TUGAS PBL
SKENARIO 2
Disusun oleh : KELOMPOK 19
1. Ferdina Harjoto 09700104
2. Ni Wayan Kartika Cahyani 09700106
3. Meta Andharasta 09700108
4. Iva Jaya Maria 09700110
5. Bayu Tri Pratama 09700112
6. Florensia Anggriawan 09700114
7. Putu Ngurah Pradnya W. 09700118
8. Debora Singgih 09700120
9. Lucky Fitvita 09700124
10. I Dewa Komang Surya 09700126
PEMBIMBING-TUTOR : dr. Widjaja Indrachan Sp.OG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
BAB I
SKENARIO 4
Sony laki – laki pengenda motor terjatuh dari motor , wajah terbentur stang motor , mengeluh keluar
darah dari telinga dan hidung terasa mampet. Mengeluh pusing serta muntah berulang kali.
BAB II
KATA KUNCI
1. Cedera Kepala
Cedera kepala adalah penyakit neurologis yang paling sering terjadi diantara penyakit
neurologis lainnya yang biasa disebabkan oleh kecelakaan, meliputi: otak, tengkorak
ataupun kulit kepala saja (Smeltzer, 2001: 2210).
2. Fraktur basis cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior.
Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.
3. GCS
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis,
gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-
bagian yang dinilai adalah;
a. Proses membuka mata (Eye Opening)
b. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
c. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala
Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
4. Fraktur nasal
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah.Sedangkan jika
disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah
biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu,injury nasal juga berhubungan dengan cedera
leher atau kepala.
BAB III
MINIMAL PROBLEM
1. Apa penyebab perdarahan hidung pada kepala
2. Bagaimana menjelaskan cara mendiagnosa cedera kepala dan fraktur nasal
3. Bagaimana menjelaskan perbedaan antara rhinorrhea dan epikstaksis serta
penatalaksanaannya
4. Bagaimana cara menjelaskan pada pasien atau keluaraga pasien tentang keadaan
cedera kepala dan fraktur nasal untuk merujuk
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Anatomi - Fisiologi hidung
Hidung merupakan bagian wajah yang paling seing mengalami trauma karena
merupakan bagian yang berada paling depan dari wajah dan paling menonjol. Hidung
terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu 1). Pangkal hidung (bridge), 2)
dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares
anterior).
Hidung luar dilapisi oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung ( os nasalis), 2) posesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1)
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis inferior
yang disebut sebagai kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah-tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang masuk ke belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat macam dinding,
yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah
septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os ethmoid, 2) vomer, 3) krista
nasalis os maksila, 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis), dan kolumela.
Septum dilapisi oleh lapisan perikondrium pada tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan di bagian luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Bagian belakang dinding lateral terdapat konka-konka, pada dinding lateral terdapat
empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior,
kemudian yang kecil konka media, lebih kecil lag konka superior, sedangkan yang
terkecil disebut konka suprema.
Bagian bawah hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna
di antaranya ujung a. palatina mayor dan a. sphenopalatina. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sphenopalatina, a. ethmoid anterior
(cabang dari a. oftalmika ), a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan
hidung) terutama anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya.
Persarafan hidung berasal dari banyak cabang-cabang serabut saraf.
Permukaan luar bagian atas mendapat persarafan dari nervus supratrochlear dan
infratrochlear, dan bagian inferior mendapat persarafan dari cabang nervus infraorbita
dan nervus ethmoidalis anterior. Sedangkan hidung bagian dalam mendapat
persarafan dari ganglion ethmoidalis anterior dan ganglion sphenopalatina.
Fungsi hidung ialah untuk 1) jalan napas, 2) alat pengatur kondisi udara (air
conditioning), 3) penyaring udara, 4) sebagai indera penghidu, 5) untuk resonansi
udara, 6) turut membantu proses bicara.
B. Patofisiologi
Tulang hidung dan kartilago rentan untuk mengalami fraktur karena hidung
letaknya menonjol dan merupakan bagian sentral dari wajah, sehingga kurang kuat
menghadapi tekanan dari luar. Pola fraktur yang diketahui beragam tergantung pada
kuatnya objek yang menghantam dan kerasnya tulang (Murray, 1984). Seperti dengan
fraktur wajah yang lain, pasien muda cenderung mengalami fraktur kominunitiva
septum nasal dibandingkan dengan pasien dewasa yang kebanyakan frakturnya lebih
kompleks.
Daerah terlemah dari hidung adalah kerangka kartilago dan pertemuan antara
kartilago lateral bagian atas dengan tulang dan kartilago septum pada krista
maksilaris. Daerah terlemah merupakan tempat yang tersering mengalami fraktur atau
dislokasi pada fraktur nasal.
Kekuatan yang besar dari berbagai arah akan menyebabkan tulang hidung
remuk yang ditandai dengan deformitas bentuk C pada septum nasal. Deformitas
bentuk C biasanya dimulai di bagian bawah dorsum nasal dan meluas ke posterior dan
inferior sekitar lamina perpendikularis os ethmoid dan berakhir di lengkung anterior
pada kartilago septum kira-kira 1 cm di atas krista maksilaris.
Murray melaporkan bahwa kebanyakan deviasi akibat fraktur nasal meliputi
juga fraktur pada kartilago septum nasal. Fraktur nasal lateral merupakan yang paling
sering dijumpai pada fraktur nasal. Fraktur nasal lateral akan menyebabkan
penekanan pada hidung ipsilateral yang biasanya meliputi setengah tulang hidung
bagian bawah, prosesus nasi maksilaris dan bagian tepi piriformis.
Trauma lain yang sering dihubungkan dengan fraktur nasal adalah fraktur frontalis,
ethmoid dan tulang lakrimalis, fraktur nasoorbital ethmoid; fraktur dinding orbita;
fraktur lamina kribriformis; fraktur sinus frontalis dan fraktur maksila Le Fort I, II,
dan III.
Jenis fraktur nasal adalah (1) fraktur nasal sederhana. (2) fraktur pada
prosessus frontalis maksila. (3) fraktur nasal dengan pergeseran kartilago nasi (4)
fraktur dengan keluarnya kartilago septum dari sulkusnya di vomer. (5) fraktur
kominunitiva pada vomer dan (6) fraktur pada tulang ethmoid sehingga CSS mengalir
dari hidung.
C. Jenis-jenis penyakit yang berhubungan
Penyakit yang berhubungan dengan skenario tersebut yaitu fraktur nasal, diperoleh
dengan cara direct.
GEJALA KLINIS
1. Identitas
Nama : Sony
Usia : 21th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Alamat : Rungkut Surabaya
Status : Belum Menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Nama suami/istri : -
2. Anamnesa
a. Keluhan Umum
Perdarahan dari hidung dan hidung mampet setelah kecelakaan
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Jatuh karena selip, keluar darah dari hidung dan hidung mampet 1 jam
sebelum ke RS.
Mengeluh pusing dan mual 1x
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah sebelumnya
Tidak pernah sakit kepala sebelumnya/ tiba-tiba pingsan
Tidak pernah kecelakaan/cedera kepala sebelumnya
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada penyakit yang sama pada keluarga (tidak ada epilepsi, tidak ada kejang
demam, tidak ada kelainan jiwa)
e. Riwayat Sosial
Kuliah di universitas swasta
3. Pemeriksaan Fisik
a. Primary survey
Tensi : 120/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,7 C
Respirasi : 20x/menit
Airway : Lapang
Breathing : spontan
Circulation : baik
Disability : GCS 456
b. Secondary Survey (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Pupil isokor (kanan=kiri)
Reflek pupil +/+
Hidung tampak keluar darah, mengalir, bengkok, krepitasi +
Telinga tampak keluar cairan merah
Thorak : Tidak ada jejas
Napas vesikuler
Gerak napas simetris kanan kiri
Abdomen : Jejas (-)
Bising usus normal, extremitas dbn
Defans muskuler (-)
4. Pemeriksaan tambahan
Darah Lengkap (faktor pembekuan darah)
Foto nasal
CT Scan
BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
1. Fraktur basis cranii disertai fraktur os. Nasale
2. Fraktur maxillofacial (blow-out fracture)
Fraktur Os nasal
Biasanya fraktur os nasal disebabkan oleh trauma langsung (dalam hal ini
mekanisme trauma pasien adalah wajah terbentur dengan stang motor). Pada
pemeriksaan didapatkan epistaxis, nyeri tekan, dan krepitasi. Foto roentgen dari
arah lateral dapat menunjang diagnosis.
Fraktur tulang hidung ini harus segera direposisi dengan anastesia local dan
imobilisasi dilakukan dengan memasukkan tampon ke dalam lubang hidung yang
dipertahankan selama tiga hingga empat hari. Dapat dilindungi dengan gips tipis
berbentuk kupu-kupu untuk satu hingga dua minggu.
Fraktur Basis Cranii
Suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur
ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.
Tanda dan gejala fraktur basis kranii :
Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur
pada petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek
membrane timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul
disamping membrane timpani (tidak robek)
Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior
dan merusak sinus sigmoid.
Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior
menyebabkan darah bocor masuk ke jaringan periorbital.
rhinorrea akibat kebocoran dari CSF melewati sinus-sinus paranasalis (frontalis,
ethmoidalis, sphenoidalis) bahkan lewat tuba eustachii (lewat telinga tengah dan
telinga dalam)
Fraktur maxillofacial (Blowout Fracture)
Fraktur LeFort dapat menyebabkan epistaxis (Lefort 2 dan 3), serta fraktur orbita
juga dapat menyebabkan terjadinya Panda/Racoon’s eyes. Fraktur ini dapat
terjadi akibat trauma langsung pada tepi tulangnya, atau pada tulang zygomaticus.
Contohnya, fraktur tulang dasar orbita, sehingga sebagian isi orbita masuk ke
sinus maxillaries, dan terjadi enophtalmus, haemomaxilla, mati rasa pipi dan dahi.
BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
I. Fraktur Nasal
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada yang
diabsorpsinya. Jadi, fraktur nasal merupakan rusak atau terganggunya kesatuan dari
tulang-tulang hidung.
Fraktur nasal disebabkan oleh trauma dengan kecepatan rendah. Sedangkan jika
disebabkan oleh trauma kecepatan tinggi biasanya berhubungan dengan fraktur wajah
biasanya Le Fort tipe 1 dan 2. Selain itu, injury nasal juga berhubungan dengan cedera
leher atau kepala.
A. Gejala Klinis
Bentuk hidung berubah
Epiktasis/keluar darah dari hidung
Krepitasi yaitu teraba tulang yang pecah
Hidung serta daerah sekitarnya bengkak
B. Pemeriksaan Fisik
Pada fraktur nasal pada pemeriksaannya didapatkan epistaksis, deformitas
hidung, obstruksi hidung ,dan anosmia. Serta, pada palpasi ditemukan krepitasi akibat
emfisema sukutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular.
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Rhinoskopi Anterior
Pada rhinoskopi anterior didapatkan deformitas pada hidung, deviasi septum nasi
dan nyeri tekan hidung.
b. Water Positions
dari pemeriksaan water positions, pada foto anteroposterior, foto nasale lateral
didapatkan kesan fraktur os nasal dengan aposisi et alignment baik dan tidak
tampak pembesaran chonca nasalis bilateral.
c. Radiologi
Pemeriksaan radiologis diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam
mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada
kartilago dan ahli klinis sering salah dalam mengintrepretasikan sutura normal
sebagai fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika
ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan
ekstraokular atau maloklusi dapat mengindikasikan adanya fraktur nasal.
II. Fraktur Basis Cranii
Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater.
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
A. Gejala Klinis
Gambaran klinis dari fraktur basis cranii yaitu hemotimpanum, ekimosis
periorbita (racoon eyes), ekimosis retroauricular ( Battle’s sign), dan kebocoran cairan
serebrospinal (dapat diidentifikasi dari kandungan glukosanya) dari telinga dan
hidung. Parese nervus cranialis (nervus I, II, III, IV, VII dan VIII dalam berbagai
kombinasi) juga dapat terjadi.
B. Pemeriksaan Fisik
Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang
lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan
neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan
kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda
eyes)
Adanya luka memar di belakang telinga (Battle’s sign)
Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.
C. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada
fraktur terbuka tulang tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosa satu fraktur adalah pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto Rontgen
Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen cranium
dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu
seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan
daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak tersedia, maka foto polos
x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Diperlukan foto posisi
AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang mengalami
benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos cranium dapat
menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya
fraktur, pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan
proses-proses osteolitik atau osteoblastik.
2) CT-Scan
CT-Scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga
ketebalan 1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera
yang terjadi. CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur
condylar occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3) MRI (Magnetic Resonance Angiography)
bernilai sebagai pemeriksaan penunjang tambahan terutama untuk
kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. Cedera pada tulang jauh
lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT scan. MRI memberikan
pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT scan.
c. Pemeriksaan Lainnya
Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya
kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu tehnik
dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan menunjukkan
gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah, maka disebut “halo”
atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat dibuktikan dengan menganalisa
kadar glukosa dan dengan mengukur transferrin
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR (DIAGNOSIS)
Kelompok kami menyimpulkan bahwa hipotesis akhir (diagnosis) dari pasien ini adalah
Fraktur Basis Cranii dengan Fraktur Os nasale.
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
Fraktur Basis Cranii
Resusitasi awal:
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera
orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri
oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera
dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera
intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah,
pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil
darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan
analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa
atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan
diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang.
Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan
dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
PENGOBATAN
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)
2. Mengurangi edema otak dengan cara:
Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis.
Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530
mmHg.
Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk
"menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol
harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan
0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.
Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa
kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan
dengan pengawasan yang ketat.
Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar
tidak memperberat edema jaringan.
3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat
membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan
koma.
4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini
5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan
fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan
hemostatik.
6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala
dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan
dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin
per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena.
Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena
efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan
BEDAH
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan.
Fraktur Depresi Tertutup Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan
operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang
hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat
fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan
dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa
disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi. Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk
mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen yang
masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi
hematom, kemudian menjahit durameter secara “water tight”/kedap air kemudian fragmen
tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak
melebihi “golden periode” (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa
potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara “mozaik”
Fraktur Nasal
PENATALAKSANAAN
A. Konservatif
Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional
dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan.
Dekongestan berguna untuk mengurangi pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan
hebat, dapat dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat
kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah
jarang dilakukan.
Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah
vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan
berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit
ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko
infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri
dan memberikan rasa nyaman pada pasien.
B. Operatif
Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang,
penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat
fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk
memperbaiki posisi hidung.
1. Penanganan fraktur nasal sederhana
Periosteum dibungkus dan dinaikkan dengan kasa vaselin sampai ke dalam lubang
hidung. Dengan adanya tekanan maka fraktur tulang akan terangkat dan dengan bantuan jari-
jari tangan, tekanan dimanipulasikan untuk memperbaiki posisi hidung. Jika perdarahan terus
berlangsung, hidung harus ditutup dengan kasa tipis berminyak selama 24 jam. Jika
memungkinkan, fragmen tulang harus dipindahkan dalam beberapa jam sebelum terjadi
pembengkakan yang akan menyebabkan deformitas. Bidai ekstrenal digunakan untuk
mempertahankan posisi tulang hidung. Jika bidai tidak digunakan maka deformitas akan
terjadi.
Bidai fraktur nasal sederhana : Kazanjian dan Converse menggambarkan bidai hidung
sempurna sebagai sepotong lempeng logam lunak (ukuran 22), bentuk seperti jam pasir
dibengkokan, jadi bagian bawah sesuai dengan bentuk hidung dan bagian atas dari lempeng
berada pada dahi. Sebagian kecil dari pelat timah. Bidai hidung ini merupakan bidai biasa
yang dapat membentuk hidung dan meratakan tekanan di segala sisi. Segala alat-alat tersebut
ditahan oleh strip plester adhesif berbentuk T, yang melintasi dahi di bagian atas dan plester
di bagian bawah menahan hidung. Hanya tekanan sedang yang dapat digunakan, bebat ini
tidak dapat diganggu paling sedikit 2 hari. Batas waktu penggunaan bebat adalah sampai
hidung tidak meradang dan bengkak.
Bidai fraktur nasal Kazanjian : Bidai ini diciptakan untuk melawan kekuatan yang
timbul pada bagian lateral hidung pada titik tertentu yang diinginkan. Bidai ini terdiri dari
bingkai logam berbentuk bujur; yang permukaan bagian bawah disediakan jeruji yang
mengelilingi dengan ketebalan sekitar ¼ inchi. Bingkai merupakan pelat timah dan berada
pada dahi. Bingkai dan pelat timah ini ditahan dengan bantuan plester adhesif yang berada di
sekitar kepala. Batang horizontal dari bidai tidak dilapisi oleh pelat timah tetapi tetap terbuka
sebagai persendian umum yang dapat dilalui dengan bebas dan tetap berada diposisinya pada
kanan atau kiri garis tengah. Batang vertikal mencapai bagian bawah dan dilapisi tipis oleh
pelat timah , berguna untuk melawanan tekanan dari samping hidung. Perban elastis dipasang
untuk melawan tekanan dari samping hidung; tekanan kuat pada hidung berguna untuk
mempertahankan posisi hidung agar berada pada posisi koreksi.
2. Fraktur nasal kominunitiva
Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang hidung ditandai dengan batang hidung
nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa
fragmen tulang tetap hilang. Bidai digunakan untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi
yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam lubang
hidung.
Metode suspensi: Kawat ini diperkenalkan oleh Kazanjian dan Converse sebagai
penyokong bagian dalam hidung untuk mengangkat dan menggerakan fragmen tulang yang
terpisah-pisah. Kawat ini berukuran 14, panjang 2 inchi, bentuk U dengan bahannya pelat
timah. Kemudian kawat ini dimasukkan ke dalam hidung, yang dengan sendirinya akan
mengangkat fragmen tulang tersebut ke atas dan melawanan tekanan yang timbul akibat
bergesernya fragmen tulang hidung. Elastis perban kecil dihubungkan untuk menjangkau
intranasal dan ekstranasal. Dengan adanya penahan elastis maka cukup kekuatan untuk
menahan fragmen tulang agar berada diposisi yang seharusnya.
Teknik manipulasi reduksi tertutup teknik ini merupakan satu teknik pengobatan
yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Sekitar 2-3 minggu setelah
trauma, akan terbentuk jaringan fibrotik pada fragmen tulang di posisi yang tidak seharusnya,
dan hal inilah yang menyebabkan reduksi dengan teknik ini tidak mungkin dilakukan. Hal
yang kebanyakan menyebabkan kegagalan dalam terapi yang tidak adekuat adalah trauma
septum nasal. Trauma septum nasal tidak lebih dari 30 % dari fraktur dasal. Dimana, satu hal
yang sering ditemukan adalah fraktur depresi tulang hidung dan kasus Harisson (1979) telah
menunjukkan bahwa sekitar 70 % dari frakktur nasal adalah disertai dengan fraktur septum
nasal, yang biasanya dimulai di bagian atas spina nasalis anterior dan kemudian melewati
bagian belakang dan naik sepanjang kartilago kuadrilateral sebelum belok ke dalam lamina
perpendikularis os ethmoidalis, dan akhirnya meneruskan ke arah tulang hidung. Fraktur
nasal dapat dikurangi dengan forceps Walsham’s yang mempunyai jarak antara mata pisau
setelah bagian penutup jadi bagian tersebut memungkinkan penutupan jaringan hidung yang
tidak hancur. Mata pisau yang lebar agak berlekuk untuk mencapai dinding hidung bagian
luar dan dan melindungi kulit hidung. Mata pisau bagian dalam lebih kecil dan bentuknya
disesuaikan untuk mencapai hidung bagian dalam.
Pertama-tama dokter ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan lokasi dari garis
fraktur dan sangatlah penting untuk tidak menggunakan forceps Walsham’s di atas garis
fraktur. Gillies dan Kilner (1992) telah menggambarkan teknik yang efektif digunakan.
1. Memindahkan kedua prosesus nasofrontalis
Forceps Walsham’s digunakan untuk memindahkan kedua prosesus nasalis keluar
maksila dan menggunakan tenaga yang terkontrol untuk menghindari gerakan
menghentak yang tiba-tiba.
2. Perpindahan posisi tulang hidung
Septum kemudian dipegang dengan forceps Asch yang diletakkan di belakang dorsum
nasi. Forceps ini diciptakan sama prinsipnya dengan forceps walsham’s, tetapi forcep
Asch mempunyai mata pisau yang dapat memegang septum yang mana bagian mata
pisau tersebut terpisah dari pegangan utama bagian bawah dengan ukuran lebih besar dan
lekukan berguna untuk menghindari terjadinya kompresi dan kerusakan kolumela yang
hebat dan lebih luas.
3. Manipulasi septum nasal
Forceps Asch kemudian digunakan lagi untuk meluruskan septum nasal.
4. Membentuk piramid hidung
Dokter ahli bedah seharusnya mampu untuk mendorong hidung sampai mencapai posisi
yang tidak seharusnya dan adanya sumbatan/kegagalan mengindikasikan kesalahan
posisi dan pergerakan tidak sempurna dan harus diulang. Prosesus nasofrontalis didorong
ke dalam dan tulang hidung akhirnya dapat terbentuk dengan bantuan jari-jari tangan.
5. Kemungkinan pemindahan akhir septum
Dokter ahli bedah harus berhati-hati dalam menilai bagian anterior hidung dan harus
mengecek posisi dari septum nasal. Jika memuaskan, dokter harus mereduksi terbuka
fraktur septum melalui septoplasti atau reseksi mukosa yang sangat terbatas.
6. Kemungkinan laserasi sutura kutaneus
Jika tipe fraktur adalah tipe patah tulang riuk, maka dibutuhkan laserasi sutura pada kulit
yang terbuka. Pertama-tama, luka harus dibuka. Sangatlah penting untuk membuang
semua benda asing yang berada pada luka seperti pecahan kaca, kotoran atau batu
kerikil. Hidung membutuhkan suplai darah yang cukup dan oleh karena itu sedikit atau
banyak debridemen sangat dibutuhkan. Penutupan pertama terlihat kebanyakan luka
sekitar 36 jam dan sutura nasalis menutup sekitar 3-4 mm. Kadang luka kecil superfisial
dapat menutup dengan plester adhesive (steristrips)
Teknik reduksi terbuka
Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada daerah dimana
fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah pada
hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada
masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti
sangat jarang terjadi. Teknik open reduksi terbuka diindikasikan untuk:
Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma.
Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini sangat nyata adanya fragmentasi
tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan apparatus lakrimalis.
Reposisi dan perbaikan hanya mungkin denga reduksi terbuka, dan sayangnya hal ini
harus segera dilakukan.
Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi reduksi
tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus dilakukan insisi
pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan
kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral
atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.
BAB X
PROGNOSIS & KOMPLIKASI
A. Prognosis kepada pasien
Sebagai seorang dokter maka mempunyai kewajiban menjelaskan apa dampak dari
kecelakaan yang diterima pasien. Kematian akibat trauma kepala terjadi pada 3 waktu
setelah injury, yaitu :
1. Segera setelah injury
2. Dalam waktu 2 jam setelah injury
3. Rata-rata 3 minggu setelah injury
Pada umumnya kematian terjadi segera setelah injury, dimana terjadi trauma
langsung pada kepala, atau perdarahan kepala yang hebat dan syok. Kematian yang
terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien yang
memburuk secara progresif akibat perdarahan internal.
Faktor-faktor yang diperkirakan dapat memberi prognosa yang jelek adalah
perdarahan intracranial hematom, peningkatan usia klien, abnormalitas responmotorik,
menghilangnya gerakan bola mata dan reflek pupil terhadap cahaya, hipotensi yang
terjadi secara awal, hipoksemia, peningkatan ICP dan hiperkapnea.
B. Tanda untuk merujuk pasien
Tandauntukmerujukpasiendarifraktur basis craniiadalah :
1. Otorrhea
2. Battle sign
3. Racoonatau panda bear
Dan juga didapatkan tanda kerusakan syaraf cranial (syaraf olfaktorius) , Fraktur
yang merobek bagian kelenjar pituitary, fraktur pada tulang sphenoid , kerusakan pada
syaraf okulmotorius, ophthalmic, trigeminus, syaraf fascial , syaraf vestibulo cochlear.
C. Peran pasien / keluarga untuk penyembuhan
Peranpasien keluarga harus saling bekerja kooperatif dengan pihak medis untuk
menunjang baik pencegahan dan mempertahankan organ yang vital.
D. Pencegahan penyakit
1. Pemeriksaan lab (Monitor hemodinamik, mendeteksi edema serebral, Pemeriksaan
kadar oksigen dan CO2). Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan
untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan
aliran darah serebral dan metabolisme.
2. CT-Scan , MRI, EEG, Lumbal pungsi
3. Bila didapatkan contusio perlu observasi 1-2 jam di ICU.
4. Bila pasien kehilangan kesadaran lebih dari dua menit harus tinggal rawat di RS untuk
observasi ketat.
5. Monitor tekanan ICP
6. Pemberian kortikosteroid
7. Pemberian osmotic diuresis
8. Dapat juga diberikan infus cairan, pengaturan posisi dan room excersise.
Apabila pasien pada concussion yang berantakan terjadi kejang-kejang, henti nafas,
pucat, bradikardi dan hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran.
Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk, bingung, pusing dan gangguan
penglihatan seperti biplopia atau kekaburan penglihatan. Komplikasi lain yang
didapatkan pada pasien bisa mengalami epidural hematom,subdural hematom, kronik
subdural hematom , intra serebral hematom.
Recommended