Tugas Sejarah Olah Raga“Terbang Layang”
Oleh :Ragil Ar Rasyid
(076484034)
S1-PENKESREKFakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya
2007
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan Puji Syukur Kehadirat Tuhan YME yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
sejarah olah raga dengan judul “ Sejarah Olah Raga Terbang Layang “ dengan baik.
Makalah ini diharapkan dapat membantu para mahasiswa untuk mengetahui atau
memahami lebih lanjut tentang seluk beluk ataupun pengetahuan sejarah olah raga
Terbang Layang.
Saya ucapkan juga terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyelesaikan makalah sejarah olah raga ini. Saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
1
Daftar Isi
Kata pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I
Pendahuluan 3
BAB II
Pembahasan 4
BAB III
Penutup 12
Daftar Pustaka 13
2
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Dengan adanya cabang olah raga dirgantara yang ada di Indonesia dan salah
satunya adalah Terbang Layang maka pada mata kuliah sejarah ini perlu adanya
pembahasan tentang apakah olah raga Terbang Layang itu?
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan informasi tentang sejarah terbang layang.
2. Memberitahu tentang perkembangannya di Indonesia.
3. Memberikan informasi tentang nomor – nomor yang dipertandingkan.
Manfaat
Melalui makalah ini diharapkan para pembaca bisa mendapatkan informasi
tentang penelusuran cabang olah raga Terbang layang.
3
BAB II
Pembahasan
I. Sejarah Perkembangan di Indonesia
Terbang layang adalah salah satu cabang olahraga dirgantara yang berupa
kegiatan penerbangan glider yang ditarik oleh pesawat penarik.
Olahraga Aeromodelling merupakan olahraga Dirgantara yang tumbuh bersama-
sama dengan dunia penerbangan baik sipil maupun militer. Di Indonesia pertama kali
timbul di lingkungan TNI – AU melalui Kepanduan Pramuka Dirgantara. Kegiatan
pembuatan pesawat model ini dimulai sejak tahun 1946 bersamaan dengan dirintisnya
pembuatan pesawat terbang layang pertama di Yogyakarta dan berkembang ke kota –
kota lainnya.
Untuk menampung peminat yang makin banyak, maka AURI (TNI AU)
memberikan wadah “ BIRO AERO CLUB”. Dan untuk pertama kali diadakan
perlombaan pada tanggal 27 Januari 1952 di Pangkalan Udara Cililitan ? Halim
Perdanakusuma Jakarta yang diikuti oleh club-club aeromodelling di Jawa, Sumatera,
dan Kalimantan.
Hal itu menumbuhkan animo masyarakat untuk mendirikan club – club di
daerahnya masing – masing. Seperti Aviantara di Bandung, Jakarta Aero Club di
Jakarta, Pemudara dan Yan Debrito di Yogyakarta, Surakarta Aero Club di Surakarta,
dan Malang Aero Club di Malang.
Pada tahun 1962di Hotel Merdeka Solo, dilaksanakan Rapat Rencana
Pembentukan Organisasi Aeromodelling, yang dipimpin oleh Letnan Suhartono selaku
Kepala Kursus Aeromodelling dan Peroketan.
Dari rapat tersebut disepakati terbentuknya Organisasi Aeromodelling dengan
nam Federasi Aeromodelling Seluruh Indonesia disingkat FASI. Kemudian FASI
dijadikan organisasi induk untuk semua olahraga dirgantara di Indonesia.
Kegiatan olah raga terbang layang di Indonesia merupakan salah satu cabang
olah raga yang kurang memasyarakat, hal ini dikarenakan dari segi pengadaanya sendiri
terbang layang memerlukan banyak dana dan kurangnya fasilitas.
4
Faktor tersebut berkaitan dengan harga pesawat layang yang sangat mahal,
untuk 1 unitnya saja antara 17.000-25.000 dollar AS. Mahalnya harga pesawat terbang
layang membuat cabang olah raga ini kurang berkembang. Di Indonesia , populasi
pesawat terbang layang hanya banyak ditemukan di Jawa. Dua puluh satu terdapat di
Jakarta dan Jawa Barat, 11 lainnya tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta.
Itupun milik klub dan TNI AU, bukan milik perorangan.
Terbang layang memerlukan sebuah pesawat tanpa mesin yang lebih dikenal
dengan sebutan glider. Harga pesawat ini bervariasi. Oleh karena keterbatasan anggaran
untuk pengadaan pesawat baru, orang-orang terbang layang Indonesia harus terus
menerbangkan glider Schweizer yang cukup tua usianya. Kabarnya, tipe glider tak layak
digunakan dalam pertandingan kelas internasional. Orang-orang terbang layang
memang sulit mengadakan pesawat baru, yang harganya semakin melambung. Glider
Scheiwizer harganya sekitar 10-15 juta dollar. Sementara PW-5, yang khusus untuk
pertandingan itu, harganya sekitar 25.000 dollar AS atau Rp 250 jutaan.
Dalam hal ini, yang akan dinilai adalah bagaimana posisi pendaratan glider.
Lebih detail: di mana berhentinya, bagaimana posisi roda mendarat, posisi hidung
waktu berhenti, dan kondisi pesawat setelah mendarat. Pendaratan yang baik adalah
apabila roda pendarat depan menyentuh tanah lebih dulu. Pesawat juga harus meluncur
tetap di garis tengah lalu berhenti di garis akhir pada lokasi daerah pendaratan yang
telah ditentukan.
Glider single seater dan dual seater punya kriteria pendaratan berbeda. Khusus
single seater disiapkan landasan 64 x 16 m2 yang telah dibagi empat petak. Tiap petak
bernilai 250. Ini artinya, jika ingin meraih nilai 1.000, atlet harus mendaratkan glider
dengan benar di petak I lalu berhenti di petak IV. Lain dengan glider dual seater. Lokasi
pendaratan lebih luas, 80 x 17 m2 dan dibagi atas lima petak. Tiap petak bernilai 200.
Sistem perhitungan nilai sama dengan yang diterapkan pada glider single seater.
Selain dana dan fasilitas, terbang layang juga dihadapkan dengan masalah lain
yaitu, masalah Kaderiasai. Sejak dulu sudah ada promosi – promosi tentang olah raga
udara, salah satunya adalah terbang layang. Hal itu ditujukan agar olah raga ini dapat
menjadi idola para pemuda. Dan diharapkan juga perkembangan terbanag layang tidak
hanya di DKI, namun ke daerah-daerah lainnya.
5
Namun hasilnya tidak memuaskan, dikarenakan pemikiran mereka bahwa olah
raga ini tergolong olah raga mahal. Sedangkan di Jakarta saja baru terdapat kurang dari
10 generasi. Jadi hal ini menjadi kendala pada olah raga dirgantara ini.
Pendidikan Terbang Layang angkatan XVIII yang berlangsung 24 Juli sampai
24 Agustus 2000 di Lanud Kalijati ditutup oleh KSAU Marsekal TNI Hanafie Asnan
selaku Ketua Umum PB Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Dari 82 oarang yang
dididik, 27 berasal dari pelajar, mahasiswa dan swasta, belajar sampai selesai. Sisanya
terdiri pejabat/perwira tinggi dan menengah TNI AU mengikuti selama tiga hari.
Pendidikan terbang layang kali ini cukup istimewa, sebab diikuti sejumlah
pejabat/Pati dan Pamen TNI AU. Diharapkan dampaknya bisa memberi daya tarik
sendiri bagi para anggota TNI AU lainnya, dan masyarakat pada umumnya supaya mau
bergabung berlatih terbang layang. Alangkah baiknya bila yang berlatih tak hanya
perwira dan pejabat TNI AU dari Jakarta dan Jabar tapi juga daerah atau Fasida lain
terutama luar Jawa. Supaya perwira TNI AU yang sudah mengikuti Diklat Terla bisa
mengajak masyarakat di daerah masing-masing. Kegiatan menggalakkan terbang layang
tidak hanya dipelopori anggota TNI AU, tapi juga masyarakat luas.
Wajar dan perlu jika terbang layang sebagai cabang olahraga dirgantara tertua di
Indonesia, dikembalikan kejayaannya seperti 1960 - 1970-an atau ditingkatkan dan
diperluas kegiatannya sampai ke beberapa daerah. Sebetulnya sejak didirikan Pusdiklat
Terla di Kalijati 1987 dan dibukanya Diklat Terla I tahun 1988, sampai sekarang sudah
banyak lulusannya. Banyak di antaranya dari pelajar, mahasiswa dan masyarakat namun
kebanyakan hanya dari Jawa. Sayangnya setelah kembali ke daerahnya teristimewa
yang di luar Jawa amat kurang bahkan ada yang tidak mendapat pembinaan.
Jauh-jauh membuang waktu, biaya, meninggalkan bangku kuliah dan pekerjaan
untuk belajar terbang, namun sayang seperti mubazir saja, kalau kurang atau tidak ada
pembinaan lebih lanjut di daerahnya. Apa yang didapat di Kalijati hanya jadi
pengetahuan dan tinggal kenangan belaka. Sayang memang tapi kenyataan memang
begitu. Tujuan Diklat Terla, mencetak kader dan meratakan terbang layang ke pelbagai
daerah. Tapi akhir-akhir ini kebanyakan peserta diklat dari Jawa saja, Jabar dan Jakarta.
Kebetulan dalam satu dasa warsa belakangan ini paling banyak Diklat Terla dibanding
diklat cabang-cabang ordirga lain.
6
Kita menghadapi dilema yang rumit jika berbicara ingin terus melestarikan
terbang layang. Di satu pihak harus meningkatkan kualitas dan penyebarluasan terbang
layang, salah satu jalan yang ditempuh menyelenggarakan Diklat Terla, walaupun akhir-
akhir ini dari dalam Jawa. Pihak lain, hanya di pulau Jawa yang ada kegiatan terbang
layang, lantaran yang punya glider dan pesawat penarik hanya Fasida yang ada di Jawa.
Setelah 1985-an Fasida luar Jawa tak ada yang melakukan kegiatan terbang layang
berhubung tidak hanya peralatannya. Lucu juga, daerah disarankan mengirim orang
untuk dididik di diklat tapi di daerahnya tidak ada kesempatan berlatih dengan cara
misalnya mendatangkan glider dan pesawat penariknya dari pusat.
Dalam rangka mencetak bibit atlet baru olahraga dirgantara, tugas PB FASI
antara lain menyelenggarakan diklat dan menyediakan fasilitas serta peralatan. Setelah
lulus pembinaan selanjutnya di tangani Fasida-Fasida. Berarti peranan Fasida besar
dalam membina klub-klub yang ada di wilayahnya, antara lain mengadakan kegiatan
yang bisa menarik masyarakat agar bergabung dalam ordirga.
Tugas membina tak hanya mengkoordinir dan mengadakan latihan klub-klub
yang sudah ada, tapi juga harus melakukan kegiatan yang memberi peluang timbulnya
klub-klub baru. Yang tak kalah penting lagi, Fasida perlu bisa merangkul, melibatkan
pejabat Pemda setempat, para sponsor dan masyarakat, untuk diajak bersama-sama
menggalakkan ordirga, sebagai bagian menyebarluaskan minat dirgantara,
memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Kini makin tampak
peranan ordirga mendukung kegiatan pariwisata. Oleh sebab itu Fasida, Pemda dan
masyarakat diharap mau menggalakkan ordirga, agar ordirga dan pariwisata bersama-
sama maju dan bergairah.
Kemajuan yang cukup menggembirakan adalah perkembanagn microlight atau
pesawat terbang ringan. Microlight sebenarnya terdiri dari tiga jenis yaitu, three-axis
flight control bersayap tetap, flexed wing yang di dalamnya terdapat trike, dan yang
terakhir adalah powered paragliding ( paralayang bermotor). Hal yang paling mudah
adalah jenis trike, karena selain sangat mudah, sederhana, dan relatif murah. Benda ini
dapat dilipat dan disimpan di garasi, serta dapat terbang dari lapangan sepak bola.
Sementara microlight dan fixed wing atau ultralight sulit berkembang karena harganya
yang sangat mahal dan lebih sulit cara penerbangannya dibanding trike.
7
II. Nomor Yang Dipertandingkan
Di dalam olah raga terbang layang ini memiliki nomor - nomor yang biasanya
dipertandingkan yaitu :
1) Precision, adalah penilaian terhadap keahlian atlet dalam melakukan
pendaratan tepat pada titik sasaran (ketepatan mendarat).
2) Three Angle, adalah mengukur kemampuan terbang bolak-balik dari titik
start ke out landing. Biasanya berjarak ±70 kilometer.
3) Goal Race, adalah penilaian terhadap kecepatan untuk tiba kembali ke titik
awal di lapangan terbang.
4) Duration Flight, adalah kemampuan bertahan lama di udara.
Pada olah raga terbang layang di Indonesia telah memiliki rekor sendiri yaitu
rekornas dan rekor PON. Pencatat rekornya adalah Wiwin Anggono dan Rudy Harto
masing – masing mapu terbang sejauh 177.2 km dan 133,7 km ( Lanud Abdul Rahman
Saleh – Cepu), sedangkan rekor sebelumnya adalah 102 km ( Pondok Cabe – Lanud
Kalijati) atas nama mereka berdua juga.
8
III. Galeri Foto – Foto
Gambar 1.1 Foto pesawat terbang layang pada saat di udara.
Gambar 1.2 Suasana daerah persiapan terbang pesawat.
Gambar 1.3 Suasana kokpit pesawat terbang layang.
Gambar 1.4 Pesawat akan landing.
9
Gambar 1.5 Daerah pendaratan Glider pada saat perlombaan.
Gambar 1.6 Pengukuran jarak pendaratan Glider.
Gambar 1.7 Pesawat Glider pada saat di udara.
10
Gambar 1.8 Macam – macam pesawat Glider dan pesawat penarik.
11
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Terbang layang adalah salah satu cabang olahraga dirgantara yang berupa kegiatan
penerbangan glider yang ditarik oleh pesawat penarik. Terbang layang pertama kali ada
di Indonesia pada tahun 1946, dan masuk pada organisasi yang bernama Federasi Aero
modelling Seluruh Indonesi (FASI) pada tahun 1962. Terbang layang memiliki 4 nomor
yang biasanya dipertandingkan yaitu Precision, Three Angle, Goal Race, Duration
Flight. Semuanya sudah dipertandingkan pertama kali pada tahun1954 dan pada PON
tahun 1978 sampai sekarang namun juga pernah absen dalam PON yaitu pada tahun
1981 sampai 1989.
12
Daftar Pustaka
ANGKASA N0.12 SEPTEMBER 1999 TAHUN IX
ANGKASA N0.5 FEBRUARI 2000 TAHUN X
ANGKASA N0.12 SEPTEMBER 2003 TAHUN XIII
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=791
KOMPAS, 30 Agustus 2004