Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
826
UJI KORELASI KADAR AIR KADAR ABU WATER ACTIVITY DAN BAHAN ORGANIK
PADA JAGUNG DI TINGKAT PETANI, PEDAGANG PENGUMPUL DAN PEDAGANG BESAR
(Correlation Among Water, Ash, Water Activity and Organic Matter of Corn in Farmer, Seller and Wholesalers Level)
AGUS SUSANTO
Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian
ABSTRACT
In the feed industry, corn is the main raw material for formulating feedstuff as source of energy. Total samples of corn tested were 57 samples, derived from farmers, seller, and wholesaler in Garut Regency. Sampling method applied was purposive sampling. Samples were tested on water content, ash content, water activity in form of meal and water activity in the form of seed. For correlation and regression anaysis, SPSS program 13.0 version was applied. Number of correlation among independent variables was more significant in farmer level compare with those in wholesalers. In wholesaler, only several correlations among water content and organic mater were significant and the correlation also found in farm and wholesale levels. Correlation among variable whose significant with 95% confidence level in farmer and seller was water content with organic matter aw in the form of seed and aw in the form of meal, water content with aw in the form of seed with organic matter with aw in the form of meal, and organic matter in the form of seed. There was similar significant correlation among variable in farmer and seller, meanwhile in wholesalers level, correlation among variables was significant only for organic matter with water content. Correlation among variables was significant positive correlation except for corelation between water content and organic matter, organic matter with aw in the meal form and aw organic matter in the form of seed.
Key Words: Corn, Post Harvest, Water Content, Ash Content, Water Activity
ABSTRAK
Dalam industri pakan maupun dalam penyusunan ransum pakan, jagung merupakan bahan pakan utama dalam penyusunan ransum. Jagung merupakan sumber energi dalam pakan. Total sampel yang diuji sebanyak 57 sampel yang berasal dari petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar di Kabupaten Garut. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling. Sampel diuji kadar air, kadar abu, aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji. Untuk analisis korelasi dan regresi menggunakan program SPSS versi 13.0. Jumlah korelasi antar variabel bebas yang signifikan di tingkat petani lebih banyak dibandingkan di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya terdapat korelasi kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar. Korelasi antar variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah: kadar air dengan bahan organik, aw dalam bentuk biji dengan aw dalam bentuk giling, kadar air dengan nilai aw dalam bentuk giling, kadar air dengan aw dalam bentuk biji, bahan organik dengan aw dalam bentuk giling, bahan organik dengan aw dalam bentuk biji. Korelasi antar variabel yang signifikan di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah sama, sedangkan di tingkat pedagang besar korelasi antar variabel yang signifikan hanya bahan organik dengan kadar air. Korelasi antar variabel yang signifikan memiliki koefisien korelasi positip kecuali hubungan kadar air dengan bahan organik, bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk giling dan bahan organik dengan nilai aw.
Kata Kunci: Jagung, Pascapanen, Kadar Air, Kadar Abu, Aktivitas Air
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
827
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pakan merupakan salah satu faktor dalam budidaya ternak menyerap biaya paling tinggi, yakni mencapai 70% dari total biaya. Salah satu bahan baku pakan dalam penyusunan ransum terutama ransum unggas adalah jagung. Jagung merupakan sumber energi, dengan kandungan karbohidrat/pati sebesar 64%. Sampai saat ini industri-industri pakan ternak unggas masih berbasis corn-soya. Produksi jagung dalam negeri belum bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga harus mengimpor. Pada awal 1990, penggunaaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan meningkat tajam dengan laju sekitar 11.81% per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan pabrik pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, sekitar 40,29% dan pada tahun 2000 mencapai 47,04%, sementara 52,96% sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri (DEPTAN, 2005).
Tahapan dalam proses pengelolaan jagung sebagai hasil pertanian mulai dari pemanenan, pemetikan hingga ke pedagang besar. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah (1) pemetikan, (2) pengeringan di tingkat petani, (3) pengangkutan ke pedagang pengumpul, (4) penyimpanan dan (5) pengangkutan di pedagang besar. Dalam proses pengelolaan hasil pertanian jagung akan berpengaruh terhadap kandungan air, kandungan abu, aktivitas air dan bahan organiknya. Untuk mengetahui kandungan zat tersebut dan mempelajari hubungan dari faktor-faktor tersebut maka dilakukan uji korelasi dan regresi.
Pertumbuhan dan aktivitas metabolisme jasad renik membutuhkan air untuk mengangkut zat-zat gizi atau bahan-bahan limbah ke dalam dan ke luar sel. Seluruh aktivitas ini memerlukan air dalam bentuk cair. Pengurangan aktivitas air atau kelembaban relatif keseimbangan (HRs) akan memperlambat aktivitas metabolisme dan membatasi jasad renik. Pengeringan bahan pangan (hasil pertanian) sampai suatu tingkat kadar air atau aw yang aman untuk disimpan sangat diperlukan (SYARIEF et al., 2003). Pertumbuhan cendawan pada komoditas hasil pertanian selama pengelolaan pascapanen
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain keutuhan biji, kadar air, temperatur, aerasi dan substrat alamiahnya. Diantara faktor-faktor tersebut, kadar air secara jelas merupakan faktor dominan (LILLEHOJ, 1986).
Tujuan
1. Mendapatkan pengetahuan tentang tingkat keeratan hubungan antar variabel (kadar air, kadar abu, bahan organik, persentase biji rusak aktivitas air dalam bentuk giling dan aktivitas air dalam bentuk biji) di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar.
2. Mendapatkan persamaan regresi dari variabel yang diukur yang memiliki hubungan keeratan yang signifikan.
TINJAUAN PUSTAKA
Jagung
Dalam sejarah, jagung dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis dan Spanyol pada awal abad 16, yang sedang menjelajah dari Amerika melewati Eropa, India, dan China (SARONO et al., 1999). Jagung berasal dari Meksiko dan menyebar ke utara ke Kanada dan ke selatan ke Argentina. Nenek moyang jagung adalah Teusinte /Zea mexicana. Dengan adanya penjelajahan orang Eropa ke benua Amerika jagung menyebar ke Eropa, Afrika dan Asia (FARNHAM, 2003).
Tanaman jagung termasuk anggota famili Gramineae. Jumlah buah jagung antara 1 2 buah per batang dan dalam setiap buah jagung dapat ditemukan 300 sampai 1.000 biji jagung. Jagung adalah tanaman musim panas. Paling banyak di lapangan ditemukan bahwa umur jagung adalah 130 140 hari. Tumbuhan jagung membutuhkan sinar matahari langsung dan tidak tumbuh dengan baik jika di bawah naungan (FARNHAM, 2003).
Jagung dipanen dalam keadaan matang, mengandung kadar air 22 25% dan dikeringkan secara buatan mencapai 15 16% untuk disimpan dan dijual (STANLEY, 2003). Jagung dalam matang fisiologis masih dalam kadar air tinggi (di atas 35%), dan terjadi pengeringan jika dibiarkan tetap tinggal di batang, hanya saja mudah diserang oleh
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
828
serangga dan cuaca. Keamanan selama penyimpanan tergantung pada kondisi biji, jenis, kondisi penyimpanan dan iklim. Biji jagung dapat disimpan lebih dari satu tahun jika kadar air 13% (WATSON, 2003).
MATERI DAN METODE
Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode pengambilan contoh padatan menurut SNI 19-0428-1998 yang dibedakan untuk sampel dalam hamparan dan sampel dalam karung/kemasan.
Sampel dalam hamparan
Sampel diambil dengan sekop yang bersih dari beberapa sudut dan tengah sehingga diperoleh sampel primer. Sampel-sampel tersebut selanjutnya dikomposit, sehingga diperoleh sampel sekunder. Sampel kemudian diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram.
Sampel dalam karung/kemasan
Jumlah karung yang diambil sampelnya dari seluruh karung yang ada, sesuai SNI 19-0428-1998 sebagaimana Tabel 1. Sampel diambil dari beberapa titik (sudut kanan dan kiri baik atas dan bawah dan bagian tengah) dengan menggunakan probe, sehingga diperoleh sampel primer. Sampel primer dikomposit, kemudian sampel diratakan pada tempat yang bersih dan dibagi empat dengan kayu pembagi, diambil sampel yang terletak pada sudut berlawanan. Sampel yang diambil kemudian diratakan dan dibagi lagi menjadi empat bagian dan diambil dari sudut yang berlawanan, demikian seterusnya hingga diperoleh bobot sampel laboratorium 300 gram.
Tabel 1. Jumlah karung yang diambil sampel
Jumlah contoh (karung)
Jumlah contoh yang diambil (karung)
s/d 10 Semua contoh 11 25 5 26 50 7 51 100 10 100 Akar pangkat dua dari
jumlah contoh
Metode pengujian kadar air
Pengujian kadar air menggunakan metode oven (SNI 01-2891-1992 butir 5). Vochdoos kosong dimasukkan oven pada suhu 105C selama 1 jam kemudian dinginkan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel jagung yang sudah digiling dengan berat 2 gram (W) dimasukkan dalam vochdoos, dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105C selama 3 jam. Sampel dalam vochdoos didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang sampai berat tetap (W2). Kadar air ditentukan dengan rumus:
% Kadar air = (W1 + W) W2 X 100% W
Metode pengujian kadar abu
Pengujian kadar abu dengan metode Tanur (SNI 01-2891-1992 butir 6). Crusibel kosong dimasukkan dalam tanur pada suhu 550C selama 1 jam, kemudian didingikan dalam desikator dan ditimbang (W1). Sampel ditimbang dengan bobot 2 gram (W) dimasukkan dalam crusibel kosong dan dibakar selama 45 menit, kemudian dimasukkan dalam tanur pada suhu 550C selama 4 jam. Setelah waktu dalam tanur tercapai sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W2). Kadar abu ditentukan dengan rumus:
% Kadar abu = (W2 W1) X 100% W
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
829
Gambar 1. Pengabuan dalam tanur
Metode pengujian bahan organik
Bahan organik diperoleh setelah pengujian kadar air dan kadar abu, dengan menggunakan perhitungan 100% - (kadar air + kadar abu).
Metode pengujian aktivitas air (aw)
Pengukuran aktivitas air menggunakan alat aw meter. Alat dikalibrasi dengan memasukkan cairan BaCl2 2 H2O dan ditutup dibiarkan selama 3 menit sampai angka pada skala pembacaan menjadi 0.9. Aw meter dibuka dan sampel dimasukkan dan alat ditutup ditunggu hingga 3 menit, dan setelah 3 menit skala aw dibaca dan dicatat, perhatikan skala temperatur dan faktor koreksi. Jika skala temperatur di atas 20C, maka pembacaan skala aw ditambahkan sebanyak kelebihan temperatur dikalikan faktor koreksi sebesar 0.002, begitu pula dengan temperatur di bawah 20C.
Analisis data
Untuk mengukur keeratan korelasi antar variabel kadar air, kadar abu, bahan organik, pengujian organoleptik/persentase biji rusak, nilai aktivitas air dalam giling dan nilai aktivitas air dalam biji dihitung koefisien korelasi (r). Penghitungan koefisien korelasi ditentukan oleh nilai variabel satu (X), rata-rata nilai variabel satu (X), nilai variabel lainnya
(Y) dan rata-rata nilai variabel lainnya (Y), dengan rumus:
r = (X X) (Y ) _ (X X)2 (Y )2
Koefisien korelasi diukur diantara variabel untuk mengetahui keeratan hubungan antar variabel.
Untuk mengukur tingkat signifikan dari koefisien korelasi dapat menggunakan nilai probabilitas (p) atau uji t. Jika nilai probabilitas lebih kecil dari 0,05 (p
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
830
oven, kadar abu menggunakan tanur/furnace, aktivitas air menggunakan Aw meter. Hasil uji kadar air, kadar abu, aktivitas air dalam biji, aktivitas air dalam giling dan bahan organik
baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar tercantum dalam Tabel 2, 3 dan 4.
Tabel 2. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, nilai Aw dalam bijian, nilai Aw dalam giling dan bahan organik sampel jagung dari petani
Sampel Kadar air (%) Kadar abu
(%) Nilai Aw
dalam bijian Nilai Aw
dalam giling Bahan
organik (%)
A1 14.8308 0.9589 0,968 0,858 84.2103
A2 23.1847 0.9137 0,888 0,888 75.9016
A4 15.8697 1.2773 0,980 0,990 82.8530
A5 10.9583 1.1051 0,868 0,818 87.9366
A6 19.0257 1.1151 0,952 0,962 79.8592
A10 12.2092 0.9510 0,846 0,846 86.8398
A11 11.5041 1.1138 0,834 0,876 87.3821
A12 18.8898 1.2177 0,896 0,914 79.8925
A13 20.0082 1.0685 0,926 0,944 78.9233
A14 20.4856 0.9400 0,996 0,956 78.5744
A16 17.9253 1.1184 0,954 0,944 80.9563
A17 14.5958 0.9722 0,914 0,934 84.4320
A18 16.1042 0.8124 0,880 0,892 83.0834
A19 17.4450 0.9004 0,892 0,942 81.6546
A20 14.5578 0.9622 0,892 0,962 84.48
A21 16.7959 0.9554 0,962 0,932 82.2487
A22 13.7806 1.0005 0,898 0,908 85.2189
A23 18.1697 0.8171 0,898 0,938 81.0132
A24 13.8266 1.0652 0,878 0,928 85.1082
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
831
Tabel 3. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, , Nilai Aw dalam bijian, Nilai Aw dalam giling dan bahan organik sampel jagung dari pedagang Pengumpul
Sampel Kadar air
(%) Kadar abu
(%) Nilai Aw
dalam bijian Nilai Aw
dalam giling Bahan organik
(%)
B1 10.7419 1.0362 0,798 0,828 88.2219
B2 12.9451 1.0188 0,906 0,814 86.0361
B4 12.7518 1.2450 0,89 0,890 86.0032
B5 15.5819 0.9888 0,90 0,930 83.4293
B7 15.7263 1.0076 0,91 0,960 83.2661
B8 17.2326 0.9931 0,948 0,918 81.7743
B9 14.6979 1.0076 0,818 0,868 84.2945
B10 12.5201 1.2459 0,830 0,800 86.234
B11 13.1067 0.9250 0,930 0,910 85.9683
B13 13.7186 1.2616 0,830 0,800 85.0198
B14 14.2450 0.9185 0,810 0,850 84.8365
B15 14.2921 1.1057 0,958 0,968 84.6022
B16 14.2721 1.0999 0,820 0,850 84.628
B17 17.8117 0.8234 0,888 0,928 81.7489
B18 13.9427 1.1869 0,820 0,850 84.8704
B19 13.0556 1.2692 0,816 0,868 85.6752
B20 12.5090 0.9326 0,796 0,818 86.5584
B21 14.3393 1.1550 0,826 0,896 84.5057
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
832
Tabel 4. Hasil pengujian kadar air, kadar abu, Nilai Aw dalam bijian, Nilai Aw dalam giling dan bahan organik sampel jagung dari pedagang besar
Sampel Kadar air (%) Kadar abu
(%) Nilai Aw
dalam bijian Nilai Aw
dalam giling Bahan
organik (%)
C1 12.1841 0.9207 0,798 0,878 86.8952
C2 11.0570 1.0762 0,862 0,872 87.8668
C3 15.1217 1.2665 0,848 0,948 83.6118
C4 14.2294 1.2286 0,954 0,874 84.542
C5 14.1060 1.0704 0,904 0,884 84.8236
C6 14.7098 1.1854 0,956 1,006 84.1048
C7 14.3800 1.1476 0,866 0,966 84.4724
C8 14.6379 1.0481 0,866 0,966 84.3140
C9 14.6718 1.0703 0,936 0,906 84.2579
C11 14.5942 0.9960 0,906 0,896 84.4098
C12 14.7713 1.2795 0,836 0,966 83.9492
C14 13.7824 1.0392 0,884 0,836 85.1784
C15 14.7817 1.1721 0,908 0,838 84.0462
C16 15.8491 1.2124 0,858 0,948 82.9385
C17 12.4354 1.0596 0,836 0,916 86.505
C18 15.8874 1.2654 0,856 0,936 82.8472
C19 12.9464 1.1593 0,796 0,856 85.8943
C20 14.9799 1.2921 0,838 0,908 83.7280
C21 14.0697 1.0618 0,826 0,898 84.8685
C22 15.5811 0.8658 0,888 0,898 83.5531
Kadar air
Mengacu kepada persyaratan kadar air maksimum dalam jagung 14%, terlihat bahwa kadar air di atas 14% ada di tingkat petani 58%, pedagang pengumpul 22% dan pedagang
besar 20%. Kadar air dalam rantai pengelolaan pascapanen jagung dari petani menuju pedagang besar semakin berkurang, dan penurunan yang paling besar antara petani dengan pedagang pengumpul, seperti ditunjukkan pada Gambar 2, 3 dan 4.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
833
Gambar 2. Kadar etani
Gambar 3. Kadar air pada jagung di tingkat pedagang pengumpul
14,00
28,00 K
adar
air
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Sampel
00,00
0,00
14,00
28,00
Kad
ar A
ir (%
)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Sampel
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
834
Gambar 4. Kadar air pada jagung di tingkat pedagang besar
Penelitian yang dilakukan DHARMAPUTRA dan RETNOWATI (1995) menunjukkan pula bahwa kadar air beberapa komoditas pertanian yang diperoleh dari pengecer di Bogor dan Cipanas lebih rendah daripada yang diperoleh dari petani.
Berdasarkan hasil kuesioner, pengeringan jagung oleh petani semuanya dengan menggunakan sinar matahari selama 1 3 hari (75% dari responden) dan 4 7 hari (25% dari responden) menghasilkan kadar air di atas 14% sebesar 58%. Di tingkat pedagang pengumpul pengeringan jagung menggunakan sumber panas sinar matahari (100% dari responden), dengan lama pengeringan 1 3 hari (94% dari responden) dan 4 7 hari (6% dari responden) menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 22%. Di tingkat pedagang besar proses pengeringan menggunakan dua macam sumber panas yaitu dryer dan sinar matahari menghasilkan kadar air jagung yang di atas 14% sebesar 20%.
Sumber pengeringan jagung dengan menggunakan panas matahari, sangat rentan terhadap perubahan cuaca. BALITBANGTAN (2005) menyatakan bahwa pengeringan dengan bersumberkan sinar matahari tidak dapat
diandalkan dimusim hujan karena membutuhkan waktu lama dan kehilangan hasil cukup tinggi.
Analisis korelasi dan regresi
Korelasi antar variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah: kadar air dengan bahan organik, aw dalam bentuk biji dengan aw dalam bentuk giling, kadar air dengan nilai aw dalam bentuk giling, kadar air dengan aw dalam bentuk biji, bahan organik dengan aw dalam bentuk giling, bahan organik dengan aw dalam bentuk biji. Korelasi antar variabel yang signifikan di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah sama, sedangkan di tingkat pedagang besar korelasi antar variabel yang signifikan hanya bahan organik dengan kadar air, seperti ditunjukkan di Tabel 5. Kadar abu tidak memiliki korelasi yang signifikan baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar karena kadar abu relatif konstan jika dibandingkan dengan variabel lainnya.
0,00
14,00
28,00 K
adar
air
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Sampel
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
835
Tabel 5. Koefisien korelasi antar variabel di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar
Variabel bebas Petani Pedagang Pengumpul Pedagang besar
Kadar air B. organik -0,999** -0,995** -0,996** Kadar air Aw dalam giling 0,486* 0,632** 0,426 Kadar air Aw dalam biji 0,478* 0,469* 0,321 B.organik Aw dlm giling -0,494* -0,630* -0,442 B. organik Aw dalam biji -0,487* -0,470* -0,309 Aw dalam biji Aw dalam giling 0,572* 0,715* 0,360
**: Signifikan pada tingkat kepercayaan 99% * : Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
Korelasi antar variabel yang signifikan memiliki koefisien korelasi positip kecuali hubungan kadar air dengan bahan organik, bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk giling dan bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk biji. Koefisien korelasi negatip memiliki makna jika salah satu variabel meningkat, maka variabel lainnya menurun, atau sebaliknya. Bahan organik akan meningkat jika kadar air turun atau bahan organik akan meningkat jika nilai aw baik dalam bentuk giling maupun biji turun, begitupula sebaliknya. Penurunan kadar air pada batas yang aman, selain melindungi dari serangan cendawan penghasil aflatoksin juga meningkatkan konsentrasi nutrien dalam jagung.
Kadar air berkorelasi negatif secara signifikan dengan bahan organik karena rumus untuk mencari bahan organik adalah 100% - (kadar air + kadar abu), semakin tinggi kadar air maka kandungan bahan organik semakin rendah karena kadar abu di ketiga tingkat pengelola pascapanen relatif konstan, yakni rata-rata di tingkat petani: 1,01%, pedagang pengumpul: 1,07% dan pedagang besar: 1,12%. Korelasi yang sangat erat ini menyebabkan multikolinearitas antara kadar air dan bahan organik, sehingga kedua variabel tersebut tidak dapat digunakan secara bersama dalam persamaan regresi berganda.
Kadar air berkorelasi positip dengan aw dalam biji maupun dalam giling di ketiga tingkatan pengelola karena aktivitas air merupakan air bebas yang dapat digunakan untuk metabolisme jasad renik. Semakin besar kandungan air dalam material akan memiliki kecenderungan pula ketersediaan air bebas
yang dapat digunakan metabolisme jasad renik, maka kedua variabel tersebut memiliki hubungan korelasi positip. Oleh karena itu, hubungan bahan organik dengan nilai aw baik dalam giling maupun dalam biji berkorelasi negatif, karena korelasi kandungan air dengan bahan organik berkorelasi negatif, sedangkan kandungan air berkorelasi positip dengan nilai aw.
KESIMPULAN
1. Korelasi antar variabel yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95% di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah: kadar air dengan bahan organik, aw dalam bentuk biji dengan aw dalam bentuk giling, kadar air dengan nilai aw dalam bentuk giling, kadar air dengan aw dalam bentuk biji, bahan organik dengan aw dalam bentuk giling, bahan organik dengan aw dalam bentuk biji. Korelasi antar variabel yang signifikan di tingkat petani dan pedagang pengumpul adalah sama, sedangkan di tingkat pedagang besar korelasi antar variabel yang signifikan hanya bahan organik dengan kadar air.
2. Korelasi antar variabel yang signifikan memiliki koefisien korelasi positip kecuali hubungan kadar air dengan bahan organik, bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk giling dan bahan organik dengan nilai aw dalam bentuk biji.
3. Jumlah korelasi antar variabel yang signifikan (: 0,05) di tingkat petani dan pedagang pengumpul lebih banyak dibandingkan dengan di tingkat pedagang besar. Di tingkat pedagang besar hanya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009
836
terdapat korelasi kadar air dengan bahan organik yang signifikan dan korelasi tersebut juga ditemukan di tingkat petani dan pedagang besar.
4. Perlu peningkatan pengelolaan pascapanen baik di tingkat petani, pedagang pengumpul dan pedagang besar, karena masih terdapatnya variasi kualitas jagung yang tinggi (heterogen), dan penurunan korelasi hasil uji di tingkat pedagang besar.
5. Perlu pengawasan kualitas jagung di lapangan terutama di tingkat petani dan pedagang pengumpul dengan pemasyarakatan pengujian kadar air menggunakan peralatan (instrumen) pengujian kadar air.
6. Perlu disosialisasikan tindakan sortasi pada kualitas jagung untuk mengurangi heterogenitas kualitas jagung.
DAFTAR PUSTAKA
[BALITBANGTAN] BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Departemen Pertanian, Jakarta.
BUDI, T.P. 2006. SPSS 13.0 Terapan Riset Statistik Parametrik. Ed ke-1. Andi, Yogyakarta.
[DEPTAN] DEPARTEMEN PERTANIAN. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005 2010. Departemen Pertanian, Jakarta.
DHARMAPUTRA, O.S. dan I. RETNOWATI. 1995. Inventarisasi Jamur Pascapanen pada Beberapa Komoditas di Tingkat Petani dan Pengecer di Bogor dan Cipanas, Jawa Barat. Dipresentasikan pada acara: Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI; Mataram, 27 29 September 1995.
FARNHAM, D.E. 2003. Corn perspective and culture. In: Corn: Chemistry and Technology. Ed ke-2. LAWRENCE, A. and J.W. PAMELLA (Eds). American Association of Cereal Chemists Inc., Minnesota. pp. 1 12.
LILLEHOJ, E.B. 1986. The aflatoxin in maize problem: The historical perspective. Proc. The Workshop; El Batan, 711 Apr 1986. Mexico: CIMMYT. pp. 13 32.
SARONO, S. SAUD and C.L. TSAI. 1999. Corn production in Indonesia. In: The 5th JIRCAS International Symposium Post Harvest Tecnology in Asia; A Step Forward to Stable Supply of Food Products. Naway, Y., H. Takagi, Noguchi and K. Tsubata (Eds.). Ibaraki, 9 10 Sep 1998. Japan International Research Center for Agricultural Sciences, Japan.. pp. 35 53.
[SNI] STANDAR NASIONAL INDONESIA. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman 01-2891-1992. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta: BSN.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1998. Metode Pengambilan Contoh Padatan 19-0428-1998. Badan Standarisasi Nasional. BSN, Jakarta.
[SNI] STANDAR NASIONAL INDONESIA. 1998. Jagung Sebagai Bahan Baku Pakan 01-4483-1998. Badan Standarisasi Nasional. BSN, Jakarta.
SYARIEF, R., L. EGA dan C.C. NURWITRI. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Pr., Bogor.
WATSON, A.S. 2003. Discription, development, structure, and composition of the corn kernel. In: Corn: Chemistry and Technology. Ed ke-2. Lawrence, A. and J.W. Pamella (Eds.). American Association of Cereal Chemists, Inc., Minnesota. pp. 69 79.