KONSERVASI SUMBER DAYA
DAN LINGKUNGAN LAUT
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah konservasi sumbedaya dan lingkungan laut
Disusun oleh:
Sherly Intan Amalia (230210100010)
Eka Septiyawati (230210100034)
Erin Yusrina (230210100040)
Ajeng Yuniar Ikhsani (230210100049)
Sri Setyawati (230210100057)
Rani Handayani (230210100058)
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut menyimpan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam
hayati maupun nonhayati terdapat di laut. Sumber daya alam yang ada di laut
dapat mengalami kerusakan. Beberapa faktor kerusakan sumber daya alam di laut
sebagian besar disebabkan oleh tindakan manusia.
Perairan nasional mengandung kekayaan hayati dengan berjuta organisme
yang membutuhkan penanganan dan perlindungan berkesinambungan, sehingga
konservasi dan pengembangan potensi sumber daya ikan tetap terjaga dan
terkontrol. Tahun 2004, IUCN melansir bahwa spesies akuatik yang terancam
punah di dunia mencakup 2.265 jenis, termasuk ikan air laut (163 spesies) dan
ikan air tawar (627 spesies), diantaranya 29 jenis ikan air tawar berasal dari
Indonesia.
Upaya perlindungan telah dilakukan pemerintah, diantaranya adalah
dengan menerbitkan berbagai aturan yang membatasi pemanfaatan organisme
yang ada dan hidup di perairan Indonesia. Berbagai aturan yang diterbitkan
diantaranya adalan “Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang:
“Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora” serta “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa“. Melalui Keputusan Presiden RI No. 43
Tahun 1978, Indonesia telah meratifikasi CITES dan sebagai konsekuensinya
perdagangan tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan oleh Indonesia
harus tunduk pada ketentuan CITES.
Berkaitan dengan terjadinya kerusakan alam dan hilangnya beberapa
keanekaragaman hayati, dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat
menambah wawasan mengenai ketidaktahuan mahasiswa khususnya dan
masyarakat umumnya terhadap biota-biota laut yang perlu dilindungi sehingga
tumbuh kepedulian terhadap pelestarian biota-biota tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi mengenai penangkaran biota laut.
2. Mengetahui beberapa biota laut yang dilindungi.
3. Mengetahui dan memahami cara penangkaran beberapa biota laut terutama
kima, kuda laut, dan Banggai Cardinal Fish.
4. Mengetahui teknik penangkaran in-situ dan ex-situ kima, kuda laut, dan
Banggai Cardinal Fish.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Penangkaran
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, penangkaran adalah upaya
perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran benih/bibit atau anakan
dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik yang dilakukan di habitatnya maupun di
luar habitatnya, dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan kemurnian
jenis dan genetik. Penangkaran tumbuhan dan satwa berbentuk :
1. Pengembangbiakan satwa,
2. Pembesaran satwa, yang merupakan pembesaran anakan dari telur yang
diambil dari habitat alam yang ditetaskan di dalam lingkungan terkontrol
dan atau dari anakan yang diambil dari alam (ranching/rearing),
3. Perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol
(artificial propagation).
Pengembangbiakan satwa adalah kegiatan penangkaran berupa
perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun tidak kawin
(asexual) dalam lingkungan buatan dan atau semi alami serta terkontrol dengan
tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Pembesaran satwa adalah kegiatan
penangkaran yang dilakukan dengan pemeliharaan dan pembesaran anakan atau
penetasan telur satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian
jenisnya. Perbanyakan tumbuhan (artificial propagation) adalah kegiatan
penangkaran yang dilakukan dengan cara memperbanyak dan menumbuhkan
tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol dari material seperti biji, potongan
(stek), pemencaran rumput, kultur jaringan, dan spora dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya.
Tujuan penangkaran adalah untuk mendapatkan spesimen tumbuhan dan
satwa dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang
terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung
terhadap populasi alam dan mendapatkan kepastian secara administratif maupun
secara fisik bahwa pemanfaatan spesimen tumbuhan atau satwa yang dinyatakan
berasal dari kegiatan penangkaran adalah benar-benar berasal dari kegiatan
penangkaran.
Induk satwa untuk keperluan penangkaran, dapat diperoleh dari
penangkapan satwa dari alam dan sumber-sumber lain yang sah meliputi : hasil
penangkaran, Luar Negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan dan
dari Lembaga Konservasi. Pengadaan induk dari hasil penangkaran generasi
pertama (F1) untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES
dilakukan dengan izin dari Menteri Kehutanan. Generasi kedua (F2) dan generasi
berikutnya untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES,
dilakukan dengan izin dari Direktur Jenderal PHKA. Jenis yang tidak dilindungi
dan atau termasuk Appendix II, III dan atau Non Appendix CITES, dilakukan
dengan izin Kepala Balai KSDA.
Pengadaan induk penangkaran dari luar negeri wajib dilengkapi dengan
Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN Impor) dan bagi
jenis yang termasuk dalam Appendix CITES, SATS-LN Ekspor dari negara
pengekspor. Induk penangkaran yang berasal dari luar negeri dan yang termasuk
dalam Appendix I CITES harus berasal dari unit usaha penangkaran di luar negeri
yang telah terdaftar pada Skretariat CITES sebagai penangkar jenis Appendix I
CITES untuk kepentingan komersial.
Pengadaan induk penangkaran yang berasal dari hasil rampasan,
penyerahan dari masyarakat atau temuan, hanya dapat dilakukan bagi spesimen
yang telah ditempatkan dan diseleksi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) dan atau
di tempat penampungan Balai KSDA. Induk penangkaran tumbuhan dan satwa
yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik
negara dan merupakan titipan negara. Induk penangkaran satwa liar generasi
pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa yang dilindungi dinyatakan sebagai
milik negara dan merupakan titipan negara. Spesimen induk satwa yang
dilindungi yang berasal dari habitat alam, dan atau hasil penangkaran generasi
pertama (F1) satwa yang dilindungi, tidak dapat diperjualbelikan dan wajib
diserahkan kepada negara apabila sewaktu-waktu diperlukan.
Kontrol hasil penangkaran dilakukan dalam rangka menjamin kemudahan,
sehingga setiap anakan harus dipisahkan dari induk-induknya. Pemisahan anakan
dari induk harus dapat dilakukan untuk membedakan antar generasi dimana
generasi pertama (F1) harus dapat dibedakan dengan generasi-generasi
berikutnya. Unit penangkaran dilarang melakukan pengembangbiakan silang
(hibrida) baik antar jenis maupun antar anak jenis, bagi jenis-jenis yang dilindungi
yang bersasal dari habitat alam. Hal ini dikecualikan untuk mendukung
pengembangan budidaya peternakan atau perikanan. Keanekaragaman genetik
jenis satwa dapat dijaga dengan cara, penangkaran satwa dilakukan dengan jumlah
paling sedikit dua pasang atau bagi jenis-jenis satwa yang poligamous minimal
dua ekor jantan dan dilakukan dengan menghindari penggunaan induk-induk
satwa yang mempunyai hubungan kerabat atau pasangan yang berasal dari satu
garius keturunan.
Pelaksana penangkaran wajib melakukan penandaan dan sertifikasi
terhadap indukan maupun hasil penangkarannya. Penandaan pada hasil
penangkaran merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian
tumbuhan maupun satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap
(marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang
mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf.
Penandaan bertujuan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya,
antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara
spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Untuk memudahkan
penelusuran aiansal usul (tracking) spesimen tumbuhan atau satwa, penandaan
dilengkapi dengan sertifikat. Bagi jenis-jenis yang karena sifat fisiknya tidak
memungkinkan untuk diberi tanda hanya dilakukan pemberian sertifikat.
Dalam rangka perdagangan luar negeri, unit penangkaran jenis-jenis
Appendix I CITES, yang dilakukan melalui kegiatan pengembangbiakan satwa di
dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan perbanyakan tumbuhan secara
buatan dalam kondisi terkontrol (artificial propagation), wajib diregister pada
sekretariat CITES. Registrasi hanya dapat diajukan oleh unit penangkaran yang
telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran. Berikut beberapa bahasan
mengenai spesies biota laut yang dilindungi:
2.2 Kima
Gambar 1. Kima kecil (Tridacna maxima)
Sumber: Wikipedia dan http://www.nmr-pics.nl/Tridacnidae/
Saat ini tercatat 10 jenis kima yang tersebar di perairan tropis di Samudera
India dan Pasifik. Marga Tridacna meliputi 8 jenis dan marga Hippopus hanya
terdiri dari 2 jenis. Indonesia merupakan daerah pusat penyebaran kima di dunia.
Sebanyak 7 spesies kima dapat ditemukan di perairan nusantara. Tiga jenis
lainnya termasuk jenis kima endemik yang tidak umum dan tersebar di luar
Indonesia, yaitu: Kima Laut Merah, Kima Mauritius dan Kima Iblis/Tevoro dari
Kepulauan Fiji dan Tonga. Sepuluh spesies kima yang ada di dunia, adalah:
a. Subgenus Tridacna (Chametrachea)
Tridacna costata Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius,
2008
Tridacna crocea Lamarck, 1819
Tridacna maxima Röding, 1798 (=Tridacna elongata)
Tridacna rosewateri Sirenho & Scarlato, 1991
Tridacna squamosa Lamarck, 1819
b. Subgenus Tridacna (Tridacna)
Tridacna derasa Röding, 1798
Tridacna gigas Linnaeus, 1758
Tridacna tevoroa Lucas, Ledua & Braley, 1990 (=Tridacna mbalavuana)
c. Genus Hippopus
Hippopus hippopus (Linnaeus, 1758)
Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)
Fungsi Kima pada kehidupan ekosistim dilautan sangat luar biasa. Sistem
filter yang dimilikinya, maka setiap ekor Kima mampu membersihkan puluhan
ton air laut setiap hari. Hasil pembersihannya tersebut kemudian menjadi
penolong untuk pertumbuhan dan pewarnaan terumbu karang, ikan dan aneka
biota laut lainnya. Selain itu, sel telur Kima yang jumlahnya jutaan ekor sekali
bertelur, menjadi makanan bagi ikan.
Kelebihan lainnya, daging Kima dikenal berprotein tinggi, sehingga
menjadi menu khusus dan mahal pada restoran terkenal di dunia. Warna daging
Kima hidup pun sangat mempesona, sehingga menjadi buruan untuk menghuni
aquarium pribadi dan menjadi koleksi andalan pada wahana di jaringan usaha
Underwater Seaworld. Oleh karena kelebihan yang dimilikinya, Kima diburu dan
diekploitasi berlebihan. Akibatnya, Kima diambang kepunahan, bahkan
disebagian besar negara tropis, beberapa species Kima, utamanya Tridacna gigas
dan T. Derasa, telah menghilang dari lautannya begitupun di Indonesia.
Masa pertumbuhan Kima sangat lamban. Belum lagi, untuk dapat hidup,
sejak dari sel telur hingga memiliki cangkang (Kima muda), Kima sangat rentan
terhadap predator. Dari jutaan sel telur yang dihasilkan Kima dewasa, yang dapat
hidup hingga memiliki cangkang hanya puluhan ekor saja. Sebagian besar sel
telur tersebut menjadi santapan ikan dan setelah memiliki cangkang, Kima masih
menjadi makanan empuk bagi kepiting, ikan karang dan gurita.
Persebaran Kima yaitu hanya ditemukan di Samudera Hindia dan Pasifik
Selatan (indo-pacific), namun tidak semua wilayah berlaut hangat tersebut
memiliki Kima, atau telah hilang dari lautannya. Di daerah Asia, Kima hanya
ditemukan di Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea, India,
China bagian timur dan pantai utara Australia serta Papua New Guinea.
2.2.1 Pelestarian Kima
Beberapa tempat pelestarian Kima yaitu diantaranya Konservasi Kima di
Taman Laut Kima Toli-Toli. Toli-Toli Giant Clam Ocean Park terletak di Desa
Toli-Toli Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara
merupakan satu-satunya tempat konservasi kima di Indonesia. Didirikan pada
tahun 2010 dan dilakukan secara mandiri atas dasar kesadaran masyarakat sekitar
untuk melakukan penyelamatan konservasi alam khususnya lingkungan laut dan
isinya. Melihat beberapa organisme yang terancam punah akibat eksploitasi
berlebihan serta tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh nelayan dan
beberapa perusahaan perikanan untuk berbagai tujuan tertentu. Beberapa
masyarakat sekitar di desa tersebut membentuk kelompok konservasi yang saat ini
mampu menjadi lembaga swadaya untuk pelestarian kima (Tridacna sp.).
Di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara kondisi biota laut tersebut
sangat mengkhawatirkan seperti keberadaan tanaman dan terumbu karang serta
Kima itu sendiri. Jika eksplotasi tersebut terus menerus dibiarkan, maka dapat
dipastikan biota laut seperti Kima terancam punah. Hal ini karena ekploitasi
tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga merusak ekosistem laut akibat
penggunaan bahan peledak, potassium sianida dan alat tangkap yang merusak
biota laut. Giant Clam atau Kima menjadi langka akibat beberapa faktor
diantaranya ekploitasi berlebihan dikarenakan meningkatnya konsumsi
masyarakat akan daging Kima yang memiliki cita rasa dan komposisi protein
yang tinggi, selain itu cangkang Kima yang menarik menjadi salah satu bahan
keramik dan hiasan. Penyebab lain adalah lambatnya pertumbuhan kima, untuk
mencapai 100 cm saja kima memerlukan waktu ratusan tahun, dari jutaan sel telur
hanya sekitar 5-10 ekor saja yang mampu hidup dan menjadi kerang dewasa. Oleh
karena itu, tidak semua tempat di Indonesia bahkan dunia memiliki spesies Kima
terlebih jenis-jenis yang sangat langka.
Konservasi Kima di Toli-Toli mampu membuktikan, bahwa Indonesia
merupakan satu-satunya negara dengan spesies kima terlengkap. Di mana terdapat
jenis Tridacna gigas, Tridacna derasa, Tridacna squamosa, Tridacna maxima,
Tridacna crocea, Tridacna Tevoroa, Tridacna Rosewate, Hippopus-hippopus, dan
Hippopus porcellanus. Di dunia, spesies ini tersebar luas dan hanya terdapat di
beberapa tempat saja seperti di Samudra Pasifik, Hindia, China, Australia Utara,
Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika dan Amerika Selatan. Baru-baru ini, pada
tanhun 2011 tim konservasi di Toli-Toli menemukan 2 spesies baru yakni T.
tevoroa yang hanya ditemukan di Kepulauan Fiji dan Tonga Samudra Pasifik dan
T. rosewateri yang hanya dapat ditemukan di Mauritius dan Madagaskar. Hal ini
tentu menjadi kabanggaan bagi kepulauan Indonesia.
Konservasi Kima di Desa Toli-Toli dilestarikan melalui metode
pengumpulan jenis-jenis Kima yang mereka peroleh dari berbagai tempat, baik di
perairan Sulawesi Tenggara hingga di perairan Sulawesi Tengah. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah proses pengontrolan dan penelitian lebih lanjut.
Kima yang dikumpulkan tadi kemudian diletakkan di tempat tertentu yang sampai
saat ini luas areal untuk menempatkan Kima di dasar perairan telah mencapai 30
hektar dengan jumlah seluruh Kima 8000 ekor. Penempatan jenis kima di dasar
berbeda-beda, tergantung dari jenis dan ukuran Kima itu sendiri.
Tim konservasi sampai saat ini telah banyak memberikan kemajuan untuk
kehidupan biota laut dan perbaikan ekosistem. Terbukti dengan hadirnya
pelestarian Kima di dasar laut tersebut, terumbu karang yang telah mati kembali
pulih, selain itu warna karang semakin cerah dan jumlah ikan meningkat di area
konservasi. Hal ini dikarenakan fungsi Kima sebagai Filter Feeder yang mampu
menyaring berton-ton air dalam sehari. Selain itu, mantel kima menjadi substrat
yang baik bagi Zooxanthellae untuk tumbuh yang nantinya dapat menyuplai
oksigen untuk pertumbuhan karang dan ikan.
Beberapa hambatan yang sering ditemukan adalah besarnya jumlah hama
yakni bertambahnya populasi ikan di laut untuk memangsa sel telur Kima yang
disemprotkan dua kali dalam satu bulan. Selain itu, peluang kerusakan ekosistem
yang nantinya akan terjadi bila Perusahaan di sekitar daerah pesisir tersebut
membuang limbah ke dasar perairan. Hal inilah yang seharusnya menjadi
perhatian seluruh pihak, terutama pemerintah dan masyarakat serta perusahaan-
perusahaan swasta yang ikut andil dalam melestarikan biota laut.
Hasil kunjungan ilmiah Amphiprion Scientific Club (ASC) FPIK
UNHALU menemukan minimnya jumlah peralatan yang dimiliki tim konservasi
untuk melakukan pengontrolan dan pengangkutan Kima. Terkadang saat
melakukan pengangkutan beberapa Kima tidak mampu bertahan hidup di kapal
akibat kekurangan suplai air. Belum lagi wilayah yang dikunjungi tim konservasi
untuk mengumpulkan Kima sangat jauh sehingga harus memerlukan waktu yang
lama dan bahan bakar yang banyak. Di sisi lain, tim konservasi harus melakukan
pengontrolan terhadap pertumbuhan Kima di dasar perairan baik dari hama
maupun eksploitasi nelayan yang tentu membutuhkan kapal. Oleh karenanya,
sangat diharapkan nantinya pemerintah mampu memberikan support serta bantuan
berupa peralatan konservasi yang memang saat ini dibutuhkan oleh tim konservasi
di Desa Toli-Toli yakni berupa kapal yang digunakan untuk mengangkut dan
mengontrol wilayah konservasi serta beberapa alat selam.
Selain itu, masyarakat pula harus ikut menjaga kelestraian biota laut ini,
selain karena terancam punah, Kima juga memiliki manfaat yang besar bagi
masyarakat itu sendiri. Saat ini nelayan di desa tersebut tidak lagi susah untuk
mencari ikan dikarenakan jumlah ikan di pesisir dekat bibir pantai semakin
meningkat. Hal ini karena berfungsinya kembali terumbu karang yang telah lama
mati akibat pengrusakan nelayan pesisir serta berfungsinya Kima sebagai pabrik
makanan untuk ikan disekitar pantai. Publikasi yang optimal dan sosialisai terus
menerus dilakukan untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat akan
pentingnya menjaga kelestarian biota laut untuk generasi mendatang.
2.2.2 Teknologi Penangkaran Kima secara Ex Situ dan In Situ
Teknologi penangkaran kima cukup sederhana. Pakan hanya diberikan
selama pemeliharaan burayak kima, sedangkan kima muda dapat "berswasembada
pangan" karena kima bersimbiosis dengan ganggang bersel satu yang bersifat
fototrofik (PANGGABEAN 1991a). Yang diperlukan dalam usaha penangkaran
kima hanyalah air laut yang "bersih” dan cahaya matahari yang cukup.
Penangkaran kima terdiri dari 4 tahapan yaitu :
1. Pembibitan : pemijahan dan pemeliharaan burayak kima secara terkontrol
di hatchery.
2. Tahap asuhan (nursery) : pemeliharaan spat kima dari pasca metamorfosis
hingga ukuran cangkang lebih dari 2 cm di kolam-kolam pemeliharaan di
hatchery.
3. Tahap asuhan di laut (ocean nursery) : pemeliharaan kima kecil didalam
kurungan di laut sehingga terhindar dari ancaman predator.
4. Tahap pembesaran : pemeliharaan kima dewasa tanpa perlindungan di
laut.
Dari tahapan-tahapan di atas, dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembibitan kima
Pembibitan terdiri dari pemijahan telur dan sperma, pembuahan dan
pemeliharaan burayak hingga menjadi spat. Kemudian spat akan dibesarkan pada
tahap berikutnya (tahap asuhan).
a. Pemijahan
Keberhasilan pembibitan kima ditentukan oleh keberhasilan pemijahan.
Dengan kata lain, untuk menghasilkan burayak yang sehat dengan kemampuan
hidup yang tinggi, pemijahan kima harus menghasilkan telur dan sperma dalam
keadaan matang, artinya sperma yang sangat aktif dan mampu melakukan
pembuahan dan telur-telur yang sudah berkembang dengan sempurna, dengan
persediaan kuning telur yang cukup untuk kebutuhan energi selama
perkembangan embrional kima. Disamping kematangan telur, ukuran telur juga
menentukan kelulushidupan burayak kima. Telur yang besar dengan persediaan
kuning telur yang cukup banyak menghasilkan burayak dengan kelulus hidupan
yang tinggi (FITT et al. 1984). Pemijahan kima dapat dilakukan secara spontan
maupun induksi. Pemijahan spontan terjadi apabila beberapa induk matang telur
dipelihara di dalam bak air mengalir (HESLINGA et al 1984). Sedangkan
pemijahan induksi dapat terjadi dengan rangsangan suspensi dari jaringan kelamin
kima yang sejenis (GWYTHER dan MUNRO 1981); atau serotonin (BRALEY
1985 dan CRAWFORD et al. 1986).
Telah diketahui bahwa kima bersifat hemafrodit (WADA 1954) dan
memijah sepanjang tahun (HESLINGA et al. 1984). Namun pemijahan kima tidak
selalu menghasilkan telur dan sperma pada waktu yang sama. Beberapa induk
lebih banyak memijahkan sperma dari pada telur. Oleh karena itu perlu disediakan
beberapa induk kima yang benar-benar mengandung telur-telur dan sperma yang
sudah matang kelamin. Kima yang tua baik dijadikan induk karena lebih banyak
mengandung telur dan cenderung menjadi betina (CRAWFORD et al. 1986).
Sedangkan tingkat kematangan kelamin dari induk kima dapat diperiksa dengan
teknik biopsi, yaitu pemeriksaan sampel jaringan kelamin kima yang diambil
dengan jarum biopsi (BRALEY 1984, SHELEY dan REID 1988). Dengan teknik
ini, induk yang benar-benar matang kelamin dapat diseleksi dan dirangsang untuk
memijah dengan ekstrak jaringan kelamin atau sero-tonin (5-hydroxytriptamin ne
creatinine sulfate complex).
Induksi dengan ekstrak jaringan kelamin dilakukan penyemprotan
suspensi tersebut kedalam sifon inhalent kima, sedang induksi dengan serotonin
dilakukan dengan penyuntikan 1 mM serotonin dalam air laut saring sebanyak 1-2
mL ke dalam jaringan kelamin kima. Pemijahan akan terjadi beberapa menit
kemudian. Telur-telur yang dipijahkan dapat ditampung langsung ke dalam
kantung plastik atau ke dalam ember melalui tabung pemijahan. Tabung
pemijahan adalah tabung PVC berbentuk L yang ditempatkan diatas sifon
ekshelent kima pada waktu memijah sede-mikian rupa sehingga telur-telur kima
dapat disalurkan melalui tabung tersebut dan ditampung dalam ember.
b. Pembuahan dan pemeliharaan larva/burayak kima
Pembuahan dilakukan dengan mencampurkan sedikit sperma ke dalam
telur-telur yang sudah dipilah dari beberapa ekor induk. Zigote (telur yang sudah
dibuahi) kemudian disiram keatas saringan untuk membersihakan sisa-sisa
sperma, lalu diin-kubasi dalam air laut saring dengan aerasi kecil. Sesudah
inkubasi selama 40-48 jam, zigote akan berkembang menjadi veliger yang
dilengkapi dengan cangkang transparan berbentuk huruf D.
Sebelum pemeliharaan veliger selanjutnya, BRALEY at al. (1988)
menganjurkan untuk memilah D-veliger. Hanya burayak yang berenang
dipermukaan yang diciduk dengan saringan dan dipindahkan kedalam air saring
yang bersih. Cara ini dapat menghindari kematian burayak karena kontaminasi
oleh bakteri yang berkembang dengan baik.
Burayak kima mempunyai persediaan lipid yang tinggi untuk
perkembangannya (SOUTHGATE 1988). HESLINGA (1989) berpendapat bahwa
burayak kima bersifat lecitotroph dan tidak perlu diberi makan. Pendapat lain
menyatakan bahwa pemberian makan sejak dini dapat meningkatkan
kelulushidupan hingga 80 % sesudah metamorfosa menjadi spat (BRALEY et al
1988). Walaupun 6 bulan kemudian kelulus hidupannya turun menjadi 2,44 %,
namun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh
HESLINGA et al. (1984) dengan perlakuan tanpa makanan yaitu 0,1 %. Jadi
pemberian pakan dapat meningkatkan kelulus hidupan kima. Pakan dapat berupa
ganggang satu sel yang mem-punyai kandungan lipid tinggi yang termasuk
kelompok Diatomae; dapat pula berupa pakan buatan "micro-encapsulated diet"
yang banyak dijual dipasaran.
Pemberian pakan dapat dihentikan sesudah mencapai pediveliger pada
umur 7-1 hari. Pediveliger adalah masa peralihan dari kehidupan planktonik
menuju kehidupan bentik menjadi spat. Spat kima mempunyai cara hidup
menempel di dasar dan bersim-biose dengan zooxanthella. Metamorfosis dari
pediveliger menjadi spat adalah masa krisis dalam perkembangan burayak kima.
Sesuai dengan tingkat perkem-bangannya, pemberian pakan dihentikan
pada fase pediveliger, digantikan dengan pemberian zooxanthella sebanyak kira-
kira 26 sel/ml. Bersama-sama dengan pemberian zooxanthella, disediakan pula
kepingan-kepingan dengan permukaan kasar seperti batu karang atau ampelas ke
dalam kolam pemeliharaan (BRALEY et al 1988. Hasil penelitian BRALEY et al
1988) menyatakan bahwa permukaan yang kasar baik dijadikan substrat penempel
bagi spat kima.
2. Asuhan dalam akuarium
Biasanya persentase burayak yang berhasil melewati metamorfosis sangat
rendah. Hanya spat kima yang berhasil memperoleh substrat yang sesuai,
menangkap zooxanthella dan memperoleh kebutuhan energi untuk metamorfosis
(dari hasil fotosintesa zooxanthella) yang dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesudah pasca metamorfosis, spat kima yang "sehat" dapat dipindahkan kedalam
air mengalir di bawah sinar matahari. Spat kima dapat ditebar di dalam kolam lam
tersebut dengan kepadatan 1000 - 2000 spat/m2 (HESLINGA et al. 1984). Debit
air diatur sedemikian rupa sehingga air dalam kolam asuhan dapat berganti
seluruhnya dalam waktu 36 jam. Kelebihan dari kolam tersebut adalah :
Besaran arus lebih merata di semua titik.
Kotoran dapat terpusat di tengah dan terbuang sendiri.
Cahaya yang diperlukan untuk fotosintesa lebih merata.
3. Asuhan di Laut (Ocean Ranching)
Menurut perkembangan terakhir, asuhan tidak perlu dilakukan dalam
kolam air mengalir selama 2,5 tahun, melainkan sebagian waktu asuhan dilakukan
di laut. Kima muda berumur sekitar 9 bulan (panjang cangkang sekitar 2 cm)
dipindahkan dari kolam air mengalir dan ditempatkan dalam kurungan supaya
kima muda terhindar dari gangguan predator. Kima dipelihara dalam kurungan
hingga mencapai ukuran lebih dari 15 cm. Untuk kemudahan kerja dan efisiensi
biaya, maka konstruksi kurungan dan lokasi asuhan harus dipertimbangkan
sedemikian rupa sehingga kima tumbuh optimal dengan angka kematian yang
rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah intertidal (CRAWFORD et
al 1988) atau substidal (HESLINGA et al 1986) cukup ideal sebagai tempat
asuhan kima. Kurungan dapat dibuat dari plastik anyaman memanjang (30 x 1,1
m) dan diberi sekat setiap 2 m. Untuk sisi dan dasar kurungan menggunakan mata
jaring selebar 12 mm, sedangkan tutup yang dapat dibuka menggunakan mata
jaring 26 mm. Untuk kima berumur 2 tahun dapat dipelihara dengan kurungan
lebih sederhana dengan mata jaring lebih besar, misalnya 40 x 60 mm.
4. Pembesaran kima
Kima berumur 2,5 tahun cangkangnya sudah cukup tebal dan kebal
terhadap predator. Kima selanjutnya dibesarkan tanpa kurungan di tempat yang
sama sampai panen atau sebagian ditebar kembali di beberapa terumbu karang
untuk tujuan peremajaan dan pelestarian kima.
2.3 Kuda Laut
Gambar 3. Kuda Laut
Sumber : Wikipedia
Salah satu sumber daya laut yang banyak dieksploitasi akhir-akhir ini
adalah kuda laut (Hyppocampus kuda). Kuda laut diperdagangkan sebagai ikan
hias dan juga sebagai bahan obat. Menurut Vincent (1996) dalam Syafiuddin
(2004) yang meneliti tentang perdagangan kuda laut di dunia, bahwa konsumsi
kuda laut di Asia mencapai 45 ton per tahun (≥ 16 juta ekor), dimana konsumen
utamanya adalah China ≥ 20 ton, Taiwan ≥ 11,2 ton dan Hongkong ≥ 10 ton. Data
tahun 1997 menunjukkan bahwa harga impor kuda laut di Cina mencapai US$
1200 per kg (Al Qodri dkk., 1998 dalam Syafiuddin, 2004).
Beberapa sifat (karakteristik) kuda laut yang menjadikan hewan ini rentan
terhadap eksploitasi yang berlebih antara lain adalah penyebarannya sedikit, jarak
habitat sempit, fekunditas rendah, dan kesetiaan pada pasangan. Penyebaran yang
sempit ini juga terjadi di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan hewan ini hanya
ditemukan banyak pada daerah tertentu seperti di Pulau Tana Keke, Kabupaten
Takalar (Syafiuddin, 2004).
Upaya peningkatan produksi perikanan laut hasil budidaya sesuai dengan
kecenderungan global, karena permintaan pasar terhadap produk-produk
perikanan laut terus meningkat, disertai dengan harga yang relatif tinggi. Diantara
komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomi tinggi adalah kuda laut
(Hyppocampus kuda), baik sebagai ikan hias maupun sebagai bahan baku obat-
obatan.
Di China, sekali produksi dibutuhkan kira-kira 500 kg kuda laut kering
sebagai bahan baku untuk pabrik obat-obatan. Di Filipina telah ada budidaya
kuda laut secara besar-besaran dengan rantai pemasaran produknya ke
Kalimantan, Singapura, dan Hongkong yang dijual dalam bentuk kering. Nilai
kuda laut kering sangat ditentukan oleh keutuhan kedua belah matanya.
Konsumen kuda laut kering terbanyak adalah dari etnik China, baik yang berasal
dari Singapura maupun dari Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2005).
Meningkatnya permintaan kuda laut semakin dengan pesat terutama untuk
pasaran ekspor menyebabkan produksi kuda laut hasil tangkapan di alam semakin
terbatas dan jauh dari jumlah kebutuhan pasar. Gejala eksploitasi yang berlebihan
ini dapat mengakibatkan turunnya populasi kuda laut di alam, sedangkan upaya
budidaya dan restocking serta sea-ranching tidak/belum dilakukan.
Kegiatan budidaya secara terpadu yang terdiri dari kegiatan pembenihan
sampai dengan pembesaran berikut kegiatan lainnya seperti restocking dan sea
ranching, merupakan jawaban yang tepat untuk menghindari penangkapan yang
berlebihan dengan demikian dapat meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang
secara optimal.
Teknologi pembenihan untuk jenis ikan hias ini masih sangat minim,
sehingga produksinya masih mengandalkan hasil penangkapan di laut. Bahkan
untuk mendapatkan hasil yang banyak dan cepat, mendorong usaha penangkapan
dilakukan dengan menggunakan jalan pintas, yaitu dengan cara pembiusan. Dari
segi ekologis, cara ini tentunya akan sangat merugikan dan membahayakan, bukan
hanya terhadap ikan tangkapan tetapi juga terhadap kehidupan organisme lainnya
dan lingkungan sekitarnya.
2.3.1 Pelestarian secara Insitu dan Eksitu
Pelestarian keanekaragaman kuda laut di Indonesia dilakukan baik secara
insitu maupun eksitu. Pelestarian eksitu berarti memindahkan jenis dari habitatnya
untuk dilestarikan dan diamankan. Konservasi yang dilakukan oleh pemerintah
adalah membuat cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata
alam, taman hutan raya, dan taman hutan buruan, yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia merupakan upaya pelestarian eksitu yang tidak perlu mengganggu
populasi alaminya.
Kuda laut termasuk dalam fauna yang dilindungi dan masuk dalam CITES
(The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora) sejak tahun 2004. Hippocampus kuda dan H. histrix adalah dua jenis
kuda laut yang dibudidayakan. Saat ini keberadaan kuda laut rentan akibat
kerusakan alam. Untuk membantu menjaga dan melestarikan populasi kuda laut,
upaya yang dilakukan dengan melepaskan kuda laut hasil budidaya ke habitat
aslinya (insitu). Sementara itu, pelestarian secara eksitu yaitu membangun taman
laut. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk melestarikan atau menjaga
keseimbangan lingkungan hidup adalah dengan cara membangun taman laut.
Taman laut dapat difungsikan sebagai objek wisata laut/bahari dan tempat
penelitian biota laut.
Selain itu juga, pelestarian kuda laut dapat dilakukan dengan
menggunakan tiruan bagian tubuh tumbuhan atau hewan. Bahan tiruan dapat
digunakan untuk mengganti pemanfaatan bagian tubuh hewan atau tumbuhan.
Cara ini ditempuh untuk menggalakkan pelestarian hewan dan tumbuhan.
2.3.2 Penangkaran Kuda Laut
Agar kelestarian dan populasi kuda laut dapat berlanjut maka langkah
yang dapat diambil adalah melakukan kegiatan penangkaran dan restocking
kembali di alam. Untuk melakukan kegiatan tersebut maka benih harus diperoleh
melalui kegiatan pembenihan di dalam sistem budidaya. Kegiatan penangkaran
kuda laut meliputi :
1. Pembenihan
Kegiatan pembenihan kuda laut seperti umumnya kegiatan di pembenihan
terdiri atas serangkaian kegiatan yang saling berhubungan. Mata rantai pertama
adalah pemeliharaan calon induk guna mendapatkan induk matang gonad.
Selanjutnya merupakan kegiatan pemijahan, pemeliharaan juwana dan
penggelondongan atau pendederan serta pengadaan pakan alami.
a. Pemeliharaan Induk
Calon induk hasil tangkapan dari alam harus dikarantina dan
diaklimatisasi terlebih dahulu. Karantina bertujuan untuk membebaskan
organisme pathogen yang mungkin terbawa dari alam agar tidak menyebar ke
induk yang sudah ada di pembenihan. Disamping itu kegiatan aklimatisasi juga
untuk menyesuaikan calon induk dengan lingkungan yang baru serta pakan yang
biasa digunakan di pembenihan. Induk dipelihara di dalam wadah pemeliharaan
dengan perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1, dengan kepadatan 20 – 30
ekor/ton dengan tidak memelihara lebih dari 4 ekor/100 liter air. Induk diberi
pakan 2-3 kali sehari secara adlibitum, yaitu pada pagi, siang dan sore hari, berupa
udang rebon dan udang jambret. Induk betina dewasa dengan panjang tubuh
antara 10 – 14 cm dapat memproduksi telur 300 – 600 butir.
b. Pemijahan dan Pengeraman
Kuda laut dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol, telur hasil
pemijahan akan dierami oleh induk jantan. Setelah terjadi pemijahan, induk jantan
dipisahkan atau tetap bersama dengan induk lain. Lama pengeraman lebih kurang
10 hari. Sebaiknya induk dihindarkan dari hal-hal yang menyebabkan stress yang
mengakibatkan juwana lahir prematur, sehingga tak dapat bertahan hidup lama.
c. Kelahiran Juwana
Induk jantan yang sudah menerami telur pada hari kesembilan
dipindahkan ke bak lain yang telah disiapkan sebelumnya. Pada hari ke sepuluh,
juwana akan dikeluarkan dari kantung jantan. Pengeluaran juwana umumnya pada
malam hari. Setelah seluruh juwana dikeluarkan, induk jantan dipindahkan
kembali ke bak pemeliharaan induk.
2. Penggelondongan
Penggelondongan dalam hal ini dimaksudkan untuk mengintensifkan
pemeliharaan terhadap benih-benih kuda laut sampai ke tahap pembesaran dengan
tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan kualitas yang baik. Penggelondongan
kuda laut dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode pemeliharaan di bak,
di keramba jaring apung atau dikurungan tancap. Benih yang digunakan untuk
penggelondongan dapat berasal dari hasil tangkapan di alam ataupun berasal dari
hasil pembenihan dengan ukuran 3 – 3,5 cm/ekor.
Hal yang perlu diperhatikan saat penebaran adalah apabila terdapat
perbedaan yang menyolok antara media pemeliharaan dengan dan media asal
benih (khususnya salinitas dan suhu). Keadaan ini biasanya terjadi bila lokasi
penggelondongan terpisah dengan sumber benih, sehingga perlu diadaptasikan
terlebih dahulu sebelum ditebar. Padat tebar untuk penggelondongan selama 2
bulan pemeliharaan adalah berkisar antara 300 – 400 ekor/ton. Selama
pemeliharaan, pemberian pakan dapat dilakukan 3 – 4 kali sehari. Makanan yang
diberikan sebaiknya makanan hidup seperti jentik-jentik nyamuk, artemia, udang
jembret, dapnia dan sebainya. Kebisaan kuda laut yang tergolong kurang aktif
dalam mencari dan hanya memanfaakan makanan disekitar/didekatnya,
menyebabkan pakan yang diberikan harus berlimpah dan sebaiknya hidup. Hal ini
agar peluang makan benih lebih besar dan apabila terdapat jasad pakan yang
belum termanfaatkan akan tetap hidup sehingga pengaruhnya relatif kecil terhadap
penurunan kualitas air. Ukuran benih 3 – 3,5 cm setelah pemeliharaan 2 bulan
akan mencapai panjang 6 – 7 cm/ekor. Pada ukuran ini, kuda laut dapat dipanen
dan dipasarkan sebagai ikan hias atau untuk kegiatan pembesaran.
3. Pembesaran
Kegiatan selama pembesaran kuda laut tidak jauh berbeda dengan
pengglodongan. Pembesaran ini bertujuan untuk menghasilkan kuda laut yang
yang berukuran lebih besar (diatas 10 cm) atau untuk memproduksi induk kuda
laut. Kuda laut yang akan dibesarkan dapat diperoleh dari alam maupun dari hasil
penggelondongan. Kuda laut sebaiknya dipilih yang sehat dan lengkap organ
tubuhnya, jika kuda laut yang akan dibesarkan warnanya berbeda maka kuda laut
yang sama warnanya seperti hitam disatukan dengan yang hitam, sebab jika ada
kuda laut yang berwarna kuning dan disatukan dengan yang hitam akan berubah
menjadi hitam. Padat penebaran untuk kegiatan pemebesaran adalah 50 – 100
ekor/ton. Selama kegiatan pemeliharaan pembesaran kuda laut, tidak lagi
diberikan berupa artemia dewasa karena tidak diperlukan lagi, cukup diberikan
rebon segar atau jembret. Pemberian pakan berupa rebon segar diberikan
sebanyak 5 – 10% dari bobot tubuh perhari dengan frekuensi pemberian 2 – 3
kali. Jika pakan rebon segar kurang tersedia maka pakan alternatif lain yang bisa
diberikan adalah jentik-jentik nyamuk. Setelah tiga bulan pemeliharaan kuda laut
dapat mencapai ukuran panjang di atas 10 cm selanjutnya kuda laut dapat dipanen
dan dipasarkan.
2.4 Banggai Cardinalfish
Gambar 4. Banggai Cardinalfish
Sumber: Wikipedia
Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni, sangat populer dalam
perdagangan ikan laut hias (Michael1996). Kenaikan yang luar biasa dalam
popularitas spesies ini sejak tahun 1995 sudah mulai meningkatkan kekhawatiran
diantara berbagai pihak di industri akuarium, saat ini antara 50.000 hingga
118.000 ekor per bulan dikumpulkan dari alam liar dan dipasarkan ke luar negeri
(Vagelli dan Edmann 2002, Lunn dan Moreau 2004). Spesies ini endemik di
Kepulauan Banggai di Indonesia dengan jangkauan geografis yang diperkirakan
sekitar 5.500 km2.Total ukuran populasi kecil, diperkirakan 2,4 juta (Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora 2007).
Ikan ini terdiri dari populasi terisolasi terpusat sekitar perairan dangkal 17 pulau
besar dan 10 pulau kecil dalam Kepulauan Banggai. Sebuah populasi kecil juga
terdapat di Sulawesi Tengah, dalam pelabuhan Luwuk. Satu populasi tambahan
menjadi tetap di Selat Lembeh (Sulawesi Utara).
Gambar 5. DistribusiBanggaiCardinalfish
(Sumber
:http://seagrant.soest.hawaii.edu/sites/seagrant.soest.hawaii.edu/files/publications/
Banggai_Cardinalfish-Final.pdf)
Lembaga konservasi dunia (IUCN) yang menyusun kategori dan kriteria
daftar merah (Red List) cukup mudah untuk dimengerti yang memberikan
klasifikasi terhadap suatu spesies yang memiliki risiko tinggi terhadap kepunahan.
Status ikan hias jenis Pterapogon kauderni di IUCN saat ini telah masuk dalam
daftar merah (Red list) dengan kategori spesies yang terancam punah (endangered
species) dan telah memenuhi kriteria pada butir Bab (ii, iii, iv, v) yaitu cakupan
daerah keberadaannya kurang dari 500 km², yang meliputi:
a. Keberadaannya tidak lebih dari 5 lokasi.
b. Penurunan terus berlangsung, berdasarkan cakupan keberadaan, kualitas
habitat, jumlah lokasi atau sub populasi dan jumlah individu dewasa.
Menurut Vagelli (2005) berdasarkan hasil survei tahun 2004 total populasi
alam ikan hias P.kauderni diduga 2,4 juta ekor, dimana 90% berada di 29 pulau di
Kepulauan Banggai. Berdasarkan survei di tujuh lokasi, sebagian besar lokasi
memiliki densitas ikan hias Pterapogon kauderni 200-700 ekor/ha dengan rata-rata
0,07 ekor/m2 (Vagelli 2005). Sedangkan di kawasan lindung (teluk kecil di
sebelah barat daya Kepulauan Banggai) mempunyai densitas 0,25-1,22 ekor/m2
dengan rata-rata 0,63 ± 0,39 ekor/m2 (Lunn & Moreau 2004).
2.4.1 Pola Pemanfaatan Secara Lestari
Menurut Marini (1996) Untuk menjaga kestabilan populasi ikan capungan
banggai di alam agar tetap lestari, maka pemanfaatan yang dilakukan harus
menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Harus diketahui stok alami ikan capungan Banggai di alam.
2) Pengambilan harus disesuaikan dengan kemampuan rekruitmen populasi ikan
(pemberlakuan kuota).
3) Pengambilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan atau
habitat mereka.
4) Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan yang boleh di perdagangkan, agar
memberi kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi.
5) Apabila dalam pengambilan ditemukan ikan dengan dengan kondisi gonad
yang sudah matang (TKG III dan IV) serta ikan jantan yang sedang mengerami
telur di mulut, maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut harus dikembalikan kea
lam.
6) Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan
verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi.
7) Pemantauan di lapangan perlu dilakukan secara periodic untuk mengetahui
stok alami untuk mendukukung informasi dalam penentuan kuota.
Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias
antara lain adalah program sertifikasi ikan hias laut (Hodgson & Ochavillo 2005)
dan evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catches)
(Hodson & Ochavillo 2006). Pendugaan laju eksploitasi dan pembatasan melalui
pendugaan stok ikan adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk
pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup komponen keseimbangan
reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan mortalitas alami (Pet-
Soede et al. 2000; Hodgson & Ochavillo 2006).
Hasil penelitian umumnya menunjuk bahwa tingkat dan pola pemanfaatan
tidak sustainable, dan mendorong gerakan internasional untuk pelestarian
P.kauderni. Salah satu upaya potensial adalah pengembangan budidaya
P.kauderni in-situ, yaitu pada lingkungan alaminya. Secara teknis, dengan
mengetahui aspek biologis dan ekologis dari ikan tersebut, maka kegiatan
budidaya dapat dilakukan baik secara alami dengan memanfaatkan kawasan
pesisir sebagai habitat mereka (in-situ), maupun dilakukan di laboratorium dengan
membuat kondisi habitat yang menyerupai kondisi alaminya (ex-situ). Diharapkan
dari kegiatan budidaya tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Capungan
Banggai. Pelestaria in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi
dimana ikan ini berasal. Pada tahun 2007 di canangkan daerah konservasi
kepulauan banggai melalui SK bupati kepulauan banggai. Daerah konservasi
terdiri dari 10 pulau dengan 2 pulau utama sebagai pusat in situ. Selain tiu adanya
metode MARXAN dengan data base menggunakan SIG dihasilka daerah zonasi-
zonai yang sesuai sebagai daerah habitat.
Tabel 1. Daftar Pulau konservasi di Kepulauan Banggai
Gambar 6. Lokasi Pengambilan Sampel yang Diusulkan untuk Analisis Genetik
Populasi P. Kaurdeni, Kepulauan Banggai Kabupaten MPA
Selain itu untuk pelestarian Ex-situ dilakukan di selat lembeh dengan
menggunakan metode jaring apung. Selain itu telah banyak dilakukan pengakaran
dan budidaya banggai dalam skala laboratorium dengan modifikasi kondisi dan
habitat sesuai dengan daerah asli dari banggai. Untuk jalur ekpor ikan ini juga
dilakukan melalui pengakaran sehingga diharapkan tidak trjadinya degradasi atau
kepunahan berlanjut dari ikan ini di daerah asilnya.
2.4.2 Penangkaran dengan Budidaya
Salah satu cara untuk mengurangi tekanan terhadap populasi alami akibat
pengambilan ikan hias Banggai Cardinal fish dari alam adalah melalui upaya
budidaya. Oleh karena itu, pengusaha diarahkan untuk mengupayakan kegiatan
budidaya bagi kepentingan perdagangannya. Diharapkan dari kegiatan budidaya
tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Banggai Cardinalfish.
Banggai Cardinalfish (BCF) adalah ikan endemik dan beresiko terancam
punah akibat ekploitasi yang berada di kepulauan Banggai, propinsi Sulawesi
Tengah. Keberadaan ikan ini di perairan dapat dengan mudah dikenali, karena
berada dalam populasi yang kecil. Pola reproduksi BCF tidak seperti ikan pada
umumnya, di mana jantan mengerami telur yang sudah dibuahi dalam mulutnya
(mouth-brooder). Dalam upaya pelestarian BCF ini, beberapa pihak mencoba
untuk memasukkan BCF ke dalam daftar The Convention on International Trade
of Endangered Spesies of Fauna and Flora (CITES) Appendix II. Yang artinya
jika BCF masuk ke dalam daftar CITES, maka perdagangannya harus
dikendalikan untuk menghindari pemanfaatan yang mengancam tingkat
survivalnya. Menyikapi kondisi seperti tersebut serta meningkatnya permintaan
akan BCF, untuk itu perlu dilakukan usaha pembenihannya agar keberlangsungan
hidup ikan tersebut di alam tetap terjaga tanpa harus mengurangi volume
produksinya sebagai komoditas ikan hias air laut.
Proses domestikasi dimulai dengan aklimatisasi calon induk yang baru
dating menggunakan wadah yang diisi dengan air wadah packing dan air lokasi
pemeliharaan dengan perbandingan 3:1. Penambahan air dari lokasi pemeliharaan
dilakukan setiap 1 jam sebanyak 25 %. Setelah 6 jam proses aklimatisasi calon
induk sebanyak 100 ekor ditempatkan dalam bak beton kapasitas 7 ton atau
akuarium yang diisi air laut selama 2 minggu sebelumnya dan diberi aerasi serta
duri babi (diadema.sp) atau karang mati. Untuk memicu terjadinya pemijahan
induk BFC, maka dilakukan teknik manipulasi lingkungan. Teknik tersebut
dilakukan dengan mengurangi ketinggian air sampai dengan 30 cm dan didiamkan
selama 24 jam. Kemudian ketinggian air dikembalikan ke ketinggian awal dan
didiamkan kembali selama 24 jam. Perlakuan ini dilakukan 3 kali berturut-turut.
Pada saat ketinggian air dinaikkan,
Pemeliharaan pada bak beton merupakan salah satu cara penjodohan
massal, dimana induk jantan dan betina yang berjodoh akan menguasai 1 koloni
diadema sp atau karang mati. Hal ini akan terlihat setelah 20 – 30 hari masa
penjodohan massal. Pemeliharaan calon induk dilakukan di bak terkontrol dengan
ketinggian air 100 cm dan dilakukan pula pergantian air sebanyak 25% per hari.
Pakan yang diberikan berupa copepoda dan artemia dewasa dengan penambahan
multivitamin, vitamin C dan E.
Setelah pemijahan, maka induk jantan akan mengerami telur yang telah
terbuahi di dalam mulutnya. Induk jantan tersebut di karantina dalam wadah
akuarium 50 liter. Setelah mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva
dapat dikeluarkan dengan cara induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya.
Jumlah larva yang dimuntahkan berkisar 70 – 80 ekor. Pemeliharaan larva
dilakukan di akuarium dengan pemberian pakan berupa rotifer dan naupli artemia.
Dari pemeliharan larva yang dilakukan diperoleh SR sebesar 90 %. Setelah
mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva dapat dikeluarkan dengan cara
induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya. Pemeliharaan larva dilakukan di
akuarium dengan pemberian pakan berupa Rotifera dan Nauplii artemia. Setelah
larva mencapai ukuran > 1,5 cm maka pemeliharaan dilakukan di bak fiber
dengan kapasitas 2 ton. Pada tahapan pemeliharaan ini dilakukan pemberian
pakan berupa artemia dewasa dan ikan rucah.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan
pembesaran benih/bibit atau anakan dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik
yang dilakukan di habitatnya maupun di luar habitatnya, dengan tetap
memperhatikan dan mempertahankan kemurnian jenis dan genetik.
2. Biota laut yang dilindungi diantaranya adalah kima, kuda laut, dan Banggai
Cardinal Fish (BCF).
3. Penangkaran kima terdiri dari 4 tahap yaitu tahap pembibitan, tahap asuhan,
tahap asuhan di laut, dan tahap pembesaran. Penangkaran ex-situ adalah saat
tahap pembibitan dan tahap asuhan sedangkan in-situ tahap tahap asuhan di
laut dan pembesaran.
4. Penangkaran kuda laut terdiri dari 3 tahap yaitu pembenihan,
penggelondongan, dan pembesaran. Penangkaran exsitu dilakukan pada tahap
pembenihan dan penggelondongan sedangkan in-situ pada tahap pembesaran.
5. Penangkaran BCF ini dapat dilakukan dengan cara budidaya yaitu dengan
tahap aklimatisasi, pemijahan, pemeliharaan larva, dan pembesaran.
Pelestarian BCF in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi
dimana ikan ini berasal sedangkan ex-situ dilakukan secara budidaya di lokasi
yang habitatnya sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://dkp.sulteng.go.id/index.php?option
=com_content&task=view&id=473&Itemid=78. Diakses pada Rabu, 16
Oktobr 2013 pukul 06.22 WIB.
Allen, G.R. dan R.C. Steene. 1995. Notes on the behavior of the Indonesian
Cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon Kauderni Koumans. Revue
Francaise d’ Aquariologie 22:7-9.
Allen, G.R. 2000. Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderniKoumans
1933 (Apogonidae). Environ. Biol. Fish 57:142.
BKSDA Bali. 2012. Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. http://www.ksda-
bali.go.id/?page_id=33. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul
10.47 WIB
Bowo. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://mzbowoaquaculture.blogspot.com/.
Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 07.52 WIB.
Balai Konsevasi sumber daya alam bali. Penangkaran tumbuhan dan satwa liar.
2009. http://www.ksda-bali.go.id/?page_id=33. Diakses tanggal 13 oktober
2013 pukul 18.50 WIB
Cikal aufa . Kuda Laut. 2011. http://cikalaufanayotama. blogspot.com/2011
/12/kuda-laut.html. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 20.10 WIB
Fauzi. Klasifikasi dan Morfologi Kuda Laut. 2010. Http://fauzimsp
.wordpress.com/2010/10/04/klasifikasi-dan-morfologi-kuda-laut-
hippocampus-sp/. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 19.00 WIB
Graber, Shane. 2012. How To Determine The Sex Of Banggai Cardinal. Fish.
http://www.advancedaquarist.com/blog/how-to-determine-the-sex-of-
banggai-cardinalfish. Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 06.52
WIB.
Green, E. 2003. International trade in marine aquarium species: Using the global
marine aquarium database. In: J.C. Cato and C. L. Brown. Marine
Ornamental Species: Collection culture and conservation. Iowa State Press
31- 47.
Hemdahl, J. 1984. In defense of current marine fish prices. Freshwater and
Marine Aquarium 7(9):56-58.
Hodgson G, Ochavillo D. 2005. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef
monitoring protocol: field manual. Reef Check Foundation. 17575 Pacific
Coast Highway. USA
Hodgson G, Ochavillo D. 2006. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef
monitoring protocol: data analysis & interpretation manual. Reef Check
Foundation. 17575 Pacific Coast Highway. USA
Hopkins S, H. Ako, and C.S. Tamaru. 2005. Manual for the Production of
the Banggai Cardinalfish.Pterapogon kauderni. in Hawai’i
Jeni, N.S. 2013. Kima Pahlawan Lautan yang Terancam Punah.
http://nabiljeni.blogspot.com/2013/05/pahlawan-lautan-yang-terancam-
punah.html. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul 10.49 WIB
Kolm, N. and A. Berglund. 2003. Wild populations of a reef fish suffer from the
“Nondestructive” aquarium trade fishery. Conservation Biology 17(5):910-
914.
Lunn K, Moreau M. 2004. Unmonitored Trade in Marine Ornamental Fishes: the
Case of Indonesia’s Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral
Reefs. 23: 344–351.
Lunn, K.E. and M.-A. Moreau. 2004. Unmonitored trade in marine ornamental
fishes: the case of Indonesia’s Banggai cardinalfish (Pterapogon
kauderni). Coral Reefs23:344-351.
Michael, S. 1996. The Banggai Cardinalfish: A newly available species that may
become to popular for its own good. Aquarium Fish Magazine 8(8):86-87.
Makatipu, Petrus. 2007. Mengenai Ikan Hias Capungan Banggai Pterapogon
kauderni.Jurnal Oseana volume XXXII no. 3 tahun 2007. Halaman 1-7
Marini FC. 1996. My notes and observations on Raising and Breeding the
Banggai Cardinalfish. The Journal of MaquaCulture. Vol. 4 Issue 4 pp. 1 –
5.
Ndobe S dan Moore A. 2005. Potensi dan Pentingnya Pengembangan Budidaya
Pterapogon kauderni (Banggai Cardinal Fish). Info MAI. Vol. 4-2. 2005,
hal. 9-14
Ndobe S dan Moore A. 2005. Pterapogon kauderni, Banggai Cardinal
Fish: Beberapa Aspek Biologi, Ekologi dan Pemanfaatan Spesies endemik
di Sulawesi Tengah yang Potensial untuk Dibudidayakan. Prosiding
Seminar Perbenihan nasional (National Seminar on Breeding), Palu,
Indonesia, hal 389-404.
Ndobe S dan Moore A. 2007. Pengembangan Budidaya In-situ Banggai Cardinal
Fish (Pterapogon kauderni). Prosiding Konferensi Aquaculture Indonesia,
2007. Hal 253-262.
Olivier, K. 2003. World trade in ornamental species. In: J.C. Cato and C. L.
Brown (Editors). Marine Ornamental Species: Collection culture and
conservation. Iowa State Press 49-63.
Panggabean, Lily M.G. 1992. Penangkaran Kima. Oseana, Volume XVII No. 3,
1992. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.
Pemerintah RI. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam. Jakarta. 39 hlm.
Vagelli AA. 1999. The reproductive biology and early ontogeny of the
mouthbrooding Banggaai cardinalfish, Petrapogon kauderni (Perciformes,
Apogonidae). Environmental Biology of Fishes. 56:79-92.
Vagelli AA. 2002. Notes on the Biology, Geographic Distribution, and
Conservation Status of the Banggai Cardinalfish Pterapogon kauderni
Koumans 1933, with Comments on Captive Breeding Techniques. Trop.
Fish Hobb. 51: 84–88.
Vagelli AA, Erdmann MV. 2002. First Comprehensive Ecological Survey of the
Banggai Cardinalfish, Pterapogon kauderni. Env. Biol. Fish. 63: 1–8.
Vagelli AA. 2005. The Banggai Conservation Project. Working for the creation of
a network of small marine sanctuaries in the Banggai Archipelago,
Indonesia. Communiqué. Am. Zoo & Aquarium Assoc. July 2005: 47–48.
Tullock, J. 1999. Banggai cardinalfish alert. Aquarium Frontiers.
http://www.aquariumfrontiers.net/Environmental Aquarist//html.