BAB I
PENDAHULUAN
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan pneumonia merupakan
dua kondisi yang saling terkait dalam etiologi, patofisiologi dan diagnosisnya.
Penelitian mendapatkan pneumonia sebagai latar belakang dari 31% pasien yang
berkembang menjadi ARDS. Banyak pasien ARDS membutuhkan penanganan
dengan ventilator mekanik yang meningkatkan terjadinya pneumonia nosokomial
(hospital acquired pneumonia, HAP), khususnya yang terkait ventilator (ventilatory
associated pneumonia, VAP). (Bauer dan Torres, 1999) Angka kejadian pneumonia
pada ARDS sebesar 15-70% selama pemakaian pipa endotrakea sebagai alat bantu
nafas. Penggunaan ventilator pada pasien dengan atau tanpa ARDS melibatkan
kuman aerob dan basil gram negatif anaerob yang menyebabkan terjadi HAP/VAP.
Staphylococcus aureus masih menjadi penyebab umum pneumonia nosokomial
meski kecenderungan menurun dibandingkan waktu lalu, dan bersama dengan
kuman gram positif lain kira-kira mencapai 30% isolat. Pada akhir-akhir ini, ICU
menjadi tempat transmisi nosokomial kuman gram negatif yang resisten antibiotik
sebagai penyebab pneumonia. Di lingkungan ICU, Pseudomonas aeruginosa
menjadi kuman patogen tersering. (Bahammam dan Light, 1999)
Data insidensi pneumonia nosokomial pada pasien ARDS sangat bervariasi
tergantung kriteria klinik dan metode pemeriksaan yang dipakai. Terdapat 2
penelitian yang cukup akurat menggambarkan insidensi VAP. Penelitian Sutherland
dkk. mendapatkan insidensi VAP pada ARDS yang ditentukan dari kriteria klinis
sebesar 33%, namun apabila ditentukan berdasar kriteria klinis dan mikrobiologi
dengan Protected Specimen Brushing (PSB) dan Bronchoalveolar Lavage (BAL)
hanya didapatkan 4%. Sedangkan penelitian Delclaux dkk. mendapatkan angka
kejadian VAP sebesar 60% berdasar kriteria klinis dan mikrobiologi melalui
pemeriksaan kateter teleskop (plugged teleschopic catheter, PTC) yang dipandu
bronkoskopi dan mendapatkan kolonisasi bakteri sebesar 47%. (Bauer dan Torres,
1999)
Penegakan diagnosis pneumonia nosokomial pada pasien ARDS sulit
dilakukan. Kriteria diagnosis ARDS sudah seragam namun belum ada standar emas
yang ditetapkan untuk diagnosis VAP. Para peneliti menggunakan kriteria yang 1
berbeda-beda dalam kriteria klinis maupun pemeriksaan mikrobiologi. Analisis dari
pemeriksaan post mortem untuk sementara dipakai untuk membantu menyeleksi
metode pengambilan sampel yang adekuat. (Fagon dan Chastre, 2003)
Problem lain dalam penanganan pneumonia terkait pemakaian ventilator
adalah dalam penggunaan antibiotik. Banyak penelitian epidemiologi yang
menjelaskan bahwa pemberian antibiotik pada pasien di Intensive Care Unit (ICU)
dilakukan segera dan cenderung diberikan dalam waktu lama. Hal ini berperan
dalam resistensi obat terhadap berbagai kuman patogen, tingginya resiko super
infeksi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas dan berkaitan dengan
toksisitas antibiotik serta terkait pembiayaan yang tinggi. (Fagon dan Chastre, 2003)
Angka kejadian VAP pada ARDS cukup tinggi dan demikian pula dengan
mobiditas dan mortalitasnya. Sementara, penatalaksanaan VAP masih banyak
problem kontroversi. Laporan ini menjelaskan proses diagnostik dan terapi dalam
manajemen VAP pada ARDS. Semoga bermanfaat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. VENTILATORY ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP)
A.1. Definisi
VAP adalah pneumonia nosokomial pada pasien yang mendapatkan bantuan
ventilator mekanik (menggunakan pipa endotrakhea atau trakheostomi) selama 48
jam atau lebih. Hal ini umumnya diklasifikasikan sebagai onset awal (terjadi dalam
waktu < 5 hari sejak memakai ventilator mekanik) atau onset lambat (≥ 5 hari
setelah memakai ventilator mekanik). (American Thoracic Society, 2005)
A.2. Patogenesis
Pneumonia merupakan respon inang terhadap peradangan yang disebabkan
oleh invasi mikroba pada parenkim paru-paru. Besarnya respons ini tergantung pada
ukuran dan jenis inokulum, virulensi organisme yang terlibat dan kompetensi dari
sistem kekebalan inang. Berbagai mekanisme pertahanan diri terhadap infeksi
adalah mikroba komensal di saliva, reflek batuk, bersihan mukosilier, dan imunitas
seluler dan humoral. Makrofag alveoli, netrofil dan sistem imunitas humoral
berinteraksi sebagai respon inflamasi. Namun pada kondisi kritis, sering terjadi
disfungsi imunitas dan mekanisme pertahanan yang tidak efektif. Jika imunitas
tidak mampu mengatasinya maka berkembang menjadi pneumonia. (Hunter, 2006)
VAP diduga berhubungan erat dengan bakteriemia. Kebanyakan penyebab
infeksi ini berasal dari aspirasi patogen yang berkolonisasi di mukosa orofaring.
Sejumlah kecil disebabkan oleh penyebaran infeksi secara hematogen. Penyebab
VAP yang masih diperdebatkan adalah aspirasi dari gaster (Hunter, 2006)
Kondisi kritis menyebabkan kolonisasi bakteri patogen yang cepat di
orofaring. Kolonisasi cepat disebabkan oleh perubahan pertahanan inang, paparan
antibiotik sebelumnya dan perubahan pada adhesin bakteri atau permukaan reseptor
inang. Pada pemakaian pipa endotrakea, cuff (manset) pada pipa endotrakea tidak
bisa mencegah masuknya bakteri ke jalan nafas. Sekret trakea yang terkontaminasi
terkumpul di sepanjang lipatan manset. Bakteri membuat biofilm pada pipa
endotrakea dan cepat melapisi bagian dalam pipa. Selanjutnya bakteri patogen
berkolonisasi di trakea. Sekret yang terinfeksi terdorong masuk ke saluran nafas 3
distal oleh udara inspirasi dari ventilator mekanik. (Hunter, 2006) Selain itu, pipa
endotrakea juga mengganggu bersihan mukosilier dan mengganggu reflek batuk.
Pipa endotrakea juga menyebabkan perlukaan dan memungkinkan inokulasi bakteri
di mukosa trakea. (Pneumatikos, 2009)
Mikroba yang sering terlibat pada HAP/VAP adalah Pseudomonas
aureginosa. Bakteri enterik gram negatif ini secara normal tidak ada di saluran
nafas. Kolonisasi bakteri ini dimediasi oleh peningkatan penempelan (adherence)
sel epitel terhadap bakteri. Bakteri membuat permukaan baru sebagai tempat ikatan
sehingga terikat kuat dengan mukosa baik yang bersilia maupun tidak sampai ke
membran basalis. Epitel yang terpapar mengalami kerusakan ikatan antar sel (tight
junction) dan menyebabkan produksi mukus dan debris seluler. Pada kondisi kritis,
enzim proteolitik pada ALI turut merusak mukosa dan memproduksi banyak mukus
yang dipicu oleh pipa endotrakea. Jalan nafas yang terluka dan banyaknya mukus
memungkinkan banyaknya tempat ikatan bakteri dengan saluran trakeobronkial dan
berlanjut menjadi kolonisasi bakteri dan pneumonia. Perlukaan mekanik karena
pipa endotrakea (misalnya saat intubasi dan suction) juga menjadi tempat ikatan
baru dengan bakteri.(Niederman, 1994)
A.3. Diagnosis
Diagnosis VAP sulit dilakukan. Kriteria diagnostik yang digunakan
berbeda-beda dan belum ada standar emas yang ditetapkan. Analisis yang dapat
membantu menetapkan metode pengambilan sampel yang adekuat adalah dengan
mengkonfirmasikan dengan data post mortem. (Fagon dan Chastre, 2003) Kriteria
diagnostik yang merujuk pada pedoman Center for Disease Control (CDC)
mengkombinasikan pemeriksaan klinik, laboratorium dan bukti pemeriksaan
radiologi seperti adanya gejala demam, sekret trakheobronkial yang purulen,
lekositosis, adanya gambaran infiltrat baru, dan pengecatan secret trakeobronkial
dengan cat Gram (syarat sputum kurang dari 10 sel epitel dan lebih dari 25 lekosit
per lapang pandang). (Bahammam dan Light, 1999) Pemeriksaan mikroorganisme
perlu dilakukan untuk menentukan kuman penyebab sebagai dasar pemberian
antibiotik.
Strategi diagnostik dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, yaitu :
4
a. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis
Kriteria yang sering digunakan adalah adanya demam, lekositosis, gambaran
infiltrat baru pada ronsen dada dan adanya sekret purulen. Kerugiannya, tanpa
ada data bakteriologi maka pasien akan beresiko mendapatkan antimikroba yang
tidak sesuai. Pemilihan antibiotik pada pneumonia terkait ventilator sangat sulit
karena cenderung disebabkan kuman dengan resistensi tinggi. Kriteria klinis
lain yang dapat digunakan adalah berdasar Clinical Pulmonary Infection Score
(CPIS). Penelitian Pugin dkk., mendapatkan dengan pemeriksaan BAL sebagai
standar, CPIS > 6 mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 100% untuk
diagnosis VAP. (Fagon dan Chastre, 2003)
Tabel 1. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)
Hari ke-1
Variabel Skor 1 Skor 2Suhu ( C) 38,5-38,9 < 36 atau > 39Jumlah lekosit (sel/mm3)
< 4000 atau > 110000
< 4000 atau > 110000 dan > 50% stab
Sekret Non purulen purulenPO2/FiO2 < 250 dan tidak ada ARDSFoto Rontgen toraks
Difus atau patchy terlokalisasi
Hari ke-3
Variabel Skor 1 Skor 2Suhu ( C) 38,5-38,9 < 36 atau > 39Jumlah lekosit (sel/mm3)
< 4000 atau > 110000
< 4000 atau > 110000 dan > 50% stab
Sekret Non purulen purulenPO2/FiO2 < 250 dan tidak ada ARDSFoto ronsen toraks
Difus atau patchy terlokalisasi
Peningkatan infiltrat Rontgen
Ya (tidak ada ARDS dan gagal jantung kongestif)
Sputum Kultur + Kultur + dan cat Gram
Penelitian Meduri dkk. mendapatkan dengan berdasar kriteria klinis saja,
hanya 40% pasien yang dicurigai pneumonia terkait ventilator yang ternyata
benar-benar terdapat infeksi paru. (Meduri dkk., 1998)
5
b. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan antibiotik terapi jangka pendek
Pendekatan ini memodifikasi diagnosis dengan CPIS. Pasien dengan CPIS > 6
diobati dengan antibiotik standar pneumonia selama 10-21 hari dan CPIS ≤ 6
menerima antibiotik standar atau Ciprofloksasin monoterapi selama 3 hari.
Ciprofloksasin dihentikan jika CPIS ≤ 6 dalam 3 hari, jika CPIS > 6 maka
diterapi sebagai pneumonia. Hasilnya adalah kematian dan lama perawatan di
ICU tidak jauh berbeda antar 2 kelompok ini. Pendekatan ini juga berpotensi
terjadi overtreatment.(Fagon dan Chastre, 2003)
c. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan pemeriksaan kultur kualitatif sekresi
trakea
Pemeriksaan histologi aspirasi endotrakea ini mempunyai sensitifitas 82%
namun spesifisitas hanya 27% yang dapat berakibat berlebihan dalam dosis dan
terapi.
d. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan pemeriksaan kultur kuantitatif sekresi
trakea
Pemeriksaan ini cukup akurat dengan sensitifitas 82% dan spesifisitas 83%
dengan batas jumlah kuman 10 cfu/ml. Kerugiannya hampir 1/3 pasien dengan
pneumonia tidak terdeteksi dan hanya 40% kuman yang teridentifikasi setelah
dikonfirmasi dengan pemeriksaan PSB. Pemeriksaan ini direkomendasikan jika
tidak dapat dilakukan pemeriksaan fiberoptik.
e. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis atau pemeriksaan bakteriologi dengan
teknik nonbronkoskopi
Keuntungannya adalah tidak invasif, akses mudah dan cepat ke saluran nafas
bawah dan berbiaya rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan kateter teleskop
terproteksi dan mendapatkan hasil yang sama dengan pemeriksaan dengan PSB.
Namun pemeriksaan ini tidak direkomendasikan pada pasien dengan curiga
pneumonia terkait ventilator karena kesesuaian hasil dengan teknik bronkoskopi
hanya 80%.
f. Diagnosis berdasarkan bronkoskopi fiberoptik untuk mendapatkan sampel
melalui pemeriksaan PSB atau BAL
Pemeriksaan ini seperti pemeriksaan kultur kuantitatif yang membantu
mendapatkan kuman penyebab dengan lebih tepat sehingga dapat memandu
pemakaian antibiotik. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk penegakan 6
diagnosis pneumonia terkait ventilator karena beberapa alasan. Pertama,
mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi. Pemeriksaan PSB dengan
cut of point > 10³ cfu/ml mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%.
Pada penelitian lain, pemeriksaan BAL dengan cut of point 10 cfu/ml
mempunyai sensitivitas 73% dan spesifisitas 82%. Kedua, dapat ditoleransi
pada keadaan sakit berat, termasuk pasien dengan hipoksia berat, ARDS dengan
trombositopenia dan trauma kepala. Ketiga, tidak ada kenaikan mortalitas pada
pasien yang dihentikan pemakaian antibiotiknya setelah didapatkan hasil kultur
negatif dengan teknik bronkoskopi. Namun, strategi pemeriksaan dengan teknik
bronkoskopi ini dibenarkan jika dilakukan sebelum diberikan antibiotik. (Fagon
dan Chastre, 2003)
Penelitian Koenig membandingkan mortalitas dan morbiditas pada pasien
VAP yang ditegakkan berdasar pemeriksaan invasif (PSB dan BAL) dibandingkan
dengan non invasif (kultur kuantitatif dari aspirasi endobronkial). Hasilnya tidak
ada perbedaan morbiditas dan mortalitas antara keduanya. (Koenig, 2006)
Penelitian meta analisis tentang diagnosis VAP mendapatkan bahwa kriteria
klinis CPIS dapat digunakan dalam mendiagnosis VAP, meskipun variabilitas antar
pengamat tinggi (kappa 0,16). Data pemeriksaan bakteriologi tidak meningkatkan
ketepatan diagnosis dibandingkan dengan diagnosis klinis. Pemeriksaan kultur
kuantitatif seperti BAL (sensitivitas 19-83%, spesifisitas 45-100%), BAL
terproteksi (sensitivitas 39-80%, spesifisitas 66-100%), PSB (sensitivitas 36-83%,
spesifisitas 50-95%) atau aspirasi trakeobronkial (sensitifitas 44-87%, spesifisitas
31-92%) dianggap mempunyai kemampuan yang setara dalam mendiagnosis VAP.
Data sitologi yang cepat melalui pemeriksaan cat Gram berguna dalam memberikan
terapi awal pada pasien suspek VAP. Pemeriksaan biomarker seperti C-reactive
protein, prokalsitonin dan soluble triggering receptor expressed on myeloid cells
(sTREM) menjanjikan dalam diagnosis VAP. Diagnosis VAP hendaknya
menggunakan beberapa pendekatan terpadu dan hasil pengobatan harus diikuti.
Pemberian terapi antibiotik awal dan evaluasi berikutnya menyesuaikan dengan
respon klinis dan hasil kultur bakteriologi. (Neto dkk., 2008)
American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of
America (IDSA) merekomendasikan pemeriksaan pada HAP/VAP sebagai berikut :
7
- pengambilan kultur saluran nafas bawah dilakukan sebelum pemberian antibiotik
tanpa harus menunda pemberian terapi inisial
- pengambilan materi pemeriksaan kultur dapat dilakukan dengan bronkoskopi atau
nonbronkoskopi dan dilakukan pemeriksaan kultur semikuntitatif atau kuantitatif
- pemeriksaan kultur kuantitatif meningkatkan sensitivitas diagnosis HAP (America
Thoracic Society, 2005)
Jenis kuman penyebab VAP banyak dipengaruhi oleh lamanya pemakaian
ventilator mekanik. Mikroorganisme yang berkembang di jaringan paru pada pasien
dengan pneumonia yang menggunakan ventilator mekanik kurang dari 5 hari, sama
dengan komensal yang berkolonisasi di orofaring. Intubasi trakea dan adanya
respon tubuh sebagai mekanisme pertahanan diri inang merupakan pendorong
pertumbuhan bakteri pada periode tersebut. Kuman terbanyak adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.
Setelah 5 hari, patogenesis HAP/VAP makin kompleks dan melibatkan kuman yang
didapat dari mikroaspirasi dari lambung atau translokasi bakteri dari intestinal ke
paru. Kuman bergeser ke batang gram negatif yaitu Escherichia coli dan Klebsiella
spp. Pasien yang telah lama mendapat antibiotik beresiko terjadi perkembangan
mikroorganisme methicilin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter spp. (Bauer dan Torres, 1999)
A.4. Manajemen
Prinsip terapi VAP menggunakan antibiotik sesuai kuman penyebab Terapi
inisial dapat diberikan secara empirik sebelum mendapat hasil kultur sekret
endobronkial Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk pemilihan terapi
dengan antibiotik, yaitu :
a. pengetahuan tentang jenis kuman yang sering ada pada VAP dan pola
sensitivitas berdasar data survey
b. lamanya hospitalisasi dengan ventilator mekanik sebelum onset VAP
c. aktivitas antibakteri dari antibiotik yang digunakan sebelumnya
d. hasil pemeriksaan sekret pulmo
e. aktivitas intrinsik antibakteri dan karakteristik farmakodinamik obat anti infeksi.
(American Thoracic Society, 2005)
8
Terapi empirik untuk VAP diberikan berdasar pedoman ATS dan IDSA
(gambar 1). Hasil optimal dapat dicapai dengan terapi inisial dengan kombinasi
antibiotik yang sesuai, dosis yang adekuat dan cara pemberian yang tepat.
Pengobatan selanjutnya diseuaikan dengan hasil pemeriksaan bakteriologi dan tes
sensitivitas, ketersediaan obat, harga obat dan dosis restriksi. Pemberian antibiotik
inisial direkomendasikan selama 7-8 hari pada HAP/VAP tanpa komplikasi dan
mengalami perbaikan klinis. (America Thoracic Society, 2005)
Gambar 1. Strategi manajemen pasien suspek hospital acquired pneumonia (HAP), ventilator associated pneumonia (VAP), atau healthcare-associated pneumonia (HCAP)
Sumber : American Thoracic Society, 20059
Suspek HAP, VAP atau HCAP
Sampel dari saluran nafas bawah dilakukan kultur (kuantitatif/semi kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopik
Jika kecurigaan klinis rendah ke arah pneumonia dan hasil pemeriksaan mikrokospik negatif, dimulai terapi antibiotik empirik (sesuai gambar 2) dan data mikrobiologi lokal
Hari kedua dan ketiga : periksa kultur dan dilihat respon klinik (suhu, lekosit, ronsen torak, oksigenasi, purulensi sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ
Perbaikan klinik dalam 48-72 j
Tidak Ya
Kultur (-) Kultur (+) Kultur (-) Kultur (+)
Dicari pathogen lain, komplikasi, diagnosis lain atau fokus infeksi lain
Antibiotik yang sesuaiDicari pathogen lain, komplikasi, diagnosis lain
Pertimbangkan menghentikan antibiotik
Turunkan dosis antibiotik jika mungkin, terapi dalam 7-8 hari dan reassesment
Gambar 2. Algoritma pemberian antibiotik sebagai terapi empirik untuk hospital acquired pneumonia (HAP), ventilator associated pneumonia (VAP), atau healthcare-associated pneumonia (HCAP)
Sumber : American Thoracic Society, 2005
Sumber : American Thoracic Society, 2005
10
Suspek HAP, VAP atau HCAP (semua derajat beratnya)
Onset lambat (≥ 5hari) atau faktor resiko patogen multidrug resistant (MDR)
Tidak Ya
Antibiotik spektrum terbatas(tabel 3)
Antibiotik spektrum luas untuk MDR (tabel 4 dan 5)
Sumber : American Thoracic Society, 2005
11
B. ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)
B.1. Definisi
ARDS adalah kondisi yang mengancam jiwa dimana terjadi gangguan
pertukaran gas dalam paru-paru yang bersifat akut, dimana terjadi gangguan
pertukaran gas dalam paru dengan rasio tekanan arteri oksigen (dalam mmHg)
dibandingkan dengan fraksi oksigen ≤ 200. Sedangkan kondisi yang lebih ringan
disebut Acute Lung Injury (ALI) dengan perbandingan tekanan oksigen di arteri dan
fraksi oksigen ≤ 300. (Christie dan Lanken, 2007)
B.2. Patogenesis
B.2.a. Fase-fase ARDS
Secara klasik, perjalanan ARDS dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase
eksudatif, fase proliferasi dan fase fibrosis.
1. Fase eksudatif
Pada fase eksudatif, perlukaan pada paru baik karena sebab langsung
maupun tidak langsung menyebabkan respon inflamasi akut, dapat berlangsung
sampai 1 minggu. Mediator kimiawi terangsang untuk menuju tempat perlukaan
dan dilepas ke sirkulasi sistemik, seperti tumor necritizing factor alpha (TNF-α,
beberapa macam interleukin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-8), platelet activating factor,
nitric oxide (NO), prostasiklin, oksigen radikal bebas, histamin dan bradikinin.
Medator kimia ini mengundang lekosit terutama netrofil untuk berhubungan dengan
sel yang terlibat perlukaan dan merusak organisme penyebab. Netrofil menempel
pada tepi pembuluh darah, menyusup diantara sel endotel dan masuk ke jaringan.
Kemudian netrofil melakukan fagositosis organisme penyebab. Jika fagositosis
masih banyak dibutuhkan, makrofag turut berperan dalam 24 jam untuk
menggantikan tugas pembersihan jaringan yang mati dan organisme yang masih
ada. Makrofag ini menyebabkan proses inflamasi kronik. (Blume dan Byrum, 2009)
2. Fase proliferatif
Pada fase proliferasi, proses inflamasi di paru terjadi di semua jaringan yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perpindahan cairan keluar dari
vaskuler ke jaringan. Pada lung bed, hal ini menyebabkan udem pulmo dan udem
di interstisial alveoli dan menyebabkan inaktivasi surfaktan yang berakibat sesak 12
karena timbunan cairan di alveoli yang menyebabkan kolaps dan menurunnya
pengembangan jaringan paru. Penurunan pengembangan paru meningkatkan kerja
pernafasan yang berakibat hipoksemia yang tidak respon dengan pemberian
oksigen. Hal ini berakibat udem pulmo yang menurunkan kemampuan mengambil
oksigen dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel. (Blume dan Byrum, 2009)
Gambar 3. Gambaran alveolus yang normal dan yang mengalami perlukaan
Sumber : The acute respiratory distress syndrome, N Engl J Med, 2000
Pada kondisi kebocoran kapiler, sistem koagulasi (cloting) dan fibrinolisis
(perusakan jendalan darah) turut teraktivasi. Jendalan darah terbentuk di kapiler
paru. Saat aliran darah melaluinya, rasio ventilasi dan perfusi mengalami mismatch
(ketidakcocokan) yang disebabkan karena kegagalan pertukaran gas, sehingga
terjadi perburukan hipoksemianya. Jendalan darah yang terbentuk di seluruh tubuh,
dapat memacu terjadi disfungsi multi organ. Proses kebocoran kapiler dan
13
terbentuknya jendalan darah yang berlangsung lama akan berakibat terjadi fibrosis.
(Blume dan Byrum, 2009)
3. Fase fibrosis
Pada fase fibrosis (resolusi) terjadi pemulihan kondisi paru. Udem alveoli
menurun melalui mekanisme transport aktif natrium dan klorida dari ruang udara di
alveoli ke interstitial paru.
Gambar 4. Gambaran mekanisme resolusi pada jaringan paru
Sumber : The acute respiratory distress syndrome, N Engl J Med, 2000
Air mengalir melalui transelular water channel, aquaporin, yang ada di sel
tipe 1. Selain itu sejumlah protein yang terlarut dan tidak terlarut juga berpindah ke
ruang udara alveoli. Protein terlarut berpindah melalui mekanisme difusi antara sel
epitel alveoli dan protein tak terlarut berpindah dengan endositosis dan transitosis
oleh sel epitel alveoli dan fagositosis oleh makrofag. Sel epitel tipe 2 merupakan
progenitor untuk reepitelisasi epitel alveoli yang gundul (terkikis) dan kemudian
14
berdiferensiasi menjadi sel tipe 1 yang berfungsi menjaga struktur normal alveoli
dan meningkatkan kapasitas transpor cairan oleh epitel alveoli. Proliferasi ini diatur
oleh epithelial growth factor termasuk keratinosit dan hepatocyte growth factor.
Mekanisme yang mendasari resolusi infiltrat sel inflamasi dan fibrosis belum jelas.
Diduga apoptosis berperan dalam pembersihan netrofil dari tempat inflamasi. (Ware
dan Matthay, 2000)
B.2.b. Patofisiologi berdasar kausa pulmonal dan ekstrapulmonal
Kerusakan alveoli yang luas pada ARDS dapat ditimbulkan oleh paparan
langsung ke saluran nafas (pulmonary ARDS) maupun tidak langsung
(extrapulmonary ARDS). Para ahli berpendapat bahwa pada tahap awal kerusakan
memberikan manifestasi yang berbeda pada kedua penyebab tersebut. (Pelosi, dkk
2003) ARDS ekstrapulmonal dibuktikan dengan penelitian eksperimental pada tikus
dengan injeksi toksin intravena dan intraperitoneal. Respon yang terjadi berasal dari
aktifitas mediator inflamasi yang dilepaskan dari fokus inflamasi ekstrapulmoner ke
sirkulasi sistemik. Target kerusakan yang terjadi pertama kali adalah pada endotel
kapiler pulmo dengan peningkatan permeabilitas vaskuler dan udem interstisial.
Sedangkan paparan langsung ke pulmonal dibuktikan dengan penelitian
eksperimental menggunakan endotoksin, komplemen, TNF-α dan bakteri yang
disuntikkan intratrakea. Respon primer setelah paparan langsung terjadi pada epitel
alveoli sedangkan endotel kapiler masih normal. Hal ini mengaktivasi makrofag,
netrofil serta sistem inflamasi dalam mengakibatkan inflamasi intrapulmoner.
Gambaran kerusakan epitel tampak pada spatium intra alveoli dengan udem alveoli,
eksudat fibrinosa, kolagen, agregasi netrofil dan darah, dengan udem interstisial
yang minimal. Pola ini sering digambarkan sebagai konsolidasi pulmo, disertai
kolapsnya alveoli, eksudat bersifat fibrinosa dan udem dinding alveoli. (Pelosi dkk,
2003)
Pada ARDS karena sebab ekstrapulmonal terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah kapiler paru melalui beberapa mekanisme. Hipertensi pulmo
derajat sedang merupakan kondisi yang umum terjadi pada ARDS fase akut
maupun kronik bahkan pada kondisi resistensi vaskuler sistemik yang rendah
seperti dalam kondisi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan syok
septik.. Pada keadaan inflamasi mediator infamasi menginduksi enzim pada endotel
15
dan otot polos vaskuler untuk memproduksi sejumlah besar bahan vasoaktif.
Akibatnya peningkatan resistensi vaskuler menyebabkan gangguan perfusi ventilasi
di sirkulasi pulmo dan ketidaksesuaian antara pengiriman dan konsumsi oksigen.
Peningkatan tonus vaskuler pulmo pada ARDS mungkin disebabkan peningkatan
lokal vasokonstriktor tromboksan yang berperan pada hipertensi pulmo yang
diinduksi endotoksin. Pada endotel yang mengalami inflamasi terjadi udem di
jaringan karena permeabilitas yang meningkat, aktivasi lekosit dan menginvasi ke
jaringan serta dapat mengakibatkan trombosis intravaskuler. Selain itu pada cairan
bilasan bronkoalveolar penderia ARDS terdapat aktivitas prokoagulan yang sesuai
dengan aktivasi kaskade koagulasi yang menyimpang. Perlukaan pada endotel
mikrovaskuler menghilangkan kemampuan antiagregasi dan antikoagulasi.
(Griffiths dan Evans, 2003) Proses yang mengaktivasi sel endotel menyebabkan
adhesi dan signal molekul yang memfasilitasi penempelan lekosit. Selanjutnya
proses koagulasi lokal diaktivasi, faktor jaringan diproduksi, dan fibrinolisis
dihambat sehingga hasilnya akan terjadi deposit fibrin yang berlebihan. Aktivasi
endotel mempengaruhi aliran cairan kapiler melalui 3 jalan, yaitu :
1. endotel yang teraktivasi/rusak melepas mediator inflamasi
sehingga meningkatkan perlukaan endotel secara langsung maupun melalui
rekruitmen sel inflamasi dari vaskuler, interstisial dan ruang alveoli
2. mediator tertentu seperti TNF-α, α-trombin mengaktivasi jalur
protein kinase sehingga terjadi kontraksi sitoskeletal dan menyebabkan
disfungsi barier
3. beberapa mediator seperti angiotensin, bradikinin, α-trombin,
tromboksan, prostasiklin dan endothelin mempunyai efek vasomotor yang
penting dan metabolismenya diganggu oleh kerusakan sel endotel.
Hal-hal tersebut menyebabkan efek yang tidak menguntungkan terhadap aliran
cairan interstisial melalui mekanisme fisiologi yang teratur. (Plantadosi dan
Schwartz, 2004)
Pada ARDS pulmonal, terjadi kerusakan epitel alveoli yang berat dimana
terjadi udem epitel dan udem pulmo yang mengganggu proses difusi. Secara
fisiologi, pertukaran gas terjadi di alveoli yang berisi lebih dari 100.000 juta kapiler.
Unit kapiler-alveoli terdiri dari endotel kapiler dan membran basalnya, ruang
interstisial, dan epitel alveoli dan membrane basalnya. Secara histologi, epitel 16
alveoli yang normal terdiri dari 2 tipe sel. Tipe 1 adalah sel gepeng yang
membentuk 90% permukaan alveoli dan bersifat lebih rentan terhadap perlukaan.
Sedangkan tipe 2 berbentuk kuboid yang membentuk 10% permukaan alveolus dan
bersifat lebih tahan terhadap perlukaan. Sel yang kedua ini berfungsi produksi
surfaktan, ion transport, proliferasi dan diferensiasi sel tipe 1 setelah perlukaan.
(Malhotra, 2007)
Pada regulasi normal, cairan melewati epitel pada pertautan antar sel karena
perbedaan tekanan osmotik yang digerakkan aktif oleh transport natrium
transepitelial baik oleh sel tipe 1 dan 2. Cairan membawa protein ke paru melalui
aquaporin-5 yang banyak diekspresikan oleh sel epitel tipe 1, dimana lebih
permeabel terhadap air. Pada perlukaan paru, selama sel epitel alveoli tipe 1 tidak
hilang, maka kapasitas transpor natrium dan air masih dipertahankan. Namun bila
mengalami kerusakan maka regulasi natrium dan air terganggu sehingga
mengganggu fungsi pertahanan dan pembersihan udem pulmo. (Plantadosi &
Schwart, 2004) Perlukaan pada sel epitel tipe 2 selain mengganggu keseimbangan
cairan, juga mengganggu metabolisme surfaktan. Dibandingkan dengan kondisi
normal, surfaktan pada BAL pada pasien ARDS menunjukkan peningkatan tekanan
permukaan minimal. Kekurangan produksi dan disfungsi surfaktan yang disebabkan
karena adanya protein plasma di ruang udara alveoli ini mengakibatkan atelektasis,
gangguan pertukaran gas, peningkatan udem dan gsnggusn mekanisme pertahanan
lokal. (Griffith dan Evans 2003).
Perlukaan pada epitel alveoli yang terjadi mempunyai beberapa
konsekuensi, yaitu :
1. pada kondisi normal, pertahanan oleh epitel menjadi kurang permeabel daripada
pertahanan endotel. Akibatnya adalah terisinya cairan di dalam alveoli.
2. hilangnya integritas epitel dan perlukaan pada sel tipe 2 mengganggu transport
cairan sehingga mengganggu perpindahan cairan udem dari ruang alveoli.
3. perlukaan pada sel tipe 2 mengurangi produksi dan pergantian cairan surfaktan.
Hal ini berakibat aktivitas surfaktan yang abnormal.
4. hilangnya pertahanan oleh epitel dapat menyebabkan syok septik pada pasien
dengan pneumonia bakterial.
5. perlukaan epitel yang berat menyebabkan penyembuhan yang tidak sempurna
sehingga timbul fibrosis. (Ware dan Matthay, 2000)17
B.2.c. Proses inflamasi paru pada ARDS
Secara histologi, pada jaringan paru pasien ARDS fase awal ditemukan
akumulasi netrofil. Netrofil menempel di endotel mikrovaskuler, bermigrasi melalui
dinding pembuluh darah dan menembus sel epitel alveoli untuk mencapai ruang
udara di alveoli. Netrofil merupakan efektor kerusakan paru yang disebabkan
inflamasi parenkim. Pada pasien ARDS terdapat peningkatan konsentrasi elastase
netrofil di serum dan peningkatan kemokin interleukin-8 (IL-8) di alveoli..Netrofil
teraktivasi melepaskan bahan sitotoksik yang reaktif terhadap oksigen (cytotoxic
reactive oxygen species) dan protease yang membunuh kuman dan merusak
jaringan lokal. Selanjutnya diameter netrofil membesar daripada diameter kapiler
paru dan terjadi peningkatan interaksi dengan endotel yaitu migrasi dan pelepasan
mediator. Mediator proinflamasi diproduksi berlebihan oleh epitel alveoli maupun
endotel kapiler dan menyerbu lekosit. Peningkatan respon inflamasi ini yang
menyebabkan perlukaan pada paru. Mediator inflamasi ini dapat terdeteksi pada
darah maupun cairan BAL pasien ARDS dan hewan percobaan. Beberapa bahan
menginisiasi inflamasi namun terdapat bahan mediator antagonis yang mencegah
inflamasi pada penelitian eksperimen. Beberapa bahan penghambat proinflamasi
endogen misalnya antagonis reseptor IL-1, reseptor TNF dan sitokin antiinflamasi
seperti IL-10 dan IL-11. (Griffith dan Evans, 2003)
Tabel 6. Mediator seluler pada ALI/ARDS
Proinflamasi Antiinflamasi Fibrogenesis
Endotel Migrasi lekosit oleh sekresi kemokin dan ekspresi molekul adesiMemodulasi tonus vaskuler lokal dan mekanisme koagulasi
Pelepasan molekul adhesi terlarut
Sekresi proinflamasi dan mediator fibrogenik
Epitel Mengekspresikan ICAM untuk memfasilitasi migrasi lekositSekresi kemokin dan sitokin proinflamasiMelepaskan reactive-oxygen / nitrogen species (RO/NS)
Menutupi membrane basal alveoli yang terkena
Sekresi dan aktivasi TGFβ-1Kontak langsung dengan fibroblas
Makrofag / monosit
Mediator penting untuk inflamasi akut dan kronikSekresi kemokin dan sitokin proinflamasi Melepaskan RO/NS
Menghancurkan sel apoptosis oleh fagosit dan emigrasi limfatikMelepaskan IL-10
Sekresi mediator proinflamasi dan fibrogenik
Netrofil Efektor kerusakan jaringan dan inflamasi kronik dan pertahanan host
ApoptosisMelepaskan IL-Ira
Tampak pada korelasi BAL dan
18
melalui pelepasan protease dan RO/NSSekresi kemokin dan sitokin proinflamasi
tampilan yang buruk penyakit paru fibrosis
Trombosit Trombositopeni pada 50% ARDSKofaktor pada kaskade koagulasiSumber potensial mediator inflamasi
Limfosit Sumber IL-10Menghilangkan emigrasi limfatik
Sumber IL-4 (pro) dan mediator antifibrotik (IFN-γ)
Miofibroblas Proliferasi dan deposit matriks ekstraseluler
Sumber : Griffith dan Evans, 2003
B.2.d. Gangguan pertukaran gas pada ARDS
Pada ARDS terjadi peningkatan tonus vaskuler kemungkinan disebabkan
oleh peningkatan aktivitas lokal tromboksan vasokonstriktor (TX) A dan ET-1 yang
berkontribusi pada fase awal dan akhir hipertensi pulmo yang diinduksi endotoksin..
Peningkatan resistensi vaskuler paru menyebabkan gangguan fungsional
(vasokonstriksi) dan struktur (emboli, kompresi vaskuler dan remodeling) yang
berefek pada tekanan ventilasi positif, inflamasi dan kerusakan pada paru. (Griffith
dan Evans, 2003) Pertukaran gas dipengaruhi oleh peningkatan ventilasi alveoler
dan curah jantung karena fungsi bronkial dan vaskuler menurun akibat faktor
seperti mediator inflamasi di jalan nafas dan tonus otot vaskuler. Akibatnya area
dengan rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) tinggi dan daerah dead space
meningkatkan ventilasi untuk mempertahankan PCO2 arteri tetap konstan. Dengan
penurunan pengembangan paru, usaha ekspansi paru juga meningkat. (Plantadosi
dan Schwartz, 2004) Pada keadaan hipokemia yang resisten terhadap pemberian
oksigen ini, terjadi peningkatan right-to-left shunt. Ketika sebagian besar alveoli
tidak mendapatkan ventilasi yang cukup karena alveoli kolaps atau terisi cairan,
aliran darah tercampur darah vena dengan tekanan parsial oksigen 40 mmHg dan
kadar oksigen 15 ml% mengalami shunt ke paru tanpa resaturasi. Hal ini
menyebabkan kebutuhan suplemen oksigen konsentrasi tinggi dan tekanan oksigen
alveoli yang tinggi pula melalui ventilasi mekanik. (Christie dan Lanken, 2007)
B.3. Diagnosis
19
Diagnosis ARDS didasarkan pada pedoman American-European Consensus
Conference Committee tahun 1994 adalah kondisi penyakit yang terjadi akut
dengan rasio tekanan arteri oksigen (dalam mmHg) dibandingkan dengan fraksi
oksigen ≤ 200. Definisi tersebut disertai dengan terdapat gambaran radiologi torak
infiltrat bilateral yang sesuai dengan udem pulmo, tanpa ada bukti hipertensi atrium
kiri atau tekanan arteri pulmonalis ≤ 18mmHg. (Christie dan Lanken, 2007)
B.4. Manajemen
B.4.a. Respiratory support
B.4.a.(i). Ventilasi mekanik
Keadaan hipoksemia berat pada ARDS hampir selalu membutuhkan intubasi
endotrakea dan ventilator mekanik. Pada masa lalu, tujuan primer ventilasi adalah
meningkatkan oksigenasi arteri menuju target normal dengan saturasi oksigen 88-
95%, tekanan parsial CO2 dan pH yang normal pula. Hal ini selalu berhadapan
dengan kondisi FiO2 dan ventilasi permenit yang tinggi. Pada umumnya kita
menggunakan tidal volume 10-15 ml/kg berat badan dimana pada kondisi normal
dengan tidal volume 5-7 ml/kg berat badan untuk nafas spontan saat istirahat.
Konsep untuk membuka alveoli yang kolaps menjadi alasan kita memberikan
ventilasi dengan volume yang tinggi. Namun, pada masa sekarang kita telah
mengetahui bahwa ventilasi mekanik , meski berpotensi menyelamatkan jiwa, juga
berkontribusi untuk memperburuk perlukaan pada paru. Volume aerasi paru pada
pasien ARDS perlu dipertimbangkan dengan adanya udem dan atelektasis.
Akibatnya ventilasi dengan tidal volume yang tinggi dapat menyebabkan
hiperinflasi paru semantara pada kondisi stiffed lung pada ARDS, pengembangan
paru berkurang dan tekanan jalan nafas meningkat. Konsekuensinya terjadi
peregangan yang berlebihan dari paru dan menyebabkan kerusakan langsung secara
fisik dan menimbulkan gangguan pada epitel alveoli maupun endotel kapiler paru.
Hal ini menginduksi respon inflamasi dan pelepasan mediator. Diduga respon
inflamasi yang menginduksi perlukaan paru terkait ventilator, mengakibatkan
konsekuensi sistemik dan berperan dalam patogenesis kegagalan multi organ pada
pasien ARDS. Pada thun 1993, terdapat konsensus dari konferensi The American
College of Chest Physicians yang merekomendasikan penggunaan tidal volume
yang diturunkan pada pasien dengan ARDS yang mempunyai plateau pressure 35 20
cm H2O atau lebih. Penggunaan positive end-expiratory pressure (PEEP)
menyokong oksigenasi tetapi PEEP yang berlebihan juga mengganggu efek yang
diharapkan. Namun tidak ada aturan yang jelas tentang penggunaan PEEP pada
ventilasi dengan volume tidal yang rendah karena masih sedikitnya data dari
penelitian. (Malhotra, 2007)
Penelitian Amato tahun 1998 pertama kali membuktikan manfaat ventilasi
dengan volume tidal yang rendah. Penelitian ini membandingkan ventilasi
konvensional dengan ventilasi volume tidal yang rendah. Ventilasi konvensional
menggunakan volume tidal 12 ml/kg berat badan, PEEP rendah, PaCO2 35-38
mmHg dibandingkan dengan volume tidal 6 ml/kg berat badan, PEEP tinggi, dan
hiperkapnia yang diijinkan. Angka mortalitas setelah 28 hari lebih rendah secara
signifikan pada kelompok dengan ventilator volume tidal rendah sebesar 38%
dibanding 71%. Selain itu juga lebih rendah terjadi barotrauma dan angka yang
tinggi dalam keberhasilan melepas ventilator. (Malhotra, 2007)
Gambar 5. Efek kelemahan alveolar-kapiler dan PEEP pada pertukaran gas di paru
Sumber : Plantadosi dan Schwartz, 2004
Konsensus konferensi The American College of Chest Physician tahun 1993
merekomendasikan pemakaian ventilator dengan volume tidal rendah pada pasien
ARDS. Belum ada pedoman selanjutnya setelah itu. Namun menyokong kampanye
sepsis yang dipublikasikan 2004, bahwa pedoman yang dianjurkan adalah
21
pemakaian ventilasi volume tidal rendah sebesar 6 ml/kg prediksi berat badan
dengan tujuan utama menjaga tekanan plateau akhir inspirasi kurang dari 30
mmH2O. Hiperkapnia dapat diterima dalam konteks ini sepanjang tidak terdapat
peningkatan tekanan intrakranial. Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi
direkomendasikan untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi dan menjaga
oksigenasi adekuat. (Malhotra, 2007)
B.4.a.(ii). Posisi pronasi
Peningkatan perfusi ventilasi adalah efek fisiologi yang diharapkan pada
posisi pronasi pada pasien ALI. Posisi supine, regio dorsal paru yang tergantung
mengalami atelektasis karena menurunnya tekanan transpulmoner dan kompresi
langsung oleh paru, jantung dan isi abdomen (melalui tekanan pasif diafragma).
Gravitasi meningkatkan perfusi pada paru bagian dorsal yang kolaps. Pada pronasi,
kompresi paru diturunkan dan kondisi dinding dan paru secara mekanik membuat
tekanan transpulmoner menjadi sama. Paru yang mengalami atelektasis menjadi
teraerasi dan perfusi menjadi lebih homogen. Manfaat lain adalah membantu
drainase sekret sehingga menurunkan kejadian VAP. (Sud dkk., 2008)
Pada penelitian metaanalisis, pada 13 penelitian yang melibatkan 1559
pasien, dari 10 penelitian mendapatkan bahwa posisi pronasi tidak menurunkan
mortalitas dibanding posisi supine (RR 0,96 CI 95% 0,84-1,09), 8 penelitian
menunjukkan peningkatan PO2/FiO2 pada posisi supine sebesar 34% pada hari 1, 5
penelitian mendapatkan penurunan kejadian VAP (RR 0,81 0,66-0,99, p=0,04)
tetapi tidak menurunkan durasi pemakain ventilator, dan 6 penelitian mendapatkan
peningkatan terjadinya ulkus karena penekanan pada posisi pronasi (RR 1,36 1,07-
1,71, p=0,01). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa ventilasi mekanik pada posisi
pronasi tidak menurunkan mortalitas ataupun durasi pemakaian ventilator dan dapat
menurunkan kejadian VAP. Selain itu posisi pronasi diduga dapat meningkatkan
oksigenasi pada penderita hipoksemia yang berat, meski hal ini perlu diteliti lebih
lanjut. (Sud dkk., 2008)
B.4.a.(iii). Vasodilator inhalasi
Vasodilator inhalasi, NO dan prostasiklin secara selektif mendilatasikan
pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan perfusi, oksigenasi yang lebih baik 22
dan menurunkan hipertensi pulmonal. Karena waktu paruh yang pendek maka
inhalasi oral kurang memberi efek hemodinamik sistemik sehingga jarang dipakai.
Pada penelitian yang membandingkan NO dengan placebo mendapatkan
peningkatan oksigenasi ringan dan angka mortalitas 28 hari tidak berbeda
bermakna. Saat ini vasodilator inhalasi masih bermanfaat pada pasien hipoksia yang
mengancam jiwa, namun masih perlu peneltitian untuk penggunaan rutin sehari-
hari. (Griffiths dan Evans, 2003) Pada penelitian meta analisis terdapat 12
penelitian yang melibatkan 1237 pasien yang bertujuan membuktikan manfaat NO
inhalasi pada ARDS. Hasilnya adalah NO meningkatkan oksigenasi pada 24 jam
pertama terapi namun tidak memberikan manfaat pada usia harapan hidup dan
justru dapat meningkatkan mortalitas karena terdapat resiko peningkatan resiko
disfungsi renal. Sehingga NO tidak direkomendasikan untuk penggunaan sehari-
hari. (Adhikari dkk.,2007)
B.4.a.(iv). Surfaktan eksogen
Surfaktan diproduksi oleh sel alveoli tipe 2 dan terdiri dari 2 fraksi yaitu
fosfolipid dan protein spesifik. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan permukaan
alveoli sehingga mencegah kolapnya alveoli dan mengefektifkan pertukaran gas.
Surfaktan juga berperan dalam fungsi imunitas. Pada ARDS terdapat perlukaan
pada barier kapiler-alveoli sehingga terjadi disfungsi surfaktan. Surfaktan
mengalami kerusakan melalui proses peroksidasi lemak dan degradasi protein
surfaktan sehingga terjadi udem cairan yang kaya protein. Keadaan ini yang
melatarbelakangi pemikiran pemberian surfaktan eksogen pada ARDS. Pada meta
analisa dari 251 penelitian mendapatkan bahwa ternyata surfaktan eksogen tidak
menurunkan mortalitas pada ARDS dan perbedaan PO2/FiO2 tidak berbeda
bermakna pada kelompok surfaktan dan kontrol. (Davidson dkk., 2006)
B.4.b. Non respiratory support
B.4.b.(i). Hemodinamik dan balans cairan
Udem pulmo pada ARDS tidak disebabkan karena kelebihan cairan, namun
karena peningkatan permeabilitas mikrovaskuler paru yang menyebabkan
kebocoran osmotik molekul aktif ke ruang interstisial. Udem tergantung pada
tekanan hidrostatik yang menyebabkan tekanan osmotik kurang dapat menahan 23
cairan intravaskuler. Pada pasien ARDS meski tanpa kelebihan cairan, diuresis
masih memberikan manfaat dalam mengurangi udem sepanjang tekanan darah dan
curah jantung normal. Pada prakteknya, volume intravaskuler dijaga pada level
terendah dengan curah jantung yang adekuat dan perfusi jaringan yang baik.
Dilakukan evaluasi analisis gas darah, estimasi kadar laktat darah yang berulang
dan evaluasi sistem organ misalnya produksi urin perjam. Infus diuretik dosis
rendah, vasopressor, inotropik dan cairan dipakai pada beberapa variabel. (Griffiths
dan Evans, 2003)
B.4.b.(ii). Nutrisi
Pencegahan kehilangan nutrisi dilakukan dengan diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat untuk menurunkan produksi CO2 dan memenuhi kebutuhan ventilasi
yang sesuai untuk gagal nafasnya. Dapat diberikan nutrisi enteral untuk
meningkatkan tekanan darah, meningkatkan fungsi pertahanan tubuh dan
menurunkan kejadian stress ulcer. Imunonutrisi dibuat untuk memperbaiki respon
inflamasi spesifik dan integritas gastrointestinal. (Griffiths dan Evans, 2004)
Perbandingan antara pemberian nutrisi enteral standar dengan suplemen
imunonutrisi dengan antioksidan pada pasien dengan ARDS selama minimal 4 hari,
berhubungan dengan penurunan neutrofil pulmo, meningkatkan oksigenasi dan
pemendekan durasi pemakaian ventilator mekanik dan lebih sedikit terjadi
kegagalan multiorgan. Namun, tidak ada perbedaan mortalitas diantara kedua
kelompok. (Griffiths dan Evans, 2004) Pada penelitian meta analisis disimpulkan
bahwa secara umum imunonutrisi dengan arginin dengan atau tanpa glutamin atau
minyak ikan tidak memberi manfaat dibanding nutrisi enteral standar pasien di ICU,
luka bakar dan trauma. Hanya pada pemberian imunonutrisi dengan minyak ikan
menurunkan mortalitas, menurunkan angka infeksi dan memperpendek masa rawat
di ICU pada pasien SIRS, sepsis dan ARDS. (Marik dan Zaloga, 2009)
B.4.c. Farmakoterapi
B.4.c.(i). Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat menurunkan produksi dan aktivitas mediator
proinflamasi dan fibrogenik. Pada percobaan invitro, deksametason mempengaruhi
pembersihan cairan alveoli pada sel epitel alveoli tipe 2. Namun demikian tidak 24
semua kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi dan antiinflamasi dikaitkan
juga dengan gangguan mekanisme pertahanan diri inang.
Rasionalisasi penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada ARDS didasarkan
pada penelitian yang menunjukkan peningkatan curah jantung, resistensi vaskuler
pulmo, dan transport oksigen. Meskipun penelitian jangka pendek penggunaan
kortikosteroid dosis tinggi gagal mendemonstrasikan penurunan mortalitas pada
pasien ARDS atau awal ARDS karena sepsis, trauma dan aspirasi. (Griffiths dan
Evans, 2003) Pada 5 penelitian terhadap penggunaan metilprednisolon, terdapat 4
penelitian yang menyatakan manfaat metilprednisolon secara biologi dan fisiologi
sehingga mengurangi lama pemakaian ventilator mekanik. Tidak ada yang
menyatakan glukokortikoid meningkatkan kejadian infeksi dan ada 2 penelitian
yang menyatakan menurunkan kejadian infeksi. Penggunaan glukokortikoid jangka
lama akan memberi manfaat dalam meningkatkan harapan hidup apabila diberikan
dalam 14 hari pertama ARDS. (Meduri dkk, 2007)
C. VAP pada pasien ARDS
Pada ARDS terjadi beberapa perubahan kondisi paru dan sistemik yang
memicu terjadi infeksi. Pneumonia nosokomial lebih sering terjadi pada pasien
dengan ventilator mekanik karena sebab ARDS dibanding dengan sebab lain. Hal
ini mungkin berhubungan dengan kegagalan pertahanan diri host (inang). Beberapa
proses intrinsik paru pada ARDS mengakibatkan fungsi fagosit terganggu,
penurunan bersihan mukosiliar, peningkatan kolonisasi mukosa dan pacuan
pertumbuhan bakteri. Paparan pada lung injury menambah kerusakan pada epitel
paru dan endotel barier dan juga merusak sel alveoli tipe II, penurunan surfaktan
dan penurunan kontribusinya terhadap pertahanan dengan antibiotik. Udem pulmo
mempengaruhi penurunan fungsi surfaktan melalui dilusi dan perubahan
karakteristik dan mempengaruhi kerja makrofag pada alveoli. Elastase adalah enzim
protease yang dominan di saluran nafas penderita ARDS, secara proteolitik
memecah antibodi, mengurangi gerak silia, dan mengubah fibronektin dari
permukaan sel epitel sehingga meningkatkan reseptor terhadap bakteri. Keadaan
lain seperti asidosis, malnutrisi dan syok memberi efek negatif terhadap imunitas.
Infeksi ekstrapulmoner turut mengurangi kemampuan pembersihan bakteri dengan
menekan pengerahan sel polimorfonuklear di paru. Efek terapi pada ARDS sendiri 25
kadang tidak menguntungkan misalnya penggunaan kortikosteroid yang
menyebabkan imunosupresi, penggunaan oksigen dosis tinggi merusak epitel
alveoli dan mengurangi kerja mukosiliar, sedatif dan pelemas otot mengurangi
pertahanan jalan nafas atas terhadap aspirasi dan menurunnya kemampuan
mengeluarkan sekret melalui reflek batuk. (Bahammam dan Light, 1999)
ARDS dan VAP mempunyai manifestasi klinis yang sama. Tidak ada
perbedaan signifikan pada temperature, hitung lekosit, rasio PO2/FiO2 dan skor
radiologi pada pasien ARDS dengan atau tanpa VAP. (Mayhall, 2001)
Pada penelitian Sutherland dkk tahun 1995 yang bertujuan mengetahui
insidensi infeksi paru pada pasien ARDS, mendapatkan hasil korelasi yang lemah
antara pneumonia dari gejala klinis dengan pneumonia dari pemeriksaan kultur
kuantitatif dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 77%. Tidak ada korelasi antara
jumlah total koloni melalui pemeriksaan BAL dan PSB dengan keparahan ARDS
yang dinyatakan dengan PO2/FiO2 dan lamanya memakai ventilator serta tidak ada
korelasi antara pertumbuhan bakteri dan angka kelangsungan hidup pasien.
Penelitian ini menyimpulkan pneumonia yang ditentukan dengan pemeriksaan
kuantitatif tidak lazim digunakan pada kondisi ARDS. (Sutherland dkk., 1995)
Penelitian Delclaux dkk.mendapatkan kuman penyebab pada 50% pasien
VAP pada ARDS adalah Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter baumanii.
(Delclaux, 1997) Sedangkan Chastre dkk. dan Meduri dkk mendapatkan kuman
penyebab adalah MRSA, kuman batang gram negatif dan Enterobacteriaceae.
(Chastre, 1998; Meduri, 1998)
Penatalaksanaan VAP pada ARDS meliputi penanganan dari kedua kondisi
tersebut yaitu manajemen terhadap kondisi ARDS ditambah dengan pemberian
antibiotik sesuai penanganan untuk VAP.
26
BAB IV
KESIMPULAN
Pneumonia nosokomial mempunyai kaitan yang erat dalam etiologi,
patofisiologi dan diagnosis ARDS. Diagnosis pneumonia nosokomial pada pasien
ARDS sering sulit dilakukan. Banyak kriteria yang digunakan untuk diagnosis
termasuk kriteria klinis dan bakterologi. Pemeriksaan bakteriologi yang dianggap
akurat adalah pemeriksaan PSB dan atau BAL.
Penatalaksanaan pneumonia nosokomial pada ARDS sama dengan
penatalaksaan pneumonia nosokomial sesuai pedoman American Thoracic Society.
Terapi awal antibiotik diberikan secara empirik sesuai onset awal atau lanjut dan
berdasarkan resiko kuman multidrug resistant. Selanjutnya terapi didasarkan pada
hasil pemeriksaan bakteriologi dan tes sensitifitas dengan mempertimbangkan
ketersediaan obat, harga obat dan dosis restriksi. Penanganan ARDS sesuai dengan
pedoman dari The American College of Chest Physician dengan pemberian
ventilator mekanik dengan volume tidal rendah. Hal ini sesuai dengan penanganan
pada kampanye sepsis bahwa volume tidal rendah yang dianjurkan adalah 6 ml/kg
prediksi berat badan. Beberapa macam aspek penanganan yang lain belum
disepakati oleh para ahli dan masih kontroversi.
27
28