting. Gendewa bukan Tuhan! Gendewa bukan segala-galanya! *** MEMAHAMI relasi antara anak, orang tua, dan Tuhan, sebagai "hubungan segi-tiga" seperti tersebut di atas membawa kita pada kesimpulan betapa hubungan orang tua dan anak itu lebih banyak diwarnai oleh kesadaran akan "kewajiban", ketimbang oleh kesadaran akan "hak". Anak-anak punya "kewajiban" terhadap orang tua. Dan sebaliknya, orang tua juga tak kurang punya "kewajiban" terhadap anak-anak. Hubungan mereka tidak dijiwai oleh roh saling menagih dan saling menuntut hak. Tetapi oleh kerelaan memeriksa diri, apakah "kewajiban" telah dipenuhi. Perhatian utama orang tua tidak boleh ditujukan pada apakah anak-anak telah membayar "kewajiban" mereka. Artinya, apakah mereka memenuhi syarat untuk disebut sebagai "anakanak yang baik". Yang lebih disukai Tuhan adalah, apabila yang bersangkutan mau dengan jujur ber-introspeksi. Bertanya kepada diri sendiri, apakah mereka telah menjadi "orang tua yang baik". Perintah Tuhan agar anak-anak menghormati orang tua amat jelas. Sangat afirmatif. Tapi apakah karena itu, maka orang tua lalu ber"hak" menagih ini atau menuntut itu dari anak-anak mereka? Apakah orang tua ber"hak" mengklaim pembayaran kembali atas semua yang telah mereka kerjakan bagi anak-anak mereka? Alkitab memberi jawaban yang mungkin mengagetkan, yaitu TIDAK! Melahirkan, memelihara, dan membesarkan anak-anak adalah perbuatan yang luhur dan mulia, penuh pengorbanan dan (mungkin) kesakitan. Tapi ini, menurut Alkitab, sama sekali bukanlah "jasa". Bukan pula "kebaikan" atau "kebajikan", melainkan sekadar menjalankan atau memenuhi "kewajiban". Orang tua yang tidak melakukannya, adalah orang tua yang buruk. Namun orang tua yang dengan setia melakukannya, adalah orang tua yang sekadar melaksanakan kewajiban. Boleh kita puji. Layak kita syukuri. Tapi tidak lebih dari itu. Mereka tidak serta merta jadi "pahlawan", yang layak memperoleh bintang jasa. *** BAHWA orang tua layak memperoleh hormat dan bakti yang tulus dari anak-anaknya, ini adalah perintah Tuhan sendiri. Suatu "kewajiban" yang tidak dapat ditawar-tawar. Orang tualah yang telah memungkinkan mereka lahir, hidup dan berkembang di bumi ini. Tanpa orang tua, mereka tidak ada.

Terlebih-lebih bila kita ingat bahwa, berbeda dengan kebanyakan hewan, masa ketergantungan manusia sejak dilahirkan pada perlindungan orang tua, relatif sangat panjang. Bertahun-tahun. Seekor penyu cukup menyimpan telurnya di bawah pasir, lalu bisa segera kembali ke laut. Dan pada waktunya, bayi-bayi penyu akan keluar, kemudian tanpa bantuan orang tua, pelan-pelan merayap ke laut -- sendiri. Bandingkanlah seorang anak bermaknanya tergantikan (= ini dengan bayi manusia! Mungkin baru setelah berusia kurang lebih 15 tahun, betul-betul bisa hidup mandiri. Ini hendak menegaskan kembali, betapa peran orang tua bagi "survival" anak-anak mereka! Hampir-hampir tak indispensable) oleh apa pun dan oleh siapa pun!

Namun, toh orang tua tidak berhak menagih hormat atau menuntut ganti rugi dari anakanaknya. Ada yang harus dilakukan oleh anak-anak kepada orang tua, ya, tapi ini lebih merupakan "kewajiban anak-anak" untuk melaksanakannya, ketimbang "hak orang tua" untuk menuntutnya! Tidak pantas bila orang tua menuntut ketaatan tanpa reserve dari anak-anak mereka berdasarkan prinsip "imbal jasa". Dan tidak patut, orang tua memaksa anak-anak mereka mengorbankan kemandirian dan kedirian mereka sebagai bentuk pembayaran kembali dari pengorbanan yang telah mereka berikan. Satu-satunya yang berhak menagih dan menuntut ini adalah Tuhan! Di luar itu, orang tua hanya ber"kewajiban" membesarkan anak-anaknya. Dan sebagai timbal-baliknya, anak-anak ber"kewajiban" menghormati orangtua mereka. Artinya: orang tidak saling menuntut "hak", tetapi saling melaksanakan kewajiban masingmasing. Alangkah nyaman dan tenteramnya hidup bersama, bila ia disemangati oleh kerinduan semua pihak untuk sekadar memenuhi kewajiban masing-masing. Sekiranya para pejabat mengonsentrasikan seluruh upaya mereka, hanya untuk memberi pengayoman kepada rakyat. Dan andaikata rakyat juga hanya mengonsentrasikan seluruh potensi mereka, melulu untuk tujuan-tujuan yang produktif dan konstruktif. Ketika para pejabat tidak cuma berpusing-pusing menyuap sini menyuap sana, memikirkan intrik ini atau taktik itu, demi mempertahankan kekuasaan mereka. Dan sebaliknya, masyarakat tidak memboros-boroskan enersi, dengan berdemonstrasi setiap hari, memprotes itu memprotes ini, tanpa tahu persis apa yang mereka perjuangkan. *** KARENA itu, di samping menegaskan, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan", Paulus dengan tak kurang kuatnya juga

menekankan, "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya" (Kolose 3:20-21). Bila anak-anak punya "utang kewajiban" terhadap orang tua, demikianlah orang tua pun punya "utang kewajiban" terhadap anak-anak. Orang tua punya kewajiban untuk sejak dini menanamkan disiplin kepada anak-anak mereka. Membuat anak-anak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mengajar mereka mengenal batas -- apa yang boleh dan apa tidak boleh. Ini kadang-kadang dapat dilakukan dengan lembut, tapi tidak jarang harus dilakukan dengan keras. Tapi melakukan tindakan "keras", sungguh berbeda dengan melakukan "kekerasan". Yang satu bisa disebut "tegas", sedang yang lain lebih tepat disebut "buas". Yang satu dilakukan dengan "sakit", yang lain dilakukan untuk "menyakiti". "Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya". Boleh bertindak "keras", bilamana perlu. Tapi tetap dalam cinta kasih. Dan yang lebih utama lagi, dengan "respek". Salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan oleh orang tua adalah, ia bertindak "keras" sekadar untuk menunjukkan "who is the boss". Untuk menuntut respek. Padahal, kita tahu, orang akan menghormati kita, bila kita menghormati dia. Anak-anak kita, tanpa perlu diberitahu, sudah tahu siapa "boss" mereka. Yang kadang-kadang hendak mereka uji adalah, apakah "boss" tersebut benar-benar pantas menerima respek mereka. Dan akhirnya, untuk menjawab pertanyaan, "Anak-anak saya itu kurang apa lagi sih, kok seperti tidak ada puasnya. Padahal semua kebutuhan mereka terpenuhi. Uang saku mereka berlebih-lebihan. Apa lagi?" Astaga, "Apa lagi?", itukah pertanyaan Anda? Saudara, anak-anak Anda tidak cuma memerlukan "entertainment" atau hiburan. Tapi "encouragement" atau dorongan. "Supaya jangan tawar hatinya". Nah, yang ini, sudahkah Anda berikan?

COMMENT :Orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Anak-anak adalah titipan Allah pada orang tua dan adalah sepenuhnya milik Allah. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan lembut, tegas, tidak dengan kekerasan. Orang tua juga sebaiknya memberikan dukungan/ dorongan pada anak-anaknya agar mereka merasa dihargai. Tetapi, tidak baik bagi orang tua menuntut hak pada anak-anaknya. Anak-anak harus menghormati orang tua mereka dan menyadari kewajiban mereka pada orang tua. Dengan demikian, dapat tercipta kehidupan keluarga yang harmonis, antara Allah, orang tua, dan anak.