TUGAS PRESENTASI KASUS
“DM”
Kelompok I
Tutor : dr. Suharno. Sp.Pd
Firman Pranoto G1A00134
Bellindra Putra G1A00135
Khafizati A.Fitri G1A00136
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran penceranaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di
perut bagian tengah keatas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau
kambuh. Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan
penyebabnya adalah pola atau gaya hiudup tidak sehat. Gejalanya pun
bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati,
sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan
segala komplikasinya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya Dispepsia yaitu
pengleuaran asam lambung berlebih, pertahanan dindins lambung yang lemah,
infeksi Helicobacter pylori (sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung
dalam jumlah kecil, gangguan gerakan saluran pencernaan, dan stress
psikologis (Ariyanto, 2007).
Terkadang dispepsi dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya
penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dyspepsia disebabkan karena
kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal
penting yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
1. Usia 50 tahun keatas
2. Kehilangan berat badan tanpa disengaja
3. Kesulitan menelan
4. Terkadang mual-muntah
5. Buang air besar tidak lancar
6. Merasa penuh di daerah perut (Bazaldua, et al, 1999)
Secara umum dyspepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik
dan dyspepsia non organic atau dyspepsia fungsionan. Dyspepsia organik
jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih
dari 40 tahun (Richter cit Hadi, 2002).
Dyspepsia dapat disebut dipepsia organik apabila penyebabnya telah
diketahui secara jelas. Dyspepsia fungsional atau ispepsia non
organic,merupakan ispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan
kelainan fungsi dari saluran makanan (Heading, Nyren, Malagelada cit Hadi,
2002).
Diabetes merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Diabetes mellitus sendiri secara klinis
diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu diabetes mellitus tipe I dan
diabetes mellitus tipe II. DM Tipe I sendiri disebabkan oleh terjadinya
destruksi sel beta dikarenakan proses imunologik maupun proses idiopatik,
sementara DM Tipe II disebabkan karena terjadinya resistensi insulin, yaitu
kurangnya sensitifitas jaringan sasaran untuk berespon terhadap insulin
(Gustaviani, 2006). Hiperglikemia merupakan tanda yang sering dijumpai
pada pasien DM Tipe II dikarenakan akibat gabungan dari resistensi insulin,
sekresi insulin yang tidak memadai dan sekresi glukagon yang berlebihan
(Fauci, 2009). DM Tipe II dengan kontrol yang buruk menjadi faktor risiko
untuk terjadinya disfungsi vaskular dan neuropati, yang manifestasinya dapat
menimbulkan disfungsi di berbagai organ tubuh (Khardori, 2012).
Saat ini terjadi peningkatan jumlah penderita diabetes yang cukup
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Tahun 2011, Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa diperkirakan sekitar 26 juta
warga negara Amerika menderita Diabetes, dan diperkirakan 79 juta warga
Amerika termasuk golongan prediabetes (CDC, 2011). The International
Diabetes Federation sendiri memprediksi bahwa jumlah orang dengan diabetes
akan meningkat dari 366 juta pada tahun 2011 menjadi 552 juta pada tahun
2030. Indonesia sendiri termasuk jajaran 10 besar negara dengan angka
kejadian diabetes tertinggi di dunia, dengan jumlah penderita yang dilaporkan
diperkirakan sebesar 5 juta penderita (IDF, 2011). Secara epidemiologi
diperkirakan tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta
orang. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh
bahwa hasil proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-
54 tahun menempati peringkat kedua, yaitu sebesar 14,7% dan peringkat ke 6
sebesar 5,8% untuk penyebab kematian di daerah pedesaan (Aisyah, 2012).
Hasil penelitian epidemiologi yang dilakukan pada tahun 2005 didapatkan
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di
beberapa tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3%,
Manado 6%, di Depok didapatkan prevalensi DM Tipe 2 sebesar 14,7%
dimana angka ini termasuk tinggi, di Makassar didapatkan prevalensi diabetes
terakhir sebesar 12,5% (Suyono, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
a. Dispepsia
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari
rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan
yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus
dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia
nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional
tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan
pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong
saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada
perut bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas,
perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang
dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita.
Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa
waktu (Bazaldua, et al, 1999)
b. Diabetes Militus
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, dimana terjadi secara
kronik dan ditandai dengan adanya hiperglikemi ataupun gangguan
aktivitas insulin ataupun keduanya (Price, 2006; PERKENI, 2006).
B. Etiologi dan predisposisi
a. Etiologi
Dispepsia
Dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux.
Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari
faring ke dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa
obat-obatan, seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan
dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan.
(Bazaldua, et al, 1999)
Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
3. Iritasi lambung (gastritis)
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
5. Kanker lambung
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
8. Kelainan gerakan usus
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10. Infeksi Helicobacter pylory
Diabetes Militus
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus
Tergantung Insulin disebabkan oleh destruksi sel â pula Langerhans
akibat proses autoimun.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes
Mellitus Tidak Tergantung Insulin disebabkan kegagalan relatif sel â
pulau Langerhans dan resisteni insulin. Resitensi insulin adalah
turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Sel â tidak mampu mengimbangi resistensi insulin
ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel â pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer, A., 1999).
b. Predisposisi
Seseorang dapat memiliki risiko tinggi mengidap DM tipe 2
apabila termasuk salah satu atau lebih dalam kelompok sebagai
berikut: 1) Usia >45 tahun; 2) Berat badan lebih: IMT >23 kg/m2;
3) Hipertensi (> 140/90 mmHg), 4) Riwayat DM dalam garis
keturunan, 5) Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat,
atau BB lahir bayi > 4000 gram; 6) Kolesterol HDL < 35 mg/dl
dan atau trigliserida > 250 mg/dl (Gustaviani, 2006). Fauci (2009)
dalam bukunya Harrison Manual of Medicine, dijelaskan beberapa
faktor risiko DM, antara lain: 1) Ada riwayat keluarga penderita
DM; 2) Aktivitas fisik yang kurang; 3) Ras/etnis (African
American, Latin, Native American, Asian American, Pacific
Islander); 4) Sebelumnya teridentifikasi ke dalam kelompok IFG
(Impaired Fasting Glucose, kadar GDP 100-125 mg/dL) atau IGT
(Impaired Glucose Tolerance, kadar glukosa darah sewaktu 140-
199 mg/dl); 5) Riwayat melahirkan bayi makrosomia (BBLR >
4000 gr) atau Diabetes Gestasional; 6) Hipertensi (> 140/90
mmHg); 7) HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl; 8)
PCOS (Polycystic Ovary Syndrome); 9) Riwayat gangguan
kardiovaskuler (Fauci, 2009).
C. Patofisiologi
a. Dispepsia
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak
jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan
stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan
kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung
akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, Lambung menghasilkan
asam pepsin lambung yang sifatnya mencerna semua jaringan hidup
termasuk mukosa lambung dan duodenum. Tetapi lambung dan
duodenum dilindungi oleh barier epitel dari autodigesti. kondisi demikian
dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan. Peningkatan tersebut akan mencerna sistem
barier mukosa epitel (autodigesti) sehingga menyebabkan tukak lambung
lalu timbul gejala dyspepsia (Corwin,2001).
b. Diabete militus
Individu yang peka secara genetic tampaknya memberikan respon
terhadap kejadian-kejadian pemicu yang di duga berupa infeksi virus,
dengan memproduksi autoantibody terhadap sel-sel beta, yang akan
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh
glukosa. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90%
sel-sel beta menjadi rusak. Pada DM dalam bentuk yang lebih berat, sel-
sel beta telah dirusak semuanya sehingga terjadi insulinopenia dan semua
kelainan metabolic yang berkaitan dengan defisiensi insulin. (Price,
Sylvia.2006)
Autoantibodi yang diproduksi di pulau langerhans tersebut telah
merusak sel-sel β sehingga produksi insulin yang membantu proses
penyerapan glukosa tersebut tidak mencukupi atau produksi insulinnya
sedikit bahkan dapat juga tidak memproduksi insulin. Tubuh yang tidak
bisa memenuhi kebutuhan insulin ini disebut resistensi insulin. Karena
produksi insulin tidak mencukupi sehingga penyerapan glukosa di dalam
usus yang akan disimpan di dalam hati dan otot menjadi sedikit. Hal ini
menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi meningkat. (Price,
Sylvia.2006)
Patofisiologi
AutoantibodyPankreasMerusak sel βVirus/toksik
Produksi insulin terganggu
Resistensi insulinInsufisiensi insulin
Usus tdk dpt menyerap
Kadar gula darah naik
Diabetes
Ketidak seimbangan cairan
Gangguan nutrisi
Polifagia
Keseimbangan kalori (-)
Glukosa hilangPolidipsia Poliuria
Diuresis osmotik
Glukosuria
Ginjal tdk dpt menyerap glukosa kembali
D. Penegakan Diagnosis
Dipepsia
a. Anamnesis
Pada keluhan utama yang dialami pasien adalah nyeri ulu hati
yang yang sudah dialami selama 2 minggu. Sejak 1 tahun yang lalu
pasien sering mengalami nyeri ulu hati, kembung, dan sendawa namun
sembuh setelah minum obat seperti promag dan waisan. Ayah dan ibu
juga menderita penyakit yang sama. Pasien merupakan karyawan
berdedikasi tinggi, sering makan tidak teratur, dan baru putus hubungan
dengan pacarnya 2 bulan yang lalu (sudoyono,2009)
Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dipikirkan kemungkinan kelainan yang
terjadi :
Lokasi nyeri dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pankreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
Kuadran kiri atas pankreas, limpa, gaster, kolon, ginjal
Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak
mudah terutama di Indonesia dimana ekspresi bahasa tidak sama untuk
menggambarkan rasa nyeri. Pada dasarnya harus dibedakan antara nyeri
kolik seperti pada obstruksi intestinal dan bilier, nyeri yang bersifat
tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada kolesistitis, rasa
panas seperti pada esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada
apendisitis (sudoyono,2009)
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada
keadaan akut, intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat
sampai nyeri yang cukup ringan sesuai dengan urutan penyakit berikut :
perforasi ulkus, pankreatitis akut, kolik ginjal, obstruksi ileus, kolesistitis,
apendisitis, tukak peptik, gastroenteritis, dan esofagitis. Pada nyeri kronik
banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih sulit dalam
menentukan diagnosis ( sudoyono,2009)
b. Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengidentifikasi kelainan intra
abdomen atau intra lumen yang padat seperti tumor, organomegali, atau
nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau
peritonitis. Dari pemeriksaan fisik pada pemicu didapatkan nyeri tekan
pada epigastrium dan perut sekitar pusar. Hati dan limpa tidak teraba.
Dari anamnesis yang tepat dibantu pemeriksaan fisik yang baik.Pada
kasus dispepsia, etiologi yang mungkin adalah :
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, atau infeksi bakteri Helicobacter
pylori.
Obat-obatan anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis
antibiotik, digitalis, teofilin, dll.
Penyakit pada hati, pankreas, dan sistem bilier seperti hepatitis,
pankreatitis, dan kolesistitis kronik.
Dispepsia fungsional pada kasus yang tidak terbukti adanya gangguan
pada organik dan struktural yang dapat menjelaskan gejala-gejala yang
terjadi. Sering juga disebut dispepsia non ulkus ( sudoyono,2009)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Endoskopi
Endoskop merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa organ
di dalam tubuh manusia secara visual dengan cara mengintip melalui alat
tersebut atau melalui layar monitor sehingga kelainan yang ada pada
organ dapat terlihat dengan jelas. Pemeriksaan endoskopi adalah
pemeriksaan penunjang yang memakai alat endoskop untuk mendiagnosis
kelainan-kelainan organ dalam tubuh antara lain saluran cerna, saluran
kemih, rongga mulut, rongga abdomen, dll.
Sumber : http://www.medhelp.org/adam/graphics/images/en/15849.jpg
Untuk pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan bagian atas, terdapat
beberapa jenis yaitu :
Esofagogastroduodenoskopi
Jejunoskopi
Enteroskopi
Kapsul endoskopi
Pada kasus dispepsia, pemeriksaan endoskopi yang digunakan adalah
esofagosgastroduodenoskopi. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk
dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah
hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau
keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia di atas 45 tahun.
Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organik, terutama
keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya.
Teknik pemeriksaan ini dapat mengidentfikasi dengan akurat adanya
kelainan struktural/organik intra lumen saluran cerna bagian atas seperti
adanya tukak/ulkus, tumor, dll. Pemeriksaan dengan endoskopi juga dapat
memiliki fungsi lain yaitu biopsi/ pengambilan contoh jaringan yang
dicurigai untuk didapatkan gambaran histopatologiknya atau
mengidentifikasi adanya bakteri seperti Helicobacter pylori. (Fauci et
al,2008)
Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi kelainan
padat intra abdomen, misalnya batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis
hati, dll.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural
dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau
tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat
penyempitan dan obstruktif yang tidak dapat dilewati oleh skop
endoskopi.
Pada pemeriksaan radiologi untuk saluran cerna bagian atas, digunakan
barium sulfat yang merupakan medium kontras yang dapat dilihat oleh
sinar X. Saat pasien menelan suspensi barium, suspensi itu akan melapisi
esofagus dengan barium sehingga imaging dapat dilakukan (Fauci et
al,2008)
d. Gold Standar Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sekitar
20 sampai 40% pasien dapat didiagnosis segera setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Dan dari anamnesinya ada nyeri ulu hati yang yang
sudah dialami dari pemeriksan fisik di dapatkan ada nyeri tekan pada
epigastrium saat palpasi.paa pemeriksaan laboratorium sangat di perlukan
pemeriksaan Endoskopi untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai
oleh keadaan yang disebut alarm symptoms yaitu adanya penurunan berat
badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah
darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama.
Diabetes Militus
a. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan keluhan khas penyakit
diabetesmilitus seperti poliuri, polidipsi,polifagi, lemas dan bahalnya
ektremitas bagian bawah. Dan biasanya didapatkan keludan tambahan
seperti pasien mudah ngantuk, penurunan berat badan, sering merasa
kesemutan, dan rasa bahal pada angota gerak
b. Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi
badan,berat badan dan tanda – tanda vital.
2. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi,
dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen,
obesitas.
3. Sistem urinaria
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit
saat berkemih.
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa
>120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl
2. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat
melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ),
merah ( +++ ), dan merah bata ( ++++ ).
3. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik
yang sesuai dengan jenis kuman.
d. Gold standard diagnosis
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan
puasa dengan metode enzimatik sebagai
patokan penyaring dan diagnosis DM
Bukan
DM
Belum
pasti DMDM
(mg/dl).[6]
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
E. Pentalaksanaan
a. Medikamentosa
Dispepsia
Ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra
kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai
fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan
menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid
jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi
rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga
berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun
dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa
MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor
muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-
43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin,
ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi
prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi,
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang
bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati
dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) (Mansjoer
et al, 2007).
Ranitidin Dispepsia akut dan 2x150mg Selama 4-6 minggu
kronik, khususnya lanjutan :
tukak duodenum aktif 1x150mg Malam hari
(Mansjoer et al, 2007)
Tabel 5.2. Golongan obat penghambat pompa proton
Obat Indikasi Dosis Pemberian Efek
samping
Omeperazol Tukak
peptik
Tukak
duodenum
1x20mg/hari
1x20-50mg/
hari
Setiap
pagi,
selama
1-2
minggu,
oral
Selama 2-
4 hari
minggu,
oral
Sakit
kepala,
nuase,
diare,
lemas,
nyeri
epigastrik,
banyak
gas
Lansoprazol Tukak
peptik
1x30mg/hari 4 minggu,
oral
Sama
Pantoprazol Tukak
peptik,
inhibitor
pompa
proton
1x40mg/hari Oral sama
yang
reversibel
Diabetes Militus
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar
gula darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi
tidak efektif pada diabetes tipe I. Contohnya adalah glipizid,
gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar
gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya. Obat lainnya, yaitu
metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi
meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Akarbos
bekerja dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.
Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita
diabetes tipe II jika diet dan oleh raga gagal menurunkan kadar
gula darah dengan cukup. Obat ini kadang bisa diberikan hanya
satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3
kali pemberian.Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat
mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu diberikan
suntikan insulin.
2. Terapi Sulih Insulin
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan
insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian
insulin hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin
dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-
oral (ditelan).
Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan lemak,
biasanya di lengan, paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang
sangat kecil agar tidak terasa terlalu nyeri. Insulin terdapat dalam 3
bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja
yang berbeda:
1. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan
paling sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar
gula dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4
jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali
digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan
setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan. ( CDC.
2011)
2. Insulin kerja sedang
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin
isofan.Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak
maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam.
Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi
kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari
untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam. ( CDC. 2011)
3. Insulin kerja lambat.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan.
Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
( CDC. 2011)
b. Non medikamentosa
Dispepsia
a. Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
b. Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-
obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
c. Atur pola makan
Diabetes Militus
1. Prinsip 3J
Jumlah Makanan
Syarat kebutuhan kalori untuk penderita Diabetes Mellitus
harus sesuai untuk mencapai kadar glukosa normal dan
mempertahankan berat badan normal. Komposisi energy adalah 60-
70 % dari karbohidrat, 10-15 % dari protein, 20-25 % dari lemak.
Makanlah aneka ragam makanan yang mengandung sumber zat
tenaga, sumber zat pembangun serta zat pengatur. (PERKENI. 2006)
a. Makanan sumber zat tenaga mengandung zat gizi
karbohidrat, lemak dan protein yang bersumber dari nasi
serta penggantinya seperti : roti, mie, kentang, dan lainlain.
b. Makanan sumber zat pembangun mengandung zat gizi
protein dan mineral. Makanan sumber zat pembangun
seperti kacang-kacangan, tempe, tahu, telur, ikan, ayam,
daging, susu, keju, dan lain-lain.
c. Makanan sumber zat pengatur mengandung vitamin dan
mineral. Makanan sumber zat pengatur antara lain : sayuran
dan buah-buahan. Ada beberapa jenis diet dan jumlah
kalori untuk penderita Diabetes Mellitus menurut
kandungan energi, karbohidrat, protein dan lemak .
(PERKENI. 2006)
Jenis Bahan Makanan
Banyak yang beranggapan bahwa penderita Diabetes
Mellitus harus makan makanan khusus, anggapan tersebut tidak
selalu benar karena tujuan utamanya adalah menjaga kadar glukosa
darah pada batas normal. Untuk itu sangat penting bagi kita
terutama penderita Diabetes Mellitus untuk mengetahui efek dari
makanan pada glukosa darah. Jenis makanan yang dianjurkan
untuk penderita Diabetes Mellitus adalah makanan yang kaya serat
seperti sayur-mayur dan buah-buahan segar. Yang terpenting
adalah jangan terlalu mengurangi jumlah makanan karena akan
mengakibatkan kadar gula darah yang sangat rendah
(hypoglikemia) dan juga jangan terlalu banyak makan makanan
yang memperparah penyakit Diabetes Mellitus. (PERKENI. 2006)
Jadwal Makan Penderita Diabetes Mellitus
Makanan porsi kecil dalam waktu tertentu akan membantu
mengontrol kadar gula darah. Makanan porsi besar menyebabkan
peningkatan gula darah mendadak dan bila berulang-ulang dalam
jangka panjang, keadaan ini dapat menimbulkan komplikasi Diabetes
Mellitus. Oleh karena itu makanlah sebelum lapar karena makan
disaat lapar sering tidak terkendali dan berlebihan. Agar kadar gula
darah lebih stabil, perlu pengaturan jadwal makan yang teratur yaitu
makan pagi, makan siang, makan malam dan snack diantara makan
besar dan dilaksanakan dengan interval 3 jam (PERKENI. 2006)
F. Prognosis
a. Dyspepsia
1. Baik jika Os dapat mengikuti edukasi, anjuran serta mengikuti alur
penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis yang telah
diberikan.
2. Kemungkinan besar Komplikasi akan terjadi jika Os tidak
mengikuti saran atau edukasi yang telah diberikan.
b. Diabetes Militus
Prognosis DM tipe II lebih baik dibandingkan dengan tipe I,
prognosis DM juga di pengaruhi ada tidaknya komlikasi yang bermakna
dalam kasus penyakit DM seperti ketoasidosis
G. Komplikasi
b. Dispepsia
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu
adanya komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia
yaitu luka di dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung
berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan
dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat
menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan
terjadinya muntah darah, di mana merupakan pertanda yang timbul
belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar
berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah ada perdarahan awal.
Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.
.b. Diabetes Militus
Komplikasi DM dibagi menjadi dua yaitu akut dan kronis:
1. Komplikasi akut
Hipoglikemi dan ketoasidosis diabetikum
2. Komplikasi kronik
Komplikasi vaskuler, komlikasi non vaskuler dan ulkus diabetikum
(Harrison, 2008)
BAB III
KESIMPULAN
1. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami
kekambuhan. Pengertian dispepsia terbagi dua Dispepsia
organic,Dispepsia nonorgan
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu gangguan metabolisme yang
secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat, dimana terjadi secara kronik dan ditandai
dengan adanya hiperglikemi ataupun gangguan aktivitas insulin ataupun
keduanya (Price, 2006; PERKENI, 2006).
2. Dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux.
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus
Tergantung Insulin disebabkan
3. Pengobatanya dapat di berikan golongan oatobRanitidin,
Pantoprazol,Lansoprazo Omeperazol. Pada diaetes militus Obat
Hipoglikemik Oral (OHO),Terapi Sulih Insulin
4. Prognosis pasien Baik jika Os dapat mengikuti edukasi, anjuran serta
mengikuti alur penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis yang
telah diberikan. Prognosis DM tipe II lebih baik dibandingkan dengan tipe
I, prognosis DM juga di pengaruhi ada tidaknya komlikasi yang bermakna
dalam kasus penyakit DM seperti ketoasidosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Achmad, Rosid. 2001. Hubungan Antara Hiperkolesterolemia dengan
Mikroalbuminuria. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Bagian Patologi Klinik, Semarang.
2. Adam, J.M.F., 2006. Dislipidemia. Dalam: Sudoyono, W.A., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1926 - 1932.
3. Aisyah, Siti. 2012. Mengenali Diabetes Melalui Tri “Poli”. Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel. Diakses dari
http://www.sunan-ampel.ac.id/kolom-akademisi/1495-mengenali-diabetes-
melitus-melalui-tri-poli.html?lang= Diakses 20 Juli 2012.
4. American Diabetes Association, 2004. Diagnosis and Classification of
Diabetes Melitus. Diabetes Care
5. Batuman, Vecihi, et al. 2012. Diabetic Nephrophaty. Medscape Reference.
Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/238946-
overview#a0156. Diakses 20 Juli 2012.
6. Busari, OA. 2010. Microalbuminuria and its Relations with Serum Lipid
Abnormalities in Adult Nigerians with Newly Diagnosed Hypertension.
Annals of African Medicine. Vol 9: 62-7.
7. Fauci, Anthony S. 2009. Harrison’s Manual of Medicine 17th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies. Hal: 942-943.
8. CDC. 2011. National diabetes fact sheet: national estimates and general
information on diabetes and prediabetes in the United States, 2011.
Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh
dari http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/pdf/ndfs_2011.pdf. Diakses 20 Juli
2012
9. Guyton, A.C..,Hall, J.E. 2007. Insulin, Glukagon, dan Diabetes Mellitus.
Hal 1010-1018. Dalam: Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 2007. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
10. Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : 156,159
11. Ariyanto, W.L. 2007. Mencegah Gangguan Lambung.
www.kiatsehat.com, 2007
12. Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About
It.
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspeps
ia.html, Desember 2006
13. Corwin,. J. Elizabeth, 2001, Patofisiologi, EGC, Jakarta
14. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.
15. Fauci et al. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. USA:
McGraw-Hill Companises; 2008.
16. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi
Ketiga. Jakarta.: 488-491
17. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia Tahun 2006. Jakarta: Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia.
18. Price, Sylvia. 2006. Penyakit Aterosklerosis Koroner. Dalam: Price,
Sylvia dan Wilson, Loraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis dan
Proses-Proses Penyakit Jilid 1. Jakarta: EGC. 585-589.