Bab 2
TINJAUAN UMUM TENTANG
PUTUSNYA HUBUNGAN PERKAWINAN
Bentuk-bentuk Putusnya Hubungan Perkawinan .
Mengenai bentuk-bentuk putusnya hubungan perkawinan ini, sesungguhnya telah
disinggung dalam undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal 38.
Di dalam Pasal 38 ini menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga sebab
sebagai berikut: (Pertama) karena kematian ( Kedua) karena Perceraian, dan ( Ketiga)
karena Keputusan Pengadilan
Kendatipun pada pasal ini disebutkan tiga hal atau tiga sebab, tetapi kalau kita
mencoba mencermati dan menafsirkan rumusan Pasal 38 dalam undang-undang ini, maka
dapat dipahami dengan jelas bahwa bubarnya suatu ikatan perkawinan antara suami isteri
tampaknya sangat berkaitan dengan motif-motifnya, yakni kehendak atau keinginan untuk
bercerai. Dipandang dari segi motif atau kehendak tersebut, terjadinya perceraian antara
suami isteri ini dikarenakan empat sebab.
Keempat bentuk penyebab putusnya perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, putusnya perkawinan karena meninggalnya salah seorang suami atau
isteri, Seperti diketahui dengan masalah ini, manakala salah seorang dari suami atau isteri
meninggal dunia, maka dengan sendirinya hubungan perkawinan antara suami atau isteri
berakhir. Dalam literatur–literatur tentang hukum Islam disebut bahwa putusnya suatu
perkawinan disebabkan kematian ini disebut dengan cerai mati ( Yunus 1956, hlm: 111)
1
Kedua, putusnya perkawinan atas kehendak pihak suami dengan alasan alasan
tertentu yang dibenarkan oleh hukum, dan kehendaknya tersebut dinyatakan dalam bentuk
ucapan atau tulisan yang mengandung makna putusnya hubungan perkawinan antara suami
isteri. Dengan ungkapan lain, bahwa berakhirnya suatu perkawinan bermula dari kehendak
suami. Putusnya hubungan perkawinan semacam ini disebut dengan cerai
Thalak .Mengenai konsep thalak menurut hukum Islam dan perundang-undangan ini, lebih
lanjut akan dikemukakan secara rinci dalam uraian mendatang.
Ketiga Putusnya perkawinan atas kehendak isteri dengan alasan-alasan tertentu
dengan pembayaran uang iwadl (Ganti rugi) Artinya dalam hal ini kehendak berpisa itu
berasal dari isteri, sedangkan suami sebenarnya tidak menghendaki bubarnya suatu
perkawinan. Dengan ungkapan lain, keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan
yang disampaikan atau yang datangnya dari kemauan si isteri kepada suami, dengan
pembayaran uang iwadl ( ganti rugi) itu, dan diterima oleh suami dengan dilanjutkan
dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan tersebut didepan Pengadilan Agama
yang, menyebabkan putusnya hubungan perkawinan. Dalam kitab–kitab fiqh, putusnya
perkawinan seperti ini disebut dengan Khulu’. Mengenai konsep khulu, menurut hukum
Islam ini juga akan diuraikan lebih rinci dalam uraian mendatang.
Keempat Putusnya perkawinan atas kehendak bersama antara suami dan isteri,
Perceraian seperti ini biasanya terjadi bukan karena percekcokan antara kedua bela pihak
melainkan biasanya karena belum mempunyai keturunan, tidak jarang terjadi peristiwa
seperti ini, setelah mereka memutuskan untuk bercerai, dengan melalui proses hukum,
kemudian setelah habis masa iddah, masing-masing menikah lagi dengan orang lain. Dan
keduanya mendapat keturunan. Perkawinan seperti ini sejodoh tetapi tidak senasib
2
Kelima Putusnya perkawinan atas keputusan hakim sebagai pihak ketiga.
Berakhirnya ikatan perkawinan seperti ini disebut Fasakh. Fasakh ini dalam aturan hukum
Islam dapat merusak atau membatalkan perkawinan, atas permintaan salah satu pihak oleh
Hakim Pengadilan Agama. Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebut fasakh, karena
salah satu pihak menemui kekurangan yang terdapat pada pihak lain. Perlu dikemukakan
bahwa sesungguhnya kalau dilihat dari segi syarat dan rukun perkawinan yang sudah
berlangsung itu dianggap syah, dengan segala akibat hukumnya. Tetapi karena dikemudian
hari ada hal-hal yang menyenbabkan perkawinan harus dibubarkan, maka hakim dapat
memutuskan hubungan suami isteri tersebut. Dalam hal ini bubarnya hubungan
perkawinan dimulai sejak difasakhkannya perkawinan tersebut.
Seperti dikemukakan bahwa terjadinya faskh ialah dengan cara salah satu pihak
mengajukan permintaan pemutusan hubungan perkawinan itu kepada Pengadilan Agama.
Adapun dasar dari putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh adalah hadits Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah yang berbunyi sebagai berikut:”
Rasul membolehkan seorang wanita yang sesudah ia kawin baru mengenal bahwa ia tidak
sekufu ( sederajat atau sepadan ) untuk itu boleh memilih tetap atau diteruskannya
hubungan perkawinannya itu atau ia ingin untuk di fasakh kan wanita itu memilih
meneruskan hubungan perkawinan itu dengan yang lebih rendah derajatnya”
Biasanya alasan menuntut fasakh di Pengadilan adalah isteri. Adapun alasan boleh
seseorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Suami sakit gila
2. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan sembuh,
3. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin
4. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isteri
3
5. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
6. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak
diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama (Sumiyati 1982 hlm: 114)
Mencermati syarat-syarat bolehnya fasakh tersebut diatas, bahwa Islam memang
benar-benar tidak menghendakti penipuan yang mengakibatkan kerugian atau penderitaan
yang berkepanjangan yang membuat kaum wanita menderita, maka dari itu Islam
mengadakan peminangan sebelum melakukan pernikahan, Meminang itu boleh dengan
berwakil dengan orang lain. Sebagai mana Nabi Muhammmad saw mengutus ummu
Sulaim kepada wanita yang berbunyi sebagai berikut :
عوارضها شمى رواية وفى طفها معا وشمى عرقوبها الى انظري
Artinya:
” Perhatikanlah urat nadi dan cium bau kedua sisi pundaknya” Dan menurut
suatu riwayat yang lain : Ciumlah bau mulutnya” ( Riwayat Ahmad, Hakim,
Thabrani dan baihaki)
Disamping itu, dalam kesempatan ini perlu dikemukakan bahwa terdapat pula
beberapa yang menyebabkan hubungan suami isteri (sexual inticource) tidak dapat
dilakukan, sekalipun hubungan perkawinan itu secara hukum syara’ tidak putus
( Syarifuddin t,t hlm: 124-125) Artinya hukum Islam mengharamkan terjadinya hubungan
badan antara suami isteri. Hal-hal tersebut adalah sebagai isterinya seperti zhihar, li’an illa’.
Adapun ketentuan mengenai zhihar diatur dalam Al-qur’an Al-Mujaddalah 2-4 berikut:
1. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyamakan isteri dengan
ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami isteri bila suami telah membayar kifarat
atau denda. Terhentinya hubungan perkawinan seperti itu disebut zhihar. Zhihar
4
adalah persedur thalak, yang hampir sama dengan illa’. Zhihar dimaksud ialah
seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya baginya sama dengan punggung
ibunya. Dengan bersumpah demikian berarti suaminya telah menceraikan isterinya.
Ketentuan mengenai zhihar dalam Al-qur’an telah disebutkan dalam surat -
Mujaddalah ayat 2-4.yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : Orang-orang yang menzihar isterinya diantara kamu ( menganggap isterinya
sebagai ibunya) padahal tiada isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka sunguh-sungguh mengucapkan perkataan yang mungkar dan dusta.
Dan sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi maha pengampun ) Mujadalah
ayat 2 .
Artinya :
Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri bercampur,
demikian yang diajarkan kepadamu, dan Allah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan (Mujadalah ayat 3 )
5
Artinya :
Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur, maka bagi mereka
yang tidak kuasa wajib atasnya memberi makan enam puluh orang miskin (
Mujadalah Ayat 4)
Ayat-ayat diatas mengandung pengertian sebagai berikut, yaitu zhirar adalah
ungkapan yang berlaku khusus bagi orang arab artinya suatu keadaan dimana seorang
suami bersumpah bagi isterinya itu sama dengan punggung ibunya. Sumpah ini artinya
tidak akan mencampuri isterinya lagi. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar,
yang tidak disenangi Allah dan sekaligus merupakan perkataan yang dusta dan paksa.
Akibat dari sumpah itu terputus ikatan antara suami isteri. Kalau hendak menyambung
kembali hubungan keduanya, maka wajib suami membayar kifarat terlebih dahulu.
Bentuk kifaratnya adalah melakukan salah satu perbuatan dibawah ini dengan berturut-
turut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan (1) memerdekakan
seorang budak (2) puasa dua bulan berturut-turut (3) memberi makan 60 0rang miskin.
2. Suami tidak boleh menggauli isterinya, karena ia telah bersumpah untuk tidak
menggauli isterinya dalam masa tertentu sebelum ia membayar kifarat atas sumpahnya
itu, namun perkawinan itu tetap utuh. Terhentinya hubungan seperti ini disebut illa’.
6
Illa’ ialah sumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa arab
jahiliyah perkataan illa’ ini mempunyai pengertian khusus dalam perkawinan mereka.
Arti illa’ menurut mereka ialah : Suami bersumpah tidak mencampuri isteri nya dalam
waktu tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak dithalak atau dicerai. Sehingga kalau
keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri, karena
keadaannya terkatung-katung tidak berketentuan. Maka setelah datang hukum Islam
illa’ itu diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan pihak isteri. Ketentuan ini
tercantum dalam al-qur’an Al-Baqarah 226-227.
Artinya;
Artinya;
Kepada orang-orang yang meng-illa’ isterinya diberi tangguh empat bulan
lamanya. Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya) maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang ( Al- Baqarah
226)
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami yang meng illa’ isterinya yakni
bersumpah tidak akan mencampuri isterinya, diberi kesempatan empat bulan itu suami
kembali bergaul dengan isterinya, maka Allah akan mengampuni dan akan
memperkenankannya.
Artinya
7
Dan jika mereka berazam ( berketetapan) hati untuk thalak maka
sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.( Al-qur’an
Baqarah 227)
Ayat ini memberikan pengertian bahwa kalau sudah terjadi illa’ dan suami
berkehendak untuk menjatuhkan thalak, maka dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
3. Suami tidak boleh menggauli isterinya karena ia telah menyatakan sumpahnya atas
kebenaran tuduhannya terhadap isterinya yang berbuat zina, sampai sesuai proses lian
dan perceraian dimuka hakim. Terhentinya perkawinan ini disebut lian. Arti dasar li’an
ialah laknat dan dalam istilah hukum Islam li’an diartikan oleh para ulama’ dengan
sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Allah, apabila
mengucap sumpah ini dusta. Dalam hukum perkawinan sumpah li’an ini sesungguhnya
dapat berakibat kepada putusnya perkawinan suami isteri untuk selamanya, manakalah
memenuhi kreteria-kereteria dalam proses perceraian akibat li’an tersebut. Dalam al-
qur’an proses perceraian karena li’an telah diatur dalam surat ِِِِِِِِAn-nur ayat 6-9.
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berbuat zina) padahal mereka tidak
mempunyai saksi-saksi selain dari diri mereka sendiri, maka persaksian orang
itu empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah
termasuk orang-orang yang benar (Al-Qur’an An-Nur ayat 6 )
8
Artinya:
”Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk
orang-orang yang berdusta” ( An-nur ayat 7)
Artinya:
”Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang benar ”
(An-Nur Ayat 8)
Artinya:
”Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar”. (Al-Qur’an An-Nur ayat 9)
Kandungan makna ayat-ayat diatas adalah sebagai berikut :
a. Suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi-saksi yang
cukup, yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
b. Kalau suami menuduh isterinya berbuat zina, harus mengajukan saksi, sumpah
tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucap sumpah lima kali,
empat kali menyatakan sumpahnya benar dan sumpah yang kelima kali,
menyatakan ia bersedia menerima laknat Allah apabila tuduhannya tidak benar.
9
c. Untuk membebaskan dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali,
empat kali menyatakan tidak bersalah dan kelima kalinya menyatakan bersedia
menerima laknat dari Allah apabila ia bersalah.
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah bebas dari tuduhan dan ancaman hukuman ,
namun hubungan perkawinan tetap menjadi putus uantuk selamanya.
Pengertian Perceraian dan Penyebabnya
Diatas telah dikemukakan, bahwa dari aspek motif atau kehendak, ada beberapa bentuk dari
putusnya perkawinan antara suami dan isteri, yaitu putusnya hubungan perkawinan karena
kematian; putusnya hubungan perkawinan karena keinginan dari pihak suami yang disebut
cerai thalak, sedangkan putusnya hubungan perkawinan karena keinginan isteri dikenal
dengan khuluk; dan putusnya hubungan perkawinan karena kehendak Pengadilan disebut
dengan fasakh. Dalam sub bahasan ini pembicaraan akan difokuskan kepada putusnya
perkawinan dalam katagori thalak dan katagori khulu’ yang disebut dengan perceraian.
Pengertian Perceraian
Dalam kehidupan sehari-hari , berkenaan dengan persoalan keluarga, kita sering mendengar
istilah perceraian. Istilah ini tampaknya ditujukan untuk penyebutan suatu kasus atau
peristiwa berpisahnya antara seorang laki-laki dan perempuan yang sebelumnya ada ikatan
perkawinan antara suami isteri. Kata perceraian secara kebahasaan, berasal dari kata cerai,
yang artinya pisah, bubar, atau porak parik, ( Poerwadarminta 1976, hlm :200 )
Kata perceraian tentunya karena mendapat awalan per dan akhiran an, yang
Artinya: Penyebab tidak utuh lagi, pisah atau rusak berkeping-keping, ( Poerwadarminta
1976 ,hlm: 200 )
10
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perceraian disini, adalah terjadinya
perpisahan antara suami isteri, atau hancurnya ikatan perkawinan, sehingga ikatan suami
isteri menjadi bubar, atau putusnya hubungan suami isteri dalam membina rumah tangga
bahagia.
Alasan-alasan atau Penyebab Terjadinya Perceraian
Setelah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa perceraian itu adalah suatu tindakan
yang dibolehkan tetapi sangat dibenci Allah. Sebab itu terjadinya perceraian antara suami
isteri haruslah cukup alasan, dimana antara suami isteri tersebut memang tidak akan dapat
lagi hidup rukun dan damai. Islam sesungguhnya sangat tidak menganjurkan suatu
perceraian, kecuali memang ada hal-hal yang mendesak, sehingga kalau tidak terjadi
perceraian maka kemodloratan akan dialami oleh kedua bela pihak atau salah satu pihak,
baik suami atau isteri ( Syarifuddin 2003, hlm: 124)
Sedemikian ketatnya ajaran Islam tentang percearaian, maka kalaupun terjadi
perselisihan antara suami isteri (syqoq) maka tidak secara otomatis dapat dilakukan
perceraian. ٍSyiqoq berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan antara
suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, seorang dari pihak suami dan satu orang
dari pihak isteri. Pengangkatan Hakam kalau terjadi syiqoq atau perselisihan, ketentuannya
terdapat dalam Al-qur’an surat An-Nisa’ ayat 35
11
Artinya:
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan atau perselisihan antara
keduanya , maka kirimlah seorang juru damai dari pihak keluarga laki-laki
dan keluarga perempuan, jika juru damai itu berkehendak mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” ( An-Nisa’ : 35)
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa seandainya terjadi perselisihan antara
suami isteri, maka hendaklah memanfaatkan pihak mediator atau penengah untuk
menyelesaikan persoalan yang menyebabkan terjadinya perselisihan tersebut. Pihak
mediator yang disebut hakam tersebut ada dari pihak keluarga laki-laki ada dari pihak
keluarga perempuan, atau dari orang yang dianggap mampu menyelesaikan persengketaan
tersebut. Dalam hal ini bila memang ada niat baik untuk perbaikan maka Allah akan
memberikan petunjuk kepada pasangan suami isteri tersebut.
Pengankatan hakam dimaksud dalam ayat tersebut diatas, yaitu bertugas untuk
mendamaikan suami isteri, dan pengangkatan hakam hanya dalam keadaan benar-benar
diperlukan. Dan jika sudah sekuat tenaga berusaha mendamaikan suami tersebut tidak
berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.
Mengenai hakam ada beberapa pendapat antara ahli fiqh seperti : Imam Abu
Hanifah, sebahagian pengikut Hambali, Syafi’i Ahmad, Ulama-ulama’ Dhahiri Syi’ah
Zaidiyah, Hakam berarti wakil. Sebagaimana wakil, maka hakam tidak boleh mengajukan
thalak sebelum ada persetujuan dari orang yang diwakili, yaitu suami isteri, jadi hakam dari
pihak suami tidak boleh menjatuhkan thalak sebelum ada persetujuan dari suami, demikian
pula hakam dari pihak isteri tidak boleh mengajukan khulu’ sebelum mendapat persetujuan
12
dari pihak isteri. Menurut Imam Malik dan sebahagian yang lain pengikut Imam Hambali
dan Qaul jadid dari Imam Syafi’i, hakam berarti hakim, sebagaimana hakim boleh
memberikan keputusan untuk menceraikan suami isteri atau berusaha mendamaikan tanpa
meminta persetujuan terlebih dahulu kepada suami atau isteri. Pendapat kedua ini
dikuatkan tindakan kholifah Aly bin Abi Tholib yang pernah mengangkat hakam dengan
memberikan kekuasaan penuh kepada hakam yang diangkatnya untuk mengambil
keputusan mana yang maslahat antara melangsungkan hubungan perkawinan atau
menceraikan suami isteri itu (Muchtar 1974, hlm: 174)
Menurut Syeh Abdul Aziz Al-Khuli tugas dan syarat orang yang boleh diangkat
menjadi hakam adalah sebagai berikut: Pertama berlaku adil antara yang bersengketa.
Kedua dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan kedua suami isteri tersebut Ketiga dua
orang hakam itu disenangi oleh kedua bela pihak, Keempat hendaklah berpihak kepada
yang teraniaya.maksudnya menegakkan kebenaran. (Soumiyati 1974 hlm:112). Mencermati
syarat-syarat untuk menjadi hakam di atas, kita dapat memahami bahwa hakam itu benar-
benar untuk mencari kemaslahatan, bukan untuk memecahkan kerukunan rumah tangga
mereka. Berarti perceraian itu baru boleh terjadi, jika memang benar-benar sudah dalam
keadaan darurat, atau memang hukum telah mempunyai kepentingan, maksudnya untuk
mengambil maslahat yang lebih besar, ketimbang mereka masih dalam ikatan perkawinan
tetapi terus-menerus terjadi perselisihan. Seperti juga telah disinggung, bahwa ketika ada
suatu perselisihan sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu oleh suami isteri tersebut, dengan
cara si suami memberikan pelajaran kepada si isteri nuzyuz, yang merupakan salah satu
cikal bakal terjadinya perselisihan. Dalam ِِِAl-qur’an an-nisa’ 34 mengatakan :
13
Artinya:
”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena
mereka laki-laki telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang salah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah memelihara mereka .
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nuzyuznya, maka nasehatilah
dengan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha
besar.”
Mencermati ayat diatas, tampaknya tidak muda melakukan perceraian, sekalipun
ayat itu tidak begitu merinci penyebab-penyebab yang dapat dijadikan sebagai
sebab untuk bolehnya terjadi perceraian. Dalam hal ini Mushthafa dibul Bigha, di
dalam bukunya : At-Tadhib fi Adillah Matn Al- Ghayah wa-at Taqrib ( 1978:164)
14
bahwa si isteri dikembalikan pada orang tuanya (diceraikan ) karena lima hal, Yaitu
gila, berpenyakit lepra, belang, kemaluannya buntung atau kemaluannya lumpuh.
Perinsip-perinsip yang telah digariskan hukum Islam yang memperketat terjadinya
perceraian tersebut telah terujud dalam undang-undang atau aturan yang berlaku di
Indonesia, terutama dalam pasal yang menjelaskan tentang alasan-alasan perceraian.
Alasan tersebut telah diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun1974, dan dilanjutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tanggal 10 Juni 1991,
setelah yang dimuat dalam pasal 116. Atas dasar ini , maka dalam memproses
pengajuan perkara perceraian. Pengadilan Agama terlebih dahulu memeriksa alasan-
alasan penyebab mereka mengajukan permohonan perceraian. Baik cerai karena
gugat maupun karena thalak. Segala bentuk perceraian yang diajukan kepada suami
atau isteri. Sedangkan pengertian khusus yang dimaksud dengan thalak adalah
putusnya ikatan perkawinan antara suami dan isteri karena kehendak suami. Atau
perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya (Muchtar 1993, hlm :156).
Dengan ungkapan lain, Istilah perceraian lebih umum dipergunakan untuk
menyatakan putusnya hubungan ikatan tali prkawinan antara suami isteri, tetapi
dalam perakteknya, untuk melaksanakan perceraian itu ada ketentuan, bahwa thalak
hak suami untuk menjatuhkannya. Di Indonesia istilah thalak dimaksud adalah ikrar
yang diucapkan suami, didepan sidang Pengadilan Agama, yang menjadi salah satu
sebab terjadinya putus tali perkawinan.
Selanjutnya dalam fikih Islam dirumuskan bahwa dilihat dari segi keadaan
isteri ketika thalak diucapkan suami, maka thalak itu ada dua macam, yaitu:
Pertama thalak yang dijatuhkan suami dimana isteri waktu itu dalam keadaan haid
15
dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Thalak semacam ini
disebut thalak sunni, atau pelaksanaannya telah menurut hukum syara’ dan tidak ada
pengaruh dalam iddah. Kedua thalak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu
itu si isteri sedang dalam keadaan haid atau dalam masa suci, namun dalam masa itu
sudah dicampuri oleh suaminya. Thalak seperti ini disebut thalak bid’iy. Artinya
thalak semacam itu menyimpang dari sunnah Nabi. Hukumnya haram, alasan
dengan cara ini perhitungan iddah isteri memanjang, karena setelah terjatuh thalak
belum langsung hitung iddahnya.
Adapun alasan-alasan yang bisa dijadikan motif kebolehan terjadinya
perceraian adalah sebagai berikut:
a. Salah satu berbuat zina atau pemabuk, pemadat, pejudi dan lain sebagainya yang
sulit disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lain
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami isteri terjadi terus-menerus perselisihan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam runmah tangga.
g. Suami melanggar talik talak
16
h. Peralihan Agama atau murtat yang mengakibatkan tidak rukun dalam rumah
tangga.
Perlu dikemukakan dalam kita-kitab fiqh klasik, seperti diungkapkan oleh (M.
Atho Mudzar 2003 hlm :212) bahwa thalak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari
pihak suami. Baik secara lisan maupun secara tertulis secara bersungguh-sungguh atau
bersendagurau, sekalipun dalam bersendagurau itu harus disertai dengan niat untuk
menthalak dari pihak suami. Pendapat-para ahli hukum Islam yang tertuang dalam kitab-
kitab fiqh klasik tersebut tampaknya jelas menempatkan kaum perempuan sebagai pihak
yang inferior atau umat kelas dua yang dihadapkan pada kaum laki-laki. Kaum laki-laki
dianggap selalu mempunyai derajat lebih tinggi dari kaum perempuan.
Tetapi dewasa ini di negeri Muslim, ketentuan dalam fikih-fikih klasik tersebut
telah begeser oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan. Di
Indonesia umpamanya masalah thalak atau perceraian telah diatur dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pada Pasal 39 ayat (1) undang–undang tersebut
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua bela pihak
dalam menghadapi sengketa keluarga, Pasal 39 ayat (1) ini tentunya bertujuan untuk
mempersulit dan mengurangi terjadinya perceraian, selain itu juga perceraian tidak
didominasi oleh hak suami, namun telah terlihat keseimbangan, sesuai dengan aturan
perundang-undangan. Sedangkan dalam fikih-fikih klasik, bahwah perceraian itu sudah
jatuh apabila telah diucapkan oleh suami, baik secara kinayah (bersendagurau), kinayah ini
sifatnya tidak tegas hanya dengan kata-kata yang halus dan bisa salah tafsiran bagi yang
mendengarkan kata-kata tersebut. Sebagaimana contoh tikar sudah ku gulung, tali telah
17
kuputus. Tetapi kalau sareh itu sifatnya sangat tegas dan sareh, tidak ada kata lain kecuali
artinya menthalak isteri sebagaimana contoh engkau ku thalak satu.
Macam-macam Thalak
Sebelumnya telah disinggung, bahwa perceraian dalam konteks penelitian ini adalah
perceraian yang dilihat dari segi kehendak pihak suami maka disebut dengan thalak, dan
apabila perceraian itu dari kehendak isteri maka disebut dengan khuluk. Inilah yang
dimaksud dengan macam-macam perceraian. Oleh sebab itu dalam bahasan berikut ini akan
dikemukakan tentang konsep thalak dan konsep khuluk dalam pandangan hukum Islam dan
perundang-undangan perkawinan yang berlaku di Indonesia ( Syarifuddin 2003, hlm: 124)
Thalak
Berkaitan dengan masalah thalak ini, banyak al-Qur’an memberikan penjelasan,
umumnya dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya :
”Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga
quru’.Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian ( akhirat). Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka ( para
18
suami) itu menghendaki islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkat kelebihan dari pada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Bijaksana”.
Kata ”thalak” dalam bahasa arab berasal dari kata THALAQA-YATHLAQU-
THALAAQAN: yang berarti melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu
bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstra seperti tali pengikat
perkawinan. Kata thalak merupakan isim masdar dari kata THALAQA-YATHLIQU-
THALIIQAN, Jadi kata ini senakna dengan kata tahliq yang bermakna ” irsal” dan ” tarku”
yaitu melepas dan meninggalkan.(Departemen Agama 1984-1985 : 226)
Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh alal madzahibil arba’aah memberikan devinisi
thalaq sebagai berikut :
Thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu.(Departemen Agama 1984-1985 :
226)
Masih dalam sumber yang sama mengatakan bahwa thalaq itu ialah melepas tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Kemudian istilah thalak atau perceraian, dalam penggunaan ahli fiqh, diartikan
secara umum dan khusus. Dalam pengertian umum bahwa thalak adalah segala bentuk
perceraian, yang dijatuhkan atau ditujukan kepada suami ataupun kepada isteri. Sedangkan
dalam pengerian khusus yang dimaksud dengan thalak adalah putusnya ikatan hubungan
19
perkawianan antara suami isteri karena kehendak suami. Atau perceraian yang ditujukan
suami kepada isteri. (Muchtar, 1993 hlm: 156).
Dalam ungkapan lain istilah perceraian lebih umum dipergunakan untuk
menyatakan putusnya hubungan ikatan tali perkawinan antara suami isteri. Tetapi dalam
perakteknya, untuk melaksanakan perceraian itu ada ketentuan, bahwa thalak adalah hak
suami untuk menjatuhkannya.
Di Indonesia, istilah thalak adalah ikrar yang diucapkan suami, di hadapan sidang
Pengadilan Agama, yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan. Selanjutnya
dalam fiqh Islam bahwa dilihat dari segi keadaan isteri ketika thalak diucapkan suami,
maka thalak ada dua macam:
Pertama thalak yang dijatuhkan suami yang mana isteri pada waktu itu dalam
masa haid dan dalam masa itu belum pernah dicampuri oleh suaminya. Thalak semacam ini
disebut thalak sunni atau pelaksanaannya telah menurut hukum syara’. Atau tidak ada
pengaruh terhadap perhitungan masa iddah dengan artian setela jatuh thalak si isteri
langsung dalam perhitungan iddah. Kedua thalak yang dijatuhkan oleh suami yang mana
waktu itu isteri sedang dalah haid atau dalam masa suci, dimana isteri pada waktu itu telah
dicampuri oleh suaminya. Thalak semacam ini disebut thalak bid’iy. Artinya thalak yang
pelaksanaannya menyimpang dari sunnah Nabi, hukumnya haram, alasan ia dengan cara ini
perhitungan haidnya memanjang, karena setelah terjatuh thalak belum langsung dihitung
iddahnya.
Kemudian kalau dilihat dari segi kemungkinan boleh tidaknya suami kembali
kepada mantan isterinya, para ahli hukum Islam telah membagi thalak tersebut kepada dua
macam yaitu: Pertama thalak ruj’i yaitu thalak yang si suami diberi hak untuk kembali
(ruju’) kepada isterinya tanpa melalui nikah baru, selama isterinya itu dalam iddah, thalak
20
ruj’i ini adalah thalak satu atau thalak dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri.
Mengenai thalak semacam ini telah diterangkan dalam Al-qur’an suarat Al-baqarah 229
Artinya:
”Thalak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang
makruf atau menceraikan dengan cara baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya ( suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya, itulah hukum-hukum Allah , maka janganlah kamu
melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.”
Kedua thalak ba’in, yaitu thalak yang putus secara penuh dalam arti tidak
mungkin suami kembali kepada mantan isterinya, kecuali dengan nikah baru. Kemudian
thalak ba’in menurut para ahli hukum Islam, dapat dibagi lagi kepada dua macam yaitu :
(1) Ba’in sughra,
Ba’in sughra adalah thalak satu atau thalak dua dengan menggunakan tebusan dari
isteri atau melalui putusan Pengadilan Agama dalam bentuk fasakh. Dalam bentuk ini
si suami yang akan kembali kepada isterinya dapat langsung melakukan pernikahan
baru. Dengan telah terjadinya thalak semacam ini, maka si suami telah kehilangan hak
untuk ruju’ tetapi tidak kehilangan nikah baru kepada mantan isterinya tersebut. Adapun
21
yang tergolong thalak seperti ini adalah sebagai berikut: (a) Thalak yang terjadi
sebelum mengadakan hubungan seksual antara suami isteri tersebut, dimana pada
thalak yang demikian tidak dikenakan masa iddah, (b) thalak dengan tebusan dari pihak
isteri (c) thalak yang dijatuhkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama ( Junaidi
2003, hlm: 265)
2) Ba’in kubra
Bai’n kubra ialah thalak tiga, baik satu ucapan atau berturut-turut dalam
pengucapannya, ba’in kubrah ini menyebabkan si suami tidak boleh lagi kembali
kepada mantan isterinya, baik dengan cara ruju’ maupun dengan nikah yang baru,
kecuali mantan isterinya itu telah nikah dengan laki-laki lain, kemudian telah bercerai
dengan suami keduanya dan telah habis masa iddahnya. Kalau kita lihat dari macam
thalak itu dapat kita pahami bahwa thalak itu ada yang bisa kembali dan ada yang tidak
bisa kembali, dan ada pula yang bisa dengan langsung ruju’.
Mengeni ba’in kubra atau thalak tiga dimana suami tidak boleh lagi mengawini
isterinya tersebut, diterangkan dalam Al–qur’an baqarah ayat 230 yang berbunyi
sebagai berikut :
Artinya:
22
”Kemudian jika suami menthalaknya (sesudah thalak yang kedua) maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya, sehingga ia kawin dengan laki-laki yang
lain, kemudian jika suaminya yang lain telah menceraikannya dan habis masa
iddah, maka tidak ada lagi dosa bagi keduanya( bekas suami pertama dan isteri)
untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hokum-
hukum Allah . Itulah hokum-hukum Allah diterangkan Nya kepada kaum yang
mau mengetahui”
Para ahli hukum Islam telah sepakat, bahwa perempuan yang telah terthalak
dengan thalak ba’in kubra pada dasarnya tidak boleh lagi dikawini oleh bekas suaminya
tersebut, terkecuali telah melalui hal-hal berikut ini: (1) Perempuan bekas isterinya telah
kawin dengan laki-laki lain (kelang cina buto). (2) telah diceraikan suami kedua kemudian
(3) telah habis masa iddah. Setelah ini selesai barulah boleh suami yang menthalak isterinya
dengan ba’in kubra tadi boleh kembali dengan pernikahan yang baru ( akad baru). Adapun
perempuan yang terthalak ba’in sughra, jika kawin dengan laki-laki lain kalau sudah habis
iddahnya lalu bercerai dan kemudian kawin kembali dengan bekas suaminya yang pertama,
maka hukumnya sama dengan perempuan yang terthalak ba’in kubra, yaitu berulang
kembali lembaran baru dan laki-laki berhak atas tiga kali thalak. Pendapat Abu Hanifah dan
Abu Yusuf. Tetapi Muhammad berpendapat perempuan yang kembali kepada bekas
suaminya yang pertama hanya berlaku thalak sisanya. Jadi sama hukumnya dengan
perempuan yang terthalak ruj’i atau yang dinikahi oleh laki-lakinya tadi dengan aqad baru
sesudah terjadinya thalak ba’in sughrah. Masalah tersebut diatas dikenal dengan istilah Al-
Hadm (penghapusan hitungan thalak) maksudnya apakah suami kedua menghapuskan
thalak yang berjumlah kurang dari tiga kali seperti halnya thalak tiga atau tidak.
23
Khuluk
Khuluk berasal dari kata khala’a ats-tsauba artinya menanggalkan pakaian (Sabiq.
1987,hlm :95) Kalau kita menafsirkan pengertian kebahasaan ini dengan melakukan
konfirmasi kepada ungkapan al-qur’an tentang suami isteri, maka sesungguhnya memang
dapat dipahami secara jelas. Sebab Tuhan mengatakan bahwa kaum perempuan adalah
pakaian laki-laki dan laki-laki adalah pakaian perempuan. Hal ini diterangkan Allah dalam
Al-qur’an Al-baqarah ayat 187 yang berbunyi sebagai berikut;
Artinya:
”Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.”
Khuluk bisa dilakukan bila seseorang melihat suaminya melakukan sesuatu yang
tidak diridlo’i Allah, dan untuk melanjutkan hubungan perkawinan mengalami kendalah,
sedang suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka isteri dapat meminta
perceraian dari suaminya, dengan kompensasi ganti rugi yang diberikan kepada suaminya.
Bila suaminya menerima dan menceraikan isterinya atas dasar ganti uang tersebut
( Syarifuddin 2003, hlm: 131)
Demikian juga Muhammad Yunus berpendapat bahwa, khulu’ perceraian antara
suami isteri dengan membayar uang iwadl dari pihak lain. Tidak bisa mendirikan batas-
batas hukum Allah. Tetapi apabila keduanya merasa yakin dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka dapat tidak melakukan perceraian, sebagaimana firman Allah dalam Al-
24
baqarah ayat 230 seperti dikutif diatas. Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan
suatu gugatan terlebih dahulu, oleh salah satu pihak baik suami atau isteri kepada
Pengadilan Agama ( K.Wanctjik Saleh 1975,hlm : 120)
Tata Cara Perceraian
1. Mengajukan Gugatan
Mengenai pengajuan gugatan ini telah diatur dalam Kompilasi hukum Islam, yang
merupakan acuan bagi Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara. Aturan
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai
berikut: Seorang suami yang akan menjatuhkan thalak kepada isterinya, mengajukan
permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama, yang mewilayai
tempat tinggal isteri, disertai dengan alasan-alasan serta meminta agar dilakukan sidang
untuk keperluan itu. Mencermati bunyi pasal ini, maka dipahami hal-hal sebagai
berikut: Pertama, suami yang akan menthalak isterinya hendaklah mengajukan
permohonan kepada Pengadilan Agama yang mewilayai tempat tinggal isteri baik
dalam bentuk tulisan maupun dengan secara lisan, Kedua Permohonan itu disertai
dengan alasan-alasan yang jelas, Ketiga dalam permohonan itu ada permintaan untuk
dilakukan persidangan untuk dalam peroses perceraian.
2. Pemeriksaan berkas dan Pemanggilan
a. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud dalam
Pasal 129 menyebutkan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
memanggil pemohon dan isteri untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan maksud surat permohonan penggugat untuk perceraian
25
b. Dalam panggilan tersebut Pengadilan Agama berusaha untuk mendamaikan antara
suami isteri tersebut
c. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata
cukup alasan untuk menjatuhkan thalak serta yang bersangkutan tidak mungkin
rukun dalam membina rumah tangga
3. Penentuan Sidang
Pengadilan Agama menentukan waktu sidang untuk menjatuhkan keputusannya ( izin
suami untuk mengikrarkan lafas thalak)
a. Keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan
thalaknya di depan sidang Pengadilan Agama, yang dihadiri oleh suami isteri atau
kuasa hukumnya
b. Bila suami tidak mengucapkan ikrar dalam tempoh 6 ( enam) bulan terhitung sejak
putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar thalak, baginya mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan thalak gugur dan ikatan
perkawinan tetap utuh.
c. Setelah sidang penyaksian ikrar thalak di Pengadilan Agama membuat penetapan
tentang terjadinya thalak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi
bekas suami isteri.
d. Helai pertama dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk diadakan pencatatan,
e. Helai kedua ketiga diberikan kepada suami isteri yang bersangkutan
f. ke empat disimpan oleh Pengadilan agama yang bersangkutan untuk dokumen .
26
Demikian juga halnya tata cara perceraian karena gugat, cara pengajuan
permohonannya sama dengan cerai thalak, seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 148 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Seorang isteri yang ingin melakukan gugatan cerai dengan jalan khulu’ ia harus
menyampaikan permohonan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
disertai dengan alasan-alasan.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suami
untuk didengar keterangan masing-masing
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan-penjelasan
tentang akibat khulu’ dan memberikan nasehat-nasehat,
4. setelah kedua bela pihak sepakat tentang besarnya uang iwadl atau tebusan, maka
Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan thalaknya di depan sidang Pengadilan Agama terhadap penetapan itu
tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana dalam Pasal 13 ayat 5
6. Dalam hal ini tidak tercapai kesepakatan tentang besar tebusan uang iwadl
Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
Didalam pemeriksaan berkas Pengadilan Agama harus melihat alasan alasan
pengajuan gugatan itu sendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 113 yang berbunyi
sebagai berikut :
1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 b dapat diajukan setelah
2 ( dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah
2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukan sikap tidak
mau lagi kembali kerumah bersama
27
3. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f dapat diterima
apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab
perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-
orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.
4. Gugatan perceraian karena alasan suami dapat hukuman 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat, maka untuk mendapatkan keputusan perceraian tersebut
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan Agama
yang telah memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dalam Pasal 138 Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan cara atau proses
Pengadilan Agama dalam menyelasaikan perkara perceraian yang substansinya adalah
sebagai berikut:
1. Setiap diadakan sidang Pengadilan Agama memeriksa gugatan perceraian,
baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka dipanggil untuk
menghadiri sidang tersebut,
2. Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama,
3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, Apabila yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan dapat disampaikan kepada
lurah atau yang sederajat.
4. Panggilan yang tersebut dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara
patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa
hukumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka,
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan,
28
Kalau kita melihat jalannya proses perceraian di Pengadilan Agama, baik cerai
karena thalak maupun cerai karena gugatan isteri, hal ini daptat dipahami bahwa perceraian
itu bukanlah mudah, sebab disamping memakan waktu yang panjang, juga tidak sedikit
memakan biaya, hal ini bertujuan agar tercapai kesepakatan kembali untuk tidak terjadi
perceraian. Karena tiap kali persidangan hakim selalu berusaha dan menasehati kedua bela
pihak untuk berdamai, hal ini diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 43 yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua
bela pihak,
2. Selama perkara belum putus usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap
kali sidang pemeriksaan.
Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian yang
baru berdasarkan alasan atau alasan yang ada sebelum perdamaian telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapai perdamaian.
29