TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN
TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES)
DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
MUHAYATI
NIM. 072211012
JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
ii
Drs. H. Maksun,M.Ag Perum Griya Indo Permai A.22 Tambakaji Ngaliyan Semarang
Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum
Jl. Bukit Agung E.41 Semarang
PERSET UJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks. Kpd Yth.
Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syariah
A.n. Sdri. Muhayati IAIN Walisongo Semarang
Di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini
saya kirim naskah skripsi saudari :
Nama : Muhayati
Nomor Induk : 072211012
Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM
TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG
MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES)
DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN.
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan.
Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 13 Muharam 1433
9 Desember 2011
Pembimbing I
Drs. H. Maksun, M.Ag
NIP. 19680515 199303 1 002
Pembimbing II
Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum
NIP. 19631219 199903 2 001
iii
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
FAKULTAS SYARI’AH
Jl.Prof. Dr. Hamka KM 2 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi Saudara : Muhayati NIM : 072211012 Judul :Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa
Yang Melampaui Batas (Noodweer exces) Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/baik/cukup, pada tanggal : dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012.
Semarang,
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Anthin Lathifah, M.Ag. Drs. H. Maksun, M.Ag
NIP. 19751107 200112 2 002 NIP. 19680515 199303 1 002
Penguji I, Penguji II,
Rustam DKAH, M. Ag M. Khasan, M.Ag
NIP:19690723 199803 1 005 NIP: 19741212 200312 1 004
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. Maksun, M.Ag Brilian Erna Wati, S.H., M. Hum
NIP. 19680515 199303 1 002 NIP. 19631219 199903 2 001
iv
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis Menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi
materi yang telah atau pernah ditulis oleh orang lain
atau diterbitkan. Dengan demikian skripsi ini tidak
berisi satupun pikiran orang lain, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang menjadi bahan
rujukan.
Semarang, 5 Desember 2011
Deklarator,
Muhayati
NIM. 072211012
v
MOTTO
(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan (QS. Al- Imran: 134) 1
1 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: CV Toha Putra, 1989,
hlm.538
vi
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan zaman yang membawa dampak di berbagai
bidang, Banyak terjadi kasus pelanggaran hukum yang berlaku. Seperti terjadi
pencurian, pemerkosaan maupun pembunuhan, yang merupakan perbuatan sangat
berbahaya bagi keselamatan jiwa dan raga manusia serta dapat mengancam keamanan
dan kesejahteraan masyarakat. Upaya yang dilakukan agar seseorang tidak mudah
menumpahkan darah terhadap orang lain dalam rangka melindungi jiwa, kehormatan
maupun harta benda yaitu dengan melakukan pembelaan ketika seseorang diserang
atau dirampas haknya. Dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang
melampaui batas tidak diatur secara jelas bagaimana ketentuan pembelaan yang
diperbolehkan. Sedangkan dalam hukum Islam selain ditentukan syarat pembelaan
yang sah oleh para fuqaha, juga diatur upaya prefentif yang disebut amar ma’ruf nahi
mungkar yang bertujuan untuk mengurangi adanya tindak kriminal di dunia ini. Pada
dasarnya hukum berfungsi untuk mengatur hak hidup seseorang, demi terciptanya
kemaslahatan umat manusia (maqasidussyari’ah). Berawal dari Pasal 49 tentang
pembelaan terpaksa maka penulis ingin mengetahui sanksi pembelaan yang
melampaui batas dalam hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
hadist, maka harus diketahui syarat dan dasar hukumnya. Dari latar belakang tersebut,
penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai bagaimana pengertian dan
jenis tindak pidana pembunuhan dalam KUHP dan hukum pidana Islam?, bagaimana
syarat pembelaan yang diperbolehkan dalam KUHP maupun hukum pidana Islam?
dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam mengenai sanksi pembelaan terpaksa
yang melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan?
Penelitian menggunakan metode kualitatif, dengan sumber primer dan
sekunder, data penelitian dihimpun dengan pembacaan, dan kajian teks (teks reading)
dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode content analysis.
Kesimpulan akhir dari skripsi ini adalah terdapat persamaan dan perbedaan
syarat pembelaan terpaksa dalam hukum pidana Islam dan hukum positif. Persamaan
syarat tersebut yaitu objek yang dilindungi (jiwa, kehormatan dan harta benda sendiri
maupun orang lain). Perbedaan yang mendasar yaitu melebihi batas pembelaan yang
diperbolehkan. Jika dalam hukum positif diperbolehkan melampaui batas pembelaan
terpaksa dengan syarat harus terdapat penyebab kegoncangan jiwa yang hebat (Pasal
49 ayat 2) yang bersifat kasuistik dan ditentukan oleh psikiater. Sedangkan
pandangan hukum Islam dalam melakukan perbuatan pembelaan tidak boleh melebihi
batas yang ditentukan, jika itu terjadi maka kelebihan tersebut harus
dipertanggungjawabkan oleh seorang yang melakukan perbuatan tersebut. Tetapi
dalam pembelaan jika sampai mengakibatkan kematian atau pembunuhan dalam
melakukan pembelaan diri karena tidak ada cara lain, maka perbuatan itu
diperbolehkan (asbab al-ibahah). Sedangkan dalam KUHP Pasal 49 ayat 1 dikenal
pembelaan terpaksa (noodweer) sebagai alasan pembenar dan dalam ayat 2 dikenal
istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) sebagai alasan
pemaaf untuk dasar penghapus hukuman.
vii
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk :
Ibunda (Hj.Khasanah) dan Ayahanda (H.Soderi) tercinta dan tersayang
Kasih sayang, tuntunan, dukungan dan do’a dari kalian Selalu menerangi langkah penuh cita dan cinta putrimu.
Para Kiai, Dosen dan Pembimbing
Ilmu dan bimbingan dari kalian menuntun saya untuk menjadi insan yang ta’at dan berbakti.
Kakek Nenek yang penulis ta’dzimi
Nasehat dan do’amu mengobarkan semangat cucumu.
Kakak, Adik dan Seluruh keluarga Dukungan kalian tak akan pernah penulis sia-siakan.
Dan untuk teman-teman yang selalu menemani
Bersama dalam meraih cita-cita . Triwur, Fahmi, Himam, Farid, Kholek, Mustofa, Iqbal, Zani,
Tegar, Habib, Yana dan Kayis
Teman-teman senasib seperjuangan khususnya teman Justisia, teman JQH (Jami’atul Qura’ wal
Huffadz), dan teman KKN desa Trayu posko 57
Saya dedikasikan karya ini untuk kalian semua...
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., yang telah menciptakan alam
beserta hukum-hukumnya, melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah dan inayah-Nya,
sehingga dengan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta Salam semoga selalu terlimpahkan dan senantiasa penulis sanjungkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW., beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya serta orang-
orang yang mengikuti ajarannya.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. DR. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan para pembantu Dekan yang telah memberikan izin kepada penulis
untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar dari awal hingga
akhir.
2. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam DKAH,
M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang yang telah memberikan berbagai motifasi dan arahan, mulai
dari proses awal hingga proses berikutnya.
3. Drs. H. Maksun, M.Ag. dan Brilian Erna Wati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing
atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas.
4. Para Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah
menyampaikan ilmu dengan sabar dan ikhlas dalam proses belajar di kuliah
ataupun dalam diskusi.
ix
5. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian dan
arahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis ungkapan dalam untaian kata-
kata.
6. Sahabat-sahabat penulis yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya
skripsi ini
7. Teman-teman senasib seperjuangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu per
satu, terutama teman-teman SJ angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
Kiranya tidak ada kata yang dapat terucap dari penulis selain memanjatkan
do’a semoga Allah SWT, membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan
yang lebih dari mereka berikan pada penulis.
Penyusunan skripsi ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin agar
tercapai hasil yang semaksimal pula.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi para
pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT memberikan ridha-Nya.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Semarang, 30 Desember 2011
Penulis
Muhayati
NIM. 072211012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………………...i
PERSETUJUAN PEMBEIMBING………………………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………………...iii
HALAMAN DEKLARASI………………………………………………………………..………..iv
HALAMAN MOTTO…………………………………………………………………………….......v
ABSTRAK PENELITIAN…………………………………………………………………………vi
PERSEMBAHAN……………………………………………………………………………………vii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………...viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..……...x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………..11
C. Tujuan dan Manfaat ……………………………………………………......12
D. Telaah Pustaka ……………………………………………………………...13
E. Kerangka Teoriti …………………………………………………………….16
F. Metode Penelitian ………………………………………………………….21
G. Sistematika Pembahasan ………………………………………………..25
BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Islam…………………………………………………………………..26
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP……………...………48
BAB III PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM DAN KUHP
xi
A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana
Islam.............................................................................................................61
B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP …..75
C. Pertanggungjawaban Pidana.............................................................99
BAB IV ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Analisis Tindak Pidana Pembunuhan………………………….…103
B. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa……………...106
C. Analisis Sanksi Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak Pidana
Pembunuhan………………………………………...116
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………...…131
B. Saran …………………………………………………………………………...133
C. Penutup……………………………………………………………………..….135
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
A. Latar Belakang
Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan
berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum diterapkan
dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan kebenaran,
kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini.
Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia terhadap
peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam
menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani
dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan
Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali
kepada pelakunya sendiri.
Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan-
larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah. Pakar
fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang
apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had atau ta‟zir .1
Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut hanya
1 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. ke-1, 1997, hlm. 89. Lihat juga dalam Abu Zahra, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr al- Arabi, tt, hlm.2. Had merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas hukuman qishash
dan ta‟zir. Ta'zir dalam konteks bahasa adalah menolak dan mencegah kejahatan, Ta‟zir juga
berarti memberi pelajaran. Para ulama mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan
oleh nas dan berkaitan dengan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar tidak
mengulangi kejahatan serupa. Untuk lebih jelas lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana,
Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 260.
untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh,
melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.2
Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan
berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan3 tersendiri yaitu, untuk
mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut al-dharuriyat
al-khamsah yaitu yang terdiri dari hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-„aql
(menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan
hifz al-nasl (menjaga keturunan).4 Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan
dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan
di akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi
merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.5
Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat
dicapai dengan adanya sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur
2 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.2.
3 Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam adalah pencegahan (ar-rad-u
waz-zajru) dan pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahdzib), karena Islam sangat
memeperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti. Sedangkan dalam hukum positif walaupun
bertentangan dengan akhlak, tidak dianggap sebagai tindak pidana kecuali apabila perbuatan
tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan dan ketentraman masyarakat. Lihat dalam A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih Jinayah), Jakarta: Sinar
Grafika, 20006, hlm. 15.
4 Secara global, tujuan syara’ dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah untuk
kemaslahatan manusia seluruhnya yang biasa disebut Al Maqashidu Khamsah (Panca Tujuan). Hal
ini berdasarkan Firman Allah SWT QS. Al Anbiya: 107, QS. Al Imran: 159, QS. Al Baqarah: 201-
202, dalam Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta:
Syaamil Cipta Media, 1984. Untuk lebih jelasnya lihat dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat
Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 65-67, lihat juga dalam Asfri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1996, hlm. 71-
72, Hukum Pidana Islam (jinayah) didasarkan pada perlindungan HAM (Human Right) yang
bersifat primer (Daruriyyah) yang meliputi perlindungan atas agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan maqasid asy-syari‟ah.
Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia.
5 Satria Effendi M. Zein, Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif Hukum Islam, dalam
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 107.
(relegen/anvullen recht) dan peraturan hukum yang bersifat memaksa
(dwingen recht) setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum.
Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan kepada setiap
pelanggar peraturan hukum yang ada sebagai reaksi terhadap perbuatan
melanggar hukum yang dilakukannya. Akibatnya ialah peraturan-peraturan
hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat,
untuk menjaga agar peraturan-peraturan hukum dapat berlangsung terus dan
diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah masyarakat (ubi-
ius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam
pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai
dalam seluruh lapisan masyarakat.6
Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam masyarakat seperti
hukum adat, peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat, konsepsi
hukum Islam yaitu dasar dan kerangkanya ditetapkan oleh Allah, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya,
manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkunganya.
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Hukum Privat
(Munakahat, Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al ahkam
6 Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. ke-2, 1995, hlm. 48-49.
Hukum merupakan peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
suatu masyarakat dan ditegakkan oleh penguasa. Lihat dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001, hlm. 43.
al sulthaniyah, Siyar, Mukhashamat).7 Di dalam ajaran Islam bahasan-bahasan
tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan
dalam fiqh jinayah.8
Islam, seperti halnya sitem lain melindungi hak-hak untuk hidup,
merdeka, dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri maupun
melakukan pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia
tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia.
Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia,
maka ia diibaratkan memelihara manusia seluruhnya.9 Jika pembunuhan itu
terjadi juga, maka seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut.
Permasalahanya adalah bagaimana jika pembunuhan sengaja
tersebut dilakukan karena dalam upaya membela jiwa, kehormatan maupun
harta benda baik untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah daf‟u
as-sail. Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena:
Pertama, hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau perbuatan yang
dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau
sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu:
7 Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007, hlm.9-10.
8 Istilah Jinayah (crime, felony) adalah tindakan yang dapat membahayakan jiwa seseorang
dan anggota tubuh yang mengaharuskan adanya hukuman langsung di dunia atau yang berorientasi pada hasil perbuatan seseorang yang dilarang oleh syara', para fuqaha menggunakan istilah
tersebut hanya terbatas pada perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan, dan sebagainya. Lihat H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi
Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1.
9 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan
Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2003, hlm. 71-72.
Pembelaan yang sah, Mendidik, Pengobatan, Permainan kesatrian, Halalnya
jiwa, anggota badan dan harta seseorang, Hak dan kewajiban penguasa..
Kedua, hal-hal yang bertalian dengan keadaan pelaku atau perbuatan yang
dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut
asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman. Diantaranya yaitu:
Paksaan, Mabuk, Gila dan Anak kecil (di bawah umur).
Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi Prancis,
setiap orang bagaimanapun keadaannya bisa dibebani pertanggungjawaban
pidana tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan sendiri
atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa
dibebani pertanggungjawaban apabila menimbulkan kerugian kepada pihak
lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang dari pemeriksaan
pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus
mempertanggungjawabkan perbuatan orang lain, meskipun orang tersebut
tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. Baru setelah revolusi
Prancis dengan timbulnya aliran tradisionalisme dan lain-lainnya,
pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup
yang memiliki pengetahuan dan pilihan.10
Maka tidak ada pertanggungjawaban pidana selama perbuatannya itu
tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan atau memberi bantuan untuk
terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab
10 Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 156-158.
dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya, karena keduanya
merupakan illat (sebab) adanya jarimah.
Dalam hukum pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi:
“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan
pembelaan untuk jiwa, kehormatan atau harta benda baik untuk diri sendiri
maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sedangkan pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam
KUHP Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.”11
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui
batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”.
Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak
dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan
kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas sedangakan dalam hukum Islam tidak diatur
secara jelas pembelaan yang diperbolehkan dan juga sanksi bagi pelaku
pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya berdasarkan firman Allah
SWT.
11 Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2006, hlm.
26.
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.” 12
Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran menyerang
balik ketika diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan sanksi bagi
penyerang jika melebihi batas serangan.
Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai
keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh
terdakwa), meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah
dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik
dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran daad-
dader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :
a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan
dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah
actus reus di Negara Anglo saxon.
b) Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan
pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal
dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.13
Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk membahas
judul tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa
Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan,
12 QS. Al Baqarah (2): 194
13 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 137-138.
yang pertama adalah bahwa Islam sangat melindungi hak hidup seseorang.
Hal ini terbukti dalam tujuan syara’ atau yang lebih dikenal dengan istilah Al-
Maqasidul Khamsah (panca tujuan) salah satunya memelihara jiwa dan Al-
Qur'an telah banyak menjelaskan tentang sanksi berkenaan dengan masalah
kejahatan terhadap nyawa. Di antara jenis-jenis hukum qishash disebutkan
dalam al-Qur'an ialah: qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash
dari luka. Semua kejahatan yang menimpa seseorang, hukumannya adalah
dianalogikan dengan qishash yakni berdasar atas persamaan antara hukuman
dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman
qishash.14
Begitupun dalam hukum positif juga diatur masalah sanksi untuk
pembunuh dari yang teringan sampai yang terberat.
Yang kedua karena dalam KUHP pasal 29 ayat 1 tentang pembelaan
terpaksa, dan juga dalam Hukum Pidana Islam diatur tentang pembelaan sah,
tidak dijatuhi hukuman sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang.
Tetapi untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan
atau sebaliknya, maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam
pasal tersebut dan bagaimana ketentuan pembelaan terpaksa dalam hukum
Islam, karena dalam Pasal tersebut tidak dijelaskan bagaimana melakukan
pembelaaan yang diperbolehkan. Begitu juga dalam pasal 49 ayat 2 tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas
yang diperbolehkan dalam melakukan suatu pembelaan. Terdapat kasus di
14
A. Wardi Muslich, op.cit, hlm. 18. Lihat dalam QS. Al Baqarah: 178-179. Qishash adalah
pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia
membunuh, atau dianiaya kalau ia menganiaya. Hukuman qishash dijatuhkan atas pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja.
Jakarta Pembelaan diri mahasiswi Universitas Paramadina, Leni (21) dari
serangan pacarnya, Anjas, (27) yang justru berujung di pengadilan. Padahal
tindakan Leni merupakan bentuk perlawanan yang dilakukan untuk
mempertahankan dirinya dari serangan Anjas.
Kronologis ceritanya yaitu Anjas bertemu Leni di rumah Leni di
Kemayoran pada 22 November 2010. Awalnya Anjas meminta proses putus
pacaran diselesaikan dengan baik-baik. Tidak berapa lama, Anjas mulai
menunjukan hal aneh. Tiba-tiba saja Anjas memaksa Leni menciumnya. Lalu
Anjas juga memegang-megang tubuh Leni. Leni pun membela diri dengan
menyiram Anjas dengan air panas dalam gelas.
Dalam konsep hukum pidana, penganiyaan dilakukan oleh orang yang
mempunyai peran dominan terhadap orang lain. Unsur dominan bisa
ditandakan dengan adanya senjata, jumlah orang yang tidak seimbang, atau
unsur jenis kelamin.
Keduanya melakukan dengan tangan kosong. Tapi yang satu laki-laki
dan satu perempuan. Maka unsur dominan ada di laki-laki. Sehingga wajar
saja perempuan melawan laki-laki dengan perlawanan yang tidak seimbang.
Seharusnya dakwaan jaksa harus dilihat ke belakang lebih jauh. Yaitu
Anjas yang akan melakukan pelecehan seksual terhadap Leni. Meski
keduanya terikat dalam hubungan pacaran, tapi bukan lisensi untuk
menyentuh perempuan tanpa izin. Jangankan dalam hubungan pacaran, dokter
saja harus minta izin apabila mau menyentuh pasien. Setiap pasangan harus
menghormati pasangan, tidak boleh memaksa.
Jadi, Kedua belah pihak seharusnya sama-sama dipidana. Tetapi jika
dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi syarat pembelaan terpaksa,
seharusnya Leni bebas dari segala tuntutan hukum. Dalam kasus Leni, jika
Leni dijadikan terdakwa maka Anjas pun harus dijadikan terdakwa pula.
Tetapi di sini
jaksa malah menetapkan Leni sebagai terdakwa dengan ancaman 2,5 tahun
penjara.15
Berarti di sini seorang wanita yang melakukan pembelaan diri yang
melampaui batas tetapi pada dasarnya tidak menginginkan akibat hukum
terhadap seseorang karena dia dalam keadaan darurat16
sehingga terpaksa
melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan kehormatannya.
Dari uraian tersebut maka dalam skripsi ini penulis juga akan
menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai pembelaan baik dalam hukum
positif maupun hukum Islam agar pasal tersebut tetap berfungsi/ tidak menjadi
pasal mati, karena sulit dalam pembuktiannya. Secara mendalam masalah ini
akan penulis jelaskan dalam skripsi yang berjudul : “Tinjauan Hukum
15 http://www.detiknews.blogspot.com/read/2011/06/17/ahli-hukum-leni-bela-diri-anjas-yang-harusnya-terdakwa.,
diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011, 09.00
16 Keadaan darurat tidak dapat mempengaruhi tindak pidana pembunuhan, pelukaan dan
pemotongan anggota badan. Orang yang berada dalam keadaan darurat tidak boleh membunuh,
melukai, atau memotong orang lain dalam upaya menyelamatkan dirinya dari kematian.
Dicontohkan suatu kelompok orang berada dalam sampan yang hampir tenggelam karena beratnya
muatan, penumpang tidak boleh melemparkan penumpang yang lain ke dalam air untuk
meringankan beban sampan dan dalam upaya menyelamatkan diri dari kematian. Lihat dalam Ali
Yafie, dkk., Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma ilmu, 2009, hlm. 236.
Dari contoh tersebut menurut hukum pidana Indonesia, walaupun perbuatan tersebut pada kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, namun dalam
keadaan darurat dalam hukum pidana Indonesia ini berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk
dalam tindak pidana pembunuhan. Walaupun dalam kenyataanya perbuatan terdakwa telah
memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka
terdakwa tidak dipidana. Untuk lebih jelas lihat dalam Rahman Saleh, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm. 86.
Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas
dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka munculah berbagai
permasalahan yang menarik untuk dibahas. Untuk memfokuskan
permasalahan agar sesuai dengan kajian skripsi ini, penulis berusaha mencari
titik temu point permasalahan yang dikehendaki, antara lain:
1. Bagaimana perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif
tentang tindak pidana pembunuhan ?
2. Bagaimana ketentuan syarat yang terdapat di dalam pembelaan terpaksa
dalam Hukum Islam dan Hukum Positif?
3. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap sanksi pembelaan
terpaksa yang melampaui batas yang mengakibatkan pembunuhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan karya tulis ini pada umumnya untuk mengetahui jawaban dari
perumusan masalah diatas, lebih spesifik lagi diantaranya yaitu:
1. Untuk mengetahui dasar hukum tindak pidana pembunuhan dalam
Hukum Islam dan KUHP
2. Untuk menjelaskan unsur atau syarat yang terdapat di dalam Pembelaan
Terpaksa yang melampui Batas dalam Hukum Islam dan Hukum positif.
3. Untuk mengetahui sanksi pelaku Pembelaan Terpaksa yang Melampui
Batas Sehingga Mengakibatkan Pembunuhan dalam Hukum Islam.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
Manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memberikan
kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam
bidang hukum dengan mencoba membandingkan antara hukum pidana Islam
dengan hukum pidana positif tentang pembelaan terpaksa melapaui batas yang
mengakibatkan pembunuhan. Dalam penulisan skripsi ini juga diharapkan
dapat bermanfaat menggali nilai hukum yang hidup secara alami tumbuh
untuk kepentingan sosial, agar dapat membedakan antara pembelaan yang sah
dan yang melampaui batas, dan memberi manfaat secara teoritik dan fakta
hukum dalam perkembangan permasalahan yang luas terhadap pembelaan
terpaksa yang mengakibatkan pembunuhan
D. Telaah Pustaka
Hukum Islam merupakan salah satu substansi ajaran agama Islam yang
diyakini kebenaran dan kesempurnaannya yang bersumber dari Allah SWT.
Melalui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, hukum tersebut hidup
dalam masyarakat Islam, sehingga menjadi pedoman umat dalam berbagai
bidang diantaranya masalah Jinayat.
Secara teoretis hukum Islam atau yang dikenal dengann fiqh bersumber
dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi para fuqaha (jama’ dari faqih) sering
berbeda pendapat dalam memahami konsep dari dua sumber tersebut.
Perbedaan ini di pengaruhi oleh kurun waktu dan lingkungan dimana para
fuqaha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.
Penelitian mengenai pembelaan terpaksa ini dalam hukum pidana
telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dengan pendekatan
yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan
beberapa literatur yang akan penulis jadikan sebagai previous finding
(penelitian maupun penemuan sebelumya). Disamping itu juga banyak pula
sudut pandang serta metode yang digunakan masing-masing penulis dalam
membahas masalah pembelaan terpaksa, tetapi karya pemikiran yang
menggunakan sudut pandang hukum Islam masih begitu sedikit.
Sepanjang pelacakan dan penelaahan yang penulis lakukan, baik di
kalangan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang maupun sacara umum,
belum ada karya penelitian yang membahas pada permasalahan Tinjauan
Hukum Pidana Islam terhadap Pembelaan Terpaksa melampaui batas sehingga
mengakibatkan pembunuhan.
Terdapat skripsi di IAIN Walisongo Semarang karya M. Eko
Wahyudi (NIM: 2199184) tahun 2004 dengan judul: Analisis Atas Pemikiran
Muhammad Abu Zahrah tentang Pembunuhan sebagai Upaya dalam
Mempertahankan Harta. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini
bahwa menurut Imam Abu Zahrah seseorang yang membunuh dengan alasan
mempertahankan harta dibolehkan, pelakunya digugurkan dari perbuatannya
dan tidak ada hukuman baginya.
Skripsi buah karya oleh Syarifudin (NIM: 2198007) tahun 2003
dengan judul: Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita
Karena Mempertahankan Diri dari Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan
Madzhab Syafi’i). Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang wanita yang
membunuh dengan sengaja karena mempertahankan diri menurut pandangan
madzhab Syafi’i pelakunya digugurkan dari perbuatanya dan tidak ada
hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun kafarat.
Adapun pembahasan mengenai Hukuman (sanksi) pembelaan terpaksa
pernah ada yang membahas dalam bentuk skripsi, yaitu "Pembelaan Terpaksa
Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Putusan Pengadilan
Negeri Jember Nomor 961/Pid.B/2008/PN.Jr) oleh Siti Anisa, Universitas
Hukum Fakultas Hukum yang menjelaskan bahwa seorang terdakwa yang
berkeyakinan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan pembelaan
terpaksa tetapi dapat diabaikan karena sebagian atau beberapa unsur mengenai
pembelaan terpaksa melampui batas tidak terpenuhi dalam pembuktian. Jadi,
perbuatan terdakwa secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 338 KUHP
mengenai pembunuhan. Tetapi agar menjadi dasar untuk memperingan
hukuman terdakwa yang dalam hal ini, menyerahkan dirinya dan mengakui
kesalahannya, karena terdakwa berkeyakinan bahwa perbuatannya merupakan
pembelaan terpaksa pasal 49 ayat 2.
Sedangkan yang membedakan penelitian sebelumnya dengan skripsi
ini adalah skripsi ini tidak bersifat spesifik hanya membahas tentang
mempertahankan harta, kehormatan tetapi lebih bersifat umum yaitu upaya
perlindungan terhadap jiwa, kehormatan maupun harta yang berupa
pembelaan diri ketika akan diserang atau dirampas haknya. Skripsi ini juga
bukan merupakan studi tokoh maupun analisis Putusan pengadilan tapi lebih
kepada sudut pandang Islam. Maka untuk membedakan skripsi ini dengan
bahasan yang sudah ada, penulis ingin membahas tentang Tinjauan Hukum
Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
(Noodweer Exces) Dalam Tindak Pembunuhan dengan harapan pembahasan
ini akan menjadi bahasan yang lebih lengkap dan seimbang.
E. Kerangka Teori
Mengenai manusia sebagai makhluk, Aristoteles mengatakan bahwa
manusia adalah “zoon politicon”, makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat.
Oleh karenanya tiap anggota masyarakat mempunyai hubungan antara satu
dengan yang lain. Tiap hubungan tentu menimbulkan hak dan kewajiban.17
Pandangan tentang hukum selama Abad Pertengahan, tidak pernah
lepas dari keyakinan orang-orang sebagai orang beragama. Baik dalam agama
Kristiani maupun dalam agama Islam, aturan hukum ditanggapi sebagai
perwujudan kehendak Tuhan. Namun terdapat perbedaan juga dalam
pandangan orang-orang terhadap hukum yakni mengenai hubungannya dengan
Tuhan. Dalam kalangan umat Islam, aturan hukum ditanggapi sebagai suatu
17 Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm.49.
gejala yang langsung bertalian denga wahyu. Aturan hukum diciptakan
berazaskan wahyu dan karenanya harus dipikirkan dalam rangka wahyu itu.18
Dalam hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayah) didefinisikan
sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah, yang
pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum
berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan
suatu perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan
adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syari’at. Dengan kata lain,
melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan
yang membawa hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.19
Ada dua dimensi dalam memahami hukum Islam.
1. Hukum Islam berdimensi Ilahiyyah,
Diyakini sebagai ajaran yang bersumber dari Mahabenar.
Pengertian ini dipahami sebagi syari’at yang cakupannya sangat luas
tidak hanya terbatas pada fiqih dalam artian terminologi.
2 Hukum yang berdimensi insaniyyah.
Dimensi ini mengakomodasi upaya manusia secara sungguh-
sungguh untuk memahami ajaran yang bernilai suci dengan melakukan
dua pendekatan yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan
maqasid. Dalam dimensi ini hukum Islam dipahami sebagai produk
pemikiran yang dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal
18 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Bandung: Nusa media, 2004,
hlm. 48.
19 Topo Santoso, op.cit, hlm. 20.
dengan sebutan ijtihad atau pada tingkat yang lebih teknis disebut
istinbath al-ahkam20
Akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berusaha,
berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang ada padanya dalam memahami
kaidah hukum yang fundamental yang terdapat pada al-Qur’an. Kaidah hukum
yang bersifat umum yang terdapat pada Sunnah Nabi dapat dirumuskan oleh
akal menjadi garis hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus tertentu
atau berusaha merumuskan garis atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak
terdapat di dalam kedua sumber utama hukum Islam.21
Banyaknya masalah dan problema hukum yang muncul kemudian,
akhirnya menimbulkan pemikiran dan menyita perhatian di kalangan ulama,
karena masalah-masalah tersebut tidak terdapat dalam nas. Dengan demikian
peran ijtihad sangat penting dalam menggali hukum Islam. Adapun penerapan
metode-metode ijtihad dalam prakteknya juga didasarkan atas Maqasid asy-
Syari'ah.
Dalam menentukan sanksi pembelaan terpaksa yang melampaui batas
dalam tindak pidana pembunuhan, maka penulis menggunakan metode Ijtihad
dengan pendekatan Maqasid asy-Syari'ah karena akan terjadi madharat yang
lebih besar terhadap diri sendiri maupun orang lain jika masalah pembelaan
diri tidak diatur secara rinci. Seseorang akan merasa takut akan dihukum jika
melakukan pembelaan tetapi melampaui batas. Penulis menggunakan ijtihad
dalam skripsi ini agar Maqasid asy-Syari'ah dalam Islam tercapai. Dengan
20 Jaih Mubarrok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Cet. ke-3, 2003, hlm. 7.
21 Muhammad Daud Ali, op.cit, hlm. 114.
mempertimbangkan masalah maslahat yang lebih besar dari pada madharat.
Ijtihad hukum ini juga berfungsi sebagai upaya prefentif, agar seseorang tidak
mudah dalam menyerang orang lain bahkan sampai menumpahkan darah.
Maqasid jamak dari kata maqsid yang berarti tuntutan, kesengajaan
atau tujuan. Menurut istilah maqasid asy-Syari'ah adalah al-Ma'anni Allati
Syuri'at Laha al ahKam (kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan
hukum). Jadi, Maqasid asy-Syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai
dari suatu penetapan hukum. Kajian terhadap Maqasid asy-Syari'ah itu sangat
penting dalam upaya ijtihad hukum. Karena Maqasid asy-Syari'ah dapat
menjadi landasan penetapan hukum. Pertimbangan ini menjadi suatu
keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemukan ketegasannya dalam
nas.
Peran dominan dari al-Qur’an dan Sunnah tidak berhenti hanya dengan
wafatnya Nabi, walaupun ini berarti berhentinya proses pewahyuan. Namun
karena permasalahan hukum semakin komplek dengan semakin meluasnya
wilayah Islam, umat Islam memerlukan metodologi yang mapan yang dapat
memecahkan permasalahan mereka. Para ahli hukum Islam merespon
kebutuhan ini dengan mengembangkan prosedur Ijma’ dan Qiyas yang
keduanya merupakan sumber sekunder hukum Islam yang esensinya
menekankan kepada pentingnya akal dalam pengambilan keputusan hukum.22
Dalam hukum Islam, pembelaan diri tidak diatur secara jelas mengenai
syarat maupun sanksi jika melakukan pembelaan dengan melampaui batas.
22 Ratno Lukito, Tradisi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2008, hlm. 96.
Tetapi para fuqaha bersandar atas firman Allah SWT: QS. Al Baqarah (2):
194. Menetapkan syarat yang diperbolehkan dalam hokum Islam.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum sebagai
kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai (values) yang berlaku di dalam
masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat.23
Di manapun juga hukum tidak akan dapat mengikuti setiap
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Ini berarti bahwa
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat lebih cepat dari pada
perubahan hukum.24
Hal ini mengakibatkan bahwa hukum selalu ketinggalan
atau dengan perkataan lain, hukum tidak pernah mendahului untuk mengatur
hal-hal yang akan terjadi atau yang belum pernah terjadi, sehingga sangat
memungkinkan untuk terjadinya perubahan.
Klasifikasi kejahatan yang paling penting dan paling banyak dibahas
oleh para ahli hukum Islam adalah hudud, qishash, dan ta‟zir. Kategori
qishash jatuh pada posisi di tengah antara kejahatan hudud dan ta‟zir dalam
hal beratnya. Kejahatan-kejahatan dalam kategori qishash ini kurang serius
dibanding yang pertama (hudud), namun lebih berat daripada yang berikutnya
23 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
1976, hlm. 10.
24 Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia, Jakarta: Gunung Agung,
1980, hlm. 13. Lihat juga CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 8.
(ta‟zir). Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja
atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana
modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Jadi,
pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan
karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka/sakit karena kelalaian,
masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan
yang dilarang keras oleh agama karena akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan membunuh
itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain dan
mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup dan
mati. Maka dalam menentukan sanksi dalam pembelaan terpaksa yang sudah
diatur dalam KUHP dan hukum Islam, harus dilihat seberapa jauh pembelaan
melampaui batas dilakukan, apakah unsur syarat pembelaan terpenuhi. Jika
tidak, maka harus dilihat dampak yang terjadi.
F. Metode Penelitian
Setiap penelitian selalu dihadapkan pada suatu penyelesaian yang
paling akurat, yang menjadi tujuan dari penelitian itu. Untuk mencapai tujuan
penelitian tersebut diperlukan suatu metode. Metode dalam sebuah penelitian
adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data
yang diperlukan.25
Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library
reseach). Sudut pandang yang digunakan bersifat kualitatif dengan pola
deskriptif,26
Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dikaji berbagai
sumber pustaka yang berkenaan dengan pokok permasalahan di atas, yang
lebih jelasnya adalah membahas dan memahami dasar hukum pembelaan
terpaksa yang melampaui batas melalui kajian pustaka.
2. Sumber Data
Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.27
Antara lain:
a. Data Primer
Merupakan karya yang langsung diperoleh dari tangan pertama
(langsung dari sumbernya) yang terkait dengan thema penting ini.
Jadi, merupakan data pokok untuk mengumpulkan data kajian.
25 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. ke-4, 2000,
hlm. 9.
26 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm.105, secara
harfiah penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk membuat pencandraan
mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam cara deskriptif, peneliti tidak perlu mencari
dan menerangkan saling hubungan akumulasi data kasar, mentes hipotesis, membuat ramalan, walaupun hal-hal tersebut dapat juga menjadi cakupan dalam metode deskriptif, dengan kata lain,
laporan penelitian berisi kutipan data untuk memberi gambaran penyajian dengan menganalisis
data tersebut. Lihat dalam Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: Grafindo Persada, Cet.
ke-4, 1995, hlm. 10.
27 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi), Jakarta:
Rineka Cipta, 1997, hlm. 102.
Seperti: Kitab at-Tasyri‟ al-Jinaiy al-Islamy karya Abdul Qadir
Audah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari dokumen resmi, buku yang
berhubungan dengan objek penelitian, skripsi, buku-buku, artikel,
jurnal penelitian, tesis dan peraturan perundang-undangan atau data
yang berasal dari orang kedua artinya data merupakan interpretasi
dari seorang penulis terhadap karya seseorang. Seperti: Asas-Asas
Hukum Pidana Islam oleh Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum
Pidana Indonesia oleh Moeljatno, Hukum Pidana Islam, karya
Ahmad Wardi Muslih dan buku-buku lain yang relevan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data sesuai dengan penelitian ilmiah menggunakan
teknik tertentu. Teknik pengumpulan data dalam kajian ini diistilahkan
dengan instrumen penelitian antara lain dengan cara:
Dokumentasi (Documentation),dilakukan dengan cara pengumpulan
beberapa informasi pengetahuan, fakta dan data. Sebagai bahan tambahan
informasi mengenai Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembelaan terpaksa
melampaui batas dalam tindak pidana pembunuhan yang diperoleh dari
perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, website, publikasi, dan
hasil penelitian.28
Kemudian dari sumber-sumber yang ada, baik primer
28 Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 106
maupun skunder akan diuji kredibilitasnya untuk mendapatkan data yang
benar-benar akurat.
4. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, yaitu dengan mengambil beberapa aturan atau ketentuan yang
ada mengenai delik pembunuhan maupun tentang pembelaan terpaksa
yang bersumber dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
Kemudian menjelaskan teks-teks yang memerlukan penjelasan, terutama
dalam hukum pidana Islam
5. Metode Analisis Data
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencari dan menata secara sistematis
hasil dari data yang sudah terkumpul untuk meningkatkan pemahaman
penulis tentang kasus yang diteliti. Metode analisis ini digunakan untuk
menganalisis data yang berhasil dihimpun, karena kajian ini bersifat
literatur murni, maka analisis yang digunakan adalah analisis isi (content
analisis) dengan pendekatan Induktif yang merupakan pengambilan
kesimpulan dari pernyataan yang bersifat khusus ke pernyataan yang
bersifat umum29
, metode ini penulis gunakan untuk menganalisis pasal 49
ayat 1 dan 2 tentang pembelaan terpaksa yang melebihi batas dan delik
pembunuhan ditinjau dalam hukum Islam.
29 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, Bandung: Remaja Roesda
Karya, 2006, hlm.10
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika pembahasan dalam skripsi ini, dibagi menjadi lima bab,
sebagai berikut ::
BAB I Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Kerangka Teori, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian
dan Sistematika penulisan.
BAB II Memberi gambaran secara sederhana tentang pembunuhan dalam
ruang lingkup hukum pidana Islam dan hukum Positif. Pembahasan ini akan
dimulai dengan pendefisian mengenai delik pembunuhan dilanjutkan dengan
pemaparan tentang pembagian atau ruang lingkup delik pembunuhan juga
dijelaskan mengenai sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana pembunuhan.
BAB III Penulis menguraikan tentang Pembelaan terpaksa melampaui
batas dalam hukum pidana Islam dan hukum positif. Pembahasan ini juga
meliputi Pengertian Pembelaan Melampui Batas dan Batasannya, Macam-
Macam Pembelaan, Syarat Pembelaan, Alasan penghapus hukuman dalam
Pertanggung Jawaban Pidana.
BAB IV Merupakan bab yang berisi kajian Analisis masalah Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak
pidana Pembunuhan.
BAB V merupakan penutup yang terdiri dari; kesimpulan yang merupakan
jawaban atas permasalahan yang ada, serta saran-saran sebagai rekomendasi
untuk kajian lebih lanjut dan lampiran-lampiran.
BAB II
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA
ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan dalam Islam
Pembunuhan secara etimologi, merupakan bentuk masdar , dari fi‟il
madhi yang artinya membunuh. Dalam Bahasa Arab ألقتل berasal dari kata
.yang artinya membunuh يقتل – قتل1 Adapun secara terminologi, sebagaimana
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, pembunuhan didefinisikan sebagai
suatu perbuatan mematikan atau perbuatan seseorang yang dapat
menghancurkan bangunan kemanusiaan.2 Sedangkan menurut Abdul Qadir
„Audah, pembunuhan didefinisikan sebagai suatu tindakan seseorang untuk
menghilangkan nyawa, menghilangkan ruh atau jiwa orang lain.3 Definisi lain
yang dinyatakan oleh Amir Syaifuddin, bahwa yang dimaksud pembunuhan
adalah tindakan menghilangkan nyawa seseorang yang merupakan perbuatan
yang dilarang oleh Allah dan Nabi karena merupakan satu sendi kehidupan.4
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, 1989, hlm.
331. 2 Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al-Fikr, Cet.
ke-3, 1989, hlm. 217.
3 Abdul Qadir „Audah, at-Tasyri‟i al-Jina‟i al-Islami Jilid II, Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi,
t.t., hlm.6, Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa
orang yang mengakibatkan seseorang atau beberapa orang meninggal dunia. Lihat dalam
Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 24.
4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.258.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan termasuk ke dalam jaraim
qihsash (tindakan pidana yang bersanksikan hukum qishash), yaitu tindakan
kejahatan yang membuat jiwa atau bukan jiwa menderita musibah dalam
bentuk hilangnya nyawa, atau terpotong organ tubuhnya.5
Manusia selalu memiliki hak-hak dasar (basic rights) yaitu: hak untuk
hidup tanpa ada perasaan takut dilukai atau dibunuh orang lain, hak
kebebasan, hak untuk memilih agama (kepercayaan) dan lain-lain.6
Membunuh merupakan unsur utama dari unsur-unsur kejahatan, yaitu
mengambil hak hidup. Jadi, dapat disimpulkan pengertian pembunuhan
adalah, "menghilangkan nyawa, dilakukan oleh manusia yang
bertanggungjawab atas perbuatannya". Itulah definisi yang dianggap suatu
kejahatan yang mewajibkan untuk menerapkan sanksi qishash.7
2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua golongan,
yaitu:
5 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet. ke-2, 1990, hlm. 263.
6 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarga Negaraan;
Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, tim penyusun, A. Ubaidilla (et al.), Jakarta: IAIN
Press, 2000, hlm. 207.
7 Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari‟ah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980, hlm. 356. Oleh
karena itu Mahmud Syaltut menjelaskan tidak termasuk kriteria pembunuhan apabila pembunuhan
itu dilakukan bukan pada nyawa manusia, membunuh yang belum jelas hidupnya, menghilangkan
nyawa orang yang pasti hidup, akan tetapi belum tentu hidup, seperti orang yang sedang sekarat
karena pembunuhan sebelumnya, hilang nyawa manusia karena bukan perbuatan manusia sama
sekali (mati sampai ajal), hilangnya nyawa manusia, sebab bukan perbuatan manusia dan tidak ada
campur tangan, membunuh manusia oleh orang yang tidak bisa bertanggung jawab, seperti anak-anak dan orang gila, sampai anak itu dewasa dan orang gila itu sembuh, kemudian menghilangkan
nyawa manusia dengan suatu tindakan yang biasanya tidak membunuh, seperti meremas dengan
jari dan lain-lain. Apabila seseorang membunuh di luar dari kriteria tersebut, maka pelaku
pembunuhan tersebut wajib di kenakan qishash, apabila tidak mendapatkan maaf dari keluarga
korban. Pembunuhan merupakan unsur dari kejahatan yang harus diberikan sanksi agar pelaku
tidak mengulanginya dan hak-hak manusia terlindungi
1. Pembunuhan yang diharamkan; setiap pembunuhan karena ada unsur
permusuhan dan penganiayaan.
2. Pembunuhan yang dibenarkan; setiap pembunuhan yang tidak
dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang
dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman qishash.8
Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa tindak
pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Pembunuhan sengaja (qatl al- „amd)
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan
terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung atau
tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti menggunakan
besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang vital maupun
tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum menjadi bengkak dan
sakit terus menerus sampai mati, atau dengan memotong jari-jari
seseorang sehingga menjadi luka dan membawa pada kematian. Atau
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
menghilangkan nyawa seseorang dengan menggunakan alat yang
dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban merupakan
bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.9
8 Wahbah az-Zuhaili, op.cit , hlm. 220.
9 Zainudin Ali, op. cit, hlm. 24. Adapun Amir Syaifudin mengemukakan bahwa
pembunuhan sengaja “qatl al amd” adalah pembunuhan yang terdapat unsur kesengajaan baik
dalam sasaran ataupun kesengajaan dalam alat yang digunakan. Dalam ajaran Islam, pembunuhan
yang dilakukan dengan sengaja terhadap orang yang dilindungi jiwanya, disamping dianggap
Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini
secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah berfirman
dalam al-Qur‟an :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :
a) Korban adalah orang yang hidup.
b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.
c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.
Dan unsur yang terpenting diantara ketiganya ialah pada unsur yang
ketiga, yaitu adanya niat si pelaku. Hal ini sangat penting karena niat
pelaku itu merupakan syarat utama dalam pembunuhan sengaja.11
Dan
masalah tersebut menjadi perbincangan para ulama karena niat itu terletak
dalam hati, sehingga tidak dapat diketahui. Dengan demikian akan ada
kesulitan dalam membuktikan bahwa seseorang melakukan pembunuhan
itu apakah dengan sengaja atau tidak. Oleh karena itu para fuqaha
sebagai suatu jarimah, juga merupakan dosa paling besar, Lihat dalam Syaifudin, op.cit, hlm.
259 10 QS. Al Isra (17): 33, Anak Nabi Adam yang pertama adalah Qabil. Orang pertama yang
menumpahkan darah yaitu dengan membunuh Habil. Menurut Imam Nawawi”Barang siapa yang
menciptakan keburukan, lalu diikuti oleh orang lain, maka ia turut mendapat dosa pelaku
setelahnya hingga hari Kiamat”
11 H.A. Djazuli, op.cit, hlm. 128-129, ”Setiap perbuatan adalah karena niatnyadan
bagi seseorang adalah apa yang diniatkannya”. Karena itu harus dibedakan antara
melawan hukum (al-ishyan), yang biasa terdapat pada jarimah kesengajaan (amdiyah) dan jarimah al khata’ (al-khata’) dengan kasad (maksud) melawan hukum (qasdul-ishyan) yang hanya terdapat pada jarimah kesengajaaan. Lihat juga dalam Ahmad
hanafi, op. cit, hlm. 159.
mencoba mengatasi kesulitan ini dengan cara melihat alat yang digunakan
dalam pembunuhan itu.12
Sedangkan menurut as-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan
sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf
kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat yang
pada umumnya dapat menyebabkan mati.13
Sedangkan menurut Abdul
Qodir „Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan
nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh, artinya bahwa
seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang itu mempunyai
kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan. Jika seseorang tidak
bermaksud membunuh, semata-mata hanya menyengaja menyiksa, maka
tidak dinamakan dengan pembunuhan sengaja, walaupun pada akhirnya
orang itu mati. Hal ini sama dengan pukulan yang menyebabkan mati
(masuk dalam katagori syibh „amd).14
Menurut Imam syafi‟i dan pendapat
yang kuat dikalangan mazhab Hambali, dianggap sebagai pembunuhan
sengaja, selama ia dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan
menghendaki pila hilangnya nyawa si korban.15
2) Pembunuhan menyerupai sengaja (qatl syibh al-
„amd)
Yaitu menyengaja suatu perbuatan aniaya terhadap orang lain,
dengan alat yang pada umumnya tidak mematikan, seperti memukul
12
Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 10. 13 As-Sayyid Sabiq, op.cit, hlm. 435.
14 Abdul Qadir „Audah, op. cit, Jilid II, hlm.10.
15 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 171.
dengan batu kecil, tangan, pensil, atau tongkat yang ringan, dan antara
pukulan yang satu dengan yang lainnya tidak saling membantu,
pukulannya bukan pada tempat yang vital (mematikan), yang dipukul
bukan anak kecil atau orang yang lemah, cuacanya tidak terlalu
panas/dingin yang dapat mempercepat kematian, sakitnya tidak berat dan
menahun sehingga membawa pada kematian, jika tidak terjadi kematian,
maka tidak dinamakan qatl al-„amd, karena umumnya keadaan seperti itu
dapat mematikan. Atau perbuatan yang sengaja dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain dengan tujuan mendidik,
misalnya: seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki
seorang muridnya, tiba-tiba murid yang dipukul meninggal,
maka perbuatan tersebut dinamakan syibhu al amdi.16
Dalam pembunuhan semi sengaja ini17
, ada 2 (dua) unsur yang
berlainan, yaitu kesengajaan di satu sisi dan kesalahan disisi lain.
Perbuatan si pelaku untuk memukul si korban adalah disengaja, namun
akibat yang dihasilkan dari perbuatan tersebut sama sekali tidak diinginkan
pelaku.
Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi sengaja,
yaitu ;
a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
16 Zainudin Ali, op. cit, hlm. 24. Hal ini sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwa
“Pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang
pada ghalibnya tidak mematikan”, lihat dalam, Jaih Mubarok, op. cit, hlm. 15.
17 Menurut Imam Syafi‟i, jika ia dengan sengaja mengadakan perbuatan dengan tidak
menghendaki hilangnya nyawa korban tapi ternyata hilangnya nyawa tetap terjadi meskipun pada
dasarnya perbuatan tersebut tidak membawa kematian, maka disebut pembunuhan semi sengaja.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian
korban.18
3) Pembunuhan kesalahan (qatl al-khata‟)
Yaitu pembunuhan yang terjadi dengan tanpa adanya maksud
penganiayaan, baik dilihat dari perbuatan maupun orangnya. Misalnya
seseorang melempari pohon atau binatang tetapi mengenai manusia (orang
lain), kemudian mati.19
Menurut Sayid Sabiq, pembunuhan tidak sengaja
adalah ketidaksengajaan dalam kedua unsur, yaitu perbuatan dan akibat
yang ditimbulkannya, dalam pembunuhan tidak sengaja, perbuatan
tersebut tidak diniati dan akibat yang terjadipun sama sekali tidak
dikehendaki.20
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu ;
a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan
kematian korban.21
Dengan adanya pembunuhan, berarti ia telah melakukan pelanggaran
tindak pidana, dan apabila seseorang melakukan tindak pidana, maka ia
akan menerima konsekuensi (akibat) logis atas perbuatannya. Dalam
mengartikan pembunuhan, macam-macam pembunuhan dan lain-lainnya,
18 H.A. Djazuli, op.cit,. hlm. 132. 19 Zainudin Ali, loc. cit.
20 Haliman, Hukum Pidana Syari‟at Islam Menurut Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang,
1972 , hlm. 152-153.
21 H.A. Djazuli, op.cit, hlm. 134-135.
para ulama banyak yang berselisih pendapat. Adapun macam-macam
pembunuhan menurut Ibnu Hazm22
dan Imam Maliki itu hanya terbagi
kedalam dua macam yaitu, pembunuhan sengaja (Qatl 'Amd), yaitu suatu
perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk
menghilangkan nyawanya, dan pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-
Khata'), yaitu pembunuhan yang dilakukan karena kesalahan. Dalam jenis
pembunuhan ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan tanpa maksud
melakukan kejahatan, tetapi mengakibatkan kematian seseorang;
kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error in
Concrito).
2. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat
membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh,
namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja
menembak musuh yang harus ditembak dalam peperangan, tetapi
ternyata kawan sendiri; kesalahan demikian disebut salah dalam
maksud (error in objecto).
22 Ibnu Hazm menolak pembunuhan sengaja salah (Qatl al-Khata'), seperti yang diungkapkan oleh ulama lain, lebih lanjut Ibnu Hazm berpendapat, bahwa pembunuhan sengaja salah adalah
pendapat fasid yang menyalahi Nas al-Qur'an dan sunnah, karena dalam al-Qur'an dan sunnah
sendiri tidak menerangkan sama sekali. Seperti macam pembunuhan yang dianut oleh Mazhab
Hanafi, Hambali dan Syafi'i, yang menambahkan adanya pembunuhan semi sengaja) syibhu al amdi), yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk
membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian. Adapun dalam pembunuhan salah Ibnu Hazm
mengatakan, bahwa pembunuhan tersebut bukan suatu dosa, sebab suatu dosa itu yang dilarang
Allah, sedang kesalahan itu tidak dilarang Allah Karena kesalahan itu di luar kemampuan manusia.
Oleh karena itu, segala kesalahan diampuni Allah dan tidak berdosa bagi orang yang tersalah.
3. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi akibat
kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang terjatuh
dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati.23
Pendapat Ibnu Hazm di atas berdasar atas Firman Allah SWT:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)”24
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya.”25
Dalam ayat diatas Allah tidak menempatkan pembunuhan bagian
ketiga, yang terletak antara pembunuhan sengaja dan pembunuhan tidak
sengaja.
Macam-macam pembunuhan menurut Mahmud Syaltut, pembunuhan
itu hanya terbagi kedalam dua macam yaitu, pembunuhan sengaja
(pembunuhan yang dilakukan karena unsur kesengajaan), dan pembunuhan
salah (Pembunuhan yang dilakukan karena unsur ketidaksengajaan yang
mengakibatkan kematian), adapun mengenai alat pembunuhan tidak dapat
diterapkan dalam pembunuhan karena dalam al-Qur'an dan hadis sahih pun
23 Ibid, hlm.123-124.
24 QS. An Nisa‟(4): 92.
25 QS. An Nisa‟ (4): 93.
tidak menjelaskan alat yang digunakan dalam pembunuhan, akan tetapi hanya
menjelaskan macam-macam pembunuhan saja. Sedangkan mengenai alat
pembunuhan diserahkan kepada ketentuan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat itu sendiri.26
Mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai
tindak pidana pembunuhan yaitu27
:
a. Pembunuhan dengan muhaddad, yaitu seperti alat yang tajam, melukai,
dan menusuk badan yang dapat mencabik-cabik anggota badan.
Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa alat yang digunakan dalam
pembunuhan sengaja haruslah alat yang dapat melukai (Tajam) seperti
pisau, pedang, panah, tombak kayu dan lain-lain yang dapat
menghilangkan nyawa tanpa ada keraguan. Hal ini didasarkan atas
keharusan adanya keyakinan yang nyata bahwa hilangnya nyawa atau
kematian korban adalah suatu yang dikehendaki.
b. Pembunuhan dengan musaqqal, yaitu alat yang tidak tajam, seperti
tongkat dan batu. Mengenai alat ini fuqaha berbeda pendapat apakah
termasuk pembunuhan sengaja yang mewajibkan qishash atau syibh
„amd yang sengaja mewajibkan diat.
c. Pembunuhan secara langsung, yaitu pelaku melakukan suatu perbuatan
yang menyebabkan matinya orang lain secara langsung (tanpa
perantaraan), seperti menyembelih dengan pisau, menembak dengan
pistol, dan lain-lain.
26 Mahmud Syaltut, op. cit, hlm. 359.
27 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet.
ke-2, 1981, hlm. 232.
d. Pembunuhan secara tidak langsung (dengan melakukan sebab-sebab
yang dapat mematikan). Artinya dengan melakukan suatu perbuatan
yang pada hakikatnya (zatnya) tidak mematikan tetapi dapat menjadikan
perantara atau sebab kematian.
Adapun sebab-sebab yang mematikan itu ada tiga macam,28
yaitu :
1) Sebab Hissiy (perasaan/psikis) seperti paksaan untuk membunuh.
2) Sebab Syar‟iy, seperti persaksian palsu yang membuat terdakwa
terbunuh, keputusan hakim untuk membuat seseorang yang
diadilinya dengan kebohongan atau kelicikan (bukan karena
keadilan) untuk menganiaya secara sengaja.
3) Sebab „Urfiy, seperti menyuguhkan makanan beracun terhadap orang
lain yang sedang makan atau menggali sumur dan menutupinya
sehingga ada orang terperosok dan mati.
e. Pembunuhan dengan cara menjatuhkan ke tempat yang membinasakan,
seperti dengan melemparkan atau memasukkan ke kandang srigala,
harimau, ular dan lain sebagainya.
f. Pembunuhan dengan cara menenggelamkan dan membakar.
g. Pembunuhan dengan cara mencekik.
h. Pembunuhan dengan cara meninggalkan atau menahannya tanpa
memberinya makanan dan minuman.
i. Pembunuhan dengan cara menakut-nakuti atau mengintimidasi.
Pembunuhan tidak hanya terjadi dengan suatu perbuatan fisik, karena
28 Ibid, hlm. 233.
terjadi juga melalui perbuatan ma‟nawi yang berpengaruh pada psikis
seseorang, seperti menakut-nakti, mengintimidasi dan lain sebagainya.
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan
Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang
berasal dari kata عقب , yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya,
maksudnya adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya
pelanggaran atas ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap
orang yang melakukan kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik
dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya.29
Maksud adanya hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan
kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah karena
Islam itu sebagai Rahmat-an lil‟alamin,untuk memberi petunjuk dan pelajaran
kepada manusia.
Ada tiga bentuk sanksi pidana pembunuhan sengaja menurut hukum
pidana Islam, yaitu pertama, sanksi asli (pokok), berupa hukuman qishash,
kedua, sanksi pengganti, berupa diat dan ta‟zir, dan ketiga, sanksi
penyerta/tambahan, berupa terhalang memperoleh waris dan wasiat.30
a. Sanksi Asli/Pokok
29 Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992,
hm. 6. Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara
ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan sebagai alat penegak
untuk kepentingan masyarakat, Lihat dalam Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 55. Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah
sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah
tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan
masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat
diperberat begitu pula sebaliknya, Lihat dalam, H.A. Jazuli, op.cit, hlm. 26-27.
30 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, Jilid VI, hlm. 261.
Sanksi pokok bagi pembunuhan sengaja yang telah dinaskan dalam al-
Qur‟an dan al-Hadis adalah qishash. Hukuman ini disepakati oleh para ulama.
Bahkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pelaku pembunuhan sengaja
harus diqishash (tidak boleh diganti dengan harta), kecuali ada kerelaan dari
kedua belah pihak. Ulama Syafi‟iyah menambahkan bahwa di samping
qishash, pelaku pembunuhan juga wajib membayar kifarah.
Qishash diakui keberadaannya oleh al-Qur‟an, as-Sunnah, Ijma‟
ulama, demikian pula akal memandang bahwa disyari‟atkannya qishash
adalah demi keadilan dan kemaslahatan.31
Hal ini ditegaskan al-Qur‟an dalam
sebuah ayat;
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”32
Adapun beberapa syarat yang diperlukan untuk dapat dilaksanakan
qishash33
, yaitu :
a. Syarat-syarat bagi pembunuh
Ada 3 syarat, yaitu :
1. pembunuh adalah orang mukallaf (balig dan berakal), maka
tidaklah diqishash apabila pelakunya adalah anak kecil atau
orang gila, karena perbuatannya tidak dikenai taklif. Begitu
juga dengan orang yang tidur/ayan, karena mereka tidak punya
niat atau maksud yang sah.
31 Ibid, hlm. 264.
32 QS. Al Baqarah (2): 179.
33 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, Jilid VI, hlm. 297.
2. Bahwa pembunuh menyengaja perbuatannya.
3. Pembunuh mempunyai kebebasan bukan dipaksa, artinya jika
membunuhnya karena terpaksa, maka menurut Hanafiyah tidak
diqishash, tetapi menurut Jumhur tetap diqishash walaupun
dipaksa.
b. Syarat-syarat bagi yang terbunuh (korban)
Juga ada 3, yaitu :
1. Korban adalah orang yang dilindungi darahnya. Adapun orang
yang dipandang tidak dilindungi darahnya adalah kafir harbi,
murtad, pezina muhsan, dan pemberontak, jika orang muslim
atau zimmy membunuh mereka, maka hukum qishash tidak
berlaku.
2. Bahwa korban bukan anak/cucu pembunuh (tidak ada
hubungan bapak dan anak), tidak diqishash ayah/ibu,
kakek/nenek yang membunuh anak/cucunya sampai derajat ke
bawah
3. Korban derajatnya sama dengan pembunuh dalam islam dan
kemerdekaanya, pernyataan ini dikemukakan oleh Jumhur
(selain Hanafiyah). Dengan ketentuan ini, maka tidak diqishash
seorang Islam yang membunuh orang kafir, orang merdeka
yang membunuh budak dll.
c. Syarat-syarat bagi perbuatannya
Hanafiyah mensyaratkan, untuk dapat dikenakan qishash,
tindak pidana pembunuhan yang dimaksud harus tindak pidana
langsung, bukan karena sebab tertentu. Jika tidak langsung maka hanya
dikenakan hukuman membayar diat. Sedangkan Jumhur tidak
mensyaratkan itu, baik pembunuhan langsung atau karena sebab,
pelakunya wajib dikenai qishash, karena keduanya berakibat sama.34
d. Syarat-syarat bagi wali korban
Menurut Hanafiyah, wali korban yang berhak untuk
mengqishash haruslah orang yang diketahui identitasnya. Jika tidak,
maka tidak wajib diqisas. Karena tujuan dari diwajibkannya qishash
adalah pengukuhan dari pemenuhan hak. Sedangkan pembunuhan hak
dari orang yang tidak diketahui identitasnya akan mengalami kesulitan
dalam pelaksanaannya.
Qishash wajib dikenakan bagi setiap pembunuh, kecuali jika
dimaafkan oleh wali korban. Para ulama mazhab sepakat bahwa sanksi yang
wajib bagi pelaku pembunuhan sengaja adalah qishash.35
Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” 36
34Abdul Qodir „Audah, op.cit, hlm.132.
35 Wahbah az-Zuhaili, op.cit, hlm. 276.
36 QS. Al Baqarah (2): 178.
Hanabilah berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku pembunuhan
tidak hanya qishash, tetapi wali korban mempunyai dua pilihan, yaitu; mereka
menghendaki qishash, maka dilaksanakan hukum qishash, tapi jika
menginginkan diat, maka wajiblah pelaku membayar diat.
Hukum qishash menjadi gugur dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a. Matinya pelaku kejahatan
Kalau orang yang akan menjalani qishash telah mati terlebih
dahulu, maka gugurlah qishash atasnya, karena jiwa pelakulah yang
menjadi sasarannya. Pada saat itu diwajibkan ialah membayar diat
yang diambil dari harta peninggalannya, lalu diberikan kepada wali
korban si terbunuh. Pendapat ini mazhab Imam Ahmad serta salah satu
pendapat Imam asy-Syafi‟i. Sedangkan menurut Imam Malik dan
Hanafiyah tidak wajib diat, sebab hak dari mereka (para wali) adalah
jiwa, sedangkan hak tersebut telah tiada. Dengan demikian tidak ada
alasan bagi para wali menuntut diat dari harta peninggalan si
pembunuh yang kini telah menjadi milik para ahli warisnya.
b. Adanya ampunan dari seluruh atau sebagian wali korban dengan syarat
pemberi maaf itu sudah balig dan tamyiz.
c. Telah terjadi sulh (rekonsiliasi) antara pembunuh dengan wali korban
d. Adanya penuntutan qishash
b. Sanksi Pengganti
1) Diat
Diat dikhususkan sebagai pengganti jiwa atau yang semakna
dengannya; artinya pembayaran diat itu terjadi karena berkenaan dengan
kejahatan terhadap jiwa/nyawa seseorang. Sedangkan diat untuk anggota
badan disebut „Irsy.37
Dalil disyari‟atkannya diat adalah:
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja) dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat.”38
Pada mulanya pembayaran diat menggunakan unta, tapi jika unta sulit
ditemukan maka pembayarannya dapat menggunakan barang lainnya, seperti
emas, perak, uang, baju dan lain-lain yang kadar nilainya disesuaikan dengan
unta.
Menurut kesepakatan ulama, yang wajib adalah 100 ekor unta bagi
pemilik unta, 200 ekor sapi bagi pemilik sapi, 2.000 ekor domba bagi pemilik
domba, 1.000 dinar bagi pemilik emas, 12.000 dirham bagi pemilik perak dan
200 setel pakaian untuk pemilik pakaian.39
Sedangkan diat itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu diat mugallazah
dan diat mukhaffafah. Adapun diat mugallazah menurut jumhur dibebankan
kepada pelaku pembunuhan sengaja dan menyerupai pembunuhan sengaja.
37 Abdul Qodir „Audah, op. cit, hlm. 298.
38 QS. An Nisa‟ (4): 92.
39As-Sayyid Sabiq, op. cit, 552-553.
Sedangkan menurut Malikiyah, dibebankan kepada pelaku pembunuhan
sengaja apabila waliyuddam menerimanya dan kepada bapak yang membunuh
anaknya.40
Jumlah diat mugallazah apabila dirinci dari 100 ekor unta tersebut adalah
sebagai berikut :
a. 30 ekor unta hiqqah (unta berumur 4 tahun)
b. 30 ekor unta jad‟ah (unta berumur 5 tahun)
c. 40 ekor unta khalifah (unta yang sedang mengandung)
Adapun diat mukhaffafah itu dibebankan kepada „aqilah
(wali/keluarga pembunuh) pelaku pembunuhan kesalahan dan dibayarkan
dengan diangsur selama kurun waktu tiga tahun, dengan jumlah diat 100 ekor
unta, yaitu :
a. 20 ekor unta bintu ma‟khad (unta betina berumur 2 tahun)
b. 20 ekor unta ibnu ma‟khad (unta jantan berumur 2 tahun)
c. 20 ekor bintu labin (unta betina berumur 3 tahun)
d. 20 ekor unta hiqqah dan,
e. 20 ekor unta jad‟ah.
Jadi diat pembunuhan sengaja adalah diat mugallazah yang
dikhususkan pembayarannya oleh pelaku pembunuhan, dan dibayarkan secara
kontan. Sedangkan diat pembunuhan syibh „amd adalah diat yang
pembayarannya tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kepada „aqilah, dan
dibayarkan secara berangsur-angsur selama tiga tahun.
40 Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 304.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diat pembunuhan sengaja harus
dibayar kontan dengan hartanya karena diat merupakan pengganti qishash.
Jika qishash dilakukan sekaligus maka diat penggantinya juga harus secara
kontan dan pemberian tempo pembayaran merupakan suatu keringanan,
padahal „amid41
pantas dan harus diperberat dengan bukti diwajibkannya
„amid membayar diat dengan hartanya sendiri bukan dari „aqilah, karena
keringanan (pemberian tempo) itu hanya berlaku bagi „aqilah.42
Para ulama sepakat bahwa diyat pembunuhan sengaja dibebankan pada
para pembunuh dengan hartanya sendiri. „Aqilah tidak menanggungnya karena
setiap manusia dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya dan tidak
dapat dibebankan kepada orang lain.
Hal ini berdasarkan firman Allah swt.
“tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”43
2) Ta’zir
Hukuman ini dijatuhkan apabila korban mamaafkan pembunuh secara
mutlak. Artinya seorang hakim dalam pengadilan berhak untuk memutuskan
pemberian sanksi bagi terdakwa untuk kemaslahatan. Karena qishash itu di
samping haknya korban, ia juga merupakan haknya Allah, dan hak masyarakat
41 Yaitu orang yang melakukan pembunuhan sengaja
42 Wahbah az-Zuhaili, op. cit, hlm. 307.
43 QS. At Tur (52): 21.
secara umum. Adapun bentuk ta‟zirannya sesuai dengan kebijaksananaan
hakim.
c. Sanksi Penyerta/Tambahan
Sanksi ini berupa terhalangnya para pembunuh untuk mendapatkan
waris dan wasiat. Ketetapan ini dimaksudkan untuk sadd az-zara‟i; agar
seseorang tidak tamak terhadap harta pewaris sehingga menyegerakannya
dengan cara membunuh, selain itu ada juga hukuman lain yaitu membayar
kifarah, sebagai pertanda bahwa ia telah bertaubat kepada Allah. Kifarah
tersebut berupa memerdekakan seorang hamba sahaya yang mu‟min. Jika
tidak bisa, maka diwajibkan puasa selama dua bulan berturut-turut. Hal ini
dinyatakan dalam firman Allah swt.,
“Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang
beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat
dari pada Allah”44
Adapun hukuman yang dikenakan untuk masing-masing pembunuhan
sebagaimana yang telah ditetapkan ;
1) Pembunuhan Sengaja
Dalam hukum Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja
adalah qishash, yaitu dibunuh kembali. Hal ini berdasarkan firman Allah:
44 QS. An Nisa‟(4): 92.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”45
Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti,
yaitu apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini, qishash
pun tidak dapat dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diat.46
Diat pun jika seandainya dima‟afkan dapat dihapuskan dan sebagai
penggantinya, hakim menjatuhkan hukuman ta‟zir. Jadi, qishash sebagai
hukuman pokok mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diat dan ta‟zir.
2) Pembunuhan tidak sengaja
Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau pembunuhan
kesalahan adalah diat ringan dan kaffarah. Hukuman penggantinya adalah
puasa dan ta‟zir dan hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan
hak mendapat warisan.47
3) Pebunuhan semi sengaja
Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diyat dan kaffarat,
sedang hukuman penggantinya adalah puasa dan ta‟zir dan hukuman
tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan dan wasiat. Hukuman
qishash gugur kecuali dengan penyebab yang jelas. Karena secara realitas,
45 QS. al-Baqarah (2): 178.
46 Diat yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta atau 200 ekor sapi
atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan
kepada pihak keluarga korban, jika keluarga memaafkan maka harus ditentukan apakah dengan syarat atau tanpa syarat, lihat dalam Zainudin Ali, hlm. 35. dan Muhammad Amin Suma, dkk, hlm.
95
47
Pelaku pembunuhan tidak sengaja, pihak keluarga diberika pilihan yaitu antara membayar
diat, membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin), atau jika tidak mampu maka pelaku
pembunuhan diberi hukuman moral yaitu berpuasa selama dua bulan berurut-urut, lihat dalam
Zainudin Ali, op. cit, hlm. 35.
pelaku sengaja memukul tetapi tidak sengaja membunuh sehingga diwajibkan
untuk membayar diat mugalladzah.48
B. Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP
1. Pengertian dan macam-macam pembunuhan
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh, perbuatan
membunuh.49
Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah
kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain.50
Dari definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap
sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya
dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh
Undang-undang.
Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang
terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.
2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain ini
dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Kesengajaan (dolus)
adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu
atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa itu adalah
adanya ”niat” yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai
48 As-Sayyid Sabiq, op. cit, hlm.400, atau membayar denda berupa unta yang sudah dewasa.
Lihat juga dalam Muhammad Amin Suma, dkk, op. cit, hlm. 95
49 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-5,
1982, hlm. 169.
50 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986, hlm. 1.
selesai. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat
dibedakan menjadi:
1). Pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja.
a) Pembunuhan Biasa
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan
tindak pidana dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm),
yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-
unsurnya.51
Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah:
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam,
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan:
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan
rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa
pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama
lima belas tahun. Di sini disebutkan “paling lama” jadi tidak menutup
kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas
tahun penjara.52
Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam
pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :
51 Ibid, hlm. 17.
52 Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung
dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 209-210. Lihat juga dalam
Muhahammad Amin Suma, op. cit, hlm.144-145
a. Unsur subyektif : perbuatan dengan sengaja
“Dengan sengaja” (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja
dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja
(opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang
telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud
sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk
menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih
dahulu (Met voorbedachte rade).53
b. Unsur obyektif : perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain.
Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :
“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku
harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan
tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk
menghilangkan nyawa orang lain.
Berkenaan dengan “nyawa orang lain” maksudnya adalah nyawa orang
lain dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak
menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu
sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal
ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi
yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang
53 P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 30-31.
mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan
pelaku.54
Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa
sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang
bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggung
jawabkan.55
b) Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag)
Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan
dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika
tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya
daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan
melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.”
Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai,
atau didahului oleh kejahatan”.
Kata “diikuti” (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan
itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.
Misalnya : Seorang yang sakit hati ingin melakukan pembunuhan terhadap
Bupati; tetapi karena Bupati dikawal oleh seorang bodyguard/
pengawal, maka orang yang sakit hati tadi lebih dahulu
menembak pengawalnya, baru kemudian membunuh Bupati.
54 Ibid, hlm. 35.
55 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. ke-2, 1986, hlm. 122.
Kata “disertai” (vergezeld) dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan
itu dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.
Misalnya : Seorang pencuri ingin melakukan kejahatan dengan cara
membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut ada penjaganya,
maka pencuri tersebut lebih dahulu membunuh penjaganya.
Kata “didahului” (voorafgegaan) dimaksudkan didahului kejahatan lainnya
atau menjamin agar pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang
yang diperoleh dari kejahatan.
Misalnya : Seorang perampok melarikan barang yang dirampok. Untuk
menyelamatkan barang yang dirampok tersebut, maka perampok
tersebut menembak polisi yang mengejarnya.56
Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang
memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut :
a. Unsur subyektif : 1) dengan sengaja
2) dengan maksud
b. Unsur obyektif : 1) menghilangkan nyawa orang lain
2) diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana
lain
3) untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari
tindak pidana yang akan, sedang atau telah
dilakukan
56 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: Sinar
Grafika, 1991, hlm. 30. Lihat juga dalam Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm.152-153
4) untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri
atau lainnya (peserta) dalam tindak pidana yang
bersangkutan
5) untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda
yang telah diperoleh secara melawan hukum, dalam
ia/ mereka kepergok pada waktu melaksanakan
tindak pidana.57
Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai
maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan itu
(unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti dirumuskan
dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah terwujud/selesai,
tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum dan harus dibuktikan
di depan sidang pengadilan.
Sedang unsur obyektif yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan
Pasal 339 KUHP, maka termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis
tindak pidana yang (oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-
pelanggaran dan bukan semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang
diklasifikasikan dalam kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan
“lain-lain peserta” adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56
KUHP, yakni mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doenpleger), yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak
57 P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 37.
pidana yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta
melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).58
Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan
pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak
pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari pembunuhan
biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-lamanya dua puluh
tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka dapat
memperingan atau bahkan menghilangkan hukuman.
Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP merupakan suatu bentuk
khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam pembunuhan yang diperberat ini
terdapat 2 (dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu pembunuhan biasa dan
tindak pidana lain. Dalam Pasal 339 KUHP ini, ancaman pidananya adalah
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun. Sanksi pidana pada pembunuhan ini termasuk relatif berat
dibandingkan dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP,
karena dalam perbuatan ini terdapat dua delik sekaligus.
c) Pembunuhan Berencana (Moord)
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang menyebutkan
sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
58 Ibid, hlm. 36. Lihat juga Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan
Tindak Pidana, Bandung: Armico, 1985, hlm. 9.
hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.”
Dari rumusan tersebut, maka unsur-unsur pembunuhan berencana adalah
sebagai berikut :
a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih
dahulu
b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.59
Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan
sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka
ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada
pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan
pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana
sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya,
yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih
dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.
d) Pembunuhan yang Dilakukan dengan Permintaan yang Sangat dan
Tegas oleh Korban Sendiri.
Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang
tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh /nyata (ernstig).60
Tidak cukup
59 P.A.F. Lamintang, op. cit, hlm. 44.
hanya dengan persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan
Pasal 344 KUHP:
“barangsiapa yang merampas jiwa orang lain atas permintaan
yang sangat tegas dan sungguh-sungguh, orang itu dipidana dengan penjara
paling tinggi dua belas tahun ”
2) Pembunuhan tidak sengaja.
Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk
kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur
dalam Pasal 359 KUHP, yang rumusannya sebagai berikut :
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun.”
Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini ada dua
macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu
tahun.
Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap
seseorang yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini dapat
berupa perbuatan pasif maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya
penjaga palang pintu kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang
melintas dia tidak menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabraknya
mobil yang sedang melintas. Bentuk kealpaan penjaga palang pintu ini berupa
perbuatan yang pasif karena tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh
perbuatan yang aktif misalnya seseorang yang sedang menebang pohon
60 Muhammad Amin Suma, op. cit, hlm. 153
ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang itu karena tertimpa
pohon. Bentuk kealpaan dari penebang pohon berupa perbuatan yang aktif. 61
3. Sanksi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Positif
Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prilaku
menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang dari
aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan
sosial yang bersangkutan.62
Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah
dengan sanksi pidana.
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tujuan
sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu
sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan
dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.63
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan
bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana
terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen).
1) Hukuman mati.
2) Hukuman penjara.
61 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
62 Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan Bintang,
Cet. ke-1, 1977, hlm. 35.
63 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya Paramita, Cet.
ke-1 1989, hlm. 16.
3) Hukuman kurungan.
4) Hukuman denda.
5) Pidana tutupan (berdasarkan Undang-undang RI No. 20 Tahun
1946 Berita Negara RI tahun kedua No. 24 tanggal 1 dan 15
November 1946)
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
1) Pencabutan beberapa hak tertentu.
2) Perampasan barang-barang tertentu.
3) Pengumuman putusan Hakim.
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan tersebut
sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka
kesederhanaanya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang kelihatannya
sederhana dalam pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas
hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan
hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal
inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para
ahli hukum.
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab
XIX buku II adalah sebagai berikut :
a. Pembunuhan biasa, diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun
b. Pembunuhan dengan pemberatan, diancam dengan hukuman penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
c. Pembunuhan berencana, diancam dengan hukuman mati atau penjara
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun
d. Pembunuhan bayi oleh ibunya, diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun
e. Pembunuhan bayi oleh ibunya secara berencana, diancam dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun
f. Pembunuhan atas permintaan sendiri, bagi orang yang membunuh
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun
g. Penganjuran agar bunuh diri, jika benar-benar orangnya membunuh
diri pelaku penganjuran diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya empat tahun
h. Pengguguran kandungan
1. Pengguguran kandungan oleh si ibu, diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun
2. Pengguguran kandungan oleh orang lain tanpa izin perempuan yang
mengandung, diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya :
(1) dua belas tahun
(2) lima belas tahun, jika perempuan itu mati
3. Pengguguran kandungan dengan izin perempuan yang
mengandungnya, diancam dengan hukuman penjara selama-
lamanya :
(1) lima tahun enam bulan dan (2) tujuh tahun, jika perempuan itu mati
BAB III
PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM DAN KUHP
A. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian dif‟a asy-syar‟i (pembelaan syar‟i khusus) atau daf‟u as-sail
(menolak penyerang atau pembelaan diri)
Menurut istilah yang dinamakan daf‟u as-sail (menolak penyerang/
pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau jiwa
orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau harta orang
lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan penyerangan yang
tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib maupun hak bertujuan
untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman atas serangan tersebut sebab
pembelaan tersebut tidak membuat penjatuhan hukuman atas penyerang
menjadi tertolak.1 Dasar pembelaan diri dan menolak penyerangan,
berdasarkan firman Allah SWT
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.” 2
b. Hukum pembelaan diri
1 Abdul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 138
2 QS. Al Baqarah (2): 194
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah
suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain
dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas
hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi, konsekuensinya
apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang boleh memilih
antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa dalam memilih
salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka seseorang tidak
memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalknnya.3
Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan jiwa
atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat bahwa
hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak memperkosa
seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan kehormatannya tidak
ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan tersebut wajib
membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan. Untuk membela jiwa
para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya. Menurut mazhab Hanafi
dan pendapat yang rajih dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i membela
jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut pendapat yang marjuh(lemah) di
dalam mazhab Maliki dan mazhab Syafi‟i serta pendapat yang rajih (kuat) di
dalam mazhab Hanbali membela jiwa hukumnya jaiz (boleh) bukan wajib.4
3 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 211.
4 Misalnya, jika ada seorang laki-laki hendak memperkosa wanita, sedang seorang wanita tidak sanggup menolaknya (membela diri) kecuali dengan jalan membunuh, wanita tersebut wajib
membunuhnya jika dia sanggup. Demikian pula jika seorang lelaki (A) yang melihat lelaki lain (B)
hendak menzinahi wanita, tetapi dia tidak sanggup mencegah perzinahan yang menimpa wanita itu
kecuali dengan membunuh si B, maka si A wajib membunuh jika dia sanggup. Wajib adalah suatu
hal dimana orang yang meninggalkannya akan tercela secara syara‟. Lihat dalam Abul Qadir
„Audah, op.cit, hlm. 88.
c. Serangan anak-anak orang gila dan hewan
Imam Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa
jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan maka harus
membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk membela diri
dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak bertanggungjawab
baik secara pidana maupun perdata sebab korban hanya menunaikan
kewajibannya untuk menolak serangan terhadap jiwanya.5 Imam Abu Hanifah
serta muridnya kecuali Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang
harus bertanggung jawab secara perdata yaitu dengan membayar diat atas
anak-anak, orang gila dan harga binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya
adalah karena pembelaan diri dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal
perbuatan anak-anak, orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindak
pidana karena binatang tidak berakal.
Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang diserang hanya
bertanggungjawab atas harga hewan karena perbuatan anak kecil dan orang
gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun penjatuhan hukuman atas
keduanya dihapuskan karena keduanya tidak memiliki pengetahuan
(kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini, dapat dikatakan bahwa
menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah dalam keadaan membela
diri sedangkan menolak serangan hewan merupakan keadaan darurat yang
memaksa.6 Alasan ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri
5 Marsum, Jinayat (HPI), Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, Cet. ke-2, 1989, hlm.
168.
6Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 141, dharurat adalah situasi yang dikhawatirkan dapat
menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain, pengertian tersebut mengarah
dalam segala keadaan bahwa manusia berkewajiban untuk membela dirinya
dan orang lain dari segala serangan terhadap jiwa. Termasuk hak dan
kewajiban manusia untuk menjaga harta pribadinya dan harta orang lain dari
semua serangan yang ditujukan terhadap harta, baik bersifat pidana maupun
bukan.7
d. Syarat-syarat pembelaan
1) Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan yang
melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan yang melawan
hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh dilakukan. Jadi,
pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik oleh individu maupun
penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan oleh syara‟ tidak disebut sebagai
serangan, seperti pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai
tindakan pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan hukuman
potong tangan terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad penyerangan
tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam dengan hukuman,
tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar). Demikian pula
kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya serangan orang gila
dan anak kecil dapat dilawan.
kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifz al-nafs). Wahbah Zuhaili menilai pengertian-pengertian tersebut kurang lengkap, karena dharurat mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang
haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka ia menambahkan selain memelihara jiwa, dharurat
juga memelihara akal, kehormatan dan memelihara harta. Lihat dalam Wahbah al-Zuhaily,
Nazariyyah al-darurah al Syar‟iyah ma‟a al Qanun al-Wad‟i, Damaskus: Muassasah al Risalah,
1995, hlm. 65.
7 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 213
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang yang
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan (serangan)
bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya perbuatan
yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka orang yang
diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda
dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu
harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.8
Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang, bukan yang
menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan pembelaan dirinya,
kemudian orang yang pada mulanya sebagai penyerang mengadakan
pembelaan diri juga, karena balasan serangan dari orang yang diserang semula
sudah melampaui batas maka tindakan itu dapat dibenarkan.9
2) Penyerangan harus terjadi seketika
Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang
baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan dengan
hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila benar-benar telah terjadi
serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih
ditunda seperti ancaman dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan
pembelaan. Tetapi jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka
8 Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 479-480.
9 A. Wardi Mushlich, op. cit, hlm. 90.
penolakannya harus dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung
atau melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.10
3) Tidak ada jalan lain untuk mengelakkan serangan
Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara
tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak serangan
dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan senjata tajam untuk
melukai atau bahkan senjata api yang dapat membunuh orang yang
menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah dilakukan padahal tidak
diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap sebagai serangan dan termasuk
jarimah.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk
menghindari serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa
digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu
dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut sebagian
fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk membela diri.11
4) Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya12
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu
bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan demikian,
orang yang diserang selamanya harus memakai cara pembelaan yang seringan
10 Ibid, hlm. 91.
11 Marsum, op.cit, hlm. 168-169.
12
Ukuran kekuatan seperlunya memang relatif, dan itu didasarkan atas dugaan orang yang
diserang disesuaikan dengan perkiraan yang benar-benar terjadi atau dengan perbuatan yang
diniatkan oleh orang yang melakukan perbuatan. Jika penyerang tidak menggunakan senjata maka
untuk penolakannya tidak perlu memakai senjata. Apabila orang yang diserang menggunakan
kekuatan yang melebihi batas yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas kelebihan
perbuatanya itu. Lihat dalam A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 91
mungkin, dan selama hal itu masih bisa dilakukan maka tidak boleh dilakukan
cara yang lebih berat.
Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang sangat
erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam perampasan harta,
pembelaan belum berarti selesai dengan larinya penyerang yang membawa
harta rampasannya. Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya
mencari dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang
dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan,
bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.
e. Melewati batas ukuran pembelaan diri (yang dibolehkan)
Jika seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas
tindakannya itu. Contoh:
1. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun
orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus
bertanggungjawab atas pemukulan tersebut.
2. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang
diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab atas
pelukaan itu.
3. Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang
itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.
4. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar
lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
5. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang
diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka
harus bertanggungjawab atas tindakannya itu13
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan) dan
tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan mengenai
orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah lagi melainkan
kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya, apabila seseorang
bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah karena mengenai orang
lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya, si pembela diri harus
bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun
bermaksud dengan sengaja melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan
dengan berburu binatang tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu
itu adalah perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap
bertanggungjawab atas penembakan tersalah yang mengenai manusia
tersebut.14
2. Pembelaan umum (Amar Ma‟ruf Nahi Munkar)
Pembelaan umum artinya pembelaan untuk kepentingan umum atau
menganjurkan untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
syara‟ dan mencegah apa yang seharusnya ditinggalkan.15
a. Dasar hukum pembelaan umum
13 Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 151
14 Ibid, hlm. 152
15 Marsum, op. cit, hlm. 169
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah”.16
Para fuqaha berpendapat bahwa pembelaan umum atau amar ma‟ruf
nahi munkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Pembelaan umum diadakan dengan tujuan agar masyarakat berdiri diatas
kebajikan dan pada individu-individu yang ada di masyarakat ditumbuhkan
sifat keutamaan sehingga dengan demikian kapasitas jarimah dan
penyelewengan akan menjadi berkurang. Akan tetapi, para fuqaha masih
berbeda pendapat tentang ketentuan atau batas wajib tersebut dalam 2 hal
yaitu sifat dari kewajiban tersebut, apakah wajib ain atua wajib kifayah dan
tentang orang yang terkena kewajiban tersebut.
Menurut sebagian fuqaha adalah wajib ain yang dikenakan kepada
setiap muslim, bahkan menurut mereka kewajiban tersebut lebih kuat dari
pada kewajiban haji, karena untuk kewajiban haji disyaratkan adanya
kesanggupan (istitha‟ah), sedangkan untuk pembelaan umum tidak
disyaratkan kesanggupan.17
Para fuqaha Yang berpendapat bahwa hukum
pembelaan umum hukumnya wajib kifayah berdasarkan atas firman Allah
SWT
16 QS. Al Imran (3): 110
17 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.219-230
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”18
Jihad atau berperang diwajibkan atas setiap orang tetapi kewajiban
menjadi tehapus jika sudah ada orang lain yang menjalankannya. Dalam ayat
tersebut terdapat kalimat (waltakum minkum) yang artinya adalah hendaklah
ada diantara kamu, konotasinya adalah tidak menunjukan keseluruhan umat.19
Tentang orang yang diwajibkan melakukan pembelaan umum,
menurut sebagian fuqaha adalah setiap orang. Tetapi menurut fuqaha lainnya
yaitu hanya orang yang mempunyai kesanggupan seperti: pemuka agama atau
ulama‟, dengan alasan dikhawatirkan jika dibebankan kepada setiap orang,
sedangkan orang tersebut tidak mengetahui tentang hukum Islam maka bisa
terjadi keadaan sebaliknya yaitu melarang kebaikan dan memerintahkan
keonaran.
b. Sumber dan hukum tindakan pembelaan umum
Ma‟ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang perlu
diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip umum syari‟at
Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir dan miskin dan
18 QS. Al Imran (3): 104
19 Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 494, lihat juga dalam Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 220 dan
A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 95.
sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang terjadinya menurut
syari‟at Islam.20
Menyuruh kebaikan (amar ma‟ruf) bisa berupa perkataan seperti
ajakan untuk membeantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan seperti
pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga gabungan antara
perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk mengeluarkan zakat sekaligus
mengeluarkannya. Sedangkan melarang kemungkaran (nahi munkar) bisa
berupa perkataan seperti melarang orang lain minum minuman keras. Dengan
demikian, menyuruh kebaikan adalah menganjurakan untuk mengerjakan atau
mengucpkan apa yang seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah
membujuk orang lain agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.21
c. Syarat-syarat pembelaan umum
Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam pelaksanaanya
diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan orang yang
melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan tabiat (sifat)
kewajiban dan ada pula yang berkaitan denagn prinsip dasar syariat.
1) Dewasa dan berakal sehat (mukalaf)
2) Beriman
3) Adanya kesanggupan
4) Adil
5) Izin (persetujuan)22
20 Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa‟id Fiqhiyyah,
Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 252-253.
21 A. Wardi Muslich, op.cit, hlm. 95
22 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 220-221
d. Syarat melarang keburukan
Untuk melaksanakan amar ma‟ruf tidak diperlukan syarat khusus,
karena amar ma‟ruf berupa nasihat, petunjuk dan pengajaran. Jadi, bisa
dilakukan setiap saat dan kesempatan. Adapaun untuk mencegah
kemungkaran maka diperlukan syarat tertentu, yaitu:
1) Adanya perbuatan buruk atau munkar
2) Keburukan atau kemunkaran terjadi seketika
3) Kemunkaran itu diketahui dengan jelas
Dalam firman Allah SWT dijelaskan;
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Pemberantasan kemungkaran harus dengan cara seringan mungkin.23
e. Cara memberantas kemungkaran
Apabila seseorang melakukan keburukan (kemungkaran) sedang ia
tidak tahu perbuatannya adalah keburukan, cara yang baik untuk mencegahnya
adalah dengan meberi penjelasan dengan sikap yang halus dan lemah lembut
bahwa perbuataanya itu adalah suatu perbuatan yang buruk.
1) Penjelasan
Jika seseorang melakukan suatu perbuatan mungkar tetapi dia tidak tahu
bahwa perbuatannya adalah keburukan, maka cara yang baik untuk
23 QS. Al Hujurat (49): 12
mencegahnya adalah memberi penjelasan kepadanya bahwa
perbuatannya adalah suatu perbuatan mungkar
2) Memberi nasihat dan petunjuk
Ditunjukan kepada orang yang memulai suatu perbuatan dan
menyadarinya bahwa perbuatan itu adalah perbuatan munkar. Jika
dengan nasihat dan petunjuk bisa diduga pelaku perbuatan tersebut akan
meninggalkan kemungkaran tersebut.
3) Menggunakan kekerasan
a. Hanya dalam keadaan darurat dan orang yang melakukan
perbuatan tidak dapat diatasi dengan cara halus
b. Orang yang menggunakan kekerasan tidak boleh mengeluarkan
kata-kata yang kasar, melainkan dengan kata-kata yang baik, benar,
sopan serta sesuai dengan kebutuhan24
4) Mengadakan tindakan dengan tangan
Cara ini hanya berlaku pada perbuatan maksiat yang menurut tabiatnya
dapat mengalami perubahan materiil dan tiak berlaku pada maksiat yang
berkaitan dengan lisan dan hati.
Ada 2 syarat yang diperlukan:
a. Orang yang melakukan pemberantasan tidak perlu menggunakan
tangannya sendiri, selama pelaku dapat dan bersedia mengubahnya
sendiri
b. Tindakan dengan tangan harus disesuaikan dengan kadarnya.25
24 Abul Qadir „Audah, op. cit, hlm. 506.
5) Menggunakan ancaman pemukulan dan pembunuhan
Cara ini baru tahap ancaman, bukan tindakan. Ancman tersebut harus
merupakan ancaman yang bisa diwujudkan, bukan ancaman yang tidak
boleh diwujudkan. Misalnya,nanti kamu saya dera atau saya pukuli
dengan perkataan yang lebih keras.
6) Menggunakan pemukulan dan pembunuhan
Cara ini beleh dilakukan dalam keadaan darurat dan digunakan secara
bertahap sesuai dengan keperluan. Pembunuhan hanya boleh digunakan
apabila sudah tidak ada jalan lain lagi untuk memberantas perbuatan
maksiat yang terjadi.
7) Minta bantuan orang lain
Apabila dengan dirinya sendiri seseorang tidak mampu untuk
memberantas kemungkaran dan memerlukan bantuan orang lain dengan
kekuatan dan senjatanya maka para fuqaha berbeda pendapat. Sebagian
fuqaha berpendapat meminta bantuan orang lain untuk memberantas
kemungkaran tidak diperbolehkan karan cara tersebut dikhawatirkan
bertambah luasnya keributan dan ketidaktentraman sebab orang yang
diberantas juga akan mendatangkan temannya sehingga dapat
menimbulkan peperangan. Perorangan boleh menggunakan cara ini jika
mendapat izin dari penguasa.
Menurut sebagian fuqaha lainnya, cara tersebut boleh digunakan tanpa
memerlukan izin dari penguasa sebab cara tersebut pada hakikatnya sama
25 A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 98-100
dengan cara lain yang menimbulkan kemungkinan terjadinya keributan yang
lebih luas. Ketujuh cara tersebut dapat digunakan terhadap siapa saja, kecuali
terhadap orang tua, suami dan pihak penguasa. Dalam firman Allah SWT.26
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.”27
B. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut KUHP
1. Pembelaan Terpaksa (noodweer)
a. Pengertian Pembelaan Terpaksa
Dari segi bahasa, noodweer terdiri dari kata “nood”dan “weer”.
“Nood” yang artinya (keadaan) darurat.”Darurat” berarti:
1) Dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka yang
memerlukan penanggulangan segera
2) Dalam keadaan terpaksa
“Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela, menolong,
melepaskan dari bahaya28
Jika digabungakan kedua kata tersebut maka dapat
diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau menolong
26 Ibid, hlm. 101
27 QS. Al Isra‟ (17): 23
28 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Balai Pustaka,
1989, hlm. 156.
dalam keadaan sukar (sulit).29
Noodweer adalah pembelaan yang diberikan
karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta
mengancam dan melawan hukum.30
Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat melanggar
hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka alasan
menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga dikatakan
alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada umumnya
merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait justificatief 31
Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut:
“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa (lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid)
atau harta benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan
(aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum (wederrechtelijk)
pada ketika itu juga.”
Contoh :
a. Serangan terhadap badan: seseorang yang ingin balas dendam
mendatangi orang lain dengan memegang tongkat karena berniat ingin
memukul, maka orangyang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat
dan memukul si orang yang ingin membalas dendam tersebut.
b. Serangan terhadap barang/ harta benda adalah terhadap benda yang
bergerak dan berwujud dan yang melekat hak kebendaan, sama dengan
29 Pengertian tersebut muncul karena undang-undang tidak memberi pengertian dari pada
“noodweer”. Doktrin memberikan kata “noodweer” bagi pasal 49 ayat (1) KUHP.
30 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 200.
31 Wirjono Prodjodikoro, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco, 1989, hlm.
75.
pengertian benda pada pencurian (pasal 362)32
: budi mencuri barang
milik ani. Sedangkan ani melihat dan meminta untuk dikembalikan
barang miliknya tetapi budi menolak, maka ani berusaha merebut
barangnya dari si budi. dalam perebutan ini ani terpaksa memukul
budi agar barang miliknya dikembalikan.
c. Serangan terhadap kehormatan adalah serangan yang berkaitan erat
dengan masalah seksual: seorang laki-lakihidung belang meraba buah
dada seorang prempuan yang duduk disebuah taman, maka dibenarkan
jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetpi sudah
tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut sudah
pergi, kemudian prempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya,
karena bahaya yang mengancam telah berakhir.33
Maka tidaklah berlaku pasal 49 ayat 1 KUHP jika:
a. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga
belum memenuhi syarat onmiddelijk dreigende (dikhawatirkan akan
segera menimpa)
b. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai
Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada dalam pasal tersebut dari
KUHP belanda tetapi hanya disebut serangan ogenblikkelijk (seketika itu). Van
hattum menceritakan bahwa dari rancangan KUHP belanda tersebut, yang
dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi onmiddelijk dreigende, tetapi
32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-
1, 2002, hlm. 42.
33 Ibid, hlm. 43
usulan tersebut ditolak oleh Perlemen belanda pada tahun 1900 karena
dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan.
Tetapi dalam KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari
1918 kata onmiddelijk dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan. Denagn
alasan bahwa keadaan khusus di Indonesia karean sering terjadi perampokan
dalam suatu rumah. Apabila dalam hal ini para perampok itu baru mendekati
rumah yang akan dirampok, maka dianggap layak apabila penghuni rumah
melakukan tembakan kepada para perampok, setelah para perampok dari jauh
mendekati rumah.dalam kasus tersebut sudah merupakan pelaku serangan yang
onmiddelijk dreigende atau dikhawatirkan akan segera menimpa.34
b. Doktrin membuat syarat / unsur noodweer yaitu:
1. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:
a) Serangan itu harus datang mengancam35
dengan tiba-tiba
Pembolehan pembelaan terpaksa bukan saja pada saat serangan sedang
berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan pada saat adanya ancaman
serangan. Artinya serangan itu secara obyektif belum diwujudkan namun
baru adanya ancaman serangan.36
b) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)
Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari undag-undang (melawa
hukum formil) maupun dari sudut masyarakat (melawan hukum materiil)
34 Wirjono Prodjodikoro, op. cit, hlm. 79
35 Serangan mengancam adalah serangan yang sedang berlangsung, artinya telah dimulai dan
belum berakhir.
36 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 47
2. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri37
harus memenuhi
syarat:
a) Harus merupakan pembelaan yang terpaksa38
Benar-benar sangat terpaksa artinya tidak ada alternative perbuatan lain
yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak ketika adaancaman
serangan atau serangan sedang mengancam. Apabila seseorang
mengancam dengan memegang golok akan melukai atau membunuh orang
lain, maka menurut akal masih memungkinkan untuk lari, maka orang
yangv terancam itu harus lari. Tetapi apabila kemungkinan untuk lari itu
tidak ada atau sudah mengambil pilihan lari tetapi masih dikejarnya, maka
disini aada keadaan yang terpaksa. Maka dari itu, pembelaan boleh
dilakukan jika sudah tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha
membeladan mempertahankan kepentinganhukumnya yang terancam
b) Pembelaan itu dengan serangan setimpal39
Tindakan pembelaan terpaksa dilakukan sepanjang perlu dan sudah cukup
untuk pembelaan kepentingan hukumnya yang terancam atau diserang,
artinya harus seimbang dengan bahaya serangan yang mengancam
3. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,
peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan
sendiri atau orang lain.40
37 Leden Marpaung, op. cit, hlm. 73-74
38 Yang dimaksud adalah jika tidak ada jalan lain yang memungkinkan untuk menghindarkan
serangan itu atau juga disebut asas subsidiaritas.
39 Yang berarti bahwa ada keseimbangan kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan
hukum yang dikorbankan atau juga disebut asas keseimbangan (proposionaliteit).
40 Apa yang dibela secara limitatif dicantumkan oleh pasal 49 ayat (1) KUHP.
Diri berarti badan, kehormatan adalah kekhususan dari penyerangan
terhadap badan, yaitu penyerangan badan dalam lapangan seksuil.
4. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan
seketika, berarti ada 3 syarat:
a) Serangan seketika
b) Ancaman serangan seketika itu
c) Bersifat melawan hukum41
c. Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen security/
keamanan
1) Serangan binatang
Serangan mengancam dengan tiba-tiba tetapi serangan itu tidak
melawan hukum, karena binatang tidak tunduk pada hukum dan tidak
mengerti hukum. Karenanya tidak dapat dimasukkan kepada pengertian
noodweer. Hoge Raad (H. R) pada tanggal 3 Mei 1915 (N. J. 1915 Nr. 9820)
tentang anjing-anjing polisi yang dikenal dengan “polite-honden arrest”. H.R
mengatakan: “penggunaan anjing-anjing polisi untuk menangkap tersangka
adalah alat yang wajar digunakan da oleh sebab itu, melawan penangkapan
denagn perantaraan anjing bukan suatu noodweer”.
2) Serangan orang gila
Orang gila adalah yang jiwanya dihinggapi penyakit atau tidak sempurna
akalnya berdasarkan pasal 44 KUHP. Perbuatan yang dilakukan oleh orang
41 Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987, hlm. 76.
gila adalah wedwerrechtelijk. Hanya karena keadaan jiwanya, tidak dapat
dihukum, jadi dapat mengadakan ”noodweer”.
Menurut VOS, terhadap suatu serangan yang datang dari seorang yang
berpenyakit jiwa yang tidak dapat mengetahui lagi tentang apa yang dilakukan
itu, orang tidak dapat melakukan suatu noodweer karena dalam peristiwa
tersebut orang tidak dapat lagi mengatakan tentang adanya suatu serangan.
Hazewinckel-Suringa berpendapat bahwa “Perbuatan yang dilakukan
oleh seorang yang mempunyai penyakit jiwa itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, akan tetapi hal tersebut tidak
menghapuskan sifatnya yang melanggar hukum dari perbuatannya yaitu
apabila perbuatannya itu merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang.” Maka suatu serangan yang dilakukan oleh seorang yang
mempunyai penyakit jiwa itu tetap bersifat melanggar hukum.42
b. Instrumen (Alat) keamanan
Alat keamanan adalah pemasangan alat-alat untuk menangkal
serangan yang akan terjadi. Misalnya memasang aliran listrik pada keliling
rumah.
Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa “Selama pencuri
menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka
pemilik barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh
kembali miliknya.” Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti
42 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2006, hlm
196.
serangan sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus
dianggap selesai.
Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen “Bahwa noodweer tidak
dapat dilakukan di dalam 2 peristiwa,” yaitu:
1) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu baru
akan terjadi di masa yang yang akan datang
2) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu telah
berakhir.43
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya
adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum
terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).44
Jika peristiwa pengroyokan seorang pencuri oleh bayak orang dapat
masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi syarat-syarat
dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang mengeroyok tidak dapat
dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri (noodweer) terhadap
pengroyokan sehingga mungkin melukai salah seorang dari pengroyokan
tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum karena penganiayaan
(mishandeling) dari pasal 351 KUHP.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)
a. Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas
43 Roeslan Saleh, op. cit, hlm. 77. 44 Tindakan ini dilarang oleh undang-undang tapi dalam hal pembelaan terpaksa seolah-olah
suatu eigenriching yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam hal serangan
seketika yang melawan hukum ini, negara tidak dapat berbuat banyak untuk melindungi
penduduknya, maka orang yang menerima serangan seketika yang melawan hukum, diperkenakan
melakukan perbuatan sepanjang memenuhi syarat untuk melindungi kepentingan sendiri atau
orang lain. Lihat dalam Adami Chazawi, op. cit, hlm. 41
Menurut Van Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau
tidak tercela. Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh
suatu tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang
mengancam.Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggungjaawaban
pidana terhapus45
Dirumuskan dalam pasal 49 ayat 2:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau
ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
Dalam Teks aslinya:
“Niet strafbaar is de overschrijding van de grenzen van
noodzakelikjke verdediging, indien zij het onmiddelijkgeloig is gewest van
hevigegemoedsbeweging, door de aanranding veroorzaakt”
Penafsiran dan terjemahan yang berbeda khususnya mengenai
”hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid Kartanegara SH diterjemahkan
dengan, Keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau secara hebat (tekanan
jiwa yang hebat), sedang Tiraamidjaja menerjemahkan dengan “gerak jiwa
yang sangat”, Utrecht menerjemahkan ”perasaan sangat panas hati”.
Karena terjadi perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut,
maka harus diuraikan komponen “nooodweer exes”, yaitu:
1) Melampaui batas pembelaan yang perlu. Dapat disebabkan karena:
a. Alat yang dipilih untuk membela diri atau cara membela diri
adalah terlalu keras. Misalnya menyerang dengan sebatang
kayu, dipukul kembali dengan sepotong besi
45 Zainal Abidin Farid, op. cit, hlm. 200.
b. Yang diserang sebetulnya bisa melarikan diri atau mengelakan
ancaman kelak akan dilakukan serangan, tetapi masih juga
memilih membela diri.
Prof. Pompe berpendapat bahwa “Perbuatan melampaui batas
keperluan dan dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari
pembelaannya tiu sendiri, batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik
apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu
telah dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan cara membunuh si
peneyerang padahal dengan sebuah pukulan saja, orang sudah dapat membuat
penyerang tersebut tidak berdaya. Apabila orang sebenarnya tidak perlu
melakukan pembelaan, misalnya karena dapat menyelamatkan diri dengan cara
melarikan diri. Batas dari pembelaan itu telah terlampaui yaitu apabila setelah
pembelaannya sudah selesai/ berakhir, orang itu masih menyerang si
penyerang.”
Sedangkan menurut Hoge Raad ”Hebatnya keguncangan hati itu
hanya membuat seseorang tidak dapat dihukum yaitu dalam hal melampaui
batas yang diizinkan untuk melakukan suatu pembelaan telah dilakukan
terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang telah terjadi deketika itu
juga”.46
2) Tekanan jiwa hebat/ terbawa oleh perasaan yang sangat panas hati
“Hevigegemoedsbeweging” oleh Prof. Satochid diartikan keadaan jiwa
yang menekan secara hebat yang menurut Utrecht, karena ketakutan putus
46 Leden Marpaung, op. cit, hlm 80-81.
asa, kemarahan besar, kebencian, dapat dipahami bahwa pertimbangan
waras akan lenyap, jika dalam keadaan emosi kemarahan besar.
3) Hubungan kausal antara “serangan” dengan perasaan sangat panas hati
Pelampauan batas ini terjadi apabila:
a. Serangan balasan dilanjutkan pada waktu serangan lawan
sudah dihentikan
b. Tidak ada imbangan antara kepentingan yang diserang dan
kepentingan lawan yang menyerang.
Karena pelampauan batas ini tidak diperbolehkan, maka seseorang
berdasarkan pasal ini tidak dapat dihukum, tetap melakukan perbuatan
melanggar hukum. Perbuatannya tidak halal, tetapi si pelaku tidak dihukum.47
Dalam pasal ini dapat dipahami bahwa serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum dan menyebabkan goncangan jiwa yang hebat
sehingga orang yang terancam melakukan tindak pidana yang lebih berat dari
ancaman serangan yang menimpanya, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Schravendik memberikan contoh ada seorang laki-laki secara diam-
diam masuk ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak menyetubuhi
gadis tersebut. Pada saat laki-laki meraba-raba tubuh si gadis, terbangunlah dia.
Dalam situasi yang demikian, tergoncanglah jiwa antara amarah, bingung,
ketakutan yang hebat48
sehingga dengan tiba-tiba gadis itu mengambil pisau di
dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga mati.49
47 Wirjono, op. cit, hlm. 81.
48 Perasaan takut adakalanya hanya berupa meringankan hukuman seperti tindak pidana
mempersilakan anak di bawah umur 7 tahun agar ditemukan dan dipiara oleh orang lain (to
vondelingleggen) dari pasal 305 KUHP, menurut pasal 308 KUHP hukuman yang diancamkan
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar
hukum memasukkan noodweer exces ke dalam alasan pemaaf karena
menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat.
C. Pertanggungjawaban Pidana
A. Pertanggungjawaban Pidana menurut Hukum Pidana Islam
a. Pengertian dan sebab-sebab penghapus tindak pidana dalam
pertanggungjawaban pidana
Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan
yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya maupun
hubungan sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah
hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih disebut dengan istilah jarimah
atau jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik
yang dilarang oleh syari‟at dan diancam dengan hukuman bagi pelanggarnya.
Salah satu prinsip dalam syari‟at Islam adalah seseorang tidak
bertanggung jawab50
kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya sendiri
dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjawab atas perbuatan jarimah orang
lain.
Prinsip tersebut berkali-kali ditandaskan dalam al-Qur‟an dalam
beberapa ayatnya yaitu sebagai berikut :
dalam pasal 305 KUHP dikurangi separuh apabila perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu pada
waktu dekat anak itu dilahirkan olehnya dan merasa ketakutan oleh khalayak ramai bahwa ia
sudah melahirkan. Hal tersebut biasanya terjadi di luar pernikahan. Lihat dalam Ibid, hlm. 81-82 49 Jonkers J.E, Handboek van het Nederladsch Indische Strafrech, dalam Adami Chazawi, op.
cit, hlm.53.
50
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari‟at Islam adalah pembebanan terhadap
seseorang atas suatu perbuatan yang telah dilarang yang ia kerjakan dengan kemauan sendiri dan
ia sadar akibat dari perbuatannya itu. Lihat dalam, Abd. Salam Arief, Fiqh Jinayah, Yogyakarta:
Ideal, 1987, hlm. 45.
Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu, dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri;
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain" 51
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya”52
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan
jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-
mu Menganiaya hamba-hambaNya.” 53
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak
(pula) penolong baginya selain dari Allah.”54
Suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai suatu tindak pidana
sebelum ada ketentuan Undang-undang yang melarang. Suatu perbuatan dan
pelanggaran dari ketentuan Undang-undang tersebut berakibat pada pelaku
tindak pidana untuk diminta pertanggungjawabannya.
Pertanggungjawaban pidana (al-Mas‟uliyyah al-Jināiyyah) ditegakkan
atas 3 hal, yaitu:55
51
QS. Al-An‟am (6) : 164.
52 QS. An-Najm (53) : 39.
53 QS. Al-Fussilat (41) : 46.
54 QS. An-Nisa‟ (4) : 123
a. pelaku melakukan perbuatan yang dilarang
b. pelaku mengerjakan dengan kemauan sendiri (mukhtar)
c. pelaku mengetahui akibat perbuatannya (mudrik)
Ketiga hal tersebut di atas harus terpenuhi, sehingga bila salah satunya
tidak terpenuhi maka tidak ada pertanggungjawaban pidana.
Pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan hukum dapat berupa
berbuat atau tidak berbuat. Pelaku jarimah dapat dihukum apabila
perbuatannya dapat dipersalahkan. Setiap perbuatan pidana atau peristiwa
pidana itu harus mengandung unsur-unsur sifat melawan hukum, perbuatan
tersebut dapat dipersalahkan dan perbuatan yang dilakukan merupakan
perbuatan yang dalam hukum dinyatakan perbuatan yang dapat dihukum.56
Lebih lanjut dikatakan bahwa jarimah dapat dipersalahkan terhadap pelakunya
apabila pelaku tersebut sudah berakal, cukup umur, dan bebas berkehendak.
Dalam arti pelaku tersebut terlepas dari unsur paksaan dan dalam keadaan
kesadaran yang penuh57
Sedangkan menurut syari‟at Islam pertanggungjawaban pidana
didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berpikir dan pilihan (iradah dan
ikhtiar). Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut
perbedaan masa yang dilalui hidupnya.58
Unsur-unsur jarimah dalam hukum pidana Islam, yaitu:59
a. Adanya nas yang melarang dan mengancam perbuatan itu
55 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.154.
56
Haliman, op. cit, hlm. 66.
57 Abd. Salam Arief, op. cit, hlm. 4.
58 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 280.
59 Marsum, op. cit, hlm. 6.
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah
c. Si perbuat adalah mukallaf
Pada dasarnya orang yang melakukan jarimah itu dihukum, tetapi ada
yang di antaranya tidak dihukum karena mabuk, gila dan belum dewasa.60
Dalam syarat sahnya memberi hukuman kepada mukallaf ada dua
syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a. sang mukallaf harus dapat memahami dalil taklif yakni ia harus
mampu memahami nas-nas hukum yang dibebankan al-Qur‟an dan
sunnah baik langsung maupun yang melalui perantara.
b. Sang mukallaf harus orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya, pengertian ahli secara etimologis adalah kelayakan atau
layak.
Oleh karena itu kedua syarat tersebut apabila telah terdapat pada
seseorang maka ia dapat dikenai pertanggungjawaban. Jadi prinsip dasar dari
kedua prinsip syarat tersebut adalah kemampuan membedakan dengan
menggunakan akalnya. Tanggung jawab dapat diartikan bertindak tepat tanpa
perlu diperingatkan. Sedang bertanggung jawab merupakan sikap tidak
tergantung dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Jelasnya pengertian
tanggung jawab di sini adalah kesadaran yang ada dalam diri seseorang bahwa
setiap tindakan akan mempunyai pengaruh bagi orang lain maupun bagi
dirinya sendiri. .61
60 Ibid, hlm.174.
61 Alex Sobur, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991, hlm. 63.
Dalam hukum pidana Islam, pertanggungjawaban pidana dapat
terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu baik yang berkaitan dengan
perbuatan si pelaku tindak pidana maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan
keadaan pembuat delik.62
Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dilakukan
adalah perbuatan yang mubah (tidak dilarang), sedangkan dalam keadaan
kedua perbuatan tersebut tetap dilarang tapi tidak dijatuhi hukuman ketika
melakukannya.63
Seperti kejahatan yang dilakukan dalam keadaan dipaksa, tidak akan
ada tuntutan hukum atas hal tersebut asalkan terbukti benarnya, kemudian
kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam keadaan tidak sadar seperti
mengigau, meskipun dia tampak awas, namun dia tetap tertidur. Maka secara
hukum dia tidak bertanggungjawab, begitu juga dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang masih anak-anak dan seseorang yang dalam
keadaan gila atau sakit saraf.
a. Pembolehan perbuatan yang dilarang.
Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu
diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian
perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus
sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya
pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan
perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu
62 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia, 2000, hlm.
177.
63 Abdul Qadir „Audah, op. cit, hlm.135
tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Contohnya membunuh. Perbuatan
ini diharamkan bagi setiap orang. Hukuman bagi pembunuh sengaja adalah
qishash yaitu hukuman mati. Tetapi hukum Islam meberikan hak dalam
pelaksanaan hukuman mati kepada wali korban.
b. Hak dan kewajiban
Antara hak dan kewajiban pada dasarnya adalah dua hal yang berbeda.
Melakukan hak hanya bersifat boleh, sedangkan melakukan kewajiban bersifat
harus secara mutlak. Meskipun hak dan kewajiban berbeda pada tabiatnya,
keduanya sejalan dari segi pidana yaitu bahwa perbuatan yang dilakukannya
baik menjalankan kewajiban maupun menggunakan hak merupakan perbuatan
yang diperbolehkan dan tidak dianggap sebagai tindak pidana. Satu perbuatan
dianggap sebagai hak bagi seseorang, namun dianggap sebagai kewajiban bagi
orang lain. Misalnya: membunuh sebagai hukuman qishash adalah hak bagi
wali korban tapi qishash menjadi wajib bagi algojo yang ditugaskan untuk
menjalankannya. Pendidikan dalam mazhab hanafi adalah hak bagi suami dan
ayah, namun merupakan kewajiban bagi guru dan pengajar.
1) Hak tidak mungkin dapat dijatuhi hukuman karena meninggalkannya,
sedangkan kewajiban ada kemungkinan dijatuhi hukuman karena
meninggalkannya. Ketetapan ini telah disepakati oleh para fuqaha
2) Hak terikat dengan syarat keselamatan, sedangkan kewajiban tidak
terikat dengan syarat keselamatan. Maksudnya, orang yang
menggunakan haknya senantiasa bertanggungjawab atas keselamatan
objek karena dia dapat memilih antara melakukan perbuatan yang
menjadi haknya atau meninggalkannya.
Orang yang memiliki kewajiban dia tidak bertanggung jawab atas
keselamatan si objek karena keharusan untuk menjalankan kewajiban
tersebut dan tidak bisa dittinggalkannya (menurut Imam Abu Hanifah dan
Iman Asy- Syafi‟i). Adapun Iman Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa hak sama seperti kewajiban yaitu tidak terikat oleh
syarat keselamatan karena menggunakan hak dalam batasan yang telah
ditetapkan merupakan perbuatan yang mubah dimana tidak
adapertanggungjaawaban terhadap sesuatu yang diperbolehkan.64
Pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang bertalian
dengan pebuatan atau karena hal-hal yang bertalian dengan pelaku. Sebab-
sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang diperbolehkan disebut asbab al
–ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku
disebut asbab raf‟i al-uqubah. Abdul Qadir Audah sebagaimana dikutip
Ahmad Wardi Muslich menngemukakan bahwa sebab diperolehkannya
perbuatan yang terlarang terdapat enam macam yaitu:65
a. difa‟ asy-syar‟i (pembelaan yang sah)
b. ta‟dib (mendidik)
c. pengobatan
d. permainan kesatriaan
e. halalnya jiwa, anggota badan dan harta (ihdar) seseorang
64 Ibid, hlm. 136-137.
65 A. Wardi Muslich, op. cit, hlm. 85.
f. hak dan kewajiban penguasa
Asbab raf‟i al uqubah terbagi menjadi empat yaitu:
a. Paksaan
b. Mabuk
c. Gila
d. Anak di bawah umur
3) Sebab dan tingkat pertanggung jawaban pidana
Apabila pertanggungjawaban pidana tergantung kepada adanya
perbuatan melawan hukum, sedangkan perbuatan melawan hukum itu
bertingkat maka pertanggungjawaban juga bertingkat-tingkat. Hal ini
disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya.
a. sengaja (al Amdu)
b. menyerupai sengaja (Syibhu al „Amd)
c. keliru (al Khata‟)66
4) Yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana
a. Pengaruh tidak tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam adalah bahwa pelaku
tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali mengetahui
dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut maka tidak dibebani
pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya kemungkinan untuk mengetahui
maka setiap mukallaf dianggap mengetahui semua hukum atau undang-
66 Ibid, hlm. 77-78.
undang walaupun dalam kenyataannya banyak dari mereka yang tidak
mengetahui.
Tidak tahu tentang arti suatu undang-undang dipersamakan dengan
tidak tahu bunyi undang-undang itu sendiri dan kedudukannya, maka tidak
bisa diterima sebagai alasan pembebasan hukuman. Dalam hukum positif
kesalahan pengertian ini disebut sebagai salah tafsir.
Salah satu contoh yang terkenal dalam syari‟at Islam tentang salah
tafsir adalah bahwa kelompok kaum muslimin di negeri Syam, minum
minuman keras karena menganggap minuman tersebut dihalalkan, dengan
beralasan firman Allah SWT
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa
dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan.
dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”67
Tetapi meskipun mereka salah menafsirkan ayat tersebut, mereka tetap
dijatuhi hukuman juga.
b. Pengaruh lupa
Lupa adalah tidak siapnya sesuatu pada waktu diperlukan. Dalam
syari‟at Islam, lupa disejajarkan dengan keliru.
Para fuqaha terbagi dua kelompok dalam membahas hukum dan
pengaruh lupa:
67 QS. Al Maidah (5): 93.
a) Lupa adalah alasan yang umum baik dalam urusan ibadah maupun
pidana. Berdasarkan prinsip umum yang menyatakan bahwa orang
yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, tidak
berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Meskipun demikian tetap
dikenakan pertanggungjawaban perdata apabila perbuatannya
menimbulkan kerugian orang lain.
b) Lupa hanya menjadi alasan hapusnya hukuman akhirat, karena
hukumna akhirat didasarkan atas kesengajaan sedangkan orang
lupa kesengajaan itu sama sekali tidak ada. Untuk hukuman dunia,
lupa tidak bisa menjadi alasan hapusnya hukuman sama sekali
kecuali hal yang berhubungan dengan hak Allah dengan syarat
adanya motif yang wajar untuk melakukan perbuatannya itu dan
tidak ada hal yang mengingatkannya sama sekali.
Meskipun demikian pengakuan lupa dari pelaku tidak bisa
membebaskannya dari hukuman sebab pelaku harus dapat membuktikan
kelupaannya dan hal ini sangat sulit dilakukan.
c. Pengaruh keliru
Keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Dalam
jarimah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan perbuatan tersebut
bukan karena niat atau kesengajaan melainkan karena kelalaian dan kurang
hati-hati. Dalam segi pertanggungjawaban pidana orang yang keliru
dipersamakan dengan orang yang sengaja berbuat, apabila perbuatan yang
dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara‟.
Sebenarnya pertanggungjawaban pidana hanya dibebankan kepada
perbuatan sengaja yang diharamkan oleh syara‟ dan tidak dikenakan terhadap
kekeliruan.
Dengan adanya ketentuan pokok dan yang satu lagi merupakan
pengecualian dari ketentuan pokok maka untuk dapat dikenakan hukuman
atas perbuatan karena kekeliruan harus terdapat ketentuan yang tegas dari
syara‟. Jadi apabila syara‟ tidak menentukan hukuman untuk suatu perbuatan
karena kekeliruan maka tetap berlaku ketentuan pokok yaitu bahwa perbuatan
tersebut tidak dikenakan hukuman.68
Perbuatan yang berkaitan dengan jarimah dan hubungannya dengan
pertanggungjawaban pidana ada 3:
1. Perbuatan langsung (mubasyaroh)
Suatu perbuatan yang dengan langsung tanpa perantara telah menimbulkan
jarimah dan sekaligus menjadi illat bagi jarimah tersebut, seperti
penembakan seseorang dengan pistol terhadap orang lain yang
mengakibatkan kematian
2. Perbuatan sebab
Suatu perbuatan yang secara tidak langsung menimbulkan jarimah dan
menjadi illat-nya pula, tapi dengan perantara perbuatan lain, seperti
persaksian palsu atas orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa telah
melakukan pembunuhan
3. Perbuatan syarat
68 A. Wardi, op. cit, hlm.78-80
Suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarimah dan tidak menjadi illat-
nya seperti orang yang membuat sumur untuk keperluan sehari-hari tetapi
digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk menjerumuskan orang
ketiga sampai meninggal. Dalam contoh tersebut, adanya sumur menjadi
syarat kematian korban dan penjerumusan adalah perbuatan langsung.
Bagi pembuat syarat, tidak ada pertanggungjawaban pidana selama
dengan perbuatannya itu tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan
atau memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi
pelaku perbuatan langsung dan sebab dikenakan pertanggungjawaban
pidana atas perbuatannya karena keduanya merupakan illat (sebab)
adanaya jarimah.69
B. Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
Dalam sistem hukum pidana positif, pertanggungjawaban pidana
terkait erat dengan kesalahan dan perbuatan melawan hukum, sehingga
seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu:70
a. Unsur obyektif, yaitu harus ada unsur melawan hukum.
b. Unsur subyektif, yaitu terhadap pelakunya harus ada unsur
kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan.
Menurut Pompe, sebagaimana dikutip oleh Martiman Projohamidjojo,
unsur-unsur toerekenbaarheid (pertanggungjawaban), adalah :71
69 Marsum, op. cit, hlm. 84
70 Martiman Projohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di Indonesia 2,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1997, hlm. 31.
71 Ibid., hlm. 32.
a. Kemampuan berfikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan
pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya.
b. Dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
c. Pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya
(tentang makna dan akibat)
Satochid Kartanegara menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid
atau dapat dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang,
sedangkan toerekenbaarheid (pertanggungjawaban) adalah mengenai
perbuatan yang dihubungkan dengan sipelaku atau pembuat.
Dalam sistem hukum pidana positif (KUHP), pelaku tindak pidana
tidak dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana
sebagai berikut:72
a. Alasan yang membenarkan atau menghalalkan perbuatan pidana,73
adalah:
1) Keperluan membela diri atau
noodweer (Pasal 49 ayat 1 KUHP)
2) Melaksanakan ketentuan undang-
undang (Pasal 50 KUHP)
72 Andi Hamzah, op. cit, hlm. 143. Dasar peniadaan pidana adalah alasan-alasan yang
memugkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak dipidana, Lihat dalam, Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 138
73 Yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Tidak pidananya terdakwa karena
perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataanya
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan tetapi karena hilangnya sifat
melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana. Lihat dalam, Moeljatno, op. cit, hlm. 137.
3) Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh seorang penguasa
yang berwenang (Pasal 51 ayat 1 KUHP)
Ketiga alasan ini menghilangkan sifat melawan hukum dari suatu
tindakan sehingga perbuatan si pelaku menjadi diperbolehkan.
b. Alasan yang memaafkan pelaku74
, hal ini termuat dalam :
1) Pasal 44 ayat 1 KUHP, yang menyatakan seseorang tidak dapat
dipertanggung jawabkan perbuatannya, disebabkan jiwanya cacat dalam
tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit
(ziekelijke storing)
2) Pasal 48 KUHP, yang menyatakan seseorang yang melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana
3) Pasal 49 ayat 2 KUHP, menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang
hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
4) Pasal 51 ayat 2 KUHP, menyatakan terhapusnya pidana karena perintah
jabatan tanpa wenang, jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira
bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk
dalam lingkungan pekerjaanya.
74 Yaitu alasan yang menghapuskan kesalaahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan terdakwa
bersifat melawan hukum, tetapi tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.74 Perbuatan tersebut
walaupun terbukti melanggar undang-undang (bersifat melawan hukum), namun karena hapusnya
kesalahan pada diri terdakwa, maka perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.lihat
dalam, Adami Chazawi, op. Cit, hlm. 19.
Ketentuan-ketentuan tentang alasan dan hal-hal yang mempengaruhi
pemidanaan ini bersifat umum, sehingga berlaku juga pada kejahatan terhadap
nyawa.
Dalam mengartikan sebuah delik atau tindakan yang dapat dipidana
haruslah ada unsur-unsur tertentu di dalamnya, unsur-unsur tersebut menurut
hukum positif yaitu : Suatu perbuatan, Perbuatan itu dilarang dan diancam
dengan hukuman, dan Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan75
75 Leden Marpaung, op. cit, hlm. 4.
BAB IV
ANALISIS PEMBELAAN TERPAKSA MELAMPAUI BATAS
DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Analisis Tindak Pidana Pembunuhan
Demi untuk memelihara tubuh manusia, Islam menetapkan prinsip
keadilan untuk seluruh umat manusia. Al-Qur'an baik dalam surat-surat
Makiyah atau Madaniyah, mengutamakan dan menganjurkan agar keadilan
itu menjadi perhatian umat. Seterusnya menegur dan menjauhkan umat
manusia dari sifat aniaya yang akan merusak manusia itu sendiri. Maka dari
itu Al-Qur'an memerintahkan keadilan secara umum dan khusus, baik
terhadap musuh yang menyerang ataupun sebaliknya, terhadap mereka, kaum
Muslimin diperintahkan agar tetap berlaku adil kepada sesamanya.1
Islam sebagai Agama Universal mengandung prinsip-prinsip hak asasi
manusia. Sebagai sebuah konsep ajaran, Islam menempatkan manusia pada
kedudukan yang sejajar dengan manusia lainnya, perbedaan antara satu
individu dengan individu lain terjadi bukan karena haknya sebagai manusia,
melainkan didasarkan keimanan dan ketaqwaannya. Adanya perbedaan itu
tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam kedudukan sosial.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, teranglah bahwa tujuan Syari'at
di sekitar sanksi, adalah untuk memperbaiki jiwa dan mendidiknya serta
berusaha menuju ketentraman dan keberuntungan manusia. Sanksi dalam
1 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 164-165.
hukum pidana Islam beraneka rupa. Selain hukuman had dan qishash terdapat
pula macam uqubah lain, yang bersesuaian dengan jiwa manusia seperti,
hukuman ta'zir, kafarat dan lain-lain. Hal ini membantu para hakim dalam
melaksanakan sanksi pidana dan memberi kepada tiap-tiap keadaan sanksi
yang sepadan. Kemudian dalam penerapan hukuman mati syari'at Islam tidak
menghalanginya sama sekali, tetapi di samping itu, Islam mengadakan aneka
rupa syarat untuk menyempitkan pelaksanaan hukuman tersebut dan
memberikan keringanan apabila ada maaf dari pihak terbunuh.2
Berbeda dengan hukum pidana Indonesia yang menggolongkan
kejahatan pembunuhan sebagai tindak pidana murni. Sedangkan dalam
formulasi hukum pidana Islam, kejahatan pembunuhan disamping
memasukkan aspek pidana juga memasukkan aspek hukum perdata.
Ketentuan ini jelas berbeda dengan ketentuan perundangan pidana positif
yang hanya menggolongkan pidana pembunuhan dalam wilayah hukum
publik, sehingga wewenang penjatuhan hukuman berada sepenuhnya pada
tangan penguasa atau negara, tanpa campur tangan dari pihak korban untuk
menuntut balas atau membebaskan pelaku dengan mengganti hukuman
lainnya.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pembunuhan adalah perbuatan
yang di larang keras oleh agama karena akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan tersebut dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Perbuatan
membunuh itu sendiri pada dasarnya adalah merampas hak hidup orang lain
2 Hasbi Shiddiqi, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1998,
hlm. 52-53.
dan mendahului kehendak Allah, karena Dia-lah yang berhak membuat hidup
dan mati. Allah mengharamkan manusia melakukan pembunuhan kecuali
dengan alasan yang benar yaitu kafir setelah iman (murtad), berzina setelah
ihshan, dan membunuh sesama muslim yang terpelihara jiwanya. 3
Manusia tidak bisa merealisasikan semua keinginan dan tujuan hidup
mereka kecuali jika seluruh unsur dan faktor tersebut terpenuhi dan
memperoleh haknya secara penuh. Salah satu hak yang paling asasi dan
diusung tinggi oleh Islam adalah hak hidup, maka tidak seorangpun
diperbolehkan untuk menggugat kehormatan orang lain dan melanggar apa
yang telah digariskan oleh Allah SWT, hak memiliki, hak menjaga
kehormatan diri, hak kebebasan, hak persamaan, dan hak memperoleh
pengajaran.
Pembunuhan merupakan perbuatan yang dapat menggugurkan apa
yang telah Allah ciptakan, merampas hak hidup korban karena menghapus
kebahagiaan keluarga korban yang bangga akan keberadaan korban karena
bermanfaat bagi orang lain. Dengan kematian korban, maka terputuslah
semua bentuk pertolongan yang biasa datang dari korban. Islam tidak
membedakan antara satu jiwa dan jiwa lain. Oleh karena itu tidak
diperbolehkan merampas hak
hidup orang lain yang dapat menghancurkan hidup mereka dengan cara
bagaimanapun.
3 Lihat M. Quraish Shihab, op. cit, Jilid VII, hal 266. Pengecualian dalam pembunuhan
menyangkut tiga hal. Pertama, atas dasar qishash. Kedua, membendung keburukan akibat
tersebarnya kekejian (zina). Ketiga, membendung kejahatan yang mengakibatkan kekacauan dan
mengganggu keamanannya, yakni terhadap orang murtad meninggalkan agama Islam, karena ia
telah mengetahui rahasia-rahasia (jamaah)Islam dan keluarnya dapat mengancam (jamaah) Islam.
األصل فى المضار التحريم
“Prinsip dasar pada masalah mudarat adalah Haram.”4
Kaidah fiqih tersebut menjelaskan bahwa hukum asal yang
menyangkut masalah mudarat adalah diharamkan. Termasuk perbuatan
membunuh yang lebih besar madaratnya daripada manfaat yang terjadi. Jika
pembunuhan itu terjadi juga dengan tidak sengaja, dalam Islam juga mengatur
masalah sanksi, meskipun sebenarnya dalam Islam seseorang yang tidak
sengaja berbuat maka menjadi dasar penghapus hukuman, tapi tidak
berpengaruh dalam tindak pidana pembunuhan.
Islam juga mewajibkan denda dalam pembunuhan tidak sengaja
sebagai penghormatan kepada nyawa seseorang. Tujuannya adalah agar
seseorang tidak pernah sama sekali terpikir untuk menyepelekan nyawa
seseorang dan juga agar setiap orang berhati-hati ketika berinteraksi dengan
nyawa dan jiwa orang lain, juga untuk menutup pintu mafsadah sehingga
tidak seorangpun yang boleh membunuh dengan alasan bahwa pembunuhan
itu tidak sengaja.
B. Syarat dan Dasar Hukum Pembelaan Terpaksa
Pada dasarnya istilah pembelaaan terpaksa melampaui batas, tidak
ditemukan dalam Hukum Pidana Islam. Pengertian yang lebih spesifik dalam
hukum pidana Islam lebih dikenal dengan istilah dif‟a asy-syar‟i al-khass
(pembelaan syar‟i khusus atau pembelaan yang sah) atau daf‟u as-sail
(menolak penyerang). Meskipun demikian, secara subtantif pengertian
4 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit, hlm. 88
tersebut penulis analogikan dengan maksud yang terdapat dalam hukum
positif.
Dalam masalah pembelaan yang sah Islam membedakannya menjadi
dua yaitu Pembelaan khusus (daf us-sha‟il) dan Pembelaan umum atau (dif‟a
asy-syar‟i al-am) atau yang lebih dikenal dengan istilah Amar Ma‟ruf Nahi
Munkar. Amar adalah fi‟il amar yang berarti perintah atau anjuran dan Ma‟ruf
(kebaikan) yaitu semua perkataan atau perbuatan yang perlu diucapkan atau
dilakukan sesuai dengan nas, dasar umum (aturan pokok) dan jiwa hukum
Islam, bisa dengan perkataan dan perbuatan. Sedangkan Nahi yaitu Fi‟il nahi
yang berarti larangan untuk mengerjakan dan Munkar yaitu setiap perbuatan
yang dilarang terjadinya oleh syara‟.
Tetapi di dalam KUHP pasal 49 ayat 1, dikenal istilah pembelaan
terpaksa (noodweer), yang berasal dari kata nood dan weer. “Nood” berarti
darurat (keadaan)/ keadaan terpaksa, sedangkan “weer” berarti pembelaan,
menolong atau melepaskan dari bahaya. Sedangkan pasal 49 ayat 2 dikenal
pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas (noodweer exces).
Pengertian tersebut pada dasarnya sama dengan pengertian yang dimaksud
dalam ayat 1 tetapi dalam ayat 2 terdapat kata “exces” yang berarti
pelampauan batas.
Jadi, terdapat perbedaan istilah dalam pengertian antara hukum pidana
Islam dan KUHP. Tetapi terdapat persamaan yang mendasar antara keduanya,
yaitu objek atau sasaran yang dilindungi. Dalam KUHP maupun hukum
Islam, dalam pembelaan terpaksa, sama-sama bertujuan melindungi jiwa,
kehormatan, harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Dalam KUHP tidak ditentukan atau dijelaskan pengertian maupun
syarat pembelaan terpaksa, dan apakah pembelaan merupakan hak atau
kewajiban seseorang. Tetapi oleh ahli hukum, dijelaskan secara rinci
mengenai apa yang dimaksud pembelaan terpaksa ini. Karena dalam pasal
tersebut hanya disebutkan tidak dipidana, barang siapa “yang melakukan
pembelaan terpaksa”, hal ini berarti kalimat aktif, dalam keadaan seketika itu
juga terpaksa atau terdorong oleh situasi yang darurat atau mendesak, bukan
merupakan anjuran atau perintah. Tetapi dalam hukum pidana Islam
diperselisihkan apakah termasuk hak atau kewajiban dalam pembelaan yang
sah.
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah
suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain
dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi berbeda atas
hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak. Jadi,
konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka seseorang
boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya, tetapi tidak berdosa
dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila dikatakan kewajiban maka
seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa ketika meninggalkannya.5
Melakukan pembelaan terhadap serangan didasarkan pada Firman Allah
SWT:
5 Ahmad hanafi, op. cit, hlm. 211
“Bulan Haram dengan Bulan Haram dan pada sesuatu yang
patut dihormati, berlaku hukum qishash. oleh sebab itu barangsiapa yang
menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.”6
Jadi, dalam ayat tersebut dapat dilihat bahwa hukum pembelaan diri
sangat penting karena dalam hukum pidana Islam maupun positif mempunyai
satu tujuan yang sama dalam pembentukan hukum yaitu perlindungan HAM.
Hukum Islam dalam pembentukan hukum mempunyai tujuan utama yaitu
untuk kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun akhirat, yang sering
dikenal Al-Maqasidu Khamsah (Panca Tujuan: hifz al-nafs (menjaga jiwa),
hifz al-„aql (menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga
harta) dan hifz al-nasl (menjaga keturunan)) terbukti dalam ayat tersebut
memberikan penjelasan bahwa Begitu pentingnya pembelaan diri karena
dalam Islam juga melindungi hak-hak manusia walaupun umat Islam diserang
di bulan Haram7, yang Sebenarnya di bulan itu tidak boleh berperang, Maka
diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga.
Pada dasarnya perbuatan yang dilarang oleh hukum Islam itu
diharamkan tetapi terdapat pengecualian yaitu pembolehan sebagaian
perbuatan yang dilarang bagi orang yang memiliki karakter-karakter khusus
sebab kondisi seseorang atau keadaan masyarakat menuntut adanya
pembolehan ini. Juga karena orang yang diperkenankan untuk melakukan
6 QS. Al Baqarah (2): 194
7 Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, tanah haram (Mekah) dan ihram.
perbuatan yang dilarang sebenarnya melakukannya untuk mencapai suatu
tujuan atau beberapa tujuan hukum Islam. Seperti melindungi jiwa, menjaga
kehormatan dan mempertahankan harta baik diri sendiri maupun orang lain.
األصل فى الدماء واألعراض واألموال الحرمة
“Prinsip dasar pada maslah darah, kehormatan dan harta adalah
haram.”8
Salah satu sebab diperbolehkannya perbuatan yang dilarang baik
dalam hukum pidana Islam maupun dalam KUHP yang tidak dipidana yaitu
melakukan pembelaan diri. Dalam menentukan apakah perbuatan tersebut
merupakan pembelaan diri atau bukan, maka dalam hukum pidana Islam dan
hukum positif mengatur tentang syarat maupun unsur.
Dalam menetapkan syarat pembelaan diri terdapat persamaan dan
perbedaan antara hukum pidana Islam dan hukum Positif. Persamaan syarat
tersebut yaitu antara lain: Pertama, pembelaan terpaksa dilakukan karena
sangat terpaksa atau tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan, harus
benar-benar dalam keadaan terpaksa Kedua untuk mengatasi adanya serangan
atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum. Jadi, disini
dalam melakukan pembelaan tidak boleh adanya praduga / prasangka dan
rasa takut yang berlebihan akan diserang sehingga dia menyerang dulu
sebagai bentuk pembelaan diri, dalam hal ini tidak dibenarkan. Maka
pembelaan dilakukan harus terjadi serangan seketika itu terjadi, ketiga
serangan atau ancaman serangan ditujukan pada 3 kepentingan hukum atas:
badan, kehormatan kesusilaan, dan harta benda sendiri atau orang lain,
8 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit, hlm. 5
keempat harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan
berlangsungnya serangan, atau bahaya yang masih mengancam, kelima
perbuatan pembelaan harus seimbang9 dengan serangan yang mengancam.
Yang menjadi perbedaan syarat pembelaan diri dalam hukum pidana
Islam dan KUHP adalah Pertama, melewati batas ukuran pembelaan diri
(yang diperbolehkan). Dalam hukum pidana Islam, jika seseorang melakukan
pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan yang
diperlukan, maka harus bertanggung jawab atas tindakannya itu. Kedua,
Imam Abu Hanifah, asy-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa
jerat atu perangkap yang dipasang dibelakang pintu, pagar atau di jalan
dengan maksud membunuh atau melukai penyerang hukumnya boleh. Orang
yang mempunyai tempat tersebut tidak bertanggungjawab apabila bertujuan
untuk membela diri karena orang yang memasukinya berarti membunuh
dirinya sendiri lantaran memasuki rumah orang lain secara ilegal (tanpa hak).
Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa orang yang melakukan hal
tersebut harus bertanggungjawab apabila perbuatannya bertujuan untuk
melukai atau membinasakan orang yang memasuki rumah tanpa izin. Dengan
9 Dalam hukum pidana positif, ukuran seimbang atau lebih berat yang dimaksud adalah
terletak pada akal manusia pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus
subjektif. Ukuran subjektif yaitu terletak pada akal manusia, sedangkan ukuran objektif adalah bagi orang normal pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini haruslah digunakan secara
bersama. Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya pada akal dan perasaan si pembuat, tetapi
harus pada akal pikiran bagi orang pada umumnya. Hakimlah yang berwenang menilai dan
menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun objektif tersebut, dan dia harus mampu
menangkap akal pikiran bagi semua orang terhadap resiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu
berdasarkan akal budi yang dimilikinya. Lihat dalam Zainal Abidin Farid, op. cit hlm. 199
alasan, kaidah pembelaan diri karena pembelaan berdiri atas dasar untuk
menolak serangan dengan penolakan yang paling ringan.10
Sedangkan dalam KUHP, pertama dikenal pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, dalam hal ini si korban mengalami kegoncangan jiwa yang
sangat hebat. Jadi, faktor subyektifitas memegang peranan karena
temperamen setiap individu berbeda-beda. Sebaiknya terhadap diri pribadi si
pelaku noodweer exces dimintakan keterangan ahli psikolog/psikiater. kedua
Mengenai pemasangan alat atau perangkap di depan rumah sebagai bentuk
pembelaan diri, tidak diperbolehkan karena dalam pasal 49 ayat 1 yang
menjadi syarat pembelaan terpaksa salah satunya adalah serangan yang
dilakukan harus sedang dijalankan. Jika pemasangan alat atau perangkap
yang mematikan sebagai pembelaan diri diperbolehkan atau “dikhawatirkan
akan segera menimpa” (onmiddelijk dreigende), dengan alasan sebagai
perlindungan diri karena di Indonesia sering terjadi perampokan jadi sebagai
alat perlindungan diri maka tidak dibenarkan karena dikhawatirkan dalam hal
ini tidak ada faktor seimbang antara dua kepentingan yang dirugikan ada
peranan penting.
Persamaan pembelaan terpaksa dengan pembelaan yang melampaui
batas antara lain yaitu: Pertama, pada keduanya harus ada serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum yang ditujukan pada tiga
kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusialaan dan harta benda), sama-
sama dilakukan dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha
10 Abdul Qadir Audah, op. cit, hlm. 152
mempertahankan dan melindungi suatu kepentiangan hukum yang terancam
bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, kedua,
pada keduanya, pembelaan ditujukan untuk mempertahankan daan
melindungi kepentingan hukum (rechsbelang) diri sendiri atau kepentingan
hukum orang lain.
Sedangkan perbedaannya yaitu antara lain: Pertama, perbuatan yang
dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa harus perbuatan yang seimbang
dengan bahaya atau ancaman serangan dan tidak diperbolehkan melampaui
dari apa yang diperlukan dalam pembelaan. Tetapi dalam pembelaan terpaksa
melampaui batas, pilihan perbuatan tidak seimbang dengan bahaya yang
ditimbulkan oleh serangan atau ancaman serangan karena adanya
keguncangan jiwa yang hebat11
misalnya seseorang menyerang lawannya
dengan pecahan botol yang sebenarnya dapat dilawan dengan sebatang kayu
(noodweer) tapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan cara
menembaknya (noodweer exces), kedua, pembelaan terpaksa hanya dapat
dilakukan ketika adanya ancaman atau serangan sedang berlangsung dan
tidak boleh dilakukan setelah serangan berhenti atau tidak ada lagi, tapi dalam
pembelaan yang melampaui batas, perbuatan pembelaan masih boleh
dilakukan sesudah serangan terhenti. Ketiga, tidak dipidana dalam pembelaan
terpaksa karena sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan
alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana pada pembelaan terpaksa terletak
pada perbuatannya. Sedangkan dalam pembelaan yang melampaui batas
11 Adami Chazawi, op. cit, hlm. 51
merupakan alasan pemaaf karena adanya alasan penghapus kesalahan pada
diri pelaku.
Dalam noodweer mengandung asas subsidairiteit yaitu harus adanya
keseimbangan antara kepentingan yang dibela, cara yang dipakai dan
kepentingan yang dikorbankan dan asas propositionaliteit yaitu tidak semua
alat dapat dipakai, hanya yang masuk akal. karena terdapat pembelaan yang
dilakukan harus sesuai dengan serangan yang bersifat melawan hukum,
sedangkan pembelaan diri harus disebabkan terpaksa karena tidak ada jalan
lain. Jadi, dalam pembuktian suatu kasus, hakim harus benar-benar
memperhatikan asas tersebut apakah merupakan alasan dalam noodweer atau
bukan.
Selain pembelaan diri (pembelaan khusus), hukum pidana Islam juga
mengatur adanya pembelaan umum (amar ma‟ruf nahi munkar) karena
dengan adanya pembelaan umum, maka dapat mencegah terjadinya jarimah
dan mengurangi terjadinya penyelewengan yang tidak diinginkan (upaya
prefentif). Jadi dalam hukum Islam, pembelaan umum hukumnya wajib.
Tetapi tidak semua orang dikenakan kewajiban dalam melaksanakannya. Ada
beberapa syarat yang harus ada pada pembelaan umum, salah satunya yaitu
adanya kesanggupan dan berakal sehat.
Dari segi hukum dan dasar tujuan tidak ada perbedaan antara
pembelaan khusus dan pembelaaan umum tersebut. Tetapi dalam segi objek
terdapat perbedaan yaitu: Objek pembelaan khusus adalah setiap serangan
yang mengenai keselamatan orang atau hartanya atau kehormatannya, sedang
objek pembelaan umum adalah yang mengenai hak masyarakat, keamanan
dan ketertibannya yang bersifat wajib. Pembelaan khusus terjadi jika adanya
serangan dari seseorang, sedang pembelaan umum terjadi ketika tidak ada
serangan.
Contoh: jika ada seorang laki-laki mendatangi seorang prempuan
dengan maksud memperkosa, maka disini terdapat pembelaan khusus. Tetapi
jika lelaki itu mendatanginya dengan persetujuan seorang perempuan
tersebut, maka terjadi pembelaan umum yaitu menolak (menggagalkan)
perbuatan munkar. Begitu juga dengan peristiwa pembunuhan terhadap orang
lain terdapat pembelaan khusus tetapi pada percobaan membunuh terdapat
pembelaan umum.
Ciri khas syari‟at Islam yang tidak terdapat pada hukum positif adalah
“amar ma‟ruf nahi munkar”. Dengan adanya asas ini dimaksudkan agar
setiap orang menjadi pengawas atas orang lain dan penguasa serta sesama
manusia saling memberi petunjuk dan mengingatkan untuk menjauhkan diri
dari perbuatan munkar dan ma‟siat, menjaga keamanan dan ketertiban,
memberantas jarimah dan menjunjung akhlak yang tinggi.
Sistem amar ma‟ruf nahi munkar tidak dikenal oleh hukum positif
kecuali pada awal abad XIX M, dimana hukum tersebut mulai mengakui
adanya hak mengeritik dan membimbing rakyat biasa (perorangan), serta
memberikan hak untuk menangkap orang yang tertangkap basah waktu
melakukan jarimah dan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib.
Bahkan dalam keadaan tertentu perseorangan diberikan hak untuk
menghalangi perbuatan jarimahnya jika menyangkut kepentingan masyarakat
seperti dalam penggulingan kekuasaan pemerintah dan menghancurkan
bangunan umum. Tetapi sistem amar ma‟ruf nahi munkar hanya diterapkan
oleh hukum positif dalam keadaan tertentu saja sedang dalam syari‟at Islam
dijalankan dengan seluas-luasnya.12
A. Analisis Sanksi Pembelaan Terpaksa melampaui Batas dalam Tindak
Pidana Pembunuhan
Sengaja membunuh dalam hal ini pelaku dengan sengaja melakukan
perbuatan membunuh, meskipun diketahui bahwa perbuatan tersebut dilarang.
Akan tetapi masalah kehendak menjadi permasalahan ketika orang yang
membunuh dalam kondisi terpaksa. Pelaku melakukan pembunuhan bukan atas
kehendaknya sendiri, melainkan karena adanya ancaman. Jika tidak membunuh
maka orang yang diserang akan dibunuh. Sementara itu unsur penting yang
menjadi dasar penentuan hukuman menurut syari‟at Islam adalah maksud atau
niatan yang menyertai perbuatan jarimah.13
Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan yang dilakukan karena
pembelaan terpaksa tidak dipidana, karena adanya peniadaan pidana yang di
dalamnya terdapat alasan pembenar yang menyebabkan hapusnya sifat
melawan hukum perbuatan14
, sehingga apa yang dilakukan terdakwa menjadi
12 Ahmad Hanafi, op. cit, hlm. 225-226
13
Niat dalam tindak pidana pembunuhan sangat menentukan terhadap penerapan sanksi atas
tindak pidana yang dilakukan. Dalam tindak pidana pembunuhan, Islam membedakan jenis
tingkatan hukuman pembunuhan sengaja, semi sengaja dan tidak sengaja didasarkan pada niatan
pembunuh. Niat tersebut sangat mempengaruhi terhadap berat-ringannya hukuman.
14
Hal ini berdasarkan pendapat Langenmeyer yang dikutip oleh Roeslan Saleh:“ Sifat
melawan hukum pada suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik akan mempunyai arti jika
melalui cara yaitu hakim akan memutuskan supaya ia lepas dari segala tuntutan hukum
perbuatan yang patut dan benar. Tidak dipidananya terdakwa karena perbuatan
tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam
kenyataanya perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur tindak pidana. Akan
tetapi karena hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.
Selain alasan pembenar, juga terdapat alasan pemaaf karena orang yang
melakukan perbuatan karena terdorong oleh pembelaan terpaksa melampaui
batas yang sebenarnya terpaksa dilakukan karena didorong oleh suatu tekanan
batin atau tergoncangnya jiwa, jadi fungsi batinnya menjadi tidak normal. Oleh
karena itu seseorang yang melakukan pembunuhan karena dalam keadaan
terpaksa dan dalam pembuktian di persidangan benar-benar terbukti adanya
syarat dan unsur pembelaan terpaksa, maka terdakwa dinyatakan lepas dari
segala tuntutan. Namun jika dalam pembuktian tidak terbukti adanya unsur
pembelaan terpaksa dalam tindak pidana pembunuhan, dengan
mempertimbangkan kaidah terdapat dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 KUHP, maka
pelaku dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP
mengenai kejahatan terhadap nyawa khususnya pasal 338 KUHP.
Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum
darurat yang membolehkan korban melindungi dan mempertahankan
kepentingannya atau kepentingan hukum orang lain. Inilah dasar filosofi
pembelaan terpaksa.
berdasarkan tidak dapat dipidananya perbuatan tersebut bilamana ia berfikir bahwa harus memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus yag dipandang dari sudut peraturan tertulis atau
tidak tertulis perbuatan tersebut merupakan hal yang patut walaupun bertentangan dengan
ketentuan yang melarang. Dalam semua kejadian-kejadian demikian masih dibuktikan apa yang
sepatutnya didakwakan tetapi bersamaan dengan hilangnya sifat melawan hukum, hilang pula hal
yang dapat dipidananya, dan karenanya putusannya adalah lepas dari tuntutan hukum, bukan bebas
dari tuntutan hukum.” Lihat dalam Roeslan Saleh, op. cit, hlm.6
Suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak pidana karena
perbuatan tersebut bisa merugikan terhadap tata nilai hidup yang ada di dalam
masyarakat, kepercayaan-kepercayaan, merugikan anggota-anggota
masyarakat, harta benda, nama baik, perasaan-perasaannya dan pertimbangan-
pertimbangan baik yang harus dihormati dan dipelihara.
Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam tidak
terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan alternatif baik
pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak disengaja. Bahkan Islam
memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh dalam memberikan sanksi terhadap
pelaku antara qishash atau memaafkan dan disuruh memilih disekitar
memberikan maaf dengan tidak memberikan ganti apa-apa.
Dengam demikian, maka dapat di fahami bahwa dalam hukum Islam,
tujuan diadakannya hukum qishash adalah, untuk melindungi hak Allah atas
hamba dalam masyarakat, terutama menyangkut hak hidup seseorang.
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”15
Dari ayat ini maka dapat dilihat bahwa qishash merupakan akibat dari
kejahatan terhadap manusia. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan
hidup manusia. Dengan demikian artinya, jika qishash itu dilaksanakan maka
kelangsungan hidup manusia di dunia akan terjamin. Dari ayat diatas jelas
menunjukan bahwa hukuman merupakan sarana sebagai sebuah jaminan
terhadap hak-hak dan kelangsungan hidup manusia.
15 QS. Al Baqarah (2): 179
Secara umum si korban tidak memiliki hak untuk memaafkan
hukuman, akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku bagi tindak pidana
pembunuhan. Pemaafan pada hukuman qishash oleh si korban tidak
dikhawatirkan akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Dengan
demikian, jenis hukuman qishash dalam hukum pidana Islam tidak semata-
mata diorientasikan pada perlindungan atau pemberantasan kejahatan, tetapi
lebih dari itu ditujukan pada pemberian jaminan rehabilitasi pada si korban
untuk tetap mendapatkan haknya untuk mendapatkan kembali posisi sosialnya
yang setara dengan orang lain.
Islam memberikan kebebasan kepada seseorang selama tidak
melampaui batas. Seseorang diizinkan untuk hidup dan mempunyai hak untuk
hidup selama ia tidak melakukan kekerasan apa pun. Tetapi, bila ia melampaui
batas tersebut dan membuat kekacauan serta penindasan dalam masyarakat
atau menjadi ancaman bagi kehidupan sesamanya, maka ia kehilangan hak
hidupnya.
Jadi, dalam menentukan sanksi hukuman atas pembelaan yang
melampaui batas dalam hukum Islam penulis berdasarkan penjelasan diatas
berpendapat bahwa terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama. Pada
dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (diperbolehkan) dan tidak ada
hukuman baginya.
األمور بمقاصدها
“Tiap perkara tergantung maksudnya”16
16 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, op.cit.hlm. 5
Namun jika sampai melewati batas dan mengenai orang lain dengan
tersalah, maka perbuatannya bukan mubah melainkan kekeliruan dan kelalaian
si pembela diri. Firman Allah SWT
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya
telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah
itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi.”17
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal
penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam
dengan hukuman, tapi cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak benar).
Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh karenanya
serangan orang gila dan anak kecil dapat dilawan. Jika sampai mengakibatkan
kematian maka tidak terdapat pertanggungjawaban baginya baik secara
perdata maupun pidana.
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi, apabila perbuatan
(serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman, melainkan hanya
17 Q.S Al Maidah (5): 32
perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak memiliki kecakapan maka
orang yang diserang itu hanya berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu
Yusuf berbeda dengan gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan
diisyaratkan harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi
pelakunya tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana. Pendapat Abu Yusuf ini, maka tidak terdapat pertanggungjawaban
secara pidana tapi terdapat pertanggungjawaban secara perdata yaitu dengan
membayar diat.18
Terdapat contoh yaitu beberapa waktu yang lalu digemparkan dengan
kasus Darsem, seorang TKW asal Subang yang akan dihukum pancung
karena tuduhan membunuh di Arab Saudi. Dalam pembelaannya Darsem
terpaksa membunuh, karena akan diperkosa oleh majikannya. Vonis
pengadilan menyatakan, bahwa Darsem terbukti bersalah telah membunuh
majikannya, seorang warga negara Yaman pada Desember 2007. Sidang
pengadilan di Riyadh pada 6 Mei 2009, menjatuhkan hukuman pancung bagi
Darsem. Namun, Darsem akhirnya lolos dari eksekusi mati setelah mendapat
pengampunan dari keluarga korban dengan syarat yang cukup berat untuk
ditanggung terpidana.
Pada 7 Januari 2011, ahli waris korban diwakili Asim bin Sali Assegaf
bersedia memberikan maaf (tanazul) kepada Darsem, dengan kompensasi
uang diyat sebesar SAR 2 juta, atau sekitar Rp 4,7 miliar.
18 Ahmad Wardi Muslich, op. cit, hlm. 90
a. Apabila yang dilakukan Darsem dalam rangka menghindarkan pemerkosaan
yang sedang terjadi maka ditafsil :
1) Apabila terkait dengan hal-hal yang mengarah kepada
pemerkosaan (seperti meraba, mencium dll) pembunuhan dalam
rangka membela diri dibenarkan setelah melalui tahapan-tahapan
yang memungkinkan seperti membentak, berteriak, memukul dll.
2) Apabila pelaku sudah memasukkan mr ‟p‟ kedalam miss ‟v‟ maka
pembunuhan bisa langsung dilakukan tanpa melalui tahapan-
tahapan menurut qaul dloif.
b. Apabila tindakan Darsem termasuk pembunuhan yang tidak dibenarkan
syara‟ maka maksimal diat yang harus dibayarkan adalah 100 onta.
Apabila yang dilakukan darsem itu tidak pada saat kejadian pemerkosaan
maka termasuk pembunuhan yang tidak dibenarkan syara‟.19
Agar setiap orang dapat terjamin kehidupannya maka harus berlaku
adil. Dengan demikian, orang-orang kuat harus melindungi orang lemah,
orang-orang kaya harus memberikan makan kepada orang-orang fakir, dan
sebagainya. Dalam hal ini banyak sekali Nas-nas al-Qur'an yang
menjelaskannya. Sebagaimana firman Allah SWT:
19
http://solusinahdliyin.net/satta/394-membunuh-untuk-menghindari-
perkosaan.html,diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011, 09.30
20 An-Nisâ' (4) : 58.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”
Allah memerintahkan kaum Muslimin, agar berlaku adil dalam
menghukum dan memutuskan perkara. Keadilan dalam bidang pengadilan itu
dianggap sebagai menunaikan amanah Allah. Al-Qur'an sendiri
memerintahkan keadilan secara umum, tanpa menentukan dalam bidang apa
dan terhadap golongan mana, melainkan dalam segala urusan dan terhadap
semua golongan yang melakukan pelanggaran, karena keadilan itu hukum
Allah dan aturan-Nya sedang manusia seluruhnya hamba Allah.
Seseorang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, orang
tersebut wajib dikenakan sanksi qishash, dengan alasan ia telah
menghilangkan nyawa manusia yang harus dijaga, penerapan sanksi qishas
ini dilaksanakan agar manusia tidak mudah untuk menumpahkan darah antar
sesamanya dan mencegah balas dendam dari pihak korban. Sanksi qishash
dilaksanakan apabila dari pihak korban tidak memberikan maaf, adapun
apabila ia mendapatkan maaf ia tetap diwajibkan untuk membayar diat.21
Disyari‟atkannya pembelaan yang sah dalam hukum Islam yaitu agar
seseorang tidak mudah dalam melukai, bahkan sampai menghilangkan nyawa
orang lain. Dalam hal ini Islam mombolehkan adanya pembelaan yaitu
adanya unsur keadilan sebagai akibat adanya serangan tersebut.
األصل فى المنافع اإلباحة
21 Ibid., hlm. 374-375.
“Prinsip dasar masalah manfaat adalah boleh.”22
Yang menjadi asas yang terpenting dalam hukum Islam adalah
keadilan mutlak. Syari‟at Islam sangat menginginkan penegasan asas
ketetapan hukum yang sangat penting ini yaitu keadilan mutlak disetiap
ketentuan hukumnya. Islam menetapkan keadilan yang sama dalam ketentuan
hukum duniawi antarmanusia secara keseluruhan, namun ketentuan ukhrawi
dibatasi pada orang yang beriman pada-Nya dan tunduk terhadap ketentuan
hukum-Nya.
Pada masa sekarang ini yang menjadi dasar penjatuhan hukuman
adalah rasa keadilan23
dan melindungi masyarakat. Rasa keadilan
menghendaki agar sesuatu hukuman harus sesuai dengan besarnya kesalahan
pembuat. Dalam KUHP berat ringannya hukuman yang harus dijatuhkan bagi
pelaku tindak pidana seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-
lain sudah ada ketentuannya sendiri. Akan tetapi berat ringannya hukuman
tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh para hakim. Hal ini
berhubungan dengan adanya batas maksimal dan minimal hukuman yang ada
dalam KUHP. Kebanyakan para hakim menjatuhkan hukuman mengambil di
antara kedua batas tersebut, dan jarang sekali hakim menjatuhkan hukuman
maksimal kecuali dalam kasus tertentu.
22 Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam
23 Sikap keadilan itu adalah kerelaan untuk mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia yang mengatasi kesukaan individual. Aturan
yang obyektif ini adalah aturan yang seharusnya (Ordnung des Gehorens), aturan ini merupakan dasar dan ukuran bagi aturan yang ditentukan
(Ordnung des Setzen). Sikap keadilan tidak hanya ditemukan pada orang yang beriman, artinya pada orang yang menerima wahyu Allah. Allah
mewujudkan aturan semesta alam, termasuk alam manusia. hal ini dimungkinkan melalui akal budi yang diberikan Allah kepadanya.
Alasan manusia menerima prinsip keadilan dalam ajaran Islam adalah
karena persamaan dan kebebasan diantaranya yaitu manusia berasal dari
keturunan yang sama dan semua makhluk tidak dapat melampui batas-batas
dan hukum yang ditetapkan. Tetapi lingkungan yang rusak dan tamak
meruntuhkan fondasi tersebut.24
Jadi, untuk menghindari adanya kejahatan
yang datang dalam diri seseorang, maka dianjurkan untuk membela diri
ketika diserang.
Pandangan hukum positif tentang hukum pembelaan diri mengalami
berbagai perubahan. pada masa dahulu pembelaan diri merupakan hak yang
diambil dari hukum alami atau dengan sendirinya, bukan dari hukum positif.
Pada abad pertengahan pembelaan diri tidak dianggap sebagai suatu keadaan
yang menghindarkan hukuman tapi hanya sebagai dasar pembebasan
hukuman. Pada abad ke-18 pembelaan dianggap sebagai keadaan terpaksa
yang membolehkan seseorang untuk membela dirinya sendiri. Keadaan
terpaksa tersebut timbul sebagai akibat tidak adanya perlindungan dari
masyarakat (negara). Pada abad ke-19 keadaan diri dianggap sebagai keadaan
terpaksa karena bahaya yang telaah mengepung korban menyebabkan dia
tidak memiliki pilihan lain dan nalurinya mendorong dia untuk memelihara
hidupnya. Pembelaan diri merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang
dan merupakan tugas kewajiban untuk mempertahankan dari atau hartanya
dan masyarakat tidak memperoleh keuntungan atau tidak ada kemaslahatan
24 Ibid, hlm. 70-72
dalam menjatuhkan hukuman atas orang yang membela diri karena ia bukan
pembuat kejahatan.
Jadi dalam suatu peristiwa serangan yang terjadi dalam pembelaan
terpaksa, maka harus dilihat dengan cermat dan teliti, apakah peristiwa
tersebut merupakan suatu pembelaan atau bukan. Terlihatlah disini bahwa
rasa keadilanlah yang harus menentukan sampai dimanakah keperluan
noodweer dibutuhkan yang menghalalkan perbuatan yang bersangkutan
terhadap seorang penyerang.
Dalam hukum Islam antara pembelaan terpaksa dan dharurah terdapat
persamaan syarat sedangkan dalam hukum positif terdapat persamaan syarat
dengan keadaan darurat (noodtoestand). Diantaranya adalah pertama
Keadaan dharurat harus sudah ada bukan masih ditunggu, dengan kata lain
kekhawatiran akan kematian itu benar-benar ada dalam kenyataan. Kedua,
orang yang terpaksa tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah atau
larangan syar‟i atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari
kemudharatan selain melanggar hukum. Dalam dharurah terdapat
kekhawatiran akan timbulnya kematian. Ketiga, Dalam menghindari keadaan
darurat hanya dipakai tindakan seperlunya dan tidak berlebihan. Sedangkan
perbedaannya adalah tidak boleh melanggar prinsip-prinsip syar‟i (maqasid
al-syari‟ah) seperti diharamkannya zina, pembunuhan, dalam kondisi
bagaimanapun.25
الضرر ال يزال بالضرر
25 Wahbah Zuhaili, Op. Cit, hlm. 73-74
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan
lagi.”26
Kaidah ini menuntut manusia untuk tidak menolak suatu bahaya
(kepentingan hukum) dengan bahaya yang lain atau semisalnya.
Keadaan darurat (noodtoestand) adalah suatu keadaan dimana suatu
kepentingan hukum terancam bahaya, untuk menghindari ancaman itu
terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar kepentingan
hukum yang lain. Dalam noodtoestand bersifat lebih umum, suatu keadaan
dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari
ancaman itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataanya melanggar
kepentingan hukum yang lain.
Perbedaan antara noodweer dengan noodtoestand, dalam pembelaan
terpaksa dengan pembelaan yang melampaui batas antara lain yaitu: Pertama,
kepentingan hukum yang ada pada noodtoestand tidak dibatasi sedangkan
dalam noodweer terdapat batasan hanya untuk tubuh, kesusilaan dan harta
benda. Kedua, dalam noodweer mengenal noodweer exces sedangkan dalam
noodtoestand tidak ada. Ketiga, noodweer untuk memebla kepentingan
hukum bagi diri sendiri atau orang lain sedangkan dalam noodtoestand tidak.
Sedangkan perbedaan daya paksa dan pembelaan terpaksa
1. Pada daya paksa:
a. Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang
yang diserang adalah berupa perbuatan yang dimaksudkan dan diinginkan
26 Jalal al-Din „Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, Beirut:
Daar al-Kutub al-„Alamiyah, tt, hlm. 86.
sipenyerang. Misalnya: seseorang mendatangi orang lain dengan todongan
pistol memaksa untuk menandatangani akta palsu, kemudian korban
menandatanganinya
b. Orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang tidak
dikehendaki karena dia tidak berdaya untuk melawan serangan yang
memaksa itu
c. Tidak ditentukan bidang kepentingan hukum dalam hal penyerangan yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa
d. Pada daya paksa dapat terjadi dalam keadaan darurat yaitu terjadi dalam
hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban
hukum dan konflik antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum.
b. Pada pembelaan terpaksa:
a. Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa
perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud penyerang. Misalnya:
seorang majikan laki-laki hidung belang sedang berusaha memeperkosa
pembantu rumah tangganya, setelah menindih tubuh prempuan tersebut,
kepergok oleh suami si pembenatu dan sengan kuat si suami menendang
kepala majikannya. Pilihan perbuatan suami pembantu berupa menendang
kepala majikan adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak dikehendaki si
majikan.
b. Orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk
melawan serangan oleh si penyerang
c. Pembelaan terpaksa hanya dilakukan terhadap serangan yang bersifat
melawan hukum dalam tiga bidang: tubuh, kehormatan kesusilaan dan
harta benda.
d. Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaaan darurat.
Jadi, dalam pembahasan diatas yang sudah diuraikan meskipun dalam
melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam hukum positif
dan hukum Islam, tidak dipidana atau lepas dari tuntutan hukum tetapi
terdapat persamaan unsur dalam pembunuhan semi sengaja yaitu pelaku
melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian dan terdapat
hubungan sebab akibat yang dalam ini terjadi sengaja-dengan-sadar-
kemungkinan-akibat.27
Sama halnya dengan pembelaan yang tidak
menginginkan akibat tertentu bagi orang lain tapi dia dituntut untuk
melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Begitupun dalam dharurah tidak diperbolehkan melanggar tujuan
syari‟at (maqasidus syari‟ah). Tetapi pembelaan diri dilakukan untuk
menolak tindak pidana. Tetapi jika ia dengan sengaja mengadakan perbuatan
dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa korban tapi ternyata hilangnya
nyawa tetap terjadi meskipun pada dasarnya perbuatan tersebut tidak
membawa kematian, maka disebut pembunuhan semi sengaja yaitu
kesengajaan di satu sisi dan kesalahan disisi lain. Pertanggungjawaban
pidananya lebih ringan daripada pertanggungjawaban karena kesengajaannya
27 Artinya pertanggungjawaban dalam tindak pidana ini, bukan karena kelalaiannya maupun
kesengajaanya melainkan karena akibat perbuatannya. Karena pada dasarnya akibat yang terjadi
tidak dikehendaki, tetapi dengan sengaja melakukan perbuatan. Lihat dalam Ahmad Hanafi, op.
cit, hlm. 174
tetapi lebih berat daripada pertanggungjawaban karena kelalaian yaitu tidak
dapat di qishash. Dalam hal ini pelaku tidak dapat dikenakan hukuman
qishash.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Melindungi jiwa merupakan salah satu bagian dari al-dharuriya al-
khamsah. Pembunuhan merupakan suatu proses perampasan, peniadaan
atau menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam hukum pidana Islam hukuman pokok bagi pembunuhan sengaja
adalah qishash sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 178. Hukuman pokok pada pembunuhan tidak sengaja atau
pembunuhan kesalahan adalah diat dan kafarah sebagaimana dijelaskan
dalam surat al-Nisa ayat 92. Hukuman penggantinya adalah ta’zir dan
hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak mendapat
warisan. Hukuman pokok pembunuhan semi sengaja adalah diat dan
kafarah, sedang hukuman penggantinya adalah ta’zir. Sedangkan dalam
hukum pidana Indonesia, tindak pidana pembunuhan diatur dalam pasal
338 sampai pasal 550 KUHP dengan ancaman hukuman paling berat yaitu
penjara seumur hidup yaitu Pasal 339 tentang pembunuhan dengan
pemberatan dan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Sedangkan
pembunuhan tidak sengaja dalam Pasal 359 diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun. Dalam KUHP, pelaku tindak pidana tidak
dapat dikenakan pidana apabila tidak dapat dasar peniadaan pidana.
2. Dalam hukum Islam ditentukan syarat pembelaan yang sah yaitu objek yang
dilindungi (jiwa, kehormatan dan harta benda sendiri maupun orang lain),
harus ada serangan seketika, pembelaan dilakukan dengan seimbang atas
serangan yang terjadi, dan serangan harus melawan hukum. Sedangkan
dalam hukum posistif terdapat syarat melebihi batas pembelaan yang
diperbolehkan dengan syarat harus terdapat penyebab kegoncangan jiwa
yang hebat dalam pasal 49 ayat 2. Terdapat hubungan kausal (causal
verband) antara serangan atau ancaman serangan dengan kegoncangan
jiwa yang hebat yang bersifat kasuistik apakah dari peristiwa konkrit
menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya dapat langsung
menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat atau tidak. Sedangkan
pandangan hukum Islam dalam melakukan perbuatan pembelaan tidak
boleh melebihi batas yang ditentukan, jika itu terjadi maka kelebihan
tersebut harus dipertanggungjawabkan oleh seorang yang melakukan
perbuatan tersebut. Tetapi jika tidak ada jalan lain atau dalam keadaan
terpaksa untuk mempertahankan harta, kehormatan maupun jiwa selain
membunuh, maka diperbolehkan karena tujuan hukum dalam Islam
(maqasidus syari’ah) harus terpenuhi demi terciptanya kemaslahatan umat
manusia.
3. Dalam hukum Islam, upaya yang dilakukan seseorang dalam melindungi
jiwa, kehormatan dan harta dari suatu ancaman dan serangan seseorang
disebut pembelaan yang sah (daf’u as-sail), dan upaya prefentif yang
disebut amar ma’ruf nahi mungkar. Tetapi dalam pembelaan jika sampai
mengakibatkan kematian atau pembunuhan dalam melakukan pembelaan
diri karena tidak ada cara lain, maka perbuatan itu diperbolehkan (asbab
al-ibahah) dan tidak dijatuhi hukuman atau sebagai alasan pembenar.
Tetapi harus sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam hukum Islam.
Hal ini bertujuan agar antara penyerang dan pembela berhati-hati dengan
nyawa seseorang. Jika salah satu syarat pembelaan tersebut tidak terpenuhi
maka bisa dikatakan pembunuhan semi sengaja karena terdapat
kesengajaan dan kesalahan tetapi pada dasarnya hilangnya nyawa tidak
diinginkan (sengaja-dengan-sadar-kemungkinan-akibat),
pertanggungjawaban dalam hal ini lebih ringan dari qishash. Sedangkan
dalam hukum positif dikenal pembelaan terpaksa (noodweer) ketentuan
dalam KUHP Dalam pasal 49 ayat 1 sebagai alasan pembenar, sedangkan
dalam ayat 2 dikenal istilah pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweer exces) sebagai alasan pemaaf untuk dasar penghapus hukuman.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses pembahasan dan kajian yang telah dibahas,
maka kiranya penulis perlu memberikan saran-saran untuk kelanjutan dan
kemajuan bersifat kajian akademik terhadap fenomena sosial yang terjadi di
Indonesia dalam hukum Islam yaitu, perlunya penelitian yang lebih mendalam
tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Tidak api tanpa ada asap, bukan tanpa alasan penulis melakukan
penelitian ini. Tetapi ada semangat dalam diri penulis untuk lebih mengetahui
sejauh mana konsepsi pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam
tindak pidana pembunuhan sebagai wacana bahan bacaan bagi pembaca untuk
bisa dijadikan bahan kajian dan diskusi yang memang perlu untuk lebih
dipahami.
Dalam penulisan ini penulis mengandung maksud: Pertama, kepada
pembaca untuk dapat memikirkan maupun menginterpretasikan dan
merenungkan kembali konsepsi pembelaan diri dalam perspektif hukum
pidana Islam maupun dalam KUHP karena maraknya kejahatan terhadap
tubuh seperti pembunuhan. Selain itu seharusnya ada upaya prefentif yang
lebih dari pada hanya sebuah peraturan saja. Seperti yang telah diatur dalam
hukum Islam yang merupakan kewajiban setiap orang yaitu amar ma’ruf nahi
munkar. Kedua, Dalam tindak pidana pembunuhan memang perlu
dipertimbangkan tujuan dan nilai maslahah demi terciptanya realitas hukum di
Indonesia yang adil. Seperti perbuatan pembelaan yang diperbolehkan harus
terdapat kejelasan dalam menentukan syarat dan untuk dijadikan bahan
pertimbangan dalam pembentukan hukum yang nantinya diharapkan dengan
adanya undang-undang yang tegas terkait dengan kejahatan maka akan
memperkecil jumlah kerusakan moral di Indonesia. Dan yang Ketiga,
pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam dalam tindak pidana
pembunuhan memang perlu dipertimbangkan maslahahnya oleh penegak
hukum demi terwujudnya prinsip Maqasid asy-Syari’ah dan terciptanya
nuansa hukum di Indonesia yang adil.
A. Penutup
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah. Penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dan tentunya tidak ada kebenaran kecuali dari
petunjuknya dan hanya Allah lah segala kebenaran yang hakiki. Serta dengan
terselesaikannya karya ilmiah ini juga adalah tidak lepas dari kehendaknya.
Shalawat dan salam penulis juga haturkan pada Nabi agung Muhammad saw.
Dengan perbuatan, ucapan dan tindakan beliau sebagai penjelas akan firman
Allah yang merupakan rahmatan lilalamiin untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Dengan segala kerendahan hati, permohonan maaf penulis
sampaikan kepada beberapa pihak. Kritik dan saran konstruktif penulis
nantikan dalam rangka perbaikan penulisan skripsi ini. karena penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan
skripsi ini dan tentunya tidak lepas dari keterbatasan kemampuan yang
dimiliki oleh penulis, dimana tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini
dan kesempurnaan hanya milik Allah swt.
Dan akhirnya penulis hanya bisa berharap mudah-mudahan
penulisan ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya. Untuk bisa mendiskusikan kembali mengambil nilai positif
dan menghilangkan yang negatifnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
DAFTAR PUSTAKA
A. Kelompok al-Qur'an
Dahlan, Zaini, dan Azharuddin Sahil, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya,
Yogyakarta: UII Press, 2000.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Syaamil Cipta Media, 1984.
Isma'il Ibrahim, Muhammad, Al-Qur'ân Wa I'jaz at-Tasyrî', Beirut: Dar al-Fikr al-
Arabi, 1978.
B. Jinayah dan Fiqih
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Arief, Abd. Salam, Fiqh Jinayah, Yogyakarta: Ideal, 1987.
‘Audah, Abdul Qadir, at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami Jilid II, Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, t.t.,
Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid VI, Damaskus: Dar al-
Fikr, Cet. ke-3, 1989., Nazariyyah al-darurah al Syar’iyah ma’a al Qanun
al-Wad’i, Damaskus: Muassasah al Risalah, 1995.
Bakri, Asfri Jaya , Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Asy-Syatibi, cet. ke-1,
Jakarta: G Sudarsono, Raja, Pengantar Ilmu Hukum, cet. ke-2, Jakarta:
Rineka Cipta, 1995.
Cristine S.T. Kansil, Latihan Ujian: Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Djalil, Maman Abd (ed), Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000.
Djazuli, H.A., Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet.
III, Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2000
Effendi M. zein, Satria, Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif Hukum Islam,
dalam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Hakim, Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Bandung : Pustaka Setia,
2000.
Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlus Sunnah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1972.
Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
I Doi, Abdurrahman, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam, Jakarta: Rineka
Cipta, 1992.
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), yogyakarta: Perpustakaan Universitas
Islam Indonesia, 1991.
Mubarrok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Muslich, Ahmad Wardi , Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Fiqih
Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 20006.
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid II, Kairo: Dar ad-Diyan li at-Turas, Cet.
ke-2, 1990.
Santoso, Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam
Wacana dan Agenda, Cet. ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Shiddiqi, Hasbi, Pidana Mati dalam Syari'at Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1998.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1997.
Sirajuddin, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Syah, Ismail Muhammad , Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Syaltut, Mahmud, Islam Aqidah Wa Syari’ah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1980.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, Beirut: Dar
al-Fikr, Cet. ke-2, 1981.
Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007.
Washil, Nashr Farid Muhammad, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id
Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2009
a. Hukum / Ilmu Hukum
Ali, Chidir, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
Bandung: Armico, 1985.
Bassar, M. Sudradjat, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, Bandung:
Remaja Rosdakarya, Cet. ke-2, 1986.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana II, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet. ke-1, 2002.
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Bandung: Nusa
media, 2004.
Hartono, Sunaryati, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung:
Binacipta, 1982.
Himawan, Charles, The Foreign Investment Process in Indonesia, Jakarta:
Gunung Agung, 1980.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Pradya
Paramita, cet. ke-1 1989.
Kusumaatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Dalam Pembangunan
Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, 1976.
Lamintang, P.A.F., Delik-delik Khusus, Bandung: Bina Cipta, Cet. ke-1, 1986.
Lukito, Ratno, Tradisi Hukum Islam, Yogyakarta: Teras, 2008.
Marpaung, Leden, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta:
Sinar Grafika, 1991.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia,
2006.
Prodjodikoro, Wirjono, Asa-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Eresco,
1989.
Projohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukuman Pidana di
Indonesia 2, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Sadli, Saparinah, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. ke-1, 1977.
Saleh, Roeslan, Kitab Undang-undang Hukum pidana, Jakarta: aksara Baru, 1987.
Sobur, Alex, Komunikasi Orang Tua dan Anak, Bandung: Angkasa, 1991.
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990.
Soerodibroto, Soenarto, KUHP dan KUHAP (dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Soeroso, Pengatar ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarga
Negaraan; Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, tim penyusun, A.
Ubaidilla (et al.), Jakarta: IAIN Press, 2000.
Wahjono, Padmo, Pembangunan hukum di Indonesia, Jakarta: In Mill Co, 2009.
b. Kamus
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung,
1989, hlm.331.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
Cet. ke-5, 1982.
c. Lain-Lain
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Edisi
Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif edisi Revisi, Bandung:
Remaja Roesda Karya, 2006.
Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung: Remaja
Rosdakarya, Cet. ke-4, 2000.
Suryabrata, Sumardi, Metode Penelitian, Jakarta: Grafindo Persada, Cet.IX, 1995.
1
BIOGRAFI ULAMA
Imam asy-Syafi'i
Nama lengkap tokoh besar ini adalah Muhammad Ibnu Idris Ibnu 'Abbās Ibnu
'Usmān Ibnu Syāfi'ī Ibnu Syā'ib Ibnu Ubāid Ibnu Abdul Yāzid Ibnu Hākim Ibn al-
Muthāllib Ibnu 'Abdί Manaf Ibnu Qusay; kakek Rasulullah SAW. Dilahirkan di Gaza
Palestina (riwayat lain mengatakan beliau lahir di Asqalan), pada tahun 150 Hijriyah.
Ibunya bernama Fātimah Ibnu Abdullāh al-Azdiyāh dari keturunan al-'Azd bukan
Qurais.
Syāfi'ī berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi di masanya.
Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun kedudukannya sebagai
putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak
mau merendahkan diri dan berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan
merasakan penderitaan-penderitaan mereka. Semasa kecil beliau dikenal sebagai anak
yang rajin dan cerdas, sehingga pada usia yang sangat belia beliau telah hafal al-
Qur'an dan banyak hadis. Beliau pernah mengembara ke Irak, disana beliau berguru
kepada Muhammad al-Hāsan. Beberapa tahun kemudian beliau pindah kekota
Madinah dan berguru kepada Muslim Ibnu Khālid al-Zinjī, beliau juga pernah datang
ke Madinah dan berguru kepada Imam Mālik, serta masih banyak lagi guru-guru
beliau yang lainnya. Sedangkan murid-murid beliau di antaranya adalah Ahmad Ibnu
Hānbāl, Abū Bākār al-Humadi, Ibrāhim Ibnu Muhammad al-'Abbās, al-Hāsan as-
Sabāh az-Zā'fārāni.
Karya-karya Ilmiyah Imam asy-Syāfi'ī yang sangat fenomenal adalah kitab
"ar-Risâlah" dan "al-Umm". Beliau berhasil menjembatani antara ahl al-hadis dan ahl
al-ra'yi, beliau berhasil menetapkan kaidah-kaidah hukum Islam, oleh karena itu
beliau diberi julukan sebagai bapak Ilmu Ushūl al-Fiqh. Imam asy-Syāfi'ī menjadikan
al-Qur'an, Sunah, Ijma' dan Qiyās sebagai sumber hukum. Imam asy-Syāfi'ī
meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 204 Hijriyah 819 Masehi di kota Mesir.
2
Imam Ahmad Ibnu Hanbal
Ahhmad Ibnu Muhammad Ibnu Hânbâl Ibnu Hilal Ibnu 'Usd Ibnu Idris Ibnu
'Abdillah Ibnu Hayyan Ibnu 'Abdullah Ibnu 'Anas Ibnu 'Auf Ibnu Qasit Ibnu Mazin
Ibnu Syaiban. Beliau dilahirkan di kota Bagdad pada tahun Rabi'ul Awal tahun 164
Hijriyah/780 Masehi. Ayahnya menjabat sebagai Walikota Skhas dan pendukung
Pemerintah 'Abbasiyah. Ibunya bernama Syâfiyah binti Maimunah binti Abdul Mâlik
asy-Syaibani dari suku Âmir.
Imām Hânbâl sejak kecil gemar membaca al-Qur'an dan bahasa, namun
setelah dewasa beliau lebih semangat mempelajari hadis. Beliau berusaha mencari
dan mengumpulkan banyak hadis, meskipun harus berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat yang lain, sehingga beliau mempunyai banyak guru. Diantara guru-guru
beliau adalah 'Ali Yusuf Yā'qub Ibnu Ibrāhim al-Qidi, Hisyam bin Busyâir, Umair
Ibnu Abdullah, Abdurrahman Ibnu Mahdi, Abû Bakar Ibnu Qiyisi dan Imâm Syafi'ī,
sedangkan murid-murid beliau diantaranya Yahya Ibnu Adam, Yazid Ibnu Hârun,
'Ali Ibnu al-Mâdani, al-Bukhâri, Muslim, Abu Dâud, Abu Zahrah, ar-Râzi, ad-
Dimasyqi, Ibrâhim al-Harbi, Abu Bakar Ibnu Hani'. Imâm Ahmad Ibnu Hânbâl dalam
Istinbat hukum menjadikan al-Qur'an sebagai dasar hukum pertama, kemudian
Sunah, perkataan sahabat dan fatwanya, kadangkala beliau menggunakan Ijma' dan
Qiyas jika dianggap perlu. Selain sumber hukum di atas beliau juga menggunakan al-
Maslâhah al-Mursâlah dan Sa'dud az-Zâri'ah jika tidak terdapat nas yang menyatakan
kehalalan atau keharaman sesuatu.
Karya-karya ilmiyah Imam Ahmad bin Hanbal yang monumental diantaranya
adalah kitab Musnad yang memuat 30 ribu hadis Nabi SAW, al-Tafsir di dalamnya
memuat 120 ribu hadis, al-Manâsik al-Kâbir dan al-Manâsik al-Sâgir, serta kitab-
kitab yang lainnya. Imâm Ahmad Ibnu Hânbâl menghembuskan nafasnya yang
terakhir pada hari Jum'at, 12 Rabi'ul Awwal tahun 241 Hijriyah/855 Masehi dan di
makamkan di kota Bagdad.
3
Imâm Malik Ibnu Anas
Abu Abdullah Malik Ibnu Anas Ibnu Abi Âmar al-Asbâhi al-Yamâni. Ibunya
benama 'Aisyah putri dari Syarik al-Azdiyah, dari Yaman yang berketurunan
merdeka. Imâm Mâlik lahir di Madinah pada tahun 93 Hijriyah (718 M) dan wafat
pada tahun 179 Hijriyah (795 M). Mâlik dilahirkan dalam keluarga ilmuwan yang
tekun mempelajari hadis dan atsar. Mâlik telah menghafal al-Qur'an di usia masih
sangat muda. Anas Ibnu Mâlik tidak begitu memperhatikan hadis. Walaupun ayah
Mâlik tidak terkenal sebagai ahli ilmu, namun kakeknya dan paman-pamannya
semuanya terkenal sebagai ahli ilmu. Dengan demikian tidaklah mengherankan
apabila Mâlik yang tumbuh dalam keluarga hadis, punya kecenderungan mempelajari
hadis.
Sejak dari mudanya Mâlik sangat menghargai hadis Rasul. Dia tidak mau
menerima sesuatu hadis buat dipelajarinya melainkan dalam keadaan yang penuh
kesegaran dan ketenangan. ia tidak mau menulis hadis sambil berdiri.
Mâlik dalam masa belajar berkonsentrasi kepada empat macam ilmu.
Pertama: cara membantah pengikut-pengikut hawa nafsu, kedua, Fatwa-fatwa sahabat
dan tâbi'in. ketiga, fiqh Ijtihad, dan yang keempat, yaitu hadis-hadis Rasûlullah.
Beliau menerima ilmu dari 100 orang ulama asar dari berbagai
aliran,adapun guru-guru beliau terbagi dua: guru yang mengajarkan fiqh dan ijtihad
dan guru-guru yang mengajarkan hadis.
Karya besarnya beliau berjudul al-Muwatta', Imâm Mâlik mengakui empat
sumber hukum: Pertama al-Qur'an dan Sunah, kemudian, jika diperlukan, praktek
kaum Muslimin di Madinah dalam mengikuti Sunah, dan akhirnya interpretasi
personal, (ra'yu) dalam bentuk konsesus (ijma') para ulama Madinah terhadap
pertanyaan yang timbul.
Imâm Mâlik memiliki murid yang banyak. Tak ada seorang imâm yang
mempunyai murid sebanyak Mâlik. Murid-murid yang mendapat pelayanan istimewa
dari Mâlik ialah: Abdullah Ibnu Wahab, Abdur Rahman Ibnu al-Qâsim, Asyab Ibnu
Abdul Âziz, Asan Ibnu Fûnud dan Ibnu Majisun.
4
Imam Abu Hanifah
Abu Hânifah adalah putera sabit Ibnu Nu'man Ibnu Marzûban. Menurut
riwayat lain, Abu Hânifah adalah putrea Tsâbit Ibnu Zuthi, seorang keturunan Persia.
Dia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 Hijriyah (699 M) dimasa Abdul Mâlik bin
Marwan al-Amâwi, dan wafat pada tahun 150 Hijriyah (767 M). Ayahnya adalah
seorang pedagang besar, karenanya Abu Hânifah sebelum memusatkan perhatiannya
terhadap ilmu, turut berdagang di pasar, menjual kain sutra. Di samping berniaga, ia
tekun pula menghafal al-Qur'an dan amat gemar membacanya.
Beliau adalah tokoh mazhab Rasional-Liberal, dan terkenal dengan nama Abu
Hanifah, karena beliau mempunyai putra yang bernama Hanifah. Alasan lain disebut
demikian adalah karena kerajinannya beribadah kepada Allah, selain itu juga karena
beliau selalu akrab dengan tinta untuk mencatat ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
para gurunya dan para ulama-ulama lainnya.
Abu Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun
dalam masa Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimilki di masa
Amawi, walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum
diketahui, istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan.
Dalam kehidupan sehari-hari Abu Hânifah adalah orang yang hidup berkecukupan.
Sebagai pedagang ia tidak tamak, tidak takut kehabisan harta,sangat memelihara
âmanah orang yang dititipkan kepadanya, murah hati, yang mempergunakan
kekayaan untuk kehidupan orang lain, amat kuat agamanya, amat banyak ibadatnya,
berpuasa di siang hari dan mengerjakan shalâtul lail di malamnya.
Mâlik menerangkan jalan yang ditempuh Abu Hânifah dalam membentuk
Mazhab-mazhabnya dn mempelajari aneka masalah, ialah mendiskusikan sesuatu
masalah dengan para muridnya.
Imâm Abu Hânifah tidak menerbitkan kitab dengan ditulisnya sendiri. Ini
wajar karena di masa Abu Hânifah belum berkembang usaha pembukuan. Di waktu
usaha pembukuan telah mulai berkembang, ia telah berusia lanjut. Murid-
muridnyalah yang membukukan pendapat-pendapatnya, mungkin sebagian yang
5
dicatat itu adalah hasil diktenya sendiri, akan tetapi walaupun Abu Hânifah tidak
mempunyai kitab yang dapat kita katakana hasil karyanya sendiri, namun para ulama
mengatakan Abu Hânifah mempunyai Kitab Musnad yang mengandung hadis yang
diriwayatkan olehnya. Menurut penelitian para ulama, kitab Musnad itu bukan hasil
karya Abu Hânifah sendiri. Kitab itu dikumpulkan oleh murid-muridnya. Di antara
yang mengumpulkannya ialah Muhammad Ibnu Hasan. Kitab itu dinamakan al-Atsar
oleh Abu Yûsuf.
Wahbah az-Zuhaili
Nama lengkapnya adalah Wahbah Mustafa az-Zuhailī. Dilahirkan di kota
Dar'atiyah bagian Damaskus pada tahun 1932. beliau belajar di Fakultas Syari'ah di
Universitas al-Azhar Kairo dengan memperoleh ijazah tertimggi pada peringkat
pertama pada tahun 1956. beliau mendapat gelar Lc dari Universitas Ain asy-Syâms
dengan predikat jayyid pada tahun 1957. beliau mendapat gelar ' MA' di Diploma
Mazhab Syari'ah pada tahun 1959 dari Fakultas hukum Universitas al-Qâhirah,
kemudian gelar Doktor dalam hukum 'asy-Syari'ah al-Islamiyah' dicapai pada tahun
1963. pada tahun 1963 beliau donobatkan sebagi dosen 'Mudarris' di Universitas
Damaskus. Spesipikasi keilmuan Wahbah Zuhailī adalah Fiqh dan Ushul Fiqh.
Adapun karya-karyanya Wahbah Zuhailī antara lain: al-Wasil Fi Ushul al-Fiqh al-
Islami, al-Fiqh al-Islami Fi Uslûbihi al-Jadid, al-Fiqh al-Islami Wa 'Adilatuhu, Tafsir
al-Munir Fi al-'Aqīdah Wa asy-Syari'ah Wa al-Manhaj.
Abdul Qadir ‘Audah
Beliau adalah seorang ulama terkenal Alumnus Fakultas Hukum Universitas l-
Azhar Cairo pada tahun 1930 sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh utama
dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau
juga turut ambil bagian dalam merumuskan Revolusi Mesir yang berhasil gemilang
pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M. Najib dan Letkol Gamal Abdul
Naser. Ia mengakhiri hidupnya di tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan
6
polotiknya pada tanggal 8 Desember 1954 bersama lima kawannya. Hasil karyanya
antara lain adalah kitab at-Tasyri’i al-Jina’i al-Islami dan al-Islam wa Awda’ana al-
Islami.
As-Sayyid Sabiq
Beliau adalah ulama terkenal di Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, teman
sejawat dengan Hasan al-Banna pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin, beliau
termasuk salah seorang yang menganjurkan ijtihad, dan menganjurkan kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karya beliau yang terkenal adalah Fiqh as-Sunnah,
Qa’idah al-Fiqhiyyah, dan Aqidah Islam.
Ibn Rusyd
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn
Muhammad. Beliau lahir di Cordova pada tahun 1126 M dan wafat di Maroko pada
tahun 1198 M. Beliau adalah seorang dokter, ahli hukum dan tokoh filsafat yang
paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam. Hasil karyanya antara
lain Kitab al-Kulliyat, Bidayah al-Mujtahid, Kitab Fash al-Maqal fi ma Baina asy-
Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittisal.
Ibn Hazm
Nama lengkapnya adalah Ali ibn Ahmad ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm az-
Zahiri ibn Galib ibn Saleh ibn Khalaf ibn Madam ibn Yazid, gelarnya adalah
Muhammad. Beliau adalah ulama terkenal di Andalusia dan pembela mazhab Zahiri,
lahir di Cordova tahun 344 H. Pada mulanya beliiau adalah penganut mazhab
Syafi’iyah dan kemudian tertarik dengan mazhab Zahiri setelah beliau mendalaminya
lewat buku-buku dan dari para yang ada di daerahnya. Di samping sebagai pengajar,
beliau juga terkenal dengan karya-karyanya yang mencapai 400 buah, salat satunya
adalah al-Muhalla.
7
Ibn Quddamah
Nama lengkap beliau adalah Wuwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah ibn
Ahmad ibn Quddamah. Lahir di Jerusalem pada tahun 541 H/ 1147 M. Wafat di
Damaskus pada tahun 620 H/ 1223 M. Beliau merupakan seorang ulama besar dan
penulis kitab-kitab fiqh standar mazhab Hambali. Beliau hidup pada masa perang
salib berlangsung, khususnya di daerah Syam. Hasil karyanya antara lain adalah, al-
Mugni, al-Kafi, al-Umdah fi al-Fiqh, dan lain-lain.
P.A.F. Lamintang
Beliau adalah dosen Koordinator dalam mata kuliah Hukum Pidana I dan II
serta sebagi pengajar mata kuliah hukum Penitensier, Penologi dan Pemasyarakatan
pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Beliau dengan
Djisman Samosir telah menulis buku Hukum Pidana dan Delik-delik Khusus
Terhadap Hak-hak Milik, dan lainnya.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI:
Nama Lengkap : Muhayati
Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 11 Juni 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Hasanuddin RT 06/ RW 02 Bandarharjo-Semarang Utara,
Semarang 50175
No. HP : 085290151631
PENDIDIKAN FORMAL :
MI Hasanuddin Bandarharjo, Semarang Tahun 2000
MTS Al Fattah Sayung, Demak Tahun 2003
MAN Demak Tahun 2006
PENDIDIKAN NON FORMAL :
Al-Ma’had Manba’ul Qur’an, Sayung Demak Tahun 2003
Al-Ma’had Al-Falah, Jogoloyo Demak Tahun 2006
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah Tahun 2010
Anggota Justisia Fakultas Syari’ah Tahun 2007
Anggota JQH Fakultas Syari’ah Tahun 2007
Anggota PMII Fakultas Syari’ah Tahun 2007
Semarang, 7 Desember 2011
Yang menyatakan;
Muhyati
NIM. 072211012