BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam telah ada dan menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat nusantara. Hukum
Islam (terkait khusunya hukum keluarga) sejak kedatangannya di nusantara sampai saat ini
diakui sebagai hukum yang hidup (living law). Seorang muslim akan menundukkan dirinya dan
seluruh aspek kehidupannya kepada ajaran Islam, sebagai konsekwensi keberimanan seorang
muslim. Peradilan agama sebagai pengadilan keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam di
Indonesia, dalam perkembangan sejarah sesungguhnya telah tumbuh dan melembaga dikalangan
masyarakat Islam.1
Pada zaman kolonial terjadi dinamika yang diwarnai oleh politik kolonialis Belanda yang
antagonis. Pada mulanya pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan seluruh hukum Islam
bagi ummat Islam. Sikap yang dipengaruhi teori Receptio in conplexu hasil pemikiran dan
penelitian ilmuan Belanda Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927).
Kebijakan pemerintah kolonial ini menjelma antara lain dalam pembentukan Pengadilan Agama
di Jawa dan Madura (Mahkamah Islam dan Mahkamah Islam Tinggi) yang diberikan
kewenangan secara luas dalam menerapkan hukum Islam bagi penduduk yang bergama Islam, di
bidang perdata/muamalah. Namun dalam perkembangan selanjutnya muncul teori Receptie.
Pada dasarnya Pengadilan Agama memiliki dua kewenangan, pertama: kekuasaan relatif
(relative competentie) yang diistilahkan oleh Ridhwan Syahrani sebagai sebagai kewenangan
atau kekuasaan Pengadilan Agama yang satu jenis berdasarkan daerah dan wilayah hukum,2 dan 1 Abdul Ghafur, Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman dalam Mimbar Hukum, jurnal Bulanan , (Jakarta: Al-Hikmah, 1999), hal. 22.
2 Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Umum, (Jakarta: Pustaka Kartini), hal. 30
1
Kedua: kekuasaan mutlak (absolute competentie). Dalam cakupan kekuasaan mutlak ini,
tentunya dalam Pengadilan Agama berkenaan dengan jenis perkara dan jenjang Pengadilan. PA
memiliki kekuasaan memeriksa, memutus, dan menyelesaikan ”perkara perdata tertentu ”
dikalangan”golonga tertentu yakni orang-orang Islam”. Kekuasaan dalam lingkungan Pengadilan
Agama mengalami perluasan terutama sejak berlakunya UU No 1 tahun 1974, kemudian
mengalami penyeragaman sejak berlakunya UU No 7 Tahun 1989. perkara perdata itu adalah
bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam.
Pengadilan Agama, di Indonesia telah mengalami pasang surut seirama dengan pasang
surutnya perjuangan kemerdekaan nasional pada zaman penjajahan Barat dahulu. Memang
Pengadilan Agama adalah salah satu sasaran dari politik devide et impera rezim kolonial.
Sehingga bentuk konfigurasi Politik hukum Kompetensi Peradilan Agama sangat dipengaruhi
oleh intervensi dari golongan yang memiliki kekuasaan, kekuatan, kepentingan atau bahkan
ketakutan, baik secara politik maupun ekonomi. Ketika elit politik Islam memiliki bargaining
yang kuat dalam interaksi politiknya, maka pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur
politik pun memiliki peluang yang sangat besar, begitupula sebaliknya apabila posisi tawar elit
politik Islam lemah, maka pengembangan hukum Islam di Indonesia laksana “katak dalam
tempurung”.
2
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pendahuluan diatas,dalam penulisan Paper kali ini Penulis mencoba untuk
menitik beratkan pembahasan kewenangan Pengadilan Agama tidak lepas dari sejarah yang
menyertainya, dari mulai berdirinya sampai sekarang ini. Tentunya, kewenangan ini tidaklah
selalu mudah ditempuh oleh PA, karena pengaruh kolonia. Penulis akan membuat paper
membahas tema ini dimulai dengan Kata Kunci: Pengaruhnya teori Receptie terhadap
Kewenangan Pengadilan Agama.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Receptie dan Pengaruhnya terhadap kewenangan Peradilan Agama
Sejak adanya Kolonial Belanda di Indonesia ini telah membawa perubahan sekaligus
petaka bagi umat Islam. Satu persatu kerajaan Islam di Nusantara melemah peran politik
Islamnya. Belanda dengan kekuatan militer dan ekonominya telah merongrong hukum dan
peradilan di Indonesia dan secara berangsur-angsur menggerogoti hukum Islam dengan cara
menciptakan politik hukum.
Ada tiga sistem hukum di Indonesia, (Barat, Adat, dan Islam), namun di Indonesia, ketiga
sistem hukum itu tidak pernah mendapatkan kesempatan mencari titik persamaannya. Sebaliknya
oleh politik kolonial, justru dipertajam, kalau perlu diada-adakan pertentangan-pertentangan
diantara ketiga sistem hukum tersebut.3
Masa awal kolonial, sebenarnya Hukum Islam telah memperoleh tempat dan bahkan telah
menjadi hukum resmi negara dalam kehidupan masyarakat Indonesia seiring dengan berdirinya
kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, namun pada perkembangan
berikutnya, pemerintah kolonial Belanda memangkas hukum Islam itu sedikit demi sedikit,
sehingga yang tersisa sekarang, selain hukum ibadah, hanyalah sebagian saja dari hukum
keluarga dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya. Berdasarkan pendekatan historis,
perkembangan eksistensi kewenangan Hukum Islam di Indonesia dapat disebutkan ada empat
fase.4 Dua di antaranya pada priode sebelum kemerdekaan, sedangkan dua lainnya pada priode
pasca kemerdekaan.3 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 77.
4 Ismail Sunny,Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dalam Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: 1994, PP IKAHA), hal. 200
4
Pasca Sebelum Kemerdekaan:
1. Fase berlakunya hukum Islam dengan sepenuhnya. Ini terjadi sejak masa kerajaan-kerajaan
Islam sampai awal VOC. Hal ini berangkat dari teori H.A.R. Gibb bahwa jika orang telah
menerima Islam sebagai agamanya, maka ia menerima authoritas hukum Islam terhadap
dirinya. L.W.C. Van Den Breg yang berada di Indonesia 1870-1887 dengan teori Receptio in
Complexu yang menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia
telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-
penyimpangan.5 Atau orang Islam Indonesia telah menerima dan meresapi hukum Islam
secara menyeluruh. Periode penerimaan hukum Islam dengan sepenuhnya inilah disebut
dengan teori receptio in Complexu.
Sebagai contoh; sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pemerintah kolonial
memberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum
waris, yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan. Pada tanggal 25 Mei 1760,
Belanda menerbitkan peraturan Resolutie der Indische Regeering yang kemudian dikenal
dengan Compendium Freijer. Melalui peraturan ini, Belanda hanya mengakui berlakunya
hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan) saja dan menggantikan
kewenangan lembaga-lembaga peradilan Islam yang dibentuk oleh para raja atau sultan
dengan peradilan buatan Belanda dengan hakim-hakim Belanda dengan bantuan para
penghulu Qadhi Islam.6 Selanjutnya, status Batavia (saat ini disebut Jakarta) 1642,
menyebutkan bahwa sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus
diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat
sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W Freijer menyusun compendium, yaitu buku yang
5 Sayuti Thalib, Receptio A. Contrarlo, (Bina Aksara, Jakarta, 1996), hal. 15-70.6 M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1964), hal. 12
5
memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan
disempurnakan oleh para Penghulu, dan kemudian diberlakukan didaerah jajahan VOC. Buku
ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer. Kondisi di atas tidak berlangsung lama,
seiring dengan perubahan politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang
gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum
Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas
dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie. C.S. Hurgronje yang
ditunjuk sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, tahun 1859 telah dimulai politik
campur tangan terhadap urusan keagamaan. Gubernur jenderal dibenarkan mencampuri
masalah agama bahkan harus mengawasi setiap gerak- gerik para ulama, bila dipandang perlu
demi kepentingan ketertiban keamanan. Sebagai kolonialis, pemerintah Belanda memerlukan
Inlandsch Politik, yakni kebijaksanaan mengenai pribumi untuk memahami dan menguasai
pribumi.
2. Fase berlakunya hukum Islam setelah diterimanya oleh adat. Fase ini berpangkal dari
munculnya Teori Receptie yang dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje (penasehat
pemerintah Hindia Belanda) seorang Ediolog Kolonialis sebagai penggagas pertamanya.
Dilanjutkan oleh Cornelis Van Vollenhoven dengan Ter Haar yang dikembangkan secara
sistematis dan ilmiah serta dilaksanakan dan dipraktikkan oleh para murid dan para
pengikutnya.
Teori Receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat
mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat.
Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam. Kemunculan teori receptie
sebenarnya dari keinginan Snouck Hurgronje agar warga pribumi dari daerah jajahan tidak
6
memegang kuat ajaran Islam, karena warga yang kuat memegang ajaran Islam dan hukum
Islam tidak akan mudah dipengaruhi oleh peradaban Barat. Adapun periode penerimaan
hukum Islam oleh hukum adat, berdasarkan Indische Statsregeling (IS) yang diundangkan
dalam Stbl. 1929. 212, disebutkan bahwa hukum Islam dicabut dari tata hukum Hindia
Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 itu berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
Sebenarnya Cornelis Van Vollenhoven murid dari Hurgroje sebagai pakar hukum adat
berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia
Belanda. Menurutnya Hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumi
putera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak hukum Islam
yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda. Jelaslah bahwa apa yang disebut
sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan
politikus hukum kolonial saja. Dalam mengambarkan hubungan adat dengan Islam di Aceh,
Minangkabau dan Sulawesi Selatan umpamanya, para penulis barat/Belanda selalu
mengambarkan kelanjutannya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan Islam.
Kedua-duanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin
bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena
dikalangan adat terdapat orang-orang alim dan kalangan ulama dijumpai orang yang tahu
tentang adat.
Menurut Daud Ali, ada tiga alasan yang menyebabkan teori ini muncul: Pertama Penelitian
yang dilakukan oleh Hurgroje di Aceh, menurutnya yang berlaku dan berepengaruh bagi
orang Aceh yang notabene umat Islam bukanlah hukum Islam dan hukum Islam baru
7
memiliki kekuatan kalau benar-benar diterima oleh hukum Adat. Kedua Sehubungan dengan
lembaga-lembaga sosial Islam, atau aspek muamalat dalam Islam, haruslah dihormati
keberadaannya, meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin
perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari
kebudayaan barat. Ketiga Dalam masalah politik, pemerintah hendaknya tidak menoleransi
kegiatan apapun yang dilakukan kaum Muslimin yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan
Islamisme yang menyebabkan perlawanan politik dan dan gagasan yang menentang kolonial
belanda. Christian Snouck Hurgronje sangat khawatir pengaruh gerakan Pan Islamisme yang
saat itu sangat berpengaruh di dunia Islam yang dipelopori oleh Said Jamaluddin AI-Afgani
akan berpengaruh di Indonesia. Era Receptie in Complexu mulai diganti dengan era Receptie
setelah pemerintah Belanda menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie,
disingkat Indische Staatsregeling (IS) yang membatalkan Reegeering Reglement (RR) Tahun
1885 pasal 75 yang berisi anjuran kepada hakim-hakim Indonesia untuk memberlakukan
undang-undang agama. Dalam IS. tersebut diundangkan Stbl 1929 Nomor 212 yang
menyatakan bahwa hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.
Substansi teori Receptie tertuang dengan jelas dalam pasal 134 ayat (2) yang
menyatakan :"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan
oleh hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, dan sejauh itu tidak
ditentukan lain dengan sesuatu ordonansi."
Dengan alasan bahwa hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat,
pemerintah Belanda menerbitkan Stbl. 1937 Nomor 116 yang mencabut perkara waris dari pada
wewenang Pengadilan Agama, yang sejak pada tahun 1882 telah menjadi kewenangannya dan
mengalihkannya ke Pengadilan Negeri. Hal ini menurut Hazairin menunjuk pada teori resepsi
mengenai kewarisan yang sangat mengganggu dan menentang iman orang Islam. Sehingga
8
aplikasinya adalah hanya orang Islam di Jawa dan Madura ditundukkan pada hukum fara’id kalau
mereka berbagi warisan di depan Raad atau Pengadilan Agama.7
Pasca masa kolonial, proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai arti
penting bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia. Bangsa Indonesia yang sebelumnya
dikondisikan untuk mengikuti sistem hukum Belanda mulai berusaha untuk melepaskan diri
dan berupaya untuk menggali hukum nasionalnya sendiri.
Dalam pertalian dengan hukum Islam, upaya pertama yang dilakukan oleh pemerintah RI
adalah memberlakukan teori Receptio Exit yang dikemukakan Hazairin. Menurut Hazairin,
teori Receptie sengaja diciptakan oleh Belanda untuk merintangi hukum Islam di Indonesia.
Teori ini sama dengan ”teori iblis” karena mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi dan
melaksanakan
hukum Allah dan RasuI Nya? Karena itu, substansi teori Receptio Exit adalah menolak teori
Receptie yang dianut oleh pemerintah Kolonial Belanda.8 Pengaruh Teori Receptie terhadap
kewenangan Pengadilan Agama mulai di tentang, dimana yang pada perkembangan
berikutnya lahir teori Receptio a Contrario yang merupakan kebalikan teori Receptie, yakni
bahwa hukum adat baru dapat diberlakukan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal
dimaksud, ditetapkan ada beberapa contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum Adat
dan hukum Islam tidak dapat di pisahkan. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah:
”adat bersendi Syara’ , Syara bersendi Kitabullah. Artinya: Hukum Adat bersumber dari
hukum Islam, Hukum Islam bersumber dari Kitabullah. Suku Bugis di Sulawesi selatan, bila
mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak
peremupan , mereka bagi sama rata. Namun setelah mereka memeluk agama Islam, mereka
7 Muhamad Daud Ali. Hukum Islam dan Perailan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada). 1997. hal. 202.8 Ibid, hal 6-7.
9
mengikuti Hukum kewarisan Islam. Pembagian harta waris dimaksud, tertuang dalam
ungkapan suku bugis majjujung makkunrai mallempa oroane. Dan masih banyak lagi contoh
lain yang berkenaan dengan kesesuaian hukum Islam dengan hukum adat. Dengan demikian,
teori yang terakhir ini, hukum Islam menjadi memiliki ruang gerak yang lebih leluasa.namun
di akui juga bahwa, receptie tidak begitu saja hilang, hal ini nampak jelas dari wewenang
pengadilan Agama yang masih terbatas pada hukum-hukum perdata saja. (penulis).
Pasca Kemerdekaan ini, perkembangan eksistensi hukum Islam memasuki Fase Ketiga Dan
Keempat.
3. Pada fase ketiga, hukum Islam bereksistensi sebagai sumber persuasive (persuasiue souce),
yakni diterima sebagai suatu sumber hukum setelah diyakini. Setelah Indonesia merdeka
timbul keinginan dari pemerintah untuk menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari
Kementerian Kehakiman kepada
Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946. Pada tahun 1948 keluar
Undang-undang No. 190 Tahun 1948 yang masa berlakunya akan ditentukan oleh Menteri
Kehakiman. Undang-undang itu memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum.
Penetapan Menteri Kehakiman tersebut tidak pernah keluar, dan Peradilan Agama berjalan
sebagaimana biasa. Setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949, melalui Undang-
undang Darurat No. 1 Tahun 1951, pemerintah menegaskan pendiriannya untuk tetap
mempertahankan Peradilan Agama, sementara Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat
dihapuskan. Sebagai pelaksanaan Undang-undang Darurat itu, pada tahun 1957 pemerintah
mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan melalui
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 dengan kewenangan meliputi perkara-perkara: (1)
Nikah, (2) Talak, (3) Rujuk, (4) Fasakh, (5) Nafkah, (6) Mas kawin, (7) Tempat kediaman, (8)
10
Mut'ah, (9) Hadonah, (10) Perkara waris malwaris, (11) Wakaf, (12) Hibah, (13) Sedekah, dan
(14) Baitul mal.
Mulai saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan
Agama di Indonesia, yaitu: 1. Stbl. 1882 No. 152 jo Stbl. 1937 No. 116 dan 610 yang
mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura. 2. Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang
mengatur Peradilan Agama di Kalimantan Selatan. 3. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun
1957 yang mengatur Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.
Kemudian pada tahun 1958 dibentuk Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
berbagai tempat yang memerlukan. Pada tahun 1961, dengan Keputusan Menteri Agama No. 66
tahun 1961, dibentuklah suatu panitia untuk mempersiapkan Rancangan Undang-undang
Peradilan Agama. Kerja panitia ini masih bersifat intern.9 Tiga tahun kemudian keluar Undang-
undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai
pelaksanaan pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang diberlakukan kembali Melalui Dekrit Presiden, 5
Juli 1959. Undang-undang tersebut secara tegas menyatakan Peradilan Agama sebagai salah
satu lingkungan peradilan di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman di samping Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Keempat lingkungan peradilan tersebut secara teknis berpuncak pada Mahkamah Agung, dan
secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah tanggung jawab departemen
yang bersangkutan.
4. Pada fase keempat, Hukum Islam bereksistensi sebagai sumber otoritatif (authoritatiue
souce), yakni diterima sebagai sumber hukum yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga
kekuatan hukumnya pengadilan Agama berjalan semakin mantap ketika undang-undang
Pengadilan Agama di sahkan. Maka sebagaimana dikatakan oleh Bustanul Arifin, maka 9 H. Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Mimbar Hukum No. 1 Tahun 1990, hal 1-2.
11
selesailah masalah eksistensi kewenangan pengadilan yang diperdebatkan tersebut.10 Sehingga
bentuk kewenangan PA menjadi lebih luas lagi kedepan, sehingga hegemoni kolonial melalui
teori receptie tidak berlaku lagi. Meskipun di sana sini dari regulasi yang terkait dengan
Peradilan Agama masih saja ada ganjalan-ganjalan seolah-olah setengah hati dalam
memberikan kepercayaan terhadap Pengadilan Agama. Contoh: UU Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Dalam UU tersebut jelas pengelolaan zakat tidak dilakukan oleh
negara tetapi oleh BAZIZ yang dibentuk pemerintah. UU tersebut mengakui zakat sebagai
kewajiban agama bagi warga yang beragama Islam, karena sifatnya diyani, maka pemrintah
tidak mewajibkan zakat kepada setiap warga muslim yang memenuhi syarat, tetapi
mendasarkan kesadaran masyarakat muslim itu sendiri. Warga muslim wajib zakat yang tidak
melaporkan zakatnya kepada BAZIZ tidak terjangakau oleh UU ini. Menurut pemakalah
kedudukan Pengadilan Agama sekarang, memilki prospek hukum yang cukup menjanjikan.
Artinya pembatasan-pembatasan kewenangan PA mulai dibuka dan diberi daya gerak seluas-
luasnya dengan membawa kewenangan absolut, dengan UU No 3 tahun 2006 tentang
perubahan atas undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan memiliki
kewenangan tambahan yaitu menyelesaikan sengketa Ekonomi Syari’ah. Disamping itu pula,
hal yang menarik dari hasil amandemen (No 3 Tahun 2006) ini adalah kebolehan PA
memberikan peluang menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang disengketakan
termasuk kewenangan absolut PA. Ini juga berarti PA yang sebelumnya dalam UU No 7
Tahun 1989 hanya berkewenangan menyelesaikan perkara perdata, dari Hasil amandemen UU
No 3 Tahun 2006 dengan melihat pasal 45 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No
1 Th 1974, PA juga berwenang menyelesaikan perkara pidana perkawinan dan pelanggaran
qanun di NAD. Hal ini merupakan kewenangan baru yang menjadi Pengecualian untuk
10 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press), 1996. hal. 136.
12
mengadili perkara non perdata.11 Namun ini menjadi bukti kewenangan PA selaku lembaga
yang terbuka seluas-luasnya dalam penyelasaian Hukum di Indonesia. Sehingga pengaruh
teori receptie berangsur-angsur hilang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berkesimpulan mengenai bagaimana pengaruh teori receptie saat ini di Indonesia?
11 Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada Peradilan Agama. (Yogyakarta: UII Press, 2009). hal. 13.
13
1. Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika persoalan sistem ini dikaitkan dengan kewenangan
PA, seluas apakah? Se absolut apakah? Disini menarik untuk dianalisis lebih jauh adalah
implikasi yang ditimbulkan oleh teori receptie tersebut yang mengakibatkan perkembangan
dan pertumbuhan Islam yang sangat lamban dibanding dengan Institusi lainnya. Dan
selama Hukum Perdata maupun Hukum Pidana yang di Adopsi dari Hukum Kolonial tentu
akan memberi bekas sedikit banyak persepsi dan kesan dari sebagian orang, tentang teori
receptie Snouck Hurgronje, akan memberi pengaruh terhadap kewenangan PA terasa
dibatasi.
2. Hal ini terbukti dari beberapa contoh sederhana: mengenai adanya tarik ulur kewenangan
antara PA dan PN tentang pelimpahan perkara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,
dan lainnya.
3. Namun, bagi penulis, yang menjadi kata kunci dari masalah diatas adalah: Bagaimana
pilihan Umat Islam secara sadar untuk menyelesaikan perkaranya di PA. Adanya pengaruh
Politik dan penguasa pada masa tertentu. Perkembangan Hukum Islam yang mampu
menjawab tuntutan Zaman.
14