TRADISI PULANG TIGE ARI DALAM ADAT BETAWI
(TELAAH ETNOGRAFI HUKUM ISLAM
DI SETU BABAKAN JAGAKARSA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
PUTRI SHAFWATIL HUDA
1112044100039
P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
v
ABSTRAK
Putri Shafwatil Huda, NIM 1112044100039, Tradisi Pulang Tige Ari Dalam Adat
Betawi (Telaah Etnografi Hukum Islam Di Setu Babakan Jagakarsa), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta 1437 H/2016 M, 85 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal muasal tradisi Pulang Tige Ari, untuk
mengetahui apa saja yang dilakukan dalam tradisi Pulang Tige Ari dan untuk mengetahui
pandangan hukum Islam tentang tradisi Pulang Tige Ari.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan pendekatan
Etnografis. Penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field
research), dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya
sekedar memaparkan karakteristik saja, melainkan juga menganalisa dan menjelaskan
mengapa dan bagaimana hal itu terjadi. Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan
sekunder dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara,
studi dokumentasi dan studi pustaka.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa asal muasal tradisi Pulang
Tige Ari dipengaruhi oleh budaya Melayu, Cina, Arab, Eropa dan India. Tahapan yang
dilakukan mulai dari penjemputan oleh pihak keluarga laki-laki, lalu dilanjutkan dengan
acara perayaan, kemudian terjadi hubungan suami-istri, adanya simbol yang menandakan suci
atau tidak pengantin perempuan, dan terakhir acara selamatan untuk mengucap rasa syukur
karena pengantin perempuan masih suci. Tradisi ini pada dasarnya tidak bertentangan dengan
hukum Islam, karena ini merupakan bagian dari adat. Masyarakat Betawi identik dengan
Islam dan tidak ada masyarakat Betawi yang tidak Islam (non muslim). Tradisi berangkat dari
sumber agama yaitu Islam. Oleh sebab itu tradisi-tradisi di masyarakat Betawi di perbolehkan
dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Kata Kunci : Tradisi Pulang Tige Ari Dalam Adat Betawi (Telaah Etnografi
Hukum Islam Di Setu Babakan Jagakarsa).
Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag., M.H.
Daftar pustaka : 1982 sampai 2016.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan
penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda
Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi terakhir serta manusia yang paling mulia.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah banyak
membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, S.Ag., MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Unversitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga yang selalu
memerikan pelayanan terbaik serta motivasi-motivasi kepada penulis.
3. Arip Purkon, M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang selalu
memberikan pelayanan terbaik.
4. Dr. H. Yayan Sofyan, S.H., M.Ag., M.H., Dosen Pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. JM. Muslimin, MA., Ph.D., Dosen Pembimbing Akademik yang telah meluangkan
waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing serta memotivasi penulis.
6. Perpustakaan Umum, Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Nasional, serta Lembaga Kebudayaan Betawi yang telah membantu
dalam menyediakan bahan-bahan referensi skripsi ini.
7. Bapak Yahya Andi Saputra, Prof. Dr. Murodi, MA., Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.,
yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk menjadi narasumber skripsi ini.
8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum Keluarga yang
dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis.
9. Secara khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Ayahanda
H.M. Yazid Ya’qub dan Ibunda Hj. Majidah yang telah memberikan dukungan moril
dan materil, yang senantiasa dengan tulus memberikan motivasi dan bimbingan serta
mendoakan penulis.
vii
10. Kakak tercinta Fajrul Islamy AB, S.H., dan adik tercinta Nailah Rizkia yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil, kepada kelurga besar penulis yang
senantiasa memberikan motivasi.
11. Teman-teman Peradilan Agama 2012, khususnya Aisyah, Nafis, Nanik Sarifah, Nisa,
Fida, Deza, April, Iffa, Syah ul, Ridwan serta keluarga Peradilan Agama kelas A yang
telah memberikan semangat untuk penulis.
12. Sahabat-sahabatku Windy Tri Kurniawati dan Sahara Indah Sari yang telah
memberikan dukungan dan semangat.
13. Teman-teman IKPA BAZIS Provinsi DKI Jakarta, khusunya BAZIS Jakarta Selatan.
14. Tak terlupakan pula terima kasih kepada semua yang telah berjasa membantu dalam
pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak
mengurangi rasa terima kasih penulis yang sebesar-besarnya.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsinya dicatat sebagai amal ibadah dan semoga
skripsi ini dapat bermanfaat.
Jakarta, 10 Jumadil Awwal 1438 H
09 Januari 2017
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah..............................................................................1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................7
C. Pembatasan Masalah....................................................................................7
D. Perumusan Masalah.....................................................................................7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................8
F. Review Studi Terdahulu..............................................................................8
G. Metode Penelitian......................................................................................11
H. Sistematika Penulisan................................................................................14
BAB II ISLAM DAN BUDAYA.................................................................................16
A. Antropologi................................................................................................16
B. Perubahan Sosial dan Budaya....................................................................22
C. Fungsi Budaya Bagi Masyarakat...............................................................31
D. Budaya dan Islam......................................................................................33
E. Islam dan Betawi.......................................................................................35
BAB III ISLAM DAN BETAWI DALAM PERKAWINAN....................................40
A. Lamaran.....................................................................................................41
B. Pernikahan.................................................................................................47
C. Acara Setelah Pernikahan..........................................................................52
BAB IV TRADISI PULANG TIGE ARI DI SETU BABAKAN JAGAKARSA...57
A. Profil Setu Babakan Jagakarsa..................................................................57
ix
B. Pulang Tige Ari.........................................................................................68
C. Analisis Penulis.........................................................................................73
BAB V PENUTUP.......................................................................................................77
A. Kesimpulan................................................................................................77
B. Saran-Saran................................................................................................79
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................81
LAMPIRAN............................................................................................................................85
1. Wawancara dengan Budayawan Yahya Andi Saputra Mengenai Tradisi Pulang Tige
Ari.
2. Wawancara dengan Akademika Prof. Dr. Murodi, MA. Mengenai Tradisi Pulang Tige
Ari.
3. Wawancara dengan Ahli Hukum Islam Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA. Mengenai
Tradisi Pulang Tige Ari.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragamana. Baik
itu etnik, budaya, adat maupun agama. Agama di Indonesia hadir dan berkembang
dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnnya. Selanjutnya, norma ini
mulai menyerap dalam institusi masyarakat.1
Masyarakat muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang
berkaitan dengan hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional
hukum Islam terus-menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam
menjalani kehidupan sosialnya. Jika ditelisik mendalam, hukum Islam mempunyai
perbedaan dengan hukum yang ada dalam masyarakat. Hukum Islam adalah
peraturan yang didatangkan dari langit, lewat kreasi intelektual para ulama fikih,
dengan memahami pesan yang tertulis dalam Alquran maupun Sunnah. Kreasi
intelektual itu bersifat nisbi, terkait dengan kemampuan nalar para ulama fikih,
sekaligus perubahan sosial yang ada ketika hukum Islam itu lahir.2
Hukum Islam merupakan kata majemuk yang asalnya terdiri dari kata
“hukum” dan “Islam”. Hukum, pertama; hukum adalah peraturan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak.
Kedua; segala undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur
1 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidatullah Jakarta, 2011), h. 11. 2 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, h. 12.
2
pergaulan hidup dalam masyarakat. Kata “Islam” diartikan agama yang diajarkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi hukum Islam adalah sebagai peraturan
tentang tingkah laku manusia mukallaf (layak dituntut hukum) yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam berdasarkan Alquran-
Hadits.3
Yang terpenting adalah syariah atau syariat Islam, fikih Islam dan undang-
undang Islam. Berbeda dengan semua sistem hukum yang lain, yang sumber
hukumnya semata-mata berdasarkan tradisi dan atau budaya dalam hal ini akal
pikiran para pembentuk undang-undang, sistem hukum Islam selalu dan
selamanya bersumberkan wahyu Ilahi dalam hal ini terutama Alquran yang
kemudian diikuti Hadits dan baru digali serta dikembangkan lebih lanjut oleh para
ahli hukum Islam melalui literatur fikih para fuqaha.4
Hukum Islam, fikih atau syariat Islam merupakan sebuah jalan atau
ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Hukum tersebut pada hakikatnya mewujudkan kemaslahatan dan kebaikan hidup
manusia, baik individual maupun sosial.5
Kedatangan Islam tersebar ke seluruh Indonesia, salah satunya di Jakarta.
Masyarakat yang mendiami wilayah Jakarta sejak dulu dikenal dengan sebutan
etnis Betawi. Tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang
3 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidatullah Jakarta, 2011), h. 12. 4 Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia, (Tanggerang Selatan: UIN Syarif Hidatullah Jakarta, 2009), h. 19. 5 Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, h. 14.
3
fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya
pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat
disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama
dengan munculnya sejumlah ulama dan habaib terkemuka.6
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal
ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan
berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cendrung lebih toleran dan inklusif
serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila
organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang
mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali
mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman
tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang beberapa
hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.7
Pengaruh dalam hal agama dan hal keyakinan bisa dikatakan bahwa
masyarakat Betawi adalah masyarakat yang memegang keislaman dengan begitu
kuat. Dari ke-Islaman orang Betawi ini lahirlah kebudayaan Islam Betawi yang
mewarnai siklus hidup orang Betawi, sejak dalam kandungan sampai kematian.8
Oleh sebab itu ada pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada orang Betawi
6 Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi Dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 Dan 20), (Jakarta: Manhalun Nasyi-in
Press, 2011), h. 57. 7 Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi Dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 Dan 20), h. 62. 8 Anisa. “Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan Betawi” artikel diakses pada 18
November 2008 dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/08/11/17/15092-kebudayaan-islam-betawi-dulu-kini-dan-esok.
4
yang bukan beragama Islam. Jika ada, maka orang tersebut bukan lagi orang
Betawi.
Indonesia sebagai Negara multikultural tentu memiliki tradisi pernikahan
yang berbeda–beda dalam setiap suku. Tak terkecuali pada Tradisi Pernikahan
adat Betawi. Etnis Betawi yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan
sekitarnya tentu memiliki Tradisi pernikahan yang berbeda dari Tradisi
Pernikahan dari Etnis yang lain.9
Masyarakat betawi adalah suatu masyarakat yang mendiami suatu daerah
Jakarta pada masa mulai berdirinya Jayakarta akibat takluknya Bangsa Portugis,
wilayah Batavia pada mulanya hanya berkisar pada daerah yang menurut Ridwan
Saidi hanya sekitar kali sentries.10
Kebudayaan masyarakat Betawi yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan-
kebudayaan asing seperti kebudayaan Arab, Cina, dan Belanda, ataupun
kebudayaan-kebudayaan yang masuk dari wilayah Indonesia itu sendiri seperti
Makasar, Sunda, dan Jawa hanya menjadi corak berorentasi kepada etika Islam.11
Adat pernikahan yang masih ada hingga saat ini salah satunya diperlihatkan
oleh adat pernikahan masyarakat Betawi. Sebagai suatu kelompok etnik,
masyarakat etnik, masyarakat Betawi pun memiliki berbagai atribut budaya
9 Fajar Pratiwi, “Tindak Tutur Komunikasi Pada Upacara Pernikahan Adat Betawi (Studi
Fenomenologi Linguistik Dengan Pendekatan Analisis Percakapan Tentang Tindak Tutur
Komunikasi Pada Tradisi Berbalas Pantun Dalam Upacara Pernikahan Adat Betawi)”, (Skripsi
S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia Bandung, 2014), h. 3. 10
Ridwan Saidi, Babad Tanah Betawi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2002), h. 153. 11
Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita,
1983), h. 18.
5
sendiri sebagai manifestasi keberadaannya, termasuk adat istiadat dalam
perkawinan.12
Adat dan upacara perkawinan pada masyarakat Betawi dilakukan melalui
beberapa proses sesuai dengan tahapan yang mengawalinya. Tahapan-tahapan
tersebut diawali dengan masa perjumpaan dan pendekatan, lamaran sampai
dengan aqad nikah yang merupakan resminya seorang pemuda dan seorang gadis
menjadi suami istri serta pesta yang melengkapinya.13
Salah satu prosesi yang ada di adat Betawi adalah “Pulang Tige Ari”.
Acara penganten pulang tige ari ini berlangsung setelah Tuan raje Mude
bermalam beberapa hari di rumah None Penganten.14
Acara Pulang Tige Ari
(Pulang Tiga Hari) ini tidak mutlak bahwa setelah tiga hari mereka akan dijemput.
Dahulunya memang demikian akan tetapi pada masa menjelang kemerdekaan
Pulang Tige Ari tersebut dapat berlangsung sesudah satu minggu atau lebih.15
Untuk keperluan acara Pulang Tige Ari ini utusan yang bertindak sebagai
wakil keluarga pengantin laki-laki akan datang menjemput pengantin perempuan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sebelum berangkat ke rumah
mertuanya pengantin perempuan diberi wejangan bagaimana seharusnya ia
berperilaku di rumah suaminya nanti.16
12
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, (Jakarta: Lembaga
Kebudayaan Betawi, 1994), h. 1. 13
Lembaga Kebudayaan Betawi, h. 12. 14
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 66. 15
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 30. 16
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, h. 30.
6
Disamping wejangan-wejangan tersebut yang khusus dan penting adanya
suatu kebiasaan yaitu dimana di kamarnya akan diletakkan seperangkat kotak sirih
komplit dengan isinya dan selembar kain putih. Ini menandakan bahwa pada
malam ini dianjurkan sebaiknya ia sudah “menerima” suami nya.
Dalam adat Betawi ini mengharuskan jika pada malam itu telah terjadi
“kumpul” antara keduanya, pada pagi hari suaminya akan mengeluarkan kotak
sirih dan meletakkan di sisi luar pintu kamar. Jika alat penumbuk sirih diletakkan
miring atau tergeletak di antara perlengkapan lainnya, itu mengisyaratkan bahwa
None Penganten benar-benar gadis suci ketika memasuki mahligai pernikahan.
Sebaliknya jika tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan,
berarti None Penganten bukan gadis lagi tatkala memasuki mahligai pernikahan.17
Sehubungan dengan praktek perkawinan adat betawi yang sudah
dijelaskan diatas terkait masalah Tradisi Pulang Tige Ari dalam Adat betawi
penulis ingin melakukan penelitian yang diberi judul “TRADISI PULANG
TIGE ARI DALAM ADAT BETAWI (TELAAH ETNOGRAFI HUKUM
ISLAM DI SETU BABAKAN JAGAKARSA)”.
Penelitian ini penting dilakukan karena banyak masyarakat banyak yang
kurang memahami terkait masalah salah satu tradisi pernikahan dalam adat
Betawi. Hal ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang
ditimbul di masyarakat selama ini.
17
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 67.
7
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah dalam pernikahan budaya Betawi bertentangan dengan syariat
Islam?
2. Mengapa Betawi identik dengan Islam?
3. Apa saja budaya Betawi yang harus dilakukan seseorang ketika hendak
ingin menikah?
4. Apakah budaya Betawi dipengaruhi oleh budaya negara lain?
5. Adakah hari baik yang dipercaya masyarakat Betawi dalam
melangsungkan pernikahan?
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasannya tidak melebar, penulis membatasi hanya membahas
seputar Tradisi Pulang Tige Ari menurut hukum adat Betawi itu sendiri dan
pembahasan tentang Tradisi Pulang Tige Ari menurut pandangan hukum
Islam mengenai adat tersebut yang terjadi di Setu Babakan Jagakarsa.
D. Rumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang sudah penulis uraikan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan di bawah ini:
1. Dari manakah asal muasal tradisi Pulang Tige Ari?
2. Apa saja yang dilakukan dalam tradisi Pulang Tige Ari?
3. Bagaimana hukum Islam Memandang tradisi Pulang Tige Ari?
8
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang ingin
dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari pemahanan tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui asal muasal tradisi Pulang tige Ari.
2. Mengetahui yang dilakukan dalam tradisi Pulang Tige Ari.
3. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang tradisi Pulang Tige Ari.
Sejalan dengan tujuan penelitian makan penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat:
1. Penelitian ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dalam
masyarakat Betawi mengenai budaya Pulang Tige Ari.
2. Memberikan karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah
Jakarta.
3. Secara akademis agar dapat memberikan motivasi dan dorongan kepada
penulis lain untuk mengadakan penelitian yang bersifat etnografis,
sehingga dapat mengharmonisasikan kehidupan di Indonesia yang
berbudaya dan memiliki adat istiadat masing-masing dengan Islam.
F. Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan
dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan
dipakai. Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal yang telah diteliti dan
9
yang belum diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi penelitian.18
Penulis
menemukan karya, yaitu:
No Aspek
perbandingan
Peneliti Terdahulu Peneliti
sekarang
1 Judul
Penelitian
1. Muhasim, Tradisi
Kudangan Perkawinan
Betawi Dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi Kasus
kelurahan Benda Baru
Kec. Pamulang), Skripsi,
Konsentrasi Peradilan
Agama FSH UIN Jakarta,
2009.
2. Ahmad Fauzi, Respon
Masyarakat Kelurahan
Pasir Putih Kecamatan
Sawangan Kota Depok
Terhadap Nikah Dengan
Melangkahi Kakak
Kandung, Skripsi,
Konsentrasi Peradilan
Agama FSH UIN Jakarta,
2010.
Putri
Shafwatil
Huda, Tradisi
Pulang Tige
Ari Dalam
Adat Betawi
(Telaah
Etnografi
Hukum Islam
Di Setu
Babakan
Jagakarsa),
Skripsi,
Konsentrasi
Peradilan
Agama FSH
UIN Jakarta,
2106.
2 Fokus
Penelitian
1. Fokus pada permintaan
atau syarat pihak
perempuan yang belum
bisa dipenuhi oleh kedua
orang tua maka permintaan
tersebut harus dipenuhi
oleh pihak laki-laki yang
akan dinikahinya. Apakah
kudangan ini termsauk
mahar atau tidak.
2. Fokus pada penghalang
bagi seseorang untuk
menikah karena kakak atau
orang tua tidak
memberikan izin.
Kalaupun diizinkan maka
diharuskan membayar
Perbedaan dua
(2) skripsi
tersebut
dengan skripsi
yang penulis
susun adalah
pada skripsi
pertama (1)
membahas
tentang
Tradisi
Kudangan,
apakah
kudangan itu
termasuk
mahar atau
tidak. Pada
18
Supriyadi Ahmad, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidatullah Jakarta, (Jakarta: PPJM Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidatullah Jakarta, 2012), h. 8.
10
uang pelangkah (uang atau
barang) kepada kakak yang
belum menikah. Hal ini
bisa menjadi beban dan
mereka yang akan menikah
bisa mengurungkan
niatnya untuk menikah.
skripsi kedua
(2) membahas
tentang
menikah
dengan
melangkahi
kakak
kandung.
Dimana fokus
penelitiannya
mengarah
kepada uang
pelangkah
atau
pemberian
sang adik
kepada sang
kakak ketika
ingin menikah.
Sedangkan
pada
penelitian ini
penulis lebih
fokus ke
Tradisi Pulang
Tige Ari
dimana tradisi
ini dilakukan
untuk
mengetahui
apakah
perempuan
yang nikahi
masih suci
atau tidak.
3 Obyek
Penelitian
1. Tradisi Kudangan
Perkawinan Betawi Dalam
Perspektif Hukum Islam
(Studi Kasus kelurahan
Benda Baru Kec.
Pamulang)
2. Ahmad Fauzi, Respon
Masyarakat Kelurahan
Pasir Putih Kecamatan
Sawangan Kota Depok
Terhadap Nikah Dengan
Tradisi Pulang
Tige Ari
Dalam Adat
Betawi
(Telaah
Etnografi
Hukum Islam
Di Setu
Babakan
Jagakarsa)
11
Melangkahi Kakak
Kandung, Skripsi,
Konsentrasi Peradilan
Agama FSH UIN Jakarta,
2010.
4 Metode
penelitian
1. Penelitian lapangan (Field
Research).
2. Penelitian lapangan (Field
Research).
Penelitian
lapangan
(Field
Research).
5 Metode
analisis isi
1. Menggunakan metode
deskriptif (deskriptive
reseach).
2. Menggunakan metode
deskriptif (deskriptive
reseach).
Menggunakan
metode
deskriptif
(deskriptive
reseach)
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif adalah berpijak dari realita atas
peristiwa yang berlangsung dilapangan. Apa yang dihadapi dalam
penelitian adalah sosial kehidupan sehari-hari. Penelitian seperti berupaya
memandang apa yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan
temuan-temuan yang diperoleh didalamnya. Oleh karena itu, apa yang
dilakukan oleh peneliti selama dilapangan termasuk dalam suatu posisi
yang berdasarkan kasus, yang mengarahkan perhatian dalam spesifikasi
kasus-kasus tertentu.19
19
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet.III, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 82.
12
2. Pendekatan Penelitian
Pendekan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang merupakan metode
dengan mengamati secara langsung (survey) atau menggunakan data-data
berupa gambaran sebenarnya tentang Budaya Pernikahan Adat Betawi
ditinjau dari Perspektif Fiqih serta melakukan observasi langsung.
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara
langsung dari budayawan,20
akademisi serta masyarakat baik yang
dilakukan secara wawancara, observasi atau yang lainnya.21
Data
diperoleh dari wawancara dengan budayawan, akademisi, ahli hukum
Islam dan penduduk Setu Babakan, serta buku-buku dan data lainnya yang
memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penjelasan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau berasal dari bahan
perpustakaan untuk menguatkan.22
Data ini biasanya untuk melengkapi
data primer dapat berupa buku-buku, makalah seminar, jurnal-jurnal,
20
Budayawan adalah orang yang berkecimpung dalam kebudayaan, ahli kebudayaan,
seseorang yang senantiasa mengikuti perkembangan zaman. 21
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Pers, 1996), h. 12.
22
P. Joko Subagio, Metode Penelittian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1997), h. 87.
13
laporan penelitian dan data lain yang terkumpul yang mempunyai
hubungan dengan tema ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Cara pegumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan
memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung antara
peneliti dengan informan. Penulis mewawancarai Bapak Yahya Andi
Saputra, Prof. Dr. Murodi, MA., dan Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA.
Wawancara ini bertujuan untuk memeriksa kebenaran informasi yang
diperoleh sebelumnya.
b. Observasi
Observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap objek yang
diteliti. Tujuan observasi ini adalah untuk informasi mengenai objek
penelitian seperti apa yang terjadi pada kenyataannya.
c. Dokumen
Dokumen yaitu sejumlah bahan bukti berupa fakta dan data yang
tersimpan dalam bentuk dokumen. Dapat berbentuk dokumen
pemerintahan atau swasta, dalam bentuk website, dan lain-lain.
14
5. Metode Analisis
Penulis menggunakan metode deskriptif (deskriptive reseach)
dalam proses analisa data penelitian deskriptif adalah hasil penelitian yang
diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas dan sistematis.23
Proses analisa yang dilakukan dari hasil wawancara dengan
narasumber serta data-data tambahan dari buku terkait kemudian penulis
menggabungkan dengan analisa yang dimilikinya.
Adapun teknis penulisan, penulis merujuk kepada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidatullah jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Bab I Bab Pertama tentang Pendahuluan dengan memuat Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode penelitian dan
Sistematika Penulisan.
Bab II Bab Kedua tentang Islam dan Budaya dengan memuat
Antropologi, Perubahan Sosial dan Budaya, Fungi Budaya
23
Joko Medikanto, Penetapan Wali Adhal (Studi Kasus Pengadilan Agama Kendal),
Tesis, (Semarang, 2006), h. 56.
15
Bagi Masyarakat, Islam dan Budaya, serta Islam dan
Betawi.
Bab III Bab Ketiga tentang Islam dan Betawi Dalam Pernikahan
dengan memuat Lamaran, Pernikahan, serta Acara Setelah
Pernikahan.
Bab IV Bab Keempat tentang Tradisi Pulang Tige Ari Di Setu
Babakan Jagakarsa dengan memuat Profil Setu Babakan
Jagakarsa, Pulang Tige Ari, serta Analisis Penulis.
Bab V Bab Kelima tentang Penutup berisi tentang kesimpulan dan
saran-saran.
16
BAB II
BUDAYA DAN ISLAM
A. Antropologi
Anthropology berarti “ilmu tentang manusia”, dan adalah suatu istilah
yang sangat tua. Dahulu istilah itu digunakan dalam arti yang lain, yaitu “ilmu
tentang ciri-ciri tubuh manusia”. Dapat dikatakan bahwa antropologi adalah ilmu
tentang manusia masa lalu dan kini. Antropologi berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata anthropos (manusia) dan logos (wacana), dapat disimpulkan
bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Antropologi dalam perjalanan nya mengalami fase-fase perkembangan,
diantaranya:1
1. Fase pertama (sebeum 1800), kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika,
Asia danAmerika selama 4 abad membawa pengaruh bagi berbagai suku
bangsa ketiga benua tersebut. Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisan
buah tangan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, Penerjemah
Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah perjalanan,
laporan dan sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai
pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, dan
ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa.
2. Fase kedua (kira-kira pertengahan Abad ke-19), dalam fase perkembangannya
yang kedua ini ilmu antropologi berupa suati ilmu yang akademikal, dengan
tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 1-5.
17
kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
3. Fase ketiga (permulaan abad ke-20), dalam fase ketiga ini ilmu antroplogi
menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya adalah mempelajari masyarakat
dan kebudayaan suku-suku di luar Eropa guna kepentingan pemerintah
kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini
yang kompleks.
4. Fase keempat (sesudah kira-kira 1930), mengenai tujuannya ilmu antropologi
yang baru dalam fase ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan
praktisnya. Tujuan akademisnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk
manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya,
masyarakat serta kebudayaannya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah
mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna
membangun masyarakt suka bangsa itu.
Antropologi telah berkembang secara ruang lingkup dan batas lapangan
perhatiannya yang luas itu menyebabkan adanya paling sedikit lima masalah
penelitian khusus. Berkaitan denga pengkhususan kelima lapangan tersebut, ilmu
antropologi mengenal juga ilmu-ilmu bagain, yaitu:2
1) Paleo-antropologi Disebut antropologi fisik dalam arti luas
2) Antroplogi fisik
2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 5-6.
18
3) Etnolinguistik
4) Prehistori Disebut antropologi budaya
5) Etnologi
Paleo-antroplogi adalah ilmu bagian yang meneliti asl-usul atau terjadinya
dan evolusi manusia dengan mempergunakan sisa-sisa tubuh yang telah membeku
(fosil-fosil manusia) tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi yang harus didapat
oleh si peneliti dengan berbagai metode penggalian.3
Antropologi fisik dalam arti khusus adalah bagian dari ilmu antropologi
yang mencoba mencapai suatu pengertianctentang sejarh terjadinya beragam
manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya. Bahan penelitiannya adalah ciri-
ciri tubuh, baik yang lahir (fenotipe) seperti warna kulit, warna dan bentuk
rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi dan
bentuk tubuh, maupun yang dalam (genotipe), seperti frekuensi golongan darah
dan sebagainya. Manusia di muka bumi ini dapat digolongkan ke dalam beberapa
golongan tertentu berdasarkan atas persamaan beberapa ciri tubuh. Adapun ciri-
ciri tubuh itu terdapat pada sebagian besar individu-individu, walaupun tiap
individu memiliki ciri-ciri tubuh yang berbeda-beda. Penggolongan manusia
seperti itu dalam ilmu antropologi disebut “ras”. Pengertian tentang pelbagai ras
di dunia dicapai oleh para sarjana, terutama dengan menjalankan berbagai merode
3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 11.
19
klasifikasi terhadap beragam ciri tubuh tersebut. Bagian dari ilmu antropologi ini
disebut antropologi fisik dalam arti khusus atau samatologi.4
Etnolinguistik atau antropologi linguistik adalah ilmu bagian yang asal
mulanya berkaitan erat dengan ilmu antropologi. Bahkan penelitiannya yang
berupa daftar kata-kata, pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus
bahasa suku bangsa yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi ini, terkumpul
bersama-sama dengan bahan kebudayaan suku bangsa. Dari bahan ini telah
berkembang berbagai macam merode analisis kebudayaan, serta berbagai metode
untuk menganalisis dan mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan.
Semua bahan dan metode tersebut sekarang telah terolah juga dalam ilmu
linguistik umum. Walaupun demikian, ilmu etnolinguistik di berbagai pusat
ilmiah di dunia masih tetap juga berkaitan erat dengan ilmu antropologi, bahkan
merupakan bagian dari ilmu antropologi.5 Ilmu linguistik mula-mula terjadi pada
akhir abad ke-18, ketika para ahli mulai mengalisa naskah-naskah klasik dalam
bahasa-bahasa Indo-German (Latin, Yunani, Gotis, Avetis Sansekerta dan lain-
lain). Saat ini ilmu linguistik telah berkembang menjadi ilmu yang berusaha
mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode untuk mengupas segala
macam bentuk bahasa secara global. Dengan demikian secara cepat dan mudah
dapat dicapai suatu pengertian tentang ciri-ciri dasar dari semua bahasa di dunia.6
4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 11.
5 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, h. 12.
6 Koentjaraningrat, Pengantar Antrplologi - Jilid I, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 21-
22.
20
Prehistori, mempelajari sejarah perkembangan dan penyebaran semua
kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal huruf. Dalam ilmu
sejarah, seluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia mulai saat
terjadinya makhluk manusia, yaitu kira-kira 800.000 tahun yang lalu, hingga
sekarang dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa sebelum manusia mengenal huruf
dan masa setelah manusia mengenal huruf.7
Batas antara kedua masa ini di berbagai tempat di dunia dan dalam
berbagai kebudayaan tentulah sangat berbeda. Kebudayaan Messir adalah
kebudayaan tertua yang mengenal tulisan, yaitu sekitar 4.000 tahun S.M,
kebudayaan Minoa yang terdapat bekas-bekasnya di Pulau Kreta, mengenal
tulisan sudah kurang lebih 3.000 tahun S.M, kebudayaan Yemdet Nasr yang
berlokasi di Irak Selatan. Sebaliknya, banyak kebudayaan lain di dunia baru
mengenal tulisan rata-rata sekitar 100 tahun S.M, sedangkan lebih banyak
kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang terssebar di muka bumi ini baru
mengenal tulisan pada abad ke-20 ini. Suatu bangsa yang tidak mengenal huruf,
tentu tidak dapat menyatakan kejadian dan peristiwa dalam kehidupan
kebudayaan dan masyarakatnya dengan tulisan. Dengan demikian tidak dapat
meninggalkan sumber-sumber tertulis kepada kita yang mempelajari sejarah
perkembangan kebudayaan itu. Sebaliknya, suatu bangsa yang telah mengenal
tulisan dapat mencatat semua peristiwa dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya dalam kitab-kitab dan tulisan-tulisan lainnya, tentu saja bangsa itu
akan meninggalkan kepada kita sumber-sumber keterangan tulisan. Zaman
7 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 12.
21
sebelum suatu bangsa mengenal huruf dalam ilmu pengetahuan disebut zaman
prehistori (sebelum sejarah), sedangkan zaman sesudah suatu bangsa mengenal
huruf disebut zman histori (sejarah). Zaman prehistori dipelajari oleh subilmu
prehistori sedangkan zaman histori dipelajari oleh ilmu sejarah. Bahkan penelitan
ilmu prehistori adalah bekas-bekas kebudayaan yang berupa benda-benda dan
alat-alat, atau artefak-artefak yang tersimpan dalam lapisan-lapisan bumi.8
Etnografi adalah ilmu bagian yang mencoba mencapai pegertian mengenai
asas-asas manusia, dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam
kehidupan masyarakat dari sebnayak mungkinsuku bangsa yang tersebar di
seluruh muka bumi pada masa sekarang ini. Lebih khusus lagi dalam kalangan
subilmu etnologi, akhir-akhir ini telah berkembang dua golongan penelitian.
Golongan yang satu menekankan pada bidang diakronis, sedangkan yang lain
menekankan pada bidang sinkronis dari kebudayaan umat manusia.9 Nama yang
tepat untuk kedua macam penelitian tersebut belum ada, tetapi sering kita lihat
adanya nama-nama seperti descriptive integration untuk penelitian-penelitian
yang diakronis dan generalizing approach untuk penelitian-penelitian sinkronis.10
Descritive integration dalam etnologi mengolah dan mengintegrasikan
menjadi satu hasil penelitian dari sub-sub ilmu antropologi fisik, etnolinguistik,
8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 13.
9 Diakronis berarti berturut-turut dalam berjalannya waktu; sinkronis berarti bersamaan
dalam satu waktu. 10
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, h. 13.
22
ilmu prehistori, dan etnografi.11
Dipandang dari metodenya maka descriptive
integration termasuk secara khusus dalam lapangan subilmu etnologi, tetapi
emmpunyai tujuan untuk mencari pengertian tentang sejarah perkembagan dari
suatu daerah.12
Generalizing approach (antropologi sosial) dalam etnologi mencari asa
persamaan beragam masyarakat dari kelompok-kelompok manusia di muka bumi
itu. Pengertian tentang asa tersebut dapat dicapai dengan metode-metode yang
dimasukkan ke dalam dua golongan. Golongan pertama terdiri dari metode yang
menuju ke arah penelitian mendalam dan bulat dari sejumlah masyarakat dan
kebudayaan yang terbatas (tiga sampai paling banyak lima). Golongan kedua
terdiri dari metode yang menuju ke arah perbandingan merata sejumlah unsur
terbatas dalam sebanyak mungkin jumlah masyarakat (dua-tiga ratus atau lebih).13
B. Perubahan Sosial dan Budaya
Perubahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
suatu hal (keadaan) yang berubah; peralihan; pertukaran. Perubahan dalam diri
manusia sudah terjadi sejak manusia itu lahir dan terus terjadi sampai akhir
hayatnya. Sedangkan pengertian sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan
masyarakat atau yang berkaitan dengan kepentingan umum.14
11
Etnografi adalah bagian dari etnologi yang meliputi segala cara pengumpulan bahan
dan deskripsi tentang masyarakat dan kebudayaan dari suku bangsa di suatu daerah tertentu,
dengan demikian etnografi adalah bagian deskripsi dari etnologi. 12
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.14. 13
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antrplologi, h. 15. 14
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke 3,4, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 931.
23
Salah satu ahli mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian
perubahan sosial, menurut Soejono Soekanto perubahan sosial adalah segala
perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat,
yang mempengarahi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan
pola-perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.15
Perubahan sosial dalam masyarakat berkaitan dengan :
(1) nilai-nilai sosial
(2) pola-pola perilaku
(3) organisasi
(4) lembaga kemasyarakatan
(5) lapisan masyarakat
(6) kekuasaan, wewenang dan lain-lain
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai lembaga-lembaga sosial, yang
merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang menyangkut
kebutuhan pokok manusia. Lembaga-lembaga sosial tesebut sebagai pedoman
berperilaku, sebagai dasar integrasi masyarakat serta sebagai pegangan untuk
mengadakan “sosial control” atau pengendalian sosial. Di dalam kehidupan
bersama yang disebut masyarakat, tidak setiap norma dengan sendirinya menjadi
15
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1990), h. 335.
24
bagian dari suatu lembaga sosial. Untuk menjadi bagian dari suatu lembaga sosial,
maka norma-norma harus mengalami proses pelembagaan.16
Proses pelembagaan tersebut dimulai dengan adanya pengetahuan
terhadap norma-norma tertentu. Taraf tersebut kemudian harus diikuti dengan
proses pemahaman dan pentaatan, serta mencapai puncaknya pada proses
penghargaan terhadap norma-norma. Proses penghargaan mungkin diikuti dengan
proses penjiwaan, sehingga norma-norma tersebut membudaya dalam
masyarakat.17
Budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pikiran;
akal budi; adat istiradat; sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar
diubah.18
Sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat.19
Kata kebudayaan berasal dari kata budaya yang diberi konfiks ke-an yang
berarti “hal budaya” atau “tentang budaya”. Sedangkan kata budaya berasal dari
kata bahasa sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian, kebudayan dapat diartikan sebagai
“hal-hal yang berkenaan dengan akal”. Ada yang mengatakan kata budaya itu
sebagai satu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang berarti „daya dan
budi‟. Oleh karena itu, dibedakan antara kata budaya dan kata kebudayaan. Jadi,
16
Soerjono Sukanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, cet 2, (Jakarta: Radar Jaya
Offset, 1982), h. 91-92. 17
Soerjono Sukanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, cet 2, h. 92. 18
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke 3,4, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 169. 19
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke 3,4, h. 170.
25
budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan
kebudayaan berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa.20
Kata kebudayan lazim disebut kultur yang diambil dari bahasa Inggris
culture. Sedangkan kata culture berasal dari kata bahasa Latin yaitu colere yang
berarti “mengolah” atau “mengerjakan”.21
Jika kita membuka berbagai buku tentang kebudayaan atau antropologi,
berbagai macam definisi mengenai kebudayaan akan ditemukan. Semua defnisi
itu benar karena semuanya mengacu pada manusia dengan segala aspek
kehidupannya. Beberapa ahli telah menyimpulkan dan menganalisa 160 buah
definisi tentang kebudayaan dan mengelompokkannya menjadi enam kelompok
menurut sifat di definisi itu. Keenam kelompok itu adalah:22
(1) Definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan pada unsur-unsur
kebudayaan.
(2) Definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan kebudayaan itu
diwarisi secara kemasyarakatan.
(3) Definisi yang normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayan
sebagai aturan hidup dan tingkah laku
(4) Definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan
kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan
persoalan, dan belajar hidup.
20
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayan Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2015), h. 1. 21
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayan Betawi, h. 2. 22
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayan Betawi, h. 3.
26
(5) Definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan
sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur.
(6) Definisi yang genetik yakni definisi yang menekankan pada terjadinya
kebudayan sebagai hasil karya manusia.
Beberapa ahli mengemukakan pengertian dari kebudayaan diantaranya,
Koentjaraningrat, pakar antropologi Indonesia mendefinisikan bahwa
“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.23
Soejono Soekanto berpendapat kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan–kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.24
Beranjak dari pengertian kebudayaan Koentjaraningrat mengelompokkan
wujud kebudayaan menjadi 3, yaitu:25
(1) Wujud pertama dari kebudayaan berupa ide, bersifat abstrak, tidak dapat
diraba dan dilihat. Hal tersebut dikarenakan telah berada dalam alam pikiran
warga masyarakat kebudayaan itu. Jika gagasan atau ide itu dituliskan, berarti
wujud ideal ini berada di dalam buku atau tersimpan di dalam memori
komputer. Ide dan gagasan itu banyak yang hidup dalam suatu masyarakat,
memberi jiwa pada masyarakat itu. Hal ini disebut sebagai satu sistem budaya
23
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 144. 24
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 341. 25
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 150.
27
(culture system). Wujud ideal ini sama dengan ada istiadat yang harus
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat.
(2) Wujud kedua dari kebudayaan adalah sistem sosial (social system) mengenai
tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial itu berupa aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi satu sama lain dari waktu ke waktu.
Sistem sosial itu bersifat konkret karena berupa rangkaian aktivitas manusia
dalam suatu masyarakat yang terjadi sehari-hari dan dapat diobsevasi atau
diamati.
(3) Wujud ketiga dari kebudayaan berupa bentuk yang disebut kebudayaan fisik.
Kebudayaan fisik ini berupa semua hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya sangat konkret karena
berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Benda-benda
budaya dapat berupa bangunan, rumah, pabrik, jembatan, dan sebagainya.
Selain memaparkan wujud kebudayaan Koentjaraningrat berpendapat
adanya tujuh unsur kebudayaan universal, artinya ketujuh unsur itu dapat
ditemukan pada semua bangsa atau suka bangsa di dunia. Berikut ini ketujuh
unsur kebudayaan:26
(1) Bahasa
(2) Kelengkapan hidup
(3) Sistem mata pencaharian
(4) Sistem kemasyarakatan
26
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 151.
28
(5) Pendidikan dan pengajaran
(6) Religi/kepercayaan
(7) Kesenian.
Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering
mempersoalkan perbedaan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan.
Perbedaan demikian tergantung dari adanya perbedaan pengertian tentang
masyarakat dan kebudayaan. Apabila perbedaan pengertian tersebut dapat
dinyatakan dengan tegas, maka dengan sendirinya perbedaan antara perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan dapat dijelaskan.27
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.
Perubahan dalam kebudayaan mencangkup semua bagiannya yaitu: kesenian,
ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk
serta aturan-aturan organisasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari tidak mudah
menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan
kebudayaan. Karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan
sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam suatu
masyarakat. Artinya perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek
yang sama yaitu kedua-duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-
27
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1990), h. 341.
29
cara baru atau perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.28
Manusia di muka bumi ini serba macam dan serba bisa, maka cara
pendekatan antropologi bersifat menyeluruh (holistic approach). Antropologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia baik dari segi tubuhnya
maupun dari segi budayanya yang disebut Antropologi Fisik dan Antrologi
Budaya.29
Antropologi Budaya pada mulanya dibagi dalam tiga bagian, yang
pertama Etnolinguistik atau Antropologi Bahasa, yang mempelajari berbagai
bahasa, macam kata-kata, tata bahasa dan sebagainya dari berbagai macam suku
bangsa di muka bumi. Yang kedua, ialah pra-sejarah atau pra-histori yang
mempelajari sejarah perkembangan dan persebaran manusia di muka bumi,
sebelum ia mengenal aksara, termasuk peralatan yang digunakannya atau artefak-
artefak yang terdapat dalam lapisan bumi. Yang ketiga, Etnologi atau ilmu
bangsa-bangsa yang mempelajari berbagai suku bangsa di dunnia dan
kebudayaannya masing-masing.30
Belakangan ini etnologi berkembang ke arah penelitian yang bersifat
descriptive integration yaitu pelukisan tentang suatu bangsa di daerah tertentu,
yang berarti khusus mengenai bangsa-bangsa tertentu, dan penelitian yang
dilakukan dengan pendekatan secara umum atau generalizing approach. Jadi yang
dipelajari itu adalah kesamaan yang umum dari bangsa-bangsa di dunia ini yang
28
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.4 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1990), h. 342, 343.
29 Hilma Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Jakarta: P.T.Citra Aditya Bakti,
1992), h. 1. 30
Hilma Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, h. 1-2.
30
dilakukan dengan metode perbandingan antara masyarakat bangsa satu dan yang
lain.31
Perbedaan antropologi hukum dan ilmu hukum adat.32
No. Antropologi Hukum Ilmu Hukum Adat
a. Objeknya, perilaku manusia
menyangkut hukum.
Objeknya, norma-norma hukum
di luar hukum perundangan.
b. Metode pendekatan holistik
(menyeluruh).
Metode pendekatan normatif-
juridis (mengkhusus).
c. Penelitian lebih banyak di lapangan,
dengan tidak perhatian pada kasus
perselisihan.
Penelitian lebih banyak bersifat
kepustakaan dan dokumentasi,
dengan memperhatikan norma-
norma yang ideal
d. Norma-norma hukum yang nyata
berlaku, pada titik akhir.
Norma-norma hukum yang
dikehendaki (seharusnya)
berlaku, pada titik awal.
Perbedaan antropologi hukum dan sosiologi hukum.33
No. Antropologi Hukum Sosiologi Hukum
a. Sejarah timbulnya dari kehidupan
masyarakat pedesaan (agraris) di
dunia timur (daerah jajahan).
Sejarah timbulnya dari kehidupan
masyarakat sebagai akibat
kemajuan industri (di dunia barat).
b. Masyarakat manusia di dunia timur
berbeda budaya dari budaya barat,
dengan masyarakat yang belum
kompleks.
Masyarakat barat, bersifat
heterogen dengan hukumnya yang
kompleks.
C. Cara berfikir dan berperilaku
manusianya bersifat tradisional,
Cara berfikir dan berperilaku serba
konseptual, individualisme,
liberalismme, berdasar
31
Hilma Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (Jakarta: P.T.Citra Aditya Bakti,
1992), h. 2. 32
Hilma Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, h. 21. 33
Hilma Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, h. 28.
31
magis religieus dan komunal. kepentingan semata.
d. Beranggapan bahwa hukum itu
bersifat universal, terdapat bukan
saja di dunia maju (modern) tetapi
juga pada masyarakat sederhana
(primitif).
Beranggapan bahwa sistem hukum
itu bersifat modern seperti halnya
di dunia barat (Eropa).
e. Hukum yang dipealjari kebanyakan
tidak tertulis dan bersifat lokal.
Hukum itu kebanyakan berbentuk
tertulis (kodifikasi, unifikasi)
perundanganan yang sistematis
dan bersfiat nasional.
C. Fungsi Budaya Bagi Masyarakat
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan
masyarakat. Berbagai macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan
anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di
dalam masyarakat itu sendiri tidak selalu baik baginya. Selain itu, manusia dan
masyarakat memerlukan juga kepuasaan, baik di bidang spiritual maupun materiil.
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut di atas untuk sebagai besar dipenuhi
oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian
besar karena kemampuan manusia terbatas, sehingga kemampuan kebudayaan
yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas di dalam memenuhi segala
kebutuhan.
Fungsi kebudayaan pada hakikatnya adalah untuk mengatur agar manusia
dapat mengerti satu sama lainnya, bagaimana manusia bertindak dan bagaimana
manusia itu berbuat untuk kebaikan bersama. Jadi pada intinya kebudayaan ini
sebagai cerminan kehidupan manusia, jika suatu masyarakat memegang teguh
kebudayaannya maka akan tercipta kehidupan yang harmonis.
32
Selain memiliki fungi sosial, kebudayaan juga memiliki fungsi:34
(1) Sebagai sistem proyeksi, yakni alat pencerminan suatu kelompok rakyat.
(2) Sebagai alat penegasan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.
(3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device).
(4) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan
selalu dipatuhi oleh para anggota kelompoknya.
Menurut Ndaraha Talidizuhu fungsi kebudayaan yaitu:35
1) Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat. Identitas ini terbentuk oleh
berbagai faktor seperti sejarah, kondisi dan posisi geografis, sistem sosial,
politik dan ekonomi, dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat.
2) Sebagai pengikat suatu masyarakat. Kebersamaan adalah faktor pengikat
anggota masyarakat yang kuat.
3) Sebagai sumber. Budaya merupakan sumber inspirasi, kebanggaan dan
sumber daya menghasilkan komoditi ekonomi, misalnya : wisata budaya,
produk budaya.
4) Sebagai kekuatan penggerak atau pengubah. Karena budaya terbentuk melalui
proses belajar mengajar maka budaya itu dinamis dan tidak kaku.
5) Sebagai kemampuan membentuk nilai tambah. Menghubungkan dengan nilai
keunggulan.
34 James Danandjaja, Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-Lain, cet.VII,
(Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 19.
35 Ndaraha Talidizuhu, Teori Budaya Organisasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 21.
33
6) Sebagai pola perilaku. Budaya berisi norma tingkah laku dan menggariskan
batas-batas toleransi sosial.
7) Sebagai warisan. Budaya disosialisasikan dan diajarkan kepada generasi
berikutnya.
8) Sebagai substitusi (pengganti) formalisasi. Sehingga tanpa diperintah orang
akan melakukan tugasnya.
9) Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan proses budaya dalam
pembangunan sebagai perubahan sosial yang berencana.
10) Sebagai proses yang mempersatukan. Melalui proses value sharing
masyarakat di persatukan, tidak seperti sapu lidi, melainkan ibarat rantai.
11) Sebagai produk proses usaha mencapai tujuan bersama dalam sejarah yang
sama.
12) Sebagai program mental sebuah masyarakat.
D. Islam dan Budaya
Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi
alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan
manusia di dunia ini. Allah SWT telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang
tersebut dalam QS. Toha (20): 2:36
Artinya: “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kamu menjadi
susah”.
36
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996).
34
Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur‟an ini,
akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera
dunia dan akhirat.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan
kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini,
Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama
adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu
pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-
karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan
mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu
beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah
untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong
manusia untuk “berbudaya”. Dan dalam satu waktu Islam lah yang meletakkan
kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa
kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.
Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
(1) Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh
disebutkan : “al-adah muhakamah” artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan
suatu masyarakat bisa dijadikan hukum, yang merupakan bagian dari budaya
manusia,37
mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang
perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
37
Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39.
35
ada ketentuannya dalam syariat. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan
ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan
suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.
(2) Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian
di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.
(3) Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Sehingga dalam perkembangannya Islam justru merangkul budaya untuk
menyampaikan esensi ajarannya. Karena, dengan merangkul budaya, Islam jadi
lebih mudah diterima di masyarakat. Budaya bisa atau boleh saja digunakan untuk
metode dakwah, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam Islam. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 42.38
Artinya: “Dan janganlah kau campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuiny.”
E. Islam dan Betawi
Kedatangan Islam di Indonesia melalui jalan pelayaran dan perdagangan
yang dibawa oleh pedagang-pedagang muslim dan para mubaligh. Di Jawa Barat
dan Sunda Kelapa sendiri Islam diperkirakan masuk sekitar abad 15-16. Sumber
utama kedatangan Islam di tanah Betawi, Tome Pires menceritakan bahwa pada
awalnya Islam lebih dulu masuk ke Cirebon dan Indramayu sebelum masuk ke
tanah Betawi. Bahkan di Cirebon dan Indramayu telah terbentuk suatu kelompok
muslim bahkan bentuk pemerintahan juga telah ada sedangkan di Betawi belum
38
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996).
36
tersentuh Islam sama sekali. Menurut Tome Pires, orang-orang muslim tidak
berani menginjakkan kaki ke tanah Betawi karena adanya larangan dari Raja
Sunda. Dalam berita Portugis, De Barros Sunda Kelapa dikuasai oleh Muslim
dibawah Fatahillah dari Pasai sekitar tahun 1527.39
Selama ini berkembang pendapat bahwa nama Betawi berasal dari kata
Batavia, dengan jalan pikiran bunyi [a] lenyap, sedangkan bunyi [vi] berubah
menjadi [wi], dan bunyi [a] pada suku [ba] melemah menjadi [be]. Jalan pikiran
yang tampaknya masuk akal, tetapi agak sukar diterima karena orang Belanda
pada zamannya menyebut orang Betawi dengan istilah Batvian atau Bataviaan.40
Hal yang paling masuk akal dan dapat diuji kebenarannya adalah teori
bahwa nama Betawi berasal dari nama tumbuhan perdu Gulinging Betawi, cassia
glance, kerabat papilionaecae. Gulinging Betawi ini adalah tanaman perdu,
kayunya bulat dan kokoh. Dulu banyak tumbuh di Nusa Kelapa (Jakarta) dan
Kalimantan Barat dengan nama Bekawi.41
Nama Betawi ini dikatakan berasal dari
tumbuhan adalah lebih rasional dikarenakan banyak tempat di Jakarta ini yang
berasal dari nama tumbuhan atau pohon, seperti Menteng, Karet, Duku, Gandaria,
Kemang, Malaka, dan Bintaro.
Untuk masalah etnik Betawi, tampaknya ada beberapa kriteria atau
pendekatan yang digunakan untuk menentukan etnis Betawi atau bukan, yaitu
39
Pemerintah Provinsi DKI, Sejarah Jakarta Dari Zaman Prasejarah, (Jakarta: Dinas
Museum & Pemugaran, 2001). 40
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2015), h. 9. 41
Ridwan Saidi, Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi, (Jakarta: Perkumpulan
Renaissance Indonesia (Timpani Pub), 2010), h. 62.
37
pendekatan sejarah, pendekatan lokasi (tempat), pendekatan kesamaan bahasa,
pendekatan agama (Islam), dan pendekatan campuran antara pendekatan lokasi
dan agama.42
Pendekatan sejarah menyatakan bahwa orang Betawi atau etnis Betawi
adalah etnis yang lahir dari percampuran pernikahan berbagai etnis yang ada di
Batavia pada abad ke-17 dan ke-18. Generasi yang lahir dari pernikahan campur
ini tidak lagi mengenal etnis ayah-ibunya, sehingga mereka disebut orang Betawi.
Pendekatan lokasi berkonsep bahasa Betawi adalah nama tempat atau
lokasi yang identik dengan Batavia pada masa VOC dan Hindia Belanda atau
Jakarta sebelum proklamasi kemerdekaan. Kiranya para pribumi menggunakan
istilah Betawi, sedangkan orang Belanda menyebutnya Batavia. Jika pendekatan
lokasi yang digunakan untuk menyatakan siapa orang Betawi, maka jelas orang
Betawi adalah pribumi yang ada di kota Batavia, yang oleh Residen Batavia
disebut Bataviaan.
Pendekatan bahasa menyatakan orang Betawi adalah orang yang
menggunakan bahasa Melayu Betawi. Pendekatan agama melihat etnis Betawi
dari agama Islam. Hal ini juga dikuatkan dalam Kongres Kebudayaan Betawi
pada penghujung 2011 yang lalu, menyatakan bahwa Betawi identik dengan
islam. Maka, ia bukanlah Betawi jika bukan beragama Islam.
Selanjutnya pendekatan menggabungkan agama (Islam) dan lokasi
(tempat). Jadi, seorang Betawi adalah yang tinggal di kota Batavia (Jakarta
42
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2015), h. 11.
38
sekarang) dan beragama Islam. Sementara itu, Badan Musyawarah masyarakat
Betawi (Bamus Betawi) dalam anggaran Dasarnya pasal 10 menyatakan bahwa
ada empat kriteria orang Betawi, yaitu:43
1. Genetis: Berdasarkan garis keturunan (bapak dan ibunya Betawi atau salah
satunya Betawi).
2. Sosiologi: Orang yang berperilaku budaya Betawi atau menyandang
kebudayaan Betawi dalam kesehariannya.
3. Antropologis: Seseorang yang peduli dan memiliki kepedulian terhadap
budaya Betawi
4. Geografis: Masyarakat yang hidup dalam teritori budaya Betawi, yaitu
Jakarta, sebagian daerah Bogor, sebagian daerah Depok, sebagian daerah
Tanggerang dan sebagian daerah Bekasi.
Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap
ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan
sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh
perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan
munculnya sejumlah ulama dan habaib terkemuka.44
43
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2015), h. 13. 44
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 Dan 20), (Jakarta: Manhalun Nasyi-in
Press, 2011), h. 57.
39
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal
ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi‟i dan
berfaham Ahli Sunnah Wal Jama‟ah yang cendrung lebih toleran dan inklusif
serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila
organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang
mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali
mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid‟ah dan khurafat). Kecaman
tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang beberapa
hal bersentuhan dengan tahayul, bid‟ah dan khurafat.45
Pengaruh dalam hal agama dan hal keyakinan bisa dikatakan bahwa
masyarakat Betawi adalah masyarakat yang memegang keislaman dengan begitu
kuat. Dari keislaman orang Betawi ini lahirlah kebudayaan Islam Betawi yang
mewarnai siklus hidup orang Betawi, sejak dalam kandungan sampai kematian.46
Oleh sebab itu ada pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada orang Betawi
yang bukan beragama islam. Jika ada, maka orang tersebut bukan lagi orang
Betawi.
45
Ahmad Fadli HS, Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad Ke-19 Dan 20), h. 62. 46
Anisa. “Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan Betawi” artikel diakses pada 18
November 2008 dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/08/11/17/15092-kebudayaan-islam-betawi-dulu-kini-dan-esok
40
BAB III
ISLAM DAN BUDAYA BETAWI DALAM PERKAWINAN
Islam dan adat saling berhubungan, Islam sudah mengaturnya karena di
dalam kehidupan tiap gerak berawal dari agama, berujung pada kebudayaan.1
Islam telah membahas mengenai tata cara pernikahan secara rinci. Berpasang-
pasangan merupakan pola hidup yang diitetapkan oleh Allah SWT.2 Pernikahan di
dalam Islam merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan
bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.3
Tidak hanya itu, pernikahan juga memiliki unsur-unsur ibadah. Pernikahan
dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke
dalam hal-hal yang mengharamkan.4
Melaksanakan perkawinan berarti
melaksanakan sebagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan
sebagian dari agama.5
Adat pernikahan yang masih ada hingga saat ini salah satunya adat
pernikahan masyarakat Betawi. Sebagai suatu masyarakat etnik, masyarakat
1 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 127. 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Jakarta: P.T. Citra Aditya Bakti, 1992),
h. 12. 3 M. A. Tihami, dkk, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 6. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 2004), h.
6516. 5 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1974), h. 5.
41
Betawi memiliki macam-macam atribut budaya sendiri sebagai manifestasi
keberadaannya, termasuk adat istiadat dalam perkawinan.6
Adat dan upacara perkawinan pada masyarakat Betawi akan diuraikan
sesuai dengan tahapan dan proses yang mengawalinya. Tahapan-tahapan tersebut
diawali dengan masa perjumpaan dan pendekatan, lamaran, aqad nikah, dan acara
setelah pernikahan.7
A. Lamaran
Khitbah atau Pinangan menurut Syari‟at adalah langkah penetapan atau
penentuan sebelum pernikahan. Menurut istilah, makna khitbah atau lamaran
adalah sebuah permintaan atau pernyataan dari laki-laki kepada pihak perempuan
untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun
dengan perantara pihak lain yang dipercayai sesuai dengan ketentuan agama.
Intinya mengajak untuk berumah tangga. Khitbah itu sendiri masih harus dijawab
“ya” atau “tidak”. Bila telah dijawab “ya”, maka jadilah wanita tersebut sebagai
'makhthubah', atau wanita yang telah resmi dilamar.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa khitbah tidak menjadi syarat sahnya
pernikahan, oleh karenanya tanpa lamaran pernikahan dapat dilangsungkan
dengan memenuhi syarat dan rukunnya.8 Acara khitbah hanya sebagai sarana yang
mengantarkan kepada peristiwa nikah. Menurut jumhur, acara khitbah dihukum
“ja’iz” (boleh). Sedangkan madzhab Syafi‟i (al-Syafi‟iyah) terhadap hukum
6 Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, (Jakarta: LKB,
1994), h. 1. 7 Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, (Jakarta: LKB, 1999/2000), h. 12.
8 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,
2006), h. 92.
42
khitbah mereka sependapat dengan Jumhur yaitu „boleh‟ hanya saja istilah yang
digunakan adalah kata “mubah”. Kelompok ini berargumen Sunnah Fi‟liyah Nabi
SAW, bahwa beliau telah mengkhitbah (melamar) Aisyah binti Abi Bakar dan
melamar Hafsah binti Umar bin al-Khattab.9
Bagi orang Betawi lamaran (ngelamar) adalah pernyataan dan permintaan
resmi dari pihak keluarga laki-laki (calon tuan mantu) kepada pihak keluarga
wanita (calon none mantu), dan ditegaskan bahwa Si Fulan sangat berhasrat
mempersunting dan memperistrikan Fulanah.10
Lamaran lazimnya dilakukan oleh orang perempuan bukan laki-laki. Yang
melakukan lamaran ini adalah keluarga dekat dari si perjaka, seperti ncang atau
ncing nya. Bila dianggap perlu, meminta bantuan seseorang yang fasih bicaranya
dan biasa melakukan acara lamaran.11
Lamaran ini, biasanya tidak langsung diterima dengan alasan akan
ditanyakan dulu kepada si gadis. Nanti setelah si gadis setuju, maka akan dikirim
satu utusan ke rumah si perjaka untuk mengiyakan lamaran itu. Ada kemungkinan
lamaran itu akan ditolak, jika misalnya si gadis tidak setuju karena si perjaka
setelah diselidiki mempunyai kelakuan yang kurang baik atau juga kerana
masalah lain. Diterima atau ditolaknya lamaran itu akan diberitahukan melalui
utusan ke rumah si perjaka.12
9 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari,
2006), h. 93. 10
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 36. 11
Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2012), h. 144. 12
Abdul Chaer, Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi, (Jakarta,
Masup Jakarta, 2015), h. 183.
43
Sesuai dengan adat dan tradisi Betawi harus dipersiapkan bawaan pokok
yang ada pada waktu ngelamar, antara lain:13
a. Sirih lamaran (sirih embun) ini bawaan pertama dan utama yang wajib
sifatnya. Bawaan ini sebagai lambang kegembiraan pihak keluarga dan orang
tua laki-laki. Dan juga merupakan lambang kehormatan dan penghargaan
terhadap keluarga pihak orang tua gadis dan tentu satu gadisnya sendiri yang
memiliki keanggunan dan terpelihara moral dan akidahnya. Perlengkapan
sirih laraman terdiri dari:
1) Nampan kuningan, kalau sekarang nampan apa saja berbentuk bulat,
lonjong atau persegi.
2) Kertas minyak berwarna cerah untuk alas nampan dibentuk enda-renda.
3) Daun sirih dilipat bulan dan diikat potongan kertas minyak warna-warni.
4) Sirih tampi, yaitu sirih yang telah diisi rempah-rempah untuk nyirih
(kapur, gambir, pinang).
5) Bunga rampai tujuh rupa.
6) Tembakau yang sudah dihias berbagai bentuk.
b. Pisang raja jumlahnya dua sisir. Ujung pisang rajanya dibungkus atau
dibuatkan topi dengan warna kuning atau merah atau warna emas dan
metalik. Pisang raja pun diletakkan di atas nampan kuningan.
c. Roti tawar. Roti atau ruti ini pun diletakkan di atas nampan dihias kertas
warna-warni. Keberadaan roti ini sama halnya dengan pisang raja artinya
13
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 36.
44
mutlak harus dibawa. Dengan pisang, ruti ini menjadi pasangan yang orang.
Betawi sebut ruti-pisang.
d. Hadiah pelengkap. Selain persyaratan utama, dibawa juga hadiah pelengkap.
Hadiah ini pada dasarnya merupakan pemberian dari saudara kandung kedua
orang tua calon tuan mantu atau dari saudara kandung si calon yang telah
berkeluarga. Hadiah tersebut dapat berupa bahan baju kebaya, kain batik tiga
negeri, kain panjang, perlengkapan kosmetik, selop dan sebagainya. Hadiah
ini utamanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atau
menambah rasa kegembiraan dan terima kasih atas diterimanya keponakan
atau saudaranya oleh pihak calon none mantu.
e. Para utusan. Utusan untuk menyampaikan antara lamaran ini terdiri dari:
1) Mak comblang. Ia adalah orang yang paling besar tugas dan tanggung
jawabnya sehingga rombongan calon tuan mantu sampai pada tahap
ngelamar. Saat ngelamar ini ia bertugas membuka pembicaraan awal
sehingga dialog antara pihak calon tuan mantu dengan pihak calon
none mantu berjalan penuh kekeluargaan dan kegembiraan.
2) Dua pasang wakil orang tua dari calon tuan mantu terdiri dari
sepasang wakil keluarga ibu dan sepasang dari wakil keluarga bapak.
Dulu orang Betawi mengutamakan utusan ini adalah keluarga yang
sudah jadi haji atau yang memahami masalah-masalah keagamaan,
dengan harapan apabila pembicaraan sampai pada tahap tande putus,
semua perencanaan ke depan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kehadiran pihak keluarga ibu maupun pihak keluarga bapak dari
45
calon tuan mantu dalam rombongan utama ngelamar ini merupakan
pertanda bahwa pihak yang diwakili telah menyetujui rencana dan
pelaksanaan lamaran. Dengan ini pula diharapkan nantinya lamaran
akan sampai pada tahap pernikahan dan pada saatnya nanti keluarga
baru itu akan membina keluargnya menjadi keluarga sakinah yang
langgeng penuh kasih sayang serta saling hormat-menghormati.
Dari pihak calon none mantu diharapkan hadir pula orang-orang yang
memiliki hubungan serupa dengan pihak calon tuan mantu. Hal ini
sebagai lambang bahwa kedatangan utusan orang tua calon tuan
mantu diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga calon none
mantu.
Selanjutnya sebagai jawaban diterimanya lamaran dari pihak calon tuan
mantu maka calon none mantu dihadirkan kehadapan para utusan atau tamu.
Kepada para utusan tersebut si gadis harus melakukan sembah takzim dan cium
tangan. Setelah itu diserahkan uang sembah lamaran yang khusus diberikan
kepada si gadis calon menantu.14
Setelah acara ngelamar selesai maka dilanjutkan
dengan pembicaraan mengenai Serah Uang dan Bawa Tande Putus. Acara Bawa
Tande Putus adalah merupakan unsur yang menentukan dasar rangkaian adat
perkawinan Betawi.15
Seperti diketahui bahwa di kalangan masyarakat Betawi semua hari itu
sama baiknya. Tidak ada hitungan atau ramalan mengenai hari yang baik atau
14
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 16. 15
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, h. 16.
46
jelek. Akan tetapi pada umunya peristiwa ngelamar sering dilakukan atau
dilaksanakn pada hari Rabu. Maka biasanya acarah serah uang dan bawa Tande
Putus akan dilaksanakan pada hari Rabu berikutnya atau seminggu setelah acara
lamaran.16
Apabila waktu serah uang dan bawa tande putus telah disepakati maka
persiapan akan dibicarakan secara lebih rinci seperti:17
1) Apa cingkrem (mas kawin atau mahar) yang diminta.
2) Berapa nilai uang yang diperlukan untuk resepsi pernikahan.
3) Apa kekudang (bawaan seserahan) yang diminta.
4) Pelangke atau pelangkah kalau ada abang atau empok yang dilangkahi.
5) Berapa lama pesta diselenggarakan.
6) Berapa perangkat pakaian upacara perkawinan yang digunakan oleh calon
none mantu pada acara resepsi.
7) Siapa dan berapa banyak undangan.
Cingkrem (mas kawin atau mahar) menjadi pembicaraan pokok. Tempo
dulu dengan mendengar permintaan dari pihak calon none mantu, seorang utusan
dari keluarga calon tuan mantu akan segera memahami berapa jumlah biaya yang
diperlukan. Biasanya merupakan hasil kelipatan sepuluh dari harga mas kawin.18
Adapun ketika menyebut mas kawin, orang Betawi punya tata krama
tersendiri. Dia tidak akan menyebut langsung apa dan berapa permintaan yang
16
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 17 17
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 42. 18
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 42.
47
diinginkan. Biasanya pihak calon none mantu mengutarakannya dengan gaya
bahasa atau ungkapan yang tersirat. Contoh: “None kite mintenya Mate Bandeng
seperangkat”. Itu berarti calon none mantu menghendaki mas kawin seperangkat
perhiasan emas bermata berlian. Jika pihak calon none mantu menyatakan: “None
kite mintanye Mate Kembung seperangkat”. Artinya mas kawin yang diminta
adalah perhiasan emas bermata intan tulen seperangkat. 19
Setelah acara Bawa Tande Putus, kedua belah pihak menunggu dan
mempersiapkan keperluan pelaksanaan Acara Akad Nikah. Masa ini dimanfaatkan
juga untuk memelihara none calon mantu yang disebut dengan Piare Calon None
Penganten dan orang yang memelihara disebut Tukang Piare Penganten.20
B. Pernikahan
Nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.21
Nikah secara bahasa berasal dari kata al-wath’u yang artinya hubungan
badan.22
Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata,
yaitu nakaha dan zawãj. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Alquran dengan
19
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 43. 20
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 43. 21
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke 3,4, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 782. 22
Syaikh Ayyub, Fikih keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 3.
48
arti kawin.23
Menurut syara‟ nikah artinya akad yang telah terkenal dan memenuhi
rukun-rukun serta syarat-syarat untuk berkumpul.24
Pernikahan merupakan suatu ketentuan yang menjadikan sunahtullah bagi
manusia yang berlaku universal bagi seluruh makhluknya yang bernyawa. Islam
memandang pernikahan tidak sekedar wahana bertemunya dua insan yang berbeda
jenis dan tidak pula sekedar sarana pemuas nafsu yang membara dalam setiap
manusia. Islam mempunyai pandangan yang lebih mendalam, mendasar dan
menuju kepada sarana yang terarah.25
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sejak zaman Nabi
Adam AS, dan dilakukan manusia secara turun menurun. Hal ini dikarenakan
pernikahan merupakan salah satu pokok kebutuhan manusia yang dituntut secara
naluri, selain itu pernikahan merupakan jalan mencari kebutuhan dan ketentraman
jiwa.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ar-Rum (30:) 21. 26
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 35. 24
Abdul fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam lengkap, cet.III, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004), h. 224. 25
Thariq Ismail Kakhiya, Perkawinan Dalam Islam, cet.II, (Jakarta: Yasaguna, 1987), h.
42. 26
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996).
49
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir.”
Dasar hukum dianjurkannya pernikahan dalam agama Islam terdapat
dalam firman Allah SWT dalam QS. An-Nur (24): 32.27
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui”.
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa perkawinan merupakan
sunahtullah yang memang menjadi kebutuhan hidup untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Selayaknya melangsungkan sebuah pernikahan dalam adat Betawi ada
tahapan yang harus dilalui yaitu Acara Ngebesan atau Ngerudat (Akad Nikah) dan
Acara Membuka Palang Pintu.
Acare Ngebesan atau Ngerudat adalah upacara akad nikah atau ijab
kabul.28
Pelaksanaannya dilakukan secara terbuka. Persiapannya mengacu pada
persetujuan yang telah dicapai kedua belah pihak dalam pemufakatan tande putus.
Kedua keluarga mempelai melaksanakan ketentuan yang telah disepakati sesuai
dengan kedudukan masing-masing.
27
Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya. 28
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, (Jakarta: LKB,
1994), h. 19.
50
Calon tuan mantu akan datang dengan rombongan pengiring yang besar
terdiri dari:29
1. Calon tuan mantu diiringi dan diapit oleh para alim ulama dan tokoh
masyarakat di lingkungan keluarganya.
2. Para penabuh rebana.
3. Di belakang mereka terdapat rombongan pembawa barang.
Maka berangkatlah rombongan rudat calon tuan mantu menuju rumah none
calon mantu. Rombongan besar ini terdiri dari:30
1. Dua orang pemuda sebagai pengawal terdepan memakai baju pangsi (baju
silat) dan masing-masing membawa tongkat (toya atau tombak), yang saat ini
sudah dimodifikasi menjadi kembang kelapa tiang.
2. Tiga orang pemuda memakai baju sadarie (sadariyah) yang bertugas
membawa sirih nanas lamaran, mas kawin, dan sirih nanas hiasan. Formasi
ketiganya huruf V dengan mas kawin di tengah.
3. Dua orang lelaki setengah baya berbaju ujung Serong yang bertugas sebagai
juru bicara.
4. Barisan disusul dengan tiga orang pemuda membawa miniatur masjid,
kekudang (makanan yang disukai oleh none calon mantu perempuan sejak
masa kanak-kanak), dan kue susun penganten memakai baju sadarie. Formasi
sama seperti nomor 2 dan kekudang berada di tengah.
29
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, h. 19. 30
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 50.
51
5. Calon tuan mantu berpakaian Jas Kaen Serebet diapit oleh encangnya dari
pihak Babe (ayah) dan Enyak (ibu) memakai baju Ujung Serong.
6. Dua orang jago sebagai pengawal calon tuan mantu berbaju pangsi.
7. Rombongan rebana ketimpring yang ngarak calon tuan mantu.
8. Beberapa pemuda yang membaca roti buaya, sie, pesalin, idam-idaman dan
sebagainya yang memakai baju sadarie. Rombongan ini biasanya kelaurga
dekat atau teman-teman calon tuan mantu.
Rombongan rudat calon tuan mantu sampai di depan rumah calon none
mantu, ada upacara yang disebut dengan acare buka palang pintu.31
Pihak
rombongan calon tuan mantu dilarang masuk oleh pihak calon none mantu. Dari
kedua juru bicara masing-masing pihak terjadi dialog yang diselingi dengan balas
pantun.
Di dalam acare buka palang pintu ini ada berbalas pantun, adu jago, baca
sike, dan lain-lain. Setelah selesai maka rombongan calon tuan mantu
dipersilahkan masuk ke dalam rumah.32
Setelah rombongan calon tuan mantu masuk dan duduk bersila, calon tuan
mantu disediakan tempat khusus menghadap kiblat berhadapan dengan
penghulu.33
Maka dimulailah acara ijab kabul. Sampai acara ijab kabul selesai
calon none mantu masih berada di kamar dan belum boleh dipertemukan oleh
31
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 50. 32
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 51. 33
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 52.
52
calon tuan mantu. Setelah rangkaian acara tersebut selesai barulah kedua
mempelai dipertemukan.
C. Acara Setelah Pernikahan
Dalam tradisi adat Betawi ada beberapa tahapan acara lagi setelah
resminya pernikahan antara kedua mempelai. Tahap-tahap tersebut adalah:34
a) Kebesaran
b) Negor
c) Pulang tige ari
a) Acara Kebesaran
Acara kebesaran merupakan puncak pesta perkawinan dimana pada saat
ini kedua mempelai bersanding di puade (istilah taman). Acara kebesaran
pada saat ini disebut dengan resepsi pernikahan. Sebagaimana resepsi pada
umumnya acara kebesaran berisi tamu-tamu undangan yang datang
memberikan doa restu untuk kedua mempelai. Acara kebesaran ini
erlangsung sehari dan dilanjutkan pada malam harinya dengan acara hiburan
atau kesenian.35
Mempelai perempuan mengenakan busana penganten care Cine (rias gede
dandanan cara none pengantin Cina) dan wajahnya ditutup dengan roban
tipis. Busana care Cine ini terdiri dari:36
34
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 30. 35
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 29. 36
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 55.
53
1) Tuaki, 37
yaitu baju bagian atas yang terbuat dari bahan yang
gemerlap.
2) Kun,38
yaitu rok bagian bawah yang dibuat agak lebar.
3) Teratai Betawi, yaitu sebagaian hiasan penutup dada dikenakan
sehelai kain bertatahkan emas yang dibuat mengelilingi leher dan
berkancing di belakang yang disebut delime (delapan bentuk
dirangkai menjadi satu sehingga menyerupai belahan buah delima).
4) Alas kaki, yaitu penutup kaki mempelai perempuan berupa selop
berbentuk Perahu Kolek39
yang diperindah dengan tatahan emas
dan manik-manik disebut Selop Kasut.
Pada acara ini mempelai pria mengenakan busana yang disebut “dandanan
cara haji”.40
Modelnya diadoptasi dari pakaian Pak Haji, yaitu berupa jubah
dan tutup kepala sorban. Jubah yang dipakai ada dua, yaitu jubah luar dan
jubah dalam. Busana jubah luar ini agak longgar dan besar, bagian tengah
37
Tuaki, adalah baju bagian atas (blus) yang dikenal memiliki 2 (dua) model, yaitu model
shianghai (Cina), dan model baju kurung (Melayu). Syarat utama dari tuaki ini adalah bahannya
yang polos. Motif-motif hiasan emas, mote atau manik-manik yang diletakan di ujung lengan,
daerah sekitar dada, bagian bawah baju sangat bervariasi. Dari ragam hias geometri, bunga-bunga
sampai motif burung hong.
Ciri khas model shianghai adalah krahnya yang tertutup. Lengan panjangnya diberi
benang karet pada pergelangan. Model yang mengikuti bentuk badan sipemakai, panjangnya
sebatas pinggul. Biasanya diberi pemanis dengan tambahan kain pada pinggiran bawah tuaki yang
dirimpel keliling. Tuaki bentuk baju kurung, modelnya seperti baju kurung Melayu umumnya.
Panjang lengan agak longgar.
38 kun, adalah rok melebar ke bawah dengan panjang sampai ke mata kaki. Kun juga di
beri hiasan benang tebar dengan kombinasi sesuai tatahan motif pada tuaki. Warna yang terbuat
dari bahan polos ini pun disesuaikan dengan warna tuaki. Warna-warna cerah yang dipilih, baik
dari bahan satin ataupun beludru, serta gemerlapan hiasan tuaki dan kun ini melambangkan suka
cita dan keceriaan kedua pengantin dan seluruh keluarganya. 39
Sepatu dengan bentuk perahu kolek, dengan ujung melengkung ke atas dan dihias
dengan tatahan emas dan manikmanik atau mute. 40
Abdul Chaer, Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta:
Masup Jakarta, 2012), h. 227.
54
depan dari leher ke bawah terbuka. Jubah luar ini memiliki hiasan yang
bermotif flora dan fauna “burung hong” dari benang emas manik-manik atau
mute, bahan kain jubah dari beludru. Berwarna cerah, kuning, biru dan hijau.
Jubah dalam yang disebut Gamis, dari kain putih halus, model baju kurung
panjang. Gamis ini terbuka dari leher sampai sebatas uluhati. Ukuran jubah
dalam ini lebih panjang dari jubah luar, sampai sebatas mata kaki.
Perlengkapan lain adalah selendang yang dikenakan pada gamis berhias
motif-motif dari benang emas, manik-manik atau mute, beludru warna cerah.
Alas kaki sepatu model pantofel dan berkaus kaki.
b) Negor
Sehari setelah akad nikah, Tuan Pengantin diperbolehkan menginap di
rumah None Pengantin. Meskipun menginap, Tuan Pengantin tidak
diperbolehkan untuk kumpul sebagaimana layaknya suami-istri. None
pengantin harus mampu mempertahankan kesuciannya selama mungkin.
Bahkan untuk melayani berbicara pun, None pengantin harus menjaga gengsi
dan jual mahal. Meski begitu, kewajibannya sebagai istri harus dijalankan
dengan baik seperti melayani suami untuk makan, minum, dan menyiapkan
peralatan mandi.41
Dengan strategi diam itu (sesuai dengan pepatah diam adalah emas), tidak
ada pilihan lain bagi Tuan Raje Mude untuk berusaha keras membujuk dan
merayu agar istrinya menerima. Bujuk rayu Tuan Raje Mude biasanya tidak
41
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 63.
55
hanya dengan ungkapan kata-kata indah, tetapi juga dengan memberi Uang
Tegor. Uang tegor ini tidak diberikan secara langsung tapi diselipkan di
bawah taplak meja atau di bawah tatakan gelas. Dengan uang tegor ini pun
tidak membuat hati None Pengantin mencair, karena mungkin uang tegornya
masih relatif kecil. Tuan Raje Mude tentu saja memahami apa yang
dikehendaki None Pengantin, maka uang tegornya ditambah dari hari ke hari
semakin besar jumlah.42
Acara negor ini bisa berlangsung berhari-hari, sampai None Pengantin
bersedia diajak masuk kamar. Dalam acara negor ini ada kebiasaan yang
disebut nganten-ngantenan. Nganten-ngantenan ini dilakukan sehari setelah
setelah pernikahan.43
Bertahannya si istri pada malam negor itu dapat ditafsirkan sebagai
ungkapan harga dirinya bahwa ia bukan perempuan gampangan, selain itu
pada malam negor mereka bisa saling mengenal secara mendalam.44
Acara negor ini tidak hanya hanya meluluhkan hati None Penganten
melainkan suatu kondisi dimana Tuan Raje Mude bisa mengenal lebih dekat
istri nya.45
Uang negor yang diberikan tidak ada kaitannya dengan mahar,
uang negor disini merupakan hadiah dari suami kepada istri.46
c) Pulang Tige Ari
42
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 64. 43
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 64. 44
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 30. 45
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 46
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016.
56
Sebagai tanda kegembiraan dari pihak pria atas kesucian yang telah di
pelihara oleh pihak wanita, maka akan diberikan hadiah kepada pihak
orangtua wanita. Setelah acara ini selesai maka Tuan dan None Betawi
berhak untuk tinggal serumah atau menetap di tempat yang telah disepakati
berdua.
57
BAB IV
TRADISI PULANG TIGE ARI DI SETU BABAKAN JAGAKARSA
A. Profil Setu Babakan Jagakarsa
Kronologi Pembentukan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan.1
1. 18 Desember 1975 : Kepgub No. : D.I-7903/a/30/75 tentang Penegasan
Penetapan Kelurahan Condet Batu Ampar, Kelurahan Condet Bale Kambang,
Kelurahhan Condet Kampung Tengah, Kecamatan Kramat Jati, Wilayah
Jakarta Timur sebagai Daerah Buah-Buahan.
2. 11 Desember 1976 : Intruksi Gubernur KDKI Jakarta No. : D.IV-
116/d/11/1976 untuk melaksanakan Kepgub No. : D.I-7903/a/30/75 dan
menjaga keaslian dan keasrian kawasan Condet.
3. 24 September 1987 : Kepgub No. 1873 Tahun 1987, tentang Penguasaan
Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah untuk Pembangunan Kawasan Setu
Babakan Wilayah Jakarta Selatan.
4. 13 September 1997 : Festival Sehari di Setu Babakan (Sudin Pariwisata
Kotamadya Jakarta Selatan).
5. 9 November 1997 : Upacara Pindah Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta
dengan Adat Betawi. Gubernur mencetuskan keinginan membangun
Perkampungan Budaya Betawi.
1 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 163-
169.
58
6. 7 Januari 1998 : Bamus Betawi menyampaikan Proposal Pembangunan
Perkampungan Budaya Masyarakat Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah,
Jakarta Selatan (Bamus Betawi).
7. Februari 1998 : Bamus mengirimkan Proposal Pendahuluan Pembangunan
Perkampungan Budaya Masyarakat Betawi.
8. 15-16 Januari 1998 : Bamus Betawi menyelenggarakan Sarasehan
Perkampungan Budaya Betawi.
9. 23 Maret 1998 : LKB Beraudiensi dengan wagub Bidang Kesra, dr. H.
Djailani, menyerahkan Proposal Rencana Pembangunan Perkampungan
Budaya Betawi.
10. 14 Oktober 1998 : LKB membentuk Tim Asistensi Teknis Perkampungan
Budaya masyarakat Betawi.
11. 14 Oktober 1998 : LKB melakukan peninjauan lokasi Setu Babakan
Srengseng sawah dan mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat
sekitar lokasi.
12. 1998 : SK Gubernur tentang Tim Teknis Pembangunan Perkampungan
Budaya Betawi. Dialokasikan anggaran sebesar Rp 150.000.000,- melalui
anggaran pembangunan yang diperuntukan pembuatan Master Plan.
13. 30-31 Januari 1999 : Festival Setu Babakan (Sudin Pariwisata Kotamadya
Jakarta Selatan).
14. 29 Maret 1999 : Wagub Bidang Kesra, dr. H. Djailani, memimpi rapat
koordinasi pembahasan kriteria dan pola umum pembangunan Perkampungan
59
Budaya Masyarakat Betawi. Ditetapkan namanya adalah Perkampungan
Budaya Betawi.
15. 31 Agustus 1999 : Lokakarya Rencana Pembangunan Perkampungan Budaya
Betawi (Dinas kebudayaan – LKB. Pembicara Dr. Meutia F. Swasono, Nana
Nurliana, MA, Ir. Safwandi, Msc, Ir. Martono Juwono, Amarullah Asbah,
Amrul Sandjaja – Lurah Jagakarsa, Drs. Zainuddin Thohir- Camat Jagakarsa).
16. 21 September 1999 : Surat Bamus Betawi kepada Gubernur DKI Jakarta
perihal Realisasi Pembangunan Perkampungan budaya Betawi.
17. 7 Februari 2000 : Surat Bamus Betawi kepada Kepala Dinas Kebudayaan
DKI Jakarta tentang usul Pekerjaan Prioritas Pembangunan Perkampungan
Budaya Betawi.
18. Februari 2000 : Penyelesaian Master Plan dan Maket Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan (Lemtek
UI).
19. 14 Maret 2000 : Pemaparan Master plan Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, oleh Lemtek UI di
hadapan Gubernur.
20. 14 Agustus 2000 : Peninjauan lokasi pembangunan Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan (Dinas
dan stakeholder).
21. 18 Agustus 2000 : SK Gubernur No. 92 Tahun 2000 tentang Penataan
Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan.
60
22. 2000 : Kepgub No. 3381 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng
Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
23. 6 September 2000 : Pembahasan Master Plan oleh Dewan Pakardan
mengusulkan “Penyempurnaan Master Plan Perkampungan Budaya Betawi”.
24. 15 September 2000 : Gubenrur DKI Jakarta, Sutiyoso meletakan batu
pertama Pembangunan Perkampungna Budaya Betawi Setu Babakan.
25. 18 Oktober 2000 : Surat Bamus Betawi kepada Gubernur Provinsi DKI
Jakarta tentang Usulan Program Pembangunan Perkampungan Budaya
Betawi dan Program Pembangunan di DKI Jakarta Tahun 2001/2002.
26. 20 Januari 2001 : Penandatanganan prasasti penggunaan awal Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
oleh pejabat setempat.
27. 20 Januari 2001 : Dibentuk Gerakan Sosial Perkampungan Budaya Betawi.
28. 2001 : Intruksi Gubernur No. 260 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan
Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Kegiatan Pembangunan
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa,
Jakarta Selatan.
29. 15 Januari 2001 : Keputusan Pimpinan Proyek Pengadaan Sarana dan
Prasarana Seni Budaya No. 08 a/2001 tentang Pengangkatan Perangkat
Pelaksanaan Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi TA 2001.
30. 1 Juni 2001 : Pencanangan HUT Kota Jakarta ke-474 di Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
61
31. 27-29 Juli 2001 : Pameran Seni Budaya Peranakan di Perkampungan Budaya
Betawi Setu Babakan.
32. 1-5 November 2001 : Studi Banding Sistem Manajemen Pengelolaan
Perkampungan Budaya Betawi ke Sarawak Culture Village, Kuching,
Sarawak, Malaysia.
33. 20 September 2001 : Kunjungan Kerja Wagub Kesra ke Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
34. 23-27 Oktober 2002 : Pekam Kebudyaan Betawi ke-18 di Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
35. 10 Maret 2005 : Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan
Budaya Betawi di Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
36. 1 Oktober 2007 : Pergub No. 129 Tahun 2007 tentang Lembaga Pengelolaan
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa,
Jakarta Selatan.
37. 5 November 2007 : Pergub Provisni DKI Jakarta No. 151 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan,
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
38. 3 Juni 2008 : SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 754/2008 tentang
Kepengurusan Lembaga Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi.
39. 11 Juni 2008 : Seminar Sehari Penguatan Kelembagaan Perkampungan
Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
(Bamus Betawi dengan Walikota Jakarta Selatan).
62
40. 18 Februari 2010 : Rapat Pengarahan Sekda Prov kepada Lembaga Pengelola
Perkampungan Budaya Betawi dan Instansi terkait.
41. 17 Mei 2011 : Deklarasi Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi
(MP-PBB) dengan akta notaris No. 4 Tahun 2011.
42. 14 Juni 2012 : Pagelaran Seni Betawi Tempo Doeloe. Acara yang dipusatkan
di Perkampungan (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
dan Lembaga Kebudayaan Betawi).
43. 29 Agustus 2012 : Seminar Pengembangan Cagar Budaya Perkampungan
Budaya Betawi sebagai Setus warisan budaya (Sudin Kebudayaan
Kotamadya Jakarta Selatan) di Hotel Amoz Cosy, Jakarta Selatan.
44. 3 Agustus 2012 : SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1193/2012 tentang
Kepengurusan Lembaga Pengelolaan Perkampungan Budaya Betawi.
45. 4 Oktober 2012 : Seminar Penyusunan Panduan Rancangan Kota Atau Urban
Design Guidelines (UDGL) di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
(Dinas Tata Ruang Pemprov. DKI Jakarta).
46. 21 November 2012 : Kunjungan Gubernur DKI Joko Widodo dan
memastikan pembangunan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan,
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, akan dilanjutkan.
47. 15 Mei 2014 : Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo Melantik Walikota
Jakarta Selatan, Syamsudin Noor, di Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
63
48. 10 September 2014 : SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 1149 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur No. 1193/2012 tentang
Kepengurusan Lembaga Pengelola Perkmapungan Budaya Betawi.
Setu Babakan (Setu atau Situ berarti Danau Kecil), merupakan kawasan
pemukiman yang terletak di wilayah Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan
Jagakarsa, Jakarta Selatan. Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan
yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai tempat pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi secara berkesinambungan. Perkampungan yang
terletak di Selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek wisata yang
menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau
menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung.
Kawasan Setu Babakan terletak di Kampung Kalibata, Kelurahan
Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan ini memiliki
luas sekitar 289 Ha, terdiri atas 70 Hektar aset Pemerintah Daerah dan 209 Hektar
milik masyarakat. Kawasan tersebut meliputi kawasan pemukiman, fasilitas,
hutan kota, Setu Babakan, Setu Mangga Bolong dan mata air yang merupakan
satu kesatuan yang dikelola secara terpadu.2
Konsep kawasan perkampungan Budaya Betawi diawali dengan terbitnya
Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penetapan Perkampungan Budaya Betawi
Kelurahan Srengseng Sawah Kecamatan Jagakarsa Kotamadya Jakarta Selatan
yang bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi melalui sebuah perspektif
2 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 184.
64
kehidupan budaya Betawi. Kawasan Setu Babakan terbagi menjadi 3 zona
wilayah, yaitu:3
1. Zona A, dikembangkan menjadi pusat pelestarian pengembangan budaya
dengan luas 3,2 ha. Pada zona ini dikembangkan berbagai rumah adat khas
Betawi, seperti rumah adat gudang, kebaya, joglo, bapang, pesisir dan pulau
seribu yang juga dilengkapi dengan museum sejarah dan purbakala, gedung
teater dan gedung modern bernuansa Betawi.
2. Zona B, dikembangkan sebagai pusat kuliner nusantara dengan tema Betawi
untuk Indonesia, zona ini berdiri diatas lahan seluas 3.700 meter persegi.
Didalam zona ini terdapat kurang lebih 250 pedagang kuliner yang
menjajakan makanan khas Betawi dan budaya Indonesia lainnya.
3. Zona C, dikembangkan menjadi zona komersial dan studi alam, zona ini
berdiri diatas lahan seluas 2,8 ha. Di zona ini dibangun replika perkampungan
Betawi yang dilengkapi rumah adat, sawah dan empang (danau kecil).
Salah satu pertimbangan utama ditetapkannya wilayah Setu Babakan
sebagai Perkampungan Budaya Betawi oleh Pemda Jakarta adalah karena
kawasan ini termasuk salah satu wilayah berkomunitas Betawi yang masih
bertahan di tengah perkembangan masyarakat Jakarta yang semakin Heterogen.
Berdasarkan prosentasi bahwa 67,5% merupakan penduduk asli Betawi yang telah
tinggal turun temurun hingga 6 generasi.
3 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 159-
161.
65
Di Setu Babakan terdapat 4 RW yaitu RW 5, RW 6, RW 7 DAN RW 8.
Penduduk Betawi di wilayah ini lebih banyak menempati RW 6 dan RW 8.
Prosentasi tertinggi berada di RW 8 (75%) dan RW 6 (71.4%). Sebagian
penduduk asli Betawi terkonsentrasi di RW 8 bagian utara yaitu sisi timur
kawasan. Penduduk pendatang berada pada sebagian besar RW 6 bagian utara,
sebagian RW 6 bagian tengah, sebagian kecil sekali RW 6 bagian selatan dan RW
8 bagian selatan. Penduduk campuran Betawi dan pendatang ada di RW 8 bagian
selatan, RW 6 bagian tengah dan selatan.4
Pencapaian ke dalam kawasan Setu Babakan secara makro dapat dicapai
dari 4 arah yang berlainan, yaitu:5
1. Arah Barat, mewakili daerah Ciganjur, Cinere, dan Pondok Labu sebagai
konsentrasi tujuan dari dan ke lokasi melalui Jalan Warung Silah.
2. Arah Timur, dari Jalan Raya Lenteng Agung melalui Jalan Srengseng Sawah.
3. Arah Utara, dari Jalan Raya Lenteng Agung melalui Jalan Mohammad Kahfi
II atau Jalan Jeruk.
4. Arah Selatan, mewakili daerah Lebak Bulus dan Depok, melalui Jalan Tanah
Baru (terusan Mohammad Kahfi II ke arah Selatan) dari Lebak Bulus dan
Jalan Kukusan di Depok.
Secara umum masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang agraris, hal
ini berkaitan dengan kondisi pemukiman Betawi (pemukiman Betawi bagian
4 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 188. 5 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, h. 196.
66
dalam) yang pada umumnya memiliki suasana pedesaan pertanian kebun, yang
sangat terasa dengan lapak yang didominasi oleh lahan kebun dan hunian dengan
pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan sehingga masyarakat Betawi
mengandalkan hasil kebun dan pekarangannya sebagai pencaharian ekonomi
keluarga.6
Kondisi ini menunjukkan hal yang signifikan pada wilayah Setu Babakan.
Berdasarkan hasil penelitian, prosentase terbesar mata pencaharian masyarakat
bukanlah yang bersifat agraris. Prosentase terbesar mata pencaharian masyarakat
adalah karyawan swasta (50%), ibu rumah tangga (15%), wiraswasta (25%),
lainnya (10%).7
Pada saat ini kegiatan wisata hanya terfokus di RW 8, maka fasilitas
penunjang wisata yang cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
hanya ada di sub-kawasan ini. Fasilitas wisata yang ditemui di sub-kawasan ini
meliputi Wisma Betawi, warung-warung yang menjual barang-barang khas
Betawi, toilet, panggung terbuka, tempat duduk dan tempat parkir kendaraan.8
Bila ingin dapat menggunakan Wisma Betawi, wisatawan harus
mengontak pihak pengolola sebelum hari digunakan (reservasi). Untuk warung-
warung yang ada sebagian besar ternyata dimiliki dan dikelola oleh masyarakat
dari luar wilayah Setu Babakan. Ada beberapa jenis fasilitas yang dapat
6 Ismet Harun, Rumah tradisonal Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta,
1991), h. 12. 7 Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputa, Jakarta, 15 Desember 2016.
8 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 209.
67
diakomodir oleh penduduk Setu Babakan seperti penginapan (home stay), warung
makan atau kios kerajinan (souvenir shop).9
Konservasi budaya dari aspek kultural merupakan suatu hal yang sangat
penting. Suatu masyarakat akan dikenal jika masih tetap mempertahankan budaya
asli mereka. Indikator kebudayaan ada lewat masyarakat yang mempertahankan
budaya mereka. Hal ini saling berkaitan dimana adanya suatu perkumpulan
masyarakat maka disitu akan ada budaya dan adat istiadat.10
Nilai filosofis dari konservasi budaya Setu Babakan Jagakarsa merupakan
suatu tempat (locus) untuk mempertahankan suatu eksistensi kebudayaan terutama
budaya Betawi. Setu Babakan Jagakarsa sangat penting dibentuk dan
dipertahankan sebagai bentuk pertahanan budaya Betawi.11
Nilai sosiologis dari Setu Babakan Jagarkarsa adalah mempertahankan dan
membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa budaya itu sangatlah penting. Dan
kemudian masyarakat akan sadar tentang budaya nya lalu mulai berkomunikasi
dan membagi pengetahuan serta pengalaman dan saling berdiskusi siapa mereka,
mengapa mereka ada, untuk apa mereka ada dan bagaimana mereka
mempertahankan tradisi itu.12
Nilai yuridis dari Setu Babakan Jagakarsa tertuang dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi
9 Yahya Andi Saputra, dkk, Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu, (Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi Jakarta Selatan, 2014), h. 210. 10
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016. 11
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016. 12
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016.
68
Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Ini merupakan bukti
konkrit kepedulian pemerintah terhadap pelestarian dan pengembangan budaya
Betawi.13
B. Pulang Tige Ari
Acara penganten Pulang Tige Ari ini berlangsung setelah Tuan Raje Mude
bermalam beberapa hari di rumah None Pengantin. Acara Pulang Tige Ari
(Pulang Tiga Hari) ini tidak mutlak bahwa setelah tiga hari bersama mereka akan
dijemput. Dahulunya memang demikian akan tetapi pada masa menjelang
kemerdekaan Pulang Tiga Hari tersebut dapat berlangsung sesudah satu minggu
atau lebih.14
Dalam tradisi Jawa acara ini disebut Ngunduh Mantu.15
Tradisi Pulang Tige Ari merupakan satu kebiasaan masyarakat Betawi
yang dilakukan setelah acara pernikahan (acara kebesaran) dan dilakukan di
rumah pengantin laki-laki.16
Untuk keperluan acara ini utusan yang bertindak sebagai wakil keluarga
pengantin laki-laki akan datang menjemput pengantin perempuan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Keberangkatan pengantin perempuan diantar oleh
beberapa orang yang mewakili orang tuanya.17
Pengantin wanita boleh dijemput mateng dan boleh juga dijemput mentah.
Maksud dijemput mateng yaitu None Pengantin sudah memakai pakaian
pengantin lengkap (Pakean Penganten Care Cine) adat Betawi. Sedangkan
13
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Jakarta 28 Desember 2016. 14
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 30. 15
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 66. 16
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016. 17
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 30.
69
dijemput mentah yaitu None Pengantin Belum dirias dan hanya mengenakan
busana rias bakal.18
Sebelum berangkat ke rumah mertuanya pengantin wanita diberi wejangan
bagaimana seharusnya ia berperilaku di rumah suaminya nanti. Misalnya ia harus
bangun lebih pagi dari pada mereka yang berada di rumah mertuanya dan
seterusnya.19
Selain itu pengantin perempuan diberi petunjuk bahwa setelah
beberapa hari ia diberi uang tegor oleh suaminya, di kamarnya akan diletakkan
seperangkat kotak sirih komplit dengan isinya dan selembar kain putih. Ini
menandakan bahwa pada malam itu dianjurkan sebaiknya ia sudah “menerima”
suaminya atau ia harus mau diajak “kumpul” bersama suaminya.20
Adat Betawi mengharuskan jika pada malam itu telah terjadi “kumpul”
antara keduanya maka pada pagi hari suaminya akan mengeluarkan kotak sirih
dan meletakkan di sisi luar pintu kamar. Jika alat penumbuk sirih diletakkan
miring atau tergeletak di antara perlengkapan lainnya, itu mengisyaratkan bahwa
None Pengantin benar-benar gadis suci ketika memasuki mahligai pernikahan.
Sebaliknya jika tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan,
berarti None Pengantin bukan gadis lagi tatkala memasuki pernikahan.21
Ketika diketahui pengantin perempuan sudah tidak suci lagi (di beberapa
kampung) maka keluarga perempuan diberi sanksi dengan mengembalikan dua
kali lipat bawaan yang sudah diberikan dan yang paling berbahaya bisa
18
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 67. 19
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 30. 20
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 67. 21
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, h. 67.
70
membatalkan pernikahan nya.22
Jika diketahui pengantin perempuan sudah tidak
suci lagi ini merupakan suatu aib bagi kedua keluarga. Dan mengenai sanksi yang
diberikan kepada pihak pengantin perempuan nantinya akan bicarakan dan
diselesaikan oleh kedua belah pihak keluarga.23
Selembar kain putih yang awal nya bersih ketika mereka sudah
“berhubungan” akan ada bercak darah, kemudian kain tersebut ditunjukan kepada
ibu mertua.24
Dalam hal demikian orang tua pengantin laki-laki memahami makna
artinya dan mengucapkan rasa syukur. Begitu pula orang tua pengantin
perempuan sangat gembira diberi tahu bahwa anaknya menikah dalam keadaan
suci. Bagi orang tua pengantin perempuan kesucian sebelum menikah dinilai
sangat tinggi karena hal itu berkaitan dengan martabat dan harga diri anak
perempuannnya, orang tua serta seluruh keluarganya.25
Sebagai tanda kegembiraan dari orang tua pengantin laki-laki bahwa
anaknya memperoleh seorang gadis yang terpelihara kesuciannya, maka keluarga
pihak laki-laki akan mengirimkan bahan-bahan pembuat lakse penganten untuk
dimasak oleh kepada keluarga penganten perempuan.26
Sambil memanjatkan puji-pujian kepada Allah SWT keluarga pihak
perempuan menerima kiriman itu dan memasaknya. Maka siang harinya tanpa
diundang lagi keluarga kedua belah pihak akan berkumpul di tempat kediaman
22
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 23
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016. 24
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 25
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, Daerah DKI Jakarta, cet. 1999/2000, h. 31. 26
Dinas Kebudayaan, Pengantin Betawi, h. 31.
71
pihak perrempuan bersama pengantin baru. Bersama-sama mereka mengadakan
selamatan dan mendoakan kebahagiaan pengantin baru. Pada saat ini pengantin
laki-laki mengenakan Baju Ujung Serong dan pengantin perempuan menggunakan
busana Encim Betawi. Keluarga lain boleh mengenakan busana Betawi apa saja.27
Pernikahan tidak hanya sekadar pertemuaan antara laki-laki dan
perempuan melainkan perkawinan antara dua adat, dua tradisi dan dua perilaku.
Maka ketika tradisi Pulang Tige Ari ini suami maupun istri beradaptasi untuk
mengetahui apa yang harus dilakukan dan disukai oleh keduanya. Tradisi ini
dilakukan sebagai wadah untuk berkomunikasi dan mendapatkan satu persamaan
persepsi ketika sudah menikah suami-istri harus rukun.28
Nilai filosofis tradisi Pulang Tige Ari adalah kaum perempuan menjadi
mulia dalam pandangan masyarakat Betawi dengan diadakannya tradisi ini
(memuliakan yang seharusnya dimuliakan).29
Nilai sosiologis tradisi Pulang Tige
Ari adalah mengukur status sosial di masyarakat juga sebagai penghormatan dan
pengakuan masyarakat bahwa keluarga ini merupakan baik-baik dan mulia.30
Nilai yuridis tradisi Pulang Tige Ari ini di dalam hukum tertulis
masyarakat Betawi memang tidak diatur akan tetapi secara hukum adat tradisi ini
dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara keluarga kedua mempelai,
selain itu tradisi ini juga sebagai suatu tanda untuk mengukur status sosial
keluarga yang bersangkutan. Di dalam masyarakat Betawi bila ingin dikatakan
27
Yahya Andi Saputra, dkk, Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat”, (Jakarta:
Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000), h. 68. 28
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016 29
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 30
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016.
72
sebagai manusia yang baik maka sudah seharusnya bila menikahkan sang anak
harus melakukan tradisi sampai selesai dimana tradisi Pulang Tige Ari ini
merupakan tardisi terakhir dari rangkaian tradisi perniakahan dalam adat Betawi.31
Tradisi Pulang Tige Ari di pengaruhi oleh ajaran pra-Islam (Hindu dan
Budha). Hal ini dikarenakan bila pengantin wanita dijemput mateng (sudah
didandani) itu berarti pengantin wanita tidak boleh langsung menginjak tanah dan
harus ditandu atau menggunakan kereta kuda. Mengenai pakaian pengantin tradisi
ini dipengaruhi oleh beberapa budaya diantaranya Cina, Eropa dan Melayu.32
Dari segi masakan dan makanan tradisi Pulang Tige Ari dipengaruhi oleh
budaya Cina dan India. Hal ini dikarenakan bumbu-bumbu yang digunakan untuk
membuat membuat laksa pengantin sama dengan bumbu-bumbu yang digunakan
oleh orang-orang India dan dipadukan dengan mie yang merupakan makanan khas
Cina.33
Menurut ahli hukum Islam tradisi Pulang Tige Ari ini hanya sebatas tradisi
lokal khususnya di wilayah Jakarta dan dalam aturan agama hal ini tidak diatur.
Secara hukum normatif agama ketika seseorang sudah menikah seharusnya tidak
perlu dihalangi kecuali istrinya masih di bawah umur (kawin gantung).34
Dari sudut pandang Islam tradisi ini tidak Islami cendrung merugikan
perempuan, sebaiknya ditolak saja. Jika memang masih dilaksakan sebaiknya
31
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 32
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 33
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016. 34
Wawancara Pribadi dengan Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA. Tanggerang Selatan 03
Januari 2017.
73
ambil sisi positifnya saja dan tidak memihak kepada siapa pun. Islam
menginginkan kedudukan laki-laki dan perempuan disama ratakan.35
Tradisi Pulang Tige Ari ini pada dasarnya tidak bertentangan hukum
Islam. Tradisi ini merupakan rangkaian dimana harus ada tahap-tahap yang dilalui
oleh seorang laki-laki untuk bisa membina rumah tangga dengan perempuan yang
dicintainya. Hal ini dilakukan oleh adat sebagai ekspresi komunikasi, ekspresi
berbahasa juga ekspresi keindahan. Maka dimulai perlahan-lahan sampai terjadi
klimaks diantara suami-istri ini. Ketika mempunyai keturunan nanti niscahya akan
berkah.36
Masyarakat Betawi identik dengan Islam dan tidak ada masyarakat Betawi
yang tidak Islam (non muslim). Tradisi berangkat dari sumber agama yaitu Islam.
Oleh sebab itu tradisi-tradisi di masyarakat Betawi di perbolehkan dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Tradisi Pulang Tige Ari hanya merupakan
bagian dari adat, dan upacara inti dari pernikahan sudah terlaksana dengan akad.37
C. Analisis Penulis
Melihat dari penjelasan di atas, penulis dapat menganalisa beberapa hal
mengenai tradisi Pulang Tige Ari bahwa tradisi Pulang Tige Ari memang tidak
dijelaskan di dalam hukum tertulis masyarakat Betawi melainkan hal ini diatur
dalam hukum adat Betawi.
35
Wawancara Pribadi dengan Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, MA. Tanggerang Selatan 03
Januari 2017. 36
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputra. Jakarta 8 Desember 2016. 37
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan 28 Desember
2016.
74
Tradisi Pulang Tige Ari merupakan acara resepsi pernikahan yang
diadakan oleh pihak laki-laki dan dilaksanakan di rumah pihak laki-laki. Acara ini
umunya disebut dengan acara ngunduh, tetapi di masyarakat Betawi dikenal
dengan tradisi Pulang Tige Ari. Sama halnya dengan acara resepsi pada umumnya
dimana kedua pengantin akan duduk di kursi pelaminan dan menyambut tamu-
tamu yang hadir. Akan tetapi ada yang membedakan tradisi Betawi ini dengan
tradisi yang sejenis dari wilayah lain. Dalam tradisi Pulang Tige Ari ketika
pengantin perempuan hendak dijemput oleh utusan pihak laki-laki pengantin
perempuan boleh dijemput mateng dan boleh juga dijemput mentah.
Dijemput mateng yaitu None Pengantin sudah memakai pakaian pengantin
lengkap (Pakean Penganten Care Cine) adat Betawi. Sedangkan dijemput mentah
yaitu None Penganten Belum dirias dan hanya mengenakan busana rias bakal.
Ketika sampai di rumah pihak laki-laki None Pengatin yang sudah dijemput
mateng bisa langsung duduk di kursi pelaminan dengan Tuan Raje Muda, dan
apabila dijemput mentah maka None Pengantin harus dirias terlebih dahulu
sebelum duduk di kursi pelaminan.
Ketika selesai semua acara maka pada malam harinya suami dan istri
masuk ke dalam kamar dan mulai berbicara untuk mengenal lebih dekat satu sama
lain. Mulailah suami meletakkan uang di bawah gelas untuk merayu istri, ini
dinamakan malam negor. Pada saat malam negor suami belum bisa berhubungan
“kumpul” dengan istri hal ini dikarenakan sang istri belum mau berbicara banyak.
Disinilah tugas suami untuk membuat istrinya mau membuka hati untuk suami.
Diamnya istri dalam tradisi Pulang Tige Ari tidak berarti dia melalaikan tugasnya
75
sebagai seorang istri, dia tetap menyiapkan segala sesuatu untuk suami nya. Dia
hanya bersikap jual mahal dan tidak gampangan.
Ketika uang negor yang diberikan suami sudah dianggap besar maka sang
istri mulai membuka hati untuk suaminya dan terjadi hubungan suami istri. Ketika
esok harinya setelah mereka “berkumpul” di depan pintu kamar pengantin baru ini
biasanya akan ada seperangkat kotak sirih dan selembar kain putih. Ini merupakan
simbol yang menandakan bahwa sang istri masih suci. Apabila kotak sirih
diletakkan miring atau tergeletak diantara perlengkapan lainnya maka itu berarti
sang istri benar-benar suci atau masih gadis. Sebaliknya jika tempat sirih
dikeluarkan dalam keadaan sama seperti awal dikeluarkan dari kamar itu berarti
sang istri bukan gadis lagi.
Ketika mengetahui sang istri masih suci itu terlihat pada selembar kain
putih yang ada bercak darah. Kain putih tersebut diberikan kepada ibu mertua.
Sebagai tanda kegembiraan dan syukur dari orang tua pihak laki-laki bahwa
anaknya memperoleh istri yang terpelihara kesuciannya maka kelaurga pihak laki-
laki akan mengirimkan bahan-bahan untuk membuat lakse pengante kepada pihak
keluarga perempuan.
Maka keluarga pihak perempuan menerima bahan-bahan tersebut dan
langsung membuat lakse penganten. Siang harinya kedua belah pihak keluarga
kembali berkumpul dan mengundang saudara-saudara serta tetangga untuk
mengadakan acara syukuran dan mendoakan agar kehidupan rumah tangga anak-
76
anak mereka bahagia. Lakse penganten ini hanya akan dibuat pada saat-saat
seperti ini saja. Itulah mengapa makanan ini disebut lakse Penganten.
Tradisi Pulang Tige Ari ini pada dasarnya tidak bertentangan hukum
Islam. Tradisi ini merupakan rangkaian dimana harus ada tahap-tahap yang dilalui
oleh seorang laki-laki untuk bisa membina rumah tangga dengan perempuan yang
dicintainya. Hal ini dilakukan oleh adat sebagai ekspresi komunikasi, ekspresi
berbahasa juga ekspresi keindahan. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa tradisi
Pulang Tige Ari itu merupakan suatu acara untuk memuliakan seorang
perempuan, dalam Islam seorang perempuan merupakan makhluk ciptaan Allah
SWT yang sangat suci dan dihormati. Jika ada dalam tradisi ini hal-hal yang
cendrung tidak Islami maka perlu dilihat kembali menurut pandangan orang yang
bersangkutan. Ambil sisi baik dan positif nya dari sebuah tradisi. Maka tradisi ini
tidak akan bertentangan dengan Hukum Islam. Karena Betawi itu Islam.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan akhir tentang masalah
tradisi Pulang Tige Ari. Tradisi Pulang Tige Ari di pengaruhi oleh ajaran pra-
Islam (Hindu dan Budha). Hal ini dikarenakan bila pengantin wanita dijemput
mateng (sudah didandani) itu berarti pengantin wanita tidak boleh langsung
menginjak tanah dan harus ditandu atau menggunakan kereta kuda. Mengenai
pakaian pengantin tradisi ini dipengaruhi oleh beberapa budaya diantaranya Cina,
Eropa dan Melayu. Dari segi masakan dan makanan tradisi Pulang Tige Ari
dipengaruhi oleh budaya Cina dan India. Hal ini dikarenakan bumbu-bumbu yang
digunakan untuk membuat membuat laksa pengantin sama dengan bumbu-bumbu
yang digunakan oleh orang-orang India dan dipadukan dengan mie yang
merupakan makanan khas Cina.
Acara ini pada awalnya dilakukan setelah 3 hari pengantin baru menginap
di rumah pihak perempuan kemudian pada hari ketiga keluarga pihak pengantin
laki-laki menjemput keduanya untuk mengadakan kembali acara di rumah
pengantin laki-laki. Sebenarnya tidak harus mutlak dilakukan pada hari ketiga
setelah mereka menikah, bisa dilaksanakan seminggu setelahnya atau pun
beberapa waktu kedepan. Tidak ada batasan waktu untuk melaksanakan acara ini.
Pada acara Pulang Tige Ari ini ada satu kebiasaan dimana suami-istri belum bisa
langsung berhubungan selayaknya pasangan lain. Hal ini dikarenakan adanya
78
“malam negor”. Di malam negor ini suami diharuskan memenangkan hati istri
untuk mau diajak berbicara dari hati ke hati. Kebiasaan yang sering terjadi pada
malam negor adalah suami meletakkan sejumlah uang dibawah gelas yang
nantinya akan diambil oleh istri. Dalam malam negor ini pun istri masih belum
mau berbicara banyak kepada suami hal ini menandakan bahwa istri bukan
perempuan gampangan. Malam negor ini bisa berlangsung selama beberapa hari
tergantung istri sudah mau diajak berbicara dengan suaminya. Selama masa
diamnya istri, dia tetap menjalankan tugas sebagaimana istri melayani suami
seperti segala sesuatu yang diperlukan suaminya. Ketika istri sudah mau
membuka hati dan bisa diajak berbicara banyak oleh suami maka mereka baru
bisa melakukan hubungan suami-istri. Adat Betawi mengharuskan jika pada
malam itu telah terjadi “kumpul” antara keduanya maka pada pagi hari suaminya
akan mengeluarkan kotak sirih, selembar kain putih dan meletakkan di sisi luar
pintu kamar. Ini merupakan simbol yang menandakan bahwa istri masih suci
(gadis) atau tidak ketika mereka menikah. Jika alat penumbuk sirih diletakkan
miring atau tergeletak di antara perlengkapan lainnya, itu mengisyaratkan bahwa
None Penganten benar-benar gadis suci ketika memasuki mahligai pernikahan.
Sebaliknya jika tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan,
berarti None Penganten bukan gadis lagi tatkala memasuki pernikahan.Ketika
mengetahui istri masih suci hal yang dilakukan oleh suami adalah menunjukkan
selembar kain putih yang ada bercak darah itu kepada ibu nya.
Tradisi Pulang Tige Ari cendrung tidak Islami, ada beberapa hal dalam
tradisi ini yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Manusia setiap harinya tumbuh
79
dan berubah begitu pun dengan tradisi. Tidak semua tradisi akan tetap bertahan
pada tempatnya. Jika tradisi ini cendrung tidak Islami maka sebaiknya tidak perlu
dilanjutkan, ambil hal-hal baik dan positif dari suatu tradisi dan hilangkan jika
memang bertentangan dengan syariat Islam. Tradisi-tradisi yang ada di budaya
Betawi pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena pengaruh
dalam hal agama dan hal keyakinan bisa dikatakan bahwa masyarakat Betawi
adalah masyarakat yang memegang keislaman dengan begitu kuat. Begitu pun
dengan tradisi Pulang Tige Ari ini. Oleh sebab itu tradisi-tradisi di masyarakat
Betawi di perbolehkan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tradisi
Pulang Tige Ari hanya merupakan bagian dari adat, dan upacara inti dari
pernikahan sudah terlaksana dengan akad.
B. Saran-saran
Melihat penjelasan dari penelitan yang penulis lakukan, penulis ingin
menyampaikan saran-saran kepada semua agar menjadi masyarakat yang lebih
baik. Berkaitan dengan tradisi Pulang Tige Ari ini agar tidak terjadi salah tafsir
maka penulis akan memberikan beberapa saran yang sesuai dengan apa yang
penulis teliti, diantaranya:
1. Hendaklah seseorang yang akan menikah berkonsultasi terlebih dahulu
kepada orang yang dituakan agar mengetahui apa saja tahap-tahap yang
harus dilakukan dari awal sampai selesainya prosesi adat pernikahan
Betawi.
2. Seseorang wajib memahami apa itu tradisi dalam suatu adat. Karena
banyaknya hal-hal baru dalam suatu budaya adat istiadat maka diperlukan
80
pemahaman yang benar dan kuat akan hal tersebut. Jangan
mengesampingkan suatu budaya karena kita semua terlahir dan tumbuh di
lingkungan yang mempunyai budaya adat istiadat masing-masing.
3. Tradisi-tradisi budaya Betawi termasuk Pulang Tige Ari harus tetap dijaga
dan dipertahankan. Agar nantinya anak-cucu masyarakat Betawi
mengetahui dan mengenal tradisi tersebut.
81
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan. Jakarta: PT. Prima Heza
Lestari, 2006.
Ahmad, Supriyad, dkk. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidatullah Jakarta,
Jakarta: PPJM Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidatullah
Jakarta. 2012
Anisa. “Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan Betawi” artikel diakses
pada 18 November 2008 dari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/08/11/17/15092-kebudayaan-islam-betawi-dulu-kini-dan-
esok
Ayyub, Syaikh. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul
Fikr, 2004.
Bungin, Burhan Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. cet.III. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Chaer, Abdul. Folklor Betawi Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi.
Jakarta: Masup Jakarta, 2012.
----------. Betawi Tempo Doeloe Menelusuri Sejarah Kebudayan Betawi.
Jakarta: Masup Jakarta, 2015.
Danandjaja, James. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-
Lain. cet.VII. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007.
Departemen Agama. Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: CV. Indah
Press, 1996.
Dinas Kebudayaan. Pengantin Betawi. Daerah DKI Jakarta, cet.
1999/2000.
Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Antropologi Hukum. Jakarta: P.T.Citra
Aditya Bakti, 1992.
82
Harun, Ismet. Rumah Tradisonal Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta, 1991.
HS, Ahmad Fadli HS. Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama
Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad
Ke-19 Dan 20). Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011.
Kakhiya, Thariq Ismail. Perkawinan Dalam Islam. cet.II. Jakarta:
Yasaguna, 1987.
Koentjaraningrat. Pengantar Antrplologi - Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta,
2005.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta,
2009.
Lembaga Kebudayaan Betawi. Upacara Perkawinan Adat Betawi. Jakarta:
LKB, 1994.
Medikanto, Joko Medikanto. Penetapan Wali Adhal (studi kasus
Pengadilan Agama Kendal). Tesis. Semarang, 2006.
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:
PT. Bulan Bintang. 1974.
Nata, Abuddin. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta: Kencana, 2006.
Pemerintah Provinsi DKI. Sejarah Jakarta Dari Zaman Prasejarah.
Jakarta: Dinas Museum & Pemugaran, 2001.
Pratiwi, Fajar. “Tindak Tutur Komunikasi Pada Upacara Pernikahan Adat
Betawi (Studi Fenomenologi Linguistik Dengan Pendekatan
Analisis Percakapan Tentang Tindak Tutur Komunikasi Pada
Tradisi Berbalas Pantun Dalam Upacara Pernikahan Adat
Betawi)”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Komputer Indonesia Bandung, 2014.
Poesponoto, Soebakti. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta:
Pradya Paramita, 1983.
Saidi, Ridwan. Babad Tanah Betawi. Jakarta: PT. Gramedia, 2002.
----------. Sejarah Jakarta dan Peradaban Melayu Betawi. Jakarta:
Perkumpulan Renaissance Indonesia (Timpani Pub), 2010.
83
Saputra, Yahya Andi, dkk. Siklus Betawi Upacara dan Adat Istiadat.
Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi, 2000.
----------. Sejarah Perkampungan Budaya Betawi Setu babakan Demi
Anak-Cucu. Jakarta: Suku Dinas Kebudayaan Kota Administrasi
Jakarta Selatan, 2014.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. cet.4. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1990.
----------. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers, 1996.
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam Hukum Nasional. Tanggerang Selatan: UIN Syarif
Hidatullah Jakarta, 2011.
Subagio, P. Joko. Metode Penelittian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Sukanto, Soerjono. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. cet 2. Jakarta:
Radar Jaya Offset, 1982.
Suma, Muhammad Amin. Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di
Negara Hukum Indonesia. Tanggerang Selatan: UIN Syarif
Hidatullah Jakarta, 2009.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. cet.III. Jakarta:
Kencana, 2011.
Talidizuhu, Ndaraha. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta,
2005.
Tihami, M. A., dkk. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Tim Penyusun Pusat Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet ke 3,4.
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Wawancara Pribadi dengan Yahya Andi Saputa, Jakarta, 15 Desember
2016.
Wawancara Pribadi dengan Prof. DR. Murodi, MA. Tanggerang Selatan
28 Desember 2016.
84
Wawancara Pribadi dengan Dr. H. Mujar Ibnu Syaris, MA. Tanggerang
Selatan 03 Januari 2017.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN BUDAYAWAN DI SETU BABAKAN JAGAKARSA
BAPAK YAHYA ANDI SAPUTRA
1. Apa itu tradisi Pulang Tige Ari dalam adat Betawi?
Jawaban: Acara kebesaran atau acara resepsi yang dilakukan kembali
di rumah pihak keluarga laki-laki. Tradisi ini dilakukan untuk
memualikan pengantin perempuan. Sebelum menuju rumah keluarga
laki-laki pengantin laki-laki dan perempuan masih berada di rumah
pengantin perempuan untuk selanjutnya akan dijemput oleh keluarga
pihak laki-laki menuju tempat acara. Salah satu kemuliaannya itu
adalah ketika akan berangkat pengantin perempuan ditanya terlebih
dahulu akan dijemput mateng atau dijemput mentah. Jika dijemput
mateng pengantin perempuan tidak diperbolehkan untuk menginjak
tanah (menggunakan kereta kuda), sudah resmi menggunakan pakaian
pengantin kebesaran Betawi. Sedangkan jika dijemput mentah maka
pengantin perempuan akan dijemput apa adanya dengan menggunakan
pakaian biasa terlebih dahulu, nanti ketika tiba di rumah pihak laki-laki
barulah akan diurus sebagaimana seorang perempuan akan menjadi
pengantin.
2. Nilai filosofi, yuridis dan sosilogis di dalam tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Nilai filosofisnya adalah pemuliaan terhadap kaum
perempuan di mata adat Betawi. Memuliakan yang seharusnya
dimuliakan. Nilai yuridisnya adalah di dalam hukum tertulis
masyarakat Betawi memang tidak diatur akan tetapi secara hukum adat
tradisi ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman diantara
keluarga kedua mempelai, selain itu tradisi ini juga sebagai suatu tanda
untuk mengukur status sosial keluarga yang bersangkutan. Di dalam
masyarakat Betawi bila ingin dikatakan sebagai manusia yang baik
maka sudah seharusnya bila menikahkan sang anak harus melakukan
tradisi sampai selesai dimana tradisi Pulang Tige Ari ini merupakan
tradisi terakhir dari rangkaian tradisi perniakahan dalam adat Betawi.
Nilai sosiologisnya adalah mengukur status sosial di masyarakat juga
sebagai penghormatan dan pengakuan masyarakat bahwa keluarga ini
merupakan keluarga baik-baik dan mulia.
3. Adakah pengaruh budaya negara atau agama lain dalam tradisi Pulang
Tige Ari?
Jawaban: Dalam hal filosofi tradisi ini dipengaruhi oleh paham pra-
Islam Hindu dan Budha. Ketika pengantin dijemput mateng maka dia
tidak diperkenankan untuk menginjak tanah. Terlihat pada masa
kerajaan Hindu Budha dahulu para raja dan ratu tidak pernah berjalan
kaki melainkan menggunakan kereta kuda atau ditandu oleh
pengawalnya. Dalam hal berbusana tradisi ini dipengaruhi oleh etnik
Eropa, Melayu, dan Arab.
4. Apa makna dari peletakkan kotak sirih dan selembar kain putih dalam
tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Untuk mengetahui kondisi pengantin perempuan masih suci
(gadis) atau sudah tidak suci lagi.
5. Adakah sanksi yang berikan kepada pihak perempuan ketika diketahui
pengantin perempuan sudah tidak sudah suci?
Jawaban: Ketika diketahui pengantin perempuan sudah tidak suci lagi
(di beberapa kampung) maka keluarga perempuan diberi sanksi dengan
mengembalikan dua kali lipat bawaan yang sudah diberikaan dan yang
paling berbahaya bisa membatalkan pernikahan nya.
6. Apakah tradisi Pulang Tige Ari bertentangan dengan hukum Islam?
Jawaban: Tradisi Pulang Tige Ari ini pada dasarnya tidak bertentangan
hukum Islam. Tradisi ini merupakan rangkaian dimana harus ada
tahap-tahap yang dilalui oleh seorang laki-laki untuk bisa membina
rumah tangga dengan perempuan yang dicintainya. Hal ini dilakukan
oleh adat sebagai ekspresi komunikasi, ekspresi berbahasa juga
ekspresi keindahan. Maka dimulai perlahan-lahan sampai terjadi
klimaks diantara suami-istri ini. Ketika mempunyai keturunan nanti
niscahya akan berkah.
7. Pada acara malam negor ada pemberian suami kepada istri yang
disebut uang negor, maksud uang tegor ini mengarah ke pemberian
nafkah, mahar hadiah atau tradisi adat?
Jawaban: Uang negor yang diberikan tidak ada kaitannya dengan
mahar, uang negor disini merupakan hadiah dari suami kepada istri.
8. Ketika pihak laki-laki membawa 10 seserahan (bingkisan) apakah
pihak perempuan wajib membalas seserahan sejumlah tersebut?
Jawaban: Tidak ada ketentuan bagi pihak keluarga perempuan untuk
membalas seserahan yang dibawakan oleh pihak laki-laki. Karena
silaturrahmi itu penting maka pihak perempuan berinisiatif untuk
menyiapkan balasan akan tetapi jumlahnya tidak harus sama. Hanya
kewajiban moral saja dan tidak merupakan kewajiban.
9. Fungsi budaya bagi masyarakat?
Jawaban: Budaya membentuk aturan dan norma, hal itu dijadikan
pegangan dalam menjalankan kehidupan di tengah masyarakat.
Jakarta Selatan, 15 Desember 2016.
Peneliti, Budayawan,
Putri Shafwatil Huda. Yahya Andi Saputra.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN AKADEMIKA
PROF. DR. MURODI, MA.
1. Apa itu tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Merupakan satu kebiasaan masyarakat Betawi setelah
acara perkawinan. Suami diizinkan untuk tinggal selama tiga hari
di rumah istri. Setelah tiga hari tadi suami mengajak istri ke rumah
nya (rumah pihak laki-laki) untuk kembali diadakan acara disana.
Keluarga pihak laki-laki akan datang ke rumah pengantin
perempuan untuk menjemput keduanya kemudian diantarkan ke
rumah pengantin laki-laki. Di rumah pengantin laki-laki ini akan
diadakan kembali acara kebesaran atau resepsi kedua.
2. Adakah pengaruh budaya lain dalam tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Dari segi makanan ada makanan khas dalam tradisi ini
yaitu laksa pengnatin. Laksa pengantin diadopsi dari budaya Cina,
India dan Melayu.
3. Apa itu tradisi malam negor?
Jawaban: Setelah ijab qabul terjadi suami istri belum boleh
melakukan hubungan selayaknya pasangan suami istri. Untuk
mengetahui perilaku suami istri diperlukan adaptasi, minimal 3
hari. Karena perkawinan itu bukan hanya sekedar perkawinan
antara laki-laki dan perempuan melainkan juga perkawinan antara
dua tradisi dan dua perilaku. Jadi selama tiga hari itu minimal
sudah saling memahami apa yang disukai dan tidak disukai oleh
suami-istri. Kemudian mendapatkan satu persamaan persepsi
sehingga kelak menjalankan rumah tangga hidup rukan.
4. Apa makna uang tegor?
Jawaban: Uang tegor merupakan simbol adat dimana seorang
suami harus menafkahi istrinya itu makna filosifisnya. Dalam
malam negor bisa dikatakan sebagai media untuk saling mengenal
dan berkomunikasi satu sama lain. Suami menengur istri di malam
negor.
5. Apa maksud dari peletekan kotak sirih dan selembar kain putih di
depan kamar pengantin?
Jawaban: Untuk mengetahui mereka sudah melakukan hubungan
suami-sitri dan untuk mengetahui suci tidaknya si istri.
6. Apa konsekuensi ketika diketahui istri sudah tidak suci?
Jawaban: Dahulu hal itu merupakan aib besar bagi kedua belah
pihak keluarga. Maka menjadi tanggungjawab kedua keluarga
untuk menyelesaikannya. Akan ada sanksi sosial dari masyarakat
yang mencap tidak baik kepada keluarga mereka.
7. Apakah akan membatalkan pernikahan keduanya jika istri sudah
tidak suci?
Jawaban: Ini merupakan hak suami untuk menggugat istri nya atau
tidak. Kalaupun hal ini terjadi biasanya penyelesaiaan awal
dilakukkan musyawarah keluarga secara baik-baik.
8. Apakah Tradisi Pulang Tige Ari bertentangan dengan hukum
Islam?
Jawaban: Tradisi ini tidak bertetangan dengan hukum Islam karena
masyarakat Betawi identik dengan Islam dan tidak ada masyarakat
Betawi yang tidak Islam (non muslim). Tradisi berangkat dari
sumber agama yaitu Islam. Oleh sebab itu tradisi-tradisi di
masyarakat Betawi di perbolehkan dan tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Tradisi Pulang Tige Ari hanya merupakan bagian
dari adat, dan upacara inti dari pernikahan sudah terlaksana dengan
akad.
9. Seberapa penting konservasi budaya Betawi Setu Babakan
Jagakarsa?
Jawaban: Konservasi budaya dari aspek kultural merupakan suatu
hal yang sangat penting. Suatu masyarakat akan dikenal jika masih
tetap mempertahankan budaya asli mereka. Indikator kebudayaan
ada lewat masyarakat yang mempertahankan budaya mereka. Hal
ini saling berkaitan dimana adanya suatu perkumpulan masyarakat
maka disitu akan ada budaya dan adat istiadat.
10. Apakah makna konservasi (filosofis, sosiologis, yuridis)?
Jawaban: Nilai filosofis dari konservasi budaya Setu Babakan
Jagakarsa merupakan suatu tempat (locus) untuk mempertahankan
suatu eksistensi kebudayaan terutama budaya Betawi. Setu
Babakan Jagakarsa sangat penting dibentuk dan dipertahankan
sebagai bentuk pertahanan budaya Betawi. Nilai sosiologis dari
Setu Babakan Jagarkarsa adalah mempertahankan dan
membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa budaya itu sangatlah
penting. Dan kemudian masyarakat akan sadar tentang budaya nya
lalu mulai berkomunikasi dan membagi pengetahuan serta
pengalaman dan saling berdiskusi siapa mereka, mengapa mereka
ada, untuk apa mereka ada dan bagaimana mereka
mempertahankan tradisi itu. Nilai yuridis dari Setu Babakan
Jagakarsa tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Ini merupakan
bukti konkrit kepedulian pemerintah terhadap pelestarian dan
pengembangan budaya Betawi.
Tanggerang Selatan, 28 Desember 2016.
Peneliti, Budayawan,
Putri Shafwatil Huda. Prof. DR. Murodi, MA.
LAPORAN HASIL WAWANCARA
DENGAN AHLI HUKUM ISLAM
DR. H. MUJAR IBNU SYARIF, MA.
1. Pandangan hukum Islam terhadap tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Menurut ahli hukum Islam tradisi Pulang Tige Ari ini
hanya sebatas tradisi lokal khususnya di wilayah Jakarta dan dalam
aturan agama hal ini tidak diatur. Secara hukum normatif agama
ketika seseorang sudah menikah seharusnya tidak perlu dihalangi
kecuali istrinya masih di bawah umur (kawin gantung).
2. Adakah nilai yuridis, filosofis, dan sosiologis dari tradisi Pulang
Tige Ari?
Jawabannya: Secara yuridis hukum tradisi ini sudah dipastikan
tidak diatur di dalam undang-undang, akan tetapi di hukum adat
mungkin diatur. Secara filosofis tradisi ini mempunyai tujuan yang
bagus agar pasangan yang baru menikah diberikan waktu untuk
istirahat terlebih dulu. Jika pasangan yang baru menikah ketika
malam harinya langsung melakukan hubungan tentu kurang
berkualitas, maka diperlukan jeda beberapa agar kualitas hubungan
lebih terjamin. Secara sosilogis tradisi ini hanya sekadar tradisi
adat di wilayah tertentu.
3. Apa makna dari tradisi Pulang Tige Ari?
Jawaban: Jika melihat keseluruhan dalam tradisi ini pihak
perempuan yang akan lebih dirugikan. Jika diketahui istri sudah
tidak suci lagi bagaimana suami bisa menuduhnya begitu. Dan juga
pihak keluarga perempuan harus mengembalikan 2 kali lipat
bawaan yang sudah diterimanya dari pihak laki-laki. Sebaiknya
sebelum resminya hubungan diantara suami-istri ada baiknya
masing-masing pihak bisa menerima kelebihan dan kekurangan.
Karena cinta yang tulus tidak memerlukan syarat. Tradisi ini tidak
Islami cendrung merugikan perempuan, sebaiknya ditolak saja.
Jika memang masih di dilaksakan sebaiknya ambil sisi positifnya
saja dan tidak memihak kepada siapa pun. Islam menginginkan
kedudukan laki-laki dan perempuan disama ratakan.
Tanggerang Selatan, 03 Januari 2017.
Peneliti, Ahli Hukum,
Putri Shafwatil Huda. Dr.H.Mujar Ibnu Syaris, MA.