Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Warta Buruh Migran| Edisi IV | Desember 2010
Klik www.buruhmigran.or.id
Tim Redaksi
Salam Redaksi Cianjur
Gagasan memberikan perlindungan kepada Buruh Migran
Indonesia (BMI) dilakukan pemerintah tanpa henti. Pelbagai
undang-undang, peraturan presiden, peraturan menteri, hingga
peraturan daerah dikeluarkan. Namun, di lapangan, kebijakan
tersebut tidak ampuh menjaga dan melindungi BMI. Persoalan
asuransi BMI misalnya, saat ini menjadi tema yang banyak
diperbincangkan di media massa. Penunjukan konsorsium
tunggal oleh Menakertrans menuai banyak protes, khususnya
dari PPTKIS.
Bagi BMI, asuransi adalah hal penting. Di samping mereka telah
membayar premi sebesar 400 ribu rupiah, asuransi juga menjadi
harapan atas jaminan dan kenyamanan kerja.Peraturan Menteri
(Permen) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI sedikit
memberikan harapan BMI. Permen baru ini memiliki beberapa
perubahan, di antaranya nilai pertanggungan yang dinaikkan.
Meskipun begitu, perusahaan asuransi harus melakukan
perubahan cara pandang, dari dilayani menjadi melayani. Protes
yang dilakukan BMI adalah persoalan sulitnya pengajuan klaim.
Perusahaan asuransi seakan memperumit pemegang polis
dengan alasan tidak dipenuhinya berkas sebagaimana yang
disyaratkan. Karena itu, tidak heran jika selama ini perusahaan
asuransi dianggap hanya mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya tanpa menjalankan kewajibannya.
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.
Pendidikan keuangan untuk buruh migran dan keluarga yang digelar
oleh Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK
Mahnettik) Cianjur (29-30/11/10) memberi banyak manfaat bagi
pegiat PTK Mahnettik Cianjur. Rokoyah dan Puti Rahayu, fasilitator
Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Pasoendan
secara bergantian mengarahkan peserta secara runtut untuk
memahami persoalan pengelolaan ekonomi buruh migran.
Peserta pelatihan diajak berhitung berapa besar biaya yang mereka
keluarkan saat memutuskan berangkat ke luar negeri untuk menjadi
buruh migran. Disadari atau tidak, sejak proses pemberangkatan
hingga pemulangan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Hal ini
terkadang tidak sebanding dengan jumlah uang yang dikirim ke
keluarga.
“Persoalan utama adalah kesenjangan informasi, calon buruh
migran tidak memiliki informasi tentang berapa biaya pembuatan
paspor, berapa gaji yang diterima dalam kontrak kerja, berapa nilai
konversi mata uang dan lain sebagainya” tutur Rokoyah
Seperti disampaikan Rokoyah, buruh migran juga dituntut cerdas
mempertimbangkan sesuatu, seperti tawaran berhutang pada agen
perekrutan, kontrak kerja, dan pilihan menjadi pekerja atau
memulai wirausaha. Fasilitator juga menyampaikan motivasi pada
pegiat PTK Mahnettik Cianjur agar percaya diri mengembangkan
potensi kelompok.
Menghitung Ulang Biaya Migrasi Oleh: Salim
Penang g ung Ja wa b
Y ossy Suparyo
Muhammad Irsyadul Ibad
Pim pina n R eda ksi
Muhammad Ali Usman
Tim R eda ksi
Fika Murdiana
Hilyatul Auliya
Fathulloh
K ont ributor
14 PTK Mahnettik
A lam at R edaksi
Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A
Pandean Umbulharjo Y ogyakarta,
Telp/Fax:0274-372378
E-mail:[email protected]
Portal: http://buruhmigran.or.id
Penerbita n bulet in ini a ta s dukung a n:
Pegiat Buruh Migran di PTK Mahnettik Cianjur
Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
02 | Sekilas Peristiwa
Cilacap
PTK Maknettik Cilacap Belajar Kelola
Informasi
Pusat Teknologi Komunitas (PTK) Rumah Internet TKI (Mahnettik)
Cilacap yang dikelola oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Cilacap
menyelenggarakan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran
(24/11). Pelatihan ini dilaksanakan di dua tempat, Hotel Paradise Jl. A.
Y ani No. 7 Sidareja Cilacap dan PTK Mahnettik. Belasan peserta yang
datang dari beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap, di antaranya
Majenang, Kesugihan, dan Kampung Laut tampak sangat antusias
dan bersemangat mengikuti semua materi.
Pelatihan ini dibagi menjadi dua kelas. Kelas pertama bertempat di
Hotel Paradise yang diikuti oleh para mantan dan keluarga buruh
migran yang belum pernah mengikuti pelatihan serupa sebelumnya.
Di kelas pertama, materi yang diberikan adalah tentang pentingnya
pengelolaan informasi dan cara menulis berita. Sedangkan kelas kedua
yang bertempat di PTK Mahnettik yang diikuti oleh para pegiat PTK
Mahnettik dan mantan buruh migran merupakan kelas lanjutan.
Materi yang disampaikan di kelas kedua ini merupakan managemen
pengetahuan (knowledge management) pusat pengelolaan sumber
daya buruh migran.
Pelatihan pengelolaan informasi buruh migran merupakan sebuah
kegiatan yang sangat penting guna memberikan bekal pengetahuan
kepada mantan dan keluarga buruh migran. Di antara banyaknya kasus
kekerasan yang muncul dan menimpa para buruh migran di luar negeri
sebagian besar adalah disebabkan oleh minimnya informasi dan
pengetahuan yang mereka miliki tentang berburuhmigranan. Menurut
Akhmad Fadeli (32), fasilator pelatihan pengelolaan informasi dari
Lakpesdm NU Cilacap, setiap buruh migran harus memiliki informasi
dan pengetahuan yang baik seputar pekerjaan mereka.
“Bekal pengetahuan ini wajib dimiliki para buruh migran sehingga
pengetahuan tersebut dapat dijadikan pelindung ketika suatu saat
mereka menghadapi berbagai persoalan di tempat kerja,” ungkapnya.
Para peserta juga merespons positif penyelenggaraan pelatihan ini.
“Ternyata membuat berita itu mudah. Dengan mengikuti pelatihan
ini, saya menjadi tahu cara mengelola dan bertukar informasi,”
ungkap Catur Eni Sulastri (27) salah satu peserta yang juga mantan
buruh migran.
Manfaat mengikuti kegiatan ini juga dinyatakan oleh Nely Khuriyah (28),
salah seorang mantan buruh migran yang pernah bekerja sebagai
Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Hongkong selama tujuah tahun.
“Membuka wawasan dan menambah pengetahuan tentang
bagaimana menyampaikan informasi yang sudah berbentuk berita,”
katanya.
Pemberdayaan buruh migran melalui pengelolaan informasi dan
pengetahuan ini merupakan salah satu solusi mengatasi carut
marutnya pengelolaan buruh migrant di Indonesia selama ini. Hingga
hari ini, kegiatan pelatihan pengelolaan informasi buruh migran telah
diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia.
Banyumas
Komitmen bersama mewujudkan perlindungan buruh migran Banyumas
terus digalang oleh Forum Solidaritas untuk Buruh Migran (Forsa BUMI)
Kabupaten Banyumas. Bertepatan dengan hari buruh migran sedunia,
Forsa Bumi menggelar diskusi publik dengan tema "Membangun Komitmen
Bersama untuk Perlindungan Buruh Migran" di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Jenderal Soedirman (Sabtu 18/12/10). Hadir di dalam
diskusi tersebut aparatur desa, kecamatan, dan kabupaten. Hadir pula
beberapa anggota DPRD Kab. Banyumas, Dinsosnakertrans, pejabat
imigrasi, akademisi kampus, perwakilan PPTKIS, hingga kalangan
lembaga/organisasi swasta di Banyumas.
Panitia menghadirkan empat narasumber sekaligus, yakni Tyas Retno
Wulan (Pusat Penelitian Gender), Y oga Sugama (Anggota DPRD),
Kartiman (Dinsosnakertrans), dan Rita (LBH Perisai Kebenaran) dengan
Jarot, Pegiat Rumah Aspirasi Budiman sebagai moderator.
Saat diskusi berlangsung, satu persatu narasumber menyampaikan
program dan upaya perlindungan buruh migran yang telah dilakukan
lembaga atau instansi yang mereka wakili. Persoalan yang paling
disoroti selama diskusi adalah koordinasi yang kurang padu (sinergi)
antarlembaga pemerintah.
Yoga Sugama, perwakilan DPRD dengan tegas mempertanyakan janji
Bupati Banyumas untuk membangun perekonomian daerah di setiap
Kecamatan. "Jika janji Bupati membangun sektor industri daerah
terwujud, saya yakin angka pengiriman TKI akan turun drastis," Tutur
Yoga Sugama.
Mempertanyakan Komitmen
Bersama untuk BMI
Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
PTK Mahnettik Cirebon Ajarkan
Komputer Pada Guru SekolahPusat Teknologi Komuntas (PTK) Cirebon menyelenggarakan
kegiatan pelatihan pengenalan Teknologi Informasi (TI)
kepada para guru sekolah di Kab. Cirebon. Kegiatan yang
berlangsung dari tanggal 29 November-4 Desember dan
bertempat di SMK Al-Jilani Babakan ini merupakan bagian
dari program Partner in Learning (PIL) yang diusung oleh
Microsoft. Dalam penyelenggaraannya, PTK Cirebon
bekerjasama dengan Yayasan TIFA dan Diknas Kabupaten
Cirebon.
Program PIL merupakan program global yang diusung oleh
Microsoft mulai September 2003. Program ini menjadi
bagian dari bentuk komitmen Microsoft pada peningkatan
Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pendidikan teknologi
di sekolah-sekolah. Di Indonesia, penyelenggaraan PIL
selalu mengikutsertakan instansi pemerintah (Diknas) dan
lembaga-lembaga swasta yang mempunyai kepedulian
sama pada masalah pendidikan.
03 | Sekilas Peristiwa
Cirebon
Tujuan kegiatan pelatihan TI ini adalah untuk memberikan
bekal kepada para guru dalam penguasaan ilmu komputer.
Selain itu, target yang ingin dicapai adalah peserta mampu
menguasai pengetahuan dasar ilmu komputer dan mampu
mempraktikkannya dalam kegiatan belajar belajar di kelas.
Selama ini, TI memang telah menjadi kebutuhan pokok
setiap orang dalam membantu efektivitas kerja-kerja.
Pelatihan ini sendiri diikuti oleh 75 orang peserta yang terdiri
dari guru SD, SMP, dan SMA se-Kabupaten Cirebon Timur.
Penyelenggara sengaja memilih para guru sebagai peserta
karena guru memiliki wewenang dan otoritas dalam
pelaksanaan sistem pengajaran di sekolah masing-masing.
“Peserta sangat antusias mengikuti pelatihan ini karena
sebagian besar peserta tidak pernah mendapatkan materi
tersebut sebelumnya,” ungkap Lukman, salah satu panitia
kegiatan.
Malang
Sabtu (25/12/10) Pusat Teknologi Komunitas (PTK
Mahnettik) Bina Mandiri, Desa Kedungsalam, Kecamatan
Donomulyo, Kabupaten Malang menggelar pelatihan kelola
informasi untuk buruh migran. Kegiatan tersebut didukung
tim fasilitator dari infest Yogyakarta.
Pelatihan hari pertama peserta diberikan pengetahuan
dasar tentang apa itu informasi?, serta bagaimana siklus
informasi terjadi hingga mempengaruhi kebijakan.
“Keberadaan CTC Mahnettik harus didukung keterampilan
skill dari para pegiatnya, seperti pengelolaan informasi,
produksi informasi, kemampuan sebagai jaringan kerja dan
kekuatan mempengaruhi kebijakan” tutur Yossy Suparyo,
salah satu tutor pelatihan.
PTK Mahnettik Bina Mandiri sendiri merupakan bagian dari
kerja kelompok dampingan Dian Mutiara Women’s Crisis
Centre untuk mengembangkan potensi buruh migran di
Kecamatan Donomulyo.
Semangat Kelola Informasi PTK
Mahnettik Bina Mandiri Malang
Kegiatan pelatihan akan dilakukan hingga Minggu (26/10/10),
melalui kegiatan tersebut diharapkan pegiat PTK Mahnettik
dapat mengembangkan fasilitas PTK Mahnettik untuk kerja
pengelolaan informasi agar tidak ada kesenjangan informasi
bagi buruh migran Malang dan keluarganya.
Suasana pelatihan kelola informasi di PTK Mahnettik Bina Mandiri Malang
Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
04 | Jejak Kasus
Beberapa waktu yang lalu hampir seluruh media nasional
memberitakan Sunengsih, seorang Buruh Migran Perempuan
(BMP) asal Desa Gembongan Kecamatan Babakan Kabupaten
Cirebon, yang meninggal dunia di Abu Dhabi Uni Emirat Arab.
Pemberitaan kasus yang menimpa Sunengsih di media massa
telah menarik perhatian dan simpati ratusan ribu orang di
Indonesia, termasuk para pejabat tinggi negara. Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, dalam sikapnya
menyatakan ia berjanji akan mengusut semua pihak yang
bertanggung jawab pada kasus yang menimpa Sunengsih
tersebut.
Kematian Sunengsih di tempat kerjanya, Uni Emarat Arab,
memang sangat mengagetkan banyak orang. Berita kematian
tersebut baru disampaikan oleh agen pemberangkatan
Sunengsih kepada keluarganya setelah tiga tahun berlalu. Kajan,
orang tua Sunengsih, menyatakan bahwa menurut agen anaknya
meninggal dunia pada 18 Juli 2007 yang diakibatkan oleh
kecelakaan kerja. Tentu saja pihak keluarga sangat menyesalkan
karena mereka baru diberitahu pada 12 Agustus 2010.
Menyebarnya berita kematian Sunengsih bermula dari sebuah
tulisan milik Akhmad Rovahan berjudul “Kisah Tragis Buruh
Migran Cirebon Tiga Tahun Meninggal, Keluarga Baru Dikabari”
yang dimuat di www.suarakomunitas.net pada 15 November
2010. Selain dimuat di www.suarakomunitas.net, Rovahan juga
membagikan tulisan tersebut melalui situs jejaring sosial
facebook lewat akun miliknya. Tidak disangka, tulisan tersebut
mendapatkan respons publik yang ramai.
Melihat respons publik yang sangat besar atas kasus tersebut,
Rovahan berinisiatif untuk menghubungi beberapa wartawan dari
media massa lokal dan nasional agar meliput peristiwa tersebut.
Dengan harapan pemegang kebijakan mengetahui kasus yang
menimpa Sunengsih dan segera melakukan tindakan
pengusutan. “Beberapa wartawan saya kirim berkas berita.
Kemudian mereka menyatakan siap membantu mengangkat
kasus ini. Bahkan, ada tiga orang wartawan yang langsung
mengajukan kesiapan untuk melakuakn wawancara langsung
dengan orang tua korban di Desa Babakan,” ungkap Rovahan.
“ Tidak disangka sebuah tulisan yang
disebarluaskan lewat media
komunitas mampu mendapat
perhatian publik dan pemerintah”
Beberapa hari kemudian hampir seluruh media nasional ramai
memberitakan kasus yang menimpa Sunengsih. Rumah Kajan
tidak henti didatangi para pewarta untuk melakukan wawancara.
Para pejabat berwenang, baik di tingkat daerah maupun pusat
memberikan tanggapannya. Berbagai pihak yang bertanggung
jawab pun menuai banyak kecaman. Mereka dianggap tidak
becus menjalankan kebijakan.
Advokasi Buruh Migran Melalui
Media KomunitasOleh: Hilyatul Auliya
Rovahan (tengah), dalam sebuah pertemuan jaringan media komunitas cirebon (Sumber: Dok.Jarik)
Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
05 |Jejak Kasus
Akhmad Rovahan saat ini menjabat sebagai Ketua Jaringan Radio
Komunitas (Jarik) Cirebon. Di Cirebon, Jarik tergabung dalam
Jaringan Masyarakat Anti Traficking (Jimat) yang beranggotakan
Organisasi Nonpemerintah (Ornop) se-wilayah III Cirebon.
Salah satu anggota Jimat adalah FWBMI (Forum Warga Buruh
Migran Indonesia) yang diketuai oleh Castra Aji Sarosa. Jaringan ini
melakukan pertemuan rutin. Pertemuan terakhir dilaksanakan
pada awal November kemarin. Pada saat pertemuan itulah
Rovahan mendapatkan informasi kasus Sunengsih yang sedang
ditangani oleh FWBMI.
Menurut Castra, kematian Sunengsih sangat tidak biasa lantaran
pihak PPTKIS-nya baru memberitahukan berita kematian
Sunengsih setelah tiga tahun berlalu. Kajan juga pada 21 Oktober
2010 diundang ke Jakarta oleh pihak PPTKIS PT. Abul Pratama Jaya
untuk menendatangani sebuah surat kesepakatan. Di dalam surat
perjanjian tersebut, Kajan akan diberi dana 4.000 dollar AS (Rp 35
juta) serta ditambah dua bulan gaji Sunengsih sejumlah 1.600
dirham.
Namun, PT. Abul Pratama Jaya membarikan syarat, yaitu Kajan
tidak boleh mengungkit kematian Sunengsih. Kajan cukup tahu
bahwa Sunengsih meninggal karena kecelakaan kerja. Dari cerita
Castra tentang Sunengsih inilah akhirnya Rovahan berinisiatif
menulisnya di portal www.suarakomunitas.net. Rovahan tidak
mengira sebelumnya tulisan yang ia unggah akan mendapat
perhatian dari pelbagai pihak.
Pengalaman bekerja di dalam sebuah jaringan, memberikan
pelajaran yang sangat berarti bagi Rovahan. “Kasus yang awalnya
saya angkat melalui media komunitas (www.suarakomunitas.net)
ternyata dapat menjadi berita nasional dan akhirnya kasus
tersebut mendapatkan perhatian dari para petinggi negara,”
ungkapnya.
Portal www.suarakomunitas.net yang dimanfaatkan rovahan untuk menyebarkan informasi
Menurut Rovahan, awalnya kasus Sunengsih hanya
diketahui oleh keluarga dan beberapa tetangga
dekatnya saja. Tidak semua masyarakat kampung
mengetahuinya. Apa yang dilakukan oleh Rovahan
hanyalah membagikan informasi kepada publik melalui
media massa elektronik. Rovahan mengakui betapa
pentingnya sebuah jaringan atau komunitas.
Jaringan atau komunitas dapat memberikan
kemampuan lebih dibanding jika seseornag melakukan
pekerjaannya seorang diri. Media massa juga dapat
digunakan sebagai alat memperjuangkan keadilan dan
hak-hak warga negara. Melalui media massa, suara
seseorang dapat didengar oleh jutaan telinga dan
dilihat oleh jutaan pasang mata.
Hilya Auliya , Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat
Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
06 | Kajian
Asuransi TKI, Melindungi
atau Mencurangi?Oleh: Muhammad Ali Usman
Selama ini kita sering mendengar Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) yang gagal mengurus asuransi. Mereka seringkali hanya
pasrah karena merasa mendapati jalan buntu. Tidak sedikit
pula di antara mereka yang gagal mendapatkan haknya
kemudian menyatakan hal itu “bukan rizkinya”.
Kasus-kasus semacam itu banyak dialami oleh buruh migran
kita yang sedang mengalami masalah sulit saat bekerja di luar
negeri. Parahnya, hal ini dianggap sebagai sebuah persoalan
biasa, sehingga tidak perlu disikapi, apalagi dipersoalkan.
Selama melakukan diskusi dengan mantan TKI di beberapa
daerah, saya menemukan pelbagai kasus, misalnya
penyiksaan oleh majikan, pemutusan hubungan kerja (PHK),
kecelakaan kerja, gaji tidak dibayar, pelanggaran kontrak kerja,
pelecehan seksual, pemerkosaan, meninggal dunia, TKI
hilang, kerja di di bawah umur, dan kerja tidak sesuai
kesepakatan kontrak kerja.
Di negara tujuan, mereka berjuang sendiri, tanpa ada bantuan
pemerintah Indonesia. Banyak di antara korban tersebut yang
tidak mendapatkan haknya sebagai anggota asuransi TKI,
meskipun premi sudah mereka bayarkan kepada konsorsium.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Pelaksana
Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) wajib
mengikutsertakan calon TKI/TKI yang akan diberangkatkan
ke luar negeri dalam program asurasni TKI kepada
konsorsium yang telah ditunjuk dengan membayar biaya
sebesar Rp. 400.000,-. Dengan rincian, 1) Rp. 50.000,- untuk
premi asuransi TKI prapenempatan. 2) Rp.300.000,- premi
asuransi TKI selama masa penempatan. 3) Rp. 50.000,-
premi asuransi TKI pascapenempatan.
Jika dihitung jumlah TKI resmi yang bekerja di luar negeri
sebanyak 4 juta orang, maka total dana yang diterima oleh
konsorsium asuransi adalah sebesar 1,6 triliyun rupiah.
Namun, tidak berbeda dengan perusahaan-perusahaan
bisnis lain, perusahaan asuransi TKI juga lebih
memerhatikan keuntungan pribadi yang sebesar-besarnya.
Mereka seakan enggan bertanggung jawab terhadap
persoalan TKI dengan alasan tidak dipenuhinya syarat-
syarat pengajuan klaim asuransi sebagaimana yang telah
ditetapkan.
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
Seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
7 Tahun 2010 Bab VII Pasal 26, persyaratan yang harus dipenuhi
oleh TKI yang mengajukan klaim, misalnya untuk korban PHK, di
antaranya:
1. Waktu pengajuan selambat-lambatnya 12 bulan setelah
terjadinya resiko (peraturan sebelunmnya hanya 30 hari).
2. Surat pengajuan klaim ditandatangani oleh TKI atau ahli
waris yang sah dan bermeterai.
3. Menyertakan KPA asli (Kartu Peserta Asuransi).
4. Surat perjanjian kerja.
5 .Surat perjanjian penempatan,
6. Surat keterangan PHK dari pengguna.
7. Surat keterangan Perwakilan R.I. di negara penempatan.
8. Surat penempatan dari Dirjen Pembinaan Penempatan
Tenaga Kerja Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar
Negeri.
Banyaknya persyaratan wajib yang harus dipenuhi oleh TKI dan
keluarganya tersebut sangat menyulitkan karena mayoritas
mereka hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah
Dasar, banyak juga yang tidak dapat baca tulis, dan mayoritas
mereka tinggal di daerah pedesaan, sehingga mengalami
keterbatasan mendapatkan akses informasi dan pengetahuan.
Melihat rumitnya persyaratan yang dibutuhkan untuk mengurus
asuransi TKI, semakin mengarahkan kita pada kesimpulan
tentang adanya sebuah kesengajaan agar para TKI yang
berurusan dengan perusahaan asuransi tidak mendapatkan
haknya. Hal itu dibuktikan dengan dipersulitnya pengurusan klaim
asuransi TKI dari hulu ke hilir. Konspirasi ini juga melibatkan para
oknum PPTKIS dengan perusahaan asuransi TKI.
Banyak para oknum PPTKIS yang menawarkan diri untuk
menguruskan klaim asuransi dengan imbalan jumlah uang
tertentu jika berhasil mencairkan klaim tersebut. Bahkan besaran
succes fee tersebut hingga 50 persen. Para TKI yang sedang
dalam keadaan sulit ini hanya dapat menerima “peraturan” ini.
Alasan mereka, lebih baik dapat setengahnya daripada tidak
mendapatkan sama sekali.
Menurut ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat, pada bulan
September lalu ada 36.000 klaim asuransi TKI yang bermasalah.
Alasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi bermacam-
macam, mayoritas dikarenakan persyaratan yang tidak dipenuhi
oleh TKI atau keluarganya. Himpunan PPTKIS yang merasa
menemukan jalan buntu mengurus asuransi TKI pun melayangkan
surat kepada Presiden untuk mengadukan tidak dibayarkannya
klaim asuransi TKI.
Perlindungan TKI melalui sistem asuransi justru menjadikan
buruh migran komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek
yang harus dilindungi. Seharusnya, sistem yang dibangun
benar-benar untuk kepentingan TKI dengan memperhatikan
kebutuhan dan fasilitas perlindungan yang dibutuhkan
selama bekerja di luar negeri. Untuk itu, dibutuhkan
konsorsium asuransi yang dapat menjalankan sistemnya
secara bertanggung jawab dan konsisten, sehingga
keberadaannya dapat benar-benar dirasakan manfaatnya
oleh TKI dan keluarganya.
Perusahaan asuransi yang bertanggung jawab, adalah
perusahaan yang mengubah paradigama, dari yang
sebelumnya hanya berorientasi pencarian keuntungan yang
sebesar-besarnya menjadi paradigma melayani dan
memberikan perlindungan asuransi yang optimal kepada
TKI dan keluarganya. Perusahaan asuransi juga dapat lebih
aktif dalam merespons setiap klaim yang diajukan oleh
pemegang polis. Perubahan paradigama ini merupakan
sebuah keniscayaan sebagai bentuk tanggung jawab dan
komitmen pada undang-undang dan pada nilai-niali
kemanusiaan yang selama menjadi motto para perusahaan
asuransi. [mau]
07 | Kajian
Muha mma d Ali Usma n, Pekerja Pusat Sumber Daya
Buruh Migran (PSD-BM)
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
08 | Inspirasi
Kesuksesan dapat diraih oleh siapa pun dan di mana pun,
asalkan ada kemauan kuat. Itulah prinsip yang senantiasa
menjadi semangat Neli Khuriyah (24), salah seorang mantan
Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Cilacap. Selama menjalani
hari-harinya tujuh tahun terakhir di Hongkong sebagai seorang
Pekerja Rumah Tangga (PRT). Neli berangkat kerja ke Hongkong
pada 2003 melalui sebuah Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indoensia Swasta(PPTKIS) di Jakarta, dan pada bulan
Agustus 2010 Neli telah kembali ke Indonesia menjadi seorang
sarjana dengan gelar diploma.
Selama di Hongkong, Neli tidak seperti pekerja migran lain yang
lebih banyak menghabiskan waktu libur kerjanya dengan jalan-
jalan, kumpul bareng, atau menjelajah berbagai mal, baik untuk
belanja maupun sekadar cuci mata. Hari libur akhir pekan justru
ia nikmati dengan duduk belajar di bangku kuliah. Ia sangat
menyadari tidak selamanya ia akan menjadi seorang buruh.
Menurutnya, kerja sebagai BMP bukanlah sebuah tujuan, namun
hanya sebuah perantara untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik.
“Kerja di Hongkong merupakan prioritas pertama saya sejak
awal. Sedangkan kuliah prioritas kedua,” ungkapnya.
Di lingkungan keluarganya, Neli kecil merupakan sosok pribadi
yang rajin dan bertanggung jawab. Kerja keras dan hidup mandiri
telah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak dini.
Berangkat Berstatus TKW, Pulang
Sudah SarjanaFika Murdiana
Neli (Kanan bawah), bersama kawan-kawannya sesama buruh migran saat mengikuti kuliah di Action Vision Mission College Hongkong Ltd
Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab
bersama. Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan
proporsinya. Hanya bekal inilah yang dapat membantu Neli
untuk menjalani tantangan kehidupannya.
Semasa kuliah, Neli mengambil program diploma di Kampus
Action Vision Mission College Hongkong Ltd., yang beralamat di
1/Floor, 23 Ngan Mok Street, Tin Hau Hongkong, pada jurusan
Teknologi Informasi. Program diploma ini ditempuhnya dalam
waktu satu tahun, dari April 2009-Maret 2010. Kampus AVM
memang hanya menyelenggarakan pendidikan untuk jenjang
diploma. Setiap mahasiswa di AVM hanya dibebani sebanyak 36
Satuan Kredit Semester (SKS) yang ditempuh dalam waktu 10
bulan.
“Neli menyadari tidak
selamanya ia akan menjadi
buruh migran”Kesadaran menempuh pendidikan lebih tinggi ini dilakukan Neli
untuk memenuhi keinginan kuliahnya yang terganjal oleh faktor
biaya setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
09 | Inspirasi
Hongkong selama ini memang dikenal sebagai negara yang
sangat memerhatikan hak-hak pekerja dengan baik. Tidak heran
jika para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di
Hongkong dapat menikmati hari-harinya dengan nyaman. Selain
ada hari libur kerja, pihak perusahaan atau pengguna jasa juga
memberikan waktu cuti. Iklim kerja yang kondusif inilah yang
banyak menarik minat para calon TKI untuk memilih bekerja di
Hongkong, meskipun sebagai PRT.
Menurut Konsul Jenderal RI di Hongkong, Ferry Adamhar, setiap
bulan BMI baru yang bekerja di Hongkong sekitar 1000 orang.
Oleh karena itu, hingga Mei 2010 jumlah BMI di Hongkong
mencapai 136.000 orang. Jumlah ini telah mengungguli tenaga
karja asal Filipina dan Vietnam.
Kedua orang tuanya sehari-hari hidup dalam kesederhanaan
sebagaimana masyarakat desa lainnya. Penghasilan dari hasil
pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok,
tidak untuk sekolah yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setelah
melihat kondisi perekonomian keluarga, selepas SMA Neli
memutuskan untuk bekerja ke Hongkong sebagai PRT.
Harapan yang diembannya hanya satu, membantu keluarga.
Menyekolahkan adik-adiknya hingga perguruan tinggi.
Pendidikan yang dulu bagi Neli hanya mimpi.
Banyak teman-teman Neli yang heran dan bertanya
bagaimana Ia dapat membagi waktu antara kerja dan kuliah.
Pertanyaan tersebut sangat wajar diajukan mengingat
pekerjaan sebagai PRT sangat padat. Bahkan, tidak jarang
seorang PRT baru dapat istirahat pada pukul 24.00. Neli
sangat bersyukur mendapatkan seorang majikan yang baik.
Sewaktu Neli meminta izin untuk melanjutkan pendidikan,
majikannya tidak keberatan. Ia hanya memberikan satu
syarat, kuliah tidak boleh mengganggu pekerjaannya.
Syarat ini pun diterima Neli dengan senang, karena memang
jadwal kuliah di AVM College hanya dilaksanakan pada hari
Minggu, yang notabene hari libur kerja. Meskipun begitu, Neli
pernah mendapatkan omelan dari sang majikan. “Saat itu,
saya sedang asyik belajar seorang diri di dalam kamar. Tiba-
tiba majikan memanggil dan ia meminta agar saya
menyelesaikan pekerjaan yang tersisa,” katanya seraya
tersenyum sambil mengingat masa lalu.
Fika Murdia na Ra hma n, Pekerja Pusat Sumber
Daya Buruh Migran (PSD-BM)
Maria, Berdaya Melalui
WirausahaOleh: Muhammad Ali Usman
Pagi itu tampak beberapa perempuan dengan lincah memainkan dua
tangannya mengiris lonjoran-lonjoran singkong hingga membentuk
bulat dan tipis. Di ujung sisi lain, tampak pula dua orang perempuan
sibuk menggoreng kripik singkong dan sukun. Suara khas
penggorengan pun menggemuruh tanpa henti, sesekali dipecah tawa-
tawa renyah perempuan-perempuan yang saling melempar canda.
Entah apa yang mereka obrolkan, yang tampak mereka sangat
menikmati pekerjaannya.
Itulah kesibukan sehari-sehari di tempat usaha milik Siti Maryam
Ghozali (45) atau yang lebih dikenal dengan Maria Bo Niok, salah
seorang mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Hongkong. Bersama
suaminya, Stevie Sundah, pada tahun 2008 ia mendirikan sebuah
usaha produksi makanan ringan dengan nama UD Mari. Maria sengaja
memilih usaha makanan ringan karena potensi pasarnya yang terus
berkembang. Hingga hari ini, UD Mari telah memproduksi banyak jenis
makanan ringan, di antaranya kripik singkong, kripik sukun, kripik
pisang, dan kripik talas. “Makanan adalah jenis usaha yang tidak
pernah ada matinya,” katanya saat berbincang dengan saya ketika
berkunjung dengan suaminya ke kantor Infest di Jl. Veteran Pandeyan
Umbulharjo Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
10 | Inspirasi
Ide awal pendirian usaha makanan ringan ini bermula
ketika Maria melihat melimpahnya umbi-umbian di
daerahnya. Dengan niat ingin mengangkat hasil pertanian
dan para petani di daerahnya, Maria kemudian belajar
mengolah singkong menjadi sebuah makanan ringan yang
tidak kalah dengan makanan ringan produksi perusahaan
modern.
Maria mendapatkan keahlian mengelola singkong dari
sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah Wonosobo. Dari bekal pelatihan itulah kemudian
Maria mengembangkan sendiri pengetahuan yang telah ia
dapat melalui uji coba produk.
Untuk menemukan kripik singkong rasa gadung, Maria
sempat melakukan uji coba beberapa kali sebelum
akhirnya sukses menemukan rasa baru ini. Untuk membuat
singkong rasa gadung, Maria menceritakan, pertama
singkong dibersihkan dari kulitnya. Kemudian diiris tipis-
tipis dan membentuk bulat.
Setelah itu, ketela direbus beberapa jam lantas direndam
di dalam air selama beberapa waktu. Ketika diangkat dari
rendaman dan digoreng, rasa khas singkong sudah hilang
dan berganti menjadi rasa gadung.
Pada awalnya, Maria hanya memroduksi kripik singkong
rasa gadung. Kripik singkong rasa gadung ini dibuat untuk
menarik hasrat pasar konusumen, di mana produk tersebut
masih belum banyak dijual di pasaran.
Maria mengenalkan produk makanannya pada pembeli di sebuah kegaiatan pameran
Akhirnya, dia memutuskan untuk menjadikan singkong rasa
gadung ini sebagai produk unggulan UD Mari. Selain itu, dia
juga terus mengembangkan berbagai produk makanan
ringan yang berbahan dasar makanan lokal.
Usaha berbahan dasar singkong ini sangat sesuai dengan
daerah Wonosobo yang dikenal sebagai salah satu sentra
penghasil singkong. Dengan mengandalkan suplai dari
daerah setempat, Maria secara tidak langsung telah
membantu para petani singkong di daerahnya. Harga
pasaran singkong di desanaya adalah Rp. 200, namun
Maria berani membelinya dengan harga Rp.1.500.
“Murahnya harga singkong yang hanya dihargai Rp. 200
sangat tidak adil. Para petani singkong telah menunggu
selama minimal 6 bulan hingga masa panen. Sebagian
besar tanaman mereka berada di daerah sekitar hutan.
Mereka membawa hasil panennya ke desa dengan cara
memikulnya,” ungkap Stevie. “Dengan harga Rp.1.500,
saya mengambil sendiri ke ladang singkongnya,”
tambahnya.
Kripik produk UD Mari telah mengalami beberapa kali masa
pengembangan kualitas produk, mulai dari tanpa merek
hingga sekarang diberi merek dan dikemas dengan plastik
menarik. Langkah ini dilakukan guna memenuhi
permintaan konsumen yang lebih menginginkan produk
yang higienis dan praktis, serta dalam rangka persaingan
produk. Meskipun saat ini banyak usaha sejenis di pasaran,
Maria mengaku tidak takut. Ia menyatakan bahwa
produknya mempunyai kekhasan tersendiri.
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
11 | Inspirasi
“Lahan pemasaran setiap perusahaan berbeda-beda. Ada
yang hanya diserahkan kepada para tengkulak, ada yang
dimasukkan ke toko-toko, dan ada yang langsung
dikirimkan sendiri ke toko-toko di luar daerah,” katanya.
Saat ini, produk UD Mari telah merambah puluhan daerah
di Jawa dan Bali, di antaranya Wonosobo, Banjarnegara,
Magelang, Yogyakarta, Purwokerto, Purworejo, dan Bali.
Meskipun produk UD Mari telah tersebar ke berbagai
daerah, salama ini Maria dan Stevie masih melakukan
pemasarannya sendiri. Hampir setiap pekan Stevia
mengirimkan produk-produknya secara langsung ke
berbagai daerah. Di tahun depan, Stevie akan merekrut
karyawan yang khusus untuk mengurus bagian pemasaran
sehingga dia dapat lebih berkonsentrasi di bagian produksi
dan pengembangan produk.
Maria termasuk perempuan yang aktif. Selain aktif di dunia
bisnis, ia juga seorang aktivis sosial dan sampai hari ini
masih aktif menulis. Ia telah menuliskan pengalaman-
pengalaman semasa menjadi BMP menjadi beberapa
buku, di antaranya Ranting Sakura yang menceritakan
pengalamannya sewaktu di Hongkong dan Taiwan, Geliat
Sang Kung Yan berisi biorgrafi dan memoarnya selama
menjadi buruh migran, dan Puteri Kelana sebuah kumpulan
puisi.
Semangat kewirausahaan seperti yang dilakukan oleh
Maria diharapkan dapat menumbuhkan minat masyarakat
dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif dalam
berbagai jenis usaha. Langkah ini merupakan salah satu
langkah untuk menciptakan kesempatan kerja sekaligus
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga,
dalam jangka panjang akan dapat mengurangi jumlah
penempatan buruh migran yang bekerja di sektor informal.
Saat ini, pemerintah melalui Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi juga telah menyelenggarakan Program Aksi
Kewirausahaan untuk para mantan TKI di 200 desa di
seluruh Indonesia. Diharapkan dari program ini akan
tercipta 125.000 wiraushawan baru sehingga dapat
menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja di
kawasan perdesaan di Indonesia. Program Desa Produktif
dilaksanakan dengan cara pemberian pelatihan dan modal
kerja sebesar Rp. 50 juta untuk setiap desa. Dana bantuan
tersebut dapat digunakan untuk berbagai kegiatan
ekonomi, misalnya pelatihan tenaga kerja, pelatihan
wirausaha mandiri, dan pelatihan lain yang disesuaikan
dengan potensi desa. (MAU)
Selanjutnya membuat bumbu yang tersiri dari gula bebeco,
vanili, garam, bumbu dicampur dengan pisang yang telah
digoreng. Pisang yang telah berbumbu digoreng lagi
(sebentar) dan ditiriskaan. Proses terakhir adalah
pengemasan. Pembuatan kripik pisang biasanya dilakukan
dua kali dalam seminggu.
Menurut Tukini dan Yuyun, mereka merasa kewalahan
melayani permintaan, karena keterbatasan tenaga.
“Walaupun pemasaran kripik pisang ini hanya di
Donomulyo, kami merasa kekurangan tenaga” Ungkap
Tukini dan Yuyun.
Wilayah pemasaran kripik pisang tersebut baru mencakup
Kecamatan Donomulyo, pemasarannya dengan cara
dititipkan di toko dan warung-warung. (HA)
Keripik pisang sudah sejak lama diproduksi masyarakat Desa
Kedungsalam, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Hasil
olahan keripik pisang ini berasa manis. Pembuatan keripik pisang
sangat sederhana, namun membutuhkan ketelatenan.
Tukini, Yuyun, dan Sarpi merupakan pegiat PTK Mahnettik Bina
Mandiri Desa Kedungsalam Kecamatan Donomulyo Kabupaten
Malang, yang mengolah kripik pisang. Proses produksi kripik
pisang tersebut didampingi oleh Dian Mutiara Universitas
Brawijaya dan Dinas tenaga Kerja Kabupaten Malang.
Pisang yang diolah biasanya adalah pisang Pisang Rojo Nongko,
Rojo Santen, Candi, Kepok, dan Gajih. Cara pembuatan kripik
pisang, pisang dikupas, kemudian Pisang diiris tipis
(menggunakan alat pasrah). Pisang yang telah diiris direndam
dengan air, kemudian dicuci dan ditiriskan. Setelah ditiriskan
pisang digoreng.
Pegiat PTK Mahnettik
Malang Produksi Kripik
PisangOleh: Hilyatul Auliya
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Desember 2010
12 | Resensi
““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.
Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK
Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““
Judul Buku : Surat Kepada Presiden
Penulis : Cardi Syaukani, Arieya Sutrisno, Arman, Lili Purwani,
Titin Kartini, Tri Maryaningsih, Wawan Hartawan,
Yus Machrus
Penerbit : United Nation Development Fund for Woman (UNIFEM)
Tahun Terbit : Cetakan Pertama:Oktober 2010
Tebal : 70 Halaman
Beberapa waktu yang lalu (Jumat,19/11/2010) banyak orang
dikagetkan oleh pernyataan sikap yang dikeluarkan Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Menanggapi
kasus penganiayaan Sumiati, Presiden tiba-tiba mengatakan
agar buruh migran yang diberangkatkan dibekali telepon
genggam.
Pernyataan tersebut langsung mendapat sorotan dan kritik dari
masyarakat, betapa sosok Presiden yang menjadi pemimpin
bangsa ternyata sama sekali tidak memahami inti masalah
(subtansi) perlindungan buruh migran. Pernyataan Presiden
tentang telepon genggam (HP) untuk buruh migran dinilai jauh
dari upaya serius pemerintah melindungi buruh migran.
Terlepas dari kritik yang dilontarkan banyak kalangan pada
Presiden tentang penanganan Buruh Migran Indonesia (BMI),
ada sebuah buku menarik yang ditulis oleh delapan pegiat
buruh migran dari beberapa daerah di Indonesia yang
merekam perjalanan mereka mendampingi buruh migran.
Buku berjudul Surat Kepada Presiden ini berisi kumpulan
tulisan ringan dari Arieya Sutrisno, seorang guru dari Cirebon,
Tri Maryaningsih, mantan pekerja rumah tangga (PRT) dari
Cilacap, Lili Purwani, mantan buruh migran asal Banyumas,
Titin Kartini, mantan buruh migran asal Kuningan,
Surat dari Mereka yang
Mengabdikan Diri untuk Hak-Hak BMIDiresensi oleh: Fathulloh
Arman, mantan buruh migran dari Malang, dan Wawan,
pegaiat paguyupan buruh migran di Blitar.
Melalui tulisan-tulisan yang mengalir lepas, mereka justru
memotret pelbagai kisah tentang buruh migran di daerah
masing-masing. Beberapa berupa informasi, pengalaman
mendampingi kasus, berbagai persoalan seputar buruh migran
seperti klaim asuransi, tes medis (medical check-up), gaji tidak
dibayar, dan lain-lain.
Seperti dituliskan Cardi Syaukani di halaman prakata, lewat
buku ini kita akan menjumpai kisah luar biasa dari
pengalaman para pegiat buruh migran di lapangan. Tri
Maryaningsih misalnya, pegiat asal Cilacap ini berjuang tanpa
lelah mendampingi beberapa kasus gaji buruh migran asal
daerahnya yang tidak dibayar. Dia berprinsip “keadaan susah
bukan berarti berakhir segalanya, masih ada yang tersisa dari
diri untuk diberikan orang lain, hati nurani.”
Prinsip Tri Maryaningsih dan kisah-kisah pegiat buruh migran
yang lain merupakan rekaman fakta yang terjadi di lapangan
dan tidak berlebihan jika surat yang mereka tujukan kepada
Presiden selaku wakil pemimpin bangsa untuk segera
membuka mata, dan bertindak cepat, mengurai persoalan
buruh migran. (FAT)