Download pdf - tradisi 5suro

Transcript

NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG

KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI

SKRIPSI

Diajukan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Agama Strata Satu Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh

NUNIK SILVI WAHDATI NIM : 9.3.3.1.022.00

Jurusan : Ushuluddin Program Studi : Perbandingan Agama Tahun Akademik : 2003 / 2004

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI ( STAIN )

K E D I R I 2004

i

NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG

KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI

Oleh NUNIK SILVI WAHDATI

NIM : 9.3.3.1.022.00

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN,M.Pdi NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491

ii

NOTA KONSULTAN Kediri, 5 Desember 2004 Nomor :

Lamp : 4 (empat) berkas K e p a d a

Hal : BIMBINGAN SKRIPSI Yth. Bapak Ketua Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri

Jl. Sunan Ampel No. 7

K E D I R I

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Memenuhi permintaan Bapak Ketua untuk membimbing penyusunan

skripsi mahasiswa tersebut di bawah ini :

N a m a : NUNIK SILVI WAHDATI

N I M : 9.3.3.1.022.00

Judul :NILAI-NILAI KEISLAMAN PADA TRADISI SUROAN DI

PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG

KECAMATAN PAGU KABUPATEN KEDIRI

Setelah diperbaiki materi dan susunannya, kami berpendapat bahwa

skripsinya telah memenuhi syarat sebagai kelengkapan ujian tingkat akhir Sarjana

Strata Satu (S-1).

Bersama ini terlampir satu berkas naskah skripsinya, dengan harapan

dalam waktu yang telah ditentukan dapat diujikan dalam sidang munaqosah.

Demikian agar maklum dan atas kesediaan Bapak kami ucapkan banyak

terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN, M.Pdi NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491

iii

NOTA PEMBIMBING Kediri, 5 Desember 2004 Nomor :

Lamp : 4 (empat) berkas

Hal : Penyerahan Skripsi

K e p a d a

Yth. Bapak Ketua Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri Kediri

Jl. Sunan Ampel No. 7

K E D I R I

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bersama ini saya kirimkan berkas skripsi Mahasiswa :

N a m a : NUNIK SILVI WAHDATI

N I M : 9.3.3.1.022.00

Judul :Nilai-nilai Keislaman Pada Tradisi Suroan Di Petilasan Sri Aji

Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri

Setelah diperbaiki materi dan susunannya sesuai dengan beberapa

petunjuk dan tuntunan yang telah diberikan dalam sidang munaqosah yang

dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 2004 kami dapat menerima dan

menyetujui hasil perbaikannya.

Demikian, agar maklum adanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. SARDJUNINGSIH, M.Si. Dra. ROBINGATUN, M.Pdi

NIP : 150 232 940 NIP : 150 288 491

iv

Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri

Dan Diterima Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Agama Strata Satu Dalam Ilmu Ushuluddin

Pada Tanggal 31 Desember 2004

Mengesahkan :

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Ketua

Drs. AHMAD DHOIFUR USMANY NIP. 150 178 723

Dewan Penguji :

1. Drs. H. Mundzir Thohir ( ) NIP. 150 220 824 Penguji Utama

2. Dra. Sardjuningsih, M.Si ( )

NIP. 150 232 940 Penguji I 3.Dra. Robingatun, M.Pdi ( )

NIP. 150 288 491 Penguji II

v

MOTTO

“Kebudayaan adalah cermin Kepribadian

Masyarakat dan jadikanlah sejarah sebagai

tonggak kehidupan”

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk :

1. Ibunda tercinta Purwanti dan Ayahandaku tersayang Qomari yang telah melahirkan

dan membesarkanku sejak kecil dengan penuh cinta kasih.

2. Adik-adikku tercinta Azis & Tutik yang telah banyak memberikan motivasi selama

penyusunan skripsi ini.

3. Sahabat terbaikku Zetty, Indah,, dan Diana yang telah banyak memberikan inspirasi

kepada saya dari awal penyusunan sampai terselesaikannya skripsi ini.

4. Teman-temanku semuanya yang ada di STAIN Kediri, terutama teman-teman kelas

Jurusan Ushuluddin prodi Perbandingan Agama.

5. Dosen-dosen STAIN Kediri dan para pembimbing Skripsi yang telah banyak

meluangkan waktu.

6. Someone yang paling istimewa bagi penulis, yang terukir di hati menjelang akhir

penulisan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah membantu.

vii

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi Rabbul

‘Alamin, karena taufiq serta hidayah-Nya yang tiada terhingga penulis menyelesaikan

skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberikan ridlo-Nya sehingga menjadi ilmu yang

bermanfaat di dunia dan akhirat.

Sholawat dan salam tiada pernah terlupakan penulis haturkan kepada junjungan

Nabi Besar Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga dan sahabat-sahabatnya, yang mana

beliaulah sebagai Rosul utusan Allah untuk membimbing umat manusia dari alam

kegelapan menuju alam yang terang benderang dalam menggapai kebenaran yang hakiki

untuk mencapai jalan yang diridloi Allah SWT, yakni kebenaran Islam.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penulisan skipsi ini terutama kepada:

1. Bapak Drs. Ahmad Dhoifur Usmany selaku ketua STAIN Kediri.

2. Ibu Dra. Sardjuningsih M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang selalu

memberikan masukan-masukan demi sempurnanya skipsi ini.

3. Ibu Dra. Robingatun, M.Pdi selaku dosen Pembimbing II, yang dengan sabar

memberikan bimbingan dan arahan hingga terselesainya skipsi ini.

4. Bapak Soni Harsono selaku kepala desa, bapak Gatot selaku panitia pelaksana

upacara suroan,serta bapak dari dinas pariwisata yang telah memberikan izin

penelitian di Petilasan Sri Aji Jayabaya serta bantuan berupa peminjaman

referensi-referensi yang berkaitan dengan skipsi ini.

viii

5. Ayahanda Qomari yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk

senantiasa menuntut ilmu setinggi mungkin beserta Ibunda Purwanti tercinta

yang tak henti-hentinya mendo’akan dengan penuh ketabahan dan kesabaran

hati kepada penulis yang disertai harapan dan kecemasan agar penulis menjadi

intelektual muslim serta insan kamil yang diridhoi Allah SWT.

6. Adik-adikku tersayang yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan skipsi ini.

7. Sahabat-sahabatku tercinta zetty dan si kecil Dhea, Indah serta Diana yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membantu terselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya kepada semua pihak tersebut di atas, yang dengan tulus ikhlas

berkorban untuk membantu dan memberikan dorongan kepada penulis sehingga

menambah kelancaran dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis hanya bisa membalas

dengan mendo’akan semoga amal baik mereka semua diterima oleh Allah SWT. Penulis

juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan dunia

pariwisata.

Tiada gading yang tak retak, demikian pula dalam penulisan skripsi ini tiada dapat

disangkal keberadaannya pastilah masih banyak ditemui kekurangan-kekurangan yang

masih jauh dari kesempurnaan , untuk itu saran dan kritik kontruksif senantiasa kami

harapkan demi sempurnanya skipsi ini.

Kediri, 5 Desember 2004

Penulis

ix

ABSTRAKSI

Nilai-nilai Keislaman Pada Tradisi Suroan Di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten kediri. Nunik Silvi W. Dosen pembimbing (1) Dra. Sardjuningsih, M.Si,Pembimbing (2) Dra. Robingatun, M.Pdi.

Kata kunci : Nilai-nilai Keislaman, Tradisi Suroan

Penelitian ini membahas tentang nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Joyoboyo Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri dan bagaimana nilai keislaman yang nampak dari pelaksanaan tradisi suroan tersebut, adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi suroan dan nilai-nilai keislaman yang ada di petilasan Sri Aji Jayabaya.

Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, peneliti menggunakan pendekatan atau jenis penelitian kualitatif. Sesuai dengan pendekatan ini, kehadiran peneliti dilapangan sangat penting. Kata-Kata dan tindakan yang diperoleh melalui informan merupakan sumber data utama dalam penelitian ini, sedangkan data tambahan berupa dokumen. Keseluruhan data tersebut diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, analisis data dilakukan dengan cara menelaah seluruh data yang ada, lalu mengadakan reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan, tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pengecekan keabsahan data dengan menggunakan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi.

Dari penelitian yang dilaksanakan diperoleh hasil penelitian sebagai berikut, pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Joyoboyo berupa : Acara pada malam satu soro meliputi kenduri dan mele’an di petilasan Sri Aji Joyoboyo, dan acara pada tanggal satu suro meliputi serangkaian kegiatan upacara yang di ikuti iring-iringan barisan mulai dari Kelurahan menuju ke Petilasan dengan rangkaian upacara yaitu menghaturkan keinginan keinginan penyelenggaraan upacara ziaroh, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabor bunga, caos dahar, peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan pusaka, caos dahar, penutup, yang kemudian dilanjutkan upacara di pamuksan berlanjut menuju sendang Tirto Kamandanu. Nilai-nilai keislaman dalam tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya berupa : adanya doa yang dipanjatkan pada acara selamatan malam satu suro, istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara selamatan malam satu suro. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara satu suro baik dipamuksan maupun sendang tirto kamandanu yang menggunakan kalimat-kalimat Gusti Engkang Moho Kuaos dan Gusti Engkang Moho Agung, maksudnya adalah sebutan Jawa yang predikatnya Kepada dzat yang Maha Kuasa yaitu allah SWT, Terdapatnya pembacaan doa selamatan

yang diawali dengan kalimat sebagai kalimat yang menyebutkan dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang.

x

DAFTAR INFORMAN

1. Bapak Sony Harsono Kepala Desa Menang Kecamatan Pare Kabupaten Kediri.

2. Bapak Misri, juru kunci petilasan Sri Aji Joyoboyo.

3. Bapak Mad Kamdari, juru kunci petilasan Sri Aji Joyoboyo.

4. Bapak Kamdyat, Kaur Bang Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

5. Bapak Edy, anggota panitia pelaksana upacara ziaroh satu Suro.

6. Pengunjung Petilasan diantaranya :Agus Priyanto, Tiono, Ir. I.Waka. Waskita.

7. Tokoh masyarakat sekitar diantaranya:pak Gatot, ibu Sri Rahayu, Sugeng.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ ii

HALAMAN NOTA KONSULTAN.......................................................................... iii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING......................................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ................................................................................................ vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ vii

KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii

ABSTRAKSI ............................................................................................................. x

DAFTAR INFORMAN .............................................................................................xi

DAFTAR ISI..............................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1

A. Konteks penelitian .............................................................................1

B. Fokus Penelitian ................................................................................5

C. Tujuan Penelitian ..............................................................................5

D. Kegunaan Penelitian .........................................................................6

BAB II LANDASAN TEORITIS .........................................................................7

A. Nilai-nilai Keislaman ........................................................................7

1. Pengertian Nilai-nilai Keislaman ................................................7

2. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam ........................8

xii

B. Budaya Jawa .....................................................................................12

1. Pengertian Budaya Jawa .......................................................12

2. Karakteristik Budaya Jawa ....................................................13

a. Kebudayaan Jawa Pra Hindu Budha ................................13

b. Kebudayaan Jawa masa Hindu Budha .............................14

c. Kebudayaan Jawa masa Kerajaan Islam ..........................15

3. Upacara ritual masyarakat Jawa ............................................16

4. Sistem-sistem Upacara Keagamaan ......................................25

C. Islam dan Budaya Jawa .....................................................................29

1. Dasar-dasar Budaya Jawa tentang Islam ...............................29

2. Sinkretisasi Budaya Jawa terhadap Islam .............................32

D. Sejarah Sri Aji Jayabaya ...................................................................34

1. Asal mula Sri Aji Jayabaya ...................................................35

2. Proses Pembentukan Kerajaan Kediri ...................................45

3. Indikasi Masuknya Islam ke Jawa masa Jayabaya ................51

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian .......................................................57

B. Kehadiran Peneliti / Lokasi Penelitian...............................................58

C. Sumber Data ......................................................................................59

D. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................61

E. Analisis Data .....................................................................................62

F. Pengecekan Keabsahan Data .............................................................63

G. Tahap-tahap Penelitian ......................................................................64

xiii

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ............................66

A. Paparan Data .....................................................................................66

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................66

2. Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya ........................73

B. Temuan Penelitian..............................................................................88

BAB V PEMBAHASAN ....................................................................................92

BAB VI PENUTUP .............................................................................................96

A. Kesimpulan ........................................................................................96

B. Saran-saran ........................................................................................97

DAFTAR PUSTAKA

BIBLIOGRAFI

xiv

RIWAYAT HIDUP

Nunik Silvi Wahdati. Lahir 14 Januari 1982 di Kediri Jawa Timur. Pendidikan Formal

Madrasah Ibtida’iyah di MI Roudhotut Tholabah Kolak (1988-1994).MTsN 2 Kediri

(1994-1997). Pada tahun 1997-2000 melanjutkan di SMU N 4 Kediri program IPA.

Pendidikan terakhir adalah STAIN Kediri dengan program studi Perbandingan Agama pada

jurusan Ushuluddin.

xv

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Al-Habib bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera Basritama, 2001.

Amin, Durrori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gamamedia, 2000

Abulgani, Ruslan, Penggunaan Ilmu Sejarah, Bandung: Prapantja,1963.

Bakker, SJ J.W.M., Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar, Jogjakarta: Pustaka Filsafat,

1994. Boechari, Beberapa Pertimbangan terhadap Permasalahan Pemindahan Pusat

Pemerintahan, Jakarta: Proyek Penelitian dari Jawa Timur ke Jawa Timur pada Abad ke-X M Purbakala, 1997.

Djoened Poesponegoro, Marwati dan Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia

Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Gazalba, Sidi, Asas Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.

Ghani,,Djuanidi Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Teknik dan Teori Grounded,

Surabaya: PT. Bila Ilmu, 1997

Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2000.

Hakim, A. dkk, Segi Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, tt.

Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan Jakarta: Gramedia,2000.

Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Koentjoroningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Kartodirdjo, Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu

Alternatif , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982.

Kartodihardjo, Sartono, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998

Luthfi Ibnu Iskak, Ismail, Pengaruh Unsur Kebudayaan India Kuno di Nusantara Abad V-

X Masehi, Fak. Sastra UM Prodi Sejarah, 2001.

xvi

Luthfi Ibnu Iskak, Ismail, Sejarah Indonesia Kuno, Fak. Sastra UGM, Prodi Sejarah, 1995

Magnis, Frans S,Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa Jakarta: Gramedia,1991.

Mustopo,M. Habib, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama, Malang: Fak. Sastra

Universitas Negeri Malang, 2002.

Murtadho, Islam Jawa, Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002.

Moertjipto dan Prasetya, Bambang, Mengenal Candi Siwa Prambanan dari Dekat

Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Mustopo, Habib, Prasasti Panwatan, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama, Fak. Sejarah UM, 2002.

Mustopo, Habib, Prasasti Cunggrang, IKIP Malang, 1991.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2000. Margono, S, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Milles, Mattew B. dkk., Analisis Data Kualitatif, Jakarta: PT. UI Press, 1992. Noersya, Sisbar, Sejarah dan Budaya dari Masa Kuna Sampai Kontemporer, Malang: UM

Press, 2003.

Poerwadarminto, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1968. Priyo Prabowo, Dhanu, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. NG. Ronggowarsito,

Yogyakarta: Narasi, 2003

Rosyada, Dede, Abudin Nata,Materi Pokok Agama Islam, Jakarta:Departemen Agama, 1995.

Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung : Refleksi Masyarakat Baru, 2003

Simuh,Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa Yogyakarta: Bentang

Budaya, 2002.

Soetarto R., Aneka Candi Kuno di Indonesia, Semarang: Dahara Prize, 2003.

xvii

Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, 51.

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Umar, Husain, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran, Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 1999. Zaini, Syahmin, Kuliah akidah islam, Surabaya : Al Ikhlas, 1983.

.

xviii

SURAT KETERANGAN

Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Desa Menang Kecamatan Pagu

Kabupaten Kediri, menerangkan bahwa :

Nama : NUNIK SILVI WAHDATI

NIM : 9331.022.00

Perguruan Tinggi : STAIN KEDIRI

Jurusan : Ushuluddin

Program Studi : Perbandingan Agama

Judul Skripsi : Nilai-nilai KeIslaman pada Tradisi Suroan di Petilasan

Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu

Kabupaten Kediri

Benar-benar telah melaksanakan penelitian di Desa Menang Kecamatan Pagu

dalam rangka menyelesaikan skripsinya.

Demikian surat keterangan ini kami buat, semoga dapat dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Kediri, 9 Desember 2004

Mengetahui

Kepala Desa Menang Kec Pagu, Kediri

Sony Harsono

xix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Kebudayaan umumnya dikatakan sebagai proses atau hasil krida, cipta, rasa,

dan karsa manusia dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari

alam sekelilingnya. Manusia tidak hanya puas dengan apa yang terdapat dalam

kebendaan saja. Akan tetapi manusia memiliki wawasan dan tujuan hidup tertentu

sesuai dengan kesadaran dan cita-citanya. Karena itu, ada enam nilai yang amat

menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia maupun masyarakat. Mengenai

keenam nilai budaya, St. Takdir Alisjahbana mengatakan, sebagaimana yang dikutip

oleh Dr.Simuh antara lain:

1) Nilai teori, yaitu proses penilaian teori yang menuju kearah pengetahuan,

tujuan proses penilaian ini untuk mengetahui alam sekitar dan menentukan

dengan objektif.

2) Nilai ekonomi, yaitu nilai yang mendorong untuk maju atau dalam kata lain

merupakan aspek progresif dari kebudayaan. Proses penilaian ekonomi berlaku

menurut logika efisiensi dan bertujuan untuk memberikan kontribusi pada

kesenangan hidup.

3) Nilai agama, dalam penilaian ini manusia menyikapi ekspresi rahasia dan

kebesaran hidup alam semesta dengan penuh takzim dan penuh tremendum et

facinans (kegemetaran dan ketakjuban).

1

4) Nilai estetik, penilaian yang bersifat keekspresifan terhadap benda-benda dan

kejadian-kejadian. Kombinasi antara nilai agama dan nilai seni yang sama-

sama menekankan intuisi, perasaan dan fantasi disebut aspek ekspresif

kebudayaan.

5) Nilai kuasa, yaitu proses penilaian kuasa yang bertujuan pada kekuasaan yaitu

perasaan puas jika orang lain mengikuti norma-norma dan nilai-nilai kita,

terlebih lagi bila kita mempunyai otoritas dan kuasa atas mereka.

6) Nilai solidaritas, proses penilaian yang menjunjung hubungan cinta,

persahabatan, simpati dengan sesama manusia, yang menghargai mereka

sebagai individu atau golongan dengan kemungkinan-kemungkinannya sendiri

dan perasaan puas jika dapat membantu dalam perkembangan kemungkinan-

kemungkinan mereka.1

Keenam macam nilai di atas memang merupakan kristalisasi berbagai macam

nilai kebudayaan manusia, sehingga keenamnya merupakan pilar yang menentukan

konfigurasi kepribadian dan norma etik individu dan masyarakat. Dari keenam nilai

tersebut, tentu ada nilai yang paling dominan, yang merupakan norma tertinggi dari

seluruh pola kehidupan pribadi dan masyarakat. Misalnya, jika nilai ekonomi yang

dipandang sebagai nilai utama, pasti pola tingkah laku cenderung ke arah paham

materialis. Karena tujuan utama adalah keuntungan, tentu ia menghalalkan segala

cara dan tidak memperdulikan halal dan haram.

1. Simuh, Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung : Refleksi Masyarakat Baru, 2003), 2.

2

Demikian pula jika kekuasan menjadi nilai utama. Kedudukanlah yang

diutamakan, sehingga jalan apapun untuk merebut dan mempertahankannya

dipandang halal. Tetapi jika nilai ilmiah yang utama, lahirlah idealisme yang rela

berkorban bagi perkembangan ilmiah, namun, nilai ilmiahpun sangat mungkin

terjerumus ke dalam paham materialis dan sekularis.

Tiga nilai budaya, yaitu nilai agama, seni dan solidaritas, berkaitan dengan

rasa yang bersendi pada perasaan, intuisi dan imajinasi. Budaya ekspresif umumnya

berwatak konservatif. Agama misalnya, jika tidak didukung oleh pemikiran yang

rasional, ia mudah terjerumus ke dalam penghayatan serba mistik dan ghoib yang

ekstrim dan irasional. Karena itu, yang utama bagi kemajuan umat manusia adalah

bagaimana cara mengembangkan budaya yang memiliki keserasian nilai progresif

dan ekspresif. Hal ini hanya mungkin jika nilai agama dijadikan sendi utama dan

didukung oleh nilai teori dan ekonomi.

Pada hakekatnya kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani, artinya hanya

terdapat pada mahluk manusia saja, maka kedudukan manusia disitu adalah sentral,

tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Hewan serta alam sekitar kita disebut alam

buta karena tidak dapat menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan terdiri dari beberapa

unsur yang membentuk satu kesatuan. Keselarasan antara unsur di dalamnya

merupakan suatu hal yang sangat penting dan diperlukan. Kebudayaan mengandung

nilai-nilai, karena itu kebudayaan dihubungkan dengan hal-hal yang baik, yang

bermanfaat, yang indah dalam kehidupan manusia.2

2. J.W.M. Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan sebuah pengantar,(Jogjakarta:Pustaka Filsafat, 1994),139.

3

Kebudayaan mempunyai berbagai bentuk dan beberapa unsur. Salah satu unsur

di antara unsur-unsur atau nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan adalah sistem religi

atau kepercayaan. Dari unsur yang berupa sistem religi tersebut, dapat mempunyai

wujud sebagai sistem keyakinan dan gagasan dari Tuhan, dewa-dewa, roh para leluhur

dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar manusia memiliki kemantapan,

keseimbangan dalam kehidupan lahiriyah maupun batiniyah. Dalam kebudayaan

Jawapun dikenal bahwa, mengadakan kontak dan komunikasi dengan leluhurnya

merupakan upaya agar jalan hidupnya menjadi terang. Hal ini juga dimaksudkan

sebagai kontrol dalam mengisi hidupnya. Sistem religi atau kepercayaan yang

merupakan pondamen dan pegangan hidup masyarakat dapat diaktualisasikan atau

diwujudkan dalam bentuk upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat guna

memperingati, memuliakan terhadap roh para leluhur yang oleh masyarakat tersebut

dianggap dapat mendatangkan pengaruh kepada manusia yang masih hidup.

Demikian halnya dengan masyarakat desa Menang dan sekitarnya yang

mempunyai anggapan bahwa Sri Aji Jayabaya adalah leluhurnya, yang mempunyai

nilai religius dan karisma yang tinggi. Munculnya tradisi suroan yang berupa “Upacara

Ziarah Satu Suro” sebagai wujud dari anggapan mereka, dengan maksud mengenang,

mengagungkan dan memuliakan keluhuran serta kebesaran Sri Aji Jayabaya yang juga

sebagai putra Indonesia yang diberi anugrah oleh Allah sebagai raja yang besar, arif dan

bijaksana.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas maka timbul suatu keinginan dari

peneliti untuk mengadakan suatu penelitian guna mengetahui maksud, tujuan, dan nilai-

nilai keislaman dari upacara Ziarah Satu Suro yang telah mentradisi di kalangan

4

masyarakat Menang dan sekitarnya yang diadakan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Di

mana anggapan dari masyarakat yang berdomisili di desa Menang dan sekitarnya yang

mayoritas beragama Islam bahwa pelaksanaan dari kegiatan tradisi suroan tersebut

masih mengandung unsur-unsur/nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu dalam penelitian

ini, peneliti mengambil judul skripsi Nilai-nilai Keislaman pada Tradisi Suroan di

Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

B. Fokus Penelitian

Berangkat dari konteks masalah di atas, maka perlu kiranya masalah yang

luas ini difokuskan agar dalam pelaksanaan penelitian nanti, masalah atau segala

sesuatu yang perlu dan ingin diketahui menjadi jelas. Adapun fokus masalahnya

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa

Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri?

2. Bagaimanakah nilai-nilai keislaman yang nampak dari pelaksanaan tradisi suroan di

Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan peneitian yang ingin dicapai oleh peneliti adalah:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa

Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai Keislaman yang nampak pada

tradisi suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu

Kabupaten Kediri.

5

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilai-nilai

budaya yang terdapat di Indonesia.

2. Bagi masyarakat, sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat yang

beragama Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai keislaman yang terdapat pada tradisi

Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.

3. Bagi peneliti, sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap

ilmiah serta sebagai bahan dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Nilai-nilai Keislaman

1. Pengertian Nilai-nilai Keislaman

Nilai mempunyai pengertian sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna

dengan kemanusiaan, dan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan

hakikatnya.1 Pengertian ini sama dengan pengertian unsur, yaitu bagian yang

dianggap penting dalam suatu hal.2

Adapun keislaman berasal dari kata “Islam” yang mendapat konfiks”ke-an”

yang mempunyai makna menyatakan sesuatu hal tentang apa yang disebut kata

dasar.3 Islam adalah kata-jadian Arab, asalnya dari aslama yang kata dasarnya

adalah salima, berarti sejahtera, tidak bercacat. Pengertian Islam dapat dirumuskan :

taat atau patuh dan berserah diri pada Allah, dengan kepatuhan dan penyerahan diri

secara menyeluruh itu terwujudlah salam, inti salam itu adalah selamat dan senang.4

Pengertian Islam menurut Abu A’la Al Maududi sebagaimana yang dikutip

oleh Syahminan Zaini adalah :

“Islam bukanlah hanya sekedar kepercayaan, tetapi juga Way of life. Islam menghendaki adanya kepatuhan secara mutlak kepada Tuhan tidak saja di dalam kepercayaan dan dalam beragam pemujaan tetapi juga dalam moral, di dalam kebudayaan, politik, hukum, ekonomi, aktivitas-aktivitas sosial dan di

1 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2000), 783. 2 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1968), 1130 3 A. Hakim dkk, Segi Praktis Bahasa Indonesia,( Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan,

tt), 58. 4 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1985) 5.

7

dalam kegiatan yang serupa, baik yang bersifat individual, bangsa maupun internasional.”5

Sedangkan menurut Mahmud Saltut sebagaimana yang dikutip oleh

Syahminan Zaini Islam adalah :

“peraturan yang diciptakan oleh Allah atau diciptakan pokok-pokoknya agar manusia berpegang padanya dalam berhubungan dengan Tuhan, dalam berhubungan dengan sesama, Muslim, dalam berhubungan dengan sesama manusia, dalam berhubungan dengan alam, dan dalam berhubungan dengan kehidupan itu sendiri.”6

Jadi nilai-nilai keislaman merupakan suatu hal, baik itu berupa kebudayaan,

politik, hukum ataupun ekonomi yang mengandung sifat-sifat keislaman atau bisa

dikatakan suatu hal tersebut bukanlah bertentangan dengan ajaran-ajaran agama

Islam.

2. Nilai-nilai yang Terkandung dalam Agama Islam

Luasnya materi ajaran agama Islam haruslah dipahami oleh seorang mu’min

yang ingin mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, akan tetapi dari kesemuanya

itu yang juga penting untuk diketahui adalah pemahaman tentang nilai-nilai atau

unsur-unsur yang terkandung dalam agama Islam. Nilai-nilai agama Islam tersebut

dapat dikategorikan menjadi empat hal, yaitu :

a. Nilai Kepercayaan Kepada Kekuatan Gaib

Di dalam agama, nilai keyakinan terhadap kekuatan gaib amat dominan.

Manusia menganggap bahwa kekuatan gaib itu sebagai sumber yang dapat

memberi pertolongan dan bantuan kepada dirinya terutama pada saat manusia

5 Syahmin Zaini, Kuliah Akidah Iislam, (Surabaya : Al Ikhlas, 1983) 42. 6 Ibid

8

tersebut menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh segenap

kemampuan yang dimilikinya, seperti terjadi angin topan, gempa bumi, banjir

dan sebagainya.

Nama dan bentuk dari kekuatan gaib ini tidak sama dalam setiap agama.

Pada agama-agama primitif seperti dinamisme, animisme dan politeisme,

kekuatan gaib diberi arti bermacam-macam. Pada agama dinamisme oleh orang

Melanesia disebut mana atau kekuatan batin yang bersifat misterius, oleh orang

Jepang disebut kami dan orang India disebut hari, dan orang Amerika Indian

menyebutnya wakan, orenda dan maniti.7

Bagi umat Islam, kekuatan gaib yang diimani adalah Tuhan Yang Maha Esa,

Allah SWT, maha Pencipta. Ia tidak dapat digambarkan dengan apapun juga. Ia

tempat memohon umat manusia, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidaklah

mengambil tempat tertentu, namun amat dekat kepada manusia dan sekalian

makhluk-Nya yang taat. Kepercayaan kepada kekuatan gaib ini amat penting

dalam agama Islam, dan biasanya dibahas lebih lanjut dan dikelompokkan ke

dalam bidang tauhid atau akidah. Unsur tauhid atau akidah. Itu merupakan yang

dominan dan mewarnai unsur ajaran Islam pada bidang yang lainnya.8

b. Kepercayaan bahwa kesejahteraan hidup di dunia dan akherat tergantung pada

hubungan yang baik dengan kekuatan gaib.

7 Dede Rosyada, Abudin Nata,Materi Pokok Agama Islam,(Jakarta:Departemen Agama,1995),12 8 Ibid., 13

9

Hubungan yang baik dengan unsur kekuatan gaib pada tahap selanjutnya

membentuk pola hubungan dengan Tuhan yang sifatnya tetap dan dapat

digunakan setiap waktu. Pola hubungan ini mengambil bentuk konsep ibadah

dalam ajaran agama. Dalam Islam juga terdapat ajaran yang mengatur hubungan

manusia dengan Tuhan, melalui konsep ibadah ritual yang pola pelaksanaannya

telah dibakukan oleh petunjuk Allah dan Rasul-Nya.9

Berbeda dengan tujuan ibadah dengan agama lainnya, dalam Islam

berhubungan dengan Tuhan bukan untuk merayu Tuhan atau membujuk Tuhan

atau menyenangkan Tuhan, sebagaimana hal itu terdapat dalam tujuan hubungan

dalam agama lainnya. Dalam Islam berhubungan atau ibadah dengan Tuhan,

dilakukan semata- mata karena ikhlas, terima kasih dan keta’atan kepada-Nya.10

c. Respon yang bersifat emosional.

Respon tersebut dapat mnengambil bentuk yang bermacam-macam

seperti perasaan takut yang dijumpai dalam agama-agama primitif atau perasaan

cinta yang dijumpai dalam agama monoteisme. Dalam agama primitif terdapat

kekuatan gaib yang diantaranya ada yang baik dan yang jahat. Kepada kekuatan

gaib tersebut mereka mengambil sikap hati tertentu seperti rasa takut melanggar

sesuatu yang menyenangkan. Berkenaan itu berkembang istilah yang disebut

tabu, larangan, dan pamali, yang dihubungkan dengan benda-benda tertentu atau

tempat-tempat tertentu.

9 Ibid., 15 10 Ibid

10

Kepada benda-benda tertentu seperti keris atau persenjataan kuno atau

pemujaan suci, mereka harus menunjukkan tempat yang hidmat, tidak membuat

gaduh. Hal itu dilakukan sebagai bentuk dari ungkapan jiwa terhadap kekuatan

gaib yang mereka hormati.11

Respon emosional dalam agama monoteisme atau agama yang

bertuhankan Tuhan Yang Maha Esa, mengambil bentuk mencintai-Nya, dengan

jalan melaksanakan segala perintah-Nya dan mejauhi larangan-Nya. Bentuk

respon ini dirumuskan dalam konsep takwa yang merupakan bekal hidup yang

dapat menyelamatkan perjalanan hidup di dunia, menuju kehidupan akherat yang

bahagia.

d. Paham adanya yang kudus

Paham atau keyakinan tentang adanya yang suci termasuk salah satu

unsur agama yang penting. Dalam keyakinan ini dijumpai adanya benda-benda

tertentu yang dianggap suci dan kepadanya para penganut agama harus

menghormatinya. Hal-hal yang dianggap suci itu dapat berupa kitab suci yang

berisi ajaran-ajaran dari suatu agama, tempat-tempat peribadatan seperti masjid,

gereja, wihara, klenteng, pura, peralatan untuk kebaktian seperti pakaian untuk

upacara keagamaan. Benda-benda tersebut dianggap suci karena dapat

dipergunakan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Tuhan diakui sebagai

Yang Maha suci harus didekati dengan cara yang suci pula.12

11 Ibid., 16 12 Ibid.

11

B. Budaya Jawa

1. Pengertian Budaya Jawa

Untuk memudahkan pemahaman dalam pembahasan ini, di sini peneliti akan

membagi dua pokok bahasan, yaitu budaya dan Jawa. Di mana kedua kata tersebut

mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda. Sebagaimana dalam KBBI kata

budaya berarti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.13 Berbeda

dengan pengertian kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan

akal.14

Koentjoroningrat secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi

unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan

organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata

pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.15

Sedangkan pengertian Jawa secara geologis ialah bagian dari suatu formasi

geologis tua berupa pegunungan yang menyambung dengan deretan pegunungan

Himalaya dan pegunungan di Asia Tenggara, dari mana arahnya menikung ke arah

tenggara kemudian ke arah timur melalui tepi-tepi dataran Sunda yang merupakan

landasan kepulauan Indonesia, yang memiliki luas 7% dari seluruh penduduk

Indonesia.16 Sementara yang disebut orang Jawa menurut Frans Magnis Sweno SJ.

Ialah “orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa, yaitu penduduk asli bagian

13 Hasan Alwi dkk, Kamus Besar,169. 14 Koentjoroningrat,Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan(Jakarta: Gramedia,2000),9 15 Ibid.,2. 16 Ibid., 3

12

tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa”.17 Karena di Jawa sendiri

menggunakan empat bahasa, yakni Melayu Betawi yang dipakai penduduk asli

Jakarta, bahasa Sunda Madura yang dipakai penduduk Jawa Barat bagian tengah

dan selatan, Bahasa Madura yang dipakai penduduk Jawa Timur bagian utara dan

beberapa varian bahasa Jawa Cirebon, Surabaya, Kediri, dan Madiun yang sedikit

berbeda.

Jadi dari uraian di atas, dapat kita ambil pemahaman bahwa budaya Jawa

yang dimaksud di sini adalah segala sistem norma dan nilai yang meliputi sistem

pengetahuan, kepercayaan, moral, seni, hukum, adat, bahasa, organisasi

kemasyarakatan, mata pencaharian, peralatan teknologi dan kebiasaan serta

kemampuan yang hidup di pulau Jawa dan masyarakat Jawa.

2. Karakteristik Budaya Jawa

Nilai budaya merupakan gagasan yang dipandang bernilai bagi proses

kelangsungan hidup. Oleh karena itu nilai budaya dapat menentukan karakteristik

suatu lingkungan, kebudayaan di mana nilai tersebut dianut.

Nilai budaya baik langsung ataupun tidak langsung tentu diwarnai tindakan-

tindakan masyarakatnya serta produk-produk kebudayaan yang bersifat material.

Dalam hal ini karakteristik kebudayaan Jawa dibagi menjadi tiga macam:

a. Kebudayaan Jawa pra-Hindu-Budha

Masyarakat Indonesia khususnya Jawa sebelum datang pengaruh agama

Hindu Budha telah merupakan masyarakat yang susunannya teratur sebagai

17Frans Magnis S,Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa(Jakarta: Gramedia,1991),11

13

masyarakat yang masih sederhana, wajar bila tampak dalam sistem religi

animisme dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh

aktivitas kehidupan masyarakatnya.

Agama asli oleh para pemikir barat disebut religion-magis ini merupakan

nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia khususnya

Jawa. Kepercayaan animisme-dinamisme sangat mempercayai roh-roh halus dan

daya-daya magis tersebut terdapat dalam alam semesta atau alam rohani yang

eksistensinya dapat mempengaruhi dan menguasai hidup manusia. Roh-roh dan

tenaga-tenaga ghaib ini dipandang sebagai Tuhan-Tuhan yang Maha Kuasa

yang dapat mencelakakan serta sebaliknya menolong kehidupan manusia.18

Karena hukum ada yang mengikat dan mengatur seluruh kehidupan,

maka masyarakat Jawa pada masa pra Hindu-Budha bersifat konservatif dan

statis.

b. Kebudayaan Jawa Masa Hindu-Budha

Pengaruh kebudayaan India (Hindu-Budha) bersifat ekspansif,

sedangkan kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-

unsur Hinduisme-Budhisme, prosesnya bukan hanya bersifat akulturasi saja,

akan tetapi kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur

agama dan kebudayaan India. Di sini para budayawan Jawa bertindak aktif,

18 Simuh,Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),114

14

yakni berusaha mengolah unsur-unsur agama dan kebudayaan India untuk

memperbaharui dan mengembangkan kebudayaan Jawa.

Karena proses penyebaran Hinduisme di Jawa, bukan para pendeta-

pendeta yang aktif, tetapi golongan cendekiawan atau kaum priyai Jawa, maka di

tangan mereka unsur-unsur Hinduisme-Budhisme mengalami Jawanisasi bukan

sebaliknya, sehingga wajar jika agama dan kebudayaan Hinduisme-Budhisme

tidak diterima secara lengkap dan utuh.19

c. Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam

Islam datang ke Indonesia dan Jawa khususnya mendatangkan

perubahan besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya. Islam

memperkenalkan dasar-dasar pemikiran modern. Demikian pula Islam

memperkenalkan Mekah sebagai pusat ruang yang mendorong berkembangnya

kebudayaan persisiran dan membudayakan peta geografis.

Penyebaran Islam di Jawa untuk beberapa abad tidak dapat menembus

benteng kerajaan Hindu kejawen sehingga penyebaran Islam harus merangkak

dari bawah di daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisiran yang melahirkan

lingkungan budaya baru yang berpusat di pesantren. Baru abad ke-16 M dakwah

Islam mulai menembus benteng-benteng istana, di mana unsur-unsur Islam

mulai meresap dan mewarnai sastra budaya istana, yakni dengan berdirinya

budaya Islam, Demak yang mendapat dukungan dari para wali tanah Jawa.

19 Ibid., 119.

15

Masuknya unsur-unsur Islam dalam bahasa dan sastra Jawa

menyebabkan bahasa ini mulai terpecah dan menjadi dua, yakni bahasa Jawa

kuno dan bahasa Jawa baru. Bahasa Jawa kuno merupakan bahasa sebelum

zaman Islam Demak yang kemudian tersisih dari Jawa, namun tetap bertahan di

pulau Bali.20

Kesultanan Demak sebagai kerajaan Jawa-Islam merupakan titik mula

pertemuan antara lingkungan budaya istana yang bersifat kejawen dengan

lingkungan budaya pesantren.

3. Upacara Ritual Masyarakat Jawa

Terdapat banyak tindakan-tindakan keagamaan dalam sistem ritual

masyarakat Jawa, upacara yang terpenting adalah upacara makan bersama, yang

dalam bahasa Jawa disebut slametan, seperti halnya dalam semua religi, upacara-

upacara kematian juga yang menyangkut berbagai slametan, merupakan hal yang

penting dalam upacara ritual masyarakat Jawa. Berkaitan dengan pemujaan roh

orang yang telah meninggal dan pemujaan roh nenek moyang maka adat untuk

mengunjungi makam keluarga atau disebut nyekar dapat juga dianggap sebagai

bagian dari upacara ritual masyarakat Jawa. Berbagai upacara keagamaan yang

dilakukan dengan slametan oleh orang Jawa juga dilakukan pada upacara yang

berhubungan dengan hari-hari besar Islam. Hal yang sangat penting adalah

berbagai perilaku keramat seperti puasa/syaum, tirakat, bertapa dan bersemedi.

20 Ibid., 127.

16

Selain itu masih ada upacara ritual penting yang perlu mendapat perhatian khusus

yaitu upacra bersih desa.

Diantara upacara ritual masyarakat Jawa antara lain:

a. Slametan/wilujengan

Adalah suatu upacara pokok/unsur terpenting dari hampir semua ritus

dan upacara ritual dalam masyarakat Jawa pada umumnya. Suatu upacara

slametan biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-

anggota keluarga pria dan biasanya tetangga-tetangga terdekat, kenalan-kenalan

yang tinggal tidak terlalu jauh, kerabat-kerabat yang tinggal di kota/dusun yang

sama, ada kalanya teman-teman akrab yang tinggal agak jauh. Upacara ini

biasanya pada malam hari dan bertempat pada serambi depan untuk duduk di

bentang tikar-tikar dan di tengah-tengah ruangan diletakkan dua atau tiga buah

tampah berisi hidangan slametan, terdiri dari nasi tumpeng lengkap dengan lauk

pauk dan hiasannya. Pada waktu modin berdo’a para tamu tetap duduk bersilang

kaki dengan kedua telapak tangan diletakkan di atas lutut dan menghadap ke

atas, para tamu pada waktu-waktu tententu menyeling dengan mengucapkan

“amin”.

Apabila do’a sudah selesai diucapkan, maka modin dipersilakan oleh

tuan rumah untuk bersantap disusul para tamu lainnya. Tamu-tamu biasanya

hanya makan sedikit saja, sedangkan sisanya mereka bungkus di bawah pulang

17

Kecuali itu mereka masing-masing mendapatkan berkat, yaitu besek berisi

makanan serupa dengan yang dihidangkan untuk slametan.21.

Adapun do’a ini mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari

keinginan manusia yang diminta daripada leluhur, dan juga ucapan hormat dan

pujian kepada leluhur itu. Biasanya do’a diiringi dengan gerak dan sikap-sikap

tubuh yang pada dasarnya merupakan gerak dan sikap-sikap menghormati dan

merendahkan diri terhadap para leluhur, terhadap para dewata, atau terhadap

Tuhan. Kecuali itu juga arah muka atau kiblat pada waktu mengucapkan do’a,

selain itu pula dalam do’a ada suatu unsur yang lain, yakni kepercayaan bahwa

kata-kata yang diucapkan itu mempunyai akibat yang gaib, dan seringkali kata

yang diucapkan dianggap mengandung kekuatan sakti.22

b. Upacara-upacara sepanjang hidup

Kebudayaan agama Jawa mempunyai serangkaian upacara tersendiri

untuk merayakan berbagai peristiwa penting sepanjang lingkaran hidup

individu. Upacara-upacara tersebut di antaranya tingkepan, melahirkan, upacara

memberi nama, upacara kekah dan upacara pemotongan rambut, upacara

menyentuh tanah, upacara khitanan.

Tingkepan merupakan upacara yang diadakan saat kandungan berumur 7

bulan, yang antara lain terdiri dari suatu slametan yang dinamakan dengan

21 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 344. 22 Koentjoroningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial(Jakarta: Dian Rakyat, 1992),264.

18

slametan mitoni, dan slametan mumuli sederek yang diadakan pada bulan 9 dari

kehamilan.23

Upacara yang dilakukan ketika seseorang melahirkan, seorang dukun

bayi atau bidan harus melakukan berbagai upacara baik yang praktis maupun

sebagai perlambang saja. Segera setelah bayi lahir ayahnya harus membisikkan

adzan ke telinga kanan sang bayi dan qhomat ke telinga kirinya. Orang yang

bukan santri dan biasanya tidak dapat mengucapkan kedua kalimat itu, dapat

meminta tolong orang lain. Setelah selesai melakukan rangkaian yang terpenting

yang berhubungan dengan kelahiran bayi yang baru itu, dukun memandikan

wanita yang baru melahirkan, yang kemudian dipijat dan dibalur dengan ramuan

parem dan bobokan. Dan menyuruhnya minum jamu. Pengobatan seperti ini

diberikan terus menerus selama beberapa hari, sampai pasien merasa

kekuatannya pulih kembali. Selain itu terdapat slametan puput puser, yaitu

slametan yang diadakan berhubungan dengan terlepasnya tali pusat. Tali pusat

yang terlepas dan telah menjadi kering dibungkus di dalam sepotong kain

bersama beberapa buah rempah-rempah dan kemudian dijahit rapat menjadi

jimat yang dianggap mengandung kekuatan ghaib.24

Upacara memberi nama pada hari kelahiran bayi diadakan upacara

disebut slametan brokohan. Upacara ini sekarang sudah jarang dilakukan para

23 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa,350 24 Ibid., 352.

19

keluarga Jawa biasanya melakukan upacara pemberian nama pada hari ke-7 dari

kelahiran.25

Upacara kekah, orang-orang santri di desa dan di kota yang taat

menjalankan syari'at agama Islam, mengadakan upacara berkorban pada hari

ketujuh di kelahiran bayi yang disebut dengan upacara kekah. Upacara ini

sekaligus memberi nama dan menyukur habis semua rambut bayi kecuali bagian

rambut di atas ubun-ubun.26

Tidak siten atau upacara menyentuh tanah, upacara ini merayakan

sentuhan pertama bayi dengan tanah, upacara ini selalu dilakukan pada pagi hari

dengan menggunakan berbagai benda seperti kurungan ayam, sebuah tampah

dengan nasi kuning dengan berbagai mata uang.27

Khitanan, biasanya diadakan dengan suatu pesta yang sama besarnya

dengan suatu pesta perkawinan. Orang Jawa pada umumnya menganggap bahwa

khitanan suatu upacara untuk meresmikan diri masuk Islam.28

c. Upacara kematian

Apabila ada orang yang meninggal, maka yang pertama dilakukan oleh

seseorang Jawa adalah memanggil modin dan mengumumkan kematian pada

para tetangga dan sanak saudara. Apabila modin tiba, ia memandikan jenazah

dengan bersama-sama orang lainnya yang dibaringkan di atas 7 buah batang

25 Ibid., 354. 26 Ibid. 27 Ibid., 355. 28 Ibid., 357.

20

pisang yang masing-masing panjangnya ± 1 m dan disusun rapat berdempetan.

Setelah selesai dimandikan, dikafani, disholati dan dikuburkan.29

d. Nyekar

Adat untuk mengunjungi makam, merupakan suatu aktivitas upacara

yang sangat penting dalam sistem religi orang Jawa penganut agama Jawi.

Terutama pada tahun pertama setelah seseorang anggota keluarga meninggal

dan ikatan-ikatan emosionalnya masih kuat, sehingga frekuensi mengunjungi

makamnya masih tinggi. Makam biasanya dikunjungi sehari sebelum

mengadakan salah satu upacara lingkaran hidup dalam keluarga, atau suatu

upacara yang berhubungan dengan hari besar Islam, tetapi yang terpenting

adalah selama pekan sebelum awal puasa dalam bulan Ramadhan, dan pekan

setelah Hari Raya.

Pada waktu nyadran ini makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga-

bunga, yang disusul dengan pembacaan do’a sambil membakar dupa. Apabila

tidak ada satupun pengunjung suatu makam yang dapat membacakan doa, maka

di sekitar tempat itu selalu ada orang yang siap melakukannya dengan upah

sekedarnya. Makam juga dikunjungi untuk memohon doa restu (pangestu)

kepada nenek moyang, terutama bila seseorang menghadapi suatu tugas berat,

akan bepergian jauh, atau bila ada keinginan yang sangat besar untuk

memperoleh sesuatu hal.30

29 Ibid., 359. 30 Ibid., 364.

21

e. Perayaan upacara tahunan

Banyak dari perayaan Islam diselenggarakan di Jawa dengan slametan

yang berbeda-beda untuk tiap peristiwa, dan dengan berbagai sajian yang

berbeda pula. Hari besar Islam yang pertama jatuh pada tanggal 10 Syura, yaitu

bulan pertama dari perhitungan tahun Islam. Para penganut Agami Jawi cukup

merayakannya dengan membuat bubur sura. Sedangkan keluarga-keluarga

santri merayakannya dengan berpuasa pada malam hari menjelang tanggal 10

Syura tersebut.

Bulan kedua yakni Sapar, berlalu tanpa ada kegiatan upacara

keagamaan, kecuali hari Rabu yang terakhir, yaitu Rebo Wekasan yang

dirayakan khusus oleh penganut Jawi di dalam suasana riang gembira.

Pada tanggal 12 bulan Maulud orang memperingati hari wafat dan hari

lahirnya Nabi Muhammad (Muludan) baik para penduduk desa maupun para

priyayi di kota-kota yang menganut agami Jawi, mengadakan slametan. Di

Kraton Surakarta dan Yogyakarta, Muludan dirayakan dengan menggunakan

pesta sekaten dan upacara kerajaan garebeg mulud.

Hari besar berikutnya adalah pada tanggal 7 Rejeb untuk memperingati

kenaikan Nabi Muhammad ke surga. Pada perayaan ini diadakan suatu slametan

yang dinamakan Rejeban atau Mi’radan. Orang Jawa penganut agami Jawi tidak

menganggap penting perayaan ini, berbeda dengan orang-orang santri, di hari itu

pergi ke masjid untuk menghadiri upacara selawatan.

22

Pada tanggal 15 Ruwah pada perayaan Nispu Sa’ban, atau Lailatu

‘Inishfmin Sya’ban, yaitu suatu saat di malam hari ketika Allah menentukan

siapa yang akan meninggal dalam tahun itu, para penganut agami Jawi

mengadakan slametan yaitu slametan barakah, dan lek-lekan. Orang santri

biasanya pergi ke masjid untuk membaca ayat-ayat suci sampai larut malam.

Pada tanggal 29 Ruwah adalah hari terakhir sebelum puasa. Orang

Agami Jawi yang sudah tidak memiliki orang tua lagi, atau salah satu dari

keduanya sudah meninggal, kadang-kadang mengadakan slametan untuk

peringatan orang meninggal. Dalam pekan sebelum puasa orang mengunjungi

makam. Sehari sebelum puasa dimulai, diadakan upacara mandi dan cuci

rambut. Bulan puasa dimulai pada tanggal 1 Poso, yang ditentukan berdasarkan

pengamatan munculnya bulan baru pada malam sebelumnya (ru’yah).

Pada tanggal 7 Sawal diadakan slametan yang dianggap masih ada

hubungan dengan berakhirnya masa berpuasa, yaitu slametan kupatan. Hari

besar berikutnya adalah pada waktu puasa jemaah di Mekkah mengadakan

upacara kurban, yang dagingnya dibagi-bagikan kepada para fakir miskin.31

f. Tirakat

Adalah usaha-usaha yang disengaja dalam bentuk menjalani kesukaran

dan kesengsaraan dengan maksud-maksud agama yang berakar dari asumsi

bahwa usaha-usaha semacam itu dapat membuat orang teguh imannya dan

mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam

31Ibid., 366-370.

23

hidupnya.32 Tirakat itu dapat mengambil bentuk lain puasa mutih (pantang

makan selain nasi), puasa ngebleg (puasa dengan menyendiri dalam suatu

ruangan), puasa patigeni (puasa dalam suatu ruangan yang pekat, tidak tembus

cahaya).

g. Tapabrata

Adalah ibadah yang dianggap penting dengan anggapan bahwa dengan

menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu

manahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan tententu. Tapa ini

berbentuk semedi atau laku tententu. Ada banyak bentuk tapa, yaitu antara lain

tapa ngalong (dengan menggantung terbalik, kedua kaki diikat pada dahan

pohon), tapa ngluwat (bersamadi di samping makam seseorang dalam jangka

waktu tententu), tapa bisu (menahan diri dari berbicara), tapa bolot (tidak mandi

dan tidak membersihkan diri dalam jangka waktu tententu), tapa ngidang

(menyingkirkan diri ke dalam hutan),tapa ngrumbung (menyendiri dalam hutan

dan hanya makan tumbuh-tumbuhan).33

h. Semedi

Semedi bisa disebut juga dengan meditasi, bersih dusun upacara yang

melibatkan semua warga dusun yang dilakukan di bulan Sela (Dzulqoidah) yang

berbentuk pembersihan diri dari kejahatan, dosa dan segala yang mengakibatkan

32 Murtadho, Islam Jawa, Keluar dari Kemelut Santri Vs Abangan (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama, 2002), 35.

33 Ibid., 36.

24

kesengsaraan. Ngruwat adalah upacara pembersihan untuk membebaskan

seseorang dari suatu kemalangan yang bukan akibat dari kesalahannya sendiri.34

i. Bersih desa

Upacara bersih dusun dilakukan sekali dalam satu tahun, yaitu pada bulan Sela

yakni bulan kesebelas dalam tanggalan Jawa. Walaupun demikian tanggal

dilakukannya berbeda-beda tiap desa, hal ini tercermin dari berbagai aspek dari

perayaan yang diselenggarakan berkenaan dengan upacara itu, yang

mengandung unsur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga

masyarakat. Akan tetapi perayaan ini juga menadakan adanya sisa-sisa adat

penghormatan terhadap roh nenek moyang. Upacara biasanya berlangsung di

suatu tempat dekat makam pendiri desa atau di rumah kepala desa. Perayaan

bersih dusun diadakan dengan suatu slametan yang dinamakan sedhekah bumi

atau sedhekah legena.35

4. Sistem-sistem Upacara Keagamaan

Kelakuan keagamaan atau religious behavior. Dunia gaib bisa dihadapi

manusia dengan berbagai macam perasaan, ialah cinta, hormat, bakti, tetapi juga

takut, ngeri dsd., atau dengan suatu campur dari berbagai macam perasaan tadi.

Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan

yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Kecuali itu di dalam hal

melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan itu, manusia selalu dihinggapi suatu

34 Ibid. 35 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, 374-375

25

emosi keagamaan. Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan

yang baku disebut upacara keagamaan atau religious ceremones, atau rites.

Menurut Koentjaraningrat tiap upacara keagamaan dapat terbagi dalam empat

komponen antara lain:

a. Tempat upacara

Tempat upacara yang keramat adalah biasanya suatu tempat yang

dikhususkan dan tidak boleh didatangi orang yang tidak berkepentingan.

Bahkan mereka yang mempunyai kepentingan tidak boleh sembarangan di

suatu tempat upacara. Mereka harus hati-hati dan memperhatikan berbagai

macam larangan dan pantangan.

Tempat upacara bisa pula terletak di suatu tempat pusat desa. Tempat

itu dipakai untuk melakukan upacara-upacara mengenai seluruh desa, dan

dianggap pusat dari seluruh desa. Pada pusat-pusat upacara desa serupa sering

ada bangunan-bangunan tertentu seperti tiang-tiang upacara dari kayu atau batu,

tahta-tahta batu, panggung batu, atau suatu rumah upacara. Kuburan biasanya

juga merupakan suatu tempat keramat yang dipakai sebagi tempat upacara

keagamaan. Hal ini mudah dapat di mengerti karena kuburan dibayangakan

sebagai tempat di mana orang dapat paling mudah berhubungan dengan ruh-ruh

nenek moyang yang meningal. Penghormatan kuburan nenek moyang adalah

memang suatu adat yang kita kenal tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di

hampir seluru dunia.36

36 Koentjoroningrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial,253.

26

b. Saat upacara

Saat-saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan

gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat-saat itu biasanya saat-saat

yang berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta.

Suatu saat upacara yang amat lazim adalah misalnya saat pergantian

siang dan malam. Hal ini kita lihat misalnya pada agama Islam, yang membuat

waktu magrib sebagai waktu bagi umatnya untuk sholat, serupa dengan banyak

religi yang juga membuat waktu senja sebagai saat upacara.37

c. Benda-benda dan alat-alat upacara

Benda-benda upacara merupakan alat-alat yang dipakai dalam hal

menjalankan upacara-upacara keagamaaan. Alat-alat itu bisa seperti wadah

untuk tempat sajian, alat kecil seperti sendok, pisau dsb. Untuk sajian juga,

sering kali senjata, bendera, dsb. Alat-alat upacara yang lazim di mana-mana

adalah patung-patung yang mempunyai fungsi sebagai lambang dewa atau ruh

nenek moyang yang menjadi tujuan dari upacara. Serupa dengan itu, topeng

juga merupakan benda upacara yang penting dari religi berbagai suku bangsa di

dunia. Topeng-topeng itu juga melambangkan dewa-dewa dan ruh-ruh nenek

moyang, dan dipakai dalam upacara-upacara keagamaan yang berupa tari-tarian

atau permainan seni drama yang keramat. Adapun suatu golongan benda-benda

yang hampir secara universal dipakai dalam upacara keagamaan adalah alat-

alat bunyi-bunyian. Hal ini disebabkan karena suara, nyanyian, dan musik,

37 Ibid., 254.

27

merupakan suatu unsur yang amat penting dalam upacara keagamaan sebagai

hal yang bisa menambah suasana keramat. Kecuali itu tarian suci atau

permainan seni drama keramat dalam upacara selalu membutuhkan iringan

suara.38

d. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara

Orang-orang yang pemuka upacara keagmaan dalam berbagai macam

religi dari berbagai macam suku bangsa di dunia biasanya terbagi dalam dua

golongan antara lain:

1) Pendeta

Pendeta adalah orang yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi

ahli dalam hal melakukan pekerjaan sebagai pemuka upacara keagamaan.

Berbagai macam upacara keagamaan sering harus dilakukan dengan

seteliti-telitinya, menurut aturan-aturan adat-istiadat keagamaan. Kesalahan

kecil sering dianggap dapat membatalkan seluruh maksud dari upacara,

bahkan dapat menimbulkan bahaya gaib. Tiap bagian dari rangkaian

perbuatan yang luas dan lama. Kecuali ahli dalam hal melakukan upacara,

pada khususnya untuk keperluan upacara itu para pendeta sering juga

mempelajari dan menyelidiki banyak hal lain.

2) Dukun atau syaman

Syaman atau sering disebut sebagai dukun;tetapi istilah itu baiknya

dipakai untuk segolongan dukun yang melakukan semacam upacara yang

38 Ibid., 256.

28

khusus. Banyak suku bangsa di daerah Siberia Utara dan timur, seperti

Yugakir, Tsyuksyi, atau berbagai suku bangsa Eskimo di pantai Kanada

Utara, mengenal upacara-upacara mengundang ruh nenek moyang dengan

memakai tubuhnya sendiri sebagai tempat untuk mengundang ruh itu.

Teknik mereka untuk melakukan hal itu adalah cara melakukan tarian yang

berlangsung lama sekali, yang membutuhkan banyak tenaga dan yang

diiringi bunyi lagu yang berulang-ulang sama saja. Dalam keadaan dan

suasana yang serupa itu penari akan mencapai suatu keadaan trance.

Pikirannya tidak sadar lagi, biasanya ia akan jatuh berguling-guling dengan

badan tegang bergemetaran, dan dari mulutnya akan keluar buih, dan ia

akan mengigau-igau. Pada saat trance itu ia dianggap dimasukin oleh ruh,

dan orang-orang bisa menghubungi ruh itu.39

C. Islam dan Budaya Jawa

1. Dasar-dasar Budaya Jawa tentang Islam

Membahas tentang budaya sesuatu maka tidak akan lepas kaitannya dengan

adat/tradisi maupun kebiasaan dari tempat budaya berasal, baik budaya tersebut

mengandung nilai yang baik maupun mengandung nilai yang tercela. Adapun

budaya sendiri menurut pengertiannya adalah semua tindakan manusia dalam

mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan.40

39 Ibid., 259. 40 Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh Islam dalam Karya-karya R. NG. Ronggowarsito (Yogyakarta:

Narasi, 2003), 24.

29

Lain daripada itu, Koentjoroningrat menyatakan bahwa “unsur-unsur

universal sebuah kebudayaan meliputi tujuh sistem, yaitu sistem religi atau sistem

keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan (sistem sosial), sistem

pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi dan

peralatan”.41 Semua sistem yang terkandung dalam budaya tersebut berada dalam

kehidupan seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat primitif maupun

masyarakat modern. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Islam

datang ke Indonesia khususnya di pulau Jawa membawa perubahan yang sangat

besar dalam pandangan manusia terhadap hidup dan dunianya.

Menurut beberapa sejarawan proses Islamisasi/masuknya Islam di Jawa

masih terjadi silang pendapat dan menjadi bahan perdebatan. Menurut B.J.O.

Schrieke, Islam masuk di Jawa pada tahun 1416 M dengan berdasarkan atas berita

dari Ma Huan, yaitu seorang muslim Cina yang mengunjungi daerah pesisir Jawa.

Berbeda dengan pendapat Schrieke, menurut J.P. Moquette, kedatangan Islam di

Jawa jauh lebih awal dari perkiraan tahun tersebut, terbukti dengan ditemukannya

sebuah prasasti yang berupa batu nisan tertulis sebuah nama Fatimah binti Maimun

di Leran (Gresik) yang berangka tahun 475 H atau 1082 M.42 Dari beberapa

pendapat tersebut baru sejak akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, terutama ketika

Majapahit mencapai puncak kebesarannya sehingga mendekati masa-masa

keruntuhannya, bukti-bukti Islamisasi dapat diketahui lebih banyak.

41 Ibid., 24.

30

Dari proses Islamisasi tersebut, maka dapat diketahui dasar-dasar budaya

Jawa tentang Islam, yaitu di antaranya tentang wahdatul wujud di mana adanya

pemahaman bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran budaya

Jawa hal ini termasuk ke dalam paham manunggaling kawulo Gusti. Sedangkan

dalam Islam sendiri hal tersebut masuk ke dalam mistik Islam (tasawuf).

Lain daripada itu masyarakat juga mempunyai kepercayaan bahwasannya

budaya Jawa memiliki dua bagian yakni budaya lahir dan budaya batin. Budaya

lahir berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan makhluk

sosial. Dalam hal itu budaya Jawa memiliki kaidah-kaidah yang dapat dengan

mudah diidentifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai

pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakat. Sebaliknya

budaya batin terkait dengan persoalan yang bersifat supranatural atau hal-hal yang

tidak dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empirik/objektif.

Adapun dasar-dasar Islam lainnya, Dhanu Priyo Prabowo menyatakan dalam

tulisannya bahwa “orang Jawa urip mung sadremo nglakoni dan gumantung

karsaning pangeran”.43 Oleh sebab itu orang Jawa mengidentifikasikan dirinya

sebagai wayang yang segala yang dialaminya ditentukan oleh dalang. Di mana

dalam hal ini wayang sebagai simbol manusia, dalang sebagai simbol Tuhan.

Sedangkan mengenai perihal kematian, masyarakat Jawa berkeyakinan bahkan

sebagai wujud keikhlasan mereka, mereka selalu menyatakan bahwa kematian

42 Ibid., 11. 43.Ibid., 27.

31

seseorang itu selalu dinyatakan dengan sowan dhateng ngarsaning pangeran atau

wangsul dhateng pangayunaning pangeran.

Dalam kehidupan masyarakat kehidupan orang Jawa memiliki semangat

hidup yang dilandasi sikap tepa slira dan aja dhumeh sampai mereka memiliki pola

pikir untuk tidak menjadi adigang adigung adiguna. Dalam Islam sendiri sangat

dianjurkan untuk hidup bermasyarakat sebagaimana anjuran Nabi Muhammad

dalam haditsnya yang menerangkan bahwa saudara satu dengan saudara yang lain

adalah satu, dan di antara mereka jangan sampai saling menyakiti.

Dari beberapa dasar-dasar di atas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar

tersebut muncul dari budaya Jawa itu sendiri dan Islam menyesuaikan diri yang

akhirnya Islam dapat dibumikan di pulau Jawa.

2. Sinkretisasi Budaya Jawa terhadap Islam

Sinkretisasi merupakan salah satu fenomena yang mungkin terjadi dalam

sejarah agama dalam membina kebudayaan. Adanya kemungkinan sinkretisasi itu

bisa ditelusuri dalam titik-titik singgung antara agama dengan agama lainnya. Dan

antara agama dengan kebudayaan tententu, adapun arti dari sinkretisasi adalah

penyesuaian antara dua aliran.44

Berbicara tentang sinkretisasi Islam dan budaya Jawa, pada kenyataannya

agama Islam pada saat itu relatif mudah diterima oleh orang Jawa baik masyarakat

awam maupun bangsawan. Hal ini dikarenakan ajaran-ajaran agama yang

terkandung dalam Islam itu sendiri masih berbau mistik (tasawuf). Dengan kata lain

44 Hasan Alwi, Kamus, 1072.

32

karena ajaran tasawuf bersifat supel dan suka berasimilasi serta menerima aneka

warna tradisi setempat.

Adapun titik kesesuaian itu adalah adanya paham bahwa manusia dapat

bersatu dengan Tuhannya (wihdatul wujud).45 Sesuai dengan paham yang dianut

masyarakat Jawa pada waktu itu, ajaran/paham wihdatul wujud diramu menjadi

ajaran/paham manunggaling kawula Gusnti yang dianut oleh sebagian masyarakat

Jawa dengan bercirikan kejawen. Sebagaimana contoh dari ajaran kejawen tersebut

adalah shalat lima waktu tidak dilaksanakan dengan taat oleh masyarakat Jawa,

penganut ajaran tersebut, perintah syaum yang dilaksanakan tidak sesuai dengan

syari'at Islam tetapi disesuaikan dengan tradisi Jawa. Misalnya poso mutih, poso

ngebleg, dan poso patigeni. Dengan demikian agama Islam di daerah pedalaman

(Jawa) menjadi agama Islam kejawen yang bersifat sinkretis. Menurut Simuh

sebagaimana yang dikutip oleh Dhanu Priyo Prabowo bahwa:

Penganut paham sinkretisme menganggap bahwa semua agama adalah baik dan benar dan mereka gemar memadukan unsur-unsur dari berbagai agama dan kepercayaan yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.46

Secara etimologis sinkretisme berasal dari perkotaan syin dan kretiozein atau

kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.47

Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang fasilitas dan teologi untuk

menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.

45 .Dhanu Priyo Prabowo, Pengaruh, 19 46 Ibid., 22. 47 Durrori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gamamedia, 2000), 87.

33

Lain daripada itu Darrori Amin mengutip perkataan dari Simuh bahwa: Sinkretisme

dalam beragama adalah suatu sikap/pandangan yang tidak mempersoalkan benar

salahnya sesuatu agama, atau suatu sikap yang tidak mempersoalkan murti atau

tidaknya suatu agama. Oleh sebab itu bagi yang menganut paham ini agama

dipandang baik dan benar, dan mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik

dari berbagai agama. 48

Ajaran agama Islam yang bersifat/bercorak sinkretis ini dapat merusak ke

seluruh lapisan masyarakat Jawa baik kalangan bangsawan kraton maupun

masyarakat pedesaan. Sebagaimana salah satu raja Jawa yang terkenal, Sultan

Agung dapat dikatakan sebagai raja yang berhasil mengsinkretiskan ajaran Islam

dengan budaya Jawa. 49 Sampai pada akhirnya beliau memiliki gelar senopati ing

Ngalaga Saiydin Panatagama. Gelar tersebut menunjukkan bahwa beliau adalah

orang yang menguasai urusan kerajaan sekaligus urusan agama. Pada saat itu juga

beliau berhasil memadukan unsur penanggalan masehi dengan hijriyah sehingga

terbentuklah sistem/penanggalan Jawa. Hal ini terjadi pada awal abad ke-16.

D. Sejarah Sri Aji Jayabaya

Pembahasan tentang raja Jayabaya menunjukkan esensi dialogis fakta-fakta

sejarah Jayabaya atau Sri Aji Jayabaya bernama lengkap dengan gelarnya Sri

Maharaja Sangmapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madhusudhanawatara Anindhito

48 Ibid., 48 49 Dhanu Priyo Prabowo,Pengaruh,22

34

Sahtisingha Parakrama Uttunggadewa. Gelar Jayabaya ini ditemukan pada prasasti

Ngantang dan prasasti padegelan II.50 Sejarah Jayabaya penting diketahui secara

kronologis dan bukan memandangnya dalam fokus atau petakan tententu dalam cara

pandang sejarah.

Sejarah Jayabaya dalam berbagai aspek hendaknya dibahas dalam kajian

analisis mulai dari sejarah Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah hingga

perkembangan dinasti I Cana di Jawa Timur. Pembahasan analitik dalam bentuk

dialog faktual historis, sejarah Jayabaya menunjukkan ketersambungan sejarah

dalam proses continuity and change, change intoprogrer atau sejarah sebagai proses

kontinyuitas yang terbangun ke arah kemajuan.51

Runtutan kronologi sejarah Jayabhaya membahas aspek-aspek, antara

lain:pertama, asal mula Jayabaya dan kerajaan Kediri, kedua proses pembentukan

kerajaan Kediri, ketiga silsilah Jayabaya, keempat indikasi-indikasi awal masuknya

budaya asing muslim masa Jayabaya. Pembahasan sejarah Jayabaya diuraikan dalam

kajian singkat di bawah ini.

1. Asal Mula Sri Aji Jayabaya

Sri Aji Jayabaya diketahui sebagai raja Kediri keturunan Airlangga dari

garis Panjalu. Airlangga sendiri secara berurutan mempunyai garis keturunan

dengan Rajya-Rajya Mataram Kuno Jawa Tengah. Berkaitan dengan asal mula Sri

Aji Jayabaya nampaknya perlu ditunjukkan dalam beberapa bagian periode dalam

50 M. Habib Mustopo, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama (Malang: Fak. Sastra Universitas Negeri Malang, 2002).

51 Ruslan Abulgani, Penggunaan Ilmu Sejarah (Bandung: Prapantja,1963), 35.

35

bentuk penjelasan silsilah Rajya-Rajya Mataram Kuno. Asal mula Sri Aji Jayabaya

dimulai dari Rajya-Rajya Mataram Kuno di Jawa Tengah berlanjut Mataram Kuno

di Jawa Timur, disertai silsilah rajya-rajya pasca Airlangga sebagaimana penjelasan

berikut ini:

a. Raja-raja Mataram Kuno Jawa Tengah

Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah disebut dengan nama

Kadatwan i Mdang i Bhumi Mataram.52 Mataram Kuno di Jawa Tengah

diketahui melalui prasasti Mantyasih prasasti wanwa tengah dan prasasti

siwagreha.53 Mataram Kuno Jawa Tengah diperintah oleh satu keluarga kerajaan

atau dinasty dalam bahasa Jawa disebut wangsa. Prasasti kalasan 778 masehi

menyebut Sailendra wangsa.54 Dengan kuat bahwa pendiri dinasti Mataram

Kuno Jawa Tengah adalah Dapunta Sailendra.

Prasasti Canggal disebut prasasti gunung wukir tahun 732 M

menunjukkan setelah Dapunta Sailendra penerusnya adalah Sanjaya dengan

menyebut wilayah kerajaannya sebagai Bhumi Mataram. Nama Sanjaya dalam

prasasti Mantyasih disebut sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti

Canggal memberikan informasi bahwa sebelum raja Sanjaya berkuasa di

Mataram adalah Sanna, yang merupakan saudara ibu Sanjaya yang bernama

Sanaha. Alasan digantinya Sanna oleh Sanjaya adalah kemungkinan Sanna tidak

52 Ismail Luthfi Ibnu Iskak, Pengaruh Unsur Kebudayaan India Kuno di Nusantara Abad V-X Masehi (Fak. Sastra UM Prodi Sejarah, 2001), 13.

53 Ibid., 14. 54 Ibid.

,

36

mempunyai keturunan. Sanjaya memerintah Mataram dengan pusat kerajaannya

di Poh Pitu, dalam prasasti Mantyasih tahun 901 M disebut pusat

pemerintahannya dengan “kadi landap nyan paka sapatha kamu rahyan ta

rumuhun rimdan ri poh pitu”, artinya seperti ketajaman kutukan raja yang

didewakan di masa lalu yang bertempat tinggal di poh pitu.55

Silsilah Rajya-rajya Mataram Kuno di Jawa Tengah nampak tidak

sulit, hal ini disebabkan dengan ditemukannya lempeng tembaga piagam

Balitung yang disebut prasasti Wanua Tengah III 908 M. Prasasti ini menyebut

nama-nama rajya setelah Sanjaya, secara berurutan nama-nama Rajya-rajya

yang memerintah kerajaan Mataram adalah sebagai berikut:

No. Nama Raja Masa Berkuasa

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sanjaya Rake Panangkarang Rake Panaraban Rake Warak Dyah Manara Dyah Gula Rake garung Rake Pikatan Dyah Saladu Rake Kayuwangi Dyah Lokapala Dyah Tagwes Rake Panumwangan Dyah Dewendra

717-746 M 746-784 M 784-803 M 803-827 M 827-828 M 828-847 M 847-855 M 855-885 M 885 M 885-887 M

No. Nama Raja Masa Berkuasa

55 Bachari, Beberapa Pertimbangan terhadap Permasalahan Pemindhaan Pusat Pemerintahan (Jakarta: Proyek Penelitian dari Jawa Timur ke Jawa Timur pada Abad ke-X M Purbakala, 1997), 4.

37

11 12 13

Rake Gurun Wangi Dyah Bhadra ng M Rake Wangkalhumalang Dyah Jba

Rake Watu Kuro Dyah Balitung

887 M 894-898898-913 M56

Dari beberapa prasasti lain ditemukan nama- ja Mataram

setelah

Mataram Kuno di wilayah timur antara lain

prasast

nama lain ra

Balitung, yang memberikan informasi bahwa Mataram mengalami

perpindahan pusat kerajaan di wilayah Timur Raja yang dimaksud adalah Rake

Hino Po Daksa, Rake Layang Dyah Tulodong, Rake Sumba (Pangkaja) Dyah

Wawa, dan Rake Hake pu Sindok.57

Perpindahan pusat kerajaan

i Ganesa 826 Saka, prasasti Kinawu 829 Saka, prasasti Sugih Manik 837

Saka, prasasti Harinjin 726 Saka, prasasti Batu Dikinawa 849 Saka, dan prasasti

Sanguran 850 Saka.58 Perpindahan kerajaan Mataram Kuno melalui prasasti-

prasasti yang ditemukan menunjukkan adanya pemisahan perhatian secara terus

menerus pemimpin Mataram Jawa Tengah kepada Jawa Timur. Pemindahan

pusat kerajaan Mataram Kuno menunjukkan berbagai analisis historis antara

lain bertalian dengan latar belakang pemindahannya yaitu: pertama, pusat

kerajaan Mataram Kuno dipindah karena adanya perang saudara antara Vansa

Sanjaya dan Vansa Sailendra. Kedua, terjadinya bencana alam terus menerus

dari gunung Merapi. Ketiga, adanya kelelahan luar biasa rakyat Mataram Kuno

yang disebabkan oleh kerja pembuatan bangunan suci di Borobudur dan

Prambanan. Kemungkinan-kemungkinan sebagai sebab perpindahan pusat

56 Ismail Luthfi, Pengaruh, 19. 57 , Sejarah Indonesia Kuno (Fak. Sastra UGM, Prodi Sejarah, 1995), 4-5. Ismail Luthfi Ibnu Iskak

38

kerajaan Mataram Kuno ini menjadi analisis wajib bagi pembahasan

kesejarahan kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Timur. Berkaitan dengan silsilah

raja dan kerajaannya, analisis lain tentang perpindahan pusat kerajaan Mataram

Kuno tidak tertutup kemungkinan, karena pada dasarnya pembahasan sejarah

lebih cenderung pada penawaran terhadap kemungkinan-kemungkinan dalam

interpretasi historis.59

b. no di Jawa Timur

di Jawa Timur hendaknya dimulai dari

raja Si

atwan rahyangta i bhumi Mataram i wethu

gaduh”

a

berpindahnya pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah ke Jawa Timur

Raja-raja Mataram Ku

Silsilah raja-raja Mataram Kuno

ndok. Dasar yang diambil dari prasasti pu Sindok yang dibaca oleh

Porbatjaraka dalam bentuk kutukan:

“Kita prasiddha manraksa kad

. Kutukan ini dibaca dari prasasti Anjukladang (O.J.O., XLVI) dan

prasasti Paradah (O.J.O., XXI),60 Prasasti lain menunjukkan dan menegaskan

bahwa raja pu Sindok sebagai raja Mataram kuno pertama yang berkedudukan

di wilayah Jawa Timur, adalah prasasti Sugih Manek (O.J.O., XXX) dan

prasasti Paradah (O.J.O., XXXI) dalam dua prasasti ini kutukan di atas terbaca,

“Kita prasiddka manraksa kadatwan Sri Maharaja I mdang Bhumi Mataram”.61

Bukti-bukti ini oleh N.J. Krom ditarik menjadi kesimpulan sementara bahw

58 Boechari, Beberapa, 1.

59 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982), 63.

60 Boechari, Beberapa, 1. 61 Ibid.

39

dilakukan oleh pu Sindok, selanjutnya pu Sindok menjadi raja pertama Mataram

Kuno di Jawa Timur dengan gelar Sri Maharaja Rake Halu pu Sindok Sri

Anawikramma Dharmmotungga Dewa.62

Prasasti Cunggrang menunjukkan bukti autentik tentang nama

permaisuri pu Sindok. Prasasti Cunggrang menyebutkan tentang peresmian sima

Cunggr

yang bernama Sri

Isanatu

mpuan bernama

ang yang berkaitan dengan tempat suci bernama Sang Hyang Drarmma

Srana Lug Pawitra. Prasasti ini dikeluarkan pada tanggal 14 Agustus 933 oleh

Rakriyan Sri Maha Mantri pu Sindok sang Sri Sanattungga Dewa Wijaya dan

Rakriyan Sri Parameswari pu Kbi. Nama pertama adalah pu Sindok yang

menggunakan gelarnya ketika pada masa pemerintahan Rake Sumba Dyah

Wawa. Nama kedua dimaksud adalah permaisurinya pu Kbi.63 Gelar pada nama

pu Sindok membawa pada interpretasi dua arah, yaitu pertama apakah pu

Sindok keturunan raja atau bukan? Kedua, kalau pu Sindok bukan keturunan

raja mengapa dia menggunakan gelar Maha raja? Apakah kemungkinan yang

mempunyai keturunan raja adalah pu Kbi permaisurinya?

Prasasti Calcutta yang dikeluarkan oleh raja Airlangga menyebutkan raja

pu Sindok digantikan oleh anak perempuannya

nggawijaya dengan suaminya bernama Dyah Loka pala.

Sri Isana Tungga Wijaya digantikan putranya yang bernama Makutawangsa

Wardhana. Makuthawangsa Wardhana mempunyai anak pere

62 Ismail Lutfi, Pengaruh, 13. 63 Habib Mustopo, Prasasti Cunggrang (IKIP Malang, 1991).

40

Guna Priya Dharma atau Mahendradatta yang bersuamikan raja Udayana.64 Hal

lain raja Mataram Kuno di Jawa Timur setelah Makuthawangsa Wardhana

adalah Sri Dharmawangsa Tguh Anantawikramaottungga Dewa yang terkenal

dengan sebutan Dharma Wangsa yang berkuasa sampai pada tahun 1016

selanjutnya kerajaan dipegang oleh raja Airlangga.

Prasasti pucangan 963 Saka atau 1041 H menyebut silsilah raja Sindok

sampai raja Airlangga dalam prasasti ini menyebut raja Sindok yaitu Sri Isana

Tungga

pemeri

mempunyai anak Sri Isana Tungga Wijaya bersuamikan Sri Loka Pola,

mempunyai anak Sri Makutawangsa Wardana. Sri Makutawangsa Waradana

mempunyai anak Guna Priyarajapatni yang bersuamikan raja Udayana dari Bali,

selanjutnya dari Guna Priyarajapatni dan Udayana mempunyai anak Airlangga.

Airlangga memerintah dari 1019-1042 dengan gelar Sri Maharaja rake

Halu Sri Lokeswara Airlangga Anantawi Kramattungga Dewa. Masa

ntahan Airlangga yang maju pada masanya antara lain yaitu: pertama,

pembangunan pelabuhan internasional sebagai pelabuhan dagang di Hujung

Galuh atau Muara Sungai Brantas dan Kambang putih di Tuban. Kedua,

kemajuan karya sastra seperti kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa. Pada

masa Airlangga mulai diketahui tentang kesenian pagelaran yaitu a wayang atau

a ringgit.65 Pemerintahan Airlangga mengalami kemunduran ketika mencari

penggantinya. Hal ini disebabkan putri Airlangga yang dipersiapkan menduduki

64 Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, 51.

Ibid., 56. 65

41

tahta yaitu Sanggrama Wijaya memilih menjadi pertapa. Pada gilirannya

kerajaan dibagi menjadi dua, yaitu Jenggala (Singosari) berpusat di Kahuripan

dan Panjalu (Kadiri) yang berpusat di Dahana atau Daha. Pembagian kerajaan

ini menegaskan awal dan mulainya sejarah Kadiri.

Raja-raja pasca Airlangga di Kadiri

Pembahasan dan kajian mengenai raja-raja pasca A

c.

irlangga di Kediri diketahui

ng prasasti pamwatan menyebutkan:

gsung

prasasti

2)

n prasasti Sirah Keting).

irah Keting yang bertarikh 1104

dari prasasti Habib Mustopo.66 Tenta

“Dengan demikian tanggal 20 November 1042 ini dapat ditetapkan sebagai

suatu awal pemerintahan di Panjalu/Daha dan pemerintahannya berlan

terus sepanjang ± 80 tahun dengan raja yang pernah berkuasa”, yaitu:

1) Raja Sri Samarawijaya Dharma Suparnawahana Teguh Uttunggadewa atau

Sri Samarawijaya periode 1042-1044 (prasasti Pamwatan dan

Malenga).

Raja Srimapanji garasakan atau Ajilingga Jaya, periode 1044-1052 (prasasti

Malenga da

3) Raja Sri Jayawarsa Sastraprabu, periode 1052-1104 (prasasti Sirah Keting

dan prasasti Pikatan) prasasti S

mengungkapkan tentang pengukuhan tanah perdikan Merjaya yang

merupakan anugrah raja Sri Jayawarsa Sastra Prabu.

66 Habib Mustopo, Prasasti Panwatan, Bahan Kuliah Sejarah Indonesia Lama (Fak. Sejarah UM, 2002).

42

4)

e 1104-1130 (prasasti

5)

rsingha Parakrama Uttunggadewa atau Sri Aji

6)

7)

aret 1171 dan ini merupakan

8)

ama

Sri Maharaja Sri Paranmeswara Sakala Bhuwana Tustikarana Sarwani

Wariwerya Parakramadikjaya Uttunggadewa, period

Pikatan dan prasasti Tangkilan). Prasasti Pikatan beratrikh 11 Januari 1117

sedangkan prasasti Tangkilan sebagai prasasti terakhir Sri Parameswara

bertarikh 14 Mei 1130.

Sri Maharaja Sang mapanji Jayabaya Sri Warmeswara Madhusudhana

Watara Anindita Suht

Jayabhaya periode 1135-1159 (prasasti Ngantang dan prasasti Padelegan II).

Sri Maharaja Rakai Sirikan Sarmeswara Janur Danawatara Wijaya

Agrajasama sing Hanadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.

Tercantum pada prasasti Pandelegan II bertarikh 23 September 1159 dan

prasasti Kahyunan bertarikh 23 februari 1161.

Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara Madhusudanawatara Arijayamuka,

tercantum dalam prasasti angin bertarikh 23 M

satu-satunya raja Kediri yang menggunakan sebutan Rakai Hina.

Sri Maharaja Sri Kronsaryadipa Bhuwana Palaka parakrama Anindita

Digjaya Uttunggadewa Sri Candra prasasti Jaring 19 September 1181.

9) Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikrama Awatara Aniwariwirya Parakrama

Digjaya Uttunggadewa, prasasti Ceker bertarikh 11 September 1185. N

tersebut diberikan di dalam kakawin smaradhahana karya pujangga Mpu

Dharmaja. Permaisurinya berasal dari Jenggala bernama Sasi Kirana atau

43

Kirana Ratu. Perkawinan antara raja kameswara dari Panjalu/Kediri dengan

Sasi Kirana menurut Prof. Poerbatjaraka menjadi dasar cerita panji.

Sri Maharaja Sri Sarweswara Anindita Sregeja Lancana 10) Digjaya

11) au

12) panji seminingrat) prasasti Mula

13) Mahasabhya yang

haraja Mapanji Jayabaya

yang p

g urutan silsilah raja-raja

yang m

Uttunggadewa, tertera pada prasasti Kamulan bertarikh 31 Agustus 1194.

Sri Maharaja Sarweswara Sri kertajaya pada prasasti Wates Kulon at

Lawadan bertarikh 18 Nopember 1205.

Sang Prabu Jayawardhana (sang ma

Manurung, bertarikh 1255 dan prasasti Macibung bertarikh 23 September

1248 yang dinyatakan oleh raja Wisnuwardhana bahwa sang Prabu

Jayawardhana juga bergelar sang mapanji Seminingrat.

Kertanegara (putra sang Prabu Seminingrat), prasasti

ditulis 24 tahun kemudian dari prasasti Macibong.

Di antara raja-raja Panjalu atau Kediri, Sri Ma

aling besar dan paling masyhur termasuk banyak sastra-sastra yang

bernilai tinggi seperti Smaradahana, Bhomakawya, Bharata Yudha,

Hariwangsa, Gatot Kaca Sraya, dan Wrettosancaya.

Kutipan di atas memberikan kejelasan tentan

emerintah pasca Airlangga. Setelah dibaginya Mataram Kuno di Jawa

Timur oleh Airlangga. Alasan pokok bagian ini, hendak menunjukkan sejarah

Kediri dengan the great man theong atau teori-teori orang besar, untuk melihat

latar belakang historis Prabu Jayabhaya. Silsilah di atas mengungkapkan bahwa

raja-raja Kediri merupakan keturunan dari raja-raja Mataram Kuno di Jawa

44

Tengah. Hal ini mungkin membawa perdebatan tentang benar dan tidak

berkaitan dengan runtutan silsilah di atas. Kebenaran dari silsilah di atas

hendaknya dikembalikan pada interpretasi individu atas kebenarannya.

ses Pembentukan Kerajaan Kediri 2. Pro

proses historis yang dibuktikan oleh beberapa

prasast

Kerajaan Kediri terbentuk dari

i. Proses historis dimaksud adalah kerajaan Kediri bermula dari kerajaan

Mataram Kuno di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Awal terbentuknya periode

kerajaan Kediri adalah ketika Mataram Kuno di Jawa Timur sebagai warisan dari

wangsa Isana dibagi dua oleh raja Airlangga menjadi kerajaan Jenggala dan Panjalu.

Nama Kediri lebih jelas disebut dalam prasasti Finulad yang menyebut paduka Sri

Mahadewisiniwi Ing Bhumi Kediri 937 (1015 M).67 Hal ini diinterpretasikan bahwa

kerajaan Panjalu sebagai satu bagian kerajaan hasil pembagian kerajaan Mataram

Kuno di Jawa Timur oleh Airlangga adalah Bhumi Kediri. Interpretasi ini bukan

berarti dapat langsung diterima, namun perlu juga dipermasalahkan batas-batas dari

wilayah kerajaan setelah pembagian. Dalam kitab Negara Kertagama dan Calon

Arang serta diperkuat oleh prasasti Wurara, menyebut bahwa batas kerajaan

Jenggala dan Panjalu adalah sebuah sungai yang mengalir dari barat ke timur

sampai ke laut ini diinterpretasikan sebagai kali Lawang, mengingat persebaran

prasasti Airlangga antara bengawan Solo dan kali Brantas antara Babat dan Ploso ke

67 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 264.

45

timur.68 Pembatasan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan nama Kediri ternyata

di luar wilayah bumi Kediri, interpretasi lain, penggunaan nama Kediri tidak hanya

disebut di dalam wilayah bhumi Kediri, namun juga dimungkinkan penyebutannya

di luar Kediri dengan pertimbangan kondisi dinamika masyarakat dalam perputaran

peradabannya contoh: bukti silsilah raja Airlangga justru ditemukan di Calcuta

India. Bukan di kawasan Kediri ataupun Jenggala (Kahuripan), lebih lanjut kerajaan

Kediri terbentuk dalam beberapa proses, sebagaimana diuraikan di bawah ini:

a. Perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur

Proses pembentukan kerajaan Kediri merupakan proses a continuity and

change dan continuity into progreess atau perubahan menuju lebih baik. Bukti-

bukti sejarah menunjukkan bahwa pembentukan kerajaan Kediri didahului oleh

sejarah Mataram Kuno, dengan kata lain kerajaan Kediri bermula dari proses

historis dari kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Proses awal adanya

perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuno. Pusat-pusat kerajaan Mataram

dalam proses sejarahnya mengalami perpindahan beberapa kali antara lain yaitu

Poh Pitu, Garung, Mamrati, Watugaluh, Tamwang atau Tembelang.

Dua pusat kerajaan terakhir yaitu Watu Galuh dan Tamwang atau

Tembelang diindikasikan berpusat di wilayah Jawa Timur. Pusat kerajaan di

Watu Galuh didasarkan pada prasasti Anjuk Ladang yang menyebut, kita

prasiddhu Manraksa Kadtwan Rahyangta I Bhumi Mataram I Watu Galuh.69

Boechari, Beberapa, 1 17.

68

69 Ismail Luthfi, Pengaruh, 70Ibid.,

46

Pusat kerajaan kedua di Tamwang atau Tembelang perpindahannya dilakukan

oleh pendiri dinasti Isana yaitu pu Sindok, pusat kerajaan Mataram Kuno di

Tamwang termuat dalam prasasti Turyyan 429 Masehi. Tamwang diindikasikan

sebagai Tembelang di Jombang.70

Pusat kerajaan lainnya seperti Poh Pitu, garung dan mamrati

menunjukkan indikasi terletak pada kawasan Jawa Tengah. Prasasti yang

membuktikan tentang pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah antara lain

yaitu prasasti Mantysih 907 Masehi. Prasasti Wanwa Tengah II 908 Masehi dan

prasasti Siwagreha 865 Masehi. Prasasti tersebut secara topomini menunjukkan

kesamaan nama dengan beberapa wilayah atau daerah di kawasan Jawa Tengah.

Bukti-bukti di atas menunjukkan adanya pemindahan pusat kerajaan

Mataram Kuno dari kawasan Jawa Tengah ke kawasan Jawa Timur.

Pemindahan pusat kerajaan ini yang terkenal dinyatakan adalah pu Sindok.

Pembuktiannya adalah melalui prasasti Sindok dan prasasti Daksa yang

menunjukkan pembeduan penyebutan wilayah pusat kerajaannya. Pu Sindok

menyatakan Rahyangta I Bhumi Mataram I Watu Galuh, sedangkan Pu Daksa

menyatakan Kadatwan Sri Maharaja I Mdang Bumi mataram. Hal ini menjadi

dasar adanya pemindahan pusat kerajaan Mataram Kuno ke wilayah timur.

Latar belakang pemindahan pusat kerajaan ke wilayah Jawa Timur

terdapat dua teori, yaitu pertama adanya kejenuhan dalam bentuk kelelahan

yang luar biasa pada kalangan rakyat diakibatkan adanya kerja wajib atas nama

47

raja dalam rangka pembangunan peribadatan (Bangunan Suci Keagamaan)

“Kamulan I Bhumi Sambhara” atau Borobudur.71

Bangunan suci keagamaan adalah Prambanan yang terkenal dengan

sebutan candi Rara Jonggrang.72 Kedua, adanya aktivitas gunung Merapi, yang

diindikasikan meluluh lentakkan pusat kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah.

Hal ini dibuktikan ketika ditemukannya candi Borobudur dalam kondisi hancur

tertimbun tanah, kemungkinan yang ada karena adanya aktivitas gunung merapi

dan karena faktor usia. Aktivitas gunung merapi sampai sekarang masih dapat

dilihat.

b. Mataram Kuno masa Airlangga

Airlangga dimulai setelah kerajaan Mataram dengan rajanya Dharma

Wangsa Tguh mengalami pralaya. Raja Dharma Wangsa Tguh merupakan raja

yang menggantikan raja Makuta Wangsa Wardhana. Airlangga naik tahta pada

tahun 1019 sebagai pengganti Dharma Wangsa Tguh, setelah menduduki tahta,

Airlangga melakukan penaklukan terhadap raja-raja yang melepaskan diri dari

Mataram pasca terjadinya pralaya. Berturut-turut yang ditaklukkan Airlangga

adalah pertama, raja Bhisma Prabhawa tahun 1028-1029, kedua, raja Wijaya

dari Wengker pada tahun 1030, ketiga, raja Adhamapanuda pada tahun 1031

seorang raja perempuan yang dikatakan seperti raksasa, keempat, raja

Wurawari tahun 1032, kelima, raja Wengker untuk kedua kalinya tahun

72 at (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 15.

71 R. Soetarto, Aneka Candi Kuno di Indonesia (Semarang: Dahara Prize, 2003), 75. Moertjipto dan Bambang Prasetya, Mengenal Candi Siwa Prambanan dari Dek

48

1035.73Usaha-usaha perluasan wilayah oleh Airlangga sesungguhnya adalah

usahanya dalam mengembalikan kekuasaan Mataram setelah Dharma Wangsa

Tguh. Tindakan berikutnya yang dilakukan oleh Airlangga adalah melengkapi

pejabat-pejabat kerajaan dan menetapkan pusat kerajaannya di Watan Mas

kemudian dipindahkan ke wilayah Kahuripan.

Akhir pemerintahan Airlangga ketika memasuki proses pewarisan tahta

kerajaan. Airlangga mempunyai seorang putra mahkota bernama Sanggrama

Wijaya yang menduduki jabatan setara dengan raja yang dicalonkan menduduki

tahta, Sanggrama Wijaya pada saatnya justru menolak menduduki jabatan raja

dan memilih menjadi pertapa sebagai Kilisuci.

Pada gilirannya kerajaan oleh Airlangga diberikan pada putranya. Hal ini

memunculkan kekhawatiran akan adanya perebutan kekuasaan, maka pada 1041

kerajaan dibagi atas dua dengan pertolongan seorang Bhahmana ialah Mpu

Bharada. Kerajaan dibagi tas Jenggala (Singosari) dengan ibukotanya Kahuripan

dan Panjalu (Kediri) dengan ibukotanya Dhaha atau Dhahana Pura. Pembagian

kerajaan menjadi dua ini mengawali periode kerajaan Kediri.

c. Reunifikasi Mataram menjadi Kediri

Kerajaan Kediri sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan Panjalu.

Definisi ini dilandaskan bahwa pusat kerajaan Panjalu adalah Dhahana atau

Dhaha yang terletak di lembah sungai Brantas di sebelah selatan kali Lamong

letaknya kurang lebih wilayah Kediri sekarang. Definisi ini juga diperkuat oleh

73 Soekmono, Pengantar, 55.

49

ditemukannya berbagai prasasti tentang Panjalu yang ditemukan sebagian besar

di kawasan Kediri.74 Kerajaan Kediri atau Panjalu pertama kali diperintah oleh

raja Samarawijaya, kemudian berturut Sji Linggajaya, Jayawarsa, Parameswara,

Jayabhaya, Sarmeswara, Aryyeswara, Kronsaryadipa, Kameswara, Sarweswara,

Kertajaya, Panjisminingrat, Kerta Negara.

Kerajaan Panjalu pada periode Jayabhaya mengalami reunifikasi setelah

mengal

Kampang Putih (sekarang Tuban) dan Hujung Galuh (Jung-ya-lu) sekarang

ami pembagian pada masa Airlangga. Reunifikasi ini merupakan

bersatunya kembali kerajaan Mataram. Bersatunya kembali tahta Mataram

Kuno di Jawa Timur ke dalam suatu kekuasaan raja. Bukti nyata tentang

reunifikasi ini adalah adanya prasasti Ngantang atau Hantang yang menyebut

Pangjalu Jayati (Panjalu menang). Penyebutan Panjalu Jayati diinterpretasikan

bahwa Jayabhaya berhasil menyatukan dua kerajaan yaitu Panjalu dan

Jenggala, adanya interpretasi ini merupakan hal logis, karena letak wilayah

Hantang adalah perbatasan antara Jenggala dengan Panjalu. Reunifikasi ini

menegaskan tentang kerajaan Kediri secara resmi dimulai pada masa kekuasaan

Jayabhaya. Pada pemerintahan Jayabhaya ini pula kerajaan Kediri/Panjalu

mengalami zaman keemasan dalam berbagai aspeknya. Kemajuan yang dicapai

antara lain yaitu pertama, bidang pemerintahan dan politik Kediri menguasai

seluruh Indonesia Timur saat ini. Berdasar uraian kronik China dan Chou-ju-

Kua.75 Kedua, bidang ekonomi adanya pelabuhan internasional di daerah

74 Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah, 266.

50

tanjung Perak. Adanya hubungan internasional dengan penguasa China, India,

dan Arab sebagai hubungan dagang.

ikasi Masuknya Islam ke Jawa Masa Jayabhaya

Pembahasan tentang masuknya

3. Ind

Islam di Jawa sering kali menjadi

Indonesia masa Hindu-Budha.

Hal ini

pembahasan sejarah yang dipisahkan dengan sejarah

menjadi latar belakang kesulitan penggalian fakta-fakta sejarah Islam di

Indonesia. Sejarah Islam di Indonesia hanya dikesankan pada masa pasca Majapahit

± pada abad 15. Realitas menunjukkan Islam berkembang di Indonesia khususnya

Jawa jauh sebelum itu. Sejarah Islam di Indonesia sementara ini dikatakan secara

arkeologis adalah dimulai pada abad ke-13 khususnya di Jawa dibuktikan dengan

angka tahun yang tertera pada nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah

dengan angka tahun 475 H (1082 M). Realitas persebaran Islam diyakini sejak abad

7 M atau bad 7 H. Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad menyatakan: “kami telah

mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Jawa pada tahun 30 H atau 650 M di

zaman khalifah Utsman bin Affan”.76Hal ini diketahui dari Sulaiman as-Sirafi,

pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi mengatakan bahwa di

Silli terdapat beberapa orang Islam pada masa dia, yaitu sekurang-kurangnya pada

akhir abad ke-2 Hijriah .Hal Ini sesuatu yang pasti dan tidak butuh pen-tahqiq-an

lagi karena perdagangan rempah-rempah dan wangi-wangian yang berasal dari

Kepulauan Maluku pasti membuat perdagang- perdagang Muslim sering berkunjung

75 Soekmono, Pengantar, 60. 76 Al-Habib Alwi bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (Jakarta: Lentera

Basritama, 2001), 150.

51

ke sana dan ke tempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini.Kepulauan

Sila adalah Sulawesi dan pulau-pulau yang berdekatan denganya. Pendapat ini

diperkuat oleh pendapat Donald Maclain Campbell dalam bukunya Java halaman

57-58 yang menyatakan bahwa orang-orang Arab muslim dan Psersi telah bekerja

sama dalam mendirikan kerajaan Majapahit

Mereka juga bersekutu dalam mendirikan kerajaan Jenggala, Daha dan

Singasari. Mereka telah memiliki pemukiman.77 Pendapat ini memberi kejelasan

rasiona

l

kerajaa

l tentang hubungan benda arkeologi di Leran dengan perkembangan,

persebaran Islam seiring perkembangan kehidupan masyarakat Jawa masa lampau.

Pendapat pertama tentang makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah

berangkat tahun 475/495 H. menunjukkan dinamika pelabuhan internasiona

n Panjalu di daerah Kambang Putih dan Hujung Galuh sebagai pelabuhan

dagang internasional. Pendapat kedua, tentang Islam dikatakan masuk ke Jawa sejak

tahun 30 H atau 659 M. Hal ini terdapat penjelasan rasional yaitu sejak sebelum

Islam orang-orang Arab merupakan pelaut dan pengelana dalam bidang

perdagangan. Penjelasan rasional lain bahwa Mesir dan Babilonia merupakan induk

peradaban dunia atau Croadle of civilization melihat tahun yang ditunjukkan yakni

30 H atau 650 M. Dimungkinkan Islam mulai masuk di Jawa sejak awal-awal

Mataram Kuno diJawa Tengah. Pendapat ketiga menunjukkan lebih jauh dan

dimungkinkan merupakan mulai berpengaruhnya agama Islam di kalangan

77 Ibid., 161

52

bangsawan kerajaan dengan kata lain Islam mulai/sudah dianut oleh masyarakat

Jawa. Pembahasan tentang masuknya Islam di Indonesia khususnya Jawa,

nampaknya sangat luas, kajian ini selanjutnya difokuskan pada indikasi masuknya

Islam di kerajaan Kadiri atau Panjalu (Kediri sekarang).

a. Bukti artefaktual dan tertulis tentang Islam di kerajaan Kediri

Pembuktian masuknya Islam di kerajaan Kediri khususnya masa

ada. Pembuktian

secara

ang

menyeb

o Kardodirdja dikatakan sebagai mesiomistis. Mesiomistis

menurut Sartono dapat dijadikan landasan dengan catatan harus memperhatikan

Jayabaya sangat lemah karena sumber artefaktual nyaris tidak

artefaktual dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah, yaitu

adanya tulisan yang berupa epitaf di makam Setono Gedong. Epitaf itu

menyebutkan gelaran-gelaran yang dimakamkan di tempat tersebut. Sumber ini

dikatakan lemah sebab tidak memuat nama dan tahun, namun mungkin juga

memuat tetapi telah hilang dimakan usia. Interpretasi terbaru menyatakan bahwa

nama dan tahun termuat di bagian bawah sebelah kiri di bagian yang hilang.

Sumber lain berasal dari cerita masyarakat mengungkapkan bahwa di

Setono Gedong adalah makan Syekh Wasil, mungkin karena gelarnya y

ut لصولا atau pangeran Makkah mungkin karena ada indikasi ia adalah

orang Arab pembawa Islam di tanah Panjalu atau Kediri. Masyarakat Kediri

meyakini bahwa Syekh Wasil hidup bahkan menjadi guru raja Jayabaya.

Sumber dari cerita masyarakat perlu diperhatikan namun tidak dapat dijadikan

landasan ilmiah.

Sumber tertulis berasal dari serat atau jangka atau pralambang Jayabaya

yang oleh Sarton

53

fakta-fa

d Tembang.80 Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud Tembang)

membe

nkan adanya percampuran budaya.Sebagaiman yang

terdapa

kta historis yang terjadi.78 Dalam pralambang Jayabaya dikisahkan,

prabu Jayabaya mendapat kunjungan dari seorang pendeta dari Rum bernama

Maulana Ali Syamsuddin, yang menguraikan ramalan seperti tercantum dalam

kitab Musasar, mengenai keadaan Nusa Jawa sejak waktu belum ada

penduduknya.79

Uraian mengenai pralambang Jayabaya selanjutnya ditunjukkan

sebagaimana ditulis oleh Sisbarnoersya dengan judul Ramalan Jayabaya

Musasar Awuju

rikan penjelasan dan kejelasan, diyakini bahwa Islam masuk ke Jawa

jauh sebelum adanya Walisongo. Bahkan bukti nyata tentang pemukiman di

Leran, memberikan informasi jelas bahwa pada abad 10-13 kekuasaan yang ada

adalah Panjalu di Kediri dan Jenggala di Kahuripan mempunyai pengaruh besar

pada masyarakat internasional. Hal ini dipertegas tentang komunikasi

perdagangan di pelabuhan Hujung Galuh dan Kambang Putih jauh sebelum

masa Kediri sudah ada.

Kesimpulan dalam bentuk interpretasi sementara ditunjukkan bahwa

Islam sudah ada dalam komunitas-komunitas di pusat kerajaan Panjalu atau

Kediri, dan memungki

t pada Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud tembang) yang ditulis oleh

Sisbarnoersya memberikan legitimasi adanya percampuran budaya antara Islam

78 Sartono Kartodihardjo, Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Penjelasan Berdasarkan Kesadaran Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998), 79.

79 Al-Habib Alwi bin Thohir Al-haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh 80.

54

dan Hindu-Budha pada masa Jayabaya. Mungkin keyakinan inilah yang menjadi

landasan masyarakat memenang (pusat kerajaan Kediri masa Jayabaya)

mengadakan ritual yang disebut dengan suroan.

Aktivitas pendatang Islam pada masa Jayabaya

Di sini dibahas lebih tegas tentang alasan rasional tentang aktivitas

pendatang Islam di masa Jawa dalam pemerintahan Jayabaya.

b.

Masyarakat

r Islam melalui perdagangan,

maka p

emaksa para golongan

Alawiy

muslim khususnya adalah agen-agen penyeba

ada umumnya yang menjadi mubaligh adalah para saudagar. Kondisi ini

dilatarbelakangi oleh situasi perekonomian masa itu, sebelum abad 15 bahkan

jauh sebelumnya masyarakat Mesir, Romawi, dan Yunani dalam memenuhi

kebutuhan-kebutuhan kehidupan sehari-hari berkaitan dengan rempah, kain,

bahan makanan selalu mengimpor dari masyarakat Arab dan Babylonia, di

mana bahan-bahan yang diperlukan tersebut hanya didapati di Asia Timur,

khususnya kawasan Nusantara. Hal ini menjadi teori akan masuknya Islam di

kawasan Indonesia khususnya Jawa.

Teori lain tentang masuknya Islam di Indonesia atau Jawa yakni

dilatarbelakangi oleh peristiwa pembantaian golongan Alawiyin oleh khalifah

bani Umayyah di Romawi Timur.81 Pada gilirannya m

in melarikan diri ke timur di kawasan Nusantara terutama kepulauan

Noersya, Sejarah dan Budaya dari Masa Kuna Smapai Kontemporer (Malang:UM, 2003),153 80 Sisbar 81Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad, Sejarah, 151. 82 Boechari, Beberapa, 3.

55

Sulu (Philipina sekarang) dan sekitarnya, termasuk di Nanjing China. Di

samping itu kondisi masyarakat di kawasan Nusantara lebih terbuka oleh budaya

dari masyarakat dari luar. Hal ini terbukti masuknya berbagai budaya nyaris

tanpa ada penolakan seperti Hindu-Budha, Islam bahkan Kristen dan Katholik.

Kedua teori di atas memperkuat bahwa pemukiman-pemukiman muslim

di Jaw

a memang telah ada sejak Mataram Kuno, sehingga ketika kerajaan

Panjalu atau Kediri berdiri para orang muslim sangat dimungkinkan

keterlibatannya. Definisi ini ditujukan berlandas pada definisi bahwa suatu

kerajaan atau negara besar tentu mempunyai hubungan internasional dengan

negara atau kerajaan lain. Di samping itu masa pemerintahan Jayabaya adalah

sekitar abad 11-12 M di mana Islam pada masa ini mengalami zaman

kekuasaannya. Boechari menyatakan bahwa “masyarakat Jawa masa Mataram

Kuno telah dan sedang menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan Islam

pada khalifah Bani Abbasiyah”.82 Pernyataan ini menegaskan pemikiran bahwa

masa Jayabaya Islam memang sudah berkembang luas di Jawa, sehingga tradisi

suroan di desa Menang adalah indikasi pewarisan sinkritisme budaya Islam dan

Hindu Budha dari masa Jayabaya.

56

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Nilai-nilai keislaman pada

Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten

Kediri”, Dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Adapun yang dinamakan

pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan

yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik

atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi (pengukuran).1

Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana yang dikutip oleh lexy J. Moleong

mendefinisikan pendekatan kualitatif “sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan

data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang

dapat diamati”.2 Dalam pendekatan kualitatif ini semua data diperoleh dalam bentuk

kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia.

Adapun ciri-ciri pendekatan kualitatif adalah: (1) mempunyai latar alamiah, (2)

manusia sebagai alat (instrumen), (3) memakai metode kualitatif, (4) analisa data secara

induktif, (5) lebih mementingkan proses daripada hasil, (6) penelitian bersifat

deskriptif, (7) teori dari dasar (grounded theory), (8) adanya “batas” yang ditentukan

1 Djuanidi Ghani, Dasar-dasar Pendidikan Kualitatif, Prosedur, Teknik dan Teori Grounded (Surabaya: PT. Bila Ilmu, 1997), 11.

2 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 3.

57

oleh “fokus”, (9) adanya khusus untuk keabsahan data, (10) desain yang bersifat

sementara, (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.3

Untuk memperoleh data tentang “Nilai-nilai keislaman pada Tradisi Suroan di

Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”,

diperlukan pengamatan yang mendalam. Oleh karena itu, kegiatan tersebut melalui

pendekatan kualitatif.

Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah deskriptif. Sumadi

Suryabrata berpendapat bahwa “penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud

untuk membuat pencandraan (uraian, paparan) mengenai situasi kejadian-kejadian”.4

Sedangkan tujuan penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan sifat sesuatu yang

tengah berlangsung pada saat research dilakukan dan untuk memeriksa sebab-sebab

dari sesuatu gejala tertentu.5

Berdasarkan pendapat di atas, pendekatan kualitatif ini dimaksudkan untuk

menjelaskan peristiwa atau kejadian yang ada pada saat penelitian berlangsung. Yaitu

tentang “Nilai-nilai keislaman pada Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa

Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri”.

B. Kehadiran Peneliti dan Lokasi Penelitian

Sesuai dengan pendekatan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif, maka

semua fakta berupa kata-kata maupun tulisan dari sumber data manusia yang telah

3 Ibid., 4-8. 4 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 19. 5 Husain Umar, Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1999), 29.

58

diamati dan dokumen yang terkait disajikan dan digambarkan apa adanya untuk

selanjutnya ditelaah guna menemukan makna. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di

lapangan sangat penting sekali, peneliti bertindak sebagai instrumen langsung sebagai

pengumpul data melalui observasi yang mendalam dan terlibat aktif dalam penelitian.

Status kehadiran peneliti di lokasi penelitian adalah diketahui oleh subjek atau

informan dan peneliti mengambil waktu penelitian pada saat pelaksanaan Upacara

Ziarah Satu Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram. Lokasi

penelitian yang dipilih oleh peneliti adalah di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang

Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

Adapun alasan peneliti memilih lokasi tersebut adalah karena upacara satu suro

di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri

merupakan upacara rutin tiap tahun yang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang

serta merupakan moment penting yang menarik para wisatawan untuk mengunjungi the

sacred place tersebut.

C. Sumber Data

Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, sumber data dalam

penelitian kualitatif ini ialah “kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan

seperti dokumen dan lain-lain6 Data dalam penelitian ini adalah semua data atau

informasi yang diperoleh dari para informan yang dianggap penting. Selain data dari

informan, data diperoleh dari dokumentasi yang menunjang.

6 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif.,112

59

Adapun yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kata-kata dan Tindakan

Data yang berbentuk kata-kata diambil dari para responden/informan pada

waktu mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan

dari para informan/responden. Sumber data yang berupa kata-kata/keterangan

tersebut diperoleh dari beberapa pihak di antaranya: pejabat desa, juru kunci,

anggota organisasi Hondodento, panitia pelaksana upacara, pengunjung petilasan,

dan masyarakat sekitar petilasan.

2. Data Tertulis (Dokumentasi)

Data yang berbentuk tulisan ini diperoleh dari pihak panitia pelaksanaan

upacara tradisi suroan dan dokumen-dokumen lain yang tentunya masih berkaitan

dengan subjek penelitian. Adapun sumber data yang berupa tulisan/dokumen

tersebut yaitu di antaranya:

a. Dari Dinas Pariwisata, berupa:

1) Buku berjudul Loka Muksa Sang Prabu Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirto

Komandanu.

2) Artikel-artikel tentang Sri Aji Jayabaya.Dari panitia upacara tradisi suroan

3) Buku dengan judul Pethikan Jangko Jayabaya.

4) Buku dengan judul Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon.

5) Buku yang berjudul Sang Prabu Sri Aji Djoyoboyo.

b. Dari pejabat desa yaitu monografi desa.

60

3. Foto

Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti diperoleh beberapa foto

tentang pelaksanaan upacara ziarah Satu Suro di Petilasan Sri Aji Jayabaya di Desa

Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Adapun pengambilan foto dilakukan

oleh peneliti sendiri dan hasil dari foto-foto tersebut dapat dilihat dalam lembaran

lampiran-lampiran.

D. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di lapangan dalam rangka mendiskripsikan dan

menjawab permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam

pengumpulan data ini adalah antara lain:

1. Metode Observasi

Metode ini merupakan teknik pengumpulan data yang digunakan dengan

cara pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada

objek penelitian.7 Metode ini penulis gunakan dengan cara pengamatan dan

pencatatan secara langsung dalam kegiatan-kegiatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.

2. Metode Wawancara

Metode wawancara adalah suatu percakapan dengan maksud tertentu dan

percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yang terkait, yaitu interviewer

(pewawancara) dan interviewee (yang diwawancarai).8 Jadi peneliti akan meneliti

subjek penelitian secara langsung guna mendapatkan informasi yang lebih jelas.

7 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 158. 8 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), 135.

61

Sedangkan jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

pembicaraan informal.

Sebagaimana yang telah dikutip oleh Moleong dari Patton bahwa

wawancara pembicaraan informal adalah jenis wawancara ini pertanyaan yang

diajukan sangat bergantung pada pewawancara itu sendiri. Jadi tergantung pada

spontanitasnya dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.9

3. Metode Dokumentasi

Yaitu pengambilan data dengan menggunakan dokumen yang di lokasi.

Menurut Guba dan Lincoln “dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film

yang tidak dipisahkan karena adanya permintaan seseorang”.10 Kemudian metode

ini digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari observasi untuk

mengumpulkan data yang bersumber dari non manusia yaitu berupa catatan, buku,

transkrip, foto, dan sebagainya. Dari dokumen ini nantinya akan memperoleh

informasi tentang:

a. Sejarah Sri Aji Jayabaya

b. Pelaksanaan kegiatan upacara tradisi suroan.

c. Mengetahui letak geografis desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

E. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis

catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya, untuk meningkatkan pemahaman.

9 Ibid., 136. 10 Ibid., 161.

62

Penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang

lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan

dengan berupaya mencari makna (meaning).11

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data,

penyajian data, menarik kesimpulan (verifikasi).12 Adapun penjelasannya adalah

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemfokusan perhatian pada penyederhanaan,

penggolongan, dan tranformasi data mentah atau data yang muncul dari catatan-catatan

tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan dengan meringkas, mengembangkan sistem

pengkodean, menelusuri tema, membuat gugus-gugus dan menuliskan memo.

1. Penyajian data adalah proses penyusunan informasi yang komplek ke dalam bentuk

yang sistematis sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif serta dapat dipahami

maknanya.

2. Penarikan kesimpulan adalah langkah terakhir yang dilakukan peneliti dalam

menganalisa data secara terus menerus baik pada saat pengumpulan data atau

setelah pengumpulan data.

F. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan kriteria

kredibilitas (derajat kepercayaan). Kredibilitas data dimaksudkan untuk membuktikan

bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam latar

penelitian.

11 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 104. 12 Mattew B. Milles dkk., Analisis Data Kualitatif (Jakarta: PT. UI Press, 1992), 16-18

63

Menurut Lexy J. Moleong, teknik pemeriksaan keabsahan data yaitu: “1)

perpanjangan keikutsertaan, 2) ketekunan pengamatan, 3) triangulasi, 4) pemeriksaan

teman sejawat melalui diskusi, 5) analisi kasus negatif, 6) kecakupan referensional, 7)

pengecekan anggota, 8) uraian rinci, 9) auditing”.13

Adapun yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1.Ketekunan Pengamatan

Ketekunan pengamatan dilakukan untuk menemukan ciri-ciri dan kejadian-

kejadian dalam situasi yang sangat berkaitan dengan persoalan yang sedang dicari.

2. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan

membandingkan data yang diperoleh. Lexy J. Moleong menuturkan bahwa:

Ada dua cara yang dilakukan dalam teknik triangulasi yaitu pertama, menggunakan trianggulasi sumber yaitu membandingkan perolehan data pada teknik yang berbeda dalam fenomena yang sama. Kedua, triangulasi metode yaitu membandingkan perolehan data dari teknik pengumpulan data yang sama dengan sumber yang berbeda.14

G. Tahap-tahap Penelitian

Lexy J. Moleong berpendapat ada tiga tahapan dalam melakukan penelitian

adalah “1) tahap pra lapangan, 2) tahap pekerjaan lapangan, 3) tahap analisis data”.15

Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:

13 Moleong, Metodologi Penelitian, 1750178 14Ibid., 178. 15 Ibid., 85-103.

64

1. Tahap pra lapangan meliputi: 1) menyusun proposal penelitian, 2) seminar proposal,

3) konsultasi penelitian kepada pembimbing, 4) mengurus izin 5) menyiapkan

perlengkapan penelitian, 6) menghubungi lokasi penelitian yaitu Petilasan Sri Aji

Jayabaya desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.

2. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi kegiatan:

a. Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian.

b. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian.

c. Pencatatan data yang telah dikumpulkan.

3. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:

b. Pengorganisasian data

c. Pemindahan data-data menjadi satuan-satuan tertentu

d. Sintesis data

e. Pengkategorian data

f. Penemuan hal-hal penting dari data penelitian

g. Pengecekan keabsahan data

4. Tahap penulisan laporan, meliputi kegiatan:

a. Penyusunan hasil penelitian

b. Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing

c. Perbaikan hasil konsultasi

d. Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian

e. Ujian munaqosah skripsi.

65

BAB IV

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Paparan Data

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

a. Letak Geografis

Berdasarkan monografi desa Menang bulan Oktober 2000 diketahui,

bahwa orbitasi atau jarak tempuh desa Menang dengan pusat pemerintahan

Kecamatan ± 1 km, dengan ibukota Kabupaten Dati II berjarak ± 5 km, dengan

ibukota Propinsi Dati I berjarak ± 110 km dan jarak ibukota negara berjarak ±

720 km. Dengan luas desa 223.908 Ha dengan batas-batas desa sebagai berikut:

- Sebelah utara : Desa Sitimerto

- Sebelah selatan : Desa Kambingan

- Sebelah barat : Desa Wates

- Sebelah timur : Desa Tengger Kidul.1

Desa Menang memiliki ketinggian tanah dari permukaan laut 19 m,

memiliki kondisi curah hujan 150 Nm/th. dan memiliki suhu udara rata-rata

310C. Jumlah penduduk Desa Menang 3152 orang dengan rincian laki-laki

1549 orang dan perempuan 1583 orang, yang terdiri dari 915 kepala keluarga

dan berstatus warga negara asli Indonesia. Desa menang kondisi tanahnya

cukup subur.2

1 Dokumentasi di ambil dari Monografi Desa Menang. 2 Ibid.

66

Adapun taraf pendidikan penduduk Desa Menang sangat tinggi, terbukti

dengan 362 jiwa yang lulus dari pendidikan umum dan 254 jiwa yang lulus

pendidikan khusus. Dari segi keagamaannya menunjukkan 95% memeluk

agama Islam, yaitu 3048 jiwa dan selebihnya memeluk agama Kristen.3

Untuk sampai ke Desa Menang dengan menggunakan jasa transportasi

darat yang sangat lancar, aman dan mudah. Kondisi jalan sudah beraspal mulus

dengan menggunakan jasa angkutan umum yang menuju Desa Menang,

sehingga dengan kondisi seperti yang demikian ini kalau kita hendak menuju

Desa Menang sangatlah mudah.4

b. Struktur Pengelolaan Petilasan

Susunan Pengurus Yayasan Hondodento Cabang Kabupaten Kediri5

SekretarisS. Kadarisman

Wakil SekretarisKarjowunoto

BendaharaSuparti

KetuaAli MuthofaWakil Ketua

Suherman

PenasehatDarmin

3 Ibid. 4 Observasi, tanggal 21 Februari 2004. 5 Surat Keputusan Pengurus Pusat Yayasan Hondodento No. 10/KPTS/2000, tanggal 1 Januari 2000.

67

c. Kondisi Fisik Petilasan

1) Petilasan Sri Aji Jayabaya

a) Kondisi sebelum dibangunnya petilasan

Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya berawal dari mimpi

Warsadikrama pada tahun 1860, bahwa dalam sebuah area gundukan

tanah yang telah menjadi rawa dan keliling semak belukar pernah

bertahta seorang raja Kediri yang tersohor, yaitu Sri Aji Jayabaya. Cerita

dalam mimpi tersebut kemudian diteruskan dari telinga ke telinga

penduduk sekitarnya. Atas petunjuk itu seluruh penduduk secara gotong

royong mengadakan pencarian petilasan tersebut.6

Dengan dibantu oleh seorang ahli metasistik, petilasan tersebut

berhasil ditemukan, yang letaknya di bawah naungan sebuah pohon

kemuning. Sejak saat itu tempat yang tidak begitu luas di tengah-tengah

rawa mulai ramai dikunjungi orang, mereka merasa terharu dan bahagia.7

b) Kondisi setelah dibangunnya petilasan

Kini petilasan tersebut berubah menjadi sebuah monumen

spiritual yang megah. Bersama-sama masyarakat luas keluarga besar

Hondodento berhasil memugarnya secara gotong royong. Proses

pemugarannya memakan waktu ± 1 tahun yaitu dari sejak peletakan batu

pertama pada tanggal 22 Februari 1975 Sabtu Pahing sampai dengan

6 Dokumentasi Yayasan Hondodento tentang kondisi fisik Petilasan Sri Aji Jayabaya 7 Ibid.

68

tanggal 17 April 1976 Sabtu Pahing saat diresmikan dan diserahkannya

hasil pemugaran kepada pemerintah daerah Kabupaten Kediri.8

Luas tanah yang dipugar meliputi ± 1650 m2 yang

menggunakannya atas persetujuan pihak pemimpin desa atas dasar

kumpulan desa melalui musyawarah desa yang disahkan dengan

keputusan desa Menang tanggal 26 Februari 1975, model “E” No. 24.9

Keberhasilan keluarga besar organisasi Hondodento dalam

membangun petilasan Sri Aji Jayabaya bekerjasama dengan pemerintah

desa Menang. Petilasan Sri Aji Jayabaya tersebut diwujudkan dalam tiga

bangunan pokok, yaitu:

(1) Bangunan Loka Muksa sebagai lambang tempat Sri Aji Jayabaya.

Muka terdiri dari lingga dan yoni serta diberi manik (batu

berlubang). Bangunan ini keseluruhannya dikelilingi oleh pagar

beton bertulang yang tembus pandang dan dilengkapi dengan tiga

buah pintu.

(2) Bangunan Loka Busana, sebagai lambang tempat busana diletakkan

sebelum mukso. Bangunan ini terletak di bagian sebelah timur

bangunan luka mukso, membujur ke arah utara dan selatan dan

dikelilingi dengan pagar besi.

8 Ibid. 9 Ibid.

69

(3) Bangunan Loka Makuta, sebagai lambang tempat mahkota

diletakkan sebelum muksa. Bangunan ini terletak di sebelah utara

atau di luar pagar pamuksan, yaitu sebagai lambang bahwa zaman

kerajaan sudah berakhir.10

Dan sebagai bangunan yang tidak bisa dipisahkan dari ketiga

bangunan pokok, yaitu:

(1) Bangunan pendapa

Bangunan ini terletak di sebelah selatan bangunan pamuksan

atau bangunan suci loka muksa. Pendapa ini berfungsi sebagai tempat

istirahat para ziarah dan tempat dilaksanakannya upacara suroan.

(2) Bangunan pos juru kunci yang letaknya di sebelah selatan bangunan

pendapa.11

Bangunan tersebut di atas, terdiri dari tanah dengan luas ±

1650 m2 yang penggunaannya atas persetujuan pihak pemerintah

desa atas dasar keputusan kumpulan desa melalui musyawarah desa

yang disyahkan dengan keputusan desa Menang tertanggal 20

Februari 1975 model “E” Nomor 24.12

Corak dan wujud bangunan atau yang disebut monumen

spiritual tersebut merupakan hasil perpaduan konsep irrasional dan

rasional. Secara irrasional didasarkan atas petunjuk dan dawuh Sri

10 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 11 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 12 Interview dengan Kepala Desa Menang, Sony Harsono, Sabtu 21 Februari 2004.

70

Aji Jayabaya yang diterima oleh Ki Wiryodikarso melalui pertemuan

di alam astral. Sedangkan secara rasional maksudnya bahan baku

bangunan tersebut disesuaikan dengan kemajuan teknologi sekarang

namun diperhitungkan supaya bangunan tersebut tahan ratusan

tahun.13

Bangunan suci loka muksa yang merupakan bangunan utama

dalam proses pelaksanaan upacara ziarah satu suro, tempatnya

berbatasan dengan:

- Sebelah utara : berbatasan dengan sawah penduduk dan

perumahan penduduk setempat.

- Sebelah timur : juga berbatasan dengan sawah dan perumahan

penduduk setempat.

- Sebelah selatan : berbatasan dengan perumahan penduduk.

- Sebelah barat : dibatasi oleh jalan yang menghubungkan

dengan bangunan loka makuta.14

Sebagai proses kelanjutan pemugaran petilasan adalah

pemugaran “Sendang Tirtokamandanu” yang pelaksanaannya

berlangsung secara gotong royong sejak tanggal 26 April 1980.

Sendang ini merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari

13 Ibid. 14 Observasi pada tanggal 22 Februari 2004.

71

petilasan Sri Aji Jayabaya dengan lokasi yang berjarak ± 500 m arah

timur laut dari petilasan.15

2) Arti bangunan phisik Loka Mukso

Arti phisik bangunan loka mukso ini adalah baru manik

yang bentuknya seperti mata merupakan lambang pengabdian

keluhuran Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Manik atau merupakan

“kawaskitaan”. Jumlah manik ini hanya satu buah dan berlubang

tembus di tengahnya. Satu maksudnya keterpaduan antara rasional

dan irasional. Berlubang tembus artinya mampu melihat jauh ke

depan.16

Bangunan berupa lingga atau yoni mempunyai arti bahwa

Tuhan menciptakan makhluk-Nya terdiri dari laki-laki dan

perempuan. Demikian juga agama mengajarkan kepada kita bahwa

keduanya ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan dan

mengembangkan keturunan.17

Bentuk lingga dan yoni mempunyai pengertian pula

sebagai wadah dan isi lahir maupun batin. Raga dan jiwa yang

tampak dan yang tidak tampak dan sebagainya yang menyangkut

segala sesuatu yang dua tetapi satu atau satu tetapi sebenarnya terdiri

15 Interview dengan Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya Bapak Misri, Jum’at 27 Februari 2004. 16 Dokumentasi Yayasan Hondodento berupa buku yang berjudul Petilasan Sang Prabu Sri Aji

Joyoboyo. 17 Ibid.

72

atas dua. Dan hal ini akan berlangsung sepanjang zaman. Sedangkan

pagar beton bertulang yang tembus dipandang dan dilengkapi tiga

buah pintu menggambarkan tingkatan hidup manusia yaitu lahir,

hidup dan mati.18

2. Tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

a. Latar belakang tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

Sejarah timbulnya tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya ini tidak

lepas dari catatan sejarah atau latar belakang historis atas keagungan, keluhuran

dan keistimewaan-keistimewaan Sri Aji Jayabaya semasa hidupnya bahkan

sampai sekarang kebesaran itu masih kita dengar tidak saja dari masyarakat desa

Menang yang menganggap bahwa Sri Aji Jayabaya adalah leluhur dan pepunden

atau cikal bakal desanya, tetapi telah meluas ke seluruh penjuru tanah air.19

Mengingat keistimewaan dan keagungan yang dimilikinya maka

masyarakat desa Menang dan sekitarnya mempunyai anggapan serta suatu

kepercayaan yang mendalam bahwa petilasan khususnya pamuksan Sri Aji

Jayabaya mempunyai nilai religius yang tinggi serta keramat.20

Karena dengan adanya suatu anggapan yang demikian maka muncullah

tradisi suroan di petilasan yang berupa upacara ritual yang diselenggarakan pada

setiap tanggal 1 bulan Suro yang bertepatan dengan 1 bulan Muharram. Hal ini

merupakan salah satu sarana memuliakan keluhuran dan keagungan Sri Aji

18 Ibid. 19 Ibid. 20Observasi tanggal 22 Februari 2004.

73

Jayabaya sebagai raja besar di zamannya. Dan merupakan tokoh kharismatik

yang mempunyai banyak pengaruh dalam masyarakat.21

Anggapan yang semacam ini seperti terdapat dalam masyarakat primitif,

di mana mereka menganggap bahwa beberapa manusia ada yang dianggap suci

dan keramat, bertuah dan sebagainya. Mereka dihormati lebih daripada yang

lain. Menurut pandangannya orang-orang tersebut mempunyai kekuatan ghaib

baik karena keturunannya maupun oleh karena ilmunya. Masyarakat yang

mempunyai kesadaran akan hal tersebut di atas dan kesadaran atas diri serta

lingkungannya, maka akan berusaha untuk mengadakan hubungan yang

berserah diri dengan ikhlas serta penuh kepercayaan akan adanya pengaruh dari

kekuatan-kekuatan tersebut.22

Dengan adanya keadaan yang demikian, masyarakat melakukan

tindakan-tindakan seperti melakukan upacara dengan maksud dan tujuan untuk

mengadakan pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur karena mereka

yang dipuja-puja dan selalu dihormati itu telah memberikan kehidupan.23

b. Asal-usul tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

Tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya dalam bentuk

upacara ziarah 1 Suro ini berasal dari inisiatif yayasan Hondodento Yogyakarta,

yaitu melalui “dawuh” Sri Aji Jayabaya yang diterima Bopo/Bapak Pleret selaku

21 Ibid. 22 Interview bersama Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya, Misri, Jum’at 27 Februari 2004. 23 Ibid.

74

sesepuh yayasan melalui hubungan khusus atau “meditasi”. Sedangkan

pelaksanaannya dimulai sejak tahun 1976 yaitu selesainya pemugaran petilasan

hingga sekarang.24

Menurut keterangan salah satu seorang perangkat desa memang bahwa

tradisi suroan yang berupa upacara ziarah ini yang dilaksanakan sebelum

dibangunnya petilasan seperti sekarang ini dulunya belum ada terlebih sebelum

dibangunnya petilasan seperti sekarang ini. Dulunya petilasan tersebut disebut

“makam mbah Ageng” atau ada yang menyebut makam mbah Ageng Jayabaya.

Masyarakat desa Menang menganggapnya sebagai pepunden atau leluhur desa

Menang atau “Mbah Rekso Desa”, sehingga acara bersihnya bahwa di sebuah

gundukan tanah yang telah menjadi rawa dan kadangkala diselingi semak

belukar dahulu bertahtalah seorang raja yang bernama Sri Aji Jayabaya. Cerita

itu akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat setempat dari mulut ke

mulut.25

Dengan dibantu oleh ahli metafisik akhirnya petilasan tersebut berhasil

ditemukan, letaknya di bawah naungan pohon kemuning dan sejak itu mulai

dikunjungi orang dan petilasan tersebut ditandai dengan seonggok tanah

bernisan. Melihat keadaan petilasan yang demikian banyak peziarah yang ingin

memugarnya namun tidak ada satupun yang berhasil.26

24Interview dengan Bapak Mad Kamdari, Juru Kunci di Petilasan Sri Aji Jayabaya, 27 Februari 2004.

25 Interview dengan Kaur Bung Desa Menang, Bapak Kambyat, 27 Februari 2004. 26 Interview dengan Juru Kunci Petilasan Sri Aji Jayabaya, Bapak Misri, Jum’at 27 februari 2004

75

c. Dasar dan tujuan tradisi suroah di petilasan Sri Aji Jayabaya

Menurut salah seorang ketua yayasan Hondodento yang sekarang disebut

organisasi Hondodento bahwa tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji

Jayabaya ini pada dasarnya adalah untuk melestarikan atau dalam bahasa

Jawanya “nguri-uri” atau “ngrumat” tradisi nenek moyang atau

leluhurnya.Disamping itu juga memuliakan serta memberikan penghormatan

terhadap arwah leluhurnya agar diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa. .27

Adapun tujuan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya ini tidak bisa

dilepaskan dari tujuan dibangunnya petilasan karena tradisi suroan yang berupa

upacara ziarah Satu Suro ini adalah realisasi dari tujuan tersebut, yaitu

memuliakan keluhuran sang prabu Sri Aji Jayabaya, sebagai raja besar yang

tersohor agar di kemudian hari dapat dikenang oleh anak cucu kita atau generasi

penerus di bawahnya nenek moyang kita adalah bangsa yang luluh.28

Jadi dasar dan tujuan dari diadakannya upacara ziarah satu Suro sudah

mentradisi di kalangan masyarakat Menang dan sekitarnya adalah untuk

mengenang keluhuran dan kebesaran sang Prabu Sri Aji Jayabaya sekaligus

sebagai upaya melestarikan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur

budaya bangsa Indonesia sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi

di kalangan generasi muda pada khususnya.

27 Ibid. 28 Ibid.

76

d. Pelaksanaan upacara suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

Tradisi suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya disebut

dengan upacara ziarah satu Suro.tentunya tidak terlepas dari komponen dan

tahapan di dalam upacara tersebut yaitu:

2) Tempat upacara

Upacara ziarah satu Suro ini ditempatkan di pemukiman atau

bangunan suci loka mukso Sri Aji Jayabaya yang berbentuk lingga dan yoni

serta diberi batu manik dan dikelilingi pagar beton tembus pandang dan

dilengkapi tiga buah pintu.29

3) Benda-benda dan alat-alat upacara

Benda pusaka yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara satu

Suro ini adalah berupa tongkat yang bentuknya besar yang merupakan

tongkat pusaka. Tongkat pusaka ini disebut “Kyai Bima”. Pusaka tersebut

berupa sebatang kayu yang didapat di petilasan Sang Prabu Jayabaya

sebelum dipugar. Petilasan itu ditandai dengan pohon kesambi dan ada juga

yang mengatakan pohon kemuning.30

Selain tongkat pusaka, alat lain yang digunakan berupa payung.

Payung ini bersusun satu yang dibawa oleh tamu biasa dan payung yang

bersusun tiga melambangkan kebesaran Sri Aji Jayabaya yang digunakan

untuk mengiringi pusaka tongkat.31

29 Observasi tanggal 22 Februari 2004. 30 Ibid. 31 Ibid.

77

Ada juga baki, bokor, keranjang bunga, dan paduan atau ratus.

Benda-benda tersebut disebut dengan benda-benda ampilan. Maksud dari

benda-benda ampilan yaitu benda-benda yang dipinjamkan oleh pihak

yayasan kepada pihak tuan rumah yaitu desa Menang sebagai kelengkapan

upacara.32

4) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara

Orang-orang yang terlibat di dalam upacara satu Suro adalah

masyarakat desa Menang yang terdiri dari kepala desa, sesepuh masyarakat,

juru kunci dan masyarakat setempat. Adapun peserta lainnya adalah dari

pihak tamu seperti keluarga besar yayasan Hondodento, para undangan dan

terbuka untuk umum.33

Kepemimpinan acara ini masih dipercayakan kepada keluarga besar

yayasan Hondodento, seperti pemimpin upacara, peletakan tongkat pusaka,

acara munjuk atur, munjuk lengsengser dan pembacaan doa. Untuk upacara

selamatan/kenduri pada malam satu Suro sudah dilimpahkan ke desa

Menang.34

4). Saat upacara

Karena tradisi ini adalah tradisi suroan yang berupa upacara ziarah

Satu Suro, maka saat penyelenggaraannya pun yang tepat adalah pada setiap

tanggal 1 bulan Suro yang bertepatan juga dengan peringatan tahun baru 1

32 Observasi tanggal 22 Februari 2004 33 Ibid. 34 Ibid.

78

Muharram. Selain itu satu Suro adalah dimulainya penanggalan Jawa Islam

oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari kerajaan Islam Mataram 35

Menurut Bapak Edy salah satu anggota panitia pelaksanaan upacara

ziarah Satu Suro, menerangkan bahwa “tanggal 1 Suro merupakan tanggal

yang bersejarah karena tanggal tersebut adalah saat jumenengnya atau

pengangkatan seorang raja yaitu raja Sri Aji Jayabaya. Di samping itu

tanggal tersebut merupakan tahun baru Jawa yang mana bahwa upacara

tradisi tersebut yang memiliki adalah adat orang Jawa pada umumnya dan

khususnya masyarakat desa Menang”.36

Proses upacara 1 Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya

a) Sehari sebelum upacara 1 Suro

Upacara ini dimulai pukul 18.00 WIB dengan tahapan upacara di

pendopo kelurahan dan di pamuksan. Adapun upacara tersebut:

- Upacara pemberangkatan sesaji

- Mengheningkan cipta sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

- Pemberangkatan sesaji ke pamuksan, kesemuanya ini dipimpin oleh

kepala desa.37

Sedangkan upacara di pamuksan sebagai berikut:

- Pembukaan

- Juru kunci menghaturkan maksud kedatangan ke pamuksan.

35 Interview dengan Edy, anggota panitia pelaksanaan upacara ziarah 1 Suro, 21 Februari 2004 36 Ibid. 37 Ibid.

79

- Bapak Sekdes selaku wakil masyarakat desa Menang sungkem ke

pamuksan.

- Sambutan kepala desa.

- Doa, pembacaan doa dipimpin oleh Bapak Kamituwo, adapun doa

tersebut berbunyi:

ديس دمحم انديس لا ىلعو دمحم انديس ىلع لص مهللا ىلع نع كرابت هللا ىضرو ملسو نيرخالاو نيلوالا مهللا نيملاعلا بر هلل دمحلاو .نيعمجا هللا لوسر باحصا تانمؤملاو نينمؤملاو تاملسملاو نيملسملا نم ىلرفغا مهللا .دمحم انديس ةم ىصنا مهللا .تاومالاو مهنم ايحالا دمجاو نيملسملا لذخ نم لذخاو نيدلا رصن نم ىصنا ةنسو كمكحا اهيف ىرجت ةبيط ةدلب هذه ايسوذنا انتدلب ءالعلاو ءالبلا انع عفدا مهللا .مويقايىحاي كلوسر تافلتخملاو فويسملاو ركنملاو اشخفلاو أبولاو نيملسملا نادلب نحو نطباحو اهنم رهظام ىخملاو دناسلاو انقو ةنسح ةرخالا ىفو ةنسح ايندلا ىف انتا انبر .ةماع .نيما نوفصي امع ةزعلا بر كبر ناحبس .رانلا باذع

Artinya:

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha

Penyanyang semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan salam

kepada junjungan kita Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad

pimpinan orang terdahulu dan terakhir. Dan semoga Allah memberikan

keselamatan ridha serta keberkahan kepada setiap sahabat Nabi

seluruhnya. Ya Allah ampunilah dosa orang Islam laki-laki dan

perempuan, yang masih hidup dan yang mati, ya Allah mohon

80

pertolongan untuk umat Muhammad. Ya Allah berilah pertolongan

kepada umat yang membela agama dan hinakanlah orang yang

menghinakan orang Islam, dan jadikanlah negara kita Indonesia ini

negara yang bersih dari kejelekan yang di dalamnya berjalan hukum-

hukum Allah dan sunnah-sunnah Rasul. Ya Allah jauhkanlah dari segala

macam mala petaka, belenggu, penyakit, kerusakan, peperangan,

perselisihan, kebodohan dan kesusahan dari yang nampak dan tidak

nampak dari negara seluruh ig Islam. Ya Allah berikanlah kepada kami

kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat serta

jauhkanlah kami dari siksa api neraka. Maha suci Tuhanmu yang

mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan, dan

kesejahteraan dilimpahkan atas para Rasul, dan segala puji bagi Allah

Tuhan seru sekalian alam”.38

Setelah acara selamatan, maka diteruskan dengan malam

tirakatan atau dalam bahasa Jawanya disebut “lek lean”. Ada juga yang

menyebut “tuguran”, yaitu melean atau tidak tidur semalam suntuk

sambil berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Bagi masyarakat

yang mengadakan lek lean di sekitar atau di pamuksan dibatasi sampai

38 Dokumentasi Yayasan Hondodento, berupa Susunan Acara dan Tata Cara Upacara Ziarah 1 Suro Di Desa Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Dati II, Kediri , Jawa Timur.

39 Ibid.

81

jam 02.00 WIB. karena setelah jam tersebut pihak panitia

mempersiapkan pelaksanaan upacara esok harinya.39

Persiapan selamatan ini biasanya terdiri dari:

1) Nasi gurih, nasi putih dengan sambal goreng, serundeng, mie, urap-

urap ketimun dan lauk pauk lainnya.

2) Nasi tumpeng dengan panggang ayam dan ayam bumbu.

3) Jenang suran yang berupa bubur putih yang diberi abon telur goreng

irisan dele goreng dan berkedel.

4) Pisang raja dan kembang wangi.

5) Untuk kuenya bisa berupa apem atau semua jenis papala kependem

seperti ketela, uwi, gembili dan sebagainya.40

b) Prosesi upacara satu Suro di petilasan Sri Aji Jayabaya

Upacara ziarah satu Suro ini, diatur secara prosesi meniru gaya

upacara kraton Yogyakarta. Peserta upacara laki-laki mengenakan

pakaian khas adat Jawa rakyat zaman kerajaan Mataram dahulu.

Berpakaian surjan berkain batik, setagenan menyekelit sebilah keris dan

memakai blangkon sebagai tutup kepala, untuk peserta putrinya,

memakai kain batik, berpakaian kebaya dan rambutnya dipasang konde,

40 Observasi tanggal 21 Februari 2004.

82

khusus petugas penabur bunga pakaian kebaya diganti dengan

kembenan.41

Sebelum acara upacara ini dimulai di pamuksan peserta upacara

berkumpul di pendopo kelurahan yang sudah siap dengan barisannya

masing-masing untuk mengikuti upacara pemberangkatan oleh Bapak

Bupati kepala daerah tingkat II Kediri atau yang mewakili.42

Persiapan upacara ini dimulai pukul 08.00 WIB dengan susunan

upacara sebagai berikut:

- Pembukaan

- Sambutan dari Bapak Bupati atau yang mewakili

- Pimpinan yayasan Hondodento menyerahkan tongkat pusaka sebagai

kelengkapan upacara kepada petugas.Laporan kepala desa Menang

kepada Bupati.

- Laporan Bupati atau yang mewakili memberangkatkan barisan atau

iring-iringan upacara.43

Barisan yang siap diberangkatkan tersebut enam bagian dan

susunannya yaitu:

- Barisan yang paling depan adalah pembuka barisan, yang terdiri dari

tiga orang putri yang membentuk segitiga dan di belakangnya ada 2

orang sebagai pendampingnya. Kemudian di belakangnya ada dua

41 Ibid. 42 Ibid. 43 Ibid.

83

orang anak putra dan satu putri. Sedangkan bagian belakang barisan

ini terdiri dari pembawa payung atau songsong susun tiga yang

berjumlah dua buah, serta pendamping. Tiga pembawa padupan atau

ratus, dan selebihnya adalah terdiri dari enambelas remaja putri

pembawa bunga tabur dan didampingi oleh enam belas orang

pemuda yang membawa payung susun satu.

- Barisan kedua adalah barisan petugas pembawa keris yang terdiri

dari dua orang, pembawa payung susun tiga satu orang dan

selebihnya adalah peserta upacara dari berbagai wakil cabang dan

masyarakat.

- Barisan ketiga dan keempat sama susunannya yaitu satu orang

pembawa payung tersusun satu hampir sama dengan barisan kedua,

tetapi tanpa petugas pembawa keris dan selebihnya adalah petugas

upacara lainnya.

- Barisan kelima dan keenam sama dengan susunan barisan keempat,

hanya saja barisan kelima dan keenam payungnya hanya bersusun

satu. Sedangkan selebihnya adalah peserta upacara yang terdiri dari

remaja putra dan putri, bapak ibu pamong desa beserta para

undangan.44

Adapun susunan acara upacara ziaroh satu Suro di petilasan

Sri Aji Jayabaya sebagai berikut:

44 Ibid.

84

a. Juru kunci menghaturkan keinginan seluruh peserta upacara

untuk menyelenggarakan upacara ziaroh satu Suro di hadapan

Sang Prabu Sri Aji Jayabaya.

b. Mengheningkan cipta dalam posisi duduk, dipimpin oleh

pimpinan rombongan.

c. Munjuk atur yang diwakili oleh pimpinan upacara menghaturkan

maksud kedatangan rombongan di hadapan Sri Aji Jayabaya.

d. Tabur bunga di halaman sebelah timur pamuksan yang dilakukan

oleh 16 remaja putri.

e. Meditasi/renungan, yang dilakukan oleh seluruh rombongan dan

“caos dahar” di pamuksan maksudnya adalah memberi santapan

berupa bunga tabur dengan cara menaburkan kepamuksaan. Caos

dahar dilakukan di loka mahkota dan loka busana.

f. Peletakan tongkat pusaka oleh pimpinan yayasan Hondodento.

g. Pembacaan doa. Adapun bunyi tersebut sebagai berikut:

1) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Mulia. Dengan segala

kerendahan hati, kami panjatkan puji syukur kehadirat-Mu,

karena atas ridho-Mu pada hari ini … kami dapat berkumpul

dari pusat wilayah petilasan sang Prabu Sri Aji Jayabaya

dalam rangka ziarah dan peringatan tahun baru Jawa…

85

2) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha

Pengampun. Ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa para

pahlawan dan leluhur kami. Terimalah jasa dan pengorbanan

jiwa raganya yang telah mereka persembahkan untuk meraih

kejayaan bangsa dan negara kami. Berilah mereka tempat

yang sebaik-baiknya di sisi-Mu sesuai dengan darma

baktinya.

3) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Arif dan Maha Bijaksana.

Berikanlah kepada kami dan pimpinan kami kekuatan,

keteguhan, petunjuk dan tuntunan-Mu sebagaimana telah

Engkau berikan kepada para pahlawan dan leluhur kami.

Perkenankanlah kami dan generasi penerus kami mewarisi

sifat-sifat budi pekerti leluhur para pahlawan dan leluhur

kami, dalam memelihara dan mengisi kemerdekaan bahasa

dan negara kami yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

4) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Agung. Berkatilah hidup

kami ini dalam mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan lahir

batin baik di dunia maupun di hari kemudian. Hindarkanlah

kami dari segala macam bencana dan malapetaka.

Mudahkanlah jalan yang kami tempuh dalam mencapai cita-

cita masyarakat adil dan makmur.

5) Ya Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui. Jadikanlah upacara

ziarah ini sebagai sarana untuk membangkitkan semangat 86

kami dan generasi penerus kami dalam melestarikan dan

mengembangkan nilai-nilai luhur sejarah dan budaya bangsa,

sekaligus mendorong ketulusan jiwa kami dan generasi

penerus kami untuk meneruskan darma bakti para pahlawan

dan leluhur kami, dalam mengabdikan diri kepada-Mu,

kepada bangsa dan negara kami Republik Indonesia.

6) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Kuasa. Kepada-Mulah kami

menyembah dan berserah diri, serta kepada-Mulah kami

memohon pertolongan.

7) Ya Allah, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang

kabulkanlah do’a kami ini. Amin, Amin Ya Rabbal 'Alamin.45

h. Munjuk lengser yaitu menghaturkan rombongan untuk

diperkenankan mengundurkan diri dari hadapan Sri Aji Jayabaya.

i. Ketua yayasan Hondodento mengambil kembali tongkat pusaka

dari hadapan Sri Aji Jayabaya.

j. Caos dahar di pamuksan, loka busana dan lokas mahkota oleh

para tamu undangan dan masyarakat luas. Dalam hal ini dilayani

oleh petugas pembawa baki yang diiringi penyongsong.46

Selanjutnya iring-iringan barisan prosesi upacara menuju ke sendang

Tirtokamandanu. Adapun susunan acara di sendang Tirtokamandanu adalah

45 Dokumentasi Yayasan Hondodento, berupa Susunan Acara dan Tata Cara Upacara Ziarah 1 Suro Di Desa Menang, Kecamatan Pagu Kabupaten Dati II, Kediri , Jawa Timur

46Observasi pada tanggal 22 Februari 2004.

87

pembukaan, mengheningkan cipta, munjuk atur ke sendang, tabur bunga,

pembacaan do’a, munjuk lengser dan diakhiri dengan penutup.

Setelah upacara usai, proses barisan upacara kembali ke balai desa.

Sampainya di balai desa maka kepala desa memberikan laporan kepada

Bupati atau yang mewakili bahwa upacara ziarah telah selesai dilaksanakan.

Kemudian diteruskan dengan penyerahan pusaka tongkat kepada yayasan

Hondodento.47

B. Temuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan tradisi

suroan di petilasan Sri Aji jayabaya dan untuk mengetahui nilai-nilai keislaman dalam

tradisi suroan tersebut. Setelah peneliti mengumpulkan data dengan melalui wawancara

dan observasi dari beberapa informan, peneliti dapat menemukan beberapa hal yang

berkaitan dengan tujuan penelitian. Temuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya

a. Terdapat dua acara pada malam Suro dan pada tanggal 1 Suro.

b. Acara malam Suro meliputi kenduri/slametan di petilasan Sri Aji Jayabaya,

melean (tidak tidur semalam suntuk sampai jam 02.00). Menurut salah satu

pengunjung upacara ziarah satu Suro yaitu bapak Tiono, kenduri/slametan dan

mele’an mempunyai maksud sebagai do’a agar upacara satu Suro yang

diselenggarakan esok harinya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.48

47Ibid. 48 Wawancara dengan bapak Tiono selaku pengunjung Upacara Ziarah Satu Suro.

88

c. Acara 1 Suro meliputi, iring-iringan barisan mulai dari kelurahan menuju ke

petilasan, menghaturkan keinginan menyelenggarakan upacara ziarah,

mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga di halaman sebelah timur

pamuksan, caos dahar di pamuksan, caos dahar di loka mahkota dan loka

busana, peletakan pusaka, pembacaan do’a, munjuk lengser, pengambilan

pusaka, caos dahar tamu undangan, dan terakhir penutup. Berdasarkan observasi

penulis seluruh prosesi pelaksanaan upacara ziarah satu Suro dilaksanakan

dengan penuh khidmat.49

d. Setelah iring-iringan rombongan selesai melaksanakan upacara di pamuksan,

dilanjutkan menuju sendang Tirtokamandanu, acaranya meliputi: pembukaan,

mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga, pembacaan do’a, munjuk

lengser dan penutup, temuan ini berdasakan observasi dari penulis.50

e. Dalam pelaksanaan upacara, para peserta berjalan merunduk ketika menuju

Pamuksan, caos dahar dan peletakan tongkat pusaka, hal ini menurut Bapak

Agus dilakukan bukan sebagai penyembahan tetapi sebagai penghormatan

terhadap leluhur Sri Aji Jayabaya.51

f. Yang menghadiri acara tersebut menurut bapak Ir Waka Waskita bukan saja dari

orang yang beragama Islam, melainkan dari berbagai agama lain dan

pengunjung tidaklah berasal dari desa Menang saja, tetapi juga dari berbagai

daerah dan kola lain seperti: Malang, Yogyakarta, Bali, dan Nganjuk.52

49 Observasi penulis pada tanggal 22 Februari 2004. 50 Observasi pada tanggal 22 Februari 2004. 51 Wawancara dengan bapak Agus, salah satu pelaksana ziarah satu suro. 52 wawancara dengan bapak Ir I Waka Waskita sebagai Salah satu pengunjung Ziarah satu suro.

89

g. Selain upacara satu Suro/acara tahunan menurut juru kunci masih ada acara lain

yaitu pada malam jum’at legi dan selasa kliwon berupa mele’an.53 Sedangkan

menurut Ibu Sri Rahayu hal ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan berkah

(diantaranya, kirim leluhur, mencari petunjuk dan mencari pesugihan).54

2. Nilai-nilai KeIslaman dalam Tradisi Suroan di Petilasan Sri Aji Jayabaya

Disamping nilai-nilai KeIslaman juga terdapat unsur-unsur Jawa, Hindu-

Budha diantaranya adalah Unsur Jawa: pada saat upacara mereka menggunakan

pakaian adat jawa berupa kebaya, jarit dan berkonde bagi peserta upacara perempuan,

sedangkan peserta laki-laki menggunakan blangkon dan keris yang diselipkan di

belakang baju.55 Selain itu, mereka menggunakan kemenyan dan bunga.56 Adapun

Unsur Hindhu-Budha terlihat pada kalimat awal dalam Munjuk Atur yang berbunyi

“Oom Awingnam Astuhu”.Baik yang dibaca di Sendang Tirto Kamandanu maupun

di Petilasan Sri Aji Jayabaya.

Unsur-unsur KeIslaman yang tampak antara lain:

a. Adanya do’a yang dipanjatkan kepada Allah SWT pada acara selamatan malam

Suro yang berupa pembacaan surat Al Fatihah dan Surat Yasin dilanjutkan

dengan pembacaan Tahlil dan kalimat tayyibah lainnya. Do’a yang dipanjatkan

tersebut merupakan respon yang bersifat emosional, yang mengakui bahwa

manusia lemah dan tiada berdaya yang hanya bergantung pada kekuasaan Allah

SWT.Sebagai dzat yang mengabulkan segala permohonan hamba-Nya.

53 Wawancara dengan juru kunci. 54 Wawancara dengan ibu Sri Rahayu, pengunjung ziarah satu suro. 55 Observasi penulis tanggal 22 Februari 2004

90

b. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara ziarah 1 Suro baik di

pamuksan maupun di sendang Tirtokamandanu yang menggunakan kalimat

“Gusti ingkang Maha Kuwaos” (Allah yang Maha Kuasa) dan “Gusti ingkang

Maha Agung” (Allah yang Maha Agung).Adapun yang dimaksud Gusti disini

adalah sebutan Jawa yang predikatnya kepada dzat Yang Maha Kuasa yaitu

Allah SWT. Sebutan Gusti sebagai penghormatan yang tinggi kepada Tuhan,

maka hal ini sama di mana pokok ajaran Islam yang salah satunya tertuang

dalam rukun iman yang juga menempatkan iman kepada Tuhan pada urutan

yang teratas.

c. Terdapatnya pembacaan do’a selamatan yang diawali dengan kalimat:

, sebagai kalimat yang menyebutkan dzat Yang Maha

Pengasih dan Penyayang yang dapat menjadikan kegiatan yang ada menjadi

kesuksesan atau sebaliknya dan perbuatan yang kita laksanakan mendapat ridho

dan memberi manfa’at bagi kita, sehingga tidak sia-sia dalam mengerjakan

perbuatan tersebut.

56 Wawancara dengan bapak Gatot selaku Tokoh masyarakat desa Menang.

91

BAB V

PEMBAHASAN

Kumpulan data yang dianalisa dalam skripsi ini bersumber dari hasil

wawancara dengan kepala desa, beberapa anggota yayasan Hondodento serta

beberapa pengunjung petilasan, dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang ada.

Mengacu pada fokus penelitian dalam skripsi ini, maka penulis akan sajikan berikut

ini hasil analisis data secara sistematis tentang pelaksanaan upacara suroan di

petilasan Sri Aji Jayabaya dan nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan tersebut.

Pelaksanaan upacara suroan yang diadakan di petilasan Sri Aji Jayabaya atau

disebut upacara ziarah satu Suro ini meliputi 4 (empat) komponen yaitu tempat

upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, kelengkapan upacara, dan saat/proses

upacara. Proses upacara dilaksanakan tepat setiap tanggal 1 pada bulan Suro, yang

mana bertepatan juga dengan tahun baru Islam. Penyelenggaraan upacara ini sesuai

dengan pembagian upacara ritual masyarakat Jawa. Menurut Koentjoroningrat,

perayaan upacara tahunan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:1).Perayaan

hari besar Islam yang jatuh pada tanggal 1 Suro, 2)Perayaan maulud Nabi pada

tanggal 12 Mulud dan 3).Perayaan Rejeb-an.1

Pelaksanaan upacara suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya menurut penulis

sangat menjunjung nilai-nilai Jawa, hal ini dapat diketahui dari busana yang dipakai

1 Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 344.

92

pelaksana upacara dan bahasa yang digunakan serta gamelan yang mengiringi

upacara, akan tetapi nilai-nilai keislaman pun masih menyertai dalam pelaksanaan

upacara tersebut. Apalagi upacara suro-an itu bertepatan dengan tahun baru hijriyah

pada tanggal 1 Muharram.

Dalam pelaksanaan ziarah Satu Suro di samping terbentuk dari pola lama

yaitu animisme dan dinamisme, juga diperkaya oleh pengaruh unsur-unsur agama-

agama yang datang kemudian, seperti Hindu, Budha dan juga agama Islam. Dalam

proses perkembangannya terutama dalam proses pembukuan tata cara upacara

semakin menunjukkan nilai keislaman. Unsur/nilai keislaman yang dianggap

penting melalui sudut pandang ajaran Islam lebih konkritnya dalam menyangkut

pokok-pokok ajaran Islam di antaranya yaitu masalah aqidah atau rukun iman.

Keyakinan saja tidak cukup apabila tidak diwujudkan dengan amal perbuatan.

Misalnya dengan beribadah, berdo’a, mengagungkan kesucian-Nya dan pertolongan

hanya kepada Allah.

Pelaksanaan Suroan yang diselenggarakan tidak terlepas dari perasaan

mensucikan oleh para pelaksana upacara terhadap tempat upacara khususnya

petilasan Sri Aji Jayabaya, juga perasaan khidmat terhadap tongkat Kyai Bimo

Sakti, hal ini terlihat dari si pembawa tongkat Kyai Bimo Sakti berjalan merunduk

sewaktu sampai di petilasan Sri Aji Jayabaya untuk diletakkan di Pamuksan.

Perasaan khidmat yang dimiliki para pelaksana upacara suroan di Petilasan Sri Aji

Jayabaya desa Menang sangat sesuai sebagaimana yang diungkapkan oleh Abudin

Nata dan Dede Rosyada tentang nilai respon yang bersifat emosional dari manusia.

93

Menurut keduanya nilai-nilai agama dikategorikan menjadi empat yaitu : Nilai

kepercayaan kepada kekuatan gaib, nilai kepercayaan bahwa kesejahteraan hidup di

dunia dan akhirat tergantung pada hubungan yang baik dengan kekuatan gaib, nilai

respon yang bersifat emosional dari manusia, nilai akan adanya yang Kudus atau

perasaan suci.

Nilai-nilai keIslaman pada tradisi suroan jelas kita lihat pada do’a yang

dipanjatkan pada acara selamatan malam satu Suro. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Dhanu Priya Prabowo, bahwa budaya Jawa memiliki budaya lahir

dan budaya batin, budaya lahir berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai

makhluk hidup dan makhluk sosial. Dalam hal ini budaya Jawa memiliki kaidah-

kaidah yang dapat dengan mudah diidentifikasi berdasarkan ungkapan-ungkapan

budaya sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakat.

Sebaliknya budaya batin berkait dengan persoalan yang bersifat supranatural atau hal-

hal yang dapat dijangkau berdasarkan perhitungan empirik/objektif.

Di dalam beberapa do’a yang diucapkan terdapat lafadz

yang jelas mengandung nilai-nilai keislaman, karena lafadz

tersebut hanya ada dalam ajaran Islam. Nilai-nilai keislaman lebih nampak dalam

do’a yang diucapkan oleh bapak kami tuwo. Do’a tersebut diantaranya adalah

ديس دمحم انديس لا ىلعو دمحم انديس ىلع لص مهللا لوسر باحصا ىلع نع كرابت هللا ىضرو ملسو نيرخالاو نيلوالا نيملسملا نم ىلرفغا مهللا نيملاعلا بر هلل دمحلاو .نيعمجا هللا .تاومالاو مهنم ايحالا تانمؤملاو نينمؤملاو تاملسملاو

94

Do’a tersebut merupakan do’a yang dipanjatkan untuk keselamatan dan

kesejahteraan bagi Nabi Muhammad sebagai Rosulullah dan juga para sahabat Nabi.

Do’a di atas juga memohon ampunankan kepada Allah SWT dosa-dosa seluruh

umat Islam baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.

Di samping itu nilai-nilai keislaman nampak juga dalam menyebut Allah

sebagai Gusti engkang Maha Agung dan Maha Kuwaos dalam Istilah munjuk atur

dan munjuk lengser pada upacara ziarah satu Suro baik di Pamuksan maupun di

Sendang Tirta Kamandanu.

95

BAB VI

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

hasil penelitian sebagai berikut:

1. Pelaksanaan tradisi suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

a. Ada dua macam acara, yakni pada malam satu Suro dan pada tanggal satu

Suro.

b. Acara malam satu Suro meliputi kenduri dan mele’an di petilasan Sri Aji

Jayabaya.

c. Acara satu Suro meliputi iring-iringan barisan mulai dari kelurahan

menuju ke petilasan, menghaturkan keinginan penyelenggaraan upacara

ziarah, mengheningkan cipta, munjuk atur, tabur bunga, caos dahar,

peletakan pusaka, pembacaan doa, munjuk lengser, pengambilan pusaka,

caos dahar atau tamu undangan, dan penutup.

d. Selelah selesai upacara di pamuksan, berlanjut menuju sendang

Tirtokamandanu. Acaranya meliputi: pembukaan, mengheningkan cipta,

munjuk atur, tabur bunga, pembacaan do’a, munjuk lengser dan penutup.

2. Nilai-nilai Keislaman dalam suroan di petilasan Sri Aji Jayabaya

a. Adanya doa yang dipanjatkan pada acara selamatan malam satu Suro.

Do’a yang dipanjatkan tersebut merupkan respon yang bersifat

emosional, yang mengakui bahwa manusia lemah dan tiada berdaya yang

96

hanya bergantung pada kekuasaan Allah SWT.Sebagai dzat yang

mengabulkan segala permohonan hamba-Nya.

b. Istilah munjuk atur dan munjuk lengser pada upacara ziarah satu Suro

baik di pamuksan maupun di sendang Tirtokamandanu yang

menggunakan kalimat-kalimat “Gusti ingkang Maha Kuwaos” (Allah

yang Maha Kuasa) dan “Gusti ingkang Maha Agung” (Allah yang Maha

Agung). Adapun yang dimaksud Gusti disini adalah sebutan Jawa yang

predikatnya kepada dzat Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.

b. Sebutan Gusti sebagai penghormatan yang tinggi kepada Tuhan, maka hal

ini sama di mana pokok ajaran Islam yang salah satunya tertuang dalam

rukun iman yang juga menempatkan iman kepada Tuhan pada urutan yang

teratas.

c. Terdapatnya pembacaan doa selamatan yang diawali dengan kalimat:

sebagai kalimat yang menyebutkan dzat Yang

Maha Pengasih dan Penyayang yang dapat menjadikan kegiatan yang ada

menjadi kesuksesan atau sebaliknya.

97

B. Saran

Diharapkan studi tentang nilai-nilai keislaman pada tradisi suroan ini,

dapat disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut dari segi lain.

Sehingga dapat memberikan gambaran yang lengkap pada tradisi suroan yang

berupa upacara ziarah satu suro tersebut, dalam skala yang lebih luas.

Sebagai generasi muda dan penerus cita-cita bangsa yang berkepribadian

muslim, dengan sendirinya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab akan

kelangsungan agama, umat maupun masa depan bangsa. Untuk itu, demi

tegaknya ajaran Islam terutama yang menyangkut akidah Islamiyah dan

memberikan pembinaan bagi para pengunjung dan masyarakat sekitarnya agar

tidak terjerumus pada perbuatan yang berbau syirik.

98