TINGKAT KESESUAIAN DAN PREFERENSI HABITAT Leptophryne cruentata, Tschudi 1838
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
SUSI OKTALINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat
Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango―
adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Bogor, September 2010
Susi Oktalina
NRP. E 051060281
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
TINGKAT KESESUAIAN DAN FREFERENSI HABITAT Leptophryne cruentata, Tschudi 1838
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
SUSI OKTALINA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Judul Tesis : Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat
Leptophryne cruentata, Tschudi 1838 di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango
Nama : Susi Oktalina
NRP : E 051060281
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Iman Wahyudi, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 20 Agustus 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains dari Institut
Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Tesis berjudul ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat Leptophryne
cruentata Tshudi 1873 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango‖ ini disusun
berlandaskan atas kepedulian terhadap keberadaan kodok merah di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango lebih cenderung terkonsentrasi di Rawa
Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum. Dalam tesis ini diuraikan
tentang kesesuaian habitat kodok merah seperti ketinggian tempat, kelerengan,
suhu, kerapatan tajuk dan jarak dari jalur manuasi/patroli dan mikrohabitat kodok
merah, seperti ketinggian tempat, subsrat, ada/tidaknya lubang, lebar sungai,
kecepatan arus, jarak ditemukannya kodok dari tanah, jarak dari sumber air, jarak
dari jalur manusia/patroli, suhu udara, suhu air dan kelembaban udara. Selain itu,
diuraikan pula mengenai faktor-faktor dominan komponen habitat kodok merah
dan rumusan mikrohabitat yang disukai oleh kodok merah di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango.
Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak
kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.
Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.
Bogor, September 2010
Susi Oktalina
ABSTRACT
SUSI OKTALINA. Suitability and Habitat Preference of Leptophryne
cruentata, Tschudi 1838 in Gunung Gede National Park. Under direction of
LILIK BUDI PRASETYO, MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS
PRIYONO KARTONO
Fire Toad (Leptophryne cruentata, Tschudi 1838) is an endemic toad found
only in the western of Java especially in Gunung Gede Pangrango National Park.
According to the 2009 IUCN Red List of Threatened animal, this species is
catogorized as critically endangered species. At present there are not complete
data to desribe the habitat of this species. Base on the observation showed that the
species founded in Rawa Denok, Rawa Gayonggong and Curug Cibereum. The
objectives of this research were to identify the habitat preference habitat and to
estimate the extent of suitability habitat of Fire Toad in GPNP. This study was
carried out in GPNP on April 2008. Based on analisis factor, the dominant habitat
factors prefered fire toad are distance from water, distance from human line dan
the elevation. Using Kruskall Waliss analysis, the result distance from human line
very significant (p< 0,05). Digital environmental layers such as elevation, slope
aspect, temperature, and vegetation type may be incorporated into predicted
habitat suitability. Principal Componen Analysis method was used to analyse
suitability habitat map using ERDAS Imaginer Ver 9.1 and ArcView Ver 3.3.
Based on the scoring and spatial analysis, the estimation of habitat with low
habitat suitability is about 16.077,847 ha, habitat with midlle suitability is about
7.686,023 ha and habitat with high suitability is about 653,847 ha.
Keywords: Fire toad, habitat suitability, gunung gede national park
RINGKASAN
Susi Oktalina. Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat Leptophyne
cruentata Tschudi 1873 di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO, MIRZA DIKARI KUSRINI dan
AGUS PRIYONO KARTONO
Kodok merah (Leptophyne cruentata) termasuk jenis kodok yang jarang
ditemui karena luas penyebarannya yang sedikit. Kodok ini termasuk dalam
kategori critically endangered species menurut IUCN (International Union
Conservation Natural). Saat ini lokasi penyebaran yang diketahui adalah di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menduga
preferensi habitat kodok merah dan tingkat kesesuaian habitat kodok merah di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan menduga luasan habitat kodok merah yang masih sesuai sebagai bahan
pertimbangan kebijakan dalam pengelolaan kawasan khususnya untuk
pengelolaan dan pelestarian populasi kodok merah di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango.
Pengumpulan data dilaksanakan di wilayah Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGP) pada bulan April 2008 selama dua minggu. Lokasi penelitian ,
meliputi Rawa Denok, Rawa Gayonggong, Curug Cibeureum, Lebak Saat dan
Bedogol. Keberadaan kodok merah diketahui melalui metode pengamatan
langsung untuk mengumpulkan data titik koordinat perjumpaan kodok merah.
Data mikrohabitat kodok merah yang digunakan untuk menduga faktor
preferensi yang dominan terdiri dari ketinggian tempat, substrat, ada tidaknya
lubang, jarak dari sumber air, lebar sungai, kecepatan arus, suhu udara, suhu air,
kelembaban, jarak dari jalur manusia, jarak ditemukannya kodok merah dari
permukaan tanah. Data yang digunakan untuk menduga kesesuaian habitat adalah
ketinggian tempat, kelerengan, jarak dari sumber air, suhu dan jarak dari jalur
manusia.
Hasil analisis faktor digunakan untuk menduga faktor mikrohabitat yang
paling dominan ada/tidaknya kodok merah. Jarak dari sumber air , jarak dari jalur
manusia dan ketinggian tempat adalah faktor dominan yang menentukan
ditemukannya kodok merah. Uji beda Kruskall Wallis dilanjutkan untuk melihat
uji beda nyata antara jarak dari sumber air dan jarak dari jalur manusia. Hasil uji
Kruskall Wallis menyatakan bahwa jarak dari jalur manusia lebih berbeda nyata
dibandingkan dengan jarak dari sumber air.
Tingkat kesesuaian habitat menggunakan analisis PCA (Principle
Component Analysis). Penentuan nilai kelas dalam setiap komponen habitat
didasarkan pada asumsi bahwa spesies tertentu akan memilih tempat yang paling
memenuhi kebutuhan hidupnya. Nilai kelas untuk setiap komponen habitat
digolongkan ke dalam 3 kelas yaitu nilai kelas 1, 2, dan 3. Model kesesuaian
habitat yang terbentuk yaitu :
Y = {(2,222,x FK1) + (2,222x FK2) + (2,222x FK3) + (1,413x FK4) + (1,060x
FK5)} dengan keterangan Y= Model Frekuensi pertemuan kodok merah di
TNGGP, FK1= Faktor ketinggian tempat, FK2= Faktor kerapatan tajuk, FK3=
Faktor kemiringan lereng, FK4= Faktor suhu, FK5= Faktor jarak dari sungai.
Hasil ekstrapolasi model di kawasan Gunung Gede Pangrango menunjukkan
bahwa luas habitat untuk tingkat kesesuaian tinggi, sedang dan rendah di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango diduga sebesar 653,625 ha, 7.686,023 ha, dan
16.077,847 ha.
Kata Kunci: kodok merah, kesesuaian habitat, taman nasional gunung gede
pangrango.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT
karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains dari Institut
Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin dalam penyelenggaraan
pendidikan Program Magister Sains di Institut Pertanian Bogor, (2) Ir. Hart Lamer
Susetyo, Ir. Indra Arinal dan Ir Tedy Sutedy MSc. selaku Kepala Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Sumbar yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
mengikuti program pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (3) Dr. Ir. Bambang
Sukmananto MSc selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
yang telah memberikan izin kepada penulis untukmelakukan penelitian di
TNGGP. (4) Teman-teman yang telah memberikan dukungan, motivasi dan
bantuan selama penelitian berlangsung.
Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan
kepada Komisi Pembimbing, yakni: Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc selaku ketua
Komisi, Dr. Ir Mirza Dikari Kusrini, Msi dan Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi selaku
anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta
petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini
dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud MS yang telah bersedia
meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya.
Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada
Ayahanda Ashal Nazar dan Ibunda Netty Hartati serta kakak adik tersayang
diucapkan terima kasih haatas dukungan dan doanya yang diberikan.
Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka
hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang
memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu
penulis dan akhir kata Semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Oktober 1975 di Padang, Sumatera
Barat. Anak kedua dari lima bersaudara pasangan Bapak Ashal Nazar dan Ibu
Netty Hartati. Pada tahun 1987 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SD
Inpres 3/77 Lapai Nanggalo, tahun 1990 menamatkan Pendidikan Menengah
Pertama di SMP Negeri 12 Padang. Tahun 1993 penulis lulus dari SMA Negeri 3
Padang dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI)
di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1998.
Sejak tahun 1999 penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Provinsi Jambi, kemudian tahun 2005 penulis pindah ke Balai Konservasi Sumber
Daya Alam Provinsi Sumatera Barat sebagai Pejabat Fungsional Pengendali
Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2006 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa
Departemen Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis
melakukan penelitian tentang ―Tingkat Kesesuaian dan Preferensi Habitat
Leptopryne cruentata, Tschudi 1838 Di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango‖ dibimbing oleh Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,M.Sc sebagai Ketua, Dr.
Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr. Ir Agus Priyono Kartono, MSi sebagai
Anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... Iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ................................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 2
C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi L. cruentata Tschudi 1838 ........................ 3
B. Habitat dan Penyebaran ....................................................................... 4
1. Komponen Fisik..... ....................................................................... 5
2. Komponen Biotik .. ....................................................................... 7
C. Pemilihan Habitat ............................................................................. 8
D. Definisi Sistem Informasi Geografis ................................................ 9
E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama
Amfibi.. ............................................................................................. 13
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Luas Kawasan .................................................................... 15
B. Iklim ..................................................................................................... 15
C. Geologi dan Tanah ............................................................................... 15
D. Topografi ........................................................................................... 16
E. Hidrologi ............................................................................................ 16
F. Flora ................................................................................................... 16
G. Fauna ................................................................................................... 18
H. Lokasi Penelitian ................................................................................ 19
IV. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 21
B. Alat dan Bahan ................................................................................. 21
C. Metoda Pengambilan Data Mikrohabitat ........................................... 21
D. Metoda Pengamatan Habitat Preferensi Kodok Merah ....................... 25
E. Metoda Asumsi dalam Membuat Peta Kesesuaian .............................. 25
F. Metoda Penelitian Spasial ................................................................. 28
G. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel .................. 30
H. Pengolahan Peta .................................................................................... 30
I. Analisis Data ......................................................................................... 34
1. Principal Componen Analysis .................................................... 34
2. Analisis Spasial ......................................................................... 34
3. Validasi Data ............................................................................. 35
4. Preferensi Habitat ...................................................................... 36
5. Faktor Dominan Komponen Habitat ......................................... 36
6. Logistic Regression ..................................................................... 37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil .................................................................................................... 38
1. Tingkat Kesesuaian Habitat ........................................................ 38
2. Preferensi Habitat ...................................................................... 49
B. Pembahasan ........................................................................................ 60
1. Tingkat Kesesuaian Habitat ....................................................... 60
2 Preferensi Habitat ...................................................................... 62
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ... ........................................................................................ 70
B. Saran .... ............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... .............. 71
LAMPIRAN .................................................................................................. 77
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perbandingan ukuran SVL kodok merah ..................................................... 3
2. Data penyebaran kodok merah ...................................................................... 5
3. Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper ....................................... 12
4. Panjang transek penelitian pada masing masing lokasi penelitian ............... 22
5. Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Rawa Denok, Rawa
Gayonggong dan Curug Cibeureum ............................................................ 23
6. Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol ............ 23
7. Variabel dan kelas kesesuaian habitat kodok merah ...................................... 30
8. Penentuan selang skor kodok merah .............................................................. 30
9. Piksel info model kesesuaian kodok merah ................................................... 35
10. Hasil analisis PCA titik perjumpan kodok merah di TNGGP ...................... 43
11. Vektor ciri titik perjumpan kodok merah di TNGGP .................................... 44
12. Nilai bobot tiap variabel lingkungan hidup kodok merah berdasarkan PCA 44
13. Nilaiskor tiap kelas kesesuaian kodok merah di TNGGP .............................. 45
14. Jumlah kodok merah pada setiap lokasi berdasarkan ketinggian
tempat dan frekuensi kehadiran ..................................................................... 49
15. Kisaran beberapa faktor fisik yang mempengaruhi penyebaran kodok
merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ................................... 50
16. Uji beda chi-square antara subrat dengan ada/tidak ditemukannya
kodok merah .................................................................................................. 51
17. Nilai Chi-square pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah ..................... 58
18. Vektor ciri PCA mikrohabitat kodok merah .................................................. 59
19. Komponen matrik faktor yang mempengaruhi perjumpaan kodok merah .... 59
20. Uji homogenigenitas variabel jarak dari air dan jarak dari jalur
kodok merah .................................................................................................. 59
21. Uji Kruskal Wallis antara jarak dari air dan jarak dari jalur manusia ............ 60
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi penelitian di TNGGP ........................................................................ 20
2. Contoh kuadrat plot pangamatan kodok merah di Rawa Denok,
Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum .................................................. 22
3. Contoh kuadrat plot pengamatan diLebak Saat dan Bedogol ...................... 23
4. Bagan alir prosedur penelitian .................................................................... 29
5. Proses pembuatan peta kerapatan tajuk ..................................................... 31
6. Proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng ........................ 32
7. Proses pembuatan peta jarak dari sungai .................................................... 32
8. Proses pembuatan peta sebaran suhu ........................................................... 33
9. Peta kerapatan tajuk di TNGGP ................................................................... 39
10. Peta sebaran suhu di TNGGP ....................................................................... 40
11. Peta ketinggian tempat di TNGGP .............................................................. 41
12. Peta kemiringan lereng di TNGGP ............................................................. 42
13. Peta jarak dari sungai di TNGGP ................................................................. 43
14. Peta kesesuaian habitat kodok merah di TNGGP ....................................... 46
15. Peta kesesuaian habitat kodok merah di Rawa Denok, Rawa
Gayonggong, Curug Cibeureum dan Lebak Saat ........................................ 46
16. Peta kesesuaian habitat kodok merah di Bedogol ........................................ 47
17. Titik validasi kodok merah di TNGGP ....................................................... 48
18. Titik yang digunakan dalam membuat model kesesuaian habitat
kodok merah ................................................................................................ 48
19. Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Denok ............................................. 52
20. Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Gayonggong ................................... 53
21. Jenis dan frekuensi vegetasi di Curug Cibeureum ..................................... 53
22. Jenis dan frekuensi vegetasi di Lebak Saat ................................................. 54
23. Jenis dan frekuensi vegetasi di Bedogol ................................................... 55
24. Jenis dan frekuensi vegetasi pada habitat ditemukannya kodok
merah (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum) ............ 56
25. Jenis dan frekuensi vegetasi pada habitat tidak ditemukannya kodok
merah (Lebak Saat dan Bedogol) ............................................................... 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data pertemuan kodok merah di TNGGP ...................................................... 77
2. Data mikrohabitat pertemuan kodok merah ................................................... 81
3. Jenis vegetasi di lokasi Rawa Denok ............................................................. 91
4. Jenis vegetasi di lokasi Rawa Gayonggong ................................................... 92
5. Jenis vegetasi di lokasi Curug Cibeureum ..................................................... 93
6. Jenis vegetasi di lokasi Lebak Saat ................................................................ 94
7. Jenis vegetasi di lokasi Bedogol .................................................................... 95
8. Analisis faktor mikrohabitat kodok merah .................................................... 97
9. Uji Kruskall Wallis antara jarak dari sumber air dan jalur manusia .............. 98
10. Regresi logistik jenis vegetasi pada lokasi ada/tidak ditemukannya kodok
merah .............................................................................................................. 99
11. Uji beda nyata subsrat ............................................................................... 101
12. Koordinat titik validasi kodok merah di TNGGP ..................................... 102
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Selama dua dekade terakhir, penurunan jumlah dan jenis populasi amfibi
telah terjadi di beberapa belahan dunia termasuk Amerika, Australia, Inggris
Raya, dan beberapa negara di Eropa (Blaustein & Wake 1990; Stuart et al. 2005).
Berdasarkan hasil survey di seluruh dunia, sedikitnya terdapat 122 jenis amfibi
yang tersebar di seluruh dunia terancam punah dan 113 jenis kemungkinan telah
punah sejak tahun 1980-an (Stuart et al. 2005). Kepadatan populasi amfibi dan
reptil di hutan primer di Costa Rica mengalami penurunan sebesar 75% sejak
tahun 1970 dengan rata-rata laju penurunan kepadatan populasi katak 4,1% per
tahun (Whitfield et al. 2007). Ancaman utama untuk amfibi di Asia Tenggara
adalah pemanenan amfibi yang berlebihan dari alam, untuk obat-obatan
tradisional dan perdagangan amfibi sebagai hewan peliharaan (Rowley et al.
2009).
Penurunan populasi amfibi di seluruh dunia diakibatkan oleh faktor-faktor
antropogenik seperti modifikasi habitat maupun invasi predator (Whitfield et al.
2007). Peningkatan rata-rata temperatur minimum mengakibatkan populasi amfibi
daerah pegunungan cenderung lebih mudah terserang penyakit (Laurance 2008).
Pola temperatur dan kelembaban lingkungan dapat mempengaruhi ekologi,
fisiologi, dan perilaku amfibi karena amfibi harus mempertahankan kelembaban
kulit untuk memperoleh oksigen dan pertukaran ion (Lips et al. 2005). Stuart et al.
(2005) menemukan tiga faktor penyebab penurunan populasi amfibi, yakni
hilangnya habitat, eksploitasi berlebih, dan penurunan populasi akibat penyakit
atau perubahan iklim. Lips et al. (2005) menyatakan perubahan iklim juga
mempengaruhi distribusi, pemencaran, dan ketahanan populasi terhadap patogen.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu
taman nasional pertama di Indonesia. Di kawasan TNGGP ini dapat ditemukan
sebanyak 18 jenis katak (Kusrini et al. 2007a) atau setara dengan setengah dari
jumlah jenis katak di Pulau Jawa (Iskandar 1998). Salah satu jenis katak di
TNGGP yang mengalami penurunan populasi adalah kodok merah (Leptophryne
cruentata, Tschudi 1838). Penurunan populasi kodok merah terjadi di beberapa
lokasi di TNGGP seperti Curug Cibeureum, Rawa Denok dan Lebak Saat
(Iskandar 1998; Kusrini et al. 2005). Kodok merah telah termasuk dalam IUCN
Red List dengan status Critically Endangered (IUCN 2009).
Kodok merah hidup di areal sepanjang sungai kecil di dalam hutan dan
umumnya ditemukan pada batu-batu di tengah ataupun tepi sungai (Liem 1971).
Kodok ini dikenal sebagai kodok berukuran kecil yang penyebarannya hanya di
Gunung Gede Jawa Barat (Liem 1971; Iskandar 1998), dan Cikeris di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (Kurniati 2003).
Studi tentang pola sebaran spasial spesies pada tipe habitat yang berbeda
merupakan langkah penting untuk memahami proses-proses yang mempengaruhi
sebaran spasial spesies, memprediksi respon ekosistem terhadap perubahan global
(Soares & Brito 2007) dan perencanaan pengelolaan spesies terancam punah
(Zarri et al. 2008). Pemahaman terhadap preferensi habitat sangat diperlukan
untuk meningkatkan pengetahuan tentang spesies dan informasi tentang sebaran
spasial habitat yang sesuai dapat membantu dalam pengembangan strategi
konservasi pada tingkat lanskap (Zarri et al. 2008).
B. Tujuan
Penelitian tentang preferensi dan tingkat kesesuaian habitat kodok merah di
TNGGP ini dilakukan dengan tujuan untuk :
1). Menduga luas kesesuaian habitat untuk mendukung populasi kodok merah di
TNGGP dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
penginderaan jarak jauh.
2). Menduga preferensi habitat bagi kodok merah di TNGGP.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa data dan
informasi tentang habitat yang disukai kodok merah dan tingkat kesesuaian
habitat. Data dan informasi ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi
konservasi kodok merah di TNGGP.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Morfologi Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 Kodok merah Leptophryne cruentata Tschudi, 1838 termasuk dalam kelas
amphibia. Secara taksonomi kodok merah dapat diklasifikasikan kedalam
Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum Vertebrata, Kelas Amphibia,
Ordo Anura, Famili Bufonidae, Genus Leptophryne dan Spesies Leptophryne
cruentata Tschudi, 1838 (Iskandar 1998). Jenis katak lain yang termasuk dalam
satu marga dengan L. cruentata adalah L. borbonica. Spesies ini juga dikenal
dengan nama Bufo cruentatus atau Cacophryne cruentata (Iskandar 1998).
Spesies L. cruentata dikenal dengan nama kodok merah, yang mengacu
pada bercak kecil yang berwarna merah yang menjadi ciri jenis ini. Kodok merah
berukuran kecil ramping, mempunyai sepasang kelenjar parotoid kecil yang
kadang-kadang tidak jelas. Bagian atas kepala tidak mempunyai alur bertulang,
moncong meruncing, gendang telinga kecil dan tidak jelas. Ujung jari tangan dan
kaki agak membengkak. Jari kaki ketiga dan kelima membentuk jaringan sampai
ke benjolan sub artikuler. Bagian kulit punggung berbintik-bintik kecil, sedangkan
bagian perut halus dengan sedikit bintik-bintik kecil (van Kampen 1923; Liem
1971; Iskandar 1998; Kurniati 2003).
Ukuran kodok merah sangat bergantung pada jenis kelaminnya, yakni pada
umumnya individu jantan lebih kecil dibanding individu betina. Ukuran SVL
(Snout Venth Length) kodok merah, yakni panjang dari moncong sampai tulang
ekor tersebut seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan ukuran SVL kodok merah di TNGGP dan TNGHS
Pencacah SVL
♂ ♀
Liem (1971) 20,0 – 29,8 mm 25,0 – 39,0 mm
Iskandar (1998) 20,0 – 30,0 mm 25,0 – 40,0 mm
Kurniati (2003) 25,0 – 30,0 mm -
Kusrini et al. (2007b) 20,0 – 30,0 mm 25,0 - 40,0 mm
B. Habitat dan Penyebaran
Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-
komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat
yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama
musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai
macam jenis termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang
diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan
reproduksinya secara berhasil (Bailey 1984). Krebs (1978) menyatakan bahwa
habitat merupakan kisaran (range) lingkungan dimana spesies berada. Definisi
lain dinyatakan oleh Goin & Goin (1971) bahwa habitat tidak hanya
menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan
bagaimana satwa tersebut dapat hidup.
Menurut Alikodra (2002), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari
komponen fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara,
iklim, topografi, tanah, dan ruang; sedangkan komponen biotik terdiri atas:
vegetasi, mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup
satwaliar dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar
tersebut akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi
lainnya. Habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar,
sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003). Sebagian katak
beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun sangat tergantung pada air,
katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon melakukan
kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu
katak akan jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga
terdapat katak yang menyimpan telurnya di lubang berair pada kayu dan tanah, di
punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).
Data penyebaran kodok merah disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Data penyebaran kodok merah
TAHUN KOLEKSI
TOTAL
LOKASI 1932 1959 1964 1972 1977 1978 1984 2003 2004
Bogor 1 5 1 7
Curug
Cibeureum 5 118 1 6 2 132
Halimun 2 2
Lebak Saat 31 31
Perbawati 8 8
Salak 3 3
Sukabumi 1 1
TOTAL 1 5 149 1 22 1 1 2 2 184
Sumber: Kusrini et.al. 2007c
Habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango juga merupakan sungai-sungai berbatu yang berarus cukup deras dan
hanya dijumpai dalam hutan primer (Liem 1971). Hal yang sama juga dikemukan
oleh Kurniati (2003) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, kodok merah
terdapat di dalam hutan primer pada ketinggian 1500 meter dari permukaan laut,
pada kantung-kantung air sungai kecil berbatu dengan arus cukup deras.
1. Komponen Fisik
a. Ketinggian Tempat
Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam
kekayaan jenisnya (MacKinnon 1986). Perubahan besar dalam komposisi jenis
terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat
pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah
menjadi terbatas (Alikodra 2002).
Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan
elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi
tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan
(van Steenis 2006). van Steenis (2006), juga menyebutkan bahwa pembagian
zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim.
Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap
zonasi. TNGGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu sub montana (100-1500
mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996).
Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi.
Ketinggian juga berpengaruh pada penyebaran amfibi. Hasil ulasan Morrison
& Hero (2003) menunjukkan bahwa populasi amfibi pada daerah yang tinggi
cenderung untuk memiliki periode aktivitas dan musim kawin yang pendek, fase
larva atau berudu yang lebih panjang, masa metamorfosis atau perubahan bentuk
yang lebih lama, masa dewasa yang lama sehingga mencapai kematangan
reproduksi pada umur yang lebih tua, jumlah telur tergantung ukuran tubuh serta
menghasilkan telur yang lebih besar.
b. Suhu
Temperatur merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena
pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan
organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu
lingkungannya (Alikodra 2002). Disamping itu, temperatur pada umumnya
mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta
bagian-bagiannya (Alikodra 2002). Organisme berdarah panas yang memiliki
organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia
biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki
mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas di malam hari
(nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil.
Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam.
Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada
jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing-
masing individu yang berbeda (Stebbins & Cohen 1995). Suhu pada amfibi
dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk
memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu
juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi.
Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini
mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya.
Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis
lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander
dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 0
0C
(Duellman & Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas
suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 40
0C yakni
jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam
Stebbins & Cohen 1995).
Menurut Kusrini (2007a) suhu udara di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango berkisar antara 100-23
0C dan kelembabannya 43-100%.
c. Jarak dari sungai atau sumber air
Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair
dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu
sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al.
(1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik,
termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir
(kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan
lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan
iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di
dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva
bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar
dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air bagi kehidupan
amfibi khususnya katak dan kodok sangat penting.
2. Komponen Biotik
a. Penutupan tajuk
Penutupan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kodok. Kodok
bersembunyi di daerah yang gelap seperti di bawah rimbunan daun, di lubang-
lubang pohon dan sebagainya yang tidak tersentuh sinar matahari. Penutupan
lahan berhubungan langsung dengan suhu dan kelembaban relatif. Hutan dengan
penutupan tajuk yang tinggi dapat menyediakan iklim mikro yang lebih dingin
karena menyediakan naungan dan mencegah penguapan yang berlebihan (Casey
2001). van Steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama hutan, sangat
penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan lahan, bagi
pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung ekologi
tertentu bagi tanaman.
b. Makanan
Menurut Alikodra (2002), semua organisme memerlukan sumber energi
melalui makanan. Organisme yang makanannya beranekaragam akan lebih mudah
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Menurut Jaafar (1994),
katak merupakan satwa karnivor yang memanfaatkan jenis serangga sebagai
pakan Jenis-jenis serangga yang dimanfaatkan juga beragam. Menurut Duelman
& Trueb (1994) amfibi hanya memakan jenis serangga yang bergerak. Stebbins &
Cohen (1997) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis katak yang memakan
jenis mangsa dengan pergerakan yang lambat. Umumnya setiap jenis katak
memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam berburu mangsa tergantung pada
jenisnya. Jenis katak yang memiliki perawakan gemuk dan mulut yang lebar
biasanya mencari mangsa dengan cara diam dan menunggu mangsa dan biasanya
memanfaatkan jenis pakan dengan ukuran besar dan memanfaatkan dalam jumlah
sedikit (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997). Jenis katak yang
memiliki perawakan yang ramping dengan mulut yang meruncing biasanya aktif
dalam berburu mangsa dan memanfaatkan mangsa dalam jumlah yang banyak
dengan ukuran pakan kecil (Duelman & Trueb 1994; Stebbins & Cohen 1997).
Katak memanfaatkan beranekaragam jenis serangga dan tidak bersifat
khusus. Hal tersebut merupakan salah satu mekanisme setiap jenis katak dalam
melangsungkan kehidupannya (Young 1962). Kusrini et al. (2007c) menyebutkan
jenis makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari
Hymenoptera (semut, 60.38%), Coleoptera (7.55%), Orthoptera (6.60%), Diptera
(6.60%), Lepidoptera (4.72%), Hemiptera (1.89%), Collembola (1.89%), Isopoda
(0.94%), tumbuhan dan tanah (total 8.49%).
C. Pemilihan Habitat Pemilihan habitat yang sesuai merupakan suatu tindakan yang dilakukan
satwaliar dalam rangka memperoleh serangkaian kondisi yang menguntungkan
bagi keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Bolen & Robinson
1995). Individu yang berevolusi secara ideal akan menilai keterkaitan antara
korbanan dan keuntungan serta memilih habitat yang dapat memberikan jaminan
keberhasilan reproduksi. Individu yang memiliki korbanan rendah akan
mengeksploitasi relung yang miskin meskipun peluang hidupnya di tempat lain
lebih besar. Faktor yang mendorong terjadinya pemilihan habitat berhubungan
dengan laju predasi, toleransi fisiologis dan interaksi sosial. Adapun kondisi
mikro habitat tidak menentukan terjadinya pemilihan habitat (Morris 1987).
Morris (1987) menyatakan bahwa satwaliar tidak menggunakan seluruh
kawasan hutan yang ada sebagai habitatnya tetapi hanya menempati beberapa
bagian secara selektif. Pemilihan habitat merupakan suatu hal yang penting bagi
satwaliar karena mereka dapat bergerak secara mudah dari satu habitat ke habitat
lainnya untuk mendapatkan makanan, air, reproduksi atau menempati tempat baru
yang menguntungkan. Beberapa spesies satwaliar menggunakan habitat secara
selektif dalam rangka meminimumkan interaksi negatif (seperti predasi dan
kompetisi) dan memaksimumkan interaksi positif (seperti ketersediaan mangsa).
Pemilihan habitat oleh satwaliar dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni:
ketersediaan mangsa (pakan), menghindari pesaing dan menghindari predator.
Shannon et al. (1975) menyatakan bahwa pemilihan habitat merupakan
ekspresi respon yang kompleks pada satwaliar terhadap sejumlah besar variabel
yang saling terkait yang menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi satwaliar.
Variabel tersebut dapat bersifat intrinsik, yakni tergantung pada status fisiologis
dan perilaku satwaliar atau ekstrinsik yang tergantung pada faktor-faktor abiotik
dan biotik dari lingkungannya.
D. Sistem Informasi Geografis (SIG)
1. Definisi
Definisi Sistem Informasi Geografis (SIG) selalu berkembang, bertambah
dan bervariasi. Hal ini terlihat dari banyaknya definisi SIG yang beredar. Selain
itu, SIG juga merupakan suatu bidang kajian ilmu dan teknologi yang relatif baru,
digunakan oleh berbagai disiplin ilmu dan berkembang cukup dengan cepat
(Prahasta, 2001). Menurut Nuarsa (2005), SIG merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial
atau data bereferensi geografis. SIG adalah sistem yang dapat mendukung
pengambilan keputusan spasial dan mampu mengintegrasikan deskripsi lokasi
dengan karakteristik fenomena yang ditemukan di lokasi tersebut. Hal yang
hampir sama di kemukanan oleh Ekadinata et al. (2008) bahwa SIG adalah sebuah
sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisis, serta menyajikan data
dan informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau
keberadaannya di permukaan bumi. Pada dasaranya SIG dapat dirinci menjadi
beberapa subsistem yang saling berkaitan yang mencakup input data, manajemen
data, pemrosesan atau analisis data, pelaporan (output) dan hasil analisa.
Menurut Prahasta (2001), ada beberapa hal yang menyebabkan penggunaan
konsep-konsep SIG menjad menarik untuk digunakan dalam berbagai disiplin
ilmu, beberapa diantaranya adalah :
1. SIG cukup efektif dalam membantu proses-proses pembentukan,
pengembangan atau perbaikan mengenai gambaran lingkungan yang telah
dimiliki oleh setiap orang yang menggunakannya dan selalu berdampingan
dengan lingkungan fisik dunia nyata yang penuh dengan kesank-kesan visual.
2. SIG merupakan alat bantu yang menarik dan menantang dalam meningkatkan
pemahaman, pembelajaran dan pendidikan mengenai konsep-konsep lokasi,
ruang, dan unsur-unsur geografis dipermukaan bumi berikut data-data
atributnya.
3. SIG mampu menjawab baik pertanyan spasial maupun non spasial.
Stow (1993) menjelaskan peranan SIG dalam memahami fungsi ekologi
dan pengaruh manusia terhadap struktur ekologi sebagai berikut :
1. menyediakan sebuah struktur data untuk penyimpana dan pengelolaan data
ekosistem untuk wilayah yang cukup luas secara efisien;
2. memungkinkan adanya penggabungan dan pemisahan data pada berbagai
skala;
3. dapat digunakan untuk menentukan plot studi dan atau wilayah yang sensitif;
4. mendukung analisis statistik spasial dari penyebaran ekologi;
5. meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi penginderaan jauh; dan
6. menyediakan input data/parameter untuk pemodelan ekosistem.
Pemetaan serta analisa keruangan yang terkomputerisasi telah
dikembangkan secara terus-menerus di berbagai bidang, salah satu diantaranya
adalah bidang yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Teknologi
yang berbasiskan sistem informasi geografi ini telah menjadi sarana atau alat
bantu satndar yang digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan
dan pembuatan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ekadinata et al.,
2008).
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh tentang
suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena
yang dikaji (Lilesand & Kiefer 1990). Komponen dasar suatu sistem penginderaan
jarak jauh lokal ditunjukkan dengan adanya hal berikut: suatu sumber tenaga yang
beragam, atmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian
interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan
data tepat waktu, berbagai penggunaan data.
Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini atau dimasa yang akan
datang memberikan kemungkinan memperoleh data untuk inventarisasi
sumberdaya alam yang baru, cepat dan akurat. Satelit penginderaan jauh yang
sering digunakan untuk melihat penutupan lahan adalah Satelit Landsat. Citra
Landsat komposit warna cocok digunakan untuk menggunakan cakupan lahan dan
penggunaannya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic
Mapper) yang memiliki resolusi spasial 30x30 meter dengan karakteristik
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper
Band Panjang
Gelombang Kegunaan
Band 1 0,45-0,52 μm Untuk penetrasi tubuh air, pemetaan perairan pantai,
membedakan antara tanah dengan vegetasi, tumbuhan
berdaun lebar dan konifer
Band 2 0,52-0,60 μm Untuk mengukur puncak pantulan hijau saluran tampak
bagi vegetasi guna penilaian ketahanan.
Band 3 0,63-0,69 μm Band absorbsi klorofil yang penting untuk diskriminasi
vegetasi.
Band 4 0,76-0,90 μm Menentukan kandungan biomassa dan deliniasi tubuh air.
Band 5 1,55-1,75 μm Menunjukkan kandungan kelembaban vegetasi dan tanah
juga bermanfaat untuk membedakan salju dengan awan.
Band 6 10,40-12,50 μm Band infra merah termal yang penggunaannya untuk
analisa penekanan vegetasi, diskriminasi kelembaban
tanah dan pemetaan tanah
Band 7 2,08-2,35 μm Band yang diseleksi karena potensi untuk membedakan
tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.
Sumber: Lo (1995)
2. SIG dan penginderaan jauh
Sistem Informasi Geografi dan penginderaan jauh memiliki keterkaitan
yang dinyatakan oleh Howard (1996) bahwa informasi yang diturunkan dari
analisis citra penginderaan jauh dilakukan untuk diintegrasikan dengan data yang
disimpan dalam bank data SIG. Masukan dari data penginderaan jauh biasanya
harus dilengkapi dengan intervensi manusia pada analisisnya.
Perkembangan integrasi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
adalah estimasi bahwa aliran data memiliki arah yang sama. Aliran yang
sebaliknya tidak diinginkan tetapi juga realistis diperlukan dalam analisis
penginderaan jauh. Hambatan utama dalam pembiayaan ini adalah biaya untuk
membuat basis data digital SIG. Namun hal tersebut dapat ditekan dengan cara
peningkatan dan perbaikan tersedianya perangkat keras dan perangkat lunak serta
peta-peta digital yang telah tersedia dalam bentuk digital.
E. Aplikasi SIG Untuk Konservasi Satwa Liar Terutama Amfibi
Keunggulan-keunggulan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sebuah
perangkat sistem yang mudah dioperasikan dengan kemampuan untuk
mengumpulkan, menyimpan dan memunculkan lagi, mentransformasi dan
menampilkan data spasial dari dunia nyata untuk sebuah maksud atau tujuan
tertentu telah membuat SIG sebagai perangkat yang sangat berguna dalam analisa
spasial dan telah diaplikasikan dalam berbagai kegiatan, tidak hanya sekedar
pemetaan namun juga pemanfaatannya dalam pengelolaan sumberdaya alam
maupun konservasi.
Lang (1998) menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam,
SIG sangat berperan penting dalam menyediakan kerangka kerja analisis untuk
membantu komunitas masyarakat dalam mencari permasalahan-permasalahan
yang umum terjadi dan mendiskusikan masalah pembangunannya. SIG dapat
digunakan dalam menentukan kesesuaian wilayah untuk pertanian,
mengidentifikasi wilayah-wilayah yang terjadi deforestasi, menganalisis dampak
asap polusi udara dan pergerakannya, mengidentifikasi perubahan lahan,
mendukung wilayah reklamasi lahan bekas tambang, perlindungan wilayah pantai
dari pencemaran, pengelolaan habitat hutan maupun untuk penentuan kawasan
sebagai habitat satwa langka.
Metode penampalan manual dari penentuan kelimpahan suatu spesies dapat
dilakukan secara otomatis dengan SIG. Batas-batas di peta dapat diketahui dengan
menggabungkan data tentang distribusi faktor-faktor habitat dan dapat digunakan
untuk mengidentifikasi komunitas yang jarang. Peta kelimpahan jenis dan peta
vegetasi dapat digabungkan untuk membuat peta penggunaan lahan dan peta
kesesuaian lahan digunakan untuk mengetahui keadaan saat ini dan kemungkinan
potensi penurunan keanekaragaman hayati.
Kastanya (2001) dalam penelitiannya tentang karakeristik lanskap Elang
Jawa (Spizaetus bartelsi), memanfaatkan program Patch Analyst dalam sistem
informasi geografis untuk menduga karakteristik lanskap Elang Jawa di wilayah
Pulau Jawa bagian barat. Sedangkan Muntasib (2002) juga memanfaatkan
kemampuan analisis spasial SIG dalam menumpangsusunkan data spasial
menggunakan model pembobotan. Muntasib mengkombinasikan tiap parameter
habitat berdasarkan komponen fisik, biologi dan sosialnya untuk mengetahui pola
penggunaan ruang habitat Badak Jawa (Rhinoceros sundaicus) di Taman Nasional
Ujung Kulon.
Penelitian di bidang amfibi sangat diperlukan karena laporan terakhir
menyebutkan populasi amfibi telah menurun drastis hampir di seluruh dunia
akibat kerusakan habitat, kehilangan habitat, fragmentasi habitat, dan perubahan
iklim global (Pellet 2005). Oleh karena itu, penelitian berbasis SIG sangat
diperlukan untuk mempelajari pola spasial yang dilakukan, karena amfibi
memiliki siklus hidup yang kompleks dan menempati habitat yang beragam.
Munger et al. (1998) meneliti tentang prediksi keberadaan Columbia Spotted Frog
(Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla) dengan menggunakan
SIG. Parris (2000) meneliti salah satu jenis katak yang terancam punah di
Queensland Australia dengan menggunakan aplikasi SIG dan pemodelan spasial
untuk melihat distribusi spasial dan preferensi habitat katak pohon Litoria
pearsonia dan menganalisanya secara statistik.. Lubis (2008) melakukan
penelitian pemodelan spasial habitat katak Jawa (Rhacophorus javanus)
mengunakan SIG dan penginderaan jarak jauh untuk menentukan kesesuaian
katak jawa.
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak dan Luas Kawasan
Secara geografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak antara
106º 51’ - 107º 02’ BT dan 6º 51’ LS. TNGGP yang awalnya memiliki luas
15.196 Ha dan terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten yaitu Cianjur (3.599,29 Ha),
Sukabumi (6.781,98 Ha) dan Bogor (4.514,73 Ha), saat ini sesuai SK Menhut No
174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003 diperluas menjadi 21.975 Ha. Pembagian zonasi
di TNGP l terdiri dari zona inti (7.400 ha), zona rimba (6.848,30 ha) dan zona
pemanfaatan (948,7 ha).
Secara administratif pemerintahan, wilayah TNGGP mencakup ke dalam 3
(tiga) kabupaten, yaitu; Kabupaten Bogor (sebelah utara dan barat, Cianjur
(sebelah barat dan timur) dan Sukabumi (sebelah barat dan selatan) (BTNGP
2003).
B. Iklim
Berdasarkan laporan TNGGP (BTNGP 2003) kawasan TNGP memiliki
jumlah bulan basah 7-9 bulan berurutan, dan jumlah bulan kering < 2 bulan setiap
tahunnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt and Ferguson TNGP masuk kedalam
tipe iklim B1 dimana curah hujan rata-rata di TNGP berkisar antara 3.000-4.200
mm/th dengan rata-rata curah hujan bulanan 200 mm dengan Nilai Q berkisar
antara 11,3-33,3 %. Suhu berkisar antara 10-180 C dan kelembaban relatif berkisar
antara 80-90 % sepanjang tahun.
C. Geologi dan Tanah
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terdiri dari 2 gunung
berapi : Gede dan Pangrango. Diantara dua puncaknya dihubungkan oleh suatu
saddle yang dikenal dengan nama Kandang Badak pada ketinggian 2.400 m dpl.
Lereng-lereng gunungnya sangat curam dibelah oleh aliran sungai deras yang
mengukir bagian lembah yang dalam dan punggung bukit yang panjang.
Penampakan ini merupakan tipe dari daerah muda/baru dengan tingkat erosi yang
tinggi. Secara umum kawasan ini merupakan dataran yang kering tetapi terdapat
pula rawa yaitu Rawa Gayonggong, Rawa Denok dan Situgunung sehingga
memperkaya keanekaragaman pada habitatnya (Whitten et al. 1996).
Sesuai Peta tanah Propinsi Jawa Barat dari Lembaga Penelitian Tanah
Bogor jenis tanah pada lahan kritis Blok Bobojong yaitu latosol coklat yang
mendominasi lereng Gunung Gede bagian bawah. Tanah ini mengandung liat dan
lapisan sub soil gembur, mudah ditembus air dan lapisan bawahnya melapuk.
Tanah sangat gembur dan agak peka terhadap erosi.
D. Topografi
Kawasan TNGP memiliki ketinggian yang beragam, mulai dari 1.000 m dpl
yaitu di sekitar Kebun Raya Cibodas, 2.985 m dpl (Puncak Gn. Gede) sampai
3.019 m dpl (Puncak Gunung Pangrango). Kedua gunung ini dihubungkan oleh
lereng dengan ketinggian 2.500 m dpl (BTNGP 2003).
E. Hidrologi
TNGP merupakan hulu dari 55 sungai, baik sungai besar maupun sungai
kecil (BTNGP 2003). Aliran-aliran kecil mengalir dari dinding kawah menuju
bawah dan menghilang pada tanah vulkanik yang mempunyai porositas tinggi.
Umumnya kondisi sungai di dalam kawasan ini masih terlihat baik dan belum
rusak oleh manusia. Kualitas air sungai cukup baik dan merupakan sumber air
utama bagi kota-kota yang terdapat di sekitarnya. Lebar sungai di hulu berkisar 1-
2 meter dan di hilir mencapai 3-5 meter dengan debit air yang cukup tinggi.
Kondisi fisik sungai ditandai dengan kondisi yang sempit dan berbatu besar pada
tepi sungai bagian hilir.
F. Flora
TNGGP dikenal dan banyak dikunjungi karena memiliki potensi hayati
yang tinggi, terutama keanekaragaman jenis flora. Di kawasan ini hidup lebih dari
1000 jenis flora, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) sekitar 900
jenis, tumbuhan paku lebih dari 250 jenis, lumut lebih dari 123 jenis, ditambah
berbagai jenis ganggang, Spagnum, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya
(BTNGP 2003). van Steenis (2006) menyebutkan bahwa setiap zona memiliki
berbagai jenis tumbuhan yang berbeda sehingga jenis tumbuhan dapat mewakili
tipe vegetasi pada masing-masing zona. Keadaan vegetasi pada setiap zona di
TNGP, yaitu :
a) Zona Sub Montana
Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada
tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah.
Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu Puspa (Schima walichii). Jenis
tumbuhan lainnya yang ada adalah Walen (Ficus ribes), Syzygium spp,
Saninten (Castanopsis argentea), Pasang (Quercus sp.), Rasamala (Altingia
excelsa) dan sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah
Ardisia fuliginbia, Pandanus sp., Pinanga sp. dan Laportea stimulans. Jenis
tumbuhan bawah pada zona sub Montana adalah Begonia spp., Cyrtandra picta
dan Curculigo latifolia.
b) Zona Montana
Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman jenis dan
kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Jenis-
jenis pohon yang dominan adalah Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pasang
(Quercus sp.), Kiputri (Podocarpus neriifolius), Castanopsis spp. dan
Rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang terdapat
pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begonia spp. dan Melastoma
spp.
Pada ketinggian 2100-2400 mdpl banyak dijumpai jenis paku-pakuan atau
kelompok tanaman epifit, yaitu Cyathea tomentosa, Paku sarang burung
(Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan jenis-jenis anggrek,
antara lain adalah Dendrobium sp., Arundina sp., Cymbiddium sp., Eriates sp.,
Chynanthus radicans dan Calanthe sp.
c) Zona Sub Alpin
Keadaan vegetasi di zona sub alpin berbeda dengan keadaan zona sub
montana dan zona montana. Pada umumnya keadaan pohon di zona ini
pendek-pendek dan kerdil, semak belukar jarang-jarang, tumbuhan bawah
jarang diketemukan dan miskin akan jenis, hanya merupakan satu lapisan tajuk
saja.
Jenis pohon yang mendominasi zona sub alpin adalah Edelweis (Anaphalis
javanica), Jirak (Symplocos javanica), Ki Merak (Eurya acuminata), Cantigi
(Vaccinium varingifolium) dan Ki Tanduk (Leptospernium flanescens).
Pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m
dapat ditemukan di kawasan ini di sekitar jalur pendidikan wilayah pos Cibodas.
Jenis puspa terbesar dengan diameter batang 149 cm dan tinggi 40 m terdapat di
jalur pendakian Selabinta–Gunung Gede. Sedangkan pohon jamuju terbesar
ditemukan di wilayah Pos Bodogol.
Disamping pohon-pohon raksasa, di kawasan ini juga terdapat jenis-jenis
yang unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora),
Rafflesia rochusseni dan Strobilanthus cernua.
G. Fauna
Ditinjau dari potensi keanekaragaman satwaliarnya, TNGP merupakan
kawasan yang memiliki jenis burung tertinggi di pulau jawa. Sekitar 53 % atau
260 jenis dari 460 jenis burung di jawa dapat ditemukan di kawasan ini (BTNGP
2003). Disamping itu, 19 dari 20 jenis burung endemik di Pulau Jawa hidup di
kawasan ini, termasuk jenis-jenis yang langka dan dilindungi undang-undang,
salah satunya adalah ―Elang Jawa‖ (Spizaetus bartelsi) yang ditetapkan sebagai
―Satwa Dirgantara‖ melalui Keputusan Presiden No. 4 tanggal 9 Januari 1993,
celepuk gunung (Otus angelinae) dan berecet (Psaltria exilis) (Whitten et al.
1996).
Kelompok mamalia yang dapat dijumpai di kawasan TNGP diantaranya
yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung
(Trachipytecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), macan tutul
(Panthera pardus), kucing hutan (Felis bengalensis), musang (Famili Viverridae),
babi hutan (Sus scrofa linnaeus), bajing, berang-berang dan landak jawa (Dephut
2007). Kelompok amfibi ditemukan sebanyak 18 jenis diantaranya yaitu
Leptophryne cruentata, Huia masonii, Limnonectes kuhlii, Megophrys montana,
Rhacophorus margaritifer dan Philautus aurifasciatus (Kusrini et.al 2007). Jenis
reptil yang dapat dijumpai antara lain bunglon jambul hijau, bunglon dan
bengkarung (Dephut 2007).
H. Lokasi Penelitian
Pengamatan dan pengambilan data penelitian dilaksanakan di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Lokasi pengambilan data dikosentasikan pada
lokasi kosentrasi habitat kodok merah dan lokasi yang dahulunya menjadi habitat
kodok merah serta lokasi yang tidak pernah menjadi habitatnya . Ada lima lokasi
utama yang menjadi lokasi penelitian kodok merah di TNGGP (Gambar 1).
1. Rawa Denok (1800-1890 m dpl)
Meskipun namanya rawa namun tidak terdapat rawa di hutan pegunungan.
Wilayah ini terdapat sungai berbatu. Rawa Denok berjarak sekitar 3.400 m dari
pintu masuk Cibodas. Warna bebatu kekuningan karena mengandung sulfur yang
berasal dari kawah. Suhu air di lokasi ini relatif lebih panas jika dibandingkan
dengan lokasi lain yang berdekatan karena Rawa Denok berdekatan dengan
sumber air panas yang sampai saat ini masih aktif.
2. Rawa Gayonggong (1600 m dpl)
Rawa Gayonggong berjarak sekitar1800 meter dari pintu masuk Cibodas.
Rawa tersebut diduga terbentuk dari bekas kawah mati yang kemudian
menampung aliran air dari tempat yang lebih tinggi. Erosi tanah di tempat yang
lebih tinggi telah menyebabkan sedimentasi lumpur yang memungkinkan
tumbuhnya berbagai jenis rumput-rumputan, utamanya rumput Gayonggong.
Lokasi penelitian berada di bawah jembatan yang menuju Curug Cibeureum.
Vegetasi Rawa Gayonggong di dominasi oleh tepus.
3. Curug Cibeureum (1650 mdpl)
Merupakan tempat yang sangat terkenal bagi para pendaki dan wisatawan
lokal. Lokasi ini hanya 1,6 km dari gerbang Cibodas. Curug Curug Cibeureum
terdiri dari 3 air terjun yaitu Curug Cibeureum, Cikuntul dan Cidendeng. Di
sekitar Curug Cibureum terdapat lumut merah (Sphagnum gedeanum) yang
merupakan endemik di Jawa Barat.
4. Lebak Saat (2250 – 2500 m dpl)
Lebak saat terletak antara Rawa Denok dengan Kandang Badak, sekitar 8
km dari gerbang Cibodas. Lebak Saat merupakan daerah transisi antara
ekosistem montana dan sub alpin.
5. Bedogol (650-770 m dpl)
Wilayah ini sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani, kemudian
bergabung dengan TNGGP. Sebagai besar vegetasi di lokasi ini adalah Pinus
merkusii. Lokasi penelitian dilakukan di sungai Cikaweni. Lokasi penelitian di
kawasan TNGGP dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi penelitian di TNGGP
6o 55` 00"
6o 50` 00"
6o 45` 00"
6o 40` 00"
SukarajaSUKABUMI
Nagrak
Cimande
Tapos
Cisarua
Gunung Mas
Puncak
G. Masigit
CIANJUR
BOGOR
Ciawi
Warung kondang
Cisaat
Karang tengah
Cibadak
Cicurug
Gadog
G. Gede
Cimacan
CipanasCibodas
Gn. Putri
Sarongge
Gedeh
Gekbrong
107o 00` 00"106o 55` 00"106o 50` 00" 107o 05` 00"
Goalpara
Cisarua
Tegallega
Ciputri
Sindang Jaya
Sukatani
Ciloto
Ds. Benda
Ds. Nangerang
Ds. Bojong Murni
Karawang
Cipetir
Sukamulya
Sukamaju
Kebon Peuteuy
G.Pangrago
SelabintanaSitugunungCimungkad
Bodogol
Bojongmurni
DEPARTEMEN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
Jl. Raya Cibodas-Cipanas Cianjur
KETERANGAN
PETA
PERLUASAN KAWASANTAMAN NASIONAL
GUNUNG GEDE PANGRANGO
0 2500 10.0005000
Batas Wilayah TNGP
Batas Kabupaten
Jalan Setapak
Jalan Raya
Pondok Kerja Resort
N
S
EW
TNGP
Peta Petunjuk Lokasi Jawa Barat
Sukabumi
Cianjur
Bogor Purwakarta
Sumedang
Subang
Majalengka
Garut
Tasikmalaya Ciamis
Kuningan
Cirebon
IndramayuKarawang
JAKARTABekasiTangerang
Serang
RangkasbitungPandeglang
BANDUNG
Pintu masuk resmi
Kantor Seksi Wilayah
Kantor Balai TNGP
Batas Perluasan Kawasan
Citeko
Bedogol
Lebak Saat
Rawa Denok
Curug Cibeureum
Rawa Gayonggong
IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Diduga terdapat perbedaan penggunaan habitat terpilih oleh kodok merah
sehingga lokasi penelitian ditentukan berdasarkan beberapa kriteria yaitu: 1).
Lokasi yang diketahui saat ini merupakan daerah penyebaran kodok merah (Curug
Cibeureum, Rawa Gayonggong dan Rawa Denok), 2). Lokasi yang dahulu
menjadi habitat kodok merah, tapi dari beberapa penelitian sekarang tidak
ditemukan kodok merah lagi seperti Lebak Saat, dan 3). Lokasi yang dahulu
sampai sekarang tidak pernah ditemukan kodok merah seperti Bedogol.
Penelitian lapangan dilaksanakan selama dua minggu yaitu tanggal 6-19
bulan April 2008 dan dilanjutkan dengan pengolahan peta dan analisis data di
laboratorium.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan adalah alat tulis, kamera,
Global Positioning System (GPS), termometer, higrometer, bola pingpong,
kompas, mistar ukur dan alat untuk keperluan transek (tali). Alat yang digunakan
untuk mengolah dan menganalisis citra adalah satu paket Sistem Informasi
Geografis (perangkat keras dan lunak) termasuk Pc dan software Arc View 3.3,
Erdas Imagine 9.1, Microsoft Excell 2000 dan pengolahan data statistik yaitu
SPSS Ver 16 dan Minitab Ver 13..
Bahan – bahan yang gunakan meliputi: a) peta kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango, b). Peta citra landsat Tahun 2006 path 122 Row 65, c).
Peta Rupa Bumi Jawa skala 1:25.000, d). Alkohol dan kertas koran untuk
keperluan pembuatan herbarium.
C. Metoda Pengambilan Data Mikrohabitat
Metode pengambilan data yang digunakan berdasarkan Heyer et al. (1994),
yaitu metode transek dan kuadrat plot (1 x 1 m2) . Panjang transek di setiap lokasi
penelitian berbeda-beda karena panjang sungai yang beragam. Panjang transek di
setiap lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Panjang transek penelitian pada masing-masing lokasi penelitian
Lokasi Panjang Transek (m)
Rawa Denok 240
Rawa Gayonggong 200
Curug Cibureum 200
Lebak Saat 260
Bedogol 600
Unit contoh pengamatan berbentuk persegi panjang dengan lebar 60 m (30
m dari kanan kiri sungai). Satu unit contoh adalah lokasi dengan ketinggian 50
meter. Cara penempatan kuadrat plot pada lokasi penelitian berdasarkan ada/tidak
ditemukannya kodok merah. Sket penempatan kuadrat plot dapat dilihat pada
Gambar 2 dan Gambar 3. Sket penempatan lokasi kuadrat plot terbagi atas :
1. Lokasi pengamatan ditemukannya kodok merah (Rawa Denok, Rawa
Gayonggong dan Curug Cibeureum
Gambar 2 Contoh kuadrat plot pengamatan kodok merah di Rawa Denok, Rawa
Gayonggong dan Curug Cibeureum .
Pengamatan dilakukan pada pagi hari sampai siang hari dimulai pada pukul
06.00-12.00 WIB, karena kodok merah dapat ditemukan pada siang hari dan
variabel yang diamati adalah mikrohabitat, sehingga tidak akan mempengaruhi
pengamatan. Setiap lokasi pengamatan dilakukan ulangan pengamatan sebanyak 3
kali ulangan. Jumlah kuadrat plot berbeda-beda setiap kali ulangan, karena
50 m 1 m
1 m
Keterangan:
A = unit contoh
B = kuadrat plot ditemukannya kodok merah
A
B
20 m
jumlah kuadrat plot tergantung pada jumlah ditemukannya kodok merah. Jumlah
kuadrat plot pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tebel 5.
Tabel 5 Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Rawa Denok, Rawa
Gayonggong dan Curug Cibeureum
Lokasi Jumlah Kuadrat Plot
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
Rawa Denok 19 5 16
Rawa Gayonggong 4 2 4
Curug Cibeureum 13 20 14
2. Lokasi pengamatan tidak dijumpai kodok merah (Lebak Saat dan Bedogol)
Gambar 3 Contoh kuadrat plot pengamatan di Lebak Saat dan Bedogol
Pengamatan di lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol hanya satu kali
(tidak ada ulangan) karena di lokasi ini tidak terdapat kodok merah. Jarak kuadrat
plot dengan kuadrat plot lainnya adalah 20 meter dan ditempatkan secara ziqzaq.
Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah kuadrat plot pada lokasi penelitian Lebak Saat dan Bedogol
Lokasi Jumlah Kuadrat Plot
Lebak Saat 13
Bedogol 30
50 m 1 m
1 m
Keterangan:
A = unit contoh
B = kuadrat plot tidak ditemukannya kodok merah
A
B
Pengamatan dilakukan dengan mencatat kondisi mikro habitat kodok
merah yang meliputi:
1). Ketinggian tempat,
Ketinggian tempat diperoleh dengan menggunakan alat GPS. Setiap
pertemuan kodok merah dilakukan pencatatan pada ketinggian tempat
tersebut.
2). Substrat,
Pembagian substrat dilakukan berdasarkan definisi Hamer et al. (2002), yakni
substrat tanah/lumpur ukuran < 0,5 mm, pasir ukuran 0,5-5 mm, kerikil
ukuran 5-10 mm, batu ukuran 50-300 mm.,
3). Diameter lubang,
Diameter lubang diukur dengan mengunakan alat ukur mistar. Cara
pengukuran adalah mengukur lebar lubang dari kiri ke kanan, mengukur tinggi
lubang kemudian hasil penambahan lebar dengan tinggi dibagi dua.
4). Kedalaman lubang,
Kedalaman lubang diukur dengan cara memasukan alat ukur mistar ke dalam
lubang yang ditempati oleh kodok merah.
5). Suhu udara,
Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan termometer.
Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00-07.00WIB
6). Suhu air,
Pengukuran suhu air dilakukan dengan menggunakan termometer.
Pengukuran suhu air dilakukan pada setiap kuadrat plot penelitian.
7). Kelembaban udara,
8). Kecepatan arus sungai,
Kecepatan arus sungai diukur dengan mengunakan bola pingpong dan stop
wacth, Pada lokasi yang kurang berbatu, bola pingpong dihanyutkan
sepanjang 10 meter dan waktu yang dibutuhkan untuk menghanyutkan bola
pingpong dicatat.
9) Jarak posisi ditemukannya kodok merah dari permukaan tanah/air,
Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak kodok merah dari permukaan
tanah atau air dengan menggunakan meteran
10).Lebar sungai,
Lebar sungai diperoleh dengan cara mengukur jarak dari pinggir-pinggir
sungai pada setiap plot dengan menggunakan meteran.
11).Jarak dari sungai/sumber air,
Jarak dari sungai/sumber air diperoleh dengan mengukur jarak ditemukannya
kodok merah atau kuadrat plot dari sumber air/sungai.
12).Jarak dari jalur manusia/patroli
Jarak dari jalur manusia atau patroli dengan cara mengukur jarak antara
ditemukannya kodok merah atau kuadrat plot dengan jalur manusia/patroli
terdekat dengan menggunakan meteran.
Selain mencatat semua komponen mikrohabitat di atas dilakukan
pengambilan specimen jenis vegetasi yang terdapat di dalam kuadrat plot.
Identifikasi jenis vegetasi dilakukan di Laboratorium Kebun Raya Cibodas.
D. Metoda Pengamatan Habitat Preferensi Kodok Merah
Habitat preferensi kodok merah, dengan cara melakukan pengamatan
perjumpaan kodok merah dengan memperhatikan mikrohabitat kodok merah
tersebut. Metode ini digunakan untuk melihat tingkat kesukaan kodok merah
terhadap habitat yang ditempati. Pengumpulan data spasial meliputi titik-titik
perjumpaan dengan kodok merah dan menghitung luas masing-masing transek
lokasi penelitian. Data kondisi fisik habitat diperoleh dengan cara melakukan
pengamatan terhadap kondisi mikro habitat kodok merah. Kondisi biotik kodok
merah diperoleh dengan cara melakukan identifikasi jenis tumbuhan pada kuadrat
plot pertemuan kodok merah.
E. Metoda Asumsi dalam Membuat Peta Kesesuaian
Untuk membuat peta kesesuaian habitat kodok merah dilakukan dengan
mengevaluasi beberapa variabel penting bagi keberadaan kodok ini. Beberapa
penelitian menyebutkan beberapa aspek yang sangat berpengaruh pada
penyebaran amfibi seperti penutupan lahan, kerapatan tajuk, ketinggian dan
kelerengan, serta sebaran suhu (Duellman dan Trueb 1994; Heyer et al. 1994,
Stebbins dan Cohen 1995). Beberapa variabel diantaranya seperti penutupan tajuk,
keberadaan sungai/air, ketinggian dan kelerengan, serta sebaran suhu. Parameter-
parameter ini dapat dianalisis dengan menggunakan GIS dan citra satelit sehingga
menghasilkan peta tematik untuk setiap variabel. Setelah itu setiap peta tematik
diberi nilai kesesuaian berdasarkan asumsi yang dipakai.
Penyebaran kodok merah bergantung pada variabel-variabel di atas. Untuk
itu dibutuhkan beberapa asumsi yang tepat untuk mendapatkan model kesesuaian
habitat yang tepat pula. Berikut ini adalah beberapa asumsi yang dipakai untuk
pemodelan spasial habitat kodok merah :
1. Penutupan tajuk
Katak membutuhkan penutupan tajuk yang rapat untuk melindungi
tubuhnya dari kekeringan. Katak bersembunyi di daerah yang gelap seperti di
bawah rimbunan daun, di lubang-lubang pohon dan sebagainya yang tidak
tersentuh sinar matahari. Penutupan tajuk berhubungan langsung dengan suhu
dan kelembaban relatif. Hutan dengan penutupan tajuk yang tinggi dapat
menyediakan iklim mikro yang lebih dingin karena menyediakan naungan dan
mencegah penguapan yang berlebihan (Casey 2001). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa semakin rapat tajuk hutan maka tingkat kesesuaian semakin
tinggi. Kerapatan tajuk dapat diketahui dengan pendekatan LAI (Leaf Area Index).
LAI adalah suatu area penutupan daun tiap unit area permukaan tanah (Watson
1947). Menurut Breda (2003) LAI berhubungan dengan iklim mikro tajuk yang
menderteminasikan dan mengontrol intersepsi air dari tajuk, penutupan radiasi
matahari, pertukaran gas karbon serta merupakan suatu komponen kunci dari
perputaran biogeokimia dalam ekosistem. Semakin besar nilai LAI maka
kerapatan tajuk juga akan semakin besar sehingga radiasi matahari ke bawah tajuk
semakin kecil dan kelembaban di bawah tajuk akan semakin meningkat. Untuk
menganalisis kerapatan tajuk dibutuhkan peta LAI (Leaf Area Index) yang
diperoleh dari hasil olahan peta Citra Landsat TNGGP.
2. Ketinggian dan kemiringan lereng
Ketinggian tempat (elevasi) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Penelitian yang dilakukan pada tahun
1984, kodok merah ditemukan di Sukabumi yaitu pada ketinggian 703-814 m dpl.
Kusrini et al. (2007) menyebutkan bahwa jenis kodok merah ditemukan di Rawa
Denok (1699-1795 m dpl) dan di Curug Cibeureum (1685 mdpl). Menurut
Kusrini et al. (2007). Laporan dari MZB tahun 1964 jenis kodok ini juga
ditemukan di Lebak Saat (2250-2500 m dpl). Ketinggian juga berdampak pada
kemiringan lereng, sehingga semakin besar ketinggian maka kemiringan lereng
juga akan semakin tinggi. Untuk ketinggian pendekatan yang digunakan adalah
berdasarkan temuan-temukan kodok merah pada waktu lampau. Pembagian kelas
ketinggian dibagi sebagai berikut :
Ketinggian 500-1000 m dpl : kesesuaian rendah
Ketinggian 2000-3000 m dpl : kesesuaian sedang
Ketinggian 1000-2000 m dpl : kesesuaian tinggi.
Asumsi yang digunakan dalam pembagian kelas lereng berdasarkan pada
data penyebaran kodok merah di TNGGP. Asumsi yang digunakan dalam
membangun model adalah:
Kemiringan ≥ 32 ° : kesesuaian rendah
Kemiringan 23 ≥ -< 32 ° : kesesuaian sedang
Kemiringan 0 ≥ -< 23 ° : kesesuaian tinggi.
3. Jarak dari sumber air/sungai
Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air. Menurut Iskandar (1998)
kodok merah sering terdapat di sepanjang tepi sungai di pegunungan. Kodok
merah hidup di sepanjang sungai kecil di dalam hutan, umumnya ditemukan pada
batu-batu di tengah ataupun di tepi sungai (Liem 1971). Tahun 2003 Kurniati
menemukan sebanyak dua individu di sekitar aliran sungai kecil dengan arus yang
cukup deras.
Data mengenai habitat kodok merah ini masih sangat sedikit. Lubis (2008)
membangun asumsi untuk katak pohon berdasarkan tiga asumsi yaitu berada >30
m sungai dengan kesesuaian rendah,berada 10-30 m dari sungai dengan
kesesuaian sedang, berada < 10 m dari sungai dengan kesesuaian tinggi.
Berdasarkan data yang diperoleh maka asumsi yang dibangun sebagai berikut :
Berada >30 m sungai : kesesuaian rendah
Berada 10-30 m dari sungai : kesesuaian sedang
Berada < 10 m dari sungai : kesesuian tinggi.
4. Amfibi sangat bergantung pada suhu sekitarnya
Amfibi adalah mahluk berdarah dingin atau ektoterm yang berarti suhu
tubuhnya sama dengan suhu sekitar atau lingkungannya (Stebbins & Cohen,
1995). Amfibi tidak memiliki mekanisme internal khusus untuk memproduksi
panas dari dalam tubuhnya seperti pada mamalia dan burung (Duellman & Trueb
1994).
Anura umumnya hidup pada suhu mulai dari 30C sampai 35,7
0C dan suhu
paling optimum adalah 21,7 0C. Menurut Kusrini et al. (2007a) suhu udara di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berkisar 100-23
0C dan kelembaban 43-
100%. Berdasarkan data-data di atas, asumsi yang dibangun untuk kesesuaian
suhu adalah:
Suhu ≥ 180 C : kesesuaian rendah
Suhu ≥ 0 - < 140
C : kesesuian sedang
Suhu ≥ 140- < 18
0 C : kesesuaian tinggi.
F. Metoda Penelitian Spasial
Penyusunan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat kodok merah dimulai
dengan pengumpulan data primer dan sekunder, yang meliputi peta digital, data
survey lapang, dan literatur. Komponen lingkungan yang digunakan dalam
analisis kesesuaian ini dititik beratkan pada faktor-faktor penentu kualitas habitat
kodok merah, yaitu penutupan tajuk, topografi (ketinggian dan kemiringan
lereng), jarak dari sungai, dan suhu. Hasil survey lapang mengenai penyebaran
kodok merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango digunakan sebagai
dasar dalam penentuan nilai bobot setiap variabel melalui Principle component
Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis PCA dan didukung oleh literatur,
dibangun suatu model kesesuaian habitat bagi kodok merah. Bagan alir prosedur
penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Bagan alir prosedur penelitian
Peta
Suhu
Peta
topografi
Peta
penutupan
lahan
Peta
ketinggian
Peta kemiringan
lereng
Preferensi Habitat
kodok merah
Ya
Tidak
Analisis
Peta
Peta wilayah
Administasi
TNGP
Survey
lapang
Peta Rupa
bumi
Indonesia
Peta kawasan
TNGP
Peta
distribusi
sungai
Citra
landsat
Data perjumpaan
dengan kodok
merah
PCA
Peta kesesuaian habitat
kodok merah
Validasi
Akurasi
Model
* Validasi
Model Diterima
Peta sebaran
kodok merah
G. Penentuan Nilai Skor Kelas Kesesuaian Setiap Variabel
Memperhatikan asumsi-asumsi yang telah dibuat di atas dapat ditentukan
skor masing-masing kesesuaian setiap variabel seperti tertera pada Tabel 7. Skor
ditentukan dengan asumsi kesesuaian habitat sebagai berikut :
Kesesuaian rendah dengan skor 1,
Kesesuaian sedang dengan skor 2, dan
Kesesuaian tinggi dengan skor 3.
Skor akhir indeks kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 8.
Tabel 7 Variabel dan kelas kesesuaian habitat kodok merah
Variabel
1 2 3 4 5
Sk
or
Kelas
Penutupan
Tajuk
Sk
or
Kelas
Ketinggian
(m dpl)
Sk
or
Kelas
Kemiringan
Lereng
Sk
or
Kelas Jarak
dari sungai
(meter)
Sk
or Kelas Suhu
1 ≥0-<2,29 1 500-1000 1 ≥ 32 0 1 >30 1 ≥ 18
0 C
2 ≥2,29 - < 4,58 2 2000-3000 2 ≥ 23- <320 2 10-30 2 ≥ 0 - < 14
0 C
3 ≥4,58 3 1000-2000 3 ≥ 0- <23 0 3 <10 3 ≥ 140- < 180 C
Tabel 8 Penentuan selang skor kodok merah
Selang Skor Kategori
0 - (mean+ 0,5 Std. Deviasi) IKH Rendah Max IKH1- (Max IKH1+0.5 Std Deviasi) IKH Sedang
Max IKH2- Max IKH Tinggi
IKH adalah Indeks Kesesuaian Habitat
H. Pengolahan Peta
Peta tematik diolah dengan menggunakan SIG dan pencitraan satelit.
Berikut ini adalah cara pengolahan setiap peta tematik.
1. Pengolahan Citra
Pengolahan citra meliputi pemulihan citra (image restoration), pemotongan
citra (subset image). Pemulihan citra bertujuan untuk memperbaiki data citra yang
mengalami distorsi, kearah gambaran yang lebih sesuai dengan tampilan aslinya.
Langkahnya meliputi koreksi geometri dan koreksi radiometrik. Koreksi
geometrik bertujuan untuk memperbaiki distorsi geometrik, sedangkan koreksi
Citra Landsat /
ETM +
Koreksi geometrik
Model Maker (Erdas Imagine 9.1)
Potential Evapotranspiration Index
(PETI)
Leaf Area Index
(LAI)
Peta Kerapatan Tajuk
radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang
disebabkan oleh gangguan atmosfer maupun kesalahan sensor. Tahap awal dalam
koreksi geometrik yaitu penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang
digunakan. Sistem koordinat yang digunakan yaitu sistem koordinat geografik dan
proyeksi UTM (Universal Transverse Mercator). Pemotongan citra bertujuan
untuk membatasi wilayah penelitian dengan memotong batas wilayah
menggunakan peta batas TNGP yang ada.
2. Pembuatan Peta Kerapatan Tajuk/LAI
Setelah melalui proses pengolahan citra, peta tematik hasil olahan tersebut
dilakukan analisis kerapatan tajuk dengan pendekatan LAI (Leaf Area Indeks).
LAI adalah rasio luas daun dengan luas area contoh yang dihitung secara tidak
langsung dengan analisis citra landsat ETM+. Gambar 5 berikut adalah kerangka
pikir dari proses pengolahan citra satelit menjadi Peta Kerapatan Tajuk/LAI :
Gambar 5 Proses pembuatan peta kerapatan tajuk
Band 4-Band 5
Band 4+Band 5
12,29 PETI +1,33
Rumus Formulasi
3. Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Peta ketinggian, kemiringan lereng, dan penutupan tajuk dibuat dengan
melakukan pengolahan citra landsat TM. Proses pembuatan peta-peta tersebut
disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Proses pembuatan peta ketinggian & kemiringan lereng
4. Pembuatan Peta Jarak dari Sungai
Peta jarak sungai (buffer) dibuat dari data peta jaringan sungai (vektor)
yang dianalisis dengan menggunakan software Arcview GIS 3.3 dan Erdas
Imagine 9.1. Proses pembuatannya disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Proses pembuatan peta jarak dari sungai
5. Pembuatan Peta Sebaran Suhu
Konversi citra menjadi data temperatur melibatkan dua tahapan konversi
(Panuju 2003) yaitu:
1. Konversi Digital Number (DN) menjadi Spectral Radiance (Lλ)
Model Maker (Erdas Imagine 9.1)
Peta Jarak dari
Sungai
Find Distance (Arc View 3.3)
Peta Sungai Digital
Digital Elevation Model (DEM)
Peta Elevasi/
ketinggian
Peta Kemiringan
Lereng
Surface (Erdas Imagine 9.1)
Data vektor kontur
Konversi ini diperoleh dari metode USGS (2001) yaitu menggunakan rumusan
sebagai berikut :
Lλ = ((Lmax-Lmin)/(QCALMax-QCALMin)*(QCAL-
QCALMin)+LMIN
Dimana: Lλ= Radiance, QCALmin= 1, QCALmax= 255, dan QCAL=
Digital Number, Lmin dan Lmax adalah radian spektral pada
band 6 dengan DN antara 1 sampai 255
2. Citra ETM+ band 6 menurut USGS (2001) dalam Chen et al. (2001), dapat
dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah satu.
Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai
berikut: T = K2/ln(K’1/ Lλ+1)
Keterangan: T= Temperatur efektif dalam Kelvin, K1= konstanta satu dalam
watts dengan nilai 666,09 untuk ETM+, K2= konstanta 2 dalam
Kelvin dengan nilai 1282071 untuk ETM+, Lλ= Radian
Spektral dalam Watt.
Proses pembuatan peta sebaran suhu disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Proses pembuatan peta sebaran suhu
Citra
Lansat
ETM +
Model Maker (Erdas Imagine 9,1)
Peta Penyebaran
Suhu
Band 6
I. Analisis Data
1. Principal Component Analysis (PCA)
Berdasarkan pada letak titik perjumpaan dengan kodok merah pada masing-
masing peta tematik, maka dilakukan tabulasi data habitat (ketinggian, kemiringan
lereng, suhu, jarak dari tepi sungai terdekat dan kerapatan tajuk) di setiap
perjumpaan dengan kodok merah. Selanjutnya dari data tersebut dilakukan PCA
untuk mengetahui bobot dari masing-masing variabel habitat sehingga dapat
diketahui variabel habitat mana yang paling berpengaruh pada penyebaran kodok
merah jenis ini. Tahapan pengolahan PCA sebagai berikut :
a. Mengubah data format Excell menjadi format SPSS sehingga diperoleh data
setiap titik dan kelima variabel habitat menjadi format spss.
b. Mentranspose data tersebut dengan Log 10 sehingga data tersebut
proporsional satu sama lain.
c. Menganalisis data hasil Log 10 sehingga menghasilkan nilai PCA yang
diharapkan.
Hasil dari analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing
variabel habitat yang diteliti untuk analisis spasial, sehingga menghasilkan
persamaan seperti berikut :
Y = (aFK1+bFK2+cFK3+dFK4+eFK5)
Keterangan :
a-e = Nilai bobot setiap variabel,
FK1 = Faktor kerapatan tajuk/LAI,
FK2 = Faktor ketinggian,
FK3 = Faktor kemiringan lereng,
FK4 = Faktor suhu,
FK5 = Faktor jarak dari sungai.
2. Analisis spasial
Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis berdasarkan
metode tumpang tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting),
dan pengharkatan (scoring).
Komponen lingkungan yang digunakan dalam analisis kesesuaian ini
difokuskan pada faktor-faktor yang menentukan kualitas habitat kodok merah,
yaitu kerapatan tajuk, ketinggian, kemiringan lereng, suhu dan jarak dari sungai.
Pemberian bobot/peringkat didasarkan atas nilai kepentingan atau nilai
kesesuaian bagi habitat kodok merah. Pemberian nilai bobot terdiri dari 3 nilai
bobot, dimana nilai tertinggi menunjukan faktor yang paling berpengaruh dan
nilai terendah menunjukan faktor yang kurang berpengaruh. Pemberian peringkat
kelas terdiri dari 3 kelas yaitu: 1 (rendah), 2 (sedang) dan 3 (tinggi).
Model matimatika yang digunakan adalah :
a. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat kodok merah
SKOR = Σ (Wi x Fki)
Wi = Bobot untuk setiap parameter
Fki = Faktor kelas setiap variabel
SKOR = Nilai kesesuaian habitat.
b. Nilai selang skor klasifikasi kesesuaian habitat ditentukan berdasarkan sebaran
nilai pixel dalam peta kesesuaian habitat. Nilai selang tersebut diperoleh dari
informasi piksel (Picture Element) pada peta model kesesuaian habitat yang
telah dibuat. Nilai selang piksel disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Piksel info model kesesuaian kodok merah
Piksel info
Min
Max
Mean
Median
Mode Std.deviasi
3. Validasi Data
Validasi bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model
yang dibangun. Validasi model dapat dilakukan dengan mudah jika kita memiliki
dua gugus data yang sama, yaitu dengan melakukan penyusunan dan pendugaan
model pada gugus pertama kemudian memeriksa ketepatannya pada gugus data
yang lainnya (Aunuddin 1988).
Pemilihan lokasi untuk validasi model dipilih sesuai dengan klasifikasi
model kesesuaian habitat yang telah dibuat. Tiap kelas kesesuaian habitat diambil
satu lokasi sampel untuk validasi. Lokasi atau titik untuk validasi adalah beberapa
lokasi penyebaran kodok merah dan beberapa lokasi yang bukan lokasi
penyebarannya.
Berikut adalah cara perhitungan validasi klasifikasi habitat kodok merah :
Validasi = n/N x 100%
n = Jumlah titik pertemuan kodok merah pada satu kelas kesesuaian
N = Jumlah total pertemuan kodok merah hasil survey
Validasi = Persentase kepercayaan terhadap model yang dibangun.
Titik yang digunakan untuk membangun model adalah sebanyak 97 titik
pertemuan kodok merah. Titik yang digunakan untuk validasi sebanyak 20 titik
yang terdiri dari titik pertemuan kodok merah dan titik tidak ditemukannya kodok
merah.
4. Preferensi Habitat
Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kehadiran kodok merah
dengan tipe habitat digunakan pendekatan uji Chi-square dengan persamaan
(Johnson & Bhattacharyya 1992) sebagai berikut ;
E
EOhitX
22 )(
Keterangan:
O = frekuensi pengamatan
E = frekuensi harapan
Hipotesis yang dibangun adalah:
Ho = semua habitat digunakan dalam proporsi ketersediaannya (tidak ada seleksi)
H1 = tidak semua habitat digunakan dalam proporsi ketersediaannya (ada seleksi).
Keputusan yang diambil sebagai berikut :
1 Jika X2hit > X
2(0.05,k-1), maka tolak Ho artinya terdapat pemilihan/seleksi habitat
2. Jika X2hit ≤ X
2(0.05,k-1), maka terima Ho artinya tidak terdapat pemilihan/seleksi
habitat.
5. Faktor Dominan Komponen Habitat
Penentuan faktor dominan penggunaan habitat terpilih oleh kodok merah
akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis faktor yang diolah
dengan bantuan software SPSS 16. Berdasarkan pada letak titik perjumpaan
dengan kodok merah, maka dilakukan tabulasi data habitat (ketinggian tempat,
subsrat, suhu air, suhu udara, kelembaban, kecepatan arus sungai, lebar sungai,
jarak dari permukaan tanah/air, jarak dari jalur manusia, keberadaan lubang dan
jarak dari sumber air/sungai) di setiap perjumpaan dengan kodok merah. Untuk
memperjelas perbedaan antara variabel jarak dari sumber air dan jarak dari jalur
manusia/patroli dilakukan uji beda dengan analisis Kruskal Wallis untuk
mengetahui variabel habitat mana yang paling berpengaruh pada penyebaran
kodok merah jenis ini.
5. Logistic Regression
Analisis Logistic Regression dilakukan berdasarkan pada perbandingan
jenis-jenis vegetasi yang terdapat pada lokasi ditemukannya kodok merah dan
lokasi yang diduga tidak ada ditemukannya kodok merah. Rumus yang digunakan
untuk menggambarkan fungsi regresi logistik (LR = Logistic Regression) sebagai
berikut :
P adalah peluang, Xji adalah variabel/peubah bebas (covariate), i adalah pixel,
adalah konstanta dan adalah koefisien hasil pengukuran dan k adalah jumlah
variabel.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Tingkat Kesesuaian Habitat
Kesesuaian habitat satwaliar adalah kemampuan habitat untuk menyediakan
kebutuhan hidup satwaliar. Proses identifikasi atau menentukan kesesuaian
habitat satwaliar adalah berdasarkan kajian dan penilaian (review and evaluate)
dari kebutuhan hidup (life requisites) satwaliar tersebut (Lekagul & McNeely,
1977). Penghitungan atau penentuan indeks kesesuaian habitat didasarkan pada
asumsi bahwa individu atau kelompok suatu suatu spesies akan memilih
kebutuhan hidupnya (Schamberger & O’Neill, 1986 dalam Coops & Catling,
2002). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemodelan kesesuaian habitat satwa
liar (wildlife habitat suitability mapping) merupakan suatu analisis hubungan
komplek antara beberapa variasi faktor lingkunganyang tersedia yang merupakan
kebutuhan hidup dari satwaliar dalam bentuk geografis. Kesesuaian habitat dapat
dianalisis dengan komponen-komponen seperti ketinggian tempat, kemiringan
lereng,jarak dari jalan, suhu dan kerapatan tajuk.. Hari hasil analisis masing-
masing peta tematik diperoleh data peta setiap variabel seperti berikut :
a. Peta Kerapatan Tajuk
Hasil analisis citra landsat menjadi peta kerapatan tajuk, daerah yang
paling luas adalah daerah dengan kerapatan tajuk sedang dengan nilai 2,29 ≤ LAI
<4,58 yakni seluas 18.688,28 ha. Daerah ini kebanyakan berada memusat di
sekitar Gunung Gede. Selain itu, daerah dengan kerapatan tajuk rendah dengan
nilai 0 ≤ LAI < 2,29 seluas 3.611,79 ha sedangkan daerah yang paling kecil
luasannya adalah daerah dengan nilai LAI ≥4,58 yakni sebesar 2.289,76 ha yang
berada pada daerah puncak gunung. Daerah ini merupakan daerah dengan
kerapatan tajuk tinggi. Peta hasil dari analisis citra landsat menjadi peta kerapatan
tajuk/LAI (Leaf Area Index) pada Gambar 9.
Gambar 9 Peta kerapatan tajuk di TNGGP
b. Peta Sebaran Suhu
Hasil analisis citra landsat menjadi peta suhu diperoleh hasil, kawasan di
TNGGP yang paling luas adalah daerah dengan sebaran suhu berkisar ≥ 0 < 140C
yakni seluas 12.315,6 ha. Daerah ini terletak pada daerah kaki Gunung Gede dan
Pangrango. Kemudian daerah dengan suhu berkisar ≥ 180C adalah daerah dengan
luasan terbesar kedua yakni seluas 7.612,56 ha. Daerah yang paling kecil
luasannya adalah daerah yang bersuhu sekitar ≥ 14 kurang dari 180C dengan luas
4.937,76 ha. Peta hasil analisis citra landsat menjadi peta sebaran suhu dihasilkan
peta tematik yang disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta sebaran suhu di TNGGP
c. Peta Ketinggian Tempat
Hasil analisis peta kontur menjadi peta ketinggian dihasilkan peta tematik
seperti Gambar 11. Hasil analisis ketinggian tempat di TNGGP diperoleh hasil
daerah yang paling luas adalah daerah dengan ketinggian 1000- 2000 m dpl
sebesar 8.128 ha. Daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl adalah daerah
dengan luasan terbesar kedua yakni sebesar 6.718 ha. Untuk daerah yang paling
kecil luasannya adalah daerah dengan ketinggian 2000-3000 m dpl dengan luas
sebesar 9.424 ha.
Gambar 11 Peta ketinggian tempat di TNGGP
d. Peta Kemiringan Lereng
Hasil analisis peta kontur menjadi peta kemiringan lereng diperoleh peta
tematik seperti pada Gambar 12. Kemiringan lereng di kawasan TNGGP
diperoleh hasil bahwa daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah dengan
kemiringan lereng 23-32° dengan luas sebesar 2.184,818 ha. Daerah dengan
kemiringan lereng 0-23° adalah daerah dengan luasan terbesar kedua dengan luas
8.642,723 ha. Daerah yang paling besar luasannya adalah daerah dengan
kemiringan lereng besar dari 32 °dengan luas 13.589,955 ha.
Gambar 12 Peta kemiringan lereng di TNGGP
e. Peta Jarak dari sungai
Hasil analisis peta jaringan sungai menjadi peta jarak dari sungai
diperoleh peta tematik pada Gambar 13. Peta jarak dari sungai di kawasan
TNGGP diperoleh hasil bahwa daerah yang paling kecil luasannya adalah daerah
dengan jarak dari sungai 0-10 m dengan luas sebesar 1.907 ha. Kemudian daerah
dengan jarak dari sungai 10-30 m adalah daerah dengan luasan terbesar kedua
dengan luas 5.256 ha. Daerah yang paling besar luasannya adalah daerah dengan
jarak lebih dari 30 m dengan luas 17.107 ha.
Gambar 13 Peta jarak dari sungai di TNGGP
f. Analisis Komponen Utama
Hasil analisis spasial tiap titik individu kodok merah pada kelima variabel
tersebut (ketinggian tempat, kemiringan lereng, kerapatan tajuk, suhu dan jarak
dari jalur manusia/patroli) dianalisis dengan metode PCA, sehingga menghasilkan
data komponen utama. Data hasil analisis PCA disajikan pada Tabel 10 dan vekor
ciri pada Tabel 11.
Tabel 10 Hasil analisis PCA titik perjumpaan kodok merah di TNGGP
Komponen
Utama
Akar Ciri
Total % Keragaman % Kumulatif
1 2,222 44,40 44,40
2 1,413 28,30 72,70
3 1,060 21,20 93,90
4 0,216 04,30 98,20
5 0,088 01,80 100,00
Tabel 11 Vektor ciri titik perjumpaan kodok merah di TNGGP
Variabel Komponen Utama
1 2 3
Jarak dari sungai 0,075 -0,273 0,900
Kelerengan -0,523 0,440 -0,083
Ketinggian 0,592 0,147 0,315
LAI -0,587 -,0,362 -0,050
Suhu 0,164 0,761 0,283
Tabel 10 menunjukkan bahwa dari lima variabel yang ditelaah, dapat
disederhanakan oleh tiga komponen. Dimana tiga komponen tersebut sudah
menyerap sebagian besar varian yang terkandung dalam matriks data awal.
Sebanyak 93,90 % dari kelima variabel di atas telah dapat dijelaskan oleh
komponen 1, 2 dan 3, 16,10% dipengaruhi oleh faktor lain. Variabel yang masuk
dalam komponen 1 adalah ketinggian, kerapatan tajuk (LAI) dan kemiringan
lereng, sedangkan variabel yang masuk dalam komponen 2 adalah suhu, serta
variabel yang masuk pada komponen 3 adalah jarak dari sungai.
Faktor bobot menunjukkan tingkat kepentingan dari masing-masing
variabel habitat. Nilai bobot ditentukan dengan mempertimbangkan skor PCA
masing-masing komponen utama dan vektor ciri terbesar dari masing-masing
komponen. Tabel bobot tiap variabel dapat dilihat padaTabel 12.
Tabel 12 Nilai bobot setiap variabel lingkungan hidup kodok merah berdasarkan
PCA
Variabel Skor Keragaman PCA Nilai Bobot
Jarak dari sungai 1,060 1,060
Kelerengan 2,222 2,222
Ketinggian 2,222 2,222
Kerapatan Tajuk 2,222 2,222
Suhu 1,413 1,413
Berdasarkan data pada Tabel 12 maka indeks kesesuaian habitat bagi kodok
merah di TNGGP memiliki model sebagai berikut :
Y = {(2,222,x FK1) + (2,222x FK2) + (2,222x FK3) + (1,413x FK4) +
(1,060x FK5)}.
Keterangan :
Y= Model Frekuensi pertemuan kodok merah di TNGGP, FK1= Faktor
ketinggian, FK2= Faktor kerapatan tajuk, FK3= Faktor kemiringan lereng, FK4=
Faktor suhu, FK5= Faktor jarak dari sungai.
g. Model Kesesuaian Habitat
Hasil peta tematik tiap-tiap kesesuaian habitat kodok merah dianalisis
secara spasial dengan menggunakan beberapa metode dimulai dari metode
scoring, pembobotan, dan metode overlay sehingga menghasilkan peta kesesuaian
habitat. Dari peta model tersebut diperoleh nilai piksel terendah 0 dan tertinggi
27,417 dengan standar deviasi data yang dihasilkan sebesar 8,988 dan rerata
(mean) sebesar 9,795. Berdasarkan data tersebut, maka dapat ditentukan selang
indeks kesesuaian habitat kodok merah seperti pada Tabel 13.
Tabel 13 Nilai skor tiap kelas kesesuaian kodok merah di TNGGP
Selang Skor Kategori Klasifikasi
Kesesuaian
Min - (mean+0,5 Std. Dev) 0,00 – 14,289 IKH1 Rendah (Max KKHI) - (Max KKHI+ 0,5 Std) 14,289 – 18,783 IKH2 Sedang
(Max KKH2) – Max 18,783 – 27,417 IKH3 Tinggi IKH : Indeks Kesesuaian Habitat
Hasil analisis model spasial kodok merah di kawasan TNGGP di peroleh
hasil bahwa habitat dengan tingkat kesesuaian tinggi mempunyai luas sebesar
653,625 ha, tingkat kesesuaian habitat rendah memiliki luas tertinggi yakni
16.077,847 ha dan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 7.686,023 ha.
Peta hasil analisis kesesuaian habitat dengan klasifikasi indeks kesesuaian habitat
rendah, sedang dan tinggi disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Peta kesesuaian habitat kodok merah di TNGGP
Peta kesesuaian habitat kodok merah di lokasi Rawa Denok, Rawa
Gayonggong, Curug Cibeureum dan Lebak Saat dapat dilihat pada Gambar 15.
Peta kesesuaian habitat kodok merah di lokasi Bedogol dapat dilihat pada Gambar
16.
Gambar 15 Peta Kesesuaian habitat kodok merah di Rawa Denok, Rawa
Gayonggong, Curug Cibeureum dan Lebak Saat
Gambar 16 Peta Kesesuaian habitat kodok merah di Bedogol
Uji validasi dilakukan terhadap model peta kelas kesesuaian dan koordinat
ada/tidaknya ditemukannya kodok merah. Hasil validasi diperoleh nilai persentasi
kelas kesesuaian. Kelas kesesuaian rendah sebesar 0%, kelas kesesuaian sedang
sebesar 38 % dan kelas kesesuaian tinggi sebesar 62% . Titik-titik yang
digunakan dalam validasi model dapat dilihat pada Gambar 17. Jumlah titik yang
digunakan dalam validasi adalah sebanyak 20 titik lokasi. Titik yang digunakan
dalam pembuatan model dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 17 Titik validasi kodok merah di TNGGP
Gambar 18 Titik yang digunakan dalam membuat model kesesuaian habitat
kodok merah
2. Preferensi Habitat
a. Komponen Fisik
Berdasarkan pengamatan, jumlah kodok merah terbanyak ditemukan di
Curug Cibeureum dan Rawa Denok, sedangkan jumlah paling sedikit dijumpai di
Rawa Gayonggong. Di lokasi Lebak Saat dan Bedogol tidak ditemukan kodok
merah.. Jumlah kodok merah yang ditemukan selama penelitian dapat dilihat
pada Tabel 14.
Tabel 14 Jumlah kodok merah pada setiap lokasi berdasarkan ketinggian tempat
dan frekuensi kehadiran
Lokasi Ketinggian (m dpl) N1 N2 N3
Rawa Denok 1819 19 5 16
Rawa Gayonggong 1599 4 2 4
Curug Cibeureum 1650 13 20 14
Lebak Saat 2323 0 - -
Bedogol 691 0 - -
Keterangan : N= Jumlah pada pengamatan ke-
Di lokasi penelitian Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum
dilakukan ulangan sebanyak tiga kali ulangan. Rerata kodok merah yang dijumpai
pada lokasi penelitian Rawa Dedok adalah 14 ekor, Rawa Gayonggong sebanyak
tiga ekor dan Curug Cibeureum sebanyak 16 ekor. Di lokasi Lebak Saat dan
Bedogol hanya dilakukan ulangan sebanyak satu kali untuk pengamatan
miktohabitat, pada lokasi ini tidak ditemukan kodok merah sama sekali.
Hasil pengamatan dan penelitian di lima lokasi penelitian diduga terdapat
beberapa faktor fisik yang mempengaruhi sebaran populasi kodok merah di
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kisaran hasil pengamatan di lokasi
Rawa Denok, Rawa Gayonggong, Curug Cibeureum, Lebak Saat dan Bedogol
dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Kisaran beberapa faktor fisik yang mempengaruhi penyebaran kodok
merah di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Variabel
Lokasi Penelitian
Rawa Denok Rawa
Gayonggong
Curug
Cibeureum Lebak Saat
Bedogol
Ketinggian (m dpl) 1.807-1885 1.624 1650 2.302-2.371 682-732
Subsrat
Tanah (%)
Pasir (%)
Kerikil (%)
Batu (%)
35
0
0
65
50
0
0
50
0
0
0
100
62
0
0
8
97
0
0
3
Suhu udara (°C) 15,0-16,1 16-16,5 16,0 14,0 22,8
Suhu air (°C), 20,0-21,0 15,0-16,0 15,0-15,5 11,0 22,0
Kelembaban udara (%) 89 79-89 80-89 89 91
Diameter Lubang (mm) 135-270 - 275 - -
Kedalaman lubang
(mm)
50-360 - 900 - -
Kecepatan arus (m/dtk) 0,63-0,83 0,17-0,2 0,50-0,56 0,30 0,33
Lebar sungai (m) 4,8-8,7 1,0-1,5 3,0-4,3 2,1-5,3 2,5-6,0
Jarak ditemukannya
kodok dari permukaan
tanah (m)
0,04-1,0 0,05-0,80 0,1-2,9 - -
Jarak ditemukannya
kodok dari sumber air
(m)
0-8,4 0-3,4 0-4,6 - -
Jarak dari jalan
manusia/jalan patroli
(m)
117,0-303,8 1,5-3,5 22,7-40,0 4,5-160,4 240-820
Rata-rata ditemukannya
kodok merah (ekor/hr)
14 4 15 0 0
Dari Tabel 11 dapat dicermati bahwa kodok merah berada di daerah
ketinggian dengan kisaran 1.624 m dpl (di Rawa Gayonggong) sampai 1885 m
dpl (di Rawa Denok). Secara umum kodok dijumpai di substrat berbatu dan juga
bertanah dengan kisaran suhu 15 - 16,5 °C. Suhu air pada habitat kodok merah
berkisar 15-21 °C dengan kelembaban udara 79-89 %. Pada saat penelitian
dilakukan beberapa kodok merah di Rawa Denok dan Curug Cibereum berada di
lubang dengan diameter lubang berkisar 135-270 mm, dan kedalaman lubang 50-
900 mm. Kecepatan arus sungai tercepat pada lokasi penelitian adalah di Rawa
Denok yaitu berkisar 0,63-0,83 m/dtk. Kecepatan arus sungai terkecil adalah di
Rawa Gayonggong berkisar 0,17-0,20 m/dt, sungai ini termasuk berarus lambat.
Lebar sungai pada lokasi penelitian berkisar 1,0-8,7 m. Rawa Gayonggong
memiliki sungai tersempit dengan kisaran 1-1,5 m yang berada di bawah
jembatan menuju Curug Cibeureum. Kodok merah hampir selalu dijumpai di
permukaan tanah, walaupun pernah ditemukan di atas permukaan batu dengan
ketinggian dari permukaan dasar sungai mencapai 2,9 meter. Dua lokasi tempat
ditemukannya kodok merah (Rawa Gayonggong dan Curug Cibereum) sangat
dekat dengan aktifitas manusia, sementara di Rawa Denok jarak lokasi sangat jauh
dari aktivitas manusia (mencapai 300 m dari jalan patroli/jalur manusia).
Jenis subsrat dianalisis dengan menggunakan uji beda chi-square untuk
melihat seberapa besar perbedaan subsrat antara lokasi ditemukannya kodok
merah dengan lokasi tidak ditemukannya kodok merah (Tabel 16 ). Hasil uji beda
chi-square pada tabel di atas menunjukan adanya perbedaan nyata subsrat antara
lokasi ada/tidak dijumpai kodok merah (p < 0,05).
Tabel 16 Uji beda chi-square antara substrat dengan ada/tidak ditemukannya
kodok merah
Ada/tidak ada kodok
merah
Subsrat
Chi-Square 12,600 64,686
Df 1 2
Asymp sig 000 000
b. Komponen Biotik
Hasil pengamatan dan identifikasi jenis vegetasi pada masing-masing
lokasi penelitian sebagai berikut :
1. Rawa Denok
Dari 40 kuadrat plot di lokasi penelitian ini ternyata jenis Famili
Hepaticopsida (lumut) menempati 28 lokasi kuadrat plot, diikuti oleh jenis
Bryopsida (lumut) yaitu 23 lokasi kuadrat plot. Jenis yang paling sedikit
menempati kuadrat plot tersebut adalah Ficus recurva, Acer laurinum, dan
Coniogrammae sp, masing-masing hanya menempati satu kuadrat plot saja. Jenis
dan frekuensi vegetasi yang terdapat pada lokasi Rawa Denok dapat dilihat pada
Gambar 19.
Gambar 19 Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Denok
2. Rawa Gayonggong
Jumlah kuadrat plot di Rawa Gayonggong adalah paling sedikit yaitu
hanya 10 kuadrat plot. Jenis vegetasi yang frekuensi terbanyak di Rawa
Gayonggong adalah jenis Bryopsida (lumut), Hepaticopsida (lumut) dan Marumia
muscosa masing-masing menempati keseluruhan kuadrat plot. Jenis vegetasi yang
frekuensinya paling sedikit adalah jenis pisang-pisangan (Musa sp). Jenis dan
frekuensi vegetasi yang terdapat pada lokasi Rawa Gayonggong dapat dilihat pada
Gambar 20.
0 5 10 15 20 25 30
Hepaticopsida
Bryopsida
Elatostemma sp
Strobilanthus sp
Begonia sp
Impatiens platypetala
Cyrtandra picta
Selaginella sp
Cyathea sp
Diplazium sp
Eupatorium pallescens
Asplenium sp
Medinilla hasseltii
Prochris laevigata
Argostemma montanum
Bryonopsis laciniosa
Ficus sp
Frecynetia sp
Pilea trinervia
Eupatorium riparium
Pandanus sp
Pilea sp
Cyperus sp
Diplazium repandum
Peperomia pellucida
Schefflera aromatica
Curculigo recurvata
Piper aduncum
Ficus recurva
Acer laurinum
Coniogrammae sp
Jeni
s
Frekuensi
0 2 4 6 8 10 12
Bryopsida
Hepaticopsida
Marumia muscosa
Diplazium sp
Prochris laevigata
Eupatorium riparium
Peperomia pellucida
Musa sp
Jeni
s
Frekuensi
Gambar 20 Jenis dan frekuensi vegetasi di Rawa Gayonggong
3. Curug Cibeureum
Jenis vegetasi yang menempati kuadrat plot terbanyak di Curug
Cibeureum adalah jenis Selaginella sp, sedangkan jenis yang paling sedikit
menempati kuadrat plot dilokasi penelitian ini adalah jenis Pilea trinervia, Pilea
sp dan jenis Marumia muscosa. Jenis dan frekuensi vegetasi yang terdapat pada
lokasi penelitian Curug Cibeureum dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Jenis dan frekuensi vegetasi di Curug Cibeureum
4. Lebak Saat
Jumlah kuadrat plot di Lebak Saat adalah 14 kuadrat plot. Pada lokasi ini
tidak ditemukan kodok merah, jenis vegetasi terbanyak di lokasi ini adalah
Impatiens platipetala. Jenis dan frekuensi vegetasi pada lokasi ini dapat dilihat
pada Gambar 22.
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Selaginella sp
Hepaticopsida
Bryopsida
Cyathea sp
Elatostemma sp
Prochris laevigata
Impatiens platypetala
Eupatorium riparium
Peperomia pellucida
Diplazium sp
Eupatorium pallescens
Marumia muscosa
Pilea sp
Pilea trinervia
Jenis
Frekuensi
Gambar 22 Jenis dan frekuensi vegetasi di Lebak Saat
5. Bedogol
Jumlah kuadrat plot di Bedogol adalah 30 kuadrat plot. Di lokasi ini tidak
ditemukan kodok merah. Jenis vegetasi terbanyak di lokasi ini adalah Selaginella
sp. Jenis vegetasi yang hanya menempati satu kuadrat plot adalah Begonia sp,
calocasia esculenta, Cyrtandra picta, Drynarian sp, Ficus sp, Laportea stimulans,
Perstrophe hysopyfolia. Jenis dan frekuensi vegetasi di lokasi ini dapat dilihat
pada Gambar 23.
0 5 10 15 20
Selaginella sp
Diplazium sp
Elatostemma sp
Impatiens platypetala
Piper aduncum
Schismatoglotis sp
Marumia muscosa
Pilea trinervia
Eupatorium pallescens
Hepaticopsida
Bambusa sp
Cyathea sp
Prochris laevigata
Begonia sp
Coffea sp
Diplazium esculentum
Medinilla hasseltii
Amomum coccineum
Asplenium sp
Bryopsida
Caliiandra sp
Crocus sp
Cyrtandra picta
Cyrtandra reticosa
Dicksonia blumei
Ficus recurva
Acer laurinum
Colocasia esculenta
Curculigo recurvata
Drynariansp
Ficus sp
Laportea stimulans
Peristrophe hysopyfolia
Pilea sp
Strobilanthus sp
Jeni
s
Jumlah (ind)
Gambar 23 Jenis dan frekuensi vegetasi di Bedogol
Secara keseluruhan jenis vegetasi yang terdapat pada lokasi ditemukannya
kodok merah (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum) dapat
dilihat dapat Gambar 24. Gambar 25 menerangkan jenis dan frekuensi vegetasi
tidak ditemukannya kodok merah (Lebak Saat dan Bedogol).
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Selaginella sp
Elatostemma sp
Diplazium sp
Schismatoglotis sp
Marumia muscosa
Bambusa sp
Eupatorium pallescens
Piper aduncum
Coffea sp
Diplazium esculentum
Prochris laevigata
Amomum coccineum
Caliiandra sp
Crocus sp
Cyathea sp
Cyrtandra reticosa
Dicksonia blumei
Begonia sp
Colocasia esculenta
Cyrtandra picta
Drynariansp
Ficus sp
Laportea stimulans
Peristrophe hysopyfolia
Jen
is
Frekuensi
Gambar 24 Jenis vegetasi dan frekuensi pada pada habitat ditemukannya kodok
merah (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum)
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Hepaticopsida
Bryopsida
Selaginella sp
Elatostemma sp
Cyathea sp
Prochris laevigata
Impatiens platypetala
Diplazium sp
Eupatorium riparium
Peperomia pellucida
Eupatorium pallescens
Begonia sp
Marumia muscosa
Strobilanthus sp
Cyrtandra picta
Medinilla hasseltii
Pilea trinervia
Asplenium sp
Bryonopsis laciniosa
Ficus sp
Pilea sp
Frecynetia sp
Pandanus sp
Argostemma montanum
Curculigo recurvata
Cyperus sp
Diplazium repandum
Musa sp
Schefflera aromatica
Piper aduncum
Acer laurinum
Coniogrammae sp
Ficus recurva
Jen
is
Jumlah (ind)
Gambar 25 Jenis vegetasi dan frekuensi pada pada habitat tidak ditemukannya
kodok merah (Lebak Saat dan Bedogol)
Analisis data untuk mengetahui jenis yang paling membedakan antara lokasi
ditemukannya kodok merah dengan lokasi tidak ditemukannya kodok merah,
berdasarkan persamaan regresi logistik dilakukan dengan perangkat lunak SPSS
16. Hasil analisis regresi logistik metode forward stepwise terhadap keseluruhan
variabel didapatkan bahwa jenis yang sangat berpengaruh terhadap kehadiran
kodok merah dengan variabel yang memiliki taraf nyata secara statistika (p< 0,05)
adalah Bryopsida, Marumia mucosa, Pilea trinervia dan Piper aduncum.
0 5 10 15 20
Selaginella sp
Diplazium sp
Elatostemma sp
Impatiens platypetala
Piper aduncum
Schismatoglotis sp
Marumia muscosa
Pilea trinervia
Eupatorium pallescens
Hepaticopsida
Bambusa sp
Cyathea sp
Prochris laevigata
Begonia sp
Coffea sp
Diplazium esculentum
Medinilla hasseltii
Amomum coccineum
Asplenium sp
Bryopsida
Caliiandra sp
Crocus sp
Cyrtandra picta
Cyrtandra reticosa
Dicksonia blumei
Ficus recurva
Acer laurinum
Colocasia esculenta
Curculigo recurvata
Drynariansp
Ficus sp
Laportea stimulans
Peristrophe hysopyfolia
Pilea sp
Strobilanthus sp
Jeni
s
Jumlah (ind)
Dengan menggunakan uji Hosmer-Lemeshow menunjukkan signifikansi
sebesar 0,987 (p > 0,05). Dinyatakan layak dengan uji Hosmer-Lemeshow jika
signifikansi model (p> 0,05). Nilai Nagelkerke R2 sebesar 76% merupakan
gambaran sejauh mana variabel-variabel vegetasi menjelaskan hubungan varian
vegetasi dan kehadiran kodok merah. Sisanya yaitu sebesar 24 % dijelaskan oleh
vegetasi lain yang tidak masuk di dalam jenis yang terbentuk.
Dari lima lokasi penelitian ternyata ada pemilihan habitat oleh kodok
merah. Pengujian terhadap indeks pemilihan habitat dilakukan menggunakan uji
Chi-square (λ2
hit) dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran akan ada tidaknya
pemilihan (seleksi) atas habitat tertentu. Kriteria uji yang digunakan adalah jika
λ2
hit > λ2
(0.05,k-1) maka terdapat pemilihan habitat/seleksi dan jika λ2
hit ≤ λ2
(0.05,k-1)
maka tidak terdapat pemilihan habitat (Tabel 17).
Tabel 17 Nilai Chi-square pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah
Lokasi a
(m2)
p ni=Oi Ei=∑ni.pi Oi - Ei (Oi-Ei)2/Ei λ
2(0.05,4)
Rawa Denok 14400 0,16 14 5,28 0,72 14,40
Rawa Gayonggong 12000 0,13 4 4,40 -0,40 0,04
Curug Cibeureum 12000 0,13 15 4,40 10,60 25,54
Lebak Saat 15600 0,17 0 5,72 -5,72 5,72
Bedogol 36000 0,40 0 13,2 -13,2 13,2
Jumlah 90000 1.00 33 33 58,89 9,49
Keterangan: a=luas areal pengamatan, p=proporsi luas areal pengamatan, Oi=jumlah kodok
yang ditemukan, Ei=harapan jumlah kodok merah
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa nilai λ2
hit > λ2
(0.05,k-1), yaitu >
9,49 sehingga terdapat pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah. Kodok
merah dapat ditemukan di lokasi Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan Curug
Cibeureum, sedangkan pada lokasi Lebak Saat dan Bedogol pada saat penelitian
tidak ditemukan sama sekali.
Analisis faktor digunakan untuk menentukan faktor mikrohabitat yang
paling dominan. Hasil analisis diperoleh variabel mikro habitat yang paling
berpengaruh dalam menentukan frekuensi perjumpaan kodok merah adalah jarak
dari air, jarak dari jalur dan variabel ketinggian tempat. Vektor ciri yang
mempengaruhi perjumpaan kodok merah dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Vektor ciri PCA mikrohabitat kodok merah
Komponen
Utama
Akar Ciri
Total % Keragaman % Kumulatif
1 2,001 66,687 66,687
2 0,973 31,421 99,108
3 0,027 0,892 100,00
Hasil analisis PCA Tabel 18 menjelaskan bahwa dengan menggunakan satu
komponen utama sudah dapat menjelaskan varian sebanyak 66,68% sedangkan
33,32 % lainnya dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan analisis faktor dapat
dijelaskan bahwa dengan satu komponen cukup untuk mereduksi variabel bebas
yang ada sehingga hanya satu faktor yang terbentuk dengan komponen matrik
seperti pada Tabel 19. Sebelum uji beda nyata dilakukan uji homogenitas data
seperti yang terlihat pada Tabel 20.
Tabel 19 Komponen matrik faktor yang mempengaruhi perjumpaan kodok merah
Variabel Komponen
Jarak dari sumber air (m) 0,232
Jarak dari jalur (m) 0,988
Ketinggian tempat (m) 0,985
Tabel 20 Uji homogenitas variabel jarak dari air dan jarak dari jalur kodok merah
Variabel Levene Statistic df1 df2 df3
Jarak dari air (m) 8,528 2 94 000
Jarak dari jalur manusia (m) 51,208 4 135 000
Hasil Tabel 20 menunjukan bahwa data kedua variabel menunjukan syarat
kemohogenan data (p < 0,05). Kemudian perlu dilakukan uji beda nyata (analisis
Kruskal Wallis) untuk menentukan variabel yang paling dominan (Tabel 21).
Berdasarkan pada Tabel 21, diperoleh faktor yang paling dominan menentukan
ditemukannya kodok merah adalah jarak dari jalur manusia (p < 0,05).
Tabel 21 Uji Kruskal Wallis antara jarak dari sumber air dan jarak dari jalur
manusia terhadap ada/ tidaknya ditemukan kodok merah
Jarak dari sumber air (m) Jarak dari jalur manusia (m)
Chi-Square 0,841 78,327
df 2 2
Asymp sig 0,657 000
B. Pembahasan
1. Tingkat Kesesuaian Habitat
a. Kerapatan Tajuk
Struktur vegetasi hutan merupakan salah satu bentuk pelindung, yang
menurut peranannya bagi kehidupan satwa liar dapat dibedakan atas tempat
persembunyian (hiding cover), dan tempat penyesuaian terhadap perubahan
temperatur (thermal cover) (Alikodra 2002). Kondisi kerapatan vegetasi akan
berpengaruh terhadap intensitas sinar surya yang sampai di lantai hutan. Keadaan
ini berkaitan erat dengan kemudahan penglihatan pemangsa dan yang dimangsa.
Untuk menjamin berlangsungnya hubungan pemangsaan, diperlukan keadaan
kerapatan vegetasi yang optimal pada tingkat yang menguntungkan bagi
keduanya (Alikodra 2002). Menurut Ewusie (1990), adanya keberagaman vegetasi
dapat menekan laju perubahan suhu dan kelembaban udara pada hutan tropika.
Hasil Analisis PCA menunjukkan bahwa kerapatan tajuk adalah variabel
pertama yang mempengaruhi sebaran kodok merah. Hal ini sesuai dengan
karakteristik katak yang sangat membutuhkan tutupan tajuk untuk melindungi
tubuhnya dari kekeringan di siang hari. Selain itu tutupan tajuk juga akan
menyediakan mikro iklim yang lembab dan menyediakan tempat untuk
beristirahat. Semakin besar tutupan tajuk maka semakin luas mikro habitat yang
tersedia bagi katak ini. van steenis (2006) menyebutkan bahwa vegetasi terutama
hutan, sangat penting peranannya bagi perbaikan iklim yang menguntungkan
lahan, bagi pembentukan tanah, pencegahan erosi angin, dan pembentukan relung
ekologi tertentu bagi tanaman.
Kanopi hutan dapat menciptakan iklim mikro pada daerah dibawahnya dan
dapat melindungi tanah dari erosi (Pineda et al. 2005). Cromer et al. (2002)
menyatakan bahwa kelimpahan katak pohon berasosiasi positif dengan penutupan
tajuk.
b. Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam
kekayaan jenisnya (Mackinnon 1982). Perubahan besar dalam komposisi jenis
terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran rendah ke habitat
pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan berubah
menjadi terbatas (Alikodra 2002).
Seperti di seluruh daerah di dunia, penurunan suhu akibat peningkatan
elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang kasar dalam posisi
tegak seperti garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan
(van steenis 2006). van steenis (2006) juga menyebutkan bahwa pembagian
zonasi berdasarkan ketinggian terbentuk karena perbedaan kondisi suhu dan iklim.
Hal ini mengakibatkan perbedaan komposisi baik flora dan fauna pada setiap
zonasi. TNGP memiliki 3 zonasi atau tipe hutan, yaitu submontana (100-1500
mdpl), montana (1500-2400 mdpl) dan sub alpin (>2400 m dpl) (BTNGP 1996).
Hutan submontana memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Seiring
dengan perubahan ketinggian maka semakin berkurang keanekaragaman flora dan
faunanya.
Ketinggian juga berpengaruh pada kemiringan lereng. Hasil dari analisis
PCA menunjukkan bahwa pengaruh kemiringan lereng terhadap penyebaran jenis
ini signifikan. Pada analisis PCA, kemiringan lereng masuk dalam komponen
pertama dan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap penyebaran kodok
merah di TNGGP. Hal ini diduga dikarenakan jenis kodok merah ini hidup
mengelompok pada suatu tempat/areal sehingga rata-rata kemiringan lereng
habitat satu individu akan signifikan satu sama lainnya.
c. Suhu
Amfibi memiliki kisaran toleransi suhu yang besar. Perbedaan toleransi ini
mengakibatkan perbedaan kebutuhan suhu yang berbeda pada lingkungannya.
Beberapa jenis dapat bertahan hidup di daerah yang dingin dan beberapa jenis
lainnya dapat hidup pada suhu yang ekstrim tinggi. Beberapa jenis salamander
dapat ditemukan beraktivitas pada suhu sekitar 00C bahkan dibawah 0
0C
(Duellman dan Trueb 1994), dan beberapa jenis amfibi lainnya dapat hidup diatas
suhu 280C bahkan ada satu jenis amfibi yang dapat hidup pada suhu 40
0C yakni
jenis African Foam-Nest Frog (Chiromantis) (Shoemaker et al. 1989 dalam
Stebbins dan Cohen 1995). Dari penelitian lapangan diperoleh kodok merah hidup
padan suhu 16 – 17 0C.
d. Jarak dari Sungai/Sumber Air
Amfibi hidup di dua alam. Sebagian hidupnya berada di lingkungan berair
dan sebagian lagi hidup di darat. Dalam masa perkembangbiakan dari berudu
sampai katak berkaki kebanyakan ordo anura hidup di dalam air. Heyer et al.
(1994) menyatakan bahwa kebanyakan dari larva amfibi hidup di habitat akuatik,
termasuk air yang mengalir (sungai besar dan kecil), air yang tidak mengalir
(kolam dan danau), serta tempat lainnya seperti lubang pohon, ketiak daun, dan
lainnya. Larva anura yang hidup di terestrial biasanya menempati daerah dengan
iklim mikro yang mengandung kelembaban tinggi seperti lumut, di bawah atau di
dalam kayu yang membusuk dan di lubang pohon. Selama di dalam air, larva
bernafas dengan insang dan akan bernafas dengan paru-paru ketika sudah keluar
dari air menuju darat. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi air buat kehidupan
amfibi khususnya katak dan sedikit sekali yang berada lebih dari 10 m dari sungai.
2. Preferensi Habitat
Hasil analisis Chi-square ternyata adanya pemilihan habitat oleh kodok
merah, karena dari lima lokasi penelitian ternyata tiga lokasi yang lebih disenangi
kodok merah adalah Curug Cibeureum, Rawa Denok dan Rawa Gayonggong.
Lebak Saat dan Bedogol tidak disenangi sama sekali. Nilai λ2
hit > λ2
(0.05,k-1), yaitu >
9,49 terdapat pemilihan habitat tertentu oleh kodok merah.
Menurut laporan MZB dalam penelitian Kusrini et al. (2007c) kodok
merah pernah ditemukan di Lebak Saat. Saat penelitian dilakukan kodok merah
ini tidak ditemukan lagi. Diduga faktor yang mempengaruhi keberadan kodok
merah di lokasi ini adalah subsrat. Persentase adanya subsrat batu di Lebak Saat
hanya sekitar 8 % sedangkan pada lokasi Rawa Denok 65%, Rawa Gayonggong
50% dan Curug Cibeureum 100%. Menurut Liem (1971), habitat kodok merah
yang terdapat di Taman Nasional Gunung Gede Pengrango merupakan sungai-
sungai kecil berbatu. Kurniati (2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat
ditemukannya kodok merah di daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari
sungai berbatu.
Hasil dari analisis faktor, diketahui faktor yang mempengaruhi frekuensi
perjumpaan kodok merah adalah jarak jalur manusia (p < 0,1). Jarak jalur manusia
dengan frekuensi perjumpaan kodok merah berkisar antara 117,0-303,8 m (Rawa
Denok), 1,5-3,5 m (Rawa Gayonggong), 22-40 m (Curug Cibeureum). Jarak jalur
manusia cukup beragam, karena manusia di Curug Cibeureum tidak terlalu jauh
hanya berkisar antara 22 – 40 meter. Diduga jenis kodok merah adalah jenis
kodok yang dapat berasosiasi dengan manusia tetapi tidak bergantung kepada
manusia. Sudrajat (2001), membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya
menjadi 3 grup besar yaitu : 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia
dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiasi dengan manusia
tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiasi dengan
manusia.
Jarak manusia menjadi sangat berpengaruh terhadap pertemuan kodok
merah karena pada lokasi yang dekat dengan jalur manusia memiliki memiliki
tutupan tajuk yang lebih terbuka. Kusrini et al. (2007c) melaporkan jenis
makanan kodok merah yang ditemukan dalam perut terdiri dari 60,38% jenis
semut. Menurut Hölldobler & Wilson (1990), semut juga memiliki peran sebagai
organisme yang membantu siklus nutrisi dan hara di dalam tanah. Semut
merupakan kelompok hewan darat yang mendominasi daerah tropis dan dapat
menjadi indikator kerusakan hutan (Andersen 1997). Hasil pengamatan lapangan,
jarak terdekat antara jalur manusia dengan lokasi penelitian adalah Rawa
Gayonggong, tapi di lokasi ini hanya sedikit ditemukan kodok merah, diduga
faktor yang sangat mempengaruhi adalah faktor arus sungai. Rawa Gayonggong
termasuk pada sungai yang berarus lambat yaitu dengan kecepatan 17-20 cm/dtk.
Menurut Macan (1974) sungai berarus lambat adalah sungai dengan kecepatan 10-
25 cm/dtk. Curug Cibeureum termasuk pada sungai yang berarus deras dengan
kecepatan sekitar 50-56 cm/dtk, sedangkan arus sungai di Rawa Denok termasuk
pada sungai berarus deras dengan kecepatan 63-83 cm/dtk. Macan (1974)
menyatakan sungai berarus deras adalah sungai dengan kecepatan 50-100 cm/dtk.
Menurut Liem (1971), habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional
Gunung Gede Pengrango merupakan sungai-sungai kecil berbatu yang berarus
cukup kuat. Kurniati (2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat
ditemukannya kodok merah di daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari
sungai berbatu dengan arus cukup deras. Iskandar (1998) menyatakan bahwa
kodok merah menyukai sungai dengan arus deras. Hal ini dikarenakan amfibi
merupakan satwa ektoderm dan mempunyai permukaan tubuh yang permeabel
yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan
cairan, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh lingkungan yang berubah-ubah
dibandingkan dengan makhluk berkaki empat (tetrapods) lainnya (Duellman &
Trueb 1994). Menurut Dole & Durant (1974), kebanyakan amfibi ditemukan
berpindah ke air pada saat sudah siap untuk kawin. Pelepasan telur harus
dilakukan cepat karena tidak ada pasangan yang ampleksus (kawin) yang
dijumpai di sungai lebih dari sekali. Selain itu, juga terdapat katak yang
menyimpan telurnya di lubang berair pada tanah kayu dan tanah, di punggung
betina atau membawanya ke daerah dekat air (Duellman & Trueb 1994).
Faktor lain yang diduga mempengaruhi frekuensi ditemukannya kodok
merah adalah lebar sungai. Kodok merah meletakan telur pada tepi-tepi sungai
yang memiliki arus kecil bahkan lebih cederung pada air tergenang
Subsrat diduga juga mempengaruhi frekuensi ditemukannya kodok merah.
100 % kodok merah ditemukan pada subsrat batu pada lokasi penelitian Curug
Cibeureum. Pada lokasi Rawa Denok dan Rawa Gayonggong kodok merah
ditemukan 65 % dan 50 % pada subsrat batu. Hasil uji chi-squere antara lokasi
ditemukannya kodok merah dengan lokasi tidak di temukannya kodok merah.
Liem (1971) menyatakan habitat kodok merah yang terdapat di Taman Nasional
Gunung Gede Pengrango merupakan sungai-sungai kecil berbatu dan Kurniati
(2003) juga menyatakan bahwa habitat tempat ditemukannya kodok merah di
daerah Cikeris adalah kantung-kantung air dari sungai berbatu.
Vegetasi diduga juga mempengaruhi ditemukannya kodok merah. Hasil
analisis regresi logistik metode forward stepwise terhadap keseluruhan variabel
didapatkan bahwa jenis vegetasi yang sangat berpengaruh terhadap kehadiran
kodok merah. Vegetasi yang memiliki taraf nyata secara statistika (p < 0,05)
adalah Bryopsida, Marumia mucosa, Pilea trinervia dan Piper aduncum.
Dari lima lokasi penelitian, dapat dilihat bahwa frekuensi ditemukannya
kodok merah tertinggi adalah di Curug Cibeureum yaitu sekitar 1650 m dpl
dengan rata-rata ditemukannya kodok merah berkisar 13-20 ekor. Frekuensi
ditemukannya kodok merah di Rawa Denok adalah 5-19 ekor. Di lokasi penelitian
Lebak Saat yang memiliki ketinggian 2300-2400 mpl dan Bedogol dengan
ketinggian 600-700 mdpl tidak ditemukan kodok merah sama sekali. Kusrini et
al. (2007c) menyatakan MZB pernah melaporkan bahwa kodok merah ditemukan
di Lebak Saat tahun 1964, tapi pada saat ini tidak pernah lagi ditemukan jenis ini.
Menurut Skerratt et al. (2007), diduga karena penyakit Batrachochytrium
dendrobatidis (Bd) penurunan populasi amfibi berhubungan dengan suhu yang
lebih dingin di tempat lain di dunia, Kusrini et al. (2008) menyatakan dari sampel
yang diujikan terdapat satu sampel yang terinfeksi Bd.
Suhu merupakan faktor yang penting di wilayah biosfer, karena
pengaruhnya sangat besar pada segala bentuk kehidupan. Beberapa kegiatan
organisme seperti reproduksi, pertumbuhan dan kematian dipengaruhi oleh suhu
lingkungannya (Alikodra 2002). Di samping itu, suhu pada umumnya
mempengaruhi perilaku satwaliar serta berpengaruh terhadap ukuran tubuh serta
bagian-bagiannya (Alikodra 2002). Organisme berdarah panas yang memiliki
organ yang dapat memproduksi dan mengelola suhu tubuhnya seperti mamalia
biasanya beraktivitas di siang hari sedangkan organisme yang tidak memiliki
mekanisme khusus pengaturan suhu tubuhnya biasanya beraktivitas pada malam
hari (nokturnal) seperti pada amfibi dan sebagian dari kelas reptil.
Kebanyakan amfibi dapat beraktivitas pada kondisi suhu yang beragam.
Banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan suhu pada amfibi, tergantung pada
jenis, umur dan fase kehidupan, serta pengalaman suhu harian pada masing-
masing individu yang berbeda (Stebbins dan Cohen 1995). Suhu pada amfibi
dipengaruhi oleh lingkungannya karena amfibi tidak memiliki organ khusus untuk
memproduksi panas dan mengatur panas pada tubuhnya. Oleh karena itu suhu
juga mempengaruhi kehidupan dan penyebaran amfibi. Suhu di lokasi penelitian
berkisar 14-22,8 °C. Menurut Goin et al. (1978), katak memiliki toleransi suhu
antara 3 °C sampai dengan 41°C, sehingga kisaran suhu udara yang diperoleh di
lokasi penelitian dapat mendukung kehidupan amfibi.
Kelembaban udara suatu tempat ditentukan oleh perbandingan kandungan
uap air aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air (Rushayati &
Arief 1997). Rushayati dan Arief (1997) juga menyatakan bahwa kandungan uap
air aktual ditentukan oleh ketersediaan air serta energi (radiasi surya) untuk
menguapkannya. Pada keadaan dimana kondisi uap air aktual relatif konstan,
peningkatan suhu udara yang disebabkan peningkatan penerimaan radiasi surya
akan menyebabkan peningkatan kemampuan udara untuk menampung uap air,
sehingga mengakibatkan penurunan kelembaban udara (kelembaban nisbi).
Kelembaban yang diperoleh di lokasi penelitian adalah berkisar 79-91%. Tahun
2007 menurut Kusrini et al. (2007a), kelembaban udara di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango berkisar antara 43-100%.
Jarak rata-rata ditemukannya kodok merah dari permukaan air adalah 0,1 –
0,6 meter. Jarak yang relatif dekat dengan permukaan tanah sangat berhubungan
dengan jarak rata-rata ditemukannya kodok merah dari sumber air. Secara
keseluruhan bobot tubuh katak 70-80 % mengandung air (Duelman & Trueb
1994).
Menurut Liem (1971), kodok merah aktif pada malam hari, tapi kadang-
kadang mereka dijumpai mencari makan di bawah rimbunan semak tepi sungai
pada siang hari. Amfibi biasanya tergantung pada air dan umumnya menempati
lingkungan yang berlawanan dengan fisiologi dasarnya.
e. Sumber-Sumber Bias
Di dalam analisis spasial model kesesuaian habitat kodok merah terdapat
beberapa faktor yang mengakibatkan kemungkinan terjadinya error atau data
kurang akurat. Faktor tersebut disebut bias. Sumber-sumber bias tersebut
diantaranya :
1. Topografi
Kondisi TNGGP yang berbukit dan bergunung-gunung menyebabkan
terjadinya perbedaan penerimaan cahaya matahari di permukaan bumi, dimana
efek topografi yang terjal akan membuat obyek ternaungi oleh bayangan topografi
tersebut. Sementara obyek yang berada pada kondisi topografi datar atau terkena
sinar matahari langsung tak akan mendapat efek naungan. Perbedaan topografi
akan memberikan efek perbedaan persentasi pencahayaan suatu obyek oleh
matahari.
Perbedaan efek naungan akibat perbedaan topografiini berdampak pada
perbedaan nilai poksel obyek yang sama pada pencahayaan yang berbeda.
Demikian pula halnya yang terjadi dengan vegetasi. Vegetasi yang samaakan
memiliki nilai piksel yang berbeda jika terdapat perbedaan antara kondisi
ternaungi atau terbuka pada suatu perekaman.
Untuk memperkecil kesalahan interpretasi akibat perbedaan topografi,
maka dilakukan pendekatan pendekatan penggunaan ratio dalam menentukan pola
penutupan vegetasi suatu areal.
2. Jumlah dan distribusi kodok merah
Jumlah titik pertemuan kodok merah sangat terbatas yaitu 97 titik
pertemuan dengan distribusi yang tidak merata (mengelompok). Distribusi
kodok merah hanya pada areal tertentu saja (Rawa Denok, Rawa Gayonggong dan
Curug Cibeureum). Akibatnya model yang dibangun sangat terbatas dan
lingkupnya sangat kecil dan sempit.
3. Penentuan titik sebaran kodok merah
Letak titik sebaran kodok merah dapat ditentukan melalui survei langsung
ke lapang dan mencatat titik-titik geografis kodok yang ditemukan dengan
menggunakan GPS. Keakuratan posisi kodok merah sangat ditentukan oleh
keadaan penutupan vegetasi, dimana kondisi daerah dengan penutupan tajuk yang
rapat dapat menyebabkan gangguan penerimaan sinyal sehingga dapat
mengakibatkan bergesernya titik keberadaan kodok. Hal serupa juga ditemukan
dalam penelitian rusa di Kolombia (Apps & Kinley 2000). Selain itu, penerimaan
sinyal juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, dimana pada daerah dengan
elevasi yang tinggi akan mendapatkan sinyal yang lebih baik (Apps & Kinley
2000). Pada penelitian ini akurasi model GPS yang digunakan berkisar antara 4-
28 m.
4. Variabel mikro habitat lainnya
Selain kelima variabel (suhu, kerapatan tajuk, jarak dari sumber air,
ketinggian dan kemiringan lereng), masih banyak faktor lain yang berpengaruh
terhadap keberadaan kodok merah. Hal ini disebabkan karena amfibi menempati
mikro habitat tertentu dengan variabel seperti kualitas air, tanaman air tertentu,
kedalaman air dan pH air, akan tetapi variabel tersebut sampai saat ini belum
dapat dianalisis secara spasial.
f. Ancaman Terhadap Habitat Kodok Merah
TNGGP merupakan kawasan yang paling banyak dikunjungi oleh
wisatawan di Indonesia. Tidak kurang dari 30.000 pengunjung tiap tahunnya
datang ke kawasan ini (Whitten et al. 1996). Hal ini mengakibatkan terjadinya
beberapa masalah seperti pembuangan sampah dan perusakan habitat. Oleh karena
itu, pihak pengelola mengambil langkah dengan menambah rute menuju puncak
Gede dan Pangrango (Whitten et al. 1996) sehingga pengunjung tidak menumpuk
di satu lokasi atau rute. Akan tetapi dengan banyaknya rute ini menyebabkan
banyak pengunjung ilegal dan masyarakat lokal yang masuk ke dalam kawasan
tanpa diketahui petugas untuk mengambil hasil hutan baik flora atau faunanya dan
kemudian dijual ke wisatawan (Whitten et al. 1996).
Beberapa lokasi yang menjadi habitat bagi kodok merah seperti di daerah
Rawa Gayonggong dan Curug Cibeureum merupakan lokasi yang menjadi daya
tarik wisata alam. Daerah ini merupakan bagian dari zona pemanfaatan TNGGP.
Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan habitat baik yang disebabkan oleh
pengunjung maupun penduduk lokal yang masuk ke dalam kawasan. Dari laporan
BTNGP (2003) beberapa masalah yang dapat mengancam kelestarian satwa liar
dan habitatnya khususnya jenis kodok merah ini di TNGGP antara lain :
1. Penebangan liar, masih dilakukan oleh sebagian masyarakat sekitar hutan
meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil. Penebangan liar dilakukan
untuk kebutuhan pembuatan gubug pertanian, bahan mebel, bahan/ alat rumah
tangga, bahan bangunan rumah dan kayu bakar. Hal ini dapat merusak habitat
kodok merah karena kurangnya tegakan akan mempengaruhi naungan yang
sangat dibutuhkan bagi kodok merah.
2. Pencemaran lingkungan (sampah dan vandalisme) sebagai dampak dari
adanya pengunjung. Sampah yang dapat mencemari habitat kodok merah ini
khususnya sampah anorganik seperti plastik, kaleng, bahkan sabun dan bahan
lainnya yang dapat mencemari air akan dapat meracuni larva atau berudu yang
hidup di air.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Habitat dengan tingkat kelas kesesuaian tinggi mempunyai luas yaitu
653,625 ha, tingkat kesesuaian habitat rendah mempunyai luas 16.077,847
ha dan tingkat kesesuaian sedang mempunyai luas 7.666,023 ha.
2. Faktor dominan yang mempengaruhi ditemukannya kodok merah adalah
Jarak dari jalur manusia/patroli dengan memperhatikan faktor-faktor lain
yaitu faktor arus sungai, faktor subsrat dan faktor vegetasi.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan di lapangan, maka disarankan:
1. Lokasi yang disukai kodok merah serta daerah yang berdekatan dengan
lokasi tersebut harus dijadikan zona inti dalam pengelolaan TNGGP. Selain
itu pengamanan dan pemantauan secara intensif terhadap lokasi tersebut
mutlak diperlukan.
2. Untuk penyiapan habitat kedua (second habitat) bagi kodok merah di luar
habitat yang sekarang dan di luar kawasan TNGGP maka perlu
mempertimbangkan karakteristik habitat dengan faktor dominan preferensi
yang mendekati habitat yang disukai tersebut.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memasukan faktor-faktor lain
seperti pH air, pH tanah, jenis tanah, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB.
Andersen AN. 1997. Using Ants as Bioindikators: Multisscale Issues in Ant
Community Ecology. Conser Ecol 1(1):8.
Apps C, Kinley T. 2000. Montain Caribou Habitat Use, Movements, and Factors
Associated with GPS Location Bias in the Robson Valley. British Columbia.
Columbia Basin Fish & Wildlife Compensation Program. Ministry of
Environment, Lands and Parks. BC Fisheries.
Aunuddin. 1989. Analisis Data. IPB. Bogor
Bailey JA. 1984. Principles of Wildlife Management. New York: Wiley.
Blaustein AR, Wake DB. 1990. Declining Amphibian Population: a Global
Phenomenon?. Trends in Biology and Evolution, 5 (7): 203-204
Bolen EG, Robinson WL. 1995. Wildlife Ecology and Management. Third
Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Breda NJJ. 2003. Ground Based Measurements of Leaf Area Index: a Review of
Methods, Instruments and Current Controversies. Journal of Experimental
Botany 54: 2403-2417
[BTNGP] Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2003. Laporan
Pembinaan Daerah Penyangga SKW II Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Cianjur. Tidak Dipublikasikan.
Casey K. 2001. Attracting Frogs to Your Garden. Southwood Press. Marrickville.
Coops NC, Catling, PC. 2002. Prediction of The Spatial Distribution and
Relative Abundance of Ground-Dwelling Mammals Using Remote Sensing
Imagery and Simulation Models. Lanscape ecology (17): 173-188
Cromer RB, Lanham JD, Hanlin HH. 2002. Herpetofaunal Response to Gap and
Skidder-Rutwetland Creation in A Southern Bottomland Hardwood Forest.
For. Sci. 48:407–413.
[DepHut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2007. Buku Informasi
50 Taman Nasional di Indonesia. Bogor : Sub Direktorat Informasi
Konservasi Alam.
Dole JW, Durant P. 1974. Movements and Seasonal Activity of Atelopus
oxyrhynchus (Anura : Atelopididae) in a Venezuelan Cloud Forest. Copeia
(1): 230-235.
Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. The Johns Hopkins
University Press. Baltimore and London.
Duellman WE, Heatwole H. 1998. Habitats and Adaptations. In: HG Cogger and
RG Zweifel 1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second
Edition. San Fransisco: Fog City Pr.
Ekadinata A, Dewi S, Hadi DP, Nugroho DK, Johana F. 2008. Sistem Imformasi
Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumberdaya Alam.
Buku 1. Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh Menggunakan
ILWIS Open Source. World Agroforestry Centre ICRAF. Bogor.
Ewusie JY.1990. Pengantar Ekologi Tropika : Membicarakan Alam Tropika
Afrika, Asia Pasifik dan Dunia Baru. Bandung : Penerbit ITB. Bandung.
Goin, CJ, Goin OB and Zug GR 1978. Introduction to Herpetology. W.H
Freeman and Company. San Fransisco.
Hamer AJ. Simon JL, Michael JM. 2002. Management of freshwater wetlands
for the endangered green and golden bell frog (Litoria aurea): roles of
habitat determinants and space. Biological Conservation. PII: S0006-
3207(02)00040-X
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for
Amphibians. Smitsonian Institution Press. Washington.
Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Canada: Harvard Univ Pr.
Howard J. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumberdaya Hutan : Teori dan
Aplikasi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi Edisi Revisi. Jakarta.Yayasan Obor Indonesia.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Terj. dari The Amphibian of Java and
Bali, oleh Martodihardjo, P. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor
Iskandar D, Mumpuni 2004. Leptophryne cruentata. In: IUCN 2010. IUCN Red
List of Threatened Species. Version 2010.2. <www.iucnredlist.org>.
Downloaded on 10 Agustus 2010.
Jaafar MH. 1994. The Life History, Population and Feeding Biology of Two
Paddy Field Frogs, Rana canrivora, Gravenhorst and Rana limnocharis,
Boie in Malaysia. Dessertation. Faculty of Science and Environment
Studies. University Pertanian Malaysia. Unpublished Manuscript.
Johnson RA, Bhattacharyya GK. 1992. Statistic, Principles and Methods. New
York: Wiley.
Kastanya FJP. 2001. Landscape Characteristic of Javan Hawk-Eagles Habitat
Using Remote Sensing and GIS in Western Part of Java [thesis]. Bogor:
Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Krebs CJ. 1978. The Experimental Analysis of Distribution anda Abundance.
Harper & Row Publisher. New York. Hogerstow. San Fransisco. London.
Kurniati H. 2003. Kodok Merah Leptophryne cruentata ditemukan di Taman
Nasional Gunung Halimun-Jawa Barat. Fauna Indonesia 5 (2): 71-74
Kurniati H. 2006. Jenis-jenis Kodok di Taman Nasional Gunung Halimun Yang
Termasuk Kategori Daftar Merah. Fauna Indonesia 6 (1): 31-34
Kusrini MD, Endarwin W, Yazid M, Ul-Hasanah AU, Sholihat N, Dhamawan B.
2007a.The Amphibians of Mount Gede Pangrango National Park. 2007..In:
Kusrini MD. Frogs of gede pangrango: A follow up project for the
conservation of frogs in west java indonesia. Book 1: Main report.
Technical report submitted to the bp conservation programme. Bogor,
Institut Pertanian Bogor.
Kusrini MD, Endarwin W, Yazid, M. 2007b. Panduan Bergambar Identifikasi
Amphibi di Jawa Barat. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Kusrini MD, Yazid M, Ul-Hasanah AU, Hamidy A. 2007c. Preliminary study on
the distribution and biology of the bleeding toad, Leptophryne cruentata
Tschudi, 1838.In: Kusrini MD. Frogs of gede pangrango: A follow up
project for the conservation of frogs in west java indonesia. Book 1: Main
report. Technical report submitted to the bp conservation programme.
Bogor, Institut Pertanian Bogor.
Kusrini MD, Skerratt LF, Garland S, Berger L, Endarwin W. 2008.
Chytridiomycosis in Frogs of Mount Gede Pangrango.Deaseas of Aquatic
Organisms 82:187-194
Lang L. 1998. Managing Natural Resources with GIS. California : ESRI
Laurance, WF. 2008. Global Warming and amphibian extinctions in east
Australia. Austral Ecology 33: 1-9
Lekagul,B, McNeely, JA.1977. Mammals of Thailand. Sahakarnbhat Co.
Bangkok.
Liem DSS. 1971. The frogs and toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java,
Indonesia. The Philippine Journal of Science 100(2): 131—160.
Lilesan TM, Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadja Mada
University Press. Yogyakarta.
Lips KR, Burrowes PA, Mendelson JR, Parra-Olea G. 2005. Amphibian
Population declines in Latin America: A synthesis. Biotropica 37(2):222–
226.
Lo CP. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Terjemahan. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Lubis MI. 2008. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus
Margaritifer Boettger 1893) dengan Menggunakan Sistem Informasi
Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor.
Macan TT.1974. FreswaterEcology. Longman Group Limited. London.
MacKinnon K.1986. Alam Asli Indonesia: Flora Fauna dan Keserasian. PT
Gramedia. Jakarta
Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor.
The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.
Morrison C, Hero JM. 2003. Geographic Variation in Life-History Characteristics
of Amphibians: A Review. Journal of Animal Ecology 72: 270–279.
Morris DW. 1987. Test of Density-Dependent Habitat Selection in a Patchy
Environment. Ecological Monographs. 57(4):269–281.
Munger JC, Gerber M, Madrid K, Carnall M, Petersen W, Heberger L. 1998. U.S.
National Wetland Inventory Classifications as Predictors of The Columbia
Spotted Frog (Rana luteiventris) and Pacific Tree Frog (Hyla regilla).
Conservation Biology 12 (2): 320-330.
Muntasib EKSH. 2002. Penggunaan Ruang Habitat oleh Badak Jawa (Rhinoceros
sundaicus Desm 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nuarsa IW. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan Arcview GIS 3.3 untuk
Pemula. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Panuju DR, Trisangkoko BH, Setiawan Y. 2003. Variasi Spasio-Temporal
Temperatur Kawasan Urban Sebagai Indikator Kualitas Lingkungan. Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH). IPB.
Parris KM. 2000. Distribution, habitat requirements and conservation of the
Cascade Tree Frog (Litoria pearsoniana) anura : Hylidae [thesis]. Australian
Research Centre For Urban Ecology. University of Melbourne. Australia.
Pellet J. 2005. Conservation of a threatened European Tree Frog (Hyla arborea)
meta population [thesis]. Faculté de Biologie et Médecine. De l'Université
de Lausanne.
Pineda E., Moreno C, Escobar F, Halffter G. 2005. Frog, Bat, and Dung Beetle
Diversity in the Cloud Forest and Coffe Agroecosystem of Veracruz.
Conservation Biology, 19 (2): 400-410.
Prahasta E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit
Informatika Bandung.
Rowley J, Brown R, Bain R, Kusrini MD, Inger R, Stuart B, Wogan G, Ming N,
Makchai S, Truong NQ, Phimmachak S.2009. Impending Conservation
Crisis of Southeast Asian Amphibians.Biology Letter. published online 9
December 2009.
Rushayati SB dan Arief H. 1997. Kondisi Fisik Ekosistem Hutan di Taman
Nasional Ujung Kulon. Media konservasi. Edisi Khusus, 67-74
Shannon NH, Hudson RJ, Brink VC, Kitts WD. 1975. Determinants of spatial
distribution of Rocky Mountain bighorn sheep. J. Wild. Manage.
39(2):387–401.
Skerratt LF, Berger L, Speare R, Cashins S, McDonald KR, Philott AD, HinesHB,
Kenyon N 2007. The spread of chytridiomycosis has caused the rapid global
decline and extinction of frogs. EcoHealth 4: 125–134
Soares C, Brito JC. 2007. Environmental Correlates for Species Richness among
Amphibians and Reptiles in a Climate Transition Area. Biodiversity
Conservation 16:1087–1102.
Supranto JMA. 2004. Analisis Multivatiat Arti dan Interpretasi. PT. Rineka
Cipta. Jakarta.
Stebbins RC, Cohen NW. 1995. A Natural History of Amphibians. New Jersey:
Princeton Univ. Press.
Stow DA. 1993. The role of geographic information systems for landscape
ecological studies. In: Young RH, Green DR, Cousin S, editor. Lanscape
Ecology and Geographic Information system. Taylor & Francis. London.
Stuart SN, Chanson JS, Cox NA, Young BE, Rodrigues ASL, Fischman DL,
Waller RW. 2005. Status and Trends of Amphibian Declines and
Extinctions Worldwide. SCIENCE 306: 1783-1786.
Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan ekologi Herpetofauna (Reptil dan Ampfibi
) di Sumatera Selatan. Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.Bogor
Tim PKLP TNGP. 2006. Laporan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP)
Mahasiswa Program Sarjana Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Watson DJ. 1947. Comparative Physiological Studies in Growth of Field Crops:
Variation in Net Assimilation Rate and Leaf Area between Species and
Varieties and Within and between Years. Annals of Botany 11: 41-76. Di
Dalam : Breda NJJ.2003. Ground Based Measurements of Leaf Area Index:
a Review of Methods, Instruments and Current Controversies. Journal of
Experimental Botany 54: 2403-2417
Whitfield SM, Bell KE, Philippi T, Sasa M, Chaves F B, Savage JM,Donelly MA.
2007. Amphibian and Reptile declines over 35 years at La Silva. Costarica.
PNA
Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA. 1996. The ecology of Java & Bali.
Periplus Editions (HK) Ltd., Jakarta.
van Kampen, P.N. 1923. The Amphibia of the Indo-Australian archipelago. E.J.
Brill Ltd., Leiden
van Steenis CGGJ. 2006. The Mountain Flora of Java. Brill, Leiden
Young. 1962. The Life of Vertebrate. Second Edition. London: Oxford of
Claderon Press.
Zarri AA, Rahmani AR, Singh A and Kushwaha SPS. 2008. Habitat suitability
assessment for the endangered nilgiri laughing thrush: A multiple logistic
regression approach. Current Science 94(11):1487–1494.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data pertemuan titik kodok merah di TNGGP
No Lokasi
Jarak dari sungai
(m)
Kelerengan
(°)
Ketinggian (m
dpl) LAI
Suhu (°
C)
1 Rawa Gajonggong 1 3,4 22,0358 1624,6191 4,468 16,5169
2 Rawa Gajonggong 2 0 22,0358 1624,6191 3,912 16,5169
3 Rawa Gajonggong 3 0 22,0358 1624,6191 3,912 16,5169
4 Rawa Gajonggong 4 0 22,0358 1624,6191 2,663 16,5169
5
Rawa Gayonggong
5 0,2 22,0358 1624,6191 3,912 16,5169
6 Rawa Gajonggong 6 0,1 22,0358 1624,6191 4,468 16,5169
7 Rawa Gajonggong 7 2,6 22,0358 1624,6191 4,468 16,5169
8 Rawa Gajonggong 8 2,7 22,0358 1624,6191 4,468 16,5169
9 Rawa Gajonggong 9 3 22,0358 1624,6191 3,912 16,5169
10
Rawa Gajonggong
10 0 22,0358 1624,6191 3,912 16,5169
11 Rawa Denok 1 0 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
12 Rawa Denok 2 0 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
13 Rawa Denok 3 4,2 23,4672 1885,3021 3,994 17,8819
14 Rawa Denok 4 4,1 23,4672 1885,3021 3,994 17,8819
15 Rawa Denok 5 0 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
16 Rawa Denok 6 8,4 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
17 Rawa Denok 7 0 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
18 Rawa Denok 8 0,1 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
19 Rawa Denok 9 0,2 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
20 Rawa Denok 10 0 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
21 Rawa Denok 11 7,2 52,8136 1807,811 4,012 17,4286
22 Rawa Denok 12 6 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
23 Rawa Denok 13 0,3 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
24 Rawa Denok 14 0 52,8136 1807,811 3,151 17,4286
25 Rawa Denok 15 0,1 52,8136 1807,811 3,151 17,4286
26 Rawa Denok 16 5,3 52,8136 1807,811 4,622 17,4286
27 Rawa Denok 17 0,2 52,8136 1807,811 4,622 17,4286
28 Rawa Denok 18 0,1 52,8136 1807,811 4,622 17,4286
29 Rawa Denok 19 0,2 52,8136 1807,811 4,622 17,4286
30 Rawa Denok 20 4,2 23,4672 1885,3021 3,994 17,8819
31 Rawa Denok 21 0 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
32 Rawa Denok 22 0 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
33 Rawa Denok 23 0 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
34 Rawa Denok 24 0,15 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
35 Rawa Denok 25 0,3 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
36 Rawa Denok 26 4,2 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
37 Rawa Denok 27 0,2 52,8136 1885,3021 3,994 17,8819
38 Rawa Denok 28 0,02 52,8136 1852,5903 4,627 17,4286
39 Rawa Denok 29 0,1 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
40 Rawa Denok 30 1 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
41 Rawa Denok 31 1,1 52,8136 1807,811 3,587 17,4286
42 Rawa Denok 32 8 52,8136 1807,811 4,012 17,4286
43 Rawa Denok 33 8 52,8136 1807,811 4,012 17,4286
44 Rawa Denok 34 0,1 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
45 Rawa Denok 35 4,7 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
Lanjutan
No Lokasi
Jarak dari sungai
(m)
Kelerengan
(°)
Ketinggian (m
dpl) LAI
Suhu (°
C)
46 Rawa Denok 26 2,2 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
47 Rawa Denok 37 0,15 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
48 Rawa Denok 38 0,15 52,8136 1807,811 3,956 17,4286
49 Rawa Denok 39 3,9 52,8136 1807,811 3,151 17,4286
50 Rawa Denok 40 0,5 52,8136 1807,811 3,151 17,4286
51 Curug Cibereum 1 4,4 41,9116 1650 0 17,8819
52 Curug Cibereum 2 0,9 41,9116 1650 0 17,8819
53 Curug Cibereum 3 0,7 41,9116 1650 0 17,8819
54 Curug Cibereum 3 1 41,9116 1650 0 17,8819
55 Curug Cibereum 4 1 41,9116 1650 0 17,8819
56 Curug Cibereum 5 0,5 41,9116 1650 0 17,8819
57 Curug Cibereum 6 0 41,9116 1650 0 17,8819
58 Curug Cibereum 7 0,3 41,9116 1650 0 17,8819
59 Curug Cibereum 8 0 41,9116 1650 0 17,8819
60 Curug Cibereum 9 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
61 Curug Cibereum 10 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
62 Curug Cibereum 11 0,1 41,9116 1650 1,986 17,8819
63 Curug Cibereum 12 0,05 41,9116 1650 1,986 17,8819
64 Curug Cibereum 13 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
65 Curug Cibereum 14 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
66 Curug Cibereum 15 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
67 Curug Cibereum 16 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
68 Curug Cibereum 17 0,1 41,9116 1650 1,986 17,8819
69 Curug Cibereum 18 0,05 41,9116 1650 1,986 17,8819
70 Curug Cibereum 19 0 41,9116 1650 2,053 17,8819
71 Curug Cibereum 20 0,3 41,9116 1650 0 17,8819
72 Curug Cibereum 21 1 41,9116 1650 0 17,8819
73 Curug Cibereum 22 0,5 41,9116 1650 0 17,8819
74 Curug Cibereum 23 3 41,9116 1650 0 17,8819
75 Curug Cibereum 24 3 41,9116 1650 0 17,8819
76 Curug Cibereum 25 3 41,9116 1650 0 17,8819
77 Curug Cibereum 26 3,5 41,9116 1650 0 17,8819
78 Curug Cibereum 27 4,3 41,9116 1650 0 17,8819
79 Curug Cibereum 28 4,4 41,9116 1650 0 17,8819
80 Curug Cibereum 29 4,6 41,9116 1650 0 17,8819
81 Curug Cibereum 30 4,2 41,9116 1650 0 17,8819
82 Curug Cibereum 31 4,1 41,9116 1650 0 17,8819
83 Curug Cibereum 32 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
84 Curug Cibereum 33 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
85 Curug Cibereum 34 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
86 Curug Cibereum 35 0 41,9116 1650 1,986 17,8819
87 Curug Cibereum 36 0,7 41,9116 1650 2,053 17,8819
88 Curug Cibereum 37 1 41,9116 1650 2,053 17,8819
89 Curug Cibereum 38 1,1 41,9116 1650 2,053 17,8819
90 Curug Cibereum 39 0,8 41,9116 1650 0 17,8819
Lanjutan
No Lokasi
Jarak dari sungai
(m)
Kelerengan
(°)
Ketinggian (m
dpl) LAI
Suhu (°
C)
91 Curug Cibereum 40 0,7 41,9116 1650 0 17,8819
92 Curug Cibereum 41 1 41,9116 1650 0 17,8819
93 Curug Cibereum 42 0,8 41,9116 1650 0 17,8819
94 Curug Cibereum 43 3,5 41,9116 1650 0 17,8819
95 Curug Cibereum 44 3,5 41,9116 1650 0 17,8819
96 Curug Cibereum 45 3,3 41,9116 1650 0 17,8819
97 Curug Cibereum 46 3,2 41,9116 1650 1,986 17,8819
98 Lebak Saat 1 18,5273 2371,4846 3,449 17,4286
99 Lebak Saat 2 18,5273 2371,4846 3,449 17,4286
100 Lebak Saat 3 20,8378 2371,4846 3,428 17,4286
101 Lebak Saat 4 20,8378 2324,7412 3,428 17,4286
102 Lebak Saat 5 20,8378 2324,7412 4,061 17,4286
103 Lebak Saat 6 20,8378 2324,7412 2,891 17,4286
104 Lebak Saat 7 20,8378 2324,7412 3,281 17,4286
105 Lebak Saat 8 20,8378 2324,7412 2,735 17,4286
106 Lebak Saat 9 20,8378 2324,7412 2,735 17,4286
107 Lebak Saat 10 20,8378 2324,7412 4,018 17,8819
108 Lebak Saat 11 20,3755 2324,7412 4,228 17,8819
109 Lebak Saat 12 20,3755 2302,4116 3,472 17,8819
110 Lebak Saat 13 20,3755 2302,4116 3,472 17,8819
111 Bodogol 1 21,0078 682,6198 3,694 24,0549
112 Bedogol 2 26,2267 682,6198 3,11 24,0549
113 Bedogol 3 26,2267 682,6198 3,11 24,0549
114 Bedogol 4 26,2267 733,9091 0 24,9121
115 Bedogol 5 26,2267 733,9091 0 24,9121
116 Bedogol 6 26,2267 682,6198 1,157 24,9121
117 Bedogol 7 26,2267 709,9673 1,157 24,9121
118 Bedogol 8 0 709,9673 3,061 24,9121
119 Bedogol 9 0 709,9673 3,061 24,9121
120 Bedogol 10 0 695,4225 3,221 24,0549
121 Bedogol 11 0 695,4225 3,221 24,0549
122 Bedogol 12 0 695,4225 3,666 24,0549
123 Bedogol 13 0 695,4225 4,425 22,758
124 Bedogol 14 0 695,4225 4,426 22,758
125 Bedogol 15 0 695,4225 4,426 22,758
126 Bedogol 16 0 695,4225 3,655 22,758
127 Bedogol 17 31,9795 695,4225 2,647 22,758
128 Bedogol 18 31,9795 695,4225 1,774 22,758
129 Bedogol 19 31,9795 712,5 2,991 22,758
130 Bedogol 20 31,9795 712,5 5,427 22,758
131 Bedogol 21 31,9795 712,5 3,844 22,758
132 Bedogol 22 31,9795 712,5 3,844 22,758
133 Bedogol 23 31,9795 732,5654 3,844 22,758
134 Bedogol 24 31,9795 732,5654 4,516 22,758
135 Bedogol 25 39,1858 732,5654 4,516 22,758
Lanjutan
No Lokasi
Jarak dari sungai
(m)
Kelerengan
(°)
Ketinggian (m
dpl) LAI
Suhu (°
C)
137 Bedogol 27 18,6078 725,6859 3,305 22,3227
138 Bedogol 28 18,6078 725,6859 1,884 22,3227
139 Bedogol 29 18,6078 725,6859 1,884 22,3227
140 Bedogol 30 18,6078 725,6859 2,631 22,3227
Lampiran 2 Data mikrohabitat pertemuan kodok merah
86
Lanjutan
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi Repl.
Katak
(Ada/Tdk
Ada)
Habitat Subsrat
Posisi Lokasi Kodok Ketinggian
tempat (m
dpl)
Dimensi Lubang
(mm)
Jarak
dari
jalur
manusia
(m)
Kecepatan
Arus (m/dtk)
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu
air (oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah
(m) x (m) y (m) z
(m) pjg lbr dalam
1 1 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 1 0,00 15,00 0,05 1885,30 153 120 50 295 0,625 1 1 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,05
2 2 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 0,00 14,00 0,05 1885,30 156 173 360 296 0,625 2 2 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,05
3 3 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 4,20 6,20 0,50 1885,30
303,8 0,625 3 3 20080406 Rawa Denok 4,2 16,1 20,0 89 0,5
4 4 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 4,10 6,20 0,50 1885,30
303,8 0,625 4 4 20080406 Rawa Denok 4,1 16,1 20,0 89 0,5
5 5 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 1 0,00 18,30 0,30 1885,30 340 120 130 291,7 0,625 5 5 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,3
6 6 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 8,40 107,60 0,60 1807,81
202,4 0,625 6 6 20080406 Rawa Denok 8,4 16,1 20,0 89 0,6
7 7 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 0,00 110,20 0,15 1807,81
199,8 0,625 7 7 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,15
8 8 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 -0,10 111,00 0,21 1807,81
199 0,625 8 8 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,21
9 9 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 -0,20 112,00 0,36 1807,81
198 0,625 9 9 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,36
10 10 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 0,00 112,00 0,34 1807,81
198 0,625 10 10 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,34
11 11 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 7,20 112,10 1,00 1807,81
197,9 0,625 11 11 20080406 Rawa Denok 7,2 16,1 20,0 89 1
12 12 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 6,00 109,70 0,04 1807,81
200,3 0,625 12 12 20080406 Rawa Denok 6 16,1 20,0 89 0,04
13 13 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 1 0,30 140,40 0,85 1807,81
169,6 0,625 13 13 20080406 Rawa Denok 0,3 16,1 20,0 89 0,85
14 14 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 1 0,00 185,00 0,23 1807,81
125 0,625 14 14 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,23
15 15 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 -0,10 171,00 0,30 1807,81
139 0,625 15 15 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,3
16 16 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 5,30 174,00 0,45 1807,81
136 0,625 16 16 20080406 Rawa Denok 5,3 16,1 20,0 89 0,45
17 17 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 1 -0,20 183,00 0,05 1807,81 150 120 55 127 0,625 17 17 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,05
18 18 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 -0,10 185,00 0,50 1807,81
125 0,625 18 18 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,5
19 19 20080406 Rawa Denok 1 1 Aquatik 4 0,20 193,00 0,54 1807,81
117 0,625 19 19 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,54
20 20 20080407 Rawa Denok 2 1 Aquatik 4 4,20 6,20 0,40 1885,30
303,8 0,833 20 20 20080407 Rawa Denok 4,2 16 20,5 89 0,4
21 21 20080407 Rawa Denok 2 1 Aquatik 4 0,00 14,00 0,05 1885,30 156 173 360 296 0,833 21 21 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,05
22 22 20080407 Rawa Denok 2 1 Aquatik 1 0,00 15,00 0,05 1885,30 153 120 50 295 0,833 22 22 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,05
23 23 20080407 Rawa Denok 2 1 Aquatik 1 0,00 110,00 0,20 1807,81
200 0,833 23 23 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,2
24 24 20080407 Rawa Denok 2 1 Aquatik 4 -0,15 154,00 0,60 1807,81
156 0,833 24 24 20080407 Rawa Denok 0,15 16 20,5 89 0,6
25 25 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 -0,30 12,00 0,25 1885,30
298 0,714 25 25 20080408 Rawa Denok 0,3 15 21,0 89 0,25
26 26 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 4,20 13,40 0,35 1885,30
296,6 0,714 26 26 20080408 Rawa Denok 4,2 15 21,0 89 0,35
27 27 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 -0,20 17,20 0,25 1885,30 292,8 0,714 27 27 20080408 Rawa Denok 0,2 15 21,0 89 0,25
Lanjutan
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu
air (oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah
(m)
1 1 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,05
2 2 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,05
3 3 20080406 Rawa Denok 4,2 16,1 20,0 89 0,5
4 4 20080406 Rawa Denok 4,1 16,1 20,0 89 0,5
5 5 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,3
6 6 20080406 Rawa Denok 8,4 16,1 20,0 89 0,6
7 7 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,15
8 8 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,21
9 9 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,36
10 10 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,34
11 11 20080406 Rawa Denok 7,2 16,1 20,0 89 1
12 12 20080406 Rawa Denok 6 16,1 20,0 89 0,04
13 13 20080406 Rawa Denok 0,3 16,1 20,0 89 0,85
14 14 20080406 Rawa Denok 0 16,1 20,0 89 0,23
15 15 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,3
16 16 20080406 Rawa Denok 5,3 16,1 20,0 89 0,45
17 17 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,05
18 18 20080406 Rawa Denok 0,1 16,1 20,0 89 0,5
19 19 20080406 Rawa Denok 0,2 16,1 20,0 89 0,54
20 20 20080407 Rawa Denok 4,2 16 20,5 89 0,4
21 21 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,05
22 22 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,05
23 23 20080407 Rawa Denok 0 16 20,5 89 0,2
24 24 20080407 Rawa Denok 0,15 16 20,5 89 0,6
25 25 20080408 Rawa Denok 0,3 15 21,0 89 0,25
26 26 20080408 Rawa Denok 4,2 15 21,0 89 0,35
27 27 20080408 Rawa Denok 0,2 15 21,0 89 0,25
Lanjutan 82
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi Repl.
Katak
(Ada/Tdk
Ada)
Habitat Subsrat
Posisi Lokasi Kodok Ketinggian
tempat (m
dpl)
Dimensi Lubang
(mm)
Jarak
dari
jalur
manusia
(m)
Kecepatan
Arus (m/dtk) x
(m) y (m)
z
(m) pjg lbr dalam
28 28 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4
-
0,02 51,00 0,14
1852,59 280 340 250 259
0,714
29 29 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1
-
0,10 78,00 0,10
1807,81 232
0,714
30 30 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4
-
1,00 95,00 0,50
1807,81 215
0,714
31 31 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1
-
1,10 110,20 0,25
1807,81 199,8
0,714
32 32 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1 8,00 108,30 0,30 1807,81 200 150 320 201,7 0,714
33 33 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1 8,00 112,00 0,23 1807,81
198 0,714
34 34 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4
-
0,10 121,70 0,20
1807,81 188,3
0,714
35 35 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 4,70 143,60 0,30 1807,81
166,4 0,714
36 36 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 2,20 145,00 0,32 1807,81
165 0,714
37 37 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1
-
0,15 141,00 0,50
1807,81 300 240 270 169
0,714
38 38 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1
-
0,15 141,00 0,50
1807,81 300 240 270 169
0,714
39 39 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 4 3,90 162,00 0,25 1807,81
148 0,714
40 40 20080408 Rawa Denok 3 1 Aquatik 1
-
0,50 175,00 1,00
1807,81 135
0,714
41 41 20080410 Rawa
Gayonggong 1 1 Teresterial
4
-
3,40 80,00 0,80
1624,62 3,5
0,167
42 42 20080410 Rawa
Gayonggong 1 1 Aquatik
4 0,00 86,00 0,10
1624,62 1,5
0,167
43 43 20080410 Rawa
Gayonggong 1 1 Aquatik
1 0,00 87,00 0,12
1624,62 1,5
0,167
44 44 20080410 Rawa
Gayonggong 1 1 Aquatik
1 0,00 96,00 0,08
1624,62 1,5
0,167
45 45 20080411 Rawa
Gayonggong 2 1 Teresterial
4
-
0,20 92,00 0,05
1624,62 1,5
0,2
46 46 20080411 Rawa
Gayonggong 2 1 Aquatik
1 0,10 85,00 0,15
1624,62 1,5
0,2
47 47 20080412 Rawa
Gayonggong 3 1 Aquatik
4
-
2,60 81,00 0,40
1624,62 3
0,167
48 48 20080412 Rawa
Gayonggong 3 1 Aquatik
1
-
2,70 83,00 0,42
1624,62 3
0,167
49 49 20080412 Rawa
Gayonggong 3 1 Aquatik
1
-
3,00 85,00 0,12
1624,62 3
0,167
50 50 20080412 Rawa
Gayonggong 3 1 Aquatik
4 0,00 89,00 0,06
1624,62 1,5
0,167
51 1 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 4,4 5 0,1 1650,00
35
0,556
52 2 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -0,9 2,3 0,5 1650,00
37,7
0,556
53 3 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -0,7 2 0,45 1650,00
38
0,556
54 4 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -1 2,3 0,6 1650,00
37,7
0,556
55 5 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -1 2,5 0,2 1650,00 37,5
0,556
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu
air
(oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah
(m)
28 28 20080408 Rawa Denok 0,02 15 21,0 89 0,14
29 29 20080408 Rawa Denok 0,1 15 21,0 89 0,1
30 30 20080408 Rawa Denok 1 15 21,0 89 0,5
31 31 20080408 Rawa Denok 1,1 15 21,0 89 0,25
32 32 20080408 Rawa Denok 8 15 21,0 89 0,3
33 33 20080408 Rawa Denok 8 15 21,0 89 0,23
34 34 20080408 Rawa Denok 0,1 15 21,0 89 0,2
35 35 20080408 Rawa Denok 4,7 15 21,0 89 0,3
36 36 20080408 Rawa Denok 2,2 15 21,0 89 0,32
37 37 20080408 Rawa Denok 0,15 15 21,0 89 0,5
38 38 20080408 Rawa Denok 0,15 15 21,0 89 0,5
39 39 20080408 Rawa Denok 3,9 15 21,0 89 0,25
40 40 20080408 Rawa Denok 0,5 15 21,0 89 1
41 41 20080410 Rawa
Gayonggong 3,4 16 15,0 89
0,8
42 42 20080410 Rawa
Gayonggong 0 16 15,0 89
0,1
43 43 20080410 Rawa
Gayonggong 0 16 15,0 89
0,12
44 44 20080410 Rawa
Gayonggong 0 16 15,0 89
0,08
45 45 20080411 Rawa
Gayonggong 0,2 16,5 16,0 80
0,05
46 46 20080411 Rawa
Gayonggong 0,1 16,5 16,0 80
0,15
47 47 20080412 Rawa
Gayonggong 2,6 16 15,5 89
0,4
48 48 20080412 Rawa
Gayonggong 2,7 16 15,5 89
0,42
49 49 20080412 Rawa
Gayonggong 3 16 15,5 89
0,12
50 50 20080412 Rawa
Gayonggong 0 16 15,5 89
0,06
51 1 20080411 Curug
Cibeureum 4,4 16 15,0 89
0,1
52 2 20080411 Curug
Cibeureum 0,9 16 15,0 89
0,5
53 3 20080411 Curug
Cibeureum 0,7 16 15,0 89
0,45
54 4 20080411 Curug
Cibeureum 1 16 15,0 89
0,6
55 5 20080411 Curug
Cibeureum 1 16 15,0 89
0,2
Lanjutan
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi Repl.
Katak
(Ada/Tdk
Ada)
Habitat Subsrat
Posisi Lokasi
Kodok Ketinggian
tempat (m
dpl)
Dimensi Lubang
(mm)
Jarak
dari
jalur
manusia
(m)
Kecepatan
Arus (m/dtk) x
(m)
y
(m)
z
(m) pjg lbr dalam
56 6 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -0,5 0 1,5 1650,00
40
0,556
57 7 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 0 0 1,2 1650,00
40
0,556
58 8 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 -0,3 0 1 1650,00
40
0,556
59 9 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 0 0 0,8 1650,00
40
0,556
60 10 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 0 12 0,25 1650,00
28
0,556
61 11 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 0 12,4 0,4 1650,00
27,6
0,556
62 12 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4 0,1 12,3 0,2 1650,00
27,7
0,556
63 13 20080411 Curug
Cibeureum 1 1 Aquatik
4
-
0,05 14,3 0,5 1650,00
25,7
0,556
64 1 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 15 0,1 1650,00
25
0,5
65 2 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 14,8 0,25 1650,00
25,2
0,5
66 3 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 14,5 0,24 1650,00
25,5
0,5
67 4 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 14,3 0,27 1650,00
25,7
0,5
68 5 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 -0,1 12,5 0,3 1650,00
27,5
0,5
69 6 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4
-
0,05 12,2 0,5 1650,00
27,8
0,5
70 7 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 6 2,1 1650,00
34
0,5
71 8 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 -0,3 2,4 0,7 1650,00
37,6
0,5
72 9 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 -1 2,1 0,6 1650,00
37,9
0,5
73 10 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 -0,5 2,3 0,85 1650,00
37,7
0,5
74 11 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 3 0 0,5 1650,00 300 250 900 40
0,5
75 12 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 3 0 0,5 1650,00 300 250 900 40
0,5
76 13 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 3 0 0,5 1650,00 300 250 900 40
0,5
77 14 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 3,5 0 0,25 1650,00
40
0,5
78 15 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 4,3 1,1 0,2 1650,00
38,9
0,5
79 16 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 4,4 8 0,1 1650,00
32
0,5
80 17 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 4,6 8,3 0,25 1650,00
31,7
0,5
81 18 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 4,2 8,4 0,2 1650,00
31,6
0,5
82 19 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 4,1 9 0,4 1650,00
31
0,5
83 20 20080412 Curug
Cibeureum 2 1 Aquatik
4 0 17,3 0,1 1650,00 22,7
0,5
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu air
(oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah (m)
56 6 20080411 Curug
Cibeureum 0,5 16 15,0 89
1,5
57 7 20080411 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 89
1,2
58 8 20080411 Curug 0,3 16 15,0 89 1
Cibeureum
59 9 20080411 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 89
0,8
60 10 20080411 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 89
0,25
61 11 20080411 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 89
0,4
62 12 20080411 Curug
Cibeureum 0,1 16 15,0 89
0,2
63 13 20080411 Curug
Cibeureum 0,05 16 15,0 89
0,5
64 1 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
0,1
65 2 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
0,25
66 3 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
0,24
67 4 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
0,27
68 5 20080412 Curug
Cibeureum 0,1 16 15,0 79
0,3
69 6 20080412 Curug
Cibeureum 0,05 16 15,0 79
0,5
70 7 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
2,1
71 8 20080412 Curug
Cibeureum 0,3 16 15,0 79
0,7
72 9 20080412 Curug
Cibeureum 1 16 15,0 79
0,6
73 10 20080412 Curug
Cibeureum 0,5 16 15,0 79
0,85
74 11 20080412 Curug
Cibeureum 3 16 15,0 79
0,5
75 12 20080412 Curug
Cibeureum 3 16 15,0 79
0,5
76 13 20080412 Curug
Cibeureum 3 16 15,0 79
0,5
77 14 20080412 Curug
Cibeureum 3,5 16 15,0 79
0,25
78 15 20080412 Curug
Cibeureum 4,3 16 15,0 79
0,2
79 16 20080412 Curug
Cibeureum 4,4 16 15,0 79
0,1
80 17 20080412 Curug
Cibeureum 4,6 16 15,0 79
0,25
81 18 20080412 Curug
Cibeureum 4,2 16 15,0 79
0,2
82 19 20080412 Curug
Cibeureum 4,1 16 15,0 79
0,4
83 20 20080412 Curug
Cibeureum 0 16 15,0 79
0,1
Lanjutan
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi Repl.
Katak
(Ada/Tdk
Ada)
Habitat Subsrat
Posisi Lokasi
Kodok Ketinggian
tempat (m
dpl)
Dimensi Lubang
(mm)
Jarak
dari
jalur
manusia
(m)
Kecepatan
Arus (m/dtk) x
(m)
y
(m)
z
(m) pjg lbr dalam
84 1 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 0 14 0,1 1650,00
26
0,556
85 2 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 0 13,8 0,1 1650,00
26,2
0,556
86 3 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 0 12 0,2 1650,00
28
0,556
87 4 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -0,7 8 1,8 1650,00
32
0,556
88 5 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -1 7,1 2 1650,00
32,9
0,556
89 6 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -1,1 5 1 1650,00
35
0,556
90 7 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -0,8 2,4 0,5 1650,00
37,6
0,556
91 8 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -0,7 2,1 0,7 1650,00
37,9
0,556
92 9 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -1 2,2 0,35 1650,00
37,8
0,556
93 10 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 -0,8 2,1 0,4 1650,00
37,9
0,556
94 11 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 3,5 10 0,1 1650,00
30
0,556
95 12 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 3,5 13 3 1650,00
27
0,556
96 13 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 3,3 10,5 1,3 1650,00
29,5
0,556
97 14 20080413 Curug
Cibeureum 3 1 Aquatik
4 3,2 12,8 2,5 1650,00
27,2
0,556
98 1 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 4
2371,48
5,4 0,333
99 2 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
4,5 0,333
100 3 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 3
2371,48
15,7 0,333
101 4 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 3
2371,48
20 0,333
102 5 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
35 0,333
103 6 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
65 0,333
104 7 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
75 0,333
105 8 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 3
2371,48
97 0,333
106 9 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
115,6 0,333
107 10 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
126,8 0,333
108 11 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2371,48
130,3 0,333
109 12 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 1
2302,41
145 0,333
110 13 20080409 Lebak Saat 1 0 Aquatik 3
2302,41
160,4 0,333
111 1 20080418 Bedogol 1 0
1
682,62
240 0,303
112 2 20080418 Bedogol 1 0
1
682,62
260 0,303
113 3 20080418 Bedogol 1 0 1 682,62 280 0,303
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu
air
(oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah
(m)
84 1 20080413 Curug
Cibeureum 0 16 15,5 89
0,1
85 2 20080413 Curug
Cibeureum 0 16 15,5 89
0,1
86 3 20080413 Curug
Cibeureum 0 16 15,5 89
0,2
87 4 20080413 Curug
Cibeureum 0,7 16 15,5 89
1,8
88 5 20080413 Curug
Cibeureum 1 16 15,5 89
2
89 6 20080413 Curug
Cibeureum 1,1 16 15,5 89
1
90 7 20080413 Curug
Cibeureum 0,8 16 15,5 89
0,5
91 8 20080413 Curug
Cibeureum 0,7 16 15,5 89
0,7
92 9 20080413 Curug
Cibeureum 1 16 15,5 89
0,35
93 10 20080413 Curug
Cibeureum 0,8 16 15,5 89
0,4
94 11 20080413 Curug
Cibeureum 3,5 16 15,5 89
0,1
95 12 20080413 Curug
Cibeureum 3,5 16 15,5 89
2,9
96 13 20080413 Curug
Cibeureum 3,3 16 15,5 89
1,3
97 14 20080413 Curug
Cibeureum 3,2 16 15,5 89
2,5
98 1 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
99 2 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
100 3 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
101 4 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
102 5 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
103 6 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
104 7 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
105 8 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
106 9 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
107 10 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
108 11 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
109 12 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
110 13 20080409 Lebak Saat 0 14 11,0 89 0
111 1 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
112 2 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
113 3 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
Lanjutan
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi Repl.
Katak
(Ada/Tdk
Ada)
Habitat Subsrat
Posisi Lokasi
Kodok Ketinggian
tempat (m
dpl)
Dimensi Lubang
(mm)
Jarak
dari
jalur
manusia
(m)
Kecepatan
Arus (m/dtk) x
(m)
y
(m)
z
(m) pjg lbr dalam
115 5 20080418 Bedogol 1 0
1
733,91
320 0,303
116 6 20080418 Bedogol 1 0
1
682,62
340 0,303
117 7 20080418 Bedogol 1 0
1
709,97
360 0,303
118 8 20080418 Bedogol 1 0
1
709,97
380 0,303
119 9 20080418 Bedogol 1 0
4
709,97
400 0,303
120 10 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
420 0,303
121 11 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
440 0,303
122 12 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
460 0,303
123 13 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
480 0,303
124 14 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
500 0,303
125 15 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
520 0,303
126 16 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
540 0,303
127 17 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
560 0,303
128 18 20080418 Bedogol 1 0
1
695,42
580 0,303
129 19 20080418 Bedogol 1 0
1
712,50
600 0,303
130 20 20080418 Bedogol 1 0
1
712,50
620 0,303
131 21 20080418 Bedogol 1 0
1
712,50
640 0,303
132 22 20080418 Bedogol 1 0
1
712,50
660 0,303
133 23 20080418 Bedogol 1 0
1
732,57
680 0,303
134 24 20080418 Bedogol 1 0
1
732,57
700 0,303
135 25 20080418 Bedogol 1 0
1
732,57
720 0,303
136 26 20080418 Bedogol 1 0
1
732,57
740 0,303
137 27 20080418 Bedogol 1 0
1
725,69
760 0,303
138 28 20080418 Bedogol 1 0
1
725,69
780 0,303
139 29 20080418 Bedogol 1 0
1
725,69
800 0,303
140 30 20080418 Bedogol 1 0 1 725,69 820 0,303
Subsrat :1; Tanah, 2 : Pasir, 3: Krikil, 4: Batu
Jumlah
Kuadrat
Plot
No. Tanggal Lokasi
Jarak
dari
Sungai
(m)
Suhu
udara
(oC)
Suhu
air (oC)
Kelembaban
(%)
Ketinggian
dari tanah
(m)
115 5 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
116 6 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
117 7 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
118 8 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
119 9 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
120 10 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
121 11 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
122 12 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
123 13 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
124 14 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
125 15 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
126 16 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
127 17 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
128 18 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
129 19 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
130 20 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
131 21 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
132 22 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
133 23 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
134 24 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
135 25 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
136 26 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
137 27 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
138 28 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
139 29 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
140 30 20080418 Bedogol 0 22,8 22,0 91 0
Lampiran 3 Jenis vegetasi di lokasi Rawa Denok
91
Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
1 Acer laurinum
1
2 Coniogrammae sp
1
3 Ficus recurva
1
4 Amomum coccineum
5 Piper aduncum
1
1
6 Argostemma montanum
1
1
1
1
7 Curculigo recurvata
1
1
1
8 Cyperus sp
1 1 1
9 Diplazium repandum
1
1
1
10 Peperomia pellucida
1
1
1
11 Schefflera aromatica 1 1
1
12 Eupatorium riparium
1
1
1
1
13 Frecynetia sp
1
1
1
1
1
14 Pandanus sp
1
1 1
1
15 Pilea sp
1
1
1
1
16 Asplenium sp
1
1
1
1 1
1
17 Bryonopsis laciniosa
1
1
1
1
1
18 Ficus sp 1 1
1
1
1
19 Pilea trinervia
1 1
1
1
1
20 Medinilla hasseltii
1 1
1
1
1
1
21 Prochris laevigata
1 1
1 1
1
1
22 Diplazium sp
1 1
1 1
1
1
1
23 Eupatorium pallescens 1 1
1
1
1
1 1
24 Cyathea sp
1
1
1 1
1
1 1
1
25 Cyrtandra picta
1 1
1
1
1 1
1
1
1
1
26 Selaginella sp
1
1
1 1
1
1
1
1
1
27 Begonia sp
1
1 1
1 1 1
1 1
1
1
1
28 Impatiens platypetala
1 1
1
1 1
1
1
1
1
1 1
29 Strobilanthus sp 1 1
1
1
1
1
1
1 1 1
1
1
30 Elatostemma sp
1 1
1
1 1
1
1
1 1
1
1 1
1
1
31 Bryopsida 1
1 1 1 1
1
1 1 1 1 1
1 1 1
1 1 1 1
1 1 1
1
1
32 Hepaticopsida 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 4 Jenis vegetasi di lokasi Rawa
Gayonggong
Kuadrat Plot
No JenisVegetasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Musa sp 1 1 1
2 Eupatorium riparium 1
1
1
1 1
3 Peperomia pellucida 1
1
1
1 1
4 Diplazium sp
1 1 1
1 1 1
1
5 Prochris laevigata
1 1 1
1 1 1
1
6 Bryopsida 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7 Hepaticopsida 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8 Marumia muscosa 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 5 Jenis vegetasi di lokasi Curug Cibeureum
93
No Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 Marumia muscosa
1
2 Pilea sp
1
5 Eupatorium pallescens 1
1
1
1
6 Peperomia pellucida
1
1 1
7 Eupatorium riparium
1 1
1
1
1
1
1 1 1
8 Impatiens platypetala
1
1 1
1
1 1 1
1 1
1
1
9 Prochris laevigata
1 1 1
1
1
1
1 1
10 Elatostemma sp
1 1
1
1 1 1
1 1 1
1
1
1 1 1
11 Cyathea sp 1 1
1
1
1
1
1
1 1
1
1 1
1
12 Bryopsida
1 1 1
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1
13 Hepaticopsida
1 1 1
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1
14 Selaginella sp 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lanjutan
No Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
1 Marumia muscosa
2 Pilea sp
3 Pilea trinervia
4 Diplazium sp
1
1
1
5 Eupatorium pallescens 1
1
1
1
6 Peperomia pellucida 1
1
1
1
1
1
7 Eupatorium riparium
1 1 1
1
8 Impatiens platypetala
1
1 1
1 1
1
1
9 Prochris laevigata 1
1
1
1 1 1 1
1 1
1
1
10 Elatostemma sp 1
1 1
1
1
1 1 1
1 1 1
1
11 Cyathea sp
1
1 1 1 1 1 1
1
1 1
1 1
1 1
12 Bryopsida
1
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 Hepaticopsida
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
14 Selaginella sp 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lampiran 6 Jenis vegetasi di lokasi Lebak Saat
No Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1 Acer laurinum
1
2 Asplenium sp 1 1
3 Bambusa sp
4 Begonia sp
1
1
5 Bryopsida
1
1
6 Curculigo recurvata
1
7 Cyathea sp
1
1
8 Cyperus sp
9 Cyrtandra picta
1
10 Diplazium sp
1
1
1 1
1
11 Elatostemma sp
1
1
12 Eupatorium pallescens
1
1
13 Ficus recurva
1
1
14 Frecynetia sp
15 Hepaticopsida 1
1 1
1
1
1
16 Impatiens platypetala
1 1 1 1 1 1
1 1
1
17 Medinilla hasseltii
1
1
1
18 Piper aduncum 1 1
1 1
1
19 Pilea sp 1
20 Pilea trinervia
1
1 1
1 1 1 1
21 Prochris laevigata
1
22 Selaginella sp 1
1
1
1 1 1
23 Strobilanthus sp 1
Lampiran 7 Jenis vegetasi di lokasi Bedogol
No Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
1 Amomum coccineum
1 1
2 Bambusa sp
1
1 1
3 Begonia sp
1
4 Caliiandra sp
1
5 Coffea sp
1
1
1
6 Crocus sp 1
1
7 Colocasia esculenta
1
8 Cyathea sp
1 1
9 Cyrtandra picta
1
10 Cyrtandra reticosa 1
1
11 Dicksonia blumei
1
1
12 Diplazium sp
1
1
1
1 1 1
1 1
13 Diplazium esculentum
1
14 Drynariansp
15 Elatostemma sp
1 1 1
1
1 1 1
1
16 Eupatorium pallescens
1 1
1
1
17 Ficus sp
1
18 Laportea stimulans 1
19 Marumia muscosa
1
1
1 1
1
1
20 Peristrophe hysopyfolia
1
21 Piper aduncum
1 1
1
1
22 Prochris laevigata 1 1
1
23 Selaginella sp
1
1
1 1 1 1 1
1 1
1 1
1
24 Schismatoglotis sp 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Lanjutan
No Jenis Vegetasi
Kuadrat Plot
26 27 28 29 30
1 Amomum coccineum
2 Bambusa sp
1
3 Begonia sp
4 Caliiandra sp
1
5 Coffea sp
6 Crocus sp
7 Colocasia esculenta
8 Cyathea sp
9 Cyrtandra picta
10 Cyrtandra reticosa
11 Dicksonia blumei
12 Diplazium sp
1
13 Diplazium esculentum
1
1
14 Drynariansp
1
15 Elatostemma sp 1
1
16 Eupatorium pallescens
17 Ficus sp
18 Laportea stimulans
19 Marumia muscosa
1
20 Peristrophe hysopyfolia
21 Piper aduncum
22 Prochris laevigata
23 Selaginella sp 1
1
24 Schismatoglotis sp
Lampiran 8 Analisis faktor mikrohabitat kodok merah
Factor Analysis
Communalities(a)
Initial
Extractio
n
Jarak dari air (m) 1.000 .054
Jarak dari jalur (m) 1.000 .976
ketinggian Tempat
(m) 1.000 .971
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a Only cases for which Katak = ada are used in the analysis phase.
Total Variance Explained(a)
Componen
t
Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings
Total
% of
Variance
Cumulative
% Total
% of
Variance
Cumulative
%
1 2.001 66.687 66.687 2.001 66.687 66.687
2 .973 32.421 99.108
3 .027 .892 100.000
Extraction Method: Principal Component Analysis.
a Only cases for which Katak = ada are used in the analysis phase.
Component Matrix(a,b)
Compon
ent
1
Jarak dari air (m) .232
Jarak dari jalur (m) .988
ketinggian Tempat
(m) .985
Undefined error #11401 - Cannot open text file "h:\program files\spss
evaluation\en\windows\spss.err
a 1 components extracted.
b Only cases for which Katak = ada are used in the analysis phase.
Lampiran 9 Uji Kruskal Wallis antara jarak dari sumber air dan jalur manusia
Uji Kruskal Wallis
Test Statistics(a,b)
Jarak
dari air
(m)
Jarak
dari jalur
(m)
Chi-
Square .841 78.327
df 2 2
Asymp.
Sig. .657 .000
a Kruskal Wallis Test
b Grouping Variable: Lokasi
Test of Homogeneity of Variances
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
Jarak dari air
(m) 8.528 2 94 .000
Jarak dari jalur
(m) 51.208 4 135 .000
ANOVA
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Jarak dari air
(m)
Between
Groups 7.115 2 3.558 .783 .460
Within Groups 426.906 94 4.542
Total 434.021 96
Jarak dari jalur
(m)
Between
Groups
5162486.
893 4
1290621.72
3 159.889 .000
Within Groups 1089715.
928 135 8071.970
Total 6252202.
821 139
Lampiran 10 Regresi Logistik jenis vegetasi pada lokasi ada/tidak ditemukannya
kodok merah
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1a Bryopsida 3.683 .755 23.781 1 .000 39.758
Constant -.217 .234 .861 1 .353 .805
Step 2b Bryopsida 4.319 1.044 17.101 1 .000 75.139
Piper_aduncum -3.854 1.359 8.046 1 .005 .021
Constant -.010 .245 .002 1 .968 .990
Step 3c Bryopsida 4.064 1.050 14.974 1 .000 58.218
Piper_aduncum -3.897 1.344 8.404 1 .004 .020
Schismatoglotis_sp -21.277 1.290E4 .000 1 .999 .000
Constant .265 .264 1.009 1 .315 1.303
Step 4d Bryopsida 4.888 1.311 13.907 1 .000 132.722
Pilea_trinervia -3.022 1.284 5.538 1 .019 .049
Piper_aduncum -3.864 1.487 6.756 1 .009 .021
Schismatoglotis_sp -21.476 1.294E4 .000 1 .999 .000
Constant .457 .279 2.672 1 .102 1.579
Step 5e Bryopsida 5.200 1.296 16.109 1 .000 181.215
Marumia_muscosa -2.280 .969 5.535 1 .019 .102
Pilea_trinervia -3.458 1.349 6.572 1 .010 .031
Piper_aduncum -4.279 1.566 7.468 1 .006 .014
Schismatoglotis_sp -21.617 1.272E4 .000 1 .999 .000
Constant .752 .313 5.768 1 .016 2.122
Step 6f Bryopsida 5.152 1.303 15.644 1 .000 172.717
Coffea_sp -22.179 2.321E4 .000 1 .999 .000
Marumia_muscosa -2.494 .975 6.546 1 .011 .083
Pilea_trinervia -3.629 1.350 7.231 1 .007 .027
Piper_aduncum -4.433 1.568 7.991 1 .005 .012
Schismatoglotis_sp -21.829 1.267E4 .000 1 .999 .000
Constant .976 .339 8.290 1 .004 2.653
Step 7g Bryopsida 5.053 1.312 14.841 1 .000 156.559
Coffea_sp -22.362 2.321E4 .000 1 .999 .000
Diplazium_esculentum -21.900 2.211E4 .000 1 .999 .000
Marumia_muscosa -2.505 1.004 6.228 1 .013 .082
Pilea_trinervia -3.739 1.341 7.774 1 .005 .024
Piper_aduncum -4.530 1.558 8.457 1 .004 .011
Schismatoglotis_sp -22.009 1.265E4 .000 1 .999 .000
Constant 1.159 .363 10.215 1 .001 3.187
a. Variable(s) entered on step 1: Bryopsida.
b. Variable(s) entered on step 2: Piper_aduncum.
c. Variable(s) entered on step 3: Schismatoglotis_sp.
d. Variable(s) entered on step 4: Pilea_trinervia.
e. Variable(s) entered on step 5: Marumia_muscosa.
f. Variable(s) entered on step 6: Coffea_sp.
g. Variable(s) entered on step 7: Diplazium_esculentum.
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R
Square
1 119.644a .315 .445
2 105.988b .379 .535
3 93.840c .431 .608
4 84.974c .466 .657
5 77.991c .492 .694
6 70.711c .517 .730
7 64.839c .537 .758
a. Estimation terminated at iteration number 6 because
parameter estimates changed by less than .001.
b. Estimation terminated at iteration number 7 because
parameter estimates changed by less than .001.
c. Estimation terminated at iteration number 20 because
maximum iterations has been reached. Final solution cannot
be found.
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 .000 0 .
2 .240 2 .887
3 .271 2 .873
4 .943 3 .815
5 .363 3 .948
6 .391 4 .983
7 .336 4 .987
Lampiran 11 Uji beda nyata subrat
Y
Observed N Expected N Residual
0 49 70.0 -21.0
1 91 70.0 21.0
Total 140
Test Statistics
Y X1
Chi-Square 12.600a 64.686
b
df 1 2
Asymp. Sig. .000 .000
a. 0 cells (.0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 70.0.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Y 140 .6500 .47868 .00 1.00
X1 140 2.7714 1.46097 1.00 4.00
Test Statistics
Y X1
Chi-Square 12.600a 64.686
b
df 1 2
Asymp. Sig. .000 .000
a. 0 cells (.0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 70.0.
b. 0 cells (.0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 46.7.
Lampiran 12 Koordinat titik validasi kodok merah di TNGGP
LOKASI Koordinat Koordinat
Rawa Gayonggong 106 59' 22.13" E 6 45' 1.14" S
Rawa Gayonggong 106 59' 22.11" E 6 45' 1.21" S
Rawa Denok 106 59' 3.83" E 6 45' 31.37" S
Rawa Denok 106 59' 3.78" E 6 45' 31.42" S
Rawa Denok 106 59' 3.75" E 6 45' 31.20" S
Rawa Denok 106 59' 4.14" E 6 45' 31.20" S
Rawa Denok 106 59' 4.20" E 6 45' 31.14" S
Rawa Denok 106 59' 4.39" E 6 45' 31.05" S
Rawa Denok 106 59' 3.48" E 6 45' 31.44" S
Rawa Denok 106 59' 3.93" E 6 45' 31.34" S
Curug Cibeureum 106 59' 7.61" E 6 45' 13.48" S
Curug Cibeureum 106 59' 7.65" E 6 45' 13.57" S
Curug Cibeureum 106 59' 7.60" E 6 45' 13.58" S
telaga biru 106 59' 41.18" E 6 44' 55.13" S
telaga biru 106 59' 40.94" E 6 44' 55.42" S
telaga biru 106 59' 39.53" E 6 44' 54.71" S
Situ Gunung 106 55' 27.93" E 6 49' 57.15" S
Ciwalen 107 0' 13.86" E 6 44' 38.46" S
Bodogol 106 51' 4.93" E 6 46' 12.68" S
Selabintana 106 57' 49.90" E 6 50' 33.13" S