Transcript
Page 1: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

BAB II

LANDASAN TEORI

1.1. Pendahuluan

Yang menjadi latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum

internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya

tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain,

menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak itu. Dengan

kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya. Suatu negara

bertanggung jawab, misalnya, karena telah melanggar kedaulatan wilayah negara lain,

merusak wilayah atau harta benda negara lain dan lain-lain.

Menurut Professor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain

adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran

hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional,

negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang

dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama,

negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan

mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat

suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum

internsional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut

(liability) harus dilaksanakan.

Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab

(negara) ini bergantung kepada faktor-faktor sebagai berikut:

1) Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara

tertentu.

2) Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum

internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara.

3) Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang

melanggar hukum atau kelalaian.

Page 2: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

1.2. Tanggung Jawab Negara: Perdata dan Pidana

Menurut para sarjana penganut aliran hukum internasional tradisional, sepanjang

menyangkut perbuatan atau tindakan suatu negara yang bertentangan dengan hukum

internasional, maka tanggung jawab yang lahirnya daripadanya selalu akan berupa

tanggung jawab perdata. Aliran tradisional tidak mengenal pembedaan tanggung jawab

negara dalam arti tanggung jawab pidana. Sarjana hukum internasional ternama,

seperti Shaw dan Brownlie, berpendapat bahwa konsep suatu negara dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana tidak mempunyai nilai hukumnya sama sekali

dan tidak ada justifikasi (pembenaran) terhadapnya.

Namun, penulis-penulis selain penganut ajaran tradisional, berpendapat bahwa

pembedaan tersebut seyogyanya diadakan. Pendapat ini didasarkan pada adanya

perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam konsep hukum internasional

khususnya sejak tahun 1945. Perkembangan yang dimaksud yaitu:

1) Perkembangan konsep Jus Cogens

2) Lahirnya tanggung jawab pidana individu menurut hukum internasional

3) Lahirnya piagam PBB dan ketentuan-ketentuannya untuk tindakan penegakan

hukum (enforcement) terhadap suatu negara sehubungan dengan tindakannya

yang mengancam atau melanggar perdamaian atau tindakan agresi.

Sanksi terhadap tanggung jawab negara dalam bidang pidana bisa berupa

sanksi embargo ekonomi atau diadakannya persidnagan terhadap pelaku atau organ

negara (misalnya tentara) yang melanggar hukum internasional. Hal terakhir ini sesuai

dengan doktrin imputabilitas. Dengan kata lain, tanggung jawab negara di bidang

pidana dapat diwujudkan ke dalam tanggung jawab pejabat pemerintanhnya (yang

berkuasa pada waktu pelanggaran hukum internasional terjadi)

Tanggung jawab perdata tampak misalnya dari tanggung jawab negara terhadap

negara lain atau pengusaha asing sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban-

kewajibannya dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak komersil. Lahirnya

pembedaan perbuatan negara ke dalam jure imperii dan jure gestionis juga

memperkuat kesimpulan perlu adanya pembedaan tanggung jawab negara. Dalam hal

Page 3: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

jure gestionis suatu negara diperlakukan sebagai halnya ‘orang perorangan’ yang

melakukan kegiatan atau transaksi komersial.

1.3. Macam-macam Tanggung Jawab Negara

Secara garis besar, tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi:

1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum (Delictual Liability)

Tanggung jawab seperti ini dapat lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu

negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah negara lain. Hal ini

dapat timbul karena:

a. Ekplorasi Ruang Angkasa

Negara peluncur satelit selalu bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang

disebabkan oleh satelit terhadap benda-benda (obyek) di wilayah negara lain. Sistem

tanggung jawabnya adalah tanggung jawab absolut (absolut liability). Ketentuan hukum

yang mengatur tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan peluncuran satelit (benda-benda

ruang angkasa) ini diatur oleh Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional untuk

Kerusakan yang Disebabkan oleh Benda-Benda Ruang Angkasa tahun 1972

(Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects).

b. Eksplorasi Nuklir

Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang disebabkan karena

kegiatan-kegiatnnya dalam bidang eksplorasi nuklir. Sistem tanggung jawabnya pun

adalah tanggung jawab absolut. Perjanjian internasional yang mengatur eksplorasi

nuklir adalah the Vienna Convention on Civil Liability, tanggal 21 Mei 1963. Konvensi

mulai berlaku efektif tanggal 27 November 1977. Menurut Konvensi, operator nuklir

bertanggung jawab atas kerusakan (rekator) nuklir (Pasal II). Tanggung jawab tersebut

sifatnya adalah absolut (Pasal IV).

c. Kegiatan-kegiatan Lintas Batas Nasional

Setiap negara harus mengawasi dan mengatur setiap kegiatan di dalam

wilayahnya, baik yang sifatnya publik maupun perdata, yang tampaknya kegiatan

tersebut dapat melintasi batas negaranya dan menimbulkan kerugian terhadap negara

lain. Sistem tanggung jawab yang berlaku di sini bergantung kepada bentuk kegiatan

yang bersangkutan.

Page 4: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

2. Tanggung Jawab Atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability)

a. Pelanggaran Suatu Perjanjian

Pada sengketa Chorzow Factory (1927), pelanggaran terhadap perjanjian

melahirkan suatu kewajiban untuk membayar ganti rugi. Sifat dan berapa ganti rugi

untuk pelanggaran suatu internasional dapat ditentukan oleh Mahkamah Internasional,

pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perlindungan. Pelanggaran seperti ini

dapat pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda

atau bone fides dalam hukum internasional.

b. Pelanggaran Kontrak

Dalam hal pelanggran kontrak, hukum internsional dapat memainkan perannya

dalam dua hal kemungkinan berikut:

Pertama, para pihak (negara dan negara atau negara dan perusahaan asing)

sepakat untuk memberlakukan prinsip-prinsip hukum internasional dalam kontrak

mereka. Sejak hukum internasional diberlakukan, hukum internasional akan memberi

perlindungan hukum kepada pihak yang lemah dalam suatu kontrak.

Kedua, hukum internasional akan memainkan peran pentingnya manakala suatu

negara melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kontrak menurut hukum

internasional. Tindakan tersebut umumnya dilakukan berupa tundakan untuk

menghindari kewajiban negara sebagaimana tertuang dalam kontrak.

1) Kontrak dengan indikasi KKN

Masalah lain timbul manakala pejabat negara atau pejabat pemerintah yang

menandatangani kontrak ternyata menyalahgunakan jabatannya. Praktek seperti ini

tampak cukup subur di negara-negara berkembang.

2) Internasionalisasi Kontrak

Istilah ini diperkenalkan secara formal oleh guru besar hukum internasional

ternama kebangsaan Perancis, Profesor Dupuy dalam sengketa Texaco v Libya (1977).

Internasionalisasi kontrak adalah suatu kontrak yang dibuat oleh negara dengan

perusahaan asing (foreign private person) yang di dalamnya termuat 3 hal berikut:

1) Para pihak sepakat untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum umum (genaral

principles of law) yang dikenal dalam hukum internasional untuk mengatur

kontrak.

Page 5: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

2) Para pihak sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase

internasional.

3) Kontrak yang dibuat antar negara dengan individu (perusahaan) termasuk ke

dalam bentuk atau kategori yang dinamakan dengan perjanjian pembangunan

ekonomi (economic development agreements). Kontrak seperti ini misalnya

adalah perjanjian eksploitasi minyak.

3. Pengecualian Tanggung Jawab Negara

a. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (consent)

Contoh yang umum tentang hal ini adalah pengiriman tentang negara lain atas

permintaannya. Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau pada saat pelanggran

terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya pelanggaran sama artinya dengan

penanggalan hak untuk mengklaim ganti rugi. Namun dalam hal ini, persetujuan yang

diberikan kemudian itu tidak menghilangkan unsur pelanggran hukum internasional.

b. Diterapkannya sanksi-sanksi yang sah

Suatu tindakan pelanggran dikesampingkan manakala tindakan itu dilakukan

sebagau sautu upaya yang sah menurut hukum internasional sebagai akibat adanya

pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara lainnya.

c. Keadaan Memaksa (Force Majeure)

Pasal 23 Rancangan Komisi Hukum Internasional tentang tanggung jawab

negara menentukan bahwa kesalahan negara dapat dihindari apabila tindakan itu

disebabkan karena adanya kekuatan yang dapat diduga sebelumnya di luar

kontrol/pengawasan suatu negara yang membuatnya da yang secara materiil tidak

mungkin bagi negara yang bersangkutan untu memnuhi kewajiban internasional

tersebut.

d. Tindakan yang sangat diperlukan (Doctrine of necessity)

Doctrine of necessity menyatakan bahwa suatu negara dapat melakukan suatu

tindakan yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang

esensil terhadap bahaya yang sangat besar.

Ada perbedaan antara doctrine of necessity dengan force majeure. Dalam

doctrine of necessity tindakan pelanggaran hukum suatu negara terpaksa dilakukan

karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan

Page 6: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

vitalnya. Sedang force majeure adalah suatu keadaan di mana kekuatan yang bersifat

di luar kemampuan dan tidak dapat dihindari serta suatu tindakan pelanggaran yang

dilakukan karena adanya kondisi yang berada di luar kontrol atau pengawasan negara.

e. Tindakan Bela Diri (Self-defense)

Yang menjadi tolok ukur dari dari sautu tindakan tersebut harus sesuai dengan

Piagam PBB. Jika tidak, tindakan tersebut harus menghapus tindakan tanggung jawab

negara.

1.4. Teori Kesalahan

a. Teori Subyektif (Teori Kesalahan)

Menurut teori subyektif, tanggung jawab negara ditentukan oleh adanya unsur

keinginan atau maksud untuk melakukan suatu perbuatan (kesengajaan atau dolus)

atau kelalaian (culpa) pada pejabat atau agen negara yang bersangkutan.

b. Teori Obyektif (Teori Risiko)

Menurut teori obyektif, tanggung jawab negara adalah selalu mutlak (strict).

Manakala suatu pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan

orang (asing) lain, maka negara bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa

dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat unsur kesalahan atau kelalaian.

Dari kasus-kasus yang timbul, kedua teori tersebut mendapat pengakuan dalam

hukum internasional. Namun demikian, kecenderungan penerapan yang lebih banyak

dianut adalah teori obyektif.

2. Exhaustion of Local Remedies

Sehubungan dengan lahirnya tanggung jawab negara ini, hukum kebiasaan

internasional menetapkan bahwa sebelum diajukannya kliam/tuntutan ke pengadilan

internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa (local remedies rule) yang

tersedia atau yang diberikan oleh negara tersebut harus terlebih dahulu ditempuh

(exhausted). Tindakan ini dilakukan baik untuk memberi kesempatan kepada negara itu

untuk memperbaiki kesalahnnya menurut sistem hukumnya dan untuk mengurangi

tuntutan-tuntutan internasional.

Ketentuan Local remedies ini tidak belaku manakala:

Page 7: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

1) Suatu negara telah melakukan pelanggaran langsung hukum internasional yang

menyebabkan kerugian terhadap negara lainnya.

2) Ketentuan local remedies ini dapat ditarik berdasarkan suatu perjanjian

internasional, misalnya saja pasal XI ayat (1) Space Treaty 1972.

3) Suatu upaya penyelesaian setempat (local remedies) tidak perlu dipergunakan

manakala pengadilan setempat tampaknya tidak menunjukkan akan memberi

ganti- kerugian.

4) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu digunakan apabila hasil atau putusan

dari pengadilan setempat sudah dipastikan akan memberi putusan yang sama

dengan putusan-putusan sebelumnya.

5) Upaya penyelesaian setempat tidak perlu dilakukan manakala upaya tersebut

memang tidak tersedia.

6) Apabila suatu pelanggaran dilakukan oleh pemerintah (eksekutif) yang tidak

tunduk kepada yurisdiksi pengadilan setempat.

7) Negara-negara dapat menyepakati untuk menanggalkan upaya penyelesaian

setempat (local remedies).

2.5. Doktrin Imputabilitas

Doktrin ini merupakan salah satu fiksi dalam hukum internasional. Latar belakang

doktrin ini adalah bahwa negara sebagai suatu kesatuan hukum yang abstrak tidak

dapat melakukan “tindakan-tindakan yang nyata”. Dalam sengketa the German Settlers

in Poland case (1923), Mahkamah Internasional Permanen mengeaskan bahwa “ State

can only act by and throuh their agents and representatives. Jadi tampak disini adanya

ikatan atau mata rantai yang erat antara negara dengan subjek hukum (pejabat atau

perwakilannya) yang bertindak untuk negara.

Sebagaii contoh doktrin ini adalah Pasal 4 Rancangan pasal-pasal Komisi

Hukum Internasional tentang tanggung jawab negara. Rumusan dalam ILC dari suatu

tindakan organ atau pejabat negara tidak bergantung pada : (1). Kelembagaan suatu

negara, apakah ia dari legislatif, eksekutif, atau yudikatif ; (2) Besar kecilnya jabatan

(pangkat) suatu organ atau pejabat, apakah ia pegawai sipil berpangkat rendah atau

jenderal dalam militer; (3) Kedudukan pegawai yang bersangkutan, apakah ia pegawai

Page 8: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

pusat atau daerah (lokal, federal, dan lain-lain) (ayat 1); (4) dan status lainnya yang

menurut hukum nasional suatu negara dianggap sebagai pegawai atau pejabat negara

atau pemerintah (ayat 2).

Suatu negara dapat pula bertanggung jawab kepada agen-agen rahasianya.

Misalnya dalam the rainbow Warrior case (1987).

2.6. Ekspropriasi (Nasionalitas)

Ekspropriasi mengacu pada pengertian pengambilalihan suatu kepemilikan harta

kekayaan orang asing berupa suatu aset tertentu, misalnya perkebunan karet atau

pembangunan suatu gedung. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu

pelanggaran hukum. Namun demikian dalam hal-hal tertentu tindakan ini dapat pula

dianggap dibenarkan apabila dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut :

a. Untuk Kepentingan Umum ( Public Purpose)

Hal ini dilakukan untuk kepentingan umum. Sutau tindakan nasionalisasi tidak

sah dalam hukum internasional, kecuali tindakan itu memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

(1) Ekspropriasi dilakukan untuk kepentingan umum sehubungan dengan

kebutuhan dalam negeri tersebut;

(2) Ekspropriasi harus diikuti oleh pembayaran ganti rugi yang “prompt.

Adequate, and effective” .

b. Ganti Rugi yang Tepat ( Appropriate Compensation)

Suatu pengambilan perusahaan asing dapat dibenarkan mana kala tindakan itu

diikuti oleh ganti rugi yang prompt, adequate, and effective.

- Adequate berarti bahwa jumlah ganti rugi adalah mempunyai nilai yang sama

dengan usahanya pada waktu dinasionalisasi, ditambah dengan bunganya

sampai keputusan pengadilan dikeluarkan.

- Prompt berarti pembayaran yang dibayarkan secepat mungkin.

- Effective berarti pihak yang menerima pembataran tersebut harus dapat

memanfaatkannya.

Pendapat ini ditentang oleh negara berkembang. Ganti rugi cukuplah dilakukan

menurut prinsip ganti rugi yang sewajarnya dan menurut hukum nasionalnya.

Page 9: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Menurut Schwarzenberger, kompensasi (ganti rugi) dapat berupa monetary

compensation (ganti rugi dalam bentuk sejumlah uang), atau berupa satisfaction.

Monetary compensation dapat terdiri dari :

a. Penggantian biaya pada waktu putusan pengadilan dikeluarkan.

b. Kerugian tak langsung (indirect damages), sepanjang kerugian ini

mempunyai kaitan yang langsung dengan tindakan tak sah tersebut.

c. Hilangnya keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut

mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal.

d. Pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena adanya

tindakan melanggar hukum.

Satisfaction menurut Prof. Brownlie ini adalah setiap upaya yang dilakukan oleh

si pelanggar suatu kewajiban untuk mengganti kerugian menurut hukum

kebiasaan atau suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang bersangkutan

yang bukan berupa restitution (restitusi/pemulihan) atau compensation.

c. Non Diskriminasi (Non-Discrimination)

Merupakan suatu prasyarat agar ekspropriasi sah.

2.7. Tanggung Jawab Negara terhadap Orang Asing

Di dalamnya terdapa dua pandangan yang saling berbeda, yaitu pandangan

negara sedang berkembang dan negara maju. Negara-negara berkembang cenderung

untuk tidak mengakui perlakuan yang khusus kepada warga negara asing di dalam

negerinya. Mereka menekankan perlunya persamaan perlakuan sebagaimana halnya

(seorang) warganya. Sementara negara-negara maju umumnya menginginkan

perlindungan yang lebih besar terhadap warga negaranya di luar negeri.

Latar belakang atau alasan dimungkinkannya suatu negara melindungi warga

negaranya dari perlakuan yang kurang baik dari negara asing serta menuntut ganti rugi

adalah karena adanya doktrin tentang tanggung jawab negara yang terkait dengan

kebangsaan ( Nationality of Claims).

Hal ini terjadi karena doktrin tanggung jawab negara ini bersandar pada 2 pilar

kembar, yaitu:

Page 10: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

1. Hubungan suatu negara dengan tindakan-tindakan yang melanggar hukum

atau kelalaian yang dilakukan pejabat-pejabatnya.

2. Kemampuan negara untuk mengklaim atas nama warga negaranya.

I. STANDAR MINIMUM INTERNASIONAL DAN STANDAR PERLAKUAN NASIONAL

1. International Minimum Standart

Arti standar standar disini bukan saja berarti standar hukumnya (yaitu hhukum

internasional), tetapi juga standar dalam arti penegakan hukumnya(

enforcement), yakni perlindungan yang efektif menurut ketentuan hukum

internasional.

2. National Tretment Standart

Standar ini lahir sebagi reaksi atas stadar minimum internasional. Standar ini

tampak dalam :

1) Pasal 9 the Montevideo Convention on Rights and Duties of States tahun

1933.

2) Draff articles yang diusulkan oleh pemerintah Panama yang diserahkan

kepada ILC (Komisi Hukum Internasional) dalam pembahsan mengenai Draff

Declaration on Roghts and Duties of States tahun 1949.

Upaya untuk menyatukan kembali pemikiran mengenai standar ini, Amador

merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang/waraga negara asing :

1. Bahwa orang asing harus menikmati hka-hak serta jaminan yang sama dengan

warga negara yang bersangkutan.

2. Tanggung jawab internasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi /

fundamental menusia tersebut dilanggar.

II. DOKTRIN CALVO

Doktrin ini menegaskan prinsip non intervensi yang disertai penegasan bahwa orang

asing hanya berhak diberlakukan seperti halnya warga negaranya. Latar belakang

Carlo Calvo mengeluarkan pendapat hukumnya tersebut karena ada dua alasan

yakni sebagai berikut :

Page 11: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

i. Bahwa setiap orang asing yang berada di suatu negara mempunyai hak

perlindungan yang sama dengan warga negara tersebut dan orang asing tidak

dapat menuntut perlindungan yang lebih besar dari pada yang diterima oelh

warga negara tersebut;

ii. Setiap orang asing yang mengklaim hak perlindungan yang lebih besar

daripada yang diberikan oleh negara dimana ia tinggal adalah bertentangan

dengan hak persamaan antara negara ( the right of equality of nation).

Tujuan dari klausul Calvo ini adalah untuk menghindari campur tangan diplomatik

negara asing kepada warga negaranya.

III.PENGUSIRAN ORANG ASING

Salah satu hak yang dimiliki oleh negara adalaah hak untuk menolak seorang

asing yang memasuki wilayahnya dan mengenakan syarat-syarat bagi masuknya

orang asing ke dalam wilayahnya, serta mengusir atau memulangkan orang asing

tersebut.

Menurut Goodwin-Gill, praktek negara mengakui pengusiran ini apabila:

i. Masuk ke dalam suatu negara dengan cara melanggar hukum;

ii. Melanggar syarat-syarat izin masuk;

iii. Terlibat dalam tindak kriminal;

iv. Berdasarkan pertimbanagn politik dan keamanan orang asing tersebut harus

diusir.

Sebagai perbandingan, pasal 3 Konvensi Eropa, 1956 menetapkan bahwa suatu

negara dapat mengusir warga negara asing yang ebrdiam di wilayahnya jika ia telah

melakukan tindakan yang mengganggu keamanan nasionalnya atau ketertiban atau

moralitas di dalam negerinya.

2.8. Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan

Ketentuan internasional yang mengatur hal ini tampak dalam pasal 30 Piagam Hak-

hak dan Kewajiban Ekonomi Negara Tahun 1974. Bunyi pasal ini mengandung lima

Page 12: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

prinsip penting sehubungan dengan tanggung jawab negara terhadap lingkungan

yakni:

i. Bahwa perlindungan, pemeliharaan, dan peningktan lingkungan untuk

generasi sekarang dan akan datang adalah tanggung jawab semua negara;

ii. Bahwa semua negara harus berupaya membuat kebijakan-kebijkan

lingkungan dan pembangungan sesuai dengan prinsip pertama di atas;

iii. Bahwa kebijakan lengkungan semua negara tidak boleh merugikan

pembangunan negara sedang berkembang sekarang atau yang akan datang;

iv. Bahwa semua negara berkewajijban untuk menjaga kegiatan-kegiatan di

dalam wilahnya agar tidak merugikan lingkungan negara lain;

v. Bahwa semua negara perlu bekerja sama untuk mengembangkan norma-

norma atau aturan-aturan di bidang lingkungan hidup.

Perkembangan Peraturan Tanggung Jawab Negara terhadap Lingkungan

Tanggung jawab negara terhadap lingkungan dipertegas lagi dalam Konverensi PBB

tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED atau United Nations Conference on

Environtment and Development) tahun 1992.

Adapun hasil dari KTT Bumi 1992 ini adalah:

a. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangungan (Rio Declaration on

Environment and Development);

b. Konvensi tentang perubahan iklim (Framework Conventin on Climate Change);

c. Konvensi tentang keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity);

d. Agenda 21 termasuk ketentuan implementasi tanggung jawab negara dalam

berbagai aspek pengelolaan lingkungan;

e. Prinsip-prinsip manajemen, konservasi, dan pembangungan berkelanjutan

hukum ( Statement of principles on the Management, Conservation and

Sustainable of All Types of Forest).

Page 13: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

BAB III

PEMBAHASAN

Rainbow Warrior Case

Rainbow Warrior Case adalah kasus perselisihan antara Selandia Baru dan

Perancis yang muncul akibat tenggelamnya kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace.

Pada tahun 1986, kasus ini dibawa ke proses arbitrase yang diselesaikan oleh

Sekertaris Jenderal PBB, Javier Pérez de Cuéllar , dan menjadi subjek pembicaraan

yang signifikan dalam Hukum Internasional Publik mengenai implikasinya terhadap

Tanggung Jawab Negara.

Rainbow Warrior adalah salah satu nama untuk seri kapal-kapal laut yang

dioperasikan oleh Greenpeace, sebuah organisasi yang aktif menentang pembangunan

pembangkit tenaga nuklir. Kapal pertama ditenggelamkan oleh Direktorat umum

Keamanan Luar Negeri Perancis (DGSE) di pelabuhan Auckland, Selandia Baru, pada

10 Juli 1985. Saat itu, para aktivitas Greenpeace mendapat teror besar-besaran karena

menentang percobaan nuklir Perancis yang dilakukan di Pulau Muroroa, sekitar

Polynesia. Dalam perjalanan ke atol (pulau karang) Mururoa, kapal Greenpeace

berlabuh di Auckland dan ditenggelamkan oleh Perancis disana. Dalam peristiwa

tersebut seorang aktivis Greenpeace tewas. Perdana Menteri Selandia Baru pada saat

itu, David Lange marah besar karena agen-agen rahasia Perancis telah dengan leluasa

malang melintang di negerinya. Kemudian Selandia Baru menangkap dan menghukum

beberapa anggota dari Dinas Rahasia perancis tersebut.

Setelah melawati konfrontasi yang panjang antara Perancis dan Selandia Baru

yang menyinggung isu utama mengenai kompensasi dan perawatan terhadap agen

Perancis yang ditawan oleh Selandia Baru, dua Negara ini memutuskan untuk

menyelesaikan perbedaan pendapat diantara mereka ke Sekertaris Jenderal PBB,

Javier Pérez de Cuéllar. Keputusan mengikat yang dihasilkan diumumkan pada

tanggal 6 Juli 1986.

Page 14: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Proses Arbitrase

Walaupun aksi percobaan nuklir Perancis dianggap tidak mengancam keamanan

dan perdamaian dunia sebagaimana yang menjadi sasaran PBB, tetapi PBB telah

secara luas menindak kasus pelanggaran terhadap kejahatan Internasional terhadap

kedaulatan dan spionase (meskipun spionase secara damai tidak diatur oleh Hukum

Internasional). Memorandum Perancis kepada Sek-Jen PBB berisi pendapat bahwa

Greenpeace telah terlibat dalam “aksi bermusuhan” dan “penembusan secara illegal”

kedalam wilayah Perancis selama waktu percobaan nuklir dan Selandia Baru menjadi

tempat yang dilewati Rainbow Warrior. Argumen ini ditolak karena hal tersebut tidak

terbukti dan tidak terpenuhinya syarat apapun dari Hukum Internasional sehubungan

dengan aksi kekerasan yang dilakukan Perancis terhadap Rainbow Warrior.

Hasil Arbitrase

Dalam beberapa kasus dimana Negara mengirimkan agennya ke luar

negeri untuk melakukan aksi illegal seperti yang dilakukan Perancis ke Selandia Baru,

menurut Hukum Internasional dan hukum kota, menjadi kebiasaan bagi Negara yang

dituju tersebut untuk menjalankan tanggung jawabnya terhadap aksi dan isu ganti

kerugian. Bagaimanapun juga, agen tersebut biasanya diberi kekebalan oleh

pengadilan setempat. Namun dalam kasus ini, Selandia Baru berusaha untuk

menangani Perancis di bawah aturan Hukum Internasional dan berusaha menangani

agennya di bawah hukum kotanya.

Akhirnya, Perancis, telah mengakui kesalahannya dan mau bertanggung

jawab dengan memfokuskan usahanya dalam usaha pemulangan kembali para

sgennya yang ditawan. Hal ini disetujui oleh Selandia Baru dengan syarat mereka akan

menjalankan sisa hukuman mereka. Kompromi akhirnya tercapai melalui jalan mediasi

dari sek-jen PBB yaitu 3 tahun hukuman di Pulau Karang Perancis. Dalam masa ganti-

rugi, Perancis pada awalnya menawarkan sebuah permintaan maaf yang resmi dan

pengakuan telah melanggar hukum internasional. Ditambah lagi, UN Sekjen

menghadiahkan 7 miliar dollar kepada Selandia Baru. Ini adalah kompensasi tambahan

yang Perancis bayarkan kepada keluarga korban dalam misi Grrenpeace.

Page 15: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Analisis Kasus

Perjanjian Westphalia 24 Oktober 1684, merupakan salah satu upaya

“efektif” untuk meredam tindakan anarki suatu Negara untuk mencampuri urusan

Negara lain. Perjanjian ini menelurkan gagasan tentang kedaulatan dan Negara modern

yang berdaulat. Disusunlah system/tatanan yang mengatur code of conduct dunia

internasional. Prinsip kedaulatan modern menurut Sejarahwan Hendrik Spruyt, dengan

mengacu pda perjanjian Westphalia, ada dua :

Pertama, ekslusi, yaitu pengekslusian semua entitas non-teritorial, penada limit

kedaulatan secara gradual dan pasti (Hanseatic League)

kedua, mutual recognition, yaitu pengakuan kedaulatan dari Negara berdaulat lain. Hal

ini akan membawa Negara-negara berdaulat pada prinsip non-intervensi dalam

masalah territorial Negara lain.

Dari perjanjian ini pula, konsep Negara modern lahir. Negara modern

memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, ia memiliki suatu wilayah tertentu

lengkap dengan garis perbatasannya. Kedua, ia memiliki kendali ekslusif, atas wilayah

tersebut: ‘kedaulatan’ berarti bahwa tidak ada entitas lain yang dapat mengajukan klaim

untuk memerintah ruang itu. ketiga, hirarki, yakni Negara adalah badan politik tertinggi

yang menetapkan peranan dan kekuasaan semua bagian pemerintah.

Kasus Rainbow Warrior mendukung ide doktrin non-intervensi dalam hukum

Internasional dan suatu Negara akan dihukum jika menentangnya. Perancis tidak dapat

seenaknya masuk ke wilayah Selandia Baru dan melakukan suatu tindakan yang bukan

dalam teritorinya, seperti menenggelamkan kapal Rainbow Warrior di dalam teritori

Selandia Baru hingga menyebabkan adanya korban tewas. Pada akhirnya, sikap

Perancis yang mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas kesalahannya

tersebut membuktikan sebuah bentuk tanggung jawab Negara sebagaimana yang

dikemukakan Professor Higgins mengenai Hukum tentang tanggung jawab Negara.

menurutnya Hukum tentang tanggung jawab Negara tidak lain adalah hukum yang

mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum

internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara

tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya.

Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama, negara

Page 16: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan mental

(mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat suatu

tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum internsional

(internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut (liability) harus

dilaksanakan. Hal inilah yang terbukti dari tindakan Perancis yang mengakui adanya

pelanggaran hukum internasional yang dilakukannya dan menunjukan tanggung

jawabnya.

Selain itu, Selandia Baru sebagai Negara yang berdaulat juga menunjukan

kedaulatannya dengan bertanggung jawab menangani kasus yang terjadi dibawah

jurisdiksinya dan membawa penyelesaikan kasus ini ke pihak yang berwenang.

Selandia Baru merasa bertanggungjawab sehingga menindak kasus penenggelaman

kapal Rainbow Warrior yang terjadi di wilayahnya guna melindungi keamanan di

negaranya. Hal ini juga menjadi kajian yang menarik mengenai tanggung jawab

Negara, dan tanggung jawab individu, serta penggunaan kekerasan dan ganti rugi.

CORFU CHANNEL CASE

The Corfu Channel Insiden mengacu pada tiga kejadian terpisah yang

melibatkan Royal Navy kapal di Corfu Channel yang berlangsung pada tahun 1946, dan

dianggap sebuah episode awal Perang Dingin . Dalam insiden pertama pada 15 Mei

1946, Royal Navy, kapal Inggris, mendapat serangan dari benteng Albania. Albania

menembaki dengan meriam-meriam ke pantai Albania, Albania pada saat itu sedang

perang dengan Yunani. Peristiwa kedua melibatkan kapal Angkatan Laut Inggris yang

menabrak ranjau yang berada di selat tersebut kemudian menimbulkan korban jiwa

pada 22 Oktober 1949. Atas kejadian ini, Inggris kemudian melakukan pembersihan

ranjau-ranjau yang berada di selat tersebut tanpa adanya izin dari pemerintahan

Albania. Serangkaian insiden ini mengakibatkan Corfu Channel Case , di mana Inggris

membawa kasus terhadap Republik Rakyat Albania ke Mahkamah Internasional .

Karena insiden tersebut , pada 1946, Inggris memutuskan pembicaraan dengan Albania

bertujuan untuk memutus hubungan diplomatik antara kedua negara. Keputusan

Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Albania bertanggung jawab atas

kerusakan kapal Inggris dan Inggris telah melanggar kedaulatan Albania karena

Page 17: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

tindakannya yang menyapu ranjau. Namun, hubungan diplomatic kedua Negara yang

sedang perang dingin tersebut akhirnya kembali pada tahun 1991.

Insiden pertama berawal dari 15 Mei 1046 dimana kapal Royal Navy yakni HMS Orion

dan HMS Superb melewati Corfu Channel dan ternyata ditembaki oleh Albania dengan

meriam. Meskipun begitu tidak ada kerugian dan tidak memakan Korban atas peristiwa

ini. Albania tidak meminta maaf terhadap apa yang telah diperbuat dengan alasan,

Kapal Inggris telah memasuki wilayah territorial Negara-nya.

Insiden kedua ternyata lebih serius. Ini terjadi pada 22 Oktober 1049 dimana Royal

Navy dengan menurunkan dua kapal penjelajah, HMS Mauritius dan HMS Leander dan

kapal penyerang HMS Sumarez dan HMS Volage, kapal-kapal tersebut diperintahkan

untuk melintasi Corfu Channel dengan pernyataan perintah untuk mengecek reaksi

Albania atas peristiwa yang lalu. Kru telah diinstruksi untuk merespon apabila Albania

melakukan penyerangan. Kapal-kapal tersebut terlalu dekat dengan pantai Albania

yang ternyata telah tertanam ranjau sehingga kappa tersebut terkena ranjau dan 44

orang tewas dan 42 terluka, sebagian besar korban adalah kru dari kapal Saumarez.

Insiden ketiga dan terakhir pada 12 – 13 November 1046 dimana Royal Navy

melakukan pembersihan ranjau-ranjau di Cofu Channel dengan nama oprasi “Operation

Retail”. Berdasarkan Allied Commander-in-Chief Mediterranean, operasi ini dijalankan

tanpa adanya persetujuan Albania. Ketakutan Albania akan adanya pelanggaran

wilayah territorial ternyata terbukti dengan adanya kesaksian bahwa ada beberapa

kapal perang dibelakang insiden ketiga ini.

Pada 9 Desember 1946, Inggris mengirimkan pernyataan kepada pemerintahan Albania

untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan Albania pada peristiwa yang terjadi pada

insiden bulan Mei dan Oktober. Dengan kurun waktu 40 hari, apabila Albania tidak

menanggapi, maka Inggris akan mengadukan hal tersebut kepada PBB. Melihat tak ada

tanggapan dari Albania, Inggris melanjutkan laporan kepada International Court of

Justice atau Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan hal ini. Untuk kasus

pertama, Albania dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi

kepada Inggris sebesar US $2,009,437. Namun, untuk kasus dimana Inggris melakukan

Page 18: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

operasi pembersihan ranjau, ICJ memihak kepada Albania karena operasi tersebut

adalah illegal dan telah mengganggu wilayah territorial suatu Negara dan dianggap

mencampuri urusan Negara lain. Pemerintahan Albania menolak untuk mengganti rugi

sesuai dengan keputusan ICJ, dan balasannya British menahan 1574 kg emas milik

Albania.

Setelah perang dingin tersebut usai, pada tahun 1991, hubungan diplomatic keduanya

kembali. Dan pada 8 Mei 1992, Kedua Negara tersebut memutuskan untuk membuat

perjanjian terkait hal peristiwa Corfu Channel, keduanya mengakui penyesalan

mengenai insiden Corfu Channel pada 22 Oktober 1946 yang lalu. Tahun 1996,

membutuhkan waktu negoisasi yang lama untuk mengembalikan emas Albania setelah

Albania bersedia membayar US $2,000,000 untuk perbaikan.

ANALISIS

Prinsip non intervensi merupakan kewajiban setiap Negara berdaulat untuk tidak

melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri Negara lain dalam relasi antar

Negara. Prinsip ini dilanggar dalam Corfu Channel Case. Kelompok kami menilai

Inggris lah yang perlu disalahkan dalam kasus ini. Sebagaimana disebutkan dalam

wacana kasus sebelumnya,Inggris serta merta telah melewati batas territorial suatu

Negara dan mencampuri urusan Negara lain yakni Albania dengan modus melakukan

operasi pemusnahan ranjau yang pada kenyataannya tak ada izin dari pemerintahan

Albania. Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum

internasional. berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan

negara berkaitan dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-

dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional.

Negara nasional (nation-state) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena

didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya

bahwa negara berdaulat; bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan

yang lain. Untuk kasus ini, ICJ mengatakan “ Between independent states, respect for

territorial sovereignty is an essential foundation of international relations.”

Page 19: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan

intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan

derajat dan bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB

Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :“All members shall refrain in their international

relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political

independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the

United Nations.”

Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau

penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity),

kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB.

Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap

peremptory norm (jus cogens) Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah

mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam

keadaan apapun. Jus Cogens dalam hukum internasional pun masih menjadi

perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah

prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens. menurut Vedross

terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi Jus Cogens hukum

internasional yaitu:

1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional.

2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.

3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB

Disamping sisi non intervensi tersebut, kita perlu melihat sisi tanggung jawab suatu

Negara yakni Albania. Setiap Negara di dunia memiliki kewajiban internasional untuk

melakukan due diligence.  Prinsip ini berakar dalam primary rules hukum internasional

dan meliputi, diantaranya, kewajiban Negara untuk melakukan pengusutan terhadap

warganya yang disangka terlibat tindakan kriminal. Kelalaian Negara dalam melakukan

fungsi due diligencenya akan menimbulkan pertanggungjawaban Negara.

Page 20: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Primary rules merupakan seperangkat aturan internasional yang mendefinisikan hak

dan kewajiban Negara, yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan

internasional dan instrument lainnya. Secondary rules adalah seperangkat aturan yang

mendefinisikan kapan, bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules itu

dilanggar oleh Negara. Secondary rules inilah yang disebut dengan The Law of State

Responsibility ,   diadopsi oleh International Law Commission dalam sesinya yang ke 53,

tahun 2001 lalu. Dalam kasus tersebut, Albania seharusnya memberikan peringatan

terhadap kapal-kapal Inggris yang lewat akan adanya ranjau-ranjau laut di Selat Corfu

sehingga tidak menimbulkan korban dan urusan yang menjadi lebih parah. Albania

sebaiknya melakukan due delligence, untuk menyelidiki apa yang dilakukan Inggris

sebenarnya, apakah perbuatan tersebut merupakan tindakan kejahatan ataupun

sebaliknya. Namun memang benar adanya pada kasus ini yakni kasus pertama dan

kedua mengenai Corfu Channel atau Selat Corfu, yang pantas disalahkan adalah

Albania karena alasan:

1. Membom kapal-kapal Inggris dengan meriam tanpa menyelidiki dulu alasan

kapal tersebut mendekati atau setidaknya member peringatan

2. Untuk kasus kedua, Albania tidak memberikan peringatan kepada kapal Inggris

yang jaraknya dekat bahkan menyentuh ranjau sehingga menyebabkan tewasnya dan

luka-luka pada kru kapal.

Page 21: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

Menurut Professor Higgins, hukum tentang tanggung jawab negara tidak lain

adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran

hukum internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional,

negara tersebut bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang

dilakukannya. Menurut beliau, kata accountability mempunyai dua pengertian. Pertama,

negara memiliki keinginan untuk melaksanakan perbuatan dan/atau kemampuan

mental (mental capacity) untuk menyadari apa yang dilakukannya. Kedua, terdapat

suatu tanggung jawab (liability) untuk tindakan negara yang melanggar hukum

internasional (internationally wrongful behaviour) dan bahwa tanggung jawab tersebut

(liability) harus dilaksanakan.

Tanggung jawab Negara ini juga berhubungan dengan perlindungan yang

Negara berikan kepada rakyat di wilayahnya sebagai bukti adanya kedaulatan Negara

terhadap wilayah Negara dan rakyatnya. hal ini juga sebagaimana yang termaktub

dalam Perjanjian Westphalia 24 Oktober 1684, yang merupakan salah satu upaya

“efektif” untuk meredam tindakan anarki suatu Negara untuk mencampuri urusan

Negara lain. Perjanjian ini menelurkan gagasan tentang kedaulatan dan Negara modern

yang berdaulat. Disusunlah system/tatanan yang mengatur code of conduct dunia

internasional.

Dari perjanjian ini pula, konsep Negara modern lahir. Negara modern

memiliki tiga karakteristik yang jelas. Pertama, ia memiliki suatu wilayah tertentu

lengkap dengan garis perbatasannya. Kedua, ia memiliki kendali ekslusif, atas wilayah

tersebut: ‘kedaulatan’ berarti bahwa tidak ada entitas lain yang dapat mengajukan klaim

untuk memerintah ruang itu. ketiga, hirarki, yakni Negara adalah badan politik tertinggi

yang menetapkan peranan dan kekuasaan semua bagian pemerintah.

Melalui konsep yang dihasilkan olh perjanjian ini, prinsip non-intervensi

menjadi suatu pembicaraan yang hangat dalam menyelesaikan kasus Rainbow Case

dan Corfu Channel Case dimana ketika ada suatu Negara yang mengintervensi Negara

lain, maka Negara yang diintervensi sebagi Negara yang berdaulat dapat melakukan

Page 22: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

tindakan guna menjalankan tanggung jawab di negaranya demi melindungi kepentingan

Negara dan rakyatnya serta mempertahankan kedaulatan di negaranya.

4.2. Saran

Dilihat dari sisi suatu Negara terhadap Negara lain, maka antara suatu

Negara dan Negara lain hendaknya tidak melakukan intervensi terhadap negara lain.

Karena setiap Negara yang merdeka dan berdaulat di dunia ini memiliki kesetaraan

derajat satu sama lain. Sehingga antar Negara hendaknya dapat memberikan

kebebasan pada suatu Negara untuk menjalankan pemerintahan serta hukum di

negaranya tanpa perlu ada intervensi dari Negara lain. Meskipun pada status quo kita

mengetahui ada Negara dengan Powerfull Bargaining Power atau Negara adidaya dan

adikuasa dan masih ada Negara-negara yang memiliki powerless bargaining power,

tapi hendaknya hal ini tidak menjadi alasan untuk melakukan intervensi bagi Negara

lain. Apabilapun suatu Negara menlakukan pelanggaran terhadap hukum internasional

di Negara lain ataupun berdampak pada Negara lain maka Negara tersebut haruslah

menunjukan kejantanannya melalui sikap tanggung jawab terhadap negaranya sendiri

dan kepada Negara lain.

Apabila dilihat dari sisi suatu Negara terhadap negaranya, maka

hendaknya pemerintah dapat menjalankan tanggung jawab di negaranya dengan baik

sebagai pemerintahan yang berdaulat dan dipercaya oleh rakyatnya. Sebab setiap

Negara memiliki urusan Negara masing-masing, dan pemerintahan di wilayah

tersebutlah yang memiliki wewenang untuk menjalan tanggung jawab negaranya.

Dengan demikian apabila suatu pemerintahan dalam menjalankan tanggung jawab

Negara di wilayahnya maka ia akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Hal inilah

yang membuatnya dapat menjadi suatu Negara yang mandiri dan dapat terhindar dari

intervensi dari Negara lain.

Page 23: Tanggung Jawab Negara (Teori Dan Kasus)

Daftar Pustaka

Huala Adolf. 2002. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Starke, J. G. 1997. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika.

Wallace, Rebecca M.M. 1993. Hukum Internasional, Semarang: IKIP Semarang Press.


Recommended