UPAYA FOX NEWS CHANNEL
DAN PEMERINTAH AMERIKA SERIKAT
DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK AS
PADA MASA INVASI IRAK 2003
SKRIPSI
OLEH :
RIFQI ACHMAD SAZALI
1060 8300 2756
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dibuat dan diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2011
Rifqi Achmad Sazali
106083002756
i
ABSTRAK
Pada masa invasi Irak 2003, Fox News Channel (FNC) dan pemerintah AS
berupaya membangun opini publik agar menjadi terarah berdasarkan publikasi
dan pandangan media massa yang dipelopori oleh FNC. Upaya FNC dan
pemerintah tersebut didasari oleh kepentingan kedua belah pihak, yakni untuk
mendapatkan keuntungan berupa rating dan dukungan terhadap invasi. Tulisan ini
bersifat deskriptif, yaitu melalui studi pustaka dengan menggunakan metoda
kualitatif maka dapat menggambarkan permasalahan yang dibahas.
Dengan metoda tersebut dapat digunakan secara mendalam untuk
mengidentifikasi dan menganalisis upaya FNC dan pemerintah AS dalam
membangun opini publik, dan melihat opini publik sebagai hasil dari upaya FNC
dan pemerintah AS tersebut.
Kata kunci: Invasi Irak 2003, opini publik, embedded journalism, komunikasi
internasional dan media massa dalam kebijakan luar negeri.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, karena dengan
hidayah dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Upaya
Fox News Channel dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik Pada
Masa Invasi Irak 2003”. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan baik yang
bersifat teknis maupun materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak. Kritik dan saran yang diberikan, akan penulis
jadikan bahan dalam penyempurnaan skripsi ini.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menguncapkan terima
kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu membantu penyelesaian
skripsi ini. Dimana dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak menemui
hambatan dan ritangan yang dihadapi penulis tetapi berkat bantuan yang diberikan
berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, semua permasalahan dan kendala
dapat teratasi. Oleh kerena itu, penulis dengan tulus menguncapkan terima kasih
atas bantuannya baik langsung dan tidak langsung kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan
Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Kiky Rizky, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah
memberikan ilmu, saran dan arahannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. H. Djayani Adnan dan Hj. Tuta Rosita, Spd.I., kedua orang tua
tercinta terima kasih atas do’a, kasih sayang, dan dukungan baik moril
maupun materi sehingga skripsi ini dapat selesai.
5. Nazaruddin Nasution, SH., MH, sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
6. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam
meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwa.
7. Bapak Amaly dan Bang Nanda, sebagai staff di Jurusan Hubungan
Internasional yang telah membantu penulis dalam mengurus segala bentuk
yang berhubungan dengan nilai kuliah.
8. Yulis Maghita Bungsu, Ph.D., yang telah mendukung proses penyelesaian
skripsi ini dan mengizinkan datang ke perpustakaan pribadinya.
9. Haninda Farah Moetya, terima kasih atas pengertian, waktu, dukungan,
semangat dan doanya dalam penyusunan skripsi ini, semoga engkau
diberikan kesehatan selalu.
10. Teman-teman terbaik di HI B angkatan 2006: Muh. Zubir, Ibnu Abok,
Sabriela (Ola), Nadya Hajarani, Prila Chandra, Shinta Oktalia. Lima tahun
yang luar biasa bersama kalian, penuh suka dan duka dalam berjuang
bersama-sama dari awal hingga akhir kuliah ini. Sukses selalu ya kawan-
iv
kawan dan jangan pernah lelah untuk mengejar cita-cita. We’re the seven
souls….. LUV Y’ALL!!!
11. Seluruh teman-teman HI angkatan 2006 dan teman-teman HI angkatan
2007. Semoga kekompakan kita terus terjaga, semangat terus kawan-
kawan!
12. Teman-teman dari “HiRo’ Band”: Reza, Galuh, Arie, Melynda, terima
kasih atas dukungan dan pengertiannya dalam proses penyelesaian
penulisan skripsi ini. Main musik sama kalian punya arti tersendiri, maaf
kalo latihan atau manggung sering absen dengan alasan skripsi. Semoga
HiRo’ bisa berkarya dan lagu-lagunya bisa didengar sampai kita tua.
Band - No one better than HiRo’.
13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas
dukungan dalam penulisan skripsi ini. Semoga mendapatkan balasan dari
Allah SWT atas kebaikan.
Akhir kata, penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan
yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi
perkembangan studi Hubungan Internasional.
Jakarta, Juli 2011
Rifqi Achmad Sazali
106083002756
v
DAFTAR ISI
Abstrak ................................................................................. ............................................. i
Kata Pengantar .................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................ v
Daftar Tabel .................................................................................................................... vii
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah .......................................................................................... 1
B. Identifikasi masalah ................................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................... 6
D. Kerangka pemikiran ............................................................................................... 7
E. Metoda penelitian ................................................................................................. 13
F. Sistematika penulisan ........................................................................................... 14
Bab II Tinjauan Umum Fox News Channel (FNC)
A. Media Massa AS dan FNC .................................................................................. 16
B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat ........................ 25
C. Peliputan Perang Irak .......................................................................................... 32
Bab III Kebijakan Responsif AS Terhadap Irak Pasca-Tragedi 9/11
A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS .................................................................... 36
B. Kebijakan AS terhadap Irak ................................................................................ 43
C. Invasi AS ke Irak ................................................................................................. 50
Bab IV Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik
Pada Masa Invasi Irak 2003
A. Upaya FNC Dalam Membentuk Opini Publik Pada Saat Invasi Irak 2003 ........ 57
vi
B. Upaya Pemerintah AS Dalam Menangani Media Massa di Medan Perang
Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003 ....................................................................... 65
C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Menbangun Opini Publik
Tentang Invasi Irak 2003 .................................................................................... 71
Bab V Penutup
Kesimpulan ..................................................................................................................... 77
Daftar Pustaka ............................................................................................................... 81
vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1: Acara TV Unggulan dan Jangkauan FNC ...................................................... 21
Bagan 2: Pandangan Publik Terhadap Jaringan yang Berideologi. ............................... 24
Bagan 3: Konsumsi Berita Televisi: 2000. ..................................................................... 28
Bagan 4: Enam Perusahaan Media dan Media Utamanya.............................................. 29
Bagan 5: Rating Media AS Tahun 2003 Menurut Guardian (CNN, FNC dan
MSNBC). ...................................................................................................... 30
Bagan 6: Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak. ................................................... 31
Bagan 7: Pembungkaman Aljazeera oleh AS. ................................................................ 35
Bagan 8: Perbandingan Persenjataan AS-Koalisi dan Irak Tahun 2003. ....................... 52
Bagan 9: Publisitas Acara Berita Malam Utama Selama Perang Irak 2003 (CBS,
ABC, NBC, FNC dan CNN). ........................................................................ 64
Bagan 10: Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer Pada Invasi
Irak 2003. ..................................................................................................... 66
Bagan 11: Protes anti-Invasi Irak 2002-2003. ................................................................ 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat,
memancing tiap individu baik aktor negara maupun masyarakat biasa dapat
mengetahui berita secara real time.1 Beragam peristiwa yang terjadi mulai dari
perang, krisis, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), bencana alam, hingga aksi
terorisme di seluruh dunia dapat diterima melalui pemberitaan media massa, baik
surat kabar, internet, televisi (TV) maupun radio.
Teknologi informasi dengan bantuan satelit mampu memberikan tayangan
suatu kejadian atau peristiwa secara langsung dari tempat kejadian, seakan-akan
media elektronik menjadikan pemirsa sebagai saksi mata terhadap setiap peristiwa
yang ditayangkan.2 Seperti Perang Teluk 1991, invasi AS ke Kosovo 1999,
bahkan serangan teroris terhadap World Trade Center (WTC) dan gedung
Pentagon di Amerika Serikat 2001 dapat disaksikan oleh pemerhati berita dari
seluruh dunia.
Dalam merespon kemajuan teknologi informasi, aktor kebijakan luar
negeri menjadikan teknologi informasi khususnya media massa masuk sebagai
dimensi ke empat dalam hubungan antarnegara.3 Teknologi informasi berada
1 Real Time adalah informasi yang dapat diperoleh dengan cepat melalui jaringan internet
atau satelit dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat pada saat Perang Teluk tahun
1991, yaitu baik Saddam Hussein maupun George W. H. Bush (Bush senior) sebagai aktor negara
sama-sama menonton Cable News Network (CNN) untuk mengetahui perkembangan berita terbaru
di antara kedua negara tersebut. Lihat dalam Joseph S. Nye, Understanding International
Conflicts: An Introduction to Theory and History, (London: Harper Collins College Publisher,
1993), h. 184. 2 Ibid., h. 184.
3 Philip M. Taylor, global Communication International Affairs and The Media Since
1945, (London: Routledge, 1997) h. 20-34.
2
setelah diplomasi, interaksi ekonomi, dan militer. Dalam hubungan antarnegara
tersebut, teknologi informasi dijadikan alat untuk mencapai kepentingan nasional,
yakni menjadikan media massa untuk menyampaikan pesan dan pandangannya
terhadap suatu fenomena internasional melalui sudut pandang budaya negaranya.
Dengan dijadikannya teknologi informasi sebagai dimensi ke empat dalam
hubungan antarnegara, maka hal ini menggambarkan bahwa informasi merupakan
alat sosialisasi kebijakan luar negeri.4 Namun sosialisasi yang disampaikan oleh
teknologi informasi merujuk pada pencitraan suatu negara yang sengaja dibangun
di negara lain yang pada umumnya menggunakan media massa. Hal ini dapat
ditunjukkan dengan melihat mekanisme berita yang dikonstruksikan oleh media
massa, di mana jurnalis meliput dan mempublikasikan berita ke negara lain
sebagai berita aktual untuk membangun citra bahkan ditujukan untuk mengubah
kebijakan suatu negara.
Seperti halnya pada konflik Bosnia tahun 1992-1995, Presiden Bill Clinton
tidak menganggap penting masalah tersebut karena tidak mengancam kepentingan
nasional Amerika Serikat.5 Namun, gencarnya pemberitaan dari media massa
mengenai pembantaian penduduk sipil Serbia, maka pemerintah mendapat
keyakinan untuk bertindak atas kasus yang terjadi.
4 Teknologi informasi memiliki tiga fungsi dalam komunikasi internasional: pertama, untuk
mendinamisasikan hubungan yang terjalin antara dua negara atau lebih; kedua, untuk menghidari
konflik agar tidak terjadi kesalah fahaman; ketiga, untuk membantu kepentingan suatu negara
dengan mendukung pelaksanaan politik luar negerinya. Dengan ketiga fungsi tersebut maka
informasi digolongkan sebagai aktor diplomasi jalur kedua (second track diplomacy) yang
menggantikan diplomasi tradisional (first track diplomacy). Dalam bab yang sama menjelaskan
bahwa diplomasi yang ada pada media massa digunakan untuk membanguncitra suatu negara di
negara lain. Lihat dalam Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional,
(Bandung: IKAPI-PT Refika Aditama, 2005), h. 126-134. 5 Warren p. strobel, (Senior Editor) “The Media: Influencing Foreign Policy in the
Information Age”, U.S News and World Report, diakses pada 02 Agustus 2010 pkl. 03:03, dari
http://www.unconsulate.gov/wwwhforpol.html
3
Pada penulisan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada
negara Amerika Serikat. Dalam konteks Amerika Serikat, telah dijelaskan skema
sosialisasi kebijakan luar negerinya melalui laporan The US Advisory Commission
on Public Diplomacy pada bulan Maret 1995. Dalam laporan tersebut
menjelaskan bahwa sosialisasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat
menggunakan diplomasi publik secara berdampingan dengan diplomasi
tradisional.6 Dengan demikian, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka
pemerintah AS juga harus menyampaikan kebijakannya melalui media massa
yang dikonsumsi oleh masyarakat AS sendiri atau menyampaikan kebijakannya
kepada masyarakat internasional melalui media yang berada di negara lain. Hal
ini merupakan bentuk upaya pemerintah memahami bahwa publik juga memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi peristiwa dan keputusan.
Media massa sebagai alat sosialisasi antarnegara juga dapat memainkan
peran dalam kepentingan nasional suatu negara.7 Hal ini juga berkaitan dengan
publikasi media yang diterima oleh negara lain untuk membantu kepentingan
negaranya. Dalam hubungan publikasi media massa mendukung kebijakan luar
negeri suatu negara dapat diteliti dalam kasus invasi AS ke Irak tahun 2003.
Invasi AS ke Irak tahun 2003 yang menjadi fokus penelitian skripsi ini,
merupakan realisasi kebijakan pemerintah AS sebagai respon terhadap aksi
terorisme Pasca-Tragedi 9/11.8 Kebijakan tersebut merupakan tindakan
kontroversial karena AS tidak dapat dukungan yang kuat dari data yang dimiliki
oleh United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission
6 Taylor, “Public Diplomacy in the 21st Century” dalam Global Communication
International Affairs, h. 82. 7 Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional, h, 127.
8 Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.3, No.2,
(Mei-September 2003), h. 8.
4
(UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA) setelah melakukan
pemeriksaan di Irak sebelum invasi.9
Invasi AS tersebut juga mendapat kecaman dari penjuru dunia terutama
negara-negara Arab maupun Irak sendiri.10
Hal ini terjadi karena invasi AS ke
Irak tidak mendapat legalitas yang jelas dari PBB. Dengan banyaknya kecaman
tersebut, namun AS tetap menganggap invasi Irak merupakan sesuatu hal yang
penting sehingga invasi terus dilakukan. Seperti halnya demonstrasi yang
dilakukan warga Irak pada 19 April 2003, pemerintah AS justru akan mengirim
seribu orang yang terdiri dari ahli senjata, intelijen, dan ilmuwan sipil untuk
mencari senjata pemusnah massal milik Saddam.11
Pengiriman tersebut semakin
menegaskan, bahwa invasi memang penting bagi AS.
Dengan kondisi seperti di atas, maka hal ini tentu tidak luput dari sorotan
media massa di seluruh dunia terutama media AS. Beragam media massa
berlomba mempublikasikan beritanya dari sudut pandang masing-masing.12
Hal
9 AS dan sekutunya (Inggris) menuduh Irak masih memiliki senjata pemusnah massal yang
dikembangkan pasca keluarnya tim inspeksi PBB tahun 1998-2002 dari Irak. Ancaman lain berupa
keterkaitan Saddam Hussein dengan Al-Qaida dalam hal terorisme serta AS berupaya untuk
menjadikan Irak sebagai negara demokratis yang lebih terbuka. Tuduhan AS tersebut tidak terbukti
karena UNMOVIC dan IAEA tidak menemukan tuduhan yang didengungkan oleh AS. Lihat
dalam Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007), h.147. 10
Pertemuan enam menteri luar negeri negara-negara yang berbatasan dengan Irak, yaitu
Arab Saudi, Iran, Kuwait, Turki, Suriah, dan Yordania, ditambah Mesir dan Bahrain di Riyadh
tanggal 16 April 2003, membahas persoalan negara yang sekarang diserang dan diduduki oleh
Amerika Serikat. Dalam pertemuan tersebut para menteri luar negeri sepakat bahwa Irak
seharusnya tidak diinvasi AS dan harus diperintah oleh warga Irak sendiri. Lihat
Nurkhoiri,“Negara Arab Ingin AS Segera Pergi”, dalam Harian Tempo edisi 20 April 2003. Selain
itu warga Irak yang merasa sedang dijajah oleh AS berdemo agar AS keluar dari Irak dengan
menuntut perdamaian pasca jatuhnya Saddam Hussein oleh AS, lihat juga Daru P.,“Demo Anti-AS
Guncang Bagdad”, Harian Tempo, 21 April 2003. 11
Daru, “Demo Anti-AS Guncang Bagdad”, Harian Tempo, 21 April 2003. 12
Pada massa awal perang Irak berlangsung tahun 2003, media massa seperti Cable News
Network (CNN), British Broadcast (BBC), Fox News Chanel (FNC) serta media Timur seperti Al-
Jazeera dan Al-Arabiya merupakan media yang paling menonjol dalam mempublikasi Perang Irak
2003. Media tersebut berlomba-lomba menampilkan berita melalui sudut pandang masing-masing.
Media Barat (CNN, FNC dan BBC) terlihat lebih menyorot dari sudut pandang budaya Barat yang
terkesan membela pemerintah AS dan seakan mempropagandakan beritanya. Lihat Kurie
Suditomo, ”Propaganda di Mata Seorang Wartawan Perang”, Harian Tempo, 8 April 2003.
5
ini tidak berbeda dengan keterlibatan Fox News Chanel (FNC) yang
mempublikasikan berita dari sudut pandangnya. FNC yang menyorot kasus
tersebut secara intensif dalam menanggapi invasi yang terjadi, acara-acara yang
ditampilkan lebih banyak tentang dukungan terhadap perang hingga
mengindikasikan bahwa media tersebut mendukung kebijakan luar negeri AS dan
mendapatkan keuntungan dari pemberitaan tersebut.13
Hal ini ditujukan agar
publik AS yakin bahwa invasi AS ke Irak memang harus dilakukan. Hal ini juga
mengindikasikan bahwa antara FNC dan pemerintah AS sama-sama memiliki
upaya untuk membangun opini publik pada masa invasi terjadi.
Pada penulisan skripsi ini, penulis akan memaparkan tentang upaya FNC
dalam membentuk opini publik di AS yang positif serta upaya pemerintah AS
dalam membangun opini publik melalui media massa yang menyorot invasi agar
berita yang dipublikasikan oleh media dapat mendorong masyarakat untuk
mendukung invasi Irak 2003. Dalam skripsi ini hanya akan membahas mengenai
upaya kedua belah pihak antara FNC dan pemerintah dalam membangun opini
publik yang positif.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang ada, maka pertanyaan dalam skripsi ini
adalah:
13
Indikasi FNC yang acaranya seakan mendukung kebijakan luar negeri AS dibahas oleh
Gray dalam “Dosa-Dosa Media Amerika. Dalam bukunya, ia menjelaskan bahwa media massa AS
khususnya FNC memanfaatkan fenomena invasi AS-Irak dengan memberitakan hal-hal yang bias
dan kontroversial serta berbau sensasi. Perhatian publik yang besar terhadap berita yang bias
tersebut membuat kebijakan pemerintah semakin cepat diketahui dan justru mengarahkan publik
menjadi seragam dalam memandang invasi. Berita-berita FNC lebih banyak tentang kebaikan
kebijakan pemerintah AS yang kemudian dibandingkan dengan keburukan Saddam Husein dan
Irak. Dengan pemberitaan tersebut, membuat News Corporations (NC) sebagai perusahaan induk
dari FNC mendapatkan prestasi berupa rating yang sangat baik. Jerry D. Gray, Dosa-Dosa Media
Amerika, (Jakarta: UFUK Press, 2006.), h. 7-29.
6
A. Bagaimana upaya Fox News Channel dalam membentuk opini publik AS
pada masa invasi?
B. Bagaimana upaya pemerintah AS dalam membangun opini publik AS
ketika terdapat banyaknya media massa yang menyorot kasus invasi
tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Skripsi ini memiliki tujuan:
1. Dapat menggambarkan upaya FNC dalam membangun opini publik AS
terhadap invasi serta menggambarkan perannya dalam atmosfer persaingan
antarmedia massa di AS.
2. Dapat menggambarkan upaya pemerintah AS mengontrol media di medan
perang untuk membangun opini publik yang positif terhadap invasi.
3. Melihat opini publik AS sebagai hasil dari upaya FNC dan pemerintah AS
dalam membangun opini publik.
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam skripsi ini bertumpu pada teori
hubungan internasional dan teori komunikasi. Dalam mendukung penulisan
skripsi ini, penulis menggunakan teori komunikasi politik internasional yang
beralur pada pemikiran Vandana. Dalam pemikirannya, Vandana menjelaskan
bahwa arus informasi yang masuk dan keluar pada dasarnya memiliki
kepentingan-kepentingan politik bagi suatu negara.14
Dari pemikiran ini juga
14
Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi: 1996), h.
60.
7
mencoba menjelaskan bahwa sesungguhnya pendekatan politik internasional yang
ingin ditunjukkan adalah aspek politik dari komunikasi internasional itu sendiri.
Dalam pemikirannya juga dijelaskan lebih jauh bahwa komunikasi
merupakan elemen yang tidak bisa lepas dari kemampuan untuk mengendalikan.
Dalam hal ini, komunikasi digunakan untuk mengendalikan antara komunikator
dan komunikan yang menerima informasi dari komunikasi itu sendiri. Selain itu,
dalam pendekatan teori politik, aspek yang sangat diperhatikan adalah unsur
pengendalian politik.15
Sementara pengendalian politik sangat begantung kepada
aktor negara untuk mengatur negaranya. Atau berhubungan erat dengan
kemampuan negara tersebut menangani arus informasi yang dimilikinya. Karena
bila suatu negara mampu mengelola informasi yang dimilikinya dengan baik,
maka informasi tersebut dapat menjadi sumber kekuatan bagi negara tersebut.
Dimana negara dapat mengendalikan masyarakatnya melalui informasi yang
diberikan kepada masyarakat yang memperhatikan setiap kebijakan yang
dikeluarkan negara. Dengan keadaan tersebut sehingga menjadikan kebijakan
yang telah dikeluarkan dan dipublikasikan melalui media massa tersebut sebagai
tolak ukur untuk disetujui oleh masyarakat.
Vandana menjelaskan analisis dalam proses komunikasi tidak lain adalah
cara untuk mempelajari fenomena sosial dan politik. Sedangkan dalam konteks
hubungan internasional, pendekatan komunikasi dipandang sebagai interaksi antar
negara dalam konteks proses komunikasi dari cara keluar-masuknya informasi
dari negara satu ke negara lainnya, atau umpan balik dan sebagainya yang
berhubungan dengan Kebijakan Luar Negeri.
15
Ibid., h.78.
8
Dalam menganalisis suatu fenomena yang berhubungan dengan
komunikasi dan media massa, dapat menggunakan teori kultivasi, teori kegunaan
dan kepuasan, dan teori proses belajar sosial. Teori kultivasi pertama kali
diperkenalkan oleh George Gerbner.16
Menurut Gerbner, media massa
menanamkan sikap dan nilai tertentu yang kemudian memelihara dan
menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat. Dengan kata lain,
media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya bahwa
apa yang disiarkan oleh televisi adalah sebuah kenyataan yang benar adanya.
Menurut teori kultivasi, media merupakan tempat masyarakat belajar
tentang masyarakat dan kultur lingkungan sosial. Dalam hal ini televisi
merupakan media utama yang digunakan untuk belajar bagi masyarakat. Persepsi
masyarakat tentang budayanya sangat ditentukan oleh televisi.17
Dengan kata
lain, melalui televisi masyarakat belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-
nilainya, adat kebiasaannya, serta hal apa saja yang dibutuhkan oleh lingkungan
sosial yang dianggapnya penting. Teori kultivasi juga menjelaskan bahwa yang
terpenting dalam penyampaian komunikasi oleh media merupakan sebagai agen
homogenitas persepsi. Homogenitas persepsi ini diartikan sebagai pemahaman
pandangan tentang nilai yang sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh media.
Dengan adanya homogenitas persepsi yang telah dijelaskan di atas, maka
hal ini merujuk pada opini publik sebagai hasil dari penyampaian infromasi oleh
media massa. Dalam opini publik, menurut Jackson E. Baur terdapat beberapa
16
Straubhaar, J., & LaRose, R. Communications media in the information society.
(Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, 2002), h. 437. 17
Straubhaar & LaRose, Communications media in the information society., h. 437.
9
proses pembentukan pendapat melaui tujuh langkah, yakni:18
Pertama, timbulnya
kerisauan dikalangan anggota masyarakat mengenai suatu masalah, dan mencoba
menghubungkan pendapat-pendapat dari berbagai sumber. Ke dua, timbulnya
gagasan penyelesaian yang dikemukakan oleh kelompok-kelompok masyarakat
yang menaruh perhatian pada masalah tersebut, atau publik pemerhati. Ke tiga,
munculnya kelompok baru dengan mengajukan pendapat yang mendukung atau
bertentenangan lewat lembaga formal seperti organisasi, partai atau langsung
memprotes terhadap lembaga terkait. Ke empat, kelompok penentang mulai
menyatu dan mencari dukungan dari luar. Ke lima, melalui pembicaraan dan
perdebatan yang kontroversial inilah pendapat umum muncul. Ke enam, efek
pendapat umum apabila kelompok–kelompok tersebut mulai melakukan himabuan
agar pemerintah atau lembaga yang berkenaan mengambil tindakan tegas. Ke
tujuh, akhirnya pihak yang merasa berwenang mengambil tindakan dan membuat
keputusan keputusan yang pantas.
Selain menjelaskan media massa yang dikaitkan dengan aspek politik oleh
Vandana, serta media massa yang dikaitkan dengan aspek sosial, media massa
juga dapat dijelaskan dari aspek hubungan internasional. Dari perspektif
hubungan internasional, Arie Indra Chandra mencoba menjelaskan bahwa media
massa yang terhubungan dengan elemen komunikasi didefinisikan sebagai
pencipta realitas kedua dalam politik global.19
Media massa dalam menciptakan
realitasnya menghadirkan sudut pandang suatu negara sampai dengan manipulasi
18
Jackson E. Baur, The Public Opinion Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962), h. 212-
226.
19
Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik
global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional,
(Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007), h. 239-240.
10
berita untuk dunia luas atau hanya kelompok-kelompok kecil tertentu yang
terpengaruh oleh media massa.
Dalam hubungan media massa dengan kebijakan luar negeri suatu negara,
Charles W. Kegley dan Eugene Wittkopf juga mendefinisi media massa sebagai
mediator, yakni membantu menentukan alternatif politik luar negeri.20
Alternatif
tersebut tidak secara langsung menentukan politik luar negeri apa yang ditempuh
pemerintah suatu negara. Namun menurut mereka, definisi kebijakan luar negeri
merujuk pada tujuan yang berusaha diraih oleh para pejabat negara baik di dalam
maupun di luar negeri melalui nilai yang memunculkan tujuan tersebut dan
instrumen yang digunakan untuk mencapainya. Dengan kata lain, media yang
dijadikan instrumen dalam pencapaian kebijakan luar negeri suatu negara,
merupakan pendorong bagi pemerintah AS untuk menjalankan kebijakannya.
Selain itu, KJ Holsti juga menjelaskan dari teori kebijakan luar negeri.
Menurut Holsti, instrumen yang digunakan dalam kebijakan luar negeri terbagi
menjadi 5 bagian, yaitu: diplomasi, bantuan ekonomi, propaganda, intervensi, dan
tindakan militer.21
Pelaksanaan kelima instrumen ini melibatkan media massa
yang merujuk pada diplomasi, opini publik dan propaganda. Diplomasi dimaknai
sebagai transformasi kebijakan suatu negara kepada negara lain, opini publik
dimaknai sebagai pembangun citra dan makna bagi pemerhati berita, dan
propaganda tertuju pada pengaruh pola pikir hingga kebijakan baik di dalam
maupun di luar negeri.
20
Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and
Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 339. 21
KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung:
1992), h. 168.
11
Dalam hal di atas, film, koran, TV, radio, majalah, poster merupakan alat
utama untuk mentransmisikan gagasan, simbol-simbol dan cerita. Sasaran
propaganda meliputi:22
publik domestik, publik sekutu, publik musuh, dan publik
netral. Dari seluruh sasaran tersebut, media massa yang dijadikan alat
pengambilan kebijakan tidak lain dijadikan juga sebagai alat untuk mengubah
pola pikir hingga mempengaruhi segala tindakan.
Menurut Kegley dan Wittkopf media melalui fungsinya sebagai gate
keeper dan agenda setting mampu mengkondisikan cara pandang rakyat AS dan
publik internasional, akan tetapi hal ini terjadi secara tidak langsung dan melalui
penyesuaian.23
Penyesuaian tersebut merupakan pencocokan pandangan
masyarakat AS dari nilai-nilai yang ada pada kehidupan masyarakat terhadap
kepentingan dalam suatu fenomena. Kegley dan Wittkopf menjelaskan bahwa
media massa dapat berpengaruh lebih langsung pada tingkat elit pembuat
kebijakan, pihak-pihak yang mempengaruhi kebijakan, dan publik yang perhatian,
sehingga dapat membentuk opini dalam memandang suatu masalah. Media massa
juga lebih berpengaruh pada aktor-aktor yang berperan dalam kebijakan luar
negeri karena terkait dengan popularitas aktor tersebut dalam tatanan politik lokal.
Informasi yang diterima oleh elit pembuat kebijakan akan mendorong perubahan
pada sikap publik yang selalu memperhatikan perkembangan yang ada, secara
bertahap akan berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap masalah-masalah luar
22
Teuku May Rudy, Perspektif Komunikasi Internasional dan Media Humas Internasional,
(IKAPI-PT Refika Aditama, Bandung: 2005), h. 128-129. 23
Kegley and WittKopf, American Foreign Policy, h. 316-318. Agenda Setting dan
Gatekeeper juga telah dibahas dalam dalam buku yang ditulis oleh Mohammad Sholehi,
Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, (Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2009), h.
10. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Agenda setting adalah pemilahan dan penonjolan isu
tertentu yang dilakukan oleh gatekeeper dalam media massa. Gatekeeper terdiri dari beberapa
pihak, diantaranya penerbit majalah, editor surat kabar, manager stasiun radio siaran, produser
berita televisi, produser film, dan lain-lain. Pada umumnya, stasiun televisi juga memiliki tim
Quality Control (QC) untuk menyeleksi isi pesan komunikasi.
12
negeri. Hal ini didukung oleh pernyataan James Rosenau yang menyatakan
bahwa sistem politik di AS banyak dipengaruhi oleh pendapat masyarakatnya
sendiri.24
Pada saat yang sama, elit pemerintah menggunakan media massa untuk
mengarahkan cara pandang publik.25
Jadi, media massa masuk dalam proses
pembuatan bahkan implementasi kebijakan luar negeri lebih dari sebagai sumber
dimana kebijakan didapat dan dikeluarkan sebagai mesin penggerak yang
menghasilkan keputusan dan cara untuk menyikapi kebijakan luar negeri, baik
bagi elit politik maupun bagi kelompok penekan.
Dalam hubungan antara aktor politik dan masyarakat, media massa dapat
dijadikan sebagai realitas ke dua, yakni dengan jangkauan yang luas dapat
dijadikan komunikasi politik oleh pemimpin negara.26
Selain itu, keterlibatan
media kepada masyarakat secara langsung melalui berita, dalam menciptakan
realitas politik dapat dimanfaatkan sebagai konstruksi realitas. Media massa juga
dipahami sebagai alat penyaluran pesan, sebagai sarana bagaimana pesan
disebarkan kepada masyarakat.
Selain pemanfaatan media oleh aktor politik, persaingan antarmedia massa
saat ini menjadi industri yang berunsur kapital.27
Artinya, media massa mau tidak
24
Kegley dan WittKopf, American Foreign Policy, h. 253. 25
Ibid., h. 318. 26
Bahasan tentang realitas politik dalam konstruksi realitas dapat dilihat dalam Ibnu
Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta: 2004), h. 3-10. Dalam
buku tersebut, Hamad menjelaskan bagaimana media massa membangun realitas politik melalui
pemberitaannya, berita verbal maupun non-verbal merupakan realitas yang mengandung makna,
sehingga berita politik merupakan realitas dan dapat dimaknai secara cermat. Dalam konstruksi
realitas politik berarti bahwa media masa membangun kenyataan politik yang dipublikasikan
kepada masyarakat pemerhati berita. Dalam buku tersebut juga menjelaskan bahwa konstruksi
realitas politik oleh media massa belum tentu menggambarkan keadaan politik sebenarnya karena
terdapat tujuan dan aktor dibalik kursi redaksi. 27
Herman and Chomsky, Manufacturing Consent, The Political Economy Of The Mass
Media, (Patheon Books, New York: 1998), h. 1-35.
13
mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan, baik dari penjualan
(bagi media cetak), iklan maupun rating konsumsi masyarakat terhadap media
tersebut. Dalam menyajikan peristiwa politik, pengaruh modal media massa akan
lebih memperhatikan kepuasan masyarakat (pembaca/ pendengar dan pengiklan)
sebagai pasar mereka dalam mengkonsumsi berita-berita politik.
Demi tujuannya, media yang tergantung oleh pasar juga secara otomatis
mengontrol lebih mendalam atas semua agenda penyiarannya, yaitu mulai dari
bahasa yang digunakan (tata bahasa), arah pembicaraan, agenda penyiaran
(agenda setting) serta pangsa pasarnya.28
E. Metoda Penelitian
Metoda penelitian yang akan dilakukan ini bersifat kualitatif. Penelitian
yang penulis gunakan dalam menyusun skripsi ini adalah deskriptif, yaitu
mengandung pengertian bahwa dalam melakukan penelitian harus menjelaskan
dengan menggambarkan permasalahan yang ada.29
Metoda kualitatif yang digunakan banyak mengandalkan pengumpulan
data melalui buku, gambar visual, laporan dan website yang masing-masing
mempunyai fungsi dan batasan.30
Mengacu kepada pengumpulan data tersebut,
penelitian yang dilaksanakan ini mengandalkan data sekunder yang diperoleh
dalam bentuk yang sudah jadi berupa buku, berita dari media massa dan penelitian
sebelumnya yang sudah dilakukan oleh pihak atau instansi lain. Melalui studi
kepustakaan tersebut diharapkan dapat dipelajari mengenai konsepsi hubungan
28
Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. h.17. 29
Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta:
LP3ES, 1990), h.223. 30
John W. Creswell, Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches, (United
Kingdom: Sage Publications, 1994), h.116-149.
14
pemerintah dan media massa pada masa implementasi kebijakan luar negeri.
Selain itu agar mengetahui bagaimana peran FNC dalam mengkonstruksi realitas
politik terhadap publik AS pada saat invasi AS ke Irak 2003.
Dalam mengolah data yang ada, diferensiasi dua metoda yang berbeda
antara “kualitas” yang merujuk pada segi “alamiah”, dan “kuantum” atau
“jumlah”, hal ini diartikan bahwa atas dasar itulah maka penelitian ini merupakan
penelitian yang tidak mengandalkan perhitungan. Dengan kata lain, kuantitas atau
angka yang ada pada data, cenderung fokus dan digunakan pada usaha
mengeksplorasi sedetail mungkin melalui sejumlah contoh atau peristiwa yang
dipandang menarik dan mencerahkan, dapat memberikan pemahaman yang
mendalam, bukan luas.31
Karena itu dalam penelitian ini menggunakan metoda
kualitatif yang memberi kesempatan pada ekspresi dan penjelasan yang lebih
besar, dan data kuantitatif yang ditujukan agar dapat memberikan ruang pada
penjelasan yang mendalam.32
Metoda kualitatif ini juga didefinisikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau perilaku yang dapat diamati.33
F. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kerangka pemikiran
31
Lisa Harison, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana. 2007), h. 86. 32
Ibid, h.87. 33
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002), h. 3.
15
E. Metoda penelitian
F. Sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Umum Fox News Channel (FNC)
A. Media Massa AS dan FNC
B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat
C. Peliputan Perang Irak
Bab III Kebijakan Responsif AS Terhadap Irak Pasca-Tragedi 9/11
A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS
B. Kebijakan AS terhadap Irak
C. Invasi AS ke Irak
Bab IV Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Membangun Opini Publik
Pada Masa Invasi Irak 2003
A. Upaya FNC Dalam Membentuk Opini Publik Pada Saat Invasi Irak 2003
B. Upaya Pemerintah AS Dalam Menangani Media Massa di Medan Perang
Pada Saat Invasi Irak Tahun 2003
C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah AS Dalam Menbangun Opini Publik
Tentang Invasi Irak 2003.
Bab V Penutup
Kesimpulan
16
BAB II
TINJAUAN UMUM FOX NEWS CHANNEL (FNC)
Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum FNC di AS.
Pembahasan tersebut akan memberikan gambaran mengenai upaya FNC dalam
membangun pandangan positif terhadap terhadap publik AS dan publik
internasional yang terjaungkau oleh jaringan miliknya. Pembahasan ini akan
terbagi menjadi beberapa bagian berdasarkan ruang lingkup yang dimiliki oleh
media massa dan pemerintah AS. Lingkup media massa akan memberikan
gambaran mengenai peran FNC dalam persaingan antarmedia massa di AS berupa
upaya dan pengaruh yang dimilikinya dalam membangun pandangan publik pada
saat invasi Irak 2003. Lingkup pemerintah akan memberikan gambaran mengenai
upaya pemerintah dalam menangani media massa di medan perang, yakni melihat
pengaruh yang dimilikinya untuk membangun pandangan publik yang positif
terhadap invasi Irak 2003 dengan konstruksi berita dari media massa yang ditekan
melalui kebijakan khusus terhadap media ketika meliput perang.
A. Media Massa Amerika Serikat dan Fox News Chanel (FNC)
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem
demokrasi. Sebagai negara demokrasi, yang paling utama dalam kehidupan
bernegara di AS merupakan nilai-nilai kebebasan yang mutlak pada setiap
individu.1 Dalam hal kebebasannya, media sebagai elemen informasi dalam
negara AS menerapkan sistem yang didasari oleh konsep dan nilai liberalisme
yang demokratis, yakni setiap individu bebas untuk menyatakan pendapat.
1 Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta, h. 67.
17
AS baru dapat mengesahkan kebebasan berekspresi pada tahun 1791,
yakni oleh kongres AS yang diajukan oleh James Madison.2 Kebebasan
berekspresi tersebut didefinisikan menjadi tiga poin penting, hal ini dijabarkan
pada tahun 1947 oleh Komisi Hutchkins (Commision on Freedom of The Press),
yaitu sebagai berikut:3
1. Pers bebas merupakan pers yang bebas dari tekanan manapun, baik dari
pemerintah maupun sosial luar dan dalam. Namun hal ini tidak berlaku
ketika pers mendapat tekanan dari masyarakat yang hampir mati akibat
dari tekanan pihak lain. Tekanan lain yang dapat menghilangkan
kebebasan bagi pers itu sendiri terjadi juga ketika pers menyimpang ke
arah komersial dan tata usaha hingga akhirnya menjadikan prioritas
kepada pemilik modal.
2. Pers bebas merupakan pers yang bebas berpendapat dalam segala bentuk
yang merujuk pada pencapaian pelayanan. Pers harus memadukan apa
yang diharapkan oleh masyarakat melalui pencapaian yang
memungkinkan. Hal ini pers juga dituntut menguasai sumber daya teknis,
keuangan yang mantap, akses yang layak untuk mendapatkan dan
mengeluarkan informasi.
3. Pers juga harus bebas mengeluarkan apa yang harus diketahui oleh umum,
sehingga masyarakat dapat menghargai apa yang seharusnya mereka dapat
dari pers.
2 Wisnu B. Widjadjanto, “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”, KWA
(Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992). h. 55-70. 3 “Hutchkins Commission (1947) Recommendations”, diakses pada 14 April 2011 pk.
19:43, dari http://www.cci.utk.edu/~bowles/Hutchkinss-recommendations.html.
18
Rekomendasi Komisi Hutchkins yang tertera di atas memang tidak secara
tegas dan resmi didefinisikan untuk kalangan tertentu, namun tulisan tersebut
memberikan acuan terhadap etika kebebasan pers di AS.4 Kebebasan pers di AS
merupakan kebebasan yang tidak dapat dihalangi oleh kepentingan kalangan
seperti pemerintah, kelompok masyarakat, pemilik modal, dan pers itu sendiri.
Media massa AS merupakan cerminan kompleks dalam perannya sebagai
wadah kebebasan berekspresi, yakni media yang terdapat organisasi perusahaan
pada tiap masing-masingnya sangat berperan untuk mengatur netralitas yang
dimilikinya.5 Namun, dengan ciri yang kompleks tersebut, terdapat benang merah
yang mencirikan suatu ikatan media massa di AS. Benang merah ini terdiri dari
empat ciri umum6, yaitu: Pertama, media massa AS merupakan sebuah bisnis
yang industrinya dimaksudkan untuk mencari laba dan keuangan secara sehat agar
dapat tetap bertahan. Hal ini tentu akan terjadi pada seluruh media yang ada di
AS karena tidak ada subsidi dari pemerintah terhadap operasional dan redaksional
media massa. Keuntungan media massa AS hanya berpaku pada iklan sebagai
pendapatan utamanya serta dari penjualan surat kabar media itu sendiri. Di AS,
media massa sangat menjamur sehingga menimbulkan persaingan antarmedia dan
sulitnya bagi media untuk mendapatkan iklan. Mengingat media massa di AS
terdapat sistem terbuka maka tak disangkal banyak juga media AS yang
menggeluti berita sensasional.
Ke dua, pers AS merasa dirinya sebagai kepercayaan masyarakat untuk
menjaga jalannya pemerintahan, sehingga peran media massa ditempatkan ke
dalam lembaga keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ke tiga,
4 Widjadjanto, “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”, h. 68
5 Ibid., h. 70-73.
6 Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta, h. 67-68.
19
industri berita media massa pada umumnya tidak diatur secara resmi, tetapi
terdapat persamaan nilai dan praktik yang menekankan pada pelayanan
masyarakat. Peliputan dan publikasi berita tidak memihak pada satu opini dan
adanya “check and balance” terhadap akses jurnalistik. Ke empat, tidak ada
definisi baku tentang berita yang sifatnya universal diterima di mata masyarakat
AS. Dengan empat ciri umum seperti di atas, maka media massa di AS memiliki
fungsi sebagai penyambung lidah dan wadah bagi masyarakat tanpa ada intervensi
dalam mengungkapkan pendapatnya.
Pada dasarnya, masyarakat AS dapat menilai suatu fenomena yang terjadi
tergantung publikasi berita.7 Hal ini terjadi karena media sering memberikan
pandangan dan cara berpikir yang umumnya dapat diterima oleh masyarakat
biasa. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat di AS yang percaya
dengan kebebasan berpendapat serta independensi media massa yang begitu
mutlak sehingga menganggap media sebagai sebuah wadah aspirasi baginya.8
Masyarakat AS secara umum mampu menggantungkan pandangannya pada media
massa melalui pandangan berita yang dipaparkan oleh pemberitaan media massa.9
Dalam hal ini juga menjelaskan bahwa media yang terpengaruh dari suatu aktor
yang memfokuskan berita dalam satu pandangan, maka akan terjadi juga pengaruh
serta keseragaman pandangan antara media dan masyarakat.
Berkaitan dengan keseragaman pandangan melalui media massa, hal ini
dapat dilihat dari keadaan yang terjadi di AS pada massa implementasi kebijakan
invasi AS ke Irak 2003. Keseragaman pandangan mengenai suatu isu dapat
dilihat juga pada mainstream media (media utama) yang dapat mengambil peran
7 Graber, Mass Media & American Politics, h. 3.
8 Ibid., h. 5.
9 Ibid., h. 7.
20
dalam membahas suatu isu menjadi menarik dan menjadi isu sentral yang dapat
mempengaruhi suatu kebijakan dan pola pikir masyarakat.10
Nama media massa
seperti Fox News Channel (FNC) muncul sebagai mainstream media yang sangat
berperan dalam memainkan isu kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak 2003.11
Peran FNC tersebut mempengaruhi media lain dan masyarakat AS menjadi isu
sentral hingga akhirnya semakin terarah.
Fox News Channel merupakan sebuah jaringan TV kabel dan satelit yang
saluran beritanya berada di bawah naungan Fox Entertainment Group, yakni
sebuah anak perusahaan News Corporation (NC).12
FNC didirikan oleh Rupert
Murdoch sebagai pemilik atau chairman and chief executive dan Roger Ailes
sebagai Pejabat Eksekutif Tertinggi atau Chief Executive Officer (CEO).13
FNC
diluncurkan pada 7 Oktober 1996 dan berkantor pusat di New York, Amerika
Serikat, serta merupakan salah satu layanan berita yang disiarkan 24 jam dalam
tiap harinya. Saluran FNC tumbuh pada akhir 1990-an dan 2000-an hingga
menjadi jaringan TV kabel yang dominan di Amerika Serikat.
FNC merupakan media yang besar. Hal ini dapat dilihat dari kepemilikan
media massa tersebut serta dari tujuan dibangunnya FNC oleh pemiliknya pada
10
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, (Jakarta: Granit, 2004),
h. 11. 11
Mainstream media atau media utama merupakan media massa yang memiliki
jangkauan sekala luas dan juga memiliki pengaruh pada tatanan masyarakat yang
mengkonsumsinya. Hal ini dapat dilihat ketika Fox News Channel muncul untuk mendukung
pemerintah Amerika Serikat hingga akhirnya dapat mempengaruhi masyarakat dalam menilai
invasi tersebut. Lihat dalam Retna Christa, “Peran News Corporation dalam Kebijakan Luar
Negeri Amerika Serikat Menginvasi Irak 2003“, diakses pada 01 November 2010 pk. 19:51, dari
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1207138150.pdf, h. 3. 12
News Corporation adalah perusahaan publik yang dipegang oleh Rupert Murdoch.
Didirikan pada tahun 1979 di Australia, perusahaan ini dipindahkan ke Amerika Serikat pada
tahun 1980. 13
Lawrie Mifflin “At the new Fox News Channel”, artikel ini diakses pada tanggal 30
April 2011 pk. 20:13, dari http://www.nytimes.com/1996/10/07/business/at-the-new-fox-news-
channel-the-buzzword-is-fairness-separating-news-from-bias.html.
21
saat pertama kali diluncurkan. Rupert Murdoch membangun FNC untuk bersaing
langsung dengan media massa ternama seperti Columbia Broadcasting System
(CBS), National Broadcasting Company (NBC), dan American Broadcasting
Company (ABC) serta Cables News Network (CNN) pada tingkat internasional.14
Jaringan FNC menawarkan delapan belas jam pada hari kerja, mencakup
berita di seluruh dunia, serta politik, bisnis, dan berita hiburan.15
FNC memiliki
28 acara TV yang diunggulkan dalam tiap penyiarannya. Seluruh acaranya
disiarkan ke seluruh dunia dalam bobot yang sama, yakni siaran yang ditampilkan
di negara lain berdasarkan apa yang disiarkan di AS. Hal ini dapat dilihat di 62
negara jangkauan FNC.
Bagan A.1 Acara TV Unggulan dan Jangkauan FNC
Acara TV Jangkauan
Fox & Friends
America's Election Headquarters
America's Newsroom
Happening Now
The Live Desk
Studio B
Your World
Special Report with Brit Hume
The Fox Report
The O'Reilly Factor
Hannity & Colmes
On the Record
Red Eye w/ Greg Gutfeld
The Journal Editorial Report
Fox & Friends Weekend
The Cost of Freedom
Fox News Live Weekend
Weekend Live
The Beltway Boys
Fox News Watch
Huckabee
Argentina
Australia
Bahama
Bahrain
Barbados
Belize
Bermuda
Kamboja
Kepulauan Cayman
Cile
Kolombia
Kosta Rika
Republik Dominika
Finlandia
Yunani
Grenada
Guam
Guatemala
Hong Kong
Islandia
Indonesia
Malaysia
Maladewa
Meksiko
Belanda
Selandia Baru
Nigeria
Norwegia
Pakistan
Palau
Panama
Peru
Papua Nugini
Filipina
Portugal
Rusia
Arab Saudi
Singapura
Saint Kitts
Saint Lucia
Saint Vincent
Spanyol
14
Robert Lenzner dan Globe Staff, “Murdoch, Partner Plan 4th Network”, diakses pada
03 April 2011 pk 20:21, dari http://nl.newsbank.com/nl-search/we/archives. 15
“Fox News Channel”, diakses pada 06 April 2011 pk. 20:43 ,, dari
http://www.newscorp.com/management/foxnewschannel.html,
22
Fox News Sunday
Geraldo At Large
War Stories
Hannity's America
Irlandia
Israel
Italia
Jamaika
Kazakhstan
Kyrgyzstan
Lebanon
Macau
Slovenia
Swedia
Thailand
Trinidad & Tobago
Tonga
Uni Emirat Arab
Britania Raya
Venezuela
Sumber: http://foxnews.com, (data diolah oleh penulis)
Dalam pemberitaannya, pada dasarnya FNC dibuat secara independen dan
tidak dipengaruhi oleh satu sama lain serta menolak segala publikasi berita yang
bias.16
Namun, FNC disebut sebagai media pendukung pemerintah dari Partai
Republik.17
Hal ini diungkapkan oleh publik AS sendiri, bahkan publik dan
media dari negara lain seperti dari Inggris yang menganggap, bahwa berita-berita
yang dipublikasikan FNC sering mempromosikan kebijakan dari partai politik
yang neokonservatif. Selain itu, bahkan lembaga survei media Pew Research
Center (PRC) di AS, menyebutkan bahwa FNC merupakan jaringan yang paling
sering mendukung pemerintah AS di bawah kepemimpinan Partai Republik.18
16
Mark Memmott, “Fox news, people say allegations of bias unfounded” diakses pada 01
April 2011 pk. 20:41, dari http://www.webcitation.org/5uRTx6pMd. 17
Julia Day, “Murdoch praises Blair's 'courage'”, artikel ini diterbitkan oleh Surat Kabar
Guardian pada 12 Februari 2003 dan diakses pada 16 April 2011 pk. 21:08, dari
http://www.guardian.co.uk/politics/2003/feb/12/uk.iraqandthemedia. Dalam artikel tersebut
dijelaskan bahwa FNC (pembawa acara dan pemiliknya) adalah konservatif, terbukti dukungan
yang dilakukan oleh Murdoch ketika adanya eskalasi isu penyerangan AS ke Irak atas isu
terorisme melalui pernyataannya "We can't back down now – I think Bush is acting very morally,
very correctly". Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa niat Blair semakin kuat untuk
mendukung invasi karena statement Murdoch dianggap sebagai sebuah dorongan bahwa kebijakan
pemerintah untuk melakukan invasi adalah sebuah tindakan yang sangat bermoral. Lihat juga
artikel yang ditulis oleh Eric Alterman, “Fox Outfoxes Itself”, yang diakses dari
http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122948.html. Dalam tulisan tersebut
menjelaskan bahwa pemilik Fox News Channel adalah seorang neokonservatif yang mendukung
Bush untuk menginvasi Irak. Tulisan ini juga telah disinggung pada artikel yang ditulis oleh Eric
Pfeiffer “Watching Robert Greenwald's "Outfoxed" with a MoveOn.org crowd at the Peace
House”, diakses dari http://www.weeklystandard.com/Content/Publik/Articles/wcb.asp. 18
“Summary of Findings: Fox News Viewed as Most Ideological Network” diakses pada
19 April 2011 pk. 21:55, dari http://people-press.org/2009/10/29/fox-news-viewed-as-most-
ideological-network/.
23
Bagan A.2 Pandangan Publik Terhadap Jaringan yang Berideologi
Sumber: www.people-press.org
Ungkapan dan survei seperti di atas memberikan gambaran, bahwa
pandangan publik terhadap FNC telah banyak dipengaruhi oleh berita yang
dipublikasikannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh kepemilikan FNC yang juga
mempengaruhi berita yang dipublikasikannya sehingga berujung pada penilaian
tersebut. Rupert Murdoch sebagai pemilik News Corps sangat berperan dalam
menentukan berita yang akan ditampilkan oleh FNC serta media lain miliknya.19
Murdoch terkenal sebagai tokoh neokonservatif, sehingga serangkaian
berita yang disajikan tidak lain adalah berisi tentang dukungan kebijakan invasi
AS ke Irak 2003. Hal ini dibuktikan dengan publikasi berita dari media cetak
19
Rupert Murdoch disebut sebagai orang yang berperan penuh dalam membuat dan
mempublikasikan berita, seperti halnya yang dilakukan pada masa kampanye di AS tahun 2004.
Lihat dalam Jacques Steinberg dan David Carr, “The 2004 Campaign: The News Media; Murdoch
Is Said to Be Source of Post's Gephardt 'Exclusive'” diakses pada 17 April 2011 pk. 21:50, dari
http://www.nytimes.com/2004/07/09/national/09post.html. Dalam tulisan tersebut, Murdoch
sangat berperan dalam mengendalikan edit berita yang dipublikasikan pada 09 Juli 2004. Dalam
tulisan tersebut juga menyebutkan tuntutan jurnalis NY Post mengenai anonimitas terhadap editor
senior karena khawatir berita yang mereka publikasikan akan menjadi bias dan mereka akan
kehilangan pekerjaan.
24
miliknya yang juga membahas dan mendukung invasi Irak, seperti pengumpulan
empat puluh tanda tangan penulis opini majalah tersebut yang dilakukan William
Bill Kristol (editor majalah The Weekly Standard) untuk mendukung keterlibatan
militer dalam invasi tersebut.20
Selain Murdoch yang berperan dalam pemberitaan FNC, Ailes sebagai
CEO tentu dapat memberikan instruksi kemana arah pemberitaan FNC akan
dibawa.21
Secara historis, Ailes pernah menjabat sebagai konsultan politik bagi
kandidat dari Partai Republik dari tahun 1960-an, dan 80-an. Pertama kali ia
berperan dalam Partai Republik adalah sebagai penasihat kampanye Richard
Nixon untuk media pada tahun 1968. Kemudian ia menjadi seorang konsultan
kampanye untuk Presiden Ronald Reagan pada kampanye akhir 1984. Pada tahun
1987 dan 1988, Ailes menjadi penasihat George H. Bush dalam pemilihan
presiden di AS.
Dengan melihat alasan didirikannya FNC, serta melihat latar belakang
Murdoch dan Ailes, maka terlihat gambaran serta indikasi bahwa media tersebut
memang mengacu pada segala kebijakan pemerintah dari Partai Republik.
B. FNC Dalam Persaingan Antarmedia Massa di Amerika Serikat
Media massa di AS merupakan industri media atau media industry yang
sistem operasinya berunsur kapital.22
Aspek bisnis diperhatikan bahwa pemilik
20
Jumlah 40 tanda tangan tersebut merupakan data yang dapat diferivikasi dan dijadikan
acuan untuk bukti dukungan opini publik terhadap invasi. Lihat dalam Christa, “Peran News
Corporation“, h. 9. 21
Seth Ackerman, “Fox News Channel's extraordinary right-wing tilt”, diakses pada 26
April 2011 pk. 22:06, dari http://www.fair.org/index.php?page=1067. 22
Media massa mau tidak mau harus memikirkan pasar demi memperoleh keuntungan,
baik dari penjualan maupun iklan. Dalam menyajikan peristiwa, pengaruh modal media massa
akan lebih memperhatikan kepuasan masyarakat (pelanggan dan pengiklan) sebagai pasar mereka
dalam mengkonsumsi berita-berita. Lihat dalam Hamad, “Konstruksi Realitas Politik”, h. 10.
25
dan pengelola bercampur antara komersialisme dan idealisme dalam media massa.
Hal ini menjelaskan, bahwa media massa AS merupakan sebuah bisnis yang
industrinya dimaksudkan untuk mencari laba dan keuangan, mengingat tidak ada
subsidi dari pemerintah AS terhadap operasional dan redaksional media massa.
Media massa AS hanya berpaku keuntungan pada iklan sebagai pendapatan
utamanya serta dari penjualan surat kabar media itu sendiri (bagi perusahaan
media yang memiliki media cetak).
Media massa AS yang berunsur kapital semakin diperkuat dengan
Undang-Undang Komunikasi yang mengatur tentang penyelenggaraan jaringan
informasi untuk digunakan dalam rangka penyebaran informasi.23
Federal
Communication Center (FCC) memperbaharui UU Telekomunikasi tahun 1934
untuk mempromosikan daya saing dan mengamankan media dari harga jual yang
rendah serta meningkatkan pelayanan yang berkualitas tinggi untuk konsumen
telekomunikasi Amerika. UU tersebut dikeluarkan pada tahun 1996 yang
diekspektasikan kepada kekuatan ekonomi pemilik modal yang dapat memainkan
sahamnya untuk membangun media massa yang sesuai dengan UU
Telekomunikasi tersebut. Adapun jaringan informasi yang ada dalam UU tersebut
adalah:
1. Dibangunnya perusahaan komunikasi telepon (bell operating companies)
23
UU Komunikasi tahun 1996 mendorong penyebaran teknologi telekomunikasi secara
cepat dengan teknologi baru, yakni penggunaan layanan TV kabel (satelit) dan internet melalui
perusahaan yang bersaing pada tatanan tersebut. Lihat dalam “Information Technology (IT)”,
diakses pada 04 Maret 2011 pk. 22:15, dari http://www.fcc.gov/Reports/tcom1996.pdf. Dari daya
saing tersebut memicu perusahaan media untuk membangun media yang sesuai konsep dengan UU
Telekomunikasi tersebut. Dibangunnya FNC oleh NC merupakan implikasi dari UU
Telekomunikasi tahun „96. Persaingan dan kepemilikan media secara perorangan juga dibahas
dalam Goodman dan Goodman, “Perang Demi Uang”, h. 195. Dalam tulisannya Goodman
menjelaskan bahwa UU kepemilikan media massa tahun 1996 ini memudahkan bagi investor
untuk membeli, memiliki bahkan membangun media massa di AS. Hal ini juga berimplikasi pada
semakin banyaknya media yang terhimpun dalam satu perusahaan media besar.
26
2. Adanya lembaga penyiaran (broadcasting service)
3. Tersedianya jaringan telekomunikasi kabel (cable service). Bagian ini
merujuk pada no. 1, yakni telekomunikasi kabel ditanggung oleh
perusahaan yang membangun jaringan telekomunikasi telepon.
UU Komunikasi AS yang dikeluarkan tahun 1996 berimplikasi pada
munculnya media FNC yang sesuai dengan tiga poin di atas tersebut. Setelah
dikeluarkan UU Telekomunikasi tahun 1996 yang berimplikasi munculnya media
massa baru seperti FNC, UU tersebut juga diperkuat dengan peraturan dari FCC
yang dikeluarkan pada tahun 2003. Michael Powell sebagai ketua FCC
mengalihkan media massa kecil atau media massa besar sekalipun agar masuk ke
dalam satu kepemilikan melalui penjualan sahamnya.24
Pengalihan tersebut
seperti halnya pembaharuan UU Telekomunikasi tahun 1996 yang ditujukan agar
media yang terbentur masalah finansial dapat masuk ke dalam satu perusahaan
media yang memiliki modal banyak.
Masuknya Clear Channel merupakan implikasi yang nyata dari peraturan
yang dikeluarkan FCC tahun 2003 tersebut.25
Clear Channel masuk menjadi
bagian dari News Corporations yang jelas pada saat itu dinilai sebagai perusahaan
media pendukung invasi AS ke Irak. Masuknya Clear Channel tersebut dapat
dijadikan corong oleh News Corporations.
Dalam pola penggunaan media di AS, media elektronik seperti TV,
internet dan radio serta media cetak seperti surat kabar dan majalah merupakan
24
Eric Alterman, “Media Concentration: the Repudiation of Michael Powell” diakses
pada 13 Februari 2011 pk. 22:30, dari http://americanprogress.org/issues/2004/07/b108399.html. 25
Goodman dan Goodman, Perang Demi Uang, h. 195-197.
27
publikasi utama yang digunakan oleh masyarakat AS.26
Hal ini terjadi karena
masyarakat AS menganggap media-media tersebut dapat menceritakan pesan
secara detail dan konteks yang penuh serta sesuai dengan yang dibutuhkan dengan
masyarakat, seperti halnya sebuah perang yang lebih pantas diberitakan melalui
media elektronik tersebut. Namun, dengan banyaknya media elektronik seperti
yang disebut di atas, TV merupakan media elektronik yang paling banyak
dikonsumsi oleh warga di AS dibanding media lainnya.27
Hal ini dapat dilihat
pada konsumsi masyarakat AS yang menggunakan jaringan televisi sebagai media
utama dalam mendapatkan berita.
Bagan B.1. Konsumsi Berita Televisi: 2000
Media Persentase
Televisi Lokal 56%
Nightly Network News 30%
CNN 21%
Fox News Cable 17%
CNBC 13%
MNSBC 11%
ABC 4%
Sumber: Graber (13 Juni 2000). Adaptasi dari Pew Research Centrer for People
and the Press, “Television Sapping Broadcast News Audience,”
http://www.peoplepress.org (data diolah oleh penulis)
Pada tahun 2003, media massa elektronik di AS bersaing untuk dapat
menampilkan berita yang baik dan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
masyarakat.28
Media-media tersebut terhimpun oleh enam perusahaan media
massa raksasa yang masing-masing dari perusahaan memiliki media elektronik
yang diandalkan. Hal ini membuktikan adanya persaingan ketat antarmedia massa
di AS.
26
Ibid., h. 4. 27
Graber, “Television Sapping Broadcast News Audience,” diakses pada 14 Februari
2011 pkl. 15:30, dari http://www.peoplepress.org 28
Goodman dan Goodman, Perang Demi Uang, h. 104.
28
Bagan B.2. Enam Perusahaan Media dan Media Utamanya
No. Perusahaan Media Massa
1. News Corporations FNC, HarperCollins, New York Post, Direct
TV, Sun, dan 33 stasiun televisi lainnya
2. General Electric NBC, CNBC, MSNBC, Telemundo, Bravo,
dan 13 stasiun televisi lainnya.
3. Time Warner AOL, CNN, Warner Bros., Time dan 130
surat kabar dan majalah
4. Disney ABC, Disney Channel, ESPN, 10 stasiun
televisi dan 29 radio, dan Hyperion
5. Viacom
CBS, MTV, Nickelodeon, Paramount
Pictures, Simon & Schuster, dan 185 stasiun
radio
6. Bertelsmann
Random House dan lebih dari seratus
cabangnya, dan Gruner + Jahr dan 80
majalahnya
Sumber: Amy Goodman dan David Goodman, “Perang Demi Uang”,
2005. (data diolah oleh penulis)
Pada Perang Irak 2003, media yang paling menonjol adalah FNC. Hal ini
terjadi karena pada masa tersebut, FNC memberikan pandangan yang berbeda dari
media massa lainnya. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan naiknya rating FNC
pada puncak klasemen tertinggi dibanding media massa lain yang di luar
kepemilikan Murdoch.29
Selain itu majalah Guardian juga menyebutkan, bahwa
FNC mengalahkan rival utamanya CNN dan MSNBC.30
29
Murdoch mengungkapkan kebanggaan atas naiknya keuntungan media News
Corporation melalui rating FNC yang mengalahkan saingan terberatnya (CNN). Menurutnya,
naiknya rating tersebut bukan hanya karena berita real time, namun dengan membuat agenda
setting tentang invasi Irak yang lebih besar, sehingga perhatian publik semakin besar dan
terfokuskan pada berita tentang invasi. “Chairman Speech to Shareholders News Corporation
Limited Annual Meeting”, diakses pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http://www.newscorp.com/news.
30 Jason Deans, “Fox challenges CNN's US ratings dominance”, diakses pada 14 Februari
2011 pk. 05:38, dari http://www.guardian.co.uk/media/2003/mar/27/tvnews.iraqandthemedia.
29
Bagan B.3. Rating Media AS Tahun 2003 Menurut Guardian
(CNN, FNC dan MSNBC)
Sumber: “Fox challenges CNN's US ratings dominance”
http://www.guardian.co.uk
Tingginya rating di atas terjadi karena FNC merupakan media yang
beritanya sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat, yakni berita tentang
invasi.31
Sejak adanya isu akan dilakukannya invasi oleh AS, FNC dan CNN
menunjukan adanya persaingan dua media besar, sebagian besar masing-masing
beritanya berisi tentang kebijakan invasi AS ke Irak.32
Dalam persaingan tersebut,
kegiatan jurnalistik yang dilakukan CNN tentang invasi dilakukan lebih mengarah
kepada upaya untuk menjaga eksistensinya dalam fenomena internasional dan
perang. CNN juga terkesan ingin mengulang kejayaannya menjadi trend setter
dan mainstream media, baik di AS maupun di seluruh dunia dengan menampilkan
berita perang langsung dari lokasi.33
Seperti pada Perang AS dan Irak tahun 1991
serta Perang Serbia-Kosovo 1999, CNN hadir sebagai pemasok utama berita
internasional.
31
Murdoch, “Chairman Speech to Shareholders” 32
Gustiana, “Peranan Media Massa”, h. 86. 33
Ibid., h. 87.
CNN FNC MSNBC
rating 39.30% 65.10% 37.90%
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
30
Selain dua media di atas, CBS, ABC, dan NBC diposisikan sebagai media
pelengkap yang intensitas beritanya tidak terlalu menekankan tentang invasi AS
ke Irak 2003.34
Dengan demikian, FNC yang beritanya lebih eksposif terhadap
perang, dapat dijadikan sorotan utama publik AS dibanding CNN yang lebih
menjaga eksistensinya saja serta CBS, ABC, dan NBC yang hanya sebagai media
alternatif setelah dua media tersebut.
Dengan besarnya persaingan antarmedia massa di atas mengenai invasi,
maka berpengaruh juga terhadap masyarakat AS sehingga berimplikasi pada
pandangan tentang invasi menjadi positif. Hal ini dapat dilihat dengan naiknya
opini publik yang terangkum dalam Gallup Polling pada Maret 2003.35
Bagan B.4. Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak
Sumber: “Seventy-Two Percent of Americans Support War Against Iraq”
Gallup Polling tahun 2003.
34
“Fox and Big Media”, diakses pada 14 Februari 2011 pk. 06:03 , dari
http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122990.html. 35
“Seventy-Two Percent of Americans Support War Against Iraq”, diakses pada 26 April
2011 pk. 06:21 ,, dari http://www.gallup.com/poll/8038/SeventyTwo-Percent-Americans-Support-
War-Against-Iraq.aspx.
31
C. Peliputan Perang Irak
Perang merupakan sebuah fenomena yang menarik seperti halnya sebuah
kegiatan yang patut disimak oleh masyarakat melalui media massa yang
meliputnya.36
Hal di atas dapat diistilahkan sebagai bad news is good news for
mass media yang dimaknai bahwa berita buruk seperti perang sekalipun dapat
dijadikan suatu tayangan menarik.
Dengan keadaan seperti di atas, maka dapat dilihat bahwa media dapat
mengambil peran dalam pelaporkan hasil investigasinya di lapangan. Peran media
tersebut berupa pengaruh terhadap masyarakat yang dapat menilai suatu fenomena
yang dipublikasikan oleh media berupa opini publik.37
Namun, opini publik
tersebut tidak terbatas pada penilaian masyarakat terhadap suatu fenomena,
terkumpulnya pandangan individu dalam menilai juga dapat dijadikan bukti atau
data yang kuat oleh kelompok tertentu termasuk pemerintah.
Dalam Perang Irak 2003, ada upaya oleh media yang menginvestigasi
jalannya perang untuk mempengaruhi masyarakat dalam membentuk pola pikir
masyarakat. Hal ini ditujukan untuk membentuk penilaian positif terhadap
seberapa pantasnya invasi tersebut sesuai dengan pandangan media. Namun,
upaya yang dimaksud dapat terbentuk secara alamiah yang sendirinya dilakukan
media melalui kondisi di medan perang. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Chomsky di atas tentang pengaruh media dalam membentuk opini publik, maka
investigasi yang dilakukan oleh media dalam perang Irak tersebut juga sedikit
36
Lukas S. Ispandriano dkk, Media-Militer-Politik: Crisis Communication, (Yogyakarta:
Galang, 2002), h 161-162. 37
Opini publik merupakan sebuah hasil opini individu-individu yang terikat dalam suatu
kelompok kesepakatan yang diwakili oleh lembaga atau kelompok yang sesuai dengan norma yang
berlaku pada suatu tatanan tertentu dan wilayah terhadap suatu masalah yang kontroversial. Lihat
dalam Noam Chomsky, Politik Kuasa Media, terj., (Jakarta: Pinus Book Publisher, 2006), h. 51.
32
banyak mempengaruhi masyarakat internasional khususnya masyarakat AS dalam
menilai jalannya perang. Hal ini dapat dilihat dari peliputan yang dilakukan
media massa khususnya media AS.
Dalam peliputan saat Perang Irak berlangsung, pemerintah AS
memberlakukan embedded journalism terhadap media massa.38
Pemberlakuan
tersebut dilakukan terhadap seluruh jurnalis yang akan meliput invasi di Irak.
Terdapat enam ratus jurnalis yang mengikutsertakan dirinya bersama tentara
untuk meliput dan mempublikasikan perang secara langsung. Sebagian besar
jurnalis yang tergabung dalam operasi militer tersebut adalah dari media Barat
sebanyak 90% dari jumlah keseluruhan.39
Hal ini menurut Victoria Clarke, juru-
bicara Pentagon, merupakan suatu hal yang efektif guna melindungi jurnalis yang
akan menampilkan perang yang dimotori oleh AS.40
Perlindungan ini juga
dilakukan agar jurnalis yang ikut serta dalam aksi militer AS dan koalisi tidak
dapat diserang oleh pihak lawan yang menganggap jurnalis sebagai musuh atau
menjadi sasaran tembak oleh lawan.
Pemberlakuan embedded journalism yang diberlakukan oleh pemerintah
AS terhadap jurnalis dalam medan perang, menurut Goodman dan Goodman
justru menimbulkan:41
Pertama, keterbatasan jurnalis untuk meliput Perang Irak
dan sensor laporan berita. Hal ini terjadi karena jurnalis mau tidak mau juga
membawa berita yang akan dipublikasikan merupakan berdasarkan dari satu
pandangan karena pers yang meliput akan mengikutsertakan dirinya pada operasi
38
Embedded journalism adalah wartawan yang mengikut sertakan diri mereka ke unit
militer. Lihat dalam Andrew M. Lindner, “Controlling The Media in Iraq”, diakses pada 23 Mei
2011 pk. 07:12, dari http://www.sociology.psu.edu/Control%20media.pdf. 39
Ibid. 40
Chantal Escoto “Military, Media Benefit from „Embed‟”, The Leaf-Chronicle, 22 Juni
2003, diakses 09 Januari 2011 pk. 20:07, dari http://www.theleafchronicle.com. 41
Goodman dan Goodman, “Perang Demi Uang”, h. 215-216.
33
militer AS dan sekutu yang sedang bertugas. Hal ini juga sesuai dengan
pandangan Dimitrova bahwa pemberlakuan embedded journalism akan terdapat
komitmen yang terbangun secara alamiah dalam kondisi tertentu, yakni
dibangunnya rasa saling percaya antara jurnalis dengan pihak militer sehingga
semakin mudah untuk bekerja sama.42
Ke dua, keterbatasan waktu dan ruang untuk meliput. Hal ini berujung
pada redaksi yang harus mempertimbangkan penyiarannya karena pembatasan
waktu di medan perang berujung pada agenda setting. Artinya adalah
keterbatasan tersebut mendorong redaktur untuk menyediakan berita hasil liputan
meskipun berita tersebut tidak sesuai dengan standar penyiaran. Hal ini
didasarkan karena seluruh media massa yang ada memiliki core interest yang
berbeda-beda sehingga layak atau tidaknya suatu liputan yang akan dipublikasikan
tergantung persepsi media tersebut. Selain itu, pembatasan tempat juga merujuk
pada seluruh latar belakang peliputan sesungguhnya telah diatur sebelumnya oleh
tentara yang diikutinya. Ke tiga, dari dua keterbatasan tersebut, maka jurnalis
dibawa untuk sering bertindak tidak sesuai dengan independensi jurnalistik, hal
ini sesuai Rekomendasi Hucthkins yang menunjukan bahwa jurnalis seharusnya
bebas meliput dan menyampaikan hasil liputannya serta tidak dalam kontrol pihak
manapun.43
Dalam melakukan operasinya, jurnalis dalam perang Irak juga mendapat
tekanan dari militer AS, tekanan ini dilakukan terhadap jurnalis yang tidak berada
dalam kontrol militer seperti halnya jurnalis yang melakukan embedded
journalism. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian yang dialami oleh jurnalis
42
Daniel Dimitrova, The Immediate News Framing of Gulf War II, dalam Television
Coverage of the Iraq War, h. 25-29. 43
“Hutchkinss Commission (1947) Recommendations”
34
internasional di medan perang seperti penembakan bahkan pengeboman terhadap
tempat para jurnalis bermukim dan melaporkan hasil liputannya.
Penembakan tentara AS tanggal 8 April 2003 terhadap Taras Protsiu,
jurnalis Reuters dari Perancis dan Jose Couso, jurnalis Telecinco dari Spanyol di
Hotel Palestine, Baghdad, merupakan upaya AS untuk menahan arus komunikasi
dari media yang tidak menyertai militer.44
Terbunuhnya Protsiu dan Couso
merupakan upaya AS menutup informasi tentang invasi agar tidak terciptanya
opini publik yang negatif tentang invasi tersebut mengingat Perancis adalah salah
satu negara angota DK PBB yang menentang invasi.
Selain kasus di atas, upaya kontrol AS juga dilakukan terhadap media
asing dari Timur Tengah agar tidak ada media besar yang menandingi media
Barat yang notabene sebagian banyak masuk ke dalam bagian militer ketika
meliput perang. Hal ini terlihat seperti Aljazeera yang dibungkam mulai dari
sebelum hingga invasi berjalan.
Bagan C.1. Pembungkaman Aljazeera oleh AS
Perlakuan AS Terhadap Aljazeera Bulan/ Tahun
1. Seorang jurnalis Aljazeera yang meliput pertemuan antara
George W. Bush dan Fladimir Putin di Crawford, Texas,
ditangkap oleh FBI karena kartu kredit yang digunakan dituduh
berkaitan dengan Afghanistan. Jurnalis tersebut baru dibebaskan
oleh FBI setelah diakui bahwa Aljazeera dan Al-Qaeda adalah
organisasi yang berbeda.
2. Pesawat perang AS menjatuhkan dua bom masing-masing
seberat lima ratus pon di biro Aljazeera di Kabul hingga hancur.
Padahal titik kordinat telah diketahui AS yang sebelumnya telah
diinstruksikan oleh salah satu wartawan Aljazeera. Hal ini
dilakukan karena AS mengklaim bahwa kantor tersebut sebagai
fasilitas informasi Al-Qaeda.
3. Di Basra, Irak. Militer AS menjatuhkan empat bom di hotel
Sheraton. Hotel tersebut merupakan penginapan yang diketahui
AS sebagai tempat mukim satau-satunya koresponden yang
melaporkan mengenai kacaunya wilayah Basra. Kali inipun
pihak Aljazeera telah melapor ke Pentagon untuk dilindungi dan
meminta titik aman oleh tentara AS.
November 2001
08 April 2003
2003
44
Budi Setyarso, “Rudal AS Bunuh Wartawan”, Harian Tempo, edisi 09 April 2003.
35
4. Seorang jurnalis Aljazeera yang melewati perbatasan Baghdad
diizinkan oleh marinir AS untuk masuk wilayah tersebut setelah
menunjukkan kartu identitas. Namun setelah berjalan beberapa
meter dari perbatasan tersebut, mobil yang ditumpangi junalis
tersebut ditembaki hingga rusak parah. Meskipun tidak
menimbulkan luka yang berarti, namun jurnalis tersebut tidak
dapat melanjutkan aksi jurnalistiknya.
5. Di Nasiriya, Irak. Seorang jurnalis Aljazeera yang menempel
pada militer AS diancam akan dubunuh oleh Pasukan
Pembebasan Irak anti-Saddam. Pasca ancaman tersebut,
Komandan Marinir menolak turut campur dan melindunginya
serta melarang jurnalis tersebut untuk tidak meliput pada saat
perang. Jurnalis yang ketakutan itupun menuruti perintahnya.
6. Dewan Pemerintahan Irak pilihan AS melarang jaringan media
massa Aljazeera dan Al-Arabiyah untuk tidak meliput berita dari
Irak selama dua pekan pada saat perang. Kedua jaringan televisi
tersebut dituduh akan membangkitkan kekerasan politik bila
berita yang disiarkan tidak sesuai dengan program penegakan
demokrasi secepatnya di Irak. Sanksi dan larangan ini adalah
pertanda buruk dari niat dewan berkenaan penegakan demokrasi
secepatnya di Irak.
04 Septermber
2003
September 2003
November 2003
Sumber: Amy Goodman dan David Goodman dan TEMPO Interaktif
(data diolah oleh penulis)
Pembungkaman di atas merupakan bukti bahwa AS memiliki upaya untuk
menciptakan dominasi arus informasi dari media Barat. Terlebih dengan adanya
anjuran untuk menerapkan embedded journalism terhadap jurnalis yang meliput
perang, sehingga tersendatnya arus informasi dari media asing yang tidak
menyertai militer AS akan memudahkan jalan bagi AS untuk menciptakan opini
publik.
36
BAB III
KEBIJAKAN RESPONSIF AS TERHADAP IRAK
PASCA-TRAGEDI 9/11
Dalam bab ini akan dibahas tentang kebijakan luar negeri AS terhadap Irak
sebagai respon Pasca-Tragedi 9/11. Dengan pembahasan yang difokuskan pada
relasi antara AS dengan Irak, maka bab ini akan memberikan gambaran bahwa
kebijakan AS terhadap Irak merupakan sebuah hubungan yang patut dicermati.
Pembahasan dalam bab ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Dalam setiap
bagiannya memiliki alur waktu dan cerita atau masalah yang berkesinambungan
mengenai segala sesuatu yang dilakukan AS terhadap Irak. Alur waktu tersebut
dimulai dari peperangan yang dilakukan oleh Irak pada masa kepemimpinan
Saddam Hussein, sanksi-sanksi yang diberikan AS terhadap Irak pasca-perang,
sampai kepada bahaya Irak yang dianggap AS sebagai ancaman hingga akhirnya
invasi ke Irak 2003 terlaksana.
A. Munculnya Ancaman Irak Bagi AS
Dengan runtuhnya gedung WTC dan Pentagon pada tahun 2001 serta
Pasca-Invasi AS ke Afghanistan, AS menuduh Irak berdiri di balik jaringan
terorisme Al-Qaeda dan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Tragedi 9/11 di AS tersebut.1 Selain itu juga Irak dituduh sebagai negara yang
1 Richard M. Daulay, Amerika vs Irak, (Jakarta: Libri, 2009), h. 95
37
memiliki senjata pemusnah massal yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk
menyerang AS.2
Eskalasi ancaman Irak terhadap AS sebenarnya telah dianggap penting
oleh AS sejak awal tahun 1970-an.3 Pada tahun tersebut merupakan awal mula
Irak mengembangkan ilmu dan teknologi serta membuat perhatian bahwa dengan
teknologinya, Irak mengembangkan senjata biologi dan kimia miliknya. Hal ini
merupakan bagian dari persaingan kekuatan militer terhadap Iran serta adanya
keterkaitan dalam isu konflik antara Arab dan Israel.
Pengembangan teknologi dan senjata pada masa tersebut kemudian
dibuktikan oleh Irak dalam perang terhadap Iran tahun 1980-1988. Irak
membangun reaktor nuklir Tammuz I dan Tammuz II yang pada saat
pengembangannya dibantu oleh Perancis serta menggunakan rudal yang berisikan
bahan kimia dan biologi yang digunakan pada perang hingga memakan korban
sekitar 10.000 korban dari pihak Iran.4 Di samping itu, Irak yang saat itu merasa
perlu mengembangkan senjata biologinya menganggap kawasan Teluk dan Timur
Tengah memang harus ada kekuatan penyeimbang.5 Pada saat itu negara Iran dan
Kuwait adalah sebagai ancaman bagi Irak karena besarnya persaingan eksplorasi
minyak di antara ketiganya.
2 “Iraq's WMD Programs: Culling Hard Facts from Soft Myths”, diakses pada 29 Maret
2011 pkl. 07:11, dari https://www.cia.gov/news-information/press-releases-statements/press-
release-archive-2003/pr11282003.html. 3 Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan dan Ekonomi Dalam Invasi AS Ke Irak”,
Jurnal Paradigma Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Volulme VII,
Nomor 20, (Maret 2003), h. 30 4 Ibid., h. 31
5 Kawasan Timur Tengah terdapat berbagai kepentingan mendorong Saddam untuk
megembangkan senjata dalam rangka mempertahankan negaranya. Semua dilatarbelakangi oleh
kepentingan minyak Timur Tengah sehingga dikhawatirkan akan ada perebutan wilayah yang kaya
akan sumber minyak. Lihat dalam “Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas
edisi 4 November 2003.
38
Jenis senjata yang berhasil dikembangkan oleh Irak pada saat itu berupa
beberapa senjata yang dikategorikan dalam senjata yang paling berbahaya, yakni
gas sarin dan gas VX.6 Senjata ini baru diakui oleh Saddam Hussein pada tahun
1990 yang pada saat itu disebutnya juga akan membakar Israel dan reaktor nuklir
miliknya di Dimona, Gurun Negev, bila Israel berani menyerang Irak. Selain gas
Sarin dan gas VX di atas, Irak juga memfokuskan pengembangan senjata
biologinya dari jenis Botulinium, Aflatoksin dan Anthrax.7
Sebelum Perang Teluk II melawan Kuwait tahun 1990, untuk pertama
kalinya juga Irak mengakui, bahwa pengembangan senjata biologinya ditujukan
untuk kekuatan militernya dan sudah dalam proses produksi.8 Pengakuan tersebut
menyebutkan bahwa dimasukkannya bakteri biologi pada 166 bom dan 25 rudal
balistik tipe Al-Hussein pada perang melawan Iran tahun 1980-1988 serta
menggunakan senjata kimianya melalui Operasi Anfal ketika menghadapi suku
Kurdi pada Maret 1988.9
Untuk mengantisipasi agar Irak tidak menggunakan senjatanya yang
sangat berbahaya tersebut, maka Dewan Keamanan (DK) PBB meresolusi Irak
6 Gas Sarin dan VX merupakan senjata yang dapat menyerang sistem saraf otak, senjata
tersebut dimasukkan ke dalam rudal balistik. Lihat dalam Harmiyati, Dimensi Teknologi, h. 33 7 Botulinum adalah racun yang dikenal paling mematikan. Racun tersebut menyerang
kemampuan sistem saraf untuk melepaskan asetilkolin yang menimbulkan kelumpuhan. Satu gram
kristal toksin, bisa membunuh 1 juta orang; Aflatoksin merupakan racun yang dihasilkan oleh
jamur Aspergillus flavus yang tumbuh pada kacang tanah, jagung, dan tumbuhan organik lainnya.
Racun ini menyebabkan penyakit hati dalam manusia. Racun ini digunakan sebagai senjata dalam
peperangan hayati; Anthraks adalah penyakit yang disebabkan bakteri yang disebarkan melalui
bahan organik yang dimakan oleh hewan ternak yang kemudian dikonsumsi oleh manusia.
Anthraks juga menimbulkan penghancuran sel dan menolak system kekebalan tubuh manusia.
Lihat dalam “Weapon Mass Destruction (WMD)”, dikutip pada 22 Maret 2011 pkl. 21:310 dari
http://www.globalsecurity.org/cgi-bin/texis.cgi. 8 “Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas edisi 04 November
2003. 9 Choirul, “Perintahkan Pembunuhan Suku Kurdi”, diakses pada 18 April 2011 pkl. 19:
08, dari http://tempointeraktifinternasional.com.
39
No. 661 pada 6 Agustus 1990.10
Resolusi tersebut berisikan agar Irak
mengembalikan kedaulatan Kuwait seutuhnya dengan meninggalkan dan tidak
menyerang, dan larangan transaksi ekonomi terhadap negara-negara lain terutama
dalam hal ekspor minyak.
Selain itu, pada tanggal 3 April 1992 DK PBB juga meresolusi kembali
No. 687 yang ditujukan untuk melucuti senjata kimia, senjata biologi, dan senjata
balistik serta dikirimnya IAEA untuk memonitoring pelaksanaan dari pelucutan.11
Dalam hajat penghancuran tersebut, antara pihak inspeksi PBB dan pihak Irak
sendiri melakukan kesalahan yang cukup fatal. Irak berusaha menyembunyikan
kekuatan senjata pemusnah massalnya dengan melakukan penghancuran sepihak
tanpa kontrol dari tim inspeksi PBB.12
Selain itu, Tim Inspeksi PBB juga
diketahui terlibat dengan mata-mata di Irak untuk kepentingan Central
Intelligence Agency (CIA) dan Mossad yang jelas-jelas bukan bagian dari PBB.
Pada 8 November 2002, PBB mengeluarkan Resolusi No. 1441.13
Resolusi ini bertujuan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal miliknya
yang ditandai dengan kembalinya tim inspeksi PBB ke Irak. Hal ini didukung oleh
Inggris yang membenarkan tuduhan AS terhadap Irak yang tiada hentinya
10
Dengan meninggalkan Kuwait, Irak otomatis tidak akan menyerang Kuwait. Sanksi
ekonomi ini juga dimaksudkan agar militer Irak melemah akibat menurunnya kekuatan ekonomi
yang berimbas pada pengembangan program militernya. Selain itu, untuk mengganggu stabilitas
politik pemerintahan, mengakhiri penyebaran senjata nuklir, dan mendapatkan konpensasi dari
Irak terhadap negara lain. Lihat dalam Yusron Bahauddin Ambarry, “Penerapan Sanksi Ekonomi
PBB Terhadap Irak dan Faktor Kegagalannya”, (Tesis Jurusan Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002), h. 19-23. 11
“UN Security Council Resolution 687, 707 and 715 and their implications for the
termination all activities of nuclear proliferation-prone-And the law of the technical assessment”,
diakses pada 13 April 2011 pkl. 18:41, dari http://nuclearweaponarchive.org/Iraq/andre/ISR.I-96-
06.pdf. 12
Nanang Pamuji, “Dilema Barat Terhadap Irak”, Harian Suara Pembaruan, edisi 13
Maret 2002. 13
“Resolution 1441 (2002)” Adopted by the Security Council at its 4644th meeting, on
08 November 2002, diakses pada tanggal 09 Januari 2011 pkl. 20:58, dari
http://www.un.org/Depts/unmovic/new/documents/resolutions/s-res-1441.pdf.
40
didengungkan.14
Dukungan tersebut dilakukan Inggris dengan menyatakan secara
tegas bahwa masalah senjata pemusnah massal Irak, Saddam Hussein dan
rezimnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia. Dalam dukungannya
juga, pemerintah Inggris mendapatkan protes dari rakyatnya sendiri atas dukungan
terhadap AS tersebut.15
Tony Blair sebagai Perdana Menteri disebut oleh
demonstran bahwa Blair hanya ingin menguasai ladang minyak dan invasi yang
dilakukan AS tidak seharusnya didukung oleh Inggris karena dianggap akan
melukai orang-orang yang tidak berdosa. Meskipun demikian, pemerintah Inggris
tetap mendukung invasi tersebut.16
Hubungan Inggris yang pro-AS tersebut sebenarnya dapat dilihat melalui
sejarah antara 1945 dan tahun-tahun 1960-an. Sebagian besar orang Inggris masih
percaya akan adanya suatu hubungan khusus antara Inggris dan AS dan
merupakan inti sistem pertahanan Atlantik. Dalam tahun 1952, suatu tim yang
anggotanya terdiri dari orang-orang yang sangat berpengaruh di Inggris
menerangkan, bahwa Inggris masih merupakan suatu kekuatan dunia dengan
kepentingan-kepentingan vital di luar Eropa.17
Kembali ke masalah invasi, untuk membenarkan invasi ke Irak, AS
menyebutkan bahwa masa kosongnya Irak selama empat tahun dari pengawasan
14
Nur Agustina, “Studi Atas Dukungan Inggris Terhadap Invasi Amerika Serikat Atas
Irak Maret 2003”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan
Internasional Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia, 2007), h. 21-27. 15
“Anti-war protests under way”, diakses pada 09 Mei 2011 pkl 20:05, dari
http://news.bbc.co.uk. 16
Dukungan pemerintah Inggris juga sebenarnya menjadi pembicaraan hangat di
Parlemen. Hal ini terjadi karena Tony Blair sebagai PM Inggris dari Partai Buruh justru lebih
terlihat mengarahkan kebijakannya terhadap partai Konservatif Inggris. Dalam tulisan “Studi atas
dukungan Inggris..”, Agustina menjelaskan bahwa Blair tidak dapat di berikan impeachment oleh
parlemen karena Blair merupakan pemimpin dari partai Buruh yang menjadi partai mayoritas di
Parlemen. Lihat juga “British Conservative Party denounces Bush Blair relationship” diakses pada
30 April 2011 pkl. 21: 08, dari http://www.bbc.co.uk. 17
Luhulima, C. P. F., Eropa Sebagai Kekuatan Dunia: Lintasan Sejarah dan Tantangan
Masa Depan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992), h. 85.
41
tim inspeksi PBB 1998-2002 memberikan isyarat yang cukup serius, bahwa Irak
mengembangkan aktivitas nuklirnya.18
Namun tidak adanya Tim Inspeksi PBB
empat tahun di Irak menyulitkan pengawasan perkembangan nuklir di Irak.
Selain itu, AS menyebutkan bahwa Irak sejak 1998 terdapat aktivitas di
dekat instalasi nuklir Tuwaitha dan dibangunnya kembali infrastruksur serta
pengelolaan uranium sehingga meningkatkan usaha untuk membeli bahan
komponen pengelolaan tersebut.19
Irak disebut oleh AS telah membeli uranium
dari negara-negara Afrika dalam jumlah yang besar, padahal Irak pada saat itu
tidak memiliki reaktor nuklir yang sedang dioperasikan.
Dengan adanya tuduhan yang dilontarkan AS terhadap Irak pada saat itu,
setidaknya memberikan gambaran atas sikap AS yang berlebihan atas dugaan
awal yang belum jelas buktinya. Dari sini AS dapat dinilai memang sengaja
membuat perhitungan terburuk jika senjata pemusnah massal Irak terbukti ada.
Hal ini menyangkut juga dengan kehati-hatiannya dalam menilai suatu negara
pasca-Tragedi 9/11.
Tuduhan-tuduhan yang ditunjukkan oleh AS seperti di atas justru
memperlihatkan ambisinya untuk menyerang Irak. Dengan adanya tuduhan
tersebut, Irak pun merespon dengan suatu tindakan yang positif dengan
membiarkan tim inspeksi PBB masuk untuk menggeledah seluruh istana
Saddam.20
Dari kedua argumen masing-masing, akhirnya menunggu keputusan
tim inspeksi PBB adalah kata yang tepat untuk menentukan pihak yang benar
meskipun invasi tetap saja terjadi.
18
“Senjata Nuklir Antara Isu dan Fakta”, Harian Kompas, edisi Senin 4 November 2002. 19
Ibid. 20
“Tim PBB Kembali Periksa Istana Saddam Hussein”, diakses pada 15 April 2011 pkl.
04:28 , dari http://www.korantempo.com/news/2003/1/16/Internasional/36.html.
42
Dengan demikian, meskipun tim inspeksi PBB belum tuntas menentukan
kebenaran yang terjadi di Irak, namun AS telah mempersiapkan untuk menyerang
Irak.21
Pada 18 Februari 2003 AS mempersiapkan, seratus ribu tentaranya untuk
dimobilisasikan di Kuwait. Dengan persiapan tersebut justru mendorong Perancis
sebagai negara angota tetap di DK PBB untuk menolak invasi dengan mengajak
AS untuk berunding.22
Namun AS tetap bersitegas menginvasi Irak dan tidak
mengindahkan penolakan Perancis tersebut. AS justru meyakinkan seluruh
masyarakat dunia bahwa AS memang sangat terancam oleh Irak melalui senjata
yang dituduhkan AS meskipun belum jelas bukti-buktinya.
B. Kebijakan AS terhadap Irak
Irak adalah negara yang memiliki luas 167.924 mil/segi berbatasan dengan
Iran di sebelah timur, sebelah utara dengan Turki, Suriah dan Yordania di sebelah
barat serta di sebelah selatan berbatasan dengan Arab Saudi dan Kuwait. Islam
yang mendominasi pada tiap penduduk Arab di Irak terbagi menjadi dua, yakni
Syiah dan Sunni. Selain itu di sebelah utara ditempati oleh suku Kurdi yang
beraliran Sunni. Kaum Syiah merupakan golongan terbesar yang sebagian besar
tinggal di sebelah tenggara negara Irak.23
21
“U.S. has 100,000 troops in Kuwait” diakses pada 15 Mei 2011 pkl. 06:11 , dari
http://articles.cnn.com/2003-02-18/world/sprj.irq.deployment_1_mckiernan-troops-commander-
of-coalition-forces?_s=PM:WORLD. 22
Lihat dalam Andrea Piyanto, “Hubungan Amerika Dengan Perancis Kian Memburuk”
Harian Koran Tempo, edisi 19 Maret 2003. Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa hubungan
Perancis dan AS menjadi tidak harmonis karena Perancis menolak invasi. AS menganggap
Perancis menghalang-halangi maksud baik invasi tersebut. Hal ini merupakan implikasi dari
penolakan AS terhadap perundingan yang akan digelar pada 16 Maret 2003 di Perancis yang juga
akan dihadiri oleh Jerman dan Rusia. Dalam agenda pertemuan tersebut, Perancis akan
memberikan mandat agar AS tidak melakukan invasi. Namun, pembatalan ini juga diperkuat
dengan statement Jean David Levitte (dubes Perancis untuk AS) karena mengetahui sebelumnya
bahwa apabila pertemuan terjadi, maka yang akan dibahas oleh AS adalah memberikan hukuman
bagi perancis karena telah menolak invasi AS dan sekutunya. Pernyataan tersebut diberikan oleh
Paul Wolfowitz dan Donald H. Rumsfeld. 23
Sihbudi, “Irak-Profil Negara-Negara Timur Tengah”, h. 53.
43
Irak mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian serta minyak
yang dijadikan komoditas utama ekspor oleh Irak. Irak merupakan penghasil
minyak terbesar ke dua setelah Arab Saudi. Penghasilan minyak Irak mencapai
8% dari seluruh akumulasi yang ada di dunia, serta terdapat cadangan sebesar
7,3% dari minyak dunia.24
Namun demikian, kekayaan minyak Irak yang begitu
melimpah belum dioptimalkan oleh negara tersebut secara mandiri. Hal ini
ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan minyak asing yang memiliki
kemampuan teknologi lebih lanjut di Irak seperti Exxon Mobil, Shell, Total,
China National Petroleum Corp., Edison International SpA, BP dan Eni SpA.25
Dengan diketahuinya Irak sebagai negara yang kaya akan minyak, maka
tidak mengherankan bahwa Irak merupakan salah satu negara terpenting di
kawasan Timur Tengah. Hal demikian terbukti sejak kebijakan Eisenhower
(presiden AS tahun 1940-an) yang diterapkan pada tahun 1954 di Timur Tengah.
Dalam kebijakannya ditegaskan bahwa Timur Tengah harus terlepas dari
pengaruh Uni Soviet.26
Hal ini merujuk pada upaya AS menjaga tanah terkaya
dan agar AS dapat menanamkan pengaruhnya di kawasan tersebut dan juga agar
tidak dibayangi dari musuh besarnya pada pasca PD II atau saat Perang Dingin.
Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein sejak tahun 1979 dikenal
sebagai negara yang dipimpin oleh seorang diktator, hingga pers barat menamai
dirinya sebagai manusia paling berbahaya atau Hitler Abad XX.27
Beberapa
24
Jimmi Heriyanto, “Tetap Diperlukannya Kehadiran Militer AS di Irak Pasca Saddam
Hussein: Keberadaan Minyak Di Timur Tengah Kekayaan Minyak Di Irak”, (Tesis Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2009),
h. 56. 25
Ibid., h. 68. 26
Elba Tamhuri, Dibalik Invasi AS ke Irak, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2003), h.
41. 27
Lihat dalam Ibnu Hamad, Dunia Timur Tengah Dalam Pers Barat, (Jakarta: Granit,
2005), h. 68. Dalam tulisan tersebut, Hamad menyebut majalah The Washington Post sebagai
44
julukan tersebut memang terlihat sangat subjektif terhadap Saddam, namun
demikian citra negatif inilah yang berdampak dari beberapa kasus yang telah
dibuatnya. Seperti Saddam yang menghebohkan dunia dengan Perang Teluk I
(Irak-Iran) 1980-1988 maupun pembantaian suku Kurdi di Kurdistan tahun 1990,
serta agresi Irak terhadap Kuwait pada awal 1990-an. Pandangan tentang
buruknya Saddam juga muncul karena Saddam menganggap wajar pembantaian
terhadap suku Kurdi pada masa perang terhadap Iran.28
Pembantaian tersebut
dianggapnya wajar karena suku Kurdi membela pasukan Ayatullah Khomeini dan
memerangi pasukan Saddam.
Irak di bawah kepemimpinan Saddam sangat memperjuangkan Partai
Ba’ath untuk membangun kekuatan jangka panjang dengan mengakselerasikan
perjalanan negara pada pertumbungan ekonomi yang cepat dan mengusahakan
kebijakan kepemimpinan sekuler dan modernisasi.29
Dengan memperjuangkan
sasaran nasionalnya berupa unifikasi bangsa Arab di bawah kepemimpinannya,
Saddam Hussein tak segan menggusur segala hambatan yang ada di Timur
Tengah. Hal ini terlihat pada saat Irak menyerbu Iran yang dipicu ketika
pembendungan revolusi Islam Irak oleh Iran di kawasan Timur Tengah 1980-
1988.30
Dalam hubungan terhadap AS, Irak melalui kepemimpinan Saddam
terlihat sudah saling berhubungan meskipun tidak ada hubungan yang sangat
fundamental. Pada 22 September 1980 saat Saddam baru duduk di bangku
representator dari pers barat yang memandang tentang buruknya Saddam Hussein sebagai
pemimpin negara Irak. 28
Riza Sihbudi, “Bara Timur Tengah (Islam, Dunia Arab, Iran)”, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1991), h. 135-138. 29
“Profil Saddam Hussein” diakses pada 15 April 2011 pkl. 14:34, dari
http://www.thefamouspeople.com/profiles/saddam-hussein-95.php. 30
Harmiyati, “Dimensi Teknologi”, h. 31.
45
presiden, Irak menyerbu Iran dengan rencana merebut kemenangan di Khuzistan
dan mengalahkan tentara-tentara Iran di bawah komando Ayatullah Khomeini.31
Pada penyerangan tersebut, AS mendukung Irak dan beranggapan Saddam telah
melakukan hal yang benar karena menyerbu negara yang menyandera warga AS.
Pada hubungan yang terlihat sangat mendukung tersebut, pada bulan
Maret tahun 1990 Irak malah menghapus kepercayaan AS dengan terbukti adanya
penyerangan tentara Irak terhadap 50.000 orang suku Kurdi di Halabjah dengan
senjata kimia.32
Hilangnya kepercayaan AS ini dipicu karena Irak
menyalahgunakan pinjaman kredit yang telah diberikan AS malah untuk membeli
senjata dan pengembangan militer, bukan untuk latihan intelejen yang
sebelumnya disepakati.
Hubungan AS dan Irak terlihat semakin buruk ketika Irak menyerbu
Kuwait pada 2 Agustus 1990. Merespon agresi yang dilakukan Irak, AS di bawah
perintah Presiden Bush Sr. juga mengirim tentaranya bersama pasukan koalisi
guna mengusir tentara Irak yang ada di Kuwait pada 24 Februari 1991.33
Kecaman AS terhadap Irak tersebut juga diiringi dengan pembekuan aset
kekayaan Irak dan Kuwait yang bernilai milyaran dollar.
Pada masa pemerintahan Bill Clinton, hubungan antara AS dan Irak tidak
mengalami perubahan secara signifikan. AS yang terlihat responsif dari
kediktatoran Saddam sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari setiap
kebijakan Saddam. Hal ini terlihat dengan dikeluarkannya kebijakan Dual
31
Lihat dalam Jack Colhoun, “How Bush Becked Iraq”, Middle East Report (May-June
1992), h. 35. Dalam laporan tersebut juga menjelaskan tentang hubungan baik antara AS dan Irak.
Pemberian program bantuan kredit bank angsuran untuk ekspor-impor serta pelatihan dinas
intelejen Irak dan penghapusan Irak dari daftar negara teroris (pada zaman Ronald Reagan 1982). 32
Ibid., h. 38. 33
Ibid., h. 39.
46
Containment Policy (penangkalan politik ganda) pada tanggal 24 Februari 1994
oleh Clinton untuk menahan bahaya Irak dan Iran di kawasan Teluk Persia.34
Menurut Martin Indyk (Dubes AS untuk Israel 2003) penjabaran politik
ganda untuk Irak adalah netralisasi bahaya Saddam Hussein atas negara-negara
tetangganya.35
Realisasi penerapan politik ganda yang ditujukan terhadap Irak
saat itu merupakan proses pembasmian senjata pemusnah massal Irak serta sanksi
ekonomi yang berkesinambungan di bawah legalitas PBB. Dengan kebijakan ini
juga merujuk pada keinginan AS agar kekuasaan yang dimiliki Saddam Hussein
melemah yang berakhir dengan lengsernya ia dari bangku kekuasaan sehingga
tidak membahayakan di kawasan Timur Tengah.
Dengan adanya politik ganda AS pada tahun 1994, AS juga memberikan
kebijakan dengan memperluas wilayah zona larangan terbang di Irak Selatan dari
32 derajat menjadi 33 derajat garis lintang sejajar.36
Kebijakan tersebut
setidaknya mempersempit kekuasaan Saddam dari arah Selatan Irak dengan jarak
jangkau tidak lebih dari 30 mil dari kota Baghdad. Dengan demikian pula
mengurangi kekuasaan dan bahaya Saddam atas negara-negara tetangga di selatan
Irak yang juga kaya akan minyaknya.37
Untuk mengurangi kekuasaan Saddam Hussein di Irak, AS merasa tak
cukup dengan penerapan penangkalan politik ganda saja. Naiknya George W.
Bush pasca-Bill Clinton membuat inovasi kebijakan AS terhadap Irak. Hal ini
terlihat pada kebijakan AS untuk menyerang Irak pada awal Maret 2003.
34
Stephen C. Pelletiere, “Landpower And Dual Containment: Rethinking America’s
Policy In The Gulf”, (US Army War College: Strategic Studies Institute, November 1999), h. 1-2. 35
Rahman, “Geliat Irak Pasca Saddam, Laporan Dari Lapangan”, Harian Kompas,
Jakarta, Oktober 2003, h. 11. 36
Pelletiere, “Extraterritoriality” dalam “Landpower And Dual Containment”, h. 4. 37
Ibid.
47
Kebijakan AS dalam politik internasional yang terealisasi dalam kebijakan luar
negerinya seperti invasi ke Irak merupakan perubahan secara signifikan pada era
pergantian pemerintahan tersebut. Berbeda dengan Bush Sr., Bush Jr. diakui tidak
memiliki pengalaman khusus dalam menata hubungan antarnegara, tidak seperti
ayahnya yang berpengalaman di bidangnya.38
Bush Sr. pernah menjabat sebagai
Direktur CIA dan Duta Besar di RRC. Hal ini menunjukkan, bahwa adanya relasi
secara multilateral terhadap negara lain dalam hubungan internasional.
Sementara itu, Bush Jr. tidak memiliki pengalaman diplomasi sama sekali
sehingga tidak terlalu mementingkan penyelesaian suatu masalah melalui jalan
perundingan.
Sebelum invasi, sebenarnya telah ada perundingan pada awal Juli 2002
yang dilakukan oleh Sekjen PBB Kofi Annan dan Menlu Irak Naji Sabri di Wina,
Austria.39
Pertemuan tersebut merupakan kompromi pelaksanaan resolusi DK
PBB No. 1284 tahun 1988 yang menyebutkan agar pengawasan terhadap Irak
cukup hanya dengan memberikan laporan dari hasil pengawasan di Irak. Dengan
adanya perundingan tersebut, baik Kofi Annan maupun Naji Sabri memiliki
maksud agar invasi yang AS inginkan tidak terjadi dan mencabut sanksi
perdagangan Irak. Namun, dengan kerasnya tekad AS untuk menyerang Irak
serta ketidakinginan AS melakukan kompromi dengan pihak manapun
menyebabkan perundingan tersebut gagal. AS juga menggagalkan perundingan
tersebut karena apabila tetap melakukan kompromi maka kemungkinan akan
berimbas pada batalnya invasi.
38
Dean, “Worse than Watergate-The Secret Presidency Of George W. Bush”, h. 27 39
“Menlu Irak dan Sekjen PBB Rampungkan Pembicaraan Hari Pertama” diakses pada
15 April 2011 pkl. 15:40, dari http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-a-2002-07-05-5-1-
85160897.html?moddate=2002-07-05.
48
Setidaknya terdapat poin penting yang dijadikan alasan kebijakan luar
negeri AS pada masa G. W. Bush terhadap Irak tahun 2003 dikeluarkan. Menurut
Francis Fukuyama, ada tiga argumen rezim Bush untuk melancarkan perang
terhadap Irak.40
Pertama, Irak dituduh memiliki senjata pemusnah massal dan
dalam proses untuk menambahnya; ke dua, Irak terkait dengan Al-Qaeda dan
organisasi teror lainnya; ke tiga, Irak adalah sebuah rezim diktator tirani yang
harus dirobohkan sehingga rakyat Irak menjadi bebas.
Namun, dalam pandangan lain yang menyebutkan beberapa alasan
kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak, antara lain:41
Pertama, runtuhnya Uni
Soviet dan berakhirnya Perang Dingin sehingga menjadikan AS sebagai satu-
satunya negara hegemon terbesar dan tak tertandingi. Dengan hegemoninya,
sehingga tidak ada lagi negara yang mampu mencegah dan menghalangi tindakan
AS mengintervensi negara lain.
Ke dua, keadaan ekonomi AS sebelum invasi ke Irak merupakan kekuatan
terbesar ke dua setelah militer. Kekuatan tersebut diakui lebih besar dibanding
Uni Eropa dan Jepang. Selain itu, ketergantungan ekonomi negara-negara
berkembang terhadap AS membuat negara-negara berkembang enggan bertindak.
Sementara itu, pasar yang ada di AS merupakan tujuan ekspor utama bagi negara-
negara lain.
Ke tiga, kemampuan militer AS merupakan kekuatan yang sangat besar di
dunia dan cenderung meningkat meskipun Perang Dingin telah usai. Masa Perang
Dingin merupakan masa militerisasi antara kedua pihak, masing-masing pihak
40
Francis Fukuyama, After The Neocons: America at the Crossroads, (London: Yale
University Press, 2006), h. 78-79. 41
Kenneth N. Waltz, “Globalization and American Power,” The Journal of National
Interest, Number 59, Spring 2000., h. 31.
49
mengembangkan kekuatan militernya meskipun tidak digunakan langsung untuk
perang. Namun masa Pasca-Perang Dingin, sebagian besar negara-negara yang
terlibat menurunkan anggaran militernya yang berimplikasi langsung pada
menurunnya kekuatan militer tersebut. Hal ini berbeda dengan AS yang terus
meningkatkan kekuatan militernya dan menambah dana alat utama sistem senjata
(alutsista) negaranya.
Kebijakan luar negeri AS terhadap Irak saat itu telah jelas memberikan
gambaran, bahwa Pasca-Tragedi 9/11 yang menimpa AS sangat kental diarahkan
pada implementasi kebijakannya. Kenangan pahit Tragedi 9/11 tersebut hingga
kini mempengaruhi segala kebijakan luar negeri AS di dunia pada tataran global
dan Timur Tengah khususnya, serta terhadap beberapa negara yang memiliki
jejak buruk yang dipandang AS mengancam keamanannya.
Dalam menjalankan kebijakannya, pemerintahan Bush juga mendapat
protes keras dari rival politiknya. Partai Demokrat yang ragu terhadap keabsahan
segala tuduhan Bush terhadap Irak mempertanyakan apakah benar yang
dituduhkan Bush terhadap Irak memang ada.42
Meskipun demikian, kebijakan ini
tetap berjalan mulus karena banyaknya dukungan dari masyarakat AS sendiri
yang menganggap bahwa invasi adalah jalan yang pantas diambil oleh AS melalui
kebijakan Bush.
C. Invasi AS ke Irak
Penyelidikan senjata pemusnah massal oleh Tim Inspeksi PBB sejak tahun
2002 ternyata belum menemukan data yang valid dari indikasi yang disebutkan
AS. Namun hal ini tidak menyurutkan ambisi AS untuk menginvasi Irak, hingga
42
“Partai Demokrat: Bush Bohong”, Laporan dari New York pada 11 Juli 2003, diakses
pada 20 April 2011 pkl. 20:19, dari http://www.gatra.com.
50
tepat pada 20 Maret 2003 invasi itu benar-benar terlaksana. Tim inspeksi yang
pernah menemukan senjata rudal Al-Samoud pada 19 Februari 2003 di Irak
ternyata dijadikan bukti oleh AS meskipun pada kasus sebenarnya rudal tersebut
tidak berisi amunisi apapun.43
Ribuan tentara infantri AS yang siap menyerang kawasan teluk telah
dikirim ke Irak sebagai pasukan khusus yang disiapkan untuk di kawasan gurun
pasir.44
Selain itu, sejak Perang Teluk 1991 untuk pertama kalinya AS
mengerahkan seluruh kekuatan militer secara lengkap yang diperkuat dengan
pasukan gabungan negara-negara sekutu.
Dapat diprediksi militer Irak kalah jauh lebih cepat karena bila
dibandingkan antara dua kekuatan masing-masing negara memang tidak imbang.
AS yang sangat kuat dengan senjata-senjatanya akan mudah memukul pasukan
Irak yang jelas persenjataannya sangat minim.45
Hal ini tentu dapat dilihat dari
indikasi lemahnya perekonomian Irak pasca-diberlakukannya embargo sejak
tahun 1991 sehingga tidak menutup kemungkinan berimplikasi pada melemahnya
militer Irak.46
Pascaembargo tahun 1991, 78% tanah pertanian Irak tidak layak
untuk pertanian. Kurang dari 0,4% hutan yang dapat dieksplorasi karena
terbatasnya bahan pakan ternak, pupuk dan pangan. Produksi minyak Irak jatuh
sebanyak 35% dari angka normal pada tahun 1992. Pada tahun 1993 Irak harus
membayar ganti rugi kepada Kuwait hingga mengakibatkan inflasi setinggi
1000% dan menyebabkan warga Irak menjadi pengangguran sebanyak 50%.
43
“Tim PBB Segel Rudal Al-Samoud 2 Irak” diakses pada 20 April 2011 pkl 16: 09, dari
http://www.gatra.com. 44
“U.S. has 100.000 troops in Kuwait”, diakses pada 19 April 2011 pkl 02:14, dari http://
cnn.com/ articles/2003-02-18/world/ 45
Sahal, “Perang Irak dan Dunia Hobbesian Amerika Serikat”, Harian Tempo edisi 30
Maret 2003. 46
Jonathan E. Sanford, “Irak: Past, Present, Future”, Report for Congress, 03 Juni 2003,
diakses pada 20 April 2011 pk. 20:00, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/crs/rl31944.pdf.
51
Sejak tahun 1994-1998 pendapatan perkapita Irak yang bertumpu pada eksplorasi
minyaknya hanya mencapai rata-rata US$680.000.000, berbeda jauh dibanding
tahun 1987 yang mencapai US$23.600.000.000. Hal ini memicu kemerosotan
ekonomi yang sangat jauh.
Pada perang tahun 2003, Irak hanya memiliki sejumlah 2600 tank buatan
tahun 1992-1998 berjumlah.47
Tank tersebut adalah tank buatan Cina dan Uni
Soviet berjenis T-53, T59 dan T-69 serta hampir seluruh tank dalam kondisi yang
tidak terawat. Kondisi ini diperparah dengan buruknya angkatan udara Irak yang
tidak dapat mengoperasikan pesawat tempurnya karena kekurangan suku cadang.
Irak diketahui hanya memiliki kurang dari tiga ratus pesawat dan beberapa
pesawat baru dengan pilot yang belum terlatih. Sebanyak 17.000 personel
angkatan udara Irak dapat menggunakan senjata dari darat dengan menggunakan
rudal yang tersisa hanya sebanyak 850 buah dan tiga ribu senjata anti pesawat.48
Hal ini tentu sangat berbeda dengan kekuatan militer AS yang jauh lebih kuat. AS
yang disebut sebagai negara adidaya memang tidak menganggap remeh Irak bila
benar negara tersebut memiliki senjata pemusnah massal.
Namun bila dihitung secara matematis, AS yang diperkuat dengan negara
koalisi serta dilengkapi dengan senjata canggih maka AS berada dalam posisi
yang sudah menang. Lihat bagan di bawah ini!
Bagan C.1.
Perbandingan Persenjataan AS-Koalisi dan Irak Tahun 2003 AS-KOALISI IRAK
Amunisi
JDAM air-to-surface precision bomb Sterla-3 surface-to-air missile
47
“An Overview on Sale China's Arms” Stockholm International Peace Research
Institute, SIPRI Yearbook (1983 to 1997), diakses pada 05 Mei 2011 pkl. 05:11 , dari
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1119/MR1119.appa.pdf. 48
“Pertimbangan Kekuatan AS dan Irak”, Harian Republika, edisi 19 Maret 2003.
52
JSOW air-to-surface precision bomb Sterla-2M surface-to-air missile
GBU laser-guided bomb Sterla-1 surface-to-air missile
GBU-28/27 “bunker-buster” bomb Roland surface-to-air missile
“Daisy cutter” 15.000-pound bomb Anti-tank missile
MK82 500-pound bomb FAW 200 cruise missile
MK84 2.000-pound bomb Scud-B ballistic missile
Thermobaric weapon Al Hussein ballistic missile
Tomahawk/AGM-86 cruise missile Al Samoud ballistic missile
Have Nap missile Scud missile launcher
Maverick air-to-surface missile
HARM anti-radar missile
AIM-120 air–to-air missile
Hellfire air-to-surface missile
TOW anti-armor missile
Stinger anti-aircraft missile
Massive Ordnance Air Blast bomb (MOAB)
Pesawat
Bombers Mirage F1 fighter
Cargo MIG-29 fighter
Fighter/attack SU-25 plane
Helicopters MIG short-range fighter
Refuelling An-26 basic transport aircraft
Special operation An-12 cargo plane
Surveillance Helicopters
Unmanned Aerial Vehicles
Canberra PR
Harrier GR7
Jaguar GR1
Nimrod R1
Tornado GR1
Tornado GR4
Tornado F3
Puma Helicopter
VC 10 CIK
Lynx helicopter
Merlin helicopter
Amphibious transport/dock ship
Landing craft, air cushioned
Kapal Laut
USS Abraham Lincoln Zhuk patrol ship
USS Constellation
USS Kitty Hawk
USS Harry Truman
USS Theodore Roosevelt
Carrier battle group ship
Guided-missile launcher
Guided-missile destroyer
Attack submarine
Guided missile frigate
Amphibious assault ship
Oiler
Fast combat support ship
Amphibious transport/dock ship
Landing craft, air cushioned
Kendaraan Tempur
53
M1A1 Abrams battle tank T-72 battle tank
M2A3 Bradley fighting vehicle T-62 battle tank
M6 Bradley linebacker PT-75 amphibious light
Humvee BMP armored vehicles
M109A6 Paladin howitzer AML-60 armored vehicles
M270 multiple launch rocket EE-9 armored vehicles
Patriot missile systeavenger Humveem ERC 90 armored vehicles
Light Armored Vehicle Panhard M3 armored vehicles
M88A2 Hercules Recovery BRDM-1 armored vehicles
US Infantry weapons BRDM-2 armored vehicles
Challenger II battle tank PSZH-IV armored vehicles
Warrior combat vehicles BTR-152 armored vehicles
Saxon armoured personnel carrier EE11 armored vehicles
Saber reconnaissance vehicle OT-64 armored vehicles
Land rover light truck M-60P armored vehicles
SA-80 rifle Walid armored vehicles
AS 90 Braveheart howitzer Multiple-rocket launcher
ZSU-23-4-anti aircraft gun
Iraqi infantry weapon
Pasukan
AS: 130.000 tentara Tentara Reguler: 350.000 orang
Tentara Inggris: 28.000 tentara Tentara Rakyat: 150.000 orang
Tentara Australia: 2.000 tentara Garda Republik: 80.000 orang
Tentara Polandia: 200 tentara Fedayeen Saddam: 40.000 orang
Garda Republik Khusus: 25.000 orang
Dinas Keamanan Khusus: 22.000 orang
Sumber: Coalition: US Defense Dept., British Ministry of Defense,
Periscope, Jane’s Information Group, Australian Defense Ministry.
Sejak 5 Maret 2003, seluruh pasukan AS dan Inggris yang dipasang
sebagai pion perang sudah berdatangan sedikitnya 158.000 prajurit, yang terdiri
dari 130.000 dari AS dan 28.000 dari Inggris, semuanya berkumpul di Kuwait.49
Pasukan AS yang berjumlah sedemikian banyak dibagi menjadi beberapa
kelompok yang masing-masingnya berbeda posisi dan tugasnya. Pada pasukan
Marinir sebanyak 15.000, Divisi Infrantri III berjumlah 17.000, dan Pasukan Elit
Udara sejumlah 15.000 personel.
Pemerintah Kuwait yang khawatir akan dampak buruk dari peperangan
yang akan terjadi pada saat itu, mengupayakan dengan antisipasi kebijakannya.50
Pemerintah Kuwait menutup wilayah Kuwait Utara dan Laut Kuwait yang secara
49
“Pasukan AS Mewarnai Kuwait”, Harian Kompas, edisi 18 Maret 2003. 50
Ibid.
54
langsung berbatasan dengan Irak untuk kegiatan sipil negaranya. Selain itu
pemerintah Kuwait memasang empat ribu tentara dalam negeri guna menjaga hal-
hal yang tidak diinginkan dengan syarat tembak di tempat bagi siapapun yang
dianggap mencurigakan. Para tentara tersebut juga bertugas menjaga beberapa
tempat vital seperti pembangkit listrik dan ladang minyak milik Kuwait.
Pada hari pertama serangan AS ke Irak pada 20 Maret 2003, lebih dari
300.000 tentara dikerahkan dari kedua pihak. Peperangan dimulai dengan
diluncurkannya bom-bom dari pesawat B-1, B-2, B-5, serta pesawat tempur F-117
di kota Basra Irak selatan.51
Selain itu, kapal-kapal induk dari Laut Merah dan
Teluk Persia membantu meluncurkan bom-bom berpresisi tinggi serta 24 rudal ke
arah daerah pertahanan Irak.
Perang yang tidak seimbang tersebut akhirnya hanya berlangsung selama
22 hari. Pasukan koalisi pimpinan AS, akhirnya mampu menaklukkan Irak secara
total dengan dikuasainya kota Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Jatuhnya
ibukota Irak ke tangan tentara koalisi tersebut menyusul jatuhnya kota-kota
strategis Irak: Umm Qasr, Basrah, Kirkuk, Mosul, dan Tikrit yang menyebabkan
kehancuran yang parah.52
Selain itu, jatuhnya pemerintahan Saddam Hussein
disimbolkan dengan perobohan patung pemimpin Irak tersebut di pusat kota
Baghdad pada Rabu, 9 April 2003.53
51
Ibid. 52
Warga Timur Tengah memprotes terhadap AS dan Inggris serta pasukan koalisi yang
menyebabkan kehancuran di beberapa kota besar di Irak. Lihat dalam “Media fury at Iraq anarchy”
diakses pada 16 April 2011 pkl. 11:25 , http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2941897.stm. 53
“Iraqis, Marines Pull Down Saddam Statue” , diakses pada 29 April 2011 pkl. 06:40,
dari http://www.foxnews.com/story/0,2933,83682,00.html.
55
Pada tanggal 1 Mei 2003, Presiden AS George W. Bush mendeklarasikan
kemenangan pasukan koalisi pimpinan AS atas Irak.54
Dalam deklarasi
kemenangan tersebut, Bush berkampanye bahwa rakyat Irak telah bebas dari
ketiranian Saddam Hussein yang kejam. Menurut Bush, tanggung jawab AS
terhadap Irak kemudian adalah ikut serta dalam pemulihan stabilitas Irak pasca-
perang dengan membentuk pemerintahan Irak yang demokratis dan
merekonstruksi Irak yang hancur total akibat perang tersebut.
Namun usaha AS dalam membangun kembali Irak yang telah hancur
memperoleh tantangan dari rakyat Irak. Sebagian besar dari rakyat Irak tidak
menyukai campur tangan asing terhadap urusan dalam negerinya. Pertentangan
tersebut akhirnya menimbulkan konflik baru antara rakyat Irak dengan tentara
koalisi hingga saat itu, yang mengakibatkan tentara AS dan Inggris merasa tidak
nyaman berada di Irak.55
Hal ini terindikasi dari terciumnya tujuan AS dan
Inggris yang ingin memanfaatkan kehancuran Irak pasca-penyerangan sejak 20
Maret 2003 hingga 1 Mei 2003.56
Indikasi ini dapat dilihat dari pemanfaatan
sumber minyak serta kompleks perkantoran Kementerian Perminyakan dan
Kementerian Dalam Negeri yang tidak dihancurkan dalam serangan bom di hari-
hari pertama serangan udara pasukan AS.
Selain itu, tanggung jawab AS untuk merekonstruksi serta memulihkan
stabilitas politik dan keamanan di Irak masih akan mendapat perlawanan dari
54
“Bush Declares Victory in Iraq”, diakses pada 09 Mei 2011 pkl. 21:40, dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2989459.stm 55
Agustina, “Studi Atas Dukungan Inggris”, h. 71. 56
“The World After the War in Iraq”, diakses pada 25 Maret 2011 pkl. 10:31, dari
www.marxist.com.
56
rakyat Irak.57
Hal ini disebabkan tumbuhnya gerakan-gerakan anti imperialisme
baru yang menolak menetapnya AS di Irak.
Berbagai serangan sporadis gerilyawan Irak telah menewaskan tentara AS
dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan melebihi total tentara AS yang tewas
selama invasi yang dimulai sejak tanggal 20 Maret 2003. Selama invasi, Iraq
Body Count (IBC) melaporkan bahwa tentara AS yang tewas berjumlah 131 orang
(dari berbagai divisi), namun sejak deklarasi 1 Mei 2003 hingga awal Juli 2003,
sudah 1.033 warga sipil yang tewas dan 141 tentara AS dan koalisi.58
Bahkan
hingga April 2004, jumlah tersebut bertambah hingga mencapai lebih dari 10.000
korban sipil dan lebih dari 700 orang tentara AS dan sekutu yang tewas.59
Invasi AS yang tengah berlangsung hingga akhirnya Bush menyatakan
kemenangan pasca-dirobohkannya patung Saddam Hussein semakin membuat
daftar panjang perjuangan AS untuk menumpas terorisme seperti yang telah
dituduhkan terhadap Irak. Hal ini menambah waktu AS untuk tetap berada di Irak
karena invasi tersebut tidak hanya untuk menumbangkan kekuasaan Saddam
Hussein namun AS juga berniat untuk merekonstruksi Irak pasca-perang seperti
yang telah dijanjikannya. Dalam memperpanjang waktu menetapnya AS di Irak,
maka dibutuhkan usaha yang lebih untuk membuktikan bahwa adanya invasi AS
di Irak memang harus terus terjadi dan terus dilakukan.
57
George Gruenthal, “on the Iraqi Patriotic Alliance” diakses pada 19 April 2011 pkl.
00:14, dari http://www.revolutionarydemocracy.org. 58
Iraq Body Count (IBC) merupakan organisasi yang berbasis di Inggris, didirikan oleh
relawan untuk melacak kematian di Irak. Data-data diambil dari laporan media yang kemudian
diperiksa silang, rumah sakit, kamar mayat, LSM dan angka resmi dari pemerintah bahkan
menginvestigasi langsung korban perang. Lihat dalam “Iraq Body Count project”, diakses pada 18
Mei 2011 pkl. 14:30 , dari http://www.iraqbodycount.org. Lihat juga “Chilcot Inquiry Accused of
Fixating on West and Ignoring Real Victims” http://www.guardian.co.uk. 59
Ibid.
57
BAB IV
UPAYA FOX NEWS CHANNEL DAN PEMERINTAH AMERIKA
SERIKAT DALAM MEMBANGUN OPINI PUBLIK
PADA MASA INVASI IRAK 2003
Dalam bab ini akan dibahas tentang analisis upaya FNC dalam membentuk
opini publik pada masa invasi Irak 2003. Selain itu, pada bab ini juga akan dibahas
mengenai analisis upaya yang dilakukan pemerintah AS dalam membangun opini
publik melalui media massa di medan perang. Dengan melihat dari upaya masing-
masing pihak antara FNC dan pemerintah AS, maka dalam bab ini juga akan dibahas
tentang pandangan publik sebagai efek dari upaya kedua pihak. Analisis yang
terdapat dalam bab ini menggunakan teori yang bertumpu pada teori-teori yang ada
pada kerangka pemikiran di bab 1.
A. Upaya FNC dalam Membantu Pemerintah AS Melegitimasi Invasi Irak
Tahun 2003
Dibangunnya FNC pada tahun 1996 oleh Murdoch ternyata baru dapat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan publik pada masa
implementasi kebijakan luar negeri AS tahun 2003. Hal ini dapat dilihat pada tahun
2003, bahwa kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak mendapatkan dukungan berupa
pandangan yang positif. Hal ini juga tidak lepas dari upaya masing-masing pihak
antara FNC dan pemerintah AS yang berusaha membangun citra positif agar invasi
Irak 2003 tersebut dapat didukung oleh publik AS sendiri.
58
Dalam usaha membangun opini publik, FNC memberikan sudut pandang yang
berbeda dari media massa lainnya, yakni pada saat eskalasi isu invasi serta saat
implementasi kebijakan berlangsung, FNC mempublikasikan berita yang lebih
mendukung perang. Pada saat tersebut, FNC menempatkan posisinya bukan sebagai
watch dog yang mencari dan menonjolkan netralitas antara nilai negatif dan positif
yang seimbang dari kebijakan invasi tersebut, namun lebih kepada pemunculan sisi
positifnya saja. Dengan dimunculkannya pandangan yang berbeda tersebut juga
ternyata dapat diterima oleh masyarakat AS bahkan aktor politik di negara lain. Hal
ini berimbas pada dukungan dalam negeri yang besar dan dorongan dari negara lain
hingga akhirnya invasi tersebut tetap terlaksana.
Besarnya upaya masing-masing pihak antara FNC dan pemerintah AS untuk
membentuk pandangan masyarakat agar dapat membenarkan invasi ke Irak tersebut
telah jelas dilatarbelakangi oleh aktor masing-masing kedua pihak. Pada hal ini
bertitik tolak pada peran George W. Bush yang bertanggungjawab atas kedaulatan AS
sehingga wajib baginya untuk menjaga stabilitas keamanan nasionalnya.1 Hal ini
menjadi pijakan bagi Bush untuk melaksanakan kebijakannya yang pada saat itu
menyebut Irak sebagai ancaman bagi AS karena dianggapnya memiliki hubungan
dengan Al-Qaeda. Hal ini juga tidak semata-mata hanya karena Bush sebagai
seorang presiden yang berasal dari Partai Republik yang suka berperang, namun lebih
didasari oleh jejak buruk yang dimiliki Irak terhadap negara-negara yang
dianggapnya musuh, seperti Kuwait dan Iran, sehingga Bush berusaha mengantisipasi
1 John G. Ikenberry, “America‟s Imperial Ambitions” dalam American Foreign Policy
Theoretical Essay, Edisi ke-4, (New York: W.W. Norton dan Compagny, Inc., 2007), h. 575.
59
segala keburukan yang dimiliki Irak agar kejadian seperti Tragedi 9/11 tidak terulang
kembali.
Selain Bush yang menjadi aktor penting dalam pemerintahan pada masa
invasi tersebut, latar belakang kepemilikan FNC dan kontrol Roger Ailes sebagai
seorang yang pernah berperan dalam Partai Republik dan juga sebagai seorang CEO
di FNC ternyata berpengaruh pada dukungan terhadap invasi. Dalam hal ini, Ailes
diposisikan sebagai pengarah berita dalam redaksi FNC. Hal ini sesuai dengan
pemikiran Kegley dan Wittkopf yang menyebutkan, bahwa media melalui fungsinya
dapat mengarahkan cara pandang masyarakat.2 Namun hal ini dianalisis bahwa berita
FNC yang dipublikasikan ke seluruh masyarakat dapat diartikan sebagai hasil olah
berita oleh redaktur yang sangat berperan sebagai pengontrol kegiatan di ruang
redaksi.
Naiknya dukungan opini publik AS melalui Gallup Polling3 terhadap
kebijakan Bush merupakan hal yang sesuai dengan opini publik menurut E. Jackson
Baur yang dibuktikan dengan munculnya suatu pandangan melalui organisasi atau
lembaga publik.4 Dalam hal ini dianalisis bahwa naiknya dukungan publik tersebut
merupakan hasil dari kontribusi besar FNC yang secara intensif mempublikasikan isu
invasi secara positif. FNC yang dikenal sebagai media konservatif dalam mendukung
kebijakan pemerintah dari Partai Republik mampu menyearahkan pandangan publik
2 Charles W. Kegley dan Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process,
Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318. 3 Lihat Bab II bagan B.4. “Dukungan Publik AS Terhadap Invasi Irak”, h. 31
4 Jackson E. Baur, The Public Opinion Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962), h. 212-226.
60
hingga akhirnya dapat terhimpun dalam suatu opini yang hasilnya berupa dukungan
terhadap invasi.
Dengan hasil tersebut, FNC yang mendapatkan keuntungan dengan naiknya
rating sepanjang awal perang berlangsung, menjadikan FNC sebagai mainstream
media di AS.5 FNC diikuti oleh media lainnya sebagai tolak ukur tentang berita apa
saja yang patut dan pantas dengan situasi sosial politik yang dibutuhkan oleh
masyarakat AS. Dengan dijadikannya berita FNC sebagai tolak ukur oleh media lain,
maka hal demikian diartikan bahwa dalam membangun pandangan positif terhadap
invasi, FNC tidak bekerja secara tunggal. Dengan proses tersebut juga secara tidak
langsung menggiring seluruh media untuk menjadikan berita menjadi seragam.
Keseragaman yang terjadi pada media massa saat itu tentu membawa pengaruh pada
masyarakat AS yang percaya tentang netralitas seluruh berita dari berbagai media
massa. Dengan demikian, maka keadaan tersebut membuat isu invasi AS ke Irak
menjadi semakin dianggap penting karena sebagian besar media utama di AS juga
membahas seperti yang dibahas oleh FNC.
Dengan transformasi informasi dari media seperti di atas, maka hal ini dapat
mempengaruhi masyarakat melalui konsumsi media elektronik khususnya terhadap
media TV oleh masyarakat AS yang cukup besar. Hal ini dipengaruhi oleh rating
FNC yang berada pada klasemen tertinggi serta keseragaman berita oleh media TV,
dengan kondisi tersebut maka FNC dapat mengkostruksikan pandangan tentang sisi
positif invasi terhadap masyarakat AS. Konstruksi pandangan tersebut dibangun
5 “Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”, diakses
pada 14 Februari 2011 pkl. 01:11, dari http://www.newscorp.com/news
61
melalui proses kultivasi oleh masyarakat sesuai menurut Straubhaar, J. & LaRose,
bahwa agenda setting yang dikeluarkan oleh FNC menjadikan isu tentang invasi
sebagai hal penting yang menarik masyarakat AS untuk mengamatinya. Sehingga,
suatu realitas politik dari pandangan yang dikeluarkan oleh FNC secara tidak
langsung dapat berpengaruh pada opini publik masyarakat AS pada saat itu.
Keseragaman berita yang ada pada media besar di AS, menjadikan FNC
dengan mudah mentransformasikan sikap dan nilai tentang invasi yang kemudian
menyebarkan sikap serta nilai-nilainya kepada masyarakat AS dan internasional. Hal
ini digunakan untuk menanamkan pandangan kepada masyarakat bahwa mayoritas
masyarakat AS yang diwakili oleh media massa memandang bahwa hal yang sesuai
dengan keinginan masyarakat AS adalah berperang melawan Irak untuk
mengantisipasi segala bahaya yang didengungkan oleh pemerintah AS. Hal ini juga
menunjukkan bahwa media massa khususnya FNC menginginkan sebuah
homogenitas persepsi yang sama. Homogenitas persepsi yang terjadi pada media di
AS saat itu merupakan efek dari penyesuaian media massa selain FNC yang mau
tidak mau harus mengubah pandangannya tentang invasi. Hal ini sesuai menurut
Ibnu Hamad yang menyebutkan, bahwa media massa mau tidak mau memikirkan
unsur kapital agar dapat menyesuaikan atmosfer persaingan antarmedia di AS.6
Dengan menjadikan berita FNC sebagai acuan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pada proses homogenitas persepsi tersebut terjadi hal yang cukup rumit.
Seperti halnya media massa CNN, CBS, NBC dan ABC yang dapat dinilai bahwa
core interest-nya lebih kental ke arah liberal harus menyesuaikan pandangannya
6 Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta: 2004), h. 17.
62
dengan apa yang terjadi di AS. Hal ini terjadi karena melihat rating FNC yang terus
naik. Dengan keadaan tersebut, maka dapat diartikan bahwa atmosfer persaingan
antarmedia yang dimenangi oleh FNC mendorong redaksi di setiap media massa yang
core interest-nya lebih ke arah liberal menjadi ke arah konservatif yang mendukung
invasi Irak tersebut. Hal ini juga terjadi karena media selain FNC yang lebih liberal
tidak ingin mengalami kemerosotan dalam jumlah rating yang dalam persaingannya
sudah jelas di bawah FNC, mengingat media massa AS selalu mengusahakan
penanaman modal swasta dalam penyiarannya dan juga berimbas pada rating-nya.
Dengan konsumsi berita masyarakat AS yang lebih besar pada malam hari
serta beberapa proses yang menghasilkan keseragaman berita oleh media massa di AS
tersebut,7 maka tidak diragukan bahwa wacana dan tema yang lebih mendukung
perang justru proporsinya lebih dominan pada saat berita malam. Hal ini sesuai
dengan agenda setting menurut Kegley dan Wittkopf yang menjelaskan, bahwa
media melalui agendanya mampu mengkondisikan cara pandang masyarakat AS.8
Dengan demikian, hal ini dianalisis bahwa agenda setting tersebut dapat dinilai
sebagai berita positif terhadap invasi. Agenda setting yang ada dalam hal ini adalah
agenda publikasi berita yang ditampilkan pada waktu prime time atau waktu utama
konsumsi berita dari jam 05:00pm sampai jam 10:00pm pada tiga minggu awal invasi
berlangsung.9 Hal ini juga dapat dilihat dari beberapa wawancara dan jajak pendapat
7 Steve Rendall dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”, Extra!
May/June 2003 diakses pada 14 Juni 2011 pkl. 15:30, dari http://www.fair.org/index.php?page=1145 8 Charles W. Kegley and Eugene WittKopf, American Foreign Policy: Pattern and Process,
Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991), h. 316-318. 9 Rendall dan Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”.
63
yang dilakukan oleh media massa AS pada masa invasi AS ke Irak sepanjang tahun
2003.
Bagan A.1. Publisitas acara berita malam utama selama perang Irak 2003
(CBS, ABC, NBC, FNC dan CNN).
Narasumber Persentase/ Jumlah
1. Narasumber pendukung perang
2. Narasumber antiperang
3. Narasumber AS pendukung perang
4. Narasumber AS yang antiperang
5. Narasumber yang sedang dan yang pernah bekerja
untuk pemerintah
6. Narasumber dari kampus, kelompok pakar, dan
organisasi non-pemerintah
7. Narasumber pemerintah AS dari kalangan militer
8. Jumlah pejabat atau mantan pejabat pemerintah
yang tampil di televisi
9. Jumlah aktivis antiperang
10. Narasumber FNC yang mendukung perang.
64%
10%
71%
3%
63%
4%
68%
840 orang
4 orang
81%
Sumber: Steve dan Tara Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent,”
Extra!, March-June 2003. http://www.fair.org/index.php.
Dengan bagan di atas, maka dapat dibuktikan bahwa keseragaman berita yang
dipelopori oleh FNC sangat mengarah pada perilaku media yang mendukung invasi
sehingga berimplikasi pada opini publik yang positif di AS. Dengan mayoritas
pendukung perang yang muncul pada media massa di atas, maka narasumber
diposisikan sebagai representator masyarakat AS yang menyampaikan pesannya,
bahwa suara mayoritas saat itu saat itu adalah mendukung invasi Irak 2003. Seluruh
publikasi berita malam di atas dipelopori oleh FNC pada empat hari pertama,
kemudian media massa lainnya mengikuti seperti publikasi berita FNC setelah
diketahui rating FNC terus naik melalui publikasi berita seperti di atas.10
10
Rendall dan Broughel, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”
64
B. Upaya Pemerintah AS dalam Menangani Media Massa di Medan Perang Pada Saat
Invasi Irak Tahun 2003.
Invasi AS ke Irak tahun 2003 juga ternyata memberikan kompleksitas pada
dunia jurnalistik. Praktik jurnalistik di medan perang, seperti invasi Irak 2003
membawa pergeseran pada nilai dasar kebebasan jurnalistik yang juga sebagai simbol
kebebasan bagi negara demokrasi seperti AS. Pergeseran tersebut diakibatkan karena
masuknya pihak external dari luar media yang membatasi kebebasan media dalam
memperoleh informasi. Hal ini berbenturan juga pada nilai kebebasan yang
merupakan suatu keharusan dimiliki oleh media massa yang pada saat itu sebagai
representator dari seluruh publik untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dari
perang yang sedang berlangsung.
Pada masa berlangsungnya Perang Irak 2003, kecenderungan pembatasan
praktik jurnalistik dilakukan oleh pemerintah AS. Pemerintah AS mencampuri
urusan jurnalistik sehingga menimbulkan ketidakleluasaan jurnalis dalam
menginvestigasi langsung di daerah yang seharusnya terdapat banyak infromasi
penting dari berbagai sudut pandang. Dengan adanya saran untuk menyertakan
praktik jurnalistik dalam tubuh militer perang, maka hal inilah yang menyita
kebebasan yang dimiliki oleh media massa dalam menjalankan proses jurnalistik.
Jurnalis yang bergabung secara tidak langsung harus menyesuaikan segalanya
terhadap yang dilakukan oleh militer. Seperti halnya beberapa contoh ungkapan
jurnalis yang pernah bergabung dengan militer:
65
Bagan B.1. Ungkapan Jurnalis yang Menyertakan Diri Dengan Militer
Pada Invasi Irak 2003
No. Jurnalis Media Ungkapan
1 Gordon Dillow Kolumnis, The Orange County
Register
Pertempuran di Baghdad
begitu sengit hingga
seringkali mariner
memberiku senjata untuk
digunakan kepada musuh
yang bergerak ke arah
kami. Aku tahu ini
merupakan pelanggaran
tertulis dan non-tertulis
dalam etika jurnalistik,
namun sejujurnya hal
inilah yang membuatku
nyaman
2 Rick Leventhal Koresponden, Fox News Channel
(FNC).
Kami berpakaian sama
dengan mereka (marinir),
kami makan dengan
mereka, kami tidur
bersama dengan mereka,
dan kami menjadi bagian
dari mereka.
3 Chuck
Stevenson
Produser acara 48 Hours
Investigates di CBS News.
Proyek ini sangat keren.
Seperti Band of Brothers
yang sungguh nyata. Aku
sudah lama berhubungan
dengan marinir, kini aku
pernah mengikuti layanan
mulia mereka.
4 Bob Arnot Koresponden, MSNBC dan NBC. Proses penyertaan ini
adalah satu langkah
terbaik dari militer
Amerika dalam hubungan
dengan mereka dengan
pers.
5 John Burnett Koresponden, News Public Radio
(NPR)
Sepanjang perjalanan
bersama marinir, aku tak
bisa melepaskan perasaan
bahwa kami adalah
pemandu sorak.
Kebanyakan dari militer
yang kami sertakan
mengenggap kami bukan
66
sebagai jurnalis yang
netral, namun sebagai alat
untuk menunjukkan
prestasi dan kejayaan
mereka.
6 Chantal Escoto Jurnalis, The Leaf- Chronicle. Aku bukan orang yang
turut bertempur, namun
aku siap mengangkat
senapan untuk mereka
atas komandonya jika
perlu. Senapan tidak
sukar digunakan, tinggal
bidik dan tembak.
Sumber: “Embedded/ unembedded I. (Dispatches: slices of the war)”, adaptasi dari
http://goliath.ecnext.com (data diolah oleh penulis)
Dengan beberapa ungkapan para jurnalis di atas, maka penyertaan jurnalis
terhadap tubuh militer terdapat penyesuaian yang mau tidak mau harus dilakukan
oleh jurnalis. Hal ini menunjukkan bahwa adanya transisi perubahan etika jurnlistik
yang sangat nyata karena terdapat pergolakan antara nilai jurnalistik dan jiwa
nasionalisme para jurnalis yang menyertakan dirinya ke dalam unit militer.
Dalam penyertaan jurnalis dalam ini militer ini, dapat dilihat juga bahwa FNC
yang memimpin klasemen tertinggi dalam persaingan antarmedia massa di AS
ternyata tidak dapat berbuat banyak dalam perang yang sedang berlangsung. FNC
hanya dapat diposisikan sebagai konstruktor ide pada tatanan informasi lokal di AS,
namun dalam Perang Irak FNC tidak berbeda dengan media massa lain yang
mendapat pengaruh dari pemerintah AS pada saat pengikutsertaan ke dalam unit
militer.
Pada saat bergabungnya jurnalis dengan militer, maka secara tidak langsung
militer juga dapat mengontrol jalannya peliputan di medan perang. Kontrol tersebut
67
dilandaskan pada alasan keamanan dan keselamatan jiwa jurnalis.11
Dengan alasan
itulah maka militer dapat memberikan instruksi kapan dan dimana jurnalis dapat
meliput. Selain itu, dengan penyertaan praktik jurnalistik pada militer tersebut maka
jurnalis akan tertanamkan jiwa patriotismenya, sehingga sedikit banyak pihak militer
akan mempengaruhi jurnalis, khususnya dari Barat untuk membela bahkan
menganggap bahwa perang ini adalah sebuah kebenaran.12
Hal ini dapat diartikan
sebagai pengaruh psikologis pada jurnalis sendiri yang juga menjadikan rasa
dilematis antara tugas jurnalistik yang seharusnya lebih netral atau justru malah
membela pihak militer yang menyerang lawan demi kepentingan nasional AS.
Dengan masuknya saran pemerintah dalam praktik jurnalistik di medan
perang bukan semata-mata menutup ruang gerak jurnalis dalam meliput secara
keseluruhan, namun pemerintah AS hanya ingin membatasi ruang gerak agar jurnalis
yang masuk ke medan perang Irak berada dalam kontrolnya.13
Hal ini sesuai menurut
pemikiran Vandana tentang pengendalian politik. Dalam pengendaliannya terhadap
media massa, pemerintah AS dapat memainkan perannya sebagai aktor penting untuk
mengatur alur perang yang sesuai dengan pandangannya.14
Namun, hal ini dianalisis
bahwa alur perang ini tidak seperti mengatur skema penyerangan dan kontak senjata
terhadap pihak Irak di medan perang secara langsung, tetapi lebih diorientasikan pada
pengaturan informasi yang nantinya ditransformasikan kepada masyarakat banyak.
11
Jules Crittenden, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer online, laporan
jurnalis di medan perang, 11 April 2003, diakses pada 2 Mei 2011 pkl. 11:16, dari
http://poynteronline.org/content/content_view.asp.id=29774. 12
Amy Goodmandan David Goodman, Perang Demi Uang, (Profetik, Jakarta, 2005.), h. 215. 13
Michael wolff, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, diakses pada 29 Juni
20011 pkl. 11:30, dari www.newyorkmetro.com/nymetro.news/media/features/n_9067.html. 14
Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi: 1996), h. 78.
68
Jadi, dengan informasi yang dimiliki oleh media massa yang sebelumnya telah
dikontrol oleh pihak militer, maka pemerintah dapat memberikan pandangannya
sesuai wacana perang yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa seburuk apapun
perang berlangsung maka akan di-counter oleh pemerintah melalui publikasi berita
media massa yang tentunya akan menampilkan dari sisi positif perang tersebut.
Dengan adanya kontrol terhadap media massa tersebut, dalam publikasi berita
ke masyarakat AS dan masyarakat internasional yang menjangkau dari jaringan
media massa dari AS, maka pemerintah AS terlihat lebih menghadirkan sudut
pandangnya. Pemerintah AS terlihat ingin memberikan arus keluar masuknya
informasi yang dijangkau oleh seluruh media AS di seluruh dunia berdasarkan
arahannya. Hal ini dianggap sebagai sebuah manipulasi karena dalam proses
pengumpulan informasi tersebut juga sudah terdapat campur tangan militer AS untuk
mengatur setting waktu dan tempat bagi jurnalis dalam meliput. Selain itu,
disebutnya juga sebagai sebuah manipulasi karena sesuai menurut Arie Indra Chandra
bahwa berita yang diliput dan dipublikasikan oleh media massa dikonstruksikan demi
kepentingan nasionalnya yang juga ditujukan untuk dunia luas atau hanya kelompok-
kelompok kecil tertentu yang terpengaruh oleh media massa khususnya mayarakat
AS sendiri.15
Dengan konstruksi pandangan tersebut, seperti yang telah dijelaskan
oleh Kj. Holsti bahwa hal ini dapat dinilai sebagai sebuah propaganda yang sengaja
15
Arie Indra Chandra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam politik
global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional, (Graha
Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007), h. 239-240.
69
memang dibangun AS tentang invasi Irak terhadap dunia internasional demi
kepentingan nasionalnya.16
Selain kontrol terhadap medianya sendiri, kontrol pemerintah AS juga sangat
terlihat dalam beberapa kasus yang telah terjadi dalam lingkup kegiatan jurnalistik.
Pembungkaman terhadap media internasional selain media dari AS sendiri juga
dilakukan oleh pemerintah AS, yakni pembunuhan terhadap Taras Protsiu jurnalis
Reuters dari Perancis dan Jose Couso jurnalis Telecinco dari Spanyol di Hotel
Palestine, Baghdad. Pembunuhan tersebut berupa pengeboman yang ditujukan
kepada jurnalis yang tidak mengikutsertakan kegiatan jurnalistiknya pada militer.
Hal ini sangat menunjukan bahwa AS sangat ingin menghadirkan homogenitas
pandangan melalui media yang ikut serta dalam militernya saja. Dengan kata lain AS
memiliki rasa khawatir terhadap media internasional lainnya akan mempublikasikan
berita dari pandagan lain bahkan berita buruk tentang invasi. Hal lain yang
mengindikasikan rasa khawatir ini adalah diketahui juga bahwa Taras Protsiu
merupakan jurnalis yang berasal dari Perancis yang juga sebagai salah satu negara
penolak invasi serta Reuters yang berasal dari Inggris yang jelas pada saat
berlangsungnya invasi, Inggris merupakan salah satu negara yang warganya paling
banyak menentang terhadap invasi tersebut.17
Selain dua media asing di atas, pemerintah AS juga sangat ingin menutup
pandangan media Timur Tengah terhadap invasi Irak tahun 2003, yakni dengan
16
KJ Holsti, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta, Bandung:
1992), h. 168 17
“The Largest Protest in Human History”, diakses pada 16 Juni 2011 pkl. 18:14, dari
www.guinnessworldrecords.com
70
beberapa kasus yang menimpa Aljazeera yang jelas dilakukan oleh pemerintah AS.
Beberapa kasus yang menimpa Aljazeera tersebut merupakan tekanan yang dilakukan
oleh pemerintah AS baik secara fisik maupun hambatan administratif. Hal ini
merupakan bukti, bahwa pemerintah AS terlihat tidak ingin adanya media tandingan
sehingga membuat arus komunikasi internasional tidak terlalu variatif dalam
penyampaian berita invasi. Dengan kata lain, arus informasi yang dikonsumsi oleh
masyarakat hanya berasal dari publikasi media barat yang memang telah diatur oleh
pemerintah AS.
Dengan adanya tekanan dan hambatan terhadap media tandingan dari Timur
Tengah tersebut, pemerintah AS juga menunjukan, bahwa pihaknya menginginkan
kuatnya arus informasi pada saat itu tetap berasal dari media di bawah kontrolnya
sehingga menimbulkan dukungan atas invasi yang dilakukannya. Dengan demikian,
meskipun sebelum invasi memang terdapat negara yang tidak mendukung terhadap
kebijakan AS tersebut, namun pemeritah AS juga sangat jelas menginginkan invasi
tersebut tidak diprotes oleh negara lain bahkan oleh rakyat AS sendiri hanya karena
akibat dari publikasi media yang menceritakan tentang invasi Irak 2003 tersebut dari
pandangan lain.
C. Dampak Upaya FNC dan Pemerintah Dalam Mentransformasi Pandangan
tentang Invasi Irak 2003 terhadap Publik Inernasional.
Dalam informasi internasional, peran FNC justru tidak terlalu berpengaruh
terhadap dukungan invasi AS ke Irak. Upaya FNC dalam membangun opini publik
internasional di seluruh negara jangkauannya tidak dapat diterima secara langsung
71
sebagai suatu hal yang positif. Hal ini menunjukkan adanya suatu pembelajaran dan
penyesuaian nilai pandangan suatu negara dalam memandang berita invasi dari sudut
pandang FNC. Seperti halnya Perancis yang menolak invasi tersebut tidak hanya
memandang isu invasi dari sisi ancaman terhadap AS, namun lebih mengarah kepada
sisi legalitas Dewan Keamanan PBB yang menganggap bahwa invasi hanya boleh
dilakukan terhadap negara agresor dan lebih mengutamakan jalannya perundingan
demi menjaga sisi nilai multilateral yang tertanam dalam PBB.18
Meskipun seluruh acara FNC dapat menjangkau ke 58 negara, namun
publikasi tersebut tidak seluruhnya mempengaruhi publik internasional. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya protes yang justru muncul dari publik internasional agar
invasi AS ke Irak tidak terjadi berkepanjangan. Protes ini terjadi karena pada invasi
tersebut, masyarakat internasional memandang lebih ke arah sisi kemanusiaan
terhadap korban warga sipil di Irak, bukan hanya dari sisi kepentingan AS dalam
mengantisipasi bahaya dan ancaman yang ada di Irak.19
Protes terhadap invasi
tersebut juga dilakukan agar AS tidak melakukan invasi ke Irak dalam jangka waktu
yang lama, seperti halnya demonstrasi di Inggris yang menyebutkan, bahwa invasi
tersebut tidak menutup kemungkinan akan ada pemanfaatan ladang milik minyak Irak
oleh AS.20
Hal ini juga semakin diperkuat bahwa telah diketahui terdapat tujuan AS
dan Inggris yang ingin memanfaatkan kehancuran Irak pasca penyerangan sejak 20
Maret 2003 hingga 1 Mei 2003. Tujuan tersebut dihubungankan dengan pemanfaatan
18
“Maneuver Cantik Monsieur Chirac”, Harian Tempo edisi 24 April 2003 19
“Thousands join U.S. anti-war march” diakses pada 20 Mei 2011 pkl 17:15 WIB dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/. 20
Lou Posner, “No Blood For Oil”, diakses pada 21 Mei 2011 pkl. 19:10 WIB dari
http://www.votermarch.com.
72
sumber minyak serta komplek perkantoran kementerian perminyakan dan
kementerian dalam negeri yang tidak dihancurkan dalam serangan bom di hari-hari
pertama serangan udara pasukan AS.21
Dengan publikasi berita yang dipelopori oleh FNC serta dominasi dari media
barat pada masa invasi berlangsung justru terdapat protes dari dunia internasional.
Setidaknya terdapat protes dari seluruh penjuru dunia yang menolak invasi AS ke
Irak tersebut.
Bagan C.1. Protes anti Invasi Irak 2002-2003 No. Tanggal Demonstrasi, Kota/ Negara
Pra-Invasi ke Irak
1 12 September 2002
27 September 2002
02 Oktober 2002
07 Oktober 2002
26 Oktober 2002
31 Oktober 2002
09 November 2002
16 & 17 November
2002
16 Januari 2003
18 Januari 2003
15 Februari 2003
1000 demonstran berkumpul menolak invasi di depan gedung PBB,
Amerika Serikat.
150.000 demonstran menolak invasi sebagai respon pasca dukungan Tony
Blair (PM Inggris) terhadap invasi, London, Inggris.
1.000 demonstran menolak invasi pasca ditandatanganinya resolusi,
Chicago, Amerika Serikat
3.000 demonstran berkumpul saat pidato Bush di Cincinnati Museum
Center, Amerika Serikat.
100.000 demonstran menolak invasi, AMerika Serikat
150 demonstran menolak invasi dan menolak dukungan Inggris terhadap
AS, di Brighton, Manchester , Glasgow dan London, Inggris.
Sejuta demonstran dari forum sosial Eropa menolak invasi di Florence ,
Italia.
1.000 demonstran berkumpul di Queen Park di Toronto, Kanada, menolak
invasi dan menyebut AS hanya ingin menumbangkan Saddam Hussein
demi minyak, dan mendorong PBB untuk berperan demi meredam
keinginan invasi oleh AS.
Jutaan demonstran yang tersebar antara lain di Turki, Mesir, Pakistan,
Jepang, Belgia, Belanda, Argentina, dan Amerika Serikat menolak invasi
ke Irak.
Jutaan demonstran menolak invasi yang tersebar di Tokyo, Moskow, Paris,
London, Dublin, Montreal, Ottawa, Toronto, Cologne, Bonn, Gothenburg,
Florence, Oslo, Rotterdam, Istanbul dan Kairo.
Jutaan orang protes dari 800 kota di seluruh dunia. Guinness Book of
Records mencatat sebagai protes terbesar dalam sejarah manusia, protes
terjadi antara lain di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Swiss, Irlandia,
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Suriah, India, Rusia,
Korea Selatan, Jepang, dan bahkan McMurdo Station di Antartika.
Mungkin demonstrasi terbesar hari ini terjadi di London, dengan sampai
satu juta demonstran berkumpul di Hyde Park, speaker termasuk Pendeta
21
“The World After the War in Iraq”, diakses pada 25 Maret 2011 pkl. 10:31 WIB dari
www.marxist.com.
73
08 Maret 2003
15 Maret 2003
16 Maret 2003
19 Maret 2003
Jesse Jackson, walikota London Ken Livingstone , dan pimpinan Liberal
Demokrat, Charles Kennedy. Sebuah demonstrasi besar, juga dihadiri oleh
sekitar satu juta orang yang berlangsung di Barcelona .
Demonstrasi menolak invasi terjadi oleh tiga pawai terpisah sebanyak
10.000 demonstran berkumpul di Manchester Town Hall, Inggris.
Demonstrasi di Spanyol dan Italia menunjukkan beberapa tingkat
partisipasi terbesar terhadap pro-perang sikap pemerintah mereka, dengan
lebih dari 400.000 pemrotes di Milan, lebih dari 300.000 di Barcelona
membentuk rantai manusia, dan lebih dari 120.000 di Madrid, juga
berlangsung di Seville, Aranjuez, Palencia, dan di Kepulauan Canary.
Ratusan ribu demonstran berkumpul sebanyak 10.000 protes di Paris.
100.000 protes di Berlin, sekitar 20.000 protes di Athena, 10.000 orang
berbaris di Tokyo, dan puluhan ribu di Washington, DC. Ribuan
demonstran lainnya juga berbaris di kota-kota di seluruh dunia termasuk di
Bangkok, Seoul, Hong Kong, Amman, Chicago, Calcutta, Melbourne,
Christchurch, Dunedin, Paris, London, Portsmouth, Leeds, York, Exeter,
Newcastle upon Tyne, Frankfurt, Nuremberg, Zürich, Copenhagen,
Stockholm, Nicosia, Monaco, Santiago de Chile, Havana, Buenos Aires,
Moscow, Seattle, San Francisco, Los Angeles, Atlanta, Vancouver,
Halifax, Ottawa, dan Toronto, serta kota-kota di Yaman, Turkey, dan
wilayah Palestina.
Puluhan ribu siswa di seluruh tanah Britania berkumpul di masing-masing
kota menolak invasi. 4.000 siswa di Birmingham, ribuan siswa di West
Midlands, sekitar 500 siswa di Yorkshire, 200 siswa di Bradford, ribuan
siswa juga berkumpul di kota Leeds dan Horsforth, serta 10.000 anak-anak
sekolah menengah di Manchester.
Awal Invasi ke Irak
2 20 Maret 2003
21 Maret 2003
22-23 Maret 2003
24 Maret 2003
Di Jerman, para mahasiswa menggelar aksi walkout. Di London,
demonstrasi besar-besaran diadakan di depan Gedung Parlemen. Di AS
terjadi demonstrasi di beberapa kota namun tidak terlalu besar dibanding
aksi sebelumnya.
Demonstrasi terorganisasi di hari kedua di kota-kota AS termasuk Seattle,
Portland, Chicago, Atlanta, San Francisco, dan Los Angeles.
Sekitar 150.000 demonstran di Barcelona, lebih dari 100.000 demonstran
di London , sekitar 100.000 demonstran di Paris, sekitar 150.000
demonstran tersebar di kota-kota Jerman, sebanyak 90.000 di Lisbon,
40.000 di Bern. Selain itu demonstrasi terbesar di Swiss selama beberapa
dekade, 10.000 hingga 20.000 di Yunani, Denmark dan Finlandia.
20.000 demonstran menolak invasi di Hamburg, Jerman. Demonstrasi
mingguan, didukung oleh gereja, serikat buruh dan organisasi sipil lainnya,
dimulai lagi pada bulan Januari 2003 sebagai protes terhadap invasi Irak.
Protes pawai di sore hari juga dilaporkan di kota-kota Jerman Berlin dan
Freiburg. Di Italia, kota-kota besar seperti Roma, Milan, dan Turin,
terdapat ribuan siswa dan guru tinggal jauh dari sekolah untuk memprotes
perang Irak. Serikat guru melaporkan bahwa 60 persen dari semua sekolah
ditutup. Pemogokan telah direncanakan beberapa minggu lalu sebagai
sinyal terhadap RUU reformasi sekolah, tetapi dikonversi menjadi protes
anti-perang. 400 pengunjuk rasa anti-perang mencoba memasuki Australia
parlemen di Canberra untuk berbicara kepada perdana menteri, namun
dihentikan oleh polisi. Di India negara bagian Andhra Pradesh, Maois
menyerang pengunjuk rasa toko yang menjual Coca-Cola dan minuman
ringan milik AS. Protes di depan gedung AS dan di toko-toko makanan
cepat saji juga diadakan di Indonesia. Di Mesir , 12.000 siswa dari dua
74
25 Maret 2003
28 Maret 2003
29 Maret 2003
30 Maret 2003
universitas di Kairo memprotes serta 3.000 orang di Thailand ibukota
Bangkok. Dalam Rio de Janeiro, Brazil, 150 orang melempari konsulat
Amerika Serikat.
Sekitar 100.000 orang berdemonstrasi di Suriah memprotes AS, Inggris
dan Israel. Protes ini didukung oleh pemerintah Suriah. Selain itu, di
Bangladesh terdapat 60.000 orang berdemonstrasi. Di Korea Selatan juga
terdapat protes di depan gedung parlemen, terkait dengan rencana untuk
pengiriman pasukan Korea Selatan dalam perang Irak.
Sekitar 250 siswa berbaris di kedutaan besar AS di pusat kota London. 200
demonstran anti-perang duduk di jembatan Humber di Hull sehingga
melibatkan beberapa gesekan antara pengendara dan demonstran.
Protes global tidak berhenti pada minggu kedua perang. Sekitar 10.000
protes di Teheran, Iran. Para pengunjuk rasa yang didukung oleh
pemerintah, meneriakkan "Saddam Mati" serta "Kematian bagi Amerika."
Sekitar 50.000 sampai 80.000 berdemonstrasi di Kairo, Mesir, setelah
shalat Jumat. Di Bogota, Kolombia, terjadi kekerasan di depan konsulat
AS pada saat demonstrasi menolak invasi. Pawai dan demonstrasi terjadi
juga di Aljazair dan Bahrain, Palestina, Korea Selatan, Indonesia dan
Pakistan. Di Australia, polisi mencegah pawai protes. Di Jerman , protes
oleh anak-anak sekolah lanjutan. Di New Delhi dan di tempat lain di India,
lebih dari 20.000 protes menentang perang.
Di Inggris ratusan demonstran berbaris dari Cowley ke pusat Oxford dan
sekitar 5.000 demonstran turun ke jalan di Edinburgh. Demonstran
berbaris di sepanjang Edinburgh Princes Street untuk pawai di daerah kota
Meadows .
100.000 orang berbaris di Jakarta, Indonesia. Menurut Jonathan Head BBC
ini adalah demonstrasi anti-perang terbesar terjadi di negara mayoritas
Muslim di dunia. Selain itu, demonstrasi resmi digelar pertama kali oleh
Cina yang mengizinkan mahasiswa asing untuk menyanyikan slogan anti-
perang saat mereka berjalan melewati kedutaan besar AS di Beijing. Di
Amerika Latin juga menggelar demonstrasi di Santiago, Mexico City,
Montevideo, Buenos Aires dan Caracas. Di Jerman setidaknya 40.000
orang membentuk rantai manusia di kota utara Munster dan 35
Osnabrueck. Sekitar 23.000 demonstran mengambil bagian dalam pawai di
Berlin dan berakhir di taman Tiergarten, protes berlangsung di Stuttgart
dan Frankfurt, di mana 25 orang ditahan ketika mereka mencoba untuk
memblokir pintu masuk ke sebuah pangkalan udara AS. Pawai juga
diselenggarakan di Paris, Moskow, Budapest, Warsawa dan Dublin.
Pasca-Jatuhnya Baghdad oleh Militer AS
3 12 April 2003
25 Oktober 2003
Protes terjadi di Washington DC, San Francisco, dan Los Angeles untuk
menyerukan bahwa Perang Irak harus selesai pasca tiga hari jatuhnya
Baghdad ke tangan AS. Di Washington, 30.000 demonstran melakukan
pawai memprotes terhadap perusahaan seperti Bechtel dan Halliburton
untuk tidak campur tangan dalam urusasn minyak Irak.
Puluhan ribu orang berdemonstrasi di Washington DC, San Francisco,
California, Reno, Nevada berunjuk rasa menganjurkan untuk segera
mengeluarkan pasukan AS dan koalisi dari Irak. Di Washington DC
terdapat 20.000 demonstran. Protes berakhir dengan sebuah rally di
Washington Monument.
Sumber: "President, House Leadership Agree on Iraq Resolution”,
www.whitehouse.archives.gov; “The Largest Protest in Human History”
www.guinnessworldrecords.com/; dan adaptasi dari“BBC News”
www.news.bbc.uk/news/war_story/ (data diolah oleh penulis)
75
Dengan banyaknya protes di atas dapat dilihat bahwa FNC dan beberapa
media yang seragam dengan pandangannya tidak terlalu berpengaruh terhadap dunia
internasional yang memandang invasi dari sisi kemanusiaannya. Hal ini terjadi
karena berita yang dipublikasikan oleh media barat sebagian besar hanya berupa
dukungan terhadap pemerintah AS, namun hal ini tidak berpengaruh pada publik
internasional yang tidak termasuk dalam kepentingan pemerintah AS meskipun pada
publikasi berita yang ditampilkan oleh FNC dan media AS lainnya betapa pentingnya
invasi Irak terhadap dunia internasional.
Hal di atas tentu berbeda bila melihat kembali pada masa eskalasi invasi Irak
yang didukung oleh Tony Blair. Blair sebagai Perdana Menteri Inggris yang
merespon pernyataan Rupert Murdoch pada masa kampanye dukungan invasi
dianggap sebagai sebuah pengaruh positif. Hal ini sesuai menurut Kegley dan
WittKopf yang menyebutkan bahwa media massa masuk dalam proses pembuatan
dan implementasi kebijakan luar negeri yang dijadikan sebagai sumber.22
Dukungan
tersebut dianggap sebuah pengakuan internasional oleh AS yang memandang bahwa
invasi memang harus dilakukan. Hal ini juga dianggap sebagai respon Inggris
terhadap kebijakan AS melalui media massa yang terjadi di luar kerjasama Inggris
dan AS yang telah dijalin sejak tahun 1945.
Dengan kejadian di atas, telah jelas terlihat bahwa FNC ternyata hanya
berpengaruh pada publik lokal yang juga dibantu oleh media massa AS lainnya yang
menganggap FNC sebagai sebuah parameter. Selain itu, pada tingkat internasional
22
Kegley dan WittKopf, American Foreign Policy, h. 539.
76
pengaruh FNC sebagai salah satu wakil media di AS hanya mampu mempengaruhi
Inggris yang telah jelas bila melihat hubungannya juga sangat dekat dengan AS sejak
tahun 1945. Pengaruh FNC terhadap Inggris ini juga ternyata hanya dapat dilihat
pada tatanan elit politiknya saja, namun tidak berpengaruh pada publik yang lebih
luas, sehingga telah terlihat banyaknya mayoritas protes terbesar dari seluruh dunia
berada pada publik di Inggris.
77
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Skripsi ini telah melakukan penelitian tentang upaya Fox News Channel
(FNC) dalam membentuk opini publik AS serta upaya pemerintah AS dalam
membangun opini publik pada saat invasi Irak 2003. Melalui studi pustaka
setidaknya penulis memiliki kesimpulan bahwa upaya FNC dan pemerintah AS
dalam membangun opini publik di AS memang memiliki usaha yang signifikan
sehingga terbentuknya opini publik. Dalam membentuk opini publik, FNC
memang berpengaruh pada tatanan publik lokal di AS. Arus informasi lokal juga
berubah menjadi seragam sebagai akibat dari penyesuaian media di AS yang pada
saat itu kalah dalam jumlah rating dari FNC dan mengubah arah pemberitaan
seperti yang dibahas oleh FNC. Dengan demikian sehingga menimbulkan bagi
sebagian besar masyarakat AS menganggap bahwa invasi adalah suatu hal yang
benar. Argumen ini dibangun setidaknya berdasarkan tiga temuan, dalam
penelitian sebagai berikut:
Pertama, Bab II memberikan pemahaman dasar tentang tinjauan umum
FNC di AS, serta hubungan media massa dan pemerintah AS dalam proses
peliputan invasi berlangsung. Dalam bab II ini penulis menemukan bahwa upaya
pengaruh yang diberikan oleh FNC memiliki alasan: Pertama, dibangunnya FNC
pada tahun 1996 oleh Ruppert Murdoch ternyata ingin memberikan persaingan
terhadap media besar CNN yang pada tahun 1991 pernah menjadi salah satu
media terbesar yang menampilkan perang secara real time. Ke dua, latar belakang
78
kepemilikan FNC, yakni Ruppert Murdoch dan Roger Ailes sebagai Pejabat
Eksekutif Tertinggi atau Chief Executive Officer (CEO) ternyata memang terlihat
sangat mengarahkan pandangannya sesuai dengan kebijakan Partai Republik. Hal
tersebut dibuktikan karena Ailes merupakan orang yang berjasa untuk Partai
Republik AS pada masa kampanye pemilihan Presiden di AS tahun 1968-1984
hingga pada saat di FNC memiliki andil penuh dalam mengatur pemberitaan di
ruang redaksi. Ke tiga, FNC memanfaatkan konsumsi berita bagi masyarakat
yang percaya bahwa media massa memunculkan nilai-nilai jurnalistik yang netral,
sehingga semakin memudahkan FNC dan media massa lainnya untuk
mentransformasikan pandangannya mengenai invasi. Hal ini digunakan FNC
dengan cara membuat pemberitaan yang sifatnya mendukung perang tanpa
memberikan pandangan tentang buruknya invasi secara lebih banyak yang
sifatnya kontroversi. Dengan cara yang digunakannya maka menjadikan dirinya
sebagai pemegang rating tertinggi pada tahun 2003, yakni saat invasi
berlangsung. Ke empat, pada masa invasi berlangsung, pemerintah dan media
massa seakan berkolaborasi dalam membangun opini publik. Hubungan antara
media massa dan pemerintah tersebut menjadi harmonis karena pada peliputan
Perang Irak 2003, media massa disarankan untuk masuk ke dalam bagian dari
militer AS hingga akhirnya lebih banyak penyesuaian yang di lakukan media
massa terhadap militer dengan alasan keamanan jurnalis.
Ke dua, dalam bab III diidentifikasikan faktor pendorong terjadinya invasi
AS ke Irak tahun 2003. Secara garis besar, invasi AS ke Irak tersebut didasarkan
atas rasa khawatir AS terhadap negara-negara yang dianggapnya berbahaya bagi
dunia internasional khususnya bagi AS sendiri. Pada hal ini AS memandang Irak
79
sebagai ancaman baginya. Rasa khawatir ini didukung oleh berbagai jejak buruk
yang pernah dilakukan oleh Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein. AS
yang menganggap Irak sebagai ancaman menuduh Saddam Hussein adalah
seorang yang berada dibalik penyerangan 9/11 tahun 2001 yang harus
dilengserkan dari kursi kekuasaan dengan cara invasi sambil menyisir berbagai
ancaman di Irak sesuai bahaya yang dicurigainya. Selain rasa khawatir yang AS
tunjukan dengan mengeluarkan kebijakan luar negeri invasi AS ke Irak, rasa
percaya diri AS muncul karena AS didukung oleh Inggris yang juga
membenarkan segala sesuatu yang didengungkan AS tentang bahaya Irak tersebut.
Hal ini menimbulkan semakin kuatnya legalitas AS di mata masyarakatya sendiri
meskipun terdapat penolakan dari Dewan Keamanan PBB.
Ke tiga, bab IV memberikan pemahaman tentang analisis upaya FNC
dalam membentuk opini publik serta upaya yang dilakukan pemerintah AS dalam
membangun opini publik pada saat invai Irak 2003. Selain itu pada bab ini juga
menunjukan tentang pandangan publik sebagai efek dari upaya kedua pihak.
Dengan latar belakang FNC yang lebih mendukung perang, ternyata
pemerintah AS juga tidak cukup dengan dorongan FNC di AS, namun pemerintah
AS mengambil langkah penting untuk menangani media massa di medan perang pada
saat invasi berlangsung. Hal ini dapat dielaborasikan dengan melihat mekanisme
kerja antara pemerintah dan FNC. Pemerintah AS melakukan embedded
journalism terhadap media dari negaranya dan penutupan ruang gerak terhadap
media asing yang tidak termasuk dalam arahan embedded journalism. Dengan
keadaan tersebut, sehingga publikasi berita yang dikeluarkan ke seluruh negara
jangkauannya lebih banyak dari pandangan media AS. Berita yang dipublikasikan
80
sudah tentu dipelopori dan telah dipengaruhi oleh FNC melalui persaingan
antarmedia di AS. Dengan demikian, maka arus informasi yang dihadirkan baik
di AS maupun di seluruh negara jangkauan yang mendapatkan jaringan FNC,
merupakan dari beberapa penyesuaian media di medan perang dan dalam
persaingan antarmedia di AS.
81
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Chandra, Arie Indra, ”Peran media massa sebagai pencipta realitas kedua dalam
politik global”, dalam Yulius P. Hirawan, ed., Transformasi Dalam Studi
Hubungan Internasional, (Graha Ilmu, Fisip Unpar-Bandung: 2007).
Chomsky, Noam, Politik Kuasa Media, terj., (Jakarta: Pinus Book Publisher,
2006).
Colhoun, Jack, “How Bush Becked Iraq”, Middle East Report (May-June 1992).
Creswell, John W., Reseach Design Qualitative and Quantitative Approaches,
(United Kingdom: Sage Publications, 1994).
Daulay, Richard M., Amerika vs Irak, (Jakarta: Libri, 2009).
Fukuyama, Francis, After The Neocons: America at the Crossroads, (London:
Yale University Press, 2006).
Goodman, Amy dan Goodman, David, Perang Demi Uang, (Profetik, Jakarta,
2005.).
Gray, Jerry D., Dosa-Dosa Media Amerika, (Jakarta: UFUK Press, 2006.).Nye,
Joseph S., Understanding International Conflicts: An Introduction to
Theory and History, (London: Harper Collins College Publisher, 1993).
Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. (Granit, Jakarta:
2004).
Hamad, Ibnu, Dunia Timur Tengah Dalam Pers Barat, (Jakarta: Granit, 2005).
Harison, Lisa, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana. 2007).
82
Hendrajit, ”Makna Strategis Kunjungan Menlu”, dalam Tangan-tangan Amerika:
Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia, (Jakarta: Global Future
Institute, 2010).
Herman dan Chomsky, Noam, Manufacturing Consent, The Political Economy Of
The Mass Media, (Patheon Books, New York: 1998).
Holsti, KJ, Politik Internasonal Suatu Kerangka Analisis, (IKAPI-Binacipta,
Bandung: 1992).
Ikenberry, John G., “America‟s Imperial Ambitions” dalam American Foreign
Policy Theoretical Essay, Edisi ke-4, (New York: W.W. Norton dan
Compagny, Inc., 2007).
Ispandriano, Lukas S., dkk, Media-Militer-Politik: Crisis Communication,
(Yogyakarta: Galang, 2002).
Kegley, Charles W. dan WittKopf, Eugene, American Foreign Policy: Pattern
and Process, Fourth eds., (St. Martin Press, New York: 1991).
Luhulima, C. P. F., Eropa Sebagai Kekuatan Dunia: Lintasan Sejarah dan
Tantangan Masa Depan, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992).
Mas‟oed, Mochtar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
(Jakarta: LP3ES, 1990).
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002).
Pelletiere, Stephen C., Landpower And Dual Containment: Rethinking America’s
Policy In The Gulf, (US Army War College: Strategic Studies Institute,
November 1999).
Rudy, Teuku May, Perspektif Komunikasi Internasional dan Media Humas
Internasional, (IKAPI-PT Refika Aditama, Bandung: 2005).
83
Sihbudi, Riza, “Bara Timur Tengah (Islam, Dunia Arab, Iran)”, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1991).
Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2007).
Sholehi, Mohammad, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, (Simbiosa
Rekatama Media, Bandung: 2009).
Straubhaar J., & LaRose R., Communications media in the information society.
(Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning, 2002).
Tamhuri, Elba, Dibalik Invasi AS ke Irak, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing,
2003).
Taylor, Philip M., global Communication International Affairs and The Media
Since 1945, (London: Routledge, 1997).
Vandana A., Theory of International Politics, (Vikas Publishing, New Delhi:
1996).
Waltz, Kenneth N., “Globalization and American Power,” The Journal of
National Interest, Number 59, (Spring 2000).
Jurnal:
Agustina, Nur, “Studi Atas Dukungan Inggris Terhadap Invasi Amerika Serikat
Atas Irak Maret 2003”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Hubungan Internasional Program Pasca Sarjana,
Universitas Indonesia, 2007).
Ambarry, Yusron Bahauddin, “Penerapan Sanksi Ekonomi PBB Terhadap Irak
dan Faktor Kegagalannya”, (Tesis Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2002).
Anwar, Dewi Fortuna, “Tatanan Dunia Baru”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.3,
No.2, (Mei-September 2003).
84
Baur, Jackson E., “The Public Opinion Quarterly”, Vol. 26, No. 2 (Summer, 1962)
Dimitrova, Daniela V., “Television Coverage of the Iraq War”, Volume 10.
Number 1, Journal Press/ Politics, (Winter 2005).
Harmiyati, “Dimensi Teknologi, Keamanan dan Ekonomi Dalam Invasi AS Ke
Irak”, Jurnal Paradigma Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta, Volulme VII, Nomor 20, (Maret 2003).
Heriyanto, Jimmi, “Tetap Diperlukannya Kehadiran Militer AS di Irak Pasca
Saddam Hussein: Keberadaan Minyak Di Timur Tengah Kekayaan
Minyak Di Irak”, (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program
Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2009).
Jurnal Studi Amerika, Vol. VI Januari-Juli 2000, PKWA-UI Jakarta.
Widjadjanto, Wisnu B., “Hak Mengetahui Sebagai Wujud Kebebasan Pers di AS”,
KWA (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
1992).
Surat Kabar:
Budi Setyarso, “Rudal AS Bunuh Wartawan”, Harian Tempo, edisi 09 April
2003.
Daru P.,“Demo Anti-AS Guncang Bagdad”, Harian Tempo, edisi 21 April 2003.
Nurkhoiri,“Negara Arab Ingin AS Segera Pergi”, Harian Tempo edisi 20 April
2003.
Pamuji, Nanang, “Dilema Barat Terhadap Irak”, Harian Suara Pembaruan, edisi
13 Maret 2002.
Piyanto, Andrea “Hubungan Amerika Dengan Perancis Kian Memburuk”,
Harian Tempo, edisi 19 Maret 2003.
85
Rahman, “Geliat Irak Pasca Saddam, Laporan Dari Lapangan”, Harian
Kompas, Jakarta, Oktober 2003.
Sahal, “Perang Irak dan Dunia Hobbesian Amerika Serikat”, Harian Tempo edisi
30 Maret 2003.
Suditomo, Kurie, ”Propaganda di Mata Seorang Wartawan Perang”, Harian
Tempo, 8 April 2003.
“Kontroversi Senjata Kimia dan Biologi Irak”, Harian Kompas edisi 4
November 2003.
“Maneuver Cantik Monsieur Chirac”, Harian Tempo edisi 24 April 2003
“Pertimbangan Kekuatan AS dan Irak”, Harian Republika, edisi 19 Maret 2003.
“Pasukan AS Mewarnai Kuwait”, Harian Kompas, edisi 18 Maret 2003.
“Senjata Nuklir Antara Isu dan Fakta”, Harian Kompas, edisi Senin 4 November
2002.
Internet:
Ackerman, Seth, “Fox News Channel's extraordinary right-wing tilt”, artikel
diakses pada 26 April 2011, dari http://www.fair.org/index.php.
Alterman, Eric, “Fox Outfoxes Itself”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari
http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122948.html.
Alterman, Eric, “Media Concentration: the Repudiation of Michael Powell”
artikel ini diakses pada 13 Februari 2011, dari
http://americanprogress.org/issues/2004/07/b108399.html.
Christa, Retna, “Peran News Corporation dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika
Serikat Menginvasi Irak 2003“, artikel diakses pada 01 November 2010,
dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/1207138150.pdf.
86
Choirul, “Perintahkan Pembunuhan Suku Kurdi”, artikel diakses pada 18 April
2011, dari http://tempointeraktifinternasional.com.
Crittenden, Jules, “Embedded Journal: „I went over to the dark side”, pointer
online, laporan jurnalis di medan perang, 11 April 2003, artikel diakses
pada 2 Mei 2011, dari http://poynteronline.org/content/content.
Day, Julia, “Murdoch praises Blair's 'courage'”, artikel diakses pada 16 April
2011, dari http://www.guardian.co.uk/politics/uk.iraqandthemedia.
Deans, Jason, “Fox challenges CNN's US ratings dominance”, artikel diakses
pada 14 Februari 2011, dari www.guardian.co.uk/media/tvnews.
Escoto, Chantal, “Military, Media Benefit from „Embed‟”, The Leaf-Chronicle, 22
Juni 2003, artikel ini diakses pada tanggal 09 Januari 2011, dari
http://www.theleafchronicle.com.
Graber, “Television Sapping Broadcast News Audience,” artikel diakses pada 14
Februari 2011 pkl. 15:30, dari http://www.peoplepress.org
Gruenthal, George “on the Iraqi Patriotic Alliance”, artikel diakses pada 19 April
2011, dari http://www.revolutionarydemocracy.org.
Memmott, Mark, “Fox newspeople say allegations of bias unfounded”, artikel
diakses pada 01 April 2011, dari http://www.webcitation.org/5uRTx6pMd.
Mifflin, Lawrie “At the new Fox News Channel”, diakses pada tanggal 30 April
2011, dari http://www.nytimes.com/1996/10/07/business/at-the-new-fox-
news-channel-the-buzzword-is-fairness-separating-news-from-bias.html.
Lenzner, Robert dan Staff, Globe, “Murdoch, Partner Plan 4th Network”, artikel
ini diakses pada tanggal 03 April 2011, dari http://nl.newsbank.com/nl-
search/we/archives.
Lindner, Andrew M., “Controlling The Media in Iraq”, artikel diakses pada 23
Mei 2011, dari http://www.sociology.psu.edu/Control%20media.pdf.
87
Pfeiffer, Eric, “Watching Robert Greenwald's "Outfoxed" with a MoveOn.org
crowd at the Peace House”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari
http://www.weeklystandard.com/Content/Publik/Articles/wcb.asp.
Posner, Lou, “No Blood For Oil”, artikel diakses pada 21 Mei 2011, dari
http://www.votermarch.com.
Rendall, Steve dan Broughel, Tara, “Amplifying Officials, Squelching Dissent”,
Extra! May/June 2003, artikel diakses pada 14 Juni 2011, dari
http://www.fair.org/index.php?page=1145
Sanford, Jonathan E., “Irak: Past, Present, Future”, Report for Congress, 03 Juni
2003, artikel diakses pada tanggal 20 April 2011, dari
http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/crs/rl31944.pdf.
Steinberg, Jacques, dan Carr, David, “The 2004 Campaign: The News Media;
Murdoch Is Said to Be Source of Post's Gephardt 'Exclusive'”, artikel ini
diakses pada tanggal 17 April 2011, dari
http://www.nytimes.com/2004/07/09/national/09post.html.
Strobel, Warren p., (Senior Editor) “The Media: Influencing Foreign Policy in the
Information Age”, U.S News and World Report, diakses pada 02 Agustus
2010 pkl. 03:03, dari http://www.unconsulate.gov/wwwhforpol.html
Wolff, Michael, “The Media at War”, New York 11 Agustus 2003, artikel diakses
pada 29 Juni 20011, dari www.newyorkmetro.com/nymetro.news.
“Fox News Channel”, artikel diakses pada 06 April 2011, dari
http://www.newscorp.com/management/foxnewschannel.html,
“Summary of Findings: Fox News Viewed as Most Ideological Network”, artikel
diakses pada 19 April 2011, dari http://people-press.org/2009/10/29/fox-
news-viewed-as-most-ideological-network/.
“Information Technology (IT)”, artikel diakses pada 04 Maret 2011, dari
http://www.fcc.gov/Reports/tcom1996.pdf.
88
“Chairman Speech to Shareholders News Corporation Limited Annual Meeting”,
artikel diakses pada 14 Februari, dari http://www.newscorp.com/news.
“Fox and Big Media”, artikel diakses pada 14 Februari 2011, dari
http://www.americanprogress.org/issues/2004/07/b122990.html.
“Seventy-Two Percent of Americans Support War Against Iraq”, artikel diakses
pada 26 April 2011, dari http://www.gallup.com/poll/8038/SeventyTwo-
Percent-Americans-Support-War-Against-Iraq.aspx.
“Iraq's WMD Programs: Culling Hard Facts from Soft Myths”, artikel diakses
pada 29 Maret 2011, dari https://www.cia.gov/news-information/press-
releases-statements/press-release-archive-2003/pr11282003.html.
“Weapon Mass Destruction (WMD)”, artikel diakses pada 22 Maret 2011 pkl.
21:310 dari http://www.globalsecurity.org/cgi-bin/texis.cgi.
“UN Security Council Resolution 687, 707 and 715 and their implications for the
termination all activities of nuclear proliferation-prone-And the law of the
technical assessment”, artikel diakses pada 13 April 2011, dari
http://nuclearweaponarchive.org/Iraq/andre/ISR.I-96-06.pdf.
“Resolution 1441 (2002)” Adopted by the Security Council at its 4644th meeting,
on 08 November 2002, artikel diakses pada 09 Januari 2011, dari
http://www.un.org/Depts/unmovic/new/documents/resolutions/s-res-
1441.pdf.
“Anti-war protests under way”, artikel diakses pada 09 Mei 2011 pkl 20:05, dari
http://news.bbc.co.uk.
“British Conservative Party denounces Bush Blair relationship”, artikel diakses
pada 30 April 2011, dari http://www.bbc.co.uk.
89
“Hutchkins Commission (1947) Recommendations”, artikel diakses pada 14 April
2011, dari http://www.cci.utk.edu/Hutchkinss-recommendations.html.
“Tim PBB Kembali Periksa Istana Saddam Hussein”, artikel diakses pada 15
April 2011, dari http://www.korantempo.com/news.
“U.S. has 100,000 troops in Kuwait”, artikel diakses pada 15 Mei 2011, dari
http://articles.cnn.com/2003-02-18/world/sprj.irq.deployment1mckiernan-
troops-commander-of-coalition-forces.
“Profil Saddam Hussein”, artikel diakses pada 15 April 2011, dari
http://www.thefamouspeople.com/profiles/saddam-hussein-95.php.
“Menlu Irak dan Sekjen PBB Rampungkan Pembicaraan Hari Pertama”, artikel
diakses pada 15 April 2011, dari http://www.voanews.com .
“Partai Demokrat: Bush Bohong”, Laporan dari New York pada 11 Juli 2003,
artikel diakses pada 20 April 2011, dari http://www.gatra.com.
“Tim PBB Segel Rudal Al-Samoud 2 Irak”, artikel diakses pada 20 April 2011,
dari http://www.gatra.com.
“An Overview on Sale China's Arms” Stockholm International Peace Research
Institute, SIPRI Yearbook (1983 to 1997), diakses pada 05 Mei 2011, dari
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR1119/
MR1119.appa.pdf.
“Media fury at Iraq anarchy”, artikel diakses pada 16 April 2011, dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2941897.stm.
“Iraqis, Marines Pull Down Saddam Statue”, artikel diakses pada 29 April 2011,
dari http://www.foxnews.com/story/0,2933,83682,00.html.
“Bush Declares Victory in Iraq”, artikel diakses pada 09 Mei 2011, dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/2989459.stm
90
“The World After the War in Iraq”, artikel diakses pada 25 Maret 2011, dari
www.marxist.com.
“Iraq Body Count project”, artikel diakses pada 18 Mei 2011, dari
http://www.iraqbodycount.org.
“Chilcot Inquiry Accused of Fixating on West and Ignoring Real Victims”, artikel
diakses pada 18 Mei 2011, dari http://www.guardian.co.uk.
“The Largest Protest in Human History”, artikel diakses pada 16 Juni 2011, dari
www.guinnessworldrecords.com
“Thousands join U.S. anti-war march”, artikel diakses pada 20 Mei 2011, dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/.