TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif Salmonella typhii. Disebut Tifoid karena pada awalnya penyakit ini
memiliki manifestasi yang hampir sama dengan Demam Tifus yang disebabkan
oleh bakteri Rickettsia oleh karena itu penyakit ini diberi akhiran “id” yang berarti
mirip.
Di Indonesia sendiri penyakit ini lebih akrab dengan sebutan Tifus atau
Tipes karena kemiripannya dengan demam Tifus tersebut. Demam tifoid
merupakan suatu infeksi fecal-oral yang nantinya akan menyerang saluran cerna
khususnya usus halus (jejunum dan ileum) dilanjutkan dengan masuknya ke
dalam aliran darah (bakteremia) yang akan menyebabkan gejala atau tanda yang
khas tempat dimana kuman melewati organ selama bakteremia tersebut.
2. Etiologi
Salmonella sp. adalah salah satu strain dari bakteri gram negative bentuk
bacil atau batang, tidak berspora, tidak berkapsul, bergerak dengan flagella
peritrik, memiliki ukuran 2-4 µm x 0,5 -0,8 µm. Kuman ini tumbuh dalam suasana
aerob dan fakultatif anaerob, mati dalam suhu 56oC dan pada keadaan kering. Di
dalam air dapat bertahan selama 4 minggu dan hidup subur dalam media yang
mengandung garam empedu. Memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel) dan antigen Vi
Berdasarkan serotipenya kuman Salmonella dibedakan menjadi 4:
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Serotipe
group D.
Salmonella typhi, Paratyphi A, dan Paratyphi B merupakan penyebab
infeksi utama pada manusia, bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral, biasanya
dengan mengkontaminasi makanan dan minuman. Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp. adalah keasaman
lambung, flora normal usus, dan ketahanan usus lokal.
3. Epidemologi
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic
di Asia, Afrika, Amerika Latin, kep. Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia.
Penyakit ini tergolong menular yang dapat menyerang banyak orang melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2002 sekitar
16 juta per tahun, 600.000 diantaranya berakhir dengan kematian. Di Indonesia
prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun dengan kejadian
yang meningkat setelah usia 5 tahun.
Ada dua sumber penularan penyakit ini yaitu pasien yang menderita demam
tifoid dan yang lebih sering adalah dari carier yaitu orang yang sudah sembuh dari
demam tifoid tapi masih mengekskresikan S. typhii dalam tinja selama lebih dari
setahun.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin, tinja dalam jangka waktu
yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat
hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau kotoran
yang kering maupun pada pakaian. Mudah mati pada klorisasi dan pasteurinisasi
(temp 63oC).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman (carier), biasanya keluar bersama- sama dengan tinja (rute fecal-
oral). Dapat juga terjadi transmisi transprasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.
4. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,
post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan
Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-
sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.
Bagan patomekanisme Infeksi Salmonella typhi :
5. Gejala Klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid umumnya tidak khas, dan bervariasi dari
gejala yang menyerupai flu ringan sampai sakit berat dan fatal yang mengenai
banyak sistem organ. Secara klinis gambaran penyakit demam tifoid berupa
demam berkepanjangan, gangguan gastrointestinal dan keluhan susunan saraf
pusat. Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari
7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat
mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi. Dalam minggu kedua,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu badan
berangsur- angsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga. Perlu diperhatikan
bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas seperti di atas pada demam
tifoid. Tipe deman menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi
pengobatan (penggunaan antipiretik atau antibiotic lebih awal) atau komplikasi
yang terjadi lebih awal. Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat
menyebabkan kejang.
Mekanisme demam sendiri tidak jauh berbeda dengan mekanisme demam
akibat infeksi pada umumnya. Dimana Bakteri Salmonella typhi yang
memproduksi endotoksin merupakan pirogen eksogen selain mediator- mediator
radang yang disekresi oleh sel- sel mukosa usus yang mengalami infeksi (IL-1,
IL-6, TNF-alfa, & IFN-6) yang merupakan pirogen endogen. Kedua pirogen ini
akan mengaktivasi pelepasan Fosfolipase A2 pada membran sel yang mana akan
mengaktivasi asam arakidonat yang melalui jalur siklooksigenase memproduksi
Prostaglandin E2 (PGE2). Prostaglandin E2 bersama dengan AMP siklik yang
diaktivasinya akan mengubah seting termostat yang terdapat di hipothalamus
sehingga terjadilah demam.
Gejala sistem gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
perut kembung, lidah kotor, sampai hepato-splenomegali. Gastrointestinal
problem biasanya dipengaruhi oleh peredaran bakteri atau endotoksinnya pada
sirkulasi. Dari cavum oris didapatkan lidah kotor yaitu ditutupi selaput putih
dengan tepi yang kemerehan kadangkala waktu lidah dijulurkan lidah akan
tremor kesemua tanda pada lidah ini disebut dengan Tifoid Tongue. Meskipun
jarang ditemukan pada anak- anak tapi cukup berarti diagnostik. Gejala- gejala
lain yang tidak spesifik seperti mual, anoreksia. Karena bakteri menempel pada
mukosa usus dan berkembang biak dalam Peyer patch di dalamnya maka tidak
jarang akan muncul gejala- gejala seperti diare atau kadang diselingi konstipasi.
Diare merupakan respon terhadap adanya bakteri dalam lumen usus yang perlu
untuk secepatnya dikeluarkan, namun diare pada demam tifoid tidak sampai
menyebabkan dehidrasi, pun begitu dengan konstipasi yang mungkin baru dialami
setelah mengalami diare beberapa kali. Penderita anak-anak lebih sering
mengalami diare daripada konstipasi dewasa sebaliknya, hal itulah yang kadang-
kadang membuat sering miss diagnosis ketika penderita datang berobat.
Kuman yang mengalami perjalanan dalam sirkulasi (bekteremia) juga
menimbulkan gejala pada organ Retikulo Endotelial System salah satunya Hepar
dan Lien. Hepato- splenomegali terjadi akibat dari replikasi kuman dalam sel- sel
fagosit atau sinusoid. Replikasi dalam hepar dan lien ini tentunya akan
menyebabkan respon inflamasi lokal yang melibatkan mediator radang seperti
InterLeukin (IL-1, IL-6), Prostaglandin (PGE-2) dimana menyebabkan
permeabilitas kapiler akan meningkat sehingga terjadi oedema. Pembesaran pada
hepar-lien ini umumnya tidak selalu nyeri tekan dan hanya berlangsung singkat
(terutama terjadi waktu bakteremia sekunder). Penanda ini cukup spesifik dalam
membantu diagnostik.
Gangguan Sistem Saraf terjadi bila ada toksin yang menembus Blood Brain
Barier, pada anak gangguan sistem saraf akibat tifoid ini lebih sering bersifat
Sindrom Otak Organik yang berarti kelainan extra cranial mengakibatkan
gangguan kesadaran seperti Delirium, gelisah, somnolen, supor hingga koma.
Pada anak- anak tanda- tanda ini sering muncul waktu mereka tidur dengan
manifestasi khas “mengigau atau nglindur” yang terjadi selama periode demam
tifoid tersebut. Gangguan otak organik ini biasanya lebih berat ditemukan pada
demam tifoid pada keadaan lanjut yang sudah mengalami komplikasi. Pada
keadaan ini biasanya gangguan kesadaran tidak lagi ditemukan hanya sewaktu
tidur saja melainkan bisa timbul sewaktu- waktu.
Pada ekstremitas, punggung, atau perut mungkin didapatkan floresensi kulit
berupa ruam makulo papular kemerahan dengan ukuran 1-5 mm yang mirip
dengan ptechiae disebut dengan Roseola/ Rose Spot. Penyebab roseola ini karena
emboli basil dalam kapiler kulit terkumpul di bawah permukaan kulit sehingga
menyerupai bentuk bunga roseola. Ruam ini muncul paa hari ke 7-10 dan
beratahn selama 2-3 hari. Namun menurut IDAI penyakit tropik infeksi ruam/rose
spot ini hampir tidak pernah dilaporkan pada kasus anak di Indonesia.
Bradikardi Relatif, adalah tanda lain yang mungkin ditemukan pada infeksi
tifoid. Pada umumnya tiap kenaikan suhu 1oC akan diikuti oleh peningkatan
denyut nadi sampai 10x tiap menitnya. Namun pada demam tifoid peningkatan
suhu tubuh tidak diikuti oleh peningkatan denyut nadi sehingga dikatakan
bradikardi yang relatif pada demam. Bradikardi relatif ini juga cenderung jarang
terjadi pada anak.
6. Diagnosis
a. Anamnesis
Diagnosis cukup ditegakkan dengan gejala klinis yaitu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena pemeriksaan kuman melalui metode kultur memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mendapatkan hasil pasti Salmonella typhi.
Anamnesis yang perlu dievaluasi untuk mengarahkan kecurigaan terhadap demam
tifoid:
Demam, onset (hitung lama demam dari awal sakit sampai dibawa ke
pusat pengobatan), tipe demam (demam terutama pada malam hari dan
turun menjelang pagi hari), menggigil atau tidak, keringat dingin, sejak
kapan mulai demam tinggi terus tanpa suhu turun, disertai kejang atau
tidak.
Gejala gastrointestinal, Diare (sejak kapan, frekuensi, ampas +/-,
konsistensi, volume tiap diare, warna, darah, lender), konstipasi (sejak
kapan mulai tidak BAB), mual atau muntah, anoreksia, malaise, perut
kembung.
Gejala SSP, apakah anak sempat mengalami tidak sadar? Atau hanya
sebatas ngelindur atau mengigau saja waktu tidur.
Riwayat Penyakit dahulu ditanyakan untuk mencari tahu apakah pernah
sakit seperti ini, karena demam tifoid adalah infeksi yang sangat mungkin
menjadikan penderitanya sebagai carier atau pembawa meskipun tidak
menunjukkan gejala.
Riwayat Terapi, bila sudah mendapatkan terapi baik hanya antipiretik dan
atau antibiotika klinis penyakit kemungkinan sangat mungkin sudah
mengalami perubahan.
Riwayat kehidupan sosial adalah yang tidak boleh dilupakan mengingat
salah satu faktor resiko terjadinya penyakit adalah lingkungan yang padat
dan sanitasi perorangan yang kurang baik.
Riwayat makanan penderita perlu dicari kebiasaan makan atau minum
sembarangan atau di tempat yang kurang sehat dan mudah dihinggapi lalat
dan vektor penyakit yang lain. Riwayat pemberian ASI juga perlu
diketahui karena pentingnya ASI dalam pembentukan IgA yang berperan
dalam imunologi lokal dalam saluran cerna. Anak yang minum susu
formula sejak kecil tentunya memiliki saluran cerna yang kurang
diproteksi dengan baik oleh Imunoglobulin.
Riwayat Imunisasi. Selain imunisasi wajib pemerintah juga telah
ditemukan vaksin untuk penyakit ini. Bila setelah diimunisasi pasien tetap
terinfeksi Tifoid sangat mungkin titer antibodi yang dibentuk oleh
vaksinasi sebelumnya tidak cukup kuat untuk mengantisipasi infeksi
berikutnya. Atau terdapat kegagalan dalam vaksinasi yang dipengaruhi
banyak faktor.
b Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang
bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya. Keadaan Umum
anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang
sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya
adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.
Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang
mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada
infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cowong dan
bibir kering dengan rasa haus yang meningkat. Pemeriksaan intra oral evaluasi
lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai
tremor.
Pemeriksaan Thorax pada umumnya jarang didapatkan kelainan, kecuali
pada demam tifoid yang sangat berat dengan komplikasi extraintestinal pada
cavum pleura yang menyebabkan pleuritis, namun sangat jaarang terjadi pada
anak- anak.
Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik
pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella
typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising
usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi
organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata
dengan nyeri tekan minimal.
Pada extremitas, thorax, abdomen, atau punggung biasanya didapatkan rose
spot atau Roseola, yaitu ruam makulopapular kemerahan dengan diameter 1-5
mm. Namun sangat jarang terjadi pada anak- anak
c. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap, pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan
leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the
Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai
leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi
diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag
jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit
granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan
Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag
meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi
Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat
(leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid
itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada
keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus
sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.
Uji Widal, uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman
Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen
kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam
tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella
kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari
Salmonella Paratyphi A dan B)
Kultur, hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien
sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) volume darah yang
kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil
biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide
langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat
negatif, 4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi
meningkat (minggu pertama).
Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya
diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup
tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan
tubuh. Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik
yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu)
karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen
lain yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang
memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari
adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan
skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya
bermanfaat bagi carier tifoid.
Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella), IgM anti salmonella
atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro
semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut.
Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida
bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan >
91%.
7. Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang- kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis banding dari demam tifoid diantaranya
influenza/common cold, gastroenteritis akut, bronchitis atau bronkopneumonia
bila didapatkan tanda- tanda sesak, batuk dan demam. Pada demam tifoid yang
berat sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis
banding.
8. Penatalaksanaan
Prinsip utama dalam pengobatan demam tifoid adalah Istirahat dan
perawatan, diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), serta pemberian
antibiotika. Pada kasus tifoid yang berat hasus dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, eletrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
penyulit.
a) Istirahat dan perawatan bertujuan untuk menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Anak yang menderita demam tifoid sebaiknya tirah baring/
Bed rest total dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buang air kecil, dan buang besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi anak juga perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
b) Diet dan Terapi Penunjang (simtomatik dan suportif), bertujuan untuk
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet
merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid terutama sekali pada anak- anak, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun serta proses
penyembuhan yang akan menjadi lama.
Pemberian diet penderita demam tifoid awalnya diberi bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi,yang mana
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan karena usus
harus diistirahatkan. Pemberian makanan padat dini terutama tinggi serat seperti
sayur dan daging dapat meningkatkan kerja dan peristaltic usus sedangkan
keadaan usus sedang kurang baik karena infeksi mukosa dan epitel oleh kuman
Salmonella typhi. Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus.
Terapi penunjang/suportif lain yang dapat diberikan tergantung gejala yang
muncul pada anak yang sakit tersebut. Pemberian infus pada anak- anak penting
tapi tidak mutlak, mengingat resiko untuk terjadinya phlebitis cukup tinggi. Oleh
karena itu pemberian infuse sebaiknya diberikan bagi anak yang sakit dengan
intake perOral yang kurang. Jenis infus yang diberikan tergantung usia: 3 bln-3
tahun D5 ¼ Normal saline, > 3 tahun D5 ½ Normal saline. Jumlah pemberian
infus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pada anak. Kebutuhan kalori anak pada
infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
c) Antibiotika
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50
mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim
dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
d) Terapi penyulit. Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium,
stupor, koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3
mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam. Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegma dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume Z.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
2. Hegar, Badriul dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia Jilid 1. Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta:
Media Aesculapius.
4. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis
dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo
Surabaya.
5. Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.
6. Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
7. Wilson, dan Price. 2002. Patofisiologi Volume 1 Edisi Keenam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.