TINJAUAN PUSTAKA
Skabies dan Penyebabnya
Menurut Paradis et al. (1997), skabies pada anjing adalah penyakit kulit
non musim yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Penyakit ini
sangat mudah menular dan bersifat zoonosis.
Klasifikasi dari tungau ini menurut Taylor et al. (2007) adalah sebagai
berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari
Ordo : Acariformes
Subordo : Sarcoptiformes (Astigmata)
Famili : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Spesies : Sarcoptes scabiei var.canis
(d)
(d)
(d)
(d)
Gambar 1 Tungau Sarcoptes scabiei var. canis jantan tampak dorsal
(a) kepala (b) pulvilli (c) duri (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010 )
1 mm
(b) (a)
(c)
Gambar 2 Tungau Sarcoptes scabiei var.canis betina tampak ventral
(a) kelisera (b) pulvilli (c) lubang kelamin (d) kaki
(Sumber : Cornell 2010)
Tungau ini berbentuk bulat atau oval, cembung pada bagian punggung dan
rata pada bagian perut serta berwarna transparan dan agak kehitaman. Tungau
betina berukuran panjang 0.3–0.6 mm, dan lebar 0.25–0.4 mm. Tungau jantan
berukuran lebih kecil yakni 0.2–0.3 mm panjangnya, dan lebar 0.1–0.2 mm
(Taylor et al. 2007). Gambaran S.scabiei var. canis sebagaimana terlihat pada
Gambar 1 dan 2.
Secara umum, bagian tubuh dari tungau terbagi menjadi dua, yaitu
gnathosoma (anterior) atau capitulum, dan idiosoma (posterior). Gnathosoma
hanya terdiri atas mulut, sedangkan beberapa organ lainnya seperti otak ada pada
bagian idiosoma. Bagian idiosoma terbagi menjadi dua, bagian tubuh yang
memiliki kaki disebut podosoma, dan bagian belakang tubuh yang tidak berkaki
disebut opisthosoma. Tungau dewasa memiliki delapan kaki, sedangkan larvanya
hanya memiliki enam kaki. Pada tungau dewasa, dua pasang kaki depan berbentuk
lebih ramping dan termodifikasi menjadi organ sensoris yang dapat membantu
pergerakan dan makan (Wall & Shearer 2001). Pembagian tubuh tungau lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
0.5 mm
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3 Bagian tubuh tungau
(Sumber : Krantz 1975)
Kaki tungau, terdiri atas enam bagian. Bagian kaki yang bertaut pada
tubuh, disebut koksa atau epimere, yang diikuti oleh trokanter, femur, genu, tibia,
dan tarsus. Pada ujung tarsus, terdapat pretarsus yang ujungnya disebut
ambulacrum. Bagian ambulacrum terdiri atas sepasang cakar, yang pada bagian
tengahnya terdapat struktur yang bernama empodium. Bagian ini memiliki bentuk
yang bervariasi pada setiap tungau,terkadang menyerupai filamen rambut,
penebalan, cakar, dan sucker (alat pengisap). Pada Sarcoptes scabiei var. canis,
cakar di bagian ambulacrum hilang, dan berubah menjadi sebuah struktur ramping
yang dinamakan pulvilli. Pada tungau jantan, pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga, sedangkan pada tungau betina pulvilli tidak terdapat pada pasangan
kaki ketiga dan keempat. Pulvilli tersebut digunakan tungau untuk membantu
pergerakannya (Wall & Shearer 2001). Segmentasi kaki dan bentuk kaki pada
tungau dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Segmentasi kaki dan berbagai bentuk kaki pada tungau
(Sumber : Wall & Shearer 2001)
Mulut tungau ini berbentuk bulat dan lebar. Bagian permukaan dorsal
tungau ini ditumbuhi oleh seta yang kuat dan menyerupai duri. Anusnya terdapat
di terminal, dan tungau ini tidak mempunyai mata atau disebut juga astigmata
(Taylor et al. 2007).
Siklus hidup tungau terdiri atas lima fase, yaitu telur, larva, protonimfa,
tritonimfa, dan dewasa. Semua fase tadi berlangsung pada tubuh inangnya.Tungau
jantan akan bertemu dan kawin dengan tungau betina di permukaan kulit dan
kemudian tungau betina akan menggali terowongan kira–kira sedalam 1 mm pada
permukaan kulit dengan menggunakan kelisera dan empodium yang berbentuk
seperti cakar pada dua pasang kaki depannya. Dalam terowongan tersebut hanya
berisi satu tungau betina, telur-telur, dan fesesnya (Wall & Shearer 2001). Setiap
hari tungau betina akan meletakkan telur sebanyak 3-4 butir (Grant 1986). Dalam
satu terowongan tungau betina dapat meletakkan telur sebanyak 30–40 butir
(Soulsby 1982).
Telur–telur tadi akan matang dan menetas setelah 3–8 hari, dan
menghasilkan larva tungau yang berkaki enam. Larva akan keluar dari
terowongan menuju permukaan kulit untuk mencari makan. Dua sampai tiga hari
kemudian larva akan berganti kulit (moulting) menjadi protonimfa. Selama fase
tersebut larva dan nimfa akan tinggal dan memakan folikel rambut. Protonimfa
kemudian akan berganti kulit kembali menjadi tritonimfa, dan beberapa hari
kemudian akan menjadi dewasa. Baik tungau jantan maupun betina dewasa akan
mencari makan dan kawin di permukaan kulit dan siklus hidup berulang kembali
(Wall & Shearer 2001).
Stadium telur menjadi dewasa berlangsung pada waktu yang singkat kira-
kira selama 17–21 hari, walaupun singkat tetapi tingkat mortalitas dari periode ini
cukup tinggi. Diperkirakan hanya 10% dari total telur yang dihasilkan berhasil
menjadi tungau dewasa (Wall & Shearer 2001).
Spesies tungau ini pada tiap-tiap jenis hewan hanya berbeda dalam hal
ukuran, sedangkan morfologinya sulit untuk dibedakan (Wardhana et al. 2006)
Patogenesis
Skabies merupakan penyakit kulit yang sangat menular, baik pada sesama
anjing dan dapat pula menulari spesies lain bahkan manusia (Nahm & Corwin
1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ada satu spesies di dalam
genus Sarcoptidae dan adanya beberapa varian akibat terjadinya interbreeding
yang terus menerus antarpopulasi tungau yang menginfestasi manusia dan hewan
(Fain 1978 dalam Wardhana et al. 2006).
Wall & Shearer (2001) menyatakan bahwa, landak yang terinfestasi oleh
tungau Sarcoptes scabiei dapat menjadi reservoir skabies bagi hewan peliharaan
dan ruminansia.
Tungau yang ada pada hewan terbukti mampu menginfestasi manusia
namun diduga tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya (Thomas et al. 1987,
Meinking & Taplin 1990 dalam Wardhana et al. 2006). Banyak hewan yang
menderita skabies dilaporkan menjadi sumber penularan bagi manusia. Penularan
dari hewan ke manusia secara alami pernah dilaporkan dan menjadi wabah pada
populasi manusia (Estes et al. 1983, Schwartzman 1983 dalam Wardhana et al.
2006). Pernah juga dilaporkan sebanyak 48 orang yang kontak dengan kucing
penderita skabies 30 orang diantaranya positif tertular skabies (Chakrabarti 1986
dalam Wardhana et al. 2006).
Ruiz-Maldonado et al. (1977 dalam Wardhana et al. 2006) melaporkan
bahwa pernah terjadi kasus skabies pada gadis berusia empat belas tahun yang
tertular Sarcoptes scabiei var. canis. Gadis tersebut hidup bersama dengan anjing
yang menderita skabies. Bahkan dilaporkan juga anjing yang sehat tertular skabies
dari gadis tersebut.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau
kontak tidak langsung dengan berbagai objek yang digunakan oleh penderita,
seperti handuk, kasur, selimut, dan tempat tinggal yang terkontaminasi oleh
tungau (Goldsmid & Melrose 2005).
Infestasi awal tungau biasanya terjadi pada daerah yang jarang ditumbuhi
oleh rambut seperti daerah kepala, meliputi daerah sekitar mata, dan telinga,
daerah ventral tubuh meliputi bagian abdomen, dan daerah sekitar kelamin. Pada
kaki biasanya di bagian siku, lutut, lipatan paha, dan bahkan sela-sela jari (Kelly
1977). Tungau akan menembus lapisan korneum epidermis kulit, mengisap cairan
limfe dan juga memakan sel–sel epitel (Soulsby 1982).
Gejala klinis
Gejala klinis yang muncul akibat infestasi tungau ini bervariasi bergantung
kepada waktu berjalannya penyakit. Pada tahap awal infestasi, kegatalan belum
terlihat, dan kondisi ini akan terjadi pada minggu pertama sampai dengan minggu
ketiga. Sejalan dengan berlanjutnya infestasi dan aktivitas tungau, mulai terlihat
adanya lesio papula pada bagian tubuh penderita sebagaimana terlihat pada
Gambar 5. Biasanya lesio ini akan terlihat jelas pada bagian tubuh penderita yang
jarang ditumbuhi rambut (Bentley 2001).
Gambar 5 Papulae pada gejala awal skabies
(Sumber : Bentley 2001)
papula
papula
Gambar 6 Pola penyebaran lesio awal skabies pada anjing
(Sumber : Muller & Kirk 1976 dalam Latif 2001)
Bagian yang dilingkari pada Gambar 6 menunjukkan bagian tubuh yang
paling sering memperlihatkan adanya gejala awal berupa papula pada anjing yang
menderita skabies. Seiring dengan berjalannya waktu, aktivitas tungau akan
meningkat misalnya pada saat tungau betina kawin dan menggali terowongan
untuk meletakkan telurnya, anjing akan memperlihatkan gejala klinis berupa
kegatalan yang hebat. Biasanya hal ini akan terjadi pada minggu ketiga dan
keempat (Nahm & Corwin 1997).
Tungau Sarcoptes scabiei tidak mengisap darah, tetapi mengisap cairan
diantara sel kulit. Selama aktivitas tersebut tungau betina akan mengeluarkan
sekreta dan ekskreta yang menyebabkan terjadinya iritasi dan peradangan pada
inangnya (Wall & Shearer 2001).
Rasa gatal yang ditimbulkan oleh aktivitas tungau akan membuat anjing
menggaruk dan akan menyebabkan iritasi yang lebih hebat. Kulit akan
mengeluarkan cairan eksudat bening yang bilamana kering akan membuat kulit
menebal dan menjadi keropeng atau pecah–pecah. Selain itu, akan terlihat
kerontokan rambut pada daerah yang terinfestasi dan berakhir dengan kebotakan
(Nahm & Corwin 1997) sebagaimana terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Anjing yang terjangkit Skabies.
Sumber : (Bentley 2001)
Apabila keadaan lebih parah, anjing akan menggaruk hingga berdarah.
Darah yang keluar merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Bakteri kemudian akan berkembang dan menyebabkan infeksi yang akan
menyebabkan adanya nanah, sehingga menimbulkan kondisi pyoderma. Bila tidak
segera ditangani, akan berakibat fatal pada anjing (Grant 1986). Goldsmid &
Melrose (2005) menyatakan bahwa bakteri yang paling banyak menyebabkan
infeksi sekunder pada skabies adalah Staphylococcus pyogenes.
Secara histopatologi, skabies ditandai dengan adanya lesio berupa fokal
hiperkeratosis, epidermal hiperplasia (penebalan kulit), dan ditemukan tungau
Sarcoptes scabiei yang membentuk sarang pada lapisan korneum kulit yang
menebal tersebut (Grant 1986). Gambaran histopatologi lainnya adalah
ditemukannya perubahan berupa lesio infiltrasi sel–sel radang yang terdiri atas
neutrofil, makrofag, dan sel–sel mononuklear. Antigen yang diekskresikan tungau
masuk ke bagian lapisan epidermis dan dermis kulit. Aktivitas ini menginduksi
sirkulasi antibodi dan respon imun sel media di sekitar lesio, sebagai reaksi
pertahanan tubuh inang (Arlian et al. 1996)
Gambar 8 Gambaran histopatologi kulit yang terinfestasi tungau
(Sumber : Sarma et al. 2009)
Ada beberapa penyakit kulit yang memiliki gejala klinis yang hampir sama
dengan skabies yang menjadi diagnosis pembanding skabies. Beberapa penyakit
kulit tersebut diantaranya adalah dermatitis alergi karena makanan atau udara,
yang pada tahap awal menyerupai skabies dengan terbentuknya pustulae, tetapi
akan berlanjut menjadi berminyak. Penyakit lain seperti ringworm juga
membentuk lesio yang hampir sama dengan skabies, perbedaannya adalah pada
ringworm lesio yang terjadi lebih sedikit dan terlokalisasi pada satu tempat saja
(Muller & Kirk 1976). Selain itu ada pula penyakit demodekosis yang juga
disebabkan oleh tungau Demodex canis. Tungau Demodex canis merupakan
parasit alami yang ada pada tubuh anjing. Anjing yang terjangkit demodekosis
akan memperlihatkan gejala klinis yang sama dengan skabies tetapi dengan aspek
yang lebih basah. Demodekosis biasanya berhubungan dengan kondisi
imunosupresi (Wall & Shearer 2001). Agar tidak terkecoh dengan penyakit –
penyakit yang menyerupai skabies tadi, dibutuhkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk
menghindari kesalahan penanganan skabies.
Diagnosis
Dalam penegakan diagnosis penyakit kulit yang disebabkan oleh beberapa
jenis tungau seperti demodekosis, skabies, dan penyakit kulit lain seperti
ringworm, biasanya dilakukan pengerokan kulit. Metode ini bertujuan untuk
Tungau Sarcoptes scabiei
Epidermis
Dermis
menemukan dan mengidentifikasi jenis parasit dengan memeriksa di bawah
mikroskop. Tungau sangat sulit untuk ditemukan pada hewan, terutama pada
hewan yang sudah cukup lama terinfestasi atau hewan yang baru saja dimandikan
dengan metode dipping (Hammet 1999).
Menurut Hammet (1999), ada dua metode yang biasa digunakan untuk
penegakan diagnosis, yaitu kerokan kulit (skin scraping) dan flotasi sentrifugasi.
Proses dari kedua metode diagnosis adalah sebagai berikut :
1. Preparat natif / kerokan kulit
Sampel diambil dengan cara membuat luka kerokan pada kulit hewan yang
terserang (pada lokasi yang menunjukkan lesio) dengan menggunakan skalpel.
Hasil kerokan kulit tadi kemudian diletakkan pada kaca objek yang kemudian
ditetesi NaOH atau KOH 10% sebanyak beberapa tetes dan ditunggu beberapa
detik hingga jaringan kulit lisis.
Kaca objek tadi kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di
bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali. Hasil positif akan
memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop (Hammet 1999)
2. Metode Flotasi Sentrifugasi
Sampel kerokan kulit diambil dengan cara yang sama pada metode
pertama, kemudian diletakkan pada tabung sentrifugasi. KOH dan NaOH
ditambahkan sebanyak 3-5 ml pada tabung tadi, kemudian dilakukan pemanasan
dengan Bunsen selama beberapa menit (Hammet 1999).
Sampel tadi akan menjalani proses selanjutnya yaitu dengan dilakukannya
sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 3 menit. Proses sentrifugasi
tersebut akan membentuk endapan pada dasar tabung. Endapan diambil dengan
pipet pastur, kemudian diletakkan pada kaca objek, selanjutnya ditutup dengan
kaca penutup dan dilihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 100–400 kali.
Hasil positif akan memperlihatkan tungau pada lapang pandang mikroskop
(Hammet 1999).
Selain dari dua metode diatas, dapat juga dilakukan metode pemeriksaan
sel hidup (biopsi), yang kemudian diperiksa gambaran histopatologinya. Cara ini
memang tidak berguna secara langsung, tetapi dengan cara ini dapat diketahui
perubahan–perubahan yang terjadi akibat adanya infestasi dari beberapa
ektoparasit. Menurut Wall & Shearer (2001), beberapa perubahan histopalogi
yang dapat terlihat pada kulit karena infestasi tungau Sarcoptes antara lain
infiltrasi sel eosinofil pada jaringan kulit yang biasanya disertai oleh degenerasi
kolagen dan pembentukan formasi pustula oleh sel–sel eosinofil.
Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan skabies berfokus pada eradikasi agen penyakitnya, yaitu
tungau Sarcoptes scabiei. Banyak sekali jenis obat yang bersifat akarisidal yang
dapat digunakan untuk pengobatan skabies. Obat-obat tersebut dapat diaplikasikan
dalam berbagai rute baik secara oral, subkutan, semprot, atau topikal.
Penanganan penyakit skabies cukup sederhana, tetapi ada beberapa faktor
yang harus diperhatikan. Selain berfokus pada eradikasi tungau parasit, nutrisi,
dan manejemen pemeliharaan harus diperhatikan. Nutrisi dan manejemen
pemeliharaan yang buruk akan menyebabkan hewan menjadi stress dan
menurunkan imunitas hewan, sehingga akan menyebabkan hewan rentan terhadap
penyakit lainnya (Huang et al. 1998). Beberapa akarisida yang biasa digunakan
oleh praktisi di Ingggris untuk pengobatan skabies pada anjing adalah amitraz,
ivermectin dan turunannya ,serta fipronil (British Veterinary Association 2005).
Sediaan–sediaan tersebut juga telah digunakan oleh praktisi di seluruh dunia
sebagai obat pilihan untuk mengobati skabies.
Amitraz adalah salah satu jenis obat yang berasal dari golongan Amidin.
Amitraz bekerja pada reseptor oktopamin pada tungau yang akan meningkatkan
aktivitas sistem saraf (British Veterinary Association 2005). Aplikasi obat ini
pada anjing yaitu dengan cara memandikan anjing dengan amitraz berkonsentrasi
0,05%. Amitraz juga tidak boleh digunakan untuk anjing ras cihuahua, anjing
yang sedang bunting atau menyusui, serta anak anjing yang berusia kurang dari 12
minggu, karena amitraz dapat menurunkan motilitas dari organ gastro-intestinal
yang mengakibatkan hipomotilitas pada usus besar (British Veterinary
Association 2005). Menurut Paradis et al. (1997), penggunaan amitraz berpotensi
meracuni orang yang memandikan pasien skabies. Efek samping lain yang dapat
terjadi dari penggunaan obat ini adalah lethargia, bradikardia, depresi sistem saraf
pusat, dan efek sedasi sementara (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin dan turunannya termasuk avermectin, abamectin, doramectin,
eprinomectin, dan selamectin adalah senyawa lakton makrosiklik alami dan semi
alami yang diisolasi dari kapang Streptomyces avermitilis yang ditemukan di
Jepang. Tidak hanya dapat membunuh ektoparasit, ivermectin juga dapat
digunakan sebagai obat pilihan pada beberapa penyakit yang disebabkan oleh
beberapa jenis Nematoda (Praag 2003).
Obat ini bekerja dengan cara mengatur jumlah ion klorida (Cl-) yang
masuk ke dalam sel ektoparasit. Ketika ion–ion klorida tadi masuk ke dalam sel,
membran sel akan mengalami hiperpolarisasi, sehingga sinyal saraf tidak dapat
ditransmisikan. Setelah itu ektoparasit akan mati perlahan–lahan karena
mengalami paralisis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi ivermectin akan bekerja
antagonis dengan neutotransmitter GABA (asam γ–aminobutirat). Pada Nematoda
dan ektoparasit, reseptor GABA terdapat pada sistem saraf tepi, sedangkan pada
mamalia terdapat pada sistem saraf pusat (Praag 2003).
Ivermectin dapat diaplikasikan secara oral, topikal, ataupun sistemik.
Dosis tunggal yang dianjurkan untuk Sarcoptes scabiei var.canis adalah 200
µg/kg berat badan, dan dosis untuk aplikasi sistemik maupun oral adalah 200–400
µg /kg berat badan (Curtis 2004). Obat ini memiliki efek samping berupa edema
kulit pada kuda. Efek samping tersebut terjadi karena toksin yang dikeluarkan
oleh ektoparasit yang mati, dan efek ini berlangsung sekitar 5 hari (Praag 2003).
Selain itu, obat ini memberikan efek samping berupa batuk–batuk setelah
diberikan secara oral pada domba (British Veterinary Association 2005).
Ivermectin tidak boleh diberikan kepada anjing ras Collie, Australian
sheepdog, Old English sheepdog, Shetland sheepdog dan anjing persilangan dari
beberapa jenis anjing tadi. Ivermectin juga tidak boleh diberikan pada anjing–
anjing muda yang berusia kurang dari 8 bulan, anjing yang sedang bunting dan
menyusui (British Veterinary Association 2005).
Menurut Praag (2003) anjing–anjing ras tersebut memiliki gen yang sangat
sensitif terhadap cara kerja ivermectin. Reaksi hipersensitivitas pada ras anjing
tersebut disebabkan oleh gen mdr1-1Δ yang berasal dari mutasi gen MDR1. Gen
MDR1 adalah gen yang mensintesa asam amino yang dapat menghambat
ivermectin untuk masuk ke dalam blood brain barrier. Ketika gen tersebut
bermutasi menjadi Gen mdr1-1Δ ivermectin akan dapat menembus blood brain
barrier (Neff et al. 2004). Anjing yang keracunan ivermectin akan menunjukkan
gejala klinis seperti ataksia dan depresi. Setelah beberapa lama kemudian anjing
akan memperlihatkan gejala seperti dilatasi pupil (mydriasis), stupor, tremor,
emesis, hipersalivasi, koma, dan akan berujung pada kematian. Biasanya
pertolongan pertama pada keracunan ivermectin adalah pemberian arang aktif dan
pemberian cairan elektolit secara intravena.
Fipronil adalah insektisida dari golongan phenylprazole yang bekerja
dengan cara menghambat kerja dari neurotransmitter asam γ–butirat (GABA)
ektoparasit, yang menyebabkan ektoparasit akan mati karena paralisis (Ghubash
2006). Obat ini diaplikasikan secara spot–on atau topical pada tubuh anjing yang
terinfestasi tungau. Untuk aplikasi spot-on dosis yang digunakan berbeda–beda
tergantung bobot anjing. Dosis yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Dosis pemberian fipronil berdasarkan bobot anjing pada aplikasi spot–on.
Bobot badan anjing Dosis yang diberikan
1–10 kg 0,67 ml
10–20 kg 1,34 ml
20–40 kg 2,68 ml
Diatas 40 kg 4,02 ml
(Sumber : British Veterinary Association 2005)
Fipronil juga dapat diaplikasikan secara disemprotkan (spray). Jika
diaplikasikan secara spray, konsentrasi fipronil yang dianjurkan adalah 0,25 %
dari larutan (Ghubash 2006). Apabila obat lain menjadi kontra indikasi dari
penderita skabies, fipronil merupakan obat pilihan yang efektif untuk pengobatan
skabies (Curtis 1996 ).
Kontra indikasi dari obat ini adalah anak anjing yang berusia kurang dari 8
minggu. Pengobatan untuk anak anjing yang berusia kurang dari 8 minggu,
biasanya digunakan collar agar anak anjing tidak menjilati lokasi obat
diaplikasikan. Jika ini terjadi, maka akan timbul efek samping yang berupa
hipersalivasi (British Veterinary Association 2005).
Dalam penanganan skabies perlu juga diperhatikan terapi suportif untuk
mengurangi lesio yang diakibatkan oleh tungau, diantaranya keratolitik, untuk
mengikis kulit yang keropeng. Antibiotik, untuk mengobati infeksi sekunder
akibat bakteri. Asupan vitamin juga dibutuhkan untuk perawatan jaringan tubuh
pasien (Curtis 1996).
Agar tidak menulari hewan lain atau manusia di sekitarnya, anjing yang
terjangkit skabies hendaknya dipisahkan selama masa pengobatan. Selain itu
kandang, perlatan bermain, peralatan makan, dan alat-alat grooming hendaknya
dibersihkan setiap hari untuk mencegah penularan skabies. Lingkungan sekitar
rumah tempat anjing bermain juga sebaiknya dibersihkan. Kebersihan personal
pemilik juga merupakan salah satu hal wajib yang harus diperhatikan mengingat
penyakit ini bersifat zoonotik (Wall & Shearer 2001).
Pengembangan vaksin skabies hingga saat ini masih mengalami kendala.
Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) bekerja sama dengan DFID (Department for
International Development) Inggris telah melakukan penelitian pengembangan
vaksin skabies untuk kambing, namun hasilnya belum memuaskan (Wardhana et
al. 2006).