Download pdf - Undergraduate Thesis

Transcript
Page 1: Undergraduate Thesis

STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR PERKARA KEPAILITAN

TERHADAP PERNYATAAN PAILIT DEBITOR DITINJAU DARI HUKUM

POSITIF INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Sidang

Ujian Sarjana dan meraih gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Dimas Ario Bimo

110110090231

Program Kekhususan : Hukum Ekonomi

Pembimbing :

Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN.

Pupung Faisal, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJAJARAN

BANDUNG

2014

Page 2: Undergraduate Thesis

iv

Status Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Yang Diajukan Oleh Debitor Di Luar Perkara Kepailitan Terhadap

Pernyataan Pailit Debitor Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia

Abstrak Dimas Ario Bimo 110110090231

Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum. Namun demikian, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui forum arbitrase. Salah satunya ialah sengketa tentang pailit. Pasal 300 UUK-PKPU menyatakan bahwa badan yang berwenang menyelesaikan permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga. Kemudian Pasal 303 UUK-PKPU menegaskan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang di antara para pihak memuat klausula arbitrase. Ketentuan tersebut membuka kemungkinan terjadinya kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian arbitrase maupun debitor yang sedang berperkara sebagai pemohon di lembaga arbitrase. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor serta kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase.

Penulisan skripsi ini dikaji berdasarkan metode pendekatan yuridis normatif dengan metode deskriptif analitis, yaitu memfokuskan pemecahan masalah berdasarkan data yang diperoleh yang kemudian dianalisa berdasarkan ketentuan dalam perundang-undangan terkait hukum kepailitan dan hukum arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia, literatur serta bahan lain yang berhubungan dengan penelitian dan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer melalui wawancara dan selanjutnya data dianalisis secara yuridis kualitatif.

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh hasil: Pertama, konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor ialah putusan pernyataan pailit debitor tidak membatalkan perjanjian arbitrase tersebut. Perjanjian arbitrase tetap berlaku secara sah dan mengikat debitor pailit dengan kreditornya. Namun demikian, pelaksanaan perjanjian arbitrase tersebut dalam proses kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Kedua, kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase pada prinsipnya dialihkan kepada kurator. Hal tersebut dikarenakan debitor pailit demi hukum kehilangan kewenangannya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan tersebut beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan UUK-PKPU.

Page 3: Undergraduate Thesis

v

The Legal Status Of Arbitration Proceedings Initiated By A Debtor Notwithstanding The Commencement Of Bankruptcy Of The Debtor

Based On Indonesian Law

Abstract Dimas Ario Bimo 110110090231

Arbitration means a method of settling civil disputes outside the

general courts, however disputes that cannot be settled amicably under the regulations and the force of law may not be resolved by arbitration, among others is a petition for declaration of bankruptcy. Based on Article 300 paragraph (1) UUK-PKPU, the Commercial Court has an absolute competency to examine and adjudicate the petition for declaration of bankruptcy or PKPU. Furthermore, Article 303 UUK-PKPU stipulate that the Commercial Court shall remain be competent to examine and adjudicate the petition for declaration of bankruptcy from contracting parties containing arbitration clause provided that the debt being basis of application for bankruptcy has fulfilled the requirements as refered to in Article 2 paragraph 1 UUK-PKPU. The provision opens the possibility of bankruptcy of a debtor who has bound in the arbitration agreement or the debtor who has been acting as an applicant in the on-going arbitration proceeding. Issues raised in this paper are legal consequences of the bankruptcy declaration decision towards the pre-bankruptcy arbitration agreement between the debtor and his creditor and the authority of the bankrupt debtor in forwarding his case as the applicant in the on-going arbitration proceeding. The method used for this research based on normative juridical approaching through descriptive analysis method which focus on problem solving pursuant to data and regulations regarding bankcrupcy law and arbitration law in Indonesia, literatures and other materials related to the research and field research to obtain primary data by interview. The collected data are then analyzed with qualitative juridical method. The results obtained from these research is: First, the bankruptcy declaration decision will not invalidate the application of the pre-bankruptcy arbitration agreement. However, the execution of the arbitration agremeent under the bankruptcy proceeding is limited by the coercive provisions on the UUK-PKPU. Second, the authority of the bankrupt debtor in forwarding his case as the applicant in the on-going arbitration proceeding will be taken over by the curator since the bankrupt debtor shall by law forteit his right to control and manage his assests included in his bankruptcy as of the date of pronouncement of the bankruptcy declaration decision.

Page 4: Undergraduate Thesis

ix

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN ....................................................................................... i

PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................. ii

PERSETUJUAN PANITIA SIDANG UJIAN ........................................... iii

ABSTRAK .............................................................................................. iv

KATA PENGANTAR............................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................

B. Identifikasi Masalah ..........................................................

C. Tujuan Penelitian ..............................................................

D. Kegunaan Penelitian .........................................................

E. Kerangka Pemikiran .........................................................

F. Metode Penelitian .............................................................

1

11

12

12

13

23

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN DAN ARBITRASE

SEBAGAI BENTUK UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA

PERDATA

A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata ...................

1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Perdata ...............

2. Tinjauan Umum Tentang Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Perdata ........................................................

B. Kepailitan Sebagai Salah Satu Upaya Penyelesaian

Utang Piutang Melalui Jalur Hukum .................................

1. Kewenangan Mutlak Pengadilan Niaga Untuk

28

28

29

34

Page 5: Undergraduate Thesis

x

Memeriksa dan Mengadili Perkara Kepailitan..............

2. Sita Umum Harta Kekayaan Debitor Melalui

Kepailitan .....................................................................

3. Putusan Pernyataan Pailit Debitor dan Upaya Hukum

Yang Dapat Diajukan ..................................................

4. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap

Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya ........................

5. Fase-Fase Dalam Kepailitan .......................................

C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian

Sengketa Perdata di Luar Pengadilan ..............................

1. Eksistensi Peradilan Arbitrase di Indonesia ................

2. Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Pemilihan Forum

Arbitrase ......................................................................

3. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap

Kompetensi Pengadilan Negeri ...................................

4. Pihak-Pihak yang Bersengketa dalam Forum

Arbitrase ......................................................................

5. Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat ...........

34

36

40

43

46

48

48

51

57

60

62

BAB III PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITOR YANG

SEDANG DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA

MELALUI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA

A. Penyelesaian Sengketa Yang Sedang Berjalan Paska

Putusan Pernyataan Pailit ................................................

B. Contoh Kasus Putusan Pernyataan Pailit Terhadap

Debitor Yang Sedang Dalam Proses Penyelesaian

Sengketa Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia ....

65

72

BAB IV STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI

ARBITRASE YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR

PERKARA KEPAILITAN TERHADAP PERNYATAAN PAILIT

DEBITOR

Page 6: Undergraduate Thesis

xi

A. Konsekuensi Putusan Pernyataan Pailit Debitor

Terhadap Perjanjian Arbitrase Antara Debitor dan

Kreditor .............................................................................

B. Kewenangan Debitor Yang Telah Dinyatakan Pailit

Dalam Meneruskan Perkaranya Selaku Pemohon di

Lembaga Arbitrase ...........................................................

80

108

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ...........................................................................

B. Saran ................................................................................

128

129

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 130

LAMPIRAN ............................................................................................. 135

CURRICULLUM VITAE ......................................................................... 137

Page 7: Undergraduate Thesis

128

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap

perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor ialah putusan

pernyataan pailit debitor tidak membatalkan perjanjian arbitrase

tersebut. Perjanjian arbitrase tetap berlaku secara sah dan

mengikat debitor pailit dengan kreditornya. Namun demikian,

pelaksanaan perjanjian arbitrase tersebut dalam proses

kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU

yang bersifat memaksa.

2. Kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam

meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase

pada prinsipnya dialihkan kepada kurator. Dengan demikian,

apabila dalam proses kepailitan terdapat suatu tuntutan hukum

yang diajukan oleh debitor pailit dan yang sedang berjalan di

forum arbitrase, oleh karena debitor pailit tidak lagi berwenang

untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya, kurator

akan mengambil alih kedudukan debitor pailit sebagai pemohon

dalam perkara tersebut. Namun demikian, apabila kurator

menolak untuk mengambil alih kedudukan debitor pailit dan

Page 8: Undergraduate Thesis

129

termohon dalam perkara tersebut tidak memohonkan agar

perkara digugurkan, perkara tersebut dapat diteruskan antara

debitor pailit dengan termohon di luar tanggungan harta pailit.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan dan simpulan yang ada, maka penulis

memiliki beberapa saran sebagai berikut:

1. Diperlukan adanya ketegasan dari pembentuk undang-undang

untuk memberikan pengaturan yang jelas dan lengkap mengenai

akibat kepailitan terhadap lembaga arbitrase apabila di kemudian

hari diadakan perubahan atau revisi terhadap UUK-PKPU agar

UUK-PKPU menjadi instrumen hukum yang dapat menjamin

kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam

proses kepailitan maupun proses arbitrase.

2. Diperlukan adanya ketegasan dari arbiter atau majelis arbitrase

untuk memperhatikan, menghormati, dan menerapkan ketentuan-

ketentuan dalam UUK-PKPU manakala salah satu pihak yang

sedang bersengketa di forum arbitrase dinyatakan pailit oleh

Pengadilan Niaga. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian

hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik dalam proses

arbitrase maupun kepailitan.

Page 9: Undergraduate Thesis

80

BAB IV

Status Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Yang

Diajukan Oleh Debitor Di Luar Perkara Kepailitan Terhadap

Pernyataan Pailit Debitor

A. Konsekuensi Putusan Pernyataan Pailit Debitor Terhadap

Perjanjian Arbitrase Antara Debitor dan Kreditor

Dalam suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang

yang berutang dan kredtior atau orang yang berpiutang. Manakala

debitor berhenti membayar utangnya, baik karena tidak mampu

membayar atau tidak mau membayar, hal ini menimbulkan kerugian

bagi kreditor. Salah satu alternatif tindakan hukum secara litigasi yang

dapat ditempuh oleh kreditor dalam menyelesaikan masalah utang

piutang yaitu dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap debitor.

Pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-

PKPU debitor hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan

pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih kreditornya apabila memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut: 140

a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;

b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang; dan

c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

140

Isis Ikhwansyah et. all, Loc.Cit.

Page 10: Undergraduate Thesis

81

Menurut ketentuan Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU di atas

adalah Pengadilan Niaga. Secara khusus Pengadilan Niaga diberi

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pernyataan

pailit oleh UUK-PKPU. Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah

mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain yang berwenang

untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan

Niaga.

Sehubungan dengan eksistensi lembaga arbitrase, kewenangan

mutlak Pengadilan Niaga tersebut ditegaskan dalam Pasal 303 UUK-

PKPU yang menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang

memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para

pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase,

sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit

telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) UUK-PKPU.141

Ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU di atas sejalan dengan

pendirian Mahkamah Agung RI dalam putusan No. 013 PK/N/1999

tanggal 2 Agustus 1999 berkenaan dengan permohonan Peninjauan

Kembali (selanjutnya disebut PK) perkara kepailitan antara PT Putra

Putri Fortuna Windu dan Kawan sebagai para pemohon PK melawan

141

Ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang di antara para pihak memuat klausula arbitrase. Lihat penjelasan Pasal 303 UUK-PKPU.

Page 11: Undergraduate Thesis

82

PT Enviromental Network Indonesia dan Kawan sebagai para

termohon PK, yang menyatakan:142

“....kewenangan absolut arbitrase dalam kedudukannya sebagai extra judicial tidak dapat mengesampingkan kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian insolvensi atau pailit oleh Perpu No. 1 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1998 sebagai Undang-undang khusus (special law).” Di samping memberikan penegasan bahwa forum arbitrase

tidak berwenang memeriksa dan menyelesaikan perkara kepailitan,

ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU sekaligus menjadi landasan bagi

salah satu pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap pihak lainnya kepada Pengadilan Niaga, meskipun para

pihak tersebut telah terikat dalam perjanjian yang memuat klausula

arbitrase.143

Permasalahan timbul manakala Pengadilan Niaga mengabulkan

permohonan pernyataan pailit tersebut. Masalah yang timbul ialah

berkaitan dengan konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor

terhadap klausula arbitrase yang terdapat dalam perjanjian yang

menjadi dasar permohonan pernyataan pailit tersebut.

Permasalahan tersebut didasarkan pada alasan bahwa di satu

sisi, klausula arbitrase adalah bentuk kesepakatan para pihak untuk

memilih arbitrase sebagai forum yang berwenang menyelesaikannya

apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau sengketa di antara

142

Dengan telah digantikanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dengan UUK-PKPU, pendirian Mahkamah Agung RI dalam perkara tersebut dapat dikatakan berlaku pula bagi UUK-PKPU. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 143.

143 Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase....Op.Cit, hlm. 53.

Page 12: Undergraduate Thesis

83

para pihak tersebut. Klausula arbitrase sebagai salah satu bentuk

perjanjian arbitrase merupakan dasar hukum lahirnya kewenangan

arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perdata (di

luar peradilan umum) mengenai hak yang tercakup dalam hukum harta

kekayaan.144 Oleh karena itu, pihak-pihak yang membuat perjanjian

arbitrase haruslah orang-orang yang cakap melakukan perbuatan

hukum mengurus dan menguasai harta kekayaannya.

Di sisi lain, kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh

harta kekayaan debitor. Sita umum tersebut mengakibatkan pihak

yang dinyatakan pailit (dalam hal ini debitor) kehilangan hak dan

kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum mengurus dan

menguasai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak

putusan pernyataan pailit diucapkan.

Dalam pratiknya, kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian

yang memuat klausula arbitrase terjadi dalam perkara kepailitan PT

SMR. Perkara kepailitan PT SMR berawal dari ditandatanganinya

Perjanjian 2007. Perjanjian tersebut merupakan hubungan hukum

yang berisi kesepakatan kerjasama antara PT SMR dan PT PI.

Selain mengatur materi pokok perjanjian, PT SMR dan PT PI

juga sepakat untuk mengatur mekanisme penyelesaian apabila di

kemudian hari terjadi perselisihan di antara para pihak yang timbul dari

pelaksanaan Perjanjian 2007 dengan mencantumkan klausula

144

Hukum harta kekayaan memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian, hak milik, gadai, dan sebagainya. Lihat Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, hlm. 28.

Page 13: Undergraduate Thesis

84

arbitrase dalam perjanjian tersebut. Klausula arbitrase tersebut tertera

dalam Pasal 17 tentang “Penyelesaian Perselisihan” Perjanjian 2007

yang menyatakan bahwa:145

“Jika terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat, dan jika hal itu tidak tercapai maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta.” Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam

hubungan kerjasama para pihak. Masing-masing mengklaim sebagai

pihak yang benar dan menuduh pihak lain mempunyai utang.

Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan

cidera janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan kerugian

bagi PT SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta dilandaskan pada

klausula arbitrase sebagaimana tertera dalam Perjanjian 2007, PT

SMR mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan

cidera janji disertai ganti kerugian kepada PT PI ke BANI pada tanggal

31 Agustus 2012.146

Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang justru

melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena tidak

melakukan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan pemakaian

utilitas serta bahan baku produksi melamin yang dipasok oleh PT PI.147

Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP

mengajukan permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan

145

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 39-40.

146 Idem, hlm. 7.

147 Muhammad Yasin, Loc.Cit.

Page 14: Undergraduate Thesis

85

Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam

permohonannya PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR

memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain itu, PT

PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR juga memiliki utang

kepada kreditor lain yakni PT Bank Mandiri.

Pada tingkat pertama permohonan tersebut ditolak oleh

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan Perkara Kepailitan

Nomor: 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst., akan tetapi melalui upaya

hukum kasasi yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP pada tanggal 28

Desember 2012, permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah

Agung pada tanggal 17 April 2013 melalui Putusan Kasasi No. 45

K/Pdt.Sus/2013.

Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT

SMR yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP dan menyatakan PT SMR

pailit dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung juga

memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk

menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga

tersebut dan mengangkat Rynaldo P. Batubara sebagai kurator dalam

perkara a quo.148

Sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa

perdata di luar peradilan umum, arbitrase lahir dari kesepakatan para

pihak yang memilih forum arbitrase. Kesepakatan tersebut dikenal

148

Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 29.

Page 15: Undergraduate Thesis

86

dengan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase dapat berupa klausula

arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat

para pihak sebelum timbul sengketa (klausula arbitrase), atau suatu

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa (akta kompromis).

Tanpa adanya suatu perjanjian arbitrase, penyelesaian

sengketa melalui arbitrase tidak dapat dilakukan. Dengan demikian,

perjanjian arbitrase merupakan dasar yang fundamental bagi para

pihak yang menunjukkan kehendaknya untuk menyelesaikan sengketa

mereka melalui forum arbitrase.149

Kesepakatan para pihak untuk mengadakan perjanjian arbitrase

merupakan wujud pelaksanaan dari asas kebebasan berkontrak. Asas

kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada setiap orang

untuk membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum.150

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak maka para pihak yang

membuat perjanjian arbitrase bebas untuk menentukan apa yang

mereka kehendaki. Namun demikian, perjanjian arbitrase harus tetap

dibuat dengan memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun

syarat-syarat sah perjanjian arbitrase sebagai berikut:

a) Syarat Subjektif

149

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 66. 150

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, cet. VI, 1979, hlm. 13.

Page 16: Undergraduate Thesis

87

Perjanjian arbitrase harus didasarkan pada kesepakatan

para pihak atau mutual consent. Selain itu, perjanjian

arbitrase harus dibuat oleh mereka yang cakap bertindak

dan demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk

melakukan hal yang demikian.151

b) Syarat Objektif

Syarat objektif dari perjanjian arbitrase adalah objek

perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang dapat

diselesaikan melalui arbitrase yaitu hanyalah sengketa di

bidang perdagangan152 dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, sedangkan

sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase

adalah sengketa yang menurut peraturan perundangan-

undangan tidak dapat diadakan perdamaian.153

Di samping syarat subjektif dan objektif di atas, maka perjanjian

arbitrase harus dibuat secara tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal

1 angka 1 dan Pasal 4 UU Arbitrase & APS. Perjanjian arbitrase yang

berbentuk lisan dianggap tidak sah dan tidak mengikat, sebab

151

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Loc.Cit. 152

Tidak ada penjelasan dari ketentuan tersebut, namun jika dilihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b UU Arbitrase & APS, maka yang dimaksud dengan ruang lingkup dalam hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.

153 Sengketa tersebut umumnya meliputi hukum keluarga, terutama yang

berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang, tentang pailit, penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam anggaran dasar perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan...Loc.Cit.

Page 17: Undergraduate Thesis

88

perjanjian arbitrase secara lisan dianggap “tidak pernah ada” atau

never existed.154

Syarat sah perjanjian harus diterapkan dalam membuat suatu

perjanjian arbitrase, sebab tanpa memenuhi syarat sah tersebut maka

perjanjian arbitrase dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat

subjektif atau dapat batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat

objektif.

Di samping syarat-syarat di atas, dikarenakan perjanjian

arbitrase merupakan perjanjian buntutan atau asesor,155 maka

perjanjian arbitrase wajib mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak

asesor yang berlaku, yaitu isinya tidak boleh melampaui perjanjian

pokoknya, tidak boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan

tidak ada tanpa adanya perjanjian pokok.

Selanjutnya berdasarkan asas kekuatan mengikat atau pacta

sunt sevanda sebagaimana tertera dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, perjanjian arbitrase yang dibuat secara sah mengikat para

pihak sebagai undang-undang. Artinya, perjanjian arbitrase berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang

perjanjian arbitrase tersebut memenuhi syarat sahnya perjanjian

seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

154

M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari....Op.Cit, hlm. 60. 155

Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan pada perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut dengan perjanjian buntutan atau “asesor”. Keberadaannya, hanya sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Lihat Idem, hlm. 62.

Page 18: Undergraduate Thesis

89

Sebagai konsekuensi asas kekuatan mengikat, maka hakim

maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat

oleh para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan

secara sepihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH

Perdata yang merupakan konsekuensi logis dari adanya asas

kekuatan mengikat, yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali

selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan

yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Ketentuan

tersebut juga ditegaskan oleh Pasal 620 ayat (2) Rv yang menyatakan

bahwa kekuasaan para arbiter tidak boleh ditarik kembali kecuali atas

kesepakatan bulat para pihak.

Ketentuan mengenai perjanjian arbitrase tidak dapat dibatalkan

secara sepihak juga diatur dalam yurisprudensi, salah satunya dalam

putusan Mahkamah Agung No. 3179/K/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1984

yang menyatakan bahwa melepaskan perjanjian arbitrase harus

dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani

oleh kedua belah pihak.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata

dan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 3179/K/Pdt/1984 tanggal 4

Mei 1984 di atas, ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase & APS menyatakan

bahwa perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan adanya

kondisi sebagai berikut:

a. Meninggalnya salah satu pihak;

b. Bangkrutnya salah satu pihak;

Page 19: Undergraduate Thesis

90

c. Novasi;

d. Insolvensi salah satu pihak;

e. Pewarisan;

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan

pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang

melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Berkenaan dengan ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase & APS di atas,

disebutkan pada huruf d bahwa insolvensi salah satu pihak tidak

mengakibatkan perjanjian arbitrase menjadi batal. Pada penjelasan pasal

tersebut, insolvensi diartikan sebagai keadaan tidak mampu membayar.

Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian insolvensi yang di atur

dalam UUK-PKPU. Penjelasan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU

mengartikan insolvensi sebagai keadaan berhenti membayar.

Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa apabila dalam

rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana

perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak

berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi

hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU di atas,

insolvensi terjadi pada saat proses kepailitan yaitu pada saat rapat

pencocokan piutang.156 Dalam proses kepailitan, rapat pencocokan

156

Rapat pencocokan piutang adalah penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit debitor, untuk dirinci berapa besarnya piutang-

Page 20: Undergraduate Thesis

91

piutang merupakan proses yang terdapat pada fase sekestrasi yang

merupakan fase pertama dalam proses kepailitan.157 Dengan demikian,

rapat pencocokan piutang terjadi manakala debitor memiliki dua atau lebih

kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan

Niaga.158

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS

dan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU di atas, dapat diketahui bahwa

putusan pernyataan pailit debitor maupun keadaan insolvensi harta pailit

tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian arbitrase.

Dengan kata lain, ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS

memberikan penegasan bahwa apabila sebelum debitor dinyatakan pailit

terdapat klausula arbitrase atau akta kompromis yang masih berlaku

antara debitor pailit dengan pihak lainnya (dalam hal ini kreditor), maka

putusan pernyataan pailit debitor maupun insolvensi harta pailit tidak

mengakibatkan batalnya perjanjian arbitrase tersebut. Dengan demikian,

debitor pailit masih terikat dalam perjanjian arbitrase tersebut.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, kepailitan mengakibatkan

debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan

mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak putusan

pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan debitor untuk mengurus dan piutang yang dapat dibayarkan kepada kreditor, yang daftar piutang yang diakui maupun diklasifikasikan menjadi piutang yang diakui, piutang yang dibantah, dan piutang yang sementara diakui. Lihat Rudy A Lontoh et.all, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001, hlm. 389.

157 Pupung Faisal, Op.Cit, hlm. 502.

158 Parwoto Wignjosumarto, “Titik Taut Arbitrase Dan Kepailitan di Indonesia”,

dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. 57-58.

Page 21: Undergraduate Thesis

92

menguasai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit beralih

demi hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo.

Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU.

Berdasarkan UUK-PKPU, kurator memiliki kewenangan untuk

melakukan tugas pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit sejak

putusan pernyataan pailit diucapkan. Salah satu kewenangan kurator

adalah mengentikan suatu perjanjian atau sebaliknya mengikatkan diri

pada suatu perjanjian sepanjang untuk memaksimalkan harta pailit.

Berdasarkan ketentuan Pasal 36 UUK-PKPU, dalam hal pada saat

putusan pernyataan pailit diucapkan terdapat perjanjian timbal balik yang

belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian

dengan debitor pailit dapat meminta kepada kurator untuk memberikan

kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam

jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut.

Manakala dalam jangka waktu tersebut kurator tidak memberikan

jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut

maka perjanjian berakhir dan pihak yang bersangkutan dapat menuntut

ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren.

Ketentuan Pasal 36 UUK-PKPU di atas menunjukan bahwa kurator

bukanlah pihak yang meneruskan atau mewakili debitor pailit, melainkan

pihak yang bertugas untuk kepentingan harta pailit. Kurator tidak bertindak

untuk dirinya sendiri. Fungsi dan tugasnya adalah sepanjang yang

ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Sekalipun tindakan kurator

tampak meneruskan usaha atau perbuatan hukum debitor, bukan berarti

Page 22: Undergraduate Thesis

93

ia adalah kepanjangan tangan atau menggantikan debitor pailit. Kurator

memperoleh “strong arm power” karena kehendak undang-undang dan

dilimpahkan oleh pengadilan.159

Dengan demikian, segala tindakan kurator akan terbatas pada yang

dibolehkan oleh undang-undang dan/atau diwajibkan memperoleh

persetujuan hakim pengawas, oleh karenanya bukan lagi meneruskan

perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh debitor pailit.

Berkenaan dengan Pasal 36 UUK-PKPU di atas, Pasal 10 huruf h

UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa berakhirnya atau batalnya

perjanjian pokok tidak menyebabkan batalnya perjanjian arbitrase.

Ketentuan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase & APS di atas

menunjukan bahwa sekalipun pada prinsipnya perjanjian arbitrase

merupakan sutau perjanjian asesor, tetapi ada beberapa sifatnya yang

unik, yang menyebabkan sifatnya sebagai asesor tersebut tidak diikuti

secara penuh. Misalnya, jika perjanjian pokoknya batal, perjanjian

arbitrase tidak ikut-ikutan batal.

Ketentuan di atas berkaitan dengan adanya prinsip separabilitas

(separability) dalam suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian arbitrase

berdiri independen dan terlepas sama sekali dengan perjanjian pokoknya.

Oleh sebab itu, apabila karena alasan apapun perjanjian pokoknya

dianggap cacat hukum atau tidak sah, perjanjian arbitrase tetap dianggap

sah dan mengikat.

159

Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. xxvii.

Page 23: Undergraduate Thesis

94

Dengan demikian, berkenaan dengan ketentuan Pasal 36 UUK-

PKPU di atas, dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit debitor

terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi,

yang mana perjanjian tersebut memuat klausula arbitrase, dan kurator

tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, maka

berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf h UU Arbitrase & APS, berakhirnya

perjanjian timbal balik sebagai perjanjian pokok tidak menyebabkan

klausula arbitrase yang terdapat dalam perjanjian tersebut menjadi batal,

sehingga klausula arbitrase tetap sah dan mengikat.

Dalam perkara kepailitan PT SMR diketahui bahwa PT SMR dan

PT PI telah mengadakan perjanjian arbitrase berupa klausula arbitrase

yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

timbul sengketa. Klausula arbitrase tersebut menunjukan kesepakatan

bersama PT SMR dan PT PI sebagai subjek hukum yang cakap dan

berwenang untuk memilihi Badan Arbitrase Nasional Indonesia sebagai

forum yang berwenang menyelesaikan perselisihan pendapat atau

sengketa yang timbul dalam rangka pelaksanaan Perjanjian 2007 sebagai

perjanjian pokok.

Klausula arbitrase dalam perkara kepailitan PT SMR telah

memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata dan oleh karenanya berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, klausula arbitrase tersebut merupakan perjanjian yang mengikat

dan berlaku sebagai undang-undang bagi PT SMR dan PT PI. Sebagai

Page 24: Undergraduate Thesis

95

konsekuensi terhadap hal tersebut, maka hakim maupun pihak ketiga

tidak boleh mencampuri pelaksanaan klausula arbitrase tersebut.

Dalam pelaksanaanya, tidak ada persetujuan tertulis yang

ditandatangani oleh PT SMR dan PT PI yang menyatakan bahwa para

pihak mengakhiri atau menarik kembali kesepakatan yang telah

dituangkan dalam klausula arbitrase tersebut. Oleh karena itu, sekalipun

pada akhirnya PT SMR dinyatakan dalam keadaan pailit, maka

berdasarkan ketentuan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS pailitnya PT

SMR tidak menyebabkan klausula arbitrase dalam Perjanjian 2007

menjadi batal. Dengan demikian, klausula arbitrase yang terdapat dalam

Perjanjian 2007 tetap berlaku secara sah dan mengikat PT SMR (dalam

pailit) dan PT PI.

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan di atas, dapat

diketahui bahwa apabila sebelum putusan pernyataan pailit terdapat

perjanjian arbitrase yang masih berlaku secara sah antara para pihak

yang mengadakannya, maka putusan pernyataan pailit terhadap salah

satu pihak tersebut (dalam hal ini debitor) tidak menyebabkan perjanjian

arbitrase tersebut menjadi batal. Artinya, perjanjian arbitrase tetap sah

dan mengikat debitor pailit dan pihak lawannya (dalam hal ini kreditor),

sehingga perjanjian arbitrase tersebut tetap dapat dilaksanakan dalam

proses kepailitan.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kesepakatan para pihak

untuk mengadakan perjanjian arbitrase merupakan wujud pelaksanaan

dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak memberikan

Page 25: Undergraduate Thesis

96

kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat

perjanjian arbitrase, demikian juga kebebasan yang seluas-luasnya

kepada para pihak untuk mengatur dan menentukan isi perjanjian

arbitrase.

Asas kebebasan berkontrak tersebut tersirat dalam Pasal 1338

KUH Perdata. Dengan adanya asas tersebut, kedudukan rangkaian

ketentuan dalam Buku III KUH Perdata hanya bersifat sebagai hukum

yang berisfat mengatur atau hukum pelengkap (aanvullend recht)160 saja.

Artinya, rangkaian ketentuan tersebut boleh dikesampingkan sekiranya

para pihak pembuat perjanjian menghendakinya, bahkan para pihak dapat

160

Ditinjau dari segi daya kerjanya, hukum dapat dibedakan menjadi hukum yang bersifat memaksa dan hukum yang berisfat mengatur. Hukum yang bersifat mengatur atau hukum pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya atau dengan kata lain merupakan hukum yang dapat dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Penggunaan istilah hukum yang bersifat mengatur tidaklah tepat karena semua hukum bersifat mengatur, begitu pula dengan istilah undang-undang yang mengatur juga kurang tepat sebab dalam suatu undang-undang terdapat ketentuan-ketentuan baik yang bersifat memaksa maupun mengatur, oleh karena itu lebih tepat kalau disebut ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 235. Dengan demikian, untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur menggantikan istilah hukum yang bersifat mengatur. Misalnya dalam Pasal 1477 KUH Perdata ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Pasal tersebut merupakan ketentuan yang bersifat mengatur atau pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli suatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 KUH Perdata barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain. Lihat Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 204. Contoh lain adalah Pasal 84 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) yang menyatakan: “Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain”. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu perseroan melalui anggaran dasarnya dapat menetapkan bahwa setiap saham yang dikeluarkan mempunyai lebih dari satu suara, akan tetapi apabila dalam anggaran tidak ditentukan lain, ketentuan Pasal 84 UU PT tersebutlah yang menjadi acuan mengenai harga suara setiap saham. Dengan demikian, ketentuan itu merupakan ketentuan yang bersifat mengatur.

Page 26: Undergraduate Thesis

97

menyimpang dari ketentuan tersebut sejauh tidak melanggar ketertiban

umum dan kesusilaan.

Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak memberikan

kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian arbirase

untuk mengesampingkan atau bahkan menyimpangi ketentuan yang

terdapat dalam Buku III KUH Perdata maupun peraturan perundang-

undangan lainnya, sepanjang peraturan tersebut merupakan ketentuan-

ketentuan yang bersifat mengatur.161

Namun demikian, kebebasan berkontrak bukan berarti boleh

membuat perjanjian arbitrase secara bebas tanpa adanya batasan.

Artinya, perjanjian arbitrase tetap harus dibuat dengan mengindahkan

syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH

Perdata dan sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan

hukum yang bersifat memaksa162, ketertiban umum, dan kesusilaan.163

161

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-XXXIII, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 128.

162 Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan-peraturan hukum yang tidak

boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang berkepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Kata “memaksa” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pembuat undang-undang tidak memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk menerapkan aturan itu. Dengan kata lain, aturan itu tidak boleh disimpangi oleh mereka yang melakukan hubungan hukum. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa itu berlaku bagi para pihak yang bersangkutan maupun hakim sehingga hukum itu harus diterapkan meskipun para pihak mengatur sendiri hubungan hukum mereka. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, hlm. 234. Hukum yang memaksa mengikat dengan tiada bersyarat, artinya tak peduli adakah para pihak yang berkepentingan menghendakinya atau tidak. Lihat L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramitha, Jakarta, 2004, hlm. 183. Sama halnya dengan istilah hukum yang bersifat mengatur, istilah hukum yang bersifat memaksa merupakan istilah yang menyesatkan karena semua hukum dapat dipaksakan. Oleh karena itu, lebih tepat kalau disebut ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa. Dengan demikian, untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan istilah ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa menggantikan istilah hukum yang bersifat memaksa.

163 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta,1979, hlm. 10-

11.

Page 27: Undergraduate Thesis

98

Ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian arbitrase dapat

mengesampingkan peraturan perundang-undangan, sepanjang peraturan

tersebut merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur dan

bukan merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa

ditegaskan dalam Pasal 56 UU Arbitrase & APS.

Pasal 56 ayat (1) UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa arbiter

atau majelis arbitrase mengambil keputusan berdasarkan ketentuan

hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Kewenangan arbiter

atau majelis arbitrase untuk mengambil keputusan tersebut lahir dari

kesepakatan para pihak melalui perjanjian arbitrase. Melalui perjanjian

arbitrase para pihak dapat menentukan bahwa arbiter dalam memutus

perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa

keadilan dan kepatutan.

Dalam hal para pihak memberikan kebebasan kepada arbiter untuk

mengambil putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan

perundang-undangan dapat dikesampingkan, akan tetapi ketentuan-

ketentuan yang bersifat memaksa harus diterapkan dan tidak dapat

disimpangi oleh arbiter.

Berdasarkan uraian di atas, jelas kiranya bahwa sekalipun para

pihak dalam perjanjian arbitrase sepakat memberikan kewenangan

kepada arbiter untuk mengambil putusan berdasarkan keadilan dan

kepatutan, dan oleh karenanya peraturan perundang-undangan dapat

dikesampingkan, akan tetapi kesepakatan para pihak dalam perjanjian

arbitrase tersebut tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi

Page 28: Undergraduate Thesis

99

ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa, sehingga para pihak harus

tunduk dan menaati ketentuan-ketentuan tersebut.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, lembaga kepailitan

merupakan perwujudan dari pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 dan Pasal

1132 KUH Perdata. Pada prinsipnya Pasal 1131 KUH Perdata

menyatakan bahwa segala harta kekayaan debitor menjadi jaminan untuk

segala perikatan debitor.

Kemudian Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan bahwa harta

kekayaan debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua

kreditornya; hasil penjualan harta kekayaan tersebut dibagi-bagi menurut

keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan

masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor itu terdapat

alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor lainnya.

Manakala seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor,

lebih-lebih jumlah kreditor itu banyak sekali, dan di antara kreditor-kreditor

itu terdapat pula satu atau lebih kreditor yang merupakan kreditor

preferen, maka perlu diatur oleh hukum cara membagi hasil penjualan

aset debitor di antara para kreditor itu. Cara pembagian itulah yang antara

lain diatur dalam Hukum Kepailitan (UUK-PKPU).

Melalui UUK-PKPU, cara pembagian tersebut diatur sedemikian

rupa agar dapat memberikan perlindungan yang seimbang terhadap

kepentingan debitor maupun kreditor. Selain itu, UUK-PKPU juga harus

memberikan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan orang

banyak atau masyarakat, sebab dalam peristiwa kepailitan banyak

Page 29: Undergraduate Thesis

100

kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga

kepentingan para stakeholders yang lain dari debitor yang dinyatakan

pailit, terlebih lagi apabila debitor tersebut adalah perusahaan.

Dengan demikian, selain mengandung ketentuan-ketentuan yang

menyangkut kepentingan seseorang, UUK-PKPU juga sarat akan

ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan masyarakat atau

kepentingan umum. Pengaturan tersebut diperlukan demi ketertiban

umum dan kepastian.164

Kondisi tersebut menunjukan bahwa pada dasarnya UUK-PKPU

berada di wilayah perbatasan antara hukum privat dan hukum publik,

bahkan dapat dikatakan bahwa UUK-PKPU dalam beberapa aspeknya

sangat bersifat publik, sebab di dalamnya terkandung ketentuan-

ketentuan yang menyangkut kepentingan umum atau ketertiban umum,

sehingga merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa.

Hal di atas sejalan dengan prinsip bahwa dalam ranah Hukum

Perdata, ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menjadi dasar hukum

kepailitan merupakan ketentuan yang bersifat memaksa.165 Artinya,

ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan ketentuan yang tidak

boleh dikesampingkan atau disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para

164

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 6. 165

Dalam Sistem Hukum Perdata Indonesia, Pasal 1131 KUH Perdata merupakan ketentuan yang terdapat dalam sistem hukum benda yang termuat dalam Buku II KUH Perdata. Hukum benda adalah hukum yang mengatur mengatur hubungan hukum antara seseorang dengan benda. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak atas benda atau hak kebendaan.Jumlah hak-hak kebendaan adalah terbatas yakni terbatas pada yang disebutkan dalam Buku II KUH Perdata. Oleh karena itu, pasal-pasal yang termuat dalam Buku II KUH Perdata merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa. Lihat Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 115.

Page 30: Undergraduate Thesis

101

pihak. Para pihak yang berkepentingan harus tunduk dan menaati

ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut.

Dengan demikian, para pihak yang mengadakan perjanjian

arbitrase tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi ketentuan-

ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Oleh karena itu,

para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase harus tunduk dan

menaati ketentuan-ketentuan yang dimaksud.

Ketentuan tersebut tercermin dalam yurisprudensi Mahkamah

Agung RI No. 013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 yang menyatakan

bahwa kewenangan absolut arbitrase dalam kedudukannya sebagai extra

judicial yang lahir dari perjanjian arbitrase tidak dapat mengesampingkan

kewenangan Pengadilan Niaga (extra ordinary) yang secara khusus diberi

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian pailit oleh

Perpu No. 1 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang

dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 sebagai undang-undang

khusus (special law).166

Berdasarkan yurisprudensi di atas, jelas kiranya bahwa perjanjian

arbitrase tidak dapat mengesampingkan atau menyimpangi ketentuan-

ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat memaksa. Sebaliknya, adanya

kondisi bahwa dalam beberapa aspeknya UUK-PKPU sangat bersifat

publik, menyebabkan proses kepailitan akan berakibat pada pembatasan

hak-hak maupun kewenangan dari debitor, kreditor, dan bahkan

kewenangan dari pihak ketiga, termasuk pembatasan pada arbitrase.

166

Dengan telah digantikanya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dengan UUK-PKPU, pendirian Mahkamah Agung RI dalam perkara tersebut dapat dikatakan berlaku pula bagi UUK-PKPU. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 143.

Page 31: Undergraduate Thesis

102

Pada prinsipnya kepailitan berhubungan erat dengan harta

kekayaan seseorang. Kepailitan mengakibatkan harta kekayaan debitor

pailit yang masuk dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Artinya,

penyitaan tersebut berlaku untuk siapapun, bukan hanya berlaku bagi

pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan oleh hakim

perdata berkenaan dengan permohonan penggugat dalam sengketa

perdata.

Adanya sita umum terhadap harta pailit mengakibatkan debitor

pailit demi hukum kehilangan hak dan kewenangannya untuk mengurus

dan menguasai kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak

tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan tersebut

beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan Pasal 16 ayat (1) jo.

Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU.

Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena

selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh debitor

tetapi oleh kuratornya, maka pada prinsipnya berdasarkan ketentuan

Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau

kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap

kurator. Artinya, semua pengajuan tuntutan tidak diajukan oleh atau

terhadap debitor pailit, akan tetapi oleh atau terhadap kurator.

Meskipun demikian, ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU

menyatakan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1)

UUK-PKPU dapat pula diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap

debitor pailit, akan tetapi apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu

Page 32: Undergraduate Thesis

103

penghukuman terhadap debitor pailit, penghukuman tersebut tidak

mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) di atas, UUK-

PKPU tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian kata

“tuntutan” yang ada dalam rumusan pasal tersebut. UUK-PKPU tidak

memberikan penjelasan pengertian tuntutan yang dimaksud hanya

tuntutan yang diajukan melalui pengadilan atau juga mencakup tuntutan

yang diajukan melalui arbitrase.

Namun demikian, keberadaan arbitrase sebagai mekanisme

penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diakui dan diatur dalam

UU Arbitrase & APS, menjadi dasar hukum bahwa kata “tuntutan” dalam

Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU dapat diartikan juga sebagai tuntutan yang

diajukan melalui arbitrase. Lagipula, undang-undang kepailitan di

beberapa negara, yang memiliki rumusan yang sama dengan pasal

tersebut, menginterpretasikan kata “tuntutan” mencakup juga tuntutan

yang diajukan melalui arbitrase.167

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa

apabila dalam proses kepailitan terjadi tuntutan yang didasarkan pada

perjanjian yang memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan

tersebut mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit,

berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU, tuntutan tersebut dapat

diajukan oleh atau terhadap kurator melalui forum arbitrase berlandaskan

pada perjanjian arbitrase tersebut. Kemudian berdasarkan ketentuan

167

Husseyn Umar, Op.Cit, hlm. 69.

Page 33: Undergraduate Thesis

104

Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU, tuntutan tersebut juga dapat diajukan oleh

atau terhadap debitor pailit.

Proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase akan

berujung pada suatu putusan arbitrase. Berdasarkan ketentuan Pasal 60

UU Arbitrase & APS, suatu putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum

tetap dan mengikat para pihak (final and binding), sehingga pada

prinsipnya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Putusan arbitrase memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak

yang bersengketa pada tingkat akhir dan merupakan putusan yang

berkekuatan hukum tetap. Sebagai konsekuensi dari putusan arbitrase

yang final and binding, maka para pihak wajib langsung melaksanakan

putusan tersebut.

Ditinjau dari sifatnya, arbitrase memiliki kewenangan penuh untuk

menjatuhkan putusan yang mengandung amar putusan condemnatoir,

yakni putusan yang isinya bersifat menghukum pihak yang dikalahkan

untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman

untuk membayar sejumlah uang.

Namun demikian, pelaksanaan putusan arbitrase tersebut dibatasi

oleh ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU. Pasal tersebut menyatakan

bahwa apabila dalam proses kepailitan terjadi tuntutan yang didasarkan

pada perjanjian yang memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan

tersebut mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit,

tuntutan tersebut dapat diajukan oleh atau terhadap debitor pailit melalui

forum arbitrase berlandaskan pada perjanjian arbitrase tersebut.

Page 34: Undergraduate Thesis

105

Kemudian Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan lebih lanjut

bahwa apabila putusan arbitrase sebagai hasil proses tuntutan tersebut

mengakibatkan penghukuman terhadap debitor pailit, maka putusan

arbitrase tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.

Selanjutnya ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa

selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh

pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor

pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UUK-

PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan kepada debitor pailit bukan

kepada kurator) tidak dapat diterima oleh hakim sebagai gugatan dan

diperiksa perkaranya, tetapi hanya dapat diterima sebagai laporan untuk

pencocokkan tagihannya dalam rangka verifikasi utang piutang dari

debitor pailit yang bersangkutan.168

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, apabila terjadi

tuntutan terhadap debitor pailit yang didasarkan pada perjanjian yang

memuat klausula arbitrase, dan dalam hal tuntutan itu menyangkut

pemenuhan perikatan dari harta pailit, ketika putusan pailit diucapkan

maka tuntutan tersebut diperhitungkan dalam proses verifikasi atau

pencocokan piutang.

Bilamana terjadi bantahan atau perselisihan terhadap tuntutan

tersebut, maka ditinjau dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase

& APS, arbitrase merupakan forum yang berwenang untuk menyelesaikan

168

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 193.

Page 35: Undergraduate Thesis

106

perselisihan tersebut. Dengan kata lain, klausula arbitrase yang termuat

dalam perjanjian yang dijadikan dasar tuntutan di atas dapat dijadikan

landasan kewenangan arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan

tersebut.

Namun demikian, terhadap kondisi tersebut berlakulah asas lex

specialis derogat legi generalis,169 yakni undang-undang yang bersifat

khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum. Dalam

hal ini ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase & APS di atas

dikesampingkan oleh ketentuan yang ada di dalam UUK-PKPU. Dalam hal

terjadi bantahan atau keberatan dalam proses verifikasi atau pencocokan

piutang, maka berdasarkan ketentuan UUK-PKPU akan ditempuh suatu

prosedur yang dikenal dengan istilah renvooiprocedure.

Prowoto Wigjnosumarto menyatakan bahwa renvooiprocedure

merupakan tata cara penyelesaian bantahan tagihan, baik yang diajukan

oleh kurator, debitor pailit, maupun kreditor.170 Adapun tujuan dari

renvooiprocedure adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang

169

Lex specialis derogat legi generali adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang khusus. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas tersebut, yaitu: 1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali

yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; 2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex

generalis (undang-undang dengan undang-undang); dan 3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)

yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum

keperataan. Lihat Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta,

2009, hlm. 56. 170

Pupung Faisal, Op.Cit, hlm. 503.

Page 36: Undergraduate Thesis

107

timbul dalam rapat verifikasi yang pemeriksaannya dilakukan secara

sederhana.171

Mekanisme renvooiprocedure akan digunakan apabila dalam suatu

perkara kepailitan, terdapat perselisihan khususnya dalam tahap

pencocokan piutang berupa bantahan tagihan antara kutator, debitor pailit,

dan kreditor yang tidak dapat diselesaikan oleh Hakim Pengawas.

Ketentuan Pasal 127 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa

penyelesaian perselisihan atau bantahan tagihan yang terjadi dalam

proses pencocokan piutang yang dilakukan melalui mekanisme

renvooiprocedure menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga melalui

hakim pemeriksa untuk menyelesaikannya.

Dengan demikian, jelas kiranya bahwa dalam hal terjadi

perselisihan atau bantahan terhadap tuntutan untuk memperoleh

pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor

pailit dalam proses verifikasi, maka perselisihan tersebut diselesaikan

melalui mekanisme renvooiprocedure. Mekanisme tersebut merupakan

kewenang dari Pengadilan Niaga melalui hakim pemeriksa untuk

menyelesaikannya dan bukanlah kewenangan majelis arbiter, meskipun

perselisihan tersebut timbul dari tuntutan yang didasarkan pada perjanjian

yang memuat klausula arbitrase.

Berdasarkan keseluruhan uraian penjelasan di atas, dapat

diketahui bahwa menurut hukum positif Indonesia putusan pernyataan

pailit debitor tidak mengakibatkan batalnya perjanjian arbitrase antara

171

Rudy A Lontoh et.al, Op.Cit, hlm. 392.

Page 37: Undergraduate Thesis

108

debitor dan kreditor dan oleh karenanya perjanjian arbitrase tersebut tetap

sah dan mengikat. Namun demikian, pelaksanaan perjanjian arbitrase

tersebut dalam proses kepailitan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam

UUK-PKPU yang bersifat memaksa.

Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat dikesampingkan atau

disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak dalam perjanjian

arbitrase. Sebagai konsekuensinya para pihak tersebut harus tunduk dan

taat terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUK-PKPU yang bersifat

memaksa tersebut.

B. Kewenangan Debitor Yang Telah Dinyatakan Pailit Dalam

Meneruskan Perkaranya Selaku Pemohon di Lembaga Arbitrase

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa

peristiwa kepailitan debitor yang terikat dalam perjanjian arbitrase

merupakan kemungkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan

keberadaan Pasal 303 UUK-PKPU yang pada intinya menyatakan bahwa

Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan

permohonan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat

klausula arbitrase.

Di samping itu, ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU sekaligus

membuka kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mengajukan

permohonan pernyataan pailit pihak lainnya ke Pengadilan Niaga

meskipun kedua belah pihak tersebut sedang dalam proses penyelesaian

sengketa di forum arbitrase.

Page 38: Undergraduate Thesis

109

Dengan kata lain, pada saat proses penyelesaian sengketa di

forum arbitrase sedang berjalan, ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU

merupakan landasan bagi salah satu pihak yang sedang berperkara di

forum arbitrase tersebut untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit

pihak lawannya ke Pengadilan Niaga, sepanjang utang yang menjadi

dasar permohonan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU. Lagipula arbitrase bukan

merupakan badan atau forum yang berwenang untuk memeriksa dan

menyelesaikan permohonan pernyataan pailit 172

Masalah timbul manakala permohonan tersebut dikabulkan oleh

Pengadilan Niaga. Mengingat forum arbitrase terbentuk atas dasar

kesepakatan para pihak, maka sebelum menjadi pemohon maupun

termohon, pihak-pihak yang hendak berperkara di hadapan forum

arbitrase tentu saja harus tergolong cakap untuk melakukan perbuatan

hukum di bidang hukum harta kekayaan, sebab arbitrase pada prinsipnya

merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum

mengenai hak yang tercakup dalam hukum harta kekayaan.

Di sisi lain, kepailitan justru mengakibatkan pihak yang dinyatakan

pailit (dalam hal ini debitor) demi hukum kehilangan hak dan

kewenangannya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang

termasuk dalam harta pailit. Dengan demikian, permasalahan yang timbul

berkaitan dengan peristiwa kepailitan salah satu pihak yang sedang dalam

proses penyelesaian sengketa di forum arbitrase ialah berkaitan dengan

172

Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 53.

Page 39: Undergraduate Thesis

110

kedudukan atau kewenangan pihak yang dinyatakan pailit tersebut untuk

meneruskan perkaranya di forum arbitrase.

Dalam praktiknya, persitiwa tersebut terjadi dalam perkara

kepailitan PT SMR. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, perkara kepailitan tersebut berawal dari adanya hubungan

hukum yang diadakan oleh PT SMR dengan PT PI melalui Perjanjian

2007.

Perjanjian 2007 tersebut berisi kesepakatan kerjasama antara PT

SMR dan PT PI. Selain mengatur materi pokok perjanjian, PT SMR dan

PT PI juga sepakat untuk memillih BANI sebagai forum yang berwenang

menyelesaikannya apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau

sengketa di antara para pihak dengan mencantumkan klausula arbitrase

dalam perjanjian tersebut.

Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam

hubungan kerjasama para pihak. Masing-masing mengklaim sebagai

pihak yang benar, dan menuduh pihak lain mempunyai utang.

Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan cidera

janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan kerugian bagi PT

SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta dilandaskan pada klausula

arbitrase sebagaimana tertera dalam Perjanjian 2007, PT SMR

mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan cidera janji

disertai ganti kerugian sebesar Rp. 1,3 Triliun kepada PT PI ke BANI pada

tanggal 31 Agustus 2012.173

173

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 7.

Page 40: Undergraduate Thesis

111

Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang justru

melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena tidak

melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan pemakaian

utilitas serta bahan baku produksi melamin yang dipasok oleh PT PI.174

Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP mengajukan

permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam permohonannya PT PI dan

PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR memiliki utang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih. Selain itu, PT PI dan PT PSP mendalilkan

bahwa PT SMR juga memiliki utang kepada kreditor lain yakni PT Bank

Mandiri, sehingga berdasarkan alasan tersebut PT PI dan PT PSP

mendalilkan bahwa permohonan pernyataan pailit PT SMR telah

memenuhi syarat permohonan pailit sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat

(1) UUK-PKPU.

Pada tingkat pertama permohonan tersebut ditolak oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, akan tetapi melalui upaya hukum kasasi yang

diajukan oleh PT PI dan PT PSP pada tanggal 28 Desember 2012,

permohonan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 17

April 2013 melalui Putusan Kasasi No. 45 K/Pdt.Sus/2013.

Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT SMR

yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP dan menyatakan PT SMR pailit

dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung juga memerintahkan

174

Muhammad Yasin, Loc.Cit.

Page 41: Undergraduate Thesis

112

Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk menunjuk seorang Hakim

Pengawas yang ada di Pengadilan Niaga tersebut dan mengangkat

Rynaldo P. Batubara sebagai kurator dalam perkara a quo.

Pada saat PT SMR dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung,

perkara di BANI antara PT SMR yang berkedudukan sebagai Pemohon

dan PT PI yang berkedudukan sebagai Termohon masih berjalan dan

sedang dalam tahap pemeriksaan sengketa oleh majelis arbiter.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU kepailitan

mengakibatkan debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk

mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit

sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Namun demikian, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya

menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan hak

keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di

bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya

untuk mengurus dan menguasai kekayaannya.

Sementara itu, untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan

lainnya, misalnya untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi

kuasa pihak lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama

pemberi kuasa, debitor masih berwenang (masih memiliki kemampuan

hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum (keperdataan)

tersebut.

Sebagaimana telah di uraikan di atas, debitor pailit tetap cakap

bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana

Page 42: Undergraduate Thesis

113

dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU tuntutan hukum dapat

diajukan atau diteruskan oleh ataupun terhadap debitor pailit. 175

Dalam rumusan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU di atas terdapat kata

“diteruskan” yang berarti memungkinkan adanya perkara yang sedang

berjalan sebelum debitor dinyatakan pailit. Sehubungan dengan hal itu,

putusan pernyataan pailit debitor juga memiliki akibat hukum terhadap

tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit dan yang sedang berjalan

selama kepailitan berlangsung.

Berkenaan dengan tuntutan hukum tersebut, ketentuan Pasal 28

ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa:

“Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim”. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, yang

dimaksud dengan “mengambil alih perkara” adalah pengalihan kedudukan

kreditor sebagai “tergugat” dialihkan kepada kurator. Menanggapi hal

tersebut, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa penjelasan tersebut

tidak benar. Seharusnya yang dimaksud dengan “mengambil alih perkara”

ialah kedudukan debitor pailit sebagai penggugat agar diambil alih oleh

kurator.176

Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan untuk mengambil

alih perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU,

ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan bahwa:

175

Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 55. 176

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.

Page 43: Undergraduate Thesis

114

“Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan tersebut maka tergugat berhak memohon supaya perkara digugurkan, dan jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat, di luar tanggungan harta pailit.” Menurut Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU, ketentuan sebagaimana

dimaksud Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU tersebut berlaku juga dalam hal

kurator menolak mengambil alih perkara.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU dinyatakan

bahwa tanpa mendapat panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

28 ayat (1) UUK-PKPU, kurator berwenang mengambil alih perkara dan

mohon agar debitor dikeluarkan dari perkara yang bersangkutan.

Meskipun UUK-PKPU secara tegas memberikan pengaturan

mengenai akibat kepailitan terhadap tuntutan hukum yang sedang

berjalan selama kepailitan berlangsung, namun UUK-PKPU tidak

memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai rumusan pengertian

“tuntutan hukum” yang terdapat dalam Pasal 28 UUK-PKPU.

Dalam ranah Hukum Acara Perdata, tuntutan hukum atau yang

disebut dengan tuntutan hak diartikan sebagai tindakan yang bertujuan

memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk

mencegah tindakan “main hakim sendiri”. Orang yang mengajukan

tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan

hukum.177

Tuntutan hukum terdiri dari 2 macam, yaitu tuntutan hukum yang

mengandung sengketa, yang disebut gugatan, dimana terdapat sekurang-

kurangnya dua pihak, dan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa

177

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.

Page 44: Undergraduate Thesis

115

yang disebut permohonan, dimana hanya terdapat satu pihak saja.178

Pada dasarnya badan yang berwenang memeriksa dan mengadili

sengketa adalah pengadilan. Keberadaan pengadilan merupakan aplikasi

dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang

dan otoritas untuk mengadili suatu perkara.

Namun demikian, sebagai norma yang mengatur pokok-pokok

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KK)

memberikan pengakuan terhadap kemungkinan penyelesaian sengketa

perdata di luar pengadilan negara. Pasal 58 UU KK menyatakan bahwa:

“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar

pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian

sengketa.”

Sehubungan dengan ketentuan di atas, maka terdapat

kemungkinan bahwa tuntutan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28

UUK-PKPU merupakan tuntutan hukum yang diajukan melalui pengadilan

maupun tuntutan hukum yang diajukan melalui forum arbitrase sebagai

salah satu upaya penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan.

Namun demikian, UUK-PKPU tidak memberikan penjelasan lebih lanjut

mengenai kemungkinan penerapan Pasal 28 terhadap tuntutan hukum

yang sedang berjalan di forum arbitrase.

Berkenaan dengan hal itu, Fred B.G Tumbuan selaku tim perumus

UUK-PKPU menyatakan bahwa apabila tuntutan hukum sebagaimana

178

Ibid.

Page 45: Undergraduate Thesis

116

dimaksud Pasal 28 UUK-PKPU sedang berlangsung dalam forum

arbitrase, maka ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU secara mutatis

mutandis179 juga berlaku terhadap arbitrase.180

Menurut pendapat beliau, penerapan ketentuan Pasal 28 UUK-

PKPU terhadap tuntutan hukum yang sedang berlangsung di arbitrase

merupakan konsekuensi yuridis keberadaan Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase

& APS.181

Pasal 3 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa pengadilan negeri

tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat

perjanjian arbitrase. Sejalan dengan ketentuan tersebut, Pasal 11 UU

Arbitrase & APS menyebutkan:

“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase & APS di atas,

apabila tuntutan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-

PKPU didasarkan pada suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase,

maka Pengadilan Negeri demi hukum tidak memiliki wewenang untuk

179

Mutatis Mutandis (Lat): with necessary changes in points of detail. l.e., matters will remain generally the sae, with only substitutions of names and the like, such as wolud not distort anyof the substantive meaning. Lihat Peter. J. Dorman, Running Press Dictionary of Law, Running Press, Philadelphia, 1976, hlm. 115. Mutatis Mutandis : dengan perubahan-perubahan yang diperlukan. Lihat I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum : Inggris – Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 406.

180 Fred BG Tumbuan, Loc.Cit.

181 Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-PKPU, di

Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.

Page 46: Undergraduate Thesis

117

menyelesaikan tuntutan hukum tersebut dan kewenangan demikian

beralih pada forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak.

Disamping itu, terminologi pihak-pihak yang disebutkan dalam

rumusan Pasal 28 UUK-PKPU pada prinsipnya sama dengan terminologi

pihak-pihak yang ada dalam forum arbitrase. Dalam rumusan Pasal 28

UUK-PKPU disebutkan terminologi pihak-pihak “penggugat”, “tergugat”,

dan “hakim”.

Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses arbitrase

tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara perdata bersifat

sengketa pada umumnya di pengadilan negeri, yaitu sekurang-kurangnya

terdapat dua pihak.182 Para pihak dalam sengketa perdata pada

Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat, sedangkan dalam

proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-

pihak dalam perkara sedikit berbeda.

Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan

standar, baik dalam literatur maupun dalam berbagai rules.183

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules, pihak-pihak

yang berperkara dalam proses arbitrase disebut “claimant” dan

“respondent”.

Claimant dalam arti bahasa adalah “a person making a claim” yakni

seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut sebagai penggugat

atau “plaintiff”. Dalam pengertian hukum, makna claimant sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 3 UNCITRAL Arbitration Rules adalah pihak yang

182

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81. 183

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 132.

Page 47: Undergraduate Thesis

118

mengambil inisiatif mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum

arbitrase.184 “Respondent” ditinjau dari segi bahasa adalah “a person who

respon”, yang berarti orang yang dituntut atau orang yang dijadikan

tertuntut dan lazim disebut sebagai tergugat. Dari segi pengertian hukum,

respondent adalah pihak yang ditarik atau dijadikan sebagai tergugat oleh

pihak yang menggugat dalam suatu proses pemeriksaan badan yang

berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan memutus suatu

persengketaan.185

Berbeda dengan UNCITRAL Abitration Rules, UU Arbitrase & APS

memberikan istilah pemohon dan termohon sebagai penyebutan pihak-

pihak yang berperkara dalam forum arbitrase. Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS, pihak yang mengajukan

permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase disebut sebagai

pemohon, sedangkan menurut Pasal 1 angka 6 UU Arbitrase & APS,

pihak lawan dari pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase

disebut sebagai termohon.

Sesungguhnya penggunaan istilah-istilah pemohon dan termohon

dalam forum arbitrase tidak sejalan dengan sifat penyelesaian perkara

dalam forum arbitrase itu sendiri yang yang tergolong “jurisdictio

contentiosa”. Oleh karena istilah pemohon dan termohon itu lebih tepat

digunakan untuk kasus-kasus yang sifatnya tidak mengandung sengketa

atau termasuk dalam “jurisdictio voluntaria”.186

184

Idem, hlm. 133. 185

Ibid. 186

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 82.

Page 48: Undergraduate Thesis

119

Arbitrase merupakan badan volunter, karena sebagai lembaga

swasta jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari

para pihak. Namun demikian, sekalipun kelahiran atau eksistensi arbitrase

bersifat volunter, sekali forum arbitrase itu lahir, forum tersebut formal dan

legal sebagai badan kuasa yang berwenang mutlak untuk menyelesaikan

dan memutus sengketa.

Oleh karena itu, tidak tepat juga untuk mengidentikkan sifat

keberadaan volunternya dengan sifat persengketaan. Sifat permasalahan

persengketaan tetap saja berbobot contentiosa, tidak berubah menjadi

gugat yang berbobot volunter.

Demikian halnya ditinjau dari segi doktrin dan tata tertib beracara,

menggunakan istilah pemohon dan termohon untuk menyebut para pihak

dalam perkara yang diajukan kepada forum arbitrase tidak sesuai.187

Seolah-olah perkara yang diajukan kepada forum arbitrase bersifat

volunter dan putusan yang dapat dijatuhkan hanya bersifat declaratoir,

padahal arbitrase mempunyai wewenang penuh untuk menjatuhkan

putusan yang mengandung amar condemnatoir. Oleh karena itu, istilah

penggugat dan tergugat lebih tepat digunakan dalam forum arbitrase.

Berkenaan dengan dengan terminologi “hakim” yang terdapat

dalam rumusan Pasal 28 UUK-PKPU, Fred B.G Tumbuan menyatakan

bahwa istilah tersebut secara analogis berlaku bagi arbiter. Tidak dapat

dipungkiri bahwa arbiter bukanlah hakim, sebab hakim itu diangkat dan

memiliki kewenangan yang luar biasa. Namun demikian, keberadaan

187

Ibid, hlm.83.

Page 49: Undergraduate Thesis

120

Pasal 11 UU Arbitrase & APS secara nyata menunjukan bahwa arbiter

memiliki peran layaknya seorang hakim di pengadilan. Misalnya dalam hal

putusan arbitrase.188

Berdasarkan ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase & APS, bahwa apa

yang arbiter putuskan kepada para pihak dapat dilaksanakan jika

mendapatkan penetapan pelaksanaan dari Ketua Pengadilan Negeri.189

Bertitik tolak pada uraian yang telah dijabarkan di atas, maka jelas

kiranya bahwa ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU harus diterapkan secara

argumentum per analogiam (analogi)190 terhadap tuntutan hukum yang

sedang berlangsung di arbitrase.

Lebih lanjut, penerapan Pasal 28 UUK-PKPU terhadap tuntutan

hukum yang sedang berjalan di forum arbitrase adalah logis apabila

dikaitkan dengan akibat kepailitan terhadap penetapan pelaksanaan

pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 31 UUK-PKPU. Artinya, apabila

proses permohonan pernyataan pailit sedang berjalan, lembaga arbitrase

seyogyanya tidak melaksanakan fungsinya memeriksa dan memutuskan

sengketa yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan, sebab

apabila arbitrase tetap memeriksa dan akhirnya memutuskan sengketa

188

Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-PKPU, di Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.

189 Ibid.

190 Argumentum per analogiam (analogi) merupakan salah satu bentuk metode

penemuan hukum dimana suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali alas yang terdapat didalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Lihat Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 87.

Page 50: Undergraduate Thesis

121

para pihak, akan timbul suatu permasalahan tentang pelaksanaan atau

eksekusi putusan arbitrase.191

Pasal 61 UU Arbitrase & APS menentukan bahwa dalam hal para

pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan

dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas

permohonan salah satu pihak bersengketa.

Manakala Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pernyataan

pailit maka ketentuan Pasal 61 UU Arbitrase & APS tidak bisa

dilaksanakan oleh pihak yang bersengketa maupun Ketua Pengadilan

Negeri, sebab hal tersebut dibatasi oleh ketentuan Pasal Pasal 31 ayat (1)

UUK-PKPU yang menyatakan bahwa segala penetapan yang berkenaan

dengan pelaksanaan putusan pengadilan terhadap setiap bagian dari

kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan

seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan

termasuk atau juga dengan menyandera debitor.

Dengan demikian, proses pemeriksaan arbitrase yang diakhiri

dengan putusan arbitrase, tidaklah akan mempunyai akibat hukum yang

positif bagi pihak yang bersengketa jika seandainya ternyata Pengadilan

Niaga mengabulkan permohonan pernyataan pailit.

Dalam perkara kepailitan PT SMR, setelah PT SMR dinyatakan

pailit oleh Mahkamah Agung, PT PI segera mengajukan surat

permohonan penangguhan perkara yang sedang berjalan di BANI

191

Parwoto Wignjosumarto, Op.Cit, hlm. 62.

Page 51: Undergraduate Thesis

122

(selanjutnya disebut perkara BANI) antara PT PI sebagai Termohon dan

PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon kepada Majelis Arbiter.192

Pada tanggal 5 Juni 2013 diadakan sidang ke-4 perkara BANI,

dimana dalam sidang tersebut Majelis Arbiter mengabulkan permohonan

penangguhan perkara yang diajukan oleh PT PI, untuk memberikan

kesempatan kepada PT PI memanggil Rynaldo P. Batubara untuk

mengambil alih kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon.193

Kemudian pada tanggal 8 Juli 2013, tanpa mendapatkan panggilan

terlebih dahulu, Rynaldo P. Batubara mengirimkan surat kepada Majelis

Arbiter.194 Selain berisi pemberitahuan adanya status pailit PT SMR, surat

tersebut juga berisi permohonan kurator untuk mengambil alih kedudukan

PT SMR (dalam pailit) sebagai pemohon dan mengeluarkan PT SMR

(dalam pailit) dari perkara BANI.195

Adapun dasar hukum yang melandasi permohonan Rynaldo P.

Batubara sebagaimana tertera dalam surat tersebut antara lain Pasal 16

ayat (1) & ayat (2), Pasal 24 ayat (1) & ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal

28 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 69 ayat (1) & ayat (2) UUK-

PKPU.196

Menanggapi surat yang diajukan oleh Rynaldo P. Batubara, Majelis

Arbiter mengirimkan surat undangan kepada Rynaldo P. Batubara untuk

192

Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR (dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.

193 Ibid.

194 Ibid.

195 Ibid.

196 Ibid.

Page 52: Undergraduate Thesis

123

mengahidiri sidang ke-5 perkara BANI yang diadakan pada tanggal 1

Agustus 2013.197

Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2013, Rynaldo P. Batubara

datang ke BANI untuk menghadiri sidang ke-5 perkara BANI. Dalam

pertemuan tersebut, Majelis Arbiter mempersilahkan Rynaldo P. Batubara

untuk menjelaskan maksud dan tujuan surat yang dikirimkan oleh dirinya.

Permohonan tersebut mendapatkan tanggapan dari debitor pailit

yakni PT SMR (dalam pailit). Melalui kuasa hukumnya, PT SMR memohon

kepada Majelis Arbiter agar perkara BANI tidak dihentikan sebab PT SMR

sedang mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali ke

Mahkamah Agung. PT SMR berpendapat bahwa masih terdapat

kemungkinan dibatalkannya status pailit PT SMR.Sidang ke-5 tersebut

berakhir tanpa adanya keputusan mengenai permohonan pengambilalihan

perkara yang sebelumnya diajukan oleh Rynaldo P. Batubara.

Permohonan Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih

kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon dalam perkara BANI

pada akhirnya dikabulkan oleh Majelis Arbiter pada sidang ke-7 tanggal 2

November 2013. Dengan demikian, sejak saat itu kedudukan PT SMR

(dalam pailit) sebagai Pemohon digantikan oleh Rynaldo P. Batubara dan

PT SMR (dalam pailit) dikeluarkan dari perkara BANI.198

Selanjutnya Rynaldo P. Batubara memohon kepada Majelis Arbiter

agar perkara BANI dihentikan dengan tujuan untuk memaksimalkan harta

197

Ibid. 198

Ibid.

Page 53: Undergraduate Thesis

124

pailit, sebab biaya perkara BANI yang telah dan akan dikeluarkan

merupakan tanggungan harta pailit.199

Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa dalam praktiknya

ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU diterapkan terhadap tuntutan hukum yang

sedang berjalan di forum arbitrase. Artinya, apabila dalam proses

kepailitan terdapat tuntutan hukum yang sedang berjalan di forum

arbitrase dan diajukan oleh debitor pailit atau dengan kata lain debitor

pailit berkedudukan sebagai pemohon maka berlakulah ketentuan Pasal

28 UUK-PKPU terhadap tuntutan hukum yang sedang berjalan tersebut.

Dengan demikian, pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal

28 ayat (1) UUK-PKPU dengan adanya putusan pernyataan pailit maka

segala macam tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor sebelum dirinya

dinyatakan pailit, baik yang diajukan melalui pengadilan ataupun arbitrase,

haruslah ditangguhkan atas permohonan pihak lawan (dalam hal ini

tergugat atau termohon) dari debitor pailit dalam perkara tersebut.

Penangguhan tersebut dimaksudkan untuk memberikan

kesempatan kepada terugugat atau termohon memanggil kurator untuk

mengambilalih kedudukan debitor sebagai penggugat atau pemohon

dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim atau majelis arbiter.

Namun demikian, menurut Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU ketentuan

di atas tidak mengurangi kewenangan kurator untuk setiap waktu tanpa

mendapatkan panggilan terlebih dahulu, mengambil alih kedudukan

debitor pailit dan mengeluarkan debitor pailit dari perkara tersebut, bahkan

199

Ibid.

Page 54: Undergraduate Thesis

125

berdasarkan ketentuan Pasal 30 UUK-PKPU kurator berhak untuk

meminta pembatalan atas perbuatan debitor pailit sebelumnya, sepanjang

perbuatan tersebut merugikan harta pailit dan pihak lawan mengetahui hal

tersebut.

Meskipun demikian, dengan pertimbangan yang didasarkan pada

kepentingan harta pailit, maka berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU

kurator berwenang untuk menolak mengambil alih kedudukan debitor pailit

dalam perkara sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU.

Dalam hal kurator menolak mengambil alih perkara tersebut, maka

ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU menyatakan bahwa pihak

tergugat atau termohon berhak memohon supaya perkara tersebut

digugurkan. Seandainya pihak tersebut tidak memohonkan agar perkara

digugurkan, maka perkara tersebut dapat diteruskan antara debitor pailit

dan pihak tergugat atau termohon, namun di luar tanggungan harta pailit.

Ketentuan Pasal 28 ayat (1), (3), dan (4) UUK-PKPU di atas sejalan

dengan prinsip utama dalam kepailitan yakni kepailitan berakibat sita

umum terhadap seluruh harta kekayaan debitor yang termasuk dalam

harta pailit. Adanya sita umum tersebut mengakibatkan debitor pailit

kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak

putusan pernyataan pailit diucapkan.

Hak dan kewenangan debitor pailit tersebut kemudian beralih demi

hukum kepada kurator. Dengan demikian, sejak tanggal putusan

pernyataan pailit diucapkan, kurator merupakan satu-satunya pihak yang

Page 55: Undergraduate Thesis

126

berwenang untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta

pailit debitor.

Kurator tidak bertindak untuk dirinya sendiri. Kurator tidak pula

dapat dianggap sebagai agen atau pihak yang meneruskan atau mewakili

debitor pailit. Fungsi dan tugasnya adalah sepanjang yang ditentukan dan

diatur oleh undang-undang. Sekalipun tindakan kurator tampak

meneruskan usaha atau perbuatan hukum debitor, bukan berarti ia adalah

kepanjangan tangan atau menggantikan debitor pailit. Kurator

memperoleh “strong arm power” karena kehendak undang-undang dan

dilimpahkan oleh pengadilan.

Dengan demikian, segala tindakan kurator akan terbatas pada yang

dibolehkan oleh undang-undang dan/atau diwajibkan memperoleh

persetujuan hakim pengawas, oleh karenanya bukan lagi meneruskan

perjanjian atau kontrak yang dilakukan oleh debitor pailit.

Sementara itu, ketentuan Pasal 28 ayat (2) di atas dimaksudkan

untuk memberi penegasan bahwa pada dasarnya kepailitan bukan

terhadap diri debitor pailit, melainkan terhadap harta pailit debitor.

Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit yang masuk dalam harta

pailit berada di bawah sita umum. Artinya, penyitaan tersebut berlaku

untuk siapapun, bukan hanya berlaku bagi pihak tertentu seperti halnya

sita jaminan yang diputuskan oleh hakim perdata berkenaan dengan

permohonan penggugat dalam sengketa perdata.

Sita umum terhadap harta pailit mengakibatkan debitor pailit

kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta pailit sejak

Page 56: Undergraduate Thesis

127

putusan pernyataan pailit diucapkan. Namun demikian, bukan berarti

berarti debitor kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan

semua perbuatan hukum di bidang keperdataan.

Debitor pailit tidaklah berada di bawah pengampuan. Oleh karena

itu, untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya

untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak lain untuk

melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa, debitor

masih berwenang (masih memiliki kemampuan hukum) untuk melakukan

perbuatan-perbuatan hukum (keperdataan) tersebut.

Sekalipun debitor tidak kehilangan kecakapannya untuk melakukan

perbuatan hukum, namun perbuatan debitor tidak mempunyai akibat

hukum atas kekayaannya yang tercakup dalam harta pailit. Apabila debitor

melanggar ketentuan tersebut, perbuatannya dimaksud tidak mengikat

harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.

Page 57: Undergraduate Thesis

65

BAB III

PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT TERHADAP DEBITOR YANG

SEDANG DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI

LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA

A. Penyelesaian Sengketa Yang Sedang Berjalan Paska Putusan

Pernyataan Pailit

Dalam suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau

orang yang berutang dan kreditor atau orang yang berpiutang.

Dalam kenyataannya, banyak debitor yang tidak dapat membayar

utangnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam

perjanjian. Hal tersebut dapat disebabkan karena debitor tidak

mampu membayar utangnya, maupun tidak mempunyai kemauan

membayar utangnya kepada kreditor.

Menurut hukum, tindakan atau keadaan debitor tersebut

dikenal dengan istilah wanprestasi atau ingkar janji. Dengan

terjadinya wanprestasi oleh debitor yang tidak membayar utangnya,

tentu akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor. Sebagai pihak

yang merasa dirugikan, kreditor dapat mengambil beberapa

alternatif tindakan hukum untuk mendapatkan kembali dana yang

telah dipinjamkannya kepada debitor.

Tindakan hukum yang pada umumnya dilakukan oleh

kreditor untuk menyelesaikan masalah utang piutang adalah

dengan mengajukan gugatan perdata wanprestasi melalui

Page 58: Undergraduate Thesis

66

Pengadilan Negeri ataupun melalui upaya penyelesaian sengketa

di luar pengadilan seperti arbitrase. Namun demikian, apabila

debitor tersebut memiliki utang yang memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-

PKPU, kreditor dapat menempuh alternatif tindakan hukum secara

litigasi dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap

debitor tersebut ke Pengadilan Niaga.

Pada prinsipnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)

UUK-PKPU debitor hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan

Pengadilan Niaga, baik atas permohonannya sendiri maupun atas

permohonan satu atau lebih kreditornya apabila memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut: 111

a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;

b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang; dan

c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan

Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU, dalam jangka waktu 60 hari sejak

tanggal permohonan pailit didaftarkan, Pengadilan Niaga harus

mengabulkan permohonan pailit tersebut apabila terdapat fakta

atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan

untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) UUK-PKPU telah terpenuhi. Demikian sebaliknya, apabila

permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi ketentuan Pasal 2

111

Isis Ikhwansyah et. all, Loc.Cit.

Page 59: Undergraduate Thesis

67

ayat (1) UUK-PKPU, maka Pengadilan Niaga akan memutus

menolak permohonan tersebut.112

Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta

kekayaan debitor. Kepailitan mengakibatkan seluruh harta

kekayaan debitor yang termasuk dalam harta pailit berada di bawah

sita umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan.

Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada

pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal

tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang

menyatakan bahwa:

“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.” Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat

(1) UUK-PKPU kewenangan debitor untuk mengurus dan

menguasai harta pailit beralih demi hukum kepada kurator sejak

putusan pernyataan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan

tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena

selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh

debitor tetapi oleh kuratornya, maka sesuai dengan ketentuan

Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau

kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau

112

Lilik Mulyadi, Loc.Cit.

Page 60: Undergraduate Thesis

68

terhadap kurator. Artinya, semua pengajuan gugatan melalui

Pengadilan Perdata maupun Pengadilan Niaga tidak diajukan oleh

terhadap debitor tetapi oleh atau terhadap kurator.113

Selanjutnya Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa

selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh

pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap

debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk

dicocokkan.

Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 27 UUK-PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan

kepada debitor pailit bukan kepada kurator) tidak dapat diterima

oleh hakim sebagai gugatan dan diperiksa perkaranya, tetapi hanya

dapat diterima sebagai laporan untuk pencocokkan tagihannya

dalam rangka verifikasi utang piutang dari debitor pailit yang

bersangkutan.114

Bilamana terjadi bantahan atau keberatan terhadap tuntutan

tersebut maka berlaku renvooiprocedure sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 127 ayat (1) UUK-PKPU. Adapun isi pokok dari Pasal

127 ayat (1) UUK-PKPU adalah penyelesaian perselisihan tentang

tuntutan dalam verifikasi tidak dilakukan oleh Hakim Pengawas,

melainkan diputus oleh Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan

Negeri.115

113

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 192. 114

Idem, hlm. 193. 115

Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase...Op.Cit, hlm. 54.

Page 61: Undergraduate Thesis

69

Ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU di atas sejalan dengan

ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU yang menentukan bahwa

gugatan yang bersumber pada kewajiban atas beban harta

kekayaan debitor pailit, tidak dapat diajukan kepada debitor sendiri

tetapi kepada kurator.116

Meskipun demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat

(2) UUK-PKPU tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang

menyangkut harta pailit sebagaimana dimaksud oleh Pasal 26 ayat

(1) UUK-PKPU dapat pula diajukan atau diteruskan oleh atau

terhadap debitor pailit.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU di

atas, Vezna Lazic berpendapat bahwa rumusan kata “diteruskan”

dalam pasal tersebut memungkinkan adanya perkara yang sedang

berjalan sebelum debitor dinyatakan pailit. Sehubungan dengan hal

itu, putusan pernyataan pailit debitor juga memiliki akibat hukum

terhadap tuntutan hukum yang diajukan oleh ataupun terhadap

debitor pailit yang sedang berjalan selama kepailitan

berlangsung.117

Berkenaan dengan tuntutan hukum yang sedang berjalan

selama kepailitan berlangsung, perlu diperhatikan 2 ketentuan

dalam UUK-PKPU, yakni Pasal 28 UUK-PKPU yang mengatur

tentang tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit dan Pasal

116

Sutan Remy Sjahdeini, Loc.Cit. 117

Jono, Op.Cit, hlm. 125.

Page 62: Undergraduate Thesis

70

29 UUK-PKPU yang mengatur tentang tuntutan hukum yang

terhadap debitor pailit.

Sehubungan dengan tuntutan hukum yang diajukan oleh

debitor pailit, ketentuan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan

bahwa:

“Suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim”. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, yang

dimaksud dengan “mengambil alih perkara” adalah pengalihan

kedudukan kreditor sebagai “tergugat” dialihkan kepada kurator.

Menanggapi hal tersebut, Sutan Remy Sjahdeini berpendapat

bahwa penjelasan tersebut tidak benar. Seharusnya yang

dimaksud dengan “mengambil alih perkara” ialah kedudukan

debitor pailit sebagai penggugat agar diambil alih oleh kurator.118

Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan untuk

mengambil alih perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28

ayat (1) UUK-PKPU, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU

menyatakan bahwa:

“Dalam hal kurator tidak mengindahkan panggilan tersebut maka tergugat berhak memohon supaya perkara digugurkan, dan jika hal ini tidak dimohonkan maka perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat, di luar tanggungan harta pailit.”

118

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.

Page 63: Undergraduate Thesis

71

Menurut Pasal 28 ayat (3) UUK-PKPU, ketentuan

sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (2) UUK-PKPU tersebut

berlaku juga dalam hal kurator menolak mengambil alih perkara.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 28 ayat (4) UUK-PKPU

dinyatakan bahwa tanpa mendapat panggilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU, kurator berwenang

mengambil alih perkara dan mohon agar debitor dikeluarkan dari

perkara yang bersangkutan.

Namun demikian, harus dicermati bahwa berdasarkan

ketentuan Pasal 69 ayat (5) UUK-PKPU, sebelum mengambil alih

perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU,

kurator harus meminta izin dari hakim pengawas. Hasil putusan

perkara sebagaimana dimaksud Pasal 28 UUK-PKPU menjadi

keutungan harta pailit, sedangkan biaya atau ongkos perkara

menjadi beban harta pailit.119

Sebaliknya bilamana terdapat suatu tuntutan hukum yang

sedang berjalan selama kepailitan debitor berlangsung dan si

debitor pailit berkedudukan sebagai tergugat, maka berdasarkan

ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:

“Suatu tuntutan hukum di pengadilan yang diajukan terhadap debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap debitor.”

119

Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 53.

Page 64: Undergraduate Thesis

72

Ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU tersebut merupakan

konsekuensi berlakunya asas bahwa dengan kepailitan debitor

maka harta debitor berada di bawah sita umum dan harta debitor

harus dibagi bagi kepentingan semua para kreditornya.

Berkenaan dengan tuntutan hukum dalam Pasal 29 UUK-

PKPU di atas, dengan adanya putusan pernyataan pailit debitor,

penggugat harus mengajukan tagihannya untuk dicocokan dalam

rapat pencocokan piutang bersama-sama dengan para kreditor

lainnya.120

B. Contoh Kasus Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Debitor

Yang Sedang Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui

Badan Arbitrase Nasional Indonesia

PT Sri Melamin Rejeki (selanjutnya disebut PT SMR) adalah

sebuah perusahaan yang berkedudukan di Jakarta. PT SMR

dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya melalui Putusan

Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2013 pada tanggal 17 April

2013 atas permohonan yang diajukan oleh PT Pupuk Indonesia

(selanjutnya disebut PT PI) dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang

(selanjutnya disebut PT PSP).121

Perkara kepailitan PT SMR berawal dari ditandatanganinya

Perjanjian Penyediaan Bahan Baku dan Utilitas serta Penyerahan

Off Gas tertanggal 27 Desember 2007 (selanjutnya disebut

120

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 201. 121

Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 28.

Page 65: Undergraduate Thesis

73

Perjanjian 2007) oleh PT SMR dan PT PI.122 Perjanjian 2007 berisi

kesepakatan kerjasama antara PT SMR dan PI di bidang produksi

dan penjualan melamin.

Dalam hubungan kerjasama tersebut, PT SMR berkewajiban

untuk membayar tagihan kepada PT PI atas pasokan kebutuhan

bahan baku produksi melamin berupa urea dan utilitas kegiatan

usaha berupa air, listrik, dan lainnya yang disediakan oleh PT PI

dan sebaliknya PT PI berkewajiban untuk menerima off gas hasil

produksi melamin yang dikirim oleh PT SMR.123

Selain mengatur isi pokok perjanjian, PT PI dan PT SMR

juga sepakat untuk mengatur mekanisme penyelesaian apabila di

kemudian hari terjadi perselisihan di antara para pihak yang timbul

dari pelaksanaan Perjanjian 2007. Ketentuan tersebut diatur dalam

Pasal 17 tentang “Penyelesaian Perselisihan”. Pasal 17 Perjanjian

2007 menyatakan bahwa:124

“Jika terjadi perselisihan pendapat dalam rangka pelaksanaan perjanjian ini, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat, dan jika hal itu tidak tercapai maka kedua belah pihak bersepakat untuk menyelesaikannya pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Jakarta.”

Memasuki bulan November 2008, PT PI mulai menurunkan

pasokan bahan baku produksi melamin kepada PT SMR. Tindakan

tersebut dilakukan secara bertahap hingga tingkat produksi PT

122

Pada awalnya Perjanjian 2007 merupakan perjanjian antara PT SMR dan PT Pupuk Sriwidjaja. Kemudian pada tahun 2010, PT Pupuk Sriwidjaja berganti nama menjadi PT Pupuk Indonesia. Lihat Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 1.

123 Idem, hlm. 7.

124 Idem, hlm. 39-40.

Page 66: Undergraduate Thesis

74

SMR mencapai angka 30%. Tindakan penurunan yang dilakukan

oleh PT PI tersebut mengakibatkan PT SMR berhenti beroperasi

pada akhir tahun 2008.125

Sejak PT SMR memutuskan untuk berhenti beroperasi,

seringkali terjadi perselisihan pendapat antara PT SMR dan PT PI.

PT PI menilai PT SMR memiliki kewajiban berupa utang yang

belum dibayarkan, sebaliknya PT SMR menuding PT PI yang justru

memiliki utang kepada PT SMR. Perselisihan pendapat tersebut

berkembang menjadi sengketa utang piutang antar kedua belah

pihak.

Di satu sisi, PT SMR menilai bahwa PT PI telah melakukan

cidera janji terhadap Perjanjian 2007, sehingga menimbulkan

kerugian bagi PT SMR. Berdasarkan alasan tersebut serta

dilandaskan pada klausula arbitrase sebagaimana tertera dalam

Pasal 17 Perjanjian 2007, PT SMR mengajukan tuntutan

pembatalan Perjanjian 2007 dan gugatan cidera janji disertai ganti

kerugian sebesar Rp. 1,3 Triliun kepada PT PI ke BANI pada

tanggal 31 Agustus 2012.126

Di sisi lain, PT PI berpendapat bahwa PT SMR-lah yang

justru melakukan wanprestasi terhadap Perjanjian 2007 karena

tidak melakukan kewajibannya untuk membayar biaya tagihan

125

Ridwan Asikin, Loc.Cit. 126

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 7.

Page 67: Undergraduate Thesis

75

pemakaian utilitas serta bahan baku produksi melamin yang

dipasok oleh PT PI.127

Berdasarkan alasan tersebut, PT PI bersama PT PSP

mengajukan permohonan pernyataan pailit PT SMR ke Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 24 Oktober 2013. Dalam

permohonannya PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR

memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain itu,

PT PI dan PT PSP mendalilkan bahwa PT SMR juga memiliki utang

kepada kreditor lain yakni PT Bank Mandiri.

Pada tanggal 20 Desember 2010, Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

PT PI dan PT PSP melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta

Pusat Nomor: 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim

dalam putusan tersebut pada intinya adalah keberadaan utang PT

SMR yang didalilkan oleh PT PI dan PT PSP dalam

permohonannya sifatnya kompleks dan tidak sederhana, sebab

masih adanya sengketa mengenai wanprestasi yang sangat

berhubungan dengan materi dalam permohonan pailit yang berada

dalam penyelesaian BANI.128

Oleh karena itu, Majelis Hakim menilai bahwa permohonan

pernyataan pailit yang diajukan oleh PT PI dan PT PSP tidak

memenuhi syarat pernyataan pailit sebagaimana yang disyaratkan

127

Muhammad Yasin, Loc.Cit. 128

Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst, hlm. 41.

Page 68: Undergraduate Thesis

76

dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU khususnya

syarat adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana.

Menanggapi putusan tersebut, PT PI dan PT PSP

mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung pada

tanggal 28 Desember 2012 dengan alasan pada intinya Pengadilan

Niaga Jakarta Pusat telah salah dalam menerapkan hukumnya.

Kemudian pada tanggal 17 April 2013, Mahkamah Agung

mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh PT PI dan PT

PSP melalui Putusan Kasasi No. 45 K/Pdt.Sus/2013.

Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili, Mahkamah

Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat

Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan alasan judex facti

telah salah dalam menerapkan hukum sebagaimana didalilkan oleh

PT PI dan PT PSP.129 Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah

Agung menilai bahwa alasan judex facti tidak mengabulkan

permohonan pernyataan pailit PT SMR karena “hutang tidak

sederhana” adalah tidak dapat dibenarkan. Selain itu, Mahkamah

Agung juga berpendapat bahwa klausula arbitrase yang terdapat

dalam Pasal 17 Perjanjian 2007 sesuai dengan ketentuan dalam

Pasal 303 UUK-PKPU tidak menghalangi suatu permohonan

pailit.130

Dalam amar putusannya, pada bagian mengadili sendiri,

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT

129

Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2012, hlm. 28. 130

Idem, hlm. 27.

Page 69: Undergraduate Thesis

77

SMR yang diajukan oleh PT PI dan PT SMR dan menyatakan PT

SMR pailit dengan segala akibat hukumnya. Mahkamah Agung

juga memerintahkan Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk

menunjuk seorang Hakim Pengawas yang ada di Pengadilan

Niaga tersebut dan mengangkat Rynaldo P. Batubara, SH., MH.,

sebagai Kurator untuk perkara a quo.131

Setelah mengetahui status hukum PT SMR dalam keadaan

pailit, PT PI segera mengajukan surat permohonan penangguhan

perkara yang sedang berjalan di BANI antara PT PI sebagai

Termohon dan PT SMR (dalam pailit) (selanjutnya disebut perkara

BANI) sebagai Pemohon kepada Majelis Arbiter.132

Kemudian pada tanggal 5 Juni 2013 diadakan sidang ke-4

perkara BANI, dimana dalam sidang tersebut Majelis Arbiter

mengabulkan surat permohonan penangguhan perkara yang

diajukan oleh PT PI, untuk memberikan kesempatan kepada PT PI

memanggil Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih kedudukan

PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon.133

Pada tanggal 8 Juli 2013, tanpa mendapatkan panggilan

terlebih dahulu, Rynaldo P. Batubara mengirimkan surat kepada

Majelis Arbiter perkara BANI.134 Surat tersebut berisi

pemberitahuan bahwa PT SMR dinyatakan pailit oleh Mahkamah

Agung melalui putusan No. 45 K/Pdt.Sus/2013. Selain itu, surat

131

Idem, hlm. 29. 132

Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR (dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.

133 Ibid.

134 Ibid.

Page 70: Undergraduate Thesis

78

tersebut juga berisi permohonan kurator untuk mengambil alih

kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai pemohon dan

mengeluarkan PT SMR (dalam pailit) dari perkara BANI.135

Adapun dasar hukum yang melandasi permohonan Rynaldo

P. Batubara sebagaimana tertera dalam surat tersebut antara lain

Pasal 16 ayat (1) & ayat (2), Pasal 24 ayat (1) & ayat (2), Pasal 26

ayat (1), Pasal 28 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 69

ayat (1) & ayat (2) UUK-PKPU.136

Menanggapi surat yang diajukan oleh Rynaldo P. Batubara,

Majelis Arbiter mengirimkan surat undangan kepada Rynaldo P.

Batubara untuk mengahidiri sidang ke-5 perkara BANI yang

diadakan pada tanggal 1 Agustus 2013.137

Kemudian pada tanggal 1 Agustus 2013, Rynaldo P.

Batubara datang ke BANI untuk mengikuti sidang ke-5. Dalam

pertemuan tersebut, Majelis Arbiter mempersilahkan Rynaldo P.

Batubara untuk menjelaskan maksud dan tujuan surat yang

dikirimkan oleh dirinya. Namun demikian, sidang ke-5 tersebut

berakhir tanpa adanya keputusan mengenai permohonan

pengambilalihan perkara yang sebelumnya diajukan oleh Rynaldo

P. Batubara.

Permohonan Rynaldo P. Batubara untuk mengambil alih

kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon dalam perkara

BANI pada akhirnya dikabulkan oleh Majelis Arbiter pada sidang

135

Ibid. 136

Ibid. 137

Ibid.

Page 71: Undergraduate Thesis

79

ke-7 tanggal 2 November 2013. Dengan demikian, sejak saat itu

kedudukan PT SMR (dalam pailit) sebagai Pemohon digantikan

oleh Rynaldo P. Batubara dan PT SMR (dalam pailit) dikeluarkan

dari perkara BANI.138

Selanjutnya Rynaldo P. Batubara memohon kepada Majelis

Arbiter agar perkara BANI dihentikan dengan tujuan untuk

memaksimalkan harta pailit, sebab biaya perkara BANI yang telah

dan akan dikeluarkan merupakan tanggungan harta pailit.139

138

Ibid. 139

Ibid.

Page 72: Undergraduate Thesis

28

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN DAN ARBITRASE

SEBAGAI BENTUK UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA

A. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata

1. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Perdata

Dalam melakukan interaksi satu sama lain manusia selalu

dihadapkan pada potensi-potensi untuk terjadi konflik atau

sengketa.42 Sebuah konflik, yakni sebuah situasi yang di dalamnya

terdapat 2 pihak atau lebih yang dihadapkan pada perbedaan

kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa

apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan

tidak puas atas keprihatinannya. Sebuah konflik berubah atau

berkembang menjadi sebuah sengketa bilamana pihak yang

merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atas

keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang

dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.43

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat

terjadi antar individu, antara individu dengan kelompok, antara

kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan

42

Dalam kosa kata Inggris, terdapat 2 istilah, yakni “conflict” dan “dispute” yang

kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “konflik”, sedangkan kosa kata “dispute” dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa”. Lihat Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 1.

43 Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, “Sengketa dan Penyelesaiannya”,

dalam Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997, hlm. 1.

Page 73: Undergraduate Thesis

29

perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara

satu dengan lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa

dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi

baik dalam lingkup nasional maupun internasional.44

Dalam konteks hubungan Hukum Perdata, Komar

Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika salah satu

pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat sesuatu atau tidak

berbuat seusatu tetapi pihak lain menolak berlaku demikian.45

Begitu pula dalam konteks Hukum Perjanjian, yang dimaksud

dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para

pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang

telah dituangkan dalam suatu kontrak atau perjanjian, baik

sebagian maupun keseluruhan.46

2. Tinjauan Umum Tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Perdata

Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut

dan harus diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan

kesepakatan awal di antara para pihak yang bersengketa.47 Secara

umum dikenal 2 macam mekanisme atau cara penyelesaian

sengketa perdata, yaitu:

44

Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 12.

45 Otje Salman S., Loc.Cit.

46 Nurnaningsih Amriani, Op.Cit, hlm. 13.

47 Otje Salman S., Loc.Cit.

Page 74: Undergraduate Thesis

30

a) Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Pengadilan (Proses

Litigasi)

Mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui

pengadilan adalah bentuk penyelesaian sengketa yang sangat

dikenal dan sudah lama digunakan orang. Keberadaan

pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa merupakan

aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan

peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu

perkara.

Proses penyelesaian sengketa perdata yang dilakukan di

pengadilan, didasarkan pada salah satu lingkungan peradilan

menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU KK) dan

ketentuan yang digunakan adalah Hukum Acara Perdata

sebagai Hukum Perdata formil. Berdasarkan ketentuan Pasal 25

ayat (1) UU KK lingkungan peradilan di Indonesia terdiri dari

peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama,

dan peradilan militer. Selanjutnya Pasal 25 ayat (2) UU KK

menyatakan bahwa peradilan umum berwenang memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara perdata sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam ranah Hukum Acara Perdata, perkara perdata

meliputi perkara yang mengandung sengketa (perkara

Page 75: Undergraduate Thesis

31

contentiosa) dan perkara yang tidak mengandung sengketa

(perkara voluntaria).48

Perkara contentiosa adalah perkara yang di dalamnya

terdapat sengketa antara 2 pihak atau lebih yang harus

diselesaikan dan harus diputus oleh pengadilan melalui

gugatan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang

“merasa” bahwa haknya telah dilanggar, akan tetapi orang yang

“dirasa” melanggar haknya itu, tidak mau secara sukarela

melakukan sesuatu yang diminta itu. Oleh karenanya, untuk

menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya

suatu putusan hakim.

Perkara voluntaria adalah perkara yang di dalamnya tidak

terdapat sengketa tetapi hanya semata-mata untuk kepentingan

pemohon dan bersifat sepihak. Misalnya apabila segenap ahli

waris almarhum secara bersama-sama menghadap ke

pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian

masing-masing dari warisan almarhum.49

Adapun perbedaan antara perkara contentiosa dan

perkara voluntaria ditinjau dari segi pihak-pihak yang berperkara

ialah dalam perkara contentiosa, pada dasarnya pihak-pihak

yang berperkara terdiri dari pihak yang mengajukan gugatan

disebut dengan penggugat dan pihak yang ditarik dalam

gugatan disebut dengan tergugat, sedangkan dalam perkara

48

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Kedelapan, 2009, hlm. 3.

49 Idem, hlm. 4.

Page 76: Undergraduate Thesis

32

voluntaria pihak yang berperkara adalah pemohon. Ditinjau dari

segi bentuk putusan, putusan dalam perkara voluntaria

berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat

declaratoir,50 sedangkan dalam perkara contentiosa berbentuk

putusan yang diktumnya lebih kompleks karena dapat berisi

diktum yang bersifat constitutif, declaratoir, dan condemnatoir 51

sekaligus.

Berdasarkan 2 macam perkara perdata yang telah

dijabarkan di atas, maka pada lazimnya peradilan dibagi

menjadi 2 macam, yakni:

1) Peradilan volunter (jurisdictio voluntaria), yang sering

disebut juga peradilan “sukarela”,52 adalah peradilan

yang tidak melakukan pekerjaan menyelesaikan

sengketa; dan

2) Peradilan contentiosa (jurisdictio contentiosa), yang

sering disebut peradilan “sesungguhnya”,53 adalah

peradilan yang menyelesaikan perselisihan antara 2

pihak yang bertentangan pendirian dan kepentingan.

Kekuasaan pengadilan untuk menyelesaikan perkara

perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-

hak yang timbul karenanya atau hak-hak keperdataan lainnya,

50 Putusan declaratoir adalah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau

menyatakan apa yang sah, misalnya bahwa anak yang menjadi sengketa adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Lihat Idem, hlm. 232.

51 Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang

dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Pada umumnya putusan ini berisi hukuman untuk membayar sejumlah uang. Lihat Idem, hlm. 231.

52 Idem, hlm. 4.

53 Ibid.

Page 77: Undergraduate Thesis

33

kecuali undang-undang, menetapkan pengadilan lain untuk

memeriksa dan memutusnya.54

b) Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar Pengadilan (Non-

Litigasi)

Sebagai norma yang mengatur pokok-pokok

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UU KK memberikan

pengakuan terhadap kemungkinan penyelesaian sengketa

perdata di luar pengadilan negara. Pasal 58 UU KK menyatakan

bahwa:

“Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan

di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa.”

Di Indonesia, pengaturan mengenai mekanisme

penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan terdapat

dalam UU Arbitrase & APS. Adapun penyelesaian sengketa di

luar pengadilan terdiri dari: 55

1) Arbitrase, yakni cara penyelesaian sengketa di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang

bersangkutan; dan

54

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 91. 55

Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2006, hlm. 2.

Page 78: Undergraduate Thesis

34

2) Alternatif penyelesaian sengketa,56 yakni cara

penyelesaian sengketa perdata yang didasarkan pada

itikad baik dan melalui prosedur yang disepakati oleh

para pihak yang bersengketa dengan

mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di

pengadilan negeri. Adapun bentuk alternatif

penyelesaian sengketa ialah negosiasi, mediasi,

konsiliasi, konsultasi, dan penilaian ahli.

B. Kepailitan Sebagai Upaya Penyelesaian Utang Piutang Melalui

Jalur Hukum

1. Kewenangan Mutlak Pengadilan Niaga Untuk Memeriksa dan

Mengadili Perkara Kepailitan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kekuasaan

pengadilan untuk menyelesaikan perkara perdata meliputi semua

sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya

atau hak-hak keperdataan lainnya, kecuali undang-undang

menetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya.

Pengadilan lain yang dimaksud adalah lembaga maupun badan

yang berwenang menyelesaikan perkara perdata selain Pengadilan

56

Menurut UU Arbitrase & APS, arbitrase bukan merupakan salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa, karena pada dasarnya arbitrase tergolong kelompok adjudicatory methods of settlement atau adjudication, yang terdiri atas 2 prototipe yakni litigasi di pengadilan (public adjudication) dan arbitrase (privat adjudication), sedangkan metode alternatif penyelesaian sengketa termasuk dalam kelompok non-adjudicatory methods of settlement. Lihat Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 74.

Page 79: Undergraduate Thesis

35

Negeri.57 Pengadilan lain tersebut salah satunya ialah Pengadilan

Niaga.

Secara khusus, Pengadilan Niaga dibentuk atas dasar

peraturan pengganti undang-undang, menangani secara terbatas

masalah-masalah yang berkaitan dengan kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang.58 Berdasarkan ketentuan

Pasal 1 angka 7 UUK-PKPU, keberadaan Pengadilan Niaga tidak

menambah kuantitas lingkungan peradilan baru di Indonesia, sebab

Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus yang berada

dalam lingkungan Peradilan Umum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU,

Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk memeriksa dan

mengadili perkara kepailitan. Kewenangan Pengadilan Niaga

tersebut adalah mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain

yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan

selain Pengadilan Niaga. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan

untuk mengajukan permohonan pailit kepada selain Pengadilan

Niaga.59

Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut Pengadilan

Niaga tersebut ditegaskan oleh ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU

menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa

dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak

57

Idem, hlm. 91. 58

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 3.

59 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 144.

Page 80: Undergraduate Thesis

36

yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang

utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) UUK-PKPU.

Ketentuan di atas dimaksudkan untuk memberikan

penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa

dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak,

sekalipun perjanjian utang piutang yang menjadi dasar

permohonan memuat klausula arbitrase.

2. Sita Umum Harta Kekayaan Debitor Melalui Kepailitan

Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan masalah

utang piutang atau kewajiban sesuatu kepada pihak lain.60 Dalam

suatu perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang yang

berutang dan kreditor atau orang yang berpiutang. Manakala

debitor berhenti membayar utangnya, baik karena tidak mampu

membayar ataupun tidak mau membayar, hal ini menimbulkan

kerugian bagi kreditor. Salah satu alternatif tindakan hukum secara

litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditor dalam menyelesaikan

masalah utang piutang yaitu dengan mengajukan permohonan

kepailitan terhadap debitor.61

Pada dasarnya, dikaji dari perspektif etimologis terminologi

kepailitan berasal dari kata pailit yang berasal dari beberapa

60

Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai....Loc.Cit. 61

Pupung Faisal, Loc.Cit.

Page 81: Undergraduate Thesis

37

bahasa. Kata pailit dalam bahasa Perancis dikenal sebagai failite

yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Dalam

bahasa Belanda dikenal dengan terminologi failliet dan dalam

sistem hukum anglo saxon pailit dikenal dengan sebutan

bankrupt.62 Tegasnya, dalam terminologis bahasa Indonesia kata

pailit dapat diartikan sebagai suatu keadaan adanya situasi

berhenti membayar.63

Apabila kata pailit menunjukan suatu keadaan, maka

kepailitan menunjukan suatu proses.64 Dikaji dari perspektif

pengertiannya, makna kepailitan dapat dikaji dari pandangan

doktrina, leksikon, dan normatif. Fred B.G. Tumbuan menyebutkan

kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh harta

kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.65 Munir

Fuady menyebutkan pailit atau bangkrut itu adalah sita umum atas

seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor

dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi

secara adil diantara para kreditor.66

Dikaji dari prespektif normatif, ketentuan Pasal 1 angka 1

UUK-PKPU menyebutkan:

62

Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Teori Dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 46.

63 Ibid.

64 Zainal Muttaqin, “Aspek Kepailitan Dalam Penagihan Utang Pajak Terhadap

Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012, hlm. 401.

65 Fred B.G Tumbuan, “Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan

Sebagaimana Diubah oleh PERPU No. 1/1998”, dalam Rudy A. Lontoh, Denny Kilimang, dan Benny Pontoh (eds.), Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2000, hlm. 125.

66 Munir Fuady, Hukum Kepailitan Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2000, hlm. 8.

Page 82: Undergraduate Thesis

38

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Pada prinsipnya kepailitan merupakan pelaksanaan lebih

lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate

parte dalam rezim Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht).

Proses kepailitan merupakan suatu proses pelaksanaan Pasal

1131 dan 1132 KUH Perdata dengan tujuan membagi harta

kekayaan debitor secara adil kepada seluruh kreditor.67

Dalam penjelasan umum UUK-PKPU dikemukakan

beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:

a) Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila

dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang

menagih piutangnya dari debitor;

b) Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak

jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara

menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan

kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

c) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang

dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor

sendiri.

67

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 48.

Page 83: Undergraduate Thesis

39

Lebih lanjut, penjelasan umum UUK-PKPU juga

mengemukakan beberapa asas yang mendasari UUK-PKPU.

Asas-asas tersebut antara lain:

“1. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.”

Page 84: Undergraduate Thesis

40

3. Putusan Pernyataan Pailit Debitor dan Upaya Hukum Yang

Dapat Diajukan

UUK-PKPU menegaskan bahwa debitor68 hanya dapat

dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan. Adapun syarat-syarat

bagi debitor untuk dapat dinyatakan pailit sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU tersebut, dapat

diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui

putusan pengadilan adalah:69

a. Debitor mempunyai 2 atau lebih kreditor;

b. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;

dan

c. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Berdasarkan persyaratan di atas, apabila digambarkan

dalam skema, maka yang dapat dipailitkan sebagai berikut:70

68

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Dalam KUH Perdata, tidak dikenal istilah debitor, tetapi dipakai istilah si berutang. Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata, dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 85.

69 Isis Ikhwansyah et. all, Hukum Kepailitan (Analisis Hukum Perselisihan dan

Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, CV Keni Media, Bandung, 2012, hlm. 22.

70 Ibid.

Page 85: Undergraduate Thesis

41

Skema Kepailitan:

Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (4) dan Pasal

8 ayat (5) UUK-PKPU, dapat diketahui bahwa dalam jangka waktu

60 hari sejak tanggal permohonan pailit didaftarkan, Pengadilan

Niaga harus mengabulkan permohonan pailit tersebut apabila

terdapat terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara

sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU telah terpenuhi.

Demikian sebaliknya, apabila permohonan pernyataan pailit tidak

memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, maka

Pengadilan Niaga akan memutus menolak permohonan tersebut.71

Putusan Pengadilan Niaga (yang merupakan putusan tingkat

pertama) atas permohonan pernyataan pailit mempunyai daya

“dapat dilaksanakan terlebih dahulu” yang sering disebut putusan

uitvoerbaar bij voorraad atau putusan serta merta, yaitu suatu

71

Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 111.

Kepailitan

Korporasi

Manusia/Orang

Perorangan

Suami - Istri

BUMS

BUMN

Bukan Badan Hukum (Msl: Fa, Cv)

Badan Hukum (Msl: Yayasan, PT)

Perum

Persero

Page 86: Undergraduate Thesis

42

putusan yang dapat dilaksanakan atau dieksekusi terlebih dahulu

meskipun putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum

tetap (inkracht van gewijsde).72 Namun demikian, terhadap putusan

tersebut masih dapat diajukan upaya-upaya hukum.

Setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas

permohonan pernyataan pailit, maka upaya hukum yang dapat

diajukan terhadap putusan tersebut adalah kasasi ke Mahkamah

Agung. Hal tersebut dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 11 ayat

(1) UUK-PKPU yang berbunyi:

“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas

permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah

Agung”.

Selain kasasi, upaya hukum yang lain yang dapat dilakukan

oleh pihak yang merasa tidak puas adalah peninjauan kembali.

Peninjauan kembali dimungkinkan sebagaimana terdapat dalam

ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:

“Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan

peninjauan kembali ke Mahkamah Agung”.

72

Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 101.

Page 87: Undergraduate Thesis

43

4. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit Terhadap Debitor

Pailit dan Harta Kekayaannya

Dikaji dari perspektif teoritis, normatif, dan praktik peradilan

pada perkara perdata niaga, apabila permohonan pernyataan pailit

dikabulkan maka akan mempunyai suatu akibat hukum bahwa

debitor73 dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.

Mengenai akibat-akibat kepailitan, UUK-PKPU mengatur secara

khusus yaitu dalam Bab II Bagian Kedua dimulai dari Pasal 21

sampai dengan Pasal 64 UUK-PKPU.

Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta

kekayaan debitor. Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit

yang masuk dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Artinya,

penyitaan tersebut berlaku untuk siapapun, bukan hanya berlaku

bagi pihak tertentu seperti halnya sita jaminan yang diputuskan

oleh hakim perdata berkenaan dengan permohonan penggugat

dalam sengketa perdata.74

Menurut ketentuan Pasal 21 UUK-PKPU, harta pailit meliputi

seluruh harta kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit

diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh debitor pailit

selama kepailitan, kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh UUK-

PKPU dikeluarkan dari harta pailit.

73

Objek di dalam UUK-PKPU adalah debitor, yaitu debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada kreditor. UUK-PKPU tidak membedakan aturan bagi kepailitan debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan. Ruang lingkup UUK-PKPU meliputi debitor badan hukum maupun debitor orang perorangan. Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 96.

74 Idem, hlm. 193.

Page 88: Undergraduate Thesis

44

Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada

pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal

tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang

menyatakan bahwa:

“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan” Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa putusan

pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak

cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan

mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit

sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga.75

Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (1)

UUK-PKPU kewenangan debitor untuk mengurus dan menguasai

harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit beralih demi

hukum kepada kurator sejak putusan pernyataan pailit diucapkan

meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau

peninjauan kembali.

Namun demikian, berkenaan dengan ketentuan Pasal 24

ayat (1) UUK-PKPU di atas, harus dicermati bahwa dengan

diputuskannya menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor

kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan semua

perbuatan hukum di bidang keperdataan.

75

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan...Loc.Cit.

Page 89: Undergraduate Thesis

45

Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk

mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu, untuk

melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya

untuk mengurus harta kekayaan pihak lain, menjadi kuasa pihak

lain untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama

pemberi kuasa, debitor masih berwenang (masih memiliki

kemampuan hukum) untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum

(keperdataan) tersebut.76

Meskipun demikian, apabila setelah putusan pernyataan

pailit debitor masih juga tetap melakukan perbuatan hukum yang

menyangkut harta kekayaannya yang telah dimasukkan ke dalam

harta pailit, maka perbuatan hukum itu tidak mengikat kecuali

apabila perikatan-perikatan yang dibuatnya itu mendatangkan

keutungan bagi harta pailit tersebut.77

Hal tersebut merupakan konsekuensi hukum dari ketentuan

Pasal 25 UUK-PKPU yang menyatakan bahwa:

“Semua perikatan debitor yang terbit sesudah putusan

pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit,

kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.”

76

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 190. 77

Idem, hlm. 195.

Page 90: Undergraduate Thesis

46

5. Fase-Fase Dalam Kepailitan

a. Fase Penitipan Atau Sekestrasi (cocervatoir)

Fase ini dikenal juga dengan istilah tahap pengurusan

harta pailit. Tahap pengurusan harta pailit ialah jangka waktu

sejak debitor dinyatakan pailit sampai dengan debitor

mengajukan rencana perdamaian. Dalam tahap ini, kurator

harus melindungi keberadaan kekayaan debitor pailit dan

berusaha mempertahankan nilai kekayaan tersebut.78

Kepailitan tidak selalu beralih ke fase berikutnya,

mungkin saja kepailitan berakhir dalam fase ini yaitu apabila:79

1) Upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan

kembali berhasil atau dikabulkan;

2) Perdamaian disetujui atau diterima dan disahkan

(homologasi);

3) Kepailitan dicabut dengan putusan pengadilan

karena harta pailit tidak cukup untuk membayar

biaya kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal

18 UUK-PKPU.

b. Fase Insolvensi Atau Fase Eksekutor

Fase ini dikenal juga dengan istilah pemberesan harta

pailit. Kepailitan beralih dari fase sekestrasi ke fase insolvensi

antara lain disebabkan:80

78

Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 73.

79 Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2010, hlm. 187.

Page 91: Undergraduate Thesis

47

1) Perdamaian tidak diajukan;

2) Perdamaian diajukan tetapi tidak disetujui atau

tidak diterima oleh kreditor yang mempunyai hak

suara;

3) Perdamaian diajukan, disetujui atau diterima para

kreditor yang mempunyai hak suara, tetapi tidak

disahkan oleh hakim;

4) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian tidak

diajukan;

5) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian tidak

diterima;

6) Upaya hukum tidak dikabulkan, perdamaian

diterima tetapi tidak mendapat pengesahan dari

hakim.

Dengan keadaan seperti disebutkan di atas, kepailitan

sampai kepada fase insolvensi yang berarti harus dilakukan

pemberesan terhadap harta pailit. Kurator memulai

pemberesan harta pailit setelah harta pailit dalam keadaan

tidak mampu membayar dan usaha debitor dihentikan. Kurator

memutuskan cara pemberesan harta pailit dengan selalu

memperhatikan nilai terbaik pada waktu pemberesan.81

80

Idem, hlm. 188. 81

Imran Nating, Op.Cit., hlm. 85.

Page 92: Undergraduate Thesis

48

C. Arbitrase Sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Sengketa

Perdata di Luar Pengadilan

1. Eksistensi Peradilan Arbitrase di Indonesia

Secara harifah, perkataan arbitrase berasal dari kata

arbitrare (latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan

sesuatu menurut kebijaksanaan. Dikaitkannya istilah arbitrase

dengan kebijaksanaan seolah-olah memberi petunjuk bahwa

majelis arbiter tidak perlu memperhatikan hukum dalam

menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan

pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga

menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di

pengadilan.82

Adapun pengertian arbitrase menurut R. Subekti ialah

pemutusan sengketa oleh seorang arbiter atau para arbiter yang

berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada

atau menaati keputusan yang diberikan oleh arbiter atau para

arbiter yang mereka pilih.83

H. Priyatna Abdurrasyid mengartikan arbitrase sebagai suatu

tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa

atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih maupun dua

kelompok atau lebih kepada seseorang atau beberapa ahli yang

82

R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1-3. 83

Idem, hlm. 1.

Page 93: Undergraduate Thesis

49

disepakati bersama dengan tujuan memperoleh keputusan final

dan mengikat.84

Secara normatif, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU

Arbitrase & APS, arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian

sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase terdiri dari 2 jenis, yakni arbitrase institusional dan

arbitrase ad hoc.85 Jenis arbitrase ini merupakan macam-macam

arbitrase yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk

memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para

pihak yang mengadakan perjanjian.86

Arbitrase institusional adalah badan arbitrase yang sengaja

didirikan, sifatnya permanen dan pembentukannya ditujukan untuk

menangani sengketa yang timbul bagi mereka yang

mengkehendaki penyelesaian di luar pengadilan.87 Jadi arbitrase

institusional merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk

menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Adapun beberapa arbitrase institusional yang telah diakui

eksistensinya, antara lain BANI, Badan Arbitrase Pasar Modal

Indonesia, International Centre for the Settlement of Investment

84

H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 28.

85 Joni Emrizon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 102. 86

M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari:....Op.Cit, hlm. 104. 87

Ibid.

Page 94: Undergraduate Thesis

50

Disputes Between States and Nationals of Other States, dan The

Court of Arbitration of International Chamber of Commerce.

Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus

untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, sifatnya

insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu

diputuskan.88 Ini berarti kedudukan dan keberadaannya hanya

untuk melayani dan memutus perselisihan tertentu, dimana setelah

sengketa diputus keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap

dan berakhir dengan sendirinya.

Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait

dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan dan

dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. Untuk

mengetahui dan menentukan bahwa arbitrase yang disepakati para

pihak adalah jenis arbitrase ad hoc, dapat dilihat dari rumusan

klausulanya yang menyebutkan, arbitrase yang akan

menyelesaikan perselisihan terdiri dari “arbiter perseorangan”.89

Keberadaan arbitrase di Indonesia mempunyai sejarah yang

panjang sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.

Hal ini disebabkan arbitrase sudah dikenal dalam peraturan

perundang-undangan sejak tahun 1849. Adapun sumber-sumber

hukum arbitrase, antara lain:

a) UU Arbitrase & APS

88

Ibid. 89

Ibid.

Page 95: Undergraduate Thesis

51

Berdasarkan ketentuan Pasal 81 UU Arbitrase & APS,

pada saat UU Arbitrase & APS mulai berlaku, ketentuan-

ketentuan mengenai arbitrase yang terdapat di dalam

Reglemen Acara Perdata (Rv, HIR, dan RBg) dinyatakan

tidak berlaku dan digantikan oleh undang-undang

tersebut.

b) Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 81 tentang

Pengesahan Convention on The Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Award (selanjutnya

disebut Konvensi New York 1958).

c) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990

tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

2. Perjanjian Arbitrase Sebagai Dasar Pemilihan Forum Arbitrase

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, arbitrase lahir

dari kesepakatan para pihak yang memilih forum arbitrase,

kesepakatan tersebut dikenal dengan perjanjian arbitrase atau

yang lazim disebut dengan klausula arbitrase.90 Secara normatif,

UU Arbitrase & APS memberikan batasan pengertian mengenai

perjanjian arbitrase, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian

90

Dalam praktek dan penulisan, perjanjian arbitrase selalu disebut “klausula arbitrase”. Penggunaan istilah klausula arbitrase, mengandung konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan perjanjian arbitrase. Dengan kata lain, perjanjian pokok mengandung klausula arbitrase. Lihat Idem, hlm. 65.

Page 96: Undergraduate Thesis

52

tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.” Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah

pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara

dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan (dispute

settlement) yang terjadi di antara para pihak yang berjanji.91 Jadi

fokus perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan kepada masalah

penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan

pada perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut

dengan perjanjian buntutan atau “asesor”. Keberadaannya, hanya

sebagai tambahan kepada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak

mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok.92

Perjanjian arbitrase sebagai suatu perjanjian asesor wajib

mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak asesor yang berlaku, yaitu

isinya tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya, tidak boleh

bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan tidak ada tanpa

adanya perjanjian pokok.93 Sungguhpun pada prinsipnya perjanjian

arbitrase merupakan suatu perjanjian asesor, tetapi ada beberapa

sifatnya yang unik, yang menyebabkan sifatnya sebagai asesor

tersebut tidak diikuti secara penuh. Misalnya, jika perjanjian

91

Idem, hlm. 61. 92

Idem, hlm. 62. 93

Munir Fuady, Arbitrase Nasional...Op.Cit, hlm. 118.

Page 97: Undergraduate Thesis

53

pokoknya batal, perjanjian arbitrase tidak ikut-ikutan batal.94 Pasal

10 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut dibawah ini: a. Meninggalnya salah satu pihak; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi; d. Insolvensi salah satu pihak;95 e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan

pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.” Ketentuan dalam Pasal 10 UU Arbitrase & APS tersebut,

khususnya huruf f dan h, berkaitan dengan adanya prinsip

separabilitas (separability) dalam suatu perjanjian arbitrase, yaitu

perjanjian arbitrase berdiri independen dan terlepas sama sekali

dengan perjanjian pokoknya. Oleh sebab itu, apabila karena alasan

apapun perjanjian pokoknya dianggap cacat hukum atau tidak sah,

perjanjian arbitrase tetap dianggap sah dan mengikat.96

Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah atau tidaknya

perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana

diatur Pasal 1320 KUH Perdata. Adapun syarat subjektif dan syarat

objektif dalam suatu perjanjian arbitrase sebagai berikut:

a) Syarat Subjektif

Perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak yang

bersengketa. Oleh karena bentuknya yang perjanjian,

94

Idem, hlm. 119. 95

Yang dimaksud dengan "insolvensi" dalam pasal ini adalah keadaan tidak mampu membayar. Lihat penjelasan Pasal 10 huruf d UU Arbitrase & APS.

96 Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 117.

Page 98: Undergraduate Thesis

54

maka harus didasarkan pada kesepakatan para pihak.

Selain itu, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka

yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk

melakukan hal yang demikian.97 Hal ini sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UU Arbitrase & APS

bahwa, para pihak adalah subjek hukum, baik menurut

hukum perdata maupun publik.

b) Syarat Objektif

Syarat objektif dari perjanjian arbitrase diatur dalam

Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase & APS, yaitu objek

perjanjian arbitrase atau dalam hal ini sengketa yang

dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa

di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut

hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai

sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. Tidak

ada penjelasan dari ketentuan tersebut, namun jika

dilihat pada penjelasan Pasal 66 UU Arbitrase & APS,

maka yang dimaksud dengan ruang lingkup

“perdagangan” tersebut adalah kegiatan-kegiatan, antara

lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan,

penanaman modal, industri, dan hak kekayaan

intelektual.98

97

Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, hlm. 44. 98

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa.....Op.Cit, hlm. 125.

Page 99: Undergraduate Thesis

55

Selain itu, Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase & APS mengatur

bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan

perundangan-undangan tidak dapat diadakan

perdamaian.99

Disamping syarat subjektif dan objektif di atas, maka

perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis, sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 4 UU Arbitrase & APS.

Perjanjian arbitrase yang berbentuk lisan dianggap tidak sah dan

tidak mengikat, sebab perjanjian arbitrase secara lisan dianggap

“tidak pernah ada” atau never existed.100

Perikatan arbitrase merupakan perikatan tambahan dari

perjanjian pokok yang dibuat oleh para pihak, hal-hal yang dapat

menghapuskan perikatan arbitrase ini pada prinsipnya adalah

sebagai berikut:101

a) Para pihak melaksanakan perjanjian pokok

Dengan terlaksananya dengan baik perjanjian pokok

yang melandasi lahirnya perjanjian arbitrase ini, tanpa

menimbulkan perselisihan antara para pihak otomatis

juga akan menghapuskan atau mengakhiri perikatan

arbitrase yang telah dibuat.

99

Sengketa tersebut umumnya meliputi : hukum keluarga, terutama yang berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang; tentang pailit; penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam anggaran dasar perseroan. Lihat M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan....Loc.Cit.

100 M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari....Op.Cit, hlm. 60. 101

H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm. 129.

Page 100: Undergraduate Thesis

56

b) Para pihak melaksanakan putusan arbiter

Sebaliknya, jika terjadi perselisihan di antar para pihak

yang membuat perjanjian pokok, perselisihan itu akan

diserahkan kepada seorang atau majelis arbitrase.

Kemudian setelah dikeluarkannya putusan oleh majelis

arbitrase yang menyelesaikan perselisihan itu secara

sukarela atau dengan bantuan pihak yang berwenang

maka berakhirlah suatu perjanjian arbitrase tersebut.

c) Salah satu pihak berkeberatan melaksanakan putusan

arbitrase

Berdasarkan berbagai sumber undang-undang, peraturan

dan konvensi internasional, perjanjian arbitrase dibedakan menjadi

2 bentuk, yaitu klausula arbitrase atau pactum de compromittendo

dan akta kompromis. Dalam perjanjian arbitrase yang berbentuk

klausula arbitrase, para pihak mengikat kesepakatan akan

menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum

arbitrase.102 Jadi bentuk klausula arbitrase dibuat oleh para pihak

sebelum terjadi sengketa atau perselisihan yang nyata.

Dalam UU Arbitrase & APS, tidak disebutkan syarat-syarat

pembuatan klausula arbitrase, kecuali apa yang terdapat dalam

Pasal 7 UU Arbitrase & APS, yang menyatakan bahwa para pihak

dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi

antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

102

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 71.

Page 101: Undergraduate Thesis

57

Bentuk perjanjian arbitrase yang kedua adalah akta

kompromis. Akta kompromis yaitu perjanjian yang telah disepakati

oleh pihak yang berjanji bahwa perselisihan yang telah terjadi di

antara mereka akan diselesaikan melalui forum arbitrase.103 Jadi

akta kompromis dibuat para pihak setelah timbul sengketa, dimana

sebelumnya baik dalam perjanjian pokok maupun dengan akta

tersendiri, tidak diadakan suatu perjanjian arbitrase.

Pengaturan akta kompromis terdapat dalam Pasal 9 ayat (1)

UU Arbitrase & APS. Pasal tersebut menyatakan bahwa dalam hal

para pihak memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase

setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus

dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para

pihak.

3. Konsekuensi Pilihan Forum Arbitrase terhadap Kompetensi

Pengadilan Negeri

Fungsi utama dari perjanjian arbitrase adalah perjanjian

arbitrase menjadi sumber kewenangan dari peradilan arbitrase.

Prinsip yang telah diterima secara umum adalah kesepakatan para

pihak melahirkan hukum. Prinsip ini berlaku pula terhadap

kesepakatan para pihak yang tertuang dalam perjanjian arbitrase.

Sehingga dapat pula dinyatakan disini bahwa klausula arbitrase

yang berasal dari kesepakatan para pihak adalah the law of the

parties. Karena itu pula, kesepakatan inilah yang melahirkan fungsi

103

Idem, hlm. 67.

Page 102: Undergraduate Thesis

58

kewenangan suatu badan arbitrase. Termasuk dalam lingkup

hukum para pihak ini adalah penentuan jumlah arbiter, bagaimana

prosedur penunjukan arbiter, sampai berapa jauh kekuasaan yang

dimilikinya dan bagaimana hukum acara dan hukum yang berlaku

akan diterapkan oleh suatu badan arbitrase.104

Pada awalnya terdapat 2 teori atau aliran tentang

kewenangan arbitrase. Pertama, aliran yang menyatakan bahwa

klausula arbitrase bukan public order atau bukan ketertiban umum,

klausula arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan

pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang timbul

dari perjanjian. Klausula arbitrase hanya memberikan hak opsi atau

hak pilih bagi para pihak. Para pihak dapat memilih, apakah

sengketa yang timbul diajukan kepada badan arbitrase atau ke

pengadilan.

Aliran yang ke dua menyatakan bahwa perjanjian arbitrase

merupakan Pacta Sunt Servanda. Menurut pendapat aliran ini,

adanya perjanjian arbitrase:105

a) Mengikat secara mutlak kepada para pihak, oleh karena

itu apabila timbul suatu sengketa, kewenangan untuk

menyelesaikan dan memutus sengketa mutlak menjadi

kewenangan arbitrase;

104

Alan Redfern dan Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, Sweet and Maxwell, London, 1986, hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, “Syarat Tertulis dan Indepedensi Klausul Arbitrase”, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia No. 6, 2009, hlm. 24.

105 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 88.

Page 103: Undergraduate Thesis

59

b) Pengadilan menjadi tidak berwenang memeriksa dan

mengadili sengketa secara mutlak; dan

c) Gugurnya perjanjian arbitrase hanya terjadi apabila

secara tegas ditarik kembali atas kesepakatan para

pihak, dan tidak dapat dibenarkan penarikan secara

diam-diam, apalagi penarikan secara sepihak.

Dengan berlakunya UU Arbitrase & APS, maka perbedaan

kedua aliran tersebut secara yuridis menjadi hilang karena

ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:

“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili

sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase”,

sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 11 UU Arbitrase & APS

menyatakan bahwa:

“(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase &

APS di atas, dapat diketahui bahwa kedua bentuk perjanjian

arbitrase, baik pactum de compromittendo maupun akta kompromis

pada dasarnya memiliki tujuan serta konsekuensi yang sama.

Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan kompetensi absolut

atau kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa

Page 104: Undergraduate Thesis

60

sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya

penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi

hakim Pengadilan Negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan

forum arbitrase yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya,

Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan

sengketa bersangkutan.

Namun demikian, kompetensi absolut forum arbitrase itu

dapat gugur serta beralih kembali menjadi kompetensi Pengadilan

Negeri apabila ternyata perjanjian arbitrase yang bersangkutan

batal (null and void), tidak lagi memiliki kekuatan mengikat

(inoperative), atau tidak dapat dilaksanakan (incapable of being

performed), sebagaimana ditentukan di dalam bagian terakhir

Artikel II (3) Konvensi New York 1958.

4. Pihak-Pihak yang Bersengketa dalam Forum Arbitrase

Pada dasarnya pihak-pihak berperkara dalam proses

arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara perdata

bersifat sengketa pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu

sekurang-kurangnya terdapat dua pihak.106 Para pihak dalam

sengketa perdata pada Pengadilan Negeri disebut penggugat dan

tergugat, sedangkan dalam proses pemeriksaan sengketa pada

forum arbitrase penyebutan pihak-pihak dalam perkara sedikit

berbeda.

106

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81.

Page 105: Undergraduate Thesis

61

Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah

dibakukan dan standar, baik dalam literatur maupun dalam

berbagai rules.107 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UNCITRAL

Arbitration Rules, pihak-pihak yang berperkara dalam proses

arbitrase disebut “claimant” dan “respondent”.

Claimant dalam arti bahasa adalah “a person making a

claim” yakni seseorang yang membuat tuntutan yang lazim disebut

sebagai penggugat atau “plaintiff”. Dalam pengertian hukum,

makna claimant sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3

UNCITRAL Arbitration Rules adalah pihak yang mengambil inisiatif

mengajukan tuntutan kepada seseorang melalui forum arbitrase.108

“Respondent” ditinjau dari segi bahasa adalah “a person who

respon”, yang berarti orang yang dituntut atau orang yang dijadikan

tertuntut dan lazim disebut sebagai tergugat. Dari segi pengertian

hukum, respondent adalah pihak yang ditarik atau dijadikan

sebagai tergugat oleh pihak yang menggugat dalam suatu proses

pemeriksaan badan yang berwenang untuk melakukan

pemeriksaan dan memutus suatu persengketaan.109

Berbeda dengan UNCITRAL Abitration Rules, UU Arbitrase

& APS dan Peraturan Prosedur Arbitrase BANI (selanjutnya disebut

PPA BANI) memberikan istilah pemohon dan termohon sebagai

penyebutan pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS, pihak

107

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 132. 108

Idem, hlm. 133. 109

Ibid.

Page 106: Undergraduate Thesis

62

yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase disebut sebagai pemohon, sedangkan menurut Pasal 1

angka 6 UU Arbitrase & APS, pihak lawan dari pemohon dalam

penyelesaian sengketa melalui arbitrase disebut sebagai termohon.

5. Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat

Proses penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase akan

berujung pada suatu putusan arbitrase. Pasal 57 UU Arbitrase &

APS menyatakan bahwa putusan diucapkan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.

Ketentuan Pasal 56 menegaskan bahwa arbiter atau majelis

arbiter mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau

berdasarkan keadilan dan kepatutan. Pada prinsipnya suatu

putusan arbitrase hanyalah didasarkan kepada hukum semata-

mata dan tidak dapat memutuskan semata-mata berdasarkan

keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono).

Putusan yang berdasarkan keadilan dan kepatutan semata-

mata atau disebut juga dengan istilah “compesiteur” hanya dapat

dilakukan oleh para arbiter jika memang dimintakan dengan tegas

oleh para pihak. Dalam hal ini, para arbiter dapat

mengesampingkan aturan hukum sepanjang aturan hukum yang

dikesampingkan tersebut bukan merupakan “hukum memaksa”.110

110

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 105.

Page 107: Undergraduate Thesis

63

Berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Arbitrase & APS, suatu

putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat

para pihak (final and binding), sehingga pada prinsipnya tidak dapat

diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Sifat final and

binding dari putusan arbitrase diatur secara tegas dalam berbagai

peraturan dan prosedur arbitrase.

Sebagai konsekuensi dari sifat putusan arbitrase yang final

and binding, maka para pihak wajib langsung melaksanakan

putusan tersebut. Namun pelaksanaan putusan arbitrase secara

sukarela ini sangat tergantung pada itikad baik dari para pihak yang

bersengketa. UU Arbitrase & APS memberikan upaya yang dapat

ditempuh apabila pelaksanaan putusan arbitrase secara sukarela

tidak dapat dilakukan.

Berdasarkan Pasal 61 UU Arbitrase & APS, dalam hal para

pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela,

putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan

Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU Arbitrase & APS menyatakan

bahwa perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 UU

Arbitrase & APS diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah

permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan

Negeri.

Selanjutnya, dalam memberikan perintah pelaksanaan

tersebut, Ketua Pengadilan Negeri hanya berwenang untuk

Page 108: Undergraduate Thesis

64

memeriksa pemenuhan Pasal 4 dan 5 UU Arbitrase & APS, serta

tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Ketua

Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa alasan atau

pertimbangan putusan arbitrase agar putusan tersebut benar-benar

mandiri, final, dan mengikat.

Page 109: Undergraduate Thesis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi yang melanda seluruh dunia mempengaruhi semua

bidang kehidupan. Namun yang paling tampak dan terasa adalah bidang

ekonomi, khususnya perdagangan. Era ini ditandai dengan lahirnya

berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun

pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi yang

borderless dalam dunia perdagangan. Majunya perdagangan dunia ini, di

satu sisi memang memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat

menimbulkan perbedaan paham, perselisihan atau sengketa.1

Suatu sengketa dapat terjadi dalam setiap hubungan hukum

(perdata), terutama disebabkan keadaan di mana pihak yang satu

mempunyai masalah dengan pihak yang lainnya dalam hubungan

tersebut. Komar Kantaatmadja menyebutkan bahwa sengketa terjadi jika

salah satu pihak menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat

tetapi pihak lainnya menolak berlaku demikian.2

Sengketa yang terjadi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus

diselesaikan menurut hukum atau berdasarkan kesepakatan awal di

antara para pihak yang bersengketa.3 Secara umum dikenal 2 macam

mekanisme atau cara penyelesaian sengketa, yaitu secara konvensional

1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001, hlm. v. 2 Otje Salman S., “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses Penyelesaian

Sengketa”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 3.

3 Ibid.

Page 110: Undergraduate Thesis

2

sengketa diselesaikan melalui pengadilan (proses litigasi) dan sebagai

mekanisme alternatif dikenal proses penyelesaian sengketa di luar

pengadilan (non litigasi).

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan

bentuk penyelesaian sengketa yang sangat dikenal dan sudah lama

digunakan. Namun demikian, dinamika dan kepesatan yang terjadi di

dalam kegiatan ekonomi dan bisnis saat ini telah menimbulkan implikasi

terhadap lembaga pengadilan. Pengadilan yang secara konkret

mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika

menerima, memeriksa, serta menyelesaikan setiap sengketa yang

diajukan, dianggap sebagai tempat menyelesaikan sengketa yang tidak

efektif dan efisien.4

Kalangan dunia usaha, terutama pengusaha asing, yang

senantiasa mengupayakan segala urusan dengan serba cepat, ketika

menghadapi sengketa dengan mitra usahanya akan berusaha memilih

forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka lebih dapat

dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis serta memiliki risiko yang

realtif kecil terhadap aktivitas bisnisnya. Forum penyelesaian sengketa

yang dimaksud tidak lain adalah arbitrase.5

Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya

disebut UU Arbitrase & APS) menyatakan bahwa arbitrase adalah cara

4 Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit PT

Fikahati Aneska, Jakarta, 2012, hlm. 2. 5 Idem, hlm. 3-4.

Page 111: Undergraduate Thesis

3

penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui bahwa sebagai salah

satu bentuk penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan (non-

litigasi), kompetensi atau jurisdiksi arbitrase lahir melalui kesepakatan

para pihak yang memilih forum arbitrase tersebut.6 Para pihak dapat

menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara

mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Kesepakatan atau

persetujuan para pihak tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian yang

dibuat secara tertulis yang dinamakan dengan perjanjian arbitrase.

Kedua bentuk perjanjian arbitrase, baik yang dibuat sebelum

ataupun setelah timbul sengketa, pada dasarnya memiliki tujuan serta

konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan

melahirkan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak forum arbitrase

untuk memeriksa sengketa para pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya

penyelesaian sengketa dimaksud akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim

Pengadilan Negeri dan selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase

yang dipilih oleh para pihak. Sebaliknya Pengadilan Negeri menjadi tidak

berwenang untuk menyelesaikan sengketa bersangkutan.7

Namun demikian, tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui

forum arbitrase. Di Indonesia, sengketa yang dapat diperiksa dan

diselesaikan melalui arbitrase sangat limitatif. Ketentuan Pasal 5 ayat (1)

UU Arbitrase & APS secara eksplisit menentukan jenis sengketa yang

6 Idem, hlm. 92.

7 Idem, hlm. 67-68.

Page 112: Undergraduate Thesis

4

dapat diselesaikan melalui arbitrase, yaitu hanya sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Sementara itu, ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Arbitrase & APS

menegaskan bahwa sengketa yang menurut undang-undang tidak dapat

diadakan perdamaian tidak dapat diselesaikan melalui forum arbitrase.

Sengketa tersebut umumnya meliputi hukum keluarga, terutama yang

berkenan dengan status sipil dan kemampuan seseorang, tentang pailit,

penyelesaian susunan pengurus dan perubahan permodalan dalam

anggaran dasar perseroan.8

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa salah satu jenis

sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah

kepailitan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK-PKPU) seorang debitor

hanya dapat dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan apabila memiliki

dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Menurut Pasal 300 ayat (1) UUK-PKPU badan yang memiliki

kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara kepailitan adalah

Pengadilan Niaga. Kewenangan Pengadilan Niaga tersebut adalah

mutlak. Artinya, tidak ada badan atau lembaga lain yang berwenang untuk

memeriksa dan memutus perkara kepailitan selain Pengadilan Niaga.

8 Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian Atas UU

No. 30 Tahun 1999”; dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002.

Page 113: Undergraduate Thesis

5

Dengan demikian, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan permohonan

pailit kepada selain Pengadilan Niaga.9

Sehubungan dengan eksistensi lembaga arbitrase, Pasal 303 UUK-

PKPU menyatakan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa

dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang

terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang

menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU.

Di samping memberikan penegasan bahwa forum arbitrase tidak

berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit,

ketentuan Pasal 303 UUK-PKPU di atas sekaligus memberikan landasan

bagi salah satu pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit

terhadap pihak lainnya kepada Pengadilan Niaga, meskipun kedua belah

pihak tersebut telah terikat dalam perjanjian arbitrase atau bahkan pada

saat kedua belah pihak tersebut sedang bersengketa di forum arbitrase.10

Masalah timbul manakala permohonan pernyataan pailit tersebut

dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada saat proses pemeriksaan

sengketa di forum arbitrase sedang berjalan atau berlangsung. Dalam

penelitian yang dilakukannya, peneliti menemukan suatu peristiwa hukum

di mana debitor yang dinyatakan pailit adalah pihak pemohon dalam

proses pemeriksaan sengketa yang sedang berjalan di forum arbitrase.

9 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010, hlm. 144. 10

Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase Terhadap Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (ed), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. 53.

Page 114: Undergraduate Thesis

6

Permasalahan utama yang timbul berkaitan dengan persitiwa

hukum tersebut ialah perihal konsekuensi putusan pernyataan pailit

debitor terhadap perjanjian arbitrase yang telah dibuat sebelumnya.

Permasalahan selanjutnya ialah perihal kewenangan pihak pemohon yang

dinyatakan pailit tersebut untuk dapat meneruskan tuntutan hukum yang

diajukan olehnya di forum arbitrase selama kepailitan dirinya berlangsung.

Permasalahan di atas didasari adanya alasan bahwa sebagai salah

satu cara penyelesaian sengketa perdata (di luar peradilan umum)

mengenai hak yang tercakup dalam hukum kekayaan, arbitrase memiliki

pertautan dengan lembaga kepailitan yang merupakan sita umum yang

mencakup seluruh harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua

kreditornya. Pertautan tersebut didasarkan pada akibat yang timbul dari

pernyataan pailit terhadap status hukum debitor pailit untuk melakukan

pengurusan terhadap harta kekayaannya.11

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU putusan

pernyataan pailit mengubah status hukum debitor menjadi tidak cakap

untuk melakukan perbuatan hukum menguasai dan mengurus harta

kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh

pengadilan.12 Kewenangan debitor untuk menguasai dan mengurus harta

pailit tersebut beralih demi hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan

Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal 69 ayat (1) UUK-PKPU

Namun demikian, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya

menjadi debitor pailit, bukan berarti debitor kehilangan seluruh hak

11

Ibid. 12

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 84.

Page 115: Undergraduate Thesis

7

keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di

bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya

untuk mengurus dan menguasai kekayaannya, sedangkan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya debitor masih cakap

dan berwenang.13

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, debitor pailit tetap cakap

bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU suatu gugatan atau

tuntutan hukum dapat diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor

pailit.14 Berkenaan dengan hal tersebut, kepailitan debitor juga memiliki

akibat hukum terhadap kedudukan debitor pailit dalam tuntutan hukum

yang diajukan olehnya dan yang sedang berjalan selama kepailitan dirinya

berlangsung. Akibat hukum tersebut diatur dalam Pasal 28 UUK-PKPU.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) sampai dengan Pasal 28

ayat (3) UUK-PKPU, suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor dan

yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung, atas permohonan

tergugat, perkara harus ditangguhkan untuk memberikan kesempatan

kepada tergugat memanggil kurator untuk mengambil alih perkara dalam

jangka waktu yang ditentukan oleh hakim. Dalam hal kurator tidak

mengindahkan panggilan tersebut atau apabila kurator menolak

mengambil alih perkara, maka tergugat berhak memohon supaya perkara

digugurkan, dan jika tergugat tidak memohonkan hal tersebut, maka

13

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 190. 14

Fred B.G Tumbuan, Op.Cit, hlm. 55.

Page 116: Undergraduate Thesis

8

perkara dapat diteruskan antara debitor pailit dan tergugat di luar

tanggungan harta pailit.15

Keberadaan arbitrase sebagai salah satu upaya penyelesaian

sengketa di luar pengadilan membuka kemungkinan bahwa tuntutan

hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU di atas

diajukan oleh debitor melalui arbitrase. Namun demikian, UUK-PKPU tidak

memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kemungkinan penerapan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UUK-PKPU terhadap

suatu tuntutan hukum yang diajukan oleh debitor pailit melalui forum

arbitrase.

Ketidakjelasan pengaturan mengenai penerapan Pasal 28 UUK-

PKPU menunjukan adanya kesenjangan antara UUK-PKPU dengan

praktik yang terjadi dalam kenyataan, sebab dalam praktiknya terjadi

suatu peristiwa hukum di mana tuntutan hukum diajukan oleh debitor pailit

melalui forum arbitrase sebelum dirinya dinyatakan pailit.

Kesenjangan antara UUK-PKPU dengan praktik yang terjadi dalam

kenyataan pada gilirannya menimbulkan masalah perihal kepastian

hukum bagi pihak-pihak yang berperkara dalam forum arbitrase,

khususnya bagi pihak yang dinyatakan pailit pada saat proses

penyelesaian sengketa di arbitrase sedang berjalan.

Dalam praktiknya permasalahan sebagaimana diuraikan di atas

terjadi dalam perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki (selanjutnya

disebut PT SMR). Perkara kepailitan PT SMR diawali dari adanya

15

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 218-219.

Page 117: Undergraduate Thesis

9

hubungan hukum yang diadakan oleh PT SMR dengan PT Pupuk

Indonesia (Persero) (selanjutnya disebut PT PI) melalui Perjanjian No.

174/ SP/DIR/2007-No.156/SMRJ/XII/2007 tertanggal 27 Desember 2007

(selanjutnya disebut Perjanjian 2007).

Dalam Perjanjian 2007 terdapat klausula arbitrase yang berisi

kesepakatan PT SMR dan PT PI (selanjutnya secara bersama-sama

disebut Para Pihak) untuk memillih BANI sebagai forum yang berwenang

menyelesaikannya apabila di kemudian hari timbul perselisihan atau

sengketa di antara para pihak.

Memasuki tahun 2008, mulai terjadi ketidakharmonisan dalam

hubungan bisnis Para Pihak. Masing-masing mengklaim sebagai pihak

yang benar, dan menuduh pihak lain mempunyai utang. PT SMR menilai

PT PI telah melakukan cidera janji terhadap Perjanjian 2007. Atas dasar

hal tersebut PT SMR mengajukan tuntutan pembatalan Perjanjian 2007

disertai tuntutan ganti rugi ke BANI pada tanggal 31 Agustus 2012.16

Di lain pihak PT PI menilai PT SMR memiliki utang yang belum

dibayarkan kepada PT PI. Berdasarkan pada alasan tersebut, pada

tanggal 19 Oktober 2012 PT PI mengajukan permohonan pernyataan pailit

PT SMR ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.17

16

Muhammad Yasin, “Klausul Arbitrase Tidak Menghalangi Pailit”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51da266b95cef/klausul-arbitrase-tak-menghalangi-pailit, diakses pada tanggal 2 September 2013 Pukul 12.44 WIB.

17 Ridwan Asikin, “Pupuk Indonesia Gandeng Kejaksaan Pailitkan Sri Melamin”,

http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid=DD&pubid=pub20130211, diakses pada tanggal 1 September 2013 Pukul 23.03 WIB.

Page 118: Undergraduate Thesis

10

Pada tanggal 21 Desember 2012 permohonan pailit tersebut ditolak

oleh Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo.18 Tidak puas atas putusan

tersebut PT PI mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung

(selanjutnya disebut MA) pada tanggal 28 Desember 2012. Kemudian

pada tanggal 17 April 2013 MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga a

quo dan mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh PT PI

terhadap PT SMR serta menyatakan PT SMR pailit dengan segala akibat

hukumnya.19 Setelah PT SMR dinyatakan pailit, kedudukan PT SMR

sebagai pemohon dalam proses penyelesaian sengketa di BANI diambil

alih oleh Kurator PT SMR (dalam pailit).

Sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian lain yang

membahas tentang akibat hukum putusan pernyataan pailit debitor

terhadap proses penyelesaian sengketa yang sedang berjalan di

arbitrase. Adapun karya tulis yang berkaitan dengan tema dan

permasalahan yang akan diteliti oleh penulis, yaitu:

1. Karya tulis yang pertama ditulis oleh Boydo H.K. Panjaitan, dengan

judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Pengenyampingan

Klausula Arbitrase Oleh Pengadilan Niaga Dalam Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang”, Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran, 2008. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan

mengenai kekuatan hukum klausula arbitrase terhadap pihak dalam

18

Ibid. 19

Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 45 K/Pdt.Sus/2013, diunduh dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/7d9994ba55f711d45fb842aa0c625a0c, diakses pada tanggal 30 Juli 2013 Pukul 13.00 WIB.

Page 119: Undergraduate Thesis

11

suatu perjanjian dan kewenangan Pengadilan Niaga terhadap

klausula arbitrase yang diberikan oleh UUK-PKPU.

2. Karya tulis yang kedua ditulis oleh Agung Wibowo, dengan judul

skripsi “Kompetensi Pengadilan Niaga Terhadap Permohonan Pailit

Yang Diajukan Oleh Kreditor Kepada Debitor Yang Mencantumkan

Klausula Arbitrase”, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,

2010. Skripsi ini mengangkat pokok permasalahan mengenai

kewenangan lembaga arbitrase untuk memeriksa sengketa

kepailitan.

Berdasarkan adanya perbedaan antara karya tulis di atas dengan

penelitian penulis terkait tema dan permasalahan yang diteliti, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum mengenai akibat

hukum kepailitan terhadap arbitrase dalam bentuk skripsi, dengan judul:

“STATUS HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

YANG DIAJUKAN OLEH DEBITOR DI LUAR PERKARA KEPAILITAN

TERHADAP PERNYATAAN PAILIT DEBITOR DITINJAU DARI HUKUM

POSITIF INDONESIA”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,

maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti dengan

identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor terhadap

perjanjian arbitrase antara debitor dan kreditor?

Page 120: Undergraduate Thesis

12

2. Bagaimana kewenangan debitor yang telah dinyatakan pailit dalam

meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan dilaksanakannya penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis konsekuensi

putusan pernyataan pailit debitor terhadap perjanjian arbitrase

antara debitor dan kreditor.

2. Untuk mengetahui, mengkaji, dan menganalisis kewenangan

debitor yang telah dinyatakan pailit dalam meneruskan perkaranya

selaku pemohon di lembaga arbitrase.

D. Kegunaan Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan adanya kegunaan baik secara teoritis

maupun praktis, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran berupa kegunaan sebagai bahan untuk dikaji bagi ilmu

hukum itu sendiri pada umumnya dan juga bagi hukum kepailitan

dan hukum arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa pada

khususnya.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan berupa pengetahuan hukum mengenai kepailitan dan

Page 121: Undergraduate Thesis

13

arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa beserta instrumen-

instrumennya kepada masyarakat luas pada umumnya, serta

khususnya bagi para pihak yang terlibat dalam proses kepailitan

dan arbitrase.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1

ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat. Pembangunan hukum nasional

Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 harus dapat mendukung dan

menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum

yang berintikan keadilan dan kebenaran.

Hal ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja bahwa ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari

segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.20

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan

adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.

Yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur,

tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang

melampaui batas-batas sekarang.21

Dalam masyarakat yang sedang melakukan pembangunan, hukum

tidak sekedar menjadi alat untuk memelihara ketertiban dalam

20

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 3.

21 Idem, hlm. 4.

Page 122: Undergraduate Thesis

14

masyarakat, namun hukum juga harus dapat membantu proses

perubahan masyarakat itu. Peranan hukum dalam pembangunan adalah

untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.

Karena baik perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan kembar dari

masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang

tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.22

Proses pembangunan di Indonesia ditandai dengan meningkatnya

aktivitas bisnis dan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para pelaku

usaha. Mengamati aktivitas bisnis di Indonesia yang kian marak tersebut

tidak mungkin dapat dihindari terjadinya sengketa atau dispute antar para

pihak yang terlibat. Semakin luas kegiatan perdagangan, semakin banyak

frekuensi terjadinya sengketa, di lain pihak semakin banyak pula sengketa

yang harus diselesaikan.23

Berkenaan dengan hal itu, diperlukan suatu sistem penyelesaian

sengketa yang cepat, eketif, dan efisien. Kemajuan ekonomi khususnya

perkembangan dunia usaha, tidak akan mencapai hasil maksimal tanpa

didukung suatu sistem peradilan (penyelesaian sengketa) yang dapat

diterima, dalam arti sistem peradilan yang mampu dan cekatan

menyelesaikan sengketa bisnis secara cepat dengan biaya murah24, serta

memberikan manfaat bagi para pihak yang berperkara dan menjamin

adanya kepastian hukum.

22

Idem, hlm. 20. 23

Suyud Margono, “Pelembagaan Alternatif Dispute Resolution (ADR) di Indonesia”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 16.

24 Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa Dalam Dunia

Usaha”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hlm. 138.

Page 123: Undergraduate Thesis

15

Sehubungan dengan hal itu, pembangunan hukum nasional telah

menunjukan sikap yang responsif terhadap perkembangan kegiatan

ekonomi yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut terlihat dari lahirnya

UUK-PKPU sebagai salah satu perangkat hukum yang menjamin

kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum dalam upaya

penyelesaian masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan

efektif.

Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan masalah utang

piutang atau kewajiban sesuatu kepada pihak lain.25 Dalam suatu

perjanjian umumnya terdapat debitor atau orang yang berutang dan

kreditor atau orang yang berpiutang. Manakala debitor berhenti membayar

utangnya, baik karena tidak mampu membayar ataupun tidak mau

membayar, hal ini menimbulkan kerugian bagi kreditor. Salah satu

alternatif tindakan hukum secara litigasi yang dapat ditempuh oleh kreditor

dalam menyelesaikan masalah utang piutang yaitu dengan mengajukan

permohonan kepailitan terhadap debitor.26

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUK-PKPU, kepailitan adalah sita

umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang penguasaan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim

pengawas. UUK-PKPU memberikan pengertian debitor sebagai orang

yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang

25

Man S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, PT Alumni, Bandung, 2005, hlm. 193.

26 Pupung Faisal, “Pengaturan Dan Pelaksanaan Renvooiprocedure Dalam

Perkara Kepailitan”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012, hlm. 500.

Page 124: Undergraduate Thesis

16

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan, sedangkan debitor pailit

adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menyatakan bahwa debitor

yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

pailit dengan putusan Pengadilan Niaga, baik atas permohonannya

sendiri, maupun atas permohonan seorang atau lebih kreditornya.

Kepailitan pada dasarnya berhubungan dengan harta kekayaan

debitor. Kepailitan mengakibatkan kekayaan debitor pailit yang masuk

dalam harta pailit berada di bawah sita umum. Berdasarkan Pasal 21

UUK-PKPU, harta pailit meliputi seluruh harta kekayaan debitor pada saat

putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh

debitor pailit selama kepailitan, kecuali yang secara tegas dinyatakan oleh

UUK-PKPU dikeluarkan dari harta pailit.

Sita umum terhadap harta kekayaan debitor berakibat pada

pembatasan terhadap hak dan kewenangan debitor untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap harta kekayaannya. Hal tersebut ditegaskan

dalam Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa debitor

demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus

kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan

pernyataan pailit diucapkan. Kewenangan debitor tersebut beralih demi

hukum kepada kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) jo. Pasal

69 ayat (1) UUK-PKPU.

Page 125: Undergraduate Thesis

17

Berkenaan dengan status debitor pailit di atas dan karena

selanjutnya harta kekayaan debitor pailit tidak lagi diurus oleh debitor

tetapi oleh kuratornya, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1)

UUK-PKPU segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang

menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.

Selanjutnya ketentuan Pasal 27 UUK-PKPU menyatakan bahwa

selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh

pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor

pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.

Dengan kata lain, gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 UUK-

PKPU tersebut (yaitu gugatan yang ditujukan kepada debitor pailit bukan

kepada kurator) tidak dapat diterima oleh hakim sebagai gugatan dan

diperiksa perkaranya, tetapi hanya dapat diterima sebagai laporan untuk

pencocokkan tagihannya dalam rangka verifikasi utang piutang dari

debitor pailit yang bersangkutan.27

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU di

atas, harus dicermati bahwa dengan diputuskannya menjadi debitor pailit,

bukan berarti debitor kehilangan seluruh hak keperdataannya untuk dapat

melakukan semua perbuatan hukum di bidang keperdataan. Debitor pailit

hanya kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai

kekayaannya, sedangkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

keperdataan lainnya debitor masih cakap dan berwenang.28

27

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 193. 28

Idem, hlm. 190.

Page 126: Undergraduate Thesis

18

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, debitor pailit tetap cakap

bertindak. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU suatu gugatan atau

tuntutan hukum dapat diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor

pailit.29

Berkenaan dengan hal tersebut, kepailitan juga memiliki akibat

terhadap gugatan atau tuntutan hukum yang diajukan oleh atau terhadap

debitor pailit dan yang sedang berjalan selama kepailitan berlangsung.

Apabila dalam kepailitan debitor terdapat tuntutan hukum yang sedang

berjalan dan si debitor berkedudukan sebagai penggugat, berlaku

ketentuan Pasal 28 UUK-PKPU. Sebaliknya, apabila si debitor

berkedudukan sebagai tergugat, berlaku ketentuan Pasal 29 UUK-PKPU.

Sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa utang

piutang melalui jalur hukum, kepailitan berada di wilayah perbatasan

antara hukum privat dan hukum publik. Bahkan, dapat dikatakan bahwa

kepailitan itu dalam beberapa aspeknya sangat bersifat publik, walaupun

juga memiliki aspek privat. Adanya kondisi tersebut menyebabkan proses

kepailitan akan mungkin berakibat pada pembatasan hak-hak maupun

kewenangan dari pihak ketiga, termasuk pembatasan pada forum lain,

seperti arbitrase atau peradilan umum.30

Pembatasan pada forum arbitrase didasari pada alasan adanya

interaksi atau pertautan antara kepailitan dengan arbitrase. Pertautan

29

Fred B.G Tumbuan, Loc.Cit. 30

Husseyn Umar, “Komentar Terhadap Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (ed), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004, hlm. xx.

Page 127: Undergraduate Thesis

19

tersebut terjadi karena adanya pembatasan kewenangan debitor pailit

untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya sebagai akibat dari

kepailitan. Adanya pembatasan kewenangan bertindak debitor pailit

terhadap harta kekayaannya pada gilirannya berdampak pada forum

arbitrase sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa perdata (di luar

peradilan umum) mengenai hak yang tercakup dalam hukum kekayaan.

Arbitrase yang di Indonesia diatur dalam UU Arbitrase & APS

merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa.

Jurisdiksi arbitrase lahir berdasarkan kesepakatan sukarela dari

para pihak. Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau

yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Kesepakatan atau persetujuan para pihak tersebut dituangkan dalam

bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang dinamakan dengan

perjanjian arbitrase.

Secara normatif, UU Arbitrase & APS memberikan batasan

pengertian mengenai perjanjian arbitrase, sebagaimana dimaksud dalam

ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Arbitrase & APS yang menyatakan bahwa:

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum di dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.” Berdasarkan berbagai sumber undang-undang, peraturan dan

konvensi internasional, perjanjian arbitrase dibedakan menjadi 2 bentuk,

Page 128: Undergraduate Thesis

20

yaitu klausula arbitrase atau pactum de compromittendo dan akta

kompromis. Dalam perjanjian arbitrase yang berbentuk klausula arbitrase,

para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang

mungkin timbul melalui forum arbitrase.

Bentuk perjanjian arbitrase yang kedua adalah akta kompromis.

Akta kompromis yaitu perjanjian yang telah disepakati oleh pihak yang

berjanji bahwa perselisihan yang telah terjadi di antara mereka akan

diselesaikan melalui forum arbitrase. Jadi akta kompromis dibuat para

pihak setelah timbul sengketa, dimana sebelumnya baik dalam perjanjian

pokok maupun dengan akta tersendiri, tidak diadakan suatu perjanjian

arbitrase.

Perjanjian arbitrase merupakan tambahan yang diletakan pada

perjanjian pokok, oleh karena itu perjanjian arbitrase disebut dengan

perjanjian buntutan atau “asesor”.31 Sebagai pernjanjian asesor, perjanjian

arbitrase wajib mengikuti prinsip-prinsip hukum kontrak asesor yang

berlaku, yaitu isinya tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya, tidak

boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya, dan tidak ada tanpa

adanya perjanjian pokok.32

Sungguhpun pada prinsipnya perjanjian arbitrase merupakan suatu

perjanjian asesor, tetapi ada beberapa sifatnya yang unik, yang

menyebabkan sifatnya sebagai asesor tersebut tidak diikuti secara penuh.

31

Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata (Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention of the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm, hlm. 62.

32 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Cetakan

kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 118.

Page 129: Undergraduate Thesis

21

Misalnya, jika perjanjian pokoknya batal, perjanjian arbitrase tidak ikut-

ikutan batal.33 Pasal 10 UU Arbitrase & APS menyatakan bahwa:

“Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut dibawah ini:

a. Meninggalnya salah satu pihak; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi; d. Insolvensi salah satu pihak; e. Pewarisan; f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok; g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan

pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

Perjanjian arbitrase melahirkan kompetensi absolut atau

kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para

pihak. Sebagai konsekuensi hukumnya penyelesaian sengketa dimaksud

akan ditarik keluar dari yurisdiksi hakim Pengadilan Negeri dan

selanjutnya menjadi kewenangan forum arbitrase yang dipilih oleh para

pihak. Sebaliknya, Pengadilan Negeri menjadi tidak berwenang untuk

menyelesaikan sengketa bersangkutan.

Kewenangan mutlak forum arbitrase terhadap kompetensi

Pengadilan Negeri ditegaskan dalam Pasal 3 UU Arbitrase & APS yang

menyatakan bahwa:

“Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa

para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase”,

sejalan dengan ketentuan tersebut, Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase & APS

menyatakan bahwa:

33

Idem, hlm. 119.

Page 130: Undergraduate Thesis

22

“Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” Arbitrase dan Pengadilan Negeri merupakan 2 mekanisme

penyelesaian sengketa yang berbeda. Namun demikian, pada dasarnya

karateristik arbitrase serupa dengan penyelesaian sengketa lewat

Pengadilan Negeri. Menyelesaikan sengketa melalui pengadilan maupun

melalui arbitrase, kedua bentuk tersebut, merupakan adjudicatory

methods of settlement atau adjudikasi dengan pendekatan pertentangan

(adversarial), meskipun arbitrase tetap dianggap sebagai bentuk lain dari

adjudikasi, yakni adjudikasi privat.34

Selain itu, pada hakikatnya pihak-pihak yang berperkara dalam

proses arbitrase tidak berbeda dengan pihak-pihak dalam sengketa

perdata pada umumnya di Pengadilan Negeri, yaitu sekurang-kurangnya

terdapat dua pihak. Yang berbeda adalah persoalan penyebuatan pihak-

pihak yang berperkara. Para Pihak dalam sengketa perdata pada

Pengadilan Negeri disebut penggugat dan tergugat, sedangkan dalam

proses pemeriksaan sengketa pada forum arbitrase penyebutan pihak-

pihak dalam perkara sedikit berbeda.

Penyebutan pihak-pihak dalam forum arbitrase telah dibakukan dan

standar, baik dalam literatur maupun arbitration rules. Sebutan untuk

34

Para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, sehingga dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian yang dianggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut, sehingga tidak perlu merasa takut atau tidak yakin terhadap hukum substansi dari yurisdiksi tertentu. Lihat Garry Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”, dalam Felix O. Soebagjio & Eman Radjagukguk (eds.), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 7-8.

Page 131: Undergraduate Thesis

23

pihak yang membuat tuntutan adalah “claimant” sedangkan sebutan untuk

pihak tertuntut adalah “respondent”.35 Sementara itu baik di dalam UU

Arbitrase & APS maupun di dalam PPA BANI, penyebutan pihak-pihak

yang bersengketa disebut dengan istilah “Pemohon” untuk “claimant” dan

“Termohon” untuk “respondent”.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan unsur yang mutlak dalam suatu

penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula

hubungannya dalam penulisan skripsi ini. Langkah-langkah penelitiaannya

sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan penulis dengan menggunakan metode

pendekatan yuridis normatif,36 yaitu penelitian hukum yang

mengutamakan penelitian kepustakaan yang menekankan pada

tinjauan dari segi ilmu dan bagaimana implementasinya. Metode

yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan terhadap asas –

asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.37 Penelitian hukum normatif

atau penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.

Penelitian ini dinamakan juga penelitian hukum kepustakaan.38

35

Eman Suparman, Op.Cit, hlm. 81. 36

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.51.

37 Ibid.

38 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 13-14.

Page 132: Undergraduate Thesis

24

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan bersifat deskriptif analitis,

yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat secara sistematis,

faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada dalam materi

penelitian ini yaitu konsekuensi putusan pernyataan pailit debitor

terhadap perjanjian arbitrase dan kewenangan debitor pailit untuk

dapat meneruskan perkaranya selaku pemohon di lembaga arbitrase.

3. Tahap Penelitian

Untuk melengkapi data kepustakaan yang ada maka diadakan

penelitian lapangan. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis

meliputi dua tahap, terdiri dari:

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian dilakukan terhadap data-data sekunder yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, merupakan peraturan perundang-

undangan yang berlaku39, antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang;

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

d) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45

K/Pdt.Sus/2013;

39

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian....Op.Cit, hlm. 1.

Page 133: Undergraduate Thesis

25

e) Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst;

f) Peraturan perundang-undangan lainnya.

2) Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat

membantu menganalisa bahan hukum primer,40 yaitu buku-buku

dan makalah yang berkaitan dengan kepailitan dan arbitrase.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi

penjelasan bahan hukum primer dan sekunder yang ada

hubungannya dengan pokok permasalahan yang dibahas41,

yaitu berupa kamus hukum, artikel, jurnal, dan data yang

diperoleh melalui internet.

b. Penelitian Lapangan

a. Penelitian lapangan dilakukan untuk mencari dan kemudian

meneliti data primer yang didapat di lapangan sebagai pendukung

dari data-data sekunder. Penelitian lapangan ini dilakukan di

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Badan Arbitrase Nasional

Indonesia, kantor hukum Rynaldo P. Batubara (Kurator PT Sri

Melamin Rejeki (dalam pailit)), dan kantor hukum Fred B.G

Tumbuan (Tim Perumus UUK-PKPU), DKI Jakarta.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis ialah:

40

Ibid. 41

Ibid.

Page 134: Undergraduate Thesis

26

a. Studi kepustakaan, dan

b. Wawancara.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data pada dasarnya tergantung pada jenis

datanya, bagi penelitian hukum normatif yang hanya mengenal data

sekunder saja, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan

menganilisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri dari

berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.

Penerapan penafsiran terhadap hukum selalu berhubungan dengan

isisnya. Setiap hukum mempunyai dua segi, yaitu yang tersurat dan

tersirat; bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu

diperdebatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini, bahasa menjadi

pentng. Ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabaran adalah

sangat relevan bagi hukum. Penafsiran mau tidak mau dibutuhkan

untuk menerangkan dokumen hukum.

Setelah memperoleh data penunjang penulisan skripsi ini, maka

dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk

menggambarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan

berupa penjelasan-penjelasan yang tidak dapat ditunjukan oleh angka

dan tidak dapat dihitung.

6. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di beberapa lokasi sebagai berikut:

a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung;

Page 135: Undergraduate Thesis

27

b. Perpustakaan Umum Universitas Padjadjaran, Bandung;

c. Mahkamah Agung Republik Indonesia, DKI Jakarta;

d. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

e. Badan Arbitrase Nasional Indonesia, DKI Jakarta;

f. Kantor hukum Rynaldo P. Batubara (Kurator PT Sri Melamin

Rejeki (dalam pailit)), DKI Jakarta;

g. Kantor hukum Fred B.G Tumbuan (Tim Perumus UUK-PKPU),

DKI Jakarta.

Page 136: Undergraduate Thesis

130

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, Pustaka Pelajar, Jakarta,

2009. Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, Penerbit

PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2012. Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara

Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004

Fred B.G Tumbuan, “Dampak Arbitrase Terhadap Kepailitan”, dalam

Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.

_____, “Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan

Sebagaimana Diubah oleh PERPU No. 1/1998”, dalam Rudy A. Lontoh, Denny Kilimang, dan Benny Pontoh (eds.), Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2000.

Garry Goodpaster, “Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa”,

dalam Felix O. Soebagjio & Eman Radjagukguk (eds.), Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001. H. Sudiarto & Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, Salah Satu

Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Huala Adolf, Analisis dan Evaluasi Hukum Penyelesaian Sengketa

Melalui Arbitrase (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999), Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2006.

Husseyn Umar, “Komentar Terhadap Interaksi Antara Arbitrase dan

Proses Kepailitan”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.

Page 137: Undergraduate Thesis

131

I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum : Inggris – Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, 2008. Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam

Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Isis Ikhwansyah et. all, Hukum Kepailitan (Analisis Hukum

Perselisihan dan Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, CV Keni Media, Bandung, 2012.

Joni Emrizon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramitha,

Jakarta, 2004

Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, PT Alumni, Bandung, 2010.

M. Yahya Harahap, Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata

(Rv), Peraturan Prosedur BANI, International Centre for the Settlement of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention of the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, PERMA No. 1 Tahun 1990, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2010. ______, Bunga Rampai Hukum Dagang, PT Alumni, Bandung, 2005. Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan, Mandar Maju, Bandung,

1999. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam

Pembangunan, PT Alumni, Bandung, 2006. Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis), Cetakan Kedua, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

______, Hukum Kepailitan Dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2000.

Page 138: Undergraduate Thesis

132

Nurnaningsih Amriani, Mediasi : Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata di Pengadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.

Otje Salman S., “Kontekstualisasi Hukum Adat Dalam Proses

Penyelesaian Sengketa”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Parwoto Wignjosumarto, “Titik Taut Arbitrase Dan Kepailitan di

Indonesia”, dalam Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo (eds.), Prosiding : Interaksi Antara Arbitrase dan Proses Kepailitan, Pusat Pengkajian Hukum (PPH), Jakarta, 2004.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, 2008. Pupung Faisal, “Pengaturan Dan Pelaksanaan Renvooiprocedure

Dalam Perkara Kepailitan”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, cet. VI, 1979. ______, Arbitrase Perdagangan, Binacipta, Bandung, 1992. ______, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. ke-XXXIII, PT Intermasa,

Jakarta, 2005. Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan

di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. ______, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2003. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT

Alumni, Bandung, 2006. Rudy A Lontoh et.all, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, PT Alumni, Bandung, 2001.

Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Binacipta,1979.

Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa Dalam

Dunia Usaha”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001.

Page 139: Undergraduate Thesis

133

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2008.

_______ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, Cetakan Pertama Edisi Kedelapan, 2009. ______, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,

Yogyakarta, 2010. Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2010.

Suyud Margono, “Pelembagaan Alternatif Dispute Resolution (ADR) di

Indonesia”, dalam Hendarmin Djarab dan Rudi M. Rizki (eds.), Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001.

Zainal Muttaqin, “Aspek Kepailitan Dalam Penagihan Utang Pajak

Terhadap Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit”, dalam Isis Ikhwansyah, Kompilasi Hukum Bisnis, CV. Keni, Bandung, 2012.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Sumber Lain Alan Redfern dan Martin Hunter, Law and Practice of International

Commercial Arbitration, Sweet and Maxwell, London, 1986, hlm. 3, sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf, “Syarat Tertulis dan Indepedensi Klausul Arbitrase”, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia No. 6, 2009

Page 140: Undergraduate Thesis

134

Anggaran Dasar dan Peraturan Prosedur Arbitrase Badan Arbitrase

Nasional Indonesia Tahun 1985. Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, terjemahan Saleh Adiwinata

dkk., Binacipta, Bandung, 1983. Hasil wawancara dengan Fred B.G Tumbuan, Tim Perumus UUK-

PKPU, di Kantor Hukum Tumbuan & Partner, Jakarta, 14 November 2013.

Hasil wawancara dengan Rynaldo P. Batubara, kurator PT SMR

(dalam pailit),di Kantor Hukum Batubara & Bels, Jakarta, 30 September 2013.

M. Yahya Harahap, “Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat

Perhatian Atas UU No. 30 Tahun 1999”, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 21, Oktober-November 2002.

Muhammad Yasin, “Klausul Arbitrase Tidak Menghalangi Pailit”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51da266b95cef/klausul-arbitrase-tak-menghalangi-pailit.

Peter J. Dorman (eds.), Running Press Dictionary of Law, Running

Press, Philadelphia, 1976. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 45 K/Pdt.Sus/2013. Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.

64/Pailit/2012/PN.Niaga/Jkt.Pst. Ridwan Asikin, “Pupuk Indonesia Gandeng Kejaksaan Pailitkan Sri

Melamin”,http://www.pusri.co.id/50publikasi01.php?tipeid=DD&pubid=pub20130211.

Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, “Sengketa dan

Penyelesaiannya”, dalam Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1997.