KATA PENGANTAR
Puji syukur saya hanturkan kepada Allah SWT. Karena telah
memberikan kita kesehatan.
Shalawat serta salam tetap kita curahkan kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad SAW. Karena dengan perjuangan dan jihad dari dakwah
beliau sekarang kita bisa merasakan nikmatnya iman dan islam dari agama
yang beliau sebarkan. Dan semoga kelak kita menjadi umat yang beliau
syafa’ati di padang tandus yang tidak kita temui syafaat selain dari beliau.
Makalah ini dibuat dengan judul “Profil dan Potensi Sawah di
Desa Glanggang ” diharapkan bisa membuat pembaca mengerti tentang
profil ini.
Makalah ini masih sangat sederhana dan masih banyak sekali
ditemukan kekurangan baik isi , atau kata yang kurang tepat dalam
penyajiannya dan kami sangat mengharap kritik dan saran untuk
meyempurnakan makalah ini. Walaupun demikian makalah ini juga sangat
bermanfaat bagi kita karena dengan membaca makalah ini kita mengetahui
tentang Profil dan Potensi Sawah di Desa Glanggang. Demikian sebagai
pengantar makalah ini.
Pekalongan,19 Maret 2013
Penulis
I
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang Masalah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,
tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah
perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat
disawahkan asalkan air cukup tersedia. Kecuali itu padi sawah juga
ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila
sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian
disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang “dikeringkan” dengan membuat
saluran-saluran drainase. Sawah yang airnya berasal dar i air irigasi disebut
sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah
tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemu kan sawah pasang surut,
sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah
lebak.
Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada
tanah kering yang disawahkan, dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat
tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat
lain, sehingga sifat-sifat tanah dapat sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah
asalnya. Koenigs (1950), orang yang pertama kali melakukan penelitian sifat
morfologi tanah sawah sekitar Bogor, mengemukakan adanya profil tanah
sawah yang khas, pada tanah kering yang disawahkan di daerah tersebut.
Namun demikian, karena perbedaan berbagai faktor yang berpengaruh dalam
proses pembentukan tanah sawah, ternyata profil tanah sawah yang khas
tersebut tidak selalu dapat terbentuk. Pada tanah rawa yang disawahkan, atau
pada tanah dengan air tanah yang dangkal, tidak terlihat adanya profil tanah
yang khas seperti yang dikemukakan oleh Koenigs (1950), meskipun
2
bermacam-macam perubahan sifat tanah akibat penyawahan telah terjadi.
Bahkan pada tanah kering yang disawahkanpun, seperti pada Vertisol dan
beberapa jenis tanah lain, tidak semuanya dapat membentuk profil tanah
yang khas tersebut. Penggunaan tanah kering untuk padi sawah dapat
menyebabkan peruba han sifat morfologi dan sifat fisiko-kimia tanah secara
permanen, sehingga dapat menyeb abkan perubahan klasifikasi tanah. Dalam
tulisan ini, disajikan uraian tentang beberapa macam sifat morfologi dan
profil tanah sawah, serta pengaruhnya dalam klasifikasi tanah, khususnya
dalam sistem Taksonomi Tanah
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas permasalah ini dapat dirumuskan menjadi:
1. Permasalahan Tanah Sawah
2. Bagai mana cara pengolahan tanah sawah dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pembentukan Tanah Sawah
3. Profil tanah sawah dan pembentukannya
4. Profil dan Potensi di Desa Glanggang
I.3 Tujuan
Pada makalah ini akan dirangkum sejumlah hasil penelitian
mengenai permasalahan dan pengelolaan serta klasifikasi dari tanah sawah.
Tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagimana permasalahan dan
pengelolaan serta klasifikasi secara morfologi dari tanah sawah tersebut,
sedangkan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Permasalan Tanah Sawah
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,
tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah
perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat
disawahkan asalkan air cukup tersedia. Kecuali itu padi sawah juga
ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila
sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian
disawahkan, atau dari tanah rawa-rawa yang “dikeringkan” dengan membuat
saluran-salur an drainase. Sawah yang airnya berasal dar i air irigasi disebut
sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah
tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemu kan sawah pasang surut,
sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa lebak disebut sawah
lebak.
Tanah sawah biasanya tergenang dalam jangka waktu yang lama hal
ini akan menyebabkan tanah ini akan mengalami perubahan morfologi kimia,
fisika dan biologi dari tanah sawah. Perubahan sifat ini akan lebih
menampakkan pada sifat fisik diamana kita akan lebih terlihat dari
perubahan warna, dan tekstur.
Tanah sawah dapat terbentuk dari tanah kering dan tanah basah atau
tanah rawa sehingga karakterisasi sawah-sawah tersebut akan sangat
dipengaruhi oleh bahan pembentuk tanahnya. Tanah sawah dari tanah kering
umumnya terdapat didaerah dataran rendah , dataran tinggi volkan atau non
volkan yang pada awalnya merupakan tanah kering yang tidak pernah jenuh
air sehingga morfologinya akan sangat berbeda dengan tanah sawah dari
tanah rawa yang awalnya memang sudah jenuh air.
4
2.2 Cara pengolahan Tanah Sawah Dan Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Tanah Sawah
Tanah sawah merupakan tanah buatan manusia. Karena itu, sifat-sifat
tanahnya sangat dipengaruhi oleh perbuatan manusia. Kegiatan manusia
yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan profil tanah sawah,
antara lain, adalah (1) cara pembuatan sawah dan (2) cara budi daya padi
sawah.
1. Cara pembuatan sawah
Cara pembuatan sawah tergantung dari beber apa hal, antara lain, kondisi
relief/topografi dan hidrologi tanah asalnya.
Relief
Bila relief/topografi tanah asal berombak atau berlereng, maka lebih
dulu harus dibuat teras bangku. Sawah pada teras, sifatnya sangat berubah
dibandingkan dengan tanah asalnya, karena terjadinya penggalian dan
penimbunan pada waktu pembuatan teras. Cara pembuatan ter as adalah
dengan jalan menggali lereng atas, dan menimbun lereng bawah. Akibatnya,
susunan horizon tanah asalnya da pat hilang sama sekali. Makin curam
lereng, maka teras semakin sempit dan penggalian serta penimbunan
semakin dalam. Dalam satu petak sawah yang baru dibu at dengan cara ini,
mungki n akan ditemukan lebih dari satu jenis tanah, yaitu Entisol atau
Inceptisol pada bagian tanah yang ditimbun atau digali, selain tanah asl inya
di bagian tengah petakan. Perubahan sifat tanah selanjutnya, terjadi akibat
pelumpuran/pengolahan tanah dalam
keadaan tergenang dan penggenangan lapisan olah selama
pertumbuhan padi, sehingga terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke
lapisan bawah. Lama kelamaan tanah dalam satu petak sawah akan
mempunyai sifat morfologi dan sifat-sifat tanah lain, yang mendekati
kesamaan terutama pada lapisan atas, atau bila sudah berumur ratusan tahun,
pada seluruh solum tanah.
5
Hidrologi
Pembuatan sawah dari lahan rawa dilakukan dengan membuat saluran-
saluran drai nase, agar lahan menjadi lebih kering, atau tidak terus-menerus
tergenang. Karena itu, sifat tanah akan berubah karena terjadi proses
“pengeringan” tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya,
pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses “p embasahan” dari
lapisan atas ke lapisan bawah. Apabila tanah ra wa yang “dikeringkan”
tersebut banyak mengandung bahan sulfidik (pirit, FeS ), maka profil tanah
sawah yang terbentuk banyak mengandung karatan jarosit (K Fe (SO )
(OH)6).
2. Cara budi daya padi sawah
Pola tanam dan penggenangan
Tanah sawah yang ditanami padi tiga kali setahun, yakni padi-padi-
padi, akan tergenang terus-menerus sepanjang tahun. Sawah dengan
pergiliran tanaman padi-padi-palawi ja, setiap tahunnya mengalami masa
tergenang yang lebih lama dibandingkan dengan masa kering. Sedangkan
sawah dengan pola tanam padi-palawija-bera, mengalami masa tergenang
lebih singkat dibandingkan masa keringnya. Akibat adanya perbedaan pola
tanam, yang menyebabkan perbedaan lamanya penggenangan tersebut, maka
terjadilah perbedaan sifat-sifat morfologi tanah sawah. Sifat-sifat tanah
sawah, termasuk sifat morfologinya, juga berubah setiap musim akibat
penggunaan tanah yang berbeda. Dalam hal ini, sifat tanah pada saat
ditanami padi sawah (basah), berbeda dengan waktu ditanami palawija atau
bera. Namun demikian, sawah-sawah yang mempunyai profil tanah yang
khas yang telah dikeringkan puluhan tahun, seperti halnya (bekas) tanah
sawah di sekitar Bo gor, masih menunjukkan adanya lapisan tapak bajak,
lapisan Fe, dan lapisan Mn, meskipun lapisan atas tidak lagi berwarna pucat,
melainkan kecoklatan mendekati warna tanah asalnya. Sifat-sifat tanah
sawah yang tidak berubah , baik sewaktu digunakan untuk bertanam padi
sawah maupun waktu digunakan untuk bertanam palawija atau bera, disebut
sifat tanah sawah permanen .
6
Penambahan lumpur bersama air irigasi
Air pengairan mengandung l umpur ya ng diendapkan pada petak
sawah. Oleh karena itu, selalu ada penambahan lumpur pada lapisan olah.
Kualitas dan jumlah lumpur yang diendapkan sangat beragam, tergantung
dari sumber lumpur dan banyaknya air. Akibatnya, lapisan olah semakin
tebal karena penambahan lumpur tersebut.
Penambahan bahan kimia/unsur hara dengan sengaja dan praktek
pengolahan tanah
Pemberian pupuk, baik pupuk buatan maupun pupuk kandang, kapur
dan bahan amelioran lain akan berpengaruh terhadap sifat tanah sawah.
Demikian juga praktek pengolah an tanah sawah yang di lakukan dengan
cara mencampur dan membalik horizon tanah, pelumpuran, dan pemadata n,
dapat mempengaruhi sifat dan perkembangan profil tanah.
Cara budi daya
Pembuatan sawah diawali dengan perataan tanah dan pembuatan
pematang. Tanah sawah yang diolah dalam keadaan jenuh air, dengan cara
“bajak-garu-bajak-g ar u” hingga halus, baru kemudian ditanami benih padi,
menyebabkan struktur tanah hancur hingga menjadi lumpur yang cocok
untuk padi sawah. Tanah sawah yang dilumpurkan, jika kemudian sawah
dikeringkan untuk ditanami palawija, akan menjadi masif atau tidak
berstruktur, oleh karena itu harus diolah lagi. Penggenangan sedalam 5–10
cm selama 4 – 5 bulan pertanaman padi, menyebabkan terjadinya kondisi
reduksi selama jangka waktu tersebut.
2.3 Profil tanah sawah dan pembentukannya
Faktor penting dalam proses pembentukan profil tanah sawah adalah
genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang
bergantian. Proses pembentukan profil tanah sawah melip uti berbagai
proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh kond isi reduksi-oksidasi
(redoks) yang bergantian; (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau
partikel tanah; dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah,
akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan
7
drainase pada tan ah rawa yang disawahkan. Secara lebih rinci, proses pembe
ntukan profil tanah sawah meliputi (a) gleisasi dan eluviasi; (b) pembentukan
karatan besi (Fe) dan mangan (Mn); (c) pembentukan warna kelabu
( grayzation ); (d) pemb entukan selaput ( cutan ); (e) penyebaran kembali
basa basa; dan (f) akumulasi dan dekomposisi bahan organik.
Profil tanah sawah tipikal
Berdasarkan proses pembentukan tanah seperti telah di uraikan, maka
terbentuklah profil tanah sawah dengan sifat morfolog i yang berbeda-beda,
tergantung dari sifat tanah a salnya. Profil tanah sawah yang tipikal (khas),
atau Aquorizem (Kanno, 1978), yang terbentuk pada tanah kering dengan air
tanah dalam, seperti yang dikemukakan oleh Koenigs (1950), sedikit berbeda
dengan profil tanah sawah tipikal dengan air tanah yang agak dangkal
(Moormann and van Breemen, 1978)
Pada tanah kering dengan air tanah dalam yang disawahkan, akan
terbentuk susunan horizon sebagai berikut: 1) lapisan olah yang tereduksi
dan tercuci (eluviasi) (Ap); 2) lapisan tapak bajak (Adg); 3) horizon iluviasi
Fe (Bir) di atas horizon iluviasi Mn (Bmn), yang sebagian besar teroksidasi;
4) horizon tanah asal, yang tidak terpengaruh persawahan (Bw, Bt). Bila air
tanah agak dangkal, maka di bawah horizon tersebut kemudian ditemukan:
5) horizon i luviasi (penimbunan) Mn (Bmn) di atas h orizon iluviasi Fe
(Bir); 6) horizon tereduksi permanen (Cg).Pengamatan di berbag ai tempat
di Indonesia menunjukkan bahwa lebih banyak tanah sawah yang tidak
menunjukkan profil tanah yang tipikal tersebut, dibandingkan dengan yang
memilikinya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan sawah di Indonesia,
antara lain, dibuat pada tanah dengan air tanah yang sangat dangkal, atau
lahan rawa yang dikeringkan, penyawahan yang terus-menerus dilakukan
sepanjang tahun, tekstur tana h yang terlalu kasar atau terlalu halus, tanah
yang mengembang dan mengkerut, da n sebagainya. Karena banyak tanah
sawah di Indonesia terdapat di daerah pelembahan atau dataran aluvial yang
terus-menerus tergenang air, baik dari air hujan, luapan sungai maupun air
tanah yang dangkal, dan kondisi relief/topografi yang tidak memungkinkan
8
gerakan air ke ba wah solum tanah, maka horizon iluviasi Fe dan Mn
ataupun lapisan tapak bajak sulit terbentuk. Demikian juga, tekstur tanah
yang terlalu kasar atau terlalu halus, atau adanya sifat tanah mengembang
dan mengkerut, me nghalangi pembentukan horizon-horizon tersebut.
Menurut Kawaguchi dan Kyuma (1977) seperti halnya di Indonesia, profil
tanah sawah tipikal ( Aquorizem ) hanya terbentuk, pada lahan kering yang
disawahkan yang tidak mengandung mineral liat-2:1. Tanah yang hanya
digenangi air pada waktu penyawahan, dan kemudian dikeringkan untuk
tanaman palawija atau bera pada musim berikutnya, dalam bahasa Jepang
disebut “ kanden ”. Dengan penggunaan tanah seperti itu, profil tanah sawah
tipikal di Jepang dapat terbentuk dalam jangka waktu 10–40 tahun. Menurut
Kanno (1 978), di Jepang juga banyak tana h sawah yang tidak memiliki
susunan horizon seperti tanah sawah tipikal tersebut, karena keragaman
dalam pengaruh air tanah dan air genangan (hidromorfisme).
Pengelolaan Lahan Sawah
Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi
perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun dilain pihak upaya
peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti
konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim
(anomaly iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan
kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap
penurunan dan atau pelandaian produktivitas.
Sistem produksi padi saat ini juga sangat rentan terhadap penyimpangan
iklim (El-nino). Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh
selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks dan
juga tidak efisien.
Guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat perlu
diupayakan untuk mencari terobosan teknologi budidaya yang mampu
memberikan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi usaha. Optimasi
9
produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang
peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila
dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar
lokasi dan belum optimal.
Tanah sawah merupakan tanah yang sangat penting di Indonesia
karena merupakan sumber daya alam yang utama dalam produksi beras.
Saat ini keberadaan tanah-tanah sawah subur beririgasi terancam oleh
gencarnya pembangunan kawasan industri dan perluasan kota (perumahan)
sehingga luas tanah sawah semakin berkurang, karena dikonservasikan
untuk nonpertanian. Sebagai gambaran, menurut Biro Pusat Statistik/BPS
(1994) luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 sekitar 8,50 juta ha,
sedangkan pada tahun 2000 luasnya menjadi sekitar 7,79 juta ha (BPS,
2001). Sebagian besar lahan sawah terdapat di Pulau Jawa, yaitu seluas 3,34
juta ha (42,9% dari luas sawah Indonesia). Pencetakan sawah di luar Pulau
Jawa umumnya dilakukan pada tanah-tanah yang kurang subur dan hingga
saat ini belum menunjukan keberhasilan yang nyata.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi
sawah, baik secara terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran
dengan tanaman palawija (Hardjowigeno dan Luthfi, 2005). Istilah tanah
sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum,
seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan
sebagainya. Menurut Kyuma (2004), tanah sawah (paddy soil) adalah tanah
yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk menanam padi sawah.
Dalam definisi ini tanah sawah mencakup semua tanah yang terdapat dalam
zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi
paling tidak sebanyak satu kali dalam satu tahun.
Tanah sebagai faktor tumbuh yang penting harus mendapat perhatian khusus
dalam budidaya tanaman. Tanah menyediakan faktor tumbuh, yang mana
kondisi optimum dinyatakan subur dan kemampuan tanah tersebut
dinyatakan sebagai kesuburan tanah. Kondisi tanah yang perlu diperhatikan
dalam pertumbuhan tanaman ini adalah suhu, udara, air tanah maupun unsur
hara yang terdapat dalam tanah. Tanah sebagai salah satu faktor tumbuh
10
membutuhkan penanganan khusus agar tidak terjadi hambatan-hambatan
bagi pertumbuhan tanaman, sehingga perlu dilakukan pengelolaan tanah
yang baik.
Tindakan pengolahan tanah merupakan usaha mekanis terhadap
tanah yang dilakukan untuk menyediakan tempat tumbuh yang sesuai bagi
perakaran tanaman. Pengolahan tanah juga ditujukan untuk menyiapkan
tempat persemaian (seed bed), pemberantasan gulma, memperbaiki kondisi
tanah untuk penetrasi akar, memperbaiki infiltrasi air dan udara tanah.
Dalam suatu usaha pertanian, baik usaha pertanian umum maupun khusus,
pemilihan mengenai sistem pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan
hasil yang setinggi-tingginya.
2.4 Profil dan Potensi di Desa Glanggang
Tata Pemerintahan Desa Glanggang
Desa Glanggang : dipimpin oleh seorang kepala desa (kades) dan
dibantu oleh sekretaris desa (Carik). Selain itu ada juga enam kepala urusan
yang membantu Kepala Desa dalam bidang pemerintahan, umum,
keamanan, keagamaan, ekonomi pembangunan, dan keuangan.
Desa Glanggang terbagi menjadi 4 (empat) dusun, yaitu Dusun
Margahayu, Dusun Krajan Glanggang, Dusun Darungan, dan Dusun Karang
Tengah. Selain itu desa glanggang juga terbagi dalam 30 RT dan 9 RW,
diantaranya:
Dusun Margahayu meliputi RT 01 dan 02, dan RW 01. Dusun ini
dikenal dengan hasil hasil gerabahnya yang sudah dikirimkan kebeberapa
kota besar yang ada di Jawa Timur. Dusun Krajian Glanggang meliputi RT
02 sampai 13, dan RW 02, 03, dan 04. Dusun ini dikenal sebagai dusun
penghasil kripik tempe, karena jumlah pengrajin tempe di dusun ini cukup
banyak, namun terdapat pula petani dan pengrajin sepatu di dusun ini
meskipun jumlahnya tidak sebanyak pengrajin tempe.
Dusun Karang Darungan meliputi RT 14 dan 15, dan RW 08. Dusun
ini juga mencakup satu-satunya kawasan perumahan yang berada di desa
11
Glanggang. Kawasan perumahan merupakan RT 28 sampai 30 dan RT 07.
Dusun ini bukan merupakan penghasil kerajinan namun memiliki kesenian
kuda lumping.
Dusun Karang Tengah meliputi RT 16 sampai 27, dan RW 05, 06
dan 09. Dusun ini lebih dikenal dengan perternakan itik dan sapi yang
jumlahnya lumayan besar, namun selain itu dusun ini juga mempunyai
pengrajin tempe, konveksi dan ada juga petani. Keempat Dusun dipimpin
oleh seorang Kepala Dusun (kadus), RW dipimpin oleh seorang kepala RW,
dan RT dipimpin oleh seorang ketua RT.
Penjelasan Detail Desa Glanggang
Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Propinsi
Jawa Timur adalah sebuah desa yang memiliki potensi yang luar biasa yang
tidak dimiliki oleh desa lain. Di bagian utara Desa Glanggang berbatasan
dengan Desa Sutojayan, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan
Desa Jatirejoyoso,di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Karang Pandan
dan Desa Mojosari, dan dibagian timur berbatasan dengan Desa Curung
Rejo.
Desa Glanggang berada pada kurang lebih 3 kilometer dari ibukota
kecamatan terdekat (Kecamatan Pakisaji), 7 kilometer dari ibukota
kabupaten (kabupaten Malang), dan 100 kilometer dari ibukota propinsi
Jawa Timur (Surabaya).
Data demografis Desa Glanggang Jumlah penduduk Desa
Glanggang yaitu 4.702 orang, yang terdiri dari 2377 orang laki-laki dan
2325 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1301
orang (tahun 2011). Tidak ada hal yang begitu penting yang menjadi
masalah mengenai adat istiadat di Desa Raharja karena sebagian besar
masyarakat masih tetap memegang teguh prinsip selayaknya orang desa.
Adat istiadat masyarakat di Desa Raharja semakin hari semakin menjurus ke
arah modernisasi karena pengaruh dari berkembangnya teknologi.
Data geografis dan geologi Desa Glanggang
12
1. Luas daerah Desa Glanggang
Luas desa Glanggang adalah 215,33 Ha dengan penggunaan lahan adalah:
Luas Pemukiman 52 Ha
Luas Persawahan 145,33 Ha
Luas Perkebunan 5 Ha
Luas Pekarangan 6 Ha
Luas Perkantoran 1 Ha
Luas prasarana umum lainnya 4 Ha
2. Iklim Desa Glanggang
Curah hujan Desa Glanggang : 2,5 mm/th
Suhu rata-rata harian Desa Glanggang : 31 C
Tinggi tempat Desa Glanggang : 250 mdl
Bentang wilayah Desa Glanggang : Dataran tinggi atau pegunungan
3. Keadaan tanah, kondisi air, dan penggunaan lahan Desa
Glanggang
Jenis tanah di desa ini (Desa Glanggang) sebagian besarnya merupakan
tanah yang berwarna hitam dengan tekstur tanah lempungan dengan tingkat
kemiringan tanah sebesar 3 derajat. Sebagian besar lahan digunakan sebagai
area tanah persawahan (seluas 145,33 Ha), adapun penggunaan lahan
lainnya digunakan sebagai area:
1) Luas Pemukiman Desa Glanggang : 52 Ha
2) Luas Pesawahan Desa Glanggang : 145,33 Ha
3) Luas Perkebunan Desa Glanggang : 5 Ha
4) Luas Kuburan Desa Glanggang : 2 Ha
5) Perkantoran Desa Glanggang : 1 Ha
6) Luas prasarana umum lainnya: 4 Ha
7) Tanah sawah
Sawah Irigasi setengah teknis : 131,33 Ha
Sawah Irigasi ½ teknis : 7 Ha
Sawah tandan hujan : 7 Ha
13
8 ) Tanah kering
Tegal/Ladang : 8 Ha
Pemukiman : 52 Ha
Pekarangan : 6 Ha
Mata pencaharian Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji,
Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur, Indonesia.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Glanggang,
Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur yaitu
karyawan perusahaan wiraswasta dan petani. Para petani yang bekerja di
desa Glanggang memiliki usia relatif 35 tahun keatas dengan jumlah sekitar
60% dari keseluruhan anggota.
Sementara lelaki usia 20 – 35 tahun lebih memilih bekerja di luar
desa dengan menjadi karyawan perusahaan swasta, buruh migran, dan
pengrajin industri rumah tangga. Hasil komoditas pertanian yang terdapat di
Desa Glanggang adalah padi sawah dan jagung.
Berikut merupakan data mata pencaharian pokok penduduk Desa
Glanggang :
Jenis Pekerjaan Laki-Laki Perdmpuan
Karyawan perusahaan swasta 479 259
Petani 201 239
Buruh migran/buruh lepas 206 120
Pengrajin industri rumah
tangga
199 151
Peternak 91 0
Pegawai Negeri Sipil 67 28
Pedagang 43 52
14
Pada umumnya hasil pertanian desa sudah dijual sebagai pendapatan
masyarakat, namun masih ada para petani yang memakan hasil taninya
untuk konsumsi sehari-hari mereka. Rata-rata petani yang memiliki lahan
atau ladang yang luas menjual hasil pertaniannya ke pasar melalui tengkulak
dan hinga saat ini tidak ada petani yang menjual hasil taninya langsung ke
pasar.
PADI SAWAH(Oryza sativa)
Padi (oryza sativa) adalah bahan baku pangan pokok yang vital bagi
rakyat Indonesia. Menanam padi sawah sudah mendarah daging bagi
sebagian besar petani di Indonesia. Mulanya kegiatan ini banyak diusahakan
di pulau Jawa. Namun, saat ini hampir seluruh daerah di Indonesia sudah
tidak asing lagi dengan kegiatan menanam padi di sawah.
Sistem penanaman padi di sawah biasanya didahului oleh pengolahan tanah
secara sempurna seraya petani melakukan persemaian. Mula-mula sawah
dibajak, pembajakan dapat dilakukan dengan mesin, kerbau atau melalui
pencangkulan oleh manusia. Setelah dibajak, tanah dibiarkan selama 2-3
hari. Namun di beberapa tempat, tanah dapat dibiarkan sampai 15 hari.
Selanjutnya tanah dilumpurkan dengan cara dibajak lagi untuk kedua
kalinya atau bahkan ketiga kalinya 3-5 hari menjelang tanam. Setelah itu
bibit hasil semaian ditanam dengan cara pengolahan sawah seperti di atas
(yang sering disebut pengolahan tanah sempurna, intensif atau
konvensional) banyak kelemahan yang timbul penggunaan air di sawah
amatlah boros. Padahal ketersediaan air semakin terbatas. Selain itu
pembajakan dan pelumpuran tanah yang biasa dilakukan oleh petani
ternyata menyebabkan banyak butir-butir tanah halus dan unsur hara
15
terbawa air irigasi. Hal ini kurang baik dari segi konservasi lingkungan.
Padi merupakan tanaman yang membutuhkan air cukup banyak untuk
hidupnya. Memang tanaman ini tergolong semi aquatis yang cocok ditanam
di lokasi tergenang. Biasanya padi ditanam di sawah yang menyediakan
kebutuhan air cukup untuk pertumbuhannya. Meskipun demikian, padi juga
dapat diusahakan di lahan kering atau ladang. Istilahnya adalah padi gogo.
Namun kebutuhan airnya harus terpenuhi. Oleh karena itu ada beberapa
sistem budidaya yang dikenal di Indonesia, di antaranya :
1. Bertanam padi di sawah tadah hujan
Dalam mengusahakan padi di sawah, soal yang terpenting adalah bidang
tanah yang ditanami harus dapat:
- Menanam air sehingga tanah itu dapat digenangi air.
- Mudah memperoleh dan melepaskan air.
Pematang atau galengan memegang peranan yang sangat penting,
karena dalam sistem bertanam padi di sawah tadah hujan ini, pematang atau
galengan ini harus kuat dan dirawat, karena bertanam padi di sawah tadah
hujan memerlukan air, sehingga dengan galengan-galengan sawah ini air
dapat bertanam di petakan sawah. Dan padi dengan sistem penanaman tadah
hujan ini tidak dapat ditanam pada tanah yang datar.
Penggarapan bertanam padi di sawah tadah hujan ini digarap secara
“basahan” yaitu menunggu sampai musim hujan tiba dan dalam proses
penanaman padi ini memakai bibit persemaian. Tetapi seringkali bibit sudah
terlalu tua baru dapat ditanam karena jatuhnya hujan terlambat. Dalam
penanaman padi sawah tadah hujan ini untuk menanam dan selama
hidupnya membutuhkan air hujan cukup. Hal ini membawa resiko yang
besar sekali karena musim hujan kadang datang terlambat, sementara padi
sawah tadah hujan membutuhkan air hujan yang cukup. Maka seringkali
terjadi puluhan ribu hektar tidak menghasilkan sama sekali atau hasilnya
rendah akibat air hujan yang tidak mencukupi.
16
2. Bertanam Padi Gogo Rancah (lahan kering)
Dalam mengusahakan padi di lahan kering atau ladang atau biasa
disebut padi gogo ini, relatif lebih mudah dibandingkan dengan padi sawah
tadah hujan. Dalam sistem penggarapan padi di lahan kering atau ladang ini
biasa dikerjakan sebelum musim penghujan tiba. Sementara dalam proses
pembibitan atau penanamannya, padi gogo rancah ini tidak memerlukan
persemaian, sehingga benih dapat langsung ditanam di sawah sebelum atau
pada permulaan musim hujan sehingga tidak ada resiko bibit menjadi terlalu
tua.
Padi gogo rancah ini tidak banyak memerlukan air hujan, pada permulaan
selama 30 atau 40 hari. Hidup padi ini keringan bahkan bila kebanyakan air
hujan, maka air tersebut harus dibuang. Sesudah itu bilamana air hujan
cukup, maka padi gogo rancah ini dapat dijadikan padi sawah biasa. Tetapi
kalau tidak ada hujan, dapat hidup kekeringan, maka resiko mati sangat
kecil.
3. Bertanam Padi Sawah Tanpa Olah Tanah (TOT)
Meskipun disebut bertanam padi sawah ini tanpa olah tanah tetapi
tidak berarti bahwa tak ada persiapan sama sekali. Sistem ini masih
merupakan bagian pengolahan tanah konservasi yang melibatkan perbedaan
mendasar dengan penanaman padi biasa. Pembajakan dan pencangkulan di
dalam sistem TOT ini tidak ada dan dalam sistem TOT ini dilakukan
penyemprotan herbisida terhadap sisa tanaman padi (singgang) atau gulma
yang tumbuh.
Secara umum kegiatan bertanam padi sawah tanpa olah tanah ini
dapat diartikan sebagai penanaman padi di lahan sawah yang persiapan
lahannya tanpa pengolahan tanah dan pelumpuran, tetapi cukup dengan
bantuan herbisida dalam mengendalikan gulma dan singgangnya. Tanaman
padi ini dapat tumbuh seperti pada lahan yang diolah biasa. Hal ini
disebabkan karena singgang dan gulma yang membusuk akan melonggarkan
tanah sehingga akar padi dapat berkembang dengan mudah dan tanaman
17
padi dapat tumbuh seperti biasa. Bibit padi dari persemaian dapat langsung
ditanam pada tanah tanpa olah yang sudah lunak karena digenang terlebih
dahulu. Dapat juga benih ditebarkan langsung (tabela) atau ditabur dalam air
yang sudah disediakan.
Keuntungan menanam padi dengan sistem Tanpa Olah Tanam
(TOT).
a. Kualitas pertumbuhan tanaman dan hasil panen tidak berbeda
dengan penanaman padi biasa.
b. Menghemat biaya persiapan lahan 40% yang juga mengurangi
biaya produksi.
c. Menghemat waktu musim tanam sampai 1 bulan, artinya jumlah
penanaman dalam satu tahun air ditingkatkan.
d. Mengurangi pemakaian air lebih dari 20%
e. Mempermudah kemungkinan penanaman secara serempak
sehingga konsep pengendalian hama terpadu (PHT) padi sawah dapat
diterapkan dan baik.
f. Melestarikan kesuburan tanah, mengurani pencucian unsur hara
dan jumlah sendimen terangkut.
g. Mengurangi pencemaran perairan dan pendangkalan saluran air
atau sungai.
h. Mengurangi emisi metan sampai 40%.
i. Memungkinkan peningkatan luas sawah garapan.
j. Memberikan keuntungan bagi petani yang berarti membantu
meningkatkan kualitas hidupnya.
18
Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Bertanam Padi
1. Air
Air diperlukan untuk pengolahan dan dalam penanaman padi di
sawah adakalanya perlu pengaturan air secara baik. Saat tertentu air
dimasukkan, tetapi saat lainnya air justru perlu ditambah. Pengaliran air
secara terus menerus dari satu petakan ke petakan lain atau penggenangan
dalam petakan sawah secara terus-menerus selain boros air juga berakibat
kurang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Tetapi sebaliknya itu pengairan
terlalu sedikit biasanya gulma akan tumbuh pesat dan produksi padi akan
berkurang dan pemasukan air sangat penting pada masa-masa berikut: a.
Awal tanam
Seperti yang sudah dilakukan pada saat penanaman, air diberikan
setinggi 2-5 cm dan permukaan tanah.
b. Pembentukan anakan (pertunasan)
Dalam masa ini air dipertahankan setinggi 3-5 cm pemberian air lebih dari 5
cm dapat menghambat pembenihan anakan (tunas)
c. Pembentukan tunas bulir (primordia) atau tanaman padi bunling
Air sangat dibutuhkan pada pembentukan calon. Calon bulir ini air
dimasukkan setinggi 10 cm. Kekurangan air pada saat pembentukan akan
mengakibatkan pembentukan anak (tunas) karena kekurangan air dapat
menghambat pembentukan malai, pembuahan dan pembuangan yang dapat
berakibat fatal yakni bulir padi yang dihasilkan hampa.
d. Pembungaan
Pada masa ini kebutuhan air mencapai puncaknya. Muka air dijaga setinggi
5-10 cm akibat kekurangan air juga dapat menyebabkan hampanya bulir
padi tetapi bila tanaman padi telah mengeluarkan bunga, petakan untuk
beberapa saat perlu dikeringkan agar terjadi pembungaan yang serempak.
Air yang diberikan dalam jumlah cukup sebenarnya bermanfaat juga untuk
19
mencegah pertumbuhan gulma, menghalau wereng yang bersembunyi di
batang padi sehingga lebih mudah disemprot dengan pestisida, serta
mengurangi serangan tikus-tikus.
2. Pengeluaran air
Ada saat-saat tanaman padi tak perlu diberikan air, untuk itu petakan sawah
dikeringkan pada waktu-waktu berikut:
a. Sebelum tanaman bunting
Gunanya untuk mencegah anakan tanaman tidak mengeluarkan bulir.
b. Awal pembungaan
Gunanya untuk membuat tanaman berbunga serempak.
c. Awal pemasakan biji
Air perlu dikeringkan saat ini untuk menyeragamkan dan mempercepat
pematangan padi. Tindakan pengeringan ini juga bermanfaat untuk
memperbaiki aerosi tanah, memacu pertumbuhan anakan merangsang
pembuangan dan mengurangi terjadinya serangan busuk akar.
3. Pemupukan
Pada penanaman padi di sawah, dosis pemupukan pada sawah
tergantung pada jenis tanah, sejarah pemupukan dan varietas padi yang
ditanam pada lokasi tersebut. Tetapi kendala pemupukan biasanya dialami
petani karena petani biasanya pupuk diberikan pada dosis yang tidak sesuai.
Pupuk diberikan 2 atau 3 kali selama musim tanam. Pupuk adalah bahan
yang mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan
unsur yang paling penting dan harus tersedia adalah unsur N.P.K. Dosis
pemupukan urea biasanya diberikan sepertiga bagian pada pemupukan
pertama dan kedua pertiga bagian pada pemupukan kedua. Pupuk TSP dab
KC biasanya diberikan sekaligus bersamaan dengan pemupukan urea
pertama.
20
Sewaktu melakukan pemupukan sebaiknya saluran pemasukan dan
pembuangan air ditutup terlebih dahulu. Petakan sawah berada dalam
kondisi berair, pupuk disebar merata pada permukaan tahan. Hati-hati
sewaktu menyebar pupuk agar tidak mengenai daun tanaman karena dapat
mengakibatkan daun terbakar.
4. Pengendalian hama dan penyakit
Hama penyakit padi sawah biasanya rentan terhadap serangan hama dan
penyakit di dalam tanaman padi sawah ada beberapa hama dan penyakit
yang sering menyerang tanaman padi dan hama yang cukup mengganggu
antara lain walang sangit, ganjur, penggerek padi, wereng, tikus dan burung.
Adapun penyakit yang sering menyerang tanaman padi adalah hawar daun,
bercak bakteri, hawar pelepah, busuk batang, bercak cokelat, blasi, tungro,
kerdil hampa dan kerdil rumput. Dahulu petani sering melakukan tindakan
gampang untuk memberantas hama dan penyakit yaitu dengan
penyemprotan pestisida. Namun cara ini tidak dianjurkan karena pestisida
dapat mencemari air irigasi atau sumber air di sekitarnya dan banyak jensi
hama dan penyakit yang rentan atau tak mempan lagi disemprot.
Pengendalian hama dan penyakit (PHT) merupakan sistem pengelolaan
populasi hama dengan menggunakan seluruh teknik yang cocok dalam suatu
cara yang terpadu untuk mengurangi populasi hama dan penyakit serta
mempertahankannya pada tingkat di bawah jumlah yang dapat
menimbulkan kerugian.
5. Panen
Bagi petani panen padi merupakan soal yang paling dinanti-nanti.
Panen merupakan saat petani merasakan keberhasilan dari jerih payah
menanam dan merawat tanaman.
a. Saat panen
Padi perlu dipanen pada saat yang tepat untuk mencegah kemungkinan
mendapatkan gabah berkualitas rendah yang masih banyak mengandung
butir hijau dan butir kapur. Padi yang dipanen mudah jika digiling akan
21
menghasilkan beras pecah. Saat panen padi dapat dipengaruhi oleh musim
tanam. Pemeliharaan tanaman dan pertumbuhan, serta tergantung pula pada
jenisnya. Secara umum padi dipanen saat berumur 80-110 hari apabila
tanaman padi menunjukkan ciri-ciri berikut berarti tanaman sudah siap
dipanen:
- Bulir-bulir padi dan daun bendera sudah menguning.
- Tangkai menunduk karena sarat menanggung butir-butir padi atau gabah
yang bertambah berat.
- Butir padi bila ditekan terasa keras dan berisi, jiak dikupas tidak
berwarna kehijauan atau putih agak lembek seperti kapur.
b. Cara panen
Alat panen yang tepat penting agar panen menjadi mudah dilakukan
biasanya padi dipanen dengan ani-ani atau sabit.
Ani-ani umumnya digunakan untuk memanen jenis padi yang sulit rontok
sehingga dipanen beserta tangkainya, contohnya jenis padi bulu. Namun,
alat ini tidak cocok digunakan untuk penanaman padi sawah.
Sabit digunakan untuk memanen padi yang mudah rontok, misalnya padi
coreh. Namun, karena alat ini dapat memungut hasil lebih cepat serta lebih
gampang memotong batang padi maka alat ini kini lebih banyak digunakan
untuk panen.
c. Perontokan
Perontokan dapat dilakukan dengan menggunakan mesin perintih tresher,
atau menggunakan perontok kaki pedal tresher. Selain itu perontokkan
secara sederhana dapat dilakukan dengan memukulkan batangan padi ke
kayu atau “kotak gebuk” dimana sebelumnya dihamparkan plastik untuk
menampung butir padi yang berhamburan.
22
d. Pengeringan
Tujuan utama pengeringan ialah untuk menurunkan kadar air gabah
dapat tahan lama disimpan. Selain itu gabah yang masih basah sulit diproses
menjadi beras dengan baik.
Bulir- bulir gabah daapt dijemur dengan cara dihamparkan di atas lantai
semen yang bersih dapat pula dihamparkan di atas plastik. Dalam cuaca
panas, sinar matahari mampu mengeringkan gabah dalam waktu 2-3 hari.
e. Pemisahan kulit gabah
Tahap terakhir usaha bertanam padi ialah menghasilkan beras yang
dapat ditanak menjadi nasi sebagai makanan pokok.
Mula-mula gabah yang sudah dikeringkan perlu dipisahkan dengan gabah
hampa atau kotoran yang mungkin terbawa selama perontokan atau
pengeringan, caranya dapat dengan ditampi.
Pemisahan kulit gabah dapat dilakukan dengan huller atau mesin, cara ini
praktis dan cepat. Namun untuk daerah yang tidak memiliki huller,
pemisahan dapat dilakukan dengan penumbuhan padi menggunakan alu dan
lumpang.
6. Sentra Produksi
Pada tanaman padi sawah ini sangat luas daerah sentra produksinya
diantaranya di daerah Jawa dan Sumatera. Hal ini karena padi adalah bahan
dasar untuk beras dan nasi yang merupakan bahan makanan utama
masyarakat Indonesia yang mengandung karbohidrat tinggi walaupun tidak
semua daerah makanan pokoknya berupa beras atau nasi
23
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi
sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan
tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi,
tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah
perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat
disawahkan asalkan air cukup tersedia. Kecuali itu padi sawah juga
ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam
dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila
sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
Mata pencaharian sebagian besar penduduk Desa Glanggang,
Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur yaitu
karyawan perusahaan wiraswasta dan petani. Para petani yang bekerja di
desa Glanggang memiliki usia relatif 35 tahun keatas dengan jumlah sekitar
60% dari keseluruhan anggota. Sementara lelaki usia 20 – 35 tahun lebih
memilih bekerja di luar desa dengan menjadi karyawan perusahaan swasta,
buruh migran, dan pengrajin industri rumah tangga. Hasil komoditas
pertanian yang terdapat di Desa Glanggang adalah padi sawah dan jagung.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. ITB, Bandung.
2. BPS. 1994. Statistik Indonesia. Jakarta : Blai Pusat Statistik.
3. BPS. 2001. Statistik Indonesia. Jakarta : Blai Pusat Statistik.
4. Hardjowigeno Sarwono dkk. 2008. Morfologi dan Klasifikasi Tanah.
5. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/.../buku/tanahsawah/
tanahsawah1 diakses 29 Mei 2010.
6. Hardjowigeno dan M. Luthfi. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia
Publishing, Malang
7. Kartasapoetra, A.G.1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Rineka Cipta, Jakarta.
8. Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha
Untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara, Jakarta.
9. Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science, 280pp. Kyoto University
Press. Trans Pacific Press.
10. Mitsuchi, M. 1975. Permebility Series of Lowland Paddy Soil in
Japan. Jpn. Agric. Sci. B.
25