1
1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENINGKATAN PERCERAIAN
KARENA FAKTOR EKONOMI DI PENGADILAN
AGAMA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
APRILIA SARI DUMENGGAN NASUTION
NIM: 150200344
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
2
2
Universitas Sumatera Utara
3
3
Universitas Sumatera Utara
i
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji bagi Allah SWT. Yang Maha Esa
dan Maha Kuasa atas segalanya, yang tak pernah berhenti memutuskan rahmat-
Nya dari segi kesehatan, kesempatan dan kemudahan dalam memahami ilmu yang
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini
berjudul ”TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENINGKATAN
PERCERAIAN KARENA FAKTOR EKONOMI DI PENGADILAN
AGAMA MEDAN”. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih banyak kekurangan yang terdapat di dalamnya baik dari segi isi maupun
penyajiannya. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis sering mendapat kendala
yang menjadikan penulisan skripsi menjadi terhambat, namun atas izin Allah
SWT. Segala rintangan tersebut dapat diatasi dan skripsi ini dapat diselesaikan.
Terima kasih yang tidak dapat diungkapkan hanya dari sekedar kata-kata kepada
kedua orang tua penulis Ahmad Yuni Nasution, S.H dan Risa Nirmala S.Pd yang
selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi, semangat dan nasehat kepada
penulis agar selalu mengerjakan skripsi ini dengan penuh semangat. Dan juga
kepada adikku yang menambah semangat penulis dalam penulisan skripsi ini Fitri
Ariska Malona Nasution yang selalu memberikan candaan dan selalu meminta
penulis untuk segera wisuda.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis juga mendapat banyak
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan
dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah
diberikan, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
i Universitas Sumatera Utara
ii
ii
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Zulfi Chairi, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
nasihat, serta bimbingan di dalam pelaksaan penulisan skripsi ini.
7. Bapak EkoYudhistira Kalo, SH., M.Kn selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan,
nasihat serta bimbingan di dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.
8. Kepada seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
9. Kepada seluruh staf administrasi dan pegawai yang turut serta membantu
saya dalam proses administrasi selama saya menuntut ilmu di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Kepada sahabat (Ayu Sartika,Zakia Ulfa) yang telah senantiasa
mendengarkan keluh kesah selama penulisan skripsi.
ii Universitas Sumatera Utara
iii
iii
11. Kepada sahabat (Mardhiyah Dwitami, Rini Ayuni, Sri Lutfiyah, Regina
Arnahas) yang tanpa kenal lelah menyemangati dan memberikan nasehat
kehidupan sehingga penulis tetap semangat
12. Kepada adik-adikku tersayang (Rahmita Khairunnisa, Juwita Antasari,
Hotmida Yoshi, Eva Amalia) yang telah menemani penulis dari awal
perkuliahan sampai penulisan skripsi ini, yang selalu memberikan
dorongan, motivasi dan informasi-informasi tentang perkuliahan
13. Kepada teman-teman seangkatan (Mutiarani, Ayu Anisa, Elvira Hardi)
yang telah memberikan warna-warni dunia kampus
14. Kepada teman klinis ( Annisya Anwar, Nadya Aprilia, Eva Amalia, Faridah
Hanum, Egi Nilasari, Dhafiya Yumna,Mino Putramin Alifka, Aditya,
Sigit, Ichsan, Yudha) yang telah memberikan pelajaran tentang pentingnya
kerja sama dan warna-warni dunia perklinisan
15. Teristimewa kepada Raymondsyah Panggabean, A.Md lelaki hebat yang
telah banyak membantu dan memberikan dorongan serta motivasi dari
awal memasuki gerbang perkuliahan hingga menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
iii Universitas Sumatera Utara
iv
iv
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. iv
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 12
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 12
D. Manfaat Penulisan .................................................................................. 12
E. Keaslian Penulisan ................................................................................. 13
F. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................ 14
G. Metode Penelitian ................................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 19
BAB 2 KONSEP DASAR PERCERAIAN .............................................. 21
A. Pengertian Perceraian ............................................................................. 21
B. Macam – macam Perceraian ................................................................... 26
C. Akibat Hukum Perceraian ...................................................................... 40
BAB III TINGKAT PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA MEDAN ..................................................................................... 50
A. Faktor- Faktor Perceraian menurut Peraturan Perundang – Undangan.. 50
B. Tingkat Perceraian di Pengadilan Agama Medan .................................. 58
BAB 4 FAKTOR EKONOMI SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA MEDAN ........................ 71
A. Indikator Kesejahteraan.......................................................................... 72
B. Nafkah Keluarga ..................................................................................... 79
C. Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Perceraian di Pengadilan Agama
Medan ..................................................................................................... 90
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 102
A. Kesimpulan............................................................................................. 102
B. Saran ....................................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA
iv Universitas Sumatera Utara
v
v
ABSTRAK
Aprilia Sari Dumenggan Nasution*
Zulfi Chairi**
Eko Yudhistira***
Perceraian atau biasa disebut talak adalah melepaskan ikatan tali
pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara. Kasus perceraian
yang terjadi di kota Medan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan
terjadinya perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai sosial yang berkembang
ditengah masyarakat. Kondisi ekonomi yang tidak stabil menimbulkan gejolak di
tengah masyarakat dan mempengaruhi tingginya angka perceraian di Pengadilan
Agama Medan. Di dalam skripsi ini yang menjadi permasalahan yang akan
dibahas adalah bagaimana konsep dasar perceraian di Indonesia, bagaimana
tingkat perceraian di Pengadilan Agama Medan, dan bagaimana faktor ekonomi
sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Medan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normative-empiris. (penelitian hukum kepustakaan dan
penelitian hukum praktikal) yang merupakan penelitian yang mengkaji studi
dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa
pendapat para sarjana dan penelitian yang mengkaji berdasarkan data yang
diperoleh dari Pengadilan, wawancara dalam bentuk kuisioner yang dibagikan
kepada pihak-pihak yang akan bercerai di lingkungan Pengadilan Agama Medan.
Hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Medan ditemukan
bahwa terdapat kenaikan angka perceraian dalam beberapa tahun terakhir di
Pengadilan Agama Medan. Sejalan dengan kenaikan jumlah perkara yang diputus
terlihat angka cerai gugat jauh lebih tinggi dibanding angka cerai talak Merujuk
pada data perceraian di Pengadilan Agama Medan, angka cerai gugat pada
Januari-September 2018 mencapai 76,015% dibanding cerai talak yang mencapai
23,985%. Hasil penelitian ditemukan bahwa 75% pasangan yang telah menikah
menyatakan bahwa faktor pemicu pertengkaran adalah masalah ekonomi. Bahwa
perceraian karena ekonomi terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
faktor internal yang meliputi kurangnya rasa bersyukur dari pihak suami ataupun
istri yang menyebabkan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat
ini, tidak ada kerja sama yang baik antara suami dan istri, perbedaan cara pandang
tentang suatu kebahagiaan, suami tidak memiliki pekerjaan yang tetap,
penghasilan istri lebih tinggi daripada suami, dan menyebarnya hedonisme dan
feminisme.
Kata Kunci: Perceraian, ekonomi, alasan perceraian
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
v Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan cikal bakal kehidupan masyarakat, dan sebagai
sunnatullah untuk membentuk kehidupan berkeluarga yang semakin indah,
bernilai serta mulia. Pernikahan itu sendiri merupakan hubungan bathiniah yang
hakiki, berlandaskan cinta dan berpondasikan sebuah kejujuran dan kerjasama
yang senantiasa di isi dengan kebersamaan dan kasih sayang untuk membentuk
sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Telah diketahui bahwa Islam
banyak memberikan anjuran untuk menikah. Allah SWT menyebut di dalam
banyak ayat Al- Quran. Di antaranya firman Allah SWT dalam Surah Al-Anbiyaa
ayat 89 :
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: „Ya Rabb-ku
janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris
Yang Paling Baik.‟” [Al-Anbiyaa‟/21: 89].
Dan hadits-hadits mengenai hal itupun sangatlah banyak diantaranya adalah :
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda:
. ك
1
Universitas Sumatera Utara
2
2
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh
agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh
yang tersisa.”.
Pernikahan merupakan bagian dari karunia Allah kepada para hamba-Nya,
karena melalui pernikahan kita dikaruniai keturunan. Oleh karena itu ketika
seseorang memutuskan untuk menikah tidak lain dan tidak bukan hanyalah
semata-mata mengharap ridho Allah SWT dalam membentuk sebuah keluarga
sehingga tatanan kehidupan tetap eksis dan berkelanjutan.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan, tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Membentuk
keluarga bahagia berkaitan erat dengan keturunan karena salah satu tujuan
seseorang menikah adalah untuk memperoleh keturunan, yang pemeliharaan,
kasih sayang dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab penuh kedua
orang tuanya hinga anak beranjak dewasa. Untuk itu, suami istri haruslah saling
membantu dan mendukung satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga
sehingga dapat tercapai kesejahteraan baik secara spiritual maupun material.
Perkawinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan nilai nilai religiousisme sehigga perkawinan
bukan saja mengenai unsur lahir (jasmani) tetapi juga ada unsur rohani (spiritual),
sehingga keluarga yang bahagia adalah sebuah keluarga yang berlandaskan pada
nilai-nilai agama.
Universitas Sumatera Utara
3
3
Perkawinan, menurut Sajuti Thalib, adalah perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Unsur perjanjian di
sini untuk memperlihatkan segi kesenjangan dari perkawinan serta menampakkan
pada masyarakat ramai sedangkan sebutan suci untuk pernyataan segi
keagamaannya dari suatu perkawinan.1
Mohd. Idris Ramulyo membenarkan bahwa dipandang dari segi hukum,
perkawinan itu merupakan suatu perjanjian, sebagaimana ditegaskan dalam Al-
Qur‟an Surah An-Nisa‟ ayat 21 yang esensinya perkawinan adalah “perjanjian
yang sangat kuat” yang disebut dengan istilah “miitsaaghan ghaliizhan”. Selain
itu, sebagai alasan untuk menyatakan bahwa perkawinan itu merupakan suatu
perjanjian ialah karena adanya : pertama, cara mengadakan ikatan perkawinan
telah diatur terlebih dahulu, yaitu dengan akad nikah dan rukun atau syarat
tertentu; dan kedua, cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga
telah diatur sebelumnya, yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh,
syiqaq, dan sebagainya.2
Perkawinan menurut hukum Islam sebagai suatu perjanjian yang sangat
kuat atau misaqon ghaliza, juga ditegaskan dalam pengertian yuridis perkawinan
menurut Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, yaitu “Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqon ghaliza untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Perkawinan bertujuan
1 Sajuti Thalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982,
hlm.47
2 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam:Suatu Analisis Undang-Undang No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, PT.Bumi Aksara , Jakarta, 2004, hlm. 16
Universitas Sumatera Utara
4
4
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah”.
Tujuan ideal perkawinan baik menurut hukum nasional (Undang-Undang
No.1 Tahun 1974), hukum Islam dan hukum adat adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia akan tetapi dalam realitanya sulit untuk dapat
diwujudkan. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
kehidupan berumah tangga baik itu secara internal maupun eksternal. Dalam
hubungan berumah tangga setiap pasangan pasti mengharapkan hubungan yang
langgeng, bahagia dan terus bersama hingga maut memisahkan. Masalah demi
masalah pasti akan selalu ditemukan. Namun, sebagai pasangan suami-istri harus
berusaha untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ada secara bersama-
sama.. Dewasa ini banyak dtemukan pasangan suami istri yang menganggap
permasalahan yang timbul tidak dapat diselesaikan lagi kecuali dengan bercerai.
Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, suami yang tidak bertanggung jawab,
ekonomi, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, berbeda persepsi dan
pandangan hidup sering kali dijadikan alasan untuk bercerai.
Perceraian atau biasa disebut talak adalah melepaskan ikatan tali
pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara. Kata “Thalaq”
dalam bahasa arab berasal dari kata “thalaqayatlhuqu-thalaaqan” yang artinya
melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat itu bersifat konkrit seperti
tali pengikat kuda maupun yang bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan.
Talak merupakan isim mashdar dari kata “thalaqa-yathuqu-thalaaqan” jadi kata
ini semakna dengan kata “thaliq” yang bermakna “irsal” dan ”tarku” yaitu
Universitas Sumatera Utara
5
5
melepaskan dan meninggalkan.3 Menurut Subekti perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu.4
Allah telah mensyariatkan pernikahan untuk membangun mahligai rumah
tangga yang bahagia, terbangun atas dasar cinta dan kasih sayang di antara kedua
belah pihak, serta untuk mendapatkan keturunan. Jika cinta dan kasih sayang ini
sudah tidak ada, maka seiring dengan berjalannya waktu niat dan janji antara
keduanyapun dapat ikut pudar disebabkan perangai jelek dari salah satu pihak atau
dari kedua belah pihak yang baru diketahui setelah menikah. Hal ini dapat
menyebabkan hubungan tidak harmonis sehingga menimbulkan perpecahan yang
seyogyanya sulit ditemukan didalam rumah tangga yang harmonis.
Allah berfirman didalam Surah Al-Baqarah ayat 227 yang berbunyi : ”Dan
jika mereka berketetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui”. Islam mengizinkan perceraian kendatipun Allah
sangat membenci perceraian. Perceraian dianggap sebagai jalan terakhir yang
dapat diambil oleh pasangan suami istri untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Sebagaimana Ibnu Umar ra. Menuturkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
Artinya: “Perkara halal yang paling dibenci Allah ta‟ala adalah
perceraian.”(HR. Abu Dawud dan Hakim) Hakim menilai hadits ini shahih.5
Prinsipnya, seorang pria dan seorang wanita yang mengikat lahir dan
bathinnya dalam suatu perkawinan sebagai suami dan istri mempunyai hak untuk
3Nikmah Marzuki, Problematika Perceraian Masyarakat Kabupaten Bone, Jurnal Hukum
Keluarga Islam Vol.II, Watampone,2016, hlm 35
4 Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT. Internusa, Jakarta,1985,hlm.42
5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Al-I‟tishom, Jakarta, 2008, hlm. 420.
Universitas Sumatera Utara
6
6
memutuskan perkawinan sebagai suami istri lewat jalan perceraian sebagaimana
yang telah diatur dengan undang-undang. Di dalam Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa untuk melakukan
perceraian harus ada alasan yang cukup membuktikan bahwa pasangan suami istri
tidak dapat lagi hidup bersama dengan rukun. Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan yang bersangkutan telah
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian didalam hukum Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pada Pasal 38 sampai 41 dan
dijabarkan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Pasal 20
hingga Pasal 34 ayat 2 terkait pengajuan gugatan perceraian yang diajukan atas
inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri. Diatur juga didalam Kompilasi
Hukum Islam.
Perkembangan hukumnya kemudian, proses hukum khusus gugatan
perceraian yang diajukan oleh dan atas inisiatif istri di Pengadilan Agama telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Menurut Mohd. Idris Ramulyo, talak adalah suatu bentuk perceraian yang
umum banyak terjadi di Indonesia, sedangkan cara-cara lain dan bentuk lain
Universitas Sumatera Utara
7
7
kurang dikenal. Akibatnya, seakan-akan kata kata talak telah dianggap
keseluruhan penyebab perceraian di Indonesia6. Talak yang dijatuhkan suami
disebut cerai talak, sedangkan talak yang dijatuhkan oleh istri disebut cerai gugat.
Hubungan suami istri dalam rumah tangga masing-masing mempunyai hak
dan kewajiban. Suami merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban
memenuhi segala kebutuhan keluarga, sementara istri merupakan ibu rumah
tangga yang berkewajiban mengurus suami dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban
suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan telah diatur juga di dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 77 sampai dengan Pasal 84.
Kasus perceraian yang terjadi di kota Medan terus meningkat setiap
tahunnya seiring dengan terjadinya perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai
sosial yang berkembang ditengah masyarakat. Kondisi ekonomi suami yang tidak
memiliki penghasilan yang tetap sementara istri tidak memiliki penghasilan dan
cenderung melimpahkan urusan mencari nafkah kepada suami. Kondisi ekonomi
suami yang lemah juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah sehingga
sangat susah untuk mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan suami bekerja
serabutan sehingga penghasilan tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga.
Dilain pihak kecendrungan yang sering terjadi ketika suami tidak mampu
memenuhi kebutuhan keluarga, istri tidak berusaha membantu menopang
kebutuhan keluarga.
6 Mohd. Idris Ramulyo, Opcit, hlm 101
Universitas Sumatera Utara
8
8
Bahkan bagi keluarga yang istri ikut andil dalam bekerja seringkali
kesenjangan pendapatan yang diperoleh selama berumah tangga menjadi salah
satu hal yang mempengaruhi meningkatnya pengajuan gugatan perceraian dari
pihak istri., Istri merasa bahwa suami kurang bertanggung jawab dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari, sehingga merasa bahwa dirinyalah yang sangat
berperan aktif didalam perekonomian keluarga.
Dalam kondisi lain sering juga ditemukan suami yang tidak bertanggung
jawab terhadap kebutuhan keluarga dan tidak bekerja keras untuk memenuhi
kewajibannya. Suami yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga justru
bersantai dan tidak peduli dengan kehidupan dan kebutuhan rumah tangga
sehingga kewajiban dan tanggung jawab dalam mencari nafkah sepenuhnya
dibebankan kepada istri.
Selain faktor eksternal peningkatan perceraian juga berasal dari dalam diri
suami maupun istri yakni berupa rasa egois, tidak ada yang mau mengalah, tidak
ada rasa tanggung jawab dalam diri suami, kurangnya rasa bersyukur, dan tidak
ada kerja sama yang baik diantara suami dan istri.
Hal ini dapat memperkeruh suasana didalam rumah tangga dan
menyebabkan istri dengan pertimbangan yang tidak matang merasa bahwa dirinya
tidak dapat bertahan dalam kondisi ekonomi keluarga yang seperti itu dan jalan
keluar yang dianggap paling mudah adalah dengan bercerai.
Sebanyak 1.626 pasangan di Kota Medan bercerai sejak Januari hingga
September 2018. Jumlahnya meningkat dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu
sebanyak 2..896 pasangan di Kota Medan bercerai pada tahun 2017. Secara
Universitas Sumatera Utara
9
9
historis angka perceraian di Kota Medan bersifat fluktuatif. Berdasarkan jumlah
perkara yang sudah diputus, tahun ini angka perceraian diperkirakan meningkat
antara 10-20 persen. Panitera di Pengadilan Agama Bapak Zumrik menyebutkan
bahwa pasangan yang bercerai didominasi usia 25 hingga 45 tahun, dan bahkan
ada yang sudah menikah lebih dari 20 tahun juga mengajukan gugatan cerai.7
Tabel 1
Perbandingan antara Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Kota Medan
No Jenis Perkara Tahun
2016
Tahun
2017
Tahun 2018 (Hingga
September)
1 Cerai Talak 2961 2896 1586
2 Cerai Gugat 2327 2292 1206
Sumber Data : Pengadilan Agama Medan
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat perceraian yang diajukan istri
(cerai gugat) mendominasi peningkatan angka perceraian setiap tahunnya. Hal ini
disebabkan karena telah berubah dan bergesernya nilai-nilai sosial yang ada
ditengah masyarakat. Dahulu perceraian dan menjadi seorang janda dianggap
sebagai suatu hal yang memalukan, sehingga istri lebih memilih bertahan demi
keutuhan keluarga daripada bercerai meskipun masalah yang dihadapi berat.
7 Hasil Wawancara dengan Bapak Zumrik selaku Panitera Pengadilan Agama Medan pada
tanggal 13 September 2018 Pukul 13.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
10
10
Namun, dizaman yang serba canggih ini perceraian telah dianggap biasa dan
bukan suatu hal yang aneh.
Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyak wanita
yang sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, maka menurut A. Reni
Widyastuti, perempuan sebagai istri tidak tinggal diam, dan tidak mau
diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki, maka pihak perempuan akan
menggunakan hak-haknya dengan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.8
Wahyu Ernaningsih menjelaskan bahwa pergeseran nilai ini merupakan
fenomena sosial yang menyangkut budaya (culture) di tengah masyarakat yang
menganggap lebih modern dan mapan. Keberanian istri dalam mengajukan gugat
cerai mengindikasikan perkembangan positif kesadaran perempuan akan hak-
haknya yang mulai meningkat, tetapi yang menjadi tidak kalah pentingnya adalah
apakah nilai-nilai yang terkandung didalam budaya yang ada didalam masyarakat
saat ini juga merupakan perkembangan positif, dan benarkah pemahaman tentang
hukum, utamanya tentang hak dan kewajiban, perkawinan, serta paradigma
gender telah dipahami secara benar.9
Dapat dilihat pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi ditengah masyarakat
tidak dapat terlepas dengan meluasnya paham feminisme dan kesetaraan gender.
paham feminisme merupakan suatu paham yang memperjuangkan kesetaraan,
kesamaan dan keadilan hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Perempuan
berani mensejajarkan posisinya dengan pria, menyadari haknya dan berani
8 A.Reni Widyastuti, “Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan
dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi”, Jurnal Mimbar Hukum, FH UGM, Yogyakarta,
2009, hlm.395
9 Wahyu Ernaningsih, “Gambaran Kelabu Perceraian di Kota Palembang”, Sumber Cahaya,
No.46 Tahun XVI, September 2011, FH Universitas Sriwijaya, Indralaya, hlm. 2725
Universitas Sumatera Utara
11
11
menunjukkan kemampuannya. Perempuan tidak lagi mau diperlakukan sewenang-
wenang oleh laki-laki, sehingga jika ada perbuatan yang tidak dapat di tolerir lagi
maka wanita tidak takut untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hal ini
tentunya sangat bertolak belakang dengan perempuan di masa lalu yang sangat
malu untuk diceraikan suaminya apalagi menjadi seorang janda di usia muda. Di
masa lalu status menjadi seorang janda mendapatkan kesan yang sangat negative
ditengah masyarakat. Seorang janda akan selalu menjadi bahan pergunjingan di
tengah pergaulan masyarakat, sehingga wanita lebih takut untuk menjadi seorang
janda. Namun, sekaramg wanita tidak takut lagi dan merasa dirinya mampu dan
mnunjukkan wanita bukan makhluk yang lemah.
Selain predikat janda yang dipandang negative, ketergantungan istri
kepada suami juga menyebabkan istri enggan meminta cerai. Ketergantungan
secara ekonomi dapat mempengaruhi nasib anak-anak membuat wanita sering
berfikir panjang sebelum bercerai. Rasa khawatir, tak berdaya dan lemah
membuat wanita lebih memilih untuk bertahan, tetapi pergeseran nilai-nilai sosial
itu telah terlihat dizaman yang serba canggih. Hal itu dapat dilihat dengan
banyaknya wanita mengejar karir dan ikut membantu suami mencari nafkah,
sehingga wanita tidak lagi merasa khawatir, cemas, dan bergantung kepada suami.
Wanita merasa dirinya mandiri dan mampu menghidupi anak-anak jika ia dan
suami berpisah.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “TINJAUAN
Universitas Sumatera Utara
12
12
YURIDIS TERHADAP PENINGKATAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR
EKONOMI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN AGAMA MEDAN”.
B. Rumusun Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep dasar perceraian di Indonesia ?
2. Bagaimanakah tingkat perceraian di Pengadilan Agama Medan ?
3. Bagaimanakah faktor ekonomi sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama
Medan ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui konsep dasar dari Hukum Perceraian di Indonesia
b. Untuk mengetahui faktor penyebab tingginya angka perceraian di
Pengadilan Agama Medan
c. Untuk mengetahui hubungan kesejahteraan ekonomi keluarga dengan
peningkatan perceraian di Pengadilan Agama Medan
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa :
a. Teoritis
Universitas Sumatera Utara
13
13
Bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan perkembangan
bidang hukum tertentu khususnya perdata mengenai meningkatnya
perceraian karena faktor ekonomi di wilayah hukum Pengadilan Agama
Medan.
b. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam rangka
menilai isi peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan
memberikan saran terhadap isi peraturan perundang-undangan tersebut,
selanjutnya dapat dijadikan masukan apabila akan dilakukan revisi
peraturan perundang-undangan.
c. Bagi Pengadilan
Hasil penelitian ini diharapkan bagi Pengadilan Agama Medan dapat
memberikan masukan dan saran yang bermanfaat bagi Pengadilan.
d. Bagi Masyarakat Umum
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan penjelasan bagi
masyarakat umum tentang hal-hal yang berhubungan dengan perceraian,
sehingga memperoleh pandangan mengenai pentingnya menjaga kerja
sama diantara suami dan istri.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan hukum/skripsi ini merupakan hasil karya dan bukan merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari karya ilmiah lainnya namun pada dasarnya ada
kemiripan judul tapi tidak dengan kemiripan materi. Penelitian dilakukan dengan
Universitas Sumatera Utara
14
14
mengambil panduan dari beberapa buku, jurnal ilmiah dan sumber sumber terkait
lainnya Hal ini dapat dibandingkan dengan penelitian yang pernah dilakukan
sebagai berikut :
1. Nama : Mohammad Ridwan Hakim, Nim : 07310019, Fakultas Syari‟ah IAIN
Syekh Nurjati Cirebon Tahun 2012. Judul : Perceraian Karena Faktor Ekonomi
(Studi Kasus di Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu Tahun 2011)
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana konsep dasar perceraian ?
2. Faktor-Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perceraian di
Pengadilan Agama Kabupaten Indramayu tahun 2011 ?
3. Bagaimana gambaran perceraian karena faktor ekonomi di Pengadilan
Agama Kabupaten Indramayu tahun 2011 ?
F. Tinjauan Kepustakaan
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami dan istri yang
didalamnya menyangkut banyak aspek seperti emosi, sosial, dan pengakuan
secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku layaknya perkawinan.
Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan mensyaratkan bahwa untuk melakukan
perceraian harus terdapat cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
hidup rukun sebagai suami istri. Adapun alasan-alasan yang dapat dipergunakan
untuk menuntut perceraian terurai dalam Pasal 19 Perauran Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Penyebab-penyebab tersebut diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
15
15
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan
tidak aka nada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Alasan perceraian yang tertuang didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomo 9 Tahun 1975 terdapat banyak kesamaan dalam Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam, hanya saja didalam Pasal 116 ditambahkan 2 point sebagai alasan
terjadinya perceraian, yaitu :
1) Suami melanggar taklik talak
2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga
Tingkat perceraian
Dalam praktiknya alasan-alasan tersebut bersifat alternative, artinya pemohon
dapat mendasarkan perceraian atas permasalahan yang dihadapinya.
Universitas Sumatera Utara
16
16
Ekonomi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
perceraian.Meningkatnya biaya kebutuhan hidup menyebabkan kebutuhan akan
ekonomi semakin meningkat.
Tanggung jawab suami adalah suatu bentuk kesadaran akan kewajibannya
dalam rumah tangga dan diperlukan kerja sama diantara suami dan istri.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian hukum yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi adalah
metode penelitian hukum normative-empiris. (penelitian hukum kepustakaan
dan penelitian hukum praktikal) yang merupakan penelitian yang mengkaji
studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana dan
penelitian yang mengkaji berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan,
wawancara dalam bentuk kuisioner yang dibagikan kepada pihak-pihak yang
akan bercerai di lingkungan Pengadilan Agama Medan.
Sifat dari penelitian skripsi adalah bersifat deskriptif analisis, deskriptif
berarti bahwa penelitian menggambarkan suatu peraturan hukum dalam
konteks teori-teori hukum serta pelaksanaannya. Sedangkan analisis hukum
penelitian akan menjelaskan secara cermat dan menyeluruh serta sistematis
terhadap aspek pelaksanaannya.10
10 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005
hlm 126.
Universitas Sumatera Utara
17
17
2. Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer diperoleh secara langsung dari narasumber tentang obyek
yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto data primer adalah data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat.11
Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan :
1. UUD 1945 Pasal 28 (b) tentang setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
4. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No.1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.
5. Kompilasi Hukum Islam
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Selain itu juga menggunakan data dari hasil wawancara berbentuk
kuisioner yang dibagikan kepada pihak yang akan bercerai diwilayah
Pengadilan Agama Medan.
b. Data Sekunder Data yang memberikan penjelasan terhadap bahan
primer, diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung
yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Bahan
hukum sekunder yaitu berupa buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis,
11 Soejono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada, Edisi 1-9, 2006 hlm.12.
Universitas Sumatera Utara
18
18
dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, yang berkaitan dengan
peningkatan kasus perceraian diwilayah hukum Pengadilan Agama
Medan12
.
c. Data Tersier data yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yaitu berupa
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Hukum, Literatur,
Website, yang berkaitan dengan peningkatan kasus perceraian diwilayah
hukum Pengadilan Agama Medan.13
3. Metode Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukum primer
yang berupa Peraturan Perundang-undangan, bahan hukum sekunder
yang berupa pendapat hukum dan bahan pendapat hukum hasil
penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet, serta makalah
tentang perkawinan dan perceraian.
b. Wawancara dalam bentuk kuisioner adalah suatu metode pengumpulan
data yang dilakukan kepada narasumber secara langsung baik terhadap
satu orang maupun lebih dengan proses Tanya-jawab tentang obyek yang
diteliti, berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya
dalam bentuk kuisioner.
12 Peter Mahmud Marzaki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup, 2005,
hlm.195-196.
13
Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,
2003, hlm.114.
Universitas Sumatera Utara
19
19
Adapun kuisioner dibagikan kepada para pihak yang akan bercerai di
lingkungan Pengadilan Agama Medan khususnya pihak yang bercerai
karena faktor ekonomi dan suami yang tidak bertanggung jawab.
4. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini dilakukan pada Pengadilan Agama Medan, beralamat
di jalan Sisingamangaraja Km. 8,8 No.198, Timbang Deli, Medan Amplas,
Kota Medan, Sumatera Utara
5. Analisis Data
Metode analisis dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah suatu cara analisis hasil penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu data yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.14
Penarikan kesimpulan
untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika
berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,
menafsirkan, dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas, kaidah
yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penulisan yang dirumuskan.15
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 3 (tiga) bab yang
saling berkaitan, yakni:
14
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm.47.
15
Lexy J Moleong, Op. Cit. hlm. 127
Universitas Sumatera Utara
20
20
BAB I: Pendahuluan membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : Membahas tentang pengertian perceraian, macam-macam perceraian,
proses hukum perceraian di Pengadilan Agama, akibat hukum perceraian dan
pandangan masyarakat terhadap perceraian
BAB III : Membahas tentang tingkat perceraian di kota Medan, alasan perceraian
menurut peraturan perundang-undangan, faktor ekonomi sebagai alasan
perceraian
BAB IV : Membahas tentang Indikator kesejahteraan, hubungan usia dengan
kesejahteraan ekonomi, hubungan kesejahteraan ekonomi dengan peningkatan
perceraian
BAB V : Bab yang berisi tentang penutup, bab ini terdiri dari 2 (dua) pembahasan
yaitu kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis Terhadap
Peningkatan Perceraian Karena Faktor Ekonomi di Wilayah Hukum Pengadilan
Agama Medan.
Universitas Sumatera Utara
21
21
BAB II
KONSEP DASAR PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
Dalam suatu perkawinan, apabila antara suami dan istri sudah tidak ada
kecocokan lagi untuk membentuk keluarga yang bahagia baik lahir maupun bathin
dapat dijadikan sebagai alasan yang sah untuk mengajukan gugatan perceraian ke
persidangan pengadilan.16
Kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti v (kata
kerja), Pisah; 2. Putus hubungan sebagai suami istri; talak. Kemudian, kata
“perceraian” mengandung arti: n (kata benda), 1.perpisahan; 2. Perihal bercerai
(antara suami istri); perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: v (kata kerja), 1.
Tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2. Berhenti berlaki-bini (suami
istri).17
Menurut Pasal 207 KUHPerdata perceraian merupakan penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang,
sementara pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali didalam Undang-
Undang Perkawinan begitu pula didalam penjelasan serta peraturan
pelaksanaannya.
Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan
16Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 2012,hlm 94
17
Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hlm. 185
21 Universitas Sumatera Utara
22
22
pengadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah “Putusnya
Perkawinan”. Perkawinan menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 adalah
“Ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perceraian menurut Subekti adalah “penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”.18
Subekti
tidak ada menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan itu
dengan kematian atau yang disebut dengan istilah cerai mati. Jadi, pengertian
perceraian menurut subekti lebih sempit dari pengertian perceraian menurut Pasal
38 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974.
Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, perceraian
berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat
tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari
suami maupun istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada
perselisihan antara suami dan istri.19
Menurut P.N.H Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu
perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah
satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.20
Islam sendiri telah memberikan penjelasan dan definisi bahwa perceraian
menurut ahli fikih disebut talak atau furqoh. Perceraian atau biasa disebut talak
18 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Internusa, Jakarta, 1985, hlm. 42
19
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, alumni,
Bandung, 1986, hlm 109
20
P.N.HSimanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007,
hlm. 53
Universitas Sumatera Utara
23
23
adalah melepaskan ikatan tali pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam
dan negara. Kata Thalaq dalam bahasa arab berasal dari kata “thalaqayatlhuqu-
thalaaqan” yang artinya melepas atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat
itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun yang bersifat abstrak seperti
tali pengikat perkawinan. Talak merupakan isim mashdar dari kata “thalaqa-
yathuqu-thalaaqan” jadi kata ini semakna dengan kata “thaliq” yang bermakna
“irsal” dan ”tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan.21
Pengertian perceraian sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam secara tegas
dijelaskan dalam Pasal 117 yang menyebutkan bahwa perceraian adalah ikrar
suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan.
Dalam istilah umum, perceraian adalah putusnya hubungan atau ikatan
perkawinan antara seorang pria dan wanita (suami istri), sedangkan secara
terminologis menurut Abdul Rahman al- Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan
(hall al- qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.22
Menurut Sayid Sabiq, talak
adalah melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.23
Menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak adalah memutuskan tali perkawinan
yang sah, baik seketika maupun dimasa yang akan datang oleh pihak suami
21 Nikmah Marzuki, Loc. Cit, hlm. 185
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan , Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta,
Kencana- Prenadamedia Group, 2004, hlm. 207
23 Sayid Sabiq, Op. Cit hlm. 206
Universitas Sumatera Utara
24
24
dengan menggunakan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan
kedudukan kata-kata tersebut.24
Pengertian perceraian dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum
berikut :25
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan
Pasal 39 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan
Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya
sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan
Agama (vide Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975).
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan
gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama,
yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (vide Pasal 20 sampai Pasal 36).
b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula di
positifkan dalam Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 dan dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan
24 Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al- Mar”ah al Muslimah, Fiqh Wanita, Terj. Anshori
Umar, Semarang, Asy-Syifa, hlm. 386
25
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Jakarta,
Sinar Grafika,2013, hlm.19
Universitas Sumatera Utara
25
25
cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan
Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak
saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatatan di Kantor
Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975).
Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa,
merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Menurut Djojodiguno, perceraian ini dikalangan orang Jawa adalah suatu hal yang
tidak disukai. Cita – cita orang Jawa ialah berjodohan sekali seumur hidup,
bilamana mungkin sampe kaken-kaken-ninen-ninen, artinya sampai si suami
menjadi aki (kakek) dan si istri menjadi nini (nenek), yaitu orang tua yang sudah
bercucu – cicit.26
Dalam hukum adat, perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat
penting dalam penghidupan masyarakat, sebab perkawinan tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua
belah pihak, bahkan keluarga mereka masing – masing. Hubungan suami istri
setelah dilangsungkannya perkawinan bukanlah suatu hubungan perikatan yang
berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan paguyuban. Paguyuban ini
menurut Djojodiguno disebut paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang hidup
suami istri selanjutnya beserta anak – anaknya.27
Allah SWT telah mensyariatkan pernikahan untuk membangun mahligai
rumah tangga yang bahagia, terbangun atas dasar cinta dan kasih sayang di antara
26 Djojodiguno, Asas-Asas Hukum Adat,hlm.56, dalam Muhammad Syaifuddin, Sri
Turatmiyah, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, Jakarta, Sinar Grafika,2013, hlm.25
27
Ibid hlm. 26
Universitas Sumatera Utara
26
26
kedua belah pihak, serta untuk mendapatkan keturunan. Jika cinta dan kasih
sayang ini sudah tidak ada, maka seiring dengan berjalannya waktu niat dan janji
antara keduanyapun dapat ikut pudar disebabkan perangai jelek dari salah satu
pihak atau dari kedua belah pihak yang baru diketahui setelah menikah. Hal ini
dapat menyebabkan hubungan tidak harmonis sehingga menimbulkan perpecahan
yang seyogyanya sulit ditemukan didalam rumah tangga yang harmonis.
Berdasarkan uraian tersebut dapatlah diperoleh pemahaman bahwa perceraian
adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dengan menggunakan
lafaz talak atau semisalnya.
B. Macam – Macam perceraian
Didalam ketentuan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan :
1. Putusnya perkawinan karena kematian, yang dimaksud dengan kematian
bukanlah kematian perdata (le mort civile) akan tetapi kematian daripada
pribadi orangnya bahkan yang dimaksudkan oleh undang-undang adalah salah
satu pihak meninggal lebih dahulu daripada pihak lainnya baik itu suami
ataupun istri.
Kematian suami atau istri mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadi
kematian. Apabila tidak terdapat halangan-halangan syarat, istri atau suami
yang ditinggal mati berhak mewarisi harta peninggalan yang ditinggalkan.
Universitas Sumatera Utara
27
27
Istri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa berkabung 4 bulan 10
hari. Dalam hubungan ini hadits Nabi riwayat Jama‟ah kecuali Turmudzi
berasal dari Ummu Tahiyah mengajarkan :
“Orang perempuan tidak boleh melakukan hidad (berkabung) atas kematian
seorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya (perempuan yang
ditinggal mati suaminya) hendaklah berkabung selama 4 bulan 10 hari….”28
2. Putusnya perkawinan karena perceraian, yang dimaksud dengan perceraian
disini adalah penjatuhan talak yang dilakukan oleh suami kepada istrinya untuk
membedakan dengan perceraian atas dasar gugatan, meskipun dalam Pasal 39
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang
bersangkutan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan tidak
berhasil mendamaikan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian
terbagi atas dua yakni cerai talak dan cerai gugat yang keduanya harus melalui
dan mendapatkan persetujuan dari pihak Pengadilan, meskipun penjatuhan
talak merupakan hak mutlak dari suami namun putusan Pengadilan berguna
untuk memberi kepastian hukum terhadap status dari istri yang telah dijatuhkan
talak oleh suaminya.
Bentuk – bentuk perceraian yang mengakibatkan putusnya perkawinan
yang diatur dalam hukum Islam bermuara pada cerai talak dan cerai gugat yang
telah diatur dalam Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
28 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Yayasan Pena, Banda Aceh,
2010, hlm. 117
Universitas Sumatera Utara
28
28
No. 9 Tahun 1975, serta Kompilasi Hukum Islam dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Cerai Talak
Cerai talak didalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama adalah seorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Secara harfiyah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak
dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara suami dan istri
sudah lepas hubungannya atau masing – masing sudah bebas. Dalam
mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan
rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni melepaskan hubungan
pernikahan dengan menggunakan lafaz, talak dan sejenisnya.29
Abdul Ghafur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum Islam hak talak
ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa
pada umunya suami lebih mengutamakan pemikiran dalam
mempertimbangkan sesuatu daripada istri (wanita) yang biasanya bertindak
atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar terjadinya perceraian dapat
diminimalisir daripada jika hak talak diberikan kepada istri.30
Menurut Kamal Muchtar, ada beberapa alasan yang memberikan hak talak
kepada suami, yaitu sebagai berikut :
29 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (PerspektifFikih dan Hukum Positif)
dalam Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,
hlm.117
30
Ibid, hlm. 118
Universitas Sumatera Utara
29
29
a. Akad nikah dipegang oleh suami,. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak istri waktu dilaksanakannya akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mut‟ah (pemberian sukarela dari suami kepada
istri setelah mentalak istrinya.
c. Suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya dan pada
masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah – perintah mentalak dalam Alquran dan Hadis banyak ditujukan
pada suami.31
Syarat – syarat sahnya talak baik yang berlaku untuk suami, istri atau
sighat talak, dijelaskan oleh Soemiyati, sebagai berikut :32
a. Syarat – syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah :
1. Berakal sehat,
2. Telah baligh, dan
3. Tidak karena paksaan.
Sepakat para ahli figh bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak
ialah telah dewasa/Baligh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa
atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut
harus dalam keadaan berakal sehat. Apabila akalnya sedang terganggu, maka
ia tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk
kebanyakan ahli figh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang
31 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan dalam Muhammad
Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 118
32
Ibid, dalam Muhammad Syaifuddin dkk, Hukum Perceraian, Sinar Grafika, Jakarta, 2013,
hlm.119.
Universitas Sumatera Utara
30
30
yang sedang mabuk itu dalam bertindak diluar kesadaran, sedang orang yang
sedang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya adalah tidak sah, yang
dimaksud marah disini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang
dikatakannya hampir – hampir diluar kesadarannya. Adapun dasarnya adalah
hadis Nabi Rasullah SAW bersada :
Tidak sah talak dan memerdekakan (budak) dalam keadaan marah yang tidak
dapat menentukan kehendak dan pilihan. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah dan Al Hakim).
a. Syarat – syarat seorang istri supaya sah ditalak suaminya ialah istri telah
terikat dengan perkawinan yang sah dengan suaminya ( apabila akad –
nikahnya diragukan kesahannya, maka istri itu tidak dapat ditalak oleh
suaminya), istri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh
suaminya dalam waktu suci itu, dan istri yang tidak sedang hamil.
b. Syarat – syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau
wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada istrinya. Sighat talak ini ada
yang diucapkan langsung dengan perkataan yang jelas dan ada yang
diucapkan secara sindiran (kinayah).Sighat talak yang langsung dan jelas,
misalnya suami berkata pada istrinya : “Saya jatuhkan talak satu
kepadamu”. Dengan diucapkan suami perkataan seperti itu jatuhlah talak
satu kepada istrinya saat itu juga dan sah hukumnya, sedangkan sighat
talak yang diucapkan secara sindirian, misalnya suami berkata kepada
Universitas Sumatera Utara
31
31
istrinya :”Kembalilah keorang tuamu” atau “Engkau telah aku lepaskan
dari aku”. Ini dinyatakah sah apabila :
a. Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada istrinya.
b. Suami mengatakan kepada hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk
menyatakan talak kepada istrinya. Apabila ucapannya itu tidak
bermaksud untuk menjatuhkan talak kepada istrinya, maka sighat talak
yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Talak yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak disebut talak
munziz. Misalnya suami berkata : “Aku jatuhkan talakku satu kali kepadamu”
maka talak itu jatuh setelah suami selesai mengucapkan sighat talak tesebut.
Sedangkan talak yang jatuh setelah syarat – syarat dalam sighat talak
terpenuhi disebut talak muallaq. Misalnya, suami berkata kepada istrinya
:”Apabila engkau masih menemui si A, maka di saat engkau bertemu itu
jatuhlah talakku satu atasmu”. Sighat talak yang demikian itu sah hukumnya,
dan talak suami itu jatuh pada istrinya apabila syarat yang dimaksud telah
ada, yaitu istri menemui A.
Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan bahwa disyaratkan bagi orang
yang menalak hal–hal berikut ini :
a) Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun
dia telah pandai. Demikian kesepakatan para ulama mazhab, kecuali
Hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa talak yang
Universitas Sumatera Utara
32
32
dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun belum
mencapai sepuluh tahun.
b) Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila,
baik penyakitnya itu akut maupun jadi – jadian (insidental), pada saat dia
gila tidak sah. Begitu pula halnya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang
yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas
yang amat tinggi, sehingga ia meracau. Tetapi para ulama mazhab berbeda
pendapat tentang talak yang dijatuhkan oleh orang mabuk. Imamiyah
mengatakan bahwa, talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sementara
itu, mazhab empat berpendapat bahwa, talak orang orang mabuk itu sah
manakala dia mabuk karena minuman yang diharamkan atas dasar
keinginannya sendiri. Akan tetapi manakala yang dia minum itu minuman
mubah (kemudian dia mabuk) atau dipaksa minum (minuman keras), maka
talaknya dianggap tidak jatuh. Sementara itu, talak orang yang sedang
marah dianggap sah manakala terbukti bahwa dia memang mempunyai
maksud menjatuhkan talak. Akan tetapi, bila ucapan talaknya itu keluar
tanpa dia sadari, maka hukumnya sama dengan hukum talak
yangdijatuhkan orang gila.
c) Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang
yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan para ulama
mazhab, tidak dinyatakan sah. Ini berdasar hadis yang berbunyi
:”ketentuan hukum dicabut dari umatku yang melakukan perbuatannya
karena keliru, lupa dan dipaksa”. Hal itu merupakan kesepakatan para
Universitas Sumatera Utara
33
33
ulama mazhab, kecuali Hanafi. Mazhab yang disebut terakhir ini
mengatakan bahwa, talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksakan
dinyatakan tidak sah. Mahkamah Syariah Mesir memberlakukan keputusan
yang menyatakan tidak berlakunya talak yang dijatuhkan orang mabuk dan
orang yang dipaksa.
d) Betul- betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, jika seorang
laki – laki mengucapkan talak karena lupa, keliru atau main – main, maka
menurut Imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh. Abu Zahrah
mengatakan bahwa, dalam Mazhab Hanafi talak semua orang dinyatakan
sah, kecuali anak kecil, orang gila, dan orang yang kurang akalnya.
Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh orang yang mengucapkan
dengan main – main, dalam keadaan mabuk akibat minuman yang
diharamkan, dan orang yang dipaksa, dinyatakan tidak sah. Dalam Mazhab
Hanafi dijelaskan bahwa talak yang dijatuhkan oleh orang yang
melakukannya karena keliru dan lupa, adalah sah. Mazhab Maliki dan
Syafi‟i sependapat dengan Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai talak
yang dijatuhkan secara main – main tidak sah. Imam Syafi‟i dan Abu
Hanifah mengatakan, bahwa talak tidak memerlukan niat. Sementara itu,
Imamiyah menukilkan hadis dari Ahl Al – Bait yang artinya :” Tidak
dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang - orang yang memang
bermaksud menjatuhkan talak ... dan tidak ada talak kecuali disertai niat”.
Pengarang kitab Al – Jawahir mengatakan :”Kalau seseorang telah
menjatuhkan talak, dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia
Universitas Sumatera Utara
34
34
mengatakan, “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka
pernyataannya ini diterima sepanjang si istri masih dalam „iddah sebab,
yang demikian itu bisa diketahui siapapun, kecuali melalui
pemberitahuannya sendiri”.33
1. Macam-macam talak
1) Ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, terdiri dari 2 (dua) macam
talak, yaitu :
a) Talak sunnah, ialah talak yang dibolehkan atau sunnah hukumnya,
yang diucapkan 1 kali dan istri belum digauli ketika suci dari haidh.
Jika talak yang diucapkan berturut – turut sebanyak tiga kali pada
waktu yang berbeda dan istri dalam keadaan suci dari haidh serta
belum digauli pada tiap waktu suci dari haidh itu. Dua kali dari talak
itu telah dirujuk, sedangkan yang ketiga kalinya tidak dapat dirujuk
lagi.
b) Talak bid‟ah, ialah talak yang dilarang atau haram hukumnya, yang
talaknya dijatuhkan ketika istri dalam keadaan haidh, juga talak yang
dijatuhkan ketika istri suci dari haidh lalu disetubuhi oleh suami.
Tergolong Bid‟ah jika suami menjatuhkan talak tiga kali sekaligus
pada satu waktu. Adapun talak satu diiringi pernyataan tidak dapat
rujuk lagi tergolong talak bid‟ah. Jika suami menjatuhkan talak dalam
waktu/keadaan/kondisi tersebut, maka talaknya tetap jatuh dan suami
33 Ibid, hlm 121-122
Universitas Sumatera Utara
35
35
sendiri yang berdosa, karena ia melakukan perbuatan yang dilarang
oleh syariat Islam.34
2) Ditinjau dari segi jumlah penjatuhan talak juga terdiri dari dua macam
talak, yaitu sebagai berikut :
a) Talak raj‟i ialah talak yang dijatuhkan satu dua kali oleh suami, dan
suami dapat rujuk kembali kepada istri yang telah ditalak tadi. Dalam
syariat Islam, talak raj‟i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain : talak
satu, talak dua dengan menggunakan pembayaran tersebut (iwadl).
Akan tetapi, dapat pula terjadi suatu talak raj‟i yang berupa talak satu,
talak dua dengan tidak menggunakan iwadl juga istri belum digauli.
b) Talak Ba‟in, ialah talak yang terjadi sehubungan dengan adanya
syiqaq yang mengarahkan suami dan istri mendatangkan hakim dari
keluarga masing – masing sebagai juru damai sesuai dengan Surah
An- Nisa‟ ayat 35. Oleh sebab itu, jika terjadi perselisihan tidak
semestinya langsung mengajukan perceraian, tetapi harus ditempuh
berbagai cara yang dapat mendamaikan dengan mendatangkan hakim
keluarga. Jika hakim keluarga tidak mampu menyelesaikan
perkaranya baru kemudian diajukan ke hakim di pengadilan. Apabila
istri tidak memperhatikan suami memisahkan tempat tidur, dan jika
kedua cara itu belum juga terselesaikan suami dapat memukul dalam
batas – batas kewajarannya. Jadi, menurut tuntutan Alquran tindakan
tersebut tidak melampaui batas sebagaimana ditegaskan dalam Surah
34 Ibid, hlm123
Universitas Sumatera Utara
36
36
An – Nisa ayat 34 dan ayat 35. Seandainya terjadi penjatuhan talak
ba‟in abdhul kubro oleh seorang suami, maka dalam hal ini suami
tidak di izinkan lagi untuk rujuk dan atau kawin lagi dengan istri yang
telah ditalaknya.Talak ba‟in kubro terdiri dari beberapa macam, yaitu
karena li‟an atau karena penjatuhan talak untuk ketiga kalinya. Talak
ba‟in kubro dapat terjadi karena li‟an (menuduh zina). Jika perceraian
terjadi karena tuduhan zina, maka suami istri untuk selama – lamanya
tidak boleh kawin lagi. Talak ba‟in dapat pula terjadi karena
penjatuhan talak yang ketiga kalinya. Apabila hal ini terjadi, maka
suami tidak dapat kembali (rujuk lagi tidak dapat menikahi lagi bekas
istrinya, kecuali mantan istrinya telah dinikahi orang lain dan
kemudian ternyata dicerai oleh suami yang belakangan sebagai
muhallil. Talak ba‟in kubro sebagaimana diuraikan diatas, ditegaskan
dalam Surah Al – Baqarah ayat 230.35
3) Khulu‟ (Talak Tebus)
Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa khulu‟ yang terdiri dari lafaz
kha-la-„a secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.
Dihubungkannya kata khulu‟ dengan perkawinan, karena dalam Al-
Qur‟an Surah Al-Baqarah (2) ayat 187, disebutkan suami itu sebagai
pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya.
Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan, karena istri sebagai
pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari
35 Ibid, hlm124
Universitas Sumatera Utara
37
37
suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu‟
diartikan dengan putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan,
menggunakan ucapan talak atau khulu‟. Khulu‟ itu merupakan satu
bentuk putusnya perkawinan namun beda dari bentuk lain dari putusnya
perkawinan itu, dalam khulu‟ terdapat uang tebusan atau ganti rugi
(iwadh).36
Khulu‟ atau talak tebus menurut Soemiyati ialah bentuk perceraian atas
persetujuan suami dan istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada
istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan
cerai dengan khulu‟.37
2) Cerai Gugat
Cerai gugat berarti, putus hubungan sebagai isteri,38
sedangkan gugatan
berarti suatu cara untuk menuntut hak melalui putusan pengadilan.39
Jadi
yang dimaksud cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh
adanya suatu tuntutan dari salah satu pihak (istri) kepada pengadilan dan
perceraian itu terjadi dengan suatu putusan pengadilan. Mengenai cerai
gugat ini, perundang-undangan menyebutkan dalam Pasal 73 ayat 1 UU
No. 7 Tahun 1989, Pasal 132 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 20
36 Ibid, hlm 131
37
Ibid hlm 132
38
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, hlm.76
39
Zainul Bahri, Kamus Umum Khusus Bidang Hukum Dan Politik, Bandung, Angkasa,1993,
hlm 75
Universitas Sumatera Utara
38
38
ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang perkawinan.
1) UU No. 7 Tahun 1989 Pasal 73 ayat 1
Bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
2) Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 ayat 1
Bahwa gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal
penggugat kecuali istrri meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Pasal 20
ayat 1
Bahwa gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau
kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat. Artinya gugatan perceraian dapat dilakukan oleh
seorang istri yang melangsungkan perkawina menurut agama Islam
dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam.
Adapun dalam kitab-kitab fiqh (hukum Islam) perceraian yang
berdasarkan gugatan dari salah satu pihak dan dilakukan melalui proses
Universitas Sumatera Utara
39
39
peradilan diistilahkan dengan fasakh. Fasakh artinya merusak atau
melepaskan tali ikatan perkawinan.40
Hal ini berarti bahwa perkawinan itu
diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama atas permintaan salah satu pihak.
Fasakh dapat terjadi karena sebab yang berkenaan dengan akad (sah atau
tidaknya) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad.
Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan isteri, akan tetapi dalam
pelaksanaannya lebih banyak dilakukan oleh pihak isteri dari pada pihak
suami. Hal ini disebabkan karena agama Islam telah memberikan hak talak
kepada suami.41
Fuqaha dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa
pisahnya suami isteri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh isteri
disebut talak. Dan setiap pisahnya suami istri karena istri, atau karena suami
tetapi dengan pengaruh dari istri disebut fasakh.42
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang cerai gugat dan fasakh tersebut,
maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan cerai gugat adalah
perceraian yang disebabkan adanya suatu gugatan lebih dahulu dari pihak
isteri kepada Pengadilan Agama dan perceraian itu terjadi dengan putusan
pengadilan.
40 Al-Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta, Pustaka Amani, 2002, hlm. 271
41
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan Bintang,
1987, hlm.213
42
Sayyid Sabiq, Alih Bahasa Moh. Thalib, Fiqih Sunnah VII, Bandung, Al-Ma‟arif, 1981,
hlm.134
Universitas Sumatera Utara
40
40
C. Akibat Hukum Perceraian
Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa
perceraian adalah salah satu bentuk dari sebab putusnya perkawinan. Perceraian
tentunya juga melahirkan konsekuensi tertentu yaitu harta, hak asuh anak
(hadhanah) dan status pernikahan. Secara hukum konsekuensi akibat putusnya
perkawinan karena perceraian tersebut diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan diantaranya yaitu :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak -
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Selanjutnya, keseluruhan akibat hukum perceraian sebagaimana diuraikan
diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak
Menurut Abdurrahman bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh
suami isteri yang akan melakukan perceraian adalah masalah anak yang telah
dilahirkan dalam perkawinan itu. Dalam hal ini perceraian akan membawa akibat
Universitas Sumatera Utara
41
41
hukum terhadap anak, yaitu anak harus memilih untuk ikut ayah atau ikut
ibunya.43
Keluarga bagi anak-anak merupakan tempat perlindungan yang aman,
karena ada ibu dan bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan
Iain-Iain. Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-anak
akan kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat menghambat
pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut K. Wantjik Saleh karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu,
maka anak tetap harus memilih untuk ikut salah satu orang tuanya. Dalam sidang
Pengadilan yang menangani perceraian, untuk anak yang masih belum berumur 12
tahun (belum mumayyiz) biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya.44
Hal
ini didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat
membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup
memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah
biasanya sibuk bekerja sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak
kurang.
Akibat lain telah adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang langsung
dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak ini dijamin kehidupannya
dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih. Akan tetapi, kasih
sayang ibunya sendiri dan bapaknya sendiri akan berbeda dan gantinya tidak akan
memberikan kepuasan kepadanya.
43 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Cetakan 4, Akedemia Pressindo, Jakarta, 2004,
hlm. 27
44
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hlm. 43
Universitas Sumatera Utara
42
42
Menurut Undang-undang Perkawinan meskipun telah terjadi perceraian, bukan
berarti kewajiban suami isteri sebagai ayah dan ibu terhadap anak di bawah umur
berakhir. Suami yang menjatuhkan talak pada isterinya wajib membayar nafkah
untuk anak-anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan
anak-anaknya itu, sesuai dengan kedudukan suami. Kewajiban memberi nafkah
anak harus terus-menerus dilakukan sampai anak-anak tersebut baliq dan berakal
serta mempunyai penghasilan sendiri. Baik bekas suami maupun bekas istri tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan
anak. Suami dan isteri bersama bertanggung jawab atas segala biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu, maka pengadilan
dapat menetapkan bahwa ibu yang memikul biaya anak-anak.
Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa :
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak mereka sebaik-
baiknya;
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Berdasarkan Pasal 105 dan Pasal 106 Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa :
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam
Dalam hal terjadinya perceraian :
Universitas Sumatera Utara
43
43
(1) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya;
(2) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam :
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban yang tersebut pada Ayat (1).
Adapun Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, mengatur tentang
pemeliharaan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan
urutan yang berhak memelihara anak, antara lain :
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh :
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2. ayah.
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
44
44
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak Hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak
Hadhanah pula.
d) Semua biaya Hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang – kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus dirinya sendiri (21) tahun.
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai Hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan
(d);
f) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak – anak yang turut
padanya.
2. Terhadap Harta Bersama
Pasal 1 butir f Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan
Universitas Sumatera Utara
45
45
perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.
Semua harta kekayaan yang diperoleh suami-istri selama ikatan perkawinan
menjadi harta bersama, baik harta tersebut diperoleh secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama
ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama, tidak menjadi soal
apakah istri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah istri atau
suami mengetahui pada saat pembelian itu, dan juga tidak menjadi masalah atas
nama siapa harta itu didaftarkan.45
Mengenai pengaturan tentang harta kekayaan dalam perkawinan secara tegas
diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam sebagai
berikut :
a. Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
b. Pasal 86 Kompilasi Hukum Islam
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
45 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, cet. 2, Transmedia
Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
46
46
c. Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing -masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau
lainnya.
d. Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam
Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan ke Pengadilan Agama.
e. Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya
sendiri.
f. Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam
Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang
ada padanya.
g. Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa
benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak, dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
Universitas Sumatera Utara
47
47
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya.
h. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.
i. Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam
(1) Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada
hartanya masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta
isteri.
j. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih
dari seorang, masingmasing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung
pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang
keempat.
k. Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) Huruf c Peraturan
Pemerintahan No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2), suami atau isteri
Universitas Sumatera Utara
48
48
dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
l. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separo harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau
suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
m. Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Akibat lain dari perceraian adalah menyangkut masalah harta benda
perkawinan khususnya mengenai harta bersama seperti yang ditentukan dalam
Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut penjelasan resmi Pasal tersebut, yang dimaksud dengan hukumnya
masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya.
bersalah. Namun dalam hal istri tidak bersalah, maka paling tinggi yang
Universitas Sumatera Utara
49
49
diperolehnya mengenai biaya hidupnya ialah pembiayaan hidup selama ia masih
dalam masa iddah yang lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi
sesudah masa iddah, suami tidak perlu lagi membiayai bekas isterinya lagi.
Kemudian apabila bekas isteri tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah
sehari-harinya, maka bekas suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas
istrinya itu menikah lagi dengan pria lain.
3. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Suami-Istri
Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan
suami atau istri menurut Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974
ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istrinya. Istri
akan memperoleh pembiayaan hidup selama ia masih dalam masa iddah yang
lebih kurang selama 90 (sembilan puluh) hari. Tetapi sesudah masa iddah, suami
tidak perlu lagi membiayai bekas isterinya lagi. Kemudian apabila bekas isteri
tidak mempunyai mata pencaharian untuk nafkah sehari-harinya, maka bekas
suami harus memberikan biaya hidup sampai bekas isterinya itu menikah lagi
dengan pria lain.
Universitas Sumatera Utara
50
50
BAB III
TINGKAT PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
Dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda disatukan
dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus berjalan
mulus. Pasti ada masa dimana antara suami dan istri akan timbul masalah baik itu
disebabkan oleh suami maupun istri. Al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam
pertama, dalam banyak kesempatan selalu menyarankan agar suami istri bergaul
secara baik dan jangan menceraikan istri dengan sebab-sebab yang tidak prinsip.
Jika terjadi pertengkaran yang sangat memuncak diantara suami dan istri
dianjurkan untuk bersabar dan berlaku baik untuk tetap rukun dalam rumah
tangga, tidak langsung membubarkan perkawinan mereka, tetapi hendaklah
menempuh usaha perdamaian terlebih dahulu tetapi seringkali karena masalah
yang ada di antara mereka tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah
satu pihak langsung mengajukan gugatan perceraian.
A. Faktor- Faktor Perceraian menurut Peraturan Perundang – Undangan
Apabila didalam suatu perkawinan sering timbul ketegangan tidak adanya
ketentraman, suami atau istri melalaikan kewajibannya, tidak mempercayai satu
sama lain mengisyaratkan bahwa tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak tercapai.
Oleh karena itu, untuk menghindari perpecahan keluarga yang makin meluas
maka dalam agama Islam terutama mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar
50 Universitas Sumatera Utara
51
51
yang terakhir bagi suami istri yang sudah gagal dalam membina rumah tangga. Di
dalam Islam perceraian memang diperbolehkan akan tetapi sesungguhnya itu
adalah perbuatan yang sangat dibenci Allah SWT. Sebagaimana ditegaskan oleh
Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yaitu :
Yang halal yang paling dibenci oleh Allah SWT ialah perceraian
Pada dasarnya hukum Islam menetapkan bahwa alasan perceraian hanya
satu macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan
keselamatan jiwa yang disebut dengan syiqaq sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 35 yang berbunyi :
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengeketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
Sebelum perceraian terjadi, biasanya akan didahului dengan banyak
konflik dan pertengkaran. Akhir-akhir ini cukup banyak dijumpai permasalahan
mengenai ketidak harmonisan suatu keluarga karena kurangnya kerja sama
diantara suami dan istri yang menimbulkan sangat kuatnya dorongan untuk
bercerai. Kasus perceraian pasangan suami istri sudah mencapai angka yang
sangat mengkhawatirkan.
Universitas Sumatera Utara
52
52
Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Nabi Muhammad
SAW berkata dalam Hadis yang diriwayatkan oleh An-Nasa‟i dan Ibnu Hibban,
yaitu :
Apakah kamu yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan
hukum Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak (istriku)
dan sungguh aku telah merujuk(nya).
Berdasarkan kedua hadis tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perceraian walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus
berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh
oleh suami istri, apabila cara – cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap
tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri
tersebut.
Alasan-alasan yang dibenarkan menurut Undang-Undang dan menjadi
landasan terjadinya perceraian baik melalui cerai talak maupun cerai gugat
tertuang dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 161 Kompilasi
Hukum Islam. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun.
Lebih lanjut mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
53
53
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena
alasan :
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
1. satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya
2. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
5. Antara suami dan istri terus menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan dan
tidak akan ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian yang tertuang didalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomo 9 Tahun 1975 terdapat banyak kesamaan dalam Pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam, hanya saja didalam Pasal 116 ditambahkan 2 point sebagai alasan
terjadinya perceraian, yaitu :
1) Suami melanggar taklik talak
2) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
54
54
Bila kita telaah lebih lanjut alasan-alasan perceraian tersebut dalam point 1
sampai dengan 4 diintroduksikan oleh Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sedangkan point 5 dan tambahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam diintroduksikan oleh Hukum Islam, dan point ke 6 dalam Pasal 19 Peraturn
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 diintroduksikan oleh Pasal 52 HOCL.
a. Zinah
Undang-undang sendiri tidak memberikan penafsiran secara khusus, dan
diketahui bahwa alasan-alasan tersebut diambil dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata maka pengertian zina dapat kita tafsirkan sebagai “overspel”.
Pengertian zina terlalu luas, yaitu setiap persetubuhan yang tidak didasarkan
atas suatu perkawinan yang sah.
Jadi, zina dapat terjadi antara seorang jejaka dengan seorang gadis, antara
seorang duda dengan seorang janda atau terhadap siapa saja yang perbuatan
tersebut dilakukan tanpa adanya ikatan pernikahan. Didalam undang-undang
yang dimaksudkan zina yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai adalah
persetubuhan yang dilakukan secara sadar antara pria dengan wanita yang salah
satu atau kedua-duanya terlibat dalam perkawinan dan persetubuhan itu tidak
dilakukan dengan suami atau istri yang sah.
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa alasan yang sah
Dalam keadaan normal suami istri bertempat tinggal bersama dalam satu
rumah. Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa
istri wajib tinggal bersama dengan suami dan ikut padanya dimana sang suami
ingin bertempat tinggal. Bila suami pindah dengan alasan yang sah maka istri
Universitas Sumatera Utara
55
55
harus mengikutinya, misalkan suami seorang pegawai negeri sipil yang
dipindah tugaskan ke kota A maka istri harus ikut pindah ke kota A. Jika istri
menolak untuk mengikuti suami tanpa alasan yang jelas maka ia dapat
dianggap meninggalkan suami. Begitupula sebaliknya jika suami mengusir
istrinya ataupun tidak memungkinkannya istri untuk tinggal bersama suami
maka suami dianggap telah meninggalkan istrinya.
Pada prinsipnya meninggalkan tempat kediaman 46
:
1. Harus oleh sebab tindakan penuh kesadaran kehendak bebas (willfully
deserts and absens)
2. Bukan karena ada sesuatu sebab yang memaksa yang tidak dapat dihindari.
Misalnya karena perlakuan suami yang kejam diluar batas perikemanusiaan
yang bisa membawa akibat yang merusak jasmani dan rohani atau yang
dapat mengancam keselamatan jiwa istri.
3. Perbuatan itu harus dilakukan berturut-turut paling sedikit selama 2 tahun
Didalam mempertimbangkan permintaan cerai dengan alasan meninggalkan
tempat kediaman bersama harus dilihat terlebih dahulu faktor-faktor yang
menjadi penyebab peristiwa tersebut terjadi, dan berasal dari pihak siapa
kesalahan itu berasal yang menjadi penyebab pihak lain pergi meninggalkan
tempat kediaman bersama.
46 Yahya Harahap, Op..Cit hlm140
Universitas Sumatera Utara
56
56
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian jika salah satu pihak
mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih setelah pernikahan
terjadi. Hal ini tidak berlaku sebagai alasan perceraian jika hukuman
dijatuhkan sebelum perkawinan dilakukan sebab dianggap telah mengetahui.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
Kekejaman pada prinsipnya tidak berbeda dengan diberikannya penderitaan
dan tekanan jiwa yang menghancurkan atau membahayakan ketenangan jiwa
dan fikiran yang membawa akibat membahayakan jasmani dan rohani.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memperbolehkan seorang suami
pada 1 waktu mempunyai istri lebih dari 1 apabila :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Undang-Undang memberi jalan keluar kepada pasangan suami istri yang
istrinya memperoleh cacat badan atau penyakit yang menghalangi dirinya
untuk melakukan kewajiban sebagai istri dengan memperbolehkan suami untuk
menikah lagi. Namun hal ini tidak berlaku untuk istri, dan sangat disayangkan
Universitas Sumatera Utara
57
57
perceraian harus terjadi hanya karena salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga
Penyebab yang menimbulkan pertengkaran antara suami dan istri pada
umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut 47
:
1) Perselisihan yang menyangkut keuangan, karena istri dianggap boros atau
karena suami dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.
Perselisihan karena keuangan seringkali menjadi penyebab pertengkaran
sehingga kehidupan rumah tangga tidak lagi terasa harmonis.
2) Perselisihan yang menyangkut hubungan seksual
Membawa konflik diantara pasangan suami istri karena salah satu pihak
menolak untuk melakukan hubungan atau karena salah satu pihak merasa
tidak puas sehingga terpaksa mencari kepuasan diluar.
3) Perselisihan yang menyangkut perbedaan agama
Belakangan pernikahan beda agama menjadi hal yang sering terjadi dan
sudah dianggap wajar. Pada umunya sebelum melangsungkan pernikahan
dikalangan pasangan-pasangan intelektual yang berbeda agama memandang
perbedaan agama merupakan persoalan yang ringan karena agama dianggap
sebagai urusan pribadi. Tetapi, tanpa disadari permasalahan akan mulai
timbul seiring berjalannya waktu terlebih ketika mendidik nilai rohani
kepada anak.
47 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, hlm. 134
Universitas Sumatera Utara
58
58
4) Perselisihan karena adanya perbedaan pendapat antara suami istri didalam
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Aplikasi alasan-alasan seperti dalam praktek bersifat alternative, artinya
pemohon dapat mendasarkan perceraian pada salah satu alasan saja, apakah alasan
seperti a,b,c atau yang lainnya tergantung kasusnya.48
Apabila suatu gugatan
perceraian karena alasan syiqaq yakni pertengkaran yang tajam dan terus menerus
antara suami istri. Syiqaq ini mungkin terjadi karena disebabkan kesulitan
ekonomi, sehingga keduanya saling bertengkar.49
B. Tingkat Perceraian di Pengadilan Agama Medan
Tujuan ideal perkawinan baik menurut hukum nasional (Undang-Undang
No.1 Tahun 1974), hukum Islam dan hukum adat adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia, kekal dan abadi akan tetapi dalam realitanya sulit sekali
untuk diwujudkan. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
kehidupan berumah tangga baik itu secara internal maupun eksternal.
Dalam hubungan berumah tangga setiap pasangan pasti mengharapkan
hubungan yang langgeng, bahagia dan terus bersama hingga maut memisahkan.
Masalah demi masalah pasti akan selalu ditemukan. Namun, sebagai pasangan
suami-istri harus berusaha untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang ada
secara bersama-sama.. Dewasa ini banyak dtemukan pasangan suami istri yang
menganggap permasalahan yang timbul tidak dapat diselesaikan kecuali dengan
bercerai.
48 Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dan Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Bandung,
1992 hlm.80
49
Aminur Nurudin,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta,2006, hlm. 212
Universitas Sumatera Utara
59
59
Faktor ketidak cocokan dalam sejumlah hal, suami yang tidak bertanggung
jawab, ekonomi, perselingkuhan,kekerasan dalam rumah tangga, berbeda persepsi
dan pandangan hidup sering kali dijadikan alasan seseorang untuk bercerai. Kasus
perceraian yang terjadi di kota Medan terus meningkat setiap tahunnya seiring
dengan terjadinya perubahan zaman dan pergeseran nilai-nilai sosial yang
berkembang ditengah masyarakat. Tingginya angka perceraian di pengadilan
agama khususnya di Pengadilan Agama Medan dalam kurun waktu 2016-
September 2018 dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Tabel No.1 Jumlah Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Medan Pada
Tahun 2016
Sumber Data : Pengadilan Agama Medan
Tabel No.2 Jumlah Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Medan Pada
Tahun 2017
Sumber Data : Pengadilan Agama Medan
No Jenis
Perkara
Sisa
Tahun
Lalu
Tahun
Ini
Jumlah
Perkara Damai
Rincian Perkara yang Diputus
Dicabut Dikabulkan Ditolak TIdak
Diterima Gugur Dicoret Sisa
1 Cerai
Talak 110 524 634
7
32 464 3 13 17 17 88
2 Cerai
Gugat 324 2003 2327 126 1733 12 21 47 47 341
Total 434 2527 2961 7 158 2197 15 34 64 64 429
No Jenis
Perkara
Sisa
Tahun
Lalu
Tahun
Ini
Jumlah
Perkara Damai
Rincian Perkara yang Diputus
Dicabut Dikabulkan Ditolak TIdak
Diterima Gugur Dicoret Sisa
1 Cerai
Talak 88 516 604
10
51 385 3 8 12 13 132
2 Cerai
Gugat 341 1951 2292 139 1672 7 27 30 35 382
Total 429 2467 2896 10 190 2057 10 35 42 48 414
Universitas Sumatera Utara
60
60
Tabel No. 3 Jumlah Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Medan Pada
Tahun 2018
Sumber Data : Pengadilan Agama Medan
Sebanyak 1.626 pasangan di Kota Medan bercerai sejak Januari hingga
September 2018 jumlahnya diprediksi akan meningkat dibandingkan tahun lalu.
Tahun lalu sebanyak 2.896 pasangan di Kota Medan bercerai pada 2017. Secara
historis angka perceraian di Kota Medan bersifat fluktuatif. Berdasarkan jumlah
perkara yang sudah diputus, tahun ini angka perceraian diperkirakan meningkat
antara 10-20 persen. Panitera di Pengadilan Agama Medan Bapak Zumrik
menyebutkan bahwa pasangan yang bercerai didominasi usia 25 hingga 45 tahun,
dan bahkan ada yang sudah menikah lebih dari 20 tahun juga mengajukan gugatan
cerai.50
Sementara itu, dewasa ini ada kecenderungan yang mengkhawatirkan
terkait fenomena perceraian di kalangan muslim di Indonesia terutama di Kota
Medan. Sebagaimana diulas dan dilaporkan di dalam tabel hasil penelitian
terdapat kenaikan angka perceraian dalam beberapa tahun terakhir di Pengadilan
Agama Medan. Sejalan dengan kenaikan jumlah perkara yang diputus terlihat
angka cerai gugat (dimana isteri mengajukan gugatan perceraian) jauh lebih tinggi
dibanding angka cerai talak (dimana suami mengajukan permohonan untuk
50 Hasil Wawancara dengan Bapak Zumrik sebagai Panitera Pengadilan Agama Medan pada
tanggal 13 September 2018 Pukul 13.30 WIB
No Jenis
Perkara
Sisa
Tahun
Lalu
Tahun
Ini
Jumlah
Perkara Damai
Rincian Perkara yang Diputus
Dicabut Dikabulkan Ditolak TIdak
Diterima Gugur Dicoret Sisa
1 Cerai
Talak 132 248 380
2
36 251 4 9 10 - 70
2 Cerai
Gugat 382 824 1206 98 857 7 22 29 - 193
Total 514 1072 1586 2 134 1108 11 31 39 - 263
Universitas Sumatera Utara
61
61
menalak isteri). Panitera Pengadilan Agama Medan, Zumrik menyampaikan 2057
kasus perceraian telah dikabulkan dan diputus oleh pihak Pengadilan. Merujuk
pada data perceraian di Pengadilan Agama Medan, angka cerai gugat pada tahun
Januari-September 2018 mencapai 76,015% dibanding cerai talak yang mencapai
23,985%.
TABEL 4
Perbandingan antara Cerai Talak dan Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Kota Medan
No Jenis
Perkara
Tahun
2016
Tahun
2017
Tahun 2018
(Hingga September)
Persentase
1 Cerai Talak 634 604 390 11,826%
2 Cerai
Gugat
2327 2292 1236 82,094%
Total 2961 2896 1275
Sumber Data : Pengadilan Agama Medan
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat perceraian yang diajukan istri
(cerai gugat) mendominasi peningkatan angka perceraian setiap tahunnya.
Menarik mencermati temuan-temuan lapangan dalam penelitian ini. beragam
faktor seperti ketidakharmonisan dengan beragam variasinya. Mulai dari
perselingkuhan, tidak memberikan nafkah lahir dan batin, ekonomi hingga
masalah lain seperti kecemburuan. Hal-hal tersebut dewasa ini kian meningkat
karena pergeseran budaya yang semakin terbuka, menurunnya makna dan nilai
perkawinan, serta lemahnya pemahaman agama.
Universitas Sumatera Utara
62
62
Dahulu perceraian dan menjadi seorang janda dianggap sebagai suatu hal
yang memalukan, sehingga istri lebih memilih bertahan demi keutuhan keluarga
daripada bercerai meskipun masalah yang dihadapi berat. Namun, dizaman yang
serba canggih ini perceraian sudah dianggap biasa dan bukan suatu hal yang aneh.
Seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan semakin banyak wanita
yang sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, maka menurut A. Reni
Widyastuti, perempuan sebagai istri tidak tinggal diam, dan tidak mau
diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki, maka pihak perempuan akan
menggunakan hak-haknya dengan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan.51
Tabel 5
Pandangan Masyarakat Mengenai Perceraian
Sumber Data : Hasil Wawancara Dengan Masyarakat yang Memiliki Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Medan Tahun 2018
51 A.Reni Widyastuti, “Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan terhadap Perempuan
dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi”, Jurnal Mimbar Hukum, FH UGM, Yogyakarta,
2009, hlm.395
0
2
4
6
8
10
12
14
1
Pandangan Masyarakat tentang Perceraian
Biasa aja Tidak diinginkan
Universitas Sumatera Utara
63
63
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada masyarakat, mayoritas
wanita yang sedang menghadapi sidang perceraian di Pengadilan Agama Medan
ditemukan bahwa pada dasarnya perceraian telah dianggap biasa dan bukan hal
yang ditakutkan lagi sebab terdapat dukungan dari keluarga. Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh salah satu narasumber yang berinisial ST. Ibu ST
mengatakan bahwa dia baik-baik saja saat memutuskan untuk berpisah dan
bersyukur akhirnya dapat berpisah dengan suami yang dianggapnya tidak pernah
memberi nafkah kepada dirinya dan anak-anak. Bahkan keluargapun mendukung
perceraian ini. Dukungan keluarga dan orang-orang disekitarnya yang membuat
dirinya kuat dan akhirnya memutuskan memilih jalan berpisah. 52
Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Wahyu Ernaningsih, bahwa
pergeseran nilai ini merupakan fenomena sosial yang menyangkut budaya
(culture) di tengah masyarakat yang menganggap lebih modern dan mapan.
Keberanian istri dalam mengajukan gugat cerai mengindikasikan perkembangan
positif kesadaran perempuan akan hak-haknya yang mulai meningkat, tetapi yang
menjadi tidak kalah pentingnya adalah apakah nilai-nilai yang terkandung didalam
budaya yang ada didalam masyarakat saat ini juga merupakan perkembangan
positif, dan benarkah pemahaman tentang hukum, utamanya tentang hak dan
kewajiban, perkawinan, serta paradigma gender telah dipahami secara benar.53
Dapat dilihat pergeseran nilai-nilai sosial yang terjadi ditengah masyarakat
tidak dapat terlepas dengan meluasnya paham feminisme dan kesetaraan gender.
52 Hasil wawancara dengan ibu ST selaku penggugat di Pengadilan Agama Medan pada
tanggal 23 Oktober 2018 pukul 11.30 Wib.
53
Wahyu Ernaningsih, “Gambaran Kelabu Perceraian di Kota Palembang”, Sumber Cahaya,
No.46 Tahun XVI, September 2011, FH Universitas Sriwijaya, Indralaya, hlm. 2725
Universitas Sumatera Utara
64
64
Paham feminisme merupakan suatu paham yang memperjuangkan kesetaraan,
kesamaan dan keadilan hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Perempuan
berani mensejajarkan posisinya dengan pria, menyadari haknya dan berani
menunjukkan kemampuannya. Perempuan tidak lagi mau diperlakukan sewenang-
wenang oleh laki-laki, sehingga jika ada perbuatan yang tidak dapat di tolerir lagi
maka wanita tidak takut untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hal ini
tentunya sangat bertolak belakang dengan perempuan di masa lalu yang sangat
malu untuk diceraikan suaminya apalagi menjadi seorang janda di usia muda. Di
masa lalu status menjadi seorang janda mendapatkan kesan yang sangat negative
ditengah masyarakat. Seorang janda akan selalu menjadi bahan pergunjingan di
tengah pergaulan masyarakat, sehingga wanita lebih takut untuk menjadi seorang
janda. Namun, sekaramg wanita tidak takut lagi dan merasa dirinya mampu dan
mnunjukkan wanita bukan makhluk yang lemah.
Selain predikat janda yang dipandang negative, ketergantungan istri
kepada suami juga menyebabkan istri enggan meminta cerai. Ketergantungan
secara ekonomi dapat mempengaruhi nasib anak-anak membuat wanita sering
berfikir panjang sebelum bercerai. Rasa khawatir, tak berdaya dan lemah
membuat wanita lebih memilih untuk bertahan, tetapi pergeseran nilai-nilai sosial
itu telah terlihat dizaman yang serba canggih. Hal itu dapat dilihat dengan
banyaknya wanita mengejar karir dan ikut membantu suami mencari nafkah,
sehingga wanita tidak lagi merasa khawatir, cemas, dan bergantung kepada suami.
Wanita merasa dirinya mandiri dan mampu menghidupi anak-anak jika ia dan
suami berpisah.
Universitas Sumatera Utara
65
65
Dilain pihak mereka tidak menyadari bahwa anak yang pada akhirnya
menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya. Banyak pasangan bercerai dan
menuntut hak asuh anak dan kemudian anak menjadi objek sengketa. Hal ini dapat
menyebabkan kondisi psikis anak dapat terganggu.
Temuan empirik lainnya dari hasil observasi dan testimoni sejumlaah
mediator yang menangani kasus-kasus perceraian dan aparat lainnya di kantor
Pengadilan Agama Medan. Informasi ini penting diungkapkan sebagai “suara dari
dalam” yang belum tersampaikan dalam catatan peneliti. Bahwa berdasarkan
pengalaman sejumlah mediator dan aparat pengadilan dalam memproses kasus
permohonan perceraian, ada fenomena pihak berperkara melakukan “rekayasa
proses kasus” demi kemudahan atau cepat selesainya proses perceraian. Sang
suami setelah diberi panggilan sidang secara sah dan patut tidak hadir di
persidangan walaupun sudah dua kali dipanggil. Putusanpun dilakukan secara
verstek, karena pihak suami sebagai tergugat tidak hadir. Hal ini terjadi dalam
kasus pasangan suami-isteri yang ingin berpisah dan malas untuk mengikuti
persidangan yang panjang dan lama. Alasan bernuansa teknis ini dapat dipahami
karena berdasarkan pengalaman empirik proses-proses persidangan yang tidak
dihadiri oleh tergugat relatif lebih cepat selesai dibanding jika kedua pihak hadir.
Proses seperti ini tidak mewajibkan adanya mediasi yang memakan waktu lama
dan sang isteripun tidak bisa menuntut banyak dari suaminya, selain perceraian,
sehingga perdebatan antara kedua pihak tidak terjadi dan proses sidangpun akan
lebih cepat dan tentunya proses mediasi yang diharapkan dapat menekan angka
perceraian tidak dapat terlaksana dengan baik. Melambungnya data cerai gugat
Universitas Sumatera Utara
66
66
juga tidak lepas dari adanya peraturan perundangan dan fasilitas dari negara
seperti adanya sidang keliling, pembebasan biaya perkara dan pos bantuan hukum
serta kemudahan lainnya yang memberikan akses yang lebih besar bagi
masyarakat, khususnya perempuan. Ketentuan yang semula lebih mempermudah
suami untuk melakukan ikrar talak –sebelum 1974 cukup di KUA, sementara
cerai gugat harus di Pengadilan Agama kini berdasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974, talak dan cerai harus dilaksanakan di depan sidang majlis hakim
PA/MS. Demikian pula, yang semula cerai gugat itu harus di PA/MS yang
mewilayahi domisili suami (UU 1/1974), kini cukup di PA/MS domisili isteri (UU
7/1989).
Tabel 6
Tingkat Kehadiran Kedua Belah Pihak dalam Persidangan
Sumber Data : Hasil Wawancara Dengan Masyarakat yang Memiliki Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Medan Tahun 2018
0
5
10
15
20
25
30
Istri hadir Suami hadir Kedua - duanya hadir
Kehadiran Para PIhak yang Menghadiri
Persidangan Perceraian
Universitas Sumatera Utara
67
67
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa tingkat kehadiran dalam proses
persidangan lebih banyak dihadiri oleh pihak istri sehingga berakibat prosedur
mediasi tidak dapat berjalan optimal. Hal itu pula yang seyogyanya menjadi salah
satu penyebab meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya. Sidang yang tidak
dihadiri oleh salah satu pihak menyebabkan tidak adanya komunikasi diantara
kedua belah pihak yang berakibat lebih cepatnya proses perkara dan dapat
dijatuhkan putusan verstek.
Ada istilah, jika untuk menikah sebuah pasangan harus dipermudah, maka
sebaliknya, untuk perceraian harus dipersulit. Maksudnya, dibuat berjangka waktu
dan melalui tahapan-tahapan perdamaian. Upaya menyelamatkan bahtera rumah
tangga suatu pasangan dalam hubungan perkawinan yang tidak harmonis, sosial,
menjadi tanggung jawab semua pihak. Ada upaya-upaya perdamaian yang dapat
dilakukan oleh sejumlah pihak sesuai kewenangan para pihak dan tata peraturan
perundangan yang ada. Upaya-upaya perdamaian ini penting dilakukan untuk
mengurangi dan menekan jumlah perceraian yang dilaporkan cenderung
meningkat seperti tersebut di atas.
Pertama, dalam proses persidangan, hakim-hakim di Pengadilan Agama
diwajibkan melakukan upaya perdamaian terlebih dahulu kepada pasangan
berperkara yang ingin bercerai dengan menunjuk seorang Mediator. Hal ini sesuai
dengan Hukum Acara Peradilan Agama yang antara lain bersumberkan Hukum
Acara Perdata Umum (Herzien Inlandsch Reglement/Rechtreglement voor de
Buitengewesten atau kerap disingkat HIR/RBg). Disebutkan dalam Pasal 130 HIR
dan Pasal 154 RBg, bahwa pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
68
68
perkara, hakim wajib mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian
berhasil, oleh hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai
putusan. Namun jika tidak berhasil maka dilanjutkan pada tahapan sidang
berikutnya. Namun, dalam prakteknya mediasi kerap kali gagal yang
menyebabkan peningkatan perceraian.
Menurut mediator H. M. Dharma Bakti Nst., S.H., S.E., M.H., keberadaan
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki
keistimewaan dari PERMA sebelumnya yang juga mengatur tentang mediasi.
Keistimewaannya adalah PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan menekankan lebih jauh tentang pentingnya iktikad baik
dalam mediasi. Iktikad baik itu dapat berupa kesediaan untuk mengikuti proses
mediasi serta sikap yang kooperatif dalam mengikuti proses mediasi tersebut
sehingga mediasi dapat berlangsung serta diharapkan dapat berhasil. Selain itu,
kerap kali ditemukan persidangan yang hanya dihadiri oleh satu pihak yang
menyebabkan proses persidangan menjadi cepat dan usaha untuk mempersatukan
kembalipun tidak optimal dan cendrung tidak ada.54
Mediasi yang diharapkan mampu menekan angka perceraian juga tidak
dapat berhasil tanpa adanya iktikad baik dari kedua belah pihak. Berdasarkan hasil
wawancara dengan para pihak yang berpekara di Pengadilan Agama Medan 75%
menyatakan bahwa tidak ingin kembali sehingga tidak menghadiri dan mengikuti
proses mediasi. Kebulatan tekad untuk berpisah dan keyakinan berpisah adalah
54 Hasil Wawancara dengan H. M. Dharma Bakti Nst., S.H., S.E., M.H.,selaku Mediator di
Pengadilan Agama Medan pada tanggal 17 September 2018 Pukul 12.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
69
69
jalan terbaik membuat para pihak ada yang dengan sengaja tidak menghadiri
persidangan.
Kedua, pembentukan Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan disingkat BP4 adalah organisasi perkumpulan yang bersifat sosial
keagaaman sebagai mitra Kementerian Agama dan Instansi terkait lain dalam
upaya meningkatkan kualitas perkawinan umat Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi keluarga muslimin di seluruh Indonesia.
BP4 didirikan secara resmi pada 3 Januari 1961 dan dikukuhkan oleh Keputusan
Menteri Agama No 85 tahun 1961 bertujuan untuk mempertinggi kualitas
perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang dan mewujudkan rumah
tangga yang bahagia sejahtera menurut tuntunan agama Islam. Keputusan Menteri
itu menyebutkan bahwa BP4 adalah sebagai satu-satunya badan yang bergerak
dalam bidang penasihatan perkawinan, talak dan rujuk dan upaya untuk
mengurangi angka perceraian yang terjadi di Indonesia. Sebelum adanya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada kerjasama antara
Pengadilan Agama (PA) dan BP4 yaitu agar suami istri yang akan bercerai
sebelum ke Pengadilan Agama hendaknya ke BP4 terlebih dahulu untuk
didamaikan. Bila tidak berhasil yang bersangkutan dikirim ke Pengadilan Agama
oleh BP4. Tetapi dengan Undang-Undang Perkawinan Pasal 39 ayat (1) sebagai
berikut : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang
berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.”
Universitas Sumatera Utara
70
70
Dengan demikian upaya mendamaikan menjadi kewajiban Pengadilan
Agama oleh karena masalah perceraian menjadi kewenangan Pengadilan Agama
konsekuensinya nama BP4 diubah kepanjangannya berdasarkan SK Menag No.30
tahun 1970 menjadi : “Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian.
Sampai sekarang, dengan segala kelebihan dan keterbatasannya BP4 terus
melaksanakan fungsinya sesuai dengan tujuannya dan perkembangan, antara lain
memberikan penasihatan, advokasi, mediasi dan pelatihan.
Universitas Sumatera Utara
71
71
BAB IV
FAKTOR EKONOMI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA MEDAN
Indonesia sebagai Negara yang memiliki penduduk yang padat dan
memiliki potensi alam yang sangat banyak. Namun hal ini tidak sejalan dengan
kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini dibuktikan banyaknya pengangguran dan
berbagai masalah dibidang ekonomi.
Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah menuntut adanya jalan keluar.
karena kondisi ekonomi masyarakat yang kurang baik, dapat menimbulkan
dampak negative terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, dampak negatif itu
diantaranya meningkatnya pengangguran, banyaknya anak putus sekolah,
masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuahn pokok sehari-hari (papan,
sandang, pangan).
Kesejahteraan hidup merupakan dambaan setiap manusia, masyarakat
yang sejahtera tidak akan terwujud jika para masyarakatnya hidup dalam keadaan
miskin. Oleh karena itu kemiskinan harus dihapuskan karena merupakan suatu
bentuk ketidaksejahteraan yang menggambarkan suatu kondisi yang serba kurang
dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.
Tak terkecuali dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga, masyarakat
menengah kebawah memiliki berbagai masalah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupnya tidak
71 Universitas Sumatera Utara
72
72
jarang memberikan masalah lain. Dampak negatif akibat krisis ekonomi yang
melanda bangsa Indonesia sangat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Banyaknya kasus orang dewasa yang mengakhiri hidupnya karena tekanan
ekonomi. Bahkan kehidupan keluarga biasanya menjadi tidak tenang ketika suami
yang tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk menafkahi keluarga,
menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang akan berakhir pada perceraian.
A. Indikator Kesejahteraan
Kesejahteraan ekonomi sebagai tingkat terpenuhinya input secara financial
oleh keluarga. Input yang dimaksud baik berupa pendapatan, nilai asset keluarga
maupun pengeluaran. Sementara indikator output memberikan gambaran manfaat
langsung dari investasi tersebut pada tingkat individu, keluarga dan penduduk.55
Kesejahteraan tidak hanya diukur dari besarnya pendapatan atau upah
yang diterima, malainkan juga oleh sistem hubungan kerja Kesejahteraan
masyarakat adalah suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan
masyarakat yang dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat.56
Dalam pembahasan perilaku ekonomi rumah tangga tujuan dari
pengelolaan ekonomi rumah tangga adalah kepuasan dan kemanfataan atau
kegunaan “utility”. Kepuasan dan kemanfaatan meruapakan istilah lain dari
kesejahteraan (well – being) yang sering digunakan sosiologi dan home ekonomist
namun mengacu pada hal yang sama. Analisis perilaku ekonomi membahas
bagaimana pengelolaan sumber daya rumah tangga, materi dan waktu,
55 Fergusson, D.M. L.J. Horwood, A.L. Beautrais, 1981, The Measurement of Family
Material Well Being, Journal of Marriage and the Family, 43 (3), hlm 715-725.
56 Badrudin, Rudy. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. 2012,
hlm 25
Universitas Sumatera Utara
73
73
pengeluaran untuk berbagai kepentingan (konsumsi pangan, kesehatan,
pendidikan dan hiburan) untuk senantiasa menjaga keseimbangan (equlibrum)
rumah tangga. Selain itu juga membahas dampak harga dan perubahannya,
bahkan dampak harapan pendapatan masa yang akan datang terhadap pengeluaran
masa kini. Pembahasan ini juga meliputi pandangan keluarga (rumah tangga)
terhadap kerja dan liburan, konsep tabungan, human capital sebagai tabungan,
nilai ekononmi fertilitas, nilai ekonomi perkawinan dan perceraian.57
Secara konseptual orang yang telah sejahtera adalah mereka yang telah
terpenuhi kebutuhan fisik maupun kebutuhan non-fisiknya. Mengukur
kesejahteraan masyarakat memang merupakan sesuatu yang sulit, di samping
belum ada ukuran yang standar. Sehingga banyak sekali batasan-batasan
mengenai kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, indikator yang sederhana dan mudah difahami dijelaskan oleh
Moeljarto yang mencakup58
: tingginya tingkat kesehatan, peningkatan gizi,
kesempatan memperoleh pendidikan setinggitingginya, sedikitnya anak dalam
keluarga tetapi berpotensi tinggi, tersedianya lapangan kerja, dan mampu
berpartisipasi dalam pembangunan.
Kondisi tersebut pada saat ini tidak tampak pada sebagian besar
masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat masih memerlukan uluran
tangan dari pemerintah untuk dapat mempertahankan hidupnya, terutama
memenuhi kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan akan pangan.
57 Ibid hlm 26
58
Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan : Dilema dan Tantangan, Yogyakarta,
PustakaPelajar, 1996 hlm 47
Universitas Sumatera Utara
74
74
Adapun tahapan yang harus diperhatikan dalam meningkatan
kesejahteraan diantaranya: 59
1) Adanya persediaan sumber-sumber pemecahan masalah yang dapat digunakan.
2) Pelaksanaan usaha dalam menggunakan sumber-sumber pemecahan masalah
harus efisien dan tepat guna.
3) Pelaksanaan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
harus bersifat demokratis.
4) Menghindarkan atau mencegah adanya dampak buruk dari usaha tersebut.
Menurut Dr. Haryono Suyono sekitar 56 % keluarga di Indonesia masih
berada dalam tingkat prasejahtera dan sejahtera satu. Mereka belum tergolong
miskin, tetapi baru bisa memenuhi minimal kebutuhan fisik saja. Pada kondisi
tersebut, mereka mudah sekali jatuh miskin.60
Dalam program pembangunan keluarga sejahtera BKKBN, keluarga
prasejahtera dan keluarga sejahtera satu, lebih tepat disebut sebagai keluarga
tertinggal, karena yang disebut sebagai keluarga prasejahtera adalah keluarga
yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu melaksanakan
ibadah berdasarkan agamanya masing – masing, memenuhi kebutuhan makan
minimal 2 kali sehari, pakaian yang berbeda untuk dirumah, bekerja, sekolah,
bepergian, dan memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan
belum mampu untuk berobat disarana kesehatan modern. Menurut BKKBN
59 Ibid hlm 47
60
Ibid hlm 47
Universitas Sumatera Utara
75
75
kriteria keluarga yang dikategorikan sebagai keluarga miskin adalah keluarga pra
sejahtera dan keluarga sejahtera satu. 61
Ada lima indikator yang harus dipenuhi agar suatu keluarga dikategorikan
sebagai keluarga sejahtera satu, yaitu :
1) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut
masing – masing.
2) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan dua kali sehari atau
lebih.
3) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda dirumah,
sekolah, bekerja dan bepergian.
4) Bagian terluas dari rumah bukan terbuat dari tanah.
5) Bila anak sakit atau PUS (Pasangan Usia Subur) ingin mengikuti KB
dapat pergi ke sarana atau petugas kesehatan serta diberi cara KB
modern.
Mereka yang dikategorikan sebagai keluarga pra sejahtera adalah keluarga
– keluarga yang tidak memenuhi salah satu dari lima indikator di atas. Keluarga
Sejahtera I merupakan keluarga yang kondisi perekonomiannya hanya bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya saja tetapi belim mampu memenuhi kebutuhan
sosial psikologisnya.
Kriteria yang ditetapkan BPS (Biro Pusat Statistik) tentang garis
kemiskinan ialah kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makan 2100
kalori per hari per kapita. Menurut kriteria tersebut sekarang tinggal 11,5 %
61
www.bkkbn.go.id diakses pada tanggal 2 November 2018 Pukul 19.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
76
76
penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, sedangkan menurut
kriteria BKKBN adalah 40,33 % penduduk Indonesia yang belum sejahtera.62
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa keluarga
sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah,
mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan
seimbang antar anggota, serta antara keluarga dengan masyarakat dengan
lingkungannya.
Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki 4 arti dalam istilah umum
sejahtera menunjuk kepada keadaan yang baik, kondisi manusia dimana orang –
orangnya dalam keadaan makmur, sehat dan damai.63
Dalam ekonomi, sejahtera
dihubungkan dengan keuntungan benda. Dalam kebijakan sosial, kesejahteraan
sosial menunjuk ke jangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ini adalah istilah yang digunakan dalam ide negara sejahtera.
Di Amerika Serikat, sejahtera menunjuk ke uang yang dibayarkan oleh
pemerintah kepada orang yang membutuhkan bantuan finansial, tetapi tidak
bekerja atau yang keadaan pendapatan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan
dasar tidak berkecukupan. Jumlah yang dibayarkan biasanya jauh dibawah garis
kemiskinan, dan juga memiliki kondisi khusus, seperti bukti sedang mencari
pekerjaan atau kondisi lain, seperti ketidak mampuan atau kewajiban menjaga
anak yang mencegahnya untuk dapat bekerja.
62 www.bps.go.id diaksespada tanggal 2 November 2018 Pukul 15.00 WIB
63
Moeljarto Tjokriwinoto, Op.Cit hlm 45
Universitas Sumatera Utara
77
77
Menurut Undang-Undang No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, kesejahteraan sosial ialah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosial. Permasalahan
kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warna
negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karna
belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya masih banyak kita
temukan masyarakat yang tidur dibawah kolong jembatan terutama di kota – kota
besar.
Konsep kesejahteraan menurut Nasikum dapat dirumuskan sebagai
padanan makna, dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari 4 indikator,
yaitu :
1) Rasa Aman
2) Kesejahteraan
3) Kebebasan
4) Jati Diri
Biro Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2000 menerangkan bahwa
bahwa guna melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada
beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan antara lain :
1. Tingkat Pendapatan Keluarga
2. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan
pengeluaran untuk pangan dan non pangan
3. Tingkat pendidikan keluarga
Universitas Sumatera Utara
78
78
4. Tingkat kesehatan keluarga
5. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
Menurut Kolle dalam Bintarto, kesejahteraan dapat diukur dari beberapa
aspek kehidupan antara lain :64
1. Dengan melihat kualitas hidup dari segi materi seperti kualitas rumah,
bahan pangan dan sebagainya.
2. Dengan melihat kualitas hidup dari segi fisik seperti kesehatan tubuh,
lingkungan alam dan sebagainya.
3. Dengan melihat kualitas hidup dari segi mental seperti fasilitas
pendidikan, lingkungan dan budaya
4. Dengan melihat kualitas hidup dari segi spiritual seperti moral, etika,
keserasian penyesuaian dan sebagainya.
Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan –
pelayanan sosial dan lembaga – lembaga yang bertujuan untuk membaantu
individu dalam kelompok mencapai standar hidup dan kesehatan yang
memuaskan dan relasi – relasi pribadi sosial yang memungkinkan mereka
mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan
kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.65
64 ibid hlm 17 65 Rudy Badrudin, Ekonomi Otonomi Daerah, Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2012 hlm 27
Universitas Sumatera Utara
79
79
B. NAFKAH KELUARGA
Relasi dalam keluarga dimulai dengan perkawinan pria dan wanita. Pada
tahap ini sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi
landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.
Banyak keluarga berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri.
Keluarga menurut konsepsi Islam menguak penggabungan fitrah antara
kedua jenis kelamin. Namun bukannya untuk menggabungkan antara sembarang
pria dan wanita dalam wadah komunisme kehewanan, melainkan untuk
mengarahkan penggabungan tersebut ke arah pembentukan keluarga dan rumah
tangga.66
Pernikahan dilakukan bukannya tanpa syarat, kemampuan secara lahir
batin adalah dua hal utama dalam sebuah pernikahan atau kesediaan memberikan
nafkah kepada keluarga. Dalam rumah tangga suami sebagai kepala keluarga
mempunyai kewajiban sebagai pemberi nafkah kepada anak dan istri, karena itu
dalam Islam upaya suami memberi nafkah kepada keluarga sebagai salah satu
kategori ibadah.
Memberi nafkah merupakan kewajiban suami dan menjadi hak istri dan
anak, tidak serta-merta anak dan istri menuntut secara semena-mena. Kewajiban
suami yang menjadi hak istri itu dilaksanakan sesuai dengan kemampuan suami.
Namun demikian, jika terbukti suami berbuat aniaya, tidak memberi nafkah untuk
anak dan istrinya sesuai dengan kemampuannya, istri diperbolehkan untuk
66 Mahmud Muhammad al-Jauhari, Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Al-Akhwat Al-
Muslima‟t wa Bina‟ Al-Usrah Al-Qur‟a>niyyah, di terjemahkan oleh Kamran As‟ad,
Mufiliha Wijayatin dengan judul, Membangun Keluarga Qur‟an, Panduan Untuk Wanita
Muslimah (Cet I; Jakarta : Amzah, 2005), hlm 5.
Universitas Sumatera Utara
80
80
mengambil bagiannya itu sebanyak yang mencukupi untuk diri dan anaknya
secara wajar.
Kewajiban suami dalam memberi nafkah adalah mutlak dilaksanakan
apakah istri memintanya atau tidak. Mungkin saja seorang istri yang sama-sama
bekerja, tidak membutuhkan nafkah dari suaminya. Keberadaan istri yang bekerja,
mampu mencukupi keperluan hidupnya atau berasal dari keluarga berada yang
terus-menerus mendapatkan pasokan dana, tidak lantas mengugurkan, kewajiban
suami sebagai pemberi nafkah.
1. Pengertian Nafkah
Menurut bahasa berasal dari kata infaq, yakni Ikhraj atau digunakan dalam
hal kebaikan.67
Menurut istilah pemberian yang mencukupi dari makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan apa yang berkaitan dengannya.68
Secara bahasa
nafkah ( ف ة ن ) diambil dari kata ( ف ق ,yang berarti pengeluaran ( لإ
penghabisan (consumtif) dan infak tidak digunakan kecuali untuk yang baik-baik.
Adapun menurut istilah nafkah adalah segala sesuatu yang dibutuhkan
manusia daripada sandang, pangan dan papan. Nafkah berarti mengeluarkan.
Nafkah juga berarti belanja, maksudnya sesuatu yang diberikan oleh suami kepada
istri, seorang bapak kepada anak dan kerabat dari miliknya sebagai keperluan
pokok bagi mereka. Dalam buku syariat Islam kata nafkah mempunyai makna
segala biaya hidup merupakan hak istri dan anak – anak dalam hal makanan,
67 Mu‟jam Maqayisi Al-Lughah, Jilid 5, hal. 455 dan Lisan Al-„Arab, jilid 10, hlm. 538
68
Kassyaf Al-Qina, jilid 13, hlm.113
Universitas Sumatera Utara
81
81
pakaian dan tempat kediaman serta beberapa kebutuhan pokok lainnya bahkan
sekalipun si istri itu seorang wanita kaya raya.69
Seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya, memenuhi
kebutuhan hidupnya selama ikatan suami istri masih berjalan, si istri tidak nusyuz
atau durhaka dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya
nafkah begitu pula sebaliknya si istri wajib mematuhi perintah suami dan taat
kepadanya. Kewajiban memberi nafkah tersebut tidak saja dikhususkan untuk istri
namun terhadap orang tua juga berhak dinafkahi jika orang tuanya miskin. Sesuai
dengan penjelasan tersebut seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya
yaitu mencukupi hidup berumah tangga seperti tempat tinggal, nafkah sehari –
hari dan lain sebagainya. Kebutuhan rumah tangga yang wajib dipenuhi oleh
suami meliputi :
1. Belanja dan keperluan rumah tangga sehari – hari
2. Belanja pemiliharaan kehidupan anak – anak
3. Belanja sekolah dan pendidikan anak – anak
2. Syarat wajib nafkah terhadap istri berikut pendapat para ulama:
Menurut Imam Abu Hanifah nafkah wajib jika memenuhi syarat berikut ini:
1) Akad nikahnya sah
2) Istri mampu melakukan hubungan seks
3) Istri menyerahkan dirinya kepada suaminya dengan penyerahan sepenuhnya
4) Istrinya bukan orang murtad (keluar dari agama Islam)
69 Sabri Samin dan Nurmaya Aroeng, Buku Daras “Fikih II” (Cet. I; Makassar: Alauddin
Press, 2010), hlm116
Universitas Sumatera Utara
82
82
5) Tidak melakukan sesuatu yang diharamkan terhadap mahram suaminya
Menurut Imam Malik nafkah wajib ada dua macam, sebelum dukhul dan
sesudah dukhul.
Syarat sebelum dukhul yaitu:
a) Mampu melakukan hubungan seks, jika menikah dengan anak kecil yang tidak
mampu melakukan hubungan seks maka maka tidak wajib baginya nafkah
sampai dia mampu
b) Istrinya tidak dalam keadaan sakit parah yang menjadikan suami menjauh
darinya
c) Istri sudah sampai umur baligh.
Adapun syarat setelah dukhul maka suami wajib memberikan nafkah atas
istri baik mampu melakukan hubungan atau tidak, sakit atau tidak baligh atau
belum.
Menurut Imam Syafi‟i nafkah wajib jika memenuhi syarat berikut ini:
1. Istri menyerahkan penuh dirinya kepada suami, misalnya istri mengatakan
saya serahkan diriku sepenuhnya untukmu
2. Mampu melakukan hubungan
3. Tidak durhaka (nusyuz) misalnya istri tidak mau disentuh, dicium dan
melakukan hubungan tanpa alasan yang dibenarkan.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal nafkah wajib jika memenuhi syarat
berikut ini:
a. Istri menyerahkan penuh dirinya kepada suami di Negara manapun dia hidup
b. Mampu melakukan hubungan sebagaimana istri pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
83
83
c. Tidak durhaka (nusyuz ) misalnya istri keluar rumah tanpa izin suami,
bepergian tanpa izin suami, dan tidak mau melakukan hubungan atau istri tidak
mau tidur satu tempat tidur.70
Dari pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa kewajiban seseorang
untuk mengeluarkan nafkah kepada siapa yang berhak menerimanya, seperti
suami berhak untuk memberi nafkah kepada istrinya, anak – anaknya bahkan
nafkah yang utama diberi itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
kehidupan yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kewajiban memberi
nafkah tersebut diberikan menurut kesanggupan, hal ini dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan agar selaras dengan keadaan dan standar kehidupan
mereka.begitu pula terhadap kaum kerabat yang miskin dan anak – anak terlantar
sebuah keluarga sampai pada taraf atau tingkat tertentu wajib memberikan nafkah
oleh yang bertanggung jawab terhadap keluarga itu.
3. Kewajiban Suami
Kewajiban suami merupakan hak istri dan kewajiban istri merupakan hak
suami, cakupan makna kepemimpinan dari surat An-nisa ayat 34 maka dapat
dilihat secara rinci kewajiban suami sebagai kepala keluarga :
1. Patuh kepada Allah SWT dengan menjaga atau melindungi dan membela
segala kepentingan istri dan keluarga dari hal – hal yang dapat mengganggu
ataupu membahayakan kehidupan rumah tangga baik terkait dengan kehidupan
duniawi maupun akhirat.
70 Abdu al-Jaziri,, Al-Fiqh al- Mazahibil, Bandung, al-Arba‟ah, tt, hlm. 423
Universitas Sumatera Utara
84
84
2. Seorang suami harus mampu mengatur sekaligus memelihara jalannya roda
kehidupan rumah tangga yang didasarkan pada asas musyawarah.
3. Seorang suami harus bisa memberikan perhatian dan pembinaan kepada istri
dan anak atas dasar kasih sayang.
4. Memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri termasuk sandang pangan dan
papan berdasarkan kadar kemampuannya.
Al-Qur‟an pun menghimbau kaum suami agar melaksanakan hak-hak istri
mereka, baik hak-hak yang wajib maupun sunnah. Rasulullah saw. Juga
memerintahkan agar mereka menasehati para istri dengan cara yang bijak dan
benar.
Hak-hak istri yang harus dijalankan suami bisa dirinci sebagai berikut :
a. Menafkahinya, nafkah ini meliputi nafkah sandang dan pangan.
b. Memperlakukannya dengan baik, yaitu tidak mengabaikan hiburan yang bisa
menyenangkan istri, berbaik sangka pada istri, menjaga rasa malunya sebagai
sesuatu yang tercantik dalam kehidupan wanita, serta memberikan haknya di
tempat tidur, tidak membuka rahasianya pada siapapun, mengizinkannya
berkunjung ke keluarganya dan mengizinkan keluarganya untuk
mengunjunginya di rumah pada waktu-waktu tetentu, membantunya jika ia
membutuhkan dan menghormati kepemilikan pribadi wanita dan tidak
mengutak-atiknya kecuali izinnya.
c. Mengajarinya hal-hal yang dibutuhkannya terkait dengan masalah Agama
d. Mencemburuinya dalam batas kewajaran.71
71 Mahmud Muhammad al-Jauhari, Muhammad Abdul Hakim Khayyal, hlm 187-191
Universitas Sumatera Utara
85
85
Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 77 adalah:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak
mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya
dan pendidikan agama.
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya
e.Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 79 tentang kedudukan suami istri :
a. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Pasal 8 tentang kewajiban suami :
a. Suami adalah pembimbing, terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh
suami istri bersama.
b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Universitas Sumatera Utara
86
86
c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama,
nusa dan bangsa.
d. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
1) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman begi istri
2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri
3) Biaya pendidikan bagi anak.
e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan b
diatas sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.
f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya
sebagaimana tersebut pada ayat 4 huruf a dan b.
g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat 5 gugur apabila nuyzuz.
Pasal 81 tentang tempat tinggal :
a. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau
bekas istri yang masih dalam iddah.
b. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam
ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
c. Tempat kediaman di sediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari
gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat
kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai
tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
Universitas Sumatera Utara
87
87
d. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta
disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Pasal 83 tentang kewajiban istri :
a. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami
di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari
dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 tentang istri nusyuz :
a. Istri dapat dianggap nusyuz jika dia tidak mau melaksanakan kewajiban -
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan
yang sah.
b. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada
pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal - hal untuk kepentingan
anaknya.
c. Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah istri tidak
nusyuz.
d. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas
bukti yang sah.
Pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21, alur globalisasi dan
emansipasi telah merasuki relung-relung kehidupan pola fikir bagi wanita, yang
kemudian mendapat justfifikasi dari masyarakat dan negara, sehingga peran
Universitas Sumatera Utara
88
88
wanita dalam masyarakat mengalami perubahan yang sangat pesat. wanita
diharapkan untuk menjadi seorang yang mandiri serta pemberian kebebasan untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan yang adanya dengan bertumpu pada
batasan kodratnya sebagai wanita tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya
sebagai ibu rumah tangga.72
Faktor – faktor yang menyebabkan wanita bekerja diluar rumah yakni :
1. Suami kesulitan memberi nafkah istri dan keluarga. Syariat memberi
pilihan kepada istri yang suaminya tidak mampu memberi nafkah
antara mengajukan fasakh atau tetap bertahan sebagai istri. Istri yang
memilih mempertahankan rumah tangganya terpaksa harus bekerja
untuk mendapatkan materi sebagai penopang kehidupannya dan juga
keluarga.
2. Suami dengan pendapatan terbatas sementara istri tidak dapat bekerja
akhirnya kondisi ini mendorong istri bekerja untuk mendapatkan
materi yang bisa meningkatkan hidup pribadi dan keluarga atas
kerelahan hati.
3. Kondisi perekonomian masyarakat sekarang ini mengalami kemajuan
sangat signifikan, menjadi salah satu faktor pemicu perubahan dalam
tata letak penduduk dan peningkatan jumlah partisipasi wanita
dibidang kerja sebagai akibat perubahan – perubahan pada kerangka
perekonomian. Kehidupan dengan peradaban modern termasuk
berbagai organisasi sosial yang ada dibaliknya setelah menjadi
72 Depertemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 273
Universitas Sumatera Utara
89
89
fenomena masyarakat yang menonjol. Kebutuhan atas peningkatan
pendapatan keluarga kian meningkat seiring peningkatan biaya –
biaya konsumsi yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kawasan – kawasan perkampungan yang secara individu memiliki
kecukupan seadanya.
Wanita di berikan kebebasan untuk menggali potensi intelektual yang di
milikinya untuk memberikan sumbangsihnya dalam peradaban dunia diera
globalisasi. Wanita tidak hanya bergerak dalam satu bidang akan tetapi diberikan
kebebasan untuk beraktifitas diberbagai bidang di ranah publik. Dengan tidak
keluar dari koridor yang telah di syaria‟tkan dalam Hukum Islam. Di era kekinian
dengan berlindung dibalik konsep emansipasi telah memberikan peluang dan
toleransi kepada wanita/istri untuk berkarir dan berkarya yang mempunyai
kedudukan dan derajat yang sama dengan pria, dalam banyak jabatan publik tidak
sedikit wanita/istri yang menduduki posisi penting dan strategis , misalnya
Direktur Utama pada Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah, serta Badan
Usaha Milik Swasta, anggota Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif, bahkan
dalam jabatan-jabatan tertentu ditentukan terpenuhinya quota 30 % harus wanita.
Faktor biaya hidup yang semakin meningkat, telah melahirkan kebutuhan dan
keinginan-keinginan baru yang mendesak untuk dipenuhi, tuntutan pendidikan
dan profesi bahkan tidak senangnya para wanita ini berdiam diri di rumah,
kecendrungan itu berdampak pada adanya keinginan untuk menambah
penghasilan ekonomi dalam keluarga yang pada gilirannya memotifasi para istri
yang mempunyai kecerdasan intelektual, kualitas dan kapabilitas dalam bidangnya
Universitas Sumatera Utara
90
90
untuk mencari nafkah di luar rumah, baik sebagai pejabat negara, swasta hingga
pada karyawan biasa, realita ini akan melahirkan peran ganda bagi wanita/istri.
C. Faktor Ekonomi Sebagai Alasan Terjadinya Perceraian di Pengadilan
Agama Medan
Hidup ini merupakan proses pembelajaran menuju lebih baik dan
memahami akan cinta yang Allah SWT berikan buat manusia di dunia ini. Lalu,
apa rahasia terbesar dalam hidup ini ? melewati hari ini dengan penuh makna.
Makna tentang cinta, ilmu, dan iman. Dengan cinta hidup menjadi indah. Dengan
ilmu hidup menjadi mudah. Dengan iman hidup menjadi terarah.
Dalam rumah tangga sejatinya seorang suami yang bekerja guna
mencukupi kebutuhan rumah tangga akan membutuhkan kehadiran seorang istri
yang dapat menyenangkan, melegakan, melepaskan rasa lelah dan memberikan
inspirasi serta motivasi baru untuk menunaikan tugas-tugasnya. Tugas istri
semacam ini tidak dapat dilakukan dengan baik jika seorang istri hanya
mementingkan kepentingannya sendiri, dikarenakan istri juga merasakan lelah
dalam menghadapi masalah dan beban mental yang bahkan kemungkinan sama
dengan apa yang dirasakan oleh suaminya. Jika dalam rumah tangga tidak dapat
menempatkan tugas dan fungsinya, baik suami maupun istri akan membawa
dampak yang sangat buruk. Semua anggota keluarga memiliki pandangan sendiri
dikarenakan tidak adanya visi dan misi keluarga yang jelas.
Sejatinya pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berbeda baik
dari segi pola fikir, cara memandang kehidupan bahkan sampai kepada pola hidup
Universitas Sumatera Utara
91
91
dan pergaulan. Bersatu dalam perbedaan itu yang membuat semuanya menjadi
sulit jika tidak ada penerimaan satu sama lain. Di awal menjalin hubungan
sebelum sampai pada tahap pernikahan para pasangan masih cenderung dibutakan
oleh rasa cinta hingga menutupi semua kekurangan. Keberpura-puraan diawal
hubungan menyebabkan tidak dapat mengevaluasi diri sendiri bahwa apakah
benar dapat menerima sifat pasangan.
Kecenderungan ini juga disebabkan oleh alasan klasik yang sering disebut
dengan “cinta”. Alasan klasik ini menyebabkan munculnya harapan-harapan
tinggi tentang pernikahan yang pada dasarnya justru menyebabkan tertutupinya
sifat asli dari pasangan.
Alasan menikah karena cinta sama klasiknya dengan perceraian karena
faktor ekonomi. Keberhasilan seorang suami dalam karirnya pangkat atau jabatan,
diiringi oleh dukungan motivasi, cinta dan doa seorang istri. Sebaliknya,
keberhasilan karier istri juga didukung oleh pemberian akses, motivasi dan
keikhlasan suami. Seorang suami sebagai kepala keluarga tidak dapat
mendominasi tugas dan fungsinya dalam rumah tangga, sebaliknya juga seorang
istri sebagai ibu rumah tangga tidak dapat memaksakan kehendak sebagai
seseorang yang paling berperan dalam rumah tangga karena kehidupan rumah
tangga membutuhkan partisipasi keduanya sehingga rumah tangga menjadi rukun
dan harmonis.
Khadijah r.a., istri Rasulullah saw., adalah salah satu contoh teladan dari
sosok peran perempuan. Saat Rasulullah saw., menerima wahyu pertama dari
Allah. Rasulullah melihat Jibril dalam bentuk sebenarnya sehingga beliau sangat
Universitas Sumatera Utara
92
92
takut. Saat Rasulullah menggigil, ketakutan, Khadijah orang pertama yang
menenangkan dan menghilangkan ketakutan Nabi saw. Khadijah orang pertama
yang masuk Islam dan dia adalah orang pertama di dunia yang membenarkan
Nabi saw., orang pertama yang menerima pesan dakwah, pesan Islam. Khadijah
saat itu juga menolong Rasulullah saw., dan Khadijah juga ikut bersama
mendampingi Rasulullah saw., mengadakan dakwah di kala susah maupun duka
serta bahagia dengan memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya.73
Hal tersebut memberikan gambaran akan mulianya seorang perempuan
shalihah yang mampu berperan bersama suami menjadikan rumah tangga ladang
beramal shalih dan beribadah kepada Allah swt. Dalam hal ini dengan tidak
mengesampingkan tugas dan fungsi suami dalam rumah tangga seorang istri yang
shalihah sangat membantu peranan suami tercinta dalam rumah tangga.
Dalam kehdupan sebagian manusia, ada yang sibuk mengumpulkan
sesuatu yang menurutnya berharga, tetapi tidak mampu menikmati setiap proses
pencapaiannya dan mengabaikan disekitarnya. Seorang manusia sering kali
melupakan fase kehidupan yang telah dilewatinya dan hanya fokus pada hasil
yang ingin dicapai. Jika diingat kembali proses hidup yang telah dilewati hingga
dapat berdiri seperti sekarang tentunya banyak hal yang telah terlewati baik itu
proses yang mudah maupun sulit. Proses itulah yang dapat membentuk karakter
manusia.
Pada hakikatnya manusia itu ditakdirkan untuk pantang menyerah. Lihat
saja ketika manusia dilahirkan harus ada proses persalinan baru seorang bayi
73 Wiyanto Suud, Buku Pintar Wanita-Wanita dalam Al-Qur‟an (Cet. I; Jakarta Pusat: Niaga
Swadaya, 2011), Hlm 124.
Universitas Sumatera Utara
93
93
dapat terlahir. Harus ada rasa sakit yang dirasakan seorang ibu untuk dapat
bertemu dengan anaknya. Setelah bayi lahir akan tumbuh dan berkembang hingga
pada tahap akan akan berjalan. Kita sebagai manusia untuk dapat berjalan harus
melalui proses sebelum akhirnya dapat berjalan. Mulai dari merangkak lalu
belajar berdiri kemudian dapat berjalan, ketika sudah dapat berjalanpun kita masih
tertatih. Meskipun sulit untuk dapat berjalan dan harus melewati puluhan kali atau
bahkan ratusan kali jatuh tapi seorang bayi tidak akan menyerah.
Layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan, pernikahan juga merupakan
fase kehidupan yang baru. Jika dirunut kembali setiap kali pasangan
melangsungkan pernikahan pasti selalu ada ucapan “Selamat Menempuh Hidup
Baru”. Makna dari ucapan tersebut karena menikah sebenarnya adalah kata lain
dari serah terima tanggung jawab orang tua perempuan kepada calon suami. Arti
hidup baru adalah hidup berdua sebagai suami istri tanpa ada campur tangan dari
orang tua dan mertua.
Pada hakekatnya pernikahan mewajibkan kepada semua pihak untuk siap
meninggalkan cara hidup lama yang telah diberikan orang tua untuk masuk ke
fase hidup yang baru dengan menyandang status suami ataupun istri. Dalam
pernikahan pasti dan akan selalu ditemukan permasalahan, aneh jika tidak
ditemukan permasalahan sama sekali. Setiap permasalahan yang muncul harus
dapat disikapi dengan baik.
Perceraian walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya
harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang
ditempuh oleh suami istri, apabila cara – cara lain yang telah diusahakan
Universitas Sumatera Utara
94
94
sebelumnya tetap tidak dapat mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga
suami istri tersebut.
Alasan-alasan yang dibenarkan menurut undang-undang dan menjadi
landasan terjadinya perceraian baik melalui cerai talak maupun cerai gugat
tertuang dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 161 Kompilasi
Hukum Islam. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun.
Lebih lanjut mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi
karena alasan :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
Universitas Sumatera Utara
95
95
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi pertengkaran dan
perselisihan dan tidak aka nada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga
Alasan perceraian yang tertuang didalam pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomo 9 Tahun 1975 terdapat banyak kesamaan dalam pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam, hanya saja didalam Pasal 116 ditambahkan 2 point sebagai alasan
terjadinya perceraian, yaitu :
1. Suami melanggar taklik talak
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga
Aplikasi alasan-alasan seperti dalam praktek bersifat alternative, artinya
pemohon dapat mendasarkan perceraian pada salah satu alasan saja, apakah alasan
seperti a,b,c atau yang lainnya tergantung kasusnya.74
Berdasarkan data yang
diperoleh melalui Pengadilan Agama Medan, terdapat 13 alasan-alasan yang
dijadikan sebagai dalil perceraian
74
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dan Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1992
hlm.80
Universitas Sumatera Utara
96
96
Tabel 7
Alasan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Medan
No Faktor- Faktor Penyebab Tahun
2016
Tahun 2017 Tahun
2018
(Januari-
September)
1 Krisis Moral (Mabuk,Zina,Madat,
Judi)
38 70 17
2 Tidak Ada Tanggung Jawab 1.254 272 60
3 Dipidana 3 3 -
4 Poligami 22 5 3
5 Kekerasan Dalam Rumah Tangga 139 107 5
6 Cacat Badan - - 1
7 Ekonomi 61 90 47
8 Perselisihan dan Pertengkaran
Terus Menrus
405 1398 820
9 Kawin Paksa - 1 -
10 Kawin dibawah umur 3 - -
11 Murtad 4 4 2
12 Gangguan Pihak Ketiga 106 - 3
13 Dan Lain-Lain 17 20 4
14 Jumlah Total 2083 1966 1108
Sumber : Data Pengadilan Agama Medan
Universitas Sumatera Utara
97
97
Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan pengajuan gugatan perceraian di
Pengadilan Agama Medan. Sejak tahun 2016 hingga 2017 perceraian karena
ekonomi terus meningkat. Menurut mediator di Pengadilan Agama Medan alasan
ekonomi kerap kali dijadikan alasan untuk berpisah.
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang diperlukan di setiap
aspek kehidupan. Meningkatnya biaya kebutuhan rumah tangga, sekolah anak dan
biaya lainnya menyebabkan kebutuhan akan ekonomi semakin meningkat. Arus
utama gender sebenarnya menjelaskan bagaimana laki-laki dan perempuan itu
seimbang, sederajat. Ketika kata „tidak bertanggung jawab‟ itu muncul, umumnya
ditimpakan kepada laki-laki. Maka fenomena ini menjadi menarik untuk
mengkritisi kembali arus utama gender. Bagaimana „tanggung jawab‟ menafkahi
secara ekonomi itu menjadi hal yang ditimpakan laki-laki. Akibatnya makna
„tidak bertanggung jawab‟ umumnya ditimpakan laki-laki. Dari hasil kuisioner
yang disebar kepada 30 orang dewasa yang telah menikah, ditemukan bahwa
penyebab terbesar dari perselisihan pernikahan yaitu masalah keuangan.
Keadaan ekonomi yang tidak menentu memicu terjadinya konflik sehingga
pada akhirnya dapat mengakibatkan berkurangnya keharmonisan dalam sebuah
keluarga. Bahkan persoalan ekonomi ini mewarnai sebagian besar kasus
perceraian yang terjadi, Sejumlah kasus juga memperlihatkan bahwa sebagian
besar masalah pernikahan berpangkal pada persoalan ekonomi. Hal ini didukung
dengan hasil wawancara dengan salah satu narasumber berinisial ibu ST. Ibu ST
menyatakan bahwa pangkal permasalahan rumah tangganya muncul sejak
suaminya tidak bekerja dan setiap ibu ST meminta suaminya untuk bekerja,
Universitas Sumatera Utara
98
98
mereka selalu berakhir dengan pertengkaran hingga ibu ST juga mendapat
kekerasan fisik dari sang suami.75
Sumber : Hasil kuisioner yang disebar di Pengadilan Agama Medan
Pertengkaran yang terjadi dalam sebuah rumah tangga jika dilihat dengan
lebih detail terutama dipicu oleh kebutuhan ekonomi. Meskipun unsur ekonomi
bukan penyebab utama terjadinya perceraian namun harus diakui bahwa
kebutuhan ekonomi merupakan hal yang cukup utama bagi terjaganya keutuhan
rumah tangga.
Sebuah rumah tangga yang dibangun tentu perlu memenuhi kebutuhan
kehidupannya. Selain kebutuhan ekonomi sebagai ukuran nyata, keluarga juga
dibangun untuk memperoleh ketenangan baik secara psikologis maupun biologis.
Begitu juga kebutuhan terhadap perkembangan anak-anak secara edukatif.
Uang bukan segalanya dalam kehidupan berumah tangga, namun jika tidak
memiliki uang, bisa memicu munculnya sejumlah persoalan serius. Sulitnya
mendapatkan lapangan kerja, banyaknya PHK, tuntutan biaya hidup yang semakin
75 Hasil wawancara dengan Ibu ST selaku penggugat di Pengadilan Agama Medan pada
tanggal 23 Oktober 2018 pukul 11.30 Wib.
0
5
10
15
20
1
Faktor Pemicu Pertengkaran
Ekonomi KDRT Perselingkuhan Beda Pendapat
Universitas Sumatera Utara
99
99
meningkat, kenaikan harga kebutuhan pokok, pengaruh gaya hidup hedonis, dan
lain sebagainya, menjadi daftar panjang persoalan ekonomi keluarga.
Dari hasil wawancara dengan masyarakat yang sedang menghadapi perkara
perceraian di Pengadilan Agama Medan Tahun 2018 ditemukan bahwa
permasalahan ekonomi dijadikan alasan untuk bercerai juga disebabkan oleh
beberapa faktor-faktor, yakni :
1. Suami belum memiliki pekerjaan tetap sementara istri tidak bekerja
2. Istri tidak mau membantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga
3. Menikah karena alasan cinta
4. Suami malas dan tidak mau bekerja
5. Istri boros
6. Penghasilan istri yang lebih tinggi dari suami
7. Latar belakang keluarga dari masing-masing pihak
8. Persamaan pandangan tentang arti kebahagiaan
9. Suami tidak jujur terhadap penghasilannya
Kondisi ekonomi suami yang tidak memiliki penghasilan yang tetap
sementara istri tidak memiliki penghasilan dan cenderung melimpahkan urusan
mencari nafkah kepada suami. Kondisi ekonomi suami yang lemah juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat susah untuk
mencari pekerjaan. Hal ini menyebabkan suami bekerja serabutan sehingga
penghasilan tidak mampu menutupi kebutuhan keluarga. Dilain pihak
Universitas Sumatera Utara
100
100
kecendrungan yang sering terjadi ketika suami tidak mampu memenuhi kebutuhan
keluarga, istri tidak berusaha membantu menopang kebutuhan keluarga.
Bahkan bagi keluarga yang istri ikut andil dalam bekerja seringkali kesenjangan
pendapatan yang diperoleh selama berumah tangga menjadi salah satu hal yang
mempengaruhi meningkatnya pengajuan gugatan perceraian dari pihak istri., Istri
merasa bahwa suami kurang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari, sehingga merasa bahwa dirinyalah yang sangat berperan aktif didalam
perekonomian keluarga.
Selain factor eksternal peningkatan perceraian juga berasal dari dalam diri suami
maupun istri yakni berupa rasa egois, tidak ada yang mau mengalah, tidak ada
rasa tanggung jawab dalam diri suami, kurangnya rasa bersyukur, dan tidak ada
kerja sama yang baik diantara suami dan istri.
Hal ini dapat memperkeruh suasana didalam rumah tangga dan menyebabkan istri
dengan pertimbangan yang tidak matang merasa bahwa dirinya tidak dapat
bertahan dalam kondisi ekonomi keluarga yang seperti itu dan jalan keluar yang
dianggap paling mudah adalah dengan bercerai.
Mengukur kebutuhan ekonomi sebuah rumah tangga tidak cukup dengan
mengambil parameter kebutuhan fisik atau hidup minimum seperti ketentuan yang
dikeluarkan pemerintah. Kebutuhan pokok tidak lagi hanya berupa unsur pangan,
sandang dan papan. Kebutuhan lain menyangkut biaya rumah tangga, seperti
rekening telepon, biaya listrik dan pendidikan anak serta biaya untuk kegiatan
Universitas Sumatera Utara
101
101
sosial kemasyarakatan yang tak kalah pentingnya. Jumlah pengeluaran untuk
hal-hal tersebut jauh lebih besar daripada pengeluaran untuk kebutuhan pokok.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian memegang peran sangat
penting dalam sebuah rumah tangga. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga yang lainnya, untuk memenuhi kebutuhan makan saja tidak sedikit
rumah tangga yang mengalami kesulitan. Apalagi jika suami tidak bekerja atau
penghasilan suami yang tidak mencukupi sehingga istri turut serta bekerja.
Pada kondisi ini bagaimanapun kuatnya ketahanan rumah tangga pada
akhirnya dapat berakhir juga. Jika suami dan istri tidak memahami makna
perkawinan dan kurang rasa toleransi dan bekerja sama dalam mengarungi bahtera
rumah tangga. Apalagi pemerintah tidak memiliki mekanisme jaminan sosial bagi
rumah tangga menengah kebawah seperti yang diterapkan di Amerika.
Disamping itu adanya pandangan di tengah masyarakat bahwa faktor
penentu kebahagian dalam pernikahan adalah harta benda yang dimiliki. Hal ini
juga dipengaruhi dari dalam diri manusia itu sendiri yang merasa kurang
bersyukur.
Universitas Sumatera Utara
102
102
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan. Di dalam pasal 38
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 113
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi
karena kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Perceraian walaupun
diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri,
apabila cara – cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat
mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut.
Alasan-alasan yang dibenarkan menurut undang-undang untuk dapat terjadinya
perceraian tertuang dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1974 yang menyatakan bahwa salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 9dua) tahun berturut dan
pasal 161 Kompilasi Hukum Islam
2. Hasil penelitian menunjukkan terdapat kenaikan angka perceraian dalam
beberapa tahun terakhir di Pengadilan Agama Medan. Sejalan dengan kenaikan
jumlah perkara yang diputus terlihat angka cerai gugat (dimana isteri
102 Universitas Sumatera Utara
103
103
mengajukan gugatan perceraian) jauh lebih tinggi dibanding angka cerai talak.
Panitera Pengadilan Agama Medan, Bapak Zumrik menyampaikan 2057 kasus
perceraian telah dikabulkan dan diputus oleh pihak Pengadilan. Merujuk pada
data perceraian di Pengadilan Agama Medan, angka cerai gugat pada Januari-
September 2018 mencapai 76,015% dibanding cerai talak yang mencapai
23,985%.
3. Faktor ekonomi sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Medan
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa penyebab faktor
ekonomi sebagai alasan perceraian yang dikemukan oleh pihak-pihak yang
bercerai di Pengadilan Agama Medan merupakan faktor eksternal yang
meliputi, suami yang belum memiliki pekerjaan tetap sementara istri tidak mau
bekerja, penghasilan istri yang lebih tinggi dari suami, suami malas dan tidak
mau bekerja, istri tidak mau membantu suami dalam mencari, adanya turut
campur dari orang tua serta berkembangnya paham hedonisme dan feminisme
Hasil penelitian menunjukkan 75% pasangan yang telah menikah menyatakan
bahwa faktor pemicu pertengkaran adalah masalah ekonomi. Bahwa perceraian
karena ekonomi terjadi selain dipengaruhi oleh faktor eksternal juga
dipengaruhi faktor internal yang sangat mempengaruhi yakni, kurangnya rasa
bersyukur dari pihak suami ataupun istri yang menyebabkan tidak pernah
merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini, tidak ada kerja sama yang baik
antara suami dan istri, perbedaan cara pandang tentang suatu kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
104
104
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis mengemukakan
saran-saran sebagai berikut :
1. Di Indonesia tingkat pendidikan sangat mempengaruhi dan menentukan
perkerjaan dan besaran gaji yang akan diperoleh. Usia pernikahan yang
diizinkan untuk menikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yakni pria berusia 19 tahun dan perempuan berusia
16 tahun dinilai terlalu dini. Sehingga generasi muda malas melanjutkan
pendidikannya dan seringkali lebih memilih untuk menikah di usia dini
selepas tamat SMA. Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kematangan
emosional seseorang. Usia pernikahan yang diperbolehkan menurut
Undang-Undang haruslah dinaikkan sehingga taraf hidup ketika berumah
tangga telah terpenuhi sehingga ekonomi sebagai alasan perceraian dapat
diminimalisir.Hal ini juga berpengaruh pada tingkat kematangan
emosional seseorang.
2. Pemaksimalan peran orang tua dalam pemberian nasihat pra-nikah serta
peran BP4 dalam pemberian pendidikan tentang pernikahan dan keluarga
yang sakinah mawaddah warahmah bagi pasangan yang akan menikah
dalam upaya meningkatkan kualitas perkawinan umat Islam di Indonesia
untuk membimbing, membina dan mengayomi keluarga muslimin di
seluruh Indonesia
3. Dipersulitnya prosedur perceraian di Pengadilan Agama dan
memaksimalkan peran mediator.
Universitas Sumatera Utara
105
105
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman. 2004. Kompilasi Hukum Islam. Cetakan 4. Jakarta: Akedemia
Pressindo.
Al-Hamdani. 2002. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqh al- Mar”ah al Muslimah Fiqh Wanita.
Alih bahasa oleh Anshori Umar. Semarang: Asy-Syifa.
Al-Jauhari, Mahmud Muhammad, Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Al-Akhwat
Al-Muslimat wa Bina‟ Al-Usrah Al-Qur‟aniyyah, Alih bahasa oleh
Kamran As‟ad, Mufiliha Wijayatin. 2005. Membangun Keluarga Qur‟an,
Panduan Untuk Wanita Muslimah. Cetakan 1. Jakarta: Amzah.
Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Bahri, Zainul. 1993. Kamus Umum Khusus Bidang Hukum dan Politik. Bandung:
Angkasa.
Hadist Riwayat At-Tirmidzi No. 2411.
Harahap, Yahya. 1972. Hukum Perkawinan Nasional berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Medan: CV Zahir Treding Co.
Horwood, Fergusson D.M. L.J, A.L. Beautrais. 1981. The Measurement of Family
Material Well Being, Journal of Marriage and the Family.
Husein Muhammad. 2012. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender. Cetakan VI. Yogyakarta: LKS Printing Cemerlang.
Kassyaf Al-Qina. Jilid 13.
Lisan Al-„Arab. Jilid 10
Marzaki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup.
Marzuki, Nikmah. Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. II.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
105 Universitas Sumatera Utara
106
106
Muchtar, Kamal. 1987. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Mu‟jam, Maqayisi Al-Lughah. Jilid 5
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana-Prenadamedia Group.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Asis Safioedin. 1986. Hukum Orang dan Keluarga.
Bandung: alumni.
Rahman, Abdul. 2012. Perempuan Tanpa Kekerasan dan Diskriminasi. Cetakan 1.
Makassar: Alauddin Universty Press.
Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta:
PT.Bumi Aksara
Rudy, Badrudin. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunah. Jakarta: Al-I‟tishom.
Saleh, K. Wantjik. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Samin, Sabri, Nurmaya Aroeng. 2010. Buku Daras “Fikih II”. Cetakan 1.
Makassar: Alauddin Press.
Sanusi, Nur Taufiq. 2010. Fikih Rumah Tangga “Perspektif al-Qur‟an dalam
Mengelola Konflik Menjadi Harmoni. Cetakan 1. Depok: Elsas.
Sarong, A. Hamid. 2010. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Banda Aceh:
Yayasan Pena.
Sarwono. 2012. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika.
Simanjuntak, P.N.H. 2007. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Soekanto, Soejono, Sri Madmuji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Edisi 1-9.
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Subekti. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakata: PT. Internusa.
Sudarsono. 1992. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Universitas Sumatera Utara
107
107
Suggono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Susanto, Happy. 2008. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian.
Cetakan 2. Jakarta: Transmedia Pustaka. Suud, Wiyanto. 2011. Buku Pintar Wanita-Wanita dalam Al-Qur‟an. Cetakan 1.
Jakarta Pusat: Niaga Swadaya. Syaifuddin, Muhammad. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika. Thalib, Sajuti. 1982. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Waluyo, Bambang. 1992. Sistem Pembuktian dan Peradilan Indonesia. Bandung:
Sinar Grafika.
Jurnal
Ernaningsih, Wahyu. 2011. Gambaran Kelabu Perceraian di Kota Palembang.
Sumber Cahaya, No.46 Tahun XVI, September 2011, FH Universitas Sriwijaya, Indralaya.
Horwood, Fergusson D.M. L.J, A.L. Beautrais. 1981. The Measurement of Family
Material Well Being, Journal of Marriage and the Family. Widyastuti, A. Reni. 2009. Peran Hukum dalam Memberikan Perlindungan
terhadap Perempuan dari Tindak Kekerasan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Jurnal Mimbar Hukum, FH UGM.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 UU Nomor 11 Tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
108
108
Website
www.bkkbn.go.id diakses pada tanggal 2 November 2018
www.bps.go.id diakses pada tanggal 2 November 2018
Universitas Sumatera Utara