BAB I
PENDAHULUAN
Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri yang timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan
yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang
akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak.
Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau
mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya.
Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi
(sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai
ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri.
Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi
penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan
jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana
nyeri merupakan salah satu gejalanya karena dipandang merugikan maka inflamasi
memerlukan obat untuk mengendalikannya. Untuk setiap orang ambang nyerinya
konstan. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC
Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik
(non-opioid) dan analgetik narkotik (opioid). Analgetik narkotik (opioid) merupakan
kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Meskipun memperlihatkan berbagai
efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri. Opioum yang berasal dari getah Papaver somniferum yang
mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin.
Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan
atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan
ketagihan. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. peredaran obat
tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANALGETIK OPIOID (NARKOTIK)
A. Definisi
Analhesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium
berasal dari Papaver Somniferum yang mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya
morfin, kodein, tabain, dan papaverin.
Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri. Semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ ketergantungan. Dengan kata lain,
opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam
anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin, fentanil.
B. Klasifikasi Opioid
Penggolongan opioid antara lain:
a. Secara umum, opioid diklasifikasikan menjadi :
1. agonis : berdifat mengaktifkan reseptor. Contohnya : morfin, papavertetum, petidin
2. antagonis : bersifat tidak mengaktifkan reseptor dan mencegah agonis merangsang
reseptor. Contonya : nalokson dan naltrekson
3. campuran antara agonis dan antagonis. Contohnya : pentasosin, nalbufin.
b. secara klinis, opioid diklasifikaikan menjadi golongan lemah (kodein) dan golongan
kuat (morfin), yaitu :
1. Opioid alami (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain)
2. Opiod Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)
3. Opiod Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
C. Reseptor- Reseptor Opioid
Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor opioid yang
diketahui terdapat 4 reseptor, yaitu :
1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada reseptor ini akan
menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria dan depresi pernafasan
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anesthesia. Morfin juga bekerja
pada reseptor ini
3. Reseptor Sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil medriasis, dan
stimulasi respirasi
4. Reseptor Delta
Pada manusia peran reseptor ini belum diketahui pasti. Tapi di duga untuk memperkuat
reseptur Mu
D. Mekanisme Kerja
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat,
tetapi lebih berkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus
corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia gelatinosa
dan dijumpai pula di pleksus n.intestinal. Molekul opioid dan polipeptida endogen
(metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan
menghasilkan efek. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor
akan tetapi dengan afinitas yang berbeda dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan
campuran.
Secara umum, efek obat-obat narkotik (opioid) antara lain :
1. Efek sentral:
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi pada reseptor opioid (efek analgesi)
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)
d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia)
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat
pusat emetik (efek antiemetik)
h. Menyebabkan miosis (efek miotik)
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.
2. Efek perifer:
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pylorus gaster
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik)
c. Kontraksi sfingter saluran empedu
d. Menaikkan tonus otot kandung kemih (vesica urinaria)
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan
memicu bronkospasmus pada pasien asma.
E. Obat-obat opioid yang biasa digunakan dalam anastesi antara lain:
1. MORFIN
a. Farmakodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung
otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif
reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika (ADH).
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek
analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri
dan mempengaharui janin pada ibu hamil. Eksresi morfin terutama melalui ginjal.
Sebagian kecil morfin dapat dikeluarkan melalui fesces dan keringat.
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Apabila semakin berat nyeri nya maka dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin
sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard, neoplasma,
kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau
koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri akibat trauma
misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
d. Dosis dan sediaan
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk
larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau
mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2
mg intravena dan dapat diulang sesuai yang diperlukan.
e. Efek samping
Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi
pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi
peningkatan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.
2. PETIDIN
a. Farmakodinamik
Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor µ.
Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya
lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada
penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin (petidin) lebih
efektif terhadap nyeri neuropatik.
b. Farmakokinetik
Absorbsi meperidin (petidin) dengan cara pemberian apapun berlangsung baik.
Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan secara intra
muscular (IM). Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar
yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin secara intra
vena (IV), kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam
plasma akan berikatan dengan protein. Metabolisme meperidin terutama terjadi di dalam
hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit
ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin
dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan
tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan
tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.
c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa
keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek
daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan
sebagai obat preanestetik.
d. Dosis dan Sediaan
Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25
mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar diberikan dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi
dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
e. Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,
palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
f. Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1). Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.
2). Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari
10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3). Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan
takikardia.
4). Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.
5). Petidin cukup efektif untuk menghilangkan tremor pasca bedah yang tidak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
6). Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
3. FENTANIL
a. Farmakodinamik
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu
analgesik, fentanil 75-125 kali lebih paten dibandingkan dengan morfin. Onset yang
berlangsung lebih cepat dan cara kerjanya yang singkat menunjukkan kelarutan lipid yang
lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil dapat meningkatkan aksi
anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi
lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantaran saraf) dan efeknya terhadap
reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol
untuk menimbulkan neureptanalgesia.
b.Farmakokinetik
Setelah pemberian secara intravena dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak di paru-paru ketika pertama
kali melewatinya. Fentanil dimetabolisime oleh hati dengan N-dealkilase dan
hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
c. Indikasi dan Dosis
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg
BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia
adalah suntikan 50 mg/ml.
d.Efek samping
Efek yangberbahaya ialah terjadinya kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat menyebabkan
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.
2.2 ANALGETIKA NON OPIOID
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah memblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak
berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.
Obat- obat Nonopioid Analgetik ( Generic name ) yaitu : Acetaminophen, Aspirin,
Celecoxib, Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin,
Ketoprofen, Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone, Naproxen,
Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac,
Tolmetin.
Berikut macam-macam obat analgesik non-opioid (non-narkotik) yaitu :
a. Salicylates
Contoh obatnya yaitu Aspirin, obat ini mempunyai kemampuan untuk menghambat
biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara
ireversibel, pada dosis yang tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin
maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa dapat menyebabkan efek samping yaitu
gangguan lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok
(minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).
b. p-Aminophenol Derivatives
Contoh obatnya yaitu Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini
bekerja menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki
efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang
seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping nya
kadang-kadang timbul pada saat terjadi peningkatan ringan pada enzim hati. Pada dosis
besar dapat menimbulkan pusing, mudah terangsang dan disorientasi.
c. Indoles and Related Compounds
Contoh obatnya adalah Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin dan
merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping nya dapat
menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri pada abdomen, diare, pendarahan
saluran cerna, dan pancreatitis, serta dapat menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi
kelainan pada hati.
d. Fenamates
Contoh obatnya adalah Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan dari asam
fenamat yang mempunyai waktu paruh pendek. Efek samping nya serupa dengan obat-
obat AINS baru yang lain dan tidak ada keuntungan lain yang melebihinya. Obat ini dapat
meningkatkan efek antikoagulan oral dan dikontraindikasikan pada kehamilan.
e. Arylpropionic Acid Derivatives
Contoh obatnya adalah Ibuprofen (Advil). Obat ini tersedia bebas dalam dosis rendah
dengan berbagai nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita
polip hidung, angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping
obat ini adalah gejala gangguan saluran pencernaan.
f. Pyrazolone Derivatives
Contoh obatnya adalah Phenylbutazone (Butazolidin). Obat ini sering digunakan untuk
artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunyai efek anti-
inflamasi yang kuat. Tetapi memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis,
anemia aplastik, anemia hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal.
Contoh obatnya : Piroxicam (Feldene), obat AINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya
panjang untuk pengobatan artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek
sampingnya meliputi tinitus, nyeri kepala, dan rash.
g. Acetic Acid Derivatives
Contoh Obatnya adalah Diclovenac (Volatren). Obat ini adalah penghambat
siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi , analgetik, dan antipiretik. Waktu
paruhnya pendek, dianjurkan untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan berbagai
kelainan otot rangka. Efek sampingnya distress saluran cerna, perdarahan saluran cerna
dan tukak lambung.
h. Miscellaneous Agents
Contoh obatnya adalah Oxaprozin (Daypro). Obat ini mempunyai waktu paruh yang
panjang. Obat in memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat
AINS lain.
Contoh Obat lain nya, yaitu sebagai berikut :
1. Ketorolak
Ketorolak termasuk anti inflamasi non-steroid dengan sifat analgesik yang kuat
dan efek antiinflamasi sedang. Ketorolak bekerja secara selektif menghambat sintesis
prostaglandin (COX-1) di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di sistem saraf
pusat.
Absorpsi ketorolak berlangsung cepat, baik itu melalui oral, intravena maupun
intramuskular. Ketorolak dapat dipakai sebagai pengganti morfin dan penggunaannya
dengan analgesik opioid dapat mengurangi kebutuhan opioid sebesar 20-50%. Dosis
intramuskular ketorolak sebesar 30-60 mg, secara intravena sebesar 15-30 mg, dan
secara oral sebesar 5-30 mg. Efek analgesia dicapai dalam 30 menit, maksimal
setelah 1-2 jam dengan lama kerja 4-6 jam..Ketorolak bersifat toksik pada beberapa
organ, seperti hati, lambung, dan ginjal jika digunakan dalam jangka waktu lebih dari
5 hari.
2. Ketoprofen
Ketoprofen diberikan secara oral, kapsul, tablet dengan dosis 100-200
mg/hari, Per-rektal 1-2 suppositoria, Suntikan intarmuskuler 100-300mg/hari, dan
Intravena per-infus dihabiskan dalam 20 menit
Efek samping golongan Analgetik Non-Opioid (NSAID)
Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah, konstipasi,
diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung.
Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-Johnson.
Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus,
retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-kreatinin, pererenal azotemia, nekrosis
papil ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.
Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin, bilirubin, ikterus
hepatoseluler.
Gangguan sistem darah: trombositopenia, leukimia, anemia aplastik.
Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema, hipertensi, gagal
jantung.
Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.
Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses persalinan, anak kecil.
Penanganan Nyeri Menurut WHO
Tangga analgetik. WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetik untuk
nyeri hebat (misal pada kanker), Tujuannya untuk menghindari resiko habituasi dan
adiksi untuk opioi. Menurut WHO penanganan nyeri digolongkan dalam 3 kelas, yaitu :
1. Pada awalnya langkah pertama hendaknya menggunakan obat analgesik non-opiat,
seperti: NSAID, termasuk asetosal dan kodein
2. Apabila penderita masih mengeluh nyeri, maka naik ke tangga selanjutnya atau langkah
kedua, yaitu ditambahkan dengan obat opioid golongan lemah, seperti : d-propoksifen,
tramadol dan kodein atau kombinasi parasetamol+kodein
3. Apabila ternyata nyeri masih belum reda atau menetap lama maka sebagai langkah ketiga
disarankan menggunakan opioid kuat, seperti : morfin
2.3 ANASTETIK LOKAL
A. DEFINISIKata anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang
meliputi pemberian anestesi maupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien dioperasi
atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat,
pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dilakukan dengan teknik :
1. Anestesi permukaan, yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal di atas
selaput mukosa seperti mata, hidung, atau faring. Contohnya Chlorethyl.
2. Anestesi infiltrasi, yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di sekitar
tempat lesi, luka atau insisi. Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah blokade lingkar
dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan.
. 3. Anestesi blok, yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung ke saraf utama atau
pleksus saraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal, misalnya saraf
oksipital dan pleksus brakialis, anestesi spinal, anestesi epidural, dan anestesi kaudal.
Pada anestesi spinal, analgetik lokal disuntikkan ke dalam ruang subaraknoid di antara
konus medularis dan bagian akhir ruang subaraknoid. Anestesi epidural diperoleh dengan
menyuntikkan zat anestetik lokal ke dalam ruang epidural. Pada anestesi kaudal, zat
analgetik lokal disuntikkan melalui hiatus sakralis.
4. Anestesi regional intravena, yaitu penyuntikkan larutan analgetik lokal intravena.
Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik
dengan turniket pneumatik (Bier Block). Paling baik digunakan untuk ekstremitas atas.
Atau dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu :
1. Neurological blockade perifer
Topical
Infiltration
Nerve block
IV regional anestesia
2. Neurological blockade sentral
Anesthesia spinal
Anesthesia epidural
B. KLASIFIKASIAnestesi lokal terdiri dari beberapa golongan, yaitu :
1. Golongan ester (-COOC-)
Kokain, benzokain, prokain (novocaine), tetrakain (pantocaine).2. Golongan amida (-NHCO-)
Lidokain (xylocaine), mepivakaine (carbocaine), prilokain (citanest), bupivacaine
(marcaine), etidokain (duranest), dibukain (nupericaine), ropivakain (naropin),
levobupivacaine (chirocaine).
Perbedaan Ester dan Amide
Ester :
- Relatif tidak stabil dalam bentuk larutan
- Dimetabolisme dalam plasma oleh enzyme pseudocholinesterase
- Masa kerja pendek
- Relative tidak toksik
- Dapat bersifat allergen, karena strukturnya mirip PABA (para amino benzoic acid).
Amide :
- Lebih stabil dalam bentuk larutan
- Dimetabolisme dalam hati
- Masa kerja lebih panjang
- Tidak bersifat alergen
IV. OBAT-OBAT LOKAL ANESTESI
Obat anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang :
1. Tidak mengiritasi atau merusak jaringan secara permanen
2. Batas keamanan lebar
3. Mula kerja singkat
4. Masa kerja cukup lama
5. Larut dalam air
6. Stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
7. Poten dan bersifat sementara (efeknya reversible)8. Harganya murah
a. Lidokain
Lidokain (lignokain, xylocain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas
dengan pemberian topikal dan suntikan. Efek anestesi terjadi lebih cepat, kuat, lebih
lama dan lebih ekstensif dibandingkan daripada yang ditimbulkan oleh prokain pada
konsentrasi yang sebanding. Larutan lidokain 0,25-0,5 % dengan atau tanpa adrenalin
digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan larutan 1-2 % untuk anestesi blok dan
topikal. Untuk anestesi permukaan/topikal tersedia lidokain gel 2 %. Sedangkan pada
analgesi/anestesi lumbal digunakan larutan lidokain 5 %.
Anestetik ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tapi kecepatan absorpsi dan
toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat
terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap anestetik lokal golongan ester. Lidokain
dapat menimbulkan kantuk. Setelah disuntikkan, obat dengan cepat akan dihidrolisis
dalam jaringan tubuh pada pH 7,4-4,5.
Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf,
anestesia spinal, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal, dan secara setempat untuk
anestesia selaput lendir.
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya
mengantuk, pusing, parestesia, kedutan otot, gangguan mental, koma, dan bangkitan.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau
oleh henti jantung.\
b. Bupivakain
Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek
blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain
lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa
pascapembedahan.
Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25-0,5% untuk anestesia
infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk
anestesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.
Indikasi
Bupivakain digunakan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, block saraf, epidural, dan
anestesi intratekal. Bupivakain sering diberikan melalui injeksi epidural sebelum
melakukan arthroplasty panggul total. Juga sering diinjeksikan ke luka pembedahan
untuk mengurangi nyeri hingga 20 jam setelah operasi. Terkadang, bupivakain
dikombinasikan dengan epinephrine untuk memperlama durasi, dengan fentanil untuk
analgesia epidural atau glukosa.
Kontra indikasi
Kontraindikasi bupivakain untuk anestesi regional intravena karena resiko dari kesalahan
tourniquet dan absorpsi sistemik obat.
Efek Samping
Dibandingkan dengan obat anestesi lokal lainnya, bupivakain dapat mengakibatkan
kardiotoksik. Akan tetapi efek samping akan menjadi jarang bila diberikan dengan
benar. Kebanyakan efek samping berhubungan dengan cara pemberian atau efek
farmakologis dari anestesi. Tetapi reaksi alergi jarang terjadi
Bupivakain dapat mengganggu konsentrasi plasma darah yang diakibatkan karena
efeknya yang mempengaruhi CNS dan kardiovaskuler.
c. Levobupivakain
Jika dibandingkan dengan bupivakain, levobupivakain menyebabkan lebih sedikit
vasodilatasi dan memiliki duration of action yang lebih panjang. Obat ini memiliki
sekitar 13 persen daya potensial (melalui molaritas) lebih daripada golongan bupivakain.
2
Indikasi
Levobupivakain diindikasikan untuk lokal anestesi meliputi infiltrasi, blok nervus
oftalmik, anestesi epidural dan intratekal pada orang dewasa serta dapat juga digunakan
sebagai analgesia pada anak-anak.
Kontraindikasi
Levobupivakain dikontraindikasikan untuk regional anastesia IV (IVRA).
Efek Samping
Jarang terjadi reaksi efek samping jika pemberian obat ini benar. Beberapa efek
samping yang terjadi berhubungan dengan teknik pemberian (dihasilkan pada
systemic exposure) atau efek farmakologikal dari anestesi yang diberikan, tetapi reaksi
alergi jarang terjadi.
Efek sistem saraf pusat meliputi eksitasi sistem saraf pusat (gelisah, gatal di sekitar
mulut, tinnitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, seizure) dan diikuti oleh depresi
(perasaan kantuk, kehilangan kesadaran, penurunan pernafasan dan apnea). Efek
kardiovaskular meliputi hipotensi, bradikardi, aritmia, dan/atau henti jantung. Kadang-
kadang dapat terjadi hipoksemia sekunder pada saat penurunan sistem pernafasan.
d. Prokain
Prokain, obat anestesi sintetik yang pertama kali dibuat, merupakan derivate benzoat
yang disintesa pada tahun 1905 (Einhorn) dengan sifat yang tidak begitu toksik
dibandingkan kokain. Anestetik lokal dari kelompok ester ini bekerja dengan durasi
yang sangat singkaT
Efek sampingnya yang serius adalah hipertensi, yang kadang-kadang pada dosis rendah
sudah dapat mengakibatkan kolaps dan kematian. Efek samping yang harus
dipertimbangkan pula adalah reaksi alergi terhadap sediaan kombinasi prokain-
penisilin. Berlainan dengan kokain zat ini tidak memberikan adiksi. Reaksi alergi ini
dapat juga terjadi karena pemakaian secara berulang preparat prokain bagi tubuh. Dosis :
anestesi infiltrasi 0,25-
0,5 %, blockade saraf 1-2 %.
e. Tetrakain
3
Tetrakain (pantokain) adalah obat anestesi lokal yang biasanya digunakan sebagai obat
untuk diagnosis atau terapi pembedahan.
Tetrakain biasanya digunakan untuk anestesi pada pembedahan mata, telinga, hidung,
tenggorok, rectum, dan kulit.
Salah satu anestesi lokal yang dapat digunakan secara topikal pada mata adalah
tetrakain hidroklorida. Untuk pemakaian topikal pada mata digunakan larutan
tetrakain hidroklorida 0,5%. Kecepatan anastetik tetrakain hidroklorida 25 detik
dengan durasi aksinya selama 15 menit atau lebih.
Tabel 1. Obat anestesi lokal*
Jenis Nama dagang
Penggunaan Onset(menit)
Durasi( jam )
Dosis maksimum
Dosis maksimum + epinefrin
AmidaBupivakainDibukainEtidokainLidokainMepivakainPrilokainPrilokain/lidokain
MarcaineNupercainDuranestXylocaineCarbocaineCitanestEMLA
InfiltrasiTopikalInfiltrasiInfiltrasi/topikalInfiltrasiInfiltrasitopikal
2-10 cepat3-5cepat3-20cepat30-120
3-10singkat3-101-22-32-4singkat
175 mg
300 mg300 mg300 mg400 mg
250 mg
400 mg500 mg400 mg600 mg
EsterBenzokainKloroprokainKokainProkainProparakainTetrakainTetrakain
AnbesolNesacaine
NovocaineOphthainePontocaineCetacaine
TopikalInfiltrasiTopikalInfiltrasiTopikalInfiltrasitopikal
CepatCepat2-10lambatcepatlambatcepat
Singkat0,5-21-31-1,5singkat2-3singkat
600 mg200 mg500 mg
20-50 mg
600 mg
4
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN ANESTESI LOKAL
Keuntungan Anestesia lokal
Alat minim dan teknik relatif sederhana sehingga biaya relatif lebih murah.
Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar sehingga resiko aspirasi berkurang
Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
Perawatan post operasi lebih ringan/murah
Kehilangan darah sedikit.
Respon autonomic dan endokrin sedikit.menurun.
Kerugian anestesia lokal
Tidak semua penderita mau
Membutuhkan kerjasama penderita
Sulit diterapkan pada anak-anak Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional
Pasien lebih suka dalam keadaan tidak sadar
Tidak praktis jika diperlukan beberapa suntikan
Ketakutan bahwa efek obat menghilang ketika pembedahan belum selesai
Efek samping sangat berat kematian
Efek Samping terhadap Sistem Tubuh
Sistem kardiovaskular
1. Depresi automatisasi miokard
2. Depresi kontraktilitas miokard
3. Dilatasi arteriolar
4. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi
Sistem pernapasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti napas akibat paralise saraf frenikus, paralise
interkostal atau depresi langsung pusat pengaturan napas.
5
Sistem Saraf Pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestetika lokal, dengan tanda-tanda awal
parestesia lidah, pusing, kepala terasa ringan, tinnitus, pandangan kabur, agitasi,
twitching, depresi pernapasan, tidak sadar, konvulsi, koma. Tambahan adrenalin berisiko
kerusakan saraf.
Imunologi
Golongan ester menyebabkan reaksi alergi lebih sering, karena merupakan
derivate para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenalk sebagai allergen.
Sistem musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain).
Tambahan adrenalin berisiko kerusakan saraf. Regenerasi dalam waktu 3-4
minggu.
Toksisitas Lokal
Terjadi pada tempat suntikan berupa edema, abses nekrosis dan gangrene. Komplikasi
infeksi hampir selalu disebabkan kelalaian tindakan asepsis dan antisepsis. Iskemia
jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang disuntikkan pada
daerah end arteri.
6
BAB III
PENUTUP
1. Pengaruh dari berbagai obat golongan analgetik opioid sering dibandingkan dengan
morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya
peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
2. Analgetik Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin,
fentanil.
3. Analgetik Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan
dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca
pembedahan.
4. Analgetik non opioid bekerja dengan cara mengeblok pembentukan prostaglandin dengan
jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi
pembentukan mediator nyeri, dengan salah satu contoh obatnya adalah ketorolac dan
ketoprofen.
DAFTAR PUSTAKA
7
1. Freddy P. Wilmana. 2005. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Non Steroid
dan Obat Pirai, dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi
FKUI.
2. Furst DE, Ulrich RW. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs, Nonopioid Analgesics, &
Opioid Analgesics. In: Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed.
Boston: McGraw-Hill; 2007
3. Goodman, Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Ed : VII. EGC : Jakarta.
hal.553,573-4, 666, 691.
4. Katzung, Bertram G., 2012, Farmakologi Dasar dan Klinik, E d : X I I . EGC:
Jakarta.
5. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Ed: II.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI : Jakarta, Juni, 2002, hal ; 77-83, 161.
6. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi dan Terapi
Intensif FK-UI : Jakarta 1998, hal ; 199.
7. Neal, M, J. 2008. At a Glance Farmakologi Medis, Ed : V. Erlangga : Jakarta
8. Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana, Drs. 2007. Obat-Obat Penting dalam Farmakologi,
Ed : VI. PT. Gramedia : Jakarta
9. Wibowo, Sunekto, Abdul, dkk. 2001. Farmakoterapi dan Neurologi. Salemba Medika :
Jakarta
10. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-Antipiretik, Analgesik dan Anti-inflamasi Nonsteroid. In:
Gan S, editor. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2007.
8
9
10
11
12
13