Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
i
TIM PENYUSUN LAPORAN
1. Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc
2. Drs. Oktorialdi, MA, Ph.D
3. Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
4. Ir. Rinella Tambunan, MPA
5. Ir. Nana Apriyana, MT
6. Mia Amalia, ST, M.Si, Ph.D
7. Santi Yulianti, S.IP, MM
8. Hernydawaty, SE, ME
9. Aswicaksana, ST, MT, M.Sc
10. Raffli Noor, S.Si
11. Elmy Yasinta Ciptadi, ST, MT
12. Idham Khalik, SP, M.Si
13. Lily Widayati, SH, MPA
14. Mega Sesotyaningtyas, ST, MT
15. Raditya Pranadi, S.Si
16. Sylvia Krisnawati
17. Cecep Saryanto
18. Ujang Supriatna
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas perkenan-Nyalah pelaksanaan KAJIAN PERSIAPAN
PERUBAHAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH PUBLIKASI POSITIF DI INDONESIA selesai
dilaksanakan dengan baik. Kajian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan penyusunan
perencanaan pembangunan nasional bidang pertanahan.
Salah satu arah kebijakan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pertanahan adalah Membangun Sistem Pendaftaran
Tanah Publikasi Positif. Kebijakan ini terkait dengan isu strategis Jaminan Kepastian Hukum
Hak Masyarakat Atas Tanah. Sebagaimana diketahui bahwa sampai saat ini masih marak
terjadinya kasus pertanahan baik antar-masyarakat, antara masyarakat dengan badan
hukum, masyarakat dengan badan pemerintah, dan sebagainya. Salah satu akar
permasalahan terjadinya kasus-kasus pertanahan tersebut adalah sistem pendaftaran tanah
yang dianut Indonesia saat ini adalah publikasi negatif, yang berarti negara tidak menjamin
kebenaran informasi yang tertuang di dalam sertifikat hak atas tanah. Informasi yang ada
dianggap benar selama tidak ada pihak lain yang mengguatnya. Selain itu, sistem
pendaftaran tanah publikasi negatif memberikan implikasi, seperti terganggunya stabilitas
keamanan nasional, termasuk mengancam integritas NKRI karena tingginya potensi konflik
antar masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah; dan penurunan
kesejahteraan masyarakat karena terhambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi publikasi
positif (stelsel positif) yang secara prinsip merupakan kebalikan dari publikasi negatif. Pada
sistem pendaftaran tanah publikasi positif, negara menjamin kebenaran informasi yang
terdapat pada sertifikat hak atas tanah dan mengganti kerugian salah satu pihak apabila
terjadi kasus pertanahan. Hal ini akan lebih memberikan jaminan kepastian hukum atas
tanah. Namun demikian, perubahan sistem pendaftaran tanah menjadi publikasi positif
memerlukan beberapa prasyarat, antara lain cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan
bidang tanah bersertifikat sudah mencapai 80%. Untuk mengetahui capaian tersebut, maka
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian PPN/Bappenas pada tahun anggaran
2016 melakukan KAJIAN PERSIAPAN PERUBAHAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH PUBLIKASI
POSITIF DI INDONESIA. Secara umum, kajian ini bertujuan untuk mengetahui status kesiapan
Indonesia dalam upaya merubah sistem pendaftaran tanah publikasi negatif menjadi
publikasi positif.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
iv
Pelaksanaan kajian ini didukung dan dibantu oleh berbagai pihak terkait. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasama berbagai pihak, antara lain Kanwil
BPN dan Bappeda Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan
Selatan, dan Nusa Tenggara Barat yang sudah membantu pelaksanaan kajian ini. Mudah-
mudahan hasil ini dapat memberikan manfaat yang lebih baik.
Jakarta, Desember 2016
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Uke Mohammad Hussein, S.Si, MPP
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
v
DAFTAR ISI
Tim Penyusun Laporan ............................................................................................................i
Kata Pengantar ...................................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................................. v
Daftar Gambar ..................................................................................................................... vii
Daftar Tabel ........................................................................................................................ viii
BAB I Pendahuluan ........................................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang Kajian .................................................................................... 1
I.2 Tujuan dan Sasaran Kajian ............................................................................ 2
I.3 Lingkup dan Batasan Kajian ........................................................................... 3
I.4 Metodologi Kajian dan Analisis Data............................................................. 3
II.2.1 Proses Pengumpulan Data ................................................................ 3
II.2.2 Metode Analisis Data ........................................................................ 5
I.5 Sistematika Penulisan Kajian ......................................................................... 5
BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 7
II.1 Tanah, Kasus-kasus Pertanahan, dan Faktor Pemicu Sengketa
Pertanahan .................................................................................................... 7
II.2 Pendaftaran Tanah dan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah ......... 10
II.2.1 Pendaftaran Tanah .......................................................................... 10
II.2.2 Sistem Publikasi Dalam Sistem Pendaftaran Tanah ........................ 12
II.2.3 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Negara Lain ............... 14
II.3 Hukum Indefeasible, serta Kasus Penipuan Terkait Pertanahan dan
Penyelesaiannya .......................................................................................... 18
II.4 Upaya Negara Lain Dalam Persiapan Perubahan Sistem Publikasi Positif .. 21
BAB III Gambaran Umum Lokasi Kajian ............................................................................ 25
III.1 Gambaran Umum Provinsi Kajian ............................................................... 27
III.2 Kasus-kasus Pertanahan di Provinsi Kajian ................................................. 31
BAB IV Analisis Capaian Peta Dasar Pertanahan dan Peta Bidang Tanah
Bersertifikat ......................................................................................................... 33
IV.1 Peta Dasar Pertanahan ................................................................................ 33
IV.1.1 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional ...................................... 34
IV.1.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian ........................ 36
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
vi
IV.2 Peta Bidang Tanah Bersertifikat .................................................................. 39
IV.2.1 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat Seluruh Provinsi ............ 40
IV.2.2 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Provinsi Kajian........... 42
IV.3 Faktor-faktor Penghambat Pencapaian Cakupan Peta ............................... 45
IV.4 Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan ................................................. 46
IV.5 Upaya Percepatan Pencapaian Cakupan Peta ............................................ 48
BAB V Analisis Perubahan Peraturan Hukum Terkait Pendaftaran Tanah ...................... 53
BAB VI Kesimpulan dan Rekomendasi .............................................................................. 91
VI.1 Kesimpulan .................................................................................................. 91
VI.2 Rekomendasi ............................................................................................... 93
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 95
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Peta Provinsi-provinsi Kajian....................................................................... 4
Gambar II.1 Peta Kadastral Digital Austria ................................................................... 18
Gambar II.2 Contoh Peta yang di ekstrak dari Peta Kadastral Digital Austria .............. 18
Gambar III.1 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016 ................... 28
Gambar III.2 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016................. 29
Gambar III.3 Penggunaan Lahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2016 ........... 29
Gambar III.4 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016 ...... 30
Gambar III.5 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2016 ............. 30
Gambar IV.1 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional hingga Juni 2016 ................... 36
Gambar IV.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian, 2016 ........................ 37
Gambar IV.3 Capaian Peta Dasar Pertanahan di Indonesia (atas) dan
Provinsi Kajian (bawah) ............................................................................. 38
Gambar IV.4 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi
di Indonesia hingga Juni 2016 ................................................................... 42
Gambar IV.5 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat Terdigitasi di
Provinsi Kajian, 2016 ................................................................................. 44
Gambar IV.6 Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Indonesia dan
Provinsi Kajian ........................................................................................... 45
Gambar IV.7 Proporsi Jumlah Pegawai Juru Ukur dan Pegawai Non Juru Ukur
Masing-masing Provinsi Kajian ................................................................. 48
Gambar IV.8 Upaya Percepatan Capaian Peta yang Paling Banyak di Pilih ................... 48
Gambar V.1 Contoh Peta Dasar Pendaftaran Tanah Digital ......................................... 54
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
viii
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perbandingan Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sistematik
dan Secara Sporadik .................................................................................... 11
Tabel II.2 Perbandingan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah ........................ 13
Tabel III.1 Luas Kawasan Hutan dan Budidaya di Indonesia Tahun 2013 .................... 26
Tabel III.2 Kondisi Umum Provinsi Kajian ..................................................................... 27
Tabel III.3 Jumlah Kasus Pertanahan di Provinsi Kajian ............................................... 31
Tabel IV.1 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional yang Terdigitasi
hingga Juni 2016 .......................................................................................... 34
Tabel IV.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian .................................... 36
Tabel IV.3 Perbedaan Data Capaian Peta Dasar Pertanahan antara ........................... 37
Tabel IV.4 Capaian Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi
hingga Juni 2016 .......................................................................................... 40
Tabel IV.5 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Provinsi Kajian ...................... 43
Tabel IV.6 Perbedaan Data Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat antara ............. 44
Tabel IV.7 Faktor-faktor Penghambat Capaian Peta Dasar Pertanahan dan ............... 46
Tabel IV.8 Jumlah Pegawai Juru Ukur Pertanahan Masing-masing Provinsi
Kajian Tahun 2016 ....................................................................................... 47
Tabel V.1 Identifikasi Peraturan Perundang-undangan yang Perlu Di Ubah atau
Ditambahkan ............................................................................................... 56
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kajian
Akhir-akhir ini, konflik agraria di Indonesia nampaknya semakin meningkat. Akumulasi
permasalahan pertanahan yang masuk ke Mahkamah Agung diperkirakan berkisar antara
60% hingga 70% setiap tahun dan belum terhitung kasus yang selesai ketika diputus pada
tingkat pertama maupun pada tingkat banding (Abdurrahman, 2009). Data Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (2014) mencatat terdapat 5.878 kasus
pertanahan yang masuk ke BPN-RI tahun 2014. Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus yang
belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus baru di tahun 2014
sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, sebanyak 2.910 kasus (57,92%) sudah
terselesaikan dan masih ada sisa kasus sebanyak 2.968 kasus belum terselesaikan (Laporan
Kinerja BPN, 2014).
Banyaknya terjadi konflik agraria ini telah menunjukkan bahwa administrasi pertanahan
Indonesia membutuhkan perbaikan agar dapat memberikan kepastian hukum hak atas
tanah. Salah satu akar permasalahan konflik agraria disebabkan oleh sistem pendaftaran
tanah yang digunakan di Indonesia berupa sistem publikasi negatif yang bertendensi positif.
Dalam sistem pendaftaran negatif (stelsel negatif) bertendensi positif, pemerintah tidak
memberikan jaminan atas kepastian hukum terhadap pemegang bukti sah (sertifikat).
Pemerintah juga tidak bertanggung jawab atas data dan informasi yang ada di dalam
sertifikat hak atas tanah. Data dan informasi dianggap benar sepanjang tidak ada pihak lain
yang menggugat. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya berbagai masalah, seperti
timbulnya konflik dan sengketa lahan antar berbagai pihak di beberapa wilayah di Indonesia.
Sistem pendaftaran tanah yang dianut Indonesia ini tertuang dalam beberapa peraturan
perundang-undangan terkait pendaftaran tanah, seperti Keputusan Mahkamah Agung No
495/Sip/1975; Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan UU
No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA).
Di samping itu, penggunaan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif dapat memberikan
implikasi yang buruk terhadap pembangunan nasional, antara lain:
1. Registering property Indonesia menjadi rendah akibat tingginya biaya pengurusan dan
kualitas administrasi pertanahan yang masih rendah.
2. Potensi konflik antar-masyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah dapat
mengganggu stabilitas keamanan nasional, termasuk mengancam integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pertumbuhan ekonomi nasional terhambat yang berujung pada menurunnya
kesejahteraan masyarakat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
2
Berdasarkan realita di atas, Pemerintah Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah memutuskan untuk merubah sistem
pendaftaran tanah di Indonesia, dari sistem pendaftaran tanah publikasi negatif menjadi
sistem publikasi positif. Sistem pendaftaran tanah publikasi positif diyakini dapat
memberikan kepastian hukum hak atas tanah secara absolut. Pemerintah juga menjamin
kebenaran semua informasi yang tertulis dalam sertifikat hak atas tanah. Apabila terjadi
kesalahan administrasi oleh pemerintah (misalnya sertifikat ganda), pemerintah akan
memberikan dana kompensasi atau ganti kerugian atas kesalahan administrasi tersebut.
Penggunaan sistem ini juga diharapkan dapat mengurangi permasalahan terkait pertanahan
serta mendorong terciptanya iklim investasi dan iklim ekonomi yang kondusif yang dapat
memberikan peningkatan daya saing perekonomian nasional didunia.
Dalam upaya melakukan kebijakan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif
terdapat empat kondisi prasyarat (pre-requisite condition) yang harus dipenuhi untuk
mengurangi potensi konflik seminimal mungkin, antara lain: (i) percepatan cakupan wilayah
bersertifikat; (ii) percepatan penyediaan cakupan peta dasar pertanahan; (iii) publikasi tata
batas kawasan hutan dengan peta skala kadastral; dan (iv) sosialisasi peraturan
perundangan terkait tanah adat/tanah ulayat. Untuk cakupan peta dasar pertanahan dan
cakupan peta bidang tanah bersertifikat, RPJMN 2015-2019 menetapkan bahwa cakupan
peta dasar pertanahan harus dapat mencapai 80% dan cakupan wilayah nasional yang telah
bersertifikat harus dapat mencapai 70% dari wilayah nasional daratan non hutan. Besarnya
persentase tersebut diyakini dapat mengurangi terjadinya sertifikat sah ganda, sehingga
apabila masih terjadi kesalahan dalam register, resiko beban keuangan negara untuk
memberikan ganti rugi masih dapat dikelola dengan baik.
Akan tetapi, data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN mencatat bahwa capaian kedua
peta tersebut hingga tahun 2015 masih kurang dari 50%. Oleh sebab kondisi demikian,
kajian ini akan menguraikan tentang hasil identifikasi dan analisis capaian peta dasar
pertanahan dan peta bidang tanah bersertfikat yang terdigitasi hingga tahun 2016, serta
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan terkait pertanahan yang harus direvisi
guna mendukung upaya perubahan sistem publikasi negatif menjadi sistem publikasi positif
dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia.
I.2 Tujuan dan Sasaran Kajian
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui status kesiapan Indonesia dalam upaya merubah
sistem pendaftaran tanah publikasi negatif menjadi publikasi positif. Sasaran kajian ini
antara lain:
Identifikasi peraturan perundang-undangan yang harus direvisi untuk membangun sistem
pendaftaran tanah publikasi positif.
Identifikasi capaian cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah bidang tanah
bersertifikat masing-masing provinsi.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
3
Analisa kemungkinan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif dapat
dilakukan secara parsial di beberapa provinsi tertentu yang telah memenuhi prasyarat
atau harus menunggu seluruh provinsi mencapai kondisi prasyarat.
I.3 Lingkup dan Batasan Kajian
Lingkup dan batasan kajian persiapan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif
di Indonesia meliputi:
a. Melakukan kajian literatur mengenai sistem pendaftaran tanah publikasi positif, yang
meliputi konsep dasar sistem pendaftaran tanah publikasi positif dan studi-studi terkait
penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi positif di beberapa negara;
b. Melakukan identifikasi capaian cakupan peta dasar pertanahan dan cakupan wilayah
bidang tanah bersertipikat masing-masing provinsi;
c. Melakukan penjaringan masukan melalui serangkaian kegiatan, yaitu dengan format FGD
di 5 (lima) provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi
Nusa Tenggara Barat, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Selatan, dan
dengan format seminar di Jakarta;
d. Melakukan analisa kemungkinan perubahan sistem pendaftaran tanah dapat dilakukan
secara parsial di beberapa provinsi tertentu yang telah memenuhi persyaratan atau harus
menunggu seluruh provinsi telah mencapai kondisi prasyarat tersebut.
I.4 Metodologi Kajian dan Analisis Data
Penentuan status kesiapan Indonesia dalam upaya perubahan sistem pendaftaran tanah
publikasi negatif menjadi publikasi positif menggunakan metode kualitatif. Hal-hal yang
dilakukan antara lain: (1) identifikasi cakupan peta dasar pertanahan; (2) identifikasi
cakupan peta wilayah bidang tanah bersertifikat; (3) analisis faktor-faktor penghambat
dalam pencapaian cakupan peta-peta tersebut; (4) identifikasi peraturan perundangan yang
harus direvisi dan diubah untuk membangun sistem pendaftaran tanah publikasi positif; dan
(5) analisis kemungkinan perubahan sistem pendaftaran tanah dapat dilakukan secara
parsial di beberapa provinsi tertentu yang telah memenuhi prasyarat atau menunggu
seluruh provinsi telah mencapai prasyarat tersebut
II.2.1 Proses Pengumpulan Data
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu teknik pengumpulan data
primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui kuesioner
dan wawancara. Sementara, teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi
pustaka.
Kuesioner dan wawancara dilakukan untuk mengambil data dan informasi tentang
variabel-variabel yang tidak dapat diamati secara langsung, sehingga perlu menanyakan
kepada pihak-pihak terkait. Jenis kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data dan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
4
informasi adalah collective questionnaire. Data yang diperlukan antara lain luas kawasan
hutan dan budidaya, cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat,
kasus-kasus pertanahan, faktor-faktor penghambat pencapaian cakupan peta, upaya-
upaya perbaikan dan percepatan dalam penyediaan data dan informasi spasial
pertanahan, serta rencana tindak lanjut penanganan kasus-kasus pertanahan.
Studi pustaka dilakukan dengan cara menggali informasi tentang studi-studi terkait
sistem pendaftaran tanah publikasi positif, baik dari buku maupun jurnal.
b. Teknik Pengambilan Sampel dan Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel (teknik sampling) yang digunakan dalam kajian ini adalah
purposive sampling. Teknik sampling ini didasarkan pada pertimbangan peneliti dalam
memilih provinsi yang memiliki data dan informasi kondisi peta dasar pertanahan maupun
peta wilayah bidang tanah bersertifikatnya sesuai dengan tujuan penelitian. Jenis sampling
ini dapat membangun sebuah realitas historis, menggambarkan suatu fenomena, atau
membangun sesuatu yang hanya sedikit orang yang mengetahui (Kumar, 2005).
Sementara itu, sampel kajian ini adalah Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara (Gambar I.1). Kriteria pemilihan
provinsi-provinsi ini didasarkan pada data-data yang mewakili kondisi cakupan peta dasar
pertanahan maupun peta wilayah bidang tanah bersertifikat dari yang cukup baik hingga
cukup buruk di Indonesia. Kelima provinsi ini diharapkan dapat mewakili gambaran status
kesiapan Indonesia dalam kemungkinan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi
positif dapat dilakukan secara parsial di beberapa provinsi yang telah memenuhi prasyarat
atau menunggu seluruh provinsi telah mencapai prasyarat.
Gambar I.1 Peta Provinsi-provinsi Kajian
Sumber: Modifikasi Peta Indonesia dari Badan Informasi Geospasial, 2013
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
5
II.2.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan suatu cara untuk menjawab tujuan kajian. Dalam kajian ini,
penentuan kemungkinan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif dapat
dilakukan secara parsial di beberapa provinsi yang telah memenuhi prasyarat atau harus
menunggu seluruh provinsi telah mencapai prasyarat didasarkan pada hipotesa berikut.
1. Apabila prasyarat cakupan peta telah terpenuhi oleh seluruh provinsi dan peraturan
perundang-undangan tentang pendaftaran tanah yang baru telah siap, maka sistem
pendaftaran tanah publikasi positif dapat direalisasikan secara serentak.
2. Apabila prasyarat cakupan peta baru terpenuhi oleh sebagian provinsi, tetapi peraturan
perundang-undangan tentang pendaftaran tanah yang baru sudah siap, maka sistem
pendaftaran tanah publikasi positif hanya dapat direalisasikan secara parsial.
3. Apabila prasyarat cakupan peta telah terpenuhi oleh seluruh provinsi, tetapi peraturan
perundang-undangan tentang pendaftaran tanah yang baru belum siap, maka sistem
pendaftaran tanah publikasi positif belum dapat direalisasikan.
4. Apabila prasyarat cakupan peta belum terpenuhi oleh seluruh provinsi dan peraturan
perundang-undangan tentang pendaftaran tanah yang baru belum siap, maka sistem
pendaftaran tanah publikasi positif belum dapat direalisasikan.
I.5 Sistematika Penulisan Kajian
Secara garis besar, sistematika penulisan kajian ini terdiri dari 6 (enam) bab. Bab 1 berisi
latar belakang kajian, tujuan dan sasaran kajian, lingkup dan batasan kajian, justifikasi
pemilihan lokasi kajian, serta metodologi penelitian. Bab 2 memaparkan kajian pustaka
mengenai sistem pendaftaran tanah, jenis publikasi dalam pendaftaran tanah, dan lesson
learn dari beberapa negara yang telah menerapkan sistem pendaftaran tanah publikasi
positif. Bab 3 menyajikan deskripsi gambaran lokasi kajian secara umum. Bab 4
menguraikan hasil analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah
bersertifikat, faktor-faktor penghambat capaian peta, sumber daya manusia bidang
pertanahan, serta upaya perbaikan kondisi pertanahan. Bab 5 berisi tentang analisis
perubahan peraturan perundang-undangan terkait pertanahan di Indonesia. Sementara,
bab 6 berisi kesimpulan dan rekomendasi kajian.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tanah, Kasus-kasus Pertanahan, dan Faktor Pemicu Sengketa Pertanahan
Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanah adalah harta atau
properti yang tidak bergerak, sehingga secara fisik tidak dapat dipindahkan dari satu orang
ke orang lain. Tanah bersifat permanen, yaitu tidak dapat semakin naik, semakin turun, atau
hancur seperti properti lainnya (Hanstad, 1998), sehingga dapat dicatat atau direkam
sampai kapanpun. Tanah dapat menjadi rumah, sumber pendapatan, tempat untuk
berbisnis, akses ke lahan lain, keamanan pinjaman, dan sebagainya (Land Registration Act
2002; Zevenbergen, 2002). Di samping itu, tanah juga memiliki makna yang multidimensi,
baik dari sisi ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya (Adhie dan Menggala, 2002;
Zevenbergen, 2002). Dari sisi ekonomi, tanah didefinisikan sebagai sarana produksi yang
dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industri, pertanian komersial). Dari sisi politik,
tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan bagi masyarakat.
Dari sisi sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya,
jaminan sosial penduduk, tempat untuk hidup. Sementara itu, dari sisi hukum, tanah
merupakan dasar kekuatan untuk yurisdiksi.
Namun demikian, berbagai aspek penting tanah dalam kehidupan manusia seringkali
menyebabkan timbulnya konflik kecenderungan orang untuk mempertahankan tanahnya
dengan cara apapun apabila melanggar hak-haknya. Konflik pertanahan ini juga sering
menimbulkan tindak kekerasan. Pada dasarnya, akar permasalahan munculnya kasus
pertanahan ini adalah disebabkan oleh belum baiknya sistem administrasi pertanahan dan
kendala dalam peraturan mengenai kerangka waktu dalam pelaksanaannya. Bahkan, saat
ini, masalah pertanahan di Indonesia dianggap sebagai persoalan yang tidak dapat
diselesaikan menggunakan pendekatan hukum saja, tetapi juga menggunakan pendekatan
holistik (komprehensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi, dan ekologi.
II.1.1 Kasus-kasus Pertanahan
Secara umum, permasalahan atau kasus pertanahan dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu sengketa pertanahan, konflik pertanahan, dan perkara pertanahan yang
membutuhkan penanganan atau penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan pertanahan nasional (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan
Kasus Pertanahan). Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.
Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, serta sengketa
pidana terkait kepemilikan transaksi, pendaftaran penjaminan, pemanfaatan, penguasaan,
dan sengketa hak ulayat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
8
Konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok,
golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang telah berdampak luas secara sosio-
politis. Sementara, perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang
masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI (http://www.bpn.go.id. Diakses
pada Juli 2016). Pada tahun 2014, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional mencatat
bahwa terdapat 11.736 kasus pertanahan yang masuk ke BPN-RI sejak tahun 2010 hingga
2014. Sementara, jumlah kasus pertanahan yang masuk ke BPN-RI tahun 2014 adalah
sebanyak 5.878 kasus. Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus yang belum terselesaikan di
tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari
5.878 kasus tersebut, jumlah kasus yang telah selesai hingga akhir tahun 2014 sebanyak
2.910 kasus (57,92%) (Laporan Kinerja BPN, 2014).
RPJMN 2015 – 2019 menyebutkan bahwa permasalahan dan isu strategis bidang
pertanahan di Indonesia disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Permasalahan
utama ini ditunjukkan dengan kondisi cakupan peta dasar pertanahan, jumlah bidang
tanah bersertifikat, kepastian batas kawasan hutan dan non-hutan, tingkat penyelesaian
kasus pertanahan, dan penetapan batas tanah adat/ulayat yang masih rendah.
2. Masih terjadinya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan
tanah (P4T), serta kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.
3. Kinerja pelayanaan pertanahan yang belum optimal. Kondisi ini disebabkan oleh
kurangnya jumlah pegawai juru ukur pertanahan sehingga menghambat kinerja
pelayanan pertanahan.
4. Belum terjaminnya ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
a. Klasifikasi Kasus Pertanahan
Kasus pertanahan di Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan obyek dan subyeknya.
Berdasarkan obyeknya, kasus-kasus pertanahan tersebut dikelompokkan menjadi tujuh,
yaitu (1) pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati oleh
Hak Guna Usaha (HGU), baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir; (2) sengketa
kawasan hutan; (3) sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambahan; (4) tumpang
tindih atau sengketa batas, tanah bekas milik adat (girik), dan tanah bekas eigendom.
Eigendom adalah suatu institusi tanah milik golongan Eropa maupun golongan Timur Asing
pada masa pemerintahan Hindia Belanda; (5) tukar-menukar tanah bengkok desa/tanah kas
desa menjadi aset Pemerintah Daerah; (6) tanah eks partikelir; dan (7) putusan pengadilan
yang tidak dapat diterima dan dijalankan (Bappenas, 2013). Sementara itu, berdasarkan
subyeknya, kasus-kasus pertanahan terbagi menjadi kasus pertanahan antar-instansi
pemerintah, pemerintah dengan masyarakat, dan antar anggota masyarakat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
9
1) Kasus Pertanahan antar Instansi Pemerintah
Kasus pertanahan antar-instansi pemerintah (baik antar-instansi pemerintahan pusat
maupun antar-wilayah kabupaten/kota) cenderung terkait dengan kewenangan dalam
pengaturan wilayah secara sektoral terhadap hamparan fisik tanah. Kasus pertanahan antar-
instansi pemerintah terbagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut.
Kasus Pertanahan antar Instansi Pemerintah Pusat Kasus pertanahan antar-instansi pemerintah pusat terkait dengan kewenangan
kementerian/lembaga dalam mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah secara
sektoral. Misalnya antara kementerian kehutanan dan pertambangan, kehutanan dan BPN,
pertambangan dan kehutanan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan dan BPN,
pertambangan dan kementerian lingkungan.
Kasus Pertanahan antar Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat Kasus pertanahan antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat ataupun kementerian
berkenaan dengan kewenangan atas wilayah, misalnya antara kementerian kehutanan dan
pemerintah kabupaten/kota terkait dengan kawasan hutan.
Kasus Pertanahan antar Daerah – Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota Kasus pertanahan antar-pemerintah daerah biasanya terjadi antar-wilayah kabupaten/kota
berkenaan dengan batas wilayah. Batas wilayah yang berupa unsur geografis, seperti sungai,
berpotensi memunculkan konflik batas wilayah. Beberapa kasus yang pernah muncul
berkaitan dengan batas wilayah ini adalah konflik antara Kabupaten Ciamis dan Cilacap serta
Kabupaten Pasuruan dan Sidoarjo.
2) Kasus Pertanahan antar Masyarakat dan Pemerintah
Masyarakat yang dimaksudkan di sini dapat berupa orang per orang ataupun badan hukum,
baik badan hukum profit maupun non-profit. Pengelompokan ini untuk menghilangkan
dikotomi antara masyarakat dan swasta yang selama ini mendapatkan perlakuan berbeda.
Kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat dan instansi pemerintah terbagi menjadi tiga
tipologi, yaitu a). Kasus antara masyarakat (kolektif) dan instansi pemerintah; b). Kasus
antara masyarakat (perorangan) dan instansi pemerintah; dan c). Kasus antara badan
hukum dan instansi pemerintah.
3) Kasus Pertanahan antar Masyarakat
Kasus pertanahan antar-masyarakat menempati porsi terbesar pada klasifikasi kasus
pertanahan, yaitu 71,45% (White Paper Kementerian PPN/Bappenas, 2013). Kondisi ini
mengindikasikan bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat dan ketergantungan hidup
masyarakat terhadap tanah masih sangat tinggi. Di samping itu, kepastian hukum hak atas
tanah juga masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. Oleh sebab
itu, diperlukan berbagai strategi pengelolaan pertanahan yang berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui keadilan penguasaan dan pemilikan tanah
serta pemberian kepastian hukum hak atas tanah secara kuat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
10
II.2 Pendaftaran Tanah dan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah
II.2.1 Pendaftaran Tanah
Dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pertanahan di Indonesia, maka hal utama yang harus
dilakukan adalah perbaikan kualitas peta pendaftaran tanah agar dapat memberikan
jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Pendaftaran tanah berasal dari istilah
Cadastre (bahasa Perancis), yaitu suatu daftar yang menggambarkan seluruh persil tanah
dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat (Abdurrahman,
1985). Istilah Cadastre di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kadaster yang
sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu Capistrastrum. Namun, istilah Capistrastrum ini
kemudian dalam bahasa Perancis berubah menjadi Cadastre, yang berarti suatu register
atau capita atau unit yang diadakan untuk kepentingan pajak tanah Romawi (Parlindungan,
1990). Pendaftaran tanah juga dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan hak
kepemilikan atau penggunaan tanah secara legal (McLaughlin dan Nichols, 1989 dalam
Zevenbergen, 2002).
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
mendefinisikan bahwa pendaftaran tanah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan
data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang
tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, luas bidang tanah,
dan satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan
atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum
bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar serta pemegang haknya, hak pihak lain,
dan beban-beban lain yang membebaninya.
Pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk mencatatkan identitas tanah yang telah dimiliki
seseorang atau suatu badan dengan hak tertentu ke Kantor Pertanahan Kebupaten/Kota
tempat tanah tersebut berada, kemudian pemegang hak atas tanah tersebut diberikan
sertifikat hak atas tanah (Perangin, 1994; Indiraharti, 2009). Identitas tanah berisi
keterangan-keterangan mengenai sebidang tanah, sehingga bidang tanah tersebut dapat
dengan jelas diketahui haknya, luasnya, batas-batasnya, keadaannya, letaknya, pemiliknya,
dan ciri-ciri khas lainnya (Ballantyne dan Dobbin, 2000).
a. Pendaftaran Tanah Pertama Kali
Dalam upaya pelaksanaan pendaftaran tanah perlu dilakukan kegiatan ajudikasi, yaitu
kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali.
Kegiatan ajudikasi meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
11
yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilaksanakan secara
sistematik atau sporadik (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua obyek pendaftaran yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa / kelurahan.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa / kelurahan secara individual atau massal.
Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dengan sporadik dapat di lihat pada
Tabel II.1 berikut.
Tabel II.1 Perbandingan Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sistematik dan Secara Sporadik
Perbedaan Pendaftaran Tanah Secara
Sistematik Pendaftaran Tanah Secara
Sporadik
Pelaksanaan Serentak Individu atau massal Sumber Biaya Dibiayai oleh pemerintah Biaya pribadi
Jangka Waktu Perolehan Data
Lebih cepat mendapatkan data tentang bidang-bidang tanah yang akan di daftar
Lebih lama mendapatkan data tentang bidang-bidang tanah yang akan di daftar
Jangka Waktu Persiapan dan Pelaksanaan
Lebih memerlukan waktu yang panjang dalam persiapan dan pelaksanaannya
Tidak memerlukan waktu yang panjang dalam persiapan dan pelaksanaannya
Jumlah Objek yang Didaftarkan
Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan
Pelaksanaan Dilaksanaan atas permintaan dari pemerintah
Dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan
Sumber: Dikembangkan dari PP 24/1997 dan Analisis Penulis, 2016
b. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
Pengumpulan dan pengolahan data fisik, dilakukan dengan dengan cara pengukuran dan
pemetaan yang meliputi penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan
pemetaan bidang-bidang tanah, pembuatan peta pendaftaran, serta pembuatan daftar
tanah dan surat ukur.
Pembuktian hak dan pembukuannya
Penerbitan sertifikat
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
12
Penyajian data fisik dan data yuridis, meliputi peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur,
buku tanah, dan daftar nama dengan cara pengisian, penyimpanan, pemeliharaan dan
penggantiannya ditetapkan oleh Menteri
Penyimpanan daftar umum dan dokumen
Sementara itu, kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran
perubahan dan pembebanan hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
lainnya. Hal-hal mengenai tata cara pendaftaran tanah seluruhnya telah dimuat dalam PP
24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
II.2.2 Sistem Publikasi Dalam Sistem Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah di setiap negara memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara
satu negara dengan negara yang lain. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah ada dua
jenis, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem
publikasi tersebut terletak pada jenis sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu
menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles), sedangkan sistem publikasi
negatif selalu menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;
Hanstad, 1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land Recordation”
yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang mempengaruhi hak atas tanah
(Hanstad, 1998).
a. Sistem Publikasi Negatif (Registration of Deeds)
Dalam sistem publikasi negatif pada sistem pendaftaran akta, Pejabat Pendaftaran Tanah
(PPT) tidak melakukan pengujian terhadap kebenaran data yang tercantum dalam akta
(pasif). Akta pada sistem pendaftaran tanah berfungsi sebagai alat bukti peristiwa atau
perbuatan hukum yang bersifat kuat. Setiap terjadi perubahan sertifikat tanah, maka wajib
dibuatkan akta baru dan data yuridis yang diperlukan harus dicari di dalam akta-akta yang
bersangkutan. Akan tetapi, untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan title search yang
dapat memakan waktu dan biaya karena menggunakan bantuan ahli. Selain itu, negara tidak
menjamin bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah benar,
selama tidak dibuktikan dengan alat bukti lain. Apabila data dalam sertifikat tidak benar,
baik kesalahan register ataupun penipuan, maka dapat dilakukan perubahan berdasarkan
keputusan pengadilan. Namun demikian, pada sistem publikasi negatif ini, negara tidak
memberikan kompensasi ganti rugi kepada pihak-pihak yang kehilangan hak atas tanahnya
akibat kesalahan register ataupun penipuan.
b. Sistem Publikasi Positif (Registration of Titles)
Sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanah (registration of titles) dikenal
sebagai Sistem Torrens (Carruthers, 2015). Sistem Torrens (The Real Property Art) berasal
dari Australia Selatan. Kata “Torrens” merujuk pada nama penemu sistem pendaftaran ini,
yaitu Robert Richard Torrens pada tahun 1858 (International Land System, 2009). Sistem
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
13
publikasi positif merupakan perbaikan atau penyempurnaan dari sistem pendaftaran
sebelumnya. Perbaikan kualitas sistem pendaftaran tanah ini ditunjukkan dengan adanya
kemudahan bagi para pemilik tanah untuk memperoleh data yuridis tanpa harus melakukan
title search pada akta-akta yang ada serta memberikan kepastian hukum pada tanah yang
didaftarkan (Xavier, 2011; Carruthers, 2015).
Sistem publikasi positif meliputi identifikasi satu atau banyak bidang tanah dan menentukan
siapa orang atau organisasi apa yang dapat memiliki hak atas sebidang tanah tersebut, yang
kemudian dicatat dalam register tanah. Sebelum melakukan pencatatan, Pejabat
Pendaftaran Tanah melakukan pengujian terhadap kebenaran data yang tercantum dalam
akta sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam Buku Tanah (bersifat aktif) serta
menyusun semua hal yang berkaitan dengan pencatatan hak tanah, seperti hak gadai,
easements, hipotek, sewa, dan perjanjian. Pecatatan kepemilikan atas tanah meliputi
pencatatan nomor seri, lokasi, dan batas-batas bidang tanah yang ditandai pada peta serta
nama pemiliknya (Dale, 1995).
Dalam sistem pendaftaran tanah publikasi positif terdapat penerbitan sertifikat hak atas
tanah (sertificate of title) yang digunakan sebagai alat bukti pemegang hak atas tanah yang
didaftarkan. Sertifikat tanah merupakan alat bukti pemegang hak atas tanah yang paling
lengkap dan tidak dapat diganggu gugat (indefeasible). Bahkan, negara menjamin bahwa
data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah benar. Dengan demikian,
apabila ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam pendaftarannya yang mengakibatkan
kerugian bagi pihak yang mungkin lebih berhak, maka negara memberikan jaminan dana
kompensasi (Hanstad, 1998; Zevenbergen, 2002). Jaminan keamanan bagi tanah yang
terdaftar ada tiga kriteria, yaitu (1) benda (property) atau tanah yang terdaftar (the property
register); (2) kepemilikan atau penguasaan (the proprietorship register); dan (3) jaminan
hak-hak yang ada (the charges register). Perbandingan antara sistem publikasi positif
dengan publikasi negatif dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.2 Perbandingan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah
Perbedaan Sistem Publikasi Negatif Sistem Publikasi Positif
Jenis sistem pendaftaran tanah
Akta (registration of deeds) Hak (registration of titles)
Sifat sertifikat dan buku tanah
Sebagai tanda bukti yang bersifat kuat
Sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak
Jaminan negara atas data fisik dan data yutridis
Negara tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam sertifikat adalah benar, selama tidak dibuktikan dengan alat bukti lain. Apabila data dalam sertifikat tidak
Negara menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam sertifikat adalah benar, tidak dapat diganggu gugat, serta memberikan kepercayaan yang
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
14
Perbedaan Sistem Publikasi Negatif Sistem Publikasi Positif
benar, maka dapat dilakukan perubahan berdasarkan keputusan pengadilan.
mutlak pada buku tanah
Kelebihan
Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkan sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat
Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum yang mutlak (indefeasible).
Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat tanah mendapatkan kompensasi dalam bentuk yang lain.
Kekurangan
Pejabat pendaftaran tanah bersifat pasif, karena tidak mendukung keakuratan dan kebenaran data dalam sertifikat
Mekanisme kerja pejabat pendaftaran tanah kurang transparan, sehingga kurang dapat dipahami oleh masyarakat awam.
Waktu sangat lama, karena pelaksanaan pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti;
Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya akan kehilangan hak
Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif karena penerbitan sertifikat tidak dapat diganggu gugat.
Sumber: Dikembangkan dari PP 24/1997; Effendy (1993); Dale (1995); Hanstad (1998);
Zevenbergen (2002); Suardi (2005); Xavier, 2011
II.2.3 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Negara Lain
Subbab ini akan menguraikan tentang perbedaan antara negara yang menggunakan sistem
pendaftaran tanah publikasi negatif dengan negara yang menggunakan sistem pendaftaran
tanah publikasi positif. Negara yang menjadi contoh penerapan sistem pendaftaran tanah
publikasi negatif adalah Indonesia, sedangkan negara yang menjadi contoh penerapan
sistem pendaftaran tanah publikasi positif adalah Australia, Malaysia, Hongkong, Kanada,
Inggris, Tanzania, dan Austria.
a. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia
Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menurut PP 24/1997 menggunakan sistem
pendaftaran tanah publikasi negatif bertendensi positif. Maksud dari sistem publikasi
negatif bertendensi positif adalah sistem pendaftaran tanah ini menggunakan sistem
pendaftaran hak (sistem Torrens / registration of titles), tetapi sistem publikasinya belum
dapat positif murni. Hal ini dikarenakan, data fisik dan data yuridis dalam sertifikat tanah
belum pasti benar, meskipun harus diterima oleh Pengadilan sebagai data yang benar
selama tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya (Indiraharti, 2009). Selain
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
15
itu, apabila suatu pihak mengalami kehilangan hak atas tanah akibat pengalihan hak atas
tanah oleh pihak lain secara ilegal atau kesalahan dalam register, maka pemerintah tidak
memberikan jaminan ganti rugi. Guna mengatasi kelemahan sistem publikasi dalam sistem
pendaftaran tanah tersebut, selama ini Indonesia menggunakan lembaga rechtsverwerking.
Penggunaan lembaga rechtsverwerking disebabkan oleh hukum tanah Indonesia masih
menggunakan dasar hukum adat dan tidak mengenal lembaga lain, seperti acquisideve
verjaring atau adverse possession. Dalam hukum adat, apabila seseorang selama sekian
waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan oleh orang
lain yang memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik, maka pemilik tanah
semula akan mengalami kehilangan hak atas tanahnya (UUPA).
b. Sistem Pendaftaran Tanah di Negara Lain
Kebalikan dari sistem pendaftaran tanah di Indonesia, sebagian besar negara-negara di
dunia telah menerapkan Sistem Torrens atau sistem publikasi positif sebagai sistem
pendaftaran tanahnya, terutama negara-negara maju. Beberapa contoh negara yang sudah
menerapkan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanahnya antara lain
Australia, Malaysia, Hongkong, Kanada, Inggris, Tanzania, dan Austria. Dalam menerapkan
sistem publikasi positif, negara-negara tersebut juga menerapkan konsep indefeasible dan
indemnity sebagai bentuk pemberian kompensasi ganti rugi atas kesalahan dalam sertifikasi
hak atas tanah.
Di Australia, sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem publikasi positif yang dikenal
dengan nama sistem Torrens, yang diatur dalam Land Titles Act 1925. Di Malaysia, sistem
pendaftaran tanah diatur di dalam National Land Code. Penerapan sistem publikasi positif
dalam sistem pendaftaran tanah telah diberlakukan sejak tahun 1965. Namun demikian, di
dalam penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, Malaysia juga menerapkan
prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum adat (Wu dan Kepli, 2011). Sementara itu, pada
tahun 2009, Hongkong merubah sistem publikasi negatif menjadi sistem publikasi positif
dalam sistem pendaftaran tanahnya. Untuk perlindungan hak atas tanahnya, Hongkong
menerapkan title insurance. Title insurance adalah sebuah asuransi hak yang berfungsi
untuk mengatasi atau mengurangi resiko atas kemungkinan kehilangan hak atas tanah
(Indiraharti, 2009).
Di Kanada, sistem pendaftaran tanahnya didasarkan pada Indian Land Register yang dibuat
dibawah Indian Act. Sistem pendaftaran tanah di Kanada menggabungkan sistem informal
dan hukum adat kepemilikan tanah. Sehingga, urusan penyelesaian sengketa tanah harus
sesuai dengan adat istiadat atau budaya setempat. Di samping itu, pencatatan pendaftaran
tanah di Kanada harus berisi tentang sertifikat kepemilikan tanah, surat keterangan
pekerjaan, dan transaksi-transaksi lainnya (Pasal 21, Indian Act). Saat ini, sistem pendaftaran
tanah di Kanada telah menggunakan sistem online yang disebut sebagai Indian Land Registry
System (ILRS). ILRS didirikan untuk memberikan sebuah kepercayaan bagi para pemegang
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
16
hak atas tanah di Canada (Minister of Aboriginal Affairs and Northern Development, 2013).
ILRS adalah panduan serangkaian prosedur interaksi yang dirancang untuk mengatur
pendaftaran hak atas tanah, klaim atas pendaftaran tanah, dan pemberitahuan klaim
kepentingan dalam tanah cadangan. ILRS adalah tempat penyimpanan dokumen, namun
tidak menjamin keakuratan dokumen hak atas tanah yang diajukan di dalamnya. ILRS
berbasis web dan seluruh dokumen pertanahan dapat dilihat secara online.
Di Inggris, hukum pertanahan menganut sistem Anglo-Saxon, yaitu suatu sistem hukum
yang didasarkan pada hukum yurisprudensi. Konsep yang berlaku di tanah Anglo Saxon
adalah feodal. Konsep feodal menetapkan bahwa semua tanah adalah milik raja dan tidak
ada orang lain yang memiliki tanah. Bagi mereka yang mendapatkan penguasaan tanah dari
raja diwajibkan membayar sebagian (seperdua atau sepertiga) dari hasil tanahnya kepada
raja, khususnya tanah-tanah pertanian. Pemilik hak atas tanah raja disebut sebagai penyewa
(Apriyana, 2016).
Penguasaan atas tanah atau pendaftaran hak atas tanah raja dilakukan oleh lembaga
pertanahan Land Registry. Land Registry merupakan lembaga pemerintah non-kementrian
yang dibentuk pada tahun 1862. Tugas Land Registry adalah mendaftarkan kepemilikan
(sertifikasi) atas tanah dan properti di Inggris dan Wales. Land Registry dipimpin oleh Chief
Executive dan Chief Land Registrar yang bertanggung jawab kepada Secretary of State for
Business Innovation and Skills (Menteri Inovasi dan Keahlian Bisnis).
Pegawai Land Registry berjumlah 4.357 orang (per 1 September 2015) yang terdiri dari
3.900 orang full-time dan 457 orang paruh waktu. Banyaknya jumlah pegawai pertanahan
ini menunjukkan bahwa terpenuhinya kepuasan pelanggan atas kualitas pelayanan hingga
mencapai 94% (tahun 2014/2015). Selain itu, sebagian besar pendaftaran tanah yang
diterima pada hari tersebut selesai dalam waktu 12 hari dan sebagian lainnya selesai pada
hari yang sama sejak diterimanya pendaftaran tersebut dengan kualitas yang cukup
memuaskan pelanggan.
Salah satu faktor penunjang pelaksanaan tugas land registry tersebut terletak pada
pelaksanaan survei dan pemetaan. Kebutuhan survei dan pemetaaan di Inggris dilaksanakan
secara profesional oleh Royal Institution of Chartered Surveyors (RICS). RICS merupakan
badan professional yang sudah diakui secara global. Cara kerja RICS didasarkan pada lima
prinsip profesionalisme, yaitu mematuhi standar dan persyaratan pendaftaran, menyambut
pengawasan eksternal, menempatkan kepentingan pelanggan di atas kepentingan pribadi,
patuh pada kode etik dan standar professional, serta komitmen untuk pembelajaran seumur
hidup dan kompetensi profesional. Bahkan saat ini, sistem pendaftaran, perubahan, dan
pengalihan hak atas tanah di Inggris juga telah dilakukan secara online menggunakan sistem
electronic conveyancing.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
17
Tanzania sebagai salah satu negara berbentuk republik di Afrika bagian timur juga telah
menggunakan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran
tanah di Tanzania tercantum dalam Land Registration Act (Cap 334). Land Registration Act
(Cap 334) berisi tentang prosedur-prosedur dan administrasi untuk pendaftaran tanah.
Salah satu pasal dalam Land Registration Act (Cap 334) adalah mengatur tentang tanah-
tanah yang dapat didaftarkan, yaitu:
a. Tanah milik pribadi, tanah sewa, atau tanah yang berdasarkan ketentuan undang-undang
dinyatakan sebagai freehold yang dapat dimiliki secara pribadi/perseorangan.
b. Tanah yang diperoleh sebelum 26 Januari 1923 (hari kemerdekaan). Tanah yang telah
digunakan dan dimanfaatkan sebelum 26 Januari 1923 dianggap sebagai tanah milik
pribadi dengan hak mutlak.
c. Hak milik atas tanah dan bangunan yang diwariskan dari pemerintahan Jerman.
d. Setiap tanah yang sebelumnya dimiliki secara mutlak dan secara sah telah diberikan,
dihibahkan, atau didedikasikan sebagai tanah wakaf di bawah hukum Islam dianggap
menjadi Hak Milik, meskipun mulanya berupa sumbangan atau hibah.
Selain negara-negara di atas, Austria sebagai salah satu negara berbentuk republik di Eropa
Tengah juga telah menerapkan sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah. Dalam
upaya menuju sistem pendaftaran tanah publikasi positif hingga menggunakan web-portal
sebagai e-geodata untuk sistem pendaftaran tanahnya, Austria menempuh waktu selama
191 tahun. Hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah Austria selama 191 tahun ini antara lain:
pengimplementasian “Stabile Cadastre” (1817-1861); pengenalan sistem pendaftaran tanah
(1871); penghubungan kadaster dengan pendaftaran tanah (1883); penetapan Surveying Act
(pembuatan peta dasar) (1969); pembuatan basis data perumahan (1985); pembuatan peta
pendaftaran tanah secara digital (1989-2003); pengenalan teknologi GIS untuk pembuatan
peta pertanahan (1996); dan pembuatan sistem pendaftaran tanah berbasis web, yaitu e-
geodata Austria yang dapat diakses melalui www.bev.gv.at (2008). Sistem pendaftaran
tanah di Austria ini sudah 100% berbentuk digital dan format GIS (Geographical Information
System). Contoh peta kadastral digital Austria dan gambaran peta pertanahan yang
diekstrak dari peta kadastral digital dapat di lihat pada Gambar II.1 dan Gambar II.2.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
18
Gambar II.1 Peta Kadastral Digital Austria Sumber: BEV – Federal Office of Metrology and Surveying, 2009
Gambar II.2 Contoh Peta yang di ekstrak dari Peta Kadastral Digital Austria Sumber: BEV – Federal Office of Metrology and Surveying, 2009
II.3 Hukum Indefeasible, serta Kasus Penipuan Terkait Pertanahan dan Penyelesaiannya
a. Hukum Indefeasible
Hukum “indefeasibile” merupakan pusat atau hal penting yang harus ada dalam sistem
pendaftaran publikasi positif. Hukum indefeasible didasari oleh tiga prinsip utama (Land
Registration Act 2002; Hamilton, 2013), yaitu:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
19
Prinsip pertama adalah “prinsip cermin (mirror principle)”. Prinsip ini mengharuskan
hasil pendaftaran tanah dapat mencerminkan fakta-fakta terkini dari hak kepemilikan
tanah secara akurat dan lengkap, baik pengalihan hak atas tanah, hipotek tanah, sewa
tanah, atau tanah hasil perjanjian. Seluruh infromasi tanah harus dimasukkan ke dalam
sertifikat tanah dan sistem online agar dapat dilihat oleh seluruh masyarakat.
Prinsip kedua adalah “prinsip tabir (curtain principle)”. Prinsip ini menyatakan bahwa
sebuah tabir digunakan pada register untuk memberikan kepercayaan kepada pembeli
(purchaser). Dalam hal ini pembeli tidak perlu menyelidiki atau mencari kembali sejarah
atau riwayat masa lalu kepemilikan tanah seperti yang telah tergambar pada register,
serta kepemilikan tanah tidak perlu dibuktikan dengan dokumen yang rumit dan panjang.
Prinsip ketiga adalah “prinsip asuransi (insurance principle)”. Prinsip ini menjelaskan
tentang penyediaan kompensasi atau jaminan pada sistem pendaftaran hak (publikasi
positif). Dalam hal ini, apabila register terbukti tidak benar mengenai tanah yang
didaftarkan, maka pemerintah harus memberikan kompensasi atau ganti rugi terhadap
para pendaftar tanah yang telah dirugikan.
Selain itu, dalam hukum “indefeasibile” pada sistem publikasi posittif, ada dua jenis jaminan
ganti rugi, yaitu immediate indefeasible dan deffered indefeasible. Immediate indefeasible
adalah pembuatan sistem kepemilikan tanah melalui registrasi atau pendaftaran hak atas
tanah yang dirancang untuk melindungi pihak yang tidak bersalah seperti pembeli tanah
maupun pemberi sewa. Dengan kata lain, konsep immediate indefeasible adalah melindungi
pihak yang memiliki hak atas tanah saat ini, meskipun proses kepemilikan atas tanah
diperantara oleh seorang penipu atau dilakukan dengan cara penipuan. Bagi pihak yang
dirugikan atas kehilangan tanahnya (pemilik asli), maka akan memperoleh jaminan ganti rugi
dari pemerintah (Land Registration Act 2002; Xavier, 2011; Hamilton, 2013).
Sementara itu, deffered indefeasible dicontohkan melalui kasus tiga pihak, yaitu pemilik asli
tanah, pemilik tanah kedua yang memeproleh tanah dari seorang penipu, dan pemilik ketiga
sebagai pihak yang memperoleh tanah dengan itikad baik tanpa mengetahui bahwa
peralihan tanah dari pemilik asli kepada pemilik kedua diperantara oleh seorang penipu
(pemilik tangguhan). Pada konsep ini, hukum pertanahan melindungi pemilik asli dan
pemilik ketiga. Perlindungan kepada pemilik asli terjadi ketika pemilik kedua yang
memperoleh tanah dari seorang penipu mendapatkan klaim dari pemilik asli, maka hukum
pertanahan akan memihak pada pemilik asli dan hak kepemilikan atas tanah akan kembali
kepada pemilik asli. Sedangkan, pemilik kedua mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Sementara, perlindungan kepada pemilik ketiga terjadi ketika pemilik ketiga memperoleh
tanah dari pemilik kedua (tanpa mengetahui bahwa pengalihan hak atas tanah dari pemilik
asli kepada pemilik kedua diprakarsai oleh penipu). Kemudian pemilik ketiga mendapatkan
klaim dari pemilik asli (pemilik pertama). Dalam hal ini, hukum pertanahan akan memihak
pada pemilik ketiga dan hak kepemilikan atas tanah tetap menjadi milik pemilik ketiga.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
20
Pemilik asli mendapatkan ganti rugi dari pemerintah, tetapi pemilik kedua tidak
mendapatkan jaminan ganti rugi. Kerugian yang diperoleh pemilik kedua ini karena pemilik
kedua seharusnya dapat melakukan investigasi transaksi terlebih dahulu terhadap tanah dan
dapat menghindari penipuan, sedangkan pemilik ketiga tidak dapat melakukan investigasi
transaksi (Land Registration Act 2002; Xavier, 2011; Hamilton, 2013).
b. Kasus-kasus Penipuan dan Penyelesaiannya
Berikut ini contoh-contoh kasus penipuan terkait pertanahan yang seringkali terjadi di
berbagai negara beserta cara penyelesaiannya berdasarkan hukum “indefeasible”.
Kasus I
Pihak A adalah pemilik tunggal dari suatu tanah. Kemudian, seorang penipu memalsukan
identitas A dan menjual tanah ini pada pihak B, lalu pihak B menjadi pemilik tanah. Dalam
kasus ini, pihak A maupun pihak B adalah korban yang tidak mengetahui adanya pemalsuan
dalam kegiatan jual beli tanah. Di samping itu, pihak B juga tidak melakukan pemeriksaan
kebenaran dokumen-dokumen atas tanah tersebut. Pada suatu saat, pihak A mengetahui
kasus ini dan menginginkan kepemilikan tanah ini kembali pada pihak A. Pertanyaan: Pihak
mana yang akan mendapatkan jaminan ganti rugi dan pihak mana yang akan memperoleh
hak kepemilikan atas tanah?
Kasus II
Pihak A adalah pemilik tunggal dari suatu tanah. Kemudian, seorang penipu memalsukan
identitas A dan menjual tanah ini pada pihak B, lalu pihak B menjadi pemilik tanah.
Selanjutnya, pihak B menjual atau menggadaikan tanah ini pada pihak C dan pihak C
menjadi pemilik tanah. Dalam kasus ini, pihak A, B, maupun pihak C adalah korban yang
tidak mengetahui adanya pemalsuan dalam kegiatan jual beli tanah. Di samping itu, pihak B
dan C juga tidak melakukan pemeriksaan kebenaran dokumen-dokumen atas tanah
tersebut. Pada suatu saat, pihak A mengetahui kasus ini dan menginginkan kepemilikan
tanah ini kembali pada pihak A. Pertanyaan: Pihak mana yang akan mendapatkan jaminan
ganti rugi dan pihak mana yang akan memperoleh hak kepemilikan atas tanah?
Penyelesaian Kasus Penipuan
Penyelesaian Kasus Penipuan di Indonesia (Sistem Publikasi Negatif) Dalam upaya penyelesaian kedua kasus terkait pertanahan di atas, pemerintah Indonesia
menggunakan jalur hukum/pengadilan atau melalui mediasi. Hal ini dikarenakan pemerintah
tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah
benar. Di samping itu, apabila ada pihak yang dirugikan atas hilangnya hak kepemilikan atas
tanah, maka pemerintah tidak dapat memberikan biaya ganti rugi kepada pihak tersebut.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
21
Penyelesaian Kasus Penipuan di Negara Lain (Sistem Publikasi Positif)
Sementara itu, bagi negara-negara yang menerapkan sistem publikasi positif dalam sistem
pendaftaran tanahnya, penyelesaian kedua kasus di atas diselesaikan menggunakan hukum
“indefeasibile”, baik immediate indefeasible atau deffered indefeasible.
Di Australia dan Inggris, penyelesaian kasus-kasus terkait pertanahan menggunakan
immediate indefeasible sebagai jaminan ganti rugi atas kasus-kasus penipuan, pemalsuan,
atau kesalahan dalam pencatatan oleh register. Pada kasus I dan kasus II, apabila pihak A
adalah pemilik lahan, kemudian pihak A menjual lahan tersebut kepada pihak B, maka pihak
B menjadi pemilik atas tanah tersebut (selama B tidak melakukan pelanggaran). Namun,
apabila ditemukan bahwa pengalihan hak atas tanah pihak A kepada pihak B telah
dipalsukan oleh pihak ketiga, maka pihak A tetap akan kehilangan tanahnya dan
mendapatkan ganti rugi dari registrar/pencatat. Hal ini juga berlaku pada pengalihan
kepemilikan tanah dari pihak A (pemilik asli) kepada pihak B melalui seorang penipu,
kemudian pihak B menjual tanah tersebut kepada pihak C. Dalam kasus II ini, apabila pihak C
mendapatkan klaim dari pemilik asli (A), maka pihak C akan mendapatkan perlindungan
hukum dari negara dan akan tetap memiliki hak atas tanah tersebut, sedangkan pemilik asli
(A) akan mendapatkan ganti rugi atas kehilangan tanahnya (Land Registration Act 2002 dan
Land Titles Act).
Namun, penyelesaian kasus-kasus terkait pertanahan di Kanada, Malaysia, dan Hongkong
menggunakan deffered indefeasible sebagai jaminan ganti rugi atas kasus-kasus penipuan,
pemalsuan, atau kesalahan dalam pencatatan oleh register (Xavier, 2011). Pada kasus I,
apabila pihak A adalah pemilik lahan, kemudian pihak A menjual lahan tersebut kepada
pihak B, maka pihak B menjadi pemilik atas tanah tersebut (selama B tidak melakukan
pelanggaran). Namun, apabila ditemukan bahwa pengalihan hak atas tanah pihak A kepada
pihak B telah dipalsukan oleh pihak ketiga, maka pihak B harus mengembalikan hak milik
atas tanah tersebut kepada pihak A, sedangkan pihak B akan mendapatkan jaminan ganti
rugi dari pemerintah. Akan tetapi, pada kasus II, apabila pengalihan kepemilikan tanah dari
A ke B tidak ditemukan masalah sampai pihak B menjual kembali tanah tersebut kepada
pihak C, maka pihak C akan tetap memiliki tanah tersebut (pihak yang tidak bersalah)
sedangkan pihak A mendapatkan ganti rugi atas kehilangan tanah.
II.4 Upaya Negara Lain Dalam Persiapan Perubahan Sistem Publikasi Positif
Sebagian besar ahli setuju bahwa berbagai jenis sistem pendaftaran tanah merupakan
elemen penting untuk perkembangan ekonomi pasar. Tanah adalah sumberdaya
fundamental yang paling efektif digunakan dan dipertukarkan saat hak atas tanah telah
teregister. Dalam upaya merancang sistem pendaftaran tanah yang baru, terdapat hal-hal
penting yang harus dilakukan guna memperoleh keberhasilan dalam penerapan sistem
pendaftaran tanah yang baru (Hanstad, 1998).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
22
Kondisi penting untuk memperoleh keberhasilan (Hanstad, 1998), antara lain:
Pemilik tanah dan orang lain harus secara umum memahami dan mendukung
pengenalan sistem pendaftaran tanah yang baru. Sebelum merancang sistem
pendaftaran tanah yang baru, masyarakat diharuskan untuk terlabih dahulu memperoleh
sosialisasi dari pemerintah. Pada sosialisasi ini masyarakat perlu mengetahui dan
memahami dengan baik sistem pendaftaran yang baru, baik keuntungan dan kelebihan
sistem maupun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam sistem pendaftaran yang
baru,.
Pemerintah harus memahami biaya pengeluaran dan durasi operasi yang dibutuhkan
pada sistem pendaftaran tanah yang baru. Pendaftaran tanah adalah sebuah investasi
jangka panjang. Untuk persiapan penerapan sistem pendaftaran tanah yang baru,
pemerintah akan membutuhkan jumlah anggaran yang cukup besar, sementara,
pemeliharaan terhadap pelaksanaan sistem pendaftaran tanah selanjutnya adalah
tanggungjawab permanen yang harus sangat diperhatikan. Oleh sebab itu, apabila sistem
pendaftaran tanah yang baru tidak dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan,
maka sistem pendaftaran tanah ini sebaiknya dihentikan karena akan membutuhkan
biaya yang semakin mahal.
Hak atas tanah dan batas-batas properti harus dapat dikenali dan didefinisikan dengan
jelas. Hak atas tanah yang ada pada pengguna tanah dan batas-batas kepemilikan tanah
mereka harus dapat dikenali/diketahui dan didefinisikan dengan jelas agar tidak
menimbulkan sengketa yang berkepanjangan. Penentuan batas-batas kepemilikan
properti dapat dilakukan dengan cara meletakkan pagar buatan, pagar dari tanaman,
tanggul, sungai, dan sebagainya, bahkan cara ini dapat mengurangi biaya.
Pelaksanaan survei tanah yang berkualitas dan jumlah pegawai juru ukur harus sesuai
dengan jumlah bidang tanah yang harus disertifikatkan. Kompilasi dan pemeliharaan
sistem pendaftaran tanah sangat bergantung pada jumlah ketersediaan pegawai juru
ukur tanah yang kompeten, profesional, dan berkualitas.
Harus tersedia sistem pembangunan hak atas tanah. Agar pendaftaran tanah dapat
berhasil dengan baik, maka diperlukan sistem kepemilikan hak atas tanah yang telah
dibangun dan dikembangkan. Sistem pendaftaran tanah meregister hak tanah secara
legal. Namun demikian, apabila hak-hak atas tanah tersebut masih bersifat ambigu, tidak
ada, atau kurang baik, maka pendaftaran hak-hak atas kepemilikan tanah menjadi mahal
dan boros.
Kesimpulan
Dari uraian tinjauan pustaka mengenai sistem pendaftaran tanah di atas ditemukan
beberapa hal yang menjadi perhatian utama dalam upaya perubahan sistem pendaftaran
tanah publikasi positif. Guna merealisasikan penerapan sistem publikasi positif, terdapat
hal-hal penting yang harus diperhatikan, yaitu pemerintah harus memahami keadaan yang
membuat pendaftaran tanah sangat diperlukan, pemerintah harus mampu memenuhi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
23
kondisi prasyarat, dan pemerintah diharapkan melakukan berbagai upaya agar memperoleh
keberhasilan.
Keadaan yang membuat pendaftaran tanah menjadi sangat diperlukan, antara lain: (1)
belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang menimbulkan ketidakamanan
dan ketidakpastian hak kepemilikan tanah; (2) terdapat perkembangan awal dari pasar
tanah; (3) terdapat permasalahan sengketa tanah yang cukup tinggi dan berlarut-larut; (3)
terdapat kebutuhan untuk menyediakan dasar kredit, terutama bagi para petani; (4)
terdapat upaya melakukan perumusan pelaksanaan redistribusi tanah dengan cari legalisasi
dan redistribusi tanah.
Selain itu, terdapat beberapa kondisi prasyarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia dalam
upaya merealisasikan sistem publikasi positif, yaitu: (1) tercapainya cakupan wilayah bidang
tanah bersertifikat mencapai 80% dari wilayah nasional; (2) tercapainya cakupan peta dasar
pertanahan mencapai 80% dari wilayah nasional; (3) terpenuhinya tata batas kawasan hutan
dengan peta skala kadastral dipublikasi dan terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah
nasional; serta (4) terpenuhinya pemetaan tanah adat/ulayat. Agar penerapan sistem
publikasi yang baru dalam sistem pendaftaran tanah memperoleh keberhasilan, terdapat
beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, antara lain:
1. Pemahaman pemerintah terkait biaya pengeluaran dan durasi operasi yang dibutuhkan
pada sistem pendaftaran tanah yang baru. Pada dasarnya, pendaftaran tanah adalah
sebuah investasi jangka panjang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengetahui
kemampuan anggaran biaya pemerintah. Namun, apabila sistem pendaftaran tanah yang
baru tidak dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan, maka sebaiknya dihentikan
karena akan membutuhkan biaya yang semakin mahal.
2. Sosialisasi dan Evaluasi. Seluruh penduduk Indonesia, baik masyarakat maupun
pemerintah, harus mengenal, memahami, dan mendukung sistem publikasi yang baru
untuk sistem pendaftaran tanah melalui sosialisasi dari pemerintah (BPN) . Selain
sistem publikasi sebelumnya dalam sistem pendaftaran tanah dari penduduk. Tujuan
evaluasi adalah untuk mengetahui berbagai kekurangan dan kelebihan, baik halangan
maupun kualitas pelayanan pendaftaran tanah. Melalui upaya sosialisasi dan evaluasi ini
diharapkan dapat mencegah timbulnya permasalahan yang sama dalam penerapan
sistem publikasi tanah yang baru.
3. Perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem pendaftaran tanah.
Berbagai peraturan perundang-undang tentang pendaftaran tanah di Indonesia harus
diamandemen sesuai dengan penerapan sistem publikasi tanah yang baru. Pasal-pasal
yang mengalami perubahan harus sangat jelas dan dapat dimengerti oleh seluruh lapisan
masyarakat. Kejelasan dalam perundang-undangan akan sangat membantu pemerintah
daerah dalam melakukan tugas-tugasnya. Hal-hal yang harus ada dalam isi undang-
undang pendaftaran tanah yang baru, antara lain:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
24
Penerapan tiga prinsip utama di dalam hukum indefeasible.
Penentuan jenis kompensasi ganti rugi atas kesalahan dalam register (immediate
indefeasible atau deffered indefeasible),
Penentuan tanah yang dapat didaftarkan atau dilegalisasikan. Tanah-tanah ini berupa
tanah yang diperoleh sebelum 17 Agustus 1945 (sebelum Indonesia merdeka), tanah
waris dari pendudukan penjajah, tanah wakaf yang sebelumnya dimiliki secara mutlak
dan secara sah telah diberikan, dan sebagainya.
4. Terselesaikannya berbagai isu dan permasalahan terkait pertanahan. Berbagai isu dan
permasalahan terkait pertanahan di Indonesia harus dapat terselesaikan dengan baik.
Terselesaikannya isu dan permasalahan pertanahan dengan baik merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam upaya perubahan sistem publikasi
positif. Hal ini mengacu pada uraian di atas bahwa penerapan sistem publikasi positif
dianggap siap apabila: (1) jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah sudah
jelas; (2) tidak ada lagi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah oleh satu kelompok atau individu tertentu; (3) kinerja pelayanan
pertanahan sudah optimal dengan jumlah juru ukur yang memadai. Peningkatan kinerja
juru ukur dapat dilakukan melalui pelatihan, pemantauan kinerja juru ukur setiap
provinsi, hingga penerapan transparansi kinerja juru ukur pertanahan; serta (4)
ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sudah terjamin.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
25
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI KAJIAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah sebesar 189,073 juta Ha
dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.508 pulau. Luas wilayah Indonesia terdiri
dari luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan sebesar 3.257.483 km2. Batas
wilayah administrasi Indonesia, yaitu:
Utara: Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan
Selatan: Australia dan Samudera Hindia
Barat: Samudera Hindia
Timur: Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Pasifik
Indonesia secara umum terdiri dari kawasan hutan dan kawasan budidaya. Kawasan hutan
di Indonesia diklasifikasikan menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi.
Luas kawasan hutan di Indonesia ini mendominasi sebagian besar wilayah daratan, yaitu
mencapai 124.022.848,67 Ha. Sementara itu, kawasan budidaya diklasifikasikan ke dalam
beberapa jenis penggunaan, seperti permukiman, industri, pertanian, dan sebagainya. Luas
kawasan budidaya di Indonesia adalah sekitar 64.324.754,31 Ha dari seluruh wilayah
daratan (lebih lengkap lihat Tabel III.1)
Seluruh kawasan budidaya (kawasan non-hutan) di Indonesia harus didaftarkan dan
memiliki sertifikat hak atas tanah untuk setiap peruntukkannya. Pendaftaran hak atas tanah
di Indonesia diatur oleh sistem pendaftaran tanah publikasi negatif bertendensi positif (lihat
penjelasan pada Bab II). Akan tetapi, sistem publikasi ini ternyata sering menimbulkan
masalah pertanahan. Salah satu upaya penyelesaian masalah pertanahan ini adalah
mengganti sistem publikasi negatif bertendensi positif menjadi sistem publikasi positif
murni. Ada beberapa hal penting yang harus dicapai agar sistem publikasi positif dapat
diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah tercapainya cakupan peta dasar pertanahan
hingga 80% dan tercapainya cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi hingga 70%
pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk mengetahui capaian cakupan peta-peta tersebut
pada masing-masing provinsi, kajian ini melakukan identifikasi pada lima provinsi pilihan.
Provinsi-provinsi ini antara lain Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Namun demikian, pada bab ini akan dibahas terlebih dahulu tentang deskripsi umum kelima
provinsi pilihan dan kasus-kasus pertanahan. Deskripsi umum meliputi kondisi geografis
wilayah, luas administrasi, luas darat dan laut, hingga luas kawasan hutan dan budidaya.
Sedangkan, pembahasan lebih lanjut tentang cakupan peta pendaftaran tanah dan cakupan
peta bidang tanah terdigitasi akan di bahas pada Bab IV.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
26
Tabel III.1 Luas Kawasan Hutan dan Budidaya di Indonesia Tahun 2013
No. Provinsi Luas Hutan
(Ha) Luas Budidaya
(Ha)
Luas Wilayah Daratan Provinsi
(Ha)
1 Aceh 3.388.280,71 2.293.894,50 5.682.175,21
2 Bali 127.271,01 430.782,66 558.053,67
3 Banten 201.787,00 732.307,14 934.094,14
4 Bengkulu 924.631,00 1.081.984,64 2.006.615,64
5 DI Yogyakarta 16.819,52 298.332,38 315.151,90
6 DKI Jakarta 475,45 64.623,82 65.099,27
7 Gorontalo 824.668,00 420.247,38 1.244.915,38
8 Jambi 2.107.779,00 2.769.107,17 4.876.886,17
9 Jawa Barat 816.603,00 2.875.796,22 3.692.399,22
10 Jawa Tengah 647.133,00 2.788.249,39 3.435.382,39
11 Jawa Timur 1.357.640,00 3.439.007,49 4.796.647,49
12 Kalimantan Barat 8.168.088,47 6.420.377,40 14.588.465,87
13 Kalimantan Selatan 1.779.982,00 1.965.240,50 3.745.222,50
14 Kalimantan Tengah 12.697.165,00 2.602.813,50 15.299.978,50
15 Kalimantan Timur 13.952.513,00 4.258.575,96 18.211.088,96
16 Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.326.458,49
17 Kep. Bangka Belitung
654.562,00 1.008.077,41 1.662.639,41
18 Kep. Riau 603.354,32 229.819,83 833.174,15
19 Lampung 1.004.735,00 2.417.687,64 3.422.422,64
20 Maluku 3.923.559,96 720.481,21 4.644.041,17
21 Maluku Utara 2.515.220,00 629.517,46 3.144.737,46
22 Nusa Tenggara Barat
1.035.838,00 928.105,55 1.963.943,55
23 Nusa Tenggara Timur
1.686.640,00 3.030.839,11 4.717.479,11
24 Papua 29.368.482,00 1.746.190,12 31.114.672,12
25 Papua Barat 9.377.855,06 521.870,51 9.899.725,57
26 Riau 7.121.344,00 1.805.133,04 8.926.477,04
27 Sulawesi Barat 1.107.058,00 570.776,65 1.677.834,65
28 Sulawesi Selatan 2.118.992,00 2.375.862,88 4.494.854,88
29 Sulawesi Tengah 3.964.840,00 2.078.666,53 6.043.506,53
30 Sulawesi Tenggara 2.326.419,00 1.273.329,97 3.599.748,97
31 Sulawesi Utara 695.162,00 750.253,17 1.445.415,17
32 Sumatera Barat 2.342.894,00 1.848.089,33 4.190.983,33
33 Sumatera Selatan 3.422.937,17 5.195.630,61 8.618.567,78
34 Sumatera Utara 3.742.120,00 3.426.624,65 7.168.744,65
INDONESIA 124.022.848,67 64.324.754,31 188.347.602,98
Sumber: Direktorat Pemetaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN
(2014, dalam Kementerian PPN/Bappenas, 2015)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
27
III.1 Gambaran Umum Provinsi Kajian
Pada bagian ini, terlebih dahulu akan diuraikan tentang kondisi umum masing-masing
provinsi kajian seperti yang tercantum pada Tabel III.2 di bawah. Kondisi umum masing-
masing provinsi menguraikan tentang luas wilayah administrasi, luas darat dan laut, luas
kawasan hutan dan kawasan budidaya, serta luas lahan pertanian pangan berkelanjutan
(LP2B). LP2B merupakan salah satu bagian dari kawasan non-hutan. LP2B merupakan lahan
yang tidak boleh dimanfaatkan selain untuk lahan produksi pangan. Di samping itu, LP2B
juga salah satu upaya pemerintah untuk melindungi lahan pertanian pangan akibat adanya
peningkatan laju konversi lahan sawah atau pertanian pangan yang cukup pesat setiap
tahunnya.
Tabel III.2 Kondisi Umum Provinsi Kajian
No Provinsi Luas
Administrasi Provinsi (Ha)
Luas Laut (Ha)
Luas Darat (Ha)
Luas Kawasan
Hutan (Ha)
Luas Kawasan Budidaya
(Ha)
Luas LP2B (Ha)
1 Sumatera Utara
18.186.065 11.051.503 7.134.562 3.055.795 4.078.767 0
2 Sumatera Selatan
8.708.732 Tidak
Teridentifikasi
8.708.732 3.466.900 5.241.832 759.240
3 Nusa Tenggara Barat
4.931.219 2.915.904 2.015.315 1.071.722 943.593 828.401
4 Kalimantan Selatan
3.725.445 43.464 3.681.981 1.739.696 1.942.285 353.803
5 Sulawesi Utara
1.527.283 Tidak
Teridentifikasi
1.527.283 778.504 748.780 0
Sumber: Kantor Wilayah BPN Masing-masing Provinsi Kajian, 2016
Akan tetapi, Tabel III.2 di atas tidak menunjukkan adanya penetapan lahan untuk LP2B di
Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Diduga, pemerintah daerah kedua provinsi ini
belum menetapkan lahan-lahan yang khusus diperuntukkan sebagai LP2B guna mendukung
ketahanan pangan di daerah mereka. Selain itu, pada pembagian wilayah administrasi yang
khusus untuk kawasan laut di kedua provinsi ini juga tidak teridentifikasi jumlahnya. Tidak
teridentifikasinya luas kawasan laut di kedua provinsi ini dapat disebabkan oleh data yang
dimiliki Kanwil BPN kedua provinsi belum tersusun dengan baik atau belum valid. Lebih
lanjut tentang deskripsi masing-masing provinsi kajian diuraikan sebagai berikut.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
28
a. Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 98 -
100 Bujur Timur. Provinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Selat
Malaka di sebelah Utara; Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, dan Samudera Indonesia di
sebelah Selatan; Provinsi Aceh dan Samudera Indonesia di sebelah Barat; dan Selat Malaka
di sebelah Timur. Luas administrasi Provinsi Sumatera Utara adalah sekitar 18.186.065 Ha
yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Sumatera
Utara hanya terbagi menjadi kawasan hutan (tanpa LP2B) dan kawasan budidaya, serta
terbagi menjadi 25 kabupaten dan 8 kota. Data yang diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi
Sumatera Utara menunjukkan bahwa tidak ada lahan yang digunakan untuk LP2B. Lebih
lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar
III.1.
Gambar III.1 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016
Sumber: Kanwil BPN Sumatera Utara, 2016
b. Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 102 -
106 Bujur Timur. Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di sebelah
Utara; Provinsi Lampung di sebelah Selatan; Provinsi Bangka Belitung di sebelah Timur; dan
Provinsi Bengkulu di sebelah Barat. Luas administrasi Provinsi Sumatera Selatan adalah
sekitar 8.708.732 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan
Provinsi Sumatera Selatan ini terbagi menjadi kawasan hutan (termasuk LP2B) dan kawasan
budidaya, serta terbagi menjadi 13 kabupaten dan 4 kota. Akan tetapi, data yang diperoleh
dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa luas kawasan perairan tidak
teridentifikasi (Kanwil BPN Provinsi Sumatera Selatan, 2016). Lebih lengkap tentang
pembagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar III.2 beriku.
Luas Kawasan Hutan
3.055.795 Ha
LP2B
0 Ha (Tidak Ada)
Luas Kawasan Budidaya
4.078.767 Ha
Luas Provinsi
18.186.065 Ha
Luas Daratan
7.134.562 Ha
7.134.561,69 Ha
Luas Laut
11.051.503 Ha (Tidak
Ada)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
29
Gambar III.2 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016
Sumber: Kanwil BPN Sumatera Selatan, 2016
c. Provinsi Nusa Tenggara Barat
Provinsi Nusa Tenggara Barat secara geografis terletak antara 8 - 9 Lintang Selatan dan
115 - 119 Bujur Timur. Provinsi Nusa Tenggara Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan
Laut Flores di sebelah Utara; Samudera Hindia di sebelah Selatan; Provinsi Nusa Tenggara
Timur di sebelah Timur; dan Provinsi Bali di sebelah Barat. Luas administrasi Provinsi Nusa
Tenggara Barat adalah sekitar 4.931.219 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan
perairan. Wilayah daratan Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbagi menjadi kawasan hutan
(termasuk LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menajdi 9 kabupaten dan 1 kota
(Kanwil BPN Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2016). Lebih lengkap tentang pembagian wilayah
Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Gambar III.3.
Gambar III.3 Penggunaan Lahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2016
Sumber: Kanwil BPN Nusa Tenggara Barat, 2016
d. Provinsi Kalimantan Selatan
Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 114
- 116 Bujur Timur. Provinsi Kalimantan Timur di sebelah Utara; Laut Jawa di sebelah
Selatan; Selat Makasar di sebelah Timur; dan Provinsi Kalimantan Tengah di sebelah Barat.
Luas administrasi Provinsi Kalimantan Selatan adalah sekitar 3.725.445 Ha yang terbagi
menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Kalimantan Selatan terbagi
Luas Kawasan Hutan
3.466.900 Ha
LP2B
759.240 Ha
Luas Kawasan Budidaya
5.241.832 Ha
Luas Daratan
8.708.732 Ha
Luas Laut
0 Ha (Tidak Ada)
Luas Provinsi
8.708.732 Ha
Luas Kawasan Hutan
1.071.722 Ha
LP2B
828.401 Ha
Luas Kawasan Budidaya
943.593 Ha
Luas Provinsi
4.931.219 Ha
Luas Daratan
2.015.315 Ha
7.134.561,69 Ha
Luas Laut
2.915.904 Ha (Tidak
Ada)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
30
menjadi kawasan hutan (termasuk LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 11
kabupaten dan 2 kota (Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Selatan, 2016). Lebih lengkap
tentang pembagian wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Gambar III.4.
Gambar III.4 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016
Sumber: Kanwil BPN Kalimantan Selatan, 2016
e. Provinsi Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara secara geografis terletak antara 0 - 3 Lintang Utara dan 123 -
126 Bujur Timur. Provinsi Sulawesi Utara berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah
Utara; Laut Maluku dan Teluk Tomini di sebelah Selatan; Laut Maluku dan Samudera Pasifik
di sebelah Timur; dan Laut Sulawesi dan Provinsi Gorontalo di sebelah Barat. Luas
administrasi Provinsi Sulawesi Utara adalah sekitar 1.527.283 Ha yang terbagi menjadi
wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Sulawesi Utara terbagi menjadi
kawasan hutan (tanpa LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 11 kabupaten
dan 4 kota (Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara, 2016). Akan tetapi, data yang diperoleh dari
Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa luas kawasan perairan tidak
teridentifikasi dan tidak ada lahan khusus yang digunakan untuk LP2B. Lebih lengkap
tentang pembagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar III.5 berikut.
Gambar III.5 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2016
Sumber: Kanwil BPN Sulawesi Utara, 2016
Luas Kawasan Hutan
1.739.696 Ha
LP2B
353.803 Ha
Luas Kawasan Budidaya
1.942.285 Ha
Luas Provinsi
3.725.445 Ha
Luas Daratan
3.681.981 Ha
Luas Laut
43.464 Ha
Luas Kawasan Hutan
778.504 Ha
LP2B
0 Ha
Luas Kawasan Budidaya
748.779,525 Ha
Luas Provinsi
1.527.283 Ha
Luas Daratan
1.527.283 Ha
Luas Laut
0 Ha (Tidak Ada)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
31
III.2 Kasus-kasus Pertanahan di Provinsi Kajian
Kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang diampaikan
kepada Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama ini, penyelesaian kasus pertanahan
dilaksanakan oleh BPN melalui mekanisme Gelar Kasus Pertanahan (Pasal 1 Peraturan
Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011). Tabel III.3 di bawah menunjukkan jumlah kasus
masing-masing provinsi kajian pada masing-masing jenis kasus pertanahan.
Tabel III.3 Jumlah Kasus Pertanahan di Provinsi Kajian
Provinsi
Jenis Kasus Sumatera
Utara Sumatera
Selatan
Nusa Tenggara
Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Penguasaan Tanah Tanpa
Hak – 22 56 1 –
Sengketa Batas – 2 8 1 –
Sengketa Waris – – 14 – –
Sengketa Tanah Adat – – 3 – –
Jual Berkali-kali – – 4 – –
Sertifikat Ganda – – – 2 –
Sertifikat Pengganti – – 1 1 –
Kekeliruan Penunjukkan
Batas – – 5 – –
Tumpang Tindih – 2 5 – –
Putusan Pengadilan – 4 9 4 –
Jumlah Kasus 0 30 105 9 0
Sumber: Kanwil BPN Masing-masing Provinsi Kajian, 2016
Tabel III.3 di atas menunjukkan bahwa di antara kelima provinsi kajian, nampak bahwa
Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang paling banyak menghadapi berbagai
kasus pertanahan. Banyaknya kasus pertanahan yang dihadapi oleh Provinsi Nusa Tenggara
Barat diduga disebabkan oleh sebagian besar tanah di NTB masih berupa tanah adat/ulayat
yang tidak mudah untuk ditentukan kepemilikan hak atas tanahnya. Di samping itu, peta-
peta tanah bersertifikat di Provinsi Nusa Tenggara Barat masih banyak yang saling tumpang
tindih dan masih banyak yang belum jelas jenis kepemilikan hak atas tanahnya. Sebaliknya,
data dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan
bahwa kedua provinsi tidak memiliki kasus pertanahan. Kondisi demikian diduga disebabkan
oleh kurangnya data yang dimiliki masing-masing provinsi atau data yang terdapat pada
Kanwil BPN kedua provinsi belum tersusun dengan baik dan rapi, sehingga belum dapat
memberikan data jumlah kasus pertanahan dengan baik dan lengkap.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
32
Selain hal tersebut, Tabel III.3 juga menunjukkan bahwa jenis kasus penguasaan tanah tanpa
hak menjadi kasus paling banyak dihadapi oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Nusa
Tenggara Barat. Sedangkan, kasus sengketa batas dan putusan pengadilan menjadi kasus
paling banyak kedua di setiap provinsi, meskipun demikian jumlah masing-masing kasus ini
masih sedikit apabila dibandingkan dengan kasus penguasaan tanah tanpa hak. Akan tetapi,
seluruh jumlah kasus pertanahan di setiap provinsi kajian ini belum valid dan belum dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya data yang
diperoleh dari seluruh provinsi kajian.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
33
BAB IV
ANALISIS CAPAIAN PETA DASAR PERTANAHAN
DAN PETA BIDANG TANAH BERSERTIFIKAT
Analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat dilakukan untuk
mengetahui pencapaian kondisi prasyarat yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019.
Cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi akan
diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya persentase cakupan, yaitu (1) Sangat rendah
(<20%); (2) Rendah (20% - <40%); (3) Sedang (40% - <60%); (4) Tinggi (60% - < 80%); dan (5)
Sangat Tinggi (>80%). Guna mengetahui perkiraan capaian cakupan peta-peta tersebut di
seluruh Indonesia, pada kajian ini di ambil sampel 5 provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara,
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, dan
Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan kelima provinsi ini didasarkan pada kondisi cakupan peta
dasar pertanahan maupun peta bidang tanah bersertifikat dari yang cukup rendah hingga
cukup tinggi di seluruh Indonesia.
Selanjutnya, bab ini akan membahas tentang kemungkinan adanya perubahan sistem
pendaftaran tanah publikasi positif di Indonesia berdasarkan data dan informasi yang
diperoleh dari lima provinsi. Data dan informasi ini antara lain kondisi cakupan peta dasar
pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat di provinsi kajian, faktor-faktor penghambat
pencapaian cakupan peta, ketersediaan juru ukur di provinsi kajian, kasus-kasus pertanahan
di provinsi kajian, serta upaya percepatan capaian cakupan peta yang diajukan oleh masing-
masing provinsi kajian.
IV.1 Peta Dasar Pertanahan
Peta dasar pertanahan adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik pengukuran dan
unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan, dan batas fisik bidang-bidang tanah
(PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah). Peta dasar pertanahan ini dibuat oleh Badan
Pertanahan Nasional masing-masing provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia yang
meliputi pemasangan, pengukuran, pemetaan, dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik
nasional di setiap kabupaten/kota. Menurut fungsinya, peta dasar pertanahan berfungsi
sebagai dasar dalam pembuatan peta pendaftaran kepemilikan tanah. Dengan demikian,
peta dasar pertanahan ini dapat digunakan untuk menunjukkan batas-batas kepemilikan
tanah secara presisi dan dapat mencegah timbulnya permasalahan pertanahan.
Di samping itu, ketersediaan peta dasar pertanahan dapat menjadi tolok ukur kesiapan
Indonesia untuk melakukan perubahan sistem publikasi negatif bertendensi positif menjadi
sistem publikasi positif dalam pendaftaran tanah. Ketersediaan peta dasar pertanahan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
34
dapat diukur melalui capaian cakupan peta dasar pertanahan yang sudah tersedia.
Selanjutnya, pada subbab ini akan menguraikan tentang cakupan peta pendaftaran tanah
Indonesia hingga Juni 2016, cakupan peta pendaftaran tanah di provinsi kajian, dan
pembahasan tentang perbedaan perolehan data antara Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN Pusat (Juni 2016) dengan Kantor Wilayah BPN masing-masing provinsi kajian
(tahun 2016).
IV.1.1 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional
Pada bagian ini, mula-mula akan diuraikan tentang kondisi cakupan peta pendaftaran tanah
di Indonesia secara umum. Cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan non-hutan
setiap provinsi di Indonesia hingga Juni 2016 dapat di lihat pada Tabel IV.1 berikut.
Tabel IV.1 Capaian Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional yang Terdigitasi
hingga Juni 2016
No. Provinsi Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha)
Persentase (%)
1 Aceh 2.293.894,50 2.063.641,48 89,96
2 Bali 430.782,66 429.446,49 99,69
3 Banten 732.307,14 200.324,92 27,36
4 Bengkulu 1.081.984,64 321.447,66 29,71
5 DI Yogyakarta 298.332,38 298.283,28 99,98
6 DKI Jakarta 64.623,82 6.020,78 9,32
7 Gorontalo 420.247,38 387.613,71 92,23
8 Jambi 2.769.107,17 292.425,99 10,56
9 Jawa Barat 2.875.796,22 2.217.196,24 77,10
10 Jawa Tengah 2.788.249,39 2.140.041,70 76,75
11 Jawa Timur 3.439.007,49 738.480,14 21,47
12 Kalimantan Barat 6.420.377,40 1.759.603,67 27,41
13 Kalimantan Selatan 1.965.240,50 1.705.717,84 86,79
14 Kalimantan Tengah 2.602.813,50 687.623,88 26,42
15 Kalimantan Timur 4.258.575,96 844.009,84 19,82
16 Kalimantan Utara 1.326.458,49 481.278,50 36,28
17 Kep. Bangka Belitung 1.008.077,41 336.507,08 33,38
18 Kep. Riau 229.819,83 130.887,69 56,95
19 Lampung 2.417.687,64 1.793.422,41 74,18
20 Maluku 720.481,21 268.411,83 37,25
21 Maluku Utara 629.517,46 200.501,07 31,85
22 Nusa Tenggara Barat 928.105,55 690.956,60 74,45
23 Nusa Tenggara Timur 3.030.839,11 2.861.901,68 94,43
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
35
No. Provinsi Luas Wilayah di Luar Kawasan Hutan (Ha)
Cakupan Peta Dasar di Luar Kawasan Hutan
(Ha)
Persentase (%)
24 Papua 1.746.190,12 94.027,58 5,38
25 Papua Barat 521.870,51 58.681,93 11,24
26 Riau 1.805.133,04 89.339,35 4,95
27 Sulawesi Barat 570.776,65 348.803,57 61,11
28 Sulawesi Selatan 2.375.862,88 1.002.286,08 42,19
29 Sulawesi Tengah 2.078.666,53 678.831,82 32,66
30 Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 940.751,47 73,88
31 Sulawesi Utara 750.253,17 617.578,58 82,32
32 Sumatera Barat 1.848.089,33 1.421.821,43 76,93
33 Sumatera Selatan 5.195.630,61 1.884.607,97 36,27
34 Sumatera Utara 3.426.624,65 1.387.342,56 40,49
INDONESIA 64.324.754,31 29.379.816,84 45,67
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN, Juni 2016
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa capaian cakupan peta dasar pertanahan nasional di luar
kawasan hutan setiap provinsi di Indonesia yang sudah terdigitasi hingga Juni 2016 baru
mencapai 45,67% dari luas total kawasan budidaya (Direktorat Pengukuran dan Pemetaan
Dasar Kementerian ATR/BPN, Juni 2016). Apabila di lihat dari klasifikasi cakupan peta dasar
pertanahan nampak bahwa 50% provinsi di Indonesia masih memiliki cakupan peta dasar
terdigitasi yang tergolong rendah (<20% - <40%). Provinsi-provinsi yang sudah memiliki
cakupan peta dasar pertanahan terdigitasi sangat tinggi (≥ 80%) hingga Juni 2016 hanya ada
7 (tujuh) provinsi (20,59% dari seluruh provinsi di Indonesia), yaitu Provinsi Sulawesi Utara
(82,32%), Provinsi Kalimantan Selatan (86,79%), Provinsi Aceh (89,96%), Provinsi Gorontalo
(92,23%), Provinsi Nusa Tenggara Timur (94,43%), Provinsi Bali (99,69%), dan Provinsi D.I
Yogyakarta (99,98%). Sementara itu, beberapa provinsi yang masih memiliki cakupan peta
dasar terdigitasi sangat rendah (< 20%) hingga Juni 2016 ada 6 (enam) provinsi, yaitu
Provinsi Riau (4,95%), Provinsi Papua (5,32%), Provinsi DKI Jakarta (9,32%), Provinsi Jambi
(10,56%), Provinsi Papua Barat (11,24%), dan Provinsi Kalimantan Timur (19,82%).
Persentase capaian peta dasar pertanahan nasional hingga Juni 2016 dapat di lihat pada
Gambar IV.1 berikut.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
36
Gambar IV.1 Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional hingga Juni 2016
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN, Juni 2016
IV.1.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian
Sementara itu, pada bagian ini menguraikan tentang kondisi cakupan peta pendaftaran
tanah pada masing-masing provinsi kajian. Cakupan peta dasar pertanahan di luar kawasan
non-hutan pada provinsi kajian dapat di lihat pada Tabel IV.2 berikut.
Tabel IV.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian
No Provinsi
Luas Kawasan Budidaya
(Ha)
Sudah Ada Peta Dasar Pertanahan
(Ha)
Belum Ada Peta Dasar Pertanahan
(Ha)
Cakupan Peta Dasar Pertanahan
Terdigitasi (Ha)
% Belum
Terdigitasi (Ha)
%
1 Sumatera
Utara 4.078.767 4.078.767 0 80.000 1,96 3.998.766,7 98,04
2 Sumatera
Selatan 5.241.832 3.451.252 1.790.580 3.005.203 57,33 446.049 42,67
3 Nusa Tenggara
Barat 943.593 943.593 0 731.018 77,47 212.575 22,53
4 Kalimantan
Selatan 1.942.285 1.942.284,88 0 1.942.284,88 100 0 0
5 Sulawesi Utara 748.780 748.779,525 0 263.009 35,13 485.771,53 64,88
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis,2016
Tabel IV.2 menunjukkan bahwa seluruh kawasan budidaya pada empat provinsi kajian
(Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara) sudah
dipetakan dalam peta dasar pertanahan. Sebaliknya, kawasan budidaya di Provinsi Sumatera
Selatan yang baru dipetakan dalam peta dasar pertanahan baru sekitar 65% dari seluruh
kawasan budidaya. Sementara, apabila di lihat dari capaian peta dasar yang sudah
0
20
40
60
80
100R
iau
Pap
ua
DK
I Ja
kar
ta
Jam
bi
Pap
ua
Bar
at
Kal
iman
tan
Tim
ur
Jaw
a T
imur
Kal
iman
tan
Ten
gah
Ban
ten
Kal
iman
tan
Bar
at
Ben
gk
ulu
Mal
uk
u U
tara
Sula
wes
i T
eng
ah
Kep
. B
ang
ka
Bel
itu
ng
Sum
ater
a S
elat
an
Kal
iman
tan
Uta
ra
Mal
uk
u
Sum
ater
a U
tara
Sula
wes
i S
elat
an
Kep
. R
iau
Sula
wes
i B
arat
Sula
wes
i T
eng
gar
a
Lam
pun
g
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Jaw
a T
eng
ah
Sum
ater
a B
arat
Jaw
a B
arat
Sula
wes
i U
tara
Kal
iman
tan
Sel
atan
Ace
h
Go
ron
talo
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Bal
i
DI
Yo
gy
akar
ta
Cakupan Peta Dasar Pertanahan Nasional hingga Juni 2016
Prasyarat Cakupan Peta Dasar INDONESIA (%)
Peta < 80% = 27 Provinsi Peta ≥ 80% = 7 Provinsi
Sangat Tinggi (> 80%)
Tinggi (60% - < 80%)
Sedang (40% - < 60%)
Sangat Rendah (< 20%)
Rendah (20% - < 40%)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
37
terdigitasi, Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi dengan capaian terendah (1,96%) di
antara provinsi kajian lainnya. Sebaliknya, Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi
tertinggi dalam pencapaian peta dasar pertanahannya (100%). Capaian peta dasar
pertanahan dari kelima provinsi kajian dapat di lihat pada Gambar IV.2 berikut.
Gambar IV.2 Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian, 2016
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
Namun demikian, apabila di lihat dari data cakupan peta dasar pertanahan nasional untuk
kelima provinsi kajian yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar
Kementerian ATR/BPN hingga Juni 2016 dan Kanwil BPN masing-masing provinsi kajian,
keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan (lihat perbedaan data pada Tabel IV.3
dan Gambar IV.3 di bawah).
Tabel IV.3 Perbedaan Data Capaian Peta Dasar Pertanahan antara
BPN Pusat dengan Kanwil BPN Provinsi Kajian
Provinsi Nasional Kanwil Perbedaan
Sumatera Utara 40,49% 1,96% 38,53%
Sumatera Selatan 36,27% 87,08% 50,81%
Nusa Tenggara Barat 74,45% 77,47% 3,02%
Kalimantan Selatan 86,79% 100% 13,21%
Sulawesi Utara 82,32% 35,13% 47,19%
Sumber: ATR/BPN (hingga Juni 2016), Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian, dan Hasil
Analisis (2016)
Perbedaan yang cukup signifikan nampak pada capaian cakupan peta dasar pertanahan di
Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Direktorat Pengukuran
0
20
40
60
80
100
Sum
ater
a U
tara
Ria
u
Pap
ua
DK
I Ja
kar
ta
Jam
bi
Pap
ua
Bar
at
Kal
iman
tan
Tim
ur
Jaw
a T
imur
Kal
iman
tan
Ten
gah
Ban
ten
Kal
iman
tan
Bar
at
Ben
gk
ulu
Mal
uk
u U
tara
Sula
wes
i T
eng
ah
Kep
. B
ang
ka
Bel
itu
ng
Sula
wes
i U
tara
Kal
iman
tan
Uta
ra
Mal
uk
u
Sula
wes
i S
elat
an
Kep
. R
iau
Sum
ater
a S
elat
an
Sula
wes
i B
arat
Sula
wes
i T
eng
gar
a
Lam
pun
g
Jaw
a T
eng
ah
Sum
ater
a B
arat
Jaw
a B
arat
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Ace
h
Go
ron
talo
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Bal
i
DI
Yo
gy
akar
ta
Kal
iman
tan
Sel
atan
Cakupan Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian
Persentase (%) Prasyarat Cakupan Peta Dasar INDONESIA (%)
Peta < 80% = 4 Provinsi Peta ≥ 80% = 1 Provinsi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
38
dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN mencatat bahwa capaian peta dasar
pertanahan Provinsi Sumatera Utara hingga Juni 2016 sudahmencapai 41%, tetapi data dari
Kanwil BPN Sumatera Utara menunjukkan bahwa capaian peta dasar pertanahannya baru
mencapai sekitar 2% (hampir 40% lebih rendah dari data capaian nasional). Kondisi
demikian menyebabkan data capaian peta dasar pertanahan yang sudah terdigitasi di
Provinsi Sumatera Utara menjadi lebih rendah daripada Provinsi Riau dan menjadi provinsi
terendah secara nasional dalam capaian peta dasar pertanahannya.
Gambar IV.3 Capaian Peta Dasar Pertanahan di Indonesia (atas) dan
Provinsi Kajian (bawah)
Sumber: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar ATR/BPN (hingga Juni 2016),
Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian, dan Hasil Analisis (2016)
Kondisi yang dialami oleh Provinsi Sumatera Utara tersebut juga terjadi pada cakupan peta
dasar pertanahan yang sudah terdigitasi di Provinsi Sulawesi Utara. Direktorat Pengukuran
dan Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN mencatat bahwa capaian peta dasar
pertanahan Provinsi Sulawesi Utara yang terdigitasi hingga Juni 2016 sudah memenuhi
0
20
40
60
80
100
Ria
u
Pap
ua
DK
I
Jam
bi
Pap
ua
Bar
at
Kal
tim
Jati
m
Suls
el
Jab
ar
Kal
ten
g
Ban
ten
Kal
bar
Ben
gk
ulu
Mal
uk
u U
tara
Sult
eng
Kep
. B
abel
Sum
sel
Kal
ut
Mal
uk
u
Sult
ra
Sum
ut
Kep
. R
iau
Sulb
ar
Lam
pun
g
NT
B
Jate
ng
Sum
bar
Sulu
t
Kal
sel
Ace
h
Go
ron
talo
NT
T
Bal
i
DIY
Capaian Peta Dasar Pertanahan Nasional
0102030405060708090
100
Sum
ut
Ria
u
Pap
ua
DK
I
Jam
bi
Pap
ua
Bar
at
Kal
tim
Jati
m
Suls
el
Jab
ar
Kal
ten
g
Ban
ten
Kal
bar
Ben
gk
ulu
Mal
uk
u U
tara
Sult
eng
Kep
. B
abel
Sulu
t
Kal
ut
Mal
uk
u
Sult
ra
Kep
. R
iau
Sum
sel
Sulb
ar
Lam
pun
g
Jate
ng
Sum
bar
NT
B
Ace
h
Go
ron
talo
NT
T
Bal
i
DIY
Kal
sel
Capaian Peta Dasar Pertanahan di Provinsi Kajian
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
39
prasyarat perubahan sistem publikasi positif (82,32%), tetapi data capaian peta dasar
pertanahan yang sudah terdigitasi dari Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan
bahwa peta ini baru mencapai 35% (hampir 2,5 kali lebih rendah dari data BPN Pusat).
Sebaliknya, apabila kedua provinsi sebelumnya mengalami penurunan data capaian yang
cukup signifikan, data capaian peta dasar pertanahan Provinsi Kalimantan Selatan dari
Kanwil BPN Kalimantan Selatan ternyatamenunjukkan peningkatan capaian. Kanwil BPN
Kalimantan Selatan mencatat bahwa seluruh kawasan budidaya di provinsi ini sudah
terdigitasi di dalam peta dasar pertanahan (100%). Namun, Direktorat Pengukuran dan
Pemetaan Dasar Kementerian ATR/BPN mencatat bahwa capaian peta dasar pertanahan
Provinsi Kalimantan Selatan yang sudah terdigitasibaru mencapai 86,79% (sekitar 13% lebih
rendah dari data yang tercatat pada Kanwil BPN Kalimantan Selatan). Meskipun demikian,
capaian peta dasar pertanahan di Kalimantan Selatan telah menunjukkan bahwa provinsi ini
sudah memenuhi prasyarat guna mendukung perubahan sistem publikasi dalam sistem
pendaftaran tanah di Indonesia.
Sementara itu, kedua provinsi kajian lain, Provinsi Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara
Barat, tidak menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dalam pencatatan capaian
cakupan peta dasar pertanahan yang terdigitasi seperti ketiga provinsi sebelumnya. Data
capaian peta dasar pertanahan Provinsi Sumatera Selatan yang tercatat dalam ATR/BPN
hingga Juni 2016 menunjukkan bahwa capaian peta dasar pertanahan yang terdigitasi baru
mencapai 36,27%, sedangkan data dari Kanwil BPN Sumatera Selatan menunjukkan bahwa
cakupan peta dasar pertanahan yang terdigitasi sudah mencapai 57,33% (lebih tinggi 21%
daripada data BPN Pusat). Sementara, data capaian peta dasar pertanahan Provinsi Nusa
Tenggara Barat dari ATR/BPN hingga Juni 2016 menunjukkan bahwa capaian peta dasar
pertanahan yang terdigitasi di provinsi ini sudah mencapai 75%, sedangkan data dari Kanwil
BPN Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa capaian peta dasar pertanahannya sudah
mencapai 77,47% (3% lebih tinggi daripada BPN Pusat). Perbedaan data ini diduga
disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pemerintah, data capaian peta dasar
pertanahan di daerah masih saling tumpang tindih, atau data di daerah belum tersusun
dengan rapi. Meskipun demikian, uraian analisis data capaian cakupan peta dasar
pertanahan yang sudah terdigitasi ini telah menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat
melakukan perubahan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanahnya. Hal ini
disebabkan oleh sebagian besar capaian peta dasar pertanahan di Indonesia belum
memenuhi prasyarat.
IV.2 Peta Bidang Tanah Bersertifikat
Peta bidang tanah bersertifikat berisi tentang seluruh jumlah kepemilikan hak-hak atas di
Indonesia. Jenis-jenis hak atas tanah terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hal
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
40
lainnya yang bersifat sementara (Pasal 16 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960).
Berikut penjelasan singkat mengenai hak-hak atas tanah tersebut.
a. Hak Milik (HM), yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh atas tanah. Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain. Hanya warga-warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
b. Hak Guna Usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Jangka waktu pemberian HGU adalah maksimal 25 tahun. Selain itu, HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 Ha dengan ketentuan apabila luas tanahnya sebesar 25 Ha atau lebih, maka harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.
c. Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu maksimal 30 tahun. Namun demikian, jangka waktu HGB tersebut (30 tahun) dapat diperpanjang hingga 20 tahun (menjadi 50 tahun) sesuai permintaan pemegang hak, keperluan, dan keadaan bangunan.
d. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memanfaatkan sebidang tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain. Keputusan pemberian tanah dari pemilik kepada pengguna dilakukan oleh pejabat yang berwenang melalui perjanjian antara pemilik dan pengguna berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang yang berlaku. Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
e. Hak Sewa, yaitu seseorang atau suatu badan hukum yang mempunyai hak sewa atas tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan cara membayar uang sewa kepada pemilik tanah sesuai dengan perjanjian.
f. Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan, yaitu hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
IV.2.1 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat Seluruh Provinsi
Pada bagian ini, mula-mula akan diuraikan tentang kondisi cakupan peta bidang tanah
bersertifikat terdigitasi di Indonesia secara umum. Cakupan peta bidang tanah bersertifikat
di luar kawasan non-hutan setiap provinsi di Indonesia hingga Juni 2016 dapat di lihat pada
Tabel IV.4 dan Gambar IV.4 di bawah.
Tabel IV.4 Capaian Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi
hingga Juni 2016
No. Provinsi Luas budidaya
(Ha)
Luas sertipikat terdigitasi
(Ha)
Persentase
(%)
1 Aceh 2.293.894,50 173.359,08 7,56
2 Bali 430.782,66 131.441,61 30,51
3 Banten 732.307,14 130.473,10 17,82
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
41
No. Provinsi Luas budidaya
(Ha)
Luas sertipikat terdigitasi
(Ha)
Persentase
(%)
4 Bengkulu 1.081.984,64 159.969,94 14,78
5 DI Yogyakarta 298.332,38 55.906,52 18,74
6 DKI Jakarta 64.623,82 32.510,34 50,31
7 Gorontalo 420.247,38 49.911,20 11,88
8 Jambi 2.769.107,17 200.142,60 7,23
9 Jawa Barat 2.875.796,22 431.276,69 15,00
10 Jawa Tengah 2.788.249,39 522.342,72 18,73
11 Jawa Timur 3.439.007,49 407.434,95 11,85
12 Kalimantan Barat 6.420.377,40 920.404,79 14,34
13 Kalimantan Selatan 1.965.240,50 319.453,59 16,26
14 Kalimantan Tengah 2.602.813,50 634.600,44 24,38
15 Kalimantan Timur 4.258.575,96 597.498,18 14,03
16 Kalimantan Utara 1.326.458,49 180.226,71 13,59
17 Kep. Bangka
Belitung 1.008.077,41 102.816,92 10,20
18 Kep. Riau 229.819,83 41.240,83 17,94
19 Lampung 2.417.687,64 258.067,84 10,67
20 Maluku 720.481,21 11.586,15 1,61
21 Maluku Utara 629.517,46 18.154,18 2,88
22 Nusa Tenggara
Barat 928.105,55 45.854,89 4,94
23 Nusa Tenggara
Timur 3.030.839,11 26.346,13 0,87
24 Papua 1.746.190,12 71.246,45 4,08
25 Papua Barat 521.870,51 44.878,32 8,60
26 Riau 1.805.133,04 969.649,53 53,72
27 Sulawesi Barat 570.776,65 64.833,14 11,36
28 Sulawesi Selatan 2.375.862,88 108.792,87 4,58
29 Sulawesi Tengah 2.078.666,53 100.156,91 4,82
30 Sulawesi Tenggara 1.273.329,97 25.418,89 2,00
31 Sulawesi Utara 750.253,17 6.182,33 0,82
32 Sumatera Barat 1.848.089,33 212.053,72 11,47
33 Sumatera Selatan 5.195.630,61 278.514,79 5,36
34 Sumatera Utara 3.426.624,65 563.030,37 16,43
INDONESIA 64.324.754,31 7.895.776,72 12,27
Sumber: Bid. Pengelolaan Data dan Informasi Pertanahan dan Tata Ruang Kementerian
ATR/BPN, Juni 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
42
Gambar IV.4 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi di Indonesia
hingga Juni 2016
Sumber: Bid. Pengelolaan Data dan Informasi Pertanahan dan Tata Ruang Kementerian
ATR/BPN, Juni 2016 dan Hasil Analisis, 2016
Tabel IV.4 dan Gambar IV.4 menunjukkan bahwa capaian peta bidang tanah bersertifikat di
luar kawasan hutan setiap provinsi di Indonesia yang sudah terdigitasi hingga tahun 2015
baru mencapai sekitar 13% dari total luas kawasan budidaya (Bid. Pengelolaan Data dan
Informasi Pertanahan dan Tata Ruang Kementerian ATR/BPN, Juni 2016). Sementara itu,
apabila di lihat dari klasifikasi cakupan peta bidang tanah bersertifikat, nampak bahwa
sebagian besar provinsi di Indonesia (sekitar 88% dari seluruh provinsi) masih memiliki
cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi yang sangat rendah (<20%). Provinsi-
provinsi yang sudah memiliki cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi cukup
tinggi hingga Juni 2016 hanya Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Riau.Meskipun demikian,
capaian peta bidang tanah bersertifikat kedua provinsi ini masih tergolong kategori sedang
(40% - <60%).
IV.2.2 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Provinsi Kajian
Cakupan peta bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi menjadi hal yang harus dimiliki oleh
setiap negara. Cakupan peta bidang tanah bersertifikat ini diperlukan agar dapat
menunjukkan jenis-jenis hak atas bidang tanah dengan jelas dan mencegah timbulnya kasus-
kasus pertanahan. Jenis-jenis hak atas bidang tanah ini antara lain Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Tanggungan, Hak Milik Rumah Susun, Hak
0%
15%
30%
45%
60%
75%S
ula
wes
i U
tara
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Mal
uk
u
Sula
wes
i T
eng
gar
a
Mal
uk
u U
tara
Pap
ua
Sula
wes
i S
elat
an
Sula
wes
i T
eng
ah
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Sum
ater
a S
elat
an
Jam
bi
Ace
h
Pap
ua
Bar
at
Kep
. B
ang
ka
Bel
itu
ng
Lam
pun
g
Sula
wes
i B
arat
Sum
ater
a B
arat
Jaw
a T
imur
Go
ron
talo
Kal
iman
tan
Uta
ra
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Bar
at
Ben
gk
ulu
Jaw
a B
arat
Kal
iman
tan
Sel
atan
Sum
ater
a U
tara
Ban
ten
Kep
. R
iau
Jaw
a T
eng
ah
DI
Yo
gy
akar
ta
Kal
iman
tan
Ten
gah
Bal
i
DK
I Ja
kar
ta
Ria
u
Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat Terdigitasi di Indonesia
hingga Juni 2016
Cakupan Peta Bidang Bersertifikat di INDONESIA (%)
Peta < 70% = 34 Provinsi Peta ≥ 70% = 0 Provinsi
Sangat Tinggi (> 80%)
Tinggi (60% - < 80%)
Sedang (40% - < 60%)
Sangat Rendah (< 20%)
Rendah (20% - < 40%)
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
43
Wakaf, dan Hak Pengelolaan. Cakupan peta bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi pada
provinsi-provinsikajian dapat di lihat pada Tabel IV.5.
Tabel IV.5 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Provinsi Kajian
No Provinsi
Luas Kawasan Budidaya
(Ha)
Luas Bidang Tanah
Berserttifikat (Ha)
Jumlah Bidang Tanah
Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat
Terdigitasi (Ha)
% Belum
Terdigitasi (Ha)
%
1 Sumatera Utara 4.078.766,69 1.745.880 1.473.214 502.813,44 28,80 1.243.066,56 71,20
2 Sumatera Selatan 5.241.832 1.537.200 355.464 1.206.410 78,48 330.790 21,52
3 Nusa Tenggara
Barat 943.593 260.009 785.902 35.883 13,80 224.126 86,20
4 Kalimantan
Selatan 1.942.284,88 428.468 – – – – –
5 Sulawesi Utara 748.779,525 – 559.277 – – – –
Ket. Tanda “–“ menunjukkan tidak ada data
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
Tabel IV.5 menunjukkan bahwa seluruh provinsi kajian sudah memetakan sebagian bidang
tanah ke dalam peta bidang tanah bersertifikat sesuai dengan peruntukkan hak atas
tanahnya. Bidang-bidang tanah yang telah disertifikatkan sebagian besar hanya sekitar 20% -
43% dari seluruh kawasan budidaya. Akan tetapi, di antara kelima provinsi kajian tersebut,
hanya ada tiga provinsi kajian yang sudah melakukan digitasi pada bidang-bidang tanah
sesuai dengan jenis hak atas tanahnya, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
dan Nusa Tenggara Barat. Meskipun demikian, di antara ketiga provinsi tersebut, hanya
Provinsi Sumatera Selatan yang sudah memenuhi prasyarat capaian peta bidang tanah
bersertifikat (≥ 70%). Sebaliknya, dua provinsi lainnya, Provinsi Sumatera Utara dan Nusa
Tenggara Barat, masih tergolong rendah (<20% - <40%), sehingga belum memenuhi
prasyarat untuk capaian peta bidang tanah bersertifikat sesuai dengan RPJMN 2015 – 2019.
Akan tetapi, jumlah cakupan peta bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi di Provinsi
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara tidak teridentifikasi. Tidak teridentifikasinya data
capaian peta ini diduga disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti data yang dimiliki
oleh Kanwil BPN kedua provinsi tersebut belum tersusun dengan baik, kebenaran datanya
belum dapat dipertanggungjawabkan, atau kurangnya koordinasi antar-kantor pertanahan
pada masing-masing provinsi. Oleh sebab kondisi demikian, capaian peta bidang tanah
bersertifikat yang sudah terdigitasi pada kedua provinsi tersebut menggunakan data dari
capaian nasional yang telah dikeluarkan oleh Kementerian ATR/BPN Juni 2016.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
44
Gambar IV.5 Cakupan Peta Bidang Tanah Bersertifikat Terdigitasi di Provinsi Kajian, 2016
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
Meskipun demikian, apabila di lihat dari data cakupan peta bidang tanah bersertifikat secara
nasional untuk kelima provinsi kajian hingga Juni 2016 dan Kanwil BPN masing-masing
provinsi kajian, ketiga provinsi kajian memiliki perbedaan yang cukup signifikan, yaitu
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (lihat
perbedaan data pada Tabel IV.6 dan Gambar IV.6 berikut).
Tabel IV.6 Perbedaan Data Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat antara
Direktorat Pemetaan BPN dengan Kanwil BPN Provinsi Kajian
Provinsi Nasional Kanwil Perbedaan
Sumatera Utara 16,43% 28,80% 12,37%
Sumatera Selatan 5,36% 78,48% 73,12%
Nusa Tenggara
Barat 4,94% 13,80% 8,86%
Kalimantan
Selatan 16,26%
Tidak ada
data -
Sulawesi Utara 0,82% Tidak ada
data -
Sumber: ATR/BPN (hingga Juni 2016), Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian, dan Hasil
Analisis (2016)
Di antara ketiga provinsi tersebut, perbedaan yang sangat signifikan nampak pada capaian
cakupan peta bidang tanah bersertifikat di Provinsi Sumatera Selatan. Data capaian peta
bidang tanah bersertfikat yang sudah terdigitasi di Provinsi Sumatera Selatan hingga Juni
2016 menunjukkan bahwa capaian peta ini baru mencapai sekitar 5%, tetapi data dari
Kanwil BPN Sumatera Selatan menunjukkan bahwa capaian peta ini sudah mencapai sekitar
0%15%30%45%60%75%
Sula
wes
i U
tara
Nu
sa T
engg
ara
Tim
ur
Mal
uk
u
Sula
wes
i T
eng
gar
a
Mal
uk
u U
tara
Pap
ua
Sula
wes
i S
elat
an
Sula
wes
i T
eng
ah
Jam
bi
Ace
h
Pap
ua
Bar
at
Kep
. B
ang
ka
Bel
itu
ng
Lam
pun
g
Sula
wes
i B
arat
Sum
ater
a B
arat
Jaw
a T
imur
Go
ron
talo
Kal
iman
tan
Uta
ra
Nu
sa T
engg
ara
Bar
at
Kal
iman
tan
Tim
ur
Kal
iman
tan
Bar
at
Ben
gk
ulu
Jaw
a B
arat
Kal
iman
tan
Sel
atan
Ban
ten
Kep
. R
iau
Jaw
a T
eng
ah
DI
Yo
gy
akar
ta
Kal
iman
tan
Ten
gah
Sum
ater
a U
tara
Bal
i
DK
I Ja
kar
ta
Ria
u
Sum
ater
a S
elat
an
Peta Bidang Tanah Bersertifikat Terdigitasi di Provinsi Kajian
Persentase Cakupan Peta Bidang Bersertifikat di INDONESIA (%)
Peta <70% = 4 Provinsi Peta ≥ 70% = 1 Provinsi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
45
78% (lebih tinggi 73% dari data yang dikeluarkan oleh BPN Pusat). Data capaian peta bidang
tanah bersertifikat yang sudah terdigitasi dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Selatan telah
menyebabkan provinsi ini menjadi tertinggi secara nasional dan memenuhi prasyarat dalam
capaian peta bidang tanah bersertifikat sesuai dengan RPJMN 2015-2019.
Gambar IV.6 Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat di Indonesia dan Provinsi Kajian
Sumber: ATR/BPN (Juni 2016), Kanwil BPN Provinsi Kajian, dan Hasil Analisis (2016)
Kondisi capaian cakupan peta bidang tanah bersertifikat yang sudah terdigitasi, baik di lihat
secara nasional maupun hanya kelima provinsi kajian menunjukkan bahwa Indonesia belum
dapat melakukan perubahan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanahnya.
Hal ini disebabkan oleh sebagian besar capaian peta bidang tanah bersertifikat yang
terdigitasi di Indonesia belum memenuhi prasyarat (masih <70%).
IV.3 Faktor-faktor Penghambat Pencapaian Cakupan Peta
Perkiraan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif di Indonesia telah
digambarkan melalui capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat
yang sudah terdigitasi pada kelima provinsi kajian. Akan tetapi, data dan informasi yang
diberikan oleh Kementerian ATR/BPN hingga Juni dan Kanwil BPN masing-masing provinsi
kajian menunjukkan bahwa peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat yang
terdigitasi belum memenuhi prasyarat sesuai dengan RPJMN 2015-2019. Oleh sebab itu, di
dalam bagian ini diuraikan faktor-faktor yang menghambat upaya pencapaian cakupan peta-
0%
15%
30%
45%
60%
75%
Sulu
t
NT
T
Mal
uk
u
Sult
ra
Mal
uk
u U
tara
Pap
ua
Suls
el
Sult
eng
NT
B
Sum
sel
Jam
bi
Ace
h
Pap
ua
Bar
at
Kep
. B
abel
Lam
pun
g
Sulb
ar
Sum
bar
Jati
m
Go
ron
talo
Kal
ut
Kal
tim
Kal
bar
Ben
gk
ulu
Jab
ar
Kal
sel
Sum
ut
Ban
ten
Kep
. R
iau
Jate
ng
DIY
Kal
ten
g
Bal
i
DK
I
Ria
u
Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi di Indonesia
0%
15%
30%
45%
60%
75%
Sulu
t
NT
T
Mal
uk
u
Sult
ra
Mal
uk
u U
tara
Pap
ua
Suls
el
Sult
eng
Jam
bi
Ace
h
Pap
ua
Bar
at
Kep
. B
abel
Lam
pun
g
Sulb
ar
Sum
bar
Jati
m
Go
ron
talo
Kal
ut
NT
B
Kal
tim
Kal
bar
Ben
gk
ulu
Jab
ar
Kal
sel
Ban
ten
Kep
. R
iau
Jate
ng
DIY
Kal
ten
g
Sum
ut
Bal
i
DK
I
Ria
u
Sum
sel
Capaian Peta Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi di Provinsi
Kajian
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
46
peta tersebut (Tabel IV.7). Faktor-faktor ini diperoleh dari informasi masing-masing Kanwil
BPN provinsi kajian.
Tabel IV.7 Faktor-faktor Penghambat Capaian Peta Dasar Pertanahan dan
Peta Bidang Tanah Bersertifikat
Faktor Penghambat Sumut Sumsel NTB Kalsel Sulut
Kurangnya koordinasi antara BPN Pusat dan
Kanwil BPN
Peralatan teknis pengukuran kurang
memadai
Perbedaan akurasi peta dasar
Anggaran tidak memadai
Bidang-bidang tanah bersertifikat masih
tumpang tindih
Citra satelit beresolusi tinggi belum memadai
Peta masih koordinat lokal
Data analog belum dikelompokkan
Kurangnya jumlah juru ukur
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian, 2016
Tabel IV.7 menunjukkan bahwa faktor-faktor penghambat pencapaian peta memiliki sedikit
perbedaan antar provinsi kajian. Secara keseluruhan, faktor-faktor yang menghambat
pencapaian cakupan peta masing-masing provinsi kajian terkonsentrasi pada faktor jumlah
juru ukur yang kurang memadai, data analog belum dikelompokkan, dan sebagian besar
peta masih berkoordinat lokal (33,33% dari seluruh provinsi kajian memilih tiga faktor ini
sebagai faktor utama). Sebagian besar provinsi yang menghadapi ketiga masalah
pertanahan ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Kalimantan Selatan.
Sebaliknya, faktor perbedaan akurasi data, kekurangan peralatan teknis, dan kurangnya
koordinasi antar instansi diduga menjadi faktor yang kurang mempengaruhi terhambatnya
pencapaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat. Namun demikian, di
antara faktor-faktor tersebut, terlihat bahwa faktor kurangnya jumlah juru ukur menjadi
faktor paling tinggi atau faktor paling dominan mempengaruhi lambatnya capaian kedua
peta tersebut.
IV.4 Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan
Salah satu sumber daya manusia bidang pertanahan yang berperan cukup penting
khususnya dalam pelayanan pertanahan adalah ketersediaan juru ukur pertanahan yang
memadai. Akan tetapi, data tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah juru ukur pertanahan
masih sangat kurang, yaitu hanya 1.689 orang (sekitar 8%) dari seluruh jumlah pegawai
sebanyak 20.184 orang (Laporan Kinerja Pemerintah Kementerian ATR/BPN, 2014). Kondisi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
47
demikian telah mempengaruhi kinerja pelayanan pertanahan menjadi tidak optimal. Akan
tetapi, upaya pemerintah untuk meningkatkan pelayanan pertanahan masih belum
memberikan hasil yang cukup memuaskan hingga saat ini, terutama kepastian waktu
pelayanan mengingat proporsi pegawai Kementerian ATR/BPN belum mencapai komposisi
ideal untuk jumlah juru ukur. Dari keadaan saat ini, jumlah juru ukur pertanahan di
Indonesia perlu ditingkatkan hingga 40% dari seluruh jumlah pegawai Kementerian ATR/BPN
secara nasional. Proporsi 40% untuk jumlah juru ukur dianggap sebagai jumlah yang cukup
ideal untuk meningkatkan kualitas pelayanan pertanahan (RPJMN 2015-2019).
IV.4.1 Sumber Daya Manusia Bidang Pertanahan di Provinsi Kajian
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa ketersediaan jumlah juru ukur pertanahan
yang memadai merupakan bagian penting yang harus ada di setiap kantor pertanahan guna
melancarkan kegiatan pelayanan pertanahan. Jumlah juru ukur dianggap memadai apabila
jumlah juru ukur ini telah mencapai 40% dari seluruh pegawai BPN di setiap kantor
pertanahan seluruh provinsi. Berikut ini disajikan tabel ketersediaan jumlah juru ukur
masing-masing provinsi kajian dan perkiraan penambahan jumlah juru ukur untuk setiap
provinsi kajian, serta gambar perbandingan proporsi jumlah juru ukur dan jumlah non-juru
ukur pertanahan (Tabel IV.8 dan Gambar IV.7).
Tabel IV.8 Jumlah Pegawai Juru Ukur Pertanahan Masing-masing Provinsi
Kajian Tahun 2016
Provinsi Jumlah
Pegawai
Jumlah
Juru Ukur
Jumlah
Non Juru
Ukur
Jumlah
Juru Ukur
Ideal (40%)
Penambahan
Jumlah Juru
Ukur
Sumatera Utara 191 99 92 76 -
Sumatera Selatan 121 77 44 48 -
Nusa Tenggara Barat 466 67 399 186 119
Kalimantan Selatan 458 96 362 183 87
Sulawesi Utara 326 34 292 130 96
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
48
Gambar IV.7 Proporsi Jumlah Pegawai Juru Ukur dan Pegawai Non Juru Ukur
Masing-masing Provinsi Kajian
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
Dari kelima provinsi kajian, data dan analisis menunjukkan bahwa jumlah juru ukur
pertanahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi
Sulawesi Utara belum ideal (sebanyak 80% - 90% pegawai pertanahan adalah pegawai non-
juru ukur). Oleh sebab kondisi demikian, ketiga provinsi kajian ini harus menambah jumlah
juru ukur sekitar 150 hingga 200 orang guna meningkatkan kualitas pelayanan pertanahan di
daerahnya. Sebaliknya, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan sudah
memiliki jumlah juru ukur pertanahan yang ideal dan diharapkan dapat terus meningkatkan
kualitas pelayanan pertanahan di daerahnya.
IV.5 Upaya Percepatan Pencapaian Cakupan Peta
Selanjutnya, subbab ini akan diuraikan tentang upaya-upaya percepatan pencapaian
cakupan peta untuk masing-masing provinsi kajian yang digambarkan melalui mayoritas
upaya yang paling banyak diajukan oleh masing-masing provinsi kajian. Upaya perbaikan ini
diharapkan dapat membantu pemerintah untuk memperbaiki program-program
peningkatan kualitas pelayanan pertanahan yang telah disusun. Jenis upaya percepatan
pencapaian cakupan peta dapat di lihat pada Gambar IV.9 berikut.
Gambar IV.8 Upaya Percepatan Capaian Peta yang Paling Banyak di Pilih
Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Kajian dan Hasil Analisis, 2016
99 77 67 96 34 92 44
399 362 292
050
100150200250300350400
Sumatera Utara Sumatera Selatan Nusa Tenggara
Barat
Kalimantan Selatan Sulawesi Utara
Jumlah Juru Ukur di Wilayah Kajian
Juru Ukur Non Juru Ukur
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Pembuatan peta dasar bersama pendaftaran tanahPelatihan dan pendidikan juru ukur
Penggunaan peta dari sumber lainPembuatan peta dasar & peta pendaftaran basis desa
Penggunaan CORS dan UAVPengadaan citra satelit terbaru
Pemetaan ulang peta berkoordinat lokalPenanganan kasus pertanahan
Koordinasi antara BPN Pusat dan Kanwil BPN
Upaya Percepatan Capaian Cakupan Peta
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
49
Gambar IV.9 di atas menunjukkan bahwa upaya percepatan pencapaian cakupan peta dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu upaya A, B, dan C. Pengelompokkan ini didasarkan pada
banyaknya Kanwil BPN provinsi kajian yang memilih upaya-upaya tersebut sebagai hal yang
dianggap penting.
Upaya A (60% provinsi kajian memilih upaya ini), yaitu koordinasi lintas sektor dan
terselesaikannya kasus-kasus pertanahan.
Upaya B (40% provinsi kajian memilih upaya ini), yaitu pemetaan ulang untuk seluruh
peta-peta yang berkoordinat lokal.
Upaya C (20% provinsi kajian memilih upaya ini), yaitu pengadaan citra satelit terbaru,
penggunaan CORS dan UAV, pembuatan peta dasar dan peta pendaftaran berbasis desa,
penggunaan peta dari sumber lain, pelatihan dan pendidikan juru ukur, dan pembuatan
peta dasar bersamaan pendaftaran tanah.
Upaya A berupa koordinasi lintas sektor dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Kedua
upaya ini diduga menjadi upaya yang harus segera dilaksanakan guna mempercepat
pencapaian peta dasar pertanahan maupun peta bidang tanah bersertifikat. Kedua upaya ini
diajukan oleh 60% provinsi kajian, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Upaya koordinasi lintas sektor diduga menjadi hal
yang penting mengingat banyaknya perbedaan data yang dikeluarkan antara Kanwil BPN
setiap provinsi dengan Kementerian ATR/BPN (data pusat). Perbedaan data dalam kajian ini
sangat nampak pada data capaian peta dasar pertanahan dan capaian peta bidang tanah
bersertifikat. Oleh sebab itu diperlukan adanya kerjasama dan sinkronisasi data terkait
pertanahan antar K/L, dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional.
Selain koordinasi lintas sektor, upaya penyelesaian kasus-kasus pertanahan juga diduga
menjadi hal penting yang harus segera dilaksanakan. Sampai akhir tahun 2014, kasus
pertanahan nasional yang belum terselesaikan masih sebanyak 50,5% dari seluruh kasus
yang masuk (5.878 kasus). Jumlah kasus pertanahan ini akan selalu mengalami peningkatan
setiap tahunnya, akan tetapi sampai saat ini pemerintah belum menemukan metode
penyelesaian kasus pertanahan yang tepat. Hal-hal yang menyebabkan belum
terselesaikannya kasus-kasus pertanahan antara lain (1) kasus pertanahan banyak muncul
dan berkembang di lokasi yang masyarakatnya belum sejahtera secara ekonomi; (2)
belum/tidak adanya kepastian hukum hak atas tanah yang memberikan jaminan terhadap
kepemilikan tanah; (3) sistem pendaftaran tanah masih menggunakan sistem publikasi
negatif; (4) capaian cakupan peta dasar pertanahan masih rendah; (5) capaian cakupan peta
bidang tanah bersertifikat masih rendah; (6) penguasaan tanah tanpa proses hukum
dilakukan oleh masyarakat miskin pada bidang-bidang tanah yang dianggap terlantar; serta
(7) terdapat perbedaan pemahaman atas hukum tanah yang berlaku (lebih lanjut lihat
subbab III.2.2).
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
50
Di samping perlunya koordinasi lintas sektor dan penyelesaian kasus-kasus pertanahan,
upaya lainnya yang paling banyak disebutkan untuk mempercepat cakupan peta di
Indonesia adalah pemetaan ulang untuk seluruh peta yang berkoordinat lokal. Pemetaan
ulang ini diajukan oleh 40% provinsi kajian (dua dari lima provinsi kajian), yaitu Provinsi
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. Sementara itu, upaya perbaikan kondisi pertanahan
lainnya (upaya C) antara lain (1) pengadaan citra satelit terbaru; (2) penggunaan CORS dan
UAV; (3) pembuatan peta dasar dan peta pendaftaran berbasis desa; (4) penggunaan peta
dari sumber lain; (5) pelatihan dan pendidikan juru ukur; dan (6) pembuatan peta dasar
bersamaan dengan pendaftaran tanah. Masing-masing upaya C di pilih oleh tiga dari lima
provinsi kajian, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan
Selatan.
Kesimpulan Analisis Capaian Peta Dasar Pertanahan dan Peta Bidang Tanah Bersertifikat
Analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat dalam bab ini
menguraikan tentang hal-hal yang mendukung pelaksanaan perubahan sistem pendaftaran
publikasi positif di Indonesia, seperti capaian peta dasar di Indonesia dan provinsi kajian,
capaian peta bidang tanah bersertifikat di Indonesia dan provinsi kajian, faktor-faktor
penghambat pencapaian cakupan peta, sumber daya manusia bidang pertanahan, serta
upaya percepatan capaian peta yang diajukan oleh masing-masing provinsi kajian. Provinsi-
provinsi yang di pilih sebagai sampel dalam kajian ini adalah Provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.
Dalam upaya menentukan kesiapan Indonesia melakukan perubahan pada sistem publikasi
dalam pendaftaran tanahnya, dari sistem publikasi negatif menjadi publikasi positif, kajian
ini menggunakan hipotesa yang telah diuraikan pada subbab I.4.2. Hipotesa ini didasarkan
pada data dan analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat
yang sudah terdigitasi, serta di lihat dari segi hukum berupa perubahan substansi peraturan
tentang sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Namun, pada kesimpulan kali ini, kesiapan
Indonesia untuk merubah sistem publikasi dalam sistem pendaftaran tanah terlebih dahulu
di lihat dari kondisi capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat yang
sudah terdigitasi.
Data dan analisis menunjukkan bahwa sistem publikasi positif untuk sistem pendaftaran
tanah di Indonesia belum dapat direalisasikan (Hipotesis 3). Hal ini disebabkan oleh capaian
cakupan peta dasar pertanahan maupun peta bidang tanh bersertifikat belum memenuhi
prasyarat. Capaian cakupan peta dasar pertanahan masih tergolong sedang (40% - 60%),
sedangkan capaian peta bidang tanah bersertifikat yang sudah terdigitasi masih tergolong
sangat rendah (<20%). Akan tetapi, data capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang
tanah bersertifikat yang sudah terdigitasi antara data pusat seluruh provinsi di Indonesia
dengan data lima provinsi kajian memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan data
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
51
ini diduga disebabkan oleh kurangnya koordinasi antar pemerintah, data capaian peta dasar
pertanahan di daerah masih saling tumpang tindih, atau data di daerah belum tersusun
dengan rapi.
Faktor-faktor utama yang menghambat pencapaian cakupan kedua peta tersebut, yaitu
kurangnya jumlah juru ukur, sebagian besar peta masih berkoordinat lokal, dan data analog
belum dikelompokkan. Namun, di antara seluruh faktor-faktor tersebut, kurangnya jumlah
juru ukur menjadi faktor yang paling dominan menghambat pencapaian cakupan peta-peta
tersebut. Sejauh ini, jumlah juru ukur pertanahan yang dimiliki oleh Kanwil BPN seluruh
provinsi masih kurang dari 40% dari seluruh pegawai pertanahan.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mempercepat capaian cakupan peta dasar
pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat di Indonesia. Upaya prioritas yang harus
segera dilaksanakan adalah koordinasi lintas sektor dan penyelesaian kasus-kasus
pertanahan. Koordinasi lintas sektor yang sangat penting adalah sinkronisasi data capaian
peta antara Kanwil BPN dengan BPN pusat. Sementara itu, penyelesaian kasus-kasus
pertanahan juga diperlukan sebagai salah satu prasyarat untuk mendukung perubahan
sistem publikasi negatif menjadi sistem publikasi positif. Di dalam sistem publikasi positif,
permasalahan pertanahan seperti sengketa, konflik, maupun perkara harus kurang dari 10%
bahkan sudah tidak ada lagi permasalahan pertanahan yang harus diselesaikan oleh negara.
Sebab, apabila negara masih memiliki banyak kasus pertanahan yang belum terselesaikan
dengan baik, negara tersebut belum dapat merealisasikan sistem publikasi positif dalam
sistem pendaftaran tanah. Kondisi demikian disebabkan oleh beban keuangan negara akan
sangat besar apabila negara tersebut tetap merealisasikan sistem publikasi positif,
sementara permasalahan pertanahan masih banyak yang belum terselesaikan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
53
BAB V
ANALISIS PERUBAHAN PERATURAN HUKUM TERKAIT
PENDAFTARAN TANAH
Dalam upaya mewujudkan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, terdapat
beberapa langkah strategis yang harus dilakukan, salah satunya adalah revisi peraturan
perundang-undangan terkait sistem pendaftaran tanah. Peraturan-peraturan hukum terkait
pendaftaran tanah, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Namun, seluruh peraturan perundang-undangan terkait pendaftaran
tanah ini belum ditinjau dan direvisi substansinya. Sehingga, berdasarkan hipotesis yang
telah dikemukakan pada subbab 1.4.2, sistem pendaftaran tanah publikasi positif belum
dapat diterapkan di Indonesia baik secara parsial di beberapa provinsi ataupun seluruh
provinsi di Indonesia.
Dalam upaya persiapan perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, terdapat
beberapa hal yang perlu dimasukkan pada perubahan peraturan perundang-undangan
terkait pendaftaran tanah, antara lain:
1. Perlu adanya pasal baru di dalam UUPA atau PP 24/1997 yang mengatur tentang tiga
prinsip utama hukum indefeasible, seperti prinsip cermin (mirror principle), prinsip tabir
(curtain principle), dan prinsi asuransi (insurance principle). Pasal tentang indefeasible ini
perlu didukung dan diperjelas dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah lain yang terkait.
2. Perlu adanya pasal baru di dalam UUPA atau PP 24/1997 yang mengatur tentang jenis
kompensasi ganti rugi (indemnity) atas kesalahan dalam register. Dalam prakteknya,
sistem publikasi positif ini memiliki dua jenis kompensasi ganti rugi yang disesuaikan
dengan dasar hukum pemerintahan yang digunakan pada negara tersebut. Dua jenis
kompensasi ganti rugi atas kesalahan dalam register, yaitu immediate indefeasible dan
deffered indefeasible. Immediate indefeasible umumnya digunakan oleh negara-negara
yang tidak menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum (contoh: Inggris, Australia),
sedangkan deffered indefeasible biasanya digunakan oleh negara-negara yang
menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum (contoh: Malaysia). Berdasarkan hal ini,
pemerintah perlu melakukan diskusi dengan BPN beserta para akademisi untuk
memutuskan jenis kompensasi ganti rugi yang akan diterapkan, apakah menggunakan
immediate indefeasible atau deffered indefeasible. Pasal tentang jenis indemnity dalam
ini perlu didukung dan diperjelas dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah lain yang terkait.
3. Perlu adanya pasal baru atau penambahan ayat baru dalam pasal tertentu pada PP
24/1997 tentang penentuan tanah yang dapat didaftarkan atau dilegalisasikan. Tanah-
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
54
tanah ini dapat berupa tanah yang diperoleh sebelum 17 Agustus 1945, tanah waris dari
pendudukan penjajah, tanah wakaf yang sebelumnya dimiliki secara mutlak dan secara
sah telah diberikan, dan sebagainya. Pasal tentang penentuan tanah yang dapat
didaftarkan atau dilegalisasikan dalam PP 24/1997 perlu didukung dan diperjelas dengan
peraturan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain yang terkait.
4. Perlu adanya pasal baru atau penambahan ayat baru dalam pasal tertentu pada UUPA
dan PP 24/1997 yang mengatur tentang pembangunan Pusat Database Pendaftaran
Tanah Nasional.
5. Perlu adanya undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur lebih jelas atau
lebih detail tentang Pusat Database Pendaftaran Tanah Nasional, termasuk isi, perubahan
data, kesepakatan, hingga jaminan kebenaran informasi di dalam Pusat Database
tersebut oleh pemerintah. Isi Pusat Database Pendaftaran Tanah Nasional meliputi peta
pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, dan daftar nama pemegang hak. Oleh
sebab itu, terdapat beberapa hal yang perlu dipersiapkan guna mendukung
pembangunan pusat database ini, antara lain:
a. Peta dasar pendaftaran tanah harus sudah berbentuk digital dengan batas-batas
koordinat yang akurat dan dapat diolah. Peta dasar pendaftaran tanah digital
sebaiknya berisi informasi jenis penutupan lahan (land cover), titik kendali (control
points), bangunan, nomor persil (parcel number), garis batas (boundary lines), dan titik
batas (boundary points) seperti Gambar V.1 berikut.
Gambar V.1 Contoh Peta Dasar Pendaftaran Tanah Digital
Sumber: BEV – Federal Office of Metrology and Surveying, 2009
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
55
b. Pembukuan tanah sudah di ubah ke dalam bentuk Pusat Database Pendaftaran Tanah.
c. Seluruh bidang-bidang tanah harus sudah dibukukan dengan jelas.
d. Seluruh kawasan budidaya harus sudah disertifikasi sesuai jenis kepemilikan hak atas
tanahnya dan seluruh sertifikat hak atas tanah harus masuk ke dalam Bank Data.
e. Surat-surat bukti hak kepemilikan atas tanah harus sudah sama dengan Pusat
Database Pendaftaran Tanah Nasional.
Seluruh informasi terkait pertanahan di dalam Pusat Database Pendaftaran Tanah
Nasional harus terjamin kebenarannya oleh pemerintah. Selain itu, apabila ada
perubahan data di dalam pusat database, maka perubahan data ini harus disepakati
antara BPN dengan pemilik hak atas tanah.
6. Perlu adanya pasal baru atau penambahan ayat baru dalam pasal tertentu pada PP
24/1997 yang mengatur tentang isi dan keakuratan data fisik dan data yuridis. Data fisik
dan data yuridis di setiap daerah harus sudah sangat lengkap, akurat, valid, dan dijamin
kebenarannya oleh ATR/BPN.
7. Pencatatan perubahan akibat keputusan pengadilan pada "pembukuan tanah"
sebagaimana dimaksud pada Pasal 1, pp 24/1997 perlu diperbaharui.
Selanjutnya, pasal-pasal yang perlu direvisi guna disesuaikan dengan sistem publikasi positif
dapat di lihat pada Tabel V.1 berikut.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
56
Tabel V.1 Identifikasi Peraturan Perundang-undangan yang Perlu Di Ubah atau Ditambahkan
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
1
Bab II Hak-hak atas tanah, air, dan ruang angkasa, serta pendaftaran tanah Bagian II Pendaftaran Tanah – Pasal 19
Pasal 19 Ayat 2, butir a dan c Pasal 19 Ayat 2 berbunyi: a. Pengukuran, perpetaan, dan
pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan
peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti
hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan Penjelasan Umum IV … Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechtskadaster” artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
1. Butir (a), “pembukuan tanah” perlu diubah atau ditambah menjadi “pembukuan tanah dalam bentuk Pusat Data Base Pendaftaran Tanah Nasional”. 2. Butir (c), “alat pembuktian yang kuat” disusulkan untuk diubah menjadi “alat pembuktian yang mutlak serta dapat diteliti / ditinjau kesesuaiannya dengan Pusat Data Base Pendaftaran Tanah Nasional”.
Catatan : Dalam UUPA perlu ditambahkan pasal-pasal tentang : 1. Pembangunan Pusat Data Base Pendaftaran Tanah Pemerintah 2. Mekanisme uji kebenaran yuridis (adjudikasi) apabila ada perbedaan informasi antara surat-surat tanda bukti hak dengan Pusat Data Base Pendaftaran Tanah Pemerintah; 3. Mekanisme ganti rugi oleh Pemerintah apabila pemerintah terbukti melakukan kesalahan pencatatan informasi di dalam surat-surat tanda bukti hak, sehingga menyebabkan
adanya perbedaan infromasi dalam Pusat Data Base Pendaftaran Tanah Pemerintah. 4. Perlu dikaji kebutuhan penerbitan Peraturan Pemerintah baru yang mengatur Pembentukan Pusat Data Base Pendaftaran Pemerintah.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
57
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
1 Bab I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus
menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Cukup jelas
“pembukuan tanah” perlu diubah atau ditambah
pengertiannya menjadi “pembukuan tanah dalam
bentuk Pusat Data Base Pendaftaran Tanah
Nasional” atau ditambahkan butir baru yang
memuat tentang Pusat Data Base Pendaftaran
Tanah Nasional.
2 Bab II
Azas dan Tujuan
Pasal 3
Pendaftaran tanah bertujuan:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang ber-
sangkutan,
b. Untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data yang diperlukan dalam
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana
tercantum pada huruf a merupakan tujuan
utama pendaftaran tanah yang diperintahkan
Pasal 19 UUPA.
Disamping itu dengan terselenggaranya
pendaftaran tanah juga dimaksudkan
terciptanya suatu pusat informasi mengenai
bidang-bidang tanah sehingga pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah
dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun yang sudah di
Penjelasan pasal 3 secara eksplisit
mengamanatkan pembentukan Pusat Data Base
Pendaftaran Tanah, namun hingga saat ini
pembentukan Pusat Data Base Pendaftaran Tanah
belum dilakukan oleh pemerintah.
Pusat data dan informasi Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/BPN tidak secara yuridis mengikat
surat-surat bukti hak yang telah diterbitkan.
Pembangunan sistem pendaftaran tanah publikasi
positif perlu dicantumkan secara eksplisit dalam
batang tubuh tentang eksistensi Pusat Data Base
Pendaftaran Tanah dan data informasi yang
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
58
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
mengadakan perbuatan hukum mengenai
bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.
daftar.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara
baik merupakan dasar dan perwujudan tertib
administrasi di bidang pertanahan.
terdapat didalamnya mengikat secara hukum
seluruh surat-surat bukti hak yang diterbitkan.
3
Pasal 4, Ayat 1 dan 2
1. Untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada
pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan diberikan sertipikat hak atas
tanah.
2. Untuk melaksanakan fungsi informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b data fisik dan data yuridis dari
bidang tanah dan satuan rumah susun yang
sudah terdaftar terbuka untuk umum.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat 1
Sertifikat hak atas tanah perlu di ubah atau
ditambahkan keterangan yang menyebutkan
bahwa sertifikat hak atas tanah tersebut
merupakan salinan atau print out dari database
yang ada di Pusat Database Pertanahan Nasional
Ayat 2
Data fisik dan yuridis harus diperiksa kelengkapan
maupun keakuratannya, serta dijamin
kebenarannya oleh ATR/BPN, sehingga memiliki
kekuatan hukum yang mengikat
4
Bab III
Pokok-pokok
Penyelenggaraan
Pendaftaran Tanah
Bagian II
Obyek Pendaftaran Tanah
Pasal 9
1. Obyek pendaftaran tanah meliputi:
1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai
dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai;
2. Tanah hak pengelolaan;
3. Tanah wakaf;
4. Hak milik atas satuan rumah susun;
5. Hak tanggungan;
6. Tanah Negara.
Ayat (1)
Cukup jelas
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
59
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
2. Dalam hal tanah Negara sebagai obyek
pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya
dilakukan dengan cara membukukan
bidang tanah yang merupakan tanah
Negara dalam daftar tanah.
Ayat (2)
Pendaftaran tanah yang obyeknya bidang
tanah yang berstatus tanah Negara dilakukan
dengan mencatatnya dalam daftar tanah dan
tidak diterbitkan sertipikat.
5
Bab III
Pokok-pokok
Penyelenggaraan
Pendaftaran Tanah
Bagian III
Satuan Wilayah Tata Usaha
Pendaftaran Tanah
Pasal 10
1. Satuan wilayah tata usaha pendaftaran
tanah adalah desa atau kelurahan.
2. Khusus untuk pendaftaran tanah hak guna
usaha, hak pengelolaan, hak tanggungan
dan tanah Negara satuan wilayah tata
usaha pendaftarannya adalah
Kabupaten/Kotamadya.
Ayat (1)
Desa dan kelurahan adalah satuan wilayah
Pemerintahan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa.
Ayat (2)
Areal hak guna usaha, hak pengelolaan dan
tanah Negara umumnya meliputi beberapa
desa/kelurahan. Demikian juga obyek hak
tanggungan dapat meliputi beberapa bidang
tanah yang terletak di beberapa
desa/kelurahan.
Pengaturan tentang desa diatur melalui Undang-
undang No. 6 Tahun 2004
Perlu mengakomodir ketentuan mengenai desa
adat dan sejenisnya, serta harus sudah jelas
batas-batas tanah adat/ulayat
6
Bab III
Pokok-pokok
Penyelenggaraan
Pendaftaran Tanah
Bagian IV
Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah
Pasal 12
1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali meliputi: a. pengumpulan dan
pengolahan data fisik; b. pembuktian hak
dan pembukuannya; c. penerbitan
sertifikat; d. penyajian data fisik dan data
yuridis; e. penyimpanan daftar umum dan
dokumen.
2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran
tanah meliputi: a. pendaftaran peralihan
dan pembebanan hak; b. pendaftaran
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Untuk pendaftaran tanah pertama kali
dibebaskan atau tidak dikenakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), sehingga
dapat mempercepat pelaksanaan sertifikasi
tanah.
Penyimpanan daftar umum dan dokumen
dilakukan pada Pusat Database Pertanahan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
60
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
perubahan data pendaftaran tanah lainnya.
7
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian II
Pengumpulan dan
Pengolahan Data Fisik
Paragraf 1
Pengukuran dan Pemetaan
Pasal 14
1. Untuk keperluan pengumpulan dan
pengolahan data fisik dilakukan kegiatan
pengukuran dan pemetaan
2. Kegiatan pengukuran dan pemetaan
sebagaimana di-maksud pada ayat (1)
meliputi :
a. Pembuatan peta dasar pendaftaran;
b. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-
bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran;
d. Pembuatan daftar tanah;
e. Pembuatan surat ukur.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Peta dasar pendaftaran tanah harus dibuat dalam
bentuk digital menggunakan batas-batas
koordinat yang akurat dan dapat diolah. Peta
dasar pendaftaran tanah digital (Digital Cadastral)
harus berisi informasi tentang penutupan lahan
(land cover), titik kendali (control points),
bangunan, nomor persil (parcel number), garis
batas (boundary lines), dan titik batas (boundary
points)
Lebih jelas lihat contoh peta kadastral digital pada
Gambar V.1.
8
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian II
Pengumpulan dan
Pengolahan Data Fisik
Paragraf 2
Pembuatan Peta Dasar
Pendaftaran
Pasal 15
1. Kegiatan pendaftaran tanah secara
sistematik sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) dimulai dengan
pembuatan peta dasar pendaftaran.
2. Di wilayah-wilayah yang belum ditunjuk
sebagai wilayah pendaftaran tanah secara
sistematik oleh Badan Pertanahan Nasional
diusahakan tersedianya peta dasar
pendaftaran untuk keperluan pendaftaran
tanah secara sporadik.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Peta dasar pendaftaran tanah harus dibuat
dalam bentuk digital menggunakan batas-batas
koordinat yang akurat dan dapat diolah.
Peta dasar pendaftaran tanah digital (Digital
Cadastral) harus berisi informasi tentang
penutupan lahan (land cover), titik kendali
(control points), bangunan, nomor persil
(parcel number), garis batas (boundary lines),
dan titik batas (boundary points)
Penyediaan peta dasar pendaftaran tanah
perlu difokuskan pada wilayah-wilayah
prioritas pembangunan nasional serta wilayah
perbatasan antara kawasan budidaya dengan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
61
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
kawasan hutan. Penyediaan peta dasar
pendaftaran tanah ini harus meliputi seluruh
wilayah Indonesia tanpa kecuali.
9
Pasal 16
1. Untuk keperluan pembuatan peta dasar
pendaftaran Badan Pertanahan Nasional
menyelenggarakan pemasangan,
pengukuran, pemetaan, dan pemeliharaan
titik-titik dasar teknik nasional di setiap
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
2. Pengukuran untuk pembuatan peta dasar
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diikatkan dengan titik-titik dasar
teknik nasional sebagai kerangka dasarnya.
3. Jika di suatu daerah tidak ada atau belum
ada titik-titik dasar teknik nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dalam melaksanakan pengukuran untuk
pembuatan peta dasar pendaftaran dapat
digunakan titik dasar teknik lokal yang
bersifat sementara, yang kemudian
diikatkan dengan titik dasar teknik
nasional.
4. Peta dasar pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
menjadi dasar untuk pembuatan peta
pendaftaran.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengukuran dan pemetaan titik dan teknik
nasional dan pembuatan peta dasar
pendaftaran ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Peta dasar pendaftaran tanah harus dibuat dalam
bentuk digital menggunakan batas-batas
koordinat yang akurat dan dapat diolah.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
62
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
10
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian II
Pengumpulan dan
Pengolahan Data Fisik
Paragraf 4
Pengukuran dan Pemetaan
Bidang-bidang Tanah dan
Pembuatan Peta
Pendaftaran
Pasal 20
1. Bidang-bidang tanah yang sudah
ditetapkan batas batasnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18 dan
Pasal 19 diukur dan selanjutnya dipetakan
dalam peta dasar pendaftaran.
2. Jika dalam wilayah pendaftaran tanah
secara sporadik belum ada peta dasar
pendaftaran, dapat digunakan peta lain,
sepanjang peta tersebut memenuhi syarat
untuk pembuatan peta pendaftaran.
3. Jika dalam wilayah dimaksud belum
tersedia peta dasar pendaftaran maupun
peta lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pembuatan peta dasar
pendaftaran dilakukan bersamaan dengan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah
yang bersangkutan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengukuran dan pemetaan bidang-bidang
tanah dan pembuatan peta pendaftaran
ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Jika dalam wilayah pendaftaran belum terdapat
peta dasar pendaftaran, maka akan dilakukan
terlebih dahulu penyusunan peta dasar
pendaftaran atau dibuatkan peta sementara
dengan menggunakan metode pemetaan dan
pengukuran yang akurat
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian II
Pengumpulan dan
Pengolahan Data Fisik
Paragraf 5
Pasal 21
1. Bidang atau bidang-bidang tanah yang
sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor
pendaftarannya pada peta pen-daftaran
dibukukan dalam daftar tanah.
2. Bentuk, isi, cara pengisian, penyimpanan
dan pemeli-haraan daftar tanah diatur oleh
Menteri
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Bidang-bidang yang sudah dipetakan akan
dicantumkan nomor pendaftarannya dan
disimpan dalam Data Base Pusat Informasi
Pertanahan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
63
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
Pembuatan Daftar Tanah
11
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian III
Pembuktian Hak dan
Pembukuannya
Paragraf 1
Pembuktian Hak Baru
Pasal 23
Untuk keperluan pendaftaran hak:
a. Hak atas tanah baru dibuktikan dengan:
1. Penetapan pemberian hak dari Pejabat
yang berwenang memberikan hak yang
bersangkutan menurut ketentuan yang
berlaku apabila pemberian hak
tersebut berasal dari tanah Negara atau
tanah hak pengelolaan;
2. Asli akta PPAT yang memuat pemberian
hak tersebut oleh pemegang hak milik
kepada penerima. hak yang
bersangkutan apabila mengenai hak
guna bangunan dan hak pakai atas
tanah hak milik;
b. Hak pengelolaan dibuktikan dengan
penetapan pemberian hak pengelolaan
oleh Pejabat yang berwenang;
c. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar
wakaf;
d. Hak milik atas satuan rumah susun
dibuktikan dengan akta pemisahan;
e. Pemberian hak tanggungan dibuktikan
dengan akta pemberian hak tanggungan.
Ayat (1)
Cukup jelas
Keseluruhan bukti hak baru tersebut akan
disimpan dalam Pusat Database Pertanahan
Nasional. Bentuk surat kepemilikan hak yang
dimiliki oleh pemilik merupakan salinan yang
sewaktu waktu dapat dimintakan print out-nya.
12
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian III
Pasal 24
1. Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas
tanah yang berasal dari konversi hak-hak
lama dibuktikan dengan alat-alat bukti
Ayat (1)
Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri
dari bukti kepemilikan atas nama pemegang
Pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak-hak lama tetap dilindungi, selama
dapat dibuktikan dengan bukti tertulis,
keterangan saksi, serta panitia adjudikasi.
Kemudian hak-hak lama tersebut harus
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
64
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
Pembuktian Hak dan
Pembukuannya
Paragraf 2
Pembuktian Hak Lama
mengenai adanya hak tersebut berupa
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan
atau pernyataan yang bersangkutan yang
kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi
dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik,
dianggap cukup untuk mendaftar hak,
pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang
membebaninya.
hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila
hak tersebut kemudian beralih, bukti
peralihan hak berturut-turut sampai ke
tangan pemegang hak pada waktu dilakukan
pembukuan hak. Alat-alat bukti tertulis yang
dimaksudkan dapat berupa :
a. Grosse akta hak eigendom yang
diterbitkan berdasarkan Overschrijvings
Ordonnantie (S.1834-27), yang telah
dibubuhi catatan, bahwa hak eigendom
yang bersangkutan dikonversi menjadi hak
milik; atau
b. Grosse akta hak eigendom yang
diterbitkan berdasarkan Overschrijvings
Ordonnantie (S.1834-27) sejak berlakunya
UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah
dilaksanakan menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di
daerah yang bersangkutan; atau
c. Surat tanda bukti hak milik yang
diterbitkan berdasarkan Peraturan
Swapraja yang bersangkutan; atau
d. Sertipikat hak milik yang diterbitkan
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria
Nomor 9 Tahun 1959; atau
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari
Pejabat yang ber-wenang, baik sebelum
ataupun sejak berlakunya UUPA, yang
tidak disertai kewajiban untuk
mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi
telah dipenuhi semua kewajiban yang
didaftarkan dalam sistem pendaftaran tanah
nasional sesuai persyaratan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
65
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
disebut di dalamnya; atau
f. Akta pemindahan hak yang dibuat di
bawah tangan yang dibubuhi tanda
kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala
Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
g. Akta pemindahan hak atas tanah yang
dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum
dibukukan; atau
h. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang
dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977; atau
i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat
Lelang yang berwenang, yang tanahnya
belum dibukukan; atau
j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling
tanah pengganti tanah yang diambil oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. Petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil,
kekitir dan Verponding Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961; atau
l. Surat keterangan riwayat tanah yang
pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan; atau
m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis
dengan nama apapun juga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII
Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
66
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
2. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia
secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik
bidang tanah yang bersangkutan selama 20
(dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran
dan pendahulu pendahulunya, dengan
syarat:
a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan
itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang
berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. Penguasaan tersebut baik sebelum
maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
tidak dipermasalahkan oleh masyarakat
hukum adat atau desa/kelurahan yang
Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak
lengkap atau tidak ada lagi, pembuktian
kepemilikan itu dapat dilakukan dengan
keterangan saksi atau pernyataan yang
bersangkutan yang dapat dipercaya
kebenarannya menurut pendapat Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi jalan keluar apabila
pemegang hak tidak dapat menyediakan
bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud
ayat (1), baik yang berupa bukti tertulis
maupun bentuk lain yang dapat dipercaya.
Dalam hal demikian pembukuan hak dapat
dilakukan tidak berdasarkan bukti
kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti
pengua-saan fisik yang telah dilakukan oleh
pemohon dan pendahulunya. Pembukuan
hak menurut ayat ini harus memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. bahwa penguasaan dan penggunaan tanah
yang bersangkutan dilakukan secara nyata
dan dengan itikad baik selama 20 tahun
atau lebih secara berturut-turut;
b. bahwa kenyataan penguasaan dan
penggunaan tanah tersebut selama itu
tidak diganggu gugat dan karena itu
Dalam pasal 24 ayat (2), negara mengakui
kepemilikan tanah meskipun tidak bisa
menunjukkan bukti kepemilikan, namun dalam
ayat ini memiliki klausa yang sangat sulit yaitu
minimal 20 tahun berturut-turut dan dengan
itikad baik. Dalam poin b, pemerintah juga
mengakui adanya masyarakat hukum adat.
Dalam UUD 1945 serta UU No. 5 Tahun 1960
tentang Pertaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
mengamanatkan bahwa masyarakat adat lebih
dahulu ada apabila dibandingkan dengan
berdirinya Negara Indonesia. Dengan demikian
dalam sistem publikasi positif, negara harus
memastikan dan memberikan perlindungan atas
keberadaan masyarakat adat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
67
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
bersangkutan ataupun pihak lainnya. dianggap diakui dan dibenarkan oleh
masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan;
c. bahwa hal-hal tersebut diperkuat oleh
kesaksian orang-orang yang dapat
dipercaya;
d. bahwa telah diberikan kesempatan kepada
pihak lain untuk mengajukan keberatan
melalui pengumuman sebagaimana
dimaksud Pasal 26;
e. bahwa telah diadakan penelitian juga
mengenai kebenaran hal-hal yang
disebutkan di atas;
f. bahwa akhirnya kesimpulan mengenai
status tanah dan pemegang haknya
dituangkan dalam keputusan berupa
pengakuan hak yang bersangkutan oleh
Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah
secara sistematik dan oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pen-daftaran tanah
secara sporadik.
13
Pasal 25
1. Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti
sebagaimana dimaksud Pasal 24 dilakukan
pengumpulan dan penelitian data yuridis
mengenai bidang tanah yang bersangkutan
oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik atau oleh Kepala
Kantor Pertanahan dalam pendaftaran
tanah secara sporadik.
Ayat (1)
Cukup jelas
BPN memiliki kewenangan dalam memutuskan
kebenaran alat bukti kepemilikan tanah
berdasarkan kesimpulan data fisik dan data
yuridis, namun tetap melalui pertimbangan
panitia adjudikasi. Dalam sistem publikasi positif,
data fisik dan yuridis yang valid dan benar akan
memudahkan pemerintah dalam memberikan
jaminan kebenaran atas informasi.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
68
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
2. Hasil penelitian alat-alat bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam suatu daftar isian
Ayat (2)
Cukup jelas
14
Pasal 26
1. Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2) beserta peta bidang atau
bidang-bidang tanah yang bersangkutan
sebagai hasil pengukuran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari
dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau 60 (enam puluh) hari dalam
pendaftaran tanah secara sporadik untuk
memberi kesempatan kepada pihak yang
berkepentingan mengajukan keberatan.
2. Pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di Kantor Panitia
Ajudikasi dan Kantor Kepala
Desa/Kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dalam pendaftaran tanah
secara sistematik atau di kantor
Pertanahan dan Kantor Kepala
Desa/Kelurahan letak tanah yang
bersangkutan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik serta di tempat lain yang
dianggap perlu.
Ayat (1)
Yang diumumkan pada dasarnya adalah data
fisik dan data yuridis yang akan dijadikan
dasar pendaftaran bidang tanah yang
bersang-kutan. Untuk memudahkan
pelaksanaannya, dalam pendaftaran tanah
secara sistematik pengumuman tidak harus
dilakukan sekaligus mengenai semua bidang
tanah dalam wilayah yang telah ditetapkan,
tetapi dapat dilaksanakan secara bertahap.
Pengumuman pendaftaran tanah secara
sistematik selama 30 hari dan di
pengumuman pendaftaran tanah secara
sporadik 60 hari dibedakan karena
pendaftaran tanah secara sistematik ini
merupakan pendaftaran tanah secara missal
yang diketahui oleh masyarakat umum
sehingga pengumumannya lebih singkat,
sedangkan pengumuman pendaftaran tanah
secara sporadik sifatnya individual dengan
ruang lingkup terbatas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tempat pengumuman
yang lain adalah misalnya Kantor Rukun
Warga, atau lokasi tanah yang bersangkutan.
Untuk penentuan ini Menteri akan
mengaturnya lebih lanjut.
Dalam pasal 26 menyebutkan bahwa pemerintah
memberikan waktu bagi masyarakat untuk
mengajukan keberatan atas informasi suatu
bidang tanah yang telah didaftarkan dalam sistem
pendaftaran tanah. Verifikasi penting dilakukan
oleh pemerintah agar tidak ada gugatan atas
informasi suatu bidang pertanahan di kemudian
hari, sekaligus memberikan kepastian hukum hak
atas tanah dalam bentuk sertipikat bagi
masyarakat.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
69
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
3. Selain pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam
hal pendaftaran tanah secara sporadik
individual, pengumuman dapat dilakukan
melalui media massa.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan (3) ditetapkan
oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
15
Pasal 27
1. Jika dalam jangka waktu pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) ada yang mengajukan keberatan
mengenai data fisik dan atau data yuridis
yang diumumkan, Ketua Panitia Ajudikasi
dalam pendaftaran tanah secara sistematik
atau Kepala Kantor Pertanahan dalam
pendaftaran tanah secara sporadik
mengusahakan agar secepatnya keberatan
yang diajukan diselesaikan secara
musyawarah untuk mufakat.
2. Jika usaha penyelesaian secara
musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membawa hasil,
dibuatkan berita acara penyelesaian dan
jika penyelesaian yang dimaksudkan
mengakibatkan perubahan pada apa yang
diumumkan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) perubahan tersebut diadakan pada
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Adanya sengketa atas bidang tanah seperti dalam
pasal 27, apabila bidang-bidang tanah yang telah
didaftarkan dalam sistem pendaftaran tanah
positif lengkap dengan bukti fisik dan yuridis akan
memudahkan penyelesaian sengketa dan
mengurangi jumlah sengketa.
Dalam sistem publikasi positif, pihak yang kalah
dalam persengketaan tanah mendapatkan
jaminan ganti rugi dari pemerintah apabila
terbukti bahwa kesalahan pencatatan data pada
sertifikat kepemilikan tanah disebabkan oleh
pemerintah.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
70
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
peta bidang-bidang tanah dan atau daftar
isian yang bersangkutan.
3. Jika usaha penyelesaian secara
musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan atau tidak membawa hasil,
Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran
tanah secara sistematik dan Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik memberitahukan secara
tertulis kepada pihak yang mengajukan
keberatan agar mengajukan gugatan
mengenai data fisik dan atau data yuridis
yang disengketakan ke Pengadilan.
Ayat (3)
Cukup jelas
16
Pasal 28
1. Setelah jangka waktu pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) berakhir, data fisik dan data yuridis
yang diumumkan tersebut oleh Panitia
Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara
sistematik atau oleh Kepala Kantor
Pertanahan dalam pendaftaran tanah
secara sporadik disahkan dengan suatu
berita acara yang bentuknya ditetapkan
oleh Menteri.
2. Jika setelah berakhirnya jangka waktu
pengumuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (1) masih ada
kekuranglengkapan data fisik dan atau
data yuridis yang bersangkutan atau masih
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Belum lengkapnya data yang tersedia atau
masih adanya keberatan yang tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah untuk
mufakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), bukan merupakan alasan
menunda dilakukannya pembuatan berita
acara hasil pengumuman data fisik dan data
yuridis.
Ayat (3)
Pengesahan sebagaimana dimaksud ayat (2)
merupakan pengesahan data fisik dan data
yuridis bidang tanah sebagaimana adanya.
Dalam pasal 28 diterangkan bahwa BPN melalui
Kepala Kantor Pertanahan memiliki wewenang
dalam menetapkan dan memberikan sertifikat
atas bidang-bidang tanah yang akan ditetapkan
dalam sistem pendaftaran tanah, sesuai dengan
data fisik dan yuridis yang telah dilakukan
verifikasi dan benar.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
71
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
ada keberatan yang belum diselesaikan,
pengesahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan catatan
mengenai hal-hal yang belum lengkap dan
atau keberatan yang belum diselesaikan.
3. Berita acara pengesahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar
untuk:
a. pembukuan hak atas tanah yang
bersangkutan dalam buku tanah;
b. pengakuan hak atas tanah;
c. pemberian hak atas tanah.
Oleh karena itu data tersebut tidak selalu
cukup untuk dasar pembukuan hak. Kadang-
kadang data yang diperoleh hanya tepat
untuk pembuku-an hak melalui pengakuan
hak berdasarkan pembuktian menurut Pasal
24 ayat (2). Kadang-kadang dari penelitian
riwayat tanah ternyata bahwa bidang tanah
tersebut adalah tanah Negara, yang apabila
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dapat
diberikan kepada pemohon dengan sesuatu
hak atas tanah.
17
Pasal 29 Ayat 1 dan 2
1. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah
wakaf dan hak milik atas satuan rumah
susun didaftar dengan membukukannya
dalam buku tanah yang memuat data
yuridis dan data fisik bidang tanah yang
bersangkutan, dan sepanjang ada surat
ukurnya dicatat pula pada surat ukur
tersebut.
2. Pembukuan dalam buku tanah serta
pencatatannya pada surat ukur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bukti bahwa hak yang
bersangkutan beserta pemegang haknya
dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam
surat ukur secara hukum telah di daftar
menurut Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Dalam pasal 29 ayat (1) diterangkan bahwa hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak
milik atas satuan rumah susun diakui
keberadaannya dan harus didaftarkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan dalam
ayat (2) hak atas tanah tersebut dicatat dalam
sertifikat yang memuat subyek dan obyek tanah
(sertifikat), sehingga pencatatan sistem
pendaftaran tanah positif menjadi benar dan
valid.
18 Pasal 30 Ayat 1 Dalam pasal 30 ayat (1) huruf a, secara eksplisit
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
72
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
1. Atas dasar alat bukti dan berita acara
pengesahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (3) hak atas bidang tanah:
a. yang data fisik dan data yuridisnya
sudah lengkap dan tidak ada yang
disengketakan, dilakukan
pembukuannya dalam buku tanah
menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1);
b. yang data fisik atau data yuridisnya
belum lengkap dilakukan
pembukuannya dalam buku tanah
dengan catatan mengenai hal-hal yang
belum lengkap;
c. yang data fisik dan atau data yuridisnya
disengketakan tetapi tidak diajukan
gugatan ke Pengadilan dilakukan
pembukuannya dalam buku tanah
dengan catatan mengenai adanya
sengketa tersebut dan kepada pihak
yang berkeberatan diberitahukan oleh
Ketua Panitia Ajudikasi untuk
pendaftaran tanah secara sistematik
atau Kepala Kantor Pertanahan untuk
pendaftaran tanah secara sporadik
untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai data yang
disengketakan dalam waktu 60 (enam
puluh) hari dalam pendaftaran tanah
secara sistematik dan 90 (sembilan
puluh) hari dalam pendaftaran tanah
Ayat (1)
Huruf a
Salah satu tujuan pendaftaran tanah adalah
untuk mengumpulkan dan menyajikan
informasi mengenai bidang-bidang tanah.
Oleh karena itu data fisik dan data yuridis
mengenai bidang tanah yang sudah dinilai
cukup untuk dibukukan tetap dibukukan
walaupun ada data yang masih harus
dilengkapi atau ada keberatan dari pihak lain
mengenai data itu. Dengan demikian setiap
data fisik dan data yuridis mengenai bidang
tanah itu, ter-masuk adanya sengketa
mengenai data itu, semuanya tercatat.
Huruf b
Ketidak lengkapan data yang dimaksud pada
huruf b dapat mengenai data fisik, misalnya
karena surat ukurnya masih di-dasarkan atas
batas sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (3), dan dapat pula
mengenai data yuridis, misalnya belum
lengkapnya tanda tangan ahli waris.
Huruf c, d dan e
Sengketa yang dimaksud pada huruf c, d, dan
e juga dapat mengenai data fisik maupun
data yuridis. Dalam hal sengketa tersebut
menunjukkan bahwa data yuridis dan data fisik
dikumpulkan dalam satu bank data.
Dalam huruf b, c, d, dan e, menunjukkan bahwa
data fisik dan yuridis mengenai bidang tanah yang
dimiliki seseorang masih memungkinkan digugat
oleh pihak lain yang menganggap memiliki bukti
data fisik dan yuridis atas bidang tanah yang
sama. Adanya bank data yang memuat data fisik
dan yuridis atas masing-masing bidang tanah
seharusnya menjadi salah satu cara pembuktian
apabila ada sengketa antar pihak.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
73
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
secara sporadik dihitung sejak
disampaikannya pemberitahuan
tersebut;
d. yang data fisik dan atau data yuridisnya
disengketakan dan diajukan gugatan ke
Pengadilan tetapi tidak ada perintah
dari Pengadilan untuk status quo dan
tidak ada putusan penyitaan dari
Pengadilan, dilakukan pembukuannya
dalam buku tanah dengan catatan
mengenai adanya sengketa tersebut
serta hal-hal yang disengketakan;
e. yang data fisik atau data yuridisnya
disengketakan dan diajukan ke
Pengadilan serta ada perintah untuk
status quo atau putusan penyitaan dari
Pengadilan, dibukukan dalam buku
tanah dengan mengosongkan nama
pemegang haknya dan hal-hal lain yang
disengketakan serta mencatat di
dalamnya adanya sita atau perintah
status quo tersebut.
sudah diajukan ke Pengadilan dan ada
perintah untuk status quo atau ada putusan
mengenai sita atas tanah itu, maka
pencantuman nama pemegang hak dalam
buku tanah ditangguhkan sampai jelas siapa
yang berhak atas tanah tersebut, baik melalui
putusan Pengadilan maupun berdasarkan
cara damai. Perintah status quo yang
dimaksud disini haruslah resmi dan tertulis
dan sesudah sidang pemeriksaan mengenai
gugatan yang bersangkutan berjalan
diperkuat dengan putusan peletakan sita atas
tanah yang bersangkutan.
19
Pasal 31 Ayat 1, 2, dan 3
1. Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan
pemegang hak yang bersangkutan sesuai
dengan data fisik dan data yuridis yang
telah didaftar dalam buku tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1).
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerbitan sertipikat dimaksudkan agar
pemegang hak dapat dengan mudah
membuktikan haknya. Oleh karena itu
sertipikat merupakan alat pembuktian yang
kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA.
Dalam pasal 31 ayat (1), sertifikat merupakan
bukti kepemilikan yang sah hak atas tanah yang
dmiliki seseorang.
Dalam ayat (2), Pemerintah dapat menangguhkan
pemberian sertifikat atas tanah kepada seseorang
apabila terjadi sengketa.
Apabila tidak disengketakan oleh pihak lain, maka
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
74
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
2. Jika di dalam buku tanah terdapat catatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1) huruf b yang menyangkut data
yuridis, atau catatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c,
d, dan e yang menyangkut data fisik
maupun data yuridis penerbitan sertifikat
ditangguhkan sampai catatan yang
bersangkutan dihapus.
3. Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada
pihak yang namanya tercantum dalam
buku tanah yang bersangkutan sebagai
pemegang hak atau kepada pihak lain yang
dikuasakan olehnya.
Sehubungan dengan itu apabila masih ada
ketidak pastian mengenai hak atas tanah
yang bersangkutan, yang ternyata masih ada
catatan dalam pembukuannya sebagaimana
dimaksud Pasal 30 ayat (1), maka sertipikat
belum dapat diterbitkan. Namun apabila
catatan itu mengenai ketidaklengkapan data
fisik yang tidak disengketakan, sertipikat
dapat diterbitkan. Data fisik yang dimaksud
tidak lengkap adalah apabila data fisik bidang
tanah yang bersangkutan merupakan hasil
pemetaan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (3).
Ayat (3)
Sertipikat tanah wakaf diserahkan kepada
Nadzirnya. Dalam hal pemegang hak sudah
meninggal dunia, sertipikat diterima-kan
kepada ahli warisnya atau salah seorang ahli
waris dengan persetujuan para ahli waris
yang lain.
pemerintah harus memastikan kebenaran atas
sertifikat hak atas tanah itu sebelum diterbitkan.
Dalam hal ini pemerintah tidak memberikan
jaminan kepastian hukum hak atas tanah kepada
masyarakat, meskipun masyarakat memiliki
sertifkat. Namun, dalam sistem publikasi positif,
pemerintah menjamin dengan sepenuhnya
kebenaran informasi dalam sertifikat tersebut dan
telah didaftarakan dalam Bank Data.
Dalam ayat (3) sertifikat hak atas tanah harus
sesuai subyek pemilik tanah dengan obyek tanah.
20
Pasal 32
1. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di dalamnya, sepanjang data
fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Ayat (1)
Sertipikat merupakan tanda bukti hak yang
kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat
dibuktikan sebaliknya data fisik dan data
yuridis yang tercantum di dalamnya harus
diterima sebagai data yang benar. Sudah
barang tentu data fisik maupun data yuridis
yang tercantum dalam sertipikat harus sesuai
dengan data yang tercantum dalam buku
tanah dan surat ukur yang bersangkutan,
Dalam sistem pendaftaran tanah publikasi positif,
sertifikat merupakan tanda bukti hak yang mutlak
(tidak dapat diganggu gugat). Sertifikat hak atas
tanah bersasal dari Pusat Database Pertanahan
Nasional yang sewaktu waktu dapat dimintakan
salinannya. Pembuktian sertifikat sebagai alat
bukti otentik tidak lagi berlaku. Sertifikat memuat
informasi yang sesuai dengan informasi yang
disimpan dalam database pertanahan nasional.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
75
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
2. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah
diterbitkan sertifikat secara sah atas nama
orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertifikat itu tidak mengajukan keberatan
secara tertulis kepada pemegang sertifikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai
penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut.
karena data itu diambil dari buku tanah dan
surat ukur tersebut.
Ayat (2)
Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya
diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan
system publikasi positif, yang kebenaran data
yang disajikan dijamin oleh Negara,
melainkan menggunakan sistem publikasi
negatif. Di dalam sistem publikasi negatif
Negara tidak menjamin kebenaran data yang
disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah
dimaksudkan untuk menggunakan sistem
publikasi negatif secara murni. Hal tersebut
tampak dari pernyataan dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti
hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat
bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan
38 UUPA bahwa pendaftaran berbagai
peristiwa hukum merupakan alat pembuktian
yang kuat. Selain itu dari ketentuan-
ketentuan mengenai prosedur pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan, dan penyajian
data fisik dan data yuridis serta penerbitan
sertipikat dalam Peraturan Pemerintah ini,
tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin
memperoleh dan penyajian data yang benar,
karena pendaf-taran tanah adalah untuk
menjamin kepastian hukum. Sehubungan
dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat
(2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada satu
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
76
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
pihak untuk tetap berpegang pada sistem
publikasi negatif dan pada lain pihak untuk
secara seimbang memberikan kepastian
hukum kepada pihak, yang dengan itikad baik
menguasai sebidang tanah dan didaftar
sebagai pemegang hak dalam buku tanah,
dengan sertipikat sebagai tanda buktinya,
yang menurut UUPA berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Kelemahan sistem
publikasi negatif adalah bahwa pihak yang
nama-nya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah dan sertipikat selalu
menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak
lain yang merasa mempunyai tanah itu.
Umumnya kelemahan tersebut diatasi
dengan menggunakan lembaga acquiitieve
verjaring atau adverse possession. Hukum
tanah kita yang memakai dasar hukum adat
tidak dapat menggunakan lembaga tersebut,
karena hukum adat tidak mengenalnya.
Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga
yang dapat digunakan untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif dalam
pen-daftaran tanah, yaitu lembaga
rechtsverwerking. Dalam hukum adapt jika
seseorang selama sekian waktu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah
itu dikerjakan orang lain, yang memper-
olehnya dengan itikad baik, maka hilanglah
haknya untuk menuntut kembali tanah
tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
77
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
menyatakan hapusnya hak atas tanah karena
diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA)
adalah sesuai dengan lembaga ini. Dengan
pengertian demikian, maka apa yang
ditentukan dalam ayat ini bukanlah
menciptakan ketentuan hukum baru,
melainkan merupa-kan penerapan ketentuan
hukum yang sudah ada dalam hukum adat,
yang dalam tata hukum sekarang ini
merupakan bagian dari Hukum Tanah
Nasional Indonesia dan sekaligus
memberikan wujud konkrit dalam penerapan
ketentuan dalam UUPA mengenai
penelantaran tanah.
21
Pasal 33 Ayat 1
1. Dalam rangka penyajian data fisik dan data
yuridis, Kantor Pertanahan
menyelenggarakan tata usaha pen-
daftaran tanah dalam daftar umum yang
terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah,
surat ukur, buku tanah dan daftar nama.
Ayat (1)
Karena pada dasarnya terbuka bagi umum
dokumen yang dimaksud ayat ini disebut
daftar umum.
Pada ayat (1)
Dalam rangka penyajian data fisik dan data
yuridis, Kantor Pertanahanmenyelenggarakan tata
usaha pendaftaran tanah dalam daftar umum
yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah,
surat ukur, buku tanah, dan daftar nama,serta
dimasukkan dalam Pusat Database Pertanahan,
sehingga dapat dijamin kebenaran dari informasi
tersebut
22
Bab IV
Pendaftaran Tanah Untuk
Pertama Kali
Bagian VI
Penyimpanan Daftar
Umum dan Dokumen
Pasal 35 Ayat 1 dan Ayat 5
1. Dokumen-dokumen yang merupakan alat
pembuktian yang telah digunakan sebagai
dasar pendaftaran diberi tanda pengenal
dan disimpan di Kantor Pertanahan yang
bersangkutan atau di tempat lain yang
ditetapkan oleh Menteri, sebagai bagian
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (1)
Dokumen yang merupakan alat pembuktian dasar
pendaftaran tanah disimpan pada Pusat Data Base
Pendaftaran Tanah yang dapat diakses oleh
Kantor Pertanahan dan Kanwil BPN seluruh
Indonesia, serta instansi pemerintahan lainnya.
Usul sementara Pasal 35 ayat (1) diubah menjadi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
78
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
yang tidak terpisahkan dari daftar umum.
5. Secara bertahap data pendaftaran tanah
disimpan dan disajikan dengan
menggunakan peralatan elektronik dan
mikrofilm.
Ayat (5)
Penyimpanan dengan menggunakan
peralatan elektronik dan dalam bentuk film
akan menghemat tempat dan mempercepat
akses pada data yang diperlukan. Tetapi
penyelenggaraannya memerlukan persiapan
peralatan dan tenaga serta dana yang besar.
Maka pelaksanaannya akan dilakukan secara
bertahap.
“Dokumen-dokumen yang merupakan alat
pembuktian ... disimpan di Pusat Data Base
Pendaftaran Tanah, sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari daftar umum”
Penjelasan pasal 35 ayat (5) secara eksplisit
mengamanatkan pembentukan Pusat Data Base
Pendaftaran Tanah.
23 Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian II
Pendaftaran Peralihan dan
Pembebanan Hak
Paragraf 1
Pemindahan Hak
Pasal 37 Ayat 1
1. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (1)
Cukup jelas
Secara filosofis akademis diperlukan pengujian
yuridis dan teknis dalam proses pendaftaran
tanah.
24
Pasal 39 Ayat 1
1. PPAT menolak untuk membuat akta, jika:
a. mengenai bidang tanah yang sudah
terdaftar atau hak milik atas satuan
rumah susun, kepadanya tidak
disampaikan sertifikat asli hak yang
bersangkutan atau sertifikat yang
diserahkan tidak sesuai dengan daftar-
daftar yang ada di Kantor Pertanahan;
Ayat (1)
Dalam ayat ini diwujudkan fungsi dan
tanggung jawab PPAT sebagai pelaksana
pendaftaran tanah. Akta PPAT wajib dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan
dasar yang kuat untuk pendaftaran
pemindahan hak dan pembebanan hak yang
bersangkutan. Oleh karena itu PPAT
Ayat (1)
Lembar sertifikat merupakan alat publikasi dan
bukan alat bukti hak. Sertifikat hak atas tanah
tersebut merupakan salinan atau print out dari
data base yang ada di Pusat data base pertanahan
Nasional
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
79
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
atau
b. mengenai bidang tanah yang belum
terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
1) surat bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2); dan
2) surat keterangan yang menyatakan
bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum besertifikat
dari Kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak di daerah yang
jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak
yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan; atau
c. salah satu atau para pihak yang akan
melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
tidak berhak atau tidak memenuhi
syarat untuk bertindak demikian; atau
d. salah satu pihak atau para pihak
bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan
bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-
syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang
bersangkutan, dengan antara lain
mencocokkan data yang terdapat dalam
sertipikat dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan.
Yang dimaksud dalam huruf d dengan surat
kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang
memberi kuasa, sehingga pada hakikatnya
merupakan perbuatan hukum pemindahan
hak.
Contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf
g adalah misalnya larangan yang diadakan
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan jo Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
untuk membuat akta, jika kepadanya tidak
diserahkan fotocopy surat setoran pajak
penghasilan yang bersangkutan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
80
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
perbuatan hukum pemindahan hak;
atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan
dilakukan belum diperoleh izin Pejabat
atau instansi yang berwenang, apabila
izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau
f. obyek perbuatan hukum yang
bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan atau data
yuridisnya; atau
g. tidak dipenuhi syarat lain atau
dilanggar larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
25
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian II
Pendaftaran Peralihan dan
Pembebanan Hak
Paragraf 2
Pemindahan Hak Dengan
Lelang
Pasal 41 Ayat 4
4. Kepala Kantor Lelang menolak
melaksanakan lelang, apabila:
a. mengenai tanah yang sudah terdaftar
atau hak milik atas satuan rumah
susun:
1) kepadanya tidak diserahkan
sertifikat asli hak yang
bersangkutan, kecuali dalam hal
lelang eksekusi yang dapat tetap
dilaksanakan walaupun sertifikat
asli hak tersebut tidak diperoleh
oleh Pejabat Lelang dari pemegang
Ayat (4)
Lelang eksekusi meliputi lelang dalam rangka
pelaksanaan putusan Pengadilan, hak
tanggungan, sita pajak, sita Kejaksaan /
Penyidik dan sita Panitia Urusan Piutang
Negara. Dalam pelelangan eksekusi kadang-
kadang tereksekusi menolak untuk
menyerahkan sertipikat asli hak yang akan
dilelang. Hal ini tidak boleh menghalangi
dilaksanakannya lelang. Oleh karena itu
lelang eksekusi tetap dapat dilaksanakan
walaupun sertipikat asli tanah tersebut tidak
Ayat (4)
Lembar sertifikat merupakan alat publikasi dan
bukan alat bukti hak. Sertipikat hak atas tanah
tersebut merupakan salinan atau print out dari
data base yang ada di Pusat Data Base Pertanahan
Nasional.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
81
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
haknya; atau
2) sertifikat yang diserahkan tidak
sesuai dengan daftar-daftar yang
ada di Kantor Pertanahan; atau
b. mengenai bidang tanah yang belum
terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
1) surat bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1),
atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan
bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (2); dan
2) surat keterangan yang menyatakan
bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum besertifikat
dari Kantor Pertanahan, atau untuk
tanah yang terletak di daerah yang
jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak
yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala
Desa/Kelurahan; atau
c. ada perintah Pengadilan Negeri untuk
tidak melaksanakan lelang berhubung
dengan sengketa mengenai tanah yang
bersangkutan.
dapat diperoleh Pejabat Lelang dari
tereksekusi.
26 Bab V
Pemeliharaan Data
Pasal 44 Ayat 1
Penjelasan pasal 44 ayat (1) ini menjelaskan
bahwa pencatatan dalam buku tanah dan
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
82
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
Pendataran Tanah
Bagian II
Pendaftaran Peralihan dan
Pembebanan Hak
Paragraf 5
Pembebanan Hak
1. Pembebanan hak tanggungan pada hak
atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun, pembebanan hak guna
bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk
bangunan atas hak milik, dan pembebanan
lain pada hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun yang ditentukan
dengan peraturan perundang-undangan,
dapat didaftar jika dibuktikan dengan
akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (1)
Dipandang dari sudut hak tanggungan,
pendaftaran pemberian hak tanggungan
merupakan pendaftaran pertama. Dipandang
dari sudut hak yang dibebani, pencatatannya
dalam buku tanah dan sertipikat tanah yang
dibebani merupakan pemeliharaan data
pendaftaran tanah
sertifikat tanah ini merupakan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Secara eksplisit, pemeliharaan
data pendaftaran ini membutuhkan suatu pusat
database pendaftaran tanah yang mencakup
seluruh surat-surat bukti hak yang telah
diterbitkan atas satuan bidang tanah. Data di
dalam pusat data pertanahan ini akan berubah
seiring dengan pembaharuan atas tanah tertentu
yang disepakati oleh pemilih hak atas tanah
tersebut.
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 2
Pemecahan, Pemisahan,
dan Penggabungan Bidang
Tanah
Pasal 49
1) Atas permintaan pemegang hak yang
bersangkutan, dari satu bidang tanah yang
sudah didaftar dapat dipisahkan sebagian
atau beberapa bagian, yang selanjutnya
merupakan satuan bidang baru dengan status
hukum yang sama dengan bidang tanah
semula
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk satuan bidang baru yang
dipisahkan dibuatkan surat-ukur, buku tanah
dan sertipikat sebagai satuan bidang tanah
baru dan pada peta pendaftaran, daftar
tanah, surat ukur, buku tanah dan sertipikat
bidang tanah semula dibubuhkan catatan
Ayat (1)
Dalam pemisahan bidang tanah menurut ayat
ini bidang tanah yang luas diambil sebagian
yang menjadi satuan bidang baru. Dalam hal
ini bidang tanah induknya masih ada dan
tidak berubah identitasnya, kecuali mengenai
luas dan batasnya. Istilah yang digunakan
adalah pemisahan, untuk membedakannya
dengan apa yang dilakukan menurut Pasal 48.
Ayat (2)
Cukup jelas
Lembar Sertifikat, dalam sistem pendaftaran
tanah positif, merupakan alat publikasi dan bukan
alat bukti hak, sehingga untuk menunjukkan hak
atas tanah yang sudah dilakukan pemisahan,
dapat didaftarkan kembali ke pusat informasi
pertanahan dengan menunjukkan bukti identitas
pemilik sebelumnya dan bidang tanah yang
pisahkan, sesuai dengan registrasi yang telah
dilakukan sebelumnya.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
83
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
mengenai telah diadakannya pemisahan
tersebut.
(3) Terhadap pemisahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat
(3) dan ayat (4).
Ayat (3)
Cukup jelas
27
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
Data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 2
Pemecahan, Pemisahan,
dan Penggabungan Bidang
Tanah
Pasal 50
1. Atas permintaan pemegang hak yang
bersangkutan, dua bidang tanah atau lebih
yang sudah didaftar dan letaknya
berbatasan yang kesemuanya atas nama
pemilik yang sama dapat digabung menjadi
satu satuan bidang baru, jika semuanya
dipunyai dengan hak yang sama dan
bersisa jangka waktu yang sama.
2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk satuan bidang yang baru
tersebut dibuatkan surat ukur, buku tanah
dan sertifikat dengan menghapus surat
ukur, buku tanah dan sertifikat masing-
masing.
3. Terhadap penggabungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (3).
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Lembar Sertifikat, dalam sistem pendaftaran
tanah positif, merupakan alat publikasi dan bukan
alat bukti hak. Sehingga, apabila ingin
menggabungkan lembar sertifikat menjadi satu
satuan bidang baru, cukup menunjukkan
kepemilikan hak atas tanah dan melakukan
pembaharuan di sistem data pertanahan yang
telah disebutkan sebelumnya.
28
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Pasal 52 Ayat 1
1. Pendaftaran hapusnya suatu hak atas
tanah, hak pengelo-laan dan hak milik
Ayat (1)
Untuk mencatat hapusnya hak atas tanah
Penambahan pada pasal 52 ayat (1) “... data
dalam buku tanah yang disimpan di pusat data
dan informasi BPN, jika mengenai hak-hak ...”
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
84
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
Data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 3
Pembagian Hak Bersama
atas satuan rumah susun dilakukan oleh
Kepala Kantor Pertanahan dengan
membubuhkan catatan pada buku tanah
dan surat ukur serta memusnah-kan
sertipikat hak yang bersangkutan,
berdasarkan:
a. Data dalam buku tanah yang disimpan
di Kantor Per-tanahan, jika mengenai
hak-hak yang dibatasi masa
berlakunya;
b. Salinan surat keputusan Pejabat yang
berwenang, bahwa hak yang
bersangkutan telah dibatalkan atau
dicabut; dan
c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang
bersangkutan telah dilepaskan oleh
pemegang haknya.
yang dibatasi masa berlaku-nya tidak
diperlukan penegasan dari Pejabat yang
berwenang. Dalam acara melepaskan hak,
maka selain harus ada bukti, bahwa yang
melepaskan adalah pemegang haknya, juga
perlu diteliti apakah pemegang hak tersebut
berwenang untuk melepaskan hak yang ber-
sangkutan. Dalam hal hak yang dilepaskan
dibebani hak tanggungan diperlukan
persetujuan dari kreditor yang bersangkutan.
Demikian juga ia tidak berwenang untuk
melepaskan haknya, jika tanah yang
bersangkutan berada dalam sita oleh
Pengadilan atau ada beban-beban lain.
29
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
Data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 5
Peralihan dan Hapusnya
Hak Tanggungan
Pasal 54
1. Pendaftaran hapusnya hak tanggungan
dilakukan sesuai ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1996 tentCang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
2. Dalam hal hak yang dibebani hak
tanggungan telah dilelang dalam rangka
pelunasan utang, maka surat pernyataan
dari kreditor bahwa pihaknya melepaskan
hak tanggungan atas hak yang dilelang
tersebut untuk jumlah yang melebihi hasil
lelang beserta kutipan risalah lelang dapat
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kedua dokumen yang dimaksud ayat ini
merupakan pernyataan tertulis dari
pemegang hak tanggungan sebagaimana
dimaksud Pasal 22 ayat (4) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996.
Perlu dikaji apakah UU No.4 Tahun 1996 sudah
mengamanatkan untuk melakukan update
pencatatan penghapusan tanggungan juga pada
“pembukuan tanah” sebagaimana dimaksud pada
Pasal 1, PP 24 Tahun 1997.
Apabila belum melakukan update, maka hal
tersebut perlu dilakukan dengan seluruh
perubahannya akibat perubahan sistem
pendaftaran tanah menjadi publikasi positif.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
85
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
dijadikan dasar untuk pendaftaran
hapusnya hak tanggungan yang
bersangkutan.
30
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
Data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 6
Perubahan Data
Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Putusan Atau
Penetapan Pengadilan
Pasal 55
1. Panitera Pengadilan wajib
memberitahukan kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai isi semua putusan
Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dan penetapan
Ketua Pengadilan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan pada data mengenai
bidang tanah yang sudah didaftar atau
satuan rumah susun untuk dicatat pada
buku tanah yang bersangkutan dan
sedapat mungkin pada sertifikatnya dan
daftar-daftar lainnya.
2. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan juga atas
permintaan pihak yang berkepentingan,
berdasarkan salinan resmi putusan
Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap atau salinan
penetapan Ketua Pengadilan yang
bersangkutan yang diserahkan olehnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
3. Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak
pengelolaan dan hak milik alas satuan
rumah susun berdasarkan putusan
Pengadilan dilakukan setelah diperoleh
surat keputusan mengenai hapusnya hak
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan Pengadilan adalah
baik badan-badan Peradilan Umum, Peradilan
Tata Usaha Negara ataupun Peradilan Agama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Putusan Pengadilan mengenai hapusnya
sesuatu hak harus dilaksana-kan lebih dahulu
oleh Pejabat yang berwenang, sebelum
didaftar oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Perlu dilakukan update pencatatan perubahan
yang terjadi akibat keputusan pengadilan pada
“pembukuan tanah” sebagaimana dimaksud pada
Pasal 1, PP 24 Tahun 1997 dengan seluruh
perubahannya akibat perubahan sistem
pendaftaran tanah menjadi publikasi positif.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
86
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
yang bersangkutan dari Menteri atau
Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1).
31
Bab V
Pemeliharaan Data
Pendataran Tanah
Bagian III
Pendaftaran Perubahan
Data Pendaftaran Tanah
Lainnya
Paragraf 7
Perubahan Nama
Pasal 56
Pendaftaran perubahan data pendaftaran
tanah sebagai akibat pemegang hak yang
ganti nama dilakukan dengan mencatat-nya di
dalam buku tanah dan sertipikat hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun
yang bersangkutan ber-dasarkan bukti
mengenai ganti nama pemegang hak tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud pemegang hak yang ganti
nama adalah pemegang hak yang sama tetapi
namanya berganti. Penggantian nama
pemegang hak dapat terjadi baik mengenai
orang perseorangan maupun badan hukum.
Perlu dilakukan update pencatatan perubahan
yang terjadi akibat keputusan pengadilan pada
“pembukuan tanah” sebagaimana dimaksud pada
Pasal 1, PP 24 Tahun 1997 dengan seluruh
perubahannya akibat perubahan sistem
pendaftaran tanah menjadi publikasi positif.
32
Bab VI
Penertiban Sertipikat
Pengganti
Pasal 57
1. Atas permohonan pemegang hak
diterbitkan sertifikat baru sebagai
pengganti sertifikat yang rusak, hilang,
masih menggunakan blangko sertifikat
yang tidak digunakan lagi, atau yang tidak
diserahkan kepada pembeli lelang dalam
suatu lelang eksekusi.
2. Permohonan sertifikat pengganti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat diajukan oleh pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang
hak dalam buku tanah yang bersangkutan
atau pihak lain yang merupakan penerima
Ayat (1)
Untuk memperkecil kemungkinan pemalsuan,
di waktu yang lampau telah beberapa kali
dilakukan penggantian blangko sertipikat.
Sehubungan dengan itu apabila dikehendaki
oleh pemegang hak, sertipikatnya boleh
diganti dengan sertipikat yang menggunakan
blanko baru. Diterbitkannya sertipikat
pengganti dilakukan apabila dan sesudah
semua ketentuan dalam Bab VI Peraturan
Pemerintah ini dipenuhi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pada kondisi ideal sistem pendaftaran publikasi
positif, seluruh data dan informasi adalah benar
secara teknis dan yuridis maka pasal-pasal terkait
penerbitan sertipikat pengganti perlu direvisi dan
disederhanakan proses penerbitannya.
Yang paling pokok adalah pembuktian subyek
pemohon adalah sama dengan pemilik dalam
database pertanahan.
Pada kasus pemohon adalah ahli waris maka perlu
diminta keterangan pengadilan untuk
membuktikan pemohon adalah ahli waris yang
sah.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
87
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan
risalah lelang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta
sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1),
atau surat sebagaimana dimaksud Pasal
53, atau kuasanya.
3. Dalam hal pemegang hak atau penerima
hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sudah meninggal dunia, permohonan
sertifikat pengganti dapat diajukan oleh
ahli warisnya dengan menyerahkan surat
tanda bukti sebagai ahli waris.
4. Penggantian sertifikat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dicatat pada buku
tanah yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
33
Pasal 59
1. Permohonan penggantian sertifikat yang
hilang harus disertai pernyataan di bawah
sumpah dari yang bersangkutan di
hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau
Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya
sertifikat hak yang bersangkutan.
2. Penerbitan sertifikat pengganti
Ayat (1)
Dalam hal hak atas tanah berdasarkan akta
yang dibuat oleh PPAT sudah berpindah
kepada pihak lain, tetapi sebelum peralihan
tersebut didaftar sertipikatnya hilang,
permintaan penggantian sertipikat yang
hilang dilakukan oleh pemegang haknya yang
baru dengan pernyataan dari PPAT bahwa
pada waktu dibuat akta PPAT sertipikat
tersebut masih ada.
Ayat (2)
Dihilangkan karena dalam publikasi positif pihak
yang menentukan kesamaan subyek pemohon
dengan pemilik adalah negara dan bukan
pemohon.
Keberatan penerbitan hanya dapat dilakukan
Kepala Kantor pada kondisi: (i) pemohon tidak
sesuai dengan data pemilik dalam data base
pertanahan; (ii) ahli waris tidak dapat menunjukan
keputusan pengadilan tentang ahli waris yang
sesuai dengan identitas pemohon.
Perlu ada klausal yang menyatakan sertipikat
lama yang sudah diterbitkan pengganti menjadi
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
88
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didahului dengan pengumuman 1 (satu)
kali dalam salah satu surat kabar harian
setempat atas biaya pemohon.
3. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari dihitung sejak hari pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
ada yang mengajukan keberatan mengenai
akan diterbitkannya sertifikat pengganti
tersebut atau ada yang mengajukan
keberatan akan tetapi menurut
pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan
keberatan tersebut tidak beralasan,
diterbitkan sertifikat baru.
4. Jika keberatan yang diajukan dianggap
beralasan oleh Kepala Kantor Pertanahan,
maka ia menolak menerbitkan sertifikat
pengganti.
5. Mengenai dilakukannya pengumuman dan
penerbitan serta penolakan penerbitan
sertifikat baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
dibuatkan berita acara oleh Kepala Kantor
Pertanahan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Keberatan dianggap beralasan apabila
misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa
sertipikat tersebut tidak hilang melainkan
dipegang olehnya berdasarkan persetujuan
pemegang hak dalam rangka suatu perbuatan
hukum tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas
tidak berlaku dan bila untuk mengganti yang rusak
maka sertipkat lama harus diserahkan kepada
kantor pertanahan.
Kantor pertanahan secara berkala perlu
melakukan pemusnahan sertipikat rusak yang
terkumpul dengan dibuat berita acara
pemusnahan dan ditandatangani oleh Kepala
Kantor Pertanahan.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
89
No. Peraturan Perundang-
undangan / Pasal Batang Tubuh Penjelasan Keterangan / Analisa Singkat
6. Sertifikat pengganti diserahkan kepada
pihak yang memohon diterbitkannya
sertifikat tersebut atau orang lain yang
diberi kuasa untuk menerimanya.
7. Untuk daerah-daerah tertentu Menteri
dapat menentukan cara dan tempat
pengumuman yang lain daripada yang
ditentukan pada ayat (2).
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Di daerah-daerah tertentu pengumuman
yang dimaksud pada ayat (2) memerlukan
biaya yang besar yang tidak sebanding
dengan harga tanah yang bersangkutan.
Sehubungan dengan itu Menteri dapat
menentukan cara pengumuman lain yang
lebih murah biayanya.
34
Pasal 60
1. Penggantian sertifikat hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun yang
tidak diserahkan kepada pembeli lelang
dalam lelang eksekusi didasarkan atas
surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang
yang bersangkutan yang memuat alasan
tidak dapat diserahkannya sertifikat
tersebut kepada pemenang lelang.
2. Kepala Kantor Pertanahan mengumumkan
telah diterbitkannya sertifikat pengganti
untuk hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tidak
berlakunya lagi sertifikat yang lama dalam
salah satu surat kabar harian setempat
atas biaya pemohon.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman ini dimaksudkan agar
masyarakat tidak melakukan perbuatan
hukum mengenai tanah atau satuan rumah
susun yang bersangkutan berdasarkan
sertipikat yang telah tidak berlaku.
Sertipikat yang lama dengan sendirinya
tidak berlaku lagi, karena sesuai dengan
ketentuan yang berlaku hak yang
bersangkutan telah berpindah kepada
pembeli lelang dengan telah dimenangkannya
lelang serta telah dibayarnya harga
pembelian lelang.
Harus direvisi atau dihilangkan. Secara gramatikal
sulit untuk dipahami arti dari uraian pasal ini.
Potensi menimbulkan multi tafsir yang
menyebabkan konflik.
Sumber: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997; dan Hasil Analisis, 2016
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
91
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya dapat
ditarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut.
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian persiapan perubahan sistem publikasi positif dapat disimpulkan bahwa
upaya perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif belum dapat dilakukan secara
parsial ataupun serentak karena capaian cakupan peta dasar pertanahan maupun peta
bidang tanah bersertifikat yang terdigitasi belum memenuhi prasyarat dan substansi
peraturan perundang-undangan belum diubah sesuai dengan sistem publikasi positif.
Apabila di lihat dari capaian cakupan peta dasar pertanahan secara nasional maupun pada
lokasi kajian menunjukkan bahwa rata-rata persentase peta dasar pertanahan ini masih
tergolong sedang, yaitu sekitar 45% - 46% di luar kawasan hutan. Di antara 34 provinsi,
provinsi-provinsi yang sudah memiliki cakupan peta dasar pertanahan terdigitasi sangat
tinggi (≥ 80%) secara nasional hingga Juni 2016 hanya ada 7 (tujuh) provinsi, yaitu Provinsi
Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Aceh, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Bali, dan D.I
Yogyakarta. Sementara itu, di antara kelima provinsi kajian, Provinsi Kalimantan Selatan
merupakan provinsi yang memiliki cakupan peta dasar paling tinggi, yaitu 100%. Sebaliknya,
Provinsi Sumatera Utara menjadi provinsi yang memiliki cakupan peta dasar paling rendah,
yaitu sebesar 1,96%.
Apabila di lihat dari capaian cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi secara
nasional maupun pada lokasi kajian masih tergolong sangat rendah, yaitu baru mencapai
sekitar 12% - 16% di luar kawasan hutan. Di antara 34 provinsi di Indonesia, provinsi-
provinsi yang sudah memiliki cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi cukup
tinggi hingga Juni 2016 hanya Provinsi DKI Jakarta dan Riau. Sementara itu, di antara kelima
provinsi kajian, Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi yang memiliki cakupan peta
bidang tanah bersertifikat paling tinggi, yaitu 78,48%. Sebaliknya, Provinsi Sulawesi Utara
menjadi provinsi yang memiliki cakupan peta bidang tanah bersertfikat paling rendah, yaitu
hanya sebesar 0,82%.
Belum tercapainya prasyarat cakupan peta-peta tersebut, antara lain disebabkan oleh faktor
kurangnya jumlah juru ukur, sebagian besar peta masih berkoordinat lokal, dan data analog
belum dikelompokkan dengan baik. Sementara itu, pasal-pasal yang perlu diubah dalam
UUPA dan PP 24/1997, antara lain:
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
92
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA)
Pasal 19 Ayat 2, butir a: pembukuan tanah perlu diganti dengan Pusat Database
Pendaftaran Tanah Nasional
Pasal 19 Ayat 2, butir c: surat tanda bukti hak diganti menjadi alat pembuktian yang
mutlak serta dapat diteliti kesesuaiannya dengan Pusat Data Base Pendaftaran Tanah
Nasional
b. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
1) Terkait dengan ketersediaan Pusat Database Pendaftaran Tanah, terdapat beberapa
pasal yang perlu diubah dan disesuaikan dengan sistem publikasi positif, antara lain
pasal 1, pasal 2, pasal 4 ayat 1, pasal 12, pasal 21, pasal 23, pasal 32, dan pasal 35.
2) Terkait dengan ketentuan data fisik dan data yuridis, pasal 4 ayat 2 dan pasal 33
perlu dilakukan perubahan sesuai dengan sistem publikasi positif.
3) Terkait lembar sertifikat dan sertifikat hak atas tanah, pasal 39 dan pasal 49 perlu
adanya perubahan tentang lembar sertifikat yang menegaskan bahwa lembar
sertifikat merupakan alat publikasi dan bukan alat bukti hak dalam sistem
pendaftaran tanah publikasi positif. Selain itu, pada Pasal 39 juga perlu diubah
tentang sertifikat hak atas tanah yang menyebutkan bahwa sertifikat hak atas tanah
ini merupakan salinan dari database yang ada di Pusat Database Pendaftaran Tanah
Nasional.
4) Pasal-pasal lain yang perlu di ubah antara lain:
Pasal 10: perlu mengakomodir ketentuan tentang desa adat dan sejenisnya.
Pasal 14: perlu adanya perubahan yang menegaskan bahwa peta pendaftaran
tanah harus dibuat dalam bentuk digital menggunakan batas-batas koordinat
yang akurat dan dapat diolah.
Pasal 20: apabila dalam wilayah pendaftaran tanah belum terdapat peta
pendaftaran tanah, maka terlebih dahulu perlu dilakukan pembuatan peta
dasar pertanahannya atau dibuatkan peta sementara dengan metode
pemetaan dan pengukuran yang akurat.
Pasal 24: perlu adanya perubahan yang menegaskan bahwa pendaftaran tanah
yang berasal dari konversi hak-hak lama tetap dilindungi, selama dapat
dibuktikan dengan bukti tertulis, keterangan saksi, dan panitia ajudikasi. Hak-
hak tersebut juga harus didaftarkan dalam sistem pendaftaran tanah nasional
sesuai persyaratan.
Pasal 57: perlu adanya perubahan yang menegaskan bahwa sistem
pendaftaran tanah publikasi positif harus memiliki data dan informasi yang
benar, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk data pemilik hak
atas tanah.
5) Pasal-pasal yang perlu dihilangkan, yaitu Pasal 59 dan Pasal 60 karena tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip sistem pendaftaran tanah publikasi positif.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
93
Di samping perubahan pasal, terdapat hal-hal yang perlu ditambahkan dalam peraturan
perundang-undangan baru sesuai sistem pendaftaran tanah publikasi positif antara lain
prinsip hukum indefeasible, jenis dan ketentuan indemnity (jaminan ganti rugi), penentuan
tanah yang dapat didaftarkan atau dilegalisasikan, dan pembangunan Pusat Database
Pendaftaran Tanah Nasional.
VI.2 Rekomendasi
Indonesia perlu mempercepat cakupan peta dasar pertanahan mencapai 51.462.505 Ha
(bertambah 34,33%) di luar kawasan hutan agar memenuhi prasyarat perubahan sistem
pendafatran tanah publikasi positif.
Indonesia perlu mempercepat cakupan peta bidang tanah bersertifikat mencapai
37.134.681 Ha (bertambah 57,73%) di luar kawasan hutan agar memenuhi prasyarat
perubahan sistem pendafatran tanah publikasi positif.
Perlu koordinasi antara BPN Pusat dan Kanwil BPN setiap provinsi untuk mempercepat
capaian cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat yang
terdigitasi.
Perlu adanya sinkronisasi data capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah
bersertifikat antara BPN Pusat dan Kanwil BPN setiap provinsi.
BPN perlu segera melakukan tinjauan dan revisi/perubahan substansi peraturan
perundang-undangan terkait pendaftaran tanah sesuai dengan konsep sistem publikasi
positif, baik UUPA, PP 24/1997, maupun peraturan lain yang terkait.
Perlu adanya pemahaman pemerintah terkait biaya pengeluaran dan durasi operasi yang
dibutuhkan pada sistem pendaftaran tanah yang baru.
Perlu dilakukan sosialisasi pengenalan sistem pendaftaran tanah publikasi positif oleh
BPN kepada masyarakat secara jelas dan detail. BPN Pusat juga perlu melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem pendaftaran tanah yang baru di
setiap daerah secara berkala.
Capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah perlu diamati berdasarkan tren
pencapaian peta-peta tersebut selama 5-10 tahun terakhir agar dapat terlihat perubahan
capaiannya dan memperkirakan capaian cakupan peta untuk tahun-tahun berikutnya.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
95
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (1985). Tebaran Pikiran Hukum Agraria. Bandung: Alumni
Abdurrahman. (2009). Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Buletin LMPDP – Land: Media
Pengembangan Kebijakan Pertanahan. Edisi 10. ISSN 1978-7626. Jakarta: PIU
Bappenas.
Adhie, Brahmana dan Menggala, Hasan B. N. (2002). Reformasi Pertanahan Pemberdayaan
Hak-hak Atas Tanah Ditinjau dari Aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam,
Teknis, Agama dan Budaya. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Apriyana, Nana. (2016). Studi Banding Mengenai Tata Ruang dan Pertanahan di Inggris.
Buletin Tata Ruang dan Pertanahan “Perwujudan Infrastruktur Wilayah dan Nasional:
Peran Tata Ruang dan Pertanahan. Edisi I hlm 22 – 24.
Badan Informasi Geospasial. (2013). Peta Indonesia. Jakarta: Badan Informasi Geospasial
Republik Indonesia.
Ballantyne, Brian dan Dobbin, James. (2000). Options for Land Registration and Survey
Systems on Aboriginal Lands in Canada. A Report Prepared for Legal Surveys Division of
Geomatics Canada. Canada: Division of Geomatics.
Bidang Pengelolaan Data dan Informasi Pertanahan dan Tata Ruang. (2016). Cakupan Peta
Bidang Tanah Bersertifikat yang Terdigitasi hingga Juni 2016. Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia: Bidang Pengelolaan Data
dan Informasi Pertanahan dan Tata Ruang.
Carruthers, Penny. (2015). A Tangled Web Indeed: the English Land Registration Act and
Comparisons with the Australian Torrens System. UNSW Law Journal, 38, 1261 – 1299.
Dale, Peter. (1995). Cadastral Surveys and Records of Rights in Land. FAO Land Tenure
Studies 1. ISBN 92-5-103627-6.
Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar. (2016). Cakupan Peta Dasar Pertanahan
hingga Juni 2016. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia: Direktorat Pengukuran dan Pemetaan Dasar.
Effendy, Bachtiar. (1993). Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Pelaksanaannya. Bandung:
Alumni.
Hamilton, Jonnette Watson. (2013). Introducing Conditional Immediate Indefeasibility:
Section 170 (1) of the Land Titles ACT. http://ablawg.ca/2013/03/13/introducing-
conditional-immediate-indefeasibility-section-1701-of-the-land-titles-act/. Diakses
pada Agustus 2016.
Hanstad, Tim. (1998). Designing Land Registration System for Developing Countries.
American University International Law Review, 13, 647-703.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Indiraharti, Novina S. (2009). Penerapan Sistem Torrens Dalam Pendaftaran Tanah (Studi
Komparatif Terhadap Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia dengan Singapura.
Clavia, 10, 107 – 125.
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas
96
Indiraharti, Novina S. (2009). Tinjauan Mengenai Title Insurance di Hongkong. Jurnal Hukum,
6, 52 – 69.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
(2014). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/BPN. Jakarta: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners (2nd Ed.).
London: SAGE Publications.
Land Titles Act 1925 Australia. Tersedia di http://www.legislation.act.gov.au. Diakses pada
26 Agustus 2016.
Law Commission. (2016). Updating the Land Registration Act 2002: A Consultation Paper.
United Kingdom: Crown Copyright.
National Land Code 56 Tahun 1965 Malaysia. Tersedia di http://www.kptg.gov.my. Diakses
pada 21 Agustus 2016.
National Land Code 56 Tahun 1965 (Amendemen) Malaysia. Tersedia di http://mltic.my.
Diakses pada 21 Agustus 2016.
Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Perangin, Effendi. (1994). 401 Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria. Jakarta:
Rajawali Pos.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 Republik Indonesia.
Suardi. (2005). Hukum Agraria. Jakarta: IBLAM.
The Land Registration Act Chapter 334. Tersedia di http://www.tic.co.tz/. Diakses pada 20
Agustus 2016.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Wijayanto, Agus. (2009). Konflik dan Sengketa Pertanahan serta Upaya Pencegahannya.
Buletin LMPDP – Land: Media Pengembangan Kebijakan Pertanahan. Edisi 10. ISSN
1978-7626. Jakarta: PIU Bappenas.
Wu, Richard dan Kepli, Mohd Yazid B. Z.(2011). Implementation of Land Title Registration
System in Malaysia: Lessons for Hong Kong. Malayan Law Journal Articles, 1, 1 – 8.
Xavier, Grace. (2011). Indefeasibility of Title in Malaysia: The Revivification ofDeferred
Indefeasibility under the Torrens System, Focus on Fraudulently Obtained and Forged
Titles. The Law Review, 138 – 156.
Zevenbergen, Jaap. (2002). System of Land Registration: Aspects and Effects. Delft: Geodesy
51. ISBN 90 6132 277 4.