1
Fenomena globalisasi telah menciptakan keberagaman di beberapa
sektor organisasi yang berbeda meliputi sektor pendidikan, kesehatan,
pemerintah, media termasuk di tempat kerja (Prasad, Pringle & Konrad, 2006).
Kemunculan topik terkait keberagaman dalam organisasi berawal di Amerika
pada tahun 1980, saat pengelolaan terhadap keberagaman di tempat kerja
menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh organisasi (Ahonen &
Tienari, 2009).
Selama beberapa dekade yang lalu, para akademisi, praktisi dan peneliti
telah mengakui bahwa keberagaman merupakan fenomena yang memiliki
pengaruh yang luas di tempat kerja dan di lingkungan masyarakat pada
umumnya (Koonce, 2001; Stark, 2001; Williams & O'Reilly, 1997). Dampak dari
munculnya keberagaman tersebut menjadi isu penting bagi organisasi di banyak
negara yang di satu sisi dapat memberikan keuntungan bagi organisasi, namun
di sisi lain juga dapat menciptakan konflik antar karyawan yang berbeda latar
belakang sosial-budaya. Berbagai kebijakan organisasi seperti equal opportunity
employment (EEO) dan affirmative action (AA) muncul sebagai respon organisasi
dalam mengatasi dampak dari keberagaman di tempat kerja (Tsui & Gutek,
1999).
Keberagaman yang dimaksud merupakan perbedaan individu yang
membuat setiap orang memiliki keunikan dan berbeda dari dan sama satu sama
lain (Kreitner & Kinicki, 2010; De Beer 2011). Keberagaman terbagi menjadi dua
jenis yakni pertama, keberagaman biodemografik, merepresentasikan
karakteristik yang nampak dari diri individu meliputi usia, jenis kelamin, ras atau
etnis. kedua, keberagaman task related merepresentasikan atribut yang melekat
pada diri individu meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja,
2
kompetensi atau keahlian fungsional, dan masa kerja (Miliken & Martins, 1996;
Harrison, Price, Horwitz & Bell, 1998; Horwitz & Horwitz, 2007).
Keberagaman yang secara sengaja diciptakan dalam organisasi
bertujuan untuk memberikan keunggulan kompetitif bagi organisasi terutama
dalam menghadapi era persaingan global (Patrick & Kumar, 2012; Sayers,
2012). Seperti yang dijelaskan Popescu dan Rusco (2012) bahwa dengan
adanya pengelolaan yang aktif dari perusahaan terhadap isu keberagaman yang
ada, maka dapat menciptakan perusahaan yang lebih efektif dan efisien.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh McLeod, Lobel dan Cox (1996)
menunjukkan pengelolaan yang baik terhadap keberagaman sumber daya
manusia dapat menciptakan perilaku yang lebih kooperatif, meningkatkan
kualitas solusi dalam penyelesaian tugas, dan meningkatkan efektivitas, efisiensi,
serta profitabilitas perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya
pengelolaan yang memadai dalam mendukung keberagaman di tempat kerja
sehingga membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya.
Seiring dengan perkembangan zaman, konsep dan implementasi
pengelolaan keberagaman dalam organisasi terus berkembang hingga saat ini
(Ahonen & Tienari, 2009). Shen, Chanda, D‟Netto, dan Monga (2009)
menyatakan perkembangan konsep dan implementasi pengelolaan
keberagaman di tiap-tiap negara maupun di tiap-tiap organisasi akan berbeda,
hal ini dikarenakan isu keberagaman antara satu negara dengan negara yang
lain maupun strategi bisnis yang dijalankan oleh masing-masing organisasi
berbeda-beda. Prasad, dkk (2006) juga menjelaskan bahwa praktik pengelolaan
keberagaman di organisasi memiliki kebijakan dan program yang spesifik serta
strategi yang dijalankan bersifat customized sesuai dengan tujuan masing-
masing organisasi.
3
Pengelolaan keberagaman merupakan upaya organisasi menciptakan
lingkungan dimana memungkinkan para karyawan menampilkan potensi mereka
secara maksimal dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Thomas, 1999).
Pengelolaan keberagaman juga didefinisikan sebagai upaya menciptakan
perubahan organisasi yang memungkinkan semua anggota dari berbagai latar
belakang sosio-kultural dapat berkontribusi dan menampilkan potensi mereka
secara maksimal (Cox, 1994; Kreitner & Kinicki, 2010).
Shen dan kawan-kawan (2009) menyatakan prinsip pengelolaan
keberagaman tidak hanya mengakui tetapi juga menghargai dan memanfaatkan
keberagaman yang ada sehingga potensi masing-masing individu. Barak (2005)
membagi jenis pengelolaan keberagaman menjadi dua, yakni intranational
diversity management (mengelola keberagaman tenaga kerja yang berasal dari
warga negara atau imigran dalam konteks organisasi nasional) yang dikenal
sebagai perusahaan multikultur dan cross-national diversity management
(mengelola keberagaman tenaga kerja yang berasal dari warga negara atau
imigran dari negara yang berbeda) yang dikenal sebagai perusahaan
multinasional.
Menurut Choi dan Rainey (2013) kesuksesan pengelolaan keberagaman
dalam organisasi terjadi ketika organisasi berhasil mencapai tujuan dari praktek
pengelolaan keberagaman yang dijalankan sehingga dapat dikatakan efektif.
Sayers (2012) mendefinisikan pengelolaan keberagaman dapat dikatakan efektif
ketika mampu mendorong produktivitas, menciptakan interaksi saling
menguntungkan di antara karyawan dalam sebuah organisasi, dan menghargai
karyawan dengan perbedaan latar belakang, kebutuhan, serta keterampilan agar
menghasilkan manfaat yang optimal bagi karyawan, bagi organisasi tempat
mereka bekerja, masyarakat, dan pelanggan yang mereka layani.
4
Beberapa penelitian empiris telah menunjukkan bahwa upaya
pengelolaan keberagaman yang efektif menunjukkan hasil positif pada
peningkatan kepuasan kerja karyawan dan komitmen organisasi, serta
peningkatan kinerja organisasi, dan mempengaruhi turnover (Choi, 2009; Pitts,
2009). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Patrick dan Kumar (2012)
pada sebuah institusi di India yang menyatakan kesuksesan perusahaan dalam
menerapkan praktik pengelolaan keberagaman dapat meningkatkan komitmen,
kinerja individu, dan kepuasan kerja karyawan serta kinerja organisasi.
Implementasi pengelolaan keberagaman di organisasi menjadi salah satu
bagian dari praktik human resource. Kossek dan Lobel (dalam Barak, 2005)
menjelaskan empat pendekatan human resources dalam pengelolaan
keberagaman, antara lain: (1) diversity enlargement, pendekatan ini berfokus
pada peningkatan representasi dari individu yang berbeda etnis dan latar
belakang budaya dalam organisasi. Tujuannya adalah untuk mengubah budaya
organisasi dengan mengubah komposisi demografis tenaga kerja; (2) diversity
sensitivity, pendekatan ini mengakui kesulitan dalam mengembangkan potensi
dengan menyatukan individu dari beragam latar belakang dan budaya di tempat
kerja. Tujuannya adalah melatih kepekaan karyawan terhadap stereotip dan
diskriminasi serta mendorong kolaborasi komunikasi yang baik; (3) cultural audit,
pendekatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala yang membatasi
kemajuan karyawan dari berbagai latar belakang dan blok kolaborasi antara
kelompok dalam organisasi; (4) strategic business sense sebagai kerangka kerja
yang komprehensif untuk manajemen keberagaman sumber daya manusia.
Pendekatan ini berfokus pada pengelolaan keberagaman sebagai sarana untuk
mencapai tujuan organisasi. Para manajer harus mengidentifikasi hubungan
antara tujuan pengelolaan keberagaman, harapan individu dan hasil organisasi.
5
Sejak akhir tahun 1990 hingga saat ini, pengelolaan keberagaman lebih
berfokus pada pendekatan strategic business sense yang juga dikenal dengan
pendekatan learning-effectiveness. Pendekatan ini mendorong setiap individu
untuk menghasilkan pemikiran baru pada strategi pasar, produk, strategi
implementasi program dan budaya dalam menghadapi perubahan dan kompetisi
ekonomi global melalui adanya proses learning. Pentingnya pengelolaan
keberagaman yang efektif menjadikan perusahaan mampu bertahan, tumbuh,
dan berkembang. Hal tersebut juga menjadi tantangan besar bagi perusahaan
nasional maupun multinasional di Indonesia yang akan segera menghadapi
ASEAN Economic Community tahun 2015, dimana Indonesia dikenal sebagai
negara yang lekat dengan keberagaman sosial-budaya. Oleh karena itu, peneliti
tertarik mengkaji efektivitas pengelolaan keberagaman pada perusahaan yang
ada di Indonesia.
Salah satu perusahaan di Indonesia yang menyadari pentingnya
pengelolaan keberagaman di tempat kerja dalam menghadapi kompetisi global
yakni PT. XYZ distrik X, sebuah perusahaan berskala nasional yang bergerak di
bidang kontraktor pertambangan, berdiri sejak tahun 1993. PT. XYZ
mencanangkan visi menjadi kontraktor pertambangan terkemuka di dunia. PT.
XYZ distrik X menerapkan jenis pengelolaan keberagaman yakni intranational
diversity management yang mana manajemen mengelola keberagaman sumber
daya manusia asli Indonesia.
Berangkat dari penelitian awal melalui studi dokumen di kantor pusat
Jakarta pada tanggal 17 Juni 2014, peneliti menemukan bahwa presiden direktur
PT. XYZ dalam president letters menyatakan perusahaan mampu beradaptasi
dan melakukan antisipasi yang tepat atas perubahan situasi yang ada serta
6
akan terus berkembang mencapai yang terbaik, salah satunya dengan
menumbuhkan kreativitas melalui keberagaman yang dipelihara.
“Dengan semangat “make it happen” yang sudah dimiliki oleh seluruh komponen organisasi, kreativitas yang tumbuh dari diversity yang dipelihara, kepemimpinan yang kuat, built in PDCA cycle, serta kerjasama yang erat dengan seluruh stakeholders, kita percaya bahwa perusahaan bisa mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi yang tepat atas perubahan situasi yang ada, dan akan terus berkembang mencapai yang terbaik” (Viewpoint, 2014). Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan organizational
development department head PT. XYZ menunjukkan bahwa sasaran dari
penerapan pengelolaan keberagaman yakni seluruh karyawan PT. XYZ yang
diawali dari proses rekrutmen dan seleksi serta berlaku secara nasional.
“Enggak.. ke karyawan karyawan. Dalam arti kata pada saat itu adalah kalo mau rekrut itu jangan primordial, gitu. Misalnya mentang mentang bosnya dari ITB ngambilnya dari ITB. Bosnya dari Jawa Barat ngambilnya dari Jawa Barat” (R1, W1, 9-11). PT. XYZ juga memiliki kebijakan rekrutmen dan seleksi yang mendukung
adanya keberagaman yang didasarkan atas kualifikasi karyawan tanpa
membeda-bedakan ras, etnis, gender, agama, dan golongan.
“Perusahaan hanya merekrut pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan, dengan memberikan kesempatan yang sama tanpa membedakan gender, suku, agama, ras, antar golongan” (PHRMS No. PRS/F-045, 2010). Peneliti lebih lanjut melakukan wawancara lebih mendalam dengan
HCGS (Human Capital & General Services) depatment head PT. XYZ di distrik X
yang menunjukkan bahwa upaya manajemen PT. XYZ dalam mengelola
keberagaman yang ada yakni dengan penguatan budaya perusahaan yakni nilai
inti meliputi tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus. Budaya nilai inti
tersebut menjadi pemersatu keberagaman yang ada. Tujuan dari penerapan
pengelolaan keberagaman di PT.XYZ lebih berfokus pada prinsip continuous
improvement untuk mendorong kreativitas melalui kerja sama tim yang solid
7
maupun pengoptimalan potensi individu dengan memanfaatkan keberagaman
yang ada dan tercermin melalui nilai inti yakni tim yang sinergis dan perbaikan
terus menerus.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
PT. XYZ melakukan pengelolaan keberagaman dengan menggunakan
paradigma human resource melalui pendekatan strategic business sense yakni
menumbuhkan kreativitas baik dalam kinerja tim maupun individual yang
bertujuan untuk menghadapi perubahan lingkungan maupun pertumbuhan bisnis
perusahaan melalui penguatan nilai inti sebagai budaya perusahaan.
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam
mengembangkan persyaratan untuk mengelola keberagaman (Clarke & Iles,
2000). Prasad, dkk (2006) juga menyatakan budaya menjadi fokus utama dalam
mengelola keberagaman di tempat kerja. Budaya organisasi yang didasarkan
atas nilai-nilai integrasi memungkinkan organisasi menerapkan pengelolaan
keberagaman yang efektif dan efisien. Budaya organisasi mempunyai tugas
untuk meningkatkan nilai keberagaman anggota kelompok kerja dan
menciptakan budaya integrasi yang melibatkan semua orang dalam kegiatan
kerja (Cox & Blake, 1991).
Jones (2007) mendefinisikan budaya organisasi adalah seperangkat nilai-
nilai dan norma-norma bersama yang mengontrol anggota organisasi dalam
berinteraksi satu sama lain antar anggota organisasi maupun dengan orang-
orang yang berada di luar organisasi yang mempengaruhi suatu situasi dan
menginterpretasikan lingkungan di sekitar organisasi. Nilai adalah kriterium
umum, standar, atau prinsip yang digunakan orang untuk menentukan jenis
perilaku, peristiwa, situasi, dan hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Nilai
terbagi menjadi dua, yakni terminal value sebagai sebagai keadaan atau hasil
8
akhir yang ingin dicapai seperti tanggung jawab, kreatif, inovasi, moralitas, dan
berkualitas) dan instrumental value (sebagai landasan atau tata cara dalam
berperilaku yang harus dijalankan demi mencapai suatu terminal value). Perilaku
organisasi cenderung fokus pada instrumental value, karena dapat membentuk
perilaku individu dan erat kaitannya dengan pencapaian tujuan organisasi.
Gambar 1. Implementasi Pengelolaan Keberagaman melalui Budaya Organisasi (Olsen & Martins, 2012).
Olsen dan Martins (2012) menyatakan pengelolaan yang berfokus pada
peningkatan keberagaman di tempat kerja untuk mencapai kesuksesan bisnis
tidak hanya melihat keberagaman sebagai instrumental value, tetapi juga melihat
keberagaman sebagai terminal value. Menurut Kellough dan Naff (2004) fokus
organisasi pada keberagaman sebagai terminal value maupun instrumental value
akan mempengaruhi tingkat keberagaman tenaga kerjanya dan memungkinkan
organisasi untuk menerapkan praktik human resources yang secara khusus
ditujukan untuk merekrut serta mempertahankan individu dari berbagai latar
9
belakang. Berdasarkan hasil wawancara dengan HCGS Department Head distrik
X menunjukkan bahwa pengelolaan kebergaman PT. XYZ masih berfokus pada
penginternalisasian instrumental value berupa key behavior yang
merepresentasikan tujuan dari pengelolaan kebergaman itu sendiri yakni tim
yang sinergis dan perbaikan terus menerus.
Merujuk pada pernyataan dari beberapa ahli dan hasil penelitian awal di
atas, maka definisi efektivitas pengelolaan kebergaman yang digunakan dalam
penelitian ini yakni tercapainya tujuan pengelolaan kebergaman berupa
terinternalisasinya nilai inti tim yang sinergis dan perbaikan terus menerus
sebagai instrumental value dalam diri karyawan.
Menurut Danulis, Dehling, dan Pralica (2004) elemen utama yang
mempengaruhi efektivitas pengelolaan keberagaman yakni kepemimpinan. Gaya
kepemimpinan yang mendukung pencapaian dari tujuan pengelolaan
keberagaman yakni untuk membangun kreativitas berupa tim yang sinergis dan
perbaikan terus menerus melalui internalisasi budaya perusahaan yakni nilai inti,
maka diperlukan perilaku pemimpin yang terus memotivasi bawahannya untuk
dapat bekerja secara maksimal, penuh perhatian, dan mendorong munculnya
ide-ide baru dari seluruh karyawan. Perilaku pemimpin tersebut merupakan ciri-
ciri kepemimpinan transformasional. Definisi kepemimpinan transformasional
yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan
oleh Ancok (2012) yakni sikap kepemimpinan yang memanusiakan bawahannya
(ngewongke), memperlakukan bawahan sebagai manusia cerdas dan terhormat,
dan mampu memotivasi bawahan agar memunculkan potensi insaninya secara
maksimal.
Menurut Jung dan Virgin Group (dalam Robbins, 2010) pemimpin
transformasional memperhatikan hal-hal kebutuhan pengembangan dari masing-
10
masing para bawahan dan persoalan-persoalan dengan membantu mereka
memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu
menggairahkan, membangkitkan, dan mengilhami para pengikut untuk
mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok. Kesediaan para
bawahan untuk berupaya ekstra dalam mencapai tujuan bersama bahkan dapat
melebihi harapan sebelumnya, dikarenakan munculnya rasa percaya dan hormat
terhadap sang pemimpin. Kesediaan bawahan untuk terlibat secara optimal
dalam kegiatan organisasi, tentunya akan berdampak pada peningkatan
produktivitas kerja sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
Efektivitas pengelolaan keberagaman selain dipengaruhi oleh pemimpin,
juga harus mempertimbangkan faktor keadilan organisasi. Definisi keadilan
prosedural yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada definisi yang
dikemukakan oleh Lind dan Early (dalam Niehoff & Moorman, 1993) persepsi
karyawan mereka diperlakukan adil jika mereka dihargai sebagai anggota
kelompok kerja, dengan konsekuensi mereka dapat mengemukakan pendapat
tentang penyusunan peraturan maupun sistem evaluasi kerja, merasa dihargai
oleh organisasi, dan bukan sekedar distribusi pendapat saja. Menurut Choi dan
Rainey (2013) situasi lingkungan kerja terkait dengan bagaimana organisasi
mengelola keberagaman di dalamnya. Implementasi keberagaman yang ideal
seharusnya mampu menciptakan lingkungan kerja yang adil, baik dari sisi
distributif, interaksional, dan prosedural. Terciptanya keadilan dalam organisasi
akan memberikan situasi psikososial lingkungan kerja yang positif. keadilan yang
dirasakan oleh karyawan terhadap aturan dan prosedur formal akan membantu
organisasi dalam mengelola keberagaman dan memiliki pengaruh positif
terhadap peningkatan produktivitas kerja, kepuasan kerja dan komitmen
organisasi.
11
Hasil penelitian Tjahjono (2013) dalam konteks Indonesia, keadilan
prosedural akan menjadi prediktor yang lebih kuat pada evaluasi sistem dan
otoritas yang lebih umum. Keadilan prosedural akan menjadi prediktor yang lebih
baik daripada tipe keadilan lainnya terhadap outcomes yang berhubungan
dengan perusahaan, seperti komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap
manajemen termasuk efektivitas program dibandingkan outcomes personal. Hal
tersebut sejalan dengan Ayub (2013) yang menyatakan keadilan prosedural
merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan efektivitas pengelolaan
keberagaman. Kebijakan maupun prosedural formal yang tidak hanya
dikomunikasikan dengan baik, tetapi juga memberikan kesempatan yang sama
bagi seluruh karyawan untuk terlibat akan menimbulkan kepercayaan dalam diri
karyawan terhadap organisasi sehingga mendorong karyawan untuk lebih
proaktif dalam mencapai tujuan organisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran kepemimpinan
transformasional dan keadilan prosedural sebagai variabel independen terhadap
efektivitas pengelolaan keberagaman sebagai variabel dependen. Konteks pada
penelitian ini yakni di PT. XYZ distrik X, pengelolaan keberagaman yang
diterapkan oleh manajemen diharapkan dapat dijalankan dengan efektif dan
melibatkan seluruh anggota organisasi melalui internalisasi budaya perusahaan
sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Menurut Moldy (dalam Moeljono,
2003) budaya perusahaan sebagai suatu sistem nilai-nilai, keyakinan, dan
kebiasaan bersama yang berinteraksi dengan struktur formal untuk
menghasilkan norma dalam berperilaku.
Merujuk pada teori learning organization yang dikemukakan oleh Heli,
Parker, dan Tate (1994) bahwa pembangunan organisasi pembelajaran bukan
menjadi tugas individu, tetapi pendekatan sistem yang membawa individu secara
12
bersama-sama menciptakan alternatif cara kerja dan hidup berdampingan.
keberagaman tenaga kerja dipandang sebagai hal yang wajar bagi sebuah
organisasi pembelajaran. Capra dan Fritjof (1994) menyatakan keberagaman
berarti banyak hubungan yang berbeda, banyak pendekatan yang berbeda untuk
menangani masalah yang sama. Sebuah komunitas yang beragam adalah
sebuah komunitas yang tangguh, mudah beradaptasi dalam menghadapi
perubahan situasi melalui proses creating, retaining, dan transferring knowledge
sehingga penting melibatkan seluruh karyawan yang memiliki latar belakang
sosial-budaya yang berbeda dalam proses refleksi dan pengambilan keputusan
sehingga semua sistem yang dibangun dalam organisasi dapat hidup
berkembang.
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa heterogenitas dalam
organisasi mampu meningkatkan performance dengan menumbuhkan kreativitas
dan cara berpikir yang baru melalui proses belajar (Mcleod, Lobel & Cox, 1991).
Oleh karena itu, organisasi yang mampu bertahan dan tumbuh selalu memiliki
komunitas yang terus belajar, komunitas yang terus berubah, dan berkembang
dengan memanfaatkan keberagaman yang ada di organisasi, baik dari segi
individu maupun tim. Peran pimpinan sebagai penggerak utama jalannya
organisasi menjadi hal yang sangat penting. Pemimpin perlu memiliki sikap
terbuka, berani mengambil resiko, mampu mengkomunikasikan visi organisasi
secara jelas, menunjukkan empati, dukungan, dan perhatian personal terhadap
anak buah serta didukung adanya kebijakan maupun aturan yang adil bagi
seluruh karyawan tentunya mempengaruhi produktivitas kerja, kepuasan kerja
dan komitmen organisasi yang pada akhirnya berdampak pada tercapainya
tujuan perusahan.
13
Berdasarkan beberapa teori dan hasil penelitian yang terkait, maka
hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah kepemimpinan
transformasional dan keadilan prosedural secara bersama-sama merupakan
prediktor terhadap efektivitas pengelolaan keberagaman PT. XYZ distrik X.
Implikasi Studi
Manfaat penelitian ini bagi implikasi teoritis yakni memberikan sumbangan
referensi mengenai studi efektivitas pengelolaan keberagaman khususnya pada
industri batu bara di Indonesia. Sedangkan, implikasi praktis dari penelitian ini
adalah memberikan sumbangan praktis berupa gap antara kondisi yang
diharapkan dengan kondisi aktual di lapangan untuk kemudian berdasarkan gap
yang ada dapat dijadikan dasar bagi pihak manajemen untuk melakukan
intervensi lebih lanjut dalam rangka meningkatkan efektivitas pengelolaan
keberagaman di PT. XYZ distrik X melalui penguatan budaya perusahaan
sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
METODE
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis
penelitian deskriptif korelasional yang bertujuan untuk menguji hipotesis yang
sebelumnya telah disusun oleh peneliti. Menurut Azwar (2010) penelitian dengan
pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada pengolahan data-data
numerikal dengan metode statistika yang bertujuan untuk menguji hipotesis dan
menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan
penolakan hipotesis nihil. Data-data deskriptif dalam penelitian ini tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan hanya